Anda di halaman 1dari 26

GEREJA LINTAS AGAMA

Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan


Kekristenan di Asia

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

Satya Wacana University Press


2013
Katalog Dalam Terbitan

261
Tim Timo, Ebenhaizer I Nuban
g Gereja Lintas Agama :Pemikiran-Pemikiran Bagi
Pembaharuan Kekristenan di Asia / Ebenhaizer I
Nuban Timo.-- .-- Salatiga : Satya Wacana University
Press, 2013.
342p. ; 21 cm.
ISBN 978-979-8154-59-1
1. Christian sociology 2. Theology 3. Christianity
and other religions 4. Church and social problems I.
Title

Cetakan pertama: 2013


ISBN 978-979-8154-59-1
Setting/Layout : Adhisti Raras Putri
© Ebenhaizer I Nuban Timo

All rights reserved. Save Exception stated by the law, no part of


this publication may be reproduced, stored in a retrieval system of
any nature, or transmitted in any form or by any means electronic,
mechanical, photocopying, recording or otherwise, included a
complete or partial transcription, without the prior written
permission of the author, application for which should be
addressed to author.

Diterbitkan oleh:
Satya Wacana University Press
Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga
Telp. (0298) 321212 Ext. 229, Fax. (0298) 311995
GEREJA LINTAS AGAMA:
Sebuah Pengantar
Andreas A. Yewangoe

Inilah judul buku yang ditulis oleh Eben


Nuban Timo. Tentu saja judul ini sangat “provokatif”.
Gereja Lintas-Agama? Apa itu? Tentang gereja kita
tahu. Atau merasa diri tahu. Berbagai defenisi telah
dirumuskan guna mengartikulasikan secara persis apa
yang dimaksud dengan gereja. Demikian juga dengan
agama. Tetapi menyatukan gereja dan agama dalam
pengertian “lintas” tentu saja sangat spesifik. Ini akan
menyentuh pemahaman ekklesiologis kita selama ini.
Apa persis yang mau dikatakan penulis?
Sebelum kita masuk ke sana, ada baiknya kita
menegaskan (sekali lagi) bahwa defenisi tentang gereja
sudah terlalu banyak dibuat. Baru-baru ini, Prof Dr. A.
van den Beek mantan Guru Besar Teologi Sistimatika
di Vrije Universiteit Amsterdam, menulis sebuah buku
tebal berjudul, Licham en Geest van Christus, de
Theologie van de Kerk en de Heilige Geest.1[Tubuh
dan Roh Kristus, Teologi Tentang Gereja dan Roh
Kudus]. Dalam buku yang baru ini penulis berusaha
mengaitkan Gereja dan Roh Kudus. Dengan tegas ia
mengatakan, bahwa sesungguhnya gereja adalah
homoousios [sehakekat] dengan Roh Kudus, sama

1
(Meinema), Zoetermeer, 2012.

Gereja Lintas Agama i


seperti Kristus adalah homoousios [sehakekat] dengan
Sang Bapa. Hal itu, menurut dia terungkap di dalam
Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel. Kita tidak
akan membahas pemahaman tersebut pada
kesempatan ini. Yang saya mau katakan adalah, bahwa
sudah dalam fasal-fasal pertama penulis merumuskan
hakekat gereja tersebut. Ia merumuskannya sebagai
berikut: “Gereja adalah persekutuan manusia yang
tidak lagi tergolong pada dirinya sendiri, melainkan
pada Kristus. Identitasnya ditemukan di dalam Dia.
Gereja tidak lagi tergolong pada kenyataan dunia ini,
tetapi kepada kenyataan eskatologis Kristus. Maka
karena itu mereka terasing dari dunia. Keberadaan
hakikatnya adalah pada kehidupan kekal. Hal itu
dirayakannya dalam Perjamuan Kudus sebagai jalan
dari kebakaan (ketidakmatian). Melalui baptisan,
orang-orang percaya diangkat kedalam persekutuan ini
dan dengan demikian juga mematikan kehidupan
lama.2

2
Aslinya dalam bahasa Belanda: “De kerk is de gemeenschap
van mensen die niet meer aan zichzelf toebehoren maar aan
Christus. Zij vinden hun identiteit in Hem. Zij behoren niet
meer tot de werkelijkheid van deze wereld, maar tot de
eschatologische werkelijkheid van Christus. Daarom zijn zij
wereldvreemd. Hun wezenlijke bestaan is in het eeuwige
leven. Zij vieren dat in de eucharistie als middle voor
onsterfelijkheid. Door de doop zijn ze opgenomen in deze
gemeenschap en gestorven aan hun oude leven.” Van den
Beek juga mengutip rumusan lain dari Theron 1979: “Die
kerk (is) die enigste gemeenskap wat, as gemeenskap, nie

ii Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo


Dari rumusan ini saja sudah sangat jelas bahwa
bagi A. van den Beek, gereja adalah suatu persekutuan
khusus yang tidak mungkin disamakan dengan
persekutuan-persekutuan lain. Artinya juga tidak ada
analogi persekutuan gereja dengan persekutuan-
persekutuan lain. Sebagai demikian, tidak mungkin di
satukan. Apakah gereja termasuk pada kategori agama?
Ini juga bukan persoalan mudah, kendati secara
sosiologis sebuah persekutuan gerejawi mempunyai
ciri-ciri sosiologis. Bahwa mereka yang bersekutu
dalam persekutuan ini hidup dalam sebuah masyarakat
(yang dalam banyak hal juga majemuk), tidak bisa
mengabaikan watak sosiologis ini yang dalam banyak
hal mengungkapkan diri dalam agama. Namun
demikian, secara teologis, inilah salah satu pertanyaan
yang tidak habis-habisnya dibahas. Karl
Barth3misalnya segan memasukkan kekristenan (atau
mungkin lebih tepat: Injil) ke dalam kategori agama. Ia
konsisten dengan pandangannya, bahwa sesungguhnya
agama adalah ketidakpercayaan (Religion ist
Unglaube). Memang sering ada salah faham terhadap
pandangan ini, seakan-akan Barth hendak bersikap
bermusuhan terhadap agama-agama. Tidak demikian.

opkom uit die skeping nie, maar uit die nuwe skeping.”[dari
bahasa Afrikaans: Gereja adalah satu-satunya persekutuan,
yang sebagai persekutuan tidak berasal dari ciptaan,
melainkan dari ciptaan baru] A.van den Beek, p.13.
3
Tentang pandangan Karl Barth sudah terlalu banyak
ditulis. Demikian juga tulisan-tulisan Barth sendiri sangat
kaya. Seri Kirchliche Dogmatiknya bisa diperiksa.

Gereja Lintas Agama iii


Barth sesungguhnya skeptis terhadap berbagai usaha
yang dilakukan manusia untuk menggapai Allah
dengan usahanya sendiri. Pada hal Allah itu tidak
terjangkau. “Gott ist im Himmel und du bist auf die
Erde”.[Allah ada di surga, dan anda ada di bumi].
Tidak terjembatani. Manusia juga tidak mungkin
membuat jembatan itu, kendati agama-agama
mencobanya. Hanya ada satu jalan menggapai Allah,
apabila Allah sendiri meraih manusia. Itulah yang
disebut anugerah. Maka ketidakpercayaan yang
dimaksud adalah ketidapercayaan terhadap anugerah
itu.4
Lalu apa fasal? Tentu saja lalu menjadi tidak
mudah membaca judul yang dikemukakan Eben ini.
Eben mencoba menyoroti persoalan ini dengan
bertolak dari konteks Asia. Kalau agama adalah
ketidakpercayaan, bagaimana mungkin kita bisa
berbicara mengenai gereja lintas-agama? Di sinilah,
menurut saya kita harus membaca secara teliti alasan-
alasan Eben memakai judul ini. Pertanyaan mendasar
adalah, dalam perkembangan masyarakat yang begitu
cepat dewasa ini, masihkah tepat untuk
mempertahankan pemahaman klasik tentang gereja?
Tidak dapatkah pemahaman tentang gereja bergeser
dari yang klasik yang sulit difahami, ke arah yang
bukan saja lebih difahami, tetapi juga lebih

4
Uraian yang sangat bagus mengenai pandangan Barth ini
bisa dikonsultasi G.C.Berkouwer, De Triomf der Genade in
de Teologie van Karl Barth, Kampen, 1970. [Kemenangan
Anugerah Dalam Teologi Karl Barth].

iv Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo


“manusiawi”? Yang dimaksud dengan ini adalah
kemampuan gereja menyapa manusia dalam “bahasa-
bahasa” yang difahami manusia. Bukankah slogan
gereja-gereja reformasi sendiri bahwa, ecclesia
reformata semper reformanda est? Lebih-lebih lagi
gereja-gereja di Asia yang hanya menduduki 2% dari
seluruh penduduk Asia, dan yang sangat “ditentukan”
oleh keberagamaan yang multi-wajah (multifaceted
religiosity), dan kemiskinan yang meliputi semuanya
(overwhelming poverty), pantaskah gereja tetap
berada di dalam ghettonya, dengan mengunyah-
ngunyah pemahaman ekklesiologi klasiknya, namun
tidak dirasakan kehadirannya? Pertanyaan-pertanyaan
inilah, dan tentu saja masih banyak yang lain, yang
mendorong Eben menulis buku ini. Tentu saja sebagai
obyek iman,pengakuan tentang gereja sebagai Tubuh
Kristus tidak pernah berubah. Tetapi Tubuh Kristus ini
dihidupi setiap kali dalam konteks yang selalu
berubah. Maka sama seperti Allah sendiri
berinkarnasi, demikian juga hendaknya Tubuh itu
selalu berinkarnasi.
Eben melakukan pendekatan dengan
membahas 5 (lima) orang teolog Asia yang
dianggapnya “mewakili” konteks yang berbeda-beda.
Ia menyelami pandangan para teolog ini, dan
kemudian mengangkat beberapa pokok penting yang
harus terus digumuli apabila gereja sungguh-sungguh
hendak menjadi gereja Asia. Ia misalnya secara tegas
mengatakan, bahwa mesti ada rekonstruksi
ekklesiologis di Asia, agar Injil sungguh-sungguh

Gereja Lintas Agama v


dirasakan sebagai kekuatan Allah yang
menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-
tama orang Yahudi tetapi juga orang Yunani (Rm.
1:16). Hal itu dilihatnya sebagai sesuatu yang
mendesak, kendati mestilah merupakan sebuah
ekklesia yang bijaksana. Termasuk dalam tuntutan
bijaksana ini adalah, ketika kita tidak harus menolak
seluruh kepribadian, budaya, sejarah dan lapisan
keagamaan kita. Karena Allah adalah Allah yang
berwarna, maka faham tentang gereja juga haruslah
berwarna.
Saya kira usulan Eben ini perlu
dipertimbangkan dengan serius, kendati kita juga
menyadari bahwa hal ini tidak selalu mudah. Juga
tidak bisa hanya seperti membalik telapak tangan.
Dibutuhkan proses panjang di dalam kehidupan itu
sendiri, termasuk kehidupan bersama mereka yang
tidak tergolong dalam “kelompok kita” untuk secara
bersama-sama berjalan ke masa depan. Saya kira masih
tetap relevan Tema Sidang Raya ke-15 PGI di Mamasa
(2009): “Tuhan Itu Baik Kepada Semua Orang”.
Artinya, Ia hadir bukan saja di dalam gereja, tetapi
juga di dalam komunitas-komunitas lain, yang dalam
banyak hal tidak kita duga. Namun tetap saja
merupakan pergumulan yang tidak habis-habisnya
bagaimana persisnya mengaitkan dalam suatu
pemikiran dialektis antara “keterpilihan” sebagai
Tubuh Kristus, dan keterlibatan sebagai sesama di
dalam keluarga umat manusia. Tidak mudah, tetapi

vi Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo


jangan pernah berhenti bergumul. Di sinilah menurut
saya pentingnya buku ini. Selamat membaca.
Jakarta, Hari Kenaikan (9 Mei 2013)

Gereja Lintas Agama vii


Nenekku bercerita…

Permusuhan antara penduduk kampung Baki


dan Boki makin hari makin tajam. Orang-orang dari
dua kampung itu bukan hanya saling menjelekkan dan
menghina. Kekerasan fisik pun sudah sering terjadi.
Tempat-tempat pertemuan umum, seperti pasar, pesta
atau ruang publik lainnya sering menjadi pentas saling
mencela. Orang-orang dari kampung kedua belah
pihak sudah tidak merasa nyaman lagi jika mereka
berada di luar daerahnya sendiri.
Asal muasal dari ketegangan ini berpangkal
dari seorang pemuda dari kampung Boki jatuh cinta
pada seorang anak gadis dari desa tetangga. Perasaan
cinta terhadap si gadis juga tumbuh dalam hati
pemuda lain dari kampung Baki dalam sebuah pesta.
Masing-masing pihak hendak menikahinya.
Persaingan di antara keduanya meroket menjadi
permusuhan. Dalam sebuah adu fisik antara keduanya,
yang dipicu hanya karena masalah belanjaan di pasar,
laki-laki dari kampung Baki ditebas dengan golok
sampai mati oleh lawannya dari kampung Baki.
Selidik punya selidik, ternyata dua pemuda
yang bertikai itu adalah anak dari kepala kampung
masing-masing pihak. Kematian si anak menjadi alasan
bagi tua adat kampung Baki melakukan perhitungan
dengan tua adat dari Kampung Boki. Tua adat dari
kampung Baki merencanakan aksi pembalasan
dendam.

viii Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo


Peristiwa ini sendiri sudah berlangsung lama.
Tetapi karena terus-terusan diceritakan dari generasi
ke generasi maka telah menjadi semacam ingatan
kolektif. Tindakan menyerang penduduk kampung
musuh dianggap simbol heroik, aksi kepahlawanan
dalam rangka menegakkan martabat kampung, apalagi
jika yang berhasil dibunuh adalah kepala kampungnya.
Adegan balas dendam inilah yang sekarang
diperagakan lagi secara baru. Sore itu, sebagaimana
biasa tua adat dari kampung Boki menemukan dirinya
berada dalam perjalanan menuju sungai kecil
diperbatasan kampung. Ia pergi untuk mandi.
Sementara itu, tua adat dari kampung Baki sudah lama
bersembunyi di balik semak. Ia sedang menunggu tua
adat dari kampung Boki. Sesuai rencana ia akan
menghabisi hidup tua adat dari kampung Boki. Ini
pembalasan dendam terkini yang ada dilaksanakan
demi memperlihatkan superioritas atau keunggulan
kampungnya. Sudah lebih dari empat bulan dia
menyebar mata-mata untuk mengamati kebiasaan tua
adat orang Boki. Tiap akhir pekan, tua adat kampung
Boki turun ke sungai untuk mandi.
Ditemani sejumlah anak buah, pagi itu dengan
membawa anak panah yang sudah diolesi racun yang
mematikan, tua adat dari Kampung Baki telah
mengambil kuda-kuda di antara rerumputan dekat
tempat permandian tua adat kampung Boki. Rencana
penyerangan itu diperhitungkan secara matang
sehingga hanya dengan satu kali bidikan korban akan
terkulai dan mati.

Gereja Lintas Agama ix


Tua adat kampung Boki tiba di tempat
permandiannya. Dia melepaskan pakaian dari
tubuhnya. Dari antara semak-semak, tua adat
kampung Baki mulai menyiapkan busur dan anak
panah. Baru saja kaki tua adat kampung Boki hendak
merapat ke air, dia terjatuh karena sebuah serangan.
Sebuah anak panah menancap di tulang rusuk sebelah
kiri.
Darah segar mengalir deras ke tanah dari luka
yang dibuat anak panah. Air di sungai itu mulai
bercampur darah. Tua adat kampung Boki menjerit
kesakitan. Tua adat kampung Baki melangkah keluar
dari persembunyiannya. Ia bertolak pinggang tepat di
depan musuh yang sudah terkulai.
“Kau kah dia… orang yang menyerang dan
ingin membunuhku. Semoga ilah nenek moyangku
mengampunimu. Karena aku pasti akan mati, tolong
kau ambilkan pakaian-pakaianku. Bawalah semuanya
kepada anak tertua di rumahku. Ada benda pusaka
berasal dari nenekku beratus-ratus tahun yang lalu.
Satu saat nanti, apabila saudara kembarku yang
membawa separuh kepingan dari benda pusaka itu,
menemukan kami tentulah dia bersama anak cucu
kami akan membuat perhitungan dengan kaum
keluargamu.” Selesai mengucapkan kata-kata itu, tua
adat kampung Boki menghembuskan nafas terakhir.
Dia mati karena kehabisan darah sekaligus akibat
racun mematikan itu.

x Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo


Tua adat kampung Baki memenggal kepalanya
untuk dibawa pulang ke kampung mereka agar
diadakan pesta sebagaimana layaknya kebiasaan
perang yang mereka kenal. Anak buah tua adat yang
ikut dalam penyerangan itu mengambil juga pakaian
tua adat Boki ke kampung mereka.
Pada hari yang sudah ditentukan
berkumpullah semua warga kampung Baki untuk
merayakan kemenangan itu. Salah satu acara yang
harus dilalui adalah memperlihatkan barang-barang
rampasan korban. Betapa terkejutnya tua adat
kampung Baki melihat kalung perak berbentuk
lingkaran yang ada di tumpukan pakaian musuhnya.
Mata tua adat kampung Baki terbelalak
melihat benda itu. Pandangannya terpaku pada kalung
perak yang ada di antara kumpulan pakaian musuh
yang telah dia bunuh dengan tangannya sendiri.
“Diam! Hentikan semua keributan.” Katanya
kepada semua warganya. “Bawa kemari kalung perak
itu.” Begitu perintah tua adat Baki kepada orang-
orangnya. Kalung perak kelihatannya aneh.
Bentuknya hanya setengah lingkaran, tetapi seperti
dibagi dua secara paksa, karena guratan bekas robekan
itu bergerigi. Lekukan-lekukan pada kalung itu
menarik perhatiannya.
Ia menggengam kalung perak itu sekuat
tenaga. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Ia
mencoba mengingat-ingat apa penyebab ganjalan
dalam hatinya. Satu demi satu memorinya terbuka.

Gereja Lintas Agama xi


Hal pertama yang segera muncul dalam benaknya
adalah cerita masa kecilnya. Ia lalu memanggil orang-
orangnya yang menghadiri perayaan kemenangan itu
berkumpul di dekatnya.
“Dengarlah, seluruh rakyatku. Ada sesuatu
yang aku ingin katakan kepada kamu tentang benda
ini. Kalung perang itu mengingatkan aku kepada masa
kecilku, kira-kira 60-an tahun lalu. Nenekku yang
adalah kepala suku kita biasa membawa kami ke dalam
buaian malam untuk tidur dengan mengisahkan cerita-
cerita, entahkah dongeng atau pun cerita-cerita
kepahlawanan.
Neneknya pernah bercerita tentang dua orang
bersaudara Baki dan Boki. Mereka kembar. Mereka
hidup rukun di rumah kedua orang tuanya. Suka dan
duka mereka bagi bersama. Seiring berjalannya waktu
Baki dan Boki bertumbuh besar dan menjadi dewasa.
Keduanya kemudian sepakat untuk berpisah dan
masing-masing membentuk koloni sendiri. Baki ke
arah Timur sedangkan Boki ke arah Barat. Niat ini
disampaikan kepada kedua orang tua mereka.
Betapapun keberatan dengan permintaan Baki
dan Boki, si ayah merelakan mereka pergi. Si ibu
meneteskan airmata pada hari-hari menjelang
kepergian kedua buah hatinya. Apa yang bisa dia
berikan kepada kedua anaknya itu? Dengan
sepengetahuan sang suami, dia mengambil kalung
identitas keluarga (malak) yang dia terima dari ibu
mertuanya pada saat menikah dulu. Kalung itu dipecah

xii Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo


jadi dua. Bentuknya sekarang bukan lagi bulat tetapi
setengah lingkaran, tentu saja pecahan yang terjadi
waktu dibelah dua itu berlekuk-lekuk.
Sehari sebelum saat keberangkatan tiba, Baki
dan Boki dikumpulkan oleh kedua orang tuanya.
Mereka dinasehati untuk menjaga nama baik keluarga
di negeri perantauan dan tentu saja untuk tetap
menjaga persaudaraan di antara mereka. Si ibu
kemudian mengambil kalung keluarga yang sudah
dibelah dua. Baki mendapat potongan yang satu, Boki
potongan lainnya.
Sebelum kalung itu digantungkan di leher
kedua anaknya si ibu memesankan hal ini. Masing-
masing kamu harus menjaga kalung ini dengan baik.
Ini tanda persaudaraan kamu. Kalau nanti kamu
bertemu kembali dan karena berbagai hal yang kamu
alami selama berpisah sehingga kamu tidak lagi saling
kenal, kalung ini bisa kamu pakai sebagai pembukti
persaudaraan kamu. Baki harus mencocokan
kalungnya dengan yang dipakai Boki. Jika lekukan
kedua potongan itu cocok dan keduanya membentuk
lingkaran penuh, itulah pembuktian paling otentik
dari persaudaraan kamu berdua.
Keesokan harinya Baki dan Boki berangkat
dari rumah orang tua dan kampung halaman mereka.
Kedua bersaudara ini tetap menjaga kontak. Tidak ada
masalah dalam hubungan persaudaraan mereka. Baki
dan Boki bertambah tua. Mereka memperoleh anak-
anak dan cucu-cucu. Cerita tentang persaudaraan itu

Gereja Lintas Agama xiii


dan juga potongan kalung tadi juga mereka teruskan
kepada anak-anak dan cucu masing-masing.”
Tua adat dari kampung Baki tersentak dari
lamunan panjang, waktu istrinya merebut kalung itu
dari tangannya sambil berkata: “Panggil si Afra, tukang
perak kita. Biarkan dia menempa kalung ini bersama-
sama dengan kalung lain yang ada padaku menjadi
anting-anting untukku.”
“Betul! Kau benar, istriku. Kau membuatku
ingat hal kedua yang bersangkut paut dengan kalung
ini. Ayo. Aku juga menyimpan sebuah kalung perak
yang sama. Cepat ambil kalung milik kita.” Si istri
bergegas menjemput kalung itu di kamar.
Tua adat kampung Baki segera meraih kalung
perak tadi. Betapa hatinya gula dan emosinya meledak.
Kalung itu adalah separuh dari kalung yang
dipakainya. Pesta kemenangan segera berubah jadi
pertemuan perkabungan. Semua orang memukul diri
dengan penyesalan yang dalam. Mereka sadar bahwa
persaingan, percekcokan, permusuhan dan bahkan
pertumpahan darah yang selama ini dilakukan oleh
penduduk kedua kampung itu sangat memalukan. Dua
kampung itu sebenarnya adalah bersaudara kembar.
Sidang akbar itu memutuskan mengutus
delegasi ke kampung Boki untuk mengaku dosa dan
mohon maaf, sekaligus mengembalikan pecahan
kalung kepada pemiliknya. Selanjutnya mereka
mengajukan usul agar kepada anak cucu dari kedua
kampung itu dibuatkan tiruan dari pecahan kalung

xiv Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo


untuk diberikan kepada setiap penghuni masing-
masing untuk mengingatkan mereka akan
persaudaraan di antara mereka.

Gereja Lintas Agama xv


KATA PENGANTAR

“Gereja adalah satu dari beberapa institusi


sosial yang paling sulit melakukan perubahan baik
perubahan diri maupun perubahan cara kehadirannya
dalam masyarakat. Jadi pak harus siap diri sungguh-
sungguh untuk dicerca. Paling minim dituduh sebagai
penyebar ajaran sesat atau anti-kristus.” Ini komentar
dari seorang sahabat waktu ide penulisan buku ini saya
ceritakan kepadanya.
“Sikap anti-perubahan itu gereja tunjukan
dengan berbagai cara. Salah satu cara yang paling
efektif yang dilakukan gereja ialah memenjarakan
Allah dengan menggunakan ayat-ayat Allah.
Barangsiapa mencoba untuk mengeluarkan Allah dari
kurungan ayat-ayat yang sudah dirakit gereja akan
diserang habis-habisan betapapun upayanya itu sejalan
dengan kedirian Allah yang oleh Alkitab disaksikan
sebagai pribadi yang bebas. Martin Luther mengalami
hal itu. Ia dikucilkan dan kemudian dipecat dari
kekedudukannya sebagai imam.”
Peringatan teman ini sejalan dengan yang
ditegaskan oleh Hans Kung. Dia menulis: “Teologi
tradisional sepanjang zaman dan di seluruh gereja
selalu curiga dan menolak perubahan (pembaruan).
Kategori yang diberikan kepada penggagas perubahan
atau yang oleh Ernst Bloch disebut innovator adalah
penyebar ajaran sesat, musuh gereja dan negara.”
Mereka ini kemudian mengalami penganiayaan

xvi Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo


dengan berbagai cara, dikutuk dan ditolak. Berabad-
abad setelah itu menjadi nyata bahwa banyak dari
perubahan yang mereka tawarkan itu ternyata berguna
untuk membuat kehadiran gereja tetap relevan bagi
masyarakat.5
Kutipan ini tidak kami maksudkan untuk
menempatkan diri sebagai salah satu dari innovator
gereja. Kami toh bukan innovator itu. Kami hanya
memperkenalkan pikiran para tokoh (teolog) yang
benar-benar baru. Para pemikir itulah yang adalah
innovator. Yang mau kami tunjukkan dengan kutipan
ini ialah kami siap menerima berbagai cercaan dan
cemooh karena meneriakkan gagasan-gagasan yang
mengejutkan dari para innovator itu.
Para innovator yang pikirannya akan kami
angkat untuk dikaji dalam buku ini adalah Pdt. Dr.
Andreas A. Yewangoe, Pdt. Dr. Gerrit E Singgih,
Choan-seng Song, Nabeel T. Jabbour dan Pastor
Raimundo Panikkar. Tiga orang dari para pemikir tadi
(AAY, GES dan NTJ) telah kami kabari. Mereka
bahkan sudah membaca ulasan kami terhadap pikiran
mereka dan menyatakan persetujuannya.6 Latar

5
Hans Kung. Theology for the Third Millennium. New
York – London: Anchor Book Doubleday. 1988, hlm 127.
6
Diskusi penulis dengan Nabeel T. Jabbour yang sekarang
menetap di Amerika Serikat dilakukan melalui kontak e-
mail. Atas dasar itu Nabeel Jabbour meminta dua orang
koleganya dari the Navigators yang menetap di Surabaya
untuk bertemu penulis di Salatiga dan berdiskusi bersama.
Sedangkan pak Yewangoe dan pak Gerrit ikut memeriksa

Gereja Lintas Agama xvii


belakang pemikiran yang mendasari pilihan kami
terhadap tokoh-tokoh ini kami kemukaan dalam
batang tubuh pembahasan kami.
Jelasnya buku ini kami siapkan dengan
kesadaran akan ancaman di atas. Betapapun begitu
kami memberanikan diri untuk melanjutkan rencana
itu. Ini karena kami setuju dengan prinsip
reformatoris: “ecclesiam reformata semper
reformanda.” Hal serupa juga ditegaskan oleh Paus
Yohanes XXIII (1958) yang menyerukan gereja untuk
melakukan apa yang dia sebut aggiornare: meng-hari-
ini-kan dirinya.7 Dalam upaya ke arah itu, Tom Jacobs
mengatakan pentignya gereja melakukan sebuah
gerakan rangkap: memahami diri secara baru supaya
bisa menghadirkan diri secara baru.8
Adalah penting bagi gereja untuk memahami
diri secara baru supaya dapat menghadirkan diri secara
baru. Atau gereja perlu meng-hari-ini-kan dirinya.
Untuk konteks Asia dan secara khusus Indonesia peng-
hari-ini-an diri gereja perlu mempertimbangkan
dengan serius realita kemasyarakatan yang dicirikan

semua naskah ini. Usai membaca naskah ini Pdt. Yewangoe


memberi komentar berikut: “pak Pdt. teruslah menulis. Kita
masih kekurangan buku-buku yang berkualitas.”
7
B.S. Mardiatmadja, SJ. “Gagasan-Gagasan Dogmatic.”
Dalam: Persetia. 1989. Himpunan Bahan Study Institute
Tentang Dogmatika Tanggal 9-22 Juli 1989., hlm. 65.
8
Tom Jacobs. Gereja Menurut Vatikan II. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius. 1987. hlm 35.

xviii Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo


oleh kepelbagaian agama dengan nota bene orang
Kristen adalah kaum minoritas dan kemiskinan.9
Tentu akan ada pro-kontra terhadap buku ini.
Juga ada banyak kekurangan dan kelemahan. Kami
tidak menafikan hal itu. Sambil mempersembahkan
buku ini kepada pembaca yang lebih luas, kami
berharap ada masukan yang berguna demi perbaikan
dan penyempurnaannya.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
istri dan kedua anak kami. Mereka adalah seumpama
malaikat-malaikat yang menyiapkan pertolongan
dalam jumlah yang tak bernilai harganya. Komentar-
komentar mereka setelah membaca naskah awal buku
ini, juga kesediaan mereka untuk ikut memperjelas
perumusan kalimat dan perbaikan pengetikan
memberi cita rasa yang sejuk bagi lahirnya buku ini.
Ucapan terima kasih juga kepada ayah dan ketujuh
saudara bersama dengan partner masing-masing dan
para keponakan kami, laki-laki dan perempuan.
Perhatian, kasih dan doa mereka untuk kami di rantau
menjadi motivasi bagi kami untuk terus membaca dan
menulis. Ibarat seorang pelari di arena, sayalah atlik
yang berlari sambil membawa obor, tetapi merekalah
yang menyalakan obor itu.
Diskusi-diskusi yang menggairahkan di kelas
kuliah Magister Sosiologi Agama UKSW 2012-2013
dalam matakuliah Tema-Tema Teologi Asia dan

9
A.A. Yewangoe. Theologia Crusis di Asia. Jakarta: BPK
Gunung Mulia. 1996. hlm 35.

Gereja Lintas Agama xix


Teologi-Teologi Pembebasan yang saya ampu adalah
seumpama lahan yang menyuburkan bertumbuhnya
buku ini. Peserta kuliah itu ibarat dua murid di jalan
ke Emaus. Saya hanyalah orang asing yang tiba-tiba
masuk dalam ruang diskusi mereka. Pertanyaan-
pertanyaan dan pernyataan merekalah yang
mendorong saya melakukan diagnosa terhadap isi
kitab suci sambil membolak-balik buku-buku berisi
pemikiran para innovator tadi.
Kesediaan Pdt. Dr. A.A. Yewangoe dan Pdt.
Dr. Gerrit E. Singgih, masing-masing dengan
kepakaran yang dibingkai juga dengan kerendahan
hati dan kejujuran intelektual, untuk memeriksa
naskah buku ini, bukan hanya yang berhubungan
dengan pikiran mereka, tetapi juga keseluruhan isi
buku ini sangat membesarkan hati saya.
Kalau dalam buku ini penulis menyebut diri
dengan ungkapan kami, itu semata-mata untuk
merangkul semua nama yang disebutkan tadi sebagai
yang ikut berproses dalam penyelesaian buku ini.
Meskipun toh tanggung jawab atas keseluruhan isi
buku ini ada pada penulis secara pribadi.

xx Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo


DAFTAR ISI

i Kata Pengantar Pdt. Dr. A.A. Yewangoe


vii Nenekku Bercerita…
xvi Kata Pengantar
xxi Daftar Isi

1 Pendahuluan
4 Pandangan Klasik Tentang Gereja
13 Suara-Suara Kritis dari Saudara di Agama
Seberang
15 Suara-Suara Kritis dari Saudara-Saudara Sendiri
18 Rekonstruksi Eklesiologi
19 Hipotesa Kerja Eklesiologi Baru
28 Sistematika Pembahasan

Bab I
Gereja Jangan Meng-Ghetto
(Andreas A. Yewangoe)
31 Pendahuluan
33 Biodata dan Konteks Berteologi
38 Keyakinan Iman Yewangoe
46 Hakikat Penginjilan atau Misi Kristen
48 Praktek Misi
67 Rancang Bangun Eklesiologi Baru
73 Kesimpulan dan Penutup

Gereja Lintas Agama xxi


Bab II
Menguak Isolasi Menjalin Relasi
(Emanuel Gerrit Singgih)
77 Pengantar
79 Biodata dan Karya
83 Lima Persoalan Pokok Indonesia
87 Eklesiologi Kontekstual Indonesia
89 Pekabaran Injil
92 Re-interpretasi Matius 28:18-20 Untuk Konteks
Indonesia
101 Penginjilan Sebagai Kegiatan Belajar-Mengajar
104 Agama Bukan Kewajiban tetapi Kebebesan Hati
Nurani
110 Gereja Tanpa Dinding
118 Kesimpulan dan Penutup

Bab III
Allah Juga Bergerak Berbelok-Belok
(Choan-seng Song)
121 Pengantar
121 Biografi dan Karya-Karya Song
124 Misi atau Pekabaran Injil
131 Allah Sejarah Tuhan Bangsa-Bangsa
136 Gerakan Garis Lurus dan Gerakan Berbelok-
Belok dari Allah
142 Kristus Melintasi Batas-Batas Agama
148 Transposisi Pemahaman Tentang Gereja
157 Transposisi Misi Kristen di Asia
168 Agama Kristen di antara Agama-Agama
172 Kesimpulan dan Penutup

xxii Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo


Bab IV
Gereja di Antara Salib dan Bulan Sabit
(Nabeel T. Jabbour)
175 Biodata dan Konteks Berteologi
182 Orang Muslim dan Dunianya
192 Apakah Injil Juga Adalah Kabar Sukacita Kepada
Orang Muslim?
194 Misionaris Yang Perlu Bertobat
202 Etnosentrisitas versus Tinggal di Antara Bangsa-
Bangsa
209 Plus-Minus Tiga Pola Hidup Umat Allah
212 Pemberitaan Nabi-Nabi Adab ke-8 SM
215 Penginjilan Evangelisme dan Penginjilan
Relasional
223 Alkitab Tentang Penginjilan Relasional
227 Ekklesia Tersembunyi dan Gereja Kasat Mata
234 Kesimpulan dan Penutup

Bab V
Kristus yang Tak Dikenal dari Hinduisme
(Raimundo Panikkar)
237 Pengantar
241 Biografi dan Konteks Berteologi Raimundo
Panikkar
248 Allah dan Brahman Kristus dan Isvara
256 Panikkar tentang Agama-Agama
261 Orang Kristen Bertemu Orang Hindu
263 Kristus Yang Tidak Dikenal Dari Hinduisme
271 Gereja dalam Agama Hindu

Gereja Lintas Agama xxiii


277 Perpindahan dari Hinduisme kepada
Kekristenan
281 Kesimpulan dan Penutup

Bab VI
Pokok-Pokok Teologis Yang Mengemuka
285 Pengantar
285 Mengeluarkan Gereja dari Ghetto
293 Membaharui Paham tentang Jatidiri dan
Kehadiran Gereja
304 Rekonsiderasi Arti Pertobatan
308 Hakikat Baptisan Sebagai Sakramen
317 Dialog Sebagai Misi

327 Penutup
336 Daftar Pustaka
Curriculum Vitae

xxiv Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo

Anda mungkin juga menyukai