http://unikastpaulus.ac.id/jurnal/index.php/jpkm
JKPM: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio,
P-ISSN: 1411-1659; E-ISSN: 2502-9576
Volume 12, No 1, Januari 2020 (1-11)
DOI: https://doi.org/10.36928/jpkm.v12i1.206
Yohanes S. Lon
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng. Jalan Ahmad Yani No. 10,
Ruteng-Flores-NTT, 86518. Indonesia
E-mail: yohservatiusboylon@gmail.com
Abstrak
Penerapan hukuman mati di Indonesia merupakan tantangan tersendiri bagi
Gereja Katolik Indonesia dalam perjuangannya membela kehidupan dan keluhuran
martabat manusia. Melalui studi kepustakaan, artikel ini akan menyoroti aturan
Gereja Katolik tentang hukuman mati dan implikasi pastoralnya. Studi ini
berargumentasi bahwa manusia memiliki martabat yang luhur karena hakikatnya
yang berakal budi, berkehendak bebas dan berhati nurani. Tuhan telah
menciptakan manusia sesuai dengan citraNya dan kemudian memulihkan
(menebusnya) ketika rusak oleh dosanya manusia sendiri. Hukuman mati pada
hakikatnya bertentangan dengan hak hidup manusia dan mengkianati keluhuran
martabatnya. Olehnya penerapan hukuman mati harus mempertimbangkan
keselamatan dan perlindungan hak asasi manusia. Hukuman mati hanya
diterapkan untuk kejahatan yang luar biasa melawan kemanusiaan dan
dilaksanakan untuk melindungi hak asasi orang lain serta melalui peradilan yang
adil, benar dan objektif. Studi ini berkesimpulan bahwa untuk melindungi
keluhuran martabat manusia dan hak asasinya, Gereja Katolik Indonesia, melalui
karya pastoralnya, mempromosikan dan membela keluhuran martabat manusia
dan hak-haknya (pastoral pro-life), melaksanakan pastoral pengampunan dan
belas kasih bagi terpidana mati dan mengkritisi dan mengawasi proses peradilan
yang berujung pada hukuman mati (pastoral kritis kenabian).
Abstract
The enforcement of the death penalty in Indonesia has become a challenge for
Indonesian Catholic Church in defending the dignity of human being and his right for
life. Through a literature study, this article will highlight the rule of Catholic Church o
death penalty and its implications for pastoral activities. The study argues that the
dignity of human being is based on its nature as rational, free will and conscience
creature. Moreover God has created human beings according to His own image and
has redeemed them when destroyed by their own sins. Death penalty is essentially
against the dignity of human being and human rights, especially the right to life.
Therefore, its enforcement must consider the safety and protection of human rights.
The death penalty is only allowed for extraordinary crimes against humanity and is
carried out to protect the human rights of others as well as through fair, right and
objective justice. The study concludes that in order to protect human rights and the
dignity of human being in Indonesia, the Indonesian Catholic Church, through its
pastoral works, must promote and defend the noble dignity of human beings and
1 | Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, e-ISSN/p-ISSN: 25029576/14111659
Ham Dan Hukuman Mati…
their right to life (pro life pastoral), carry out pastoral of forgiveness and of mercy to
the setenced to death, criticize and oversee every trial which results in the death
sentence to the defendant (critical prophetic pastoral).
Keywords: death penalthy; right to life; Catholic Church; pastoral.
interaksi manusia yang satu dengan 21), orang miskin (Im. 19:10), pekerja
yang lain. Karena itu hak asasi (Im. 25: 39-41). Allah sendiri tidak
manusia tidak dapat diphami terpisah membeda-bedakan manusia. Setiap
dari relasi kertegantungan satu sama orang diciptakanNya unik dan dikasihi-
lain sebagai mahluk sosial. Tentunya Nya (Yoh. 3: 16; Petr. 3: 9; Ams. 22: 2;
saling kertegantungan sosial tidak Gal. 3, 28; Kol. 3:11). “Siapa menindas
menghilangkan kemandirian dari orang yang lemah, menghina
setiap individu. Bahkan keluhuran Penciptanya, tetapi siapa menaruh
personal martabat manusia akan belaskasihan kepada orang miskin,
semakin baik terwujud dalam relasi memuliakan Dia” (Ams. 14: 31).
dengan sesama. Konstitusi dogmatik Gaudium et
Saat ini komitmen Gereja Katolik Spes No. 29 menyebut, “Karena semua
terhadap keluhuran martabat manusia manusia mempunyai jiwa berbudi dan
dan Hak Asasi manusia merupakan diciptakan menurut citra Allah, karena
bagian integral dari keaksian injili dan mempunyai kodrat dan asal yang
misi Kristiani. Paus Yohanes Paulus II sama, serta karena penebusan Kristus,
(Redemptoris Hominis, 274-275) mempunyai panggilan dan tujuan ilahi
menegaskan bahwa penghormatan yang sama, maka kesamaan asasi
kepada keluhuran martabat manusia antara manusia harus senantiasa
dan hak asasi manusia merupakan injil diakui.” Konsili menegaskan
atau kabar gembira pada masa ini. kesetaraan antara umat manusia
Olehnya semua orang Katolik memiliki karena martabatnya luhur. Keluhuran
tanggung jawab untuk menghargai, martabatnya dilandaskan pada 1)
memperjuangkan, membela dan kodratnya dan asalnya sebagai mahluk
melindungi keluhuran martabat yang mempunyai jiwa berbudi dan
manusia dan HAM. Perlindungan HAM sesuai dengan citra Allah; 2) pada
menjadi keharusan agar Gereja panggilannya sebagai orang yang
dipercayai dalam pewartaannya tertebus dan terarah kepada tujuan
tentang keadilan dan perdamaian. Di yang ilahi.
sini perlindungan HAM dibuat dalam
sebuah sistem hukum yang adil. Gereja Katolik dan Hukuman Mati
Dalam Kitab Suci Alkitab dicatat Sikap Gereja Katolik terhadap
banyak kisah tentang perlindungan hukuman mati mengalami perubahan
martabat manusia. Kitab Kejadian 9:6 dari waktu-waktu. Dalam Kitab Suci
mencatat larangan untuk Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
merendahkan martabat manusia yang dicantumkan berbagai praktik
serupa dengan citra Allah. Bagi mereka hukuman mati. Pidana mati diterapkan
yang merusak keluhuran martabat pada perbuatan pembunuhan (Kel. 21:
manusia pantas mendapat sanksi yang 12), penculikan (Kel. 21:16), hubungan
keras. “Siapa yang menumpahkan seks dengan binatang (Kel. 22: 19),
darah manusia, darahnya akan perzinahan (Im. 20: 10),
tertumpaoleh manusia, sebab Allah homoseksualitas (Im. 20:13), nabi
membuat manusia itu menurut palsu (Ul. 13: 5), pelacuran dan
gambarNya sendiri” (Kej. 9:6). pemerkosaan (Ul. 22: 4). Dalam
Penghormatan kepada martabat luhur Perjanjian Baru, Rasul Paulus tegas
manusia diperkuat lagi dalam kisah mengakui otoritas pemerintah sipil
Sepuluh Perintah Allah yang diberikan untuk memberikan pidana mati jika
melalui nabi Musa. Perintah melarang dibutuhkan (Rom. 13, 1-5). Pada
melakukan pembunuhan, pencurian, bagian lain dicatat kekecualian dalam
perzinahan tentunya bernafaskan pada pemberian sanksi terhadap kasus yang
semangat mencintai kehidupan dan sama. Ketika Daud melakukan
keluhuran martabat manusia. perzinahan, Allah tidak menuntut
Perlakuan hormat itu terjadi kepada nyawanya diambil (2 Samuel 11: 1-5;
siapapun seperti pendatang (Kel. 22: 14-17; 2 Samuel 12: 13). Ketika
seorang wanita dituntut orang Farisi bersalah dan melindungi orang yang
untuk dirajam karena tertangkap tidak bersalah. Kuasa tersebut harus
tangan berzinah, Yesus meminta dijalankan secara adil agar memberi
adanya perlakuan adil terhadap semua perlindungan dan keamanan hidup
orang (Yoh. 8: 7). “Syukur kepada manusia. Di sini hukuman mati
Allah; Allah menyatakan kasihNya diberikan sebagai kompensasi yang
kepada kita dengan tidak menghukum legitim terhadap kejahatan yang
kita” (Rom.5:8).Teks-teks ini dilakukan terpidana. Dengan hukuman
mempromosikan ajaran Tuhan tentang mati masyarakat dijauhkan dari
cinta kasih sebagai hukum utama. kegusaran dan kecemasan serta
Thomas Aquinas, Teolog terkenal ketakutan terhadap pelaku kejahatan
di abad pertengahan, menegaskan yang mengancam hidup mereka.
dalam Summa Contra Gentiles, Buku 3, Pengakuan tentang
Bab 146 bahwa negara tidak hanya pemberlakuan hukuman mati
berhak tetapi juga merupakan dicantumkan juga dalam Katekismus
tugasnya untuk melindungi warga Gereja Katolik yang baru yang disusun
negaranya dari musuh internal dan tanggal 11 Agustus 1992. Ditegaskan
eksternal. Adalah tidak berdosa jika dalam No. 2266 bahwa pembelaan
pemerintah melakukan eksekusi mati kesejahteraan umum masyarakat
demi tegaknya keadilan. Hukuman menuntut agar penyerang dihalangi
mati pantas diberikan pada mereka untuk menyebabkan kerugian. Karena
yang membahayakan keselamatan alasan ini, ajaran Gereja sepanjang
umum. Di sini pidana mati diterapkan sejarah mengakui hak dan kewajiban
jika dibutuhkan untuk keselamatan dari kekuasaan sipil untuk
warganya. Dia menulis: “Kehidupan menjatuhkan hukuman yang setimpal
seorang yang berbahaya menjadi suatu dengan beratnya kejahatan, tanpa
hambatan untuk tercapainya mengecualikan hukuman mati dalam
kesejahteraan bersama yang adalah kejadian-kejadian yang serius. Otoritas
dasar dari kerukunan masyarakat publik mempunyai hak untuk
manusiawi. Oleh karena itu, beberapa menggunakan kekerasan senjata
orang tertentu harus disingkirkan melawan penyerang bersenjata yang
lewat kematian dari masyarakat mengancam kehidupan dan keamanan
manusia” (Summa Theologiae, II-II, masyarakat. Para penjahat yang
64,1). Bagi Aquinas hukuman mati menerima hukuman mati dengan
digunakan untuk mencegah terjadinya sukarela akan menerima
kejahatan di masa mendatang. pengampunan. Dengan demikian,
Tulisnya: Singkirkan dia secara hukuman mati memiliki nilai
permanen dan kirimkan kepada Tuhan perbaikan diri bagi terpidana. Namun,
untuk pengadilan ilahi, maka penjahat dalam No 2267 ditegaskan, hukuman
tak akan pernah mencelakai yang lain. mati sebagai pilihan yang terakhir. Jika
Tahun 1210 Paus Innocentius III masih ada jenis hukuman lain yang
dalam suratnya kepada uskup Agung selaras dengan keluhuran martabat
Tarragonta menyatakan hukuman mati manusia dan yang dapat memulihkan
boleh dijalankan namun harus keamanan masyarakat dan melindungi
dilandasi oleh peradilan yang adil dan kepentingan umum, maka hukuman
arif, bukan karena benci dan tergesa- mati tidak perlu diterapkan bagi
gesa. Dalam Katekismus Romawi yang terpidana.
didasarkan pada Konsili Trente 1566 Paus Yohanes Paulus II (25
dinyatakan tentang pengakuan Gereja Maret 1995) secara tegas tidak
atas kuasa otoritas sipil dalam mendukung hukuman mati. Dalam
memberikan hukuman mati kepada ensikliknya Evangelium Vitae No 56,
orang yang bersalah. Otoritas sipil Paus meminta otoritas sipil yang
memiliki tanggung jawab legal dan berwenang untuk mengutamakan jenis
yudisial untuk menghukum orang yang hukuman lain ketimbang hukuman