Anda di halaman 1dari 160

It is currently Mon Jun 13, 2022 5:31 pm

 FAQ
 Search
 The team
 Register
 Login
 Board index
 Bunga Rampai Gereja Kristen
 Teologi/ Aliran/ Denominasi/ Supremasi Gereja
 Ortodox

Gereja Orthodox dan Ajaran-ajarannya


POST A REPLY

Search this topic… Search


 
43 posts • Page 1 of 3 • 123

BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm

Gereja Orthodox dan Ajaran-ajarannya

 by BP » Mon Dec 24, 2007 5:32 am

Disalin dari : http://www.geocities.com/fantioz/gerejatimur.zip

Gereja Orthodox Katolik dan Ajaran-ajarannya

Oleh : Arkhimandrit Rm. Bambang Dwi Byantoro

Gereja Kristus yang Satu dan untuk Selama-lamanya

Di dunia masakini begitu banyak aliran keagamaan yang menamakan dirinya Kristen atau Gereja. Namun
demikian sering kita jumpai bahwa dalam masalah ajaran, aliran-aliran yang satu amat berbeda dengan
aliran yang lain. Belum lagi bagi banyak orang hanya mengenal Kekristenan dalam dua bentuk saja yaitu:
Katolik Roma dan denominasi-denominasi Protestan. Dua bentuk inipun sementara masing-masing
menyatakan dirinya sebagai ajaran Injil yang benar dan sejati atau sebagai Gereja Kristus yang benar,
dalam realitanya banyak praktek dan ajarannya itu saling bertentangan satu dengan yang lain. Demikian
pula dalam apa yang kita sebut dengan denominasi-denominasi Protestan, begitu banyak aliran yang satu
sungguh-sungguh berbeda akidah dan ajarannya dengan yang lain. Dan semuanya itu mengaku sebagai
Gereja yang benar. Kita yang mencintai kebenaran dan mencari kebenaran dijadikan bingung karenanya.
Mungkinkah dengan Kitab Suci yang satu, Allah yang Satu, Yesus yang satu, Roh Kudus yang Satu, terdapat
Iman atau pengajaran dan Gereja yang bermacam-macam dan saling bertentangan dan kontradiksi satu
dengan lainnya itu?

Menurut Kitab Suci, jikalau yang dimaksudkan adalah Gereja Kristus dan ajaran Injil Kristus yang sejati jelas
tidak mungkin, karena Kitab Suci mengatakan :”…….satu tubuh…..” ( Efesus 4:4), “satu Tuhan, satu Iman….”
(Efesus 4:5). Surat Efesus yang sama ini menegaskan bahwa yang disebut Tubuh Kristus itu adalah Jemaat
(Ekklesia, Iglesia, Igreja, Gereja): ”Jemaat (Ekkelsia= Gereja) yang adalah TubuhNya….” ( Efesus 1:23). Jikalau
hanya ada satu tubuh, dan yang dimaksud dengan Tubuh itu adalah Gereja, jadi menurut Alkitab Gereja itu
hanya satu saja. Gereja yang satu itu yang bagaimana, yatu yang memiliki “satu Iman” karena memiliki “satu
Tuhan”. Berarti jikalau imannya tidak satu, ajarannya tidak satu, pemahamannya tentang Tuhan yang satu
itu tidak satu, pastilah itu bukan bagian dari “satu Tubuh” atau Gereja yag dimaksud itu. Demikianlah
kesimpulan yang dapat kita ambil mengenai adanya macam-macam aliran ajaran yang semuanya mengaku
Kristn dan semuanya mengaku Gereja, tak mungkin semuanya itu benar dan tak mungkin semuanya itu
Gereja Kristus. Sebab jikalau mereka itu adalah bagian dari Gereja Kristus yang hanya satu pastilah
ajarannya itu satu dan sama dimana-mana. Lalu mengapa ada macam-macam aliran pengajaran seperti
itu. Kitab Suci mengajarkan bahwa ada Yesus yang lain, Injil yang lain dan Roh yang lain ( II Korintus 11:4).

Dan Kitab Suci juga mengatakan tentang adanya Injil yang lain dan yang berbeda dari Injil yang diberitakan
oleh Rasul dan yang diterima oleh Gereja ( Galatia 1: 8-9), dan Kitab Suci juga mengajarkan tentang adanya
ajaran-ajaran bidat ( Titus 3:10-11). Itulah sebabnya terjadi munculnya ajaran-ajaran-ajaran yang
bermacam-macam itu. Dan menurut Kitab Suci ajaran yang bermacam-macam yang tak sesuai dengan
ajaran Rasul dan Iman Gereja Kristus yang benar itu membawa kutuk ( Galatia 1:8-9), mendatangkan dosa
dan hukuman ( Titus 3:10-11). Padahal mengenai ajaran Imanl yang benar itu Kitab Suci mengatakan
demikian:”…….iman yang sudah sekali bagi sekalian (Yunani: “apax”)dikaruniakan kepada segala orang
suci” ( Yudas 1:3, TL). Sayang terjemahan baru Alkitab bahasa Indonesia tak menterjemahkan kata
penting “apax” ini dalam Alkitab terjemahan sekarang. Padahal kata ini bermakna bahwa Iman Kristen yang
benar itu adalah “sudah sekali” yaitu sekali pada jaman rasul itu saja diberikan kepada segala orang suci
(Gereja), dan iman yang sekali diberikan kepada Gereja itulah, iman “bagi sekalian” orang dan bagi sekalian
jaman. Berarti sampai kapanpun Gereja itu imannya hanya satu itu dan tak akan pernah berubah.

Jadi jika ada ajaran yang selalu berubah-ubah dan berbeda dengan iman rasuliah sepanjang segala jaman
pastilah itu bukan Injil yang satu itu yang diajarkan. Dan kelompok yang mengaku dirinya Gereja dan
mengikuti ajaran yang beurbah-ubah dan saling kontradiksi itu pastilah bukan Gereja yang benar yaitu
Tubuh Kristus yang hanya satu itu. Tidak ada Wahyu yang bermacam-macam diluar Wahyu di dalam Yesus
Kristus yang satuu itu, dan tak ada ajaran yangbeubah-ubah diluar ajaran yang : sudah sekali bagi sekalian “
itu, serta tak Gereja yang bermacam-macam kecualiu Tubuh Kristus yang hanya satu sejak jaman Rasul itu.
Padahal mengikuti ajaran yang berbeda dengan ajaran rasul yaitu ajaran yang diterima dan dipelihara oleh
Gereja Kristus yang satu dari jaman purba tanpa perubahan itu menyebabkan orang tertimpa kutuk, dosa
dan hukuman ( Galatia 1:8,9, Titus 3:10-11).

Untuk mengetahui keberadaan Gereja Kristus yang berasal dari jaman para Rasul dan tetap memelihara
Iman Rasuliah tak berubah itu, kita perlu melakukan pelacakan Sejarah Umat Awal dari jaman permulaan
sampai kini, dan kita mengambil kesimpulan dari pelacakan ini. Banyak orang telah diberi informasi yang
keliru mengenai keberadaan Gereja Kristus yang Rasuliah dan satu itu dengan pemahaman bahwa Gereja
Purba selalu dianggap berada dibawah ketundukan dengan Sri Paus, dan hanya merupakan bagian dari
Gereja Roma Katolik saja, sedangkan dari pihak denominasi-denominasi Protestan memiliki anggapan yang
serupa pula mengenai segala sesuatu sebelum munculnya Protestantisme dan sesudah zamannya para
rasul, karena latar-belakang sejarahnya yang memang merupakan protes terhadap Gereja Roma Katolik.
Dan segala sesuatu sebelum munculnya Reformasi Protestan dianggap masih termasuk dalam Zaman
Kegelapan. Dalam cara pandang yang demikian ini tentulah orang hanya melihat Kekristenan sebagai
termasuk dalam Katolik Roma atau jika tidak pasti itu termasuk dalam salah satu denominasi-denominasi
Protestan. Itulah sebabnya banyak orang tak dapat meletakkan keberadaan Gereja Rasuliah Purba yang
hanya satu itu secara tepat dalam spektrum Roma Katolik atau Protestan ini.

Gereja Kristus yang Rasuliah dan hanya satu itu bukan bagian dari sejarah Gerakan Reformasi, karena itu
harus berasal dari jaman purba dari awal Kekristenan itu sendiri Itulah sebabnya Gereja Rasuliah Purba itu
bukan termasuk denominasi Protestan. Juga Gereja Purba yang Rasuliah itu tak pernah merupakan bagian
sejarah dan pemikiran yang mempengaruhi benua Eropa Barat yang sangat besar dipengaruhi oleh ajaran
Santo Agustinus, filsafat Skolastikisme sebagaimana yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas dalam
Gereja Roma Katolik, dan yang kemudian juga dikembangkan oleh Martin Luther dan Calvin dalam sejarah
Protestantisme. Yang juga dipengaruhi oleh pemusatan lembaga kepausan, sejarah Rennaisance,
Pencerahan, Reformasi Protestan dan Kontra-Reformasi Roma Katolik serta Revolusi Perancis. Dan oleh
pengaruh-pengaruh itu munculnya pemahaman-pemahaman Iman Gereja Barat baik yang berpusat di
Roma maupun dalam komunitas Protestan. Karena Kristus adealah orang Yahudi dan para RasulNya juga
orang-orang Yahudi, mereka berasal dari Timur Tengah, bukan dari Eropa. Maka Gereja yang Rasuliah
pastilah berasal dari Timur Tengah ini juga.

Maka Gereja Rasuliah ini tak turut ambil bagian dari sejarah Gereja Barat itu, sehingga bukan merupakan
bagian dari Gereja Roma Katolik ataupun komunitas Protestan modern. Jadi bukan termasuk kategori
Gereja Barat. Apalagi secara geografis yang dimaksud Gereja Barat adalah wilayah Gereja sekitar Eropa
Barat, baik sekitar daerah Mediterania maupun daerah-daerah Skandinavia. Sedangkan secara etnis yang
termasuk dalam lingkup Gereja Barat adalah bangsa-bangsa Latin (Itali, Spanyol, Perancis) dan bangsa-
bangsa Anglo-Saxon (Jerman, Belanda, Inggris) serta bangsa-bangsa Skandinavia (Denmark, Swedia,
Skandinavia). Dan jika kita masukkan aliran-aliran Protestan, maka termasuk pula bangsa Amerika dan
Kanada. Padahal jika kita lihat dalam Perjanjian Baru umat dalam Gereja Purba itu adalah bangsa Syria,
Yahudi, Etiopia, dan Yunani, sehingga Gerejanya bukan termasuk Gereja Barat baik secara geografis, etnis
maupun historis dan aqidahnya. Gereja Rasuliah Purba inilah yang disebut Gereja Orthodox dan berasal
dari zaman awal munculnya Kekristenan itu sendiri. Gereja Orthodox adalah Gereja Purba yaitu Gereja
Perjanjian Baru itu sendiri yang masih hadir di dunia ini tanpa berubah baik dalam ajaran, ibadah, maupun
ethos dan cara pemerintahan Gerejanya sejak zaman para Rasul itu sendiri. Sejarah Gereja Orthodox lebih
berlatar-belakangkan zaman Patristik Purba, Zaman Konsili-Konsili Ekumenis dalam lingkup Kerajaan
Byzantium, Munculnya Islam, Penyebaran ke Eropa Timur dan Rusia, Penjajahan Turki, Penyerangan
Bangsa Tartar, Penjajahan Komunis, Kemerdekaan negara-negara Balkan, dan sampai kepada zaman
modern ini.

Yang ikut ambil bagian dalam latar-belakang sejarah Gereja Orthodox di Timur ini adalah Gereja-Gereja
Timur lainnya yaitu Gereja-Gereja yang disebut Monofisit atau Oriental Orthodox atau Non-Kalsedon
(Koptik, Syria-Yakobit: di Indonesia ini dipromosikan dengan Nama Kanisah Orthodox Syria oleh “YAYASAN
Study Orthodox Syria” pimpinan sdr. Bambang Noorsena S.H. yang tadinya adalah mantan anggota Gereja
Orthodox Indonesia; kemudian Armenia, Ethiopia, dan Thomas India) serta Gereja yang disebut Nestorian
(“Gereja Timur Assyria”, “Pre-Efesus”).

Istilah “Orthodox” bukanlah nama aliran Gereja, karena sebenarnya Gereja Orthodox tak
mempunyai nama. Orthodox berasal dua kata Yunani “orthos = lurus, benar” dan “doxa =
pengajaran, pendapat, kemuliaan.” Jadi “orthodoxa” artinya adalah “ajaran yang lurus.”
Untuk mengetahui Gereja Orthodox ini secara baik kita harus melacak 2000 tahun sejarah Gereja itu
sampai kini. Dengan demikian kita dapat melokasikannya secara benar dalam spektrum Roma Katolik-
Protestan itu.

Agar kita dapat mengetahui lebih jelas dan mendalam tentang Gereja Kristus yang sejati ini, marilah kita
membahas mengenai sejarah Gereja Orthodox selama 2000 tahun itu dalam bagiannya yang pertama.
Namun sebelumnya akan kita bicarakan latar-belakang sejarah keselamatan yang direncanakan Allah sejak
zaman Adam sampai dengan datangNya Yesus Kristus di dunia itu. Kemudian pembahasan sejarah itu akan
kita bagi dalam lima bagian. Bagian pertama adalah awal perkembangan Iman Kristen sebagai fondasi dari
keberadaan Gereja Orthodox selanjutnya. Bagian kedua akan membahas masa perumusan theologi Kristen
yang Orthodox mengenai dua-kodrat dari Kristus yang satu dalam Konsili-Konsili Ekumenis Gereja Purba.
Bagian Ketiga akan membicarakan situasi Gereja Orthodox sesudah Konsili-Konsili Ekumenis, sampai
jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki. Bagian Keempat adalah Masa penjajahan Turki atas ummat
Orthodox sampai akhir masa penjajahan Turki itu. Dan Bagian kelima akan membahas situasi Gereja
Orthodox di abad kedua puluh dan kedua puluh satu ini serta munculnya Gereja Orthodox di Indonesia.

Disamping tentang sejarahnya, buku ini dalam bagiannya yang kedua juga akan membahas tentang aqidah
dan keyakinan Iman Gereja Orthodox berdasarkan Syahadat (Pengakuan Iman ) Nikea, yang dirumuskan
pada Konsili Ekumenis Pertama tahun 325 dan yang diratifikasikan pada Konsili Ekumenis Kedua tahun
381. Rumusan yang mana mrupakan garis besar dari ajaran Rasuliah sebagaimana yang tercatat dalam
Alkitab dan yang selalu dipercayai oleh Gereja Universal yang Orthodox. Dalam bagian tentang aqidah atau
pengajaran dan keyakinan iman itu pembahasan akan dibagi dalam bagian-bagian mengenai : Allah, karya
Allah, Ciptaan: Malaikat, Iblis dan roh-roh jahat, serta penciptaan manusia. Kemudian dilanjutkan dengan
pembahasan mengenai Yesus Kristus dan karyaNya, makna keselamatan yang diakibatkan oleh karya
Yesus Kristus, serta Roh Kudus dan karyaNya, termasuk makna Gereja, sakramen-sakramen, kehidupan
sesudah mati dan hari kiamat yang ditandai dengan dengan kedatangan Yesus Kristus yang kedua untuk
menegakkan Kerajaan yang kekal.

Bagian yang ketiga dari pembahasan buku ini adakah mengenai kehidupan Ibadah dari Gereja Orthodox
itu. Termasuk di dalamnya adalah mengenai simbolisme Gedung gereja Orthodox, simbolisme kedudukan
para rohaniwan Orthodox. Makna Sakramen-Sakramen Gereja Orthodox, Sholat harian tujuh kali sehari,
Puasa dalam Gereja Orthodox serta zakat persepuluhan. Dan tertib-tertib ibadah lainnya, termasuk yang
menyangkut kelahiran, kematian, pengudusan rumah, serta doa-doa yang menyangkut seluruh kebutuhan
kehidupan.

Bagian yang keempat atau yang terakhir dari buku ini akan membahas tentang kehidupan akhlak dan
moral Orthodox sebagai akibat suatu praktek kehidupan yang diakibatkan oleh iman kepada aqidah serta
pelaksanaan ibadah dalam kehidupan.

Dengan demikian buku ini akan menjadi timba yangmenolong orang dapat mengambil air kebenaran yang
sulit dan dalam dari Sumur Kitab Suci, agar orang menemukan kebenaran sejati, dengan demikian
diselamatan
BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Mon Dec 24, 2007 12:08 pm

Sejarah Gereja Ortodox Sejak Abad Pertama :


Zaman Rasul-rasul Sampai Kini

A. Zaman Purba

Masa Pembentukan: Tiga Abad yang pertama : dari Yesus Kristus s/d Konstantinus Agung

Abad 1 s/d Awal Abad 4:

Gereja mulai muncul diatas dunia ini sejak Yesus Kristus diturunkan Allah dari sorga, sebagai Kalimatullah
( Firman Allah ) yang menjelma menjadi manusia ( Yohanes 1:14, Galtia 4:4). Selama lebih kurang tiga
setengah tahun Beliau mengajar dan berkarya, dan berpuncak pada peristiwa sengsara, penyaliban,
kematian, penguburan, kebangkitanNya secara jasmani dari antara orang mati, serta kenaikanNya ke
sorga. Peristiwa sengsara s/d kebangkitan ini akhirnya menjadi isi pokok berita (kerygma) dari para murid
setiaNya yang disebut Para Rasul, yang menyebarkannya sesudah peritiwa turunNya Roh Kudus yang
dijanjikan Almasih atas mereka, pada hari Pentakosta ( Kisah 2). Dan kesengsaraan s/d kebangkitan Sang
Kristus itulah inti Injil, yang semula diberitakan secara lisan.Karena Kristus tak pernah menulis Kitab
ataupun menerima Kitab dari sorga, maka Dia tak meninggalkan Kitab apapun pada para rasulNya ini,
karena Dia sendiri adalah Firman Allah yang menjadi manusia. Kerygma Rasuliah secara lisan itu mula-mula
disebarkan hanya disekitar daerah Palestina saja, dan akhirnya menjadi ajaran lisan komunitas yang baru,
yang disebut sebagai : Ekklesia, yang dari sinilah timbul kata Gereja ( berasal dari bahasa Portugis Igreja,
sepadan dengan kata Spanyol : Iglesia, yang jelas berasal dari kata Ekklesia itu).

Para Rasul itu akhirnya menyebar kemana-mana, mulai dari Yerusalem dan seluruh Palestina, kemudian ke
seluruh Siria, dan Asia Kecil ( kini negara Turki) serta Yunani dan Afrika Utara terutama di Alexandria (Mesir)
dan Karthago ( Libia). Inilah batas sebelah barat dunia Timur pada saat itu. Sedangkan ke Timur lagi Injil
tersebar ke Edesa, Mesopotamia ( Irak, Babilon), dan Persia, yaitu daerah Siria Timur, karena yang
menerima Injil di daerah timur ini adalah suku-suku yang berbahasa Siria, sampai ke India Selatan.
Sedangkan ke Barat lagi Injil diterima di benua Eropa Barat dari Roma di Itali, Spanyol, dan yang nantinya
akan berkembang ke seluruh Eropa.

Dengan demikian kita melihat Injil tersebar dari Timur ke Barat dan di seluruh benua: Asia, Afrika dan
Eropa. Memang Iman Kristen itu pada dasarnya adalah Agama Timur ( Timur Tengah). Pada saat inilah
dokumen-dokumen yang akhirnya menjadi Kitab Suci Perjanjian Baru mulai dituliskan oleh para rasul
sebagai pemimpin Gereja itu kepada Gereja-Gereja ( Roma. Korintus, Galatia, Efesus, dll.) dan para
pemimpin Gereja sebagai murid mereka secara langsung ( Titus, Timotius, Filemon, dll) yang telah mereka
dirikan dan mereka pilih itu. Gereja ( Ekklesia) telah ada lebih dulu sebelum Kitab Suci ( Perjanjian Baru)
dipakemkan. Pada saat ini orang-orang non-Yahudi mulai diterima sebagai anggota ummat Allah, setelah
penyelesaian masalah penerimaan mereka, dan penyelesaian masalah dogmatis mengenai kedudukan
Taurat, dalam Rapat Agiung (Konsili) para Rasul yang pertama di Yerusalem (Kisah 15). Konsili segenap
Gereja inilah yang menjadi landasan adanya Konsili-Konsili di sepanjang sejarah Gereja itu. Orang-orang
yang berobat itu hanya perlu beriman kepada Yesus Kristus tanpa harus menjadi Yahudi dengan mengikuti
ritus-ritus Taurat, lalu dibaptiskan serta menjadi anggota Ekklesia yang dipimpin/ digembalakan oleh para
“Presbyter” (“Penatua”) dan “Episkop (“Penilik Jemaat”) –Kisah 20:17,28 -, yang mereka ini menerima
pentahbisan dari para Rasul sendiri ( Kisah 14:23), sebagai mata-rantai pelanjut-ganti pelayanan rasuliah.

Para Rasul sendiri tidak menjadi “Gembala” ( “Episkop/Presbyter”) secara lokal dari Gereja lokal tertentu
secara permanen dimanapun. Masing-masing kelompok ekklesia itu memiliki ciri khasnya dan masalah-
masalahnya sendiri, sebagaimana yang dapat kita baca dalam Perjanjian Baru. Namun seluruh ekklesia
diapnggil untuk memegang doktrin yang sama dan melaksanakan akhlak hidup dan ibadah yang sama
pula. Pada zaman awal ini Gereja harus menghadapi ajaran sesat pen-Taurat-an Injil yang segera dapat
diselesaikan, serta pe-mythologi-an Injil dalam wujud aliran “gnostikisme” yang hendak mencampur-
adukkan Injil dengan ajaran kafir Yunani-Romawi. Dengan keras para Rasul harus melawan ini
sebagaimana yang kita lihat dari tulisan-tulisan Rasul Yohanes dan Rasul Paulus. Dengan kematian para
rasul semuanya menjadi martyr (syuhada), kecuali Rasul Yohanes yang meninggal karena umur tua, Gereja
berlanjut dipimpin oleh para murid rasul itu.

Penganiayaan yang sudah dimulai oleh Nero pada zaman Rasul Paulus dan Petrus berlanjut sampai abad
kedua. Saat ini Iman Kristen dianggap “Agama Tidak Sah “ (“Religio Illicita”) di seluruh Kekaisaran Roma.
Mereka adalah penjahat dimata pemerintah Roma,karena menolak menyembah kaisar sebagai “tuhan” dan
“ilah”. Sedangkan orang Kristen yang berada disebelah timur Mesopotamia yaitu dibawah Kerajaan Agung
Persia, juga mengalami aniaya karena cemburu dari para pendeta agama Zoroaster, agama resmi negera
Persia. Orang Kristen di Kekaisaran Roma dituduh” memberontak terhadap negera, pembunuh bayi-bayi
dan memakan daging dan minum darah mereka (“ Makan dan Minum Daging dan Darah Anak Manusia”).
Penganiayaan ini bersifat sporadis, mereka tak perlu dikejar-kejar namun jika ketahuan mereka harus
dihukum.

Diantara para pemimpin yang menderita dari aniaya abad ini adalah : Ignatius dari Antiokia, pengganti
ketiga dari Rasul Petrus di Antiokia, Syria, sebagai Episkop ( 110 Masehi), Polykarpus, Episkop dari Smyrna,
yang adalah murid Rasul Yohanes ( 156 Masehi) dan Yustinus Martyr (Syuhada). Yustinus Martyr ini
memiliki seorang murid dari Syria bernama Tatianus. Dia pulang ke Syria setelah kematian Yustinus dan
menterjemahkan Injil dari bahasa asli Yunani ke bahasa Syria, dalam bentuk yang diurutkan sesuai dengan
urutan cerita, bukan empat bentuk terpisah seperti yang kita kita kenal, dan terjemahan ini terkenal
sebagai “Diatessaron” , dan inilah Injil yang digunakan oleh Gereja Syria untuk waktu yang lama sampai
akhirnya diganti dengan keempat Injil seperti seluruh Gereja lainnya, dalam bentuk terjemahan “Peshitta”,
yang menjadi Kitab Suci Gereja Syria sampai sekarang.

Disamping itu Gereja Syria menggunakan Perjanjian Lama bukan dari terjemahan Ibrani atau Septuaginta,
namun dari Targum Aramia dari Perjanjian Lama yang berlaku di Babilonia. Ajaran Tatianus ini dipengaruhi
oleh aliran gnostik “enkraitisme” yang menekankan pelajangan, dan asketisisme. Para pemimpin Kristen
awal ini meninggalkan tulisan-tulisan yang bersama dengan “Didakhee”, “Surat Kepada Diognetus”,
“Surat-Surat Klemen dari Roma” , “Surat Barnabas” (bukan Injil Palsu Barnabas yang dipromosikan
Islam!!!), “Gembala Hermas” , serta tulisan-tulisan pembelaan iman (apologetik) dari Athenagoras dari
Athena, Melito dari Sardis, serta Theofilus dari Antiokia serta dari theoloog yang terbesar dari abad
kedua Ireneus dari Lyons, semuanya tadi memberikan gambaran yang jelas sekali mengenai iman dan
kehidupan dari Gereja Perjanjian Baru yang berlanjut sampai abad kedua itu.

Perkembangan yang paling penting pada abad kedua ini adalah munculnya para pembela iman
( “apologist” ), yang membela Iman Kristen dari serangan Agama Yahudi, Agama Kafir Berhala, serta Bidat-
bidat yang muncul di sekitar Gereja. Juga berkembangnya Aqidah (Doktrin) Gereja serta permulaan
Theologia sesudah zaman Rasuliah, ditegakkannya pemerintahan Gereja bagi masing-masing jemaat lokal
yang dipimpin oleh Episkop (”Penilik Jemaat” ), Presbyter (“Penatua”) dan Diakon. Zaman ini pula fondasi
pertama dari Ibadah dan Liturgi Kristen serta kehidupan Sakramental Gereja yang berlandaskan dari
Ibadah Israel namun yang sudah terpisah dari Synagoga (Rumah Ibadah Yahudi) dan mulainya
pembentukan Kitab Suci dari Gereja Perjanjian Baru itu terjadi.

Pada akhir abad pertama dan permulaan abad kedua banyak tulisan palsu mengenai Kristus bermunculan.
Tulisan-tulisan ini disebut tulisan-tulisan ‘apokrifa” ( jangan dikacaukan dengan “Anaginoskomena’ dari
Perjanjian Lama!!) serta tulisan-tulisan “pseudopigrafa” . Biasanya tulisan-tulisan memakai nama salah
seorang rasul dan memasukkan dongeng-dongeng aneh mengenai masa kecil Yesus Kristus, kehidupan
Perawan Maryam dan kegiatan-kegiatan karya para rasul. Dan sebagaian daripadanya menjadi kisah dalam
Al-Qur’an terutama tentang masa kecil Kristus. Bersama dengan itu, muncul pula aliran “gnostikisme” ,
yaitu suatu bidat Kristen yang mengubah iman Kristen menjadi semacam ajaran kebatinan.

Dalam melawan ajaran bidat gnostik inilah Gereja yang Rasuliah itu menyebut ajaran asli yang rasuliah itu
sebagai ajaran (“doxa”) yang “lurus” (“orthos”) , Ortho+ doxa = Orthodox.

Sedangkan ajaran “gnostik” itu sebagai ajaran (“doxa”) yang berbeda atau menyimpang (“heteros”), hetero+
doxa = Heterodox. Akibat dari melawan ajaran gnostik inilah munculnya theologia dari
para “apologis” (“pembela-iman”). Jauh di sebelah timur di dearah Syria, Bardaisan adalah penulis yang
terkenal mengenai masalah theologi. Namun dia mencampur-adukkan Injil dengan astrology dan
mythologi, dan ajarannya tentang Allah kedengaran sangat aneh. Allah adalah satu yaitu Bapa, Roh Kudus
adalah berjenis wanita sebagai “Bunda Kehidupan”, dan Anak Allah adalah keturunan dari Bapa dan Roh
Kudus, Sang Bunda Kehidupan.Sehingga akhirnya Bardaisan dari Syria inipun dikucilkan dari Gereja.

Akibat dari ajaran Gnostik ini pada para apologis adalah penekanan “ mata-rantai rasuliah” (“suksesi
apostolik”, “silislah rasuliah”) sebagai penjamin ajaran yang benar dan tak terputus dari para rasul, yang
diterus-sampaikan secara tak terputus dari gereja kepada gereja, dari generasi kepada generasi, dari
tempat ke tempat, dan penerus-sampaian tanpa putus dari zaman rasuliah ini disebut sebagai “Paradosis”
atau “Traditio”.

Dan penyampaiannya itu dilakukan melalui pentahbisan dari para Episkop yang dapat dilacak dari mata
rantai pentahbisan sejak zaman rasul-rasul. Dan para Episkop ini pengajaran dan prakteknya itu identik
antara satu dengan yang lain, dan secara bersama ajaran mereka itu identik dengan ajaran para rasul
Yesus Kristus sendiri. Sebagai akibat yang lain, Gereja mulai kokoh dalam keputusannya tulisan-tulisan
mana yang menjadi bagian kanon Kitab Suci berdasarkan :

1.tulisan-tulisan itu harus berasal dari zaman rasul.


2. harus ditulis oleh rasul sendiri atau teman/murid dekat mereka
3. harus sesuai dengan ajaran rasuliah tanpa putus yang disampaikan sebagai paradosis dalam
Gereja
4.harus digunakan secara merata di seluruh gereja sejak awal
5. harus mengajarkan kesucian dan bukan dongeng-dongeng gnostik.

Dari kriteria inilah akhirnya tersaring dari tulisan-tulisan rasuliah purba itu 27 kitab yang akhirnya kita kenal
sebagai “Kitab Suci Perjanjian Baru” itu. Dan Kitan Suci Perjanjian Baru inilah yang berisi “Berita Gembira”
(“Evanggelion”, “Evanggel”, “Injil”) tentang Yesus Kristus, Firman Allah yang menjadi manusia itu. Karena
memang Injil itu pada mulanya bukanlah suatu Kitab macam apapun namun peristiwa dan karya Almasih
yang diberitakan secara lisan oleh para muridNya yang diberi gelar sebagai “apostolos” (“orang yang diutus”
atau “rasul”) itu.
Dalam tulisan-tulisan para apologis, para martyr (syuhada) dan para kudus dari abad kedua ini kita ketahui
bahwa masing-masing jemaat Kristen lokal itu dipimpin oleh seorang Episkop/Uskup ( Penilik Jemaat) yang
dilaksanakan oleh para Presbyter/ Imam ( “Penatua”) dan dilayani oleh Para Diakon. Terutama dalam
tulisan-tulisan Ignatius ( Magnesia 6:1, Filadelfia 4, Smyrna 8:2). Ignatius juga mulai menggunakan istilah
“Katholik” untuk menyebut sifat Gereja. Ini berasal dari kata “ Kath’ (menurut, sesuai dengan) dan “holon “
( sepenuhnya, kepenuhan). Ini adalah kwalitas sifat yang menjelaskan bagaimana Gereja itu, jadi bukan
nama suatu agama, misalnya:Roma Katolik, Anglo-Katolik, Katolik Bebas, Katolik Lama,dll. Dan kata ini
(Katholik =Kath + Holon) bermakna kwalitas sifat gereja itu adalah penuh, sempurna, lengkap, utuh, tanpa
kekurangan apapun di dalamnya dari kepenuhan kasih-karunia, kebenaran dan kekudusan Allah.
Demikianlah Gereja Rasuliah Perjanjian Baru pada abad yang kedua itu mulai menyebut dirinya sebagai
Gereja yang “katholik” artinya bukan sekte-sekte yang main comot sana-sini dari kepenuhan dan keutuhan
ajaran Rasuliah itu. Demikian juga Gereja purba itu disebut sebagai “Orthodox” artinya bukan yang
menyimpang dari ajaran Rasul tadi.

Dalam “Didakhee” dan “Pembelaan dari Yustinus Martyr” dan “Ireneus” ditemukan juga penjelasan
mengenai bagaimana ibadah Kristen zaman abad kedua itu dilakukan, terutama ibadah hari Minggu yang
berpusat pada kotbah dan Perjamuan Kudus, dan juga tentang baptisan.

Menginjak pertengahan abad ketiga, yaitu tahun 249 Kaisar Desius naik tahta, dia mengadakan
penganiayaan secara universal, dan penganiayaan itu dilanjutkan sampai zaman Kaisar Valerianus (253-
260). Orang Kristen dipaksa mempersembahkan korban kepada patung kaisar sebagai “tuhan” dan “ilah”,
para rohaniwan Kristen harus dikejar dan dibunuh, harta milik Gereja harus disita. Baru di zaman Gallenius,
anak dari Valerianuslah penganiayaan dihentikan .Pada saat itu perkembangan yang luar biasa terjadi
dalam Gereja. Namun penganiayaan yang berat itu mengakibatkan suatu krisis besar dalam Gereja. Timbul
pertanyaan dalam Gereja mengenai bagaimana memperlakukan orang-orang yang selama masa aniaya itu
karena diancam rela mempersembahkan korban pada patung kaisar, mereka ini disebut kaum “lapsi”. Ada
yang melarang mereka masuk Gereja lagi, ada yang bersikap agak lunak. Akibatnya terdapat beberapa
kelompok garis-keras yang menganggap Gereja terlalu lunak akan masalah para “lapsi” itu yang
memisahkan diri dari Gereja Rasuliah Perjanjian Baru yang “Orthodox” dan “Katholik” itu.

Diantara mereka yang memisahkan diri dari Gereja adalah Tertulianus (c. 220 ), penulis agung dan peletak
dasar Theologia Latin di Gereja barat dari Afrika utara. Dia menggabung dengan gerakan bidat yang
didirikan Montanus yang telah mulai pada akhir abad kedua, dan menyatakan diri sebagai Gereja “Nubuat
Baru” dari Roh Kudus yang lebih sempurna dari Gereja ‘Perjanjian Kedua” ( Perjanjian Baru) dari Kristus. Ciri
gerakan Montanisme ini adalah penekanan pada “karunia lidah” dan “nubuat-nubuat” serta penekanan
bahwa Kerajaan Seribu Tahun akan segera datang di pulau Frigia, Asia Kecil.

Pembela agung Gereja Rasuliah yang Orthodox dan Katholik ini pada saat itu adalah Kiprianus dari
Karthago (meninggal tahun 258). Dia meninggal sebagai Martyr setelah membela Gereja Rasuliah yang
Orthodox dan Katholik itu melawan aliran garis keras yang memisah dari Gereja karena masalah kaum
“lapsi” tadi. Aliran yang dilawan dalam tulisan-tulisan Kiprianus ini adalah aliran “Novatianisme” yang
didirikan oleh “Novatianus” yang berada di Roma. Novatianus menyebut alirannya sebagai “ Gereja Murni”.
Kiprianus membela Gereja Rasuliah yang Orthodox dan Katholik itu dengan menekankan perlunya “mata-
rantai rasuliah” dalam ajaran dan “mata-rantai rasuliah” dalam pentahbisan para episkop dalam melawan
apa yang disebut sebagai gereja-gereja “murni” yang hanya bersifat rohani yang abstrak dan tak nampak
mata dari orang yang merasa dirinya lebih baik dari Gereja Rasuliah yang Orthodox dan Katholik itu,serta
yang mengangkat-angkat diri sendiri ini. Dia menekankan bahwa Gereja Kristus itu ada bagi penyembuhan
orang berdosa, dan Kiprianuslah yang mengatakan juga bahwa “extra ekklesia nulla salus est “ (diluar
Gereja,- yaitu diluar persekutuan kongkrit dari ummat yang percaya secara pribadi kepada Kristus dibawah
pimpinan rohani Episkop dan berlandaskan suksesi rasuliah disekitar meja perjamuan kudus dan
pemberitaan firman oleh presbyter – tidak ada keselamatan ).
Abad ketiga ini menyaksikan juga perkembangan theologi secara formal dengan didirikannya sekolah
theologia di Alexandria, Mesir oleh Pantaenus dan Klemen dari Alexandria ( meninggal kira-kira tahun
215 ). Yang akhirnya dikepalai oleh seorang penulis, sarjana, dan theoloog termasyhur: Origenes
( meninggal tahun 253). Theologi Alexandria ini menekankan bahwa filsafat Yunani yang non-Kristen itu
dapat digunakan sebagai alat untuk menjelaskan Injil. Dan ciri khas dari pendekatan Alexandria ini adalah
tafsiran secara alegoris terhadap Kitab Suci, sedangkan dalam tradisi Syria-Antiokhia yang tak lama
kemudian akan berkembang adalah tafsiran harafiah berdasarkan tata-bahasa dan sejarah penulisan Kitab
Suci.

Kedua pendekatan ini akhirnya akan bertemu dalam konflik, pada abad-abad berikutnya. Karya Origenes
itu sangat luar biasa dan tak terhitung jumahnya. Dialah yang pertama kali mengadakan kajian sistimatis
dan sastrawi dari buku-buku dalam Alkitab. Karya Origenes ini akan menjadi fondasi karya-karya theologia
para bapa-bapa Gereja Yunani pada abad-abad berikutnya. Namun demikian secara ajaran banyak
pendapat Origenes yang ditolak oleh Gereja, karena tak Alkitabiah dan tak rasuliah, sehingga pada Konsili
Ekumenis V (tahun 553), beberapa ajaran Origenes dinyatakan sesat oleh Gereja.

Diantara pakar-pakar theologia abad ke 3 yang harus disebutkan bersama dengan Tertulianus, Kiprianus,
Klemen dan Origenes adalah Dionysius dari Alexandria ( wafat 265), Hippolytus dari Roma (wafat
235) Gregorius Pelaku Mukjizat di Kappadokia ( wafat 270) dan Methodios dari Olympus ( wafat 311)
Orang-orang ini semuanya memperkembangkan theologia Kristen Orthodox terutama meletakkan
landasan bagi pembahasan tentang Allah yang Esa dalam hubunganNya dengan Kalimatullah dan Rohullah
sendiri yang terkenal sebagai ajaran Tritunggal Kudus yang dalam abad berikutnya akan menjadi
pembahasan hangat dalam Gereja. Paulus dari Samosata dan Lukianus (Lusian) dari Antiokia terkenal
akan ajaran bidatnya mengenai sifat ke-Tritunggal-an Allah.

Mereka ini hidup pada akhir abad ketiga. Dari abad ketiga ini kita juga mendapatkan tulisan-tulisan yang
menolong kita untuk melihat kehidupan liturgis dan kanonik dari Gereja Rasuliah yang Orthodox dan
Katholik ini pada abad ketiga itu, yaitu: Pengajaran-Pengajaran Para Rasul dari Siria serta Tradisi
Rasuliah karya Hippolytus dari Roma ( wafat tahun 235). Tulisan yang pertama itu memberikan
peraturan-peraturan mengenal jabatan hirarkis serta praktek-praktek sakramental dalam Gereja Syria,
serta menjelaskan pertemuan liturgis jemaat. Dan tulisan kedua menjelaskan hal yang sama yang berlaku
di Gereja Roma dengan lebih panjang dan detail.

Abad keempat dimulai dengan penganiayaan yang paling besar yang diarahkan kepada Gereja oleh
Kaisar Diokletianus. Daftar Syuhada atau Martyr yang paling panjang berasal dari abad ini. Setelah
surutnya Diokletianus, terjadilah perebutan kekuasan dalam Kerajaan Romawi. Pada tahun
312, Konstantinus menghadapi peperangan melawan Maxentius. Sebelum peperangan di Jembatan
Milvianus di Roma, Konstantinus berdoa, serta mendapat penglihatan Salib Bersinar di langit dengan
tulisan: Dengan Tanda Ini, Kalahkan. Dia memerintahkan para prajuritnya untuk mengenakan tanda salib
ini pada perisai dan jubah mereka, Konstantinus memenangkan peperangan itu. Konstantinus segera
bergerak untuk memberikan kebebasan kepada orang-orang Kristen, serta menunjukkan
kecenderungannya kepada Iman Kristen. Sebelum kematiannya Konstantinus membangun suatu kota
di Byzantium bagi ibu-kota yang baru dari Kerajaannya itu, dan kota itu
disebut “Konstantinopel“ (kini: ”Istambul” , di Turki) untuk menghormatinya. Konstantinus sendiri baru
dibaptiskan diatas ranjang menjelang kematiannya pada tahun 337. Bersama dengan ibunya Maharatu
Heleni, dia menemukan Salib Asli Kristus di Yerusalem, serta keduanya diakui sebagai orang suci dalam
Gereja Orthodox sampai kini.

Iman Kristen diakui sebagai agama resmi Kerajaan Byzantium pada tahun 380, oleh ketetapan
Kaisar Theodosius. Dengan demikian Kekaisaran Romawi terbagi dalam dua bagian: Romawi Barat
berpusat di Roma dan Romawi Timur berpusat di Konstantinopel. Pembagian Kerajaan menjadi Barat dan
Timur ini, akhirnya membentuk perkembangan wilayah Gereja menjadi Gereja Barat berpusat di Roma dan
Gereja Timur yang berpusat di Konstantinopel, Alexandria, Antiokhia dan Yerusalem. Sementara itu ummat
Kristen Syria yang tinggal di Kekaisaran Persia, makin mengalami aniaya karena dicurigai sebagai antek
musuh Kerajaan Persia, karena sekarang Kerajaan Romawi musuh bebuyutan Persia, telah menjadi Kristen:
Kerajaan Byzantium.

BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Mon Dec 24, 2007 12:20 pm

B. Zaman Konsili

Masa Konsili –Konsili Agung Ekumenis Gereja Rasuliah Yang Satu dan Orthodox : abad ke IV ( tahun
325) s/d abad ke VIII (tahun 787).

Pada saat pemerintahan Konstantinus ini Gereja mendapatkan kembali harta miliknya, serta terbebas dari
aniaya dari luar. Namun ketenteraman Gereja ini segera diganggu oleh munculnya bidat-bidat yang berasal
dari dalam. Pertama adalah munculnya aliran perpecahan Donatisme di Afrika Utara, yang dipimpin oleh
Donatus, yang menolak Episkop terpilih di Karthago yang dianggap termasuk golongan “lapsi” pada saat
penganiayaan zaman Diokletianus. Bukannya Konstantinus membiarkan Gereja untuk menyelesaikan
masalahnya sendiri, dia menggunakan kekuatan militer untuk memihak, pada pertama kalinya pihak
Donatis, dalam memaksakan keputusannya. Perpecahan Donatisme ini menyebabkan lenyap-punahnya
Gereja Afrika Utara (Libia, Moroko, Aljazair) yang dulu pernah jaya.

1. Konsili Agung Ekumenis Pertama ( 325 Masehi) di Nikea dan Kedua (381) di Konstantinopel

Kemudian muncul masalah dari Alexandria, Mesir. Arius seorang presbiter mengajarkan bahwa Allah yang
Esa itu hanya Bapa saja, Anak Allah yang akhirnya menjelma menjadi manusia Yesus Kristus, adalah
makhluk pertama dan yang terluhur yang diciptakan Allah dalam wujud roh. Dibantu oleh ciptaan
pertama ini Allah menciptakan ciptaan yang lain. Dia bukan Firman Allah (Kalimatullah) yang kekal yang
berada satu di dalam Allah sejak kekal. Ajaran ini jelas bertentangan dengan ke-Esa-an Allah, sebab Allah
Yang Esa, tak pernah dan tak mungkin dibantu oleh makhluk siapapun dalam mencipta, karena Dia
mencipta langsung melalui FirmanNya sendiri yang berada satu di dalam DiriNya. Ajaran ini jelas
mempersekutukan Allah dengan makhluk, inilah ajaran musyrik. Ajaran Arius yang disebut  Arianisme ini
(yang di zaman modern ini dimunculkan kembali oleh Saksi-Saksi Yehuwah) menimbulkan keresahan
dalam Gereja.
Akhirnya sebagaimana di zaman Para Rasul, Gereja Rasuliah Purba yang Orthodox pada abad keempat
inipun menyelesaikan masalah ini dalam Konsili, yang diadakan di kota Nikea pada tahun 325, dipanggil
oleh raja Konstantinus. Seluruh pemimpin Kristen (dihadiri 318 Episkop) dari segenap “Oikumene” ( “dunia
yang beradab”) dari Gereja yang satu dan tidak terpecah-pecah itu, berkumpul mengadakan Konsili Agung
yang pertama ini. Itulah sebabnya Konsili ini disebut “Konsili Ekumenis.” Setelah melalui doa dan
pembahasan theologis yang mendalam berdasarkan iman rasuliah, Konsili menemukan rumusan
berdasarkan data Kitab Suci bahwa “Kalimatullah” (Logos), Firman, atau Anak Allah itu kekal dan ilahi,
Dia diperanakkan (dikeluarkan dari dalam dzaat-hakekat) dari Bapa sendiri sejak kekal, bukan dijadikan
dan bukan diciptakan. Dia berada satu di dalam Dzat-Hakekat Bapa yang satu itu. Dia adalah  ”homo-
ousios” ( = satu dzat-hakekat, satu essensi) dengan Bapa. Dengan demikian Dia adalah “Allah Sejati” ,
karena Dia adalah Firman Allah/Kalimatullah yang sejati, yang keluar dari “Allah Sejati” (Sang Bapa), yang
melaluiNya (sebagai Firman Allah) segala sesuatu dijadikan oleh Allah. Firman Allah yang kekal dan yang
sama inilah, tanpa meninggalkan kesatuannya dalam Dzat-Hakekat Allah telah diutus turun ke bumi oleh
Allah, mengambil daging kemanusiaan, dan lahir sebagai manusia dari Sang Perawan Maryam oleh Kuasa
Roh Kudus, sebagai manusia Yesus Kristus (Yoshua Ha-Masiah, Isho de-Mesiha, Isa Almasih): Mesias Israel
dan Juru Selamat dunia. Namun keputusan Konsili ini tidak segera diterima oleh seluruh Gereja sampai
masa waktu yang lama. Pertikaian mengenai pribadi Kristus terus berlanjut, sehingga banyak konsili-konsili
lokal diadakan untuk membahas masalah ini. Pihak Arianisme mendapat dukungan kuat dari kekuasaan
pemerintah, sedangkan para pembela Iman Orthodox sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Konsili
Nikea itu sangat dianiaya dan dibunuh oleh pemerintah dan pendukung-pendukung bidat Arianisme ini.

Masalah ini berlanjut sampai tahun 381, ketika diadakan Konsili Ekumenis yang kedua di Konstantinopel,
untuk menyelesaikan masalah bidat baru yang dimunculkan oleh Makedonius, yang disebut
bidat Makedonianisme. Makedonius mengajarkan bahwa Roh Kudus yang adalah Roh Allah sendiri itu
bukan ilahi dan tidak kekal. Dia hanya daya-aktif Allah saja (seperti yang juga diajarkan Saksi-saksi
Yehuwah). Berdasarkan data-data Kitab Suci dan Iman Rasuliah yang selalu dipelihara Gereja Orthodox ini,
maka Konsili mendeklarasikan bahwa Roh Kudus itu adalah ilahi (“Tuhan”) , yang “keluar dari
Bapa” berarti berada satu di dalam Dzat-Hakekat Bapa bersama Firman Allah sendiri, sehingga “bersama
Bapa dan Putra” artinya sebagaimana Putra sebagai Firman Allah sendiri itu berada satu dalam Hakekat
Bapa, demikianlah Roh Kudus sebagai Roh Allah sendiripun satu bersama kesatuan Putra dalam Bapa,
dalam satu Hakekat Ilahi yang sama “disembah dan dimuliakan” . Demikianlah keilahian Firman
Allah/Putra dan Roh Allah/Roh Kudus ditekankan namun ke-Esa-an Allah tak dilanggar. Karena baik Firman
maupun Roh itu berada satu di dalam hakekat Allah (Bapa) yang hanya satu itu. Pada saat inilah rumusan
Konsili Pertama dan Kedua ini baru diteguhkan kembali menjadi satu rumusan Pengakuan Iman (Syahadat),
yang menjadi Pengakuan Iman Orthodox sampai sekarang dengan nama “Pengakuan Iman (Syahadat)
Nikea”.

Para tokoh spiritual (bapa-bapa Gereja) yang sangat berjasa membela Iman Rasuliah yang Orthodox,
menentang Arianisme dan Makedonianisme pada saat ini adalah Bapa “Aghios Athanasius
Agung” Episkop dari Alexandria,Mesir (meninggal tahun 373) yang banyak mengalami aniaya dari
kelompok Arianisme dan pemerintah, serta tiga Episkop dari Kappadokia (Asia Kecil) Bapa “Aghios Basilius
Agung” (wafat: 379), saudara laki-lakinya Bapa “Aghios Gregorius dari Nyssa” serta sahabat mereka
berdua Bapa “Aghios Gregorius Nazianzus Pakar Theologia” (wafat: 389). Mereka ini banyak menderita
aniaya dari pemerintah dan pengikut Arianisme, namun tanpa takut mereka menjelaskan Iman Kristen
yang sejati tentang Keilahian Kristus dan Roh Kudus di dalam kesatuan hakekat dari Allah yang Esa (Bapa),
yang sampai sekarang tetap menjadi standard aqidah ajaran dan theologia Gereja Orthodox.

Pada saat pertikaian Arianisme ini Gereja tidak berhenti dalam menyebarkan Injil, sehingga seorang
rohaniwan yang bernama Ulfilas dikirim dari Gereja Timur di Konstantinopel untuk menginjili suku-suku
bangsa Jerman dan menterjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa itu. Namun karena yang mendapat
dukungan pemerintah saat ini adalah kelompok Arianisme, yang diajarkan kepada suku-suku Jerman ini
adalah theologia Arius mengenai Kristus. Baru kemudian ketika suku-suku yang sudah menjadi Kristen
namun yang mengikuti bidat Arianisme ini mulai menyerang Roma, mereka secara pelan-pelan mengikuti
ajaran Orthodox yang waktu itu dipelihara oleh Gereja Roma juga, sehingga pada abad-abad kemudian
mereka menjadi Roma Katolik. Dalam Konsili Nikea itu ditetapkan sebagai “Hukum Kanon” bahwa
Gereja Roma itu menjadi yang utama untuk seluruh Gereja Barat di Eropa barat, Gereja Alexandria untuk
seluruh Afrika, dan Gereja Antiokhia untuk Syria dan seluruh daerah Timur, jadi termasuk Gereja di
Persia dan India (Kanon 6), dan keluhuran Gereja Yerusalem sebagai asal-usul munculnya Iman Kristen
diakui (Kanon 7). Sedangkan dalam Konsili kedua di Konstantinopel suatu Hukum Kanon ditegaskan
bahwa: ”Episkop Konstantinopel akan memiliki prerogatif kehormatan sesudah Episkop di Roma, karena
Konstantinopel adalah Roma Baru” ( Kanon 3).

Masing-masing pusat Kekristen yang berjumlah lima (Pentarkhi) ini dipimpin oleh Episkop yang bergelar
Paus,dari kata Pappas = Bapak (terutama Roma dan Alexandria) atau Patriarkh, dari kata Pater =Bapak,
Arkhi = Pemimpin. Kanon tentang Konstantinopel ini nantinya menjadi suatu persaingan kedudukan antara
Gereja Alexandria yang tadinya berada di tingkat kedua sesudah Roma, dan sekarang Konstantinopel
sebagai Ibukota Kerajaan yang baru harus menduduki tempat itu. Pada saat ini di Antiokhia juga telah
berkembang tradisi theologia yang berbeda pendekatannya dari Alexandria. Jika Alexandria menekankan
“alegori”, maka Antiokhia lebih menekankan pendekatan “literal, tata-bahasa, dan kesejarahan” atas Kitab
Suci. Sehingga dalam Kristologi Alexandria lebih menekankan keilahian Kristus, Antiokhia lebih
menekankan kemanusiaan Kristus. Sayang Siria dan Mesir harus konflik nantinya, padahal keduanya
seharusnya saling mengisi, dan merupakan dua sisi yang utuh bagi pendekatan atas Kitab Suci.

Pada saat ini Gereja Syria di Persia sedang mengalami penganiayaan yang hebat di bawah para shah (raja)
Persia ( 340-363, 379-401). Pada abad keempat ini terjadi juga perkembangan liturgis, yaitu dari Liturgi
Yakobus yang awal yang berasal dari Yerusalem danm Siria maka doa-doa telah ditambahkan ke dalamnya
jadilah doa-doa Liturgi Aghios Basilius Agung dan Liturgi Yohanes Krisostomos (wafat: 407), yang
sampai sekarang menjadi Liturgi-Liturgi utama Gereja Orthodox. Dari kotbah katekisasi dari Aghios
Yohanes Krisostomos dan Aghios Kyrillos dari Yerusalem (wafat: 386) terlihat bahwa Sakramen
Baptisan dan Krisma (Pengurapan) yang dirayakan pada abad keempat itu hampir tak berubah sedikitpun
tetap dilaksanakan oleh Gereja Orthodox masakini. Pada saat ini Puasa Paskah 40 hari (Catur
Dasa) dan Perayaan Paskah seperti yang tetap dirayakan oleh Gereja Orthodox masakini itu sudah betul-
betul mapan. Disamping itu kita juga menyaksikan pada abad keempat ini perkembangan kehidupan
kerahiban yang sedang memekar terjadi di Mesir - dipimpin oleh Aghios Antonius Agung – dan di Syria
(rahib-rahib Syria inilah yang nantinya banyak dijumpai Nabi Muhammad di padang-padang gurun dalam
perjalanan perdagangannya dari Mekah ke Syria, dan banyak mempengaruhi pendapatnya mengenai
Kekristenan dan keagamaan pada umumnya) serta Eropa Barat. Diantara para rahib suci dari zaman ini
yang berasal dari Timur adalah: Paulus dari Thebes (Mesir), Pakhomius ( Mesir), Hilarion, Sabbas (Palestina),
Makarius dari Mesir, Epiphanius dari Siprus, dan Efraim dari Syria. Sedangkan rahib suci dari Barat pada
saat ini adalah: Yerome, Yohanes Kassianus, serta Martinus dari Tour. Para Episkop Suci terkenal dari abad
keempat ini adalah: dari Timur Aghios Nikholas dari Myra di Lysia ( yang budaya Barat mengubah dia
menjadi tokoh mythologis “Santa Claus” /Sinter Klaas), Aghios Spyridon, dan dari Barat adalah Santo
Ambrosius dari Milano, Itali.

2. Konsili Agung Ekumenis Ketiga (431) di Efesus dan Keempat (451) di Kalsedonia.

Sejak keputusan Konsili kedua tentang kedudukan Konstantinopel. Alexandria selalu berusaha untuk
menyaingi Konstantinopel. Secara kebetulan pada abad kelima ini yang menjadi Patriarkh di
Konstantinopel adalah seorang Syria dari Antiokhia, bernama: :Nestorius. Sebagai seorang Syria maka
tradisi theologia Antiokhialah yang digunakan untuk memahami Kristologis, yaitu tradisi yang menekankan
kemanusiaan Kristus. Maka Nestorius lebih menekankan kemanusiaan Kristus, sehingga menolak gelar
“Theotokos” ( “Sang Pemberi Lahir Secara Daging kepada Allah” yaitu Kalimatullah yang menjelma) yang
telah beratus tahun digunakan di Gereja untuk menyebut Maryam. Menurut Nestorius yang dilahirkan
Maryam hanyalah seorang “manusia” yang di dalamnya “Kalimatullah/Firman Allah” itu bersemayam, jadi
bukan Kalimatullah/Firman Allah itu sendiri yang menjadi manusia, bertentangan dengan apa yang telah
diakui dalam kedua konsili sebelumnya. Kesempatan ini digunakan oleh Gereja Alexandria sekaligus untuk
menghantam tradisi theologia Antiokhia dan kedudukan Konstantinopel yang dianggap menggeser
kedudukan Alexandria itu, melalui Aghios Kyrillos dari Alexandria. Dia ingin menjatuhkan Nestorius sebagai
Patriarkh Konstantinopel, dengan demikian mempermalukan Konstantinopel, serta melawan pemahaman
theologianya dengan demikian menentang pemahaman Syria, Antiokhia, yang kebetulan kali ini Kristologi
Nestorius itu memang tidak Alkitabiah, dan tidak rasuliah. Dan inilah kesempatan yang baik.

Jadi sebenarnya konflik ini adalah adalah konflik antara Mesir dan Syria (bukan dengan unsur Yunani dalam
Gereja Timur itu). Aghios Kyrillos menegaskan, bahwa memang layak menyebut Maryam
sebagai “Theotokos” ,karena Dia yang dilahirkan olehnya adalah “Firman” yang adalah “Allah”, yang “telah
menjadi manusia” (Yohanes 1:1,14). Jadi Firman Allah itu sendirilah yang dilahirkan dalam penjelmaanNya
sebagai manusia, maka Maryam memang melahirkan Firman Allah dalam penjelmaanNya sebagai
manusia. Jadi Maryam memang “Theotokos” . Para pengikut Nestorius menolak tunduk dan bertobat pada
peringatan Aghios Kyrillos ini. Sehingga dipimpin oleh Aghios Kyrillos sendiri pada tahun 431, di Efesus,
sejumlah kecil Episkop mengadakan Konsili untuk meneguhkan ajaran Gereja Alexandria serta menolak
ajaran theologia Syria, dari Nestorius ini. , dimana ditegaskan bahwa Maryam adalah Theotokos, karena
yang dilahirkan Maryam tak lain adalah “Firman Allah” yang sama dan yang satu yang menjelma menjadi
manusia. Baru pada tahun 433 sajalah keputusan Konsili ini diterima oleh segenap Episkop Timur, dan
akhirnya diakui sebagai Konsili Ekumenis Ketiga.

Sementara itu Gereja Syria di Persia akibat penganiayaan para shah yang begitu kejam akibat provokasi
dari para Majus atau pemimpin Agama Zoroaster penyembah api itu, karena dicurigai menjadi antek
Byzantium yang beragama Kristen, musuh bebuyutan Persia itu, memutuskan untuk memiliki Patriarkh
sendiri, lepas dari Antiokhia, karena Antiokhia berada dalam wilayah Byzantium. Dan untuk meyakinkan
Shah Persia bahwa mereka bukan antek Byzantium, maka secara alamiah mereka menerima theologia
Syria dari Nestorius, karena selama ini Gereja Syria, di Persia, memang menghormati tulisan-tulisan
Theodoros dari Mopsuestia, guru dari Nestorius. Demikianlah meskipun Nestorius akhirnya meninggal
sebagai rahib di padang gurun Libia, ajarannya tetap dipertahankan oleh Gereja Syria di Persia.

Maka Gereja Syriapun terpecah menjadi dua, yaitu :

1. di Syria Barat yang mengikuti definisi dari Kyrillos dari Alexandria


2. di Syria Timur yang mengikuti definisi Nestorius, orang Syria itu.

Sejak saat itu Gereja Syria Timur ini terkenal dengan nama Gereja Nestorian, meskipun sebenarnya mereka
sendiri tak pernah menyebut diri mereka demikian. Ajaran mereka sebenarnya tak sejauh Nestorianisme
yang dituduhkan pada mereka, dan praktek-praktek mereka tak beda dengan praktek-praktek Gereja
Orthodox.. Sehingga ada beberapa sarjana modern yang menyebut mereka sebagai Gereja Orthodox Pre-
Kalsedonia. Dan Gereja Persia yang sebenranya merupakan bagian dari Gereja Orthodox Antiokhia ini
menjadi Gereja yang amat misioner, sehingga sampai mengabarkan Injil di China, dan bahkan pada abad
ketujuh di Indonesia : di Pancur dan Barus, Sumatra, bahkan ada berita bahwa mereka juga ada di Kerajaan
Majapahit.

Keputusan dari Konsili Ketiga ini memang tidak langsung diterima oleh semua pihak, karena masih timbul
kontroversi mengenai ajaran Aghios Kyrilos ini. Kebanyakan Episkop di Timur mengkhawatirkan ajaran
Aghios Kyrillos ini tidak secara memadai menyatakan kemanusiaan Kristus yang sejati. Namun setelah
saling berdialog tercapailah pengertian dan persetujuan bersama mengenai apa yang dimaksud oleh
Aghios Kyrillos. Namun sesudah wafatnya, seorang rahib bernama Eutyches, mengajarkan bahwa yang
dimaksud oleh Kyrillos adalah bahwa Kristus hanya memiliki “satu-kodrat” (“mono-physis”) saja, yaitu
kodrat Ilahi, sebab kodrat manusiaNya ditelan oleh kodrat ilahiNya. Ajaran ini menimbulkan kegelisahan
kembali di dalam Gereja. Para pembela ajaran ini mengadakan Konsilinya sendiri bersama Patriarkh
Dioskoros dari Alexandria dan Eutykhes pada tahun 449 di Efesus, dan mereka menganggap bahwa
mereka pengikut ajaran Kyrillos yang setia. Konsili ini diikuti oleh sejumlah besar Episkop, namun tidak
diterima sebagai Konsili yang sah, malah disebut sebagai “Latrocinium” atau “Konsili Para Perampok” .
Ajaran tentang Kristus hanya memiliki “satu-kodrat” (“mono-physis”) ini akhirnya terkenal sebagai
ajaran Monofisitisme, yang ditolak oleh Gereja dan dinyatakan bidat.

Untuk memecahkan masalah ini maka suatu Konsili yang lain diadakan pada tahun 451, di
kota Kalsedonia, dekat Konstantinopel. Konsili ini dikenal dalam Gereja sebagai Konsili Ekumenis
Keempat, dan berhasil membela ajaran Aghios Kyrillos dari Alexandria serta ajaran Konsili Ekumenis Ketiga
di Efesus tahun 431. Ini juga memuaskan tuntutan para Episkop Timur mengenai kemanusiaan Kristus yang
sejati yang secara jelas harus diakui. Definisi dogmatis dari Konsili Kalsedonia ini mengikuti secara dekat
ajaran yang dirumuskan oleh Paus Santo Leo dari Roma, yang tidak turut hadir dalam Konsili itu, namun
hanya mengirim wakil-wakilnya.

Menurut definisi Konsili Kalsedonia ini Kristus itu memiliki “satu hypostasis” ( menegaskan tradisi
theologia Alexandria) dalam “dua kodrat” ( menegaskan tradisi theologia Syria, Antiokhia) – ilahi dan
manusiawi. Dia sepenuhnya Ilahi. Dia sepenuhnya manusia. Dia Allah sempurna dan manusia sempurna.
Sebagai Allah (yaitu:Firman Allah) Dia “satu Dzat-Hakekat/Essensi” dengan Sang Bapa (Allah yang Esa) dan
dengan Roh Allah sendiri. Dan sebagai manusia, Dia satu “hakekat/ esensi” dengan segenap manusia.
Keilahian dan kemanusiaan Kristus itu menyatu/manunggal dalam satu hypostasis /pribadi namun tidak
campur-baur dan tidak kacau-balau dan tidak terpisah-pisah serta tidak terbagi-bagi. Kristus itu satu
pribadi yang sekaligus Allah dan Manusia.

Para pengikut Kyrillos yang ekstrim menolak definisi Kalsedonia ini karena dianggap berbau Nestorianisme,
suatu tuduhan yang tidak tepat dan tidak fair memang. Mereka menegaskan bahwa Kristus hanya memiliki
“satu kodrat” saja, meskipun kodrat itu telah menjelma, padahal menurut mereka Konsili ini mengatakan
Kristus memiliki “dua kodrat” yang dianggap sebagai kesesatan Nestorius, namun mereka tidak
menggabungkan bahwa “dua kodrat” itu dalam satu pribadi, atau satu hypostasis, yang jelas tak
bersangkutan dengan ajaran Nestorius.

Demikianlah mereka ini akhirnya memisahkan diri dari Gereja Orthodox alur utama. Para pendukung
Konsili Kalsedonia akhirnya mengangkat Patriakh Kalsedonia di Mesir : Proterius (452-457), penentang
Kalsedonia memilih Patriarkh tandingan mereka, yaitu Timotius Si Kucing. Sejak itulah Gereja Mesir
terpecah dua, yang Orthodox Kalsedonia yang tetap bersatu dengan seluruh Gereja universal, dan yang
menolak Kalsedonia, yang kemudian terkenal dengan Gereja Koptik Orthodox, serta mengikuti faham
“satu-kodrat” (monophysis).

Demikian juga di pihak Syria, ada yang mengikuti langkah Gereja Alexandria dalam memeluk faham “satu-
kodrat” ini. namun ada yang tetap dengan Gereja Universal yang menerima Konsili Kalsedonia. Dengan
demikian Gereja Syria sebelah Barat terpecah lagi antara yang “Orthodox” (kaum Monophysit,
menyebut Gereja Syria yang Orthodox ini sebagai: Malkaya/Melkit, atau para pengikut Raja/Malak)
dan yang “Monophysit” .

Pihak Monophysit ini oleh perjuangan Yakub Burdana ( Yakub Baradeus) berhasil mengorganisasi suatu
lembaga kegerajaan Syria Monophysit, yang akhirnya terkenal dengan nama Gereja Syria Orthodox atau
Gereja Yakobit. Gereja Yakobit Syria, inilah yang di Indonesia dipopulerkan dengan nama “Kanisah
Orthodox Syria” oleh Yayasan Study Orthodox Syria, pimpinan saudara Bambang Noorsena, sesudah ia
keluar dari keanggotaannya, yang pada saat itu bersama dengan Pdt. Yusuf Roni, dalam Gereja Orthodox
Indonesia.
Sedangkan yang Orthodox alur utama tetap melanjutkan Kepatriarkhan Syria Antiokhia yang memiliki
hubungan dengan Gereja-Gereja Aleksandria Orthodox, Konstantinopel, Yerusalem, dan Roma. Gereja
Armenia karena sedang menghadapi perang dengan Persia sehingga tak terwakili dalam Konsili Kalsedonia,
menolak hasil Konsili itu serta mengikuti faham “satu-kodrat”, demikian pula Gereja Thomas India yang
terkait dengan Gereja Persia dan Gereja Syria, dan Gereja Ethiopia yang terkait dengan Gereja Koptik. Lima
Gereja ( Koptik, Syria-Yakobit, Armenia, Thomas-India, dan Ethiopia) inilah yang dalam buku-buku sejarah
Gereja terkenal dengan nama : Gereja-Gereja Monofisit, atau pada masakini akibat hubungan-hubungan
ekumenis, untuk menghormati mereka disebut sebagai Gereja-Gereja Oriental Orthodox, atau Gereja-
Gereja Timur Alur Kecil, atau Gereja-Gereja Orthodox Non-Kalsedonia. Sedangkan Gereja Orthodox Alur
Utama, disebut Gereja Orthodox Timur, atau Gereja Orthodox Kalsedonia atau Gereja Orthodox Yunani. ( -
Kata “Yunani” itu tak berarti menunjuk etnik Yunani, sama seperti “Roma” Katolik tak menunjuk
pengikutnya sebagai bangsa Roma, namun untuk menunjuk ekspresi karya sastra theologis utama dari
para bapa Gereja Timur adalah menggunakan bahasa Yunani, meskipun jika mereka itu berkebangsaan
Syria misalnya Efraim dari Syria, Yohanes Khrisostomos, atau berkebangsaan Koptik, misalnya Athanasius
dari Alexandria, Kyrilos dari Alexandria, Klemen dari Alexandria dan lain-lainnya, sebagaimana Gereja Barat
menggunakan bahasa Latin, maka Gereja Baratpun sering disebut “Gereja Latin”.-) Meskipun sudah berkali-
kali ada usaha untuk mempersatukan mereka yang memisah ini baik di zaman purba maupun pada zaman
modern ini, namun mereka masih tetap terpisah dari Gereja Orthodox.

Konsili Ekumenis yang Ketiga dan yang Keempat ini menetapkan beberapa Kanon yang bersifat disipliner
dan bersifat praktis. Dalam Konsili Ketiga di Efesus, ada larangan membuat Pengakuan Iman yang lain, atau
mengarang “Pengakuan Iman Yang Berbeda” (Kanon 7) dari apa yang sudah dirumuskan dalam Konsili I
dan Konsili II. Kanon ini digunakan sebagai dasar bagi menentang penambahan atas Pengakuan Iman
Nikea oleh Gereja Barat dengan kata “filioque” (“dan Sang Putra”) ketika berbicara tentang Roh Kudus.
Menurut aslinya Roh Kudus itu keluar dari “Sang Bapa”, tetapi menurut tambahan filioque dari Gereja Barat
ini, Roh Kudus itu keluar dari “ Sang Bapa dan Sang Putra”. Konsili Keempat di Kalsedonia, memberikan
Konstantinopel Ibukota yang baru atau Roma Baru itu “ kehormatan-kehormatan yang sejajar dengan
ibukota Roma yang lama” , karena ibukota yang baru itu dihormati dengan adanya “kaisar dan senat”
( Kanon 28). Pada saat ini kita menyaksikan kemunduran di Gereja Barat dengan jatuhnya Roma ke tangan
bangsa Barbarian.

Masuknya Gereja Barat pada zaman ini ke dalam apa yang disebut “Zaman Kegelapan” sangat cepat
terjadi setelah meninggalnya Agustinus, Episkop dari Hippo ( 430). Agustinus menulis banyak buku yang
sangat mengundang perdebatan terutama di Gereja Timur, yang isinya sangat mempengaruhi seluruh
sejarah Gereja Barat, baik yang Roma (Katolik) maupun yang Reformasi (Protestan), namun yang tak
diterima oleh Gereja Timur. Sementara itu Gereja Timur masih sedang dalam zaman keemasan dan
kejayaannya.

3. Konsili Agung Ekumenis Kelima ( 553) di Konstantinopel dan Konsili Agung Ekumenis Keenam (680-
681) di Konstantinopel

Pada abad keenam ini Kaisar Yustinianus menginginkan kesatuan Gereja dan kesatuan negara sekaligus.
Oleh karena itu dia berusaha agar pihak Monofisit dapat disatukan kembali kepada Gereja Orthodox.
Usahanya ini dengan mengadakan suatu Konsili di Konstantinopel (553) , yang akhirnya diakui
sebagai Konsili Kelima, dimana di dalam Konsili ini suatu tulisan yang disebut sebagai “Tiga Pasal” yang
disenangi pendukung Kalsedonia, namun yang direndahkan oleh mereka yang menolak Kalsedonia,
dikutuk Yustinianus secara resmi. Tulisan ini adalah tulisan dari Theodoret dari Cyrus, Ibas dari Edessa,
serta Theodorus Mopsuestia yang semuanya adalah orang-orang Syria. Tetapi kutukan itu tak bisa
diterima para pendukung Konsili Kalsedonia, sebab meskipun mereka tidak setuju dengan ajaran-ajaran
yang salah dan kabur dari tiga penulis ini, namun tidak ada alasan untuk mengutuk mereka. Usaha
Yustinianus untuk menyatukan pihak Monofisit ini akhirnya tak berbuah, dan pihak Monofisit sendiri tidak
yakin untuk bisa menyatu kembali dengan Gereja Orthodox.

Disamping menolak ajaran yang salah dan kabur dari “Tiga Pasal” , Konsili ini juga menolak beberapa
ajaran Origenes dari Alexandria yang sangat tidak Orthodox, misalnya bahwa jiwa manusia sudah ada
sebelum masuk kedalam tubuh jasmani untuk lahir di dunia ini, dan lain-lain. Dan Konsili ini menegaskan
kembali rumusan Konsili Kalsedonia bahwa Yesus Kristus adalah “satu dari Tritunggal Kudus” (artinya: Dia
Ilahi yang satu hakekat dengan Allah sendiri dan RohNya yang ada di dalam hakekat Allah). Dan Hypostasis
Kalimatullah yang satu dan yang sama inilah telah memanunggalkan secara "hypostatik" dalam DiriNya
sendiri yang satu itu dua kodrat yang saling berlawanan: Allah dan Manusia., tanpa campur-baur (Yang Ilahi
tidak menjadi Manusia, Yang Manusiawi tidan menjadi Ilahi) dan tanpa terpisah-pisah (Yang Ilahi dan Yang
Manusia manunggal secara tak terpisah dalam Satu Hypostasis).

Yustinianus sangat giat menyerang sisa agama kafir Yunani, serta menutup Universitas Athena dari
pengaruh kafir Yunani, serta hanya mempromosikan ilmu-ilmu Kristen saja. Dia membangun banyak
Gereja, terutama di Betlehem, Yerusalem, dan Gunung Sinai. Karyanya yang terbesar adalah Gereja Aghia
Sophia, yang pernah dijadikan Masjid oleh bangsa Turki sejatuhnya Konstantinopel, dan sekarang menjadi
Museum. Gereja Konstantinopel pada saat ini sudah menggunakan praktek-praktek liturgis yang telah
dilakukan di Palestina dan Syria. Praktek Ibadah Gereja Konstantinopel saat ini, digabung dengan Ibadah
Kristen Yahudi dari abad-abad awal Kekristenan, serta sholat-sholat tujuh waktu yang telah berkembang
di biara-biara, dan praktek-praktek Liturgis di Yerusalem. untuk membentuk suatu synthesis agung
pertama kali dari ibadah Liturgis Gereja Orthodox. Sehingga biarpun Gereja Orthodox itu disebut sebagai
Gereja Orthodox “Yunani”, namun ibadahnya dan aqidahnya adalah ibadah dan aqidah “Semitik” dari ujung
kaki sampai ujung rambut. Di dalam pikiran orang-orang Kristen Timur pada abad keenam ini,
Konstantinopel adalah Tahta Ke-Episkop-an yang pertama dalam “Sistim Pentarkhi” , yaitu : pertama
Konstantinopel, sesudah itu baru Roma,Aleksandria, Antiokia dan Yerusalem.

Sejak saat itu Patriarkh Konstantinopel memakai gelar “Patriarkh Ekumenis” yang tentu saja seperti yang
dapat diduga Episkop Romalah yang menentang akan hal ini, terutama Paus Santo Gregorius Agung, yang
mengkompilasi ‘Liturgi Pra-Sidikara” , yang tetap digunakan Gereja Orthodox sampai sekarang pada saat
Puasa Catur Dasa, namun yang tak dikenal oleh Gereja Roma Katolik.

Di Gereja Barat pada abad keenam ini, disamping Paus Gregorius Agung, Santo Benediktus dari Nursia
(480-542) dan para muridnya sangat mempengaruhi sejarah selanjutnya Gereja Barat. Disamping itu Santo
Columba dan Santo Agustinus dari Canterbury adalah misionaris-misionaris Gereja Barat yang bekerja di
Inggris dan Irlandia. Pada tahun 589 di Toledo, Spanyol, Gereja Barat tanpa persetujuan Gereja Timur dan
bertentangan dengan Kanon ketujuh dari Konsili Ekumenis Ketiga, menambah kata “filioque” pada
Pengakuan Iman Nikea untuk menekankan keilahian Kristus dalam menghadapi Kaum Barbarian yang
mengikuti faham Arianisme, karena penginjilan Ulfilas yang telah kita sebut sebelumnya. Namun tambahan
ini mengakibatkan dampak yang sangat tidak kecil bagi Sejarah Gereja.

Sementara itu di Semenanjung Arabia Sang Bayi Muhammad yang nantinya akan menjadi Nabi besar bagi
agama Islam telah lahir pada abad keenam ini (tahun 570). Semenanjung yang mana dikelilingi oleh orang-
orang Kristen Timur (Non-Kalsedonia/Monofisit di Mesir maupun Ethiopia yang mempunyai Koloni di
Yemen, serta Monofisit di Syria Barat, dan Pre-Efesus/ Gereja Timur Assyria/ Nestorian di Persia, serta
Orthodox/Kalsedonian yang banyak melakukan perdagangan di Semenanjung Arab) dan orang-orang
Yahudi terutama di Madinah. Ketika lahirnya bayi Muhammad sudah dalam keadaan sebagai anak-yatim,
pada masa kecil dia diasuh oleh kakeknya Abdul-Muttalib, setelah kakeknya meninggal diasuh pamannya
Abu Thalib yang sering berdangang ke Syria. Dan kanak-kanak Muhammadpun diajak dalam perjalanan
dagang ini. Dalam pergaulannya berdagang ini Muhammad yang masih muda itu banyak bertemu dengan
orang-orang Kristen Timur, yang biarpun dalam rumusan Kristologinya berbeda antara Orthodox,
Monofisit, dan Nestorian ini, namun praktek ibadahnya dan ethos kehidupannya tak banyak beda satu
sama lain. Mendengar dan memperhatikan dari mereka inilah akhirnya Muhammad melestarikan banyak
hal dari apa yang dijumpai dari agama-agama terdahulu ini dalam agama Islam, sehingga hal ini
menerangkan banyaknya kemiripan-kemiripan antara praktek-praktek Iman Kristen Orthodox dan agama
Islam.

Menginjak abad ketujuh, muncullah tulisan yang mengatas-namakan diri sebagai ditulis oleh Dionysius
dari Areopagus, murid Rasul Paulus. Tulisan ini diterima dengan tangan terbuka baik oleh mereka yang
menolak Konsili Kalsedonia (Monofisit), maupun pembela Konsili Kalsedonia (Orthodox). Namun dalam
tulisan Dionysian ini ada mengandung ajaran yang bermasalah yaitu bahwa Yesus Kristus, Firman
Allah/Anak Allah yang menjelma itu, hanya memiliki satu kehendak dan tindakan insani -ilahiah atau
ilahi-insaniah saja, yang sama sekali membaurkan dua kegiatan dan tindakan yang berbeda dari kodrat
ilahiNya dan kodrat manusiawiNya. Ajaran ini disebut sebagai monothelitisme ( artinya: Kristus hanya
memiliki satu kehendak insani-ilahiah/ilahi -insaniah) atau mononergisme ( artinya: Kristus hanya memiliki
satu tindakan, kegiatan atau energi insani-ilahiah/ilahi-insaniah saja). Banyak yang berharap bahwa
rumusan ini akan mempersatukan kembali perpecahan kaum Monofisit kepada Gereja Orthodox. Namun
harapan itu tak pernah terjadi, karena ajaran ini ditentang mati-matian oleh Aghios Maximos Sang
Pengaku Iman (wafat: 662) dari Konstantinopel, yang umurnya 10 tahun lebih muda dari Muhammad,
serta Paus Santo Martin dari Roma (wafat: 665). Menurut keduanya ini Kristus memiliki kepenuhan
kehendak, energi, tindakan, dan perbuatan ilahi, yang satu dan sama dengan kehendak Bapa dan RohNya.
Namun Kristus juga memiliki kepenuhan kehendak, energi, tindakan, dan perbuatan manusiawi yang
sama dengan semua manusia lainnya. Keselamatan itu terjadi dalam fakta bahwa Yesus Kristus sebagai
manusia sejati, secara bebas dan secara sukarela menyerahkan kehendak manusiawinya ( yang persis
sama dengan kehendak segenap manusia lainnya) kepada kehendak ilahiNya (yang adalah kehendak Allah
sendiri). Sehingga Anak Allah yang ilahi ini menjadi manusia yang nyata dan sejati dengan  kehendak
manusiawi yang nyata dan sejati, sehingga sebagai manusia yang nyata Dia dapat memenuhi “seluruh
kebenaran Allah” dalam ketaatan yang sempurna dan sukarela kepada Sang Bapa. Melalui tindakan
manusiawiNya yang nyata itulah Yesus Kristus membebaskan semua manusia dari dosa dan maut sebagai
Adam yang Baru dan yang terakhir. Aghios Maximos dan Santo Martin sangat menderita sekali dalam
penganiayaan pemerintah karena menentang bidat monothelitisme ini. Mereka dipenjara, disiksa, dan
lidah Maximos dipotong agar tidak bisa berkotbah oleh kekuasaan pemerintah yang sangat ingin
menggunakan monothelitisme sebagai jalan menyatukan kembali kaum Monofisit.

Namun akhirnya ajaran kedua orang suci inilah yang menang. Konsili Ekumenis Keenam yang diadakan di
Konstantinopel tahun 680-681 meneguhkan secara resmi ajaran mereka dan secara resmi pula
menghukumkan Patriarkh Sergius dari Konstantinopel, serta Paus Honorius dari Roma yang
mengajarkan monothelitisme, bersama semua pendukung mereka. Di kalangan ummat Syria ada yang
memegang teguh ajaran ini, terutama yang dipimpin oleh Rahib Maron, dan memisahkan diri dari Gereja,
sehingga mereka disebut ummat Maronit yang sampai sekarang masih banyak kita jumpai di Libanon,
namun yang sudah menggabung dengan Gereja Roma Katolik sejak zaman Perang Salib. Sehingga, makin
terpecah lagilah Gereja Syria ini. Aghios Maximos menulis buku-buku rohani yang mendalam pada saat ini,
demikian pula Aghios Yohanes Klimakus dari Gunung Sinai menulis “Tangga Naik ke Yang
Ilahi” serta Aghios Andreas dari Kreta mencipta Kidung Kanon Pertobatan, yang masih tetap dilagukan
dalam Gereja Orthodox pada saat Masa Puasa Agung Catur Dasa.

Nabi Muhammad sedang ditengah-tengah misinya untuk menyebarkan dan menegakkan agama Islam,
ketika Byzantium dibawah Kaisar Heraklius berperang melawan Persia, serta merebut Salib asli yang
dirampas mereka, lalu dibawa ke Konstantinopel. Kedatangan Salib itu disambut meriah, sehingga
dilestarikan dalam pesta Gereja Orthodox sebagai “Pesta Pengangkatan Salib” setiap tanggal 14
September. Kekaisaran dalam keadaan terkuras habis tenaganya karena perang melawan Persia ini,
sehingga sewafatnya Nabi Muhammad, ketika daerah-daerah Byzantium di Mesir, Palestina dan Syria
direbut Islam tak banyak yang dapat dilakukan. Disamping itu ummat Monofisit yang sangat banyak di
daerah itu memang membenci Byzantium karena Iman Kalsedonian mereka. Sehingga ketika Islam muncul
tak ada perlawanan dari mereka, sebaliknya mereka yang mengundang tentrana Muslim untuk bersama-
sama melawan Byzantium, karena dianggap dengan berada di bawah Islam mereka bebas dari tekanan
Byzantium. Hal yang terbukti salah di kemudian hari, yang effeknya masih dapat dirasakan sampai
sekarang.. Demikian juga sikap ummat Nestorian di Persia. Islam diharapkan membebaskan mereka dari
tekan Shah Persia, dan merekapun ternyata keliru. Dalam tingkat non-politik Byzantium dan Islam
mempunyai hubungan yang baik, misalnya para pedagang Arab justru dibangunkan Mesjid untuk mereka
beribadah di Konstantinopel dan mereka tak pernah dipaksa menjadi Kristen. Kalifah al-Ma’mun
mengadakan hubungan yang baik dengan Kaisar Byzantium terutama dalam hal mendapatkan nashak-
naskah Yunani dan klasik yang akan diterjemahkan dalam bahasa Arab. Orang-orang Kristen Byzantium
secara tingkat sosial saling mengadakan kontak dengan kaum Muslim. Karena sikap kaum Monofisit dan
Nestorian inilah sebabnya mengapa dengan mudah daerah-daerah Kristen Orthodox itu ditaklukkan Islam
karena memang tidak ada perlawanan dari penduduk setempat, malah mereka diundang oleh kaum
Monofisit di Mesir, Syria, dan Libanon serta kaum Nestorian di Irak dan Persia.

Karya Konsili Kelima dan Konsili Keenam ini dilanjutkan lagi di Konstantinopel, di ruangan berkubah (Trullo)
dari istana Kerajaan untuk membahas peraturan 102 buah Hukum Kanon, yang disebut Kanon
Konsili Quinisext (Kelima-Keenam). Dalam Hukum Kanon ini ditegaskan orang menikah boleh ditahbis jadi
diaken dan kemudian presbyter, namun yang sudah ditahbis tak boleh menikah jika tadinya tidak menikah.
Dan hanya orang yang tidak menikah saja yang harus jadi Episkop. Ditetapkan juga batas umur orang yang
akan ditahbis, serta larangan rohaniwan berpartisipasi dalam politik atau dalam perekonomian. Juga
larangan orang awam masuk ke Ruangan Mezbah tanpa perlu, serta melarang perkawinan campuran, dan
masih banyak lagi.

4.Konsili Ekumenis Ketujuh dan Terakhir (787 ) di Konstantinopel

Pada saat abad kedelapan ini kekalifahan Islam sudah tersebar di seluruh Timur Tengah, dan Byzantium
telah sering mengalami serangan tentara kaum Muslimin Arab dari arah selatan. Syria yang berbatasan
dengan Byzantiumpun sudah berada dibawah kedaulatan Islam. Kaum Muslimin tak henti-hentinya
menyerang ajaran Tritunggal Kudus, Keilahian Kristus, Penyaliban, Kebangkitan, dan penggunaan Ikon
(gambar-gambar agamawi) dalam Gereja. Gambar-gambar itu dianggap sebagai berhala, karena Islam
memang anti-gambar. Serangan Islam ini sedikit-banyak mempengaruhi sebagian orang Kristen. Apalagi
saat itu di Byzantium, sedang bangkit diantara kaum intelektual aliran filsafat Neo-Platonisme yang
meremehkan benda jasmani dan menekankan hal yang bersifat “idea”. Ikon adalah benda jasmani, maka
berdasarkan pandangan filsafat kafir ini, maka ikonpun direndahkan dan diremehkan. Kedua faham ini
mempengaruhi Kaisar Leo III dari Isauria ( 717-741) dan Kaisar Konstantinus V ( 741-775), yang sudah lama
ingin menaklukkan Gereja pada kehendak raja. Masalah ini digunakan sebagai alasan untuk menekan
Gereja dan melarang penggunaan Ikon dalam Gereja. Setelah mengadakan sidang tahun 753 dan disitu
dinyatakan bahwa Allah itu tak kelihatan jadi tak dapat digambar, sebagaimana pula argumentasi kaum
Muslimin (dan beberapa ayat Alkitab yang melarang penggunaan patung, yang juga dilarang Gereja
Orthodox) yang mempengaruhi argumentasi sidang tadi, maka perintah dikeluarkan bahwa semua gambar
harus dihapus dan semua ikon dibakar. Perlawanan terhadap Ikon ini dikenal sebagai Gerakan Bidat
Ikonoklasme.

Ikonoklasme
Memang Gereja Timur melarang penggunaan patung dari zaman purba sampai sekarang, namun sejak
zaman katakombe ( terowongan bawah tanah tempat persembunyian mereka dan digunakan untuk
penguburan dan ibadah, pada saat zaman aniaya) telah menyatakan iman mereka dalam wujud simbol-
simbol dan gambar-gambar, dan itulah permulaan ikon, yang asalnya berasal dari perintah Allah kepada
Musa untuk membuat patung kerubim dan gambar-gambar kerubim di Kemah Suci, dan juga dilukisnya
gambar-gambar semacam itu di Bait Allah yang dibangun Salomo (Sulaiman). Orang Kristen Orthodox yang
mempertahankan penggunaan ikon dibunuh dan dianiaya oleh Kaisar ini, sehingga terjadi pertumpahan
darah yang hebat diantara ummat Kristen Orthodox oleh aniaya tentara raja. Para Episkop banyak yang
ditekan untuk secara resmi menentang penggunaan Ikon. Sehingga tahun 762 dan 775, terkenal
sebagai “dekade berdarah” dalam sejarah Gereja Timur ini, karena banyaknya orang Kristen Orthodox,
terutama diantara para rahib yang dipenjara, disiksa, dan dibunuh karena mempertahankan Ikon itu.
Gereja tidak hendak tunduk pada kehendak manusia, karena hanya Kristus, dan bukan Kaisar, itulah Kepala
Gereja. Tuhan tidak berlama-lama membiarkan ummatNya menderita.

Pada tahun 780 Maharatu Theodora naik tahta ( 780-802). Penganiayaan dihentikan dan Konsili diadakan di
kota Nikea pada tahun 787 untuk membahas mengenai masalah Ikon ini. Inilah Konsili Ekumenis yang
Ketujuh dan Terakhir dari Gereja Rasuliah Perjanjian Baru yang satu, yang secara tanpa putus berjalan
dalam sejarah sampai abad kedelapan itu. Konsili ini menjelaskan makna Theologia Ikon, mengikuti
penjelasan yang dilakukan oleh Aghios Yohanes Damaskinos (Yuhana Al-Mansyur) dari Damaskus Syria.
Yuhana Al-Mansyur adalah anak seorang pegawai tinggi dari kalifah Islam di Damaskus, Syria. Diapun
akhirnya diangkat menjadi pegawai tinggi dari kalifah Yazid di Syria ini. Entah karena apa dia tinggalkan
karir duniawinya, dan masuk ke biara, serta akhirnya menjadi presbyter. Pada saat penganiayaan orang-
orang Kristen Orthodox di Byzantium, Aghios Yohanes bebas dari aniaya itu karena dia hidup dalam
wilayah Islam. Sehingga dia bebas menulis dan mengkritik para penentang Ikon tanpa ditangkap tentara
raja. Argumentasi yang berdasarkan Alkitab dan Iman Rasuliah dalam tulisan Aghios Damaskinos inilah
yang diikuti dalam Konsili Ketujuh ini.

Inti terpokok Iman Kristen adalah Yesus Kristus. Dan Dia adalah “Firman yang Menjadi manusia” (Yohanes
1:14). Dengan demikian Yesus Kristus adalah Firman Allah yang ber “Inkarnasi” ( “Mendaging”). Maka
“Inkarnasi Kristus” sebagai Firman Allah itulah inti iman Kristen. Allah memang tak dapat dilihat, jadi tak
dapat digambar apalagi dipatungkan. Itulah sebabnya Perjanjian Lama,- dan dalam hal ini sikap Al Qur’an
juga - serta Iman Orthodox sendiri melarang Allah ( Bapa) digambar. Namun dalam Yesus Kristus, Allah
melalui “FirmanNya” telah menjadi nampak, yaitu menjadi daging. Maka kedagingan dari kemanusiaan
Firman itu sekarang dapat digambar untuk membuktikan bahwa Firman betul-betul jadi manusia. Disitulah
tempatnya Ikon itu. Menolak Ikon berarti menolak bahwa betul-betul Yesus Kristus itu manusia, yaitu
menolak Inkarnasi Firman Allah. Islam hanya percaya Firman Allah yang diturunkan menjadi Kitab: “Al-
Qur’an” . Oleh karena itu penegasan makna Wahyu dalam Islam adalah dalam wujud “Kaligrafi” (“Tulis Indah
Huruf Arab”), membuat ikon atau gambar dalam Islam memang akan bertentangan dengan inti kewahyuan
Firman sebagai tulisan. Namun menolak “ikon” dalam Iman Kristen justru sebaliknya, karena itu berarti
menolak kemanusiaan, kewujud-dagingan, dan Inkarnasi dari Firman Allah yang menjadi manusia itu.
“Kaligrafi” (Tulis Indah Huruf Arab) dalam Islam itulah “Ikonografi” dalam Iman Kristen Orthodox. Karena
yang ditekankan pada “ikonografi” itu justru adalah fakta “inkarnasi” serta fakta “kemanusiaan kongkrit”
dari Penjelmaan Firman Allah/Kalimatullah yang menjadi daging, maka Konsili dengan tegas
mengatakan bahwa Allah (Bapa) dilarang diwujudkan dalam gambar apalagi dalam patung. Demikian juga
berlaku bagi Roh Kudus, serta keberadaan Kristus sebelum jadi manusia. Dengan kata lain larangan hukum
Musa untuk tidak menggambarkan Allah dalam bentuk apapun tetap dijaga dengan keras, namun fakta
Inkarnasi dari Firman Allah menjadi manusiapun dijaga keras dengan ekspresi yang kongkrit dalam wujud
“ikonografi”.

Jelas ikon berbeda dari dan bukan merupakan berhala. Sebab berhala adalah penggambaran Allah secara
bentuk makhluk dan diberi bakti dan sembah sebagai ilah, ikon bukan gambarNya Allah, dan tak diberi
bakti seperti Allah sendiri. Dengan Ikon ditegaskan bahwa oleh Inkarnasi Firman Allah maka segala sesuatu
yang jasmani sekarang dikuduskan oleh Kristus, yang jasmani ini terutama adalah ummat manusia yang
telah ditebus dalam Kristus. Itulah sebabnya isi dari Ikonografi, bukan hanya Kristus saja, namun semua
mereka yang menjadi dampak langsung dari Inkarnasi itu, yaitu para orang-orang yang telah dikuduskan
oleh Kristus dalam Roh Kudus: Theotokos, para Nabi, para Rasul, dan segenap orang suci. Demikianlah
ikonografi menjelaskan bahwa melalui Kristus yang adalah “ikon” (Gambar) dari Allah yang tak kelihatan
(Kolose 1:15), segenap manusia yang ditebus olehNya dikembalikan kepada kodrat asli (“fitrah”) yang
atasnya manusia diciptakan menurut “gambar (eikon, demuth) dan rupa (omoiousin, tselem)
Allah“ ( Kejadian 1:26). Jadi pertentangan masalah Ikon bukanlah sekedar pertentangan masalah lukisan,
dan bukan pula masalah berhala, namun masalah betulkah Firman Allah telah menjadi manusia, dan betul-
betul berwujud jasmani, yang dengan begitu dapat dilukis, tanpa melanggar larangan penggambaran Allah
dan keilahian yang tidak nampak itu.

Pada abad ini Aghios Yohanes Damaskinos mencipta Kidung-Kidung Kanon Sembahyang Fajar
Paskah dan Kidung-Kidung Dukacita untuk upacara penguburan dalam Gereja Orthodox serta Kidung
Hasta-Nada yaitu kumpulan kidung-kidung yang menggunakan delapan Irama yang berbeda yang
dilagukan secara berputar dalam tiap minggu, Semuanya ini tetap menjadi bagian ibadah Gereja Orthodox
sampai sekarang. Juga dia menulis buku yang disebut “Exposisi Lengkap Iman Orthodox” yang
merupakan pembahasan sistimatis seluruh doktrin Kekristenan Orthodox sejak zaman purba yang dapat
ditemukan dalam bukunya “Sumber Ilmu-Pengetahuan” . Dia juga menulis buku polemik menyanggah
tuduhan Islam.

Pada saat abad kedelapan ini Gereja Barat mengalami banyak pertobatan dari suku-suku Barbarian.
Pemberita Injil terbesar Gereja Barat pada abad ini adalah Santo Bonafasius ( wafat tahun 754). Untuk
pertama kalinya pada abad Paus Roma menjadi pemimpin-pemimpin duniawi yang menguasai tanah-tanah
di Itali, serta mengadakan hubungan dengan raja-raja yang baru muncul dari keluarga Carolingian yang
berasal dari suku-suku Barbar ini. Dari keluarga inilah Karel Agung muncul, yang pada tanggal 25
Desember 800 dimahkotai untuk mendirikan Kerajaan di Eropa Barat yang telah hilang, dengan nama
Kerajaan Romawi Suci, jadi mengadakan perpecahan politik dengan Kerajaan Byzantium. Agar dapat
mendirikan Kerajaan Baru dengan dukungan Paus Roma ini, maka Karel Agung menyerang keabsahan
Kerajaan Byzantium dan Gereja Timur. Dia menuduh Gereja Timur sebagai “penyembah berhala” karena
sikapnya terhadap ikon, serta menuduh Gereja Timurlah yang menghilangkan “filioque” dari Pengakuan
Iman yang ditambahkan oleh Konsili Toledo (tahun 589) dari Gereja Barat ini.

Tuduhan-tuduhan ini termaktub dalam buku “Liber Carolini” yang telah diserahkan lebih dahulu kepada
Paus Hadrianus I di Roma oleh Karel Agung, pada tahun 792. Namun pada tahun 808 Paus Leo
III mengadakan reaksi atas tuduhan Karel Agung terhadap Gereja Timur ini, sehingga dia membuat
Pengakuan Iman Nikea tanpa “filioque” diukirkan pada suatu lempeng perak dan di letakkan di pintu
Gereja Santo Petrus.

Sesudah Konsili tahun 787 itu, perlawanan terhadap ikon berlanjut terus di Kerajaan Byzantium. Ketika
Ratu Irini meninggal pada tahun 802, Kaisar Leo dari Armenia menjadi Kaisar. Pada tahun 812 dia
memerintahkan ikon-ikon supaya dijauhkan tempatnya dari jemaat. Pada saat Mingu Palem tahun
815 Aghios Theodoros, mengadakan arak-arakan membawa ikon-ikon di Konstantinopel, namun dicegat
oleh tentara kerajaan , semua orang itu dianiaya dan disiksa serta banyak yang mati dibunuh.. Hanya pada
sat pemerintahan Ratu Theodora pada tahun 843, ikon-ikon betul-betul dikembalikan ke Gereja secara
resmi, pada Minggu Pertama Masa Puasa Catur Dasa, dan disebut sebagai “Kemenangan Orthodoxia”
yang sampai sekarang pada Minggu Pertama Puasa Catur Dasa ini masih diperingati dan dirayakan dalam
Gereja Orthodox.. Pengembalian Ikon ini disebut “Kemenangan Orthodoxia” , karena ini menutup
lingkaran pembahasan Kristologi sejak Nikea (325) sampai pada batasnya yang tertuntas.
Pada saat Nikea dituntaskan keyakinan bahwa Yesus itu betul-betul “Allah sejati yang keluar dari Allah
sejati” dan “Satu Dzat Hakekat dengan Sang Bapa”. Konsili kedua (381) menegaskan kesatuan Keilahian
Yesus Kristus ini dengan Bapa dan Roh Kudus, serta Konsili ketiga ( 431) menegaskan bahwa keilahian tadi
tidak hilang ketika Dia berada dalam rahim Maryam, sehingga Maryam disebut Theotokos. Sedangkan
Konsili Keempat (451) menegaskan sifat hubungan dan kesatuan antara keilahian dan kemanusiaanNya,
dan Konsili Kelima (553) meneguhkan apa yang dirumuskan oleh Konsili Keempat. Sedangkan Konsili
Keenam menegaskan dan meneguhkan akan sifat kemanusiaan Kristus yang memiliki kehendak manusia
yang sempurna, sehingga “monothelitisme” ditolak. Integritas kemanusiaan Kristus itu secara lebih kongkrit
dan tak diragukan lagi ditegaskan dalam Konsili Ketujuh dengan bukti bahwa Dia dapat dilukis dalam Ikon
karena Dia betul-betul menjadi manusia yang nampak dan dapat dilihat. Demikianlah dalam seluruh Konsili
yang tujuh buah ditegaskan keilahian penuh dan kemanusiaan penuh dari Kristus yang satu itu secara
tuntas. Dan itulah “inti Iman Kristen Orthodox:”. Oleh karena itu penegasan secara kongkrit dan tuntas dari
kemanusiaan Kristus dalam Ikon itu menutup dan memeteraikan kebenaran Orhodoxia, sehingga itu
disebut “Kemenangan Orthodoxia” yang telah dibuka dan diawali dengan penegasan secara kongkrit dan
penuh akan keilahian Kristus dalam Konsili Petama.

BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Mon Dec 24, 2007 12:37 pm

C. Zaman Penyebaran ke Utara

Masa Pasca-Konsili Ekumenis:


Dari Penginjilan Bangsa Slavia (863) sampai jatuhnya Konstantinopel (1453) ke Tangan Turki

1. Penginjilan Negara-Negara Eropa Timur (863)

Meskipun usaha Karel Agung untuk memasukkan Kerajaan Byzantium dan Gereja Timur dalam Kerajaan
Romawi Suci yang didirikannya itu tak berhasil, Paus di Roma makin memaksakan kuasanya kepada
seluruh Gereja di Barat. Paus-paus yang kuat seperti Nikholas I ( 858-867 ) menekan keras semua pengaruh
awam dan memusatkan semua kekuasaan pada hierarkhi Paus. Usaha sentralisasi pada Paus ini dtunjang
oleh dokumen-dokumen palsu “Dekrit Isidorus Dari Seville” dan “Donasi Konstantinus” yang ternyata
karangan kaum Frankish dan Jermanik itu sendiri, yang menyatakan bahwa Paus di Roma mempunyai
kekuasaan politis atas seluruh wilayah sekitar Roma, sehingga wilayah itu disebut “negara kepausan”

Sementara itu yang menjadi Patriarkh di Gereja Timur adalah Photius. Dia mengutus dua orang kakak-
beradik (Konstantinus dan Methodius) berbangsa Yunani: untuk menyebarkan Injil ke Moravia diantara
bangsa Slavia. Mereka tiba disana pada tahun 863, dan mereka telah menciptakan alfabet Slavia yang
berdasarkan alfabet Yunani (sekarang disebut alfabet Slavonik Lama atau Bulgaria Lama) untuk
menterjemahkan kitab-kitab Gerejawi ke dalam bahasa Slavia ini. Karena Gereja Orthodox selalu percaya
pasa inkarnasi Injil pada budaya setempat. Misi dari kedua kakak-beradik itu konflik dengan misi Gereja
Barat yang juga ada di Moravia ini. Gereja Barat memaksakan bahwa hanya bahasa Ibrani, Yunani dan Latin
saja yang boleh digunakan sebagai bahasa keagamaan Gereja. Karena para misionaris ini dari Gereja Barat
kedua kakak-beradik ini melaporkan situasi tadi ke Paus Hadrianus II (tahun 869), serta mereka
mendapatkan restu atas usaha mereka dari Paus Roma juga. Konstantinus meninggal pada tahun 869,
serta menjadi rahib sebelum meninggal dengan nama Kyrilos, serta diakui sebagai orang suci Gereja.
Karena itulah alfabet yang mereka ciptakan itu terkenal dengan nama huruf “Kyrilik” ( “Cyrillic”) yang
digunakan di banyak negara-negara Eropa Timur dan Rusia sampai sekarang. Methodius diangkat menjadi
Episkop, dan ketika dia kembali kepada karya misinya, dia ditangkap dan dipenjarakan oleh para misionaris
Gereeja Barat tadi dengan pertolongan Raja Louis Orang Jerman. Ketika Paus Yohanes mengetahui hal itu
pada tahun 873, dia menuntut agar Methodius dibebaskan. Namun ketika Methodius meninggal, semua
karyanya musnah, karena para muridnya banyak yang ditangkap,dibuang atau dijual sebagai budak oleh
kekuasaan negara Romawi Suci Jermanik, yang benci Byzantium, melalui para rohaniwan Gereja Barat itu.
Sebagian lagi ada yang melarikan diri ke Bulgaria dan terjadi banyak pertobatan disana. Dan ummat
Bulgaria ini akhirnya terkait dengan Gereja Konstantinopel. Dari Serbia ini usaha misi Gereja Orthodox di
Timur berkembang ke daerah-derah Serbia, serta pada akhirnya ke Kiev serta Rusia Utara. Inilah sungguh-
sungguh masa gerakan misi yang sangat luar biasa bagi Gereja Timur.

2. Konflik Terbuka Gereja Timur dan Gereja Barat (861-886)

Ketegangan-ketegangan yang sudah kita lihat antara Gereja Timur dan Gereja Barat ini menjadi konflik
terbuka untuk pertama kalinya antara tahun 861-886. Pada saat itu ada dua partai yang saling berebut
pengaruh di Konstantinopel baik secara politis maupun gerejawi, yang satu Partai Konservatif dan lainnya
Partai Moderat. Untuk mencapai perdamian dalam Gereja maka Patriarkh Phtoius yang tadinya orang
awam itulah yang dijadikan pemimpin Gereja. Partai Konservatif yang ekstrim tidak puas akan hal ini, lalu
meminta bantuan Paus di Roma, menggunakan nama baik Ignatius, Patriarkh yang sekarang sudah
pensiun untuk melawan Photius dan pemerintah yang memilih dia. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh
Paus Nikholas untuk ikut campur-tangan pada masalah Gereja Timur ini, karena perkembangan sentralisai
kepausan di Barat itu. Paus Nikholas lalu mengadakan Konsili di kota Konstantinopel pada tahun 861 untuk
menyelesaikan pertikaian kedua partai itu. Namun ketika para utusan Paus tiba di Konstantinopel Photius
memang Patriarkh yang sah, dan semuanya diselesaikan dengan damai. Namun ketika para utusan itu
kembali ke Roma, Paus Nikholas tidak mau menerima hasil keputusan tadi, lalu mengadakan Konsilinya
sendiri di kota Roma pada tahun 863, dia memecat Photius serta menyatakan bahwa Ignatius yang sudah
pensiun itu harus jadi Patriarkh yang sah. Namun pernyataannya ini tak diperdulikan oleh siapapun di
Gereja Timur.

Pada tahun 866 dan 867 Gereja Bulgaria sesuai dengan situasi politiknya kadang-kadang memihak Roma ,
namun kadang-kadang memihak Konstantinopel. Pada tahun 867 Photius mengadakan Konsili yang
dihadiri oleh 500 Episkop yang mengutuk Paus Nikholas karena ikut campur-tangan masalah internal dari
Gereja Bulgaria. Namun pada tahun yang sama itu terjadi suatu perubahan politik di Konstantinopel,
Basilius I menjadi Kaisar dengan membunuh Kaisar sebelumnya, dan untuk alasan politiknya dia memecat
Photius sebagai Patriarkh dan Ignatius yang pensiun diangkat lagi menggantikannya. Pada tahun 869 Paus
Hadrianius II pengganti Paus Nikholas di Roma, mengutuk Photius lagi atas masalah Bulgaria. Namun pada
tahun 877, situasi menjadi berubah ketika Photius harus menjadi Patriarkh lagi karena Ignatius yang saleh
itu meninggal dunia. Pada tahun 879 suatu Konsili yang sangat besar diadakan oleh pimpinan Photius dan
utusan Paus dari Roma juga diundang datang. Dalam Konsili yang dipimpin oleh Photius ini sendiri, maka
dipilah-jelaskan oleh Patriarkh Photius mengenai kedudukan Paus di Roma dalam hubungannya dengan
Patriarkh dan Gereja Konstantinopel. Serta hal itu diterima oleh Paus Yohanes VIII yang menjadi Paus yang
baru di Roma. Konsili tahun 863 dan 869 yang mengutuk Photius dinyatakan batal dan tak berlaku, serta
dengan tegas diakui bahwa Konsili tahun 787 tentang “ikon” diakui sebagai Konsili Ketujuh, serta
Pengakuan Iman Nikea “tanpa filioque” diteguhkan kembali.

Photius secara resmi diakui sebagai orang kudus Gereja. Dia adalah seorang theoloog yang banyak menulis
buku, terutama mengenai masalah “filioque” yang mengajarkan Ke-Esa-an Allah dengan mengatakan
bahwa Roh Kudus itu hanya keluar dari Bapa saja, sebagaimana Firmanpun diperanakkan dari Sang Bapa
yang satu dan yang sama itu. Dia membela Tradisi Gereja yang otentik dalam menentang pernytaan diri
Paus Nikhloas yang berlebih-lebihan itu, dan akhirnya menjaga kesatuan dengan Gereja Roma serta Paus
Yohanes VIII. Dia yang mensponsori misi besar-besaran kepada bangsa Salvia.

Abad kesembilan ini secara umum dapat dikatakan sebagai abad yang sangat penting bagi Gereja Timur. Ini
adalah abad kebangkitan di Gereja Timur, sedang di Gereja Barat ini adalah abad sentralisasi yang makin
bertambah di sekitar diri Paus. Satu-satunya theoloog yang dapat disebut dari Gereja Barat pada saat ini
adalah John Scotus Erigena (wafat 877)

3. Penginjilan Rusia ( 988)

Menginjak abad kesepuluh kita masih berjumpa dengan kebangkitan ilmu di Gereja timur, dimana ilmu-
ilmu dari para penulis non-Kristus Yunani itu mulai dipelajari kembali, tiulisan para Bapa Gereja mulai
dikumpulkan, serta “Kisah Hidup Para Orang Kudus” mulai dikompilasi untuk menjelaskan sisi
kharismatis dari pengalaman Gereja dimana dibuktikan bahwa sepanjang segala zaman Roh Kudus masih
berkarya dengan segala macam mukjizatnya dan pengudusannya seperti yang nampak dalam kehidupan
mereka ini, serta “Lavra Agung” ( Biara Terbesar di Gunung Athos Yunani) didirikan oleh Aghios
Athanasios dari Gunung Athos (960), Aghios Simeon Neos Theologos menulis sangat luas dan
mendalam mengenai makna pengalaman “Dibaptis dalam Roh Kudus” serta pengalaman melihat Terang
Tak Tercipa serta menyatu tenggelam dalam Terang tadi yang adalah tenggelam dalam Roh Kudus. Gereja
dan negara Byzantium makin saling merembesi, terutama Gereja makin mengendalikan masalah-masalah
perkawinan dan keluarga

Pada tahun 869 Tsar Boris dari Bulgaria dibaptiskan dengan Kaisar Mikhael III dari Konstantinopel sebagai
“ Bapak Baptis” (‘Bapa Selam”, “Papa Serani”). Sehingga dengan demikian Gereja Bulgaria secara kokoh
berada dalam persekutuan dengan Gereja Konstantinopel, terutama pada saat anaknya Tsar
Sumeon Gereja Bulgaria makin berkembang. Pada akhir abad kesembilan suatu sekte Bidat Bogomil,
suatu sekte dualisme yang menolak keilahian Kristus dan Sakramen-Sakramen Gereja sedang berkembang,
namun ditolak Gereja, mereka berkembang sampai ke Serbia, terutama di Bosnia. Kebanyakan dari
anggota sekte ini menjadi Muslim ketika Turki menguasai daerah Bosnia.

Pada tahun 988 para bawahan dari penguasa wilayah Kiev dibaptis di sungai Dnieper dibawah
pimpinan Pangeran Vladimir yang Agung, dengan demikian memulai sejarah Gereja Orthodox di Ukraina
dan Rusia. Valdimir menerima Iman Kristen Orthodox dari Konstantinopel, setelah mengadakan
penyelidikan dari semua agama yang ada, dia menemukan tidak ada agama yang keindahannya melebihi
Kekristenan Orthodox. Dia dibaptis di Konstantinopel dengan Kaisar Basilius sebagai Bapak Baptisnya.
Akhirnya dia menikah dengan Puteri Anna dari Konstantinopel, untukmengokohkan pertalian keluarga
Kerajaan. Sesudah baptisannya itu Vladimir mengalami suatu pengalaman pertobatan yang sungguh-
sungguh, sehingga banyak menanamkan prinsip-prisip Kristen dalam kerajaan yang dipimpinnya, serta dia
mengabarkan Iman Kristen Orthodox kepada seluruh bawahannya. Karena apa yang dilakukan dan
kekudusan hidupnya ini ia telah diakui sebagai orang kudus Gereja bersama dengan neneknya Putri Olga
yang telah menjadi Kristen sebelumnya, dan banyak mempengaruhi dia dalam keputusannya untuk
menjadi Kristen.

Pada akhir abad kesembilan sampai masuk abad kesepuluh Gereja Barat mengalami salah satu periode
yang paling gelap dalam sejarah. Gelombang-gelombang baru penyerbuan menghancurkan keamanan
kekaisaran yang diciptkan Karel Agung. Ggereja Barat menderita dominasi para penguasa-penguasa dari
antara kaum awam. Komunikasi dengan Gereja Timur sama sekali terputus. Namun demikian terjadilah
permulaan gerakan pembaruan di Gereja Barat yang dimulai dari Biara Cluny di Perancis.

D. Zaman Perpecahan

4. Perpecahan ( Skisma ) Besar (1054): Gereja Barat (Roma Katolik) Pecah Dengan Gereja Timur
( Orthodox)

Masuk ke dalam abad kesebelas kita temui peristiwa menyedihkan, yaitu perpecahan besar-besaran antara
Gereja Barat (Roma) dan Gereja Timur (Konstantinopel). Peristiwa ini dimulai dengan larangan penggunaan
Liturgi Gereja Timur Yunani di Italia Selatan oleh Paus Roma, serta sebagai balasannya dilaranglah
penggunaan Liturgi Gereja Barat Latin di Konstantinopel oleh Patriarkh. Pada tahun 1053 Paus di Roma
mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk bertemu dengan Patriarkh yang sedang
menjabat: Mikhael Kerularios. Tetapi Patriarkh tidak mau menerima mereka, karena dia melihat bahwa
tujuan kedatangan mereka mempunyai motivasi politik. Karena lelah menunggu dan karena jengkel
merasa tidak dihormati,, maka kepala rombongan utusan ini, yaitu: Kardinal Humbert, pada tanggal 16 Juli
1054, menempatkan dokumen “pengkutukan” ( “anathema” ) dan pengkucilan terhadap Patriarkh Mikhael
Kerularius dan semua yang bersimpati kepadanya, diatas mezbah (altar) Gereja Aghia Sophia, namun dia
tetap memuji Konstantinopel sebagai “Kota yang Amat Orthodox”. Kutukan ini landasannya karena Gereja
Timur tidak menggunakan “filioque”, mengijinkan para Presbyter (“Rohaniwan Tertahbis”) menikah,
kesalahan-kesalahan liturgis karena tidak sama dengan yang dipraktekkan dalam Gereja Latin. Tindakan
Kardinal Humbert ini ditanggapi Patriarkh Mikhael Kerularios dengan mengadakan Konsili Para Patriarkh
dan Episkop-Episkop Gereja Timur dengan menyatakan “anathema” dan “pengkucilan” terhadap semua
yang bertanggung jawab atas peristiwa “16 Juli 1054”. Dia mendaftar semua yang dianggap penyalah-
gunaan Gereja Latin. Sejak saat itu usaha untuk menyatukan kembali antara Gereja Barat yang kemudian
dikenal sebagai Gereja Roma Katolik dengan Gereja Timur yang tetap disebut sebagai Gereja Orthodox
atau Orthodox Yunani menjadi tak mungkin lagi. Maka terjadilah skisma (perpecahan) yang permanen
sampai sekarang. Semua usaha untuk persatuan tak satupun membuahkan hasil, bahkan pengangkatan
secara simbolik “anathema tahun 1054” ini yang dilakukan di zaman modern pada tahun 1966 oleh Paus
Paulus VI dari Gereja Roma Katolik dan Patriarkh Athenagoras dari Gereja Orthodox itupun tak berdampak
apa-apa dalam usaha kesatuan Gereja ini. Gereja Barat (Roma Katolik) tetap terpisah dari Gereja Timur
( Orthodox) dan tetap berjalan menurut jalannya sendiri sampai kini.

5. Masa Perang Salib

Dengan hampir kebanyakan daerah Kristen Orthodox di sebelah timur di kuasai Islam terutama Palestina,
maka sulit bagi orang-orang Kristen di Barat untuk mengadakan ziarah ke Tanah Suci. Maka di Gereja Barat
timbul suatu gerakan untuk merebut Tanah Suci dari tangan musuh. Maka oleh kotbah-kotbah beberapa
pemimpin Gereja di Barat Perang Salib merebut Tanah Suci itu dimulai pada tahun 1096. Mereka bergerak
maju menuju ke Timur dari Eropa Barat dengan dipimpin Uskup dan para pastor serta tentara-tentara
Katolik Barat. Gerakan ini tak terpisah dari apa yang terjadi di Gereja Barat. Pada pertengahan abad
kesebelas ini terjadi pembaharuan di Gereja Barat yang berpusat pada diri Paus. Gerakan ini sering disebut
sebagai “Pembaharuan Gregorian” menggunakan nama dari penggerak utamanya yaitu Paus Gregorius
VII atau Hildebrand.

Tujuan Gerakan ini adalah untuk menegakkan Gereja Katolik Roma kokoh terpisah dari ketergantungan
kepada kekuasaan pemerintah manapun. Akibatnya, ini makin amat sangat memperluas pernyataan diri
Paus di Roma akan kedudukannya. Sehingga usaha untuk berdamai dengan Gereja Timur makin sulit.
Misalnya pada tahun 1089 untuk mengadakan hubungan yang baik, Gereja Timur meminta pengakuan
iman dari Paus Urbanus II, dia menolak melakukannya, sebab dia merasa jika memberikan pengakuan
iman itu berarti Uskup Roma dapat dihakimi oleh orang lain di dalam Gereja. Dan pada saat Perang Salib
yang pertama tahun 1096 itulah kedudukan Paus di Roma sebagai penguasa sudah mapan sekali. Pada
akhirnya para tentara perang salib inilah yang memeteraikan skisma (perpecahan) diantara dua Gereja ini.
Para pasukan Salib itu merebut Yerusalem pada tahun 1099, serta mengusir ummat Islam dari situ, namun
juga mendirikan suatu Hierarkhi Kegerajaan Latin, dan mengusir Patriarkh Timur yang sah baik di
Yerusalem maupun di Antiokhia. Sejak saat itu baik di Palestina maupun di Syria terbentuk suatu
Kepatriarkhan Latin Ritus Timur, sebagai tandingan dari Kepatriarkhan Timur Orthodox yang sah. Kaum
Roma Katolik (Latin) yang menggunakan Ritus Timur, yaitu Tata Ibadah dan Spiritualitas Gereja Orthodox,
baik di Palestina maupun di Syria itu akhirnya dikenal dengan nama kaum “Melkit” , yaitu nama yang
tadinya digunakan oleh kaum “Monofisit” ( Yakobit) di Syria untuk menyebut Ummat Kristen Syria Orthodox
yang membela rumusan Kalsedonia. Sehingga sekarang Gereja dari Tradisi Syria ini terbagi jadi lima bagian,
yaitu: Syria-Antiokhia Orthodox (Kalsedonia) yang tetap bersatu dengan segenap Gereja Orthodox alur
utama lainnya dan meskipun mereka adalah orang Syria asli dan Patriarkhnya yang sekarang (1997)
Ignatius IV adalah orang Syria mereka disebut “Orthodox Yunani”, hasil pemaksaan Hirarkhi Latin pada saat
Perang Salib: Syria-Roma Katolik Ritus Timur : “Maronit” dan “Melkit” , serta kelompok yang memisahkan
diri pada Konsili Kalsedon Syria-Antiokhia Yakobit ( Monofisit, Oriental Orthodox), dan Ummat Syria di
Persia yang memisah dari Gereja Antiokhia dan menerima Nestorius sebagai simbol theologi mereka: Syria-
Kaldea ( Pre-Kalsedonian) yang disebut Gereja “Nestorian” atau Gereja Persia

Sementara itu di Gereja Barat terjadi pembaharuan-pembaharuan Cistercian dari Ordo Benediktin


( sekarang terkenal sebagai “trappist” ). Wakil terbesar dari Gerakan ini adalah Bernard dari Clairvaux. Dia
berkotbah kepada para pasukan Salib dan ikut berperang bersama Abelard. Gerakan Carthusian dari
kebiaraan para petapa juga terjadi pada zaman ini.

Di daerah-daerah yang diduduki Islam terutama di Syria dan Irak, orang-orang Kristen setempat ( Monofisit,
Nestorian, Orthodox) yang menjadi kelompok minoritas yang dilindungi (ahlul dzimma) diminta untuk
menterjemahkan karya sastra, dan ilmu-ilmu pengetahuan Kristen Timur, maupun Yunani klasik dari
bahasa Yunani atau terjemahan Syria ke dalam bahasa Arab, oleh para kalifah Islam. Hal ini terjadi pada
saat pemerintahan Kalifah Al-Ma’mun yang mendirikan Balai Terjemahan yang disebut sebagai Baitul
Hikmat. Terjemahan keilmuan dari Gereja Timur ke dalam bahasa Arab itu sangat membantu
perkembangan keilmuan dalam Islam. Terjemahan bahasa Arab ini akhirnya juga tersebar sampai ke
kalifahan Islam di Eropa, Cordova, Spanyol. Disana karya terjemahan bahasa Arab itu diterjemahkan lagi ke
dalam bahasa Latin. Dari situlah orang-orang Kristen Barat yang selama ini terkurung dalam zaman
kegelapan menemukan kembali keilmuan Kristen dari Gereja Timur melalui Islam, dan dengan demikian
membantu bangkitnya filsafat Skolastikisme di Barat yang berpuncak pada tulisan-tulisan Thomas
Aquinas.
BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Mon Dec 24, 2007 1:11 pm

E. Zaman Kesesakan

Ancaman Turki, Perkembangan Orthodoxia di luar Konstantinopel, dan Usaha-usaha Penyatuan


Gereja (abad 12 s/d abad 14)

a. Ancaman Turki

Menginjak abad kedua belas kekaisaran Byzantium dibawah wangsa Comnenus, harus menghadapi tiga
musuh sekaligus. Dari Barat harus menghadapi Pasukan Salib, dari selatan harus menghadapi ancaman
kekalifahan Arab, serta musuh baru yang muncul adalah bangsa Turki yang berasal dari Timur. Mereka
adalah suku Tartar, yang telah memeluk agama Islam ketika mereka menghancurkan Bagdad.
Kaisar Alexios Comnenus menetapkan bahwa Gunung Athos di semenanjung Khalkidiki, Yunani, harus
menjadi pusat kerahiban Gereja Orthodox, dan sampai sekarang menjadi pusat spiritualitas Gereja
Orthodox internasional. Theologia Iman Kristen Orthodox pada saat ini sudah begitu mapan, yang pada
pokoknya merupakan Theologia dari Ketujuh Konsili bersama dengan praktek-praktek awal Gereja Purba,
serta penjelasan-penjelasannya dalm tulisan para Bapa Gereja. Sehingga theologia Iman Kristen Orthodox
bukanlah pendapat perorangan namun Iman segenap Gereja itu sendiri, sikap yang mana tetap menjadi
ciri khas dari Gereja Orthodox masakini juga. Perorangan boleh menggunakan gaya dan caranya sendiri
dalam menyampaikan iman yang satu dan yang sama irtu, namun isinya adalah iman yang tak berbeda
dari Iman yang sejak zaman purba diimani Gereja sejak awal, dibela dan dijelaskan dalam Ketujuh Konsili,
serta dijabarkan oleh para Bapa Gereja dan dihidupi dalam perayaan-perayaan Ibadah dan Liturgi Gereja.

Sementara itu di Kiev, Rusia, Kekristenan Orthodox terus berkembang. Pada tahun 1124 dilaporkan terjadi
kebakaran 600 buah gedung Gereja, menunjukkan banyaknya gedung Gereja saat itu, dan sekaligus
perkembangan Kekristenan disitu. Rusia mewarisi theologia dan liturgi yang sudah mapan dari sejarah
Kekristenan me;lalui Byzantium dan seluruh iman Gereja Purba tanpa dikurangi, diubah ataupun ditambah.
Sehingga Iman Gereja Orthodox Rusia ataupun Gereja Orthodox dimanapun adalah satu dan sama. Pada
awal abad ini Pangeran Vladimir Monomakhos menulis buku “Amanat Untuk Anak-Anakku” suatu
nasihat kepada anak-anaknya bagaimana seharusnya menjadi pemimpin Kristen.

Sementara itu Gereja Serbia pada tahun 1217 mendapat restu dari Konstantinopel untuk menjadi Gereja
mandiri melalui usaha Sava, dan pada tahun 1219 Sava sendiri diangkat menjadi Episkop Agung yang
pertama oleh Patriarkh Manuel dari Konstantinopel. Hal ini terjadi setelah Kaisar Byzantium memberikan
ummat Serbia kerajaan bagi mereka di tanah asli mereka. Ini terjadi atas usaha pemimpin
mereka Nemanya ( 1113-1199). Pada saat abad dimana Gereja Serbia diakui sebagai Gereja mandiri,
demikian pula Gereja Bulgaria, dengan Episkop Agung dari Tvorno sebagai pemimpin Gereja Bulgaria.

Gereja Barat bersama dengan sentralisasi kepausan juga menyaksikan bangkitnya aliran Victoria dari
Theologia Agustinian yang dipimpin oleh Hugo (meninggal 1141) dan Richard dari Santo Victor. Juga pada
saat ini Petrus Lombardus menulis karyanya yang terkenal “Kalimat-Kalimat” .

b. Perang Salib Keempat dan Konsili Lyons

Abad ketiga belas diawali dengan apa yang dianggap sebagai peneguhan terakhir dari Skisma Gereja Barat
dengan Gereja Timur, yaitu peristiwa Perang Salib Keempat. Pada tahun 1204 Pasukan Salib Roma Katolik
itu gagal menyerang Islam, mereka berbalik menyerbu Konstantinopel. Kota Kristen itu dirampok habis-
habisan. Mereka menghancurkan dan mencuri benda-benda suci dari gereja-gereja. Mereka memporak-
porandakan dan menajiskan altar-altar (mezbah-mezbah). Banjir darah memenuhi Konstantinopel.
Diperkirakan orang Kristen Orthodox yang mati dalam Perang Salib Keempat di tangan ummat Latin ini
jauh lebih banyak dari ummat Islam yang mati di tangan mereka selama Perang Salib itu. Seorang Kardinal
Latin Thomas Morosini diangkat sebagai Patriarkh Konstantinople, sementara Patriarkh yang sah diusir
dalam pembuangan. Demikian juga seseorang bernama Frank diangkat jadi kaisar, sementara bersama
Patriarkh yang sah, Kaisar Konstantinopel melarikan diri dari serbuan tadi. Untuk pertama kalinya dalam
sejarah, orang-orang Latin Roma Katolik dari Gereja Barat, menjadi musuh yang terang-terangan di dalam
pikiran orang-orang Kristen Orthodox di Timur. Tulisan-tulisan dari Gereja Orthodox saat ini mulai
diarahkan untuk menyerang Kepausan dan Gereja Latin Roma Katolik itu sendiri. Pemerintahan orang Latin
Roma Katolik di Konstantinopel berakhir sampai tahun 1261, ketika Kaisar Mikhael Paleologos, berhasil
merebut Konstantinopel kembali dari tangan ummat Roma Katolik Latin itu, serta menempatkan kembali
Patriarkh yang sah pada tempatnya.

Kaisar Mikhael III dalam situasi yang tak dapat ditahan karena dari Timur diserang Turki, dan dia sendiri tak
dapat menjamin bahwa Pasukan Salib dari Gereja Barat tidak akan kembali menyerang lagi. Oleh
karenanya, demi alasan politik, dia mengrim utusan para Episkop menghadiri Konsili dari Gereja Barat
di Lyons pada tahun 1274 dengan harapan mendapatkan sympathy serta bantuan ekonomi dan militer
bagi kerajaan yang hampir roboh itu. Gereja Barat mengusulkan pada utusan-utusan Kaisar asal mau
mengakui Paus di Roma sebagai penguasa tertinggi, mereka boleh menjalankan tata-ibadah Timur milik
mereka sendiri, dan boleh tanpa menggunakan “filioque” , asal doktrin keluarnya Roh Kudus dari “Bapa
dan Putra” diakui, dan tidak disangkal sebagai bidat. Karena dalam keadaan terdesak maka usulan Konsili
itu diterima oleh para utusan Mikhael, yaitu: Paus di Roma adalah Penguasa Tertingggi, “filioque” harus
diterima – untuk yang pertama kalinya hal ini dituntut dalam sejarah. Namun ternyata janji orang-orang
barat itu kosong belaka. Mikhael tak pernah mendapat bantuan apapun sampai matinya pada tahun 1282.
Melihat fakta ini, maka akta penyatuan Gereja di Lyons ini langsung ditolak oleh semua Episkop dari Timur,
segera setelah Mikhael meninggal. Karena dianggap menyalahi Iman Gereja dengan tindakannya itu, maka
Kaisar Mikhael meninggal tanpa diberikan upacara pemakaman secara Gerejani.

c. Gereja Rusia dan Gereja Barat

Sementara itu pada abad ketiga belas ini Rusia berada dibawah penyerbuan bangsa Mongol pada tahun
1237 dan dijajah oleh kaum Tartar ini. Negara Kiev runtuh pada tahun 1240. Pada tahun 1231 Alexander
Nevsky menjadi Pangeran di Novgorod dan pada tahun 1240 berhasil memimpin bangsa Rusia memukul
mundur orang-orang Roma katolik Swedia yang menyerang Rusia. Dia juga berhasil mengadakan
perundingan dengan Khan Batu, untuk meringankan beban jajahan mereka atas rakyat Rusia, dia rela
membayar upeti kepada orang Mongol asalkan negaranya mendapatkan damai. Dia pulang dari Mongol
dengan mendapat gelar Pangeran Agung Kiev. Dia meninggal pada tahun 1263, dan diakui sebagai orang
suci Gereja karena kekudusan pribadinya, hikmat praktis, dan diplomasinya – yang semuanya itu
didedikasikan demu rakyatnya atas nama Kristus.

Abad ketiga belas ini di Gereja Barat disebut sebagai “abad paling agung.”. Karena Gereja Barat mulai
menemukan lagi keilmuan melalui terjemahan bahasa Latin dari bahasa Arab karya-karya Kristen Timur
yang telah diterjemahkan dari bahasa Yunani dan terjemahan Syria oleh orang-orang Kristen Timur dalam
daulat Islam seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya. Muncullah kegiatan “skolastikisme” yang
menetukan arah theologi Gereja Barat selanjutnya. Diantara tokoh-tokoh skolastis ini adalah Duns Scotus
serta Albertus Magnus dan muridnya Thomas Aquinas yang menulis “Summa Theologia” yang
menggunakan prinsip-prinsip logika dan filsafat daripada prinsip-prinsip Alkitab, yang mendominasi
theologi resmi Gereja Katolik Roma sampai Konsili Vatikan Kedua pada paruhan terakhir abad keduapuluh.
Disinilah yang membedakan cara berteologi Gereja Orthodox dan Roma Katolik. Karena Gereja Orthodox
tetap setia pada prinsip theologia konsili, serta penjabaran para bapa gereja, yang dialami dalam liturgi,
theologia yang mana adalah iman am Gereja dan berlandaskan Alkitab, bukan filsafat.

d. Gregorios Palamas: Essensi (Dzat Hakekat) Allah dan Energi Allah

Pada abad keempat belas kita jumpai perdebatan theologia yang menarik di Gereja Timur, sekitar theologia
Aghios Gregorios Palamas. Dia adalah seorang rahib di Gunung Athos, dimana praktek Doa Yesus : ‘Tuhan
Yesus Kristus, Anak Allah, kasihanilah hamba orang berdosa ini” dengan menyatukan pikiran dan hati
melalui disiplin tubuh yang ketat. dan berfokuskan pada “Nama Yesus” itu dilaksanakan. Sehingga mereka
mengalami keteduhan batin (“hesykhia”) tenggelam dalam hadirat Roh Kudus dalam penyatuan dengan
Yesus Kristus. Itulah sebabnya metode doa yang sampai sekarang tetap digunakan oleh ummat Orthodox
ini, disebut sebagai “hesykhasme” Banyak dari para rahib ini maupun ummat awam Orthodox dalam
pengalaman doa mereka secara demikian mengalami persekutuan dan panunggalan yang nyata dengan
Allah, termasuk mendapatkan penglihatan rohani akan Terang Ilahi yang Tak Tercipta., seperti yang dilihat
para murid ketika Yesus dimuliakan diatas gunung. Pada tahun 1326 pengalaman melihat Terang Ilahi Tak
Tercipta dalam praktek Doa Yesus itu dikecam oleh Barlaam dari Kalabria, Itali. Dia adalah orang Yunani
namun yang mengikuti faham humanisme dari “renaissance” Gereja Barat yang menggunakan filsafat dan
ide theologia Barat dimana kemungkinan bagi manusia untuk mengalami persekutuan dan pengalaman
panunggalan dengan Allah itu disangkal. Kecaman dari Barlaam ini dihadapi oleh Gregorios Palamas yang
membela posisi Iman Kristen Orthodox bahwa manusia dapat mengalami persekutuan dan panunggalan
dengan Allah secara sungguh-sungguh melalui Kristus dan oleh Roh Kudus di dalam Gereja.

Suatu Konsili padsa tahun 1346 mendukung pengajaran Gregorios Palamas ini. Dalam pengajaran itu
ditegaskan bahwa panunggalan yang dimaksud bukanlah panunggalan secara “pantheistis” seperti yang
diajarkan filsafat kafir, namun panunggalan secara Kristologis, Pnevmatologis dan Ekklesiologis. Artinya
oleh iman melalui baptisan kita manunggal dengan kematian dan kebangkitan Kristus artinya manunggal
dalam kehidupan Kristus sendiri. Hidup Kristus itu disampaikan kepada manusia oleh Roh Kudus, dan
pengalaman hidup Kristus, yang adalah Hidup Allah sendiri, oleh Roh Kudus itu dialami dalam pengalaman
sakramental, ibadah dan doa dalam persekutuan Gereja.

Dengan demikian kita mengalami hidup Allah tadi secara nyata. Menyatu pada hidup
Allah bukanlah menyatu pada “Essensi” ( Dzat-Hakekat) Allah, sebagaimana yang diajarkan oleh filsafat
“pantheisme” mistik, karena itu tidak mungkin. Namun menyatu dengan tindakan, hadirat dan energi
Allah yang memang tak tercipta dan bersifat ilahi.( misalnya yang nampak dalam wujud terang ilahi tadi).
Energi-energi Ilahi ini disalurkan atau dikaruniakan kepada manusia melalui Rahmat Ilahi atau Kasih
Karunia Allah,dan terbuka bagi partisipasi, ma’rifat dan pengalaman manusia.

Pada Konsili yang diadakan pada tahun 1347 dan 1351 sekali posisi Gregorios Palamas ini diteguhkan
persis seperti yang diajarkan Alkitab dan Tradisi Theologis Gereja Orthodox sepanjang segala abad. Sejak
saat itu perbedaan theologis mengenai “Essensi, Supra-Essensi” (“Adi Dzat-Hakekat”) dan “Energi-energi”
Ilahi menjadi bagian resmi dari Doktrin Gereja Orthodox.. Banyak orang karena tak mengerti posisi Iman
Kristen Orthodox akan perbedaan essensi dan energi ilahi ini menuduh Gereja Orthodox adalah Gereja
Mistik, dalam arti pantheisme, yang juga amat ditolak oleh Gereja Orthodox. Gereja Orthodox adalah
Gereja yang sangat kharismatis, dengan penekanannnya pada pengalaman Roh Kudus oleh Energi Ilahi
secara nyata, namun dengan corak yang amat berbeda sekali dari penghayatan Gerakan Kharismatik
modern. Sementara itu Kaisar Yohanes V Paleologos masih mengharapkan bahwa Gereja Barat akan
memberikan bantuan dari serangan Turki yang makin mendesak itu. Dia mengadakan persekutuan dengan
Gereja Roma tanpa ada usaha untuk penyatuan secara resmi. Pada abad keempat belas ini Gereja Barat
sendiri sedang mengalami masalah internal. Pausnya ditawan di Avignon, dan ada tiga orang yang
menyatakan diri sebagai Paus. Inilah yang disebut “Skisma Besar” dalam Gereja Barat.

e. Situasi di Rusia, Serbia dan Bulgaria

Rusia bagian selatan masih dibawah penjajahan Tartar pada abad keempat belas ini, namun bagian utara
merdeka dari penjajahan dan dibawah pimpinan Pangeran Yohanes Kalita sebagai bupati
dan Metropolitan ( Episkop Agung yang Berkedudukan di Ibu Kota ) Alexis sebagai pimpinan Gereja.
Orang yang sangat berjasa bagi pembangunan Rusia utara ini adalah Aghios Sergios Radonesh, yang lahir
tahun 1314 dan menjadi rahib tahun 1334. Dia hidup dalam segala kesederhanaan, melaksanakan puasa,
tinggal dalam hutan, hidup dalam doa yang mendalam. Akibatnya banyak orang yang menjadi muridnya,
Sehingga hutan itu menjadi perkampungan dan akhirnya berubah menjadi kota. Dia menjadi Bapa Rohani
dari Metropolitan Alexis. Dia dipenuhi karunia-karunia Roh Kudus: kesembuhan ilahi, penglihatan-
penglihatan yang luar biasa, serta mengetahui hati orang. Para pemimpin nasional selalu mohon
nasihatnya. Dan ketika pangeran Dimitri Donskoi akan mengusir penjajah Tartar, dia diberkati oleh Aghios
Sergios ini, sehingga dia mendapat kemenangan dan membebaskan Rusia sekali dan untuk selamanya dari
penjajahan Tartar.

Pada saat yang sama Aghios Stephanos dari Perm mengadakan penginjilan diantara suku-suku Zyria,
menterjemahkan kitab-kitab Gereja ke dalam bahasa mereka dengan menggunakan alfabet yang
diciptakannya untuk mereka. Usaha penginjilan ini akan menjadi fondasi bagi usaha penginjilan selanjutnya
dalam Gereja Orthodox Rusia baik di antara suku-suku Siberia, Jepang, Alaska, maupun Korea.

Serbia mengalami perkembangan yang pesat dibawah pimpinan rajanya Stefanus Dushan dan Gereja
Serbia menjadi keptriarkhan mandiri pada tahun 1346. Sedangkan Gereja Bulgaria dibawah
pimpinan Aghios Klemen dari Ochrid dan pertapaan kerahiban Zoografou bagi ummat Bulgaria dibangun
di gunung Athos, Yunani.

f. Usaha Penyatuan Yang Terakhir: Konsili Ferrara-Florence


Menginjak abad kelima belas Gereja Barat sedang mengalami gejolak mengenai hubungan antara Paus dan
Konsili-Konsili Gereja. Ada yang mengatakan kuasa Paus berada diatas Konsili-Konsili, ada yang
mengatakan Konsili-Konsili diatas Paus. Salah satu Konsili Gereja Barat pada saat ini, Ferrara –
Florence (1438-1439) didukung para paus. Wakil-wakil Gereja Timur ikut datang demi untuk meminta
bantuan lagi dalam perjuangannya melawan Turki. Yang ikut hadir dari Timur saat itu adalah
Kaisar Yohanes VIII, dan Patriarkh Yosef dari Konstantinopel dan Metropolitan dari Kiev, seorang Yunani
bernama Isidoros yang diterima dalam “derajat yang sama” dengan kaum Latin. Meskipun dalam Konsili ini
diputuskan suatu doktrin yang sangat keras mengenai kekuasan Paus, “filioque” dan “api penyucian” ,
Kaisar Byzantium amat tak perduli dengan ajaran dan theologia, asalkan dia dibantu Gereja Barat melawan
Turki melalui penyatuan dengan Gereja Barat.

Semua Episkop Orthodox mau menandatangani keputusan ini, kecuali Markus Evgenikus, Episkop dari
Efesus. Tiga keputusan doktrinal Konsili ini sangat berlawanan dengan ajaran Orthodox mengenai
kedudukan Paus, mengenai “filioque” dan sekaligus mengenai “api penyucian” yang memang tak dipercayai
adanya oleh Gereja Orthodox. Hasil usaha penyatuan di Florence ini tidak diumumkan sampai tahun 1452
di Konstantinopel di Gereja Aghia Sofia.

BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Wed Dec 26, 2007 3:32 pm

F. Zaman Penjajahan

Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Turki (1453) dan Masa Turkokratia (abad 15 s/d abad 19)

1. Orthodoxia di bawah Islam

Serangan pasukan Turki yang terus menerus, serta bantuan Gereja Barat yang selalu diharapkan namun
tak pernah terbukti itu, akhirnya dampaknya tak dapat dibendung lagi. Dibawah pimpinan Sultan
Muhammad II, pada tanggal 29 Mei 1453, pasukan Turki Muslim berhasil menyerbu Konstantinopel dan
menjebolnya. Konstantinopelpun jatuh ke tangan Turki, dan ini menandai runtuhnya Kekaisaran
Byzantium.. Dan Muhammad II merebut kota itu serta menamakannya “Istanbul” sampai saat ini. Gereja
Aghia Sophia dijadikan Mesjid. Berturut-turut Serbia pada tahun 1459, Yunani pada tahun 1459-60, Bosnia
pada tahun 1463 (dimana banyak kaum “Bogomil” yang keluar dari Gereja itu akhirnya menjadi Muslim),
dan akhirnya Mesir pada tahun 1517, jatuh ke tangan Turki. Selama 400 tahun sesudah itu bangsa Turki
Muslim menjajah ummat Kristen Orthodox di seluruh bekas wilayah Kerajaan Byzantium. Inilah masa yang
terkenal dalam sejarah Gereja Orthodox sebagai masa "Turkokratia" atau masa “Kekuasan Penjajahan
Turki”.
Pada saat ini Patriarkh Konstantinopel dalam keadaan yang sangat sulit, karena sekarang harus berada
dibawah kekuasaan Penguasa yang bukan Kristen. Dari waktu ke waktu Sultan yang berbeda-beda
memperlakukan para Patriarkh dengan cara yang berbeda-beda juga. Sering mereka dipecat dan diganti
sekendak Sultan, banyak diantaranya yang mati digantung tanpa sebab-sebab yang jelas.. Tak jarang pula
Sultan memperjual-belikan kedudukan Patriarkh ini bagi siapa yang mau membayar paling mahal kepada
Sultan. Patriarkh dijadikan sebagai “Ethnarkh” yaitu pemimpin masyarakat Kristen Orthodox, yang harus
menarik pajak pada ummat Kristen yang ada di seluruh wilayah Turki. Ummat Kristen Orthodox dilarang
menjadi tentara, namun mereka ditarik pajak untuk hal itu. Mereka tidak diijinkan menjadi saksi dalam
pengadilan, serta tidak diperkenankan untuk mengajukan orang Muslim ke pengadilan. Mereka dilarang
membangun Gereja yang baru, hanya kadang-kadang dijinkan membangun Gereja lama yang telah rusak.
Mereka dilarang membangun rumah lebih tinggi dari rumah-rumah kaum Muslimin, dilarang naik kuda
yang hanya diperuntukkan bagi kaum Musliminm saja, mereka hanya boleh naik keledai saja. Mereka harus
mengenakan pakaian dan topi yang berbeda dari Kaum muslimin.

Dengan berlalunya waktu, anak-anak mereka banyak yang diambil secara paksa oleh pemerintah untuk di-
Islamkan dan dijadikan pasukan pemerintah yang disebut “Jannisari”. Sering mereka menjadi korban
amukan massa tanpa ada perlindungan hukum, gereja-gereja mereka dirusak, atau rumah-rumah mereka
diserbu. Meskipun tidak selalu terjadi demikian. Ummat Kristen diijinkan murtad ke Islam dan akan diberi
prioritas-prioritas tertentu jika mereka melakukan, namun ummat Islam diancam hukum mati jika sampai
menjadi Kristen. Dan dalam keadaan semacam ini penginjjilan sangat mustahil dilakukan. Memang ada
disana-sini pertobatan dari Islam ke Iman Kristen Orthodox, namun segera hal itu ketahuan orang tadi
pasti akan dibunuh. Demikianlah situasi Ummat Kristen Orthodox pada zaman Turkokratia Muslim ini.

Sesudah kejatuhan Konstantinopel itu hal yang pertama dilakukan oleh Patriarkh Gennadios
Skholarios adalah menolak akta penyatuan Florence. Dia dibawah tekanan yang kuat dari Agios Markos
dari Efesus dalam tindakannya ini. Aghios Markos adalah pembela yang amat kokoh dari Iman Orthodox.,
dan menyebut usaha persatuan di Florence itu sebagai “penyatuan fasik”. Demikianlah kejatuhan
Byzantium tidak berarti kejatuhan Orthodoxia. Biarpun secara manifestasi kesejarahan Gereja Orthodox
mengalami kegoncangan-kegoncangan, namun iman dan kehidupan Gerejawinya sama sekali tak tersentuh
oleh perubahan-perubahan luar ini. Imannya tetap utuh terlindungi asli dan murni tanpa ada pengurangan
ataupun penambahan, sejak zaman rasul sampai masa abad keruntuhan Byzantium ini, dan bahkan
sampai abad modern inipun.

2. Kerajaan Rusia Orthodox

Dengan jatuhnya Byzantium ke tangan kaum Muslimin, benih terbentuknya kekaisaran Rusia mulai berakar
di Moskow. Ivan III Yang Agung (1462-1505), Pangeran dari Moskow, dapat mengalahkan Rusia utara dan
menyatukan dengan daerah Rusia lainnya. Dia menikah dengan puteri Sophia Paleologos dari Byzantium
pada tahun 1472, serta menerima gelar Tsar ( bentuk bahasa Slavia untuk kata “Kaisar”) dan mengambil
alih lambang Garuda Berkepala Dua dari Byzantium, serta menyebut Moskow sebagai Roma Ketiga ,
sebagaimana Konstantinopel disebut sebagai Roma Kedua (Roma Baru).

Di Rusia pada abad kelima belas ini terjadi permasalahan mengenai peranan Gereja dalam kehidupan
politik dan sosial dari bangsa itu. Kelompok “bukan pemilik” yang dipimpin oleh Aghios Nilus dari Sora
( Nil Sorsky) mengajarkan bahwa Gereja terutama biara tak boleh memiliki dan menguasai tanah yang
luas, serta harus bebas dari pengaruh dan kendali langsung dari pemerintah, demi semangat kemiskinan
dan kerendahan hati. Sedangkan kelompok “pemilik” yang dipimpin oleh Aghios Yosef dari Volotsk,
sehingga kelompok ini sering disebut “Yosefit”, mengajarkan bahwa Gereja dan negara harus memiliki
hubungan yang erat, dan bahwa Gereja harus melayani kebutuhan sosial dan politik dari bangsa Rusia
yang sedang muncul ini. Kedua pemimpin ini adalah sama-sama murid dari Aghios Sergius dari Radonesh.
Akhirnya meskipun semangat kaum “bukan pemilik “ itu yang selalu tinggal dalam Orthodoxia di Rusia,
namun cara kaum “pemilik” itulah yang mendominasi kehidupan kegerejaan serta perkembangan
kebangsaan pada abad-abad berikutnya di Rusia.

Sementara itu di Gereja Barat pada abad kelima belas, penolakan pada kekuasaan Paus makin keras,
dalam wujud:
1. Gerakan Konsiliar dimana ada 3 Paus sekaligus pada saat yang sama.
2.munculnya kesadaran nasional bangsa-bangsa Eropa Barat
3. Munculnya gerakan-gerakan agamawi yang menjadi awal Gerakan Reformasi Protestan.
4. Munculnya Gerakan Renaissance.

Gerakan Renaissance yaitu bangkitnya ketertarikan pada budaya klasik Romawi-Yunani.Tokoh-tokoh


gerakan ini adalah : Erasmus, Lenardo da Vinci, Raphael. Juga harus disebut Yohanes Huss yang dibakar
hidup-hidup karena perlawanannya terhadap Paus dan praktek-praktek Gereja Roma pada tahun 1415.
Demikian juga Savonarola-pun dibakar hidup-hidup oleh perintah paus pada tahun 1498 karena
mengecam dan mengutuk kejahatan dan dosa-dosa dalam Gereja.

3. Gerakan Reformasi Protestan dan Kontra Reformasi Roma Katolik di Gereja Barat

Masuk ke dalam abad keenam belas di Gereja Barat kita menemukan Gerakan Reformasi Protestan dan
Kontra Reformasi Roma Katolik. Martin Luther, Yohanes Calvin dan Ulrich Zwingli menyerang
penyimpangan-penyimpangan praktek Gerreja Roma serta pengajaran-pengajaran resminya. Pengaruh
reformasi di daratan Eropa ini dibawa ke Inggris sehingga Raja Henry VIII mendirikan Gereja Anglikan
pada tahun 1534, dan John Knox membawa ajaran Calvinisme ke Skotlandia.

Sebagai reaksinya Gereja Roma Katolik mengadakan Konsili di Trente ( 1561-1563) yang secara resmi
merumuskan doktrin khas Roma Katolik: Api Penyucian, Indulgensia, Transubstansiasi, dan posisi-posisi
lain yang diserang Protestantisme. Ajaran Protestan berkisar sekitar: Pembenaran oleh Iman saja,
Keselamatan oleh rahmat saja, serta dasar iman dan kehidupan hanya Kitab Suci saja. Sakramen hanya dua
saja: Baptisan dan Perjamuan Kudus, yang utamanya dimegerti hanya sebagai simbol atau kenangan saja.
Gereja Katolik Roma lebih menegaskan lagi Keunggulan Kekuasan Paus serta kekuasaan hierarkhi yang
juga sangat ditentang kelompok Protestan.

Gerakan Kontra-Reformasi Roma Katolik terutama dipimpin oleh Ignatius dari Loyola yang mendirikan
Ordo Yesuit, untuk membela Sri Paus dan doktrin-doktrin yang telah dirumuskan dalam Konsili Trente,
dengan membantah ajaran Protestantisme sekaligus menarik Ummat Orthodox untuk menyatu dengan
Roma.. Demikian juga Fransiscus Xaverius menyebarkan ajaran Katolik Roma itu sampai ke Asia (Timur
Jauh). Pada saat ini juga terjadi reformasi spiritual di dalam Gereja Roma Katolik yang dipimpim
oleh Teresa dari Avilla.

Sementara itu Luther ingin mengadakan hubungan dengan Patriarkh Konstantinopel: Yeremia II. Karena
permusuhan yang ada antara pemerintah Turki dan pemerintah Jerman, surat Luther dan terjemahan
Pengakuan Augsburg ke dalam bahasa Yunani, baru sampai kepada Patriarkh Yeremia di Konstantinopel
dua tahun kemudian, ketika Luther sudah meninggal. Namun korespondensi dilanjutkan antara Patriarkh
Yeremia II dengan pakar theologia Lutheran: Melanchton, Osiander dan beberapa orang yang lain
Korespondensi itu cukup lama dan panjang, namun akhirnya Patriarkh Yeremia meminta agar para pakar
theologia Lutheran itu menghentikan saja korespondensi itu, karena ketika diingatkan oleh Patriarkh
Yeremia bahwa beberapa ide dari Lutheranisme itu bersifat bidaah dan tak sesuai dengan Iman Rasuliah
Orthodox yang Katolik yang tetap dipertahankan oleh Gereja Orthodox itu, mereka tetap mempertahankan
diri. Maka korespondensipun berhenti sampai disitu. ..

4. Masa Pemerintahan “Ivan Yang Mengerikan” di Rusia

Ivan Yang Mengerikan memerintah Rusia dengan tangan besi. Dia dengan kejam menyiksa siapa saja
yang berani mengecam atau mengkritik tindakannya, termasuk diantaranya banyak rohaniwan Gereja yang
menjadi korban kekejamannya. Dia ingin membuktikan bahwa Rusia adalah sungguh Roma Ketiga dan
berada diatas negera-negara Orthodox yang lain. Bapak rohaninya sendiri Presbyter Sylvester dibuang
dalam tawanan olehnya. Ketika Ivan yang mengerikan ini turun takhta maka dia digantikan oleh
anaknya: Theodoros. Pada saat inilah Patriarkh dari Konstantinopel Yeremia II mengunjungi Rusia untuk
meminta bantuan karena kondisi tekanan yang dialami Gereja Konstantinopel dibawah Turki. Pada saat
kedatangannya inilah Episkop Ayub dari Moskow Patriarkh segenap Rusia pada tahun 1589. Kedudukan
Rusia sebagai Gereja Patriarkhat diakui oleh Patriarkh Alexandria, Patriakh Antiokia dan Patriarkh
Yerusalem pada tahun 1593. Sementara itu di perbatasan sebelah barat Rusia Kerajaan Polandia-Lithuania
mulai berdiri dan mengambil banyak wilayah Rusia. Sehingga penduduk di daerah itu kebanyakan
beragama Kristen Orthodox. Sedangkan pemerintahannya sendiri beragama Katolik Roma. Kaum Yesuit
datang ketempat itu dengan membawa ilmu-ilmu dari Barat sehingga akibatnya terjadilah apa yang disebut
sebagai Persatuan Brest-Litovsk dengan menggunakan persyaratan-persyaratan Konsili Florence sebagai
landasannya. Ummat Orthodox yang masuk dalam persatuan dengan Roma ini boleh menggunakan cara
ibadah dan tradisi Orthodox namun hierarkhinya dan ajarannya sama sekali harus tunduk pada Gereja
Latin di Roma. Mereka inilah yang akhirnya dikenal sebagai Gereja “Katolik Timur”, yaitu Gereja Roma
Katolik yang menggunakan Ritus dari Gereja Orthodox Timur, disamping itu mereka juga disebut sebagai
kaum “Uniat”. Gerakan uniatisme ini tentu saja mendapat perlawanan sengit dari banyak orang.
Perlawanan ini datangnya dari kaum awam yang membentuk lembaga persaudaraan yang mendapat restu
dari Patriarkh Yeremia dari Konstantinopel untuk membela Iman Katolik yang Orthodox melawan usaha
Gereja Roma Katolik ini.

Disamping kesulitan yang dihadapi oleh Gereja Orthodox dari pihak Roma Katolik, ummat Orthodox juga
menghadapi kesulitan dari Islam, dimana banyak ummat Orthodox yang menjadi martyr bagi mereka yang
hidup di wilayah Islam.

5. Masa-Masa Sulit di Rusia

a. Skisma Kaum Percaya Lama

Memasuki abad ketujuh belas Tsar Polandia yang baru saja dinobatkan menyerbu Rusia ketika Rusia baru
saja kehilangan pemimpinnya karena meninggal. Banyak pemimpin Rusia ditawan dan dibunuh oleh
pemerintah Polandia, termasuk Patriarkh Germogen.

Kesulitan ini diikuti dengan Skisma Kaum Percaya Lama di Rusia sebelah Utara. Patriarkh Nikon dari
Moskow ingin mengadakan keseragaman dalam praktek-praktek Liturgis Gereja Rusia agar seirama dengan
seluruh Gereja Orthodox yang lain, Dia ingin mengkoreksi ulang terjemahan-terjemahan buku-buku Liturgis
yang ada. Dia juga ingin mengkoreksi cara orang Orthodox Rusia selama ini membuat tanda salib dengan
dua jari: ibu jari dan telunjuk saja, harus dengan tiga jari: ibu jari, telunjuk dan jari tengah, dan hal-hal
serupa itu yang lain. Menurut ukuran kita saat ini, perubahan semacam itu hanya kecil saja artinya, namun
dalam mentalitas bangsa Rusia waktu itu, menyeragamkan praktek Rusia dengan praktek dari wilayah-
wilayah Patriarkh yang lain, berarti menyangkal kedudukan Rusia sebagai “Roma Ketiga” karena harus
tunduk pada patriarkh-patriarkh lain yang hidup dalam jajahan Islam, sehingga pembaruan yang sifatnya
kecil itu menjadi ledakan besar. Usaha untuk mencari jalan tengah tidak berhasil, sehingga mereka yang
menentang pembaharuan Nikon ini memisahkan diri dari Gereja Resmi, dan tetap mempertahankan
praktek-praktek ritual lama Gereja Rusia, sehingga mereka disebut “Kaum Percaya Lama” atau “Kaum
Ritualis Lama” . Nikon sendiri dipecat dan dipenjara Kaisar karena berani mengingatkan kesalahan Kaisar
di depan umum, sedangkan pemimpin “Kaum Percaya Lama” dihukum mati oleh Kaisar. Teori Moskow
sebagai Roma Ketiga, serta teori keunggulan Rusia atas Patriarkh-patriakh yang lainpun digugurkan. Pada
tahun 1682 Kaisar Petrus yang Agung sangat ingin menyeragamkan praktek-praktek Gereja Rusia dengan
Gereja Barat, namun untung ada Kaum Percaya Lama yang mempertahankan praktek-praktek Gereja
Orthodox Rusia secara murni, kalau tidak ada mereka, telah musnahlah ciri khas Gereja Rusia.

b. Gereja Orthodox Dalam Tawanan Pemikiran Barat (“Pseudomorphosis”)

Pada saat ini Seminari theologia di Kiev didirikan. Banyak pengaruh metode dan sistimatik skolastikisme
pemikiran Barat mempengaruhi Rusia pada saat ini akibat karya orang-orang Yesuit.. Sementara itu di
wilayah Islam, para pemimpin Orthodox tidak mempunyai kesempatan memperkembangkan pemikiran
theologisnya, karena mereka tak diijinkan keluar dari daerah mereka ataupun membuat sekolah theologia
mereka sendiri. Sehingga masa ini Gereja Orhodox mengalami apa yang disebut “ Tawanan Pikiran Barat”
atau “Pseudomorphosis “ selama dua ratus tahun. Artinya Gereja Orthodox tidak dapat berpijak pada
theologia Orthodox yang otentik.

Untuk melawan Katolik mereka menggunakan argumentasi Protestan, misalnya : Patriarkh Kyrillos
Lukaris dari Konstantinopel yang sangat Calvinist, sehingga ajarannya ditolak Gereja sebelum dia
meninggal ditenggelamkan pemerintah Turki ke dalam laut, serta Petrus dari Moghila yang untuk
melawan Protestantisme menggunakan argumentasi Roma Katolik. Pada saat ini pemerintah Turki
menghapuskan kemandirian Gereja-Gereja Orthodox yang lain dan dipaksa tunduk kepada kepatriarkhan
Konstantinopel di Turki agar mudah pengawasannya.

Eropa baru saja pulih dari kekacauan agama akibat reformasi-kontra reformasi. Amerika sudah ditemukan
dan banyak pengikut aliran baru akibat Reformasi Protestan mulai bertempat tinggal disana: Baptis,
Quaker, Puritan, Konggregasionalis, dan lain-lain. Perpecahan dalam denominasi-denominasi terus terjadi
dalam tubuh Protestantisme.

6. Masa pemerintahan Petrus Yang Agung di Rusia

a. Di wilayah Turki

Ummat Orthodox yang ada di wilayah Islam pada abad kedelapan belas mengalami banyak sekali kesulitan.
Sehingga dalam waktu 73 tahun di abad ini tahta kepatriarkhan Konstantinopel digantikan oleh patriarkh-
patriarkh sebanyak 48 kali. Ini menunjukkan kondisi yang mengenaskan dari ummat Kristen yang hidup
dibawah pemerintahan Turki. Ini adalah saat yang paling pekat bagi ummat Kristen Orthodox. Namun
ditengah situasi seperti ini tak berarti Gereja tak memiliki viatalitas dan kebenaranian untukl bersaksi.
Muncullah Aghios Kosmas Aitolos seorang misionari yang sangat berani ditengah situasi yang hampir
mustahil itu. Dia meninggalkan biaranya di Gunung Athos untuk mengajar Injil kepada ummat yang sedang
teraniaya itu. Dia adalah pengkhotbah dan guru serta pelaku mukjizat. Akhirnya apa yang dilakukan itu
harus ditebus dengan nyawanya sendiri dengan dibunuh sebagai martyr di tangan orang-orang
Turki. Aghios Makarios dari Korintus adalah pengkotbah dan missionari sekaligus, yang diangkat menjadi
Episkop di Korintus. Dia mentobatkan banyak orang yang sedang dalam tekanan pemerintah yang
memusuhi agama mereka itu. Aghios Nikodemas dari Gunung Athos, adalah orang yang bertanggung-
jawab bagi kebangunan rohani diantara ummat Orthodox ditengah-tengah jajahan Turki itu.

b. Situasi di Rusia: Sinode Suci yang Memerintah

Masa dalam “Tawanan Pikiran Barat” yang sangat skolastis itu masih mendominasi Rusia, terutama dalam
diri Tsar Petrus yang Agung. Dia ingin membuat Gereja Orthodox Rusia itu menjadi seperti Gereja Lutheran
di Jerman, sehingga dia memecat Patriarkh serta membubarkan sistim kepatriarkhan dan
menggantikannya dengan sistim synode, yang disebutnya : Synode Suci yang memerintah[b], yang
dirancang oleh [b]Theophan Prokopovich yang sangat Pro-Protestan. Synode Suci ini terdiri dari dari
para Episkop,. Para Presbyter, serta orang-orang awam yang ditunjuk oleh Kaisar dan harus tunduk kepada
Kaisar sebagai pimpinan duniawinya. Ini adalah masa yang paling sulit bagi Gereja Rusia. Sistim “Synode
Suci” yang sangat tidak Orthodox ini baru dibubarkan pada tahun 1918 (terlalu terlambat karena Revolusi
Bolshevik sudah terjadi dan pemerintah Komunis sudah berkuasa) ketika seorang Patriarkh dipilih lagi
untuk Gereja Rusia. Orang yang ditunjuk oleh Petrus Yang Agung menjadi pemimpin pertama dari Synode
Suci ini adalah Stefan Iavorskii, yang sangat Pro-Roma Katolik. Itulah sebabnya ummat Orthodox baik
yang dibawah Islam atau di Rusia terbagi menjadi Pro-Roma atau Pro-Protestan, dan harus membela salah
satu dari kedua posisi yang asing dari Tradisi Theologia Orthodox sendiri itu. Tradisi Gereja Orthodox yang
hidup hampir tak dikenal oleh situasi sejarah yang demikian ini. Orthodoxia betul-betul sedang dalam
“Tawanan Pikiran Barat” dan theologinya betul-betul sedang mengalami “Pseudomorphosis” (“Perubahan
Bentuk yang Palsu”). Namun suatu gerakan pembaharuan rohani yang otentik Orthodox sudah mulai juga
pada abad yang dekaden bagi Gereja Orthodox ini. Ini mulai dengan ditemukannya lagi untuk pertama kali
sumber tradisional Iman dan spiritualitas Orthodox diantara lingkungan kaum rahib. Paisii Velikovskii
(wafat 1794) , seorang rahib dari Moldavia, pergi ke Gunung Athos, dan pulang membawa
kitab “Philokalia” , yaitu kumpulan tulisan-tulisan spiritual dan theologis dari para Bapa Gereja Timur, yang
diterjemahkannya ke dalam bahasa Rusia. Dari sinilah secara pelan-pelan pemikiran yang otentik Orthodox
mulai ditemukan kembali oleh Gereja. Pimpinan Gereja Rusia yang terkenal pada abad kedelapan belas
ini Platon dari Moskow , pengarang banyak buku theologia, pendukung studi kesejarahan, serta
perancang rencana yang membuat kembalinya Kaum Percaya Lama bersekutu dengan Gereja Orthodox.

Pada abad keselapan belas ini missionari Rusia mulai menyebarang Siberia ke Alaska, terutama Aghios
Herman yang mentobatkan suku-suku Eskimo di Kutub Utara kepada Iman Kristen Orthodox, yang tetap
menjadi iman mereka sampai kini.

c. Gereja Barat

Abad kedelapan belas adalah abad kebangunan rohani dan perluasan misi bagi Gereja Barat. Yohanes
Wesley memulai Gerakan Methodisme di Inggris, dan dibawanya ke Amerika sampai mempengaruhi
“Kebangunan Besar” di Amerika, yang merobohkan tembok-tembok pemisah diantara kaum Protestan, dan
menjadi sumber theologia Evangelikal (Injili) nantinya. Jonathan Edwards (wafat.1758) dan George
Whitefield (wafat 1770) pemimpin dai Gerakan Kebangunan Rohani Protestan ini. Namun pada saat ini
juga semangat pencerahan dan romantisisme juga telah masuk ke dalam masyarakat Barat yang akan
menjadi sumber bagi theologia liberal dalam kalangan ummat Protestan dan juga Katolik Roma. David
Hume, Immanuel Kant, dan Frederich Schleimacher muncul pada saat ini pula Gereja Roma Katolik
pada abad kedelapan belas mengalami gerakan misioner yang amat besar namun juga konflik dengan
semangat pencerahan.

7. Kebangunan Rohani dan Gerakan Misi Gereja Orthodox Rusia

a. Kebangunan Rohani

Masuk kedalam abad kesembilan belas, kita masih menjumpai Gereja Rusia tetap dibawah tekanan
pemerintah dengan Synode Suci yang dipaksakan ke dalam Gereja Orthodox itu. Inilah penyebab
kelumpuhan Gereja sehingga tak mampu menghadapi Komunisme ketika itu muncul di Rusia, serta salah
satu penyebab kejatuhan Rusia ke tangan Komunis nantinya. . Gereja sangat dikendalikan dan disensor
dengan ketat oleh pemerintah, dimana Patriarkh tak dimilikinya, konsili-konsili Gereja tak pernah
dilakukannya. Namun benih kebangunan rohani yang sudah mulai ditanamkan pada abad ke delapan belas
itu mulai menghasilkan buah pada abad kesembilan belas ini. Pada saat ini muncullah seorang tokoh luar
biasa Aghios Serafim dari Sarov ( wafat 1833). Dia adalah seorang rahib yang selama 20 tahun tinggal
tersembunyi dalam hutan tenggelam dalam doa yang mendalam (terutama Doa Yesus), puasa, dan disiplin-
disiplin rohani. Pada tahun 1825 dia keluar dari pertapaannya, dan disitulah kebangunan rohani di mulai.
Ribuan orang datang untuk dijamah olehnya, dan ribuan orang disembuhkan. Dia mengetahui masalah
orang sebelum diberi tahu. Disaksikan oleh muridnya: Motovilov, badannya mengeluarkan sinar terang
yang menyilaukan seperti yang terjadi ketika Yesus dimuliakan diatas gunung. Ini meneguhkan kembali apa
yang telah dibela oleh Aghios Gregorius Palamas mengenai “Pengalaman Energi Ilahi” yang telah
dinyatakan sebagai bagian dari ajaran resmi Gereja Orthodox. Aghios Serafim mengajarkan bahwa tujuan
hidup Kristen adalah untuk mendapatkan Roh Kudus dan tenggelam di dalamnya, dan kalau Tuhan
karuniakan sampai mengalami “Terang Tak Tercipta” seperti yang dialaminya itu. Disamping Aghios Serafim
dari Sarov, tokoh pembaharuan dan kebangunan rohani Orthodox di Rusia adalah para tetua rohani dari
Pertapaan Kerahiban Optina.

Kebangunan rohani dalam Gereja Orthodox selalu terkait dengan kehidupan penyangkalan diri dan praketk
Doa Batin: Doa Yesus. Yang terkait dengan hal ini adalah pengalaman-pengalaman energi ilahi dalam
mukjizat-mukjizat, kesembuhan-kesembuhan, karunia pembeda-bedaan roh, karunia pemberitahuan hal
sebelum terjadi dan terutama munculnya para “tetua rohani” yang memiliki karunia mengetahui isi hati
seseorang ( “staretz” “yeronda”) , serta pengudusan kehidupan. Tokoh lain dalam gerakan kebangunan
rohani Orthodox pada saat ini adalah: Episkop-Rahib Ignatii Brianchaninoff (wafat 1867) serta Theophan
Sang Penyendiri (wafat 1867) yang menulis masalah-masalah rohani yang berjilid-jilid banyaknya. Juga
munculnya suatu buku populaer mengenai “Doa Yesus” oleh seorang penulis Rusia yang tak dikenal
namanya : “Jalan Si Pengembara” (Di Indonesia telah diterjemahkan oleh Gereja Roma Katolik dari
Yayasan Kanisius, dengan judul “Doa Tak Kunjung Putus”).

Tokoh lain dari masa kebangunan rohani abad kesembilan belas di Rusia ini adalah seorang presbyter yang
menikah : Romo Yohanes Sergieff dari Kronstadt ( wafat.1908). Dengan isterinya sendiri dia membuat
rumahnya sebagai pertapaan, mereka berdua telah berjanji untuk hidup sebagai rahib dan rahibah dan
mengubah kehidupan rumah tangga mereka menjadi kehidupan untuk Kristus. Romo Yohanes ini sangat
terkenal sebagai seorang gembala Gereja. Dia berkhotbah.mengajar, dan menyembuhkan banyak orang
melalui doa-doanya. Dia menekankan perlunya ambil bagian dalam Perjamuan Kudus sesering mungkin,
serta mengikuti Sakramen Pengakuan Dosa sesering mungkin.Buku bimbingan rohaninya yang amat
terkenal adalah : “Hidupku di dalam Kristus” .
Disamping di bidang rohani, di bidang theologipun Gereja Orthodox pada abad kesembilan belas ini
mengalami kebangunan. Tokoh-tokoh kebangunan theologia pada saat ini adalah Metropolitan Filaret
dari Moskow ( wafat 1867), serta pakar theologia awam : Alexei Khomiakov (wafat 1860) yang karya-karya
tulisnya - misalnya buku yang terkenal “Gereja Adalah Satu” - aslinya tidak diterbitkan di Rusia karena
sensor pemerintah. Dia adalah salah satu dari tokoh-tokoh pemikir original yang menemukan kembali
sumber otentik theologia Orthodox dari Iman Konsiliar dan Para Bapa Gereja Purba, serta Kehidupan
Sakramental Gereja, dan melepaskan Theologia Orthodox dari “Tawanan Pemikiran Barat” yang
berlandaskan pada kategori theologia Agustinian dan metode Skolastikisme, baik yang Roma Katolik
( sebagaimana yang dijabarkan oleh Thomas Aquinas) maupun yang Protestan ( sebagaimana yang
dijabarkan oleh Luther dan Calvin, yang metode dan kategori pemikirannya menjadi pijakan semua bentuk
aliran dan theologia Protestan selanjutnya ). Sejak saat itu sampai kini Gereja Orthodox telah menemukan
kembali jati dirinya dan berpijak kembali kepada Ajaran Rasuliah yang Orthodox dan Katolik dari Gereja
Purba, dan lepas dari “Tawanan Pemikiran Barat” dan dari penampakan palsu “Pseudomorphosis” itu.

b. Gerakan Misi

Banyak orang Kristen Non-Orthodox menuduh Gereja Orthodox tidak pernah mengadakan misi keluar, dan
hanya terkungkung dalam faham “mistik” dalam lingkup dirinya sendiri saja. Entah apa pula yang dimaksud
mereka dengan “mistik” Gereja Orthodox ini. Namun mengenai tuduhan Gereja Orthodox tak pernah
melakukan misi itu hanyalah karena ketidak-tahuan sejarah Gereja Orthodox sejak zaman Purba, zaman
Konsili pertama oleh Ulfilas, pertobatan Eropa Timur dan Rusia, bahkan ditengah-tengah tekanan Islam,
serta karya Gereja Rusia yang sedang kita bahas ini. Sebagaimana di Gereja Barat, abad kesembilan belas di
Rusia adalah juga abad kegiatan misioner. Presbyter Makarii Glukharev (wafat 1847) mendedikasikan
dirinya bagi penginjilan suku-suku di Siberia. Dosen awam, Nikolai Ilminskii ( wafat 1891)
menterjemahkan Alkitab dan buku-buku Gereja ke dalam bahasa suku-suku ini. Akademi Theologia yang
didirikan di Kazan menjadi pusat kegiatan misioner dari Gereja Rusia. Pada saat ini, Episkop Nikolas
Kasatkin dari Tokyo (wafat 1912) mentobatkan beribu-ribu orang Jepang kepada Iman Orthodox, dan
pada saat meninggalnya, dia telah meninggalkan suatu gereja lokal yang mandiri ( sekarang Katedralnya
“Nikolai-Do” ada di Tokyo), dengan Kitab Suci dan buku-buku Gereja dalam bahasa setempat dengan
presbyter-presbyter orang-orang setempat. Aghios Herman yang telah kita sebutkan besama
Romo Yohanes Veniaminoff juga mengabarkan Injil kepada suku Eskimo: Aleut dan meinggalkan orang-
orang Eskimo mayoritasnya adalah pemeluk Iman Orthodox sampai kini. Pada saat ini pula banyak ummat
Orthodox yang pindah dari tanah asli mereka untuk tinggal di negara-negara yang lebih bebas, terutama
Amerika Serikat, Australia, Eropa Barat, Amerika Latin dan New Zealand. Mereka inilah yang akan menjadi
penggerak misi Gereja Orthodox pada abad kedua puluh nanti.

c. Masa Turkokratia Berakhir

Secara theologia selama dua ratus tahun Gereja Orthodox dalam “Tawanan Pikiran Barat” dan akhirnya
dapat melepaskan diri pada abad kesembilan belas. Demikian pula masa Turkokratia selama empat ratus
tahun itu berakhir pula pada abad kesembilan belas ini. Pada abad ini sejumlah besar ummat Orthodox
dapat merebut kemerdekaan mereka dari jajahan Turki Muslim. Perjuangan kemerdekaan Yunani pada
tahun 1821 menyebabkan Patriarkh Gregorius dari Konstantinopel mati digantung pemerintah Turki.
Sesudah Yunani merdeka menjadi negara mandiri, maka status mandiri dari Gereja Yunani
diproklamasikan pada tahun 1833, dan diteguhkan oleh Konstantinopel pada tahun 1850. Sekolah
theologia Halki di Konstantinopel didirikan, yang darinya, Theologia Otentik Orthodox disebarkan dan
diajarkan kembali, seta banyak para pemimpin Orthodox dihasilkan oleh sekolah ini. Namun pada tahun
1970an ditutup lagi oleh pemerintah Turki sampai sekarang belum boleh dibuka. Gereja umania dan Srrbia
serta Bulgariapun memperoleh status mendiri pada saat ini.

d. Gereja Barat

Pada abad kesembilan belas kita menemukan Protestantisme sedang mengalami konflik antara aliran
theologia liberal dan Neo-Orthodoxy dengan kaum Konservatif, Evangelikal dan Fundamentalis. Sedangkan
dalam Gereja Roma Katolik, pada awal abad ini dicanangkan Dogma Roma Katolik “Maria Terkandung
Tanpa Dosa Asal” oleh Paus Pius IX, tahun 1854. Sedangkan pada tahun 1870, Konsili Vatikan I,
menegaskan doktrin “Paus Tak dapat Salah” , suatu doktrin yang makin menjauhkan Gereja Roma Katolik
dari Gereja Orthodox. Pada tahun 1848 menanggapi sindiran-sindiran Paus Pius IX yang ditujukan kepada
Gereja Orthodox termasuk kedua doktrin baru yang dicanangkan oleh Gereja Roma Katolik, namun yang
tak dapat diterima oleh Gereja Orthodox itu, maka para Patriarkh dari Timur mengeluarkan Surat Edaran
yang menegaskan Sifat Konsiliar dari Gereja Orthodox.

BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Wed Dec 26, 2007 3:43 pm

G. Zaman Modern ( Abad 20-21)

Gereja Orthodox Masakini

a. Situasi Gereja Orthodox dalam Diaspora

Ada banyak hal terjadi selama abad kedua puluh dalam Gereja Orthodox. Terutama perpindahan ummat
Orthodox dari negera asli masing-masing ke daerah-daerah yang telah kita sebutkan diatas. Sehingga
terbentuk kelompok-kelompok ummat Orthodox yang berkumpul atas dasar kebangsaan. Dan mereka ini
loyal kepada patriarkhat asal mereka masing-masing, sehingga terbnentuklah yurisdiksi-yurisdiksi yang
bermacam-macam sesuai dengan asal negara mereka. Situasi ini sangat tidak sesuai dengan hukum Kanon.
Namun di Amerika untuk mengatasi kekacauan yuridiksi ini diadakan persekutuan para Episkop Orthodox
yang disebut “SCOBA” untuk pada akhirnya nanti membentuk satu Gereja Othodox Amerika. Keepiskopan
Orthodox Yunani, membentuk suatu “ Pusat Misi Orthodox” yang sekarang telah menjadi milik bersama
dari semua Gereja Orthodox yang ada di Amerika. Gereja di Yunani juga telah memiliki beberapa badan
misi, dan yang terutama adalah “Apotosliki Diakonia” ( Pelayanan Apostolik) yang juga merupakan badan
misi Gereja Orthodox.
Pada tahun 1917 Rusia jatuh ke tangan Komunis, dan beribu-ribu pemimpin Orthodox yang dibunuh,
dipenjarakan atau dibuang. Berjuta-juta ummat Orthodox mati dianiaya oleh propaganda atheisme di
Rusia dan Eropa Timur. Namun pada tahun 1988 ketika Presiden Mikhael Gorbachev mencanangkan
glasnots dan peretroiska, komunisme runtuh dan Gereja mengalami kebangkitan dan vitalitas kembali di
Rusia.

Pada tahun 1920 Patriarkh Ekumenis mengeluarkan Surat Edaran untuk segenap ummat Kristen
mengadakan kerjasama. Dari situlah Gereja Orthodox akhirnya bersama Gereja-Gereja Protestan
membentuk Dewan Gereja –Gereja seDunia.

b. Misi Gereja Orthodox

1. Di Benua Afrika

Pada tahun 1960 ada sekelompok orang Kristen kulit hitam Afrika yang membentuk suatu denominasi baru
yang disebut “Gereja Orthodox Afrika.” Dengan berlalunya waktu mereka mengetahui bahwa Gereja
Orthodox yang sebenarnya itu masih ada di Alexandria. Lalu mereka menemui Patriarkh Alexandria
Kalsedon ( bukan Koptik ) dan menginginkan untuk menggabung dengan Gereja Orthodox. Dari permulaan
awal inilah, sampai sekarang misi Gereja Orthodox mengalami kemajuan pesat di Uganda, Kenya, Tanzania,
Kameroon, dan banyak daerah Afrika lainnya termasuk Afrika Selatan. Dua orang Episkop Orthodox Kulit
Hitam telah ditahbiskan sejak saat itu, dan presbyter-presbyter adalah orang lokal dengan liturgi dalam
bahasa lokal.

2. Amerika, Eropa dan Inggris

Perkembangan Gereja Orthodox di wilayah barat ini, tak lepas dari kehadiran ummat Orthodox Diaspora
yang ada di negara-negara itu. Namun baru mulai mengalami kemajuan pesat ketika 2000 orang mantan
pendeta Injili beserta ummatnya menemukan kembali Iman Orthodox itu, sehingga banyak orang-orang
Barat non-etnik Orthodox dari segala macam latar-belakang yang sekarang mencari Gereja Orthodox dan

dengan giat menyebarkan Iman Orthodox disitu. Tokoh-tokoh terkenal Gerakan ini adalah  eter
Gilquist, Gordon Walker dan lain-lain di Amerika, Sedangkan di Eropa dan Inggris tokoh terkenal terutama
adalah :Michael Harper, seorang mantan Imam Gereja Anglikan dan tokoh Kharismatik Internasional.

3. Asia

Gereja Orthodox Jepang sudah kita singgung sejarahnya. Gereja Orthodox Korea, pada mulanya adalah
misi Gereja Rusia juga, namun ketika Rusia berperang dengan Jeang dan Jepang dikuasai Korea, semua
milik Gereja Orthodox disita pemerintah Jepang. Ketika Korea merdeka milik Jepang jadi milik pemerintah
Korea. Banyak ummat Orthodox yang meninggalkan Gereja, namun masih ada sedikit yang bertahan.
Ketika Perang Korea Utara dan Selatan tahun 1950an, tentara perdamaian PBB dikirim ke Korea. Diantara
mereka adalah tentara Yunani. Ummat Orthodox Korea yang masih sisa itu mendekati pasukan Yunani
inimenceritakan keadaan mereka. Hal itu dilaporkan ke Yunani, dan sejak saat itu Gereja Orthodox Korea
berada dalam wilayah Patriarkh Konstantinopel sampai sekarang. India disamping memiliki Gereja Syria
Monofisit (Oriental Orthodox) di sebelah Barat pantai India, juga memiliki Misi yang dilakukan oleh Gereja
Orthodox Kalsedonia di daerah Kalkuta. Ini juga berada di bawah Konstantinopel Demikian juga Gereja
Orthodox Filipina. Untuk tujuan perkembangan misi di Asia, Patriarkh Konstantinopel`membagi
Keepiskopan Agung Australia menjadi dua: Keepiskopan Agung New Zealand untuk Asia Pasifik dan
Keepiskopan Agung Australia sendiri untuk benua Australia.

4. Indonesia

a. Masa Sebelum GOI

Sudah kita sebutkan bahwa Gereja Timur dari Persia telah hadir di Indonesia pada abad ketujuh di Pancur
dan Barus, bahkan di Majapahit. Kisah mereka itu tidak ada kelanjutannya. Sejak zaman Belanda dan
terutama pada tahun 1950an terdapat pula Gereja Timur, meskipun itu adalah Gereja Orthodox Oriental
Armenia di Jakarta, namun dari anggota-anggotanya di dalamnya terdapat juga orang-orang Yunani.
Mereka memiliki Gereja di Jalan Thamrin sekarang dan telah dibongkar menjadi Bank Indonesia pada tahun
1960an ketika zaman penerintahan Orde Lama., dan di Surabaya di Jalan Pacar 6, yang telah dibeli oleh
komunitas Kristen Protestan, etnis Tionghoa.. Namun ketika terjadi pemberontakan G-30-S banyak mereka
ini yang meninggalkan Indonesia pindah ke negara lain, dan sejak saat itu komunitas Armenia ini tak ada
lagi di Indonesia.

b.Munculnya GOI (Gereja Orthodox Indonesia)

Gereja Orthodox Indonesia bermula dengan perjumpaan seorang pemuda yang masih duduk di bangku
SMA dengan Kristus pada hampir pertengahan tahun 1970an. Pada saat pertobatannya dia belum begitu
banyak tahu tentang perbedaan macam-macam aliran Gereja. Pada pertengahan tahun 1970an dia
berkecimpung aktif dalam gerakan kharismatik. Namun dia mulai menyadari perbedaan-perbedaan yang
ada antara mereka yang non-kharismatis dan yang kharismatis. Demikian juga perbedaan yang ada antara
beberapa macam aliran Gereja, terutama perbedaan menyolok antara Katolik dan Protestan. Dia mulai
meragukan pilihannya sendiri, disamping mulai rindu akan cara-cara ibadah yang teratur. Dia ketemukan
dalam Alkitab ada puasa, sembahyang dengan sujud dan lain-lain. Dia ingin mencari Gereja seperti
diceritakan dalam Alkitab itu. Dia ingin tahu asal mula Gereja, dan keberadaan Gereja Purba. Pada tahun
1978 dia pergi ke Korea untuk belajar theologia. Disana selama kuliah pergumulannya belum selesai,
namun pada awal tahun 1982 dia membaca buku tentang “Gereja Orthodox” dan menemukan jawaban
pergumulannya. Dia mengunjungi Gereja Orthodox Korea. Singkat cerita pada tanggal 6 September 1983
dia telah diterima menjadi anggota Gereja Orthodox satu-satunya dan yang pertama dari Indonesia,
dengan restu langsung dari Patriarkh Konstantinopel. Dari Korea pergi ke Yunani terutama banyak di
Gunung Athos.

Disitu mulai mengadakan korespondensi dengan saudara-saudara di Indonesia. Sehingga beberapa orang
tertarik akan Iman Orthodox. Dari Yunani pergi ke Amerika melanjutkan kuliah di Holy Cross Greek
Orthodox School of Theology. Dari situ ia melanjutkan kuliah di Ohio State University mengambil bidang
study Anthropology Budaya namun juga pada saat yang bersamaan mengambil doktorat untuk bidang
Religious Study di “Bethany Theological Seminary”, Dothan, Alabama. Setelah ditahbiskan di Amerika oleh
Episkop Maximos dari Pittsburgh, PA, dia kembali ke Indonesia sebagai Presbyter Daniel Bambang Dwi
Byantoro (penulis buku ini)pada tanggal 8 Juni 1988. Ia mulai pelayanannya di Mojokerto, namun kemudian
pindah ke Solo. Di Solo ia mendirikan Yayasan “Suara Dharma Tuhu” sebagai wadhah pelayannanya,
kemudian diubah menjadi “Yayasan Orthodox Injili.’ Sedangkan ketika di Amerika melalui korespendensi
tadi, orang-orang yang tertarik kepada Iman Kristen Orthodox itu diundang ke Amerika dan diterima
sebagai anggota Gereja Orthodox disana melalui Sakramen Krisma, serta melanjutkan kuliah theologia dan
akhirnya mereka semua ditahbis sebagai presbyter dan sekarang sudah melayani di Indonesia: Presbyter
Yohanes melayani di Surabaya dan Krian, Presbyter Lazarus melayani daerah Jogya dan Cilacap, Presbyter
Matius membantu Romo Daniel di Jakarta. Disamping itu ada presbyter yang dididik di Korea: prebyter
Methodios melayani daerah Boyolali, Presbyter Alexios melayani daerah Solo, Diaken Panteleimon
melayani daerah Mojokerto. Yayasan Dharma Tuhu, yang kemudian diubah menjadi Yayasan Orthodox
Injili Indonesia di Solo sebagai awal Presbyter Daniel memulai karya misinya itu,.tugas utamanya adalah
menterjemahkan semua buku-buku liturgis Gereja ke dalam bahasa Indonesia disamping tugas penginjilan.
Di Solo Presbyter Daniel dibantu oleh beberapa orang termasuk yang sekarang menjadi Presbyter
Chrysostomos (Manalu), yang sesudah selesai kuliah di Yunani, dan melayani selama dua tahun di New
Zealand, kini melayani untuk daerah Medan dan Tarutung. Sedangkan di Singaraja dan Denpasar , Bali,
dilayani oleh Romo Stefanus yang juga telah menyelesaikan pendidikannya di Amerika.

Tahun 1989 adalah pembaptisan pertama kepada Iman Orthodox dari orang-orang yang tertarik kepada
iman Orthodox ini. Mulai dari saat itulah Gereja berkembang secara pelan-pelan di Solo, sampai kini telah
memiliki Gedung Gereja yang permanen. Sejak semula usaha untuk mendaftarkan ke Departemen Agama
dilakukan. Pada tahun 1991 secara resmi Gereja Orthodox Indonesia yang berpusat di Solo telah di daftar
di Departemen Agama Pusat,.dengan Keputusan No: 189/th.1991, dan diperbarui lagi dengan nomor :
F/Dep.Kep./ Hk 005/ 19/637/ 1996 Tanggal 12 Maret 1996. Dari tahun 1989 s/d 1996 Gereja Orthodox
Indonesia berada dalam wilayah Keepiskopan Agung New Zealand. Namun pada bulan Agustus 1996
Patriarkh Bartholomeus I pengganti ke 269 dari Rasul Andreas, berkunjung ke Hong Kong, dan Keepiskopan
New Zealand dibagi dua. New Zealand hanya untuk Korea, Jepang dan Pasifik, sedangkan Hong Kong untuk
China Raya dan Asia Tenggara dan bertanggung jawab untuk Indonesia atas nama Konstantinopel.. Episkop
Agung Hong Kong yang sekarang adalah Metropolitan Nikitas Lulias. Gereja Orthodox Indonesia sekarang
(tahun 2000) memiliki 7 presbyter Indonesia asli, dua orang diaken, seperti yang telah kita sebut diatas.

Sedangkan Diaken Gabriel Raul masih sedang belajar di Amerika. Masih ada empat orang lagi pemuda
Orthodox yang sedang belajar di luar negeri: Timotheos dan Margaretha di Athena, Yunani, Gregorios Eko
di Tesalonika serta Yosua Waluyo Utamo di Amerika Serikat. Gereja Orthodox di Jakarta tadinya
mengadakan pertemuannya sekali sebulan di Kedutaan Yunani. Kemudian ada perkembangan baru
dimana pada tanggal 18 April 1997 diadakan baptisan yang menandai terbentuknya jemaat Gereja
Orthodox di Jakarta. Pada tanggal 5 Oktober 1997 secara resmi Jemaat lokal (paroikia) Gereja Orthodox ini
diberi nama “Aghia Epiphania” suatu nama yang diberikan oleh Episkop sendiri. Sambil menunggu
dibangunnya “Orthodox Christian Center” di tanah milik Gereja di Cinere, saat ini Gereja Orthodox
beribadah tiap minggunya di rumah Bapak Roy Martin. . Pada tahun 1994 Presbyter Daniel diangkat
sebagai “Arkhimandrit” ( gelar jenjang tertinggi untuk presbyter yang tidak menikah) oleh Metropolitan
Dionysios dari New Zealand, serta ditetapkan sebagai Vikaris (Wakil) Episkop Agung untuk Indonesia, dan
bertanggung jawab kepadanya. Karena perkembangan yang ada di Asia dan karya yang makin meluas dari
Gereja Orthodox di Asia, maka Patriarkh Konstantinopel, Bartholomeus I, memutuskan untuk mendirikan
suatu Ke-Episkopan Agung yang baru untuk Asia. Itulah sebabnya pada bulan Agustus tahun 1997, maka
telah diciptakan suatu wilayah Ke-Metropolitan-an Hong Kong dan Asia Tenggara yang berkantor pusat di
Hong Kong. Wilayah Gerejawi yang baru ini bertanggung-jawab atas semua Gereja-Gereja Orthodox di Asia:
India, Singapura, Thailand, Filipina, China, Taiwan dan Hong Kong. Jepang dan Korea termasuk dalam
wilayah New Zealand. Episkop Agung yang menjabat pada saat ini adalah Metropolitan Nikitas Lulias
berkedudukan di Hong Kong.

Dengan demikian Gereja Orthodox Indonesia ini dibawah penggembalaan rohani dari Metropolitan Nikitas
Lulias tersebut.Perkembangan selanjutnya yang terjadi pada tahun 2000 ini adalah, untuk pertama kalinya
wakil-wakil rohaniwan dan wakil-wakil pengurus dari Gereja Orthodox Indonesia secara resmi
bersilaturahmi dengan Presiden Republik Indonesia: Bapak K.H. Abdurrahman Wahid di gedung Bina
Graha, Jakarta pada tanggal 13 Maret 2000. Serta diikut-sertakannya Gereja Orthodox Indonesia secara
resmi dalam dialog interaktif dengan Presiden bersama-sama dengan tokoh-tokoh agama lain serta tokoh-
tokoh masyarakat di Gedung Pola, pada tanggal 20 Maret 2000. Dan yang tak kalah pentingnya adalah
keikut-sertaan Gereja Orthodox Indonesia dalam Sidang Raya XIII PGI di Palangka Raya, Kalimantan Tengah
pada tanggal 20-31 Maret 2000, yang dengan demikian makin mengokohkan tempat Gereja Orthodox
dalam hubungan kemasyrakatan maupun ke-Gereja-an di bumi Indonesia ini. Ini penting bagi Gereja
Orthodox Indonesia karena PGI itu terkait dengan WCC atau DGD (Dewan Gereja-Gereja seDunia) yang
berpusat di Geneva Swiss. Sedangkan berdirinya WCC itu awal-mulanya berasal dari inisiaytif dari Patriarkh
Athenagoras dari Konstantinopel, yiatu Patriarkh dari Gereja Orthodox melalui Surat Edarannya yang
dikeluarkan pada tahun 1920an. Padahal Gereja Orthodox Indonesia adalah bagian dari wilayah Patriarkh
Ekumenis Konstantinopel ini. Dan di WCC Geneva, Gereja Orthodox adalah merupakan bagian yang integral
dari lembaga persekutuan Gereja-Gereja secara internasional itu.

Demikianlah sejarah Gereja Orthodox Indonesia, yang merupakan bagian resmi dari seluruh Gereja
Orthodox di dunia ini.

Kesimpulan

Dari bukti-bukti sejarah yang kita bahas diatas terbuktilah bahwa Gereja Orthodox mempunyai sejarah
yang tak terputus dengan Gereja Purba dan bahkan Gereja Perjanjian Baru itu sendiri. Gereja Orthodox
tetap memelihara ajaran Rasuliah Gereja Purba itu tanpa tambahan ataupun pengurangan, serta
mempraktekkan ibadah yang sama dengan Gereja Purba, dan tetap memiliki pusat-pusat dimana asal mula
Kekristenan itu berada. Bahkan para patriarkh dan episkop serta presbyternya memiliki mata-rantai
pentahbisan yang dapat dilacak ke belakang langsung kepada para rasul itu sendiri. Gereja Orthodox tak
pernah mengalami dan tak memerlukan Reformasi ataupun Kontra-Reformasi, karena ajarannya tak ada
satupun yang asing dari Injil itu sendiri. Pandangan theologinya bukanlah pandangan perorangan,
misalnya:Agustinus atau yang lain, para sarjana Skolastik dalam Gereja Roma Katolik, ataupun pandangan
perorangan seperti Luther atau Calvin dalam pihak Protestan, namun pandangannya bersifat konsiliar dari
segenap Gereja. Iman Orthodox tidak tunduk pada negosiasi atau perubahan-perubahan keinginan filsafat
manusia. Singkat kata Gereja Orthodox bukanlah hanya ingin meniru-niru Gereja Perjanjian Baru namun
adalah Gereja Perjanjian Baru itu sendiri yang tetap hadir sepanjang dua puluh abad ini. Biarpun
sejarahnya mengalami jatuh bangun dan derita, namun imannya, ajarannya, ibadahnya, dan ethosnya tak
mengalami perubahan serambutpun. Ini tak berarti Gereja Orthodox tak pernah berkembang, namun
perkembangan Gereja Orthodox selalu berlandaskan dan mengacu kepada Iman Rasuliah yang satu dan
yang sama yang memangtak pernah berubah dalam hakekat isinya itu. Dengan kata lain dapat dikatakan
Gereja Orthodox tetap setia memelihara kepenuhan dan keutuhan kehidupan dan Iman Perjanjian Baru itu
tak terkoyakkan ataupun tergeserkan. Seutuh-utuhnya dan sepenuh-penuhnya Injil itu dipelihara tak
berubah tanpa pengurangan ataupun penambahan selama 2000 tahun ini oleh Gereja Orthodox.

Daftar Pustaka

- Daniel, David , “The Orthodox Church in India” , Miss Rachel David, New Delhi, 1986
- Hopko, Thomas Father, “ The Orthodox Faith, Volume III, Bible and Church History, An Elementary Handbook
on the Orthodox Church” , The Departement of Religious Education, he Orthodox Church in America, 1979
- Hill, Henry, The Right Reverend, “Light From The East, A symposium On The Oriental Othodox and Assyrian
Churches” , Anglican Book Centre, Toronto, Canada, 1988
- Moffet , Samuel Hugh, “History of Christianity in Asia” Harper, San Fransisco, 1992
- Ruck, Anne Dr., “Sejarah Gereja Asia” , P.T. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997

BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Wed Dec 26, 2007 4:00 pm

Kristen Orthodox Timur dan Kristen Orthodox


Oriental:
Kasus “Kanisah Orthodox Syria” di Indonesia

Dengan dimuatnya banyak publikasi mengenai apa yang disebut Gereja Orthodox Syria, yang sebenarnya
bukan Gereja namun hanya “Yayasan Study” saja yang ada di Indonesia ini, dan sebaliknya kurangnya
publikasi mengenai Gereja Orthodox Indonesia, terutama seperti yang termuat dalam artikel mengenai
“Kristen Orthodox Syria” yang termuat dalam majalah Gatra No. 17 Tahun IV, 14 Maret 1998, halaman 84-
85, maka banyaklah timbul informasi yang simpang siur mengenai apa sebenarnya Gereja Orthodox itu.
Apalagi secara sengaja dan secara tendensius Bambang Noorsena menuduh dan mengkaburkan Sejarah
dengan mengatakan bahwa Gereja Orthodox Yunani itu adalah bagian Gereja Barat, suatu hal yang akan
dipertanyakan secara Sejarah maupun secara wacana Internasional. Karena semua orangpun tahu bahwa
Gereja Orthodox, Yunani, Rusia, Serbia, Rumania, Antiokhia, Alexandria termasuk Gereja Orthodox
Indonesia apapun bentuk budayanya adalah “Gereja Timur” dengan latar-belakang etnis dan budaya, serta
aqidah yang berbeda dari Gereja Barat yaitu Roma Katolik dan denominasi-denominasi Protestan. Untuk
menjelaskan keadaan yang sebenarnya, maka perlu kita bahas masalah itu:

1. Mengenai Asal-Usul Gereja Orthodox

Dalam artikel utama laporan Gatra mengutip pendapat Cak Nur bahwa aliran Kristen Orthodox Syria ini
“lebih murni ketimbang Kristen yang berkembang di Barat” dan disebut sebagai “Kristen yang paling asli”.
Namun di dalam artikel dalam box dikatakan bahwa “paham Orthodox lahir dari perselisihan antara Gereja
Alexandria dan Gereja Roma serta Kaisar Konstantin” pada tahun 451 Masehi. Yang “murni” dan “asli”
bagaimana bisa baru muncul 5 abad kemudian? Lagipula disini terdapat kekacauan sejarah, Konstantin
sudah mati sebelum Konsili ( Majma ) Ekumenis (Sejagad ) yang kedua, tahun 381 diadakan, yaitu pada
tahun 337. Sedangkan pada tahun 431, saat diadakan Konsili ketiga di Efesus, Gereja Timur di Syria yang
tadinya adalah bagian dari Gereja Orthodox universal terpecah menjadi dua yaitu yang berada di Persia
terkenal dalam sejarah sebagai Gereja Nasthuriyah (Nestorian) karena dianggap mengikuti ajaran Patriarkh
berkebangsaan Syria yang menjabat di Konstantinopel ( Istambul) di Byzantium ( Kerajaan Romawi Timur
yang kemudian menjadi negara Turki) yaitu Patriarkh Nestorius, dan Gereja Orthodox Syria yang berada di
sebelah Barat dari Persia yang saat itu masih menyatu dengan Gereja-Gereja Orthodox yang lain. Jadi tak
mungkin Konstantin masih hidup pada saat Majma Khalkaduniyah (Konsili Kalsedonia) pada tahun 451 itu
diadakan. Gereja Orthodox bukan lahir pada saat Konsili Kalsedonia tahun 451 itu. Istilah Orthodox sudah
digunakan sejak abad kedua ketika Gereja Kristen yang satu pada saat itu harus melawan ajaran-ajaran
bidaah (“heterodox”) terutama “Gnostikisme” dengan menekankan kemurnian ajaran asli dan murni dari
para Hawariyyin (para rasul Kristus) yang hanya satu dan tak bermacam-macam sebagai ajaran yang lurus
(“Orthodox” dari kata Yunani “Orthos = Lurus, Benar , dan”Doxa” = Pemikiran, Pengajaran, Kemuliaan).
Gereja Othodox yang satu ini juga disebut sebagai “Katolik “ (dari kata Yunani “Kath’” = menurut, sesuai
dengan, dan “Olon” = keseluruhan, keutuhan ). Dan yang pertama kali menyebut Gereja Orthodox yang
satu di zaman purba itu sebagai “Katolik” adalah Patriarkh ( Episkop, Uskup) Gereja Antiokhia Santo Ignatius
pengganti ketiga dari Rasul Petrus, dalam surat-suratnya sebanyak tujuh buah yang sekarang masih ada
dan dihormati oleh Gereja-Gereja Orthodox.

Jadi istilah “Katolik” yang digunakan oleh Gereja Purba yang satu itu tak boleh dikacaukan dengan
fenomena keagamaan modern yang akhirnya disebut agama “Katolik Roma”. Gereja Kristen Purba yang
satu yang disebut “Orthodox” dan “Katolik” itu pada Konsili Ekumenis tahun 325 Masehi menetapkan empat
pusat yang dipimpin masing-masing oleh seorang Patriarkh ( Al-Batrik) yang juga disebut Paus ( Al-Baba),
yaitu :Roma, Alexandria, Antiokhia dan Yerusalem. Pada Konsili kedua di Efesus tahun 381 ditetapkan lagi
pusatnya menjadi lima, dengan urutan: Roma, Konstantinopel, Aleksandria, Antiokhia dan Yerusalem.

Pada saat Konsili ketiga tahun 431 muncul mazhab Nasthuriyah atau Nestorian yang memisahkan diri dari
wilayah administrasi Gereja Syria Antiokhia. Nestorius menekankan bahwa Almasih memiliki dua pribadi
dan dua kodrat yang saling terpisah-pisah yaitu kodrat aslinya sebagai Kalimatullah, serta kodrat
kemanusiaan yang diambil dari Maryam pada saat turun ke bumi. Mazhab Nasthuriyah (Nestorian) inilah
merupakan Gereja Syria Timur yang bermukim di Persia, dan mazhab inilah yang banyak bersinggungan
dengan sejarah munculnya Islam. Pada abad kelima muncul ajaran “Eutychianisme” yang menekankan
bahwa Isa Almasih hanya memiliki “kodrat tunggal” yaitu kodrat ilahi saja. Artinya Isa itu adalah berkodrat
Allah saja, sehingga ajaran ini disebut “Faham Kodrat Tunggal” atau “Monophysitisme” ( Mono= satu-
satunya, Physis = kodrat). Untuk menyelesaikan masalah ini maka Konsili Kalsedonia (Majma Khalkadunya)
diadakan pada tahun 451.

Dalam Konsili itu ditegaskan bahwa Isa berpribadi tunggal yaitu pribadi Kalimatullah, namun dalam
pribadiNya yang tunggal itu terdapat dua kodrat yaitu kodrat asliNya sebagai Kalimatullah yang kekal dan
kodrat baru yang makhluk yang diambil dari Maryam akibat turunNya ke bumi sebagai manusia. Dua
kodrat itu manunggal dalam satu pribadi Kalimatullah yang hanya tunggal itu secara tak terpisah - pisah,
tak terbagi-bagi, tidak kacau dan tidak berbaur. Atas perumusan ajaran Kitab Suci dalam Konsili Kalsedonia
yang seimbang ini Patriarkh Dioskoros dari Alexandria bersama “sebagian” ( bukan seluruhnya) ummat dari
Gereja Syria yang bukan mazhab Nasthuriyah (Nestorian) menolak dengan lebih menekankan “kodrat
tunggal” Almasih diatas. Dan dalam Konsili yang disebut sebagai “Konsili Para Perampok” yang dipimpin
oleh Dioskoros itu Eutychus dinyatakan tak bersalah. Sehingga Dioskoros dianggap mengikuti faham
“Monofisit” dari Eutyches ini, demikian pula semua orang yang mengikuti jejak Dioskoros ini akhirnya entah
benar atau salah dikenal sebagai Kaum Monofisit dalam sejarah, termasuk di dalamnya Gereja Syria yang
memisah itu. Karena adanya istilah “dua kodrat” itu ummat yang oleh sejarah dikenal sebagai kaum
Monofisit (entah benar atau salah) ini menganggap bahwa Konsili Kalsedon itu berbau bida’ah
Nestorianisme yang telah dikutuk dalam Konsili sebelumnya. Namun mereka ini tak dapat melihat bahwa
yang ditekankan oleh Kalsedonia justru adalah “ketunggalan Pribadi Almasih” seperti yang telah dijelaskan
diatas. Akhirnya mereka ini menyempal dari Gereja Orthodox alur besar tadi ( yang termasuk di dalam
Gereja Orthodox alur utama ini adalah Gereja Orthodox Syria Antiokhia yang bukan mazhab “kodrat
tunggal”-).
Dan oleh sejarah mereka yang menolak ini dikenal sebagai kaum “Monophysit”.Jadi Gereja Timur Syria ini
memiliki tiga kelompok : Nasthuriyah (Nestorian, Gereja Timur Assyria, Pre-Efesus), Monophysit ( yang di
zaman kemudian disebut sebagai Gereja Orthodox Syria, atau Gereja Orthodox Oriental,), dan Gereja
Orthodox Syria Antiokhia yang termasuk dalam keluarga besar Gereja Orthodox alur utama yang memiliki
persekutuan dengan Gereja-Gereja Orthodox alur utama lainnya termasuk dengan Gereja Orthodox
Yunani, dengan demikian termasuk bagian dari Gereja Orthodox Indonesia. Dengan melihat apa yang
diajarkan Kitab Suci seperti yang dirumuskan oleh Konsili Kalsedonia itu, pernyataan dalam artikel Gatra
yang mengutip bahwa “Allah telah mati disalibkan sebagai ganti ummat manusia” , sebagai dinyatakan
sebagai ucapan darui sdr. Bambang Noorsena S.H, jika ini benar maka kelihatan sekali itu sebagai
ungkapan yang merupakan ajaran “Monophysitisme” murni. Padahal menurut Iman Kristen Orthodox yang
benar diajarkan bahwa Allah itu roh yaitu ghaib tak berjisim dan tak bertubuh, bagaimana bisa disalibkan?
Oleh karena istilah Orthodox yang benar dan tepat adalah bahwa “Kalimatullah yang menjelma
disalibkan dalam kemanusiaanNya” . Inilah ajaran Iman Orthodox yang murni yang bukan diwarnai
faham Monophysit itu.

Juga diputuskan dalam keputusan nomor 28 dari Konsili Kalsedon ini bahwa Patriarkh (Paus) di
Konstantinopel mempunyai hak dan kedudukan sejajar dengan Patriarkh (Paus) di Roma, karena kedua-
duanya menjabat di Ibu kota Kerajaan, yang lama (Roma) dan yang baru (Konstantinopel). Yang menjadi
Paus (Patriarkh) di Gereja Roma pada saat Konsili keempat ini adalah Paus Leo (Al-Baba Laon) sedangkan
yang menjadi Patriarkh di Konstantinopel pada saat ini adalah Patriarkh Flavianus. Gereja Syria yang tetap
menyatu dengan Gereja Orthodox yang lain dalam alur besar yang menjunjung isi rumusan Konsili
Kalsedonia itu masih ada sampai sekarang dan dipimpin oleh Patriarkh Ignatius IV orang Arab-Syria asli,
dan tetap beribadah dalam bahasa Arab sampai kini. Dan Gereja Syria yang memisah yang oleh sejarah
dicap sebagai ummat :”Monophysit” itu akhirnya oleh perjuangan Uskup Yakub Baradeus, atau Yakub
Burdana berhasil membentuk komunitas Gereja Syria Non-Kalsedon, yang terkenal sebagai Gereja
Ya’kubiyyah atau Gereja Yakobit dan sekarang dipimpin oleh Patriarkh Mar Moran Ignatius Zaka I Iwas.

Kelompok Gerejawi yang terkenal sebagai kelompok “Syria-Yakobit” inilah yang di Indonesia ini - seperti
yang telah kita sebut diatas - membentuk Yayasan Study yang tak berbentuk Gereja bernama :Kanisah
Orthodox Syria.Inilah yang dimuat oleh majalah Gatra itu. Bersama dengan Gereja Koptik, Armenia,
Ethiopia, dan India mereka sekarang disebut sebagai kelompok Orthodox alur kecil atau Orthodox Non-
Kalsedonia atau Orthodox Oriental.Nama Monophysit tak digunakan lagi bagi mereka karena itu dianggap
menghina. Sedangkan Gereja Orthodox alur besar, atau Gereja Orthodox Kalsedonia, atau Gereja Orthodox
Timur itu termasuk didalamnya :Orthodox Yunani, Orthodox Rusia, Orthodox, Rumania, Orthodox
Finlandia, Orthodox Yugoslavia, Orthodox Syria-Antiokhia, Orthodox Palestina, Orthodox Amerika,
Orthodox Jepang, Orthodox Indonesia, dan lain-lain. Gereja Orthodox yang sebenarnya itu tak bersifat
kesukuan ataupun etnisitas namun merangkul seluruh suku dan bangsa. Jadi tidak tepat jika mengatakan
Gereja Orthodox alur utama itu sebagai “Greek Orthodox” (“Orthodox Yunani”) jika yang dimaksud adalah
menunjuk etnis Yunani, sebab Yunani hanya salah satu unsur saja yang ada didalamnya.

Dan Gereja Orthodox di Indonesia secara resmi tidak bernama “Orthodox Yunani” (“Greek Orthodox”)
namun “Gereja Orthodox Indonesia”.Yang didalamnya itu Roy Marten, dan isterinya :Anna Maria, serta
adiknya Chris Salam dan isterinya menjadi anggotanya. Ini disebut Gereja Orthodox Indonesia karena
unsur ke-Indonesiaannya yang ditonjolkan, juga unsur ke-Semitik-annya melalui penggunaan Ibadah
Orthodox sebagaimana yang dilakukan oleh Gereja Orthodox Syria Antiokhia, yaitu dalam bahasa Arab.

Jadi memang tidak tepat mengatakan bahwa Gereja Yakobit- yang di Indonesia ini disebut Kanisah
Orthodox Syria dan dipimpin oleh sdr. Bambang Noorsena S.H.- itu satu-satunya yang Semitik, sebab
Gereja Syria Antiokhia yang Orthodoxpun – yang didalamnya Gereja Orthodox Yunani dan Gereja Orthodox
Indonesia termasuk - adalah Semitik tulen dan termasuk dalam keluarga Gereja-Gereja Orthodox alur
utama.Pada abad ketujuh di Pancur dan Barus, Sumatra Utara, Gereja Timur ini telah datang ke Indonesia.
Demikian juga pada jaman Belanda Gereja Armenia berada di Indonesia memiliki Gereja di Jakarta yang
sekarang menjadi gedung BI di Jalan Thamrin, dan di Surabaya di Jalan Pacar sekarang menjadi Gereja
Tionghoa. Pada tahun 1054 Gereja Alur Besar yang dari zaman purba disebut sebagai Orthodox dan Katolik
sekaligus itu, mengalami perpecahan. Gereja Barat mandiri sendiri disekitar pemimpinnya Patriarkh atau
Pausnya sendiri yang berpusat di Roma itu dan lebih dikenal sebagai Katolik sehingga disebut sebagai
Roma Katolik. Sedangkan Gereja Timur tetap menyatu antara keempat Patriarkhnya yang ada di
Konstantinopel, Aleksandia, Antiokhia dan Yerusalem, dan lebih dikenal sebagai Orthodox, meskipun
sebagai Gereja rasuliah yang asli dan tak berubah-ubah itu dalam syahadatnya tetap mengakui dirinya
sebagai Gereja yang " satu, kudus, Katolik dan Apostolik”. Jadi jelas Gereja Orthodox bukan aliran baru.
Sedangkan Gereja-Gereja Timur yang memisah itu dan yang kemudian disebut sebagai Gereja-Gereja
Monophysit itu di zaman modern ini sesudah dialog-dilaog ekumenis lebih sering disebut sebagai Gereja-
Gereja Orthodox Non-Kalsedonia, Gereja-Gereja Orthodox Oriental.

Sebutan “Monophysit” adalah nama yang dikenal dalam tulisan-tulisan sejarah. Karena “mono” artinya
“satu-satunya” yang adalah ajaran dari Eutyches yang jelas ditolak oleh Gereja Orthodox alur utama dan
ternyata dalam perkembangannya kemudian Gereja Non-Kalsedoniapun menolaknya. Yang sebenarnya
sekarang dipercayai oleh Gereja-Gereja Non-Kalseonia ini haruslah disebut “Miaphysit”.Karena “mia” artinya
“tunggal”, yaitu Almasih memiliki kodrat tunggal yang berasal dari dua kodrat: ilahi dan manusia. Jadi ajaran
Gereja Non-Kalsedonia masakini termasuk didalamnya Gereja Orthodox Syria lebih mendekati ajaran
Orthodox alur utama. Oleh alasan-alasan politik, budaya, ekonomi dan ras, yang akhirnya hal-hal theologis
itu dijadikan panji-panji, Gereja Alexandria dengan cabangnya yaitu Gereja Ethiopia beserta Gereja Syria
dengan cabangnya Gereja Thomas-India, serta Gereja Armenia ini menolak hasil keputusan Konsili
Kalsedonia tahun 451 Masehi, karena mereka menganggap hasil keputusan ini bersifat Nestorianistis, yang
tentu saja merupakan anggapan yang tidak benar, seperti yang telah kita jelaskan.

Dan sejak saat itulah secara pelan-pelan melalui proses yang panjang Gereja Alexandria dan Gereja Syria
yang memisah ini akhirnya dituduh sebagai “Monofisit” karena meyakini Kristus hanya memiliki “satu
kodrat”. Dan tuduhan ini bukan sama sekali tanpa dasar, karena sampai sekarangpun Gereja Ethiopia yang
merupakan cabang kegerajaan Koptik sangat kokoh dalam menyebut diri mereka sebagai “Monofisit”
sehingga mereka menyebut Gereja mereka Gereja “Tewahido” (“The Ethiopian Tewahido Orthodox Church”)
yang sebanding dengan bahasa Arab “Tawhid” (ke-Esa-an). Jika dalam Islam dan dalam Iman Kristen
Orthodox istilah Tauhid ini digunakan untuk menyebut ke-Esa-aan Allah yang Maha Tunggal, namun dalam
Gereja Ethiopia menggunakannya untuk “kodrat tunggal’ Kristus. Jadi Gereja Ethiopia sangat bangga jika
disebut sebagai “Monofisit”, atau “faham kodrat tunggal” itu. Gereja Mesir Non-Kalsedonia inilah yang
disebut sebagai Gereja Koptik, artinya Gereja Qypti yaitu orang Mesir, serta Patriarkhnya berkedudukan di
Kairo, sedangkan Gereja Aleksandria yang menerima Rumusan Kalsedonia memiliki Patriarkhnya sendiri
yang tetap berkedudukan di Alexandria, dan merupakan bagian dari Gereja Orthodox alur utama yang
bersekutu dengan Gereja Orthodox internasional alur-utama termasuk dengan Gereja Orthodox Yunani,
dan bertanggung jawab bagi misi Orthodox bagi bangsa-bangsa Afrika kulit hitam, dengan bahasa Yunani
dan bahasa Arab dan bahasa-bahasa Negro Afrika,sebagai bahasa ibadah dan bahasa liturgi Gereja.

Gereja Koptik, meskipun sampai sekarang menggunakan bahasa asli Koptik -bahasa pada zaman Firaun-
tetapi menggunakan abjad huruf Yunani dengan pengaruh bahasa Yunani yang sangat kental di dalamnya,
dan ini tetap dipelihara di dalam liturgi dan ibadah Gereja ini, disamping bahasa Arab. Dalam Gereja Syria,
mereka menggunakan bahasa Syria ekspresi-ekspresi bahasa Yunani yang dipinjam tanpa diterjemahkan
dan Arab. Semua Gereja-Gereja ini juga menggunakan bahasa-bahasa Eropa di tempat ummat mereka
tinggal di negara-negara itu, sedangkan yang di India mereka menggunakan bahasa Malayalam. Secara
wilayah hukum, Gereja Koptik dan Gereja Syria ini tidak berhubungan dengan Gereja Kalsedonia ( Yunani
Orthodox, Rusia Orthodox, Romania Orthodox, Palestina Orthodox, Antiokia Orthodox. dan lain-lain),
namun berhubungan dengan wilayah hukum Gereja-gereja lain yang Non-Kalsedon (Ethiopia , Syria -
Yakobit, Armenia , Gereja Thomas di India) yaitu mereka yang tidak menerima keputusan Kalsedonia tahun
451. Melalui dialog-dialog dengan pihak Orthodox alur utama umat Non-Kalsedon ini telah berusaha
mengklarifikasikan ajaran mereka dalam pertemuan-pertemuan yang dilakukan. Mereka mengaku – kecuali
Gereja Ethiopia yang tetap mempertahankan rumusan “Monofisit”- tetap memegang ajaran Orthodox yang
satu dan yang sama, kecuali dalam hal rumusan mengenai “tabiat Kristus.” yang dimengertinya sebagai
“satu kodrat” (“monofisit”) tadi. Dalam forum-forum internasional mereka selalu dalam satu kelompok,
terutama dalam Dewan Gereja Dunia WCC, kedua tradisi Gereja Timur (Orthodox dan Oriental) itu hanya
memiliki satu wadah Orthodox saja. Bahkan persatuan pemuda Orthodox Internasional :Syndesmos, itu
juga merupakan wadah bersama antara Non-Kalsedonia dan Kalsedonia.

Inilah bukti tak terbantahkan akan pengakuan internasional bahwa Gereja Orthodox Yunani itupun adalah
Gereja Timur bertentangan dengan teori sdr. Bambang Noorsena bahwa Gereja Yunani itu termasuk
Gereja Barat. Gereja-Gereja Orthodox Kalsedonia yaitu Gereja Orthodox alur-besar, sesuai dengan
rumusan Kalsedonia menegaskan bahwa Kristus itu memiliki “dua-kodrat (manusia-ilahi) dalam satu
hypostasis” sedangkan Gereja-Gereja Orthodox Non-Kalsedonia mengatakan Kristus itu memiliki “satu
kodrat yang berasal dari dua kodrat, yaitu :Kodrat menjelma”. “Satu Kodrat” dari rumusan Non-Kalsedonia
inilah yang sebenarnya ditegaskan oleh Konsili Kalsedonia sebagai “satu hypostasis” (“satu Pribadi”), dan “
Yang Berasal dari Dua Kodrat atau Kodrat Menjelma” itulah apa yang disebut oleh Rumusan Kalsedon
sebagai “Dua Kodrat” karena menjelma berarti “Yang Ilahi telah Menjadi Manusiawi” berarti ada Kodrat Ilahi
dan Kodrat Manusiawi.Baik Kalsedonia maupun Non-Kalsedonia mengatakan bahwa persatuan dua kodrat
itu adalah persatuan “ tanpa kacau, tanpa campur-baur, tanpa terbagi-bagi, tanpa terpisah-pisah”. Dengan
demikian yang ilahi tetap ilahi tidak menjadi manusia, dan yang manusiawi tetap manusia tidak menjadi
ilahi, namun keduanya telah manunggal dalam kesatuan yang dalam rumusan Kalsedonia adalah kesatuan
dalam “SATU HYPOSTASIS” sedangkan menurut Non-Kalsedonia kesatuan dalam “SATU KODRAT
MENJELMA”. Jadi menurut Rumusan Kalsedonia obyek kesatuan dari “Dua Kodrat” yang tak terpisah dan tak
terbagi itu adalah “hypostasis” atau ‘Pribadi” dari Firman Allah, sedangkan menurut penghayatan Non-
Kalsedonia obyek kesatuan dari “Dua Kodrat” yang telah manunggal secara tak terpisah dan tak terbagi itu
adalah “kesatuannya itu sendiri”. Itulah sebabnya Rumusan Kalsedonia itu sebenarnya menegaskan dan
lebih menjelaskan apa yang dimaksud oleh Non-Kalsedonia secara lebih tegas dan lebih matang, dan
merupakan suatu kesimpulan logis daripadanya.Inilah satu-satunya perbedaan yang ada antara Gereja-
Gereja Non Kalsedonia (- yang disebut sebagai “Monofisit”-) dengan Gereja-Gereja Kalsedonia, selebihnya
ajaran kedua tradisi Gereja Timur (Orthodox Non-Kalsedonia dan Oriental Non-Kalsedonia ) sangat mirip
sekali. Iman Orthodox itu bukan aliran namun Iman Rasuliah atau Iman Perjanjian Baru itu sendiri. Seluruh
awal sejarah Kekristenan dimulai di daerah Timur Tengah dan Timur Dekat. Dan rumusan-rumusan
theologis yang menjadi landasan Iman Kristen sejak Nikea tahun 325 Masehi, Konstantinopel tahun 381
Masehi, Efesus tahun 431 Masehi, Kalsedonia tahun 451 Masehi sampai dengan Konstantinopel tahun 787,
dilakukan di daerah Timur Tengah/Timur Jauh ini, yaitu di pusat Kerajaan Kekristenan Orthodox Purba:
Byzantium.

Pada zaman Purba ini Kekristenan memiliki ajaran yang satu dan tunggal, serta lima kota menjadi pusat
Kekristenan waktu itu: Yerusalem di Palestina, Antiokia di Syria, Alexandria di Mesir yang pada mulanya
didirikan dan diinjili oleh Markus penulis Injil, Konstantinopel (Istambul) di Byzantium (Turki), dan Roma di
Italia. Kelima pusat ini masing-masing dipimpin oleh seorang Patriarkh (Paus). Patriarkh artinya Bapa (Patri
= pater) Pemimpin (Arkhi), sedangkan Paus berasal dari kata ‘Papa” artinya :Bapa. Roma dan
Konstantinopel ditetapkan (-terutama oleh Konsili Kalsedonia tahun 451 Masehi-) sebagai yang
berkedudukan sama, meskipun Paus di Roma dianggap yang dihormati karena letaknya di Ibukota
Kerajaan yang lama, dan Konstantinopel berkedudukan sesudah Roma dalam penghormatan, karena
Konstantinopel adalah Ibukota Kerajaan yang baru dan disebut sebagai : Nea Romee ( Roma baru ). Namun
masing-masing dari antara kelima Paus (Patriarkh) itu mempunyai kedudukan yang sejajar. Alexandria
adalah pusat intelektualitas yang tinggi saat itu bersama dengan Antiokia di Syria. Banyak dari tokoh-tokoh
Alexandria yang sangat berjasa dalam membela Iman Kristen misalnya, Athanasios dan Kyrilos masing-
masing dalam Konsili Nikea (325) melawan Arianisme dan Efesus (431) melawan ajaran Nestorius. Gereja
Orthodox Kalsedonia disebelah Barat yang berpusat di Roma pada tahun 1054 memisah dari kesatuan
dengan Gereja-Gereja Timur, dan sesudah perpisahan mereka ini lalu disebut sebagai Gereja Roma Katolik,
dan pada tahun 1517 Gereja Barat ini terpecah menjadi dua antara Katolik Roma dan Protestan, serta dari
Protestan inilah munculnya bermacam-macam aliran yang berbeda-beda.

Berbeda dengan terpisahnya Roma Katolik dari Orthodoxia, yang bukan dikarenakan adanya ajaran
Orthodox yang diprotes oleh Roma Katolik, namun karena perkembangan di Barat sendiri yang
berkembang secara berbeda dari ajaran Rasuliah dan Gereja Orthodox justru memperingatkan dan
memberikan sanggahan-sanggahan terhadapnya, keluarnya Protestan dari Roma Katolik itu memang
merupakan Gerakan Protes terhadap apa yang dianggap penyimpangan Roma Katolik, yang menyebabkan
mereka lebih tak berhubungan lagi dari Orthodoxia itu. Setelah 1500 tahun terpisah antara Gereja-Gereja
Non-Kalsedonia ini dengan Gereja Kalsedonia ternyata dari segi ibadah keduanya masih setia mertahankan
tradisi ibadah dari zaman purba. Semua Gereja Timur baik yang Orthodox atau yang bukan (Oriental
Orthodox/Monofisit dan Assyria/Nestorian), memiliki sholat tujuh waktu, dengan berbahasa Arab dan
tilawat Kitab Sucinya sekaligus, dan juga dilakukan di Indonesia. Karena di Gereja Orthodox Indonesia juga
dikunjungi umat Orthodox dari Timur Tengah yang ikut berbakti disitu, baik dari Mesir (Koptik) maupun
dari Libanon. Jadi biarpun orang bukan Kalsedon tak dilarang berbakti dalam Gereja Kalsedon dan ambil
Perjamuan Kudus di dalamnya, terutama untuk ummatnya.

Selain sholat tujuh waktu ada juga sholat tiga kali sehari sebagai sholat harian sedangkan Hari Minggu itu
semacam sholat Jum’atan dalam Islam jadi bukan pengganti sholat harian tadi. Semua Gereja Timur
mengenal puasa selama empat puluh hari menjelang Paskah. Diluar puasa pada bulan puasa ini dalam
seminggu ada dua kali puasa yaitu Hari Rabu dan Jum’at sebanding puasa sunnah Senin dan Kamis dalam
Islam. Semua wanita Orthodox di Indonesia ini tetap menggunakan kerudung pada saat sholat harian di
rumah maupun pada saat ke Gereja. Ummat Orthodox beribadah di Gereja tanpa menggunakan kursi
seperti di Mesjid dan melepas sepatu, dan anak-anak laki-lakipun dikhitan jika dikehendaki. Imam-Imam
atau Presbiter-Prebiter (Gereja Orthodox tak menggunakan istilah Pendeta) semua mengenakan jenggot
meskipun semua adalah orang asli Indonesia. Jadi ciri-ciri yang demikian yang oleh Gatra disebut sebagai
ciri Gereja Orthodox Syria, jelas bukan monopoli Kristen Orthodox Syria, namun ciri semua Gereja
Orthodox. Kelihatannya Gatra lebih menonjolkan pada sisi ke-Syria-annya daripada ke –Orthodox-annya,
karena selalu menyebut ini ciri Kristen Orthodox Syria. Saya khawatir ini menghilangkan makna “katolisitas”
(ke-universalan Gereja) dan menjadi suatu sikap parokialisme dan sektarianisme. Dari segi aqidah baik
Kalsedon maupun non-Kalsedon memegang aqidah rasuliah yang tak jauh perbedaannya, hanya masalah
pemahaman tentang Almasih saja yang berbeda termonologinya.

Gereja Orthodox Indonesia sebagai bagian Gereja Orthodox yang menerima rumusan Konsili Kalsedon
tahhun 451 sangat menekankan Tauhid, sehingga bahkan kemanusiaan Almasih itu ditegaskan bedanya
dari keilahianNya sebagai kalimatullah. Rumusan Kalsedon mengatakan Almasih itu memiliki “satu pribadi
dalam dua kodrat, yang manunggal secara tak terbagi-bagi, tak terpisah-pisah, tak berbaur dan tak kacau-
balau”. Disinilah perbedaan terminologi itu muncul dengan Gereja Non-Kalsedon, termasuk Kanisah
Orthodox Syria pimpinan Bambang Noorsena S.H., dimana mereka mengatakan Almasih itu memiliki “ satu
kodrat yang berasal dari dua kodrat , yang manunggal secara tak ternbagi-bagi, tak terpisah-pisah, tak
berbaur dan tak kacau balau”. Kesatuan dalam Almasih itu oleh pihak Non-Kalsedon disebut “satu kodrat”
(“Miaphysis”).. Sedangkan pihak Orthodox menyebut “satu pribadi” (“Mia hypostasis“) seperti yang
dirumuskan dalam Konsili Kalsedon. Pihak Orthodox menyebut dua realita yang manusiawi dan yang ilahi
dalam Almasih dengan istilah “dalam dua kodrat”. Sedangkan oleh pihak Non- Kalsedon dimengerti sebagai
“dari dua kodrat” Dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh kedua belah pihak keluarga Gereja
Timur: Orthodox dan Gereja Oriental: Non-Kalsedonia pada tahun 1964 di Aarhus, Den Mark, pada bulan
Juli 1967 di Bristol, Inggris, pada bulan Agustus 1970 di Geneva, Switzerland, serta pada bulan Januari 1971,
di Addis Ababa, Ethiopia, dicapai saling pengertian bahwa ajaran pihak Non-Kalsedon itu ternyata tak
mengikuti ajaran “Monopysitisme” model Eutyches, dan bahwa pihak Orthodox jelas tak pernah
mengajarkan dua kodrat yang terpisah-pisah seperti ajaran Nestorius, seperti yang dituduhkan oleh pihak
Non-Kalsedon selama ini sebagai panji-panji pemisahan meeka dari Gereja Orthodox.. Baik Kalsedon
maupun Non-Kalsedon kedua-duanya menolak faham Eutyches maupun Nestorius. Berarti pihak Non-
Kalsedon, dan tentu saja tak dapat diragukan bagi pihak pihak Orthodox, berusaha mempertahankan iman
rasuliah yang sama terminologi yang berbeda: “satu hypostasis” (Orthodox: Kalsedon) dan “satu physis”
(Oriental: Non-Kalsedon), serta “ dalam dua kodrat” (Orthodox:Kalsedon) dan “dari dua kodrat” (Oriental:
Non-Kalsedon). Jadi Gereja Non-Kalsedonia itu tak seharusnya disebut Monophysit kalau yang dimaksud
adalah ajaran “Eutychianisme”, namun “Monophysit” dalam pengertian” Miaphysit ex dyo physeoos”.

Kemiripan Iman dan ethos serta peribadahan jelas menonjol sekali dalam kedua keluarga Gereja Timur:
Otrthodox dan Non-Kalsedonia ini. Hanya masalahnya adalah mengenai sikap masing-masing terhadap
Konsili Gereja. Pihak Non-Kalsedon hanya mengakui 3 Konsili yaitu Nikea tahun 325, Konstantinopel tahun
381, dan Efesus tahun 431. Sedangkan pihak Orthodox disamping menerima tanpa reserve ketiga Konsili
purba yang semuanya notabene dilaksanakan dalam wilayah administrasi pihak Kalsedonia di Byzantium
juga menjabarkan lebih detil ajaran ketiga Konsili dalam Konsili Kalsedon tahun 451, dan Konsili kelima
tahun 553, Konsili ke VI tahun 680-681, dan Konsili ke VII tahun 787, tanpa mengubah maupun mengurangi
ataupun menambah dari Iman Rasuliah Othodox purba yang asli dan murni itu. Juga mengenai tokoh-
tokoh yang dianggap suci puhak lain ternyata dianggap bidaah oleh pihak lainnya. Dioskoros, Severus,
Yohanes dari Antiokhia adalah tokoh suci untuk pihak Non-Kalsedon (Oriental), namun dianggap tokoh
bidaah bagi pihak Kalsedonia (Orthodox Timur). Paus Leo dari Roma adalah tokoh suci bagi pihak
ORTHODOX namun dianggap bidaah bagi pihak Non-Kalsedon.

2. Mengenai Helenisasi dan Westernisasi

Mengutip Bambang Noorsena ( yang pada tahun 1996 bersama Pdt. Yusuf Roni mulai berkenalan dengan
Iman Kristen Orthodox melalui Romo Presbyter Daniel Bambang Dwi Byantoro, dan pada tahun 1997
bersama-sama dibaptiskan oleh Episkop Agung Dionysios dari New Zealand di Gereja Orthodox Seoul,
Korea Selatan serta adalah anggota Gereja Orthodox Indonesia, namun yang memisahkan diri serta
mencetuskan Gereja Syria Yakobit ini, setelah bersama Romo Daniel Bambang D.B diperkenalkan kepada
Patriarkh Syria Yakobit ini serta diperkenalkan dengan Gereja Syria cabang India di Singapura, sedangkan
Pdt. Yusuf Roni kembali ke Gereja asalnya) Gatra menulis bahwa setelah Petrus bertugas ke Roma sejak
saat itu ajaran Kristen mengalami Helenisasi.

Jika yang dimaksud Helenisasi adalah penggunaan bahasa Yunani, memang bahasa Yunani adalah bahasa
internasional di kala itu, bahkan bahasa asli Perjanjian Barupun adalah bahasa Yunani ini. Maka Gereja
Syriapun tak lepas dari pengaruh Yunani ini. Misalnya penggunaan kata “Kurielayson” yang berasal dari
bahasa Yunani “Kyrie Eleison” ( Tuhan kasinilah), “Stomen kalos” (“mari berdiri dengan tegak ) dan kata-kata
Yunani yang lain telah masuk dalam naskah sastra Kristiani dan liturgis dari Gereja Syria ini juga. Bahkan
Gereja Koptikpun menggunakan huruf Yunani dan kata-kata dan frasa-frasa Yunani yang jauh lebih kental
dan lebih banyak ke dalam text Liturgis mereka yang notabene berbahasa Koptik. Inikah yang dimaksud
Helenisasi? Kalau betul, Gereja Syriapun sudah tak murni Semitik lagi. Namun jika Helenisasi yang
dimaksud adalah penggunaan analisa dan konsep-konsep filsafat Yunani sebagai landasan ajaran Kristen,
maka yang disebut Gereja "Orthodox Yunanipun” tak tersentuh oleh Helenissasi ini. Sebab kategori
pemikiran theologis dari Gereja Orthodox Yunani adalah ajaran Konsili Gereja dan penjabaran para bapa
gereja Timur, istilah-istilah konsep filsafat Yunani yang dipaki dalam ekspresi theologispun telah direvisi
dan ditundukkan pada keberanan Wahyu Injiliah Kristiani. Itulah sebabnya Gereja Orthodox Yunanipun
termasuk dalam lingkup Timur yaitu Semitik dalam landasan aqidahnya dan itulah pula sebabnya mengapa
ajaran Gereja Orthodox Kalsedonia dan Non-Kalsedonia itu memiliki banyak persamaan.. Jadi jangan
sampai untuk tujuan tertentu yang tendensius orang sampai mengkaburkan fakta sejarah yang tak bisa
dibantah, bahwa Gereja yang dinyatakan sebagai yang murni Semitik (“Koptik atau Syria”) itupun landasan
aqidahnya adalah berdasarkan apa yang berasal dari Yunani ini. Yaitu landasan aqidah dari rumusan-
rumusan Konsili. Karena meskipun Gereja Syria-Yakobit dan Koptik ini menolak Konsili keempat (451)
sampai ketujuh (787), dan hanya menerima tiga Konsili pertama (Nikea 325, Konstantinopel 381, dan Efesus
431), namun harus diingat betul-betul bahwa ketiga Konsili itu dilakukan didaerah Byzantium dan dilakukan
dalam bahasa Yunani (bukan bahasa Syria atau Koptik) bersama-sama orang-orang Yunani dan etnis lain,
yang menghasilkan rumusan Pengakuan Iman Nikea dalam bahasa Yunani (baru kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Syria dan Koptik), serta menggunakan istilah-istilah Yunani , misalnya “prosopon” (menjadi
kosa-kata Syria”prasopa”).

Dan para pembela aqidah yang dirumuskan disini adalah dua orang Koptik terkenal “Athanasius dari
Alexandria” serta “Kyrillos dari Alexandria”, yang menulis dan berteologi dalam bahasa Yunani (bukan
bahasa Koptik atau bahasa Syria). Dari segi aqidah tak dapat orang membuat mengadakan tuduhan dan
dakwaan atau garus-batas murahan bahwa yang ini Yunani dan yang itu Semitik, dengan Yunani
dikonotasikan Barat. Sebab yang Yunanipun tunduk pada Wahyu Injiliah yang bersifat Semitik, sedang yang
Semitikpun tunduk pada perumusan aqidah yang menggunakan bahasa Yunani serta meminjam istilah-
istilah Yunani. Semua debat theologi di zaman itu baik yang Syria, Koptik, maupun Yunani sendiri
berlangsung dalam bahasa Yunani. Dan dalam perdebatan itu tak pernah terbersit bahwa mereka ini telah
termasuk dalam dunia Barat. Sebab pada waktu itu yang disebut Barat adalah theologia Agustinian dengan
ekspresi bahasa Latin. Hanya sesudah memisah dari kesatuan dari Gereja alur besar sajalah, terutama
sesudah Konsili Ekumenis Keempat Kalsedonia (451), baik orang-orang Syria Yakobit maupun umat Koptik
ini menuduh yang Yunani ini termasuk bagian Gereja Barat Barat bersama dengan Gereja Latin. Ini
disebabkan rumusan Kalsedonia yang memang dirumuskan oleh Paus Leo dari Roma, yang diterima oleh
orang-orang Yunani juga. Tuduhan yang sama dilakukan oleh saudara Bambang Noorsena juga.

Yang tak pernah disadari oleh Gereja-Gereja Oriental ini adalah bahwa antara umat Yunani dan umat Latin
ini terdapat perbedaan pemahaman mengenai makna rumusan Kalsedon ini. Sementara Latin sering
mendekati Nestorianisme dalam pemahamannya akan rumusan Konsili Kalsedon ini, yang Orthodox
Yunani bersama dengan Orthodox Timur yang lain melihat rumusan Konsili Kalsedonia ini dalam kacamata
ajaran Kyrillos dari Alexandria, sebagaimana yang ditegaskan dalam Konsili Ekumenis ke V (553). Oleh
karena itu Konsili ke IV harus dilihat dalam kacamata Konsili ke V, dan bahkan ke VI dan ke VII juga. Karena
semuanya itu merupakan satu kesatuan, dan dalam semua Konsili ini -termasuk mereka yang ikut hadir
dari Gereja Barat Latin - pembahasannya menggunakan bahasa Yunani. Bahkan ilmu kalam dalam
Islampun muncul setelah daulat Islam menterjemahkan sastra Yunani ke dalam bahasa Arab, jadi
dipengaruhi oleh Helenisme.Sedangkan yang meletakkan landasan Westernasi dalam Gereja Purba justru
di Barat yaitu Tertulianus, dimatangkan oleh Agustinus, serta dijabarkan oleh Thomas Aquinas dan semua
pemikir-pemikir “Skolastik” dari Gereja Barat yang betul-betul mendasarkan pemikirannya dari kategori
pemikiran para ahli filsafat Yunani terutama Aristoteles. Itulah yang memunculkan Rennaissance,
Pencerahan, Revolusi Perancis dan semua fenomena negara Barat lainnya, yang bangsa Yunani dan
seluruh bangsa Orthodox tidak ikut berpartisipasi di dalamnya. Dan latar-belakang sejarah yang demikian
di dunia Barat inilah yang akhirnya melahirkan konsep-konsep khas Barat Gereja Roma Katolik, serta dari
sini keluarnya Gereja-Gereja Protestan. Jadi tak pernah terjadi Helenisasi ataupun Westernisasi dalam
Gereja Orthodox, termasuk orang Helen atau Yunaninya sendiri.

3. Bahasa Asli Kitab Suci

Gatra juga menulis bahwa Orthodox Syria mengklaim punya bukti sejarah bahwa Injil yang pertama
berbahasa Syria dan Al-Masih berbicara dengan bahasa Syria. Semua sarjana Kitab Suci tahu bahwa Kristus
memang berbicara bahasa Syria (Aramia), namun bahwa Kitab Suci yang asli berbahasa Yunani. Dan Kristus
sendiripun tahu bahasa Yunani, karena Dia harus juga berbicara dengan orang Yunani dalam
pelayananNya, yaitu dengan perempuan Yunani dari Siro-Fenisia ( Markus 7:26), dengan beberapa orang
Yunani yang ingin bertemu denganNya ( Yohanes 12:20). Gereja Purba di Yerusalempun penuh dengan
orang-orang Yunani atau orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani ( Kisah 6: 1) disamping mereka yang
berbahasa Ibrani yaitu Aramia (Syria) . Dan di Antiokhia pusat Gereja Syria itupun mula-mula penginjilan
dilakukan kepada orang-orang Yunani ( Kisah 11: 20). Berarti sejak jaman Kristus sendiri dan jaman Gereja
Perdana bahasa Yunani juga menjadi bahasa asli Gereja disamping bahasa Aramia. Maka sungguh terlalu
sempit kalau menjadikan bahasa Syria sebagai bahasa asli Kekristenan. Apalagi bahasa Yunani adalah
bahasa kaum terdidik dan bahasa Internasional di kala itu, maka jelas bahwa Perjanjian Baru memang
menggunakan bahasa Yunani dari awalnya, kecuali mungkin Injil Matius yang kemungkinan awalnya ditulis
dalam bahasa Aramia baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Ini terbukti bahwa setiap kali
ada kata-kata Aramia langsung diterjemahkan maknanya, membuktikan pembacanya tak mengerti bahasa
Aramia atau Syria itu ( misal, Yohanes 1:41, 42 20:16, Markus 7:34, dll.), dan membuktikan bahwa Perjanjian
Baru tak ditulis dalam bahasa Aramia aslinya, namun sesuai dengan peninggalan manuskrip tertua yang
ada, memang aslinya bahasa Yunani.

4. Mengenai Tidak Ada Izin dari Depag

Gereja Orthodox Alur Utama yang hadir di Indonesia yang dikenal sebagai “Gereja Orthodox Indonesia”
sudah ada sejak tahun 1988 ketika Romo Arkhimandrit Daneil Bambang kembali ke Indonesia dan sudah
mendapat izinnya secara resmi dari pemerintah sejak tahun 1991 dan diperbaharui lagi pada tahun 1996
oleh Bimas Kristen (Protestan) karena memang tidak ada Bimas Orthodox sendiri di Indonesia. Jikalau Pak
Yan kawatu menyatakan bahwa “Tidak ada Izin bagi Aliran Baru” kami dapat mengerti karena memang
Gereja Orthodox sudah ada, mengapa ada Gereja Orthodox lagi, jika akidahnya sudah sama. Kecuali kalau
masih mau disebut “Monophysit’ barulah itu namanya Gereja yang berbeda yang mungkin memang
memerlukan izin tersendiri. Sekarang Gereja Orhodox yang ada ini telah memiliki 7 imam, 2 diaken, dan
umatnya tersebar di beberapa tempat di Jawa, Bali, Sulawesi dan Sumatera. Imam-imam tersebut adalah
Romo Yohanes Bambang C.W. yang melayani untuk daerah Surabaya dan Krian, serta memiliki cabang Pos
P.I di Malang dan Jember, Romo Chrysostomos Parluhutan Manalu yang melayani untuk daerah Medan,
Tarutung dan Kabanjahe, Romo Lazarus Bambang Sucanto yang melayani untuk daerah Yogyakarta dan
Cilacap dan sekitarnya, Romo Alexios S.Cahyadi melayani di Solo dan sekitarnya, Romo Methodios S.
Gunarjo melayani di daerah Boyolali dan sekitarnya. Romo Stephanus Boik Nino melayani daerah Bali dan
sekitarnya, Romo Diaken Panteleimon melayani di daerah Mojokerto. Romo Daniel Bambang D.B, dibantu
oleh Romo Matius Bambang W. Budiharjo melayani di daerah Jakarta dan sekitarnya, meskipun Romo
Daniel harus bertanggung-jawab bagi perkembangan wilayah-wilayah yang lain.

BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Thu Dec 27, 2007 6:12 pm
AQIDAH DAN AJARAN KEIMANAN GEREJA
ORTHODOX

B. Ajaran Iman Gereja Orthodox.

I. Sumber Ajaran Keimanan

Iman Kristen Orthodox adalah suatu kebenaran yang diwahyukan oleh Allah. Pewahyuan itu pertama kali
diberikan kepada Adam sendiri dengan janji akan datangnya “Keturunan Perempuan/Maryam”, yaitu
Almasih, yang akan “meremukkan kepala Ular/Iblis” (Kejadian 3:15). Dilanjutkan dengan janji Allah kepada
Nuh tentang akan dipujinya nama “Allah” dari keturunan Nabi Nuh ini melalui jalur keturunan Sem
( Kejadian 9:25-27) Dan dari keturunan Sem ini ternyata Allah dipuji melalui pemilihan Abraham/Ibrahim,
melalui jalur Ishak dan Yakub yang kepada mereka dijanjikan akan adanya “keturunan” ( Kejadian 12:3,
22:18, 17:19, 26:4, 35:11), dan keturunan yang dimaksud untuk menjadi berkat bagi seluruh manusia
dimuka bumi melalui jalur Ibrahim/Abraham, Ishak dan Yakub ini adalah “Almasih” (“Kristus”) – (Galatia
3:16). Dari jalur Yakub ini munculnya Bani Israel, dari situ Nabi Musa menubuatkan bahwa dari “tengah-
tengahmu” yaitu dari tengah-tengah Israel akan muncul Nabi Besar seperti Musa, dan Nabi ini tak lain
adalah Almasih (Ulangan 18:15. Kisah 3: 21-24). Sehingga dengan datangnya Kristus maka segenap nubuat
dan wahyu tentang kedatangan Almasih itui sudah tergenapi. Maka Almasih adalah puncak segala wahyu
dan akjhir dari segala risalah kenabian sebagaimana yang telah dijanjikan Allah melalui nabi-nabiNya
terdahulu.

Keberadaan Almasih sebagai “Firman Allah yang menjadi daging “ ini ( Yohanes 1:14) disaksikan oleh para
rasul yaitu murid-murid dan utusan-utusan Almasih. Dan kepada mereka inilah diserahkan wibawa untuk
mengajar dan menyebarkan ajaran kebenaran Wahyu yang sudah genap dan paripurna itu di dalam
Almasih: Yesus Kristus. Sehingga pada jaman purba itu sumber Ajaran Keimanan itu adalah ajaran para
Rasul sendiri (Kisah 2:42, Lukas 1:2, Ibrani 2:3), baik yang bersifat lisan maupun yang kemudian bersifat
tulisan dalam surat-surat (II Tesalonika 2:15, II Tesalonika 2:2). Surat-Surat Rasuliah ini akhirnya terkumpul
dalam kanon Perjanjian Baru, sedangkan yang ajaran lisan tetap dihidupi Gereja dalam wujud Paradosis
Kudus. Paradosis Kudus ini akhirnya berkembang dalam bentuk kongkrit dalam: Tertib Ibadah,
Sakramen-Sakramen, Teks-teks Liturgis, Pengakuan Iman Gereja, Tulisan Para Bapa Gereja, Hukum
Kanon Gereja, bentuk seni Gereja, Hirarki Gereja, Kehidupan Para Orang Kudus Gereja, Tradisi
Dogmatis Gereja, Rumusan-Rumusan Konsili-Konsili Gereja. Paradosis Kudus adalah lingkup yang
didalamnya Perjanjian baru itu dapat dimengeri dan ditafsirkan secara benar dan tidak menyimpang.

Ajaran Rasuliah ini dengan berlalunya waktu dirumuskan dengan rumusan pendek-pendek, misalnya: I
Korintus 8:6, Kolose 1:15-16, Roma 10:9-10, I Korintus 15:3-5, dll. Rumusan pendek-pendek ini biasanya
diucapkan pada saat seorang dibaptiskan, dan mulai dikumpulkan dalam bentuk Pengakuan Iman
(Shahadat atau Kredo). Shahadat yang pertama kali mempunyai bentuk baku adalah Shahadat dari Gereja
Orthodox Lokal di Roma, yang sekarang kita sebut sebagai: Pengakuan Iman Rasuli. Jadi Pengakuan Rasuli
adalah rumusan dari Pengakuan Iman Gereja Barat, yang tak bersifat Universal, namun lokal saja. Gereja-
gereja Protestan yang pada dasarnya produk Gereja Barat mewarisi Iman Rasuli yang didapatkannya dari
Gereja Roma itu. Di Gereja Timur pun muncul rumusan-rumusan pendek seperti itu namun tak segera
menjadi baku. Pada saat Konsili Universal dari Gereja Orthodox Purba yang mengikut sertakan Timur dan
Barat yang dilakukan di pusat Gereja Timur; Nikea - Konstantinopel (325, 381 Masehi) Rumusan Universal
dari Iman Rasuli itupun dihasilkan. Dan inilah yang disebut sebagai Pengakuan Iman Nikea atau Syahadat
Nikea. Karena Syahadat ini isinya lebih rinci dari pada Syahadat Rasuli, serta menyangkut keseluruhan yang
ada dalam Syahadat Rasuli, maka Syahadat inilah yang menjadi standart pengakuan Gereja. Lagi pula ini
dirumuskan oleh Gereja Universal yang esa, yang belum terpecah-pecah, dan bukan produk Gereja Lokal,
maka Iman ini adalah Iman yang Universal dari Gereja yang esa itu. Inilah Iman Rasuliah Gereja Purba,
bukan ide sektarian dari suatu aliran keagamaan tertentu. Inilah simbol Iman Kristen sejati. Dan atas dasar
Pengakuan Iman Nikea inilah kita akan membicarakan segenap kebenaran wahyu Ilahi itu dalam
pembicaraan kita tentang Aqidah ini, karena Pengakuan Iman ini adalah ringkasan dari seluruh ajaran
Rasuliah yang termaktub dalam Kitab Suci.

1. Perlunya Ajaran Rasuliah.

a. Sesudah kebangkitanNya Kristus memerintahkan kepada kesebelas Rasul (karena Yudas Iskariot telah
mati bunuh diri).”...... pergilah jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah dalam nama Bapa, Anak
dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu“ ( Matius
28:19-20). Perintah ini mengandung beberapa hal: Para Rasul itu adalah pelanjut misi Kristus, para Rasul itu
adalah pelaksana Sakramen, para Rasul itu adalah pengajar. Serta isi ajaran rasul itu adalah “Segala
sesuatu” yang diperintahkan Kristus kepada para rasul tadi. Dengan demikian isi ajaran rasul adalah ajaran
Kristus sendiri. Karena Kristuslah yang memerintah dan menetapkan rasul-rasul ini untuk mengajar berarti
ajaran rasul itu haruslah menjadi standart bagi siapapun yang ingin mengenal ajaran Kristus yang benar,
karena isi ajaran rasuliah itu tak lain adalah “segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu.”

b. Hal ini menjadi sangat penting lagi karena adanya nabi-nabi palsu dan pengajar-pengajar palsu yang
memutar balikkan ajaran Kristus (Matius 7:15-20), bahkan mengatas-namakan dirinya sebagai Kristus
sendiri dan mengatasnamakan ajaran mereka sebagai ajaran Kristus sendiri (Matius 24:24, I Yohanes 2:18-
19). Dan Alkitab menyatakan bahwa banyak dari antara pengajar palsu itu datangnya berasal dari antara
komunitas Kristen sendiri. ]”........... sekarang telah bangkit banyak antikristus.... Memang mereka berasal
dari antara kita; tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita............ “ (I Yohanes 2:18-19), juga
: ”Sebab ternyata ada orang tertentu yang telah menyelusup ditengah-tengah kamu......... Mereka adalah
orang-orang kafir, yang menyalah gunakan kasih karunia Allah .......... (Yudas 1:4), serta “ sebagaimana nabi-
nabi palsu dahulu tampil di tengah-tengah ummat Allah, demikian pula di antara kamu akan ada guru-guru
palsu. Mereka akan memasukkan pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan ... “ (II Petrus 2:1).

Jika peringatan diberikan oleh para rasul ketika mereka masih hidup, apalagi sekarang dengan
membanjirnya ajaran-ajaran dan dengan banyaknya “rupa-rupa angin pengajaran“ (Efesus 4:14), adalah
lebih diperlukan lagi kita harus kembali kepada ajaran rasuliah ini, karena merekalah yang telah ditetapkan
oleh Kristus untuk menjadi pengajar-pengajar, jadi bukan guru-guru atau pengajar-pengajar yang
mengangkat diri mereka sendiri itu, biarpun seandainya mereka mengaku dirinya Kristen. Karena justru
dari antara kalangan Kristen sendirilah pengajar-pengajar palsu itu muncul. Ada orang yang
mengatakan:”Yang pentingkan Yesus! Saya tak perlu Gereja, saya tak perlu sejarah, saya tak perlu ajaran
rasuliah?“ jawaban kita:”Memang yang penting itu Yesus, dan itu harus menjadi pusatnya, namun Alkitab
juga mengatakan adanya “Yesus yang lain”, “Injil yang lain”, “roh yang lain” (II Korintus 11:4, Galatia 1:8-9),
bagaimana jika Yesus yang kita mengerti dari para pengajar tadi ternyata Yesus yang lain? Bukankah ini
membahayakan keselamatan kita ?

c. Lagi pula kita tak akan tahu Yesus tanpa Alkitab, dan Alkitab tak akan ada jika tak ada rasul yang
menuliskannya, dan Alkitab (terutama Perjanjian Baru) tak akan terbentuk sebagai kanon jika tak ada
Gereja sebagai alat Allah untuk mengkanonkannya. Bukankah jelas bahwa kita tetap tergantung pada rasul
juga. Sebab baik tulisan-tulisan dalam Alkitab maupun Gereja (yaitu Gereja rasuliah) itu semua berasal dari
karya rasul oleh bimbingan Roh Allah. Adalah hanya suatu kebodohan dan ketidak-terdidikan atau bahkan
kecongkakkan dan kepongahan saja mengatakan bahwa kita tidak perlu rasul. Yang lebih penting lagi
Alkitab dengan tegas mengatakan yang dibawah ini mengenai ajaran palsu dan para penganutnya.”

“Seorang bidat yang sudah satu dua kali kaunasehati, hendaklah engkau jauhi. Engkau tahu bahwa orang
semacam itu benar-benar sesat dan dengan dosanya menghukum dirinya sendiri” (Titus 3:10-11),
juga: “tetapi sekalipun kami (rasul-rasul sendiri, pen.) atau seorang malaikat dari sorga yangmemberitakan
kepada kamu suatu Injil yang berbeda ...terkutuklah dia” (Garatia 1:8-9). Mengenai guru palsu diantara
ummat Kristen itu Rasul Petrus mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang terkutuk. Oleh karena
mereka telah meninggakan jalan yang benar, maka tersesatlah mereka...” (II Petrus 2:14-15). Tak kurang
keras dan tegasnya Rasul Yohanes dalam hal ini:”Jika seorang datang kepadamu dan Ia tidak membawa
ajaran ini (yaitu: ajaran rasul), janganlah kamu menerima dia di dalam rumahmu dan janganlah memberi
salam kepadanya. Sebab barang siapa memberi salam keadanya, ia mendapat bagian dalam perbuatannya
yang jahat“ (II Yohanes 10:11). Ayat-ayat datas dengan tegas memberikan kita perigatan mengenai
beberapa hal, yaitu bahwa bidat, yaitu pengikut ajaran non rasuliah yang sesat adalah sesat dan
kesesatannya itu menyebabkan dia akan terhukum.

Demikian juga Injil yang berbeda, dengan demikian “Yesus yang lain” dan “Roh yang lain” yang diikuti dan
diajarkan orang menyebabkan orang yang mengajar dan yang mengikutinya menjadi TERKUTUK. Guru-
guru palsu yang yang mengajarkan kesesatan yang tak sesuai dengan ajaran Petrus (ajaran rasuli) itu juga
disebut TERKUTUK, menurut Surat kiriman Petrus. Orang yang tak mengajarkan Ajaran Ini yaitu ajaran
seperti yang diajarkan rasul Yohanes yaitu ajaran Rasuliah dilarang diterima rumah orang beriman oleh
Yohanes dan bahkan dilarang memberi salam kepada orang semacam itu. Dan Yohanes mengatakan apa
yang dilakukan oleh para pengajar sesat ini adalah “perbuatan jahat” yaitu karena hal itu menyebabkan
kebinasaan kekal. Disinilah perlunya kita merenungkan sejenak akan sikap kita yang terlalu tak peduli akan
kebenaran ajaran rasuliah ini. Karena kutuk, hukuman, kesesatan, kejahatanlah yang akan kita terima jika
kita salah dalam meyakini ajaran Kristus itu. Jadi tidak cukup hanya mengatakan:”Pokoknya Yesus.” Harus
ditegaskan: Yesus yang bagaimana? Yang rasuliah atau bukan ?!! Jadi ajaran rasuliah itu bukan hanya ajaran
Petrus semata, namun segenap ajaran rasul secara serempak dan bersama yang satu isinya dan satu
kebenarannya. Dan kepada ajaran yang satu dan yang sama dari para rasul inilah kita harus kembali dan
berpegang, sebab hanya itulah satu-satunya ajaran Kristus yang menjamin kita tak terkutuk, tak terhukum
dan tak dianggap berbuat kejahatan.

c. Jadi standard dan ukuran ajaran itu benar atau tidak, bukanlah “pendapatku dan tafsiranku” lawan
“pendapatmu dan tafsiranmu”, bukan pula karena dikutip dari ayat-ayat Alkitab yang dipenggal-penggal
dari beberapa bagian pasal dan ayat tertentu dari kitab-kitab dalam Alkitab, namun seluruh kepenuhan
dari kebenaran ajaran rasuliah yang tetap dipelihara oleh Gereja Purba yang sampai sekarang berlanjut di
dalam Gereja Orthodox.

Oleh sebab itu Alkitab menegaskan tentang standard atau ukuran menyimpang atu tidaknya suatu ajaran
itu demikian: ”Tetapi aku takut , kalau pikiranmu disesatkan dari kesetiaanmu yang sejatikepada Kristus....
Sebab kamu sabar saja, jika ada orang datang memberitakan Yesus yang lain dari pada yang telah kami
beritakan, atau memberitakan kepada kamu roh yang lain dari pada yang telah kamu terima atau Injil yang
lain daripada yang kamu terima“ (II Korintus 11:3-4), juga: ”Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari
sorga yang memberitakan kepada kamu suatu Injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan
kepadamu, terkutuklah dia. Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau
ada orang memberitakan kepadamu suatu Injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima,
terkutuklah dia” (Galatia 1:8-9), lagi: ”....Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi sagala
sesuatu yang tersembunyi dalam hari manusia, oleh Kristus Yesus” (Roma 2:16) dan masih ada beberapa
ayat lagi yang lain.

Dari ayat-ayat ini jelas bahwa menilai suatu ajaran sebagai “Yesus yang lain”, sebagai “roh yang lain” dan
sebagai “Injil yang lain” atau “Injil yang berbeda” atau ringkasannya sebagai ajaran yang salah, bukanlah
dengan apa yang diilhamkan oleh roh secara pribadi kepada perorangan, atau tafsiran pribadi perorangan
biarpun kalau itu dikutip dari ayat-ayat Alkitab sekalipun, namun “lain” dan “berbeda”nya tadi harus diukur
“dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu,” “dengan apa yang telah kamu terima” “dari pada yang
telahkami beritakan”, “dari pada yang telah kamu terima,” yaitu “Injil yang kuberitakan”. Jadi standardnya
adalah pemberitaan rasuliah yang dterima oleh dan diberitakan kepada Gereja. Artinya ajaran itu harus
sesuai dengan iman dan ajaran Gereja Purba (Gereja Orthodox) sebagaimana yang tanpa dikurangi atau
ditambahi – tanpa diubah-ubah atau diselewengkan - tetap merupakan ajaran Rasuliah yang utuh.

d. Jadi kebenaran itu bukan bersifat individualistik namun bersifat mata-rantai dari rasul dan bersifat
komunal dari pihak yang menerima yaitu Gereja. Ajaran rasuliah yang sekali dan untuk selamanya
diserahkan kepada Gereja rasuliah sepanjang segala abad itu yang harus menjadi kaca mata kita dalam
mengerti Alkitab, sebab dari situlah konteks dan lingkup Alkitab itu mula-mula ditulis berasal. Membaca
Alkitab lepas dari konteks dan lingkupnya akan menuju kepada kesalah-fahaman dan kesesatan saja.
Karena tanpa kacamata ajaran rasuliah maka Alkitab yang notabene Kitab Rasuliah tak akan berbicara
menurut yang dikehendaki rasul. Contohnya: Jika kaca mata Islam yang dgunakan membaca Alkitab, pasti
Alkitab akan dibaca sebagai sasmita/isyarat atau petunjuk datangnya Muhammad sebagai Nabi Islam
diserta penolakan atas keilahian Kristus yang terdapat didalamnya, ini yang banyak digunakan oleh para
polemikus Islam. Jika kacamata Protestan Injili yang digunakan, maka hal-hal mengenai Sakramen, Maria,
Gereja dan Hierarkhi itu pasti akan dilewatkan begitu saja. Jika kacamata Calvinistik yang digunakan, maka
ajaran tenmtang Predstinasi ala Calvinlah yang dtemukan dalam Alkitab. Jika kacamata Kharismatik dan
aliran Pantekosta yang digunakan , maka yang ditonjolkan dari Alkitab hanyalah hal-hal mengenai karunia-
karunia Roh Kudus serta dalam kacamata ini Alkitab akan dimengerti, sedangkan hal-hal yang lain akan
diabaikan. Demikianlah seterusnya. Namun jika kacamata ajaran rasuliah yang kita gunakan, maka segenap
kepenuhan ajaran rasuliah dengan segala kepenuhannya yang akan kita temukan dalam Kitab yang
rasuliah ini. Untuk itulah dalam pelajaran kita ini, kita akan menggunakan rumusan Iman Rasuliah dalam
pengakuan Iman Nikea itu sebagai landasan berangkat dalam pembahasan kita , serta keseluruhan ajaran
rasuliah yang dipelihara dalam Gereja itulah yang akan menjadi kacamatanya di dalam kita membaca
Alkitab sebagai sumber utama Iman kita ini. Untuk ini marilah kita perhatikan bunyi Pengakuan Iman Nikea
itu sebagai yang tertera dibawah ini:

2. Bunyi “Pengakuan Iman Nikea”

1. Aku percaya pada satu Allah, Sang Bapa, Yang Maha Kuasa, Pencipta Langit dan Bumi, dan Segala
Sesuatu yang Kelihatan maupun Tak Kelihatan.
2 Dan kepada Satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Tunggal Allah, yang diperanakkan dari Sang Bapa sebelum
segala zaman. Terang yang keluar dari Terang; Allah Sejati yang keluar dari Allah sejati; Yang Diperanakkan
dan bukan diciptakan, satu Dzat Hakekat dengan Sang Bapa; yang melaluiNya segala sesuatu diciptakan.
3 Yang untuk kita manusia, dan untuk keselamatan kita, telah turun dari Sorga, dan menjelma oleh Sang
Roh Kudus dan dari Sang Perawan Maryam serta menjadi Manusia.
4 Telah disalibkan bagi keselamatan kita dibawah pemerintahan Pontius Pilatus, Dia menderita sengsara
dan dikuburkan.
5 Dan telah bangkit lagi pada hari ketiga sesuai dengan Kitab Suci.
6 Dan telah naik ke Sorga, serta duduk disebelah kanan Sang Bapa.
7 Serta Dia akan datang lagi dalam kemuliaan untuk menghakimi orang yang hidup maupun orang mati,
yang KerajaaNya tidak ada akhirnya.
8 Dan aku percaya pada Sang Roh Kudus, Tuhan Sang Pemberi Hidup, yang keluar dari Sang Bapa, yang
bersama dengan Sang Bapa dan Sang Putra disembah dan dimuliakan, yang berbicara melalui para Nabi.
9 Aku percaya pada Gereja Yang Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik.
10 Aku mengakui Satu Baptisan bagi Pengampunan dosa-dosa
11. Aku menunggu akan kebangkitan Orang-Orang mati .
12 Serta Kehidupan Zaman yang akan datang. Amin.

Dari Pengakuan Iman diatas kita lihat unsur-unsur Aqidah Iman itu secara garis besar. Atas landasan isi
yang sudah secara garis besar dikandung dalam Pengakuan Iman ini pula kita akan memperdalam makna
Aqidah Iman Rasuliah atau Dogma Orthodoxia Kristen itu secara rinci. Untuk itulah mari kita bahas rincian
kandungan dan tema-tema aqidah yang ada dalam Pengakuan Iman (Syahadat) Kristiani itu.

II. Bentuk Tema Pengakuan Iman

Rumusan ini disebut Pengakuan karena berbentuk suatu pernyataan “Aku” dan disebut Pengakuan Iman
karena si “Aku” ini menyatakan “Percaya” (Beriman). Dalam Bahas Arab disebut “Syahadat” dari kata
“Asyhadu” artinya “Aku mengaku” atau “Aku Bersaksi”. Dan orang yang bersaksi atau mengaku ini disebut
“Syahid”.

Bentuk dari Pengakuan Iman ini dapat kita katakan sebagai bentuk pengakuan yang ber-pola-kan
Tritunggal, yaitu: butir 1, mengenai Allah, Bapa dan KaryaNya; butir 2-7 mengenai Yesus Kristus (Firman
Allah) dan KaryaNya, butir 8-12 mengenai Roh Kudus (Roh Allah) dan KaryaNya. Dengan demikian
Pengakuan Iman ini adalah Pengakuan kepada: Allah Yang Esa (Bapa), FirmanNya yang kekal (Putra), dan
RohNya sendiri yang berada di dalam Diri Allah ( Roh Kudus). Keyakinan akan Tritunggal Maha Kudus (Allah
Yang Esa yang memiliki Firman dan Roh Yang Kekal) itu menjadi kesimpulan dari semua aqidah Iman
Kristen, salah mengerti makna Tritunggal Maha Kudus itu akan mengacaukan pengertian kita akan Aqidah
kebenaran itu sendiri.

Dari kedua belas butir Pengakuan Iman ini, butir-butir mengenai Yesus Kristus jauh lebih banyak dibanding
dengan butir-butir yang lain, yaitu ada 6 butir (dari butir 2 s/d butir 7), disusul oleh butir-butir mengenai
Roh Kudus: 5 butir (dari butir 8 s/d 12). Ini menunjukkan sentralitas Yesus Kristus dalam Iman Kristen, dan
pentingnya Roh Kudus dalam pengalaman kehidupan Kristen. Dikatakan pengalaman, karena karya Roh
Kudus bertalian langsung dengan eksistensi Kristen yaitu: Sakramen (Baptisan), Gereja dan Kebangkitan
serta kehidupan kekal.

Dalam Yesus Kristuslah secara obyektif manusia diselamatkan: Turun dari Sorga, Menjelma, Disalibkan,
Dikuburkan, Bangkit, Naik ke Sorga dan Datang untuk kali yang ke dua.

Namun dalam Roh Kuduslah keselamatan yang bersifat historis (dibawah pemerintahan Pontius Pilatus)
dan realistis (telah turun, telah disalibkan, telah bangkit, telah naik ke sorga) itu menjadi pengalaman
subyektif manusia melalui menyatu dengan kematian dan kebangkitan Kristus dalam Baptisan dan
menghayati makna kehidupan baru itu di dalam Gereja. Sehingga oleh Roh Kudus yang sama itu, manusia
manunggal dengan kehidupan kebangkitan Kristus (“kebangkitan orang-orang mati”) untuk akhirnya masuk
dalam kehidupan Ilahi yang dinyatakan dalam langit baru dan bumi baru (“Kehidupan zaman yang akan
datang”)

Rangkuman waktu yang dibahas oleh Pengakuan Iman ini adalah sejak diciptakannya langit dan bumi
sampai dengan zaman yang akan datang. Artinya Pengakuan Iman ini merangkum segenap aqidah bagi
kehidupan Kristen yang menembus dari asal mula (Sangkan) sampai dengan tujuan akhir (Paran) Ciptaan
(Dumadi). Dan semuanya terjadi karena Allah melalui Yesus Kristus Di dalam Roh Kudus.
BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Thu Dec 27, 2007 6:18 pm

III. Rincian Isi Pengakuan Iman

I. Aqidah tentang Allah

1. Ke-Esa-an Allah (Tauhid)

Pengakuan Iman ini dilandasi dan dimulai dengan Pengakuan yang amat penting yaitu
percaya “kepada...Allah”, yang berarti Iman Kristen Orthodox memulai segala sesuatunya dengan Allah.
Dialah yang menjadi asal mula dari segala sesuatu. Allah yang bagaimana yang dipercayai oleh Iman
Kristen Orthodox ini? Yang dipercayai tak lain adalah “SATU Allah” .

Itulah landasan iman Kristen yang lurus dan benar. Allah itu hanya satu saja dan bukan dua atau lebih. Dan
Allah yang Satu ini adalah Allah yang hidup, dan menyapa manusia sebagai anak-anakNya secara rohani,
sehingga Dia disebut Bapa, meskipun Allah itu tak berjenis kelamin: bukan laki-laki, bukan perempuan,
bukan banci. Dengan demikian Iman Kristen Orthodox tidak mempercayai suatu ide tentang Yang Ilahi
yang bersifat abstrak dan jauh dari manusia, namun Allah yang hidup yang berkenan untuk berhubungan
dalam kasih dengan manusia sebagai Bapa. Menurut Iman Kristen Orthodox pangkal awal dari keyakinan
yang benar tentang Allah harus dimulai dengan dasar tentang Ke-Esa-an Allah. Junjungan Agung kita Yesus
Kristus mengajarkan: ”…Hukum yang terutama ialah:’….Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa” ( Markus 12:29). Jadi
pengakuan akan Tauhid menurut Sang Kristus adalah merupakan hukum yang terutama, yaitu awal dari
segala-galanya. Dan itulah fondasi dari segala dogma dan aqidah Iman Kristen Orthodox lainnya. Itulah
sebabnya Syahadat atau Pengakuan Iman Gereja dimulia dengan kata-kata : ”Aku percaya pada SATU
ALLAH” Dengan demikian iman akan Tauhid atau Ke-Esa-an Allah adalah suatu keharusan yang tak dapat
ditawar lagi dalam Iman Kristen Orthodox di dalam menghayati kebenaran tentang keberadaan Ilahi. Ini
adalah kebenaran mutlak yang harus diyakini sepenuhnya. Keharusan akan Ke-Esa-an Allah ini memiliki
dua landasan, yaitu landasan Kitabi sebagaimana yang dijelaskan dalam Alkitab sebagaimana yang akan
kita bahas dibawah ini. Juga landasan pertimbangan akal.

Kitab Suci dan Pengakuan Iman Gereja menegaskan bahwa Allah itu memang satu, dan pertimbangan akal
menyungguhkan bahwa Ia memang harus satu. Pertimbangan akal yang mengharuskan ke-Esa-an Allah itu
adalah demikian: Alam semesta yang ada ini bergerak sesuai dengan hukum alam yang ada. Satu sama
lainnya tak ada yang saling berbenturan. Ini berarti bahwa memang ada suatu “Akal-Budi Agung” yang
mengatur jalan dan gerak yang ada dalam alam semesta. Adnaya gerak yang harmonis itu menunjukkan
adanya hanya “Satu Kehendak” dan demikian adanya hanya satu “Akal-Budi-Agung” yang demikian yang
mengatur segala yang ada dalam alam ini. Sebab jika ada lebih dari satu kehendak tak mungkin ada
harmoni dalam alam ini. Masing-masing kehendak itu pasti mempunyai caranya sendiri-sendiri
dalam ,mengatur alam ini. Adanya banyak kehendak pasti ada banyak akal-budi, dan adanya banyak akal-
budi pasti adanya banyak ilah. Namun faktanya kehendak yang banyak yang sedemikian itu tak kita jumpai
dalam fenomena keharmonisan alam ini.

Dengan demikian itu mengharuskan hanya ada Satu Kehendak, Satu Akal-Budi-Agung, berarti Satu Allah.
Meskipun agama yang menyembah banyak Dewapun pada analisa terakhir harus mengakui bahwa yang
sebenarnya hanya ada satu Allah saja. Karena banyaknya Dewa tak akan memuaskan manusia akan rasa
manunggal pada Yang Esa, dan yang Mutlak. Sebab jika ada banyak Dewa berarti tidak ada yang Mutlak.
Itulah sebabnya pengalaman batin manusia menghendaki adanya yang mutlak dan absolut, yang hal itu
menuntut adanya Allah yang hanya satu. Sifat-sifat Allah dalam bahasa keagamaan yang lazim di Indonesia
selalu menggunakan istilah “Maha” yang artinya “paling dan “tak ada duanya”. Maka jika seorang Pencipta
itu serba ”Maha” : Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Agung , Maha Kasih dan lain-
lain, haruslah Dia itu Esa tidak ada duanya. Sebab apa yang ada tandingannya itu sudah bukan
serba”Maha” lagi, namun sudah menjadi relatif dan nisbi. Dewa yang ini “lebih kuasa” dari Dewa yang itu.
Ilah yang ini “Kurang Kasih” dibanding dengan Ilah yang itu, dan sebagainya. Pula keteraturan dunia ini
mengharuskan adanya Allah yang hanya satu saja. Sebab jika ada Allah lebih dari satu, dunia ini akan
hancur berantakan, sebab Ilah yang satu akan menghendaki dunia diatur menurut caranya, sedangkan ilah
yang lain menghendaki cara yang lain, sehingga hancurlah tatanan alam ini. Maka haruslah Allah itu hanya
satu, tak boleh lebih. Allah adalah Maha Tak Terbatas, jika ada lebih dari satu Allah maka ilah yang satu
akan dibatasi keberadaannya oleh ilah yang lain itu, dan itu mustahil bagi sifatnya yang Maha Tak Terbatas
iitu. Demikianlah maka segala alasan mengharuskan kita menegaskan dan menyakini bahwa yang sebenar-
benarnya itu hanya ada satu Allah saja yang tak ada sekutu bagiNya, sebagaimana yang diterangkan oleh
ayat-ayat dibawah ini.

a .Bukti-Bukti Tauhid

Bersama dengan agama sebelumnya: Yahudi, dan agama sesudahnya : Islam, Iman Kristen Orthodox
adalah keyakinan yang berlandaskan Tauhid ( Keesaan Allah ) . Berdasarkan kebenaran yang paling
mendasar dari pengakuan Kristiani tentang Tauhid inilah segenap ajaran Kristen berpangkal. Mengenai
keyakinan akan Tauhid ini Alkitab tanpa ragu ragu lagi menyuarakan suara serentak dengan lantang.
Sebagaimana dikatakan dalam ayat-ayat berikut ini :

Jawab Yesus:” Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu
esa.Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan segenap akal
budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah : kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri. Tidak ada Hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” Lalu kata ahli
Taurat itu kepada Yesus:”Tepat sekali ,Guru, benar kataMu itu, bahwa tidak ada yang lain kecuali
Dia. ( Markus 12:29-32 )

Pernyataan Yesus yang tegas tentang keesaan Allah ini, diambil dari Syahadat Yahudi yang
disebut “shema“, untuk menunjukkan bahwa Yesus datang bukan untuk menggantikan atau
menyingkirkan pengajaran Taurat ( Torah ) dan para Nabi sebelumnya, namun untuk meneguhkan dan
menegaskannya. Dengan demikian pengakuan akan Tauhid ini adalah merupakan ajaran pokok atau “
Hukum yang terutama” menurut Yesus kristus, baik dalam Taurat dan kitab para Nabi ataupun dalam
ajaran Isa Almasih ( Yesus Kristus ) sendiri.
Seiring dengan ajaran Almasih mengenai Tauhid ini, Alkitab secara keseluruhan memang memberitakan
fakta keesaan Allah ini.

“ Dengarlah, hai orang Israel TUHAN Allah kita, TUHAN itu Esa” ( Ulangan 6:4)

Akulah Tuhan dan tidak ada lagi yang lain;kecuali Aku tidak ada Allah. Aku telah mempersenjatai engkau,
sekalipun engkau tidak mengenal Aku,supaya Orang tahu dari terbitnya matahari sampai
terbenamnya, bahwa tidak ada yang lain diluar Aku, Akulah Tuhan dan tidak ada lagi yang lain. ( Yesaya
45:5-6 )

Maka berkatalah Yesus kepadanya : “ Enyahlah, Iblis ! sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan
Allahmu dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti” ( Matius 4:10 )

“Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan
mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” ( Yohanes 17:3 )

“Artinya, kalau ada Satu Allah, yang akan membenarkan baik orang-orang bersunat karena iman, maupun
orang-orang tak bersunat juga karena iman.” ( Roma 3:10 )

“………. kita tahu; tidak ada berhala dalam dunia dan tidak ada Allah lain dari pada Allah yang esa.” ( I
Korintus 8:4 ).

“Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari padaNya berasal segala sesuatu dan yang
untuk Dia kita hidup kita hidup,…. “ ( I Korintus 8:6 )

“Seorang pengantara bukan hanya mewakili satu orang saja , sedangkan Allah adalah satu“ ( Galatia 3:20 ).

“satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang diatas semua dan oleh semua dan di dalam semua” ( Efesus
4:6 ).

“Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia
Yesus Kristus,” ( I Timotius 2:5 ).

“Engkau percaya , bahwa hanya ada satu Allah saja ? itu baik ! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal
itu dan mereka gemetar.” ( Yakobus 2:19 ).

“Allah yang esa , juru selamat kita oleh Yesus Kristus, Tuhan kita .bagi Dia kemuliaan, kebesaran, kekuatan
dan kuasa sebelum segala abad dan sekarang dan sampai selama-lamanya. Amin.” ( Yudas 25 )

Ayat-ayat Alkitab baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru yang kita kutip diatas
menjelaskan secara lugas tanpa keraguan bahwa Iman Kristen itu adalah iman yang bersendikan Tauhid
( Keesaan Allah ) sebagai landasan imannya. Adalah suatu kekeliruan yang besar jika ada orang yang
menganggap bahwa Tauhid itu dalam Agama Kristen telah berubah menjadi musyrik ( menyekutukan Allah
atau berilah lebih dari satu ).Pengakuan akan keesaan Allah adalah landasan yang pokok dan haruslah
merupakan hakekat yang terdalam dari setiap agama dan pengakuan manusia akan Sang Pencipta.

b. Tuntutan Tauhid.
Pengakuan akan keesaan Allah meskipun merupakan landasan fundamental bagi agama dan iman yang
benar, belumlah cukup pada dirinya sendiri, sebelum kita mengerti secara benar tuntutan apa yang diminta
dari pengakuan semacam ini. Sebab Iblispun mengakui akan Tauhid, namun dia tak bersikap me-Tauhid-
kan Allah, sehingga Tauhidnya Iblis itu tak membawa dia ke dalam pengampunan Ilahi, sebagaimana yang
dikatakan :

“Engkau percaya , bahwa hanya ada satu Allah saja ? itu baik ! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal
itu dan mereka gemetar.” ( Yakobus 2:19).

Yang hendak ditegaskan oleh ayat ini adalah bahwa,memang pengakuan akan Tauhid itu baik pada dirinya
sendiri, namun setan-setanpun percaya akan kebenaran fundamental ini dan mereka takut, tetapi
kepercayaan mereka akan tauhid ini tidak membawa setan-setan itu kepada pengampunan ilahi dan
keselamatan kekal. Berarti ada pengakuan yang salah dan tidak tepat akan Tauhid ini. Jadi ada tuntutan
kongkrit agar Tauhid itu bersifat murni dan tak terkotori oleh yang musyrik ( menyekutukan Allah,
Polytheisme ). Mengakui, percaya bahwa Allah itu Esa belumlah cukup sebelum kita berniat untuk meng-
Esa-kan atau me-Tauhid-kan Allah dalam sikap hidup kita. Bagaimana tuntutan me-Tauhid-kan atau meng-
Esa-kan Allah harus kita mengerti, dijelaskan oleh Alkitab secara sangat tuntas dan gamblang.

- Tauhid Keilahian (Tauhid Ilahiyah) .

Tauhid Keilahian ini adalah pengakuan tentang keesaan Allah yang menyangkut Dzat dan Hakekat Allah,
Sifat-Sifat Allah, Nama Allah dan Keberadaan Allah. Ini menyangkut cara pikir dan cara pandang kita
tentang Allah. Alkitab menegaskan dalam Injil Markus demikian:

“Jawab Yesus:” Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu
esa.Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan segenap akal
budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah : kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri. Tidak ada Hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” Lalu kata ahli
Taurat itu kepada Yesus:”Tepat sekali ,Guru, benar kataMu itu, bahwa tidak ada yang lain kecuali
Dia.” ( Markus 12:29-32 )

Karena Allah itu Esa maka kasih kita kepada Allah itu haruslah utuh dan bulat serta satu (“segenap”). Dalam
kaitannya dengan cara pikir dan cara pandang kita tentang keesaan Ilahiah ini maka “segenap akal-budi”
kita, bukan hanya sebagian saja dari akal-budi itu, haruslah semata-mata diarahkan kepada Allah yang satu
itu. Berarti akal-budi itu harus mengerti makna dari pada dan bertumpu pada tauhid, sehingga tak ada
tempat bagi yang bukan Allah dan bagi kemusyrikan. Agar akal budi itu bertumpu pada tauhid maka akal-
budi harus menganalisa bagaimana kemurnian tauhid itu harus dimengerti. Dan Alkitab memberikan
kepada kita ajaran yang jelas mengenai Tauhid Keilahian ini :

“Akulah Tuhan dan tidak ada lagi yang lain;kecuali Aku tidak ada Allah. Aku telah mempersenjatai engkau,
sekalipun engkau tidak mengenal Aku,supaya Orang tahu dari terbitnya matahari sampai terbenamnya,
bahwa tidak ada yang lain diluar Aku, Akulah Tuhan dan tidak ada lagi yang lain. “ ( Yesaya 45:5-6 ).

“Bukankah Aku, Tuhan?, tidak ada yang lain, tidak ada Allah selain dari padaKu. Allah yang adil dan
Juruselamat tidak ada yang lain kecuali Aku!” ( Yesaya 45:21 ).

Ayat-ayat ini dengan tegas mengajarkan kepada kita bahwa Allah itu Tunggal tanpa ada sekutu dalam
keberadaanNya. Dialah satu-satunya Allah yang tiada tandingan bagiNya. Dzat HakekatNya tak tertandingi,
serta hanya Dia saja yang memiliki Dzat-Hakekat keilahian yang semacam itu. Tiada sekutu dalam Dzat
Hakekat maupun WujudNya. Dialah satu-satuNya yang memiliki keberadaan Dzat-Hakekat semacam itu.
Karena Allah itu satu maka satu pula Dzat-Hakekat Allah itu.Tidak ada yang disebut Ilah atau Allah sekalipun
selain Dia yang satu dan Esa itu. Karena Dia itu Esa dalam keberadaanNya maka Esa pula dalam segala
sifat-sifatNya sehingga tak ada satupun yang dapat dibandingkan denganNya.

“Kepada siapakah kamu hendak menyamakan Aku, hendak membandingkan dan mengumpamakan
Aku,sehingga kami sama?” ( Yesaya 46:5 )

Allah tak ada persamaan dalam sifat-sifatNya. Allah itu unik dan terpisah dari makhlukNya. Jika Dia
mempunyai sifat sama dengan lainnya berarti Dia bukan unik dan bukan Esa lagi. Itulah sebabnya bagi
Allah semua ilah yang disembah manusia itu tak mempunyai sifat ilahi sedikitpun namun malah hanya
sekedar gambaran yang rusak tentang keilahian yang dibuat makhluk sendiri. Dibandingkan dengan
semuanya itu Allah itu tidak dapat diserupakan oleh apapun dalam segala sifat-sifatNya.

“Supaya orang tahu dari terbitnya matahari sampai terbenamnya, bahwa tidak ada yang lain diluar Aku,
Akulah Tuhan dan tidak ada lagi yang lain, yang menjadikan terang dan yang menciptakan gelap, yang
menjadikan nasib mujur dan menciptakan nasib malang; Akulah Tuhan yang membuat semuanya ini.Hai
langit, teteskanlah keadilan dari atas, dan baiklah awan-awan mencurahkannya ! Baiklah bumi membuka
diri dan bertunaskan keselamatan, dan baiklah ditumbuhkannya keadilan! Akulah Tuhan yang menciptakan
semuanya ini.” ( Yesaya 45:6-8 )

Itulah sebabnya semua Nama Allah yang menunjukkan karya dan sifat-sifatNya selalu diberi tambahan
kata ”Maha” atau “All” dan “Most” atau “Omni” dalam ekspresi Liturgis dan Teologi Gereja yang
berbahasa Inggris misalnya : Maha Kuasa ( Almighty ), Maha Melihat ( Omniscience, Allseeing ), Maha
Besar ( Most Great ), Maha Hadir ( Omnipresence ), Maha Suci ( All-Holy, Most Holy ) dan sebagainya.
Ini menunjukkan bahwa hanya Allah saja dan tidak ada yang lain yang memiliki sifat yang menunjukkan
karyaNya sebagai Nama yang dimilikiNya sendiri, serta tak ada yang lain yang berhak di beri gelar semacam
itu. Nama-nama dan sifat-sifat yang paling unggul dan paling indah ini hanya dimiliki oleh Allah saja, karena
hanya Dia yang memiliki kuasa dan kemampuan serta sifat-sifat yang disebut dalam Nama-nama tadi.
Memberi sifat yang bukan Allah dengan sifat-sifat Allah adalah suatu hujatan terhadap kesucian dan
keesaan Allah ini. Dan pensifatan semacam itu adalah dusta sebab apa yang bukan Allah tak mungkin
memiliki sifat dan kuasa yang dimiliki oleh Allah, yang sifat dan kuasa tadi dinyatakan dalam gelar Nama
Allah tadi. Itulah sebabnya Nama Allah itu haruslah hanya milik Allah sendiri. Namun itu haruslah Esa
sebagai hak dari Allah yang Esa tadi, itulah nama yang unik bagi Allah. Makhluk tak berhak ikut mengambil
bagian dalam Nama Allah yang Esa ini secara hakiki.

- Tauhid Kepenguasaan ( Tauhid Rububiyah).

Iman akan Tauhid keilahian itu belum cukup jika tidak pula disertai dengan iman akan keesaan Karya dan
Penguasaan Allah serta pengaturan dan pemilikanNya atas alam ini. Mengenai keesaan karya Allah dalam
menciptakan dunia ini dikatakan demikian.:

“Beginilah Firman Tuhan, penebusmu, yang membentuk eangkau sejak dari kandungan; “Akulah Tuhan,
yang menjadikan segala sesuatu, yang seorang diri membentangkan langit, yang menghamparkan bumi-
siapakah yang mendampingi Aku ?” ( Yesaya 44:24 )

Karena “seorang diri” Allah menciptakan alam semesta ini, maka mensifatkan penolong atau pembantu
bagi Allah, yang mendampingiNya dalam proses penciptaan ini adalah merupakan pelanggaran dan
hujatan atas Tauhid akan Penguasaan Allah ini. Di dalam sekte aliran Saksi Yehuwah dipercayai bahwa
Allah menciptakan seorang makhluk awal yang disebut ”Firman” atau “Anak Allah” yaitu “Malaikat
Mikael” sebagai makhluk roh pertama yang dijadikan sebelum adanya alam-semesta ini dan melalui
bantuan makhluk pertama yang berwujud roh “ Malaikat Mikael” inilah Allah menjadikan alam-semesta ini.
Ajaran ini secara terang-terangan bertentangan dengan konsep Tauhid kepenguasaan atau Tauhid
Rububiyah ini. Sebab Allah menciptakan tanpa ada seorangpun yang mendampinginya, seorang diri saja
Dia menciptakan, serta tak ada makhluk yang dapat menciptakan makhluk lain apalagi mendampingi Allah
demi membantu karyaNya. Ini jelas ajaran yang mempersekutukan Allah dengan makhlukNya, yang
ditentang oleh Alkitab. Allah tidak membutuhkan bantuan siapapun dalam menjadikan alam ini. Dia ada
dengan sendiriNya dan Dia unik dalam kuasaNya. Tak seorang makhlukpun yang memiliki sifat sebagai
Pencipta, Allah sendirilah Pencipta itu.
Karena Allah itu seorang diri saja dalam menciptakan maka Dia saja pemilik segala sesuatu yang
sebenarnya dalam alam-semesta ini.

Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya.  (Mazmur 24:1 ).

Sebagai pemilik atau yang empunya alam semesta satu-satunya, Dialah pemelihara satu-satunya atas alam-
semesta dan semua yang hidup di dalamnya :

“Engkau yang melepas mata-mata air ke dalam lembah-lembah, mengalir diantara gunung-gunung
memberi minum segala binatang di pandang, memuaskan haus keledai keledai hutan, di dekatnya diam
burung-burung di udara, bersiul diantara daun-daunan, Engkau yang memberi minum gunung-gunung dari
kamar-kamar lotengmu, bumi kenyang dari buah pekerjaanMu Engkau yang menumbuhkan rumput bagi
hewan dan tmbuh-tumbuhan untuk diusahakan manusia, yang mengeluarkan makanan dari dalam tanah
yang ... dan makanan yang menyegarkan hati manusia.... Engkau yang telah membuat bulan menjadi
penentu waktu, matahari yang tahu akan saat terbenamnya...singa-singa muda mengaum-aum akan
mangsa, dan menuntut makanannya dari Allah.... lihatlah laut itu.... disitu tidak terbilang banyaknya
binatang-binatang kecil dan besar... Semuanya menantikan Engkau, supaya diberikan makanan pada
waktunya” ( Mazmur 104:10-27 ).

Pemeliharaan dan kepenguasaan Allah itu demikian luasnya mencakup segala sesuatu yang ada di dalam
alam ini. Baik bagi alam-semesta itu sendiri, bagi berjalannya planet di Antariksa: bulan, matahari, maupun
bagi tumbuhnya tanam-tanaman dan kehidupan hewan dan manusia, baik yang berada di darat, laut
maupun udara. Tidak ada ilah-ilah yang terpisah-pisah yang menguasai dan memelihara itu semuanya,
namun semuanya di bawah penguasaan Allah yang hanya satu itu. Allahlah pemilik semuanya itu, dan tak
ada yang lain. Kita tak mengenal ilah atau Dewa yang menguasau air, Dewa penguasa laut, dewa penguasa
matahari, atau bulan, dewa pemberi rejeki. Tidak!!!. Semuanya itu tidak ada. Hanya ada Allah yang Esa yang
menguasai semuanya itu. Dan hanya kepadaNya saja semua makhluk berhajat dan berharap. : “SEMUANYA
MENANTIKAN ENGKAU“ ( Mazmur 104: 27 )
Menyadari bahwa segenap hidup dan segala prosesnya itu berada dan tunduk dibawah kepenguasaan
Allah yang satu itu, maka sudah seharusnya manusia harus mengarahkan bakti-syukur dan ibadahnya
kepada Allah semata, untuk itulah kita membahas bentuk Tauhid yang selanjutnya.

- Tauhid Ibadah ( Tauhid Ubudiyah).

Tauhid Ibadah ini juga yang disebut sebagai “Tauhid Ubudiyah” . Makna dari Tauhid ubudiyah ini adalah
bahwa hanya Allah yang Esa itu saja yang patut di ibadahi manusia, serta tak ada yang lain yang patut
disembah oleh manusia kecuali Allah yang Esa itu. Almasi mengatakan :

Maka berkatalah Yesus kepadanya : “ Enyahlah, Iblis ! sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan
Allahmu dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti” ( Matius 4:10 )

“Hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti !!“ demikian penegasan Almasih yang tak dapat diragukan
lagi. Dan ajaran Almasih ini adalah merupakan penegasan dari apa yang diajarkan oleh Nabi Musa di
dalam Taurat.

Engkau harus takut akan Tuhan, Allahmu; kepada Dialah engkau haruslah beribadah dan demi namaNya
haruslah engkau bersumpah. Janganlah kamu mengikuti allah lain, dari antara allah bangsa-bangsa
sekelilingmu, (Ulangan 6: 13-14 ).

“Kepada Dia haruslah engkau beribadah” dan “ Janganlah engkau mengikuti ilah lain” adalah suatu
penyataan yang tegas mengenai Tauhid atau keesaan dalam penyembahan atau ibadah kepada Allah ini.
Bukan hanya kita harus beribadah kepada Allah semata ( Tauhid Ubudiyah ) namun juga kita harus
menolak secara aktif eksistensi dari penyembahan atau ibadah kepada ilah yang bukan Allah itu. Jadi tak
bisa secara praktek kita memang hanya menyembah kepada Allah saja, namum dalam hati atau secara
tersembunyi mengakui keberadaan ilah yang lain. Kita harus dengan tegas mengatakan bahwa “tidak ada
ilah lain selain dari Allah yang esa” . ( I Korintus 8:4 ). Tak mungkin pula dimulut kita mengaku bahwa
Allah itu esa dan tidak ada ilah lain dari pada Allah yang esa namun di pihak lain, kita mengakui kuasa dari
sesama makhluk sebagai yang mempunyai kuasa sama dengan Allah serta kita melakukan penyembahan
kepadanya. Ibadah kita haruslah sama sekali utuh dan satu khusus kepada Allah semata sebagaimana yang
diajarkan Almasih :

Jawab Yesus:” Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.
Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan segenap akal
budimu dan dengan segenap kekuatanmu”. ( Markus 12:29-30 ).

Wujud manusia mengasihi Tuhan Allah adalah dalam Ibadah. Dan Ibadah itu menyangkut keutuhan
keberadaan Si manusia secara lengkap: hati, jiwa, akal-budi dan kekuatan. Jadi berarti tidak ada satupun
dalam unsur keberadaan manusia itu tidak ikut terlibat secara langsung dengan sikap mengasihi Allah
dalam ibadah. Manusia itu harus utuh dan satu dalam penyembahan kepada Allah. Itulah sebabnya unsur
kemanusiaan yang terlibat dalam penyembahan yang utuh haruslah satu juga, yaitu
harus “segenap” artinya tiada ruang dan tempat yang kosong atau terluang untuk tidak mengasihi Allah,
yang bukan Allah tidak boleh menempati tempat Allah, haruslah segenap kemanusiaan itu secara utuh dan
satu menyembah dan beribadah kepada Allah, karena Allah itu hanya satu saja.

“...Takutlah akan Tuhan dan beribadahlah kepadaNya dengan tulus iklas dan setia. Jauhkanlah ilah yang
kepadanya nenek-moyangmu telah beribadah...Kamipun akan beribadah kepada Tuhan, Allah kita...
Apabila kamu meninggalkan Tuhan dan beribadah kepada ilah asing, maka Ia akan berbalik dari padamu
dan melakukan yang tidak baik kepada kamu serta membinasakan kamu... jauhkanlah ilah asing ... dan
condongkanlah hatimu kepada Tuhan..kepada Tuhan, Allah kita, kami akan beribadah, dan firmanNya akan
kami dengarkan“ ( Yosua 24:14-24 ).

c. “Tauhid” Lawan “Musyrik”.

Musyrik adalah keyakinan serta sikap hati dan ibadah yang membuat sekutu dan tandingan bagi Allah,
sehingga dengan demikian keesaan Allah dalam keilahianNya ( Tauhid Ilahiah ), dalam kepenguasaanNya
(Tauhid Rububiyah ), dan dalam Ibadah kepadaNya ( Tauhid Ubudiyah ) mengalami pengrusakan dan
perongrongan. Sikap musyrik ini sangat membahayakan bagi keselamatan manusia sehingga diancam:
Apabila kamu... beribadah kepada ilah asing, maka Ia akan berbalik dari padamu......serta membinasakan
kamu...” ( Yosua 24:20 ).

Juga tertulis :

“ Perbuatan daging telah nyata, yaitu....penyembahan berhala...barangsiapa melakukan hal-hal yang


demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam kerajaan Allah.” ( Galatia 5:19-20 ).

Karena demikian beratnya ancaman yang diberikan bagi para Musyrikin ( orang-orang yang melakukan
tindakan musyrik ), adalah sangat penting bagi kita mengerti apa-apa yang dapat dikatakan sebagai
musyrik itu, dan dengan mengetahuinya kita dapat menjauhkan diri daripadanya serta memurnikan diri
kita dari kemusyrikan untuk menegakkan serta memurnikan tauhid itu dalam hidup kita.

Bentuk kemusyrikan yang paling cepat diketahui dan paling kasar adalah penyembahan kepada benda
wadhag, terutama yang berbentuk ukir-ukiran. Inilah bentuk berhala yang paling umum dan paling kuno
dalam ibadah agama kafir :

“Akulah Tuhan, Allahmu,.... Jangan ada padamu ilah lain dihadapanKu. Jangan membuat bagimu patung
yang menyerupai apapun yang ada di langit... di bumi... atau ...di dalam air. Jangan sujud menyembah
kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan, Allahmu...” ( Keluaran 20:2-5 ).

Perjanjian Baru mengajarkan hal yang sama :

“Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap
syukur kepadaNya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.
Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh. Mereka yang
mengantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana,
burung-burung, binatang-binatang, yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar.” (Roma
1:21-23 ).

Penyembahan kepada berhala jenis patung ukir-ukiran seperti ini dianggap sebagai kebodohan ( jahil),
karena dalam Zabur / Mazmur diterangkan :

“Berhala-berhala mereka adalah perak dan emas buatan tangan manusia, mempunyai mulut tetapi tidak
dapat berkata-kata, menyerupai mata tetapi tidak dapat melihat, menyerupai telinga tetapi tidak dapat
mendengar, mempunyai hidung tetapi tidak dapat mencium, mempunyai tangan tetapi tidak dapat
meraba-raba, mempunyai kaki tetapi tidak dapat berjalan, dan tidak dapat memberi suara dengan
kerongkongannya. Seperti itulah jadinya orang-orang yang membuatnya, dan semua orang yang percaya
kepadanya.” ( Mazmur 115:4-8 )

Karena berhala itu tak lain hanyalah benda mati yang tak mempunyai kemampuan apa-apa maka Zabur
melanjutkanlagi :

“Semua orang yang beribadah kepada patung akan mendapat malu, orang yang memegahkan diri karena
berhala-berhala; segala ilah ( jika ada kenyataanya !!!) sujud menyembah kepada-Nya ( Allah Yang
Esa )“ ( Mazmur 97:7 ).

Atas dasar kehampaan dan ketiadaan kuasa serta dusta yang nyata dari patung-patung berhala inilah para
nabi dengan penuh sarkasme menghardik dan mencela berhala-berhala dan para penyembahnya itu
sebagai berikut :

“Orang-orang yang membentuk patung, semuanya adalah sia-sia, dan barang-barang kesayangan mereka
itu tidak memberi faedah. Penyembah-penyembah patung itu tidak melihat dan tidaklah mengetahui apa-
apa, oleh karena itu mereka akan mendapat malu. Siapakah yang membentuk ilah dan menuang patung
yang tidak memberi faedah ? Sesungguhnya semua pengikutnya akan mendapat malu, dan tukang-
tukangnya adalah manusia belaka. Biarlah mereka semua berkumpul dan bangkit berdiri ? Mereka akan
gentar dan mendapat malu bersama-sama. Tukang besi membuatnya dalam bara api dan menempanya
dengan palu, ia mengerjakan dengan segala tenaga yang ada ditangannya. Bahkan ia menahan lapar
sehingga habislah tenaganya, dan ia tidak minum air sehingga ia letih lesu. Tukang kayu merentangkan tali
pengukur dan membuat bagan sebuah patung dengan kapur merah; ia mengerjakannya dengan pahat dan
menggarisinya dengan jangka, lalu ia membentuk seorang laki-laki kepadanya, seperti seorang manusia
yang tampan, dan selanjutnya ditempatkannya dalam kuil. Mungkin ia menebang pohon-pohon aras atau
ia memilih pohon saru atau pohon tarbantin, lalu membiarkannya tumbuh menjadi pohon besar diantara
pohon-pohon di hutan, atau ia menanam pohon salam, lalu hujan membuatnya besar, dan kayunya
menjadi kayu api bagi manusia, yang memakainya untuk memanaskan diri; lagi pula ia menyalakannya
untuk membakar roti. Tetapi ia juga membuatnya menjadi “allah” ( ilah ), lalu menyembah kepadanya; ia
mengerjakan menjadi patung lalu sujud kepadanya. Setengahnya dibakarnya dalam api dan diatasnya
dipanggangnya daging. Lalu ia memakan daging yang dipanggang itu sampai kenyang; ia memanaskan diri
sambil berkata: “ Ha, aku sudah menjadi panas, aku telah merasakan kepanasan api.” Dan sisa kayu itu
dikerjakannya menjadi “allah” (ilah), menjadi patung sembahannya; ia sujud kepadanya, ia menyembah dan
berdoa kepadanya, katanya :” Tolonglah aku,sebab engkaulah allahku.” Orang seperti itu tidak mengetahui
apa-apa dan tidak mengerti apa-apa, sebab matanya melekat tertutup, sehingga tidak dapat melihat, dan
hatinya tertutup juga, sehingga tidak dapat memahami. Tidak ada yang mempertimbangkannya, tidak ada
cukup pengetahuan dan pengertian untuk mengatakan:”Setengahnya sudah kubakar dalam api dan di atas
baranya juga sudah kubakar roti, sudah kupanggang daging, lalu kumakan. Masakan sisanya kubuat
menjadi dewa kekejian ? Masakan aku menyembah kayu kering ? Orang yang sibuk dengan abu belaka,
disesatkan oleh hatinya yang tertipu; ia tidak dapat menyelamatkan jiwanya atau mengatakan: “bukankah
dusta yang menjadi pengakuanku ?” ( Yesaya 44;9-20 ).

Dan masih banyak lagi kecaman yang tajam dan hardikan yang pedas dalam Kitab Suci atas penyembahan
patung-berhala semacam itu. Namun kutipan-kutipan ayat-ayat di atas sudah cukup menjelaskan kepada
kita betapa jijik para Nabi terhadap penyembahan berhala patung-ukiran yang dianggap sebagai ilah itu.
Dan betapa berat ancaman yang dijatuhkan bagi orang yang menyembah ilah dalam bentuk patung-ukiran
berhala dewa-dewa itu.

Berkaitan dalam penyembahan berhala yang berwujud patung dan arca dipergunakannya segala macam
ilmu tenung, ilmu sihir, ilmu gaib dan ilmu ramal yang dianggap sebagai sarana berkomunikasi dengan dan
mengetahui kehendak dari dunia gaib dimana para Dewa atau para makhluk roh dianggap lebih tinggi di
dalam praktek ibadah dan keyakinan agama semacam itu. Di atas telah kita bahas bahwa patung berhala
dan arca pada dirinya sendiri memang hampa dan tidak ada realitanya, namun karena itu penyembahan
kepada yang dusta, maka ”bapa segala dusta” ( Yohanes 8:44 ) yaitu: Iblis dan segala roh jahatnya. ( I
Korintus 10:19-20 ) menggunakan kesempatan itu untuk makin menipu dan menyesatkan manusia.
Sehingga melalui kerja-samanya segala macam ilmu sihir, ilmu tenung, ilmu gaib, ilmu mistik dam klenik
serta ilmu ramal mereka berusaha untuk menyakinkan manusia bahwa para ilah dan para dewa yang
adalah roh-roh jahat itu sendiri memang ada realitanya. Sehingga memalingkan manusia dari
penyembahan dan ketergantungan yang utuh kepada Allah yang Esa, serta menjadikan manusia sebagai
orang orang yang musyrik. Alkitab mengajarkan :

“Apabila engkau sudah masuk ke negeri yang telah diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu, maka
Janganlah engkau belajar berlaku sesuai dengan kekejian yang dilakukan oleh bangsa-bangsa itu.
Diantaramu janganlah didapati seorangpun yang mempersembahkan anaknya laki-laki dan anaknya
perempuan sebagai korban dalam api, ataupun seorang yang menjadi petenung, seorang peramal, seorang
penelaah, seorang penyihir, seoreng pemantera, ataupun seorang yang bertanya kepada arwah atau
kepada roh peramal atau yang meminta petunjuk kepada orang-orang mati. Sebab setiap orang yang
melakukan hal-hal ini adalah kekejian bagi Tuhan, dan oleh karena kekejian-kekejian inilah Tuhan
mengahalau mereka dari hadapanmu.” ( Ulangan 18:9-12 ).

“Jangan kamu berpaling kepada arwah atau kepada roh-roh peramal; jangan kamu mencari mereka dan
dengan demikian menjadi najis karena mereka, Akulah Tuhan Allahmu” ( Imamat 19:31 ).

“Orang yang berpaling kepada arwah atau roh-roh peramal...Aku sendiri akan menentang orang itu dan
melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya.” ( Imamat 20:6 ).

BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Thu Dec 27, 2007 6:22 pm

A. Bentuk berhala lainnya yang ditentang Kitab Suci adalah: Memuja Malaikat.

Malaikat adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah, sama dengan manusia. Hanya Malaikat berwujud roh
yang tidak memiliki jasad yang kasar seperti tubuh manusia, sebagaimana yang dikatakan :

“... kepada siapakah diantara para Malaikat itu pernah berkata:’ Duduklah disebelah kananKu...’ bukankan
mereka semua adalah roh-roh yang melayani, yang diutus untuk melayani..?” ( Ibrani 1:13-14 ).

Meskipun Malaikat itu berwujud roh, mereka tetaplah hamba Allah yang melayani kehendak Allah. Dan
sebagai makhluk roh mereka kadang-kadang dikacaukan oleh manusia sebagai yang Ilahi sendiri, apalagi
para Malaikat itu disebutkan oleh Kitab Suci demikian:

“...malaikat-malaikat...lebih kuat dan lebih berkuasa dari pada mereka( manusia )...” ( II Petrus 2:11 ).

Melihat makhluk roh yang lebih kuat dan lebih berkuasa dari pada dirinya sendiri, manusia menjadi
terperangah dan terpesona, sehingga oleh dorongan kodrat manusia yang memang ingin menyembah itu
terjadi suatu kekeliruan di pihak manusia, sehingga menyampaikan penyembahan itu langsung kepada
para Malaikat itu sendiri.
Penyembahan pada Malaikat itu bukanlah sesuatu yang tak pernah ada, karena Kitab Suci mensinyalir
adanya suatu praktek yang demikian, pada zaman awal munculnya Iman Kristen, yang oleh ajaran Tauhid
dari Injil praktek yang demikian itu telah punah dan musnah, sebagaimana yang dikatakan :

“Jangan kamu biarkan kemenanganmu digagalkan oleh orang yang pura-pura merendahkan diri dan
beribadah kepada malaikat...” ( Kolose 2 :18 )
Ayat ini menjelaskan kepada kita tentang adanya orang yang beribadah kepada Malaikat dan dengan
demikian malakuakan puja-bakti kepada para Malaikat seolah-olah mereka itu adalah yang Ilahi sendiri.
Memang gangguan untuk menyembah makhluk Allah yang bercahaya atau malaikat terang, yang sering
Iblis menyamar seperti mereka itu sangat mudah terjadi. Contohnya dalam agama tertentu yang dulunya
menyembah para Dewa yang memang dalam perlakuan ibadahnya dianggap sebagai ilah-ilah, namun oleh
pengaruh agama Tauhid Kristen dan Islam, para Dewa tak lagi dianggap sebagai ilah, namun diakui sebagai
malaikat-malaikat. Dan agama-agama itu mulai pula menekankan keesaan Allah, namun toh sisa
kemusyrikan itu tak begitu mudah disingkirkan, karena biarpun para Dewa itu dianggap sebagai Malaikat,
tetapi tetap juga disembah sebagai ilah. Jadi memang mudah sekali penyembahan kepada malaikat itu
dilakukan manusia. Apalagi jika masyarakat yang melakukan itu belum dijamah oleh ajaran Tauhid dari Injil.
Namun tentu saja Malaikat yang mau menerima penyembahan seperti itu bukanlah malaikat yang benar,
namun mereka adalah makhluk roh yang lain, yaitu : Iblis, yang dulunya adalah juga seorang malaikat, yang
menyamar sebagai malaikat terang itu, sebagaimana yang diajarkan Kitab Suci :

“Sebab orang-orang itu adalah rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, yang menyamar sebagai rasul-
rasul Kristus. Hal itu tidak usah mengherankan, sebab Iblispun menyamar sebagai malaikat terang.” ( II
Korintus 11:13-14 )

Dan adalah memang keinginan Iblis itu untuk disembah manusia, bahkan diapun mencoba-coba kalau
Almasih dalam keadaanNya sebagai manusia itupun dapat ditundukkan untuk menyembah kepadanya :

“dan ia ( Iblis ) berkata kepadaNya ( Almasih ) :”Semua itu akan kuberikan kepadaMu, jika engkau sujud
menyembah aku.” Maka berkatalah Yesus kepadanya :”Enyahlah Iblis ! Sebab ada tertulis : Engkau harus
menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti !” ( Matius 4:9-10 ).

Berlawanan dengan keinginan malaikat yang telah jatuh : Iblis ini, Malaikat yang sesungguhnya tak mungkin
mempunyai keinginan jahat seperti itu. Pernah terjadi bahwa karena begitu luar biasanya pengalaman
perjumpaannya dengan Malaikat yang memberikan wahyu kepadanya, hampir-hampir Yohanes lupa diri,
sehingga hampir saja menyembah malaikat, namun justru ditolak oleh malaikat tersebut, dan malaikat itu
mengingatkan Yohanes bahwa dia adalah sama-sama hamba Allah seperti manusia.

“Dan aku Yohanes, akulah yang telah mendengar dan melihat semuanya itu. Dan setelah aku mendengar
dan melihatnya, aku tersungkur didepan kaki Malaikat, yang telah menunjukkan semuanya itu, untuk
menyembahnya. Tetapi ia berkata kepadaku ; ” Jangan berbuat demikian ! Aku adalah hamba, sama
seperti engkau dan saudara-saudaramu, para nabi dan semua mereka yang menuruti segala perkataan
Kitab ini. Sembahlah Allah ! ( Wahyu 22;8-9 )

Sungguh berbeda sikap Iblis dan Malaikat Allah yang benar ini. Iblis menyesatkan dam menjerumuskan
manusia kepada musyrik, Malaikat yang benar menuntun dan mengajar manusia kepada Tauhid. Malaikat
yang benar tak rela untuk disembah, dan mengakui bahwa ia hanyalah sekedar hamba Allah sama dengan
para Nabi dan kaum saleh. Dia tak berhak menerima sembah. Hanya Allah yang wajib disembah. Iblis perlu
diingatkan Almasih akan kebenaran mendasar ini, namun malaikat yang benar justru mengingatkan
manusia akan arah penyembahan yang benar itu : ”Jangan berbuat demikian ! Sembahlah Allah!” . Iman
Kristen Orthodox melarang pengikutnya menyembah Malaikat, biar bagaimanapun mulianya Malaikat itu,
hanya Allah dan Allah saja yang wajib disembah. Untuk itulah jika dalam Gereja Orthodox ada
penghormatan kepada Malaikat, janganlah penghormatan itu dikacaukan dengan penyembahan kepada
mereka, sama seperti penghormatan kepada orang kuduspun bukan dan tidak boleh dikacaukan dengan
penyembahan kepada mereka. Malaikat-malaikat dan orang-orang kudus ( roh-roh orang-orang benar yang
telah menjadi sempurna ) telah berada dalam realita rohani yang sama, dimana bersama-sama mereka
menyembah Allah. Oleh Iman kepada Yesus, orang kristen telah menjadikan sahabat dengan mereka,
sehingga penghormatan kepada mereka ini adalah bukti kebenaran kesatuan antara yang sorga dan yang
bumi di dalam Kristus ( Efesus 1:10 ), sehingga dengan penghormatan itu orang kristen selalu diingatkan
bahwa dalam mereka menyembah Allah, mereka itu dikelilingi oleh para Malaikat dan para orang kudus,
yang bersama dengan mereka semua itu orang kristen serempak menyembah Allah yang satu dan Esa,
sebagaimana yang dikatakan :

“Tetapi kamu sudah datang (perhatikan; bukannya ‘akan datang’ dimasa depan !! ) ke...Yerusalem Sorgawi
dan kepada beribu-ribu malaikat, suatu kumpulan yang meriah...dan kepada roh-roh orang benar yang
telah menjadi sempurna” ( Ibrani 12:22-23 ).

Bersama dengan kumpulan para Malaikat serta para roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna
( para orang kudus ) dalam penyembahan yang meriah kepada Allah yang Esa itulah orang kristen telah
datang. Itulah sebabnya menghormati yaitu memperingati mereka, itu bukan tindakan kemusyrikan,
karena justru dengan itu kita diingatkan bahwa mereka juga menyembah Allah yang Esa sama seperti kita,
bahwa kebenaran Tauhit itu bukan hanya ditegaskan di bumi ini saja, namun di sorga juga. Dengan
demikian kita tolak segala bentuk penyembahan kepada Malaikat, karena justru para Malaikatlah yang
bersama ibadah kita, menegaskan dan mengingatkan kita untuk hanya beribadah kepada Allah yang Esa.

B. Bentuk kemusyrikan selanjutnya yang ditentang oleh Kitab Suci adalah: Memuja Pemimpin Agama.

Keterpesonaan akan hal-hal yang luar biasa memang mudah membuat mereka untuk jatuh kepada
penyembahan terhadap apa yang membuat dia menjadi terpesona itu, jika iman Tauhidnya di dalam dada
tidak kuat. Termasuk juga keterpesonaan kepada Pemimpin Agama yang mengajarkan sesuatu yang hebat
disertai oleh perbuatan yang ajaib dan yang mengherankan. Hal ini terjadi di kota Samaria, sebelum
dijamah oleh ajaran Tauhid dari Injil :

“Seorang yang bernama Simon telah sejak dulu melakukan sihir di kota itu dan mentakjubkan rakyat
Samaria, serta berlagak seolah-olah ia seorang yang penting. Semua orang, besar-kecil mengikuti dia, dan
berkata : “ Orang ini adalah kuasa Allah yang terkenal sebagai Kuasa Besar” ( Kisah Rasul 8:9-10 ).

Dalam Sejarah Gereja Simon ini terkenal sebagai “Simon Magus” atau Simon Si Tukang Sihir, dan secara
tradisional dianggap sebagai musuh bebuyutan Rasul Petrus. Dialah yang dianggap oleh para Bapa Gereja
sebagai penyebab munculnya Ajaran Gnostikisme, yang hendak mencampur-adukkan ajaran Tauhid Injil
dengan kemusyrikan kafir Yunani. Dalam ayat-ayat diatas terlihat bahwa Simon telah membuat orang-
orang Samaria takjub karena sihir yang dilakukannya itu. Sebagai akibatnya dia yang manusia biasa itu rela
disebut sebagai “Kuasa Allah“ manifestasi dari sifat Allah sendiri. Namun bukan hanya manifestasi dari
sifat Allah saja, malah dia sendiri dianggap sebagai Allah. Gelar yang dipakainya untuk mengelabuhi rakyat
Samaria itu adalah gelar Ilahi sendiri : “Kuasa Besar” . Dalam bahasa aslinya kata ini
berbunyi ”Meghalee” yang artinya: ”Yang Maha Besar” yang gelar ini tak lain adalah Nama dari Sang
Pencipta: Allah sendiri. Demikianlah kita jumpai kasus dimana ketakjuban manusia rela mengangkat
seorang manusia biasa, yang malahan seorang pengikut Iblis ( tukang sihir ) sebagai “Yang Maha Besar”
sebagai “Allah”. Bagi kita yang telah diterangi oleh Tauhid Injil mungkin hal itu tidak masuk akal, namun hal
yang demikian ini banyak terjadi di sekeliling kita. Di India ada seorang yang juga melakukan perbuatan
ajaib, bernama: ”Sai Baba” yang juga memiliki pengikut di Indonesia, oleh pengikutnya, diapun dianggap
sebagai Allah sendiri. Kasus Simon Magus ini akan terulang terus dalam sejarah, selama manusia tidak
berakar dalam Tauhid, sebagaimana yang ditegaskan oleh Alkitab. Demikianlah dari zaman ke zaman ada
manusia-manusia tertentu oleh kharisma luar biasa yang ada padanya, menyalah-gunakan pengaruhnya
itu untuk menyelewengkan manusia dari penyembahan kepada Allah yang benar kepada penyembahan
dirinya sendiri. Pemimpin-pemimpin agama yang disembah secara demikian, tidak selalu dalam wujud
pengangkatan sebagai Allah saja. Namun juga jika ada seorang Pemimpin Agama yang dianggap “mutlak”
dan “tanpa salah” , siapapun orangnya, sudah mengarah kepada pengilahian, dan dengan demikian
menjadi kemusyrikan. Sebab tak seorangpun yang mutlak dan tak seorangpun yang tanpa salah. Hanya
Allah saja yang Mutlak dan Allah saja yang tanpa salah. Puncak dari pengilahian diri ini akan terjadi jika “Si
Dajjal” ( Anti Kristus ) datang dan mengaku sebagai Allah dan menghendaki disembah sebagai Allah,
sebagaimana dikatakan :

“Sebab sebelum hari itu ( Hari Kiamat ) haruslah datang dahulu murtad dan haruslah dinyatakan dahulu
manusia durhaka (Dajjal, Antikristus) ...yaitu lawan yang meninggikan diri diatas yang disebut dan
disembah sebagai Allah. Bahkan ia duduk di Bait Allah dan mau menyatakan diri sebagai Allah” ( II
Tesalonika 2:3-4 ).

Dalam kaitannya dengan masalah ini, perlu kita bahas juga tuduhan Agama Islam terhadap Iman Kristen
sebagai pelaku musyrik, karena adanya ulama-ulama yang dihormati dan orang kudus yang diperingati,
terutama dengan penyembahan kepada Almasih yang dalam kaca mata Islam dianggap bertentangan
dengan Tauhid.

Mengenai masalah penghormatan kepada orang kudus sudah kita jelaskan masalahnya. Mengenai ulama-
ulama yang dihormati, hal ini harus dilihat dalam proporsinya. Sebab semua agama menghormati
ulamanya, termasuk Islam sendiri. Ketika umat tawaddu’ kepada syekh atau guru rohaninya, terutama
dalam tradisi tassawuf, dan ajaran guru rohani serta fatwanya didengar tanpa syarat dan secara mutlak
oleh para pengikutnya, tak akan terbersit sedikitpun dalam benak pengikutnya bahwa mereka
mengilahikan sang guru rohani tadi. Demikian pula penghormatan orang Kristen terhadap ulamanya,
adalah sejalan dan sejajar dengan penghormatan Islam kepada ulamanya. Jadi tak bisa menuduh
penghormatan ini sebagai kemusyrikan, sebab hal inipun akan mengenai agama Islam juga.

Sekarang mengenai penyembahan terhadap Almasih. Kaca mata ajaran Islam tak bisa untuk menilai agama
Kristen. Agama Kristen harus dimengerti menurut kaca mata ajaran Kristen itu sendiri. Dalam ajaran Iman
Kristen, Almasih bukanlah sekedar Nabi yang menerima Kitab bernama Injil. Sebab Kitab semacam itu tak
pernah ada dalam sejarah Kristen, dan sejarah manapun juga, selain dalam ajaran Dogma Islam saja. Injil
itu bukan Kitab, namun “Berita Gembira” tentang Iso Mesiha, Yoshua Ha-Masiah, Isa Almasih, Yesus
Kristus. Yang berita itu akhirnya dituliskan dan dikumpulkan dalam Kitab Yang bernama Perjanijian
Baru. Jadi memang tak pernah ada suatu Kitab yang bernama Injil yang diturunkan Allah sebagai sabda
Allah yang diwahyukan. Bagi Iman Kristen Almasih adalah “Firman Allah “ atau “Sabda Allah” yang
diturunkan dalam bentuk jasmani ”Manusia yang terdiri dari daging dan tulang” , sama seperti
pengertian Islam mengenai Al-qur’an sebagai”Firman Allah” yang diturunkan dalam bentuk wadhag ”Buku
yang terbuat dari kertas”.

Pada mulanya adalah Firman... Firman itu telah menjadi manusia” ( Yohanes 1:1,14 ).

Al-Ghazali dalam bukunya “Ihya Ulumudin” yang diterjemahkan sebagai “Bimbingan Untuk Mencapai
Tingkat Mu’min” menjelaskan : “Bahwasanya Al-Qur’an itu adalah Firman Allah yang bukan makhluk, sebab
kalau makhluk tentu akan rusak dan sirna, bukan pula sifat dari makhluk, sebab kalau demikian tentu
punah” ( Penerbit C.V Diponegoro, Bandung, 1975, hal27-28 ).

Jika Al-Qur’an bukan makhluk dan berwujud buku, bukankah ada dua yang bukan makhluk ? Bukankah ini
musyrik tersembunyi ? Pertanyaan ini tak usah dipertentangkan. Maka hal yang sama berlaku bagi Almasih
dalam penghayatan Iman Kristen. Almasih adalah Firman Allah, jadi bukan makhluk, itulah sebabnya
Alkitab menjelaskan ”Firman itu adalah Allah” ( Yohanes 1:1 ) sebab yang bukan makhluk itu hanya Allah
saja. Karena bukan makhluk itulah Almasih tak takluk pada maut, bangkit dari kematian, maka Dia itu “tak
rusak dan tidak sirna”, dan karena Almasih adalah Firman Allah yang telah diturunkan maka Dia “bukan
pula sifat dari makhluk” itulah sebabnya Dia”tak punah” karena Dia hidup kekal tak berubah di sisi Allah,
yaitu disebelah kanan Allah. Jika hal-hal yang demikian dapat dikenakan kepada Al-Qur’an tanpa umat Islam
merasa kompromi dengan Tauhid, serta tak merasa hal itu sebagai musyrik, mengapa pemikiran yang
tepat dan persis sama dengan Iman Kristen mengenai Almasih sebagai “Firman Allah” yang turun menjadi
jasad itu dianggap sebagai musyrik ? Jika Anggapan tentang Al-Qur’an yang demikian itu tidak ada dalam
Islam, barulah berhak mengecam Kekristenan sebagai musyrik. Sama dengan pengakuan “kebukan
makhlukan Al-Qur’an” sebagai “Firman Allah” yang diturunkan tidak merusak Tauhid dalam Islam,
maka “kebukan-makhlukan Almasih” sebagai “Firman Allah” yang diturunkan itupun tak merusak
Tauhid dalam Iman Kristen. Iman Kristen adalah Iman Tauhid, dulu, sekarang, dan selamanya.

C. Kemusyrikan yang tak kalah pentingnya yang ditentang Kitab selanjutnya adalah:. Memuja Harta
Benda.

Dalam bentuk kemusyrikan yang telah kita bahas sebelumnya, penekanan diletakkan pada bentuk
keyakinan yang salah arah akan hal-hal yang bersifat Adi-Kodrati. Sedangkan apa yang kita bahas sekarang
ini adalah tumpuan harap yang salah arah dalam sifat akhlak manusia. Manusia sebagai makhluk yang
diciptakan, selalu mengharapkan untuk memuja sesuatu. Jika bukan Allah yang benar yang disembah,
maka makhluk akan menjadi gantinya disembah manusia, sebagaimana dikatakan :

“Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk
dengan melupakan Penciptanya, yang harus dipuji selama-lamanya, amin“ ( Roma 1:25 ).

Diantara benda ciptaan ( makhluk ) yang mudah menjadi tumpuan harap atau pemujaan manusia adalah
harta benda. Almasih mengajarkan :

“Jangan kamu mengumpulkan harta di bumi... Karena hartamu berada, disitu juga hatimu berada... Tak
seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan... Kamu tak dapat mengabdi kepada Allah dan
kepada Mamon ( harta benda, kekayaan, uang ).” ( Matius 6:19,21,24 ).

“Dan jikalau kamu tidak setia pada harta orang lain, siapakah yang akan menyerahkan hartamu sendiri ?
Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan.. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah
dan kepada Mamon. Semuanya itu didengar oleh orang-orang Farisi, hamba-hamba uang itu...” ( Lukas
16:12-14).

Dari pengajaran Almasih ini, jelas dinyatakan bahwa mengumpulkan harta sebagai tumpuan harap dan
sebagai pujaan adalah merupakan perbuatan musyrik, karena merupakan penyembahan kepada makhluk,
sehingga harta benda itu menjadi tuan atau sesembahan disamping Allah, dan manusia menjadi hamba
dari harta, atau hamba dari uang. Mamon atau harta benda menjadi tandingan Allah dalam hidup manusia
yang seperti itu. Manusia yang seharusnya hanya bertuankan Allah dan menjadi abdi dan hambaNya,
sekarang bertuankan Mamon ( harta ) dan menjadi hamba dari harta dan uang itu. Itulah sebabnya Kitab
Suci memberi peringatan sebagai berikut :

“Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari Iman...” ( I Timotius 6:10 ), itulah
sebabnya,
“Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap
pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah...” ( I Timotius 6:17 ).

Harta dapat membuat orang menyimpang dari iman, dan harta serta kekayaan dapat menjadi tumpuan
harap sebagai tandingan Allah, atau bahkan pengganti Allah. Itulah sebabnya tamak akan harta atau
keserakahan itu dikatagorikan sama dengan penyembahan berhala :

“Karena itu matikanlah dalam dirimu... keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala, semuanya
itu mendatangkan murka Allah...” ( Kolose 3:5-6 ).

Dan karena terlekat-cinta pada harta itu disamakan dengan penyembahan berhala, maka kepada seorang
muda yang kaya yang merasa dirinya cukup beragama, namun hatinya terlekat pada hartanya Yesus
Kristus mengatakan :

“...Jikalau kamu hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang
miskin. maka engkau akan beroleh harta di sorga... mendengar perkataan itu pergilah ia dengan sedih,
sebab banyak hartanya...sukar sekali bagi orang kaya untuk masuk dalam Kerajaan Sorga...” ( Matius 19:21-
23 ).

Hidup beragama menjadi bubar hanya karena sayangnya pada harta, lebih dari pada sayang kepada orang
miskin maupun harta di Sorga. Dia merasa sedih kehilangan harta, sebab harta itu menjadi ilah baginya.
Itulah sebabnya orang kaya seperti ini memang dikatakan sukar masuk ke dalam Kerajaan Sorga, karena
sesembahannya bukanlah Allah, namun berhala harta yaitu keserakahannya sendiri. Maka murka Allahlah
yang akan diterimanya, bukan KerajaanNya.
Untuk itulah dengan tegas Almasih memberi peringatan yang sangat tajam akan ketamakan itu :

“Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun orang berlimpah-limpah
hartanya, hidupnya tidak tergantung dari pada kekayaannya itu.” ( Lukas 12:15 ).

Demikianlah sebenarnya, masih banyak lagi bukti-bukti dari Kitab Suci yang menunjukkan bahwa harta-
benda dan kekayaan itu dapat menyimpangkan iman manusia kepada kemusyrikan, dengan
menjadikannya sebagai tumpuan harap dan sebagai tandingan atau pengganti Allah sendiri.

Namun Kitab Suci juga memberi pemecahan dan pengajaran bagaimana kita dapat menyukikan harta milik
kekayaan kita itu agar bukan menjadi tandingan dan pengganti Allah serta tak menuntun kita kepada
kemusyrikan yang mendatangkan murka Allah itu.

“Muliakanlah Tuhan dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu” ( Amsal 3:9 ).

Karena harta itu juga benda ciptaan milik Allah, maka itupun harus tunduk kepada Allah, maka satu-
satunya jalan agar manusia tidak jatuh dalam kemusyrikan melalui harta miliknya, adalah mengabdi dan
menghambakan harta tadi kepada Allah dengan menggunakannya untuk kemuliaan Allah. Dengan cara itu
sajalah harta iitu menjadi suci dari beban kemusyrikan dan noda pemberhalaan. Sedangkan bagaimana
kita memuliakan Allah dengan harta dan menghambakan harta kepada Allah itu dijelaskan demikian :

“Ikatlah persahabatan ( lakukan perbuatan-perbuatan baik, saleh dan bajik semacam persahabatan
itu )dengan mempergunakan Mamon ( melalui harta kekayaan yang engakau miliki )yang tidak jujur ( yang
tidak tetap dan selalu berubah keadaannya ), supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong ( supaya jika
harta kekayaan itu sudah tidak berfungsi dan tak kau butuhkan lagi, terutama pada saat kau mati ) kamu
diterima dalam kemah abadi ( Sorgalah sebagai ganti kekayaan itu )” ( Lukas 16:9 ).

Beberapa cara “mengikat persahabatan dengan menggunakan Mamon” ( berbuat kesalehan, kebajikan,
dan kebaikan dengan menggunakan harta kekayaan ) itu dijelaskan oleh Almasih demikian :

“Juallah segala milikmu ( terutama bagi mereka yang terpanggil untuk hidup seratus-persen bagi mengabdi
kepada Allah di dalam Kristus, yang dalam praktek Iman Kristen Orthodox sekarang menjadi rahib ) dan
berikanlah sedekah ! Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di Sorga yang
tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat. Karena dimana
hartamu, disitu juga hatimu berada” ( Lukas 12:33-34 ). Juga dijelaskan lagi oleh Kitab Suci :

“Peringatkanlah kepada orang-orang kaya ... agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan,
suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik
bagi dirinya diwaktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya.” ( I Timotius 6:17-18 ).

Sedangkan kesukaan memberi dan membagi yaitu bersedekah itu dapat dinyatakan dalam banyak hal,
yang oleh Almasih dinyatakan demikian :

“Sebab ketika Aku ( Sang Raja dan Hakim Kekal: Almasih ) lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku
haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi aku tumpangan; ketika Aku
telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku dalam penjara,
kamu mengunjungi Aku...Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk
salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” ( Matius 25:-40 ).

Maka dengan cara memberi makan orang yang kelaparan, memberi minum pada orang yang kehausan,
memberi tumpangan orang yang terasing, memberi pakaian orang yang telanjang, melawat orang yang
sakit, mengunjungi orang yang terpenjara, singkat kata segala perbuatan yang bajik untuk kemanusiaan
demi mengangkat dan menolong kehinaan si papa dengan menggunakan harta milik kita yang dilandasi
iman kepada Kristus. Itu adalah cara kita mengabdikan dan menghambakan harta kita atau milik kita
kepada Allah dan memuliakanNya. Karena segala sesuatu yang kita lakukan itu dikatakan oleh Almasih
sebagai melakukan untuk Dia sendiri.

Kitab Suci juga mengajarkan bahwa disamping bersedekah dan berbuat baik secara umum
kepada “saudara yang paling hina” ( segenap manusia papa dan sengsara di dunia ini ) terutama juga kita
harus memperhatikan saudara-saudara kita sesama kita orang Kristen (“Orthodox”) yang seiman dengan
kita, sebagaimana dikatakan :

“...selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama
kepada kawan-kawan kita seiman” ( Galatia 6:10 ).

Memang ada skala prioritas ( jenjang yang lebih diutamakan ) dalam kita membagikan apa yang kita miliki
sebagai bakti kita kepada Allah. Dan sesama kaum beriman itulah prioritas utama, dan kepada kaum
berimanpun ada beberapa cara di mana kita dapat mengabdikan harta milik itu kepada Allah.
Almasih merujuk kepada praktek-praktek keagamaan yang tak pernah dikecamnya pada dirinya sendiri,
namun penyalah-gunaan akan praktek tadi oleh para pelakunya itu mendapat kecaman pedas, yaitu
praktek zakat ( perpuluhan), sebagaimana dikatakan :

“Celakalah kamu hai ahli-ahli Taurat dan orang Farisi, hai kamu orang orang munafik, sebab persepuluhan
dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan
yaitu : keadilah dan belas-kasihan dan kesetiaan. Yang satu ( persepuluhan )harus dilakukan dan yang lain
( keadilan, belas-kasihan dan kesetiaan ) jangan diabaikan.” ( Matius 23:23 ).

Orang Farisi dan ahli Taurat dikecam karena kemunafikan sikap dalam ibadah mereka dalam hal
menegakkan zakat ( persepuluhan ). Namun Sistem Ibadah itu sendiri dijunjung tinggi oleh Almasih. Dia
mengatakan bahwa yang satu yaitu : persepuluhan itu harus dilakukan, namun itu harus disertai dengan
semangat yang lain: keadilan, belas-kasihan dan kesetiaan. Disinilah letak keharusan persepuluhan
menurut ajaran Almasih yang berbeda dengan praktek-praktek para ahli Taurat dan orang Farisi itu.

Kecaman terhadap sikap munafik orang Farisi ini dilanjutkan oleh Almasih dengan memberikan
perumpamaan tentang dua orang yang berdoa kepada Allah, yang satu orang Farisi yang membanggakan
ketaatan ibadahnya :

”...aku berpuasa dua kali seminggu ( yaitu: menurut kebiasaan Yahudi, hari Senin dan hari Kamis ), aku
memberikan persepuluhan dari segala pengahasilanku”[COLOR] ( Lukas 18:12 ).

Dan yang lain pemungut Cukai yang berdosa dan tak dapat berdoa karena malu dan rasa tak berartinya
dihadapan Allah, kecuali mengatakan: [COLOR=GREEN]”Ya Allah kasihanilah aku orang berdosa ini.” ( Lukas
18:13 )

Dari kedua orang ini Almasih mengatakan ibadah si pemungut Cukai ini yang diterima Allah, sedangkan si
orang Farisi tidak diterima. Yang tak diterima itu bukan Sistem Ibadahnya : Puasa dan Zakat
sepersepuluhan itu, namun sikap pamer, mendabik dada, dan tinggi hatinya, sebagaimana dijelaskan
lebih lanjut oleh Almasih:

“Sebab barang siapa meninggikan diri ( seperti si orang Farisi itu ) ia akan direndahkan, dan barangsiapa
merendahkan diri ( seperti si pemungut Cukai itu ), ia akan ditinggikan.” ( Lukas 18:14 ).

Jelas kepada kita bahwa Almasih tidak mengecam puasa maupun zakat sepersepuluhan, namun
memberikan penjelasan bagaimana puasa maupun zakat sepersepuluhan itu harus dilakukan, yaitu
dengan kerendahan hati.

Demikianlah kita mendapat pelajaran bahwa, menurut Almasih zakat dari sepersepuluhan dari penghasilan
kita itu adalah sesuatu yang harus dilakukan, namun harus dilakukan dengan segala kerendahan hati,
keadilan, belas-kasihan, dan kesetiaan. Demikianlah dengan kita memberi zakat sepersepuluhan dari
penghasilan kita, kita telah menyucikan harta milik kita itu dari noda kemusrikan, ketamakan, dan
keserakahan. Jadilah harta milik itu suatu berkat yang memuliakan Allah.

Dan tak kalah pentingnya dari bentuk kemusyrikan yang ditentang Kitab Suci ini adalah : Memuja Hawa
Nafsu. Hal ini dinyatakan oleh Kitab Suci demikian: ”…banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus
…Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka adalah aib mereka, pikiran mereka semata-mata
tertuju kepada perkara duniawi” ( Filipi 3:18:19).

Yang dimaksud sebagai “seteru Salib Kristus” adalah seteru terhadap segala praktek kehidupan yang rela
mengendalikan, melawan, dan memerangi hawa nafsu sampai matinya hawa nafsu tadi,sebagai penerapan
makna salib itu bagi kehidupan, sebagaimana dikatakan: ”Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah
menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya” – Galatia 5:24.

Karena menolak memerangi hawa nafsu maka orang yang demikian menjadikan keinginan perut, aib dan
segala perkara duniawi itu sebagai “Tuhan” mereka. Inilah bentuk pemberhalaan hawa-nafsu dan egoisme
pribadi manusia. Dan inipun termasuk kemusryikan yang harus dilawan.

Dengan memahami semuanya itu maka umat Kristen Orthodox diajar untuk betul-betul`memiliki jiwa
Tauhid yang murni dan dalam, sebagaimana yang dikatakan oleh Alkitab : ”…..TIDAK ADA ALLAH YANG
LAIN DARIPADA ALLAH YANG ESA” (I Kor. 8:4).

BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Thu Jan 03, 2008 1:10 pm

2. Mengenai Wujud Allah

Setelah kita meneguhkan tentang Ke-Esa-an Allah, maka mengenai keberadaan Allah itu sendiri, kita bahas
sebagai berikut. Dalam Iman Kristen Orthodox kata “Allah” itu dilihat sebagai berasal dari bahasa Arab “Al-
Ilah” artinya “Sang Ilah” yaitu Ilah satu-satunya dan tiada duanya. Kata ini serumpun dengan kata
Ibrani “Eloah” atau “Elohim” dan serumpun pula dengan kata Syria / Aramia “Alaha” . Kata Allah ini
sudah dikenal oleh orang Arab yang penyembah berhala maupun yang Yahudi dan Kristen sebelum
kedatangan agama Islam.Sampai sekarangpun umat Yahudi maupun Kristen yang berbahasa Arab, dalam
Alkitab mereka yang berbahasa Arab, nama Allah itu adalah yang digunakan sebagai padanan kata dari
bahasa Ibrani Eloah atau bahasa Aramia Alaha itu. Sedangkan kata Eloah atau Alaha ini dalam bahasa
Yunaninya yaitu bahasa asli Perjanjian Baru digunakan kata Yunani “Ho Theos”. Berarti menurut pandangan
Iman Kristen Orthodox ini bukan merupakan nama diri dari Sang Pencipta, namun lebih merupakan
penyebutan keberadaan dari Sang Pencipta itu sendiri. Untuk mengerti keberadaan Allah ini secara lebih
rinci sebagaimana yang dinyatakan oleh Iman Gereja yang berlandaskan Kitab Suci, maka kita perlu
mengerti tentang Dzat-Hakekat Allah, Sifat-Sifat Allah, Daya Kuasa (Energi) Allah, dan lain-lainnya. Untuk itu
marilah kita bahas hal itu secara berurutan dibawah ini.

A. Essensi Ilahi (Hakekat Allah, Dzatullah)

Dari awalnya saat kita mulai membicarakan esensi atau hakekat Allah, hal yang pertama disadari
sebagaimana yang dinyatakan oleh Kitab Suci dan Iman Gereja adalah bahwa pada dzat-hakekatNya Allah
itu tak dapat difahami akal dan diluar pemahaman manusia. Manusia tidak mungkin akan tahu akan dzat-
hakekat Allah itu dalam keadaan yang sebenarnya. Dzat-Hakekat ( “Kejaten” , Jw., “Ousia” , bah.
Yunani, “essensi” ) Allah ini tak akan pernah dapat diketahui oleh siapapun. Sehingga dalam berbicara
mengenai “dzatullah” atau “esensi Allah” adalah perlu kita mengerti kata “Dzat” yang digunakan dalam
pembahasan theologia. “Dzat” adalah suatu kata yang digunakan dalam pembahasan ilmu ketuhanan yang
artinya hakekat /kodrat atau essensi. Ini harus dibedakan dengan “zat” dari ilmu fisika. Sebab zat dalam
ilmu fisika yang dimaksud adalah : padat; cair dan gas. Sedangkan yang kita maksud dengan “dzat” bagi
Allah ( dzatullah ) adalah realita dan keberadaan yang ada di dalam diri Allah yang terdalam yang
menunjukkan DiriNya itu adalah Allah, dan yang berbeda dari yang bukan Allah. Ini adalah berbicara
tentang hakekat atau essensi di dalam Diri Allah itu sendiri. Kata ini dijumpai dalam Yohanes 5:26 dalam
terjemahan bahasa Arab sebagai berikut : ”Liannahu kama ‘anna ul-aaba lahu khayaatu
fiy dzaatihi kadzaalika ‘athay ul-ibna ‘aydhon ‘an takuwna lahu khayaatu fi dzaatihi” (“Karena sebagaimana
Sang Bapa memiliki hidup di dalam “dzaat”Nya sendiri/diriNya sendiri, demikianlah juga diberikan Sang
Putera mempunyai hidup dalam “dzaat”Nya sendiri/diriNya sendiri).

Dengan demikian yang dimaksud “dzaat” disini adalah “hakekat diri” atau “essensi” keberadaan dari yang
memiliki Pribadi itu, dalam hal ini adalah Allah. Allah memang bukan hanya sekedar “dzaat” namun terlebih
lagi Ia adalah Pribadi, dan dalam Pribadi Allah inilah terdapat “dzaat” atau “essensi Allah” itu, dan dalam
“dzaat” inilah bersemayamNya Pribadi Allah. Jadi memang “dzaat” Allah dan “Pribadi” Allah sama sekali tak
dapat dipisahkan. Agar kita dapat mengerti lebih baik mengenai masalah ini, maka baiklah kita bahas
masalah itu demikian. Membicarakan tentang Essensi atau Dzatullah itu adalah mempertanyakan
mengenai “Apakah Allah itu ?” Padahal mempertanyakan mengenai “Apa” dalam keberadaan Allah itu
berarti kita mempertanyakan hakekat atau “Dzat Allah,” dan bukan mempertanyakan tentang PribadiNya.
Jika kita mempertanyakan tentang “Pribadi Allah” maka kata “Siapa” , itulah yang kita gunakan. Dan
mengenai pertanyaan tentang Pribadi Allah ini akan kita bahas pada saatnya. Disamping mempertanyakan
“apa” (“dzaatullah”) dan “siapa” (“Pribadi” Allah), dalam pembahasan kita tentang Sang Pencipta itu, kita juga
akan mempertanyakan tentang “Bagaimana” tentang Allah itu, artinya kita membahas tentang cara kerja
Allah, kehadiran Allah di dalam dunia, dan hubungannya dengan alam ciptaan. Mengenai pertanyaan
“bagaimana” tentang Allah ini, kita akan membahas tentang yang Allah hadir di dalam sinar kemuliaanNya
dimana tersembunyi kekuatan atau daya kuasaNya.

Disitulah kita akan berbicara tentang daya kuasa (energi ilahi) yang dapat menampakkan diri sebagai sinar
kemuliaan yang keluar dari esensi Allah sendiri. Membahas masalah-masalah Dzatullah adalah membahas
masalah keghaiban Allah yang paling dalam dan tak terjangkau oleh akal. Karena akal ini diciptakan oleh
Allah, sehingga akal tak dapat menembus misteri terdahsyat dari Diri Allah tersebut. Ini bukan karena
Dzatullah itu “tak masuk akal”, namun karena Dzatullah itu sendiri memang Adi-Akali, melampaui akal dan
indra manusia. Sebab Essensi Ilahi atau Dzatullah itu adalah keberadaan terdalam dari Allah yang hanya
dapat dimengerti oleh Allah sendiri saja, melalui RohNya sendiri sebagaimana yang dikatakan : ”….tidak ada
orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah, selain Roh Allah” ( I Kor. 2:11).

Perbedaan antara “Dzaat” (“Hakekat”, “Kejaten”, “Essensi”, “Ousia”) Allah dan “Pribadi” Allah ini mungkin bagi
sebagian orang masih sulit untuk membedakan, untuk itu marilah kita jelaskan sebagai berikut. Demi
memudahkan penjelasan ini sebaiknya kita ambil contoh sebagai berikut: Penulis buku ini, sebagai seorang
manusia, mempunyai essensi kemanusiaan yang sama dengan para pembaca buku ini.. Sifat kemanusiaan
yang dimiliki pembaca, itu juga dimiliki oleh si penulis ini. Jadi segenap manusia hanya mempunyai essensi
yang satu saja. Hakekat kemanusiaan yang satu dan dimiliki oleh setiap orang itu jelas berbeda dari
hakekat atau dzat atau esensi dari pada lembu. Karena lembu memiliki hakekat “kelembuan” yang dimiliki
secara bersama oleh segenap lembu di seluruh alam ini. Dan hakekat kelembuan itu jelas berbeda dari
hakekat kemanusiaan. Demikianlah hakekat kemanusiaan yang hanya satu itu hanya dimiliki oleh manusia
siapapun diatas bumi ini. Tak perduli warna kulitnya baik ia itu berkulit hitam, berkulit kuning, berkulit
coklat maupun berkulit merah; sebagai manusia dia mempunyai ciri-ciri kemanusiaan yang sama, yang
menunjukkan bahwa dia itu manusia dan ciri tersebut yang menyebabkan dia disebut manusia. Jadi
manusia yang satu dan manusia yang lain tidak berbeda di dalam essensi kemanusiaannya, yang
membedakan satu orang dengan lainnya adalah Pribadi. Pribadi Si Tono bukanlah pribadi Si Toni, masing-
masing orang mempunyai “pribadi unik dan khas” yang membedakannya dengan pribadi yang lain.
Pemahaman yang sama berlaku ketika berbicara mengenai dzat / hakekat / essensi / kejaten di dalam Allah
yang hanya satu dan tidak dapat dimengerti makhlukNya itu.. Hakekat Allah itu ialah essensi yang ada di
dalam Allah, yang menyebabkan Allah itu adalah Allah, bukan manusia dan bukan termasuk ciptaan
apapun. Hakekat Allah itu tidak dapat dimengerti, tidak dapat dilihat oleh mata manusia., tak dapat direka-
reka akal. Keadaan hakekat Allah yang demikian inilah yang dalam bahasa Jawa dikatakan sebagai ”Tan
Keno Kinoyo Ngopo” ( “Tak Dapat Dikatakan Bagaimana”, “Bi la kayf”.)

Bahwa hakekat ( “kejaten”, “dzat/jawhar”, “essensi” atau ”ousia”) Allah itu tidak dapat diumpamakan
dengan segala sesuatu apapun, jelas dinyatakan oleh II Samuel 7:22 demikian:

“Sebab itu Engkau besar, ya Tuhan ALLAH, sebab tidak ada yang sama seperti Engkau dan tidak ada Allah
selain Engkau menurut segala yang kami tangkap dengan telinga kami.”

Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada yang sama seperti Engkau ini bermakna tak ada satupun yang
dapat kita samakan dengan Allah. Segala rekaan atau khayalan ataupun gambaran kita tentang Allah itu
jelas tidak dapat menangkap atau menggambarkan Allah itu dengan sebenarnya, dengan demikian
manusia memang tidak dapat mengetahui apa-apa tentang Allah itu. Hal ini juga diterangkan di dalam ayat
lain yang berbunyi demikian:

“Tidak ada yang mengetahui Anak kecuali Bapa demikian juga tidak ada yang mengetahui Bapa kecuali
Anak.” ( Matius 11:27 ).

“...dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. tetapi kamu
mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.” ( Yohanes 14:17 ).

Jelas bahwa Allah yang Esa itu sama sekali tidak dimengerti oleh manusia di dalam hakekatNya. Oleh
karena itu dalam bagian Alkitab yang lain dikatakan demikian:

“Dialah satu-satunya yang tidak takluk pada maut, bersemayam dalam terang yang tak
terhampiri. Seorangpun tak pernah melihat Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia  “ (I Timotius
6:16).

Maksud dari kata-kata memang manusia tidak dapat melihat Dia disini bukan hanya Allah itu tak dapat
dilihat oleh mata jasmani saja, namun juga bahwa Allah itu tak dapat dilihat oleh mata akal-kepandaian
manusia juga. Selanjutnya Allah yang Maha Esa itu dinyatakan sebagai yang bersemayam dalam terang
yang tak terhampiri. Ini menunjukkan bahwa jika tempat bersemayamNya Allah itu saja tidak dapat
dihampiri, maka terlebih lagilah “Dia” yang bersemayam di dalam Terang itu pastilah sama sekali tidak
dapat dihampiri. Demikianlah memang Allah itu Maha Ghaib, dan Mysteri Maha Agung. Jarak “hakekat”
antara manusia dan Allah itu tak akan pernah terseberangi karena tanpa ada batas, sehingga pengertian
kita tak dapat mencapai Dia. Karena Allah itu bukan hanya Maha Tinggi, namun Dia berda diluar ketinggian.
Dan jika kita katakan Allah memiliki “dzaat”, namun sebenarnya Iapun mengatasi segala “dzaat”. Pendek
kata Ia secara mutlak tak dapat dibandingkan dengan apapun.Dengan demikian kita tidak mampu,
meskipun sedikit saja, menurut akal-kepandaian kita, untuk mengerti hakekat atau essensi Allah itu. Oleh
karena itu Allah bersabda kepada Nabi Musa demikian:

“Engkau tidak tahan memandang wajahKu ( dzatKu, EssensiKu ), sebab tidak ada orang yang memandangku
dapat hidup” ( Keluaran 33:20 ).

Karena mustahilnya manusia dapat mengerti hakekat Allah ini maka Kitab Suci mengatakan tidak ada
seorangpun yang pernah (atau dapat) mengerti / melihat Allah :

“Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; ……..” ( Yohanes 1:18 ).

Ini disebabkan meskipun Allah itu bersemayam dalam Terang, namun terang itu tak terhampiri, dan
meskipun Allah itu bersifat terang dan di dalamNya tidak ada kegelapan ( I Yohanes 1:5 ), namun karena
karena begitu jauhnya dan dalamnya rahasia Hakekat/Esensi Allah itu, sehingga yang dapat dilihat oleh
manusia itu hanyalah merupakan jurang dalam yang gelap gulita. Seperti yang dialami oleh Nabi Musa
ketika bertemu dengan Allah diatas gunung Sinai, sebagaimana yang tertulis:

“Adapun bangsa itu berdiri jauh-jauh, tetapi Musa pergi mendekati embun yang kelam dimana Allah
ada.” ( Keluaran 20:21 ).

Embun kelam yang menjadi tempat Allah berada ini adalah simbol bagaimana Allah itu begitu gelap dan
tertutup oleh misteri keagungan dan kemuliaanNya sendiri, bagi manusia berdosa yang ingin mendekati
Allah itu. Demikianlah kitapun tidak usah heran, jika pemazmur juga memazmurkan Allah itu demikian:

“Ia menekukkan langit, lalu turun, kekelaman ada dibawah kakiNya……. Ia membuat kegelapan
disekelilingNya menjadi persembunyianNya, ya, menjadi pondokNya: air hujan yang gelap, awan yang
tebal…..” ( Mazmur 18:10-12 ).

“Tuhan adalah Raja….. Awan dan kekelaman ada sekeliling Dia….” (Mazmur 97:1-2 ).

Dengan gelap-gulitanya dzat –hakekat Allah itu bagi akal-budi manusia, maka hanya satu saja yang dapat
kita mengerti tentang Allah itu, yakni bahwa sebenarnya manusia tidak tahu dan tidak mengerti apa-apa
mengenai keadaan dzat, hakekat, kejaten dari Allah itu. Hakekat Allah yang menjadi kerajaan Allah itu
sendiri, hanya bisa dimengerti oleh Allah yang Esa itu sendiri beserta FirmanNya yang kekal dan RohNya
yang kekal yang berada melekat dalam DiriNya Yang Esa itu.. Di dalam dzat-hakekat Allah yang satu, serta
yang tidak dapat dimengerti oleh pikiran manusia itulah Allah yang Esa berada dalam keheningan total,
kasih absolut, kesucian mutlak, terang penuh gemilang, kebahagiaan sepenuh, kemurnian tanpa cacat,
keutuhan sempurna, dari kekal azali sampai kekal abadi. Karena Allah itu adalah Dia yang tidak dapat
dimengerti, sudah selayaknya jika manusia menerima kenyataan bahwa Allah itu tidak dapat direka atau
digambarkan dengan cara apapun karena Ia tidak dapat dicapai oleh pikiran, sebagaimana yang dikatakan
oleh Alkitab dibawah ini:

“O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-
keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya!” ( Roma 11:33 ).

“Engkau tidak tahan memandang wajahKu ( dzatKu, EssensiKu ), sebab tidak ada orang yang memandangku
dapat hidup” (Keluaran 33:20).

Ia membuat kegelapan di sekellingnya menjadi persembunyianNya, ya, menjadi pondok-Nya: Air hujan


yang gelap, awan yang tebal.” (Mazmur 18:10-12).
Sesuai dengan data-data Alkitab yang sudah kita bahas ini Iman Kristen Orthodox mengajarkan bahwa
Hakekat (Essensi, Dzat) Allah itu - sebagaimana yang sudah berulang-kali kita katakan - tidak dapat
dimengerti ataupun dilihat oleh manusia. Artinya bukan hanya tak dapat dilihat secara mata jasmani saja,
namun juga mata akal, mata batin atau mata hati. Kenyataan Adi-Kodrati yang demikian ini ditandaskan
lebih jauh oleh Alkitab sebagai berikut:

”Hormat dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tak
nampak, yang Esa. (1 Timotius 1:17 ).

Allah yang Esa sebagai Raja kekal atas segala zaman Yang Maha Ghaib itu, juga tak dapat dimengerti oleh
para Malaikat di sorga dalam essensi/ hakekat/ dzatNya yang sebenarnya. Allah memang tidak mempunyai
kegelapan di dalam Diri-Nya, sebab Ia adalah Nur (Terang, I Yoh.1:5), namun karena mustahil dapat
dihampiri oleh makhluk, baik manusia maupun malaikat, maka Allah yang Terang itu menjadi gelap gulita
bagi makhlukNya.. Bagi makhluk, manusia maupun malaikat, Nur Ilahi itu menjadi terang yang
membutakan serta menjadi Terang yang Gulita. Suatu paduan kata yang aneh memang, tetapi demikianlah
keadaan Allah. Hal itu nyata dari peristiwa yang terjadi di Gunung Sinai. Pada waktu Musa mendekati Allah,
Allah menampakkan Diri di dalam terang serta dalam cahaya yang berkiau-kilauan ( Keluaran 19: 18, 24:
10), namun pada waktu Musa naik untuk menghadap hadirat Allah justru kegelapanlah yang dimasukinya;
sebagaimana yang tertera dalam ayat-ayat berikut ini:

“Lalu Musa membawa bangsa itu keluar dari perkemahan untuk menjumpai Allah dan berdirilah mereka
pada kaki gunung.Gunung Sinai ditutupi seluruhnya dengan asap, karena Tuhan turun ke atasnya dengan
api; asapnya membubung seperti asap dari dapur, dan seluruh gunung itu gemetar dengan sangat.Bunyi
sangkakala kian lama kian keras. Berbicaralah Musa, lalu Allah menjawabnya dalam guruh. Lalu turunlah
Tuhan ke atas puncak gunung itu, dan naiklah Musa ke atasnya. (Keluaran 19:17-20 ).

“Masuklah Musa ke tengah-tengah awan itu dengan mendaki gunung itu. Lalu tinggallah ia di atas gunung
itu empat puluh hari empat puluh malam lamanya.” (Keluaran 24:18 ).

“Ia menekukkan langit lalu turun, kekelaman ada di bawah kakiNya. Ia mengendarai kerub, lalu terbang
dan melayang di atas sayap angin. Ia membuat kegelapan di sekelilingnya menjadi persembunyianNya, ya,
menjadi pondok-Nya: air hujan yang gelap, awan yang tebal.” ( Mazmur 18:10-12 ).

Menurut ayat-ayat diatas Allah yang terang itu bersembunyi dalam kegelapan yaitu misteri diriNya sendiri
yang tak dapat ditembus oleh makhluk, yang digambarkan sebagai awan gelap, kekelaman, kegelapan. Hal
inilah yang dimaksud dengan ayat dibawah ini:

“....tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam Diri Allah...” ( I Kor. 2:11)

Karena dzat-hakekat Allah itu memang begitu ghaib dan dahsyatnya. Sehingga “wajah” yaitu
essensi/hakekat/dzat Allah ini dapat membuat makhluk hancur lebur jika mungkin melihatnya, - yang
memang pasti tidak mungkin - sebagaimana yang dikatakan:

“Engkau tidak tahan memandang wajahKu ( hakekatKu, essensiKu, dzatKu), sebab tidak ada orang yang
memandang Aku dapat hidup...” ( Keluaran 33: 20)

Allah itu merupakan suatu “misteri”, satu rahasia yang tidak dapat terpecahkan oleh akal manusia.
Sehingga dengan demikian dalam keputusan-keputusan kehendakNya dan jalan kodratNya ini memang
Allah tak terselidiki dan tak terselami :

“O ,alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah ! sungguh tak terselidiki keputusan-
keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya !” (Roma 11:33 ).

Allah sendiri sajalah yang mengerti dengan sebenarnya mengenai DzatNya (EssensiNya, HakikatNya)) yang
Maha Ghaib, Maha tak terselidiki dan Maha tak terselami itu. DzatNya (EssensiNya/HakikatNya) adalah
Rahasia diatas segala rahasia ,dan Misteri diatas misteri. Itulah sebabnya hanya dengan rasa takut dan
gentar disertai hormat dan kasih yang amat mendalam kita harus mendekati Allah yang demikian ini.

Allah yang tanpa kegelapan itu, menjadi suatu rahasia dan misteri yang gelap-pekat dalam dzat-hakekatNya
karena tidak dapat dihampiri manusia, serta tak dapat dicapai oleh manusia dalam keadaan alamiah dan
keberdosaannya itu.

B. Pendekatan Pem”bukan”an.

Karena dzat-hakekat Allah adalah misteri maka kategori yang kita kenakan pada makhluk tak akan berlaku
bagi Allah. Itulah sebabnya di dalam Iman Kristen Orthodox terdapat suatu pendekatan theologis yang
disebut pendekatan “pembukanan“ atau pendekatan “apopathika” di dalam membicarakan keberadaan
Allah itu.

Artinya kita tidak bisa mengatakan mengenai dzat-hakekat Allah itu secara pasti begini atau begitu, sebab
kategori dan bahasa yang kita gunakan untuk mengatakan dzat-hakekat Allah yang sebenarnya itu, berasal
dari apa yang kita dapatkan dan kita alami di dalam dunia ini, padahal Allah bukan dari dunia, bukan
makhluk (ciptaan), serta mengatasi segala ciptaanNya.. Dengan demikian apa-apa yang kita sifatkan kepada
Allah terutama mengenai dzat-hakekatNya itu tidak akan persis sama keadaannya dengan apa yang
sebenarnya ada pada Allah. Karena Allah itu lebih tinggi dan lebih mulia dibanding dengan sebutan atau
segala istilah yang kita tahu di dalam dunia ini. Sehingga jika dalam alam makhluk itu ada jenis kelamin laki-
laki dan perempuan maka Allah itu bukan laki-laki dan bukan perempuan dan bukan juga banci dan Ia
bukan keadaan yang dibatasi oleh jenis kelamin itu. Pada pokoknya apa yang ada di dalam sifat alam itu
kita tidak dapat mempergunakan kepada sifat Allah. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada di dalam alam
ciptaan ini kala ia hendak kita kenakan kepada Allah itu haruslah kita tambahi dengan kata ”bukan”. Inilah
yang disebut Teologi “Pem’bukan’an”. Jadi Allah itu bukan kuning, bukan putih, bukan besar, bukan kecil,
bukan tua, bukan muda, dan lain-lain. Sifat-sifat dari hakekat Allah itu tidak mungkin kita katakan secara
bahasa positif karena dari kekal azali sampai kekal abadi dzat-hakekat Allah itu akan tetap demikian dan
tetap akan menjadi rahasia bagi manusia. Karena Allah itu dalam hakekatNya bersifat misteri, maka aqidah
Iman Kristen Orthodox menegaskan bahwa pendekatan yang harus dilakukan dalam membahas kodrat
serta dzat-hakekat Allah yang tak terselami dan tak terselidiki haruslah dengan pendekatan “via negativa”
atau “apopathic approach” yaitu “pendekatan pem-bukan-an” yang kita sebut diatas tadi. Artinya kita hanya
dapat berbicara menganai “yang bukan” dari dzat-hakekat Allah itu, sebab apa yang sebenarnya dari
dzatullah itu sungguh kita sama sekali tak mengertinya. Misalnya : Allah itu bukan laki-laki, bukan
perempuan dan bukan banci - jadi Allah itu adalah Allah; Allah itu bukan seperti malaikat, bukan seperti
manusia, bukan seperti binatang, bukan seperti tumbuh-tumbuhan dan bukan seperti fenomena tercipta
apapun- jadi Allah itu adalah seperti DiriNya sendiri; Allah itu bukan tempat ( bukan maqam ), bukan waktu
( bukan zaman ), jadi Allah itu adalah DiriNya sendiri dan seterusnya. Dengan demikian kita tidak akan
bersalah dan berdosa mensifatkan secara jasad atau yang mirip dengan makhluk mengenai Allah, yang
pasti hal itu tidak akan tepat dengan realita dzatullah ( essensi ilahi) itu sendiri. Sebab jika kita salah
mensifatkan bisa jadi malahan kita menghujat dan bukan meluhurkan Allah Yang Maha Kudus itu. Begitu
pula dengan pendekatan pem-bukan-an ( via negativa, apopathic approach ) ini kita tidak akan terjebak
dalam usaha menurunkan Allah dalam derajat makhluk melalui pensifatan dengan katagori-katagori
manusia dengan sifat-sifat manusia yang tidak layak bagi essensi dan hakekat Allah yang Maha Agung itu.
Selanjutnya melalui membiarkan Allah sebagaimana adanya akan mengangkat kita masuk dan tenggelam
dalam misteri Ilahi itu sendiri serta mengangkat kita dari keterbatasan kemakhlukan kita untuk menyelam
dalam ketidak terbatasan Ilahi, sehingga kita dilepaskan dari ikatan-ikatan yang mempersempit pandangan
kita akan realita, untuk memperluas diri dalam keluasan dzatullah ( essesi ilahi) yang tak terbatas itu.

Maka Pendekatan Pem”bukan”an atau Theologia Apopathika adalah suatu pendekatan yang menjelaskan
tentang sifat-sifat Allah dari sisi “bukan”nya daripada “ya”nya. Dengan mendekati Allah secara
Pem”bukan”an ini kita dihindarkan dari kesalahan untuk mereka-reka Allah menurut apa yang kita mengerti
dengan akal kita. Karena Allah yang dapat kita mengerti dengan akal kita, berarti bukan Allah.
Mengkhayalkan Allah menurut sifat-sifat yang kita ada-adakan bagi Dia itu adalah suatu “Dewa” ciptaan dari
pikiran kita. Karena Allah itu yang menciptakan pikiran kita, menciptakan angan-angan kita, menciptakan
pengertian kita, oleh karena itu Dia harus lebih tinggi dari pada apa yang dapat kita mengerti.

Gereja Barat terbiasa mendekati Allah itu dengan pendekatan “via positiva” atau”pendekatan affirmatif”
yaitu “cataphatic approach”. Artinya secara akademis-filosofis mereka memberikan katagori kepada Allah
berdasarkan analisa-analisa akali dari kumpulan data-data yang dibahas secara filsafati. Sehingga
pendekatan lebih bersifat analisis rasionalistis dari pada bersifat mistik ( rohani ). Tempat misteri banyak
dikorbankan demi menekankan yang rasionalistis. Sedangkan Gereja Orthodox meskipun menekankan
pengertian yang masuk akal dan logis namun masih membuka lebar bagi misteri ilahi, sehingga
pendekatan apophatic itulah yang dilaluinya. Meskipun digunakan juga bahasa-bahasa positif meneganai
Allahj dalam Gereja Orthodox, namun harus tetap disadari itu hanya simbol sajka dari realita sebenarnya,
yang pada hakekatnya tak kita ketahui itu.

Jadi dalam pembicaraan kita tentang dzat/hakekat/essensi Allah yang dalam bahasa Yunani disebut sebagai
“ousia” hanya misteri yang tak terpecahkan yang kita jumpai..

C.Keberadaan ( Wujud) Allah

Memang kita tak dapat membayangkan atau mereka-reka bagaimana keberadaan wujud atau keberadaan
Allah itu yang sebenarnya, karena keberadaanNya yang ghaib itu. Dan juga memang dalam essensi yang
sebenarnya kita tak dapat mengerti tentang Allah itu. Ini tak berarti kita tak dapat mengerti sama sekali
tentang keberadaan Allah, seolah-olah tak ada keterangan sedikitpun. Syukur kepada Allah, bahwa melaui
wayuNya sebagaimana yang dicatat oleh Alkitab, kita mendapatkan keterangan serba sedikit mengenai
Allah itu, sejauh apa yang dinyatakan oleh Kitab Suci. Dengan demikian kita dapat mengambil beberapa
kesimpulan tentang bagaimana keberadaan ( Wujud ) Allah itu dapat kita fahami. Beberapa ayat Kitab Suci
dibawah ini akan memberikan keterangan kepada kita mengenai hal itu:

“...... Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia....” ( Hosea 11:9 ).

“..... Allah adalah Terang ( Cahaya, Nur ) dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan  ( I Yohanes 1:5 )

“Dialah satu-satunya yang tidak takluk pada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri...” ( I
Timotius 6:16 ).

“Allah itu Roh...” ( Yohanes 4:24 ) , dan sifat Roh itu adalah :” ...hantu ( spirit = roh ) tidak ada daging dan
tidak ada tulangnya....” ( Lukas 24:39 ).

Dari beberapa ayat diatas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan bahwa Allah itu bukan manusia. Dia
adalah Roh artinya ghaib, dengan keberadaan ghaib itu maka Dia itu tidak memiliki tubuh jasmani yang
terdiri dari tulang dan daging. Allah itu bukan jisim bukan pula benda, biarpun benda yang paling halus
sekalipun. Dia bukan Zat (cair, padat, gas). Dia bersifat Nur atau Cahaya sehingga tempat bersemayamNya
atau kemuliaan yang mengelilingi DiriNya itu adalah berupa “Terang yang tak dapat dihampiri” yaitu Nur
tak tercipta. Dia pula disebut “ tak takluk pada maut” artinya essensi DiriNya itu adalah hidup murni yang
tidak pernah mengalami pertumbuhan atau penyusutan, yang tidak pernah mengalami kelahiran ataupun
kematian. Sebab yang ghaib dan yang roh bagaimana mengalami penyusutan dan kematian, serta
bagaimana memiliki permulaan secara dilahirkan. Allah adalah hidup murni yang berdiri sendiri. Itulah
sebabnya Dia itu kekal tak berawal akhir, hadir dimana-mana ( Mazmur 139:7-12 ) tak dibatasi tempat,
pengetahuannya menembus segala sesuatu tak dibatasi oleh kebodohan atau ketidak-tahuan ( Mazmur
139 ;1-6 ), Dia merembesi segala sesuatu tanpa jadi identik dengan yang dirembesi ( Kisah Rasul 17:27-28 ).
Dia kekal tanpa dibatasi waktu ( Mazmur 90:1-2 ), serta Dia itu pribadi yang mandiri dan berdiri pada
DiriNya sendiri dengan menyatakan DiriNya sebagai “ Akulah Aku “ ( Keluaran 3:14 ). Demikianlah beberapa
indikasi Alkitab mengenai bagaimana Wujud ( Keberadaan ) Allah yang dapat kita mengerti, meskipun pada
akhirnya kita masih tetap tidak mengerti realita yang sebenarnya. Kita bersyukur bahwa kita memiliki Allah
yang mengatasi pemahaman kita ini. Karena itu menunjukkan bahwa Dia itu bukan buah karangan otak
manusia namun sebagai realita yang mandiri dan tak tercipta namun yang menciptakan segala sesuatu, Dia
ada tanpa diadakan meskipun Dia mengadakan segala sesuatu. Itulah keberadaan Allah itu.

D.Sifat-Sifat Allah

Dalam pembicaraan kita mengenai dzat-hakekat/ essensi/ousia Allah yang kita jumpai hanya kegelapan
misteri dari keghaiban ilahi, serta dalam pembicaraan kita mengenai wujud (keberadaan) Allah, kita
diperhadapkan kepada keluhuran dan kemuliaan keberadaan Allah yang sebenar-benarnya yang diluar
jangkauan makhluk (ciptaan). Disitu kita menjumpai betapa terbatasnya pemahaman kita untuk dapat
menjangkau kedahsyat-luhuran Allah itu. Dan jika dzat-hakekat dan wujudNya saja yang kita renungkan
pastilah kita tak akan dapat mengerti apapun tenatang Allah. Namun syukurlah bahwa Allah bukan hanya
Allah yang menyembunyikan Diri dalam keghaibanNya namun juga Allah yang menyatakan Diri dalam
pewahyuan DiriNya. Melalui penyataan Diri Allah ini meskipun hakekat-wujud Allah yang sebenarnya masih
merupakan misteri bagi kita, namun dari pernyataan sabdaNya, tindakan-tindakan mukjizatNya, penyataan
pemeliharaan dan penghukumanNya atas umatNya kita dapat mengerti Allah itu melalui sifat-sifatNya .
Melalui sifat-sifat Allah yang dinyatakan melalui penyataan DiriNya itulah kita dapat mengerti keberadaan
Allah itu terutama dalam hubunganNya dengan makhlukNya, terlebih-lebih kepada manusia dan lebih
khusus lagi kepada ummat yang beriman kepadaNya.

E.Energi Allah

Jika dalam dzat/hakekatNya Allah itu tak dapat dimengerti manusia, dan melalui sifat-sifatNya saja manusia
dapat mengerti tentang keberadaan Allah itu, maka dalam energiNya manusia dapat mengalami hadirat
Allah itu. Mengenai Energi Ilahi itu diajarkan demikian oleh Alkitab :Alkitab sbagaimana telah kita bahas
diatas, mengatakan : ”Tak seorangpun pernah melihat Allah…” ( Yohanes 1:18)., “…tidak seorangpun
mengenal Bapa…” ( Matius 11:27), “O , alangkah dalamnya kekayaan hikmat dan pengetahuan Allah!
Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusanNya dan tak terselami jalan-jalanNya” (Roma 11:33), “….tidak
ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah…” ( I Korintus 2:11) “…..bersemayam dalam
terang yang terhampiri. Seorangpun tak pernah melihat Dia, dan memang manusia tak dapat melihat Dia”  (
I Timotius 6:16 ).Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa Allah tak pernah dikenal, tak pernah dilihat, tak
terselidiki, tak terselami, tak diketahui apa yang ada didalam diriNya, tak terhampiri, serta tak dapat dilihat
manusia. Pendek kata ayat-ayat diatas menunjukkan Allah itu tak dimengerti sama sekali keadaanNya oleh
manusia. Allah itu begitu ghaib dan misteriusNya sehingga dijelaskan dengan kata-kata seperti itu. Namun
demikian ada ayat-ayat lain dalam Alkitab yang mengatakan demikian : “…..Ia tidak jauh dari kita masing-
masing. Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak,kita ada….” ( Kisah Rasul 17: 27-28) “…apa yang dapat
mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka…..apa yang tidak nampak daripadanya, yaitu kekuatanNya
yang kekal dan keilahianNya, dapat nampak….dari karyaNya….” ( Roma 1:19-20), “Kudus, kudus kuduslah
TUHAN semesta alam, SELURUH BUMI PENUH KEMULIAANNYA” (Yesaya 6:3). Dan masih banyak ayat-ayat
lain yang serupa.Bertentangan dengan ayat-ayat diatas dimana dijelaskan bahwa Allah tak dikenal, tak
dimengerti, tak terselami, tak nampak dan tak dapat dihampiri, ayat-ayat yang kita kutip ini menunjukkan
justru sebaliknya. Disini Allah disebutkan sebagai yang tak jauh dari manusia masing-masing, manusia
seolah-olah berenang di dalam hadirat Allah sendiri, Allah nampak dari karyaNya, dan kemuliaan Allah itu
memenuhi seluruh bumi, yang berarti bumi itu dipenuhi dengan hadirat Allah. Mengapa ada keberadaan
yang seolah-olah kontradiksi ini mengenai Allah? Ini bukan kontradiksi, namun dua cara hadirat Allah yang
berbeda. Yang diatas menjelaskan Allah dalam kehadiranNya pada DiriNya sendiri, yaitu pada Esensi,
Hakikat, atau Dzat Ke-Allah-anNya sendiri, yaitu keilahian dan kekuatanNya yang kekal. Ini memang tak
dimengerti oleh manusia. Sedangkan kelompok kutipan yang kedua menjelaskan cara kehadiran Allah
diantara makhlukNya (hidup, gerak dan adanya manusia, karyaNya pada alam, serta seluruh bumi), dan
kehadiran itu berwujud “KEMULIAAN” yang memenuhi bumi, sehingga manusia dapat hidup, bergerak dan
ada, dan kemuliaan itu nampak pada karya-karya Allah itu, artinya pada hasil aktivitas perbuatan Allah.
Karena hasil aktivitas perbuatan Allah itu pada penciptaan alam semesta, dan di alam semesta itu pula
hadir :”kemuliaan” itu,maka “kemuliaan” dan “aktivitas perbuatan Allah” itu identik adanya. Demikianlah
ayat-ayat yang menyatakan tentang keghaiban Allah diatas itu menunjukkan keberadaan Allah pada
DiriNya sendiri yang memang tak dapat dimengerti manusia yaitu “Esensi, Hakekat” (Dzat!!!, bukan “Zat”
yang terdiri dari : padat, cair dan gas) Allah sendiri, dan ayat-ayat yang menyatakan tentang kehadiran Allah
di dunia yang dapat dialami manusia itu menunjuk kepada “aktivitas perbuatan Allah” atau “kemuliaan
Allah” yaitu “Energi Allah” atau “Energi Ilahi” sendiri. Demikianlah Iman Kristen Orthodox memang
membedakan antara “Esensi Ilahi” dan “Energi Ilahi”. “Esensi Ilahi” adalah kehadiran Allah pada diriNya
sendiri, atau hakekat Allah itu sendiri, dan “Energi Ilahi” adalah kehadiran Allah ditengah-tengah
ciptaanNya, yaitu aktivitas perbuatanNya diluar “Esensi”Nya. Namun kedua-duanya adalah kehadiran yang
nyata dari Allah itu sendiri. “Energi Ilahi” bukanlah sesuatu yang diciptakan Allah, namun “energi tak
tercipta” yang mengalir keluar dari dalam esensi itu sendiri. Manusia tak dapat mengalami Allah dalam
EsensiNya sebab itu mustahil, namun dapat mengalamiNya melalui “Energi” atau ‘kemuliaan”Nya ini,
seperti yang telah kita lihat dari ayat-ayat Alkitab diatas.

Bahwa “kemuliaan Allah” itu adalah “Energi Allah” yang dilaksanakan oleh Firman/Anak dan RohNya/Roh
Kudus itu diajarkan Alkitab demikian, terutama dalam kaitannya dengan kebangkitan Yesus Kristus, karena
pengalaman kita akan Energi Ilahi ini terkait dengan pengalaman penebusan dalam Kristus, sedangkan
yang kita kutip diatas adalah Energi Ilahi dalam kaitannya dengan pemeliharaan ciptaan secara umum:

“…..Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh KEMULIAAN BAPA…” (Roma 6:4)

Ayat ini menjelaskan dengan tegas bahwa “Kemuliaan Bapa” itu bukan sekedar konsep yang abstrak,
namun betul-betul kekuatan atau daya-kuasa, yaitu “Energi” yang dapat mengalahkan kematian dan
menyatakan hidup kekal, yaitu hidup yang tak berkematian. Padahal “kekekalan” itu sesuatu yang tak
tercipta, berarti “kemuliaan” yang mempunyai kuasa untuk mengalahkan kematian dan memberikan hidup
yang kekal ini pasti kekal pula. Berarti “kemuliaan Bapa” ini adalah sesuatu yang Tak Tercipta, namun kekal
berasal keluar dari dalam Diri Bapa sendiri.

“….Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati….akan menghidupkan juga tubuhmu
yang fana itu oleh RohNya, yang diam di dalam kamu “ (Roma 8:11).

Ayat ini menjelaskan bahwa kebangkitan yang tadinya dikatakan dilakukan oleh “Kemuliaan Bapa” itu
ternyata sekarang dilakukan oleh “Roh Allah”. Namun Roh Allah itu jelas tidak identik dengan “Daya-Kuasa”
atau “Daya-Aktif” yaitu “Kemuliaan Bapa” itu. Ajaran Saksi Yehuwan yang menolak Tritunggal Kudus,
mengatakan bahwa Roh Kudus itu adalah “Daya Aktif” Allah atau menurut bahasa Alkitab, yang dibawah
nanti akan kita buktikan disebut sebagai “Energi Ilahi” atau “Energi AIlah”. Mereka kacau antara “Energi Ilahi”
yang menjadi milik dari Bapa, oleh FirmanNya di dalam RohNya, itu dengan Roh Allah sendiri ini. Roh Allah
memang “keluar” dari Allah (Yohanes 15:26) namun bukan Daya Aktif Allah, sebab Firman Allah/Anak
Allahpun “keluar” dari Allah (Yohanes 8:42), namun Dia juga bukan disebut sebagai “Daya Aktif” Allah
bahkan oleh Bidat Saksi Yehuwahpun. Sebab “Daya Aktif” itu menunjukkan pada “aktivitas perbuatan”
sedangkan Roh Allah karena Ia itu ber-hypostasis maka Ia adalah pribadi yang dapat “berdoa” ( Roma 8:26),
“menyelidiki Diri Allah “ ( I Kor. 2:10), “mencegah” dan “tidak mengizinkan” ( Kisah Rasul 16: 6-7), “dibohongi “
( Kisah Rasul 5:3), “didukakan” ( Efesus 4:30). Sifat-sifat pribadi yang mana tak dimiliki oleh “kemuliaan” atau
“energi” atau “daya aktif” Allah itu. Jadi Roh Allah itu berbeda dengan daya aktif Allah atau “kemuliaan Bapa”
ini. Namun Roh Allah inilah yang melaksanakan gerak dari energi Ilahi itu, sebagaimana yang dikatakan
mengenai karunia-karunia Roh Kudus dalam I Korintus 12. Karunia-karunia Roh Kudus itu dinyatakan
sebagai “kharismatoon” ( I Kor. 12:4) sebagai pemberian dari Roh Kudus, namun dinyatakan sebagai
“diakonioon” ( I Kor. 12:5) dalam dampak yang dilakukannya di dalam Gereja, sedangkan dalam dirinya
sendiri yang berasal dari Allah disebut sebagai “energheematoon” serta Allah sendiri disebut sebagai “Ho
Energhoon” atau ‘Yang Meng-Energi-kan /mengerjakan” ( I Kor. 12: 6). Berarti ‘Kharisma Roh Kudus” itu
adalah “Energhima” atau “Hasil dari Energi” yang berasal dari Allah, dilayankan (diakonia) untuk dan atas
Nama Tuhan Yesus Kristus, serta dikaruniakan (kharisma) oleh Roh Kudus. Sebab mengenai fungsi Roh
Kudus itu dinyatakan;” Tetapi semuanya ini ( yaitu:kharisma-kharisma Roh Kudus, sebagai “energhima”
Allah) dikerjakan ( energhei ) kai to auto pneuma (oleh Roh yang satu dan yang sama itu juga)….. “ ( I
Kor.12:11). Ayat-ayat ini jelas mengatakan bahwa “energhima Allah” atau “kharisma Roh Kudus”, itu di
“energikan” oleh Roh Kudus. Berarti Roh Kudus berbeda dengan “Energi Ilahi”. Roh Kudus adalah yang
menjalankan atau melaksanakan atau mengerjakan Energi Ilahi itu di dalam kehidupan makhluk. Oleh
karena itu “Kemuliaan Bapa” yang membangkitkan Yesus itupun, “dienergikan” oleh Roh Kudus, sehingga
Roh Kudus dikatakan sebagai yang membangkitkan Yesus Kristus.

Kristus mengatakan ; ” Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawaKu untuk
menerimanya kembali. Tidak seorangpun yang mengambilnya daripadaKu (artinya, Yesus tidak mati
karena terpaksa atau karena keharusan mati seperti layaknya manusia lainnya), melainkan Aku
memberikannya menurut kehendakKu sendiri ( artinya, Dia bebas dan berkuasa untuk menghendaki
kapan Dia mati, atau juga kapan untuk tidak mati sama sekali) . Aku berkuasa memberikannya ( artinya,
Dia mempunyai kedaulatan untuk dapat mati atau untuk tidak dapat mati), dan berkuasa mengambilnya
kembali ( artinya, jika Dia matipun Dia punya kuasa dan kedaulatan untuk membangkitkan DiriNya sendiri
lagi)” ( Yohanes 10:17-18). Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Yesus itu yang memiliki kuasa untuk
membangkitkan DiriNya sendiri. “Kuasa” apa ini? Inilah kuasa yang sama, seperti “kemuliaan Bapa” dan
kuasa kebangkitan yang dilakukan oleh Roh Kudus juga. Berarti Allah (Bapa), Firman ( Anak, Yesus Kristus),
dan Roh Kudus ( Roh Allah) itulah yang membangkitkan kemanusiaan Yesus Kristus ( Firman Menjelma) dari
kematian oleh “Kemuliaan Bapa” yaitu “Energi Allah” yang satu dan yang sama, yang dilakukan oleh
Tritunggal Maha Kudus. Jadi Energi Ilahi adalah milik Allah dan FirmanNya serta RohNya sekaligus. “Energi
Allah” itu keluar dari Bapa, melalui Firman /Anak di dalam Roh Kudus datang kepada makhluk terutama
manusia.

Bahwa “kemuliaan Bapa” yang membangkitkan Yesus Kristus itu adalah “Energi Allah” dikatakan demikian
oleh Alkitab:

“…dan betapa hebat kuasaNya (tees dynameoos autou) bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan
kuasaNya ( kata teen energheian tou kratos tees iskhyos autou = menurut energi dari kuasa kekuatanNya),
yang dikerjakanNya ( heen eneergheesen = yang dienergikan) di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia
dari antara orang mati…” ( Efesus 1:19-20). Menurut ayat ini kuasa yang bekerja di dalam kita, adalah kuasa
yang sama yang pernah bekerja dalam membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati. Dan kuasa itu
bekerja “menurut energi dari kuasa kekuatanNya”. Berarti “Energi Ilahi” lah yang bekerja dalam “meng-
energi-kan” Kebangkitan Yesus Kristus, dan Energi Ilahi yang sama ini yang sekarang bekerja di dalam kita.
Berarti kita mengalami Allah melalui “Energi Ilahi” ini oleh karya Roh Kudus, di dalam Nama Yesus Kristus.
Karena yang membangkitkan Yesus Kristus itu adalah “Kemuliaan Bapa” , namun juga “Menurut Energi”
Allah, berarti “Kemuliaan Bapa” itu tak lain adalah “Energi Allah” sendiri. Disamping “kemuliaan Bapa” atau
“Energi Ilahi” tak tercipta ini dapat melakukan perbuatan-perbuatan mukjizat, energi ilahi ini juga
menampakkan diri dalam nama aslinya sebagai “kemuliaan” yaitu “cahaya yang bersinar” sebagaimana
yang dikatakan : ” …Yesus berubah rupa…wajahNya bercahaya seperti matahari dan pakaianNya menjadi
putih bersinar seperti terang…” ( Matius 17:2 ) “….Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan
pakaiannya sangat putih berkilat-kilat…” ( Markus 9:2-3) “Ketika Ia sedang berdoa, rupa wajahNya berubah
dan pakaianNya menjadi putih berkilau-kilauan…” ( Lukas 9:29). Dan pengalaman perubah-rupaan Yesus ini
dinyatakan oleh Petrus yang melihatnya sendiri sebagai “kehormatan dan kemuliaan dari Allah” ( II Petrus
1: 17-18), yang akan nampak juga nanti pada waktu kedatanganNya ( II Petrus 1: 16). Padahal kedatangan
itu adalah kedatangan dalam “kemuliaan” ( Kolose 3:4), yang tak lain adalah berwujud cahaya atau api yang
menyala-nyala ( II Tes. 1: 7). Berarti cahaya seperti matahari, yang putih bersinar seperti terang berkilat-kilat
dan berkilau-kilauan itu tak lain adalah wujud penampakan dari kemuliaan Allah sendiri yang tak lain
adalah penampakan dari “Terang Tak Tercipta” atau ‘Energi Ilahi’. Dan “Terang tak Tercipta” inilah yang
nanti akan menampakkan Diri pada kerajaan Bapa atas orang-orang beriman, yang akan bercahaya seperti
matahari. ( Matius 13:43). Inilah yang disebut pemuliaan atau dalam ImanKristen Orthodox disebut sebagai
“Theosis” atau pengilahian yaitu “ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi” (II Petris 1:4). Namun juga yang dapat
dialami sekarang oleh para orang kudus, sebagai “Pengalaman Terang Tak Tercipta” namun yang bukan
“Theosis” itu sendiri baik sebagai sinar yang dilihat sebagai kemuliaan ilahi ( Kisah 7: 55-56, 9:3-6, Wahyu
1:12-16, dan beberapa pengalaman Theofani Perjanjian Lama maupun cahaya yang bersinar dari dalam
tubuh mereka sendiri seperti halnya pemuliaan Yesus diatas gunung itu ( Kisah Rasul 7: 15, Keluaran 33:
33). Inilah yang dialami oleh para kudus dalam Gereja itu. Jadi energi ilahi ini adalah “kasih-karunia” (kharis)
dari Allah sendiri, yang mengalir keluar dari Essensi Ilahi, yang disalurkan kepada kita oleh Karya
Kalimatullah di dalam Roh Kudus sendiri

Jadi “kasih karunia” dalam Gereja Orthodox adalah “energi ilahi” yangg bekerja di dalam diri orang beriman
akibat manunggal dalam iman kepada kemanusiaan Yesus Kristus yang telah dimuliakan di sorga itu. Jadi
dalam Iman Kristen Orthodox “kasih karunia” itu dimengerti secara dinamis. Dari luar “kasih karunia”
adalah hadiah cuma-cuma dari Allah yang menerima manusia berdosa menjadi orang-orang kudus akibat
karya korban dan kebangkitan Yesus Kristus, tanpa memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran mereka di
masa lalu. Namun “kasih karunia” itu juga “energi ilahi” yang bekerja di dalam manusia percaya akibat karya
Roh Kudus untuk secara fakta menjadikan manusia berdosa itu betul mengalami pengudusan sehingga ia
menjadi orang kudus bukan hanya dalam status dan posisi saja, namun juga dalam realita, sehingga ia
mencapai “theosis” tadi. Jadi manunggal kepada Allah itu bukan berarti melebur ke dalam ”essensi” ilahi
secara “pantheistis” sebagaimana yang dimengerti agama Hindhu atau Kebatinan Jawa, namun manunggal
dalam kemuliaan atau energi Allah. Dalam “energi Allah” inilah manusia betul-betul mengalami
panunggalan dengan Allah itu melalui iman kepada Yesus Kristus di dalam Roh Kudus.

F. Anthropomorfisme/Mutajasimah ( Pengumpamaan Allah Seperti Insan)


Di dalam pemikiran theologis yang monotheistis, misalnya: dalam pemikiran Yahudi, Islam dan Kristen
(khususnya Kristen Orthodox), kadang-kadang timbul sikap ekstrim dalam mengesakan Allah ini. Di dalam
Kekristenan misalnya pernah muncul keyakinan bahwa “Firman Allah” itu bukan merupakan keberadaan
dalam wujud Allah yang kekal, karena jika ada Firman Allah yang kekal ditakutkan adanya dua Ilah,
yaitu :Allah sendiri dan FirmanNya, oleh karena itu Firman Allah yang dalam bahasa theologia Kristen
disebut “Anak Allah” adalah tercipta. Inilah pendapat dari ajaran Arianisme, yang dijaman modern ini
dilanjutkan oleh kelompok Saksi-Saksi Yehuwah. Fenomena yang sejajar muncul pula dalam agama Islam,
dalam bentuk aliran pemikiran theologis dari aliran Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Allah itu tidak
mempunyai sifat-sifat. Oleh karena itu aliran ini meyakini bahwa Allah mendengar dengan DzatNya
(hakekatNya), Allah mengetahui dengan DzatNya ( hakekatNya), Allah berbicara dengan DzatNya
( hakekatNya), Allah mendengar dengan DzatNya ( hakekatNya) dan seterusnya. Dengan mengatakan
bahwa semua sifat Allah itu dikembalikan kepada Dzatullah, maka kaum Mu’tazillah yakin bahwa mereka
telah memurnikan Ke-Esa-aan Allah secara konsekwen. Karena jika Allah itu memiliki sifat-sifat berarti ada
dua Ilah yaitu Dzat dan Sifat. Ini sudah merupakan penyangkalan terhadap Ke-Esa-an Allah. Demikian
faham Mu’tazilah. Faham yang tidak jauh beda dengan Arianisme dalam sejarah Kristen Orthodox, yang
juga meyakini bahwa “Firman Allah” itu bukan satu dalam hakekat ( “homoousios”) Diri Allah. Dengan
demikian Allah tak memiliki “Firman” berarti tak memiliki sifat “Kalam” di dalam DiriNya sendiri.
Sebagaimana dalam Agama Islam Kaum Asy’ariyah - yang merupakan mayoritas di Indonesia ini - menolak
ajaran Mu’tazila ini, demikianlah Iman Kristen Orthodox menolak ajaran Arianisme dan Saksi-saksi
Yehuwah. Sanggahan Kaum Asy’ariyah dalam Agama Islam terhadap ajaran kaum Mu’tazilah itu, berwujud
penegasan bahwa Allah itu memiliki banyak sifat, bukan hanya satu atau dua sifat saja. Bagi kaum
Asy’ariyah Allah itu mendengar dengan PendengaranNya, Allah mengetahui dengan PengetahuanNya, Allah
melihat dengan PenglihatanNya, Allah berfirman dengan Firman/KalimatNya, Allah hidup dengan
KehidupanNya, dan seterusnya. Dalam hal ini Iman Kristen Orthodox segaris dengan pemikiran Asy’ariyah
ini. Karena iman Kristen Orthodox menegaskan bahwa Allah itu memang memiliki Firman, Hidup,
Pengetahuan, Hikmat, Pendengaran, Penglihatan, dan sebagainya. Meskipun Firman Allah, HidupNya Allah,
Pengetahuan Allah, Hikmat Allah, Pendengaran Allah, serta Penglihatan Allah ini berbeda hakekatNya dari
sebutan yang sama yang dikenakan pada makhluk (ciptaan) Nya terutama manusia. Oleh karena itu
ungkapan-ungkapan Alkitabiah yang seolah-olah menggambarkan Allah mempunyai sifat-sifat dan
keberadaan jasmani itu harus dimengerti sebagai ungkapan "anthropomorfisme” yaitu ungkapan-
ungkapan pengandaian yang menggunakan bahasa manusia dengan mengumpamakan jasmani manusia
untuk menggambarkan keberadaan Allah, namun bukan makna secara literal. Ini dibuktikan bahwa dalam
beberapa ayat yang mengandaikan Allah seperti manusia diberi penjelasan
kata “seperti” dan “menyerupai” (Keluaran 24:10, Yehezkiel 1:26-28). Itu membuktikan bahwa
penggambaran itu tak boleh dimengerti secara literal. Sebab jika itu dimengerti secara literal akan
bertentangan dengan pernyataan Alkitab yang mengatakan tentang Allah: ”Kepada siapakah kamu hendak
menyamakan Aku, hendak membandingkan dan mengumpamakan Aku, sehingga kami ( Allah dan yang
dibandingkan denganNya tadi) sama ? “ ( Yesaya 46: 5). Artinya Allah itu tidak sama bila dibandingkan
ataupun diumpamakan dengan apapun. Termasuk pengumpamaan secara bentuk jasmani
(“anthropomorfisme”) tadi. Dalam makna inilah kita dapat berbicara mengenai Allah, bahwa Allah punya
“wajah” (“….dan mereka (ahli syurga) akan melihat wajahNya….”, Wahyu 22:4) artinya punya “essensi, dzat-
hakekat”, Allah punya “tangan” (“Sesungguhnya tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk
menyelamatkan……” , Yesaya 59: 1), artinya punya kuasa untuk menolong, Allah punya “kaki” (“Lalu mereka
melihat Allah Israel, kakiNya berjejak pada sesuatu yang buatannya seperti lantai dari batu nilam,……”,
Keluaran 24: 10) artinya punya cara untuk menghadirkan DiriNya pada makhlukNya, Allah punya “tubuh”
(“…..kelihatan seperti rupa manusia. Dari yang menyerupai pinggangnya sampai keatas…..dari yang
menyerupai pinggangnya sampai kebawah….Begitulah kelihatan gambar kemuliaan TUHAN…,” Yehezkiel 1:
26-28), artinya punya keberadaan nyata dalam kekekalan ilahi, Allah “duduk di atas takhta” (“…..aku
melihat TUHAN duduk diatas takhta yang tinggi dan menjulang….” Yesaya 6:1) artinya memerintah sebagai
raja dan menguasai seluruh alam, Allah “berjalan-jalan” (“Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN,
yang berjalan-jalan di taman itu….” Kejadian 3:8 ) artinya Allah selalu hadir dimana-mana memperhatikan
makhlukNya, punya “sayap” (“Dengan kepakNya Ia akan menudungi engkau, dibawah sayapNya engkau
akan berlindung….” , Mazmur 91: 4) artinya penjagaan dan perlindungan Allah, bahkan Allah “menyesal” (“
maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi…..” Kejadian 6:9) artinya Allah tidak
membiarkan dosa manusia tanpa hukuman. Sehingga dari kasih atas ummat beriman berubah kepada
penghukuman atas kekafiran mereka itu digambarkan sebagai penyesalan Allah. Dan masih banyak lagi.

BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Fri Jan 04, 2008 2:09 pm

3. Allah Yang Esa, FirmanNya dan RohNya.


(Allah Yang Esa Sebagai Tritunggal Maha Kudus)

Landasan Pemahaman Berdasarkan Pengakuan Iman Nikea

Mengenai keberadaan Allah Yang Esa itu Pengakuan Iman Nikea selanjutnya mengatakan bahwa .Allah
yang hanya satu dan diberi gelar “Sang Bapa, Yang Mahakuasa” ini memiliki keberadaan yang sangat
unik, karena di dalam kesatuan diriNya itu Dia memiliki “Anak Tunggal” yang bukan berasal dari luar
kodrat Allah namun “yang diperanakkan dari Sang Bapa” bukan dengan suatu permulaan waktu
tetapi “sebelum segala zaman” yaitu dari dalam kekekalan. Berarti dalam kekekalan itulah Allah ini dalam
kodratnya sendiri “memperanakkan Anak Tunggal” sebagai pancaran atau pantulan diriNya sendiri yang
adalah Terang (Nur) itu. Sehingga Anak Tunggal Allah yang berada kekal dalam kodrat Allah ini
disebut “Terang yang keluar dari Terang” . Sebagai pancaran dari Nur yang adalah Allah, maka jelas yang
terpancar atau terpantul berwujud Nur pula. Karena hanya ada satu Allah yang bersifat Nur, maka Allah
yang Satu ini pastilah Allah yang Sejati.

Pancaran Diri Allah yang sejati yang berasal dari kodrat diriNya yang berwujud “Nur yang keluar dari Nur
(Allah)” ini, jelaslah memiliki sifat yang sama dengan Allah yaitu “Allah Sejati yang keluar dari Allah
sejati” . Dengan demikian pancaran Nur Ilahi yang berkodrat Allah sejati itu bukan mahluk, yaitu Dia
“bukan diciptakan” namun “diperanakkan” yaitu dikeluarkan secara kodrati dari kodrat Ilahi sendiri di
dalam kekekalan, sehingga kodratNya sama dengan asal-usulNya: Allah yang Esa. Berarti Nur yang keluar
dari Nur ini berada dalam “Satu dzat hakekat dengan Sang Bapa” karena Allah itu memang hanya satu
yang “Dzat hakekatNya” satu pula..

Mengikuti rincian makna Pengakuan Iman ini kita melihat sekarang bahwa yang disebut “Anak Allah” ini
bukan makna kata jasmaniah. Sebab meskipun ada kata-kata “diperanakkan” dan “Anak Tunggal”, tetapi
kita tak menjumpai kata “Ibu” atau yang “wanita pengandung Anak Allah”. Tak pula kita jumpai kata kapan
saat Anak Allah itu dilahirkan. Dia diperanakkan di luar waktu, “sebelum segala zaman” , berarti Dia
diperanakkan terus menerus di dalam dzat-hakekat Allah yang satu itu. Karena arti “memperanakkan” disini
adalah mengeluarkan, atau juga memantulkan, berarti Allah selalu memantulkan Cahaya DiriNya dalam
DiriNya sejak kekal, dan itulah makna diperanakkan itu. Siapakah yang disebut Anak Allah yang berasal dari
dalam Diri Allah Yang Esa ini? Dijelaskan oleh Pengakuan Iman itu “Yang MelaluiNya segala sesuatu
diciptakan” Dan kita tahu menurut Alkitab bahwa Allah menciptakan segala sesuatu
melalui “FirmanNya” atau “SabdaNya” .

Jika demikian jelas yang dimaksud Anak Tunggal disini bukanlah makhluk atau ciptaan yang diadakan oleh
Allah, namun Ia adalah Firman Allah yang kekal, yang melaluiNya Allah mengadakan sekalian makhluk atau
segenap ciptaan. Itulah sebabnya Ia satu dzat-hakekat dengan Allah, dan memiliki sifat Ilahi, dan keluarNya
dari Allah sendiri, karena Ia berada satu di dalam Allah Yang Esa itu sendiri. Karena Allah yang Esa itu
disapa dengan gelar kias sebagai “Bapa”, maka “Firman Allah” yang berasal dari kandungan dzat Allah dan
yang keluar dari Allah Yang Esa itu disebut dengan gelar kias “Anak”. Karena Allah itu Esa,, maka FirmanNya
juga hanya ada satu saja. Padahal Firman Allah ini diberi gelar kias sebagai “Anak”, maka jelas Firman yang
hanya satu itu, disebut dengan gelar kias “Anak Tunggal Allah”, karena Allah memang tak beranak maupun
diperanakkan dalam pengertian jasmani yang kita kenal. Firman Allah yang kekal itu disebut “Anak Yang
Tunggal” (“Firman itu….sebagai Anak Tunggal Bapa…”, Yohanes 1:14), serta “Anak Tunggal Allah/Bapa” yaitu
Firman Yang Kekal itu dinyatakan sebagai yang “ada di pangkuan Sang Bapa” (Yohanes 1:18 ), dan
”pangkuan Bapa” adalah “Dzat-Hakekat Bapa/Allah”. Dengan demikian Firman Allah yang dikiaskan sebagai
“Anak Tunggal Allah” itu memang berada dalam “Dzat Hakekat Allah” yang Esa itu. Sedangkan mengenai
Roh Allah yang kekal dikatakan:: “…Roh …menyelidiki…hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah…..yang
tahu, apa yang terdapat dalam diri manusia, …roh manusia sendiri yang ada di dalam dia……..yang tahu,
apa yang terdapat dalam diri Allah…Roh Allah” ( I Korintus 2:10-11).

Roh Allah berada dalam Diri Allah, sebagaimana roh manusia ada dalam diri manusia. Firman Allah ada di
“pangkuan Bapa” yaitu dalam hakekat Bapa yang satu. Dengan demikian dalam dzat-hakekat Allah yang Esa
itu berdiamlah FirmanNya yang kekal dan RohNya yang kekal. Sehingga hanya Allah Yang Esa (Bapa) itu
sendiri, beserta Firman serta RohNya yang ada di dalam Diri dan Dzat-HakekatNya Yang Esa itu saja yang
mengerti dzat-hakekat dari pada Allah tersebut.

Jadi disamping FirmanNya sendiri itu, Allah yang Esa ini juga memiliki Roh Kudus, yaitu Roh yang  “Keluar
dari Sang Bapa” , yang berarti Roh ini asalnya juga dari Sang Bapa (Allah Yang Esa) itu dan berdiam di
dalam Diri Allah Yang Esa itu. Dengan demikian Allah yang Esa itu merupakan pokok dan sumber yang
dariNya Anak Tunggal Allah (”Firman Allah yang hanya satu-satunya”) diperanakkan sejak kekal
(“Diperanakkan dari Sang Bapa”) dan dariNya pula Roh Kudus itu dikeluarkan dari kekal (“Keluar dari Sang
Bapa”). Melalui Anak Tunggal (“FirmanNya yang hanya Satu”) ini Allah menciptakan (Allah..Pencipta... )
segala sesuatu (“yang melaluiNya segala sesuatu diciptakan”). Padahal dalam Kitab Suci yang menjadi
sarana penciptaan dalam diri Allah adalah “Firman Allah” berarti yang dimaksud dengan Anak Allah itu,
sebagaimana yang telah kita katakan diatas, tak lain adalah “Firman Allah” sendiri.

Itulah sebabnya Ia satu dalam dzat-hakekat Allah. Tetapi dalam memberikan hidup dan kehidupan kepada
segala sesuatu yang telah diciptakan melalui “Firman”Nya yaitu “Anak Tunggal” Nya itu Allah menggunakan
RohNya yang disebut Roh Kudus (“Roh Kudus...Sang Pemberi Hidup....”). Demikianlah maka Roh Kudus
sebagaimana Anak Allah yang melaluiNya Allah menciptakan segala sesuatu itu,
menjadi “Tuhan” (Penguasa) bagi segenap mahluk. Maka jelaslah Allah itu memang satu, sehingga Roh
Kudus itu “bersama dengan Sang Bapa” artinya dari dalam hakekat Allahlah Roh Allah berasal, “dan Sang
Putra” karena Anak Allah yang adalah “Firman Allah” beradanya dalam dzat hakekat Allah yang Esa
bersama dengan Roh Allah sendiri, “disembah dan dimuliakan” .

Demikianlah penyembahan ummat Kristen kepada Allah Yang Esa itu penyembahan yang bersifat hidup
dan intim, karena Dia menyembah Allah melalui Firman Allah yang mengantar manusia kepada Allah, dan
melalui Roh Allah yang memberikan terang dan hidup untuk menyatu dengan Allah yang Esa itu. Dan fakta
keberadaan Allah yang Esa yang demikian inilah yang dalam theologia Orthodox disebut sebagai
“Tritunggal Mahakudus”.

Hal-hal yang keliru dalam Pemahaman Tritunggal Maha Kudus

Istilah “Tritunggal Maha Kudus” untuk menyebut Allah yang Esa yang sejak kekal memiliki Firman dan Roh
dalam diri dan dzatNya yang serba esa ini sering dimengerti secara salah oleh orang diluar Iman Orthodox.
Kata ini memang tak terdapat dalam Kitab Suci dan pertama kali digunakan oleh Theophilus dari Antiokhia
di Gereja Timur dalam bahasa Yunani “Triados” dan Tertulianus dari Gereja Barat dengan istilah bahasa
Latin “Trinitas” dalam usaha untuk menjelaskan tentang fakta yang terdapat dalam Kitab Suci mengenai
Allah Yang Esa yang disebut Bapa, yang memiliki Firman yang disebut Putra/Anak dan Roh yang disebut
Roh Kudus yang bersifat Kekal, dan hubungan Firman Allah dan Roh Allah itu dengan Allah Yang Esa itu
sendiri.

Jadi yang dimaksud dengan Tritunggal bukanlah mengenai ajaran bahwa ada Tiga Ilah yang terpisah-pisah
yang disebut Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus seperti yang kita jumpai dalam ajaran Mormon.
Bukan pula terdiri dari Isa, Maryam dan Allah, sebagai tiga tuhan bersatu. Malah bukan pula sebagai Isa
dan Jibril ( karena istilah Kristen “Roh Kudus” itu disamakan dengan ajaran dalam Islam dimana nama lain
dari malaikat Jibril adalah “Rohul Qudus”) yang dipersekutukan dengan Allah, seperti yang kita jumpai
dalam tulisan-tulisan polemik beberapa penulis Muslim dalam serangannya terhadap faham Tritunggal ini.
Bukan pula Tritunggal ini tiga Nama yang berbeda dari satu Tuhan Yesus Kristus. dimana “Bapa” disamakan
dengan gelar :”Tuhan”, dan “Anak” disamakan dengan gelar “Yesus” serta “Roh Kudus” disamakan dengan
gelar “Kristus”, namun wujudnya adalah satu yaitu “Tuhan Yesus Krisus” yang dilahirkan Maryam itu.

Jadi menurut faham ini Allah yang Esa itulah Tuhan Yesus Kristus. Faham ini banyak kita jumpai dalam
beberapa kelompok denominasi Protestan non-klasik di Inondonesia ini. Memang faham ini sangat
bertentangan dengan data Kitab Suci yang telah kita bahas diatas. Tak pula Tritunggal itu berarti hanya tiga
fungsi dari Allah yang Esa, semisal orang satu yang dapat berfungsi sebagai bapak, anak dan suami
tergantung pada situasinya. Sebagaimana yang difahami oleh beberapa kelompok tertentu dalam
denominasi Protestan klasik. Dan bukan pula Tritunggal itu sebagai suatu “keluarga ilahi” yang terdiri dari
Bapa, Ibu (“Roh Allah” sering dianggap bersifat feminin oleh kelompok tertentu) dan AnakNya. Tidak pula ini
suatu keluarga ilahi yang terdiri dari Bapak dan Anak yang diikat oleh kasih yang disebut Roh Kudus.
Sebagaimana yang difahami oleh kelompok Protestan sempalan tertentu.

Dan Tritunggal itu bukan juga semacam gambaran psykhologis dalam Allah Bapa itu kehendak, Anak itu
kata-kata atau akal-budinya serta Roh Kudus itu adalah semacam emosi ilahi yang bernama kasih, seperti
yang diajarkan oleh Santo Agustinus dari Gereja Barat. Dan bukan pula Tritunggal itu adalah proses dan
tahap yang dilalui Allah dalam sejarah: dalam Perjanjian Lama Allah yang Esa itu disebut Bapa, dalam
Perjanjian Baru Allah yang tadinya disebut Bapa itu sekarang disebut Anak, dan dalam Gereja Allah Yang
Esa yang tadinya disebut Bapa dan Anak itu sekarang disebut Roh Kudus, seperti yang diajarkan oleh aliran
dispensasionalis tertentu dari kelompok Protestan sayap kiri. Dan ajaran Tritunggal Mahakudus ini berbeda
sama sekali dengan faham “Trimurti” dalam Agama Hindhu. Karena Brahma, Wisnu dan Shiwa dalam
agama Hindhu adalah dewa yang terpisah-tepisah yang memiliki keluarga masing-masing lengkap dengan
anak-anak dan isteri-isteri mereka masing-masing. Meskipun jika masing-masing dianggap sebagai
manifestasi-manifestasi dari “Brahman” (Sang Hyang Widhi) yang satu. Karena masing-masing manifestasi
itu berdiri sendiri-sendiri dengan karya-karya yang saling tak terkait satu sama lain.

Tidak pula Tritunggal Mahakudus itu dapat disamakan dengan ajaran Kebatinan “Pangestu” tentang “Tri
Purusa”, dimana dimengerti bahwa Tuhan yang satu itu berada dalam tiga “faset” : Sang Suksma Kawekas
yang diparalelkan dengan Sang Bapa, Suksma Sejati yang disamakan sebagai Sang Putra dan Roh Suci yang
adalah inti terdalam dari roh manusia sendiri (kelihatan faham “pantheisme” disini, suatu faham yang
ditolak Gereja Orthodox: Roh Suci dalam Gereja Orthodox adalah Roh yang ada di dalam Diri Allah, dan
bukan inti terdalam dari roh manusia ). Dimana Suksma Kawekas digambarkan sebagai Omnipotensi (jadi
bukan pribadi atau hypostasis seperti yang diajarkan oleh Iman kristen Orthodox) atau Samudera keilahian
yang diam tak bergerak, sedangkan Suksma Sejati digambarkan sebagai samudera keilahian yangt mulai
bergerak, dan Roh Suci adalah uap samudera yang keluar akibat gerak samudera keilahian tadi (inilah
faham “emanasi” yang juga ditolak Gereja Orthodox).

Berarti terdapat dua kali pemunculan baru di dalam Allah, yaitu munculnya gerakan samudera keilahian :
Sang Suksma Sejati, serta munculnya uap air samudera keilahian: “Roh Suci” dari “gerak samudera
keilahian”: Suksma Sejati (sesuatu yang baru muncul bukanlah sesuatu yang kekal, dalam Allah tak ada
yang baru semuanya “qodim” dan “azali” menurut Iman Kristen Orthodox).. Semuanya itu tidak ada sangkut
pautnya dengan ajaran Tritunggal Maha Kudus dalam Iman Kristen Orthodox. Namun yang disebut
Tritunggal dalam ajaran Iman Kristen Orthodox sebagaimana yang jelas diajarkan Kitab Suci adalah
penjelasan akan keberadaan yang ada di dalam diri Allah yang Esa yang sejak kekal memiliki “Firman” dan
“Roh” yang berada satu di dalam Dzat-Hakekat Allah yang Esa itu.

Tritunggal Maha Kudus adalah Allah Yang Esa itu

Dengan panjang lebar diatas telah kita bahas bahwa Iman Kristen Orthodox adalah suatu Iman yang
menekankan Tauhid (Ke-Esa-an Allah) sebagaimana yang nyata dalam ayat-ayat Alkitab berikut ini, yang
juga telah kita kutip diatas: ”Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa! ( Ulangan
6:4), Akulah yang terdahulu ( berarti: tak ada Ilah lebih tua dari Allah Yang Esa ini, berarti Allah tak
berorang-tua, atau tak diperanakkan) dan Akulah yang terkemudian ( berarti: tak ada Ilah baru yang lebih
muda atau lebih kemudian dari Allah yang Esa ini, atau Allah itu tak beranak melalui kelahiran dari seorang
isteri); tidak ada Allah selain daripadaKu ( berarti: Allah tak memiliki tandingan atau sekutu” ( Yesaya 44:6), “
Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah” ( Yesaya 45:6). ”Jawab Yesus: Hukum
yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa”  ( Markus 12:28).

Dan Allah Yang Esa itu diidentikkan dengan “Bapa” : ”Demikianlah kata Yesus……:Bapa….Engkau, satu-
satunya Allah yang benar…” (Yohanes 17:1-3), “ Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu:Bapa…” ( I
Kor.8:6). Dan kebenaran ayat-ayat Kitab Suci ini diringkas dalam Pengakuan Iman Gereja Orthodox
( Pengakuan Iman Nikea): ”Aku percaya pada Satu Allah, Sang Bapa, Yang Mahakuasa…” Allah yang Esa
yang disebut Bapa ini – bukan karena jenis kelamin, tetapi sebagai kata kias karena Dia adalah asal-usul
dari segala sesuatu, pemelihara segala sesuatu, pemberi segala sesuatu, dan pembimbing segala sesuatu –
adalah pencipta segala sesuatu. Dia menciptakan segala sesuatu itu melalui “FirmanNya” ( Kejadian 1,
Mazmur 33:6, Yohanes 1:1-3), dan memberi hidup kepada segala sesuatu melalui “RohNya” ( Ayub 33:4),
FirmanNya Allah itu selalu “bersama-sama” dengan Allah, artinya berada di dalam kodrat dan Hakikat Allah
sendiri ( Yohanes 1:1-3), sedangkan Roh Allah itu “keluar dari Bapa “ ( Yohanes 15:26), berarti asalnya ada di
dalam Bapa yaitu Allah yang Esa itu ( I Kor.2:10-11).

“Firman Allah” yang melaluiNya Allah menjadikan alam semesta ini juga disebut “Anak” ( Yohanes 1:3, Ibrani
1:2) karena FirmanNya Allah, yaitu IlmuNya Allah atau Akal-Budi Allah itu pasti “dikandung “ dalam Dzat
Hakekat Allah sendiri sehingga jika Firman itu dinyatakan atau diucapkan keluar dari Allah maka “seolah-
olah” dilahirkan atau diperanakkan, dan dalam pengalaman manusia apa yang dilahirkan itu pastilah
disebut sebagai “Anak”, jadi “Firman Allah” adalah “Anak” yang diperanakkan dari dalam Pikiran Allah tadi,
itulah sebabnya Firman Allah disebut Anak Allah, meskipun Allah itu secara biologis tak beranak maupun
diperanakkan..Ini disebabkan, karena Allah sebagai asal-usul dan tempat beradanya Firman itu disebut
Bapa. Karena Allah itu Esa maka FirmanNya juga cuma satu, dan Firman Allah itu disebut “Anak”, maka
“Firman Allah” yang cuma satu, atau “Anak yang satu-satuNya” ini jelas disebut “Anak Tunggal”, itulah
sebabnya “Firman Allah” disebut “Anak Tuggal Allah” dalam Kitab Suci (Yohanes 1:18, 3:16).

Sedangkan Roh Allah (yaitu prinsip kehidupan dan kuasa Allah) yang ada di dalam hakekat Allah yang satu
bersama “Firman” itu disebut Roh Kudus .Dengan demikian dalam Iman Kristen Orthodox Roh Kudus
bukanlah nama Malaikat Jibril, namun Roh Allah sendiri. Malaikat Jibril adalah ciptaan dari Roh Kudus ini
juga, sebab Malaikat Jibril itu diberi hidup oleh Allah melalui RohNya ini juga sebagaimana makhluk-
makhluk lainnya. Karena Allah itu Esa, yaitu Bapa tadi, maka haruslah memang FirmanNya (Anak) itu
berasal dari dan berdiam di dalam Allah yang Esa yaitu Bapa ini, demikian pula RohNyapun harus keluar
dari dan berdiam dalam Bapa yang Esa ini, dengan demikian Keesaan Allah terjaga. Karena memang Allah
itu Satu, Esa, tiada tandingan atau sekutu bagiNya. Jadi Tritunggal Maha Kudus adalah Allah yang Esa (Sang
Bapa) yang memiliki dalam dzat-hakekatNya yang Esa Firman yang kekal ( Anak) dan Roh yang kekal ( Roh
Kudus) yang berada dan melekat satu di dalam DiriNya yang Esa itu.

Jadi istilah “Tritunggal Mahakudus” itu bukan berbicara mengenai jumlah Allah, namun mengenai
keberadaan di dalam diri Allah yang Esa tiada berbilang dan satu tiada bandingan itu. Iman Kristen
Orthodox tidak percaya adanya Allah yang lebih dari satu karena Allah itu Esa menurut Alkitab. Jadi
Tritunggal bukanlah “Tiga” Ilah seperti yang dikatakan dalam An-Nissa 171:’Hai ahlil Kitab! Janganlah kamu
melampaui batas dalam agamamu….dan janganlah kamu katakan:Tuhan itu tiga!….” .

Tritunggal bukanlah “Tiga Tuhan yang terpisah-pisah” atau “Tiga Tuhan yang digabungkan” atau “Tiga Tuhan
yang dipersatukan” , namun itu adalah sebutan bagi Allah Yang Esa itu sendiri yang dalam dzatNya memiliki
Kalimat dan Ruh yang kekal tanpa awal maupun akhir. Bukan pula Allah dalam pemahaman Tritunggal itu
sebagai “yang ketiga daripada yang tiga” seperti yang dikatakan dalam Al-Maidah 72 karena Allah itu
hanya satu-satunya dan yang pertama dalam DiriNya yang Esa yang memiliki Kalimat dan Ruh kekal itu.
Serta lebih bukan lagi jika Allah itu adalah “Isa dan ibunya” sebagai tuhan-tuhan/ilah-ilah “disamping
Allah” seperti yang dikatakan dalam Al-Maidah 116, sebab Tritunggal itu bukan terdiri dari unsur-unsur
makhluk, karena Allah itu tak terdiri dari unsur-unsur, namun Dzat azali dari Allah sendiri yang memiliki
Kalimat dan Roh yang kekal itu.

Maryam tak pernah disebut sebagai IsteriNya Allah, sebagai tandingan atau pasangan dari Allah Bapa. Jika
sampai ada pemikiran yang demikian jelaslah itu pemikiran yang amat sesat, dusta dan terkutuk. Maryam
adalah “hamba Allah” (Lukas 1:38), sama seperti “Isa”pun adalah “Hamba Allah” dalam penjelmaanNya
sebagai manusia ( Filipi 2: 5-7).

Makna Hypostasis

Bagi Iman Kristen Orthodox Allah itu Esa karena Bapa itu Esa, sebagaimana dinyatakan oleh Kitab Suci :  ” …
bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu :Bapa…” ( I Kor. 8:6), dan yang juga diteguhkan oleh Pengakuan
Iman Gereja : ”..Satu Allah, Sang Bapa…”. Sehingga Sang Bapa itu pokok dan sumber di dalam diri Allah
yang Esa.. Karena Bapa itu adalah Allah yang hidup maka Bapa itu bukan sekedar suatu keberadaan ilahi
tak berpribadi, namun Ia adalah Allah yang berpribadi, atau berhypostasis. Sedangkan “Firman” atau
“Kalimatullah” di dalam Alkitab ditegaskan bahwa Firman Allah itu bukan hanya sekedar serangkaian bunyi
dan suara yang memiliki makna dalam wujud kata dan kalimat, sebagaimana “firman/kata-kata” yang
dimiliki manusia. Allah tidak sama dengan manusia,oleh karena itu FirmanNyapun tak sama dengan kata-
kata manusia. Sementara kata-kata manusia adalah sesuatu yang tercipta dan benda mati namun Firman
Allah itu disebut sebagai “Firman yang Hidup” (I Yohanes 1:1), karena memang “Dalam Dia/Firman itu ada
hidup” ( Yohanes 1:4), sebab “…Anak/Firman mempunyai hidup dalam diriNya sendiri (Yohanes 5:26). Itulah
sebabnya Ia dapat menjadi sarana Theophania (“tajjali, penampakan Ilahi”) dan akhirnya dapat menjelma
manusia yang hidup. Karena Firman itu hidup maka Ia mempunyai kesadaran, dan karena mempunyai
kesadaran Ia dapat dikasihi Allah ( Yohanes 17:24).

Keberadaan Firman Allah yang semacam inilah yang dikatakan bahwa Firman itu memiliki “hypostasis”
(“realitas kongkrit”). Demikian juga Roh Allah meskipun itu adalah prinsip hidup dan kuasa di dalam diri
Allah sendiri, namun karena Roh Allah ini mempunyai ciri sebagai “Roh yang memberi hidup” (Roma 8:1),
sebagaimana juga yang ditegaskan oleh Pengakuan Iman Gereja Orthodox, bahwa “Roh Kudus” itu adalah
“Sang Pemberi Hidup”, maka ini berarti bahwa “Roh Allah”pun memiliki hidup itu sama seperti yang dimiliki
Firman. Karena Roh itu sama seperti Firman Allah berada di dalam Diri Allah Yang Esa, dan Roh itu sama-
sama memiliki Hidup seperti Firman, maka pastilah Hidup yang ada dalam Roh itu adalah Hidup yang
sama, yaitu HidupNya Bapa seperti yang ada di dalam Firman juga. Jadi jelas dalam Allah itu hanya ada
“Satu Hidup” saja yang Bapa itulah sumberNya hidup tadi. Ini makin menegaskan EsaNya Allah itu.
Demikianlah sebagaimana Firman yang hidup itu memiliki “hypostasis” (“realitas kongkrit”) karena memiliki
hidup, maka Rohpun untuk alasan yang sama juga memiliki “hypostasis” (“realitas kongkrit”). Sehingga di
dalam diri Allah Yang Esa itu terdapat tiga hypostasis. Tiga hypostasis ini sama sekali tidak bisa dipisahkan
karena melekat satu dalam diri Bapa, dan dalam dzat-hakekat Allah yang Esa, namun ciri-ciriNya dapat
dibedakan.

Ciri-Ciri Khas Hypostasis

Ciri-ciri khas yang membedakan dari ketiga hypostasis (realitas kongkrit) di dalam diri Allah yang Satu itu
adalah demikian: Hypostasis Bapa sebagai wujud dari Allah Yang Esa mempunyai ciri khas dari kekal-azali
sampai kekal-abadi tak berpermulaaan serta tak berpenghabisan. Ciri khas yang lain dari Wujud Allah atau
hypostasis “Bapa” adalah tidak diperanakkan oleh siapapun, namun ada dengan sendirinya. Namun karena
dalam diri Bapa ini terdapat “FirmanNya”, maka dari kekal-azali sampai kekal-abadi “hypostasis Bapa” atau
“Wujud Allah” itu selalu mewahyukan “FirmanNya” di dalam DiriNya Yang Esa itu, dan proses “pewahyuan
Firman Allah” (“tajjali Allah dalam sifat “Firman”Nya) di dalam hakekat Allah yang Esa inilah yang disebut
bahwa “Bapa memperanakkan hypostasis Putra” Ini bermakna bahwa tidak ada waktunya dimana Bapa ini
tidak mengenal diriNya melalui “pewahyuan FirmanNya” dalam diriNya yang Esa, atau dengan kata lain tak
ada waktunya “Bapa tidak memperanakkan Sang Putra”. Tanpa awal dan tanpa akhir Allah Yang Esa selalu
mengenal diriNya di dalam FirmanNya (Matius 11:27) atau “Sang Bapa ini selalu memperanakkan
hypostasis Putra” didalam dzaat-hakekatNya yang Esa.Selanjutnya ciri khas dari “hypostasis Bapa” atau
“Wujud Allah” itu adalah memiliki RohNya sendiri atau “Roh Kudus” yang sejak kekal-azali sampai kekal-
abadi berada satu dan melekat dalam dzat-hakekat Allah yang satu itu ( I Kor. 2:11), serta keluar dari Allah
ini (Yohanes 15:26).KeluarNya Roh Kudus dari Allah di dalam dzat-hakekatNya Yang Esa berlangsung dari
kekal-azali sampai kekal-abadi, tanpa awal dan tanpa akhir. Dengan demikian ciri khas hypostasis Bapa
adalah Ia adalah prinsip ke-Esa-an di dalam Diri Allah, Ia adalah Pokok dan Sumber dari FirmanNya dan
RohNya, karena Firman Allah dan Roh Allah itu berada satu di dalam dzat-hakekat Allah yang satu, dan
dariNya Firman Allah “diperanakkan” serta dariNya Roh Allah “keluar”.

Sedangkan ciri khas dari hypostasis Anak atau Firman Allah/Kalimatullah adalah Ia bersemayam dalam
Allah Yang Esa sebagai Kalimatullah yang kekal. Namun melalui Firman ini juga keberadaan Allah yang
tersembunyi itu dinyatakan., karena Allah mengenal diriNya atau ber”tajjali” di dalam FirmanNya ini.
Sehingga Firman Allah ini dinyatakan sebagai “cahaya kemuliaan Allah dan gambar Wujud Allah” ( Ibrani
1:3), karena sebagai yang dinyatakan atau diperanakkan Bapa Ia jelas memiliki keberadaan sebagai
“Gambar Allah” itu sendiri (Kolose 1:15). “Diwahyukan”atau sebagai “tajjali” Allah itulah ciri khas dari
hypostasis Firman Allah itu. Inilah yang disebut dengan bahasa theologis sebagai yang “diperanakkan dari
Sang Bapa” sebelum segala zaman itu. Jadi Ciri khas dari Firman Allah atau hypostasis Sang Putra itu adalah
“diperanakkan dari Sang Bapa” ini. Karena Ia bukan Wujud Allah namun Firman Allah maka Ia tidak menjadi
sumber keluarNya Roh Kudus, hanya Bapa atau hypostasis Wujud Allah saja yang menjadi sumber
keluarNya Roh Kudus. Firman Allah ada sejak kekal karena Sang Bapa ada sejak kekal.

Sedangkan ciri khas daripada Roh Kudus sebagai hypostasis dari prinsip hidup dan kuasa di dalam Allah
Yang Esa itu, adalah bahwa Ia bersemayam di dalam Diri Allah ( I Kor. 2:10-11). Karena Roh Allah juga
disebut “nafas Allah” ( Mazmur 33: 6), maka sebagai nafas Allah jelas Ia keluar dari Allah. Itulah sebabnya
ciri khas Roh Kudus adalah bahwa Ia “keluar dari Bapa”, sesuai dengan pernyataan Alkitab “…Roh
Kebenaran yang keluar dari Bapa…” ( Yohanes 15:26), sebagaimana yang juga ditegaskan dalam Pengakuan
Iman Gereja Orthodox : ”…Roh Kudus….yang keluar dari Sang Bapa….” “KeluarNya” Roh Kudus dari Bapa ini
tidak disebut “diperanakkan” sebagaimana keluarNya Firman Allah dari Bapa. Karena “Firman Allah” keluar
dari Allah sebagai sarana “tajjali” Allah sehingga Allah mengenal diriNya melalui FirmanNya ini, karena
itulah Firman Allah disebut “Gambar Allah”, dan sekaligus Anak Allah, karena seorang anak adalah
gambaran dari bapanya, dengan demikian keluarNya ini disebut sebagai “diperanakkan”. Sedangkan Roh
Kudus keluar dari Allah bukan menjadi sarana “tajjali” atau sarana penyataan diri Allah, namun sebagai
lingkup yang didalamNya “tajjali” Allah dalam FirmanNya itu dapat difahami, dimengerti, serta terlaksana.
Jadi seolah-olah Roh Kudus adalah sebagai “tempat” yang memungkinkan terjadinya tajjali atau penyataan
diri Allah di dalam FirmanNya kepada DiriNya sendiri itu.

Demikianlah ciri-ciri khusus dari masing-masing hypostasis dalam diri Allah Yang Esa, dan masing-masing
ciri khas itu tidak dipunyai oleh hypostasis yang lain, dan tak boleh dikacaukan. Hypostasis Bapa itu tak
diperanakkan juga tak memperanakkan secara biologis. Namun hypostasis Bapa itu “mewahyukan
FirmanNya” dalam dan kepada diriNya dalam arti ini Bapa dikatakan “memperanakkan Sang Putra, dan
karena Bapa itu memiliki nafasNya atau prinsip hidupNya, maka sebagai nafas atau prinsip hidup itulah
Bapa dikatakan sebagai sumber “keluarNya Roh Kudus”. Sedangkan hypostasis Putra atau Firman Allah itu
berciri diperanakkan yaitu diwahyukan atau sebagai sarana “tajjali” oleh Bapa. Dan hypostasis Roh Allah,
atau Sang Roh Kudus itu bercirikan “keluar dari Sang Bapa”. Keadaan Allah yang demikian ini kekal adanya.

Dinamika di dalam diri Allah Yang Esa

Allah yang dipercayai oleh Iman Kristen Orthodox berdasarkan Wahyu Alkitabiah adalah Allah yang hidup.
Sebagai Allah yang hidup Ia bukan keberadaan statis yang mandheg, Ia bukanlah “Unmoved Mover “
(“Penggerak yang Tak Bergerak”) dari filsafat Aristoteles. Namun Ia adalah Allah Abraham, Ishak dan Yakub.
Itulah sebabnya di dalam dzat dan hakekatNya Yang Esa itu Allah memiliki gerak hidup terutama dalam
hubungan antara hypostasis-hypostasis “Wujud Allah” (“Bapa”), “Firman Allah” (“Putra”), dan “Roh Allah”
(“Roh Kudus”) di dalam diri Allah itu sendiri. Karena adanya data-data Alkitabiah tentang “Gambar Allah”
(Kolose 1:15, II Kor. 4:6, Ibrani 1:3) serta “Rupa Allah” ( Filipi 2: 6) dalam menyebut Yesus Kristus sebagai
“Firman Allah” yang menjadi manusia, maka dimengerti bahwa ada hubungan kekal timbal-balik antara
Allah dan FirmanNya ini. Hubungan timbal-balik itu adalah antara “Gambar Allah” dengan “Wujud
Keberadaan” Allah. Beberapa Bapa Gereja Orthodox memahami hal itu sebagai sudah terkandung dalam
makna kata bahasa asli Perjanjian Baru (bahasa Yunani): “Allah“ yang bahasa Yunaninya adalah “HoTheos”,
itu sendiri. Kata Ho Theos ini dimengerti oleh mereka sebagai berasal dari kata “thea” atau “thein“ yang
berarti “memandang” dalam arti “bertafakur” .

-Allah dan Firman Allah

Karena Allah itu Kekal, berarti sifat memandang itupun kekal. Apa yang dipandang atau lebih tepatnya:
Siapakah yang dipandang dan siapakah yang ditafakuri Allah ini ? Karena tak ada yang lain diluar Allah,
karena Allah itu hanya sendiri pada DiriNya saja, maka Allah memandang diriNya Sendiri. Mengikuti
pemikiran ini maka dimengerti bahwa dari kekal-azali sampai kekal-abadi “Ho Theos”, Yang Maha
Memandang, tak henti-hentinya memandang diriNya karena itulah sifat-kekalNya sebagaimana yang
terkandung dalam makna sebutanNya “Ho Theos” itu. Akibat memandang diri secara kekal inilah terjadinya
“penampakan diri” atau “tajjali”, sehingga Allah melihat “Citra DiriNya,” itulah sebabnya di dalam diri Allah
terdapat “Gambar Allah” (Kolose 1:15, II Kor. 4:6), “Gambar Wujud Allah “ ( Ibrani 1:3) serta “Rupa Allah”
( Filipi 2:5-6) sendiri. Keberadaan kekal Allah yang tanpa awal dan akhir yang demikian ini adalah
“pewahyuan diri Allah” secara kekal di dalam diriNya yang serba Esa itu. Dalam alam-ciptaan, manusia
mengenal dan mengerti Allah karena Allah yang menyatakan DiriNya kepada manusia. Padahal sifat-sifat
Allah itu semuanya berada kekal dalam Diri Allah, termasuk sifat menyatakan diri ini. Ini berarti Allah tidak
hanya mewahyukan diri sesudah ada manusia. Allah selalu mewahyukan diri, sebelum ada dunia ciptaan,
sebelum ada malaikat, dan sebelum ada segala sesuatu.

Karena itu Allah mewahyukan diri kepada DiriNya sendiri sejak kekekalan. Dalam pewahyuan diriNya
kepada DiriNya dalam dzat-hakekatNya yang Esa dan kekal inilah Allah memandang “Citra” atau
“GambarNya” sendiri (Kolose 1:15, Ibrani 1:3, II Kor. 4:6). Maka terkandung dalam makna kata “Ho Theos”
atau “Dia yang Memandang ” itulah dimengerti bahwa Allah itu selalu ada dalam dzat-hakekatNya Yang Esa
bersama dengan obyek pandangan kekalNya yaitu “GambarNya” yang tak lain adalah “Firman Allah” sendiri.
“Gambar Allah” sebagai obyek yang dipandang Allah sejak kekal dalam dzatNya yang Esa itu keluar dari
dalam Diri Allah, berarti itu memiliki hakekat yang identik dengan Allah sebab kalau tidak identik berarti itu
bukan “Gambar Allah” dengan demikian tidak bisa menjadi obyek Allah untuk “memandang diriNya” sendiri.
Itulah sebabnya “Gambar Allah” atau “Firman Allah” (“Logos”) haruslah identik dzatNya dengan Allah yaitu
Iapun berhakekat Allah, “Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1:1). Karena Firman Allah (“Anak Tunggal Allah”)
yang “ada dipangkuan Bapa” (“ yang ada di dalam dzaat-hakekat Allah”) itulah “…yang
menyatakan…” Allah (Yohanes 1:18), baik kepada manusia setelah adanya waktu, maupun kepada DiriNya
sendiri secara kekal. “Pewahyuan Diri Allah” kepada DiriNya sendiri secara kekal inilah yang disebut sebagai
“Allah memperanakkan” FirmanNya itu. Itulah sebabnya Wahyu Diri Allah dalam Dzat-hakekatNya yang Esa
yang tak lain adalah “Firman Allah” itu sendiri disebut “ Anak Allah”, karena lahir secara kekal tanpa awal
dan tanpa akhir di dalam diri dan dzat-hakekat Allah yang Esa itu. Oleh karena itu Ia tidak berbeda dalam
hakekat ilahiNya dengan Allah sendiri dan tidak dapat dipisahkan dari Allah, karena itu merupakan proyeksi
dari pada Allah sendiri dan beradanyapun didalam Diri dan Dzat-Hakekat Allah yang Esa itu. Hal ini
dikatakan Injil Yohanes demikian:

“ En arkhee (Pada mulanya) heen Ho Logos ( adalah Firman), kai Ho Logos (dan Friman itu) heen pros ton
Theon (menuju kepada Allah, bersama-sama dengan Allah) kai Theos heen Ho Logos. (dan Allah-lah Firman
itu)” (Yohanes 1:1).

Menurut ayat ini Firman itu “bersama-sama” dengan Allah (“pros ton Theon”), yaitu melekat satu di dalam
dzat-hakekatNya yang Esa. Namun “pros ton Theon” itu juga berarti “menuju kepada Allah” yaitu Firman ini
berhadap-hadapan dengan Allah atau berorientasi kepada Allah, meskipun Firman itu berada satu di dalam
Allah, atau “bersama-sama dengan Allah”. Ini berarti Allah memandang FirmanNya yaitu memandang
Wahyu DiriNya sendiri, memandang CitraNya, memandang AnakNya yang berada di dalam diriNya sendiri.
Demikian pula sebaliknya Firman itu memandang kembali kepada Allah (Bapa) yang merupakan asal-
usulNya. Allah itu dari kekal disebut “Allah” (“ Ho Theos”) berarti dari kekal Dia selalu memandang Diri
dalam “tajjali”Nya melalui Firman, padahal Firman itu “pros ton Theon” (“menuju kepada Allah”), maka
dalam kedalaman dzaat-hakekat Allah yang satu dan kekal itu terdapat keberadaan saling pandang-
memandang. Allah memandang wahyuNya sendiri dan Wahyu itu juga memandang Allah kembali, dan itu
terjadinya di dalam dzat-hakekat Allah yang hanya satu itu sendiri, bukan diluarnya. Inilah kebenaran yang
terkandung dalam kata “pros ton Theon” itu. Sebab Alkitab mencatat doa dari “Firman Allah” ketika telah
menjadi manusia Yesus Kristus, demikian:
”Oleh sebab itu, ya Bapa, permuliakan Aku padaMu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadiratMu
(“para soi”) sebelum dunia ada.” (Yohanes 17:5).

Ayat ini menjelaskan bahwa “sebelum dunia ada”, jadi sebelum Yesus Kristus menjelma menjadi manusia,
Ia telah berada “di hadirat” Allah, atau berada dalam lingkup sekitar Allah (“para soi”). Di lingkup sekitar
Allah sebelum adanya dunia ini “Firman Allah” sebelum menjelma manusia itu memiliki kemuliaan, dan
kemuliaan itu pastilah identik dengan kemuliaan Bapa sendiri. Disinilah kita melihat hubungan timbal balik
yang kekal antara “Allah” dan “FirmanNya” secara kekal, dimana dengan berada di hadirat Allah menunjuk
Sang Putra (“Firman Allah”) ini selalu berhadapan dengan Sang Bapa (“Allah yang Esa”), dan pastilah
sebaliknya Sang Bapa (“Allah Yang Esa”) itu berhadapan dengan Sang Putra (“Firman Allah”) sendiri.
Sebagaimana dikatakan :”…tidak seorangpun mengenal Anak (Firman) kecuali Bapa (Allah Yang Esa), dan
tidak seorangpun mengenal Bapa (Allah yang Esa) selain Anak (Firman), dan orang yang kepadanya Anak
(Firman) itu berkenan menyatakannya ( dalam pewahyuan kepada manusia setelah adanya dunia
ini)” (Matius 11:27). Ayat ini menjelaskan bahwa terdapat saling-kenal yang eksklusif dalam relasi Bapa dan
Anak itu, yang tidak dimiliki sesuatu yang berada diluar relasi dari Bapa (Allah Yang Esa) dan Anak
(FirmanNya) itu.

Inilah saling pandang-memandang yang kekal itu, karena disitu terdapat saling kenal kekal yang eksklusif.
Karena Firman Allah itu mengatakan diriNya “…keluar…dari Bapa..” ( Yohanes 8:42), berarti Ia berada di
dalam diri Bapa itu di kekekalan azali sebelum dunia ada ini. Ini bermakna bahwa “Firman Allah” (Sang
Putra) berada dalam diri Allah yang Esa (Sang Bapa) itu sendiri. Jadi pandang memandang kekal antara
Allah dan FirmanNya itu berlangsungnya didalam dzat-hakekat Allah yang satu. Karena Firman Allah adalah
“pantulan”, “refleksi” dan “gambar” dari Diri Allah sendiri, maka keberadaan Allah ini jelas tergambar dan
terkandung dalam FirmanNya, padahal Firman itu berada di dalam Allah sendiri. Dengan demikian jelas
bahwa “Firman berada di dalam Allah, namun Allah juga berada di dalam “Firman” itu. Sebagaimana
dikatakan sendiri oleh Firman Allah itu setelah penjelmaanNya sebagai manusia : ”…Aku didalam Bapa dan
Bapa di dalam Aku” ( Yohanes 14:10). Allah memang tak dapat dipisahkan dari FirmanNya atau Bapa
memang tak dapat dipisahkan dari Putra, karena sebagai “Ho Theos” yang berarti “Dia yang memandang”
sejak kekal azali; maka haruslah secara kekal dalam Allah terdapat obyek pandangNya mengenai DiriNya
sendiri, yaitu selalu ada GambarNya (CitraNya) yaitu AnakNya yang adalah FirmanNya. Ini berarti bahwa
jika ada Allah maka Ia selalu ada dengan FirmanNya yang merupakan sifat dzaat-Nya yang kekal. Tidak ada
Allah tanpa Firman itu, atau tidak ada Bapa tanpa Putra. Dan tidak ada Firman Allah (Anak) tanpa adanya
Allah (Bapa) sebagai sumberNya. Berlangsungnya pewahyuan Diri Allah terhadap DiriNya sendiri yang
berwujud Citra Allah yang tak lain adalah Firman Allah ini dikatakan Alkitab demikian:

“Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan Gambar Wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan
FirmanNya yang penuh kekuasaan.”( Ibrani 1:3).

Dalam bahasa asli Yunani kata ”Gambar Wujud Allah” adalah “Kharakteer tees Hypostaseoos


Autou,.” Dengan demikian “Anak Allah” atau “Firman Allah” adalah “kharaktir” yang arti sebenarnya
adalah: stempel / cap dari Allah. Gambar dari stempel yang dicapkan pada kertas , itu wujud dan sifatnya
adalah tepat dan tidak ada bedanya sama sekali dengan gambar yang ada pada stempelnya itu sendiri.
Dengan demikian “Anak Allah” atau “Firman Allah” yang menjadi “Gambar Allah” adalah “GAMBAR
TINDASAN” tepat, persis tidak ada bedanya sedikitpun dari Wujud Allah ( Bapa ) sendiri. Itulah sebabnya
apa saja yang yang menjadi milik Allah (Bapa), itu juga tanpa beda sedikitpun adalah milik Firman Allah
( Putra ) juga, karena “Firman Allah” adalah “cahaya kemuliaan” atau “pancaran kemuliaan” Allah. Firman
Allah yang menjadi “gambar wujud Allah” ini disebut “cahaya kemuliaan” karena Allah itu bersifat “Terang”
atau “Nur” kemuliaan (I Yoh.1:5), maka demikian juga FirmanNya yang keluar dari Allah itupun disebut
“cahaya kemuliaan” atau “terang” (Yohanes 8:12), sebagaimana yang diteguhkan dalam pengakuan Iman
juga , dimana Firman Allah atau Anak Tunggal Allah ini disebut sebagai “…Terang yang keluar dari
Terang…”, yaitu yang keluar dari Allah sendiri dan yang tetap melekat di dalam diri Allah, serta yang
memiliki realita dan jati-diri yang kongkrit yang ciriNya dapat dibedakan dari Bapa. Sehingga memandang
terang dari Firman ini maka manusia mengenal Allah yang digambarkan melalui FirmanNya, sebagaimana
Allah mengenal diriNya dalam FirmanNya itu. Bahwa milik Allah adalah juga milik FirmanNya ini dikatakan
demikian:

“Dan segala milikKu adalah milikMu dan milikKu adalah milikMu, dan aku telah dipermuliakan di dalam
mereka.” ( Yohanes 17:10 ).

Dalam ayat ini dikatakan oleh Firman Allah yang menjelma itu bahwa “milik Bapa adalah milikNya,
milikNya adalah milik Bapa”. Memang konteks pembicaraan dalam ayat-ayat disini adalah mengenai
murid-murid Kristus sebagai milik Allah, namun karena Allah adalah “Pemilik Segala yang Ada” termasuk
pemilik dzaat-hakekat dan sifat-sifatNya sendiri, maka berarti segala sesuatu yang ada pada Bapa (Allah
Yang Esa) baik dzaat-hakekat ilahiah maupun sifat-sifatNya itu ada secara tak berbeda pada Firman Allah.
Dalam makna inilah Pengakuan Iman Nikea mengatakan “Anak Tunggal Allah” (“Firman Allah yang satu-
satuNya”) itu “satu Dzat- Hakekat dengan Bapa (Allah Yang Esa).” Hakekat Allah yang Esa (Bapa) itu
sepenuhnya tinggal di dalam Firman Allah (Putra). Kemuliaan Allah yang Esa (Bapa) sepenuhnya berdiam di
dalam Firman Allah (Putra), berarti dalam Allah yang Esa bersama FirmanNya itu hanya ada satu kemuliaan
Ilahi saja, ini membuktikan bahwa memang Allah itu Esa. Dzat-Hakekat Allah (Bapa) yang satu itu, berdiam
secara sempurna dan sepenuhnya didalam Firman (Putra) juga, sehingga dalam Allah Yang Esa bersama
FirmanNya itu hanya terdapat satu dzat-hakekat ilahiah saja, ini makin menegaskan lagi bahwa Allah itu
hanya satu sebab yang dalam Allah hanya satu dzat-hakekat saja. Bukan hanya dzat-hakekat Allah berada
di dalam Firman , namun Firman itu juga berada didalam diri dan dzat-hakekat Allah Yang Esa itu.
Kebenaran akan hal ini dikatakan oleh Alkitab demikian:

“Karena seluruh kepenuhan ke-Allah-an (Hakekat/Dzat Allah) berkenan diam di dalam Dia (Firman Allah,
Anak Allah yang Tunggal) .” (Kolose 1:19).

Jadi tak ada yang lebih Allah atau yang kurang Allah, serta tak ada yang lebih besar atau yang lebih kecil dari
segi ke-Allah-an antara Allah dan FirmanNya, karena ke-Allah-an itu hanya satu yang berada dalam dzat-
hakekat Bapa, sedangkan Firman Allah berada di dalam dzaat-hakekat Bapa yang satu ini, maka Firmanpun
memiliki dzaat-hakekat “Allah” yang sama dan satu ini dengan Bapa. Seluruh kepenuhan Ke-Allah-an atau
seluruh kepenuhan Sang Bapa, Hakekat Sang Bapa secara sempurna diam di dalam Sang Putra. Sehingga
dapat dikatakan bahwa Bapa berada “di dalam Putra”,namun karena sebagai Firman Allah, Putra itu
melekat satu dalam Dzat-Hakekat Allah yang sama dan satu itu, maka dapat dikatakan bahwa Putra berada
“di dalam Bapa”, sebagaimana yang dikatakan : ”…Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yohanes
14:10) . Ke-Allah-an yang ada pada Bapa itulah yang ada dalam Sang Putra. Bahkan ketika Firman Allah
(Putra) itu telah nuzul (“turun menjelma”) menjadi manusiapun, hakekat Sang Bapa (“kepenuhan ke-Allah-
an”) itupun tetap diam di dalam Sang Putra, yang dengan demikian kesatuan hakekat antara Allah dan
FirmanNya yang telah nuzul tak pernah dapat dihapuskan, seperti yang dinyatakan demikian:

“Sebab di dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allah-an.” ( Kolose 2:9 ).

Jadi ke-Allah-an dari Bapa yang satu itu berdiam secara penuh di dalam Putra. Maka jelas tidak ada dua
“Ilah”, karena ada satu ke-Allah-an yang berdiam baik dalam Bapa (Allah yang Esa) maupun dalam Putra
(FirmanNya yang berada di dalam Diri Allah”). Karena hanya ada satu “kepenuhan ke-Allah-an” baik dalam
Allah yang Esa maupun dalam FirmanNya, berarti hanya ada satu kemuliaan ilahiah, yang berdiam juga di
dalam Bapa (Allah Yang Esa) maupun Putra (Firman Allah yang berada di dalam diri Allah). Secara otomatis
hanya ada satu kekekalan, karena Firman Allah (Sang Putra) itu sejak kekal-azali sampai kekal-abadi berada
di dalam serta diwahyukan kepada atau diperanakkan oleh Bapa di dalam dzaat-hakekatNya yang Esa itu.

Karena Bapa (Allah yang Esa) berada di dalam “FirmanNya” (“Putra”), maka hanya satu kehendak ilahi saja
yang terdapat, karena kehendak Sang Bapa itulah yang menjadi kehendak Sang Putra. Sebagaimana yang
dikatakan oleh “Firman Allah” itu sendiri ketika menjelma menjadi manusia: ”… Aku tidak menuruti
kehendakKu sendiri (yaitu kehendak kemanusiaan setelah menjelma di bumi ini), melainkan kehendak Dia
(Allah yang Esa) yang mengutus Aku (untuk menjelma menjadi manusia di bumi ini) ” (Yohanes 5:30).
Pernyataan Firman yang menjelma ini diteguhkan oleh pernyataan Allah sendiri: ”….firmanKu yang keluar
dari mulutKu….akan melaksanakan apa yang Kukehendaki….” ( Yesaya 55:11).

Jadi kehendak Allah yang satu dan tunggal itu berada dalam, serta dituruti dan dilaksanakan oleh “Firman
Allah” sendiri, baik sebelum menjelma menjadi manusia maupun sesudahnya. Karena kehendak Allah itu
adalah kehendak yang berkuasa yang dilaksanakan melalui dan oleh FirmanNya, berarti ada satu kuasa
ilahiah, yang berasal dari Allah, namun berdiam dalam dan dilaksanakan oleh FirmanNya (Sang Putra). Hal
ini dikatakan Kitab Suci demikian: ”…Anak (Firman) tidak dapat mengerjakan sesuatu dari DiriNya sendiri
(karena Firman Allah bukan ilah lain yang mandiri dan yang terpisah dari Allah yang Esa sehingga memiliki
kuasa yang mandiri dan berbeda dari kuasa Allah Yang Esa itu)….apa yang dikerjakan Bapa , itu juga
dikerjakan Anak (karya kuasa Anak itu adalah karya kuasa Bapa, karena memang ada satu kuasa ilahi yang
dikerjakan oleh Allah di dalam dan melalui FirmanNya)” (Yohanes 5:19). Jika yang ada hanya satu
kepenuhan ke-Allah-an, satu kehendak ilahiah, satu kemuliaan ilahiah, satu kuasa ilahiah, berarti memang
tidak ada dua ilah, yang ada hanya Allah yang Esa. Dimana kepenuhan ke-Allah-an, kehendak ilahi,
kemuliaan ilahi, serta kuasa ilahi yang hanya satu dari Allah yang Esa itu, berdiam juga dalam FirmanNya
serta dilaksanakan oleh Firman itu, karena Firman itu berada di dalam dzaat-hakekat Allah yang satu itu.
Memanglah Putra (Firman Allah) ini tidak dapat dipisahkan sedikitpun dari Bapa (Allah Yang Esa), karena
Allah tak pernah ada tanpa FirmanNya yang berada serta melekat satu di dalam dzaat-hakekatNya Yang
Serba Esa itu. Semua sifat-sifat yang ada pada Allah itu juga berada dalam FirmanNya, karena hanya ada
sifat-sfat yang bersifat tunggal di dalam Allah. Karena yang dimaksud dengan Anak atau Putra di dalam
Allah itu adalah Firman Allah sendiri, berarti sebenarnya di dalam Diri Allah itu tidak ada Bapa, tidak ada
Putra, dalam arti jasmaniah dan biologis.

Gelar-gelar ini adalah kata-kata kias yang diberikan kepada Allah supaya manusia mengerti hubungan
antara Allah dengan WahyuNya ( Gambar atau CitraNya ) sendiri,yaitu Firman Allah/Kalimatullah yang
berada satu di dalam diri Allah itu. Makin jelas bagi kita bahwa “pewahyuan Diri Allah” inilah yang disebut
kelahiran atau diperanakkanNya: Anak Tunggal Allah (“Firman Allah yang hanya satu-satuNya”) dari Allah
itu. Karena Allah mengeluarkan GambarNya dari dalam DiriNya sendiri, jadi dari situlah Ia disebut
memperanakkan “Anak TunggalNya” atau “FirmanNya yang Satu” itu. Karena Allah itu tidak bertubuh
jasmani, Anak Tunggal Allah itupun juga bukan berwujud jasmani, karena Ia adalah Firman dari Allah yang
adalah roh (ghoib), maka Ia bersifat ghoib atau roh pula di dalam Diri Allah Yang Esa itu.. Oleh karena itu,
Wahyu Allah / Citra Allah itu kekal. Karena Gambar Wujud Allah atau Firman Allah itu bukan hanya sekedar
suara yang keluar dari mulut Allah saja, namun betul-betul`memiliki “hypostasis” (“realita jati diri yang
kongkrit”) dengan sifat-sifat Nya yang bertindih tepat dan satu serta sama dengan sifat-sifat Bapa (Allah
Yang Esa) sendiri, itulah sebabnya Ia disebut Anak untuk menegaskan kekongkritan “hypostasis”Nya ini.
Karena bertindih tepatnya dan satunya antara dzaat-hakekat Firman Allah dengan dzaat-hakekat dan sifat-
sifat Allah sendiri, maka dapatlah kita mengerti pernyataan Firman Allah ketika menjelma menjadi manusia
yang demikian ini: ”…..Barang siapa telah melihat Aku, Ia telah melihat Bapa…” (Yohanes 14:9), karena Ia itu
memang Gambar Allah yang azali, sehakekat dengan Allah dan kekal, dan pernyataan yang lain: “…Aku di
dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku….“ (Yohanes 14:10), karena Ia itu adalah Firman Allah yang melekat
satu dan berada di dalam Diri Allah, dan seluruh kepenuhan ke-Allah-anpun diam di dalam Dia.

Dengan demikian jelas bahwa Bapa dan Putra itu sama sekali tidak bisa dipisahkan, karena Allah memang
tak terpisah dari FirmanNya, dan Firman Allah itu bukan berada di luar Allah. Makin jelaslah bahwa Allah itu
Esa dan tidak ada dua “Ilah” yang saling berbeda dan terpisah serta mandiri dalam penyebutan akan “Bapa”
dan “Putra” mengenai Allah itu.

- Allah dan Roh Allah

Setelah kita bahas dinamika hubungan antara Allah dengan FirmanNya sendiri, maka selanjutnya haruslah
kita bahas dinamika hubungan antara Allah dengan RohNya sendiri. Roh Allah itu disebut oleh Kitab Suci
sebagai Roh Kudus. Dan Roh Kudus ini juga dikatakan sebagai “Roh Kebenaran”, serta dinyatakan sebagai
“yang keluar dari Bapa” (Yohanes 15:26). Berarti Ia berasal tinggal di dalam Bapa sendiri. Mengenai hal ini
Alkitab mengatakan:

“Karena kepada kita Allah menyatakanNya oleh Roh, sebab Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal
yang tersembunyi dalam diri Allah. Siapa gerangan yang diantara manusia yang tahu, apa yang
tersembunyi dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia? Demikian pulalah tidak
ada orang yang tahu,apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah.” (I Korintus 2 :10-11).

Dalam ayat ini hubungan antara Roh Allah dengan Allah dianalogikan seperti hubungan antara manusia
dengan rohnya sendiri. Sebagaimana roh manusia ada dalam diri manusia, dan mengetahui apa yang ada
di dalam diri manusia, demikianlah Roh Allah itu berada di dalam diri Allah dan mengetahui kedalaman
batiniah Allah, yaitu menyelidiki hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah (“bathi tou Theou”). “Bathi tou
Theou” artinya “kedalaman Allah”, itulah dzat-hakekat Allah Sebagaimana roh manusia berada dalam diri
manusia, dan satu dengan manusia itu secara tak terpisahkan, demikianlah Roh Allah yang ada di dalam
“bathi tou Theou” atau kedalaman dzaat-hakekat Allah adalah satu secara tak terpisahkan di dalam diri
Allah sendiri. Karena Ia memang RohNya Allah, sebab Allah itu hidup sehingga RohNya sebagai prinsip
hidup dan kuasa di dalam Allah itu berada di dalam Allah. Sudah kita bahas bahwa ciri khas hypostasis Roh
Allah itu disamping bersama Firman Allah berada di dalam dzaat-hakekat Allah, Ia juga “keluar dari Bapa”,
sebagaimana yang nyata dari pernyataan Sang Kristus yang demikian ini:

“……. Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, …..” (Yohanes 15:26).

Sang Kristus mengatakan mengenai Roh Allah itu bahwa“Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa” (“to
Pneuma tees aleetheias o para tou Patros ekporeuetai”) , ini. artinya bahwa Roh Allah itu asalnya dari
dalam Bapa (I Kor. 2:10-11), namun pada saat yang bersamaan juga “keluar pergi dari” (“ekpreuetai”) Bapa.
Dengan demikian jelaslah bahwa Roh itu mempunyai asal-usul dari esensi /dzat-hakekat Allah Allah sendiri,
karena Dia itu memang berada dalam kedalaman Diri Allah sebagai RohNya Allah. Roh Suci ini dikatakan
“keluar” dari Bapa, namun terjadinya bukan diluar diri Allah, karena pada saat Ia keluar ini Ia juga dikatakan
berada dalam Diri Allah. Berarti Ia keluar dari Allah untuk mencapai suatu tujuan yang juga ada di dalam
Diri Allah itu. TujuanNya adalah Firman Allah, karena Firman Allah inilah obyek-pandang dan obyek kasih
Allah secara kekal. Sebagaimana yang dikatakan oleh Firman Allah itu sendiri setelah penjelmaanNya
sebagai manusia: ” ….Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan” ( Yohanes 17:24).

Dengan demikian ini lebih merupakan gerak-hidup di dalam diri Allah sendiri. Gerak hidup ini adalah kasih
yang tercurah dari Allah kepada “FirmanNya” sendiri, dan terjadinya secara kekal serta diluar waktu (“…
sebelum dunia dijadikan…”). Padahal yang berfungsi untuk mencurahkan kasih Allah, baik sesudah ada
manusia, maupun dalam kekekalan adalah Roh Allah sendiri, karena Roh Allah itu adalah “Roh yang
kekal” ( Ibrani 9:14), sebagaimana dikatakan: ”kasih Allah telah dicurahkan ….. oleh Roh Kudus“ ( Roma 5:5).
Maka keluarNya Roh Allah dari Bapa, yang berlangsungnya di dalam Diri Allah Yang Esa itu sendiri, adalah
untuk berdiam di dalam Putra (Firman) sebagai “pencurah kasih Allah” yang ditujukan kepada “Firman” itu,
secara kekal. Pencurahan kasih oleh Roh Allah dalam “keluarNya Roh Kudus dari Bapa” secara kekal dan
diluar waktu ini bertindih tepat dengan “diperanakkanNya Firman Allah dari Bapa “ sebagaimana yang telah
kita bahas diatas.

KeluarNya Roh Kudus dari Bapa dari kekal azali sampai kekal abadi itu ada sangkut-pautnya dengan
diperanakkanNya Firman, karena bersamaan dengan diperanakkanNya Firman secara kekal itu pula maka
“kasih Allah” itu dicurahkan secara kekal atau “sebelum dunia dijadikan” kepada Firman oleh Roh Kudus.
Karena “Allah memandang DiriNya” di dalam FirmanNya itu dalam kasih. Sehingga keluarNya Roh Kudus
dari Bapa itu ada hubungannya dengan pernyataan kasih Allah kepada Firman Allah. Jadi ada suatu
lingkaran kasih dari Allah kepada FirmanNya, dan dari Firman kepada Allah melalui Roh yang sama itu
karena Firman itu “pros ton Theon” (“menuju kepada Allah”) -Yohanes 1:1. Hal ini berlangsung secara kekal.
Maka dapatlah kita mengerti bahwa keberadaan Allah itu adalah hidup yang dinamis, dan hidup dinamis
Allah dalam “FirmanNya” melalui “RohNya” itu adalah kasih yang timbal balik antara Allah dan FirmanNya di
dalam RohNya sendiri. Sehingga keberadaan Allah yang hidup itu adalah keberadaan "kasih"” Itulah
sebabnya Kitab Suci mengatakan bahwa “Allah adalah kasih” ( I Yohanes 4:8), bukan hanya yang
“mengasihi” tetapi “kasih “ itu sendiri. Maka tidak bisa tidak, Allah pasti mengasihi, karena “kasih” itulah
keberadaan Allah.

BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Fri Jan 04, 2008 2:22 pm

- Interaksi Antara Allah, Firman Allah, dan Roh Allah

Dari sinilah kita dapat mengerti bahwa hubungan antara Bapa (Allah Yang Esa), Putra (Firman Allah yang
berada secara kekal melekat satu dalam Diri Allah itu), dan Roh Kudus (Roh Allah yang juga berada secara
kekal melekat satu bersama Firman Allah dalam Diri Allah itu) itu adalah hubungan yang kekal. Dan
hubungan kekal dimana Roh Kudus keluar dari Bapa (Allah Yang Esa) dan tinggal di dalam Putra (Firman
Allah) itu bahkan dinyatakan dengan jelas pada manusia ketika Putra (Firman Allah) itu menjelma menjadi
manusia: yaitu saat Sang Kristus dibaptiskan.

Dinyatakan Kitab Suci demikian: “Sesudah dibaptis Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu
juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun keatas-Nya, lalu
terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: Inilah Anakku yang Kukasihi, kepadaNya-lah Aku
berkenan.” (Matius :16-17, Markus 1:9-10).

Data Alkitab diatas mengatakan bahwa “langit terbuka”, sebagai simbol dari terbukanya misteri sorgawi,
inilah pewahyuan atau penyataan Ilahi. Dan dari langit itu terdengar suara Bapa (Allah) yang dinyatakan
sebagai suara dari sorga. Dan dari langit atau dari sorga yang terbuka itulah “Roh Allah seperti burung
merpati turun”. Ini jelas menunjukkan pewahyuan bahwa Roh Allah itu memang berasal dari Bapa, atau
keluar dari Bapa, karena langit atau sorga itu simbol dimana Bapa berada. Dan berasal dari situ Roh Kudus
keluar dan turun. Serta tujuan sasaran keluarNya atau turunNya Roh Allah dari Bapa adalah “keatas-
Nya” yaitu kepada “Firman Allah “ yang menjelma :Yesus Kristus ini. Bersamaan dengan turunNya Roh
Kudus inilah maka dinyatakan suara Bapa “Inilah Anakku yang Kukasihi”. Itulah sebabnya peristiwa
baptisan Kristus ini dirayakan dalam Gereja Orthodox sebagai salah pesta besar Gereja setiap tanggal 6
Januari, sebagai perayaan “Epiphani” atau “Penampakan Ilahi”, karena misteri hubungan dalam diri Allah itu
untuk pertama kalinya dinyatakan pada manusia dalam bentuk yang begitu amat jelas dan kongkritnya.
Dengan demikian data Alkitab ini makin menegaskan apa yang sejauh ini kita bahas bahwa memang Roh
Allah itu keluarNya dari Allah (Bapa) saja, namun juga Ia tetap tinggal di dalam Allah, dan bahwa Anak Allah
(“Firman Allah”) itulah sasaran “kasih Allah” (“Yang Kukasihi”). Dan bahwa penyataan kasih Allah kepada
FirmanNya itu bertindih tepat dengan keluarNya Roh Allah dari Allah untuk tinggal pada FirmanNya,
sebagai pencurah kasih Allah tadi. Jadi Roh Allah itu bukan keluar dari Firman Allah, namun tinggal dalam
Firman Allah, sedangkan keluarNya hanya dari Bapa saja.

Meskipun kelihatannya Firman Allah yang menjelma itu terpisah dari Allah, karena Ia berada di dalam air
sungai Yordan sedangkan Allah berada di sorga, namun sebenarnya Ia tak terpisah, karena Ia mengatakan
ketika Ia berada diatas bumi ini: ”Aku dan Bapa adalah satu” (Yohanes 10:30) “…Engkau, ya Bapa, di dalam
Aku dan Aku di dalam Engkau….Kita adalah satu” ( Yohanes 17:21b, 22c), serta pernyataan Alkitab yang
lain “Sebab di dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allah-an.” ( Kolose 2:9 ).

Kelihatannya memang Firman Allah terpisah dari Allah, dan Roh Allah. Ini disebabkan Ia menampakkan diri
dalam wujud penjelmaanNya, sedangkan keilahianNya tak dapat dilihat mata. Namun dapat kita
bayangkan jika Roh Allah berwujud “seperti” (jadi bukan sungguh-sungguh demikian wujudNya) burung
merpati, lalu hinggap pada Yesus Kristus: Firman Menjelma itu, maka dapat kita lihat bahwa tanpa terpisah
dari Allah (buktinya Allahmasih hidup dan menyatakan FirmanNya kepada manusia, dan tetap berkuasa
buktinya dunia tidak lebur) yang di sorga, Ia juga tinggal pada Yesus Kristus (Firman Allah yang menjelma)
( karena Ia nampak hinggap diatasNya untuk tinggal padaNya), dengan demikian Roh Allah itu tinggal pada
Bapa namun juga pada Firman yang menjelma. Dengan demikian Firman Allah tetap satu dalam Allah,
melalui RohNya ini.

Sedangkan secara jasmaniah yaitu dalam wujud kemanusiaan yang nampak sedang dibaptis itu,
sebenarnya seluruh kepenuhan ke-Allah-an yang jelas tak dapat dilihat oleh mata itu, berdiam atau
bersemayam dan berada di dalam Dia yaitu didalam diri yang terdalam dari wujud penjelmaan Firman
Allah:Yesus Kristus, sebagai manusia yang nampak mata itu. Dengan demikian seluruh kepenuhan ke-Allah-
an yang ada di sorga itu ternyata berada di dalam FirmanNya juga bahkan secara jasmaniah dalam wujud
penjelmaanNya itu. Dengan demikian Firman Allah tetap satu dalam diri Allah bahkan ketika menjelma
menjadi manusia. Jadi Allah tetap tak terpisahkan dari FirmanNya dan Firmanpun tetap satu dengan Allah,
atau tinggal dalam Bapa.Padahal tinggalNya pada Bapa itu pada dzaat-hakekatNya yang Esa, berarti Yesus
Kristus baik secara kepenuhan ke-Allah-an, maupun melalui tinggalNya Roh Allah dalam Bapa dan dalam
DiriNya tetap satu didalam dzat-hakekat Allah yang Esa itu. Hanya hal itu tak terlihat mata, karena peristiwa
disini adalah peristiwa "penampakan" oleh karena itu memang yang nampak mata yang harus diketahui
manusia, sedangkan yang ghoib atau yang tak nampak mata tetap tak diketahui manusia. Keberadaan
kekal itulah yang dinyatakan dalam “epiphani” ini agar manusia dapat belajar dan mengerti rahasia
mengenai kebenaran hubungan antara hypostasis-hypostasis yang ada dalam Allah Yang Satu itu. Yaitu
“Firman” itu adalah Anak Allah yang menjadi sasaran “kasih” dan “perkenan Allah” dan bahwa Roh Kudus itu
keluar hanya dari Allah (Bapa) untuk tinggal di dalam “Firman“ bagi mencurahkan kasih Allah kepadaNya.

Oleh karena itu mengenai hal ini dikatakan oleh Yohanes Pembaptis sebagai saksi mata peristiwa
itu,demikian:

“Dan Yohanes memberi kesaksian katanya:“Aku telah melihat Roh turun dari langit seperti merpati, dan Ia
tinggal diatasNya.” ( Yohanes 1: 32 ).
Kesaksian Yohanes ini menegaskan bahwa “Roh Allah” turun dari langit, yaitu keluar dari Bapa”, serta “Ia
tinggal” diatas Putra, dan tentunya langsung juga kedalamNya. Karena Allah “..mengaruniakan RohNya
dengan tidak terbatas (kepada FirmanNya ini)” ( Yohanes 3:34) Berarti Roh Allah itu tinggal dalam Allah
namun juga sekaligus tinggal dalam Firman Allah, padahal Firman itu juga tinggal di dalam Allah,
sebagaimana Allah juga tinggal di dalam FimanNya, otomatis Firman juga tinggal dalam Roh Allah dan
Allahpun tinggal dalam RohNya sendiri. Demikianlah ketika dibicarakan tiga hypostsis ternyata ketiganya itu
adalah satu, karena saling mendiami secara tak terpisahkan. Ketika dibicarakan yang satu, ternyata
terdapat di dalam yang satu ini hypostasis Firman Allah dan hypostasis Roh Allah, karena memang Allah itu
Esa. Oleh karena itu di dalam Gereja Orthodox penyatan perayaan pembaptisan Kristus ini dinyatakan
sebagai penyataan Ilahi mengenai Tritunggal Maha Kudus, yaitu penyataan ilahi dari hubungan yang ada
diantara Allah, FirmanNya sendiri, dan RohNya yang kekal di dalam DiriNya Yang Esa itu.

Karena “keluarNya” Roh Kudus dari Bapa sejak kekal itu berfungsi sebagai pencurah kasih Allah kepada
Firman Allah, dan bertindih tepat dengan berlangsungnya Bapa menyatakan diriNya di dalam FirmanNya,
maka disinilah Roh Kudus mencurahkan kasih Bapa sepenuhnya kepada Putra (Firman) dan sekaligus Roh
Kudus memantulkan balik kasih Anak kepada Bapa. Demikianlah Roh Kudus berfungsi ganda dalam gerak
hidup ilahi Yang Esa itu, sebagai pencurah kasih Allah kepada Putra (Firman) dan sebagai pemantulkan
kasih itu dari Putra (Firman) kepada Bapa (Allah Yang Esa), sebagaimana yang terkandung dalam makna
kata“ O Logos pros ton Theon” (Yohanes 1:1) “ O Logos = Fiman itu, pros ton Theon = menuju kepada Allah”
yang bermakna berhadap-hadapan dengan Allah”, inilah keberadaan saling memandang secara kekal itu.
Bapa melihat CitraNya sendiri dan mengasihi CitraNya itu, yang mana kasih itu dicurahkan oleh Roh Kudus
kepadaNya. Dan Putra (Firman Allah) itu memantulkan kembali kasih Bapa, sehingga di dalam Allah Yang
Esa terdapat satu gerakan kasih yang kekal.

Maka fungsi Roh Kudus itu bukanlah untuk menyatakan diriNya sendiri namun untuk menyatakan Putra
(Firman Allah), yaitu menjadi lingkup Allah sendiri untuk mengenal diriNya di dalam FirmanNya itu, atau
sebagai lingkup penyataan diri Allah melalui FirmanNya. Itulah yang dimaksud oleh Sang Kristus mengenai
Roh Kudus, yang berikut ini:

“Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan menuntun kamu dalam seluruh kebenaran; sebab
Ia tidak akan berkata-kata dalam diriNya sendiri, tetapi segala sesuatu yang di dengarNya itulah yang akan
dikatakanNya dan Ia akan memberitakan kepadamua hal-hal yang akan datang.Ia akan memuliakan Aku,
sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimaNya dari padaKu.Segala sesuatu yang Bapa
punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata:Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimaNya
dari padaKu.”( Yohanes 16:13-15 ).

Memang ayat ini berbicara mengenai pekerjaan Roh Kudus di dalam dunia ini kepada manusia. Namun
karena aktivitas hubungan dari setiap hypostasis di dalam Allah itu adalah kekal, maka demikian pula apa
yang dikatakan dalam ayat ini mengenai karya Roh Kudus itu itupun bersifat kekal. Aktivitas Roh Kudus
menurut ayat ini ialah “memuliakan Aku” serta “akan memberitakan kepadamu apa yang
diterimaNya dari padaKu”. Roh Kudus memuliakan Kristus karena Ia menerima isi berita dari Kristus.
Berarti isi berita yang disampaikan oleh Roh Kudus adalah Kristus, karena Ia memuliakan Kristus, namun
sumbernya juga dari Kristus. Maka jelas Kristuslah yang dinyatakan Roh Kudus dan bukan diriNya sendiri,
Roh Kudus tidak mengambil dari diriNya sendiri tetapi dari Kristus, karena bukan diriNya yang dinyatakan
tetapi Kristus.. Maka Roh Kudus adalah sarana dan lingkup dimana Kristus dimengerti dan difahami yaitu
diwahyukan.

Lebih jauh dikatakan “diterimaNya dari padaKu, sebab segala sesuatu yang Bapa punya adalah Aku
punya.” Ini bermakna bahwa Roh Kudus menyampaikan kebenaran tentang Kristus, namun Kristus
menerimanya dari Bapa. Karena “segala yang Bapa punya adalah Aku punya” atau dengan kata
lain ”Apa yang menjadi milikMu adalah milikKu, milikKu adalah milikMu.” (Yohanes 17:10), sehingga ketika
Roh Kudus berkarya maka “Friman Allah” yang dinampakkan, namun karena milik dan punya Bapa adalah
juga milik atau punyaNya Firman, jelas dengan Firman dinampakkan atau diwahyukan Roh Kudus, maka
sekaligus Bapa yang diwahyukan. Itulah sebabnya melalui FirmanNya di dalam RohNya ini Bapa dapat
memandang DiriNya. Demikian juga dengan mengenal Kristus manusia mengenal Allah. Serta dengan
melihat Kristus orang telah melihat Allah. Karena melalui Roh Kudus itu punya Kristus dinyatakan pada
manusia, dan punya Kristus adalah punya Bapa.

Demikianlah berarti punya dan milik Roh Kudus, adalah punya dan milik Firman, dan punya dan milik
Firman adalah punya dan milik Bapa. Sehingga dalam hypostasis Roh Allah, Firman Allah dan Allah sendiri
dimana kedua hypostasis itu bersemayam terdapat satu milik dan satu kepunyaan. Yaitu hanya terdapat
satu esensi / dzat- hakekat, satu sifat-sifat ilahi, satu kemuliaan, satu kekekalan, satu kuasa. Yang semuanya
itu bersumber dari Allah yang Esa dan dimiliki oleh Firman dan RohNya sekaligus, karena kedua hypostasis
ini berdiam dalam hakekat diri Allah yang satu itu. Dengan demikian makin menegaskan bahwa Allah itu
esa, dengan memiliki hypostasis Firman dan Roh Allah di dalam hakekat diriNya yang Esa itu. Dilihat secara
bersama ketiga hypostasis itu adalah satu Allah,karena berada dalam satu hakekat dengan sifat-sifat yang
tuggal. Dilihat pada masing-masingnya Bapa itu Allah, karena Ialah sumber ke-Allah-an dimana hakekat ke-
Allah-an yang satu itu berada, Firman (Anak) itu Allah karena Ia berada dalam hakekat ke-Allah-an yang satu
dan yang sama di dalam Bapa serta seluruh kepenuhan ke-Allah-an berdiam di dalamNya, Roh Allah (Roh
Kudus) itu Allah karena alasan yang sama seperti halnya keilahian Firman Allah. Namun bukan berarti ada
tiga Allah, sebab keAllahan yang dimiliki masing-masing hypostasis itu adalah ke-Allah-an yang satu dan
yang sama yang berada dalam diri Allah yang Esa, karena baik Firman maupun Roh itu tinggalnya di dalam
hakekat Allah yang satu itu, dan didalam Firman dan Roh Allah ini hakekat ke-Allah-an yang satu yang
dimilik Bapa (Allah Yang Esa) itu juga tinggal.

Karena yang dinyatakan oleh Roh Kudus itu diambil dari Firman (Putra), dan pada hakekatNya itu milik
Bapa (Allah) karena Roh Kudus itu mencurahkan kasih dan segala kepenuhan Bapa kepada Firman, serta
milik Bapa yang telah dicurahkan pada Firman itu oleh Putra (Firman) ini di dalam Roh yang sama
dipantulkan kembali kepada Bapa, maka jelaslah bahwa ketiga hypostasis dalam Allah yang Esa itu
meskipun bisa dibedakan ciri-ciri khas masing-masing tetapi tidak bisa dipisahkan.

Dari interaksi yang ada antara ketiga hypostasis di dalam diri Allah yang Esa ini terlihat lingkaran gerakan
kasih dan kemuliaan yang kekal di dalam Allah. Bersamaan dicurahkanNya kasih Allah dicurahkan pula
kemuliaan dan kepenuhan Allah itu kepada Firman Allah (Putra) melalui Roh Kudus. Sehingga oleh interaksi
yang demikian ini disamping Roh Kudus itu sepenuhnya didalam Bapa (I Korintus 2:10-11) Ia juga berdiam
sepenuhnya didalam Putra. Karena memang “Allah mengaruniakan RohNya dengan tidak
terbatas” (Yohanes 3:34), kepada FirmanNya ini. Secara sempurna Roh itu berada dalam dzat-hakekat Bapa
yang Esa itu, namun sepenuhnya Ia berdiam juga pada Firman Allah yang juga berada dalam dzat-hakekat
Allah Yang Esa yang sama itu. Sehingga Firman yang secara sempurna diam di dalam Bapa karena Dia
adalah FirmanNya Bapa, itu juga sepenuhnya diam di dalam Roh Kudus karena Roh Kudus itu tidak
menyatakan diriNya sendiri tetapi menyatakan, memuliakan, dan membuat relita kongkrit dari jatidiri
Firman (Putra) dinyatakan pada Bapa, dalam saling-pandang yang kekal itu. Selanjutnya Bapa (Allah Yang
Esa)-pun diam didalam Roh Kudus karena Roh Kudus itu memantulkan atau mencurahkan kepenuhan
keAllahan Bapa kepada Firman (Putra), sekaligus juga diam dalam FirmanNya karena FirmanNya
merupakan “tajjali” dan “GambarNya” sendiri.

Ketiga hypostasis ilahi ini jelas bukan Tiga Allah karena masing-masingnya saling diam-mendiami satu di
dalam yang lain dan berada dalam dzat-hakekat Allah yang satu dengan sifat-sifat ilahi yang tunggal dan
sama bertindih tepat itu. Ciri khas masing-masing memang dapat dibedakan namun jelas tak dapat
dipisahkan. Karena hypostasis-hypostasis ini bukan ilah-ilah yang saling terpisah dan saling mandiri, namun
realita-realita kongkrit dari keberadaan kekal didalam diri Allah Yang Esa itu, dengan satu hypostasis
berada di dalam hypostasis yang lain secara tak terpisahkan. Bahwa ketiga hypostasis ilahi ini tak
dipisahkan itu adalah jelas karena Bapa tinggal di dalam Firman sepenuhnya dan FirmanNya tinggal di
dalam Bapa. Bapa tinggal di dalam RohNya, RohNya sepenuhnya tinggal di dalam Bapa. Roh tinggal dalam
Firman, dan Firmanpun tinggal dalam Roh seperti yang telah kita bahas diatas.

Karena sifat mewahyukan Diri melalui Firman atau SabdaNya secara kekal di dalam Roh Kudus inilah, maka
Allah itu menyatakan diriNya kepada manusia melalui FirmanNya dalam Roh Kudus yang sama ini,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Kitab Suci demikian::

“Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan
bersaksi tentang Aku.” ( Yohanes 15:26 ).

“Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari
padaKu.” ( Yohanes 16:14 ).

Roh Kudus “keluar dari Bapa” untuk “bersaksi tentang Firman”, yaitu untuk menyatakan Firman itu, dalam
proses penyataan itu kepada Bapa, maka Roh Kudus oleh Firman dikembalikan kepada Bapa, yaitu “diutus
oleh Firman” sehingga kepada Bapa Firman itu disaksikan atau dinyatakan. Sehingga Bapa melihat DiriNya
melalaui Firman di dalam Roh Kudus. Namun “pengutusan Roh Kudus” oleh Firman bagi bersaksi tentang
Firman itu berlanjut setelah adanya ciptaan. Karena sumber pewahyuan Firman kepada manusia itu
berlandaskan kodrat kekal yang ada di dalam Allah, dimana memang Firman itu sarana penyataan diri Allah
di dalam Roh Kudus, sebagaimana dikatakan : ”..tidak seorangpun mengenal Bapa (Allah yang Esa) selain
Anak (Firman Allah; karena Ia berada satu dan kekal di dalam Bapa, serta Ia yang secara kekal memandang
Bapa)) dan orang yang kepadanya Anak itu (Firman Allah itu) berkenan menyatakanNya” ( Matius 11:27).

Ayat ini menjelaskan bahwa manusia mengenal Allah hanya karena perkenan Firman itu untuk
menyatakanNya, berarti Firman memang sarana penyataan Diri Allah. Namun penyataan Diri Allah kepada
manusia oleh Firman ini disebabkan karena Firman itu telah mengenal Bapa, yaitu mengenal sejak kekal
dalam hakekat Allah yang Esa itu sendiri. Berarti apapun karya Firman Allah dalam hubungannya dengan
Allah di dunia ini, pada hakekatnya disebabkan oleh hubungan kekal yang sudah ada dalam kekekalan
azali, dan karyaNya di dunia ini hanya penyataan dan manifestasi dari keberadaan kodrat hubungan kekal
yang sudah ada itu. Dan cara Firman itu menyatakan Bapa (Allah yang Esa) adalah melalui Roh Kudus yang
diutusNya, atau yang dipantulkan kembali setelah Ia menerimaNya dari Bapa. Melalui pemantulan Diri
Firman itulah dikatakan Roh itu “memberitakan… ..apa yang diterima daripadaKu/Firman”. Roh Kudus
menyatakan Firman (“memberitakan”, “memuliakan”, “bersaksi” tentang Firman), karena Ia menerima dari
Firman, artinya didalam Roh itu Firman tinggal sebagai yang dipantulkan olehNya, meskipun Roh itu
keluarNya hanya dari Bapa saja. Jadi Allah mengenal diriNya melalui FirmanNya di dalam RohNya yang
keluar dari diri Allah sendiri sebagai satu-satunya sumber keberadaan kekal dari Roh itu. Karena Roh itu
yang memantulkan Firman Allah (- Firman yang diperanakkan dari dalam Allah sejak kekal itu-) kepada Allah
sendiri. Dengan tercurahNya Roh itu kepada Firman., dan menerima apa yang ada dalam Firman itu. Dan
keberadaan ini yang dinyatakan kepada manusia, sehingga dikatakan:

“Jikalau Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup untuk mereka, yang akan binasa,
yaitu orang orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga
mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah Sebab Allah
telah berfirman: Dari dalam gelap akan terbit terang ! Ia juga membuat terangNya bercahaya di dalam hati
kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah
Kristus”. ( II Korintus 4:3-4,dan 6 )

Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Kristus (Firman Allah yang menjadi Manusia), adalah gambaran Allah,
karena itulah kemuliaan Allah ….. nampak pada wajah Kristus. Bagi orang yang akan binasa, yaitu orang
kafir, yang pikirannya dibutakan oleh Iblis yaitu ilah zaman ini, mereka tak dapat melihat kemuliaan Kristus
ini, sehingga mereka dapat mengenal kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus, sebagai Firman
Allah yang menjelma itu. Ini disebabkan hanya Roh Kudus saja yang dapat menyatakan kemuliaan Kristus
atau ke-Tuhan-an Kristus itu sebagaimana dikatakan:

“……tidak ada seorangpun , yang dapat mengaku: “ Yesus adalah Tuhan” selain oleh Roh Kudus.” ( I Korintus
12:3 ).

Roh Kudus adalah lingkup dimana kemuliaan Kristus dapat dimengerti, dan kebaradaan ini memang
keberadaan kekal di dalam Diri Allah yang Esa itu. Jika Roh Kudus menyatakan diri yang dinyatakan adalah
kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus. Manifestasi Roh Kudus adalah untuk “memberitakan”
dan “memuliakan” serta “bersaksi” tentang Sabda Allah / Firman Allah / Anak Allah. Jadi bukan untuk diriNya
sendiri Roh Kudus itu menyatakan diri itu. Maka jika ada yang mengatakan bahwa dengan Gereja Orthodox
menolak sisipan “Filioque” pada Pengakuan Iman Nikea yang asli – yang akan kita bahas dibawah -, lalu
menyebabkan adanya Teologi Mistik yang tidak Kristosentrik (berpusat pada Kristus), itu adalah suatu
kekeliruan dan kesalah-fahaman bahkan ketidak-tahuan yang serius terhadap Iman Kristen Orthodox ini.
Karena dalam pengajaran Iman Orthodox, Roh Kudus keluar dari Bapa saja, namun langsung tinggal dalam
Putra, dan oleh Putra langsung diutus kepada Bapa yaitu dipantulkan sehingga Putera itu diberitakan,
disaksikan dan dimuliakan atau dinyatakan kepada Bapa, dan selanjutnya juga kepada umat manusia.
Dengan demikian pengakuan bahwa keluarNya Roh Kudus dari Bapa saja itu tak menyebabkan mistik yang
tidak Kristosentris, karena Roh Kudus yang keluar dari Bapa dan diam di dalam Firman /Putra ini untuk
memuliakan dan menyaksikan tentang Putra/ Firman ini. Sehingga tanpa Roh Kudus, tidak ada penyataan
Diri Allah di dalam FirmanNya kepada Allah sendiri, dan dengan demikian juga dalam tingkat ciptaan,
manusia tidak bisa mengaku atau mengerti tentang keIlahian Yesus Kristus tanpa Roh Kudus ini, akibatnya
manusia tak dapat mengenal Allah secara benar.

Firman Allah “Diperanakkan dari Bapa” serta Roh Allah “Keluar dari Bapa”

Sudah kita bahas bahwa ciri khas hypostasis dari Firman Allah adalah”diperanakkan dari Bapa”. Maksud
“diperanakkan dari Bapa” adalah Firman Allah itu “diwahyukan oleh Bapa” dengan maksud supaya Bapa
melihat diriNya sendiri. Dengan demikian Bapa melihat gambarNya sendiri, karena Firman Allah adalah
“Gambar Allah yang tak kelihatan “ ( Kolose 1:15), serta “ Gambar Wujud/ kharakteer” yaitu “Tindasan Tepat”
dari keberadaan Allah sendiri (Ibrani 1:3) Melalui “pewahyuan diri Allah” inilah “Gambar Allah” itu terlahir
secara kekal, itulah sebabnya keberadaan pewahyuan kekal di dalam diri Allah ini disebut sebagai
“diperanakkan” Nya Firman Allah dari Bapa, dan dengan demikian Firman itu sendiri mendapat julukan
sebagai “Anak Allah”, meskipun Allah itu secara bilogis tak beranak dan tak diperanakkan, karena Allah itu
memang tak memiliki sifat biologis. .

Sedangkan ciri khas dari hypostasis Roh Allah adalah bahwa Roh Kudus itu ”keluar” dari Bapa. Dan sudah
kita bahas bahwa “keluarNya” Roh Kudus dari Bapa ini bukan dimaksudkan sebagai penyataan diri Allah,
namun untuk memantulkan Firman Allah/Putra ini kembali kepada Bapa. Jadi Roh Kudus bukanlah sebagai
yang menyatakan Diri Allah untuk menjadi Gambar Allah, sehingga karenanya Ia bukan disebut Anak, tetapi
Ia adalah Roh sebagai lingkup untuk memantulkan Firman Allah/Putra kepada Bapa. Itulah sebabnya
“keluarNya” Roh Kudus dari Bapa itu tidak disebut sebagai “diperanakkan” namun hanya “keluar” saja. Oleh
sebab itu meskipun Firman Allah dan Roh Allah sama-sama keluar dari Allah, namun karena perbedaan ciri
khas dan “hubungan yang ada” dengan dan di dalam Allah ini maka kata “diperanakkan” bagi ciri khas
Firman Allah ini dengan kata “keluar” bagi ciri khas Roh Allah harus dibedakan dan harus dimengerti
perbedaannya.

Roh Kudus sebagai Roh Allah, Roh Bapa, Roh Anak Allah, Roh Kristus, serta Roh Yesus.

Roh Kudus adalah Roh yang “bersemayam didalam diri Allah” ( I Kor. 2:10-11) dan yang : ”keluar dari Bapa“ (
Yohanes 15: 26), sebagai hypostasis dari prinsip kuasa dan hidup Allah. Karena asal dan tempat
bersemayamNya secara kekal di dalam Allah inilah maka Roh Kudus itu disebut sebagai “Roh Allah” atau
“Roh Bapa”, sebagaimana yang dikatakan oleh Kitab Suci demikian: ” ….Roh Allah turun seperti burung
merpati….” ( Matius 3: 16). Sebutan “Roh Allah” bagi Roh Kudus ini dapat kita jumpai dalam banyak sekali
ayat-ayat Perjanjian Baru ( Matius 12:28 , Roma 8:9, 14, I Kor:11,12,14, 3:16, 6:11, 7:40, 12:3, dll.). Sedangkan
sebutan Roh Kudus sebagai Roh Bapa dapat kita jumpai misalnya dalam pernyataan Kitab Suci yang
demikian: ”Karena bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Bapamu;….di dalam kamu” ( Matius
10:20).

Disamping itu, dalam kekekalan azali Roh Kudus selalu “memuliakan, bersaksi, dan memberitakan” yaitu
menyatakan dan memantulkan kemuliaan Firman Allah/Putra, kembali kepada Bapa. Ini bermakna Roh
Kudus itu secara penuh bersemayam dan tinggal dalam Firman Allah, atau Anak Allah. Karena
hubunganNya dengan Anak Allah atau Firman Allah yang demikian inilah maka Roh Kudus disebut sebagai
Roh Anak Allah, karena Dialah yang memuliakan dan yang menyaksikan Sang Putra ini. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Kitab Suci demikian: ”….Allah telah menyuruh Roh AnakNya….” (Galatia 4:6).Dan karena itu
pula Ia disebut sebagai “Roh Kristus” ( Roma 8:11) “Roh Yesus“ ( Kisah 16:7). Dengan demikian yang
dimaksud sebagai Roh Anak, Roh Yesus, Roh Allah dan Roh Bapa itu tak lain adalah Roh Kudus.

Dengan terdapatnya data Kitab Suci yang menyatakan Roh Allah sebagai Roh Anak, Roh Yesus, dan Roh
Kristus, Gereja Barat (Roma Katolik, yang kemudian juga diikuti Protestan) mentafsirkan bahwa Roh Kudus
juga “keluar” dari Anak, disamping Ia keluar dari “Bapa”. Sehingga Roh Kudus dinyatakan “keluar dari Bapa
dan Anak”, dan muncullah “sisipan Filioque” pada Pengakuan Iman Nikea yang asli. Pembahasannya akan
kita lihat secara khusus dibawah nanti. Karena Roh Kudus yang bersemayam dalam Allah yang Esa (Bapa)
itu juga keluar dari Bapa untuk tinggal dan bersemayam pada Firman (Putra), serta memantulkan Firman
itu kepada Bapa dan menyatakan Firman tadi, maka jelaslah bahwa Roh Kudus itu memang hanya “keluar”
dari Bapa, namun bersemayam dalam Firman, sehingga Ia disebut juga sebagai Roh Anak, atau Roh Kristus.
Namun Ia tidak keluar dari “Bapa dan Anak”.

Disamping itu sebutan tersebut disebabkan oleh hubungannya dengan manusia dimana Roh Kudus yang
“keluar dari Allah” itu dicurahkan kepada manusia melalui Kristus yang sudah bangkit itu, sehingga
menyebabkan Roh Kudus itu disebut sebagai “Roh Anak”, “Roh Yesus“, atau “Roh Kristus” itu, namun sejak
kekal Roh Kudus hanya keluar dari Bapa saja, sebagaimana yang dikatakan: ”Yesus inilah yang
dibangkitkan Allah,….dan sesudah Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah ( yaitu: diangkat ke sorga
serta duduk di sebelah kanan Allah) dan menerima Roh Kudus (yaitu:dari Allah yang telah
membangkitkan dan meninggikanNya itu; berarti Roh Kudus itu sejak kekal memenag hanya keluar dari
Allah saja) yang dijanjikan itu, maka dicurahkan-Nya (yaitu: Roh Kudus yang hanya keluar dari Allah
yang telah dikaruniakan kepada Yesus sesudah peninggianNya itu, oleh Yesus dicurahkan kepada manusia.
Sehingga manusia menerima Roh Kudus yang sejak kekal hanya keluar dari Allah/Bapa itu melalui Yesus
Kristus. Karena turunNya dan dicurahkanNya kepada manusia terkait dengan Yesus itulah maka Roh Allah
yang sejak kekal hanya keluar dari Allah/Bapa saja itu, juga disebut sebagai “Roh Anak”, “Roh Yesus”, dan
“Roh Kristus”) apa yang kamu lihat dan dengar disini” ( Kisah Rasul 2:32-33).

Dalam makna inilah maka Kitab Suci menyebut Roh Allah itu secara silih berganti dengan sebutan sebagai
Roh Kristus, bahkan sebagai Kristus sendiri. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan Kitab Suci dibawah ini:
“Tetapi kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam Roh, jika memang Roh Allah diam di dalam
kamu.Tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus ia bukan milik Kristus.Tetapi jika Kristus ada di dalam
kamu, maka tubuh memang mati karena dosa, tetapi roh adalah kehidupan oleh karena kebenaran. Dan
jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia
yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang
fana itu oleh RohNya, yang diam di dalam kamu.” ( Roma 8:9-11 ).

Kutipan ayat-ayat ditas ini menunjukkan kesilih-bergantian nama yang digunakan untuk Roh Allah itu. Ia
disebut “Roh” saja untuk menunjukkan hypotasisNya pada diriNya sendiri tanpa hubunganNya dengan
Bapa dan FirmanNya.. Namun Ia disebut sebagai “Roh Allah diam di dalam kamu” untuk hubunganNya
dengan Allah, sebagai yang keluar dan bersemayam dalam Diri Allah karena Dia adalah RohNya Allah.
Selanjutnya Roh itu juga disebut sebagai “Roh Kristus”: “…tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus,
…” untuk menunjukkan “keluarNya” Roh itu dari Allah adalah untuk bersemayam kepada Firman baik
secara kekal maupun setelah penjelmaanNya sebagai manusia yang bergelar sebagai “Kristus”. Sehingga
Roh itu juga adalah Roh Kristus, karena bersemayam di dalam Kristus. Selanjutnya Roh Kristus juga
disamakan dengan Kristus sendiri, sebagaimana yang dikatakan : ”…. jika orang tidak memiliki Roh
Kristus ia bukan milik Kristus.Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu…..” .

Menurut ayat ini “memiliki Roh Kristus” berarti “Kristus di dalam kamu”, yang berarti Roh Kristus itu
identik dengan Kristus sendiri. Makna ayat ini adalah bersemayamNya Roh Kudus di dalam manusia
maupun dipantulkanNya kepada Bapa dari Firman, itu bukanlah untuk menyatakan diriNya sendiri tetapi
menyatakan Kristus. Baik itu dalam kekekalan azali dalam hubungan interaksi yang ada antara Allah,
FirmanNya dan RohNya dalam DiriNya yang Esa, maupun pada saat menyatakan Kristus kepada manusia.
Sehingga jika Roh Allah yang hadir, otomatis Roh itu menghadirkan Kristus, sehingga Kristus sendiri yang
hadir melalui Roh tadi.

Selanjutnya dikatakan “Dan jika Roh Dia yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang
mati” Dalam kalimat ini Roh Kristus itu disebut sebagai “Roh Dia yang membangkitkan Yesus”, padahal
yang membangkitkan Yesus adalah Bapa, berarti Roh Kristus disini disebut sebagai Roh Bapa sendiri.
Selanjutnya Bapa atau Allah yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati itu dinyatakan
sebagai yang “… akan membangkitkan tubuhmu yang fana itu oleh RohNya yang diam di dalam
kamu…” Berarti yang diam di dalam manusia beriman itu adalah RohNya Allah, tetapi juga RohNya Kristus,
dan Kristus sendiri. Dengan demikian dalam kutipan kita diatas ada sebutan yang saling bertindih antara
“Roh”, “Roh Allah/Bapa”, “Roh Kristus, dan “Kristus”sendiri. “Roh Kudus“ itu disebut “Roh” demikian saja, jika
yang dimaksud adalah keberadaan hypostasisNya sendiri tanpa melihat hubungannya di dalam Allah
dengan Firman Allah itu yang sedang dibahas. Namun dalam ayat-ayat lain dalam Kitab Suci Roh ini pada
diriNya sendiri juga diberi sebutan sebagai “Roh Kudus” untuk menunjukkan sifatNya yang kudus dan
karyaNya yang menguduskan (Roma 5:5, I Kor. 6:11). Disamping itu sebagai yang menyampaikan Kristus
“Sang kebenaran” itu ( Yohanes 14:6), maka Roh Allah itu pada diriNya sendiri juga disebut sebagai “Roh
Kebenaran” ( Yohanes 14:17,15:26).

Namun jika dilihat dalam hubungannya dengan Allah sebagai yang “diam di dalam diri” Allah (I Kor. 2:10-
11), dan yang “keluar dari Bapa “ ( Yohanes 15:26) maka Roh itu disebut sebagai “Roh Allah” atau “Roh
Bapa”. Sedangkan dalam hubungannya dengan Kristus (Anak Allah, Firman Allah yang menjadi manusia)
sebagai sasaran akhir keluarNya dari Bapa serta sebagai yang dimuliakan, disaksikan, dinyatakan serta
dihadirkan oleh Roh itu maka Ia disebut sebagai “Roh Anak”, serta“Roh Kristus” atau
disebut “Kristus” sendiri. Demikian juga dalam hubunganNya dengan Allah, Roh Kudus pada saat yang
bersamaan disebut sebagai “Roh Allah” dan “Allah” sekaligus. Hal ini dinyatakan demikian:

“Tidak tahukah kamu bahwa kamu adalah Bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu ?” ( I
Korintus 3:16 ).

Ayat ini menjelaskan bahwa umat Korintus (“kamu”) adalah “Bait Allah” atau “Rumah Allah”. Ini bermakna
bahwa Allah berada dalam komunitas umat Korintus, seolah-olah sebagai rumahNya, yang berarti Allah itu
diam di dalam umat itu. Namun selanjutnya dinyatakan bahwa “Roh Allah” itu yang diam di dalam “kamu”.
Dengan demikian komunitas umat Korintus itu dikatakan sebagai “Bait Allah” atau “ Rumah Allah”, karena
Roh Allah diam di dalam mereka. Berarti Allah diam pada umat itu di dalam “Roh Allah”. Dengan demikian
“Roh Allah” itu juga disebut “Allah” sendiri. Sebab Allah menghadirkan diri melalui Roh itu, di dalam Kristus.
Jika Kristus hadir maka Allah yang dinyatakan, dan cara Kristus hadir adalah melalui Roh Allah. Itulah
sebabnya dikatakan:

“Di dalam Dia (Kristus) kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam
Roh” ( Efesus 2:22 ).

Allah hadir dalam umatNya sebagai “tempat kediaman Allah” oleh Kristus, di dalam Roh. HadirNya Roh
Allah berarti sekaligus hadirNya Allah sendiri. Dari beberapa bagian Kitab Suci yang telah kita kutip diatas
dapatlah kita ambil kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut. Jika Roh Allah hadir, maka Roh Kristus itulah
yang hadir, dan sekaligus Kristus itulah yang hadir. Jika Roh Kristus itu hadir maka Roh “Dia yang
membangkitkan Kristus” atau “Roh Bapa/Allah” itulah yang hadir. Jika Roh Allah hadir maka Allah itu sendiri
yang hadir. Jika Kristus hadir maka Allah itulah yang hadir, karena “kemuliaan Allah…nampak pada
wajah Kristus”, dan “..Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku..”. Sehingga jika Roh Allah hadir maka
“Bapa dan Anak” itu sekaligus hadir. Sebagaimana yang dikatakan demikian: “Aku akan meminta kepada
Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu
selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat
Dia dan tidak mengenal Dia. tetapi kamu mengenal Dia sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di
dalam kamu. Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku akan datang kembali
kepadamu. Tinggal sesaat lagi dan dunia tidak akan melihat Aku lagi, tetapi kamu melihat Aku,
sebab Aku hidup dan kamupun akan hidup. Pada waktu itulah kamu akan tahu, bahwa Aku di
dalam BapaKu dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Barangsiapa memegang perintahKu
dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi
oleh BapaKu dan Akupun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diriKu kepadanya. Yudas yang
bukan Iskariot, berkata kepadaNya: “Tuhan, apakah sebabnya maka Engkau hendak menyatakan
diriMu kepada kami, dan bukan kepada dunia ?” Jawab Yesus: “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan
menuruti firmanKu dan BapaKu akan mengasihi dia dan KAMI (“Bapa dan Anak” = “Allah dan
FirmanNya”) akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia.” (Yohanes 14: 16-23).

Menurut ayat-ayat ini Roh Kebenaranlah yang akan diam di dalam manusia, namun juga jika manusia
mengasihi Kristus, maka Bapa dan Putra itu yang akan diam bersama-sama dengan orang itu. Ini berarti
yang hadir dalam manusia adalah Roh Allah, namun sekaligus melalui kehadiran Roh Allah ini, Allah dan
FirmanNya sendiri yang hadir di dalam manusia. Demikianlah memang Tritunggal Maha Kudus itu Esa
adanya, karena kehadiran hypostasis yang satu itu juga adalah kehadiran hypostasis yang lain secara tak
terpisahkan. Melalui Roh Kudus yang tinggal di dalam manusia, maka seluruh keberadaan Allah “Bapa dan
Anak” ( “Allah dan Firman”), dan sekaligus “Roh Allah” itu sendiri yang tinggal; pada manusia. Maka dapat
dikatakan bahwa keseluruhan keberadaan Tritunggal Mahakudus itu yang diam di dalam manusia. Karena
Tritunggal Mahakudus itu bukan tiga ilah atau tiga tuhan yang berbeda-beda dan terpisah-pisah, namun
keberadaan realita kongkrit (hypostasis) di dalam Diri Allah yang Esa itu sendiri. Sebab hadirNya Roh Kudus
itu untuk menyatakan Anak Allah/Firman Allah, dengan demikian Firman Allah berada di dalam Roh Kudus.
Padahal Firman Allah/ Anak Allah itu menyatakan Bapa, berarti Bapa ada di dalam Firman Allah/Anak Allah.
Sebaliknya baik Roh Allah maupun Anak Allah itu berada di dalam Allah, berarti memang ketiga hypostasis
itu memang Esa tak terpisahkan. Sehingga kehadiran hypostasis yang satu adalah kehadiran keseluruhan
hypostasis dalam Allah yang Esa itu. Karena dalam ketiga hypostasis itu hanya terdapat satu dzat-hakekat
Allah, dan di dalam masing-masing hypostasispun dzat-hakekat Allah yang satu dan yang sama itu yang
hadir, sedangkan ketiga hypostasis itu juga berada dalam dzat-hakekat Allah yang satu itu.

Maka sebagai Roh Allah yang bersemayam di dalam dzat-hakekat Allah yang satu bersama Firman Allah,
maka Roh Kudus mempunyai sifat yang satu dengan “Bapa dan Putra” itu, yaitu sifat “dunia tidak melihat
Dia dan tidak mengenal Dia”, yang artinya manusia tak dapat mengerti Dia tanpa pewahyuan DiriNya. Hal
yang sama berlaku bagi sifat “Bapa dan Anak”, sebagaimana yang dikatakan:

“….tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dam tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan
orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya.” ( Matius 11:27 ).

Kebenaran ini menunjukkan bahwa sifat-sifat Allah itu adalah tunggal. Sifat Allah, yang dalam hal
pembahasan kita ini adalah sifat “tak dapat diketahui” itu, karena Allah mempunyai sifat dzat-hakekat atau
(essensi) yang hanya satu, karena Allah itu Esa. Sehingga jika Bapa (Allah yang Esa) tidak dimengerti
manusia, maka Anak (Firman Allah) dan Roh Kudus (Roh Allah) pun tidak dapat dimengerti oleh manusia.
Roh Allah dan Firman Allah itu memang satu dengan Bapa dan di dalam Bapa. Hanya melalui penyataan
Anak (Firman Allah) oleh Roh Kudus itu saja, sifat ketak-dapat dimengertian Allah ini dapat tersingkap.
Karena Roh Kudus itulah yang menyatakan Kristus. Anak berkenan menyatakan Diri kepada manusia
melalui Roh Kudus, dan melalui penyataan diri Anak di dalam Roh Kudus ini Bapa dinyatakan kepada
manusia..

Karena sifatnya yang saling bersemayam diantara hypostasis-hypostasis di dalam Diri Allah Yang Esa itu,
maka hadirNya Roh Kudus adalah hadirNya Kristus, dan hadirNya Kristus dalam Roh Kudus ini adalah
hadirNya Allah sendiri. Dengan demikian Roh Kudus tidak menyatakan apapun, selain wahyu Allah yang
satu-satunya itu yaitu: Yesus Kristus . Roh Kudus bukanlah roh liar yang lepas dari Firman Allah, namun Ia
adalah Roh Allah yang terkait dengan Firman Allah baik Firman itu sebelum menjelma menjadi manusia
maupun sesudahnya, sehingga Ia disebut Roh Yesus dan sekaligus Roh Allah. Bersama dengan Firman
Allah, Roh Allah ini berada satu di dalam diri Allah yang Esa. Karena Allah itu memang Esa dan tidak ada
Allah lain selain Yang Esa ini (I Kor. 8:4), yang sejak kekal berada dalam diriNya FirmanNya sendiri dan
RohNya.

BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Fri Jan 04, 2008 2:47 pm

4.Kasus Sisipan “Filioque”


Telah kita singgung diatas mengenai masalah “filioque” dalam hal “keluarNya” Roh Kudus dari Bapa.
Marilah kita bahas masalah ini. Masalah Roh Kudus yang “keluar dari Sang Bapa” ini telah terjadi
permasalahan yang berkepanjangan antara Gereja Orthodox dengan Gereja Barat (baik Roma Katolik
maupun Protestan), dimana Gereja Barat dalam Konsili Toledo tahun 589 memberi tambahan kata
“filioque” (dan “Sang Anak”) pada kata anak kalimat itu, sehingga Pengakuan Iman yang sudah ditambah itu
menjadi berbunyi “yang keluar dari Sang Bapa dan Sang Anak/Putra”. Tambahan ini ditolak Gereja
Orthodox dengan alasan sebagai berikut: Landasan dari Pengakuan Iman Nikea akan hubungan Roh Kudus
dengan Allah (Sang Bapa) itu adalah: “Jikalau Penghibur yang akan kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh
Kebenaran yang keluar dari Bapa, ia akan bersaksi tentang Aku.” ( Yohanes 15:26). Penambahan “
FILIOQUE ” dilihat berbahaya oleh Gereja Timur. Bahaya-bahaya yang dilihat oleh Gereja Timur adalah
bahwa penambahan ini akan mengkaburkan makna ke-Esa-an Allah, dan hubungan yang seimbang antara
Allah, Firman dan RohNya dalam dzat-hakekatNya yang serba Esa itu. Dalam Iman Kristen Orthodox
dijelaskan bahwa Allah Yang Esa itu identik dengan Sang Bapa (Wujud Allah) sendiri, sebagaimana yang
tertulis: “Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari padaNya berasal segala sesuatu
dan yang untuk Dia kita hidup,…...” ( I Korintus 8:6 ).

Karena “satu Allah” itulah Bapa, ini berarti bahwa ke-Esa-an Allah itu terletak pada Esanya Pribadi Bapa.
Karena Bapa itulah “satu Allah” tersebut, serta “dari padaNya berasal segala sesuatu”, maka Bapa itu
menjadi sumber, pokok, pusat, serta asal dari ke-Allah-anNya sendiri. Dengan demikian Ia juga menjadi
sumber, pokok, pusat, dan asal dari Firman dan RohNya sendiri yang kekal itu. Berarti baik “Firman Allah”
(“Anak Allah”), maupun “Roh Allah” ( Roh Kudus”) sendiri, dari zaman azali yang silam sampai zaman abadi
yang akan datang tetap berada pada dan melekat satu di dalam dzat-hakekat Allah yang serba Esa itu.
Dengan demikian berarti baik Firman Allah maupun Roh Allah itu memang haruslah keluar dari sumber
yang satu ini, Sang Bapa. Untuk keluarnya “Firman Allah” dari Bapa ini disebut sebagai “diperanakkan” yang
makna kata ini adalah bahwa Firman Allah yang terkandung dalam diri Allah yang Esa itu dinyatakan dalam
diri Allah sendiri sehingga Allahmengenal diriNya itu melalui FirmanNya itu sejak kekal, dan untuk “Roh
Allah” diistilahkan dengan “keluar dari Bapa”. Meskipun “Firman Allah” itu bukan Allah (Bapa) sendiri, serta
“Roh Allah”pun, bukan pula Allah (Bapa) itu, juga “Firman Allah” itu jelas bukan “Roh Allah”, dan sebaliknya,
sehingga ciri-ciri masing-masing hypostasis tetap terjaga, namun baik Firman Allah maupun Roh Allah itu
berada dalam dzat-hakekat Allah yang serba satu ini.

Maka dzat-hakekat Bapa itulah juga dzat-hakekat Firman dan RohNya tadi. Sehingga baik Firman Allah
maupun Roh Allah berada dalam satu kemuliaan, satu kehendak, satu kekekalan, satu kuasa dan satu
dalam segala keberadaan ilahi yang lain yang dimiliki oleh Bapa (Wujud Allah Yang Esa itu). Namun “Firman”
tetap berciri sebagai Firman tak menjadi prinsip “Wujud Allah”, dan tak pula berubah menjadi ciri “Roh
Allah”, juga “Roh Allah” tetap berciri sebagai “Roh Allah” tak berubah mengambil ciri “Firman Allah” (“Anak”),
maupun ciri dari prinsip “Wujud Allah yang Esa” (“Bapa”). Sehingga ciri hypostasis yang satu tak boleh
dikacaukan dengan ciri hypostasis yang lain dalam diri Allah Yang Esa itu.

Ciri-ciri khas dari masing-masing hypostasis dalam Diri Allah Yang Esa itu adalah:

1.Sang Bapa (“Wujud Allah yang Esa”), sebagai asal-usul dan sumber serta beradanya secara kekal dari
“Firman Allah” dan “Roh Allah” yang dariNya baik “Firman Allah” itu “diperanakkan” maupun “Roh Allah” itu
“keluar”. Juga Sang Bapa ini bersifat berasal dari DiriNya sendiri serta berdiri pada diriNya sendiri, tanpa
diperanakkan dan tanpa awal, dari kekal sampai kekal. Sang Bapa pula yang menjadi prinsip dari Ke-Esa-an
Allah itu.

2. Sang Putra ( “Firman Allah”), adalah Akal-Budi Allah, Ilmu Allah yang kekal yang selalu berada melekat
dalam Dzat-Hakekat Allah yang kekal itu tanpa awal sejak zaman azali dan selalu abadi sampai selamanya,
yang melaluiNya Allah menciptakan dunia, dan juga menyatakan diriNya, sebagai Wahyu Ilahi. Dengan
demikian “Sang Putra” ini ciri khasnya adalah sebagai yang keluar dari Bapa untuk menyatakan diri Bapa,
dengan kata lain “diperanakkan” dari Sang Bapa.
3. Roh Kudus ( “Roh Allah”), adalah prinsip Hidup dan Kuasa Allah yang kekal yang selalu berada melekat
dalam Dzat-Hakekat Allah kekal itu tanpa awal sejak zaman azali dan selalu abadi sampai selamanya,
bersama dengan “Firman Allah”. Melalui Roh Allah ini, Sang Bapa, menyempurnakan dan membentuk
segala ciptaan serta memberikan kehidupan terhadap segala ciptaan yang telah Ia jadikan melalui “Firman
Allah” (“Sang Putra”) yang kekal. Berarti bersamaan “Firman Allah” yang menjadikan itu “Roh Allah”
membentuk dan menghidupi apa yang telah dijadikan itu. Jadi Roh Allah berkarya sekaligus –tanpa ada
tenggang waktu - ketika Firman Allah berkarya, oleh kehendak tunggal dari Allah Yang Esa (Bapa) itu. “Roh
Allah” itu mengiringi, melengkapi, dan menyempurnakan serta menyatu- tanpa urutan waktu, serempak
dan serentak- dengan karya yang dilakukan Allah melalui “Firman”Nya itu.

Memang hanya ada “satu karya” oleh “satu ke-Mahakuasa-an” yang berasal dari kehendak tunggal Allah
Yang Esa itu melalui Firman dan didalam RohNya tadi. Jadi Roh Allah itu bukan untuk mewahyukan Diri
Allah, sebagaimana karya dari “Firman Allah” ( Yohanes 1:18) sehingga “Firman Allah” itu disebut “Gambar
Allah” (Kolose 1:15) namun sebagai “Terang” untuk dapat mengerti “Wahyu Allah” itu, dengan demikian Roh
Allah bukan merupakan “Gambar Allah”namun “Terang” untuk dapat memahami “Gambar Allah”, yaitu “
Anak Allah yang Tunggal….yang menyatakan” Bapa yang Esa itu (Yohanes 1:18, I Kor.12:3, II Kor. 4:6), oleh
sebab itu Roh Allah tak disebut “Anak Allah”, dan itulah sebabnya Ia tak dikatakan “diperanakkan dari Sang
Bapa”, namun “keluar dari Sang Bapa”. “Keluar dari Sang Bapa” inilah ciri khas Roh Allah (“Roh Kudus”) itu.

Untuk menjaga utuh ke-Esa-an Allah serta keseimbangan yang ada antara hypostasis-hypostasis dalam
Allah Yang Esa inilah, maka ciri-khas hypostasis-hypostasis itu harus dijaga tak boleh dilanggar. Disamping
itu, perlu pula ditegaskan bahwa Allah itu memiliki dua bentuk hubungan: 1. Hubungan kekal di dalam
dirinya sendiri, dengan “FirmanNya” dan “RohNya”. 2. Hubungan dengan makhlukNya yang telah diciptakan
melalui “FirmanNya” dan disempurnakan serta dihidupi oleh “RohNya” itu, dengan sarana “FirmanNya”
yang sama itu: yang kemudian menjelma menjadi manusia, dan melalui “RohNya” yang sama itu juga, yang
dicurahkan kepada manusia melalui “Firman” setelah karyaNya selesai diatas bumi itu. Jadi mengenai Roh
Allah (“Roh Kudus”) ini ada dua bentuk hubungan dengan Allah, yaitu yang pertama adalah hubungan kekal
di dalam diri Allah Yang Esa itu, serta masalah filioque itu adalah berkaitan dengan hubungan yang
pertama ini, dan yang kedua adalah hubunganNya dengan makhluk, sesudah penjelmaan “Firman” itu
menjadi manusia, dan pihak non-Orthodox salah-faham bahwa filioque yang ditolak Gereja Orthodox itu
berkaitan dengan hubungan kedua ini.

Mengenai dua bentuk hubungan Allah ini marilah kita lihat data-data Alkitab. Yaitu mengenai hubungan
Allah dalam diriNya sendiri sejak zaman azali dan hubungannya dengan dunia setelah ada waktu dan
setelah selesai karya penjelmaan FirmanNya, dan terutama mengenai dari mana asal RohNya di zaman
kekal-azali dan sesudah karya Sang Firman tadi:

”……Roh yang kekal….” (Ibrani 9:14), ”….Roh menyelidiki…..hal-hal yang tersembunyi DALAM DIRI ALLAH…roh
manusia sendiri yang ada didalam dia….Demikian pulalah…..yang terdapat di dalam DIRI ALLAH….Roh Allah” ( I
Kor. 2:10-11). “….Allah (Bapa) mengaruniakan RohNya…..” ( Yohanes 3:34, berarti Roh Allah berasal dari
Allah/Bapa,pent.). ”Aku (“Anak Allah”, “Firman Allah Menjelma”) akan minta kepada Bapa ( sesudah selesai
karyaNya di bumi ini, pent) …seorang Penolong yang lain….yaitu Roh Kebenaran … ( ini berarti Roh itu sejak
kekal-azali berasal dari Bapa, karena untuk datangNya pada para murid setelah karya Sang Putra itu
selesai, harus diminta kepada Bapa oleh Sang Putra ini,pent.) “

…..Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa (berarti Roh Kudus itu keluar dari Bapa dari kekal-
azali karena dari Bapalah Roh itu diutus,pent) dalam namaKu (Yoh.14:25-26, “…akan diutus …dalam
NamaKu”, yaitu Nama Sang Putra, itu terjadi setelah karya Putra di dunia itu selesai, pent.) “Jikalau
Penghibur yang akan Kuutus ( sesudah selesai karyaNya di bumi ini, pent.), yaitu Roh Kebenaran yang keluar
dari Bapa (Yoh.15:26, “keluar dari Bapa” sejak kekal-azali, karena Ia memang berada dalam Diri Allah/Bapa
sejak kekal, pent), “Yesus inilah…..sesudah Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah dan menerima Roh
Kudus (artinya, sesudah kebangkitanNya Yesus menerima Roh Kudus, karena Ia “menerima” Roh tadi,
berarti Roh itu berasal dari “yang memberi” yaitu Allah/Bapa, dengan demikian jelas Roh itu keluar dari
Allah/Bapa,pent) yang dijanjikan itu, maka dicurahkanNya…. ( Roh yang diterima dari Bapa, yaitu yang keluar
dari Bapa sejak kekal-azali itu, oleh Yesus dicurahkan pada manusia sesudah kebangkitan dan naikNya ke
sorga itu, pen, Kisah Para Rasul 2:32-33).

Dari ayat-ayat ini jelas bahwa Roh Allah itu sejak kekal berada di dalam Diri Allah, dan berasal “keluar” dari
Allah ini sejak kekal itu, -meskipun Ia bersemayam pada Putra sebagai sasaran akhir keluarNya dari Bapa
itu-, namun Roh yang sama ini sesudah selesainya karya Sang Putra yang menjelma itu dikirim kepada
manusia “atas permintaan dari” “dalam Nama” ,” diutus oleh”, serta “dicurahkan oleh” Sang Putra. Dengan
demikian dari kekal dalam Diri Allah sendiri Roh Kudus itu diam dan keluar dari Allah saja, serta dicurahkan
pada Firman untuk memantulkan Firman itu pada Bapa, namun dalam hubungannya dengan manusia
setelah selesai karya Sang Putra ini maka Roh Kudus yang sejak kekal keluar dari Bapa, ini diutus dari Bapa
“melalui dan oleh” Sang Putra.

Jadi Roh Kudus itu hanya “keluar dari Bapa” saja serta bersemayam pada Putra jika keberadaan Allah yang
kekal itu yang kita maksud, namun Roh Kudus yang sama itu “keluar dari Bapa melalui/dan Putra” jika
pengutusanNya ke bumi ini yang kita maksud. Dalam kaitanNya dengan bersemayamNya pada Putra untuk
memantulkan Putra itu pada Bapa dalam kekekalan hakekat Allah yang satu, serta pengutusanNya ke bumi
setelah selesai karya Sang Putra, dari “Bapa melalui./ dan Putra” inilah maka Roh Kudus itu disebut sebagai
“Roh Allah” dan sekaligus“Roh Kristus” (Roma 8:9), “Roh AnakNya” (Galatia 4:6), “Roh Yesus” (Kisah Rasul 16:
7), dan lain-lain, yang menunjukkan keterkaitan yang tak terpisah antara Roh Kudus dan Kristus dalam
karyaNya di bumi ini.

Jadi Roh Kudus datang ke bumi bukan langsung dari Allah begitu saja, namun Ia datang dari Allah melalui
Kristus, bagi menterapkan Karya Kristus yang sudah selesai itu kepada manusia. Roh Kudus datang bukan
untuk menyatakan DiriNya sendiri, dan Ia datang bukan untuk menyatakan “segala macam kebenaran”
namun untuk menyatakan “Kebenaran” yang Tunggal, yaitu “Firman Yang Menjelma Manusia” : Yesus
Kristus itu.

Inilah posisi Iman Orthodox yang lugas, jelas, dan tegas serta tanpa keraguan sedikitpun itu. Sedangkan
terkaitNya “Roh Allah” dengan “Firman Allah” yang nampak dalam karyaNya sesudah Penjelmaan Firman
Allah itu memang berasal dari kekal. Hal ini dapat dijelaskan demikian: Menurut Ibrani 9:14, Roh Kudus itu
disebut “Roh yang kekal”, berarti Ia bukan makhluk, dan azali bukan tercipta. “Roh yang kekal” itu menurut I
Kor. 2:10-11 berada di dalam Diri Allah, yaitu melekat satu dalam Dzat-Hakekat Allah.

Pada saat dicurahkan ke bumi oleh Allah melalui Yesus Kritus, salah satu diantara fungsi-fungsi dan karya-
karya Roh Kudus di bumi ini adalah , sebagaimana yang dikatakan:”…..kasih Allah telah dicurahkan di dalam
hati kita oleh Roh Kudus….” ( Roma 5:5). Jadi fungsi Roh Kudus adalah mencurahkan kasih Allah kepada
“sasaran” dan “obyek” dari yang dikasihi Allah. Karena Roh Kudus itu kekal, berarti fungsi yang demikian ini
adalah kekal juga. Jadi sejak zaman azali sampai dengan keabadian Roh Kudus memang berfungsi untuk
“mencurahkan kasih Allah kepada sasaran dan obyek yang dikasihi Allah” itu. Pada saat manusia sudah
diciptakan dan karya Kristus sudah selesai, kasih tadi sasarannya adalah “kita” yaitu manusia. Namun
dalam alam azali nan abadi itu, dimana tidak ada makhluk dan ciptaan yang ada hanya Allah sendiri, maka
sasaran dan obyek kasih Allah adalah Ia yang mengatakan :”…..Engkau (Bapa/Allah) telah mengasihi Aku
(Putra/Firman) sebelum dunia dijadikan” ( Yohanes 17:24). Jadi sasaran kasih Allah secara azali yang kekal-
abadi itu adalah FirmanNya sendiri yang ada di dalam DiriNya yang Esa itu. Karena dimana kasih Allah
tercurah, ini selalu terlaksana melalui Roh Kudus, berarti ketika di zaman azali yang kekal-abadi itu kasih
Allah tersebut tercurah pada FirmanNya maka “kasih Allah itu telah dicurahkan ke dalam Sang Firman itu
oleh Roh Kudus”. Berarti dalam proses kasih ini, Roh Kudus “yang keluar dari Bapa” itu, karena dari Bapa Ia
mencurahkan kasih itu, juga bersemayam dalam Firman untuk menyampaikan “kasih Bapa” tadi ke dalam
hakekat Firman itu.

Demikianlah Roh Kudus yang bersemayam dan “keluar” dari Bapa untuk mencurahkan kasih Bapa, itu juga
akhirnya bersemayam dalam Firman. Sehingga Roh Kudus itu bersemayam dalam Bapa dan Firman.
Namun di zaman azali yang kekal tersebut"keluarNya” itu tetap dari Bapa sebagai “sumberNya”. Padahal
baik Firman maupun Roh itu sama-sama berada di dalam Diri Allah /Bapa Yang Esa itu. Dengan demikian
Roh yang “keluar dari Bapa” itu bersemayam dalam Bapa sekaligus dalam Firman /Putra yang ada pada
Bapa, serta baik Firman dimana Roh bersemayam maupun Roh yang “keluar dari Bapa” itu, bersemayam,
yaitu melekat satu di dalam dzat-hakekat Bapa. Sebagai “pencurah Kasih” Allah, berarti hakekat Bapa juga
berada dalam Roh “pembawa Kasih”itu, sebagai yang dituju dan didiami oleh Kasih tadi, berarti hakekat
Bapa itu juga berada dalam Firman itu.

Dengan demikian jelas meskipun dalam zaman azali yang abadi itu “Roh Kudus” hanya keluar dari Bapa
sebagai “sumberNya”, namun dalam kasih abadi tadi, Bapa bersemayam dalam RohNya dan FirmanNya,
dan Firman bersemayam dalam Bapa dan RohNya, dan Roh bersemayam dalam Bapa dan Firman, karena
memang Allah itu hanya satu secara tak terbagi-bagi dan tak terpisah-pisah, meskipun ciri khas masing-
masing hypostasisnya dapat dilihat perbedaannya. Itulah sebabnya dalam arti ini juga Roh Kudus, dapat
disebut Roh Allah, Roh Bapa, Roh Yehuwah, sekaligus Roh AnakNya, Roh Anak Allah, Roh Yesus, Roh Kristus,
Roh Yesus Kristus, karena keberadaan Allah itu tak terbagi-bagi, dan tak tersusun-susun. Ia itu Esa secara
sederhana, tanpa terdiri dan tersusun dari bagian-bagian. Namun bagaimanapun juga jelas bahwa “Roh
Kudus” itu “keluar dari Bapa” sebagai sumberNya, di alam azali itu, meskipun terkait erat dengan Firman
Allah/Anak Allah di dalam dzat-hakekat Allah yang Esa dan satu tersebut. Setelah mengerti posisi Iman
Kristen Orthodox dengan lebih rinci ini, marilah kita melihat keberatan theologis Iman Kristen Orthodox
atas faham yang diakibatkan oleh sisipan “filioque” itu. Sisipan “filioque” mengimplikasikan bahwa Roh
Kudus itu keluar bukan hanya dari Bapa tapi juga dari Putra. Jika demikian maka Roh Kudus memiliki dua
sumber asal-usul: Bapa dan Putra. Padahal sudah kita lihat bahwa Allah itu Esa yaitu Bapa ( I Kor. 8:6). Bapa
itu hanya satu dan menjadi “asal segala sesuatu”, berarti hanya ada satu sumber dan hanya ada satu pokok
di dalam Diri Allah Yang Esa itu. Jika pengertian sisipan filioque ini kita ikuti, maka sumber dalam Allah itu
bukan hanya satu saja, namun dua, karena Bapa/Allah dan Putra/Firman menjadi sumber dari Roh Kudus,
disebabkan Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan juga Sang Putra.

Faham ini dilihat oleh Iman Orthodox sebagai merusak akidah Tauhid (Ke-Esa-an Allah) menjadikan adanya
Dua Ilah yang menjadi asal-usul keilahian. Juga faham ini melanggar ciri khas masing-masing hypostasis
dalam Diri Allah yang Esa itu. Karena hanya Bapa saja yang ciri khasNya “memperanakkan” FirmanNya dan
sekaligus “mengeluarkan” RohNya, meskipun Bapa itu tak diperanakkan dan berdiri pada DiriNya sendiri
tanpa ada yang mengadakan. Putra/Firman Allah tidak ikut dalam ciri khas Bapa/Allah untuk
“mengeluarkan” Roh ini, sebab Putra/Firman bukan sumber Ke-Esa-an dalam Diri Allah. Ia adalah “Firman”
dari Allah ini. Dengan demikian keseimbangan pemahaman tentang hubungan yang ada antara Allah,
Firman dan RohNya itu menjadi goyah. Gereja Orthodox melihat “kemusyrikan” dalam faham semacam ini.
Ketika Gereja Barat melihat keberatan Gereja Timur tentang impplikasi adanya “dua Allah”, dengan adanya
“dua sumber” dari Roh Allah ini, sangkalan Gereja Barat adalah bahwa” Roh Kudus itu keluar dari Bapa/
Allah yang Esa dan Putra/Firman Allah seolah-olah berasal dari satu sumber.” Pemahaman Gereja Barat
yang demikian itu belum dapat meyakinkan Gereja Timur, sebab dalam pandangan Gereja Orthodox, jika
Roh Kudus keluar baik dari Bapa/Allah Yang Esa dan Putra/Firman Allah seolah-olah dari satu sumber,
realita yang berbeda antara Bapa/ Allah Yang Esa dan Putra/Firman Allah itu jadi kacau. Jadi realita ciri khas
Bapa/Allah Yang Esa itu tak berbeda dengan realitas dan ciri khas dari Putra/Firman Allah karena kedua-
duanya dianggap sebagai satu sumber.

Jika betul demikian yang dimaksud, Gereja Orthodox khawatir bahwa itu memunculkan kembali ajaran
Sabelianisme, yang baik Gereja Barat maupun Gereja Timur sama-sama mengutuknya dizaman purba yang
telah lalu. Sabelius mengatakan bahwa sebenarnya Allah/Bapa, Firman/Putra dan RohNya di dalam DiriNya
Yang Esa itu tak memiliki realita dan ciri khas yang berbeda-beda yang memang dapat dibedakan ciri-ciri
dan realitanya tadi, meskipun tak dapat dipisahkan dalam Ke-Esa-an Dzat-Hakekat Allah yang Tunggal itu.
Namun Bapa/Allah, Anak/Firman Allah, Roh Kudus/Roh Allah itu adalah sekedar “topeng-topeng” dalam
cara Allah menyatakan diriNya saja.Menurut Sabelius, di dalam Perjanjian Lama Allah yang satu itu
menyatakan diriNya sebagai Bapa, dalam Perjanjian Baru Allah yang sama itu menyatakan diri sebagai
Putra. Sesudah Putra naik ke Sorga, Allah yang sama yang sebelumnya menyatakan diri sebagai Bapa dan
akhirnya menyatakan diri sebagai Putra itu, juga menyatakan diri sebagai Roh Kudus.

Jadi Bapa, Putra dan Roh Kudus itu sebenarnya hanyalah Allah yang satu itu, namun yang memakai topeng
secara berganti-ganti. Itu hanyalah fungsi-fungsi saja dari Allah yang Esa. Dengan mengatakan bahwa Roh
Kudus itu “keluar dari Bapa dan Putra” seolah-olah dari satu sumber, berarti Gereja Orthodox melihat
bahwa hypostasis dan ciri-ciri khas Bapa serta hypostasis dan ciri-ciri khas Putra itu tidak dapat dibedakan
dan sekaligus dikacaukan. Dari situlah mengapa Gereja Orthodox melihat argumentasi itu sebagai bersifat
Sabelianisme, meskipun jika bukan sepenuhnya, namun setidak-tidaknya bersifat semi Sabelianisme.
Selanjutnya jika betul bahwa Putra/Firman Allah yang diperanakkan oleh Bapa itu juga menjadi sumber Roh
Kudus sebagaimana halnya Bapa itu, dengan demikian juga memiliki ciri khas hypostasis Bapa, maka Ia
juga haruslah memiliki fungsi dari ciri khas sumber keilahian yaitu “memperanakkan” Firman dan
“mengeluarkan” Roh Allah.Dengan demikian tidakkah ini akan membuat Putra/Firman Allah itu bukan
hanya “mengeluarkan Roh Kudus” tetapi juga “memperanakkan Firman”? Bukankah ini akan berarti akan
muncul Firman yang lain dari Firman ini? Dan Firman yang lain ini juga akhirnya memiliki sifat yang sama
dengan sifat “Firman” yang telah memperanakkanNya, yaitu menjadi sumber Roh Kudus dan sekaligus
memperanakkan Firman yang lain juga, demikian seterusnya ad infinitum.

Jika demikian hal itu akan mengakibatkan terjadinya bukan hanya satu sumber, atau dua sumber, tetapi
dapat terjadi beribu-ribu sumber atau pokok di dalam diri Allah , karena Firman yang diperanakkan Allah
itu ikut serta sebagai sumber atau pokok. Maka jika faham sisipan filioque ini secara konsisten
difahami dan dipertahankan, Gereja Orthodox melihat bahawa ajaran satu Allah (Tauhid) itu akan rusak
menjadi ajaran polytheisme (banyak Ilah), musyrik, karena terjadi banyak sumber keilahian yang dapat
memperanakkan, yaitu dari Firman yang satu, ke Firman yang lain secara terus-menerus. Itulah sebabnya
sumber keilahian itu harus hanya satu saja yaitu “Sang Bapa” bukan dua : ”Sang Bapa dan Sang Putra”
Karena memang menurut Alkitab Roh Kudus di zaman azali yang abadi itu hanya “keluar dari Bapa” saja,
bukan dari “Bapa dan Putra”

Keberatan theologis selanjutnya dari Gereja Orthodox atas faham yang diakibatkan oleh sisipan filioque ini
adalah sifat dari ke-Esa-an Allah itu sendiri. Jika dalam Allah itu ada dua sumber sebagaimana yang
diimplikasikan dalam faham Roh Kudus “keluar dari Bapa dan Putra” itu, pertanyaannya adalah dimana
dasar ke-Esa-an Allah, yang menurut Alkitab adalah dalam Diri Bapa, “satu Allah, yaitu Bapa” ( I Kor. 8:6).
Karena sumber ke-ilahi-an dari Allah itu difahami ada dua “Bapa dan Putra”, maka Gereja Barat tidak dapat
melihat bahwa Allah yang Esa itu identik dengan Hypostasis Bapa. Sebab Bapa itu bukan menjadi sumber
satu-satunya dalam keilahian, karena Bapa menjadi sumber bersama dengan Putra :” Bapa dan Putra”,
maka tak mungkin Bapa itu dianggap sebagai prinsip dan sumber ke-Esa-an sebagaimana yang diajarkan
Alkitab. Ini nampak dalam pemahaman Gereja Barat dimana ke-Esa-aan Allah lebih dilihat pada “Essensi”
atau “Dzat-Hakekat” Allah., seperti di depan telah kita bahas. Secara tradisionil dalam beberapa tulisan
Katolik Roma, ini digambarkan sebagai satu payung (“satu-essensi”) yang menaungi tiga orang (“ Bapa,
Anak,Roh Kudus”), atau satu rumah (“ satu –esensi”) yang dihuni tiga orang (“ Bapa, Anak, Roh Kudus”),
sedangkan di pihak Protestan sering digambarkan sebagai satu bidang segitiga (“satu esensi”) yang
memiliki tiga sudut A,B,C (“Bapa, Anak, Roh Kudus”), atau satu Zat Cair : H2O ( “satu-essensi”) yang memiliki
tiga bentuk: cair, padat/es, gas/uap (“Bapa, Anak, Roh Kudus), dan lain-lain.

Dari semua penggambaran ini jelas ke-Esa-an Allah sebagai akibat faham yang dimunculkan oleh sisipan
filioque itu tidak identik dengan Hypostasis Sang Bapa, namun pada Essensi atau Substansi atau Dzat-
Hakekat Allah yang satu. Jadi Ke-Esa-an Allah bukan lagi ke-Esa-an Pribadi, namun ke-Esa-an Esensi yang tak
berpribadi. Disinilah letak masalahnya. Sedangkan Gereja Orthodox sesuai dengan yang dikatakan Alkitab
menegaskan Allah itu satu, karena Bapa itu satu. Maka Ke-Esa-aan Allah dalam ajaran Orthodox adalah ke-
Esa-an yang bersifat pribadi. Allah yang Esa itu adalah Pribadi Allah yang Satu, itulah ajaran Alkitab dan
itulah ajaran Iman Orthodox. Sedangkan dalam Gereja Barat ke-Esa-an Allah itu adalah Essensi Allah yang
satu. Itulah ajaran Filsafat Yunani, dan itulah bukti Helenisasi yang terjadi dalam Gereja Barat. Essensi itu
bukan Pribadi, namun hakekat dari keberadaan. Dengan penekanan bahwa dasar ke-Esa-an Allah itu pada
essensi ilahi dan bukan pada pribadi Bapa akan terjadi suatu kontradiksi antara pemahaman theologis
tentang ke-Esa-an Allah dan data Alkitab mengenai hal yang sama tadi. Allah yang diajarkkan Alkitab adalah
Pribadi dan bukan keberadaan mutlak (essensi) yang tanpa pribadi. Sebab ajaran yang demikian akan
mengubah Berita Alkitab menjadi ajaran Filsafat Yunani, dan akan lebih mirip dengan ajaran Hindu yang
mengajarkan bahwa Brahman adalah “Keberadaan Mutlak yang Tak Bersifat dan Tak Berpribadi” (“
Impersonal Absolute, Nirguna.”), bukannya Allah Abraham, Ishak, Yakub yang bertindak dan menyatakan
diri serta mengatakan kepada Musa ”Aku adalah Aku” (Keluaran 3:14).

Selanjutnya pemahaman tentang ke-Esa-an Allah pada EssensiNya ini terkait dengan tujuan keselamatan
manusia. Iman Orthodox mengajarkan bahwa keselamatan itu telah terjadi akibat manunggalnya yang
Manusiawi dengan Yang Ilahi di dalam Pribadi Kristus yang satu itu, oleh Inkarnasi. Jadi manusia dipanggil
untuk “ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi” ( II Pet. 1:4). Ambil bagian dalam kodrat ilahi atau “theosis” ini
terjadi karena persekutuan antara pribadi manusia dengan Pribadi Allah melalui karya Yesus Kristus itu.
Jika ke-Esa-an Allah adalah Essensi, persekutuan manusia dan panunggalannya dengan Allah itu bukan lagi
bersekutu antara pribadi dengan pribadi, namun bersekutu atau manunggal dengan Essensi Allah,
bersekutu dengan Dzat-Hakekat Allah.

Disini letak permasalahannya: karena jika manusia bersekutu dengan Essensi atau Dzat-Hakekat Allah,
maka dia akan berhenti sebagai manusia, serta akan melebur dalam Dzat-Hakekat Ilahi dan dengan
demikian menjadi Allah. Karena hanya Allah sendiri yang memiliki Dzat-Hakekat Allah atau Essensi Allah,
maka dengan manusia bersekutu atau manunggal dengan Allah yang satu yang adalah Essensi, maka
manusia bersekutu dengan Essensi Allah. Itu berakibat manusia memiliki Essensi Allah dan itu berarti
manusia menjadi Allah sendiri. Inilah ajaran “pentheisme” murni, mistikisme dalam bentuk yang sama
sekali tak dapat diterima oleh Iman Orthodox. Ini lebih sesuai dengan faham Hindu daripada ajaran Alkitab
maupun Iman Kristen Orthodox., dimana dalam agama Hindhu diyakini bahwa roh manusia (Atman) itu
sebenarnya tak berbeda secara hakiki dengan Essensi Allah ( Brahman). Maka tujuan akhir manusia
menurut agama Hindhu memang agar, jika manusia mati, rohnya kembali kepada Brahman, kembali
kepada Essensi Allah, mencapai Moksha. Memang posisi Orthodox ini sering disalah-fahami oleh Gereja
Barat (baik Roma Katolik maupun Protestan) seperti yang nyata dalam buku penulis Protestan dari
Belanda:Dr.Boland dan Dr. Niftrik dalam buku “Dogmatika Masa Kini”.

Dr. Boland dan Dr.Niftrik menuduh Gereja Orthodox sebagai mengajarkan mistikisme panteheistis, akibat
dari penolakan sisipan filioque dalam Pengakuan Nikea, dimana Essensi Allah dan essensi manusia lebur
menjadi satu.. Kita tidak tahu darimana Dr. Boland dan Dr. Niftrik mengambil kesimpulan semacam ini,
barangkali ini hanya salah faham, atau memang betul-betul tidak mengerti ajaran Iman Kristen Orthodox.
Karena dalam Gereja Orthodox justru mistik semacam itu sama sekali tidak memilki tempat,bahkan ditolak,
dan dinyatakan sesat, seperti nyata dalam pengucilannya terhadap sekte Bogomil di Serbia-Bulgaria.
Namun anehnya justru mistik yang semacam ini, yaitu mengacaukan Essensi Allah dengan essensi manusia
itu, bukannya terjadi di Gereja Orthodox tetapi di Gereja Barat. Misalnya dalam kasus Meister Eckhard,
kelompok Anabaptis, kelompok Quaker, dan lain-lain. Dan dari kacamata Orthodox memang itu akibat logis
dari faham yang konsisten terhadap akibat sisipan filioque.

Jadi penolakan kata filioque dalam Pengakuan Iman Nikea oleh Gereja Orthodox justru untuk menghalangi
masuknya spiritualisme mistik yang palsu seperti yang kita bahas diatas.. Salah faham theologia Protestan
itu dilanjutkan oleh Dr. Boland dan Dr. Niftrik demikian: “Bahkan pun diskusi-diskusi dogmatika seperti
persoalan, apakah Roh Kudus hanya keluar dari Allah Bapa atau juga dari Anak ( filioque ) mempunyai arti serta
akibat yang praktis bagi kehidupan Gereja” Gereja Orthodox sangat membenarkan hal ini.
Itulah sebabnya Gereja Orhodox menganggap sisipan filioque itu bukanlah masalah remeh yang dapat
dilupakan begitu saja. Karena salah mengenai ajaran Roh Kudus dalam hubunganNya dengan Allah/Bapa
dan FirmanNya/Putra (Tritunggal Maha Kudus) akan menimbulkan kesalahan dalam mengerti keselamatan,
sakramen, karunia-karunia Roh Kudus, Gereja, Kristologi, dan lain-lain ajaran. Sebab semuanya itu
sumbernya dari pengertian yang benar mengenai Tritunggal Maha Kudus ini.

Dikatakan selanjutnya: ”Dengan ditambahkannya kata filioque maka Gereja Barat telah menekankan bahwa
hanya satu saja penyataan Allah yakni penyataanNya di dalam Yesus Kristus. Roh Kudus tidak menghasilkan
kekacauan. Roh Kudus memberikan kebenaran yang sesungguhnya dan membimbing manusia kepada
kebenaran yang bernama Yesus Kristus. Kotbah Petrus pada hari Pantakosta pertama adalah merupakan contoh
dan patokan. Isi pemberitaan itu kongkrit sekali yaitu Yesus Kristus yang telah disalibkan dan yang bangkit pula:

”Hai orang-orang Israel, dengarlah perkataan ini: Yang aku maksudkan, ialah Yesus dari Nazaret, seorang
yang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mujizat-
mujizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu seperti
yang kamu tahu. Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan dan
telah kamu bunuh oleh tangan bangsa bangsa durhaka.Tetapi Allah membangkitkan Dia dengan
melepaskan Dia dari sengsara maut, karena tidak mungkin Ia tetap berada dalam kuasa maut itu.Jadi
seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu,
menjadi Tuhan dan Kristus.” ( Kisah Para Rasul 2:22-24,36 ).

Justru filioque itu menjadi pernyataan bagi kita, bahwa juga pembicaraan kita tentang Roh Kudus harus bercorak
Kristosentris. Roh Kudus bukanlah merupakan Roh yang membuat kita bersemangat tetapi Roh Kudus adalah
Roh Kristus.” Boland dan Niftrik melanjutkan:”Pembicaraan tentang Roh Kudus menentukan dan mencirikan
pembicaraan tentang nisbah antara manusia dengan Allah. Apakah hanya dikatakan bahwa Roh itu keluar dari
Allah Bapa yang Khalik, maka nisbah manusia Allah terutama dipandang sebagai nisbah makhluk Khalik. Lagi
pula bahayanya ialah bahwa Roh kudus dianggap menjadi sesuatu atau suatu kekuatan yang ada terdapat di
dalam kosmos atau alam Khalik. Disitulah letaknya sumber bagi tumbuhnya Mistik di dalam Gereja Orthodox
( Gereja Yunani Katolik ) yang tak pernah menerima filioque itu. Maka kehidupan Gereja ini ditentukan oleh
pemujaan ( Worship ) tetapi kegiatan Gereja keluar tidak dapat berkembang.”.

Demikian pemahaman Protestan, yang juga mendukung filioque itu, tentang Gereja Orthodox mengenai
penolakan sisipan filioque itu.. Untuk meluruskan masalah ini kita hanya perlu membandingkan dengan
posisi Orthodox diatas tadi akan hal ini. Dr. Boland dan Dr, Niftrik sama seperti seluruh pemahaman Gereja
Barat semuanya, mengacaukan filioque yang ditolak Gereja Orthodox dalam kaitannya dengan hubungan
yang ada di dalam Diri Allah sendiri sejak zaman azali nan abadi, dengan karya Roh Kudus yang diturunkan
kepada manusia dari Allah melalui Yesus Kristus itu. Kedua penulis ini menuduh bahwa seolah-olah Roh
Kudus itu tak terkait sama sekali dengan Kristus. Dan “keluarNya” Roh Allah dari Sang Bapa ini,
dianggapnya keluar secara liar tanpa tujuan atau berdiam di dalam alam semesta ini secara mengambang (
berarti keluar ke alam dan berakitan dengan makhluk, padahal yang dimaksud Iman Orthodox adalah
hubungan dalam diri Allah sendiri), dan bukan pula tak terkait dengan Sang Putra ( Kalimatullah).Padahal
Iman Orthodox yang benar mengajarkan bahwa meskipun Roh Kudus itu keluar dari Bapa saja dalam ke-
Esa-an Diri Allah itu, namun Ia juga bersemayam dalam Putra sejak zaman azali sampai kekal abadi. Dan ini
jelas dari bunyi Pengakuan Iman Nikea itu sendiri:”…..Roh Kudus yang keluar dari Sang Bapa……yang
bersama Sang Bapa dan Sang Putra disembah dan dimuliakan…..” Jadi meskipun Roh Kudus itu keluarNya
dari Bapa namun bukan tak terkait dengan Sang Putra, karena Pengakuan Iman jelas mengatakan “yang
bersama…..Sang Putra “ .

Jadi tak pernah penolakan akan “filioque” oleh Gereja Orthodox itu, membuat Iman Orthodox menganggap
Roh Kudus terpisah dari Sang Putra/Firman Allah, seperti yang dengan seriusnya disalah-fahami oleh Dr.
Boland dan Dr. Niftrik. Dan jika hubungannya dengan makhluk itu yang dimaksud maka Roh Kudus itu
diutus dari Bapa melalui Putra. Jadi tak ada ajaran Orthodox yang berbicara tentang Roh Kudus tanpa
terkait dengan Kristus itu. Kritik Iman Orthodox terhadap pemahaman Dr. Boland dan Dr. Niftrik yang
keliru itu adalah demikian: Memang perlu kita memberikan kehormatan yang tinggi atas keinginan kedua
penulis membela kebenaran Kristus itu, dimana mereka ingin menegaskan bahwa tujuan penambahan
filioque yang dibela oleh Dr. Boland dan Dr. Niftrik itu adalah untuk memberi corak Kristologis dalam
pengertian akan Roh Kudus. Hal ini jelas dari apa yang dikatakannya:
”…..ditambahkannya kata filioque maka Gereja Barat telah menekankan bahwa hanya satu saja penyataan Allah
yakni penyataanNya di dalam Yesus Kristus Roh Kudus tidak menghasilkan kekacauan. Roh Kudus memberikan
kebenaran yang sesungguhnya dan membimbing manusia kepada kebenaran yang bernama Yesus Kristus…”.

Namun karena Iman Orthodox itu sangat Kristosentris sebagaimana yang sudah kita lihat sejauh ini,
penambahan “filioque” itu justru menjadikan penyimpangan terhadap Kristosentrisisme, yang dimaksud.
Dengan ditambahkannya “filioque” maka Anak itu bersama Bapa menjadi sejajar sebagai sumber, dengan
Roh Kudus yang keluar dari keduanya menjadi berada dibawah Bapa dan Anak. Dengan demikian Roh
Kudus berada dibawah Sang Putra. Karena Roh Kudus keluar dan berada dibawah Sang Putra, maka Sang
Putra tidak bersemayam dalam Roh Kudus, sehingga pneumatologi terpisah dari Kristologi. Jadi tak bersifat
Kristologis lagi. Inilah akibatnya membuat yang sudah bersifat Kristologis ingin dijadikan lebih Kristologis
melalui tambahan yang tak diperlukan itu. Akibatnya pembicaraan theologis tentang Putra hanya akan
bersifat spekulatif intelektual – sampai memunculkan theologia liberal, yang menolak kebenaran kelahiran
Kristus dari Perawan, menolak Kebangkitan dan mukjizat-mukjizat Kristus, dan bahkan mempertanyakan
existensi Kristus itu sendiri dalam wacana theologia Jerman dan Eropa Barat -, bukan pemahaman
sekaligus pengalaman akan Kristus dalam panunggalan oleh akibat karya Roh Kudus, sebagaimana yang
dihayati dalam Gereja Orthodox.

Itulah sebabnya sering dikatakan oleh para theologiawan Gereja Barat bahwa Gerakan Kharismatik dan
Gerakan Pantekosta adalah hutang Gereja yang belum terbayar. Kata-kata yang mana tak akan mungkin
keluar dari mulut seorang theologiawan Gereja Timur. Ini diakibatkan karena selama ini theologia, atau
pemahaman tentang Kristus hanya bersifat logika, tak dibarengi dengan kuasa-kuasa dan pengalaman
energi Roh Kudus yang memanunggalkan manusia kepada Kristus. Pengalaman mistika dalam Gereja
Orthodox adalah pengalaman dalam Roh Kudus, yang menuntun manusia hanya kepada satu kebanaran
yaitu Kristus, karena untuk manunggal dengan Kristus itulah tujuan hidup dalam Roh Kudus itu. Disinilah
terjadinya kekeringan agamawi dalam Gereja Barat. Reaksi terhadap hal ini adalah munculnya “Gerakan
Kharismatik” dan “Pantekosta” yang merupakan reaksi keras yang berbalikan arah, dimana Gerakan ini
sering dicirikan sebagai Gerakan anti-intelektual, anti-theologia, anti-keilmuan. Kata yang sering muncul
dalam Gerakan ini adalah :” Tidak perlu theologia yang penting adalah Roh Kudus”. Akibat dari sikap ini
justru apa yang dituduhkan oleh kedua penulis itu tentang Gereja Timur, yang malah tidak terjadi
disitu: ”Roh Kudus bukanlah merupakan Roh yang membuat kita bersemangat tetapi Roh Kudus adalah Roh
Kristus.” Bukankah justru Gereja Orthodox yang menolak “filioque” itu yang menegaskan dalam mengalami
Roh Kudus sebagai “Roh Kristus” dan bukan “Roh yang membuat kita bersemangat” yang justru itu ciri dari
Gereja Barat dalam bentuk Gerakan Kharismatiknya? Dalam bentuknya yang paling ekstrim Gerakan ini
juga mempunyai ciri-ciri pantheisme dan bahkan animisme,sehingga ketakutan lain dari kedua penulis itu
justru menjadi kenyataan disitu bukan dalam Gereja Orthodox: Lagi pula bahayanya ialah bahwa Roh kudus
dianggap menjadi sesuatu atau suatu kekuatan”.

Disinilah bedanya dengan pendekatan Orthodox, karena Kristus dan Roh Kudus itu terkait karena saling
bersemayam, dan sama-sama memiliki hakekat keilahian yang satu dan yang sama di dalam Allah yang Esa,
maka menghayati Kristus itu selalu dalam pengalaman Roh Kudus, dan menghayati Roh Kudus itu selalu
dalam landasan Kristologis.Sehingga kritik berikutnya ini sungguh jauh dari kenyataan ajaran maupun
praktek Gereja Orthodox: ”bahwa Roh kudus dianggap menjadi sesuatu atau suatu kekuatan yang ada terdapat
di dalam kosmos atau alam Khalik. Disitulah letaknya sumber bagi tumbuhnya Mistik di dalam Gereja Orthodox (
Gereja Yunani Katolik ) yang tak pernah menerima filioque itu” Ini makin menunjukkan bahwa kedua penulis
ini memang tidak tahu Iman Orthodox. Tak pernah dalam Iman Kristen Orthodox “Roh Kudus” itu dianggap
sebagai “ sesuatu atau sesuatu kekuatan yang terdapat di dalam Kosmos”. Apalagi setiap hari umat
Orthodox tak pernah lupa mengucapkan Iman Nikea yang mengatakan bahwa “Aku percaya pada Roh
Kudus, Tuhan, Sang Pemberi Hidup”. Bagaimana yang “Tuhan” dan “Sang Pemberi Hidup” itu dapat
dianggap umat Orthodox sebagai sesuatu atau suatu kekuatan di dalam kosmos? Bukankah justru ide ini
yang ditentang dalam Konsili Ekumenis pada tahun 381 dalam Gereja Orthodox.Selanjutnya “Disitulah
letaknya sumber bagi tumbuhnya Mistik dalam Gereja Orthodox”, suatu salah faham yang amat serius
memang. Mistika yang dimaksud dalam Gereja Orthodox bukanlah karena Roh Kudus dianggap sesuatu
atau suatu kekuatan dalam kosmos atau alam khalikah, sebab tidak ada ajaran Iman Kristen Orthodox yang
benar yang mengajarkan itu. Dan tak pula theologia mistika Orthodox itu berasal dari ajaran tentang “Roh
sebagai kekuatan dalam Kosmos” yang betul-betul bersifat pantehistis dan pagan serta bertentangan
dengan Iman Kristen Orthodox ini.

Theologia Mistika dalam Gereja Orthodox adalah Theologia persekutuan atau panunggalan dengan Allah
melalui Kristus di dalam Roh Kudus, yang dialami melalui GerejaNya dalam Sakramen-Sakramen serta
pemberitaan Sabda Allah. Jadi tidak ada theologia pantheisme ataupun animisme dalam Gereja Orthodox.
Jadi theologia mistika itu tak bersangkut paut dengan penolakan “filioque” namun bersangkut erat dengan
perumusan Kristologis tentang manunggalnya dua kodrat dalam satu hypostasis Kristus. Jadi ini theologia
yang bersifat Kristosentris. Selanjutnya dikatakan:” : ”Pembicaraan tentang Roh Kudus menentukan dan
mencirikan pembicaraan tentang nisbah antara manusia dengan Allah” Dr. Boland dan Dr.Niftrik tidak
membedakan akan hubungan Roh Kudus di zaman azali yang abadi di dalam diri Allah, dan hubungan Roh
Kudus sesudah ada dunia dengan manusia. “Filioque” disisipkan oleh Gereja Barat bukan untuk
menegaskan hubungan atau nisbah “antara manusia dengan Allah” ini namun nisbah antara Roh Kudus
dengan Allah dan FirmanNya, sebab itu disisipkan dalam usaha untuk membendung pengaruh Arianisme
yang menolak keilahian Kristus, dalam Gereja Barat. Supaya Kristus itu sama ilahiNya dengan Sang Bapa,
demikian kira-kira pemikiran orang-orang yang menyisipkanitu itu, maka Ia harus pula menjadi sumber
keluarNya Roh Kudus. Itulah asal mulanya “filioque” itu disisipkan secara sepihak oleh Gereja Barat.
Seandainya saja para penyisip dari Gereja Barat di zaman purba dan kedua penulis Protestan modern itu
memperhatikan anak-kalimat berikutnya dalam Pengakuan Iman Nikea “…Roh Kudus…yang bersama Sang
Bapa dan Sang Putra disembah” itu, pastilah tak akan khilaf menuduh bahwa penolakan “filioque”
menjadikan seolah-olah Kristus tidak ilahi seperti yang diyakini Arianisme dan seolah-olah menjadi
pemahaman Roh Kudus yang tidak Kristosentris. Jadi pembicaraan tentang Roh Kudus itu bukan hanya
“menentukan dan mencirikan” hubungan manusia Allah tadi, namun juga menentukan sifat ke-Esa-an Allah,
dan hubungan yang ada antara Allah, FirmanNya dan RohNya. Masalah “filioque” adalah masalah
hubungan yang ada di dalam Diri Allah itu, bukan nisbah antara Allah dan manusia, karena untuk
menjelaskan hubungan antara Roh Kudus dengan Allah dan FirmanNya/Sang Putra itulah sisipan itu
dilakukan.

Salah faham selanjutnya dinyatakan dengan jelas oleh Dr. Boland dan Dr. Niftrik diatas dalam kata-
kata: “Pembicaraan tentang Roh Suci menentukan dan mencirikan pembicaraan tentang nisbah manusia dan
Allah. Apabila hanya dikatakan bahwa Roh itu keluar dari Allah Bapa yang Khalik maka nisbah manusia - Allah
terutama dipandang sebagai nisbah makhluk-Khalik.”

Pernyataan ini menunjukkan anggapan bahwa penolakan sisipan filioque menyebabkan Gereja Orthodox
mempercayai bahwa Roh Kudus itu keluar dari Allah (Sang Bapa) liar tanpa ada sangkut pautnya dengan
Sang Putra, karena tidak juga keluar dari Sang Putra. Akibatnya Roh Kudus itu tidak menyatakan Sang Putra
(Firman Allah) kepada manusia tetapi menyatakan diriNya sendiri.Jika demikian hubungan manusia dengan
Allah itu bukan lagi seorang anak ketebusan Allah, namun sebagai makhluk biasa, karena Roh Suci tidak
menyatakan Sang Putra yang menjadi penebus yang menyebabkan manusia diangkat menjadi anak Allah,
demikian kritik itu berlanjut. Kesalahan kritik dan kekeliruan pendapat ini kiranya tak perlu dibahas lagi,
karena sudah jelas posisi Orthodox akan masalah ini. Dikatakan pula oleh Niftrik dan Boland “Lagi pula
bahwa bahayanya ialah bahwa Roh Kudus dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang terdapat di alam Kosmos
atau Alam Khalik.” Memang jika keluarnya Roh Kudus dari Sang Bapa itu secara liar, dan tanpa ada sangkut-
pautnya dengan Sang Putra (Kalimatullah), padahal tak ada ajaran Orthodox yang demikian, maka itu akan
menjadi seolah-olah Roh Allah terlepas bebas dari Sang Putra (Kalimatullah), Roh yang berdiri sendiri. Ini
akan memunculkan anggapan Roh Allah itu hanya sekedar kekuatan tanpa pribadi, seperti yang diajarkan
sekte Saksi Yehuwah, atau beberapa segmen tertentu dalam Gerakan Kharismatik yang mengidentikkan
Roh Kudus dengan salah satu “karuniaNya”, bahasa lidah misalnya, yang justru keduanya itu termasuk
dalam lingkup Gereja Barat, yang bukan ajaran Iman Orthodox.

Karena Roh Kudus itu hanya dikirim keluar dari Bapa untuk menyatakan Yesus Kristus kepada manusia
Maka Roh Suci tidak menyatakan diri pribadiNya, sehingga menekankan Roh Suci yang tak bersifat
Kristologis akan mengidentikkan Roh Suci dengan semangat-semangat atau ilham-ilham, serta tanda-tanda
heran tertentu. Akhirnya bermacam-macam ajaran dan macam kebenaran muncul, yang ditandai dengan
munculnya begitu banyak aliran pengajaran yang berbeda satu dengan lainnya. Bukankah justru yang
ditakutkan Dr. Boland dan Niftrik itu tak terjadi dalam Gereja Orthodox yang menolak “filioque” karena
dimana-manapun ajaran Orthodox yang Kristosentris itu satu dan sama meskipun memiliki macam-macam
Yuridiksi atau wilayah Hukum Gerejawi, malah terjadinya dalam Gereja Barat yang memaksakan “filioque”
itu?.

Selanjutnya Dr. Boland dan Dr. Niftrik menyatakan lagi: ”Kehidupan Gereja Orthodox ditentukan oleh
pemujaan atau worship tapi kegiatan keluar tidak dapat berkembang”.

Memang Gereja Orthodox terkenal dengan penyembahannya karena memang untuk itulah kita dipanggil
oleh Allah, untuk menyembah Dia. Penyembahan dalam Gereja Orthodox adalah sarana panunggalan
dengan Kristus dalam Roh Kudus, bukan karena akibat percaya pada “Roh sebagai sesuatu atau suatu
kekuatan dalam kosmos, atau alam Khalikah” seperti yang dipahami kedua penulis secara amat keliru itu.
Sedangkan tuduhan bahwa Gereja Orthodox itu “kegiatan keluar tidak dapat berkembang,” ini hanya
pendapat orang yang mengetahui sejarah Gereja Orthodox lebih mendalam saja.. Jadi dalam pandangan
Iman Kristen Orthodox penambahan “filioque” itu sangat serius sekali karena mengubah makna ke-Esa-an
Allah, sifat ke-Esa-an Allah, hubungan Allah dengan Firman dan RohNya secara azali, juga makna
keselamatan serta panunggalan manusia dengan Allah itu. Filioque telah mengubah ajaran Injil menjadi
ajaran filsafat Yunani, dan menjadikan ajaran Injil menjadi sesuatu yang lain daripada apa yang diajarkan
Kitab Suci.

BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Fri Jan 04, 2008 2:55 pm

5.Kasus Ayat-Ayat Yang Menyatakan Yesus Lebih Rendah dari Allah

Dari pembahasan kita diatas telah kita buktikan bahwa sebagai Firman Allah yang berada satu di dalam diri
Allah yang Esa dan memiliki dzat-hakekat ke-ilahi-an yang satu dan yang sama di dalam diri Allah yang satu
itu, maka dalam hakekat keilahianNya yang kekal Yesus Kristus adalah “setara dengan Allah” sebagaimana
yang dikatakan : ”…Yesus Kristus, yang walaupun DALAM RUPA ALLAH,tidak menganggap ke-SETARA-an
DENGAN ALLAH itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya
sendiri, dan MENGAMBIL RUPA SEORANG HAMBA…” ( Filipi 2:5-7).

Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Yesus Kristus adalah “setara dengan Allah”, yaitu dalam keberadaanNya
sebagai “rupa Allah” atau “Gambar Allah”, yaitu Firman Allah yang kekal. Namun dalam keberadaan
“mengosongkan diriNya” Ia telah “mengambil rupa seorang Hamba” berarti Ia adalah Hamba Allah. Sebagai
“Hamba Allah” tentunya Ia tidak setara dengan Allah, lebih rendah dari Allah, dan adalah makhluk ciptaan
Allah.Karena itulah dalam Kitab Suci disamping terdapat ayat-ayat yang menunjukkan ke-setara-an Yesus
Kristus dengan Allah, dan berada satu di dalam diri Allah itu, terdapat juga ayat-ayat yang menunjukkan
bahwa Ia sama sekali berbeda dari Allah, lebih rendah dari Allah dan adalah makhluk Allah. Para penulis
Muslim biasanya menggunakan ayat-ayat jenis kedua ini untuk membuktikan bahwa Yesus Kristus hanya
sekedar Rasul dan manusia biasa saja, dalam polemiknya menentang keyakinan Kristen akan ke-ilahi-an
Yesus Kristus itu.. Sedangkan kaum “Saksi Yehuwah” juga menggunakan ayat-ayat yang sama untuk
membuktikan bahwa Yersus Kristus meskipun telah ada sebelum dunia dijadikan namun Ia hanya sekedar
makhluk pertama yang diciptakan Allah untuk membantu Allah Yehuwah dalam menciptakan makhluk-
makhluk yang lain.
Ayat-ayat yang dimaksud adalah sebagai berikut:

“…Engkau (Bapa) satu-satunya Allah yang benar, dan…Yesus Kristus yang telah Engkau utus….Oleh sebab
itu ya Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Ku-miliki di hadiratMu sebelum
dunia ada” (Yohanes 17:3,5)

Baik pengikut Saksi Yehuwah maupun polemikus Islam, sering mengutip Yohanes 17:3 untuk membuktikan
bahwa Yesus itu tak lebih dari seorang utsuan (Rasul) dari Allah yang Esa. Bagi pengikut Saksi Yehuwah Ia
hanyalah penjelmaan Ciptaan Pertama yang sudah ada sebelum dunia dijadikan, bagi kaum Muslimin, ini
bukti bahwa Yesus adalah manusia biasa yang diutus Allah, tak lebih dari itu. Tanpa menyangkal bahwa
Yesuws memang Utusan Allah dan bahkan “Rasul ..yang kita akui” ( Ibrani 3:1), kita harus melihat ayat ini
dengan kaitannya dengan Yohanes 17:5 sebagai konteksnya. Dalam Yohanes 17:5, Yesus mengatakan
bahwa Ia telah memiliki kemuliaan di hadirat Allah sebelum dunia dijadikan. Pengakuan Yesus dalam
doanya itu telah menggugurkan tafsiran bahwa Yesus hanya sekedar manusia biasa tak lebih dari itu.
Sebab manusia biasa tak mungkin sudah ada sebelum dunia dijadikan. Namun itu belum menjawab
sanggahan Saksi Yehuwah, sebab mereka juga percaya bahwa Yesus memang sudah ada sebelum dunia
dijadikan, sebagai makhluk pertama yang membantu Allah dalam menciptakan. Faham ini tersanggah oleh
Yesaya 44:24 yang mengatakan bahwa Allah hanya seorang diri dan tanpa pendamping ketika menciptakan
dunia. Juga faham ini tersanggah oleh ajaran “Tauhid Rububiyah” yaitu bahwa Allah sendirian saja dalam
memiliki kuasa dan menciptakan dunia. Kalau dewmikian dimana Yesus sebelum dunia dijadikan itu dalam
“hadirat” Allah itu? Yohanes 8:42, menegaskan “….Aku KELUAR….dari Allah…” Yesus menyatakan diri “keluar
dari Allah”, berarti sebelumnya Ia berada dalam diri Allah. Tentu saja keberadaanNya di dalam Diri Allah
(“hadirat”) Allah, itu bukan wujud jasadNya yang keluar dari rahim Maryam itu, namun dalam keberadaan
“ruh/ghoib” sebelum menjadi manusia. Jika Ia nberada di dalam diri Allah, berarti Ia itu satu dalam dzat-
hakekat Allah. Sebagai apa Yesus dalam keberadaan non-manusiawi itu berada dalam diri Allah? Sebagai
hypostasis yang melaluiNya Allah menciptakan dunia ini ( Ibrani 1:2-3). Padahal Allah menciptakan dunia ini
melalui “Firman” ( Yohanes 1:1-3, Kejadian 1, Mazmur 33:6), berarti Ia berada dalam diri Allah sebagai
“Firman Allah” yang melekat dan berada satu di dalam dzat-hakekat Allah yang satu itu. Dalam arti ini
Firman memang menjadi “asal-usul dari segenap ciptaan Allah” atau sebagai “awal-mula dari ciptaan Allah”
atau sebagai “permulaan (mula-asalnya) dari ciptaan Allah” ( Wahyu 3:12). Jadi Yesus bukan “permualan dari
ciptaan Allah” sebagai “ciptaan Allah yang pertama sekali” seperti yang ditafsirkan kaum Saksi Yehuwah,,
namun sebagai “permulaan asal dari segenap ciptaan Allah”, sumber asalnya darimana ciptaan Allah itu
dijadikan oleh Allah.
Dengan demikian ke-Esa-an Allah tak terlanggar, seperti yang dilakukan oleh Saksi-Saksi Yehuwah, dan ke-
ilahi-an Yesus dan kesatuanNya dalam dzat-hakekat Allah sebagai “Kalimatullah” tidak disangkal, seperti
yang dilakukan baik oleh Islam maupun oleh Saksi-Saksi Yehuwah. Dan karena “Firman itu telah menjadi
manusia” (Yoh. 1:124), maka Ia telah hadir ke dunia, dan turun dari sorga (Yohanes 6:38), Dan turunNya dari
sorga serta menjelma menjadi manusia ini adalah kehendak Allah, berarti Yesus memang diutus Allah
untuk turun dari sorga ke bumi sebagai “Firman yang menjadi manusia”. Jadi memang Yesus adalah
“Utusan Allah” atau “Firman yang diutus ke bumi oleh Allah”. Dengan demikian tidak ada kontradiksi antara
ke-ilahi-an Yesus sebagai Firman yang menjelma, dengan keberadaanNya sebagai “utusan” itu. Makna
utusan disini bukan hanya sekedar Rasul yang diangkat Allah untuk menyebarkan firman Allah saja, namun
Ia adalah memang Firman itu yuang diutus turun ke bumi, tanpa meninggalkan kesatuanNya dengan Allah.

“Bapa-Ku , yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar dari siapapun (berarti termasuk Yesus Kristus
sendiri)….Aku dan Bapa adalah satu…..Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diriMu
dengan Allah” ( Yohanes 10:30-31)

“…Aku pergi kepada Bapa-Ku, sebab Bapa lebih besar dari pada Aku” (Yohanes 14:28)

Kedua ayat diatas menegaskan bahwa “Bapa” (“Allah”), lebih besar dari Yesus. Dengan demikian Yesus tidak
sama dengan Allah, maka Yesus adalah sekedar makhluk saja: entahkah itu makhluk pertama yang
membantu Allah mencipta dunia seperti ajaran Saksi Yehuwah, ataukah hanya sekedar manusia biasa yang
diangkat menjadi rasul seperti yang ditekankan oleh Islam. Pernyataan Yesus ini tidak boleh dikutip secara
terpisah dari konteksnya. Dalam Yohanes 10:29 ketika Yesus menyatakan bahwa “Bapa lebih besar dari
siapapun” termasuk diriNya itu,: ditegaskan lagi bahwa “Aku dan Bapa adalah satu”, yang reaksi orang
Yahudi langsung jelas mengerti bahwa Yesus “menyamakan diri dengan Allah”.

Jikalau dalam konteksnya Yesus jelas dimengerti sebagai menyamakan diri dengan Allah, karena
pernytaaNya akan satuNya dengan Allah itu, mengapa Ia mengatakan bahwa Bapa lebih besar dari diriNya?
Jawabanya ada dua :1) dari titik pandang kekal, dimana hypostasis Bapa memang menjadi sumber dari asal
FirmanNya sendiri. Artinya “Firman Allah” itu dikeluarkan/diperanakkan dari Allah, dan Firman itu ada
karena Allah itu ada. Dalam arti inilah Allah dapat dikatakan sebagai Kepala Kristus, karena Allah adalah
sumber dan asal-usul dari keberadaan FirmanNya sendiri: “…Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus,
kepala dari perempuan adalah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah” ( I Korintus 11:3). Sebagai
hypostasis yang daripadaNya Firman itu berasal sejak kekal abadi, dengan demikian Allah adalah Kepala
dari Firman ini, maka dalam makna ini saja dapat dikatakan Bapa lebih besar dari Anak. Namun dalam
dzat-hakekat keilahian, tidak ada yang lebih besar atau lebih kecil antara Allah dan FirmanNya, antara Bapa
dan Anak..Sebab Firman Allah berada dalam dzat-hakekat Allah yang satu dan yang sama, - serta tak ada
duanya -, yang berada di dalam diri Allah yang Esa itu. Maka Bapa tidak lebih Allah dari-pada Firman.
“Kepenuhan Allah” yang ada pada Bapa itu sepenuhnya bersemayam dalam Anak (Kolose 1:19- 2:9), karena
Anak berada satu dalam diri Bapa.

Jadi, tidak ada “Allah kedua”, tidak pula ada “Allah Yehuwah” dan “allah” Ciptaan Pertama, atau “seorang
allah” sebagai Ciptaan yang dijadikan lebih dahulu, seperti ajaran saksi Yehuwah. Ajaran Saksi Yehuwah ini
adalah ajaran berhala, dan politheisme (musyrik) pada dasarnya. 2) dari titik pandang Inkarnasi (“Firman itu
telah menjadi manusia”’). Sebagai yang telah mengambil “Rupa Hamba”, Yesus jelas lebih rendah dari Allah,
jadi Allah memang lebih besar dari Yesus, dari titik pandang karya Inkarnasi ini. Dengan demikian dalam
arti ini Allah memang AllahNya Yesus: “Kata Yesus kepadanya:’…..Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan
Bapamu, Allah-Ku dan Allahmu “ ( Yohanes 20:17, Wahyu 3:12). Dan dalam arti sebagai Hamba Allah ini Ia
dapat mengatakan : “Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorangpun tahu, malaikat-malaikat di sorga
tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa saja” ( Markus 13: 32).
Meskipun ini tak berarti bahwa dalam ke-ilahi-anNya sebagai Firman Allah yang kekal Ia tak tahu kapan
datangnya kiamat. Sebab jikalau Ia mengetahui tanda-tanda akan datangtNya kiamat, dan tanda-tanda
akan kedatanganNya yang kedua kali, sertra apa yang akan terjadi menjelang kliamat dan kedatanganNya
yang begitu rinci dan mendalam itu, apakah sulitnya Ia untuk mengetahui kapan datangnya Hari itu
( Matius 24). Perkataan diatas hanya diucapkan untuk memuliakan Sang Bapa, karena untuk tujuan itu Ia
datang ke dalam dunia. Dan karena Inkarnasi Kristus akan bersifat kekal, maka dari siri kodrat
kemanusianNya ini maka di Hari Kiamat nanti: ”…..Anak akan menaklukkan diri-Nya dibawah Dia, yang telah
menaklukkan segala sesuatu dibawahNya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua” ( I Kor. 15:29). Dan
semua ayat manapun dalam seluruh Alkitab yang menunjukkan seolah-olah Yesus itu berbeda dan lebih
rendah dari Allah, harus dilihat dari dua titik pandang ini. Entahkah dalam titik pandang kekal, sebagai
“hypostasis Firman yang diperanakkan oleh Bapa” dimana Allah itu menjadi sumber dan asal-usulNya.
Ataukah dari tiik pandang Inkarnasi, dimana sebagai yang teklah mengambil “Rupa Hamba” Ia memang
makhluk Allah dan tidak sama serta lebih rendah dari Allah. Namun dalam keberadaanNya sebagai “Firman
Allah”: ( Yohanes 1:1), “Gambar Allah” ( Kolose 1:15, Ibrani 1:3). “Rupa Allah” ( Filipi 2:5-6), “Anak Allah yang
tunggal” ( Yohanes 1:18), Ia itu “setara dengan Allah”, artimnya melekat satu di dalam diri Allah, yang
memiliki dzat0hakekat keilahian yang identik satui dan sama di dalam diri Allah itu.

Jadi, semua mukjizat-mukjizat Yesus itu bukan enyebab” Ia dianggap dan diper-ilah sebagai Allah oleh
orang Kristen, namun justru sebaliknya, mukjizat-mukjizat itu bukti ke-ilahi-anNya. Para polemikus Mulsim
sering mempermaslahkan bahwa jika Adam lahir tanpa Bapak-Ibu padahal Yesus hanya lahir tanpa Ibu saja
mengapa Adam tidak dianggap Tuhan? Jika Musa bebuat mukjizat dan Yesus juga berbuat mukjizat
mengapa Musa tidak dianggap Tuhan? Jika Elia naik ke siorga dan Yesus juga naik ke siorga mengapa Elia
tidak dianggap Tuhan? Dan pertanyaan lain yang senada dengan itu,. Jawabannya: 1) Jika masalah mukijzat
yang dijadikan acuan: tak satupun dari Nabi-Nabi yang disebutkan tadi dapat melakukan mukjizat seperti
Yesus: Adam lahir tanpa bapak-ibu, namun Ia tak berbuat mukjizat,. Musa dan Elia berbuat mukjizat,
namun mereka tidak bangkit dari anatara orang mati, dan tidak dilahirkan tanpa bapak-ibu, masing-masing
ini hanya melakukan mukjizat-mukjizat sebagain saja, sedangkan tak satupun yang dapat mengalahkan
mukjizat Yesus. Lahirnya secara mukjizat, pelayanannya seluruhnya bersifat mukjizat, dalam kematianNya
Ia bangkit secara mukjizat, dan naik ke sorgaNya diberi segala kuasa di sorga dan diatas bumi .

Tak seorang Nabipun yang memiliki syarat-syata mukjizat seperti ini. Ini disebabkan karena para Nabi itu
memang bukan Tuhan Karena umat Kristen mengakui Yesus sebagai Tuhan bukan disebabkan oleh
“mukjizat-mukjizat “ itu. Mukjizat-mukjizat Yesus adalah bukti keberadaan kekalNya sebagai “Firman Allah”
jadi bukan –“penyebab” Ia diangkat menjadi Tuhan..2). Dari pengakuan-pengakuan Yesus sendiri. Ia
megakui sudah ada sebelum dunia dijadikan ( Yohanes 17:5,24, 8: 56-58), Ia menyatakan sudah berada di
hadirat Allah sebelum dunia dijadikan ( Yohanes 17:5), Ia menyatakan “keluar dari Allah” ( Yohanes 8:42), Ia
menyatakan diri telah turun dari sorga ( Yohanes 6:38), Ia menyatakan diri bukan berasal dari dunia ini
( Yohanes 17: 15) dan masih banyak lagi. Tak seorang Nabipun yang mengaku demikian ini. Dan
pengakuan-pengakuan tadi dibuktikan oleh mukjizat-mukjizat tadi, yang berpuncak pada mukjizat
kebangkitanNya dari antara orang mati.

Tak ada seorangpun bangkit dari maut dan hidup terus, apalagi bangkit dari kekuatan kuasaNya sendiri
seperti yang dilakukan Yesus (Yohanes 10:17-18).. Peristiwa-peristiwa orang yang dihidupkan dari kematian
baik oleh Nabi Elia, Elisa, maupun oleh Yesus Kristus itu hanya bersifat sementara, dan akhirnya orang itu
mati lagi, jadi sama sekali tak dapat disamakan dengan kebangkitan Yesus Kristus. Juga kasus Elia (II Raja
1:9-12) dan Henokh (Kejadian 5: 24, Ibrani 11: 5) yang diangkat ke sorga tak dapat disamakan dengan kasus
kenaikan Kristus ke sorga. Karena mereka tidak bangkit dari kematian, namun hanya sekedar diangkat ke
sorga, untuk nantinya turun lagi ke bumi agar mengalami kematian di tangan Anti-Kristus ( Maleakhi 4:5-6,
Wahyu 11: 3-12), lalu dibangkitkan oleh kuasa Allah, naik ke sorga. Jadi prosesnya sama dengan manusia
lain yang akan dibangkitkan diakhir jaman nanti, namun berbeda dengan kenaikan Yesus ke sorga yang
diangkat dalam kemuliaan, diberikan segala kuasa baik di sorga maupun di bumi, serta yang duduk di
sebelah kanan Allah.
Semua “kelemahan-kelemahan” Yesus: sebagai bayi kecil yang lemah, merasa lapar, merasa haus, bersedih,
takut, berteriak “Eli,Eli Lama Sabakhtani” ketuika disalibkan, mengalami kematian, dan segenap ciri-ciri
kemanusiaan yang lain, adalah bukti bahwa Yesus benar-benar manusia sejati. Jika Ia tidak memiliki itu
semua Ia justrui bukan manusia, dan ini bertentangan dengan ajaran Alkitab bahwa Firman itu “TELAH
MENJADI MANUSIA” (Yohanes), dan bahwa :”…DALAM SEGALA HAL IA HARUS DISAMAKAN DENGAN
SAUDARA-SAUDARANYA (:Manusia)…” ( Ibrani 2:17). Data-data “kelemahan-kelemahan” Yesus secara
manusia itu adalah bukti kebenaran Alkitab yang menytakan bahwa dalam segala hal Yesus sama dengan
manusia. Dan sering data-data kemanusiaan ini yang digunakan oleh para polemikus Islam untuk
menyangkal ke-ilahi-an Yesus. Kita juga akan menyangkal ke-ilahi-an Yesus dari data kemanusiaan itu,
karena iman kita mengatakan yang manusia dalam Yesus itu tak berbaur dengan yang ilahi. Yang Ilahi
adalah inti pribadi terdalam dari manusia Yesus yang adalah “Firman Allah” ( yang meskipun sedang nuzul
sebagai manusia, pada saat yang bersamaan tetap hadir satu di dalam dzat-hakekat Allah), dan itulah yang
kita sembah, bukan makhluk manusiaNya. Kita tak menyembah makhluk namun menyembah Allah dalam
FirmanNya.

Dalam jubah “daging kemanusiaanNya” itu pandangan iman orang Kristen tidak berhenti hanya disitu saja,
namun dapat menembus jauh ke dalam, yaitu melihat Firman yang menjadi inti pribadi Yesus sebagai
Firman Allah. KemanusiaanNya adalah jubah ke-ilahi-anNya dalam nuzulNya atau turunNya serta
penampakanNya kepada manusia. Kita tidak menyembah jubahNya, namun inti pribadi yang ada di dalam
jubah itu, yaitu “Firman Allah”, namun karena jubah itu tak dapat dilepaskan dari Sang Pemakai Jubah,
maka penyembahan kita harus melalui dan melewati jubah itu untuk sampai kepada Sang Pemakai Jubah
itu, yaitu Firman Allah sendiri, karena Ia berada dalam jubah itu, dan tak dipisah dari Jubah itu, karena
Jubah itu berwujud suatu kemanusiaan yang hidup dan berakal-pikiran secara sempurna... Itulah sebabnya
mukjizat-mukjizat Yesus memang tak dapat disamakan dengan mukjizat siapapun dari antara para Nabi,
maka jelas tak mungkin seorang Kristen dapat mengakui siapapun diantara para Nabi sebagai Tuhan
dikarenakan mukjizat-mukjizat mereka, karena mereka memang bukan Allah. Sedangkan Yesus
menyatakan diri sebagai Tuhan ( Yohanes 13:13), karena Ia memang adalah Firman Allah yang adalah
“Allah” (Yohanes 1:1)

BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Sat Jan 05, 2008 6:52 am

II. Aqidah Tentang Malaikat, Iblis dan Manusia.

1. Allah Sebagai Pencipta Segala Sesuatu.

Sumber Ciptaan Sifat Kasih dan Kehendak Allah


Setelah kita bahas diatas mengenai keberadaan Allah yang Esa itu, selanjutnya Pengakuan Iman Nikea
menjelaskan bahwa Allah yang Esa itu adalah “Pencipta Langit dan Bumi” , dan dari jenis ciptaan yang
diciptakan baik di “Langit” maupun di “Bumi” terdapat dua macam jenis makhluk yaitu “Yang Kelihatan” ,
dan “Yang Tak Kelihatan” . Untuk itu marilah kita bahas beberapa masalah sekitar terjadinya ciptaan dan
alam-semesta ini.

Telah kita bahas bahwa di dalam kekekalan azali dalam diri Allah, terdapat suatu gerakan kasih dan
kebahagiaan abadi di dalam kedalaman essensi / dzat-hakekat Allah yang satu itu. Karena Allah mengasihi
diriNya dalam FirmanNya oleh RohNya, dalam DiriNya sendiri yang tunggal itu. Dengan demikian Allah itu
berdiri sendiri, mampu mengasihi, dapat dikasihi, mampu menyatakan kemuliaanNya, dan melihat
penyatan kemuliaanNya itu melalui FirmanNya di dalam RohNya dalam dzat-hakekat diriNya yang Esa itu.
Sehingga terdapat hubungan kekal dalam Allah itu, karena itu di dalam Allah itu terdapat FirmanNya yang
saling-pandang secara kekal dengan Bapa di dalam RohNya.

Di dalam kasih yang kekal-azali inilah Allah merencanakan untuk menciptakan makhlukNya dengan
manusia sebagai puncaknya. Hal ini terjadi akibat gerak kasih Bapa kepada Putra secara kekal itu. Sifat
kasih adalah ingin membagikan kasih tadi kepada seseorang diluar dirinya. Padahal kasih kekal Allah
terhadap FirmanNya itu terjadiNya bukan diluar diri Allah, namun dalam dzat-hakekat Allah yang Esa itu
sendiri. Itulah sebabnya sejak kekal agar ada sesuatu diluar Allah yang kepadanya kasih itu dapat
dicurahkan, ciptaan itu sudah ada dalam rencana Allah dalam bentuk kemungkinan yang belum
direalisasikan. Karena dimana ada kasih disitu ada gerak untuk memberikan sesuatu diluar dari diri yang
mengasihi itu. Karena dalam kekekalan azali itu tidak ada lain diluar diri Allah, maka Allah merancangkan
adanya sesuatu diluar diriNya. Dan sesuatu diluar diriNya yang dirancang secara kekal itulah nantinya akan
menjadi ciptaan. Dengan demikian penciptaan manusia itu juga akibat dari “kehendak Allah” yang timbul
dari kasihNya itu. Sebagaimana yang dikatakan: ”Dalam KASIH Ia telah menentukan kita dari
semula…” ( Efesus 1:5) Sehingga tujuan Allah menciptakan manusia, adalah agar manusia ikut serta ambil
bagian di dalam kebahagiaan dan kasih yang kekal yang ada dalam Allah ini,supaya manusia dapat juga
mengambil bagian di dalam sifat-sifat Allah, yaitu “ …supaya kita kudus dan tak bercacat
dihadapanNya” (Efesus 1:4) sehingga kita menjadi seperti Allah yaitu: ”…menjadi anak-anakNya…” ( Efesus
1:5). Karena manusialah yang menjadi sasaran puncak dari diciptakannya alam –semesta ini, maka tujuan
diadakannya alam-semesta adalah untuk keperluan manusia tadi.

Rencana kekal untuk menciptakan itu akhirnya direalisasikan semata-mata oleh kehendak Allah yang bebas
meredeka tanpa didorong oleh kebutuhan ataupun keharusan baik dari luar maupun dari dalam diri Allah
sendiri. Allah melakukan segala sesuatu dalam mencipta ini hanya berdasarkan “kerelaan
kehendakNya” berlandaskan pola rancangan yang sudah ditetapkan. Kitab Suci mengatakan mengenai hal
ini demikian: ” …Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena KEHENDAKMU semuanya itu
ada dan diciptakan” ( Wahyu 4:11).

Kehendak Allah dalam mencipta yang kekal yang semata-mata sesuai dengan rencana Allah itulah, yang
oleh Kitab Suci disebut sebagai “rencana kerelaanNya” yaitu “rencana kerelaan yang dari semula telah
ditetapkanNya” (Efesus 1:9). Dengan demikian Allah menciptakan dan kemudian menebus ciptaan itu,
bukanlah dipaksa oleh suatu keharusan atau kebutuhan, karena Allah tidak memiliki keharusan atau
kebutuhan yang memaksaNya, semuanya adalah karena Ia memiliki kerelaan dalam merencanakan.
Sehingga berdasarkan dan sesuai dengan apa yang jadi rencana yang dari semua telah ditetapkan itulah Ia
mencipta, sebagaimanna yang dikatakan oleh Kitab Suci demikian: ”….Allah, yang dalam segala sesuatu
bekerja menurut keputusan kehendakNya” (Efesus 1:11). Dan “keputusan kehendak” ini dilakukan “sesuai
dengan rencana kerelaanNya” ( Efesus 1:9).

Demikianlah maka rencana kerelaan Allah untuk menciptakan makhluk (-dan kemudian menebusnya-) itu
terjadi karena “gerak kasih” kekal yang ada di dalam diri Allah. Dan “gerak kasih” kekal ini mengakibatkan
“rencana kerelaan” Allah, dan “rencana kerelaan” itu dilaksanakan segala karya dan kerja Allah menurut
“keputusan kehendakNya”. Dengan demikian kehendak Allah itulah yang menyebabkan terjadinya dan
adanya segala sesuatu dalam alam ciptaan ini. Karena semuanya terjadi oleh kehendak Allah akibat dari
kasihNya tadi, maka jelas alam semesta itu berbeda dari Allah sendiri. Ia tak memiliki kodrat yang se-esensi
dengan Allah. Ia tidak kekal dalam realitanya dengan Allah, alam-semesta ada secara kekal dalam
“rancangan “ Allah hanya dalam wujud angan-angan, potensi dan kemungkinan dan bukan realita yang
memiliki substansi atau kenyataan. Oleh karena itu alam-semesta itu tidak sama kekalnya dengan Allah. Ia
baru ada setelah kehendak Allah diputuskan untuk merealisasikan apa yang telah dirancang sebagai
kemungkinan dan potensi itu. Jadi alam semesta tidak dijadikan dari bahan kekal yang sudah ada. Namun
tanpa bahan serta tiba-tiba dimunculkan Allah setelah “keputusan kehendak “ Allah itu mulai bekerja.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Kitab Suci, demikian: ”…alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah,
sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat dilihat” ( Ibrani 11: 3).

Terjadinya “apa yang kita lihat” ini yaitu alam-semesta dengan aneka-ragam bentuk dan namanya ini,
bukanlah dari bahan kekal yang sudah ada, namun “dari apa yang tidak dapat dilihat.” “Apa yang tidak
dapat dilihat” itu adalah rencana kekal dan kehendak Allah yang menjadikan, yang secara kekal berada di
dalam diri Allah itu. Berarti alam-semesta itu bukan bagian dari diri Allah, tidak sehakekat dengan Allah,
serta tidak memiliki sifat ilahi. Alam-semesta itu tak bersifat kekal, namun baru, dan ini terjadi semata-mata
karena kehendak dan kerelaan Allah, bukan karena adanya paksaan kebutuhan maupun keharusan di
dalam diri Allah. Inilah yang disebut sebagai “creatio ex-nihilo” (“penciptaan dari ketiadaan”). Dengan
demikian alam-semesta itu bukan menjadi sasaran pemujaan, namun sebagai sarana untuk merenungkan
kebesaran karya Allah, serta manifestasi dari keluhuran, keagungan dan kemuliaanNya.

“Logoi” dari Ciptaan

Dengan demikian alam-ciptaan ini bukan hanya sekedar suatu realita materi yang tak memiliki makna
rohani sama sekali. Karena Alkitab mengajarkan demikian: ’Langit menceritakan kemuliaan Allah dan
cakrawala memberitakan pekerjaan tanganNya “ (Mazmur 19 :1). Dan juga : ” Sebab apa yang tidak nampak
daripadaNya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahianNya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-
Nya sejak dunia diciptakan…” ( Roma 1:20), serta : ”Kudus, kudus, kuduslah, TUHAN semesta alam,, seluruh
bumi bumi penuh kemuliaanNya.” ( Yesaya 6:3) .

Menurut ayat-ayat ini alam-semesta hasil ciptaan Allah itu ternyata tidak ditimnggalkan dalam keadaan
“alami-murni”, tanpa kaitanNya dengan Penciptanya, setelah awal diciptakannya. Dalam alam-semesta
“kemuliaan Allah”, “pekerjaan tanganNya”, “kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya” diceritakan ,
diberitakan oleh alam-semesta, karena itu hadir dalam ciptaan itu serta memenuhi alam-semesta tersebut.
Kehadiran “kemuliaan Allah”, “pekerjaan tanganNya,” serta “kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya”
yang memenuhi cakrawala, langit dan bumi ini, disebabkan bumi ini tidak ditinggalkan tanpa campur
tangan Allah dalam perjalanan sejarahnya. Karena Kristus. sebagai Firman Allah yang menjelma itu
mengatakan: ”Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga” (Yohanes 5:17). Ini berarti
bahwa setelah Allah selesai menciptakan pada awalnya, Ia terus memelihara ciptaanNya itu sampai kini.
Sehingga dalam alam-semesta ini terdapat pemeliharan dan penyelenggaraan Ilahi.Sehingga alam-semesta
ini dapat maujud terus karena ditopang oleh kuasa Firman Allah, melalui hypostasis dari SabdaNya sendiri,
sebagaimana yang dikatakan oleh Almasih diatas. Hal ini diteguhkan oleh ayat yang lain, demikian:  ”…Oleh
Dia (Anak Allah, Firman Allah) Allah telah menjadikan alam-semesta. Ia (Anak Allah, Sabda-Firman Allah)
adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan MENOPANG SEGALA YANG ADA DENGAN
FIRMANNYA YANG PENUH KEKUASAAN…” (Ibrani 1:2-3).
Dengan demikian tetap lestarinya alam-semesta sesudah ciptaan awalnya, adalah karena ditopang oleh
Allah, melalui firman yang penuh kekuasaan dari hypostasis SabdaNya sendiri Oleh karena itulah alam-
semesta itu itu tetap tegak berdiri dan ada karena : ”…di dalam Dialah (Anak Allah, Firman Allah) telah
diciptakan segala sesuatu….Ia (Firman Allah) ada terlebih dahulu dan segala sesuatu ada di dalam Dia (“ en
autoo synesthiken” = tegak bersama dalam Dia)” ( Kolose 1:17).

Ayat ini menjelaskan bahwa Firman Allah (Yesus Kristus) itu menjadi penopang dan poros dari berdiri
tegaknya alam-semesta ini. Sehingga jika tanpa topangan dari kuasa Allah melalui FirmanNya ini alam-
semesta sudah pasti hancur lebur. Padahal kita tahu bahwa cara Allah berkarya melalui FirmanNya di
dalam dunia ini adalah melalui “EnergiNya”. Dan sudah kita bahas bahwa Energi Ilahi itulah yang disebut
sebagai “kemuliaan Allah”. Untuk lebih jelasnya, baiklah kita ulang kembali hubungan anatara “kemuliaan
Allah” dan “Energi Allah ini”. Kita telah berbicara bahwa Yesus Kristus telah dibangkitkan oleh “kemuliaan
Bapa” (Roma 6:4). Dan bahwa “kemuliaan Bapa” itu adalah “Energi Allah” sebagaimana telah kita bahas
sebelumnya, dikatakan demikian oleh Alkitab:

“…dan betapa hebat kuasaNya (tees dynameoos autou) bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan
kuasaNya ( kata teen energheian tou kratos tees iskhyos autou = menurut energi dari kuasa kekuatanNya),
yang dikerjakanNya ( heen eneergheesen = yang dienergikan) di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia
dari antara orang mati…” ( Efesus 1:19-20).

Menurut ayat ini kuasa yang bekerja di dalam kita, adalah kuasa yang sama yang pernah bekerja dalam
membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati. Dan kuasa itu bekerja “menurut energi dari kuasa
kekuatanNya”. Berarti “Energi Ilahi” lah yang bekerja dalam “meng-energi-kan” Kebangkitan Yesus Kristus,
dan Energi Ilahi yang sama ini yang sekarang bekerja di dalam kita. Berarti kita mengalami Allah melalui
“Energi Ilahi” ini oleh karya Roh Kudus, di dalam Nama Yesus Kristus. Karena yang membangkitkan Yesus
Kristus itu adalah “Kemuliaan Bapa” , namun juga “Menurut Energi” Allah, berarti “Kemuliaan Bapa” itu tak
lain adalah “Energi Allah” sendiri. Disamping “kemuliaan Bapa” atau “Energi Ilahi” tak tercipta ini dapat
melakukan perbuatan-perbuatan mukjizat, energi ilahi ini juga menampakkan diri dalam nama aslinya
sebagai “kemuliaan” yaitu “cahaya yang bersinar” sebagaimana yang dikatakan : ” …Yesus berubah rupa…
wajahNya bercahaya seperti matahari dan pakaianNya menjadi putih bersinar seperti terang…” ( Matius
17:2 ) “….Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan pakaiannya sangat putih berkilat-kilat…” (Markus
9:2-3) “ Ketika Ia sedang berdoa, rupa wajahNya berubah dan pakaianNya menjadi putih berkilau-
kilauan…” ( Lukas 9:29).

Dan pengalaman perubah-rupaan Yesus ini dinyatakan oleh Petrus yang melihatnya sendiri
sebagai “kehormatan dan kemuliaan dari Allah” ( II Petrus 1: 17-18), yang akan nampak juga nanti pada
waktu kedatanganNya ( II Petrus 1: 16). Padahal kedatangan itu adalah kedatangan dalam “kemuliaan”
( Kolose 3:4), yang tak lain adalah berwujud cahaya atau api yang menyala-nyala ( II Tes. 1: 7). Berarti cahaya
seperti matahari, yang putih bersinar seperti terang berkilat-kilat dan berkilau-kilauan itu tak lain adalah
wujud penampakan dari kemuliaan Allah sendiri yang tak lain adalah penampakan dari “Terang Tak
Tercipta” atau ‘Energi Ilahi. Dari sini jelaslah bahwa “kemuliaan Allah”. “pekerjaan tanganNya”. “kekuatanNya
yang kekal dan keilahianNya” yang nampak pada ciptaanNya, serta yang memenuhi langit, cakrawala dan
bumi itu, tak lain adalah “Energi Ilahi” ini. Dengan demikian dalam alam-semesta ini dihadiri dan dibanjiri
oleh “energi ilahi” itu. Energi Ilahi yang hadir dalam alam-semesta inilah yang nanti akan mengubah alam
semesta itu menjadi langit baru dan bumi baru ( II Pet. 3:13), setelah alam-semesta itu “ …dimerdekakan
dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan KEMULIAAN ANAK-ANAK ALLAH” ( Roma
8:21) Karena “energi ilahi” itu hadir dalam alam-semesta, maka alam-semesta it jelas memiliki makna
rohani yang hanya manusia yang telah mengalami pembaharuan budi dapat melihat hadirat energi ilahi
dalam benda-benda tercipta ini. Masing-,masing benda ciptaan itu dihadiri oleh “energi ilahi” sesuai dengan
tujuan masing-masing diciptakan Allah. Kehadiran energi ilahi sesuai dengan tujuan masing-masing dalam
alam-ciptaan inilah yang dalam theologia Orthodox disebut sebagai “logos” (reason: alasan, tujuan) atau
“logoi” dari masing-masing ciptaan itu.Itulah sebabnya Iman Orthodox memiliki sikap hormat mendalam
terhadap alam-ciptaan, dan menentang segala exploitasi terhadap alam-semesta secara tak bertanggung-
jawab. Sebab alam-semesta ini mempunyai tujuan penciptaan yang mulia, yaitu kemuliaan eskhatologis,
sebagai akibat karya Sang Kristus di bumi ini. Mereka akan mendapat bagian dalam kemuliaan manusia di
akhir zaman nanti. Namun pada saat yang bersamaan Iman Orthodox menolak penyembahan terhadap
alam, serta menolak pantehisme, karena yang hadir dalam alam it bukanlah essensi ilahi, namun hanyalah
energi ilahi. Berarti hadirat ilahi dalam alam-semesta itu bukan secara esensi, yang berarti hakekat alam-
semesta itu tetap berbeda dari hakekat Allah, karena meskipn Allah berada dimana-mana dalam alam-
semesta ini, beradanya adalah berada dalam energi.

Mengidentikkan alam-semesta sebagai bersifat ilahi secara hakiki, adalah mengkacaukan Pencipta dengan
CiptaanNya. Inilah kemusyrikan dan esensi dari penyembahan berhala. Demikianlah orang-orang yang
hatinya sudah diterangi akan dapat melihat hadirat Allah dimana-mana dalam alam- semesta ini tanpa
jatuh pada menganggap alam-semesta itu sendiri sebagai Allah atau benda yang diper-ilah.

Pola Rencana Ciptaan Allah sebagai Hikmat Allah

Karena ciptaan ini terjadi akibat “gerak kasih” kekal dalam diri Allah, yang dimungkinkan terjadi karena
adanya interaksi dari hypostasis-hypostasis di dalam diri Allah Yang Esa ini. Dan itu hanya mungkin karena
Allah Yang Esa itu adalah memiliki sifat Tritunggal dalam diriNya Yang Esa itu. “Gerak kasih” di dalam Allah
inilah yang mengakibatkan “rencana kerelaan” Allah, dan sesuai dengan “rencana kerelaan” Allah itulah
dilaksanakan segala karya dan kerja Allah menurut “keputusan kehendakNya”. Dengan demikian kehendak
Allah itulah yang menyebabkan terjadinya dan adanya segala sesuatu dalam alam ciptaan ini. Oleh karena
itu rancangan kekal Allah itu bersifat kekal, dan terkait erat dengan “Firman Allah”, karena akibat kasihNya
kepada “FirmanNya” sendiri itulah menyebabkan adanya “rancangan” atau “pola rencana” bagi segenap
ciptaan itu. Dan “sesuai dengan” rencana itulah segenap alam semesta diciptakan.

Menurut Ayub 28:25-27, “Ketika Ia (Allah) menetapkan kekuatan angin, dan mengatur banyaknya air…
membuat ketetapan bagi hujan, dan jalan bagi kilat guruh” yaitu ketika Allah memutuskan untuk
merealisasikan terwujudnya ciptaan dengan unsur-unsurnya yang telah ditetapkan: “kekuatan angin”,
“banyaknya air”, “ketetapan bagi hujan” serta “jalan bagi kilat guruh”, “ketika itulah Ia (Allah) MELIHAT
HIKMAT “. Maka “Hikmat” yang dilihat Allah itu tak lain adalah “pola rencana” atau “cetak biru” yang sesuai
dengannya alam-semesta ini diciptakan.

Dan hal ini pula yang dikatakan dalam Amsal 8: 27-30 : ” Ketika Ia (Allah) mempersiapkan langit, aku
(“hikmat”) di sana, ketika Ia menggaris kaki langit pada permukaan air samudera raya, ketika Ia menetapkan
awan-awan di atas, dan mata air samudera raya meluap dengan deras, ketika Ia menentukan batas kepada
laut, supaya air jangan melanggar titah-Nya, dan ketika Ia menetapkan dasar-dasar bumi, aku (“hikmat”)
ada serta-Nya sebagai anak kesayangan, setiap hari aku menjadi kesenanganNya, dan senantiasa bermain-
main di hadapan-Nya…”

Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa ketika Allah merealisasikan terjadinya alam semesta, “hikmat” Allah ada
beserta Allah sebagai “anak kesayangan”, sebagai “kesenangan” Allah, serta “senantiasa bermain-main di
hadapan “Allah. Makna ayat-ayat ini harus dimengerti dalam terang Ayub 28: 25-27 diatas, karena keduanya
membicarakan hal yang sama, yaitu hubungan Allah dengan hikmatNya dalam penciptaan. Menurut Ayub
28: 27 Allah “melihat Hikmat” waktu menciptakan, artinya “hikmat” itu cetak biru yang sesuai dengannya
dunia diciptakan. Itulah sebabnya apapun yang diciptakan Allah itu pasti sesuai dengan apa yang telah
terkandung dalam hikmat itu. Sehingga hikmat itu digambarkan sebagai “anak kesayangan” atau
“kesenangan “Allah, karena dalam menciptakan Allah terus-menerus “melihat” yaitu merealisasikan secara
konsisten ciptaan yang sedang dikerjakanNya itu sesuai dengan pola rancangan atau “hikmat” tadi, seolah-
olah “berkonsultasi” dengan hikmatNya sendiri. Dan sebagaimana seorang arsitek selalu melihat pada
cetak-biru dari rancangan bangunan yang telah dibuatnya, sehingga cetak-biru itu selalu ada bersama si
arsitek itu serta ada di hadapannya, demikianlah hikmat Allah atau “pola rancangan” Allah itu selalu ada
serta Allah, dan dihadapanNya “untuk bermain-main” artinya “hikmat” Allah itu tidak ikut berkarya bersama
Allah. Ia hanya “bermain-main” saja di hadapan Allah, artinya Ia hadir dalam sukacita Allah, yaitu sukacita
dalam mencipta tadi, sebagai “pola” dimana Allah sedang berkarya untuk menciptakan itu. Dengan
demikian ayat ini tidak berbicara tentang “Firman” sebagai “ciptaan Allah pertama” (sebab “Firman Allah”
dan “Hikmat Allah” itu berbeda) yang membantu Allah dalam menciptakan makhluk yang lain. “Hikmat” itu
tidak ikut mencipta, dan tidak ikut berkarya pada saat Allah menciptakan alam-semesta itu.

Jadi jelas keliru sekali ajaran “Arius” di zaman purba, dan ajaran “Saksi Yehuwah” dizaman modern yang
mengatakan bahwa Firman Allah adalah makhluk pertama yang diciptakan Allah sebelum ada alam-
semesta, dan dengan dibantu makhluk pertama ini Allah menjadikan ciptaan-ciptaan lainnya, berdasarkan
Amsal 28 ini. Sebab hikmat Allah itu berbeda dari Firman Allah, dan hikmat Allah dalam Amsal 28:30 ini
tidak ikut berkarya dalam penciptaan itu, hikmat hanya hadir dan bermain-main saja. Lagipula Alkitab
mengatakan bahwa Allah itu mencipta dunia seorang diri saja, tanpa dibantu oleh makhluk siapapun,
sebagaimana yang dikatakan: ”…Akulah. TUHAN, yang menjadikan segala sesuatu, yang seorang diri
membentangkan langit , yang menghamparkan bumi – SIAPAKAH YANG MENDAMPINGI AKU?…” ( Yesaya
44:24).

Jadi yang dimaksud Amsal 8:22-23, itu bukanlah bahwa Firman Allah (Yesus Kristus) itu ciptaan pertama dan
dibantu ciptaan pertama ini Allah menciptakan alam-semesta, ajaran demiikian ini bertentangan dengan
ke-Esa-an Allah, karena ini tidak sesuai dengan Tauhid Rububiyah. Lagipula untuk alasan apa Allah dalam
menciptakan makhluk yang lain perlu bantuan Makhluk pertama ini. Bukankah Ia berkuasa untuk
menjadikan semuanya itu hanya dengan sekedar mengucapkan FirmanNya saja.Jika betul “Firman Allah”
yang disebut “Anak Allah” itu diciptakan, dengan Firman yang mana lagi Allah menciptakan FirmanNya ini,
karena Alkitab mengajar bahwa Allah menciptalan segala sesuatu selalu melalui Firman Nya yang hanya
satu. Jika demikian adakah Allah memiliki dua Firman, yang satu yak diciptakan dan yang satunya lagi
diciptakan oleh Firman yang tak diciptakan ini? Alangkah kacaunya ajaran semacam ini. .Ajaran Arius dan
Saksi Yehuwah adalah ajaran musyrik, yang bertentangan dengan Tauhid. Karena pertama mensifatkan
Allah berbagi kuasa dengan makhlukNya untuk menciptakan semesta, yang Yesaya 44:24 diatas
mengatakan bahwa Allah hanya seorang diri dan tak didampingi siapapun ketika mencipta alam-semesta.
Kedua sementara mengajarkan bahwa Anak Allah itu hanya makhluk namun mereka tak dapat menghindar
sebutan “Allah” ( Yohaneas 1:1) bagi Yesus, meskipun dimengerti sebagai “allah” atau “seorang allah”.
Dengan demikian mereka mempercayai adanya dua “allah” (“ilah”): yang satu “Allah” yaitu :Yehuwah, dan
yang satu “allah” yaitu Firman Allah, yang dimengerti sebagai “Juru Bicara Allah”, bukan dalam arti Akal-Budi
Ilahi, yang sejak kekal berada di dalam diri Allah.Untuk mengerti makna dari Amsal 8:22-23 itu secara
benar, sebaiknya kita kutip saja, demikian:

” TUHAN telah menciptakan aku, sebagai permulaan pekerjaanNya, sebagai perbuatanNya yang pertama-
tama dahulu kala. Sudah pada zaman purbakala aku dibentuk, pada mula pertama sebelum bumi ada”

Dalam ayat-ayat diatas terdapat kata-kata “permulaan pekerjaanNya” dan “sebagai perbuatanNya yang


pertama-tama”. Tanpa melihat konteks pasal dalam mana ayat-ayat ini terletak, kaum Saksi Yesuwah
langsung menggabungkan ayat ini dengan Wahyu 3:14, dimana disana Yesus Kristus disebut
sebagai : ”permulaan dari ciptaan Allah” yang secara tepat maknanya diterjemahkan oleh Alkitab Dalam
Bahasa Indonesia Sehari-hari sebagai “sumber segala sesuatu yang diciptakan Allah”, karena Yesus Kristus
adalah Firman Allah yang “olehNya Allah menjadikan alam-semesta” (Yohanes 1:1-3, Ibrani 1:2-3).

Dari hasil penggabungan dari kedua ayat yang saling tidak terkait inilah maka kaum Saksi Yehuwah
menyimpulkan bahwa Yesus Kristus adalah “permulaan pekerjaanNya” dalam arti ”perbuatanNya yang
pertama-tama dahulu kala”, “dibentuk, pada mula pertama sebelum bumi ada”, yaitu makhluk pertama
sebelum adanya alam-semesta.

Untuk menentukan benar atau kelirunya tafsiran kaum Saksi Yehuwan mengenai ayat-ayat diatas itu
marilah kita melihat seluruh konteks dari Amsal 8, agar dapat memastikan apakah memang itu Yesus
Kristus yang dimaksud oleh pasal dimaksud:.

Amsal 8:1 mengatakan : ”Bukankah hikmat berseru-seru, dan kepandaian memperdengarkan


suaranya” Pembukaan Amsal 8 ini menjelaskan bahwa “hikmat” itu yang berseru-seru, dan “kepandaian” itu
yang memperdengarkan suaranya. Berarti “hikmat “ disamakan dengan “kepandaian”. Jadi pokok
pembahasan dari Amsal 8 ini bukan mengenai Yesus Kristus, namun mengenai “personikasi” hikmat atau
kepandaian.

Di dalam Amsal 8:12, hikmat yang disebut juga kepandaian itu dipersonifikasikan sebagai berkata
demikian: ”Aku, hikmat, tinggal bersama-sama dengan kecerdasan, dan aku mendapat pengetahuan dan
kebijaksanaan” Jika hikmat yang dimaksud disini adalah Yesus Kristus, lalu siapakah “KECERDASAN” yang
bersama-sama dengannya itu Hikmat tersebut tinggal?. Dan siapa pula “Pengetahuan” dan “Kecerdasan”
yang di dapat oleh hikmat yang tinggal bersama-sama dengan “Kebijaksanaan” itu?

Selanjutnya Amsal 9:1 mengatakan “Hikmat telah mendirikan rumahnya, menegakkan ketujuh tiangnya”.
Apakah rumah dari hikmat yang ditegakkan itu? Dimana pula tempatnya? Kapan pula itu dilakukan? Lalu
apa maknanya ketujuh tiang dari rumah hikmat itu? Semua pertanyaan ini harus dijawab lebih dahulu
sebelum menentukan bahwa yang dimaksud dengan hikmat dalam Amsal 8 ini adalah Yesus Kristus. Dan
jika Hikat disini yang dimaksud lamngsung Yesus Kristus, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas
memang tidak ada. Karena memang ini tidak berbicara tentang Yesus Kristus. Lalu apa yang dibicarakan
disini? Marilah kita lihat lebih dekat lagi.

Jika kita lihat apa adanya mengenai dikaitkannya hikmat itu dengan kepandaian, kecerdasan, pengetahuan
dan kebijaksanaan, jelaslah ini tak menunjuk kepada pribadi makhluk siapapun, apalagi menunjuk Yesus
Kristus. Sebab dalam seluruh pasal dari Amsal 8 ini sama sekali tidak yang mengindikasikan ataupun yang
merujuk ke arah Yesus Kristus. Ini hanya hanya menunjuk oerangkat-perangkat akal-budi batiniah
seseorang, sebaba hikmat itu disebut kepandaian, yang keduanya itu adalah fungsi dari akal. Dan hikmat
yang disebut kepandaian itu tinggal bersama-sama dengan kkecerdasan inipun merupakan fungsi dari akal
juga. Yang didapat oleh hikmat atau kepandaian yang tinggal bersama dengan kecerdasan itu adalah
pengetahuan dan kebijaksanaan, inipun adalah fungsi dan kemampuan dan pikiran manusia. Jadi jelaslah
yang dibicarakan oleh Amsal 8 ini bukanlah mengenai makhluk siaipapun namun mengenai fungsi dan
kemampuan akal-budi dan pikiran dengan segala fungsi dan perangkatnya: hikmat, kepandaian,
kecerdasan, pengetahuan dan kebijaksanaan. Dalam gambaranb puitis yang dipersonifikasikan hikmat
fungsi dari hikmat itu dijelaskan. Namun hikmat sipakah yang dimaksud dalam personifikasi ini? Dari
pernyataan Amsal 8:23 kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud disini adalah “Hikmat Allah”
sendiri, karena Ia dibentuk Allah “ sebelum bumi ada”, berarti sebelum ada manusia dan makhluk lain. Yang
memiliki hikmat, kepandaian, kecerdasan, pengetahuan, dan kebijaksanaan sebelum adanya makhluk itu
jelas hanya Allah saja. Berarti hikmat yang dipersonifikasikan disini adalah hikmat ilahi sebagai fungsi
perangkat pikir yang terpantul dari akal-budi Allah sendiri. Karena “Hikmat Allah” adalah “Pola Rencana”
Allah, atau “Cetak-Biru” bagi terjadinya alam-semesta, maka jelas sebelum alam semesta ini ada “Cetak
Biru” atau “Pola Rancangan” yaitu “Hikmat” itu harus diadakan atau menggunakan bahasa Amasal 8 ini
“diciptakan” terlebih dahulu, sebagaimana yang dikatakan : ”TUHAN telah menciptakan aku (“Hikmat”)
sebagai permulaan pekerjaanNya” (Amsal 8:22), dan yang dimaksud pekerjaanNya disini adalah pekerjaan
penciptaan sebagaimana yang diterangkan dalam Amsal 8: 24-31.

Hikmat adalah “permulaan pekerjaan “Allah, sebab sebelum pekerjaan penciptaan dilakukan maka Pola
Rancangan itu yang menjadi permulaan yang harus dikerjakan Allah terlebih dahulu, yaitu “sebagai
perbuatanNya yang pertama-tama dahulu kala”. Karena kita tidak tahu kapan waktunya dunia ini
diciptakan, maka jelaslah pembentukan Pola Rancangan Ciptaan atau “Hikmat “ itupun jauh lebih tak
diketahui, sebagaimana yang dikatakan : ”Sudah pada zaman purbakala aku (“Hikmat”) dibentuk” ( Amasal
8:23) . Karena “Pola Rancang” suatu hal yang akan dibentuk itu harus mendahului dibentuknya hal yang
dibentuk itu, dalam hal ini adalah ciptaan , maka dikatakan: ”….pada mula pertama, sebelum bumi
ada.Sebelum air samudera raya ada, aku (“Hikmat”) telah lahir ( yaitu:”lahir” dalam akal-budi dan angan-
angan ilahi yang berwujud rencana dan pola rancangan itu)….” ( Amsal 8:23b- 24a).

Demikianlah jelas bahwa Hikmat itu bukan Logos atau Yesus Kristus itu sendiri, namun pola rancangan
Allah yang nanti akan direalisasikan melalui “ Logos” atau Firman Allah sendiri. Karena semua ciptaan itu
terjadi berlandaskan Pola Rancangan yang sudah terlebih dahulu ada, maka itulah sebabnya Mazmur 104
24 “Betapa banyak perbuatanMu, ya TUHAN, sekaliannya Kaujadikan dengan kebijaksanaan
(“wisdom,hokmah =hikmat”: sekaliannya Kaujadikan sesuai dengan Hikmat/Pola Rancangan), bumi penuh
dengan ciptaanMu.”

Cara Allah Menciptakan Alam-Semesta

Alkitab mengajarkan bahwa Allah yang Esa menciptakan segala sesuatu melalui Firman dan di dalam
RohNya. Dengan demikian alam-semesta ini tak akan ada jika Allah tidak menjadikan. Segala sesuatu ini
ada karena diadakan atau diciptakan oleh Allah. Dan ciptaan ini dibagi dalam dua bagian yaitu; “Segala
sesuatu yang kelihatan” yaitu ciptaan yang bersifat jasmani serta alam-wadhag: bumi dan segala planet,
serta dunia non organik maupun organik termasuk pohon-pohonan, binatang dan manusia; dan “yang tak
kelihatan” yaitu dunia roh termasuk para malaikat dan roh-roh jahat. Pengakuan Iman ini tidak
memberikan rincian bagaimana keberadaan dunia roh itu, karena ini hanya berupa ringkasan saja yang
tujuannya untuk memfokuskan pada Kristus.

2. Alam Malaikat

Karena makhluk roh (Malaikat dan Iblis) diciptakan sama di dalam sifat. Jadi dalam membicarakan Iblis atau
malaikat, kita melihat bahwa sifat mereka sama kecuali bahwa malaikat masih hidup dalam terang, Iblis
telah hidup dalam kegelapan. Oleh karena itu, kalau membicarakan sifat-sifat malaikat, kadang-
kadangayatnya diambil bersamaan dengan ayat-ayat yang membicarakan Iblis.

Malaikat adalah makhluk yang tak kelihatan. Karena mereka itu makhluk, berarti mereka bukan dewa,
bukan pula anak Allah, artinya keturunan Allah. Mereka adalah hamba-hamba Allah, seperti makhluk yang
lain (Wahyu 19:10). Oleh karena itu mereka tidak boleh disembah. (Wahyu 19:20; Kolose 2:18). Mereka ada
di sorga. (Kolose 1:20-21). Tentang penciptaannya, Alkitab tak begitu jelas memberikan catatan, namun
dalam Ayub menyebutkan tentang anak-anak Allah yang disebut juga bintang-bintang bersorak-sorak pada
waktu Allah menciptakan dunia. (Ayub 38:7). Anak-anak Allah yangdisebut bintang-bintang ini adalah para
malaikat. Jadi menurut Ayub 38:7, malaikat sudah ada pada waktu Allah menciptakan dunia ini. Hal ini
menunjukkan bahwa malaikat diciptakan sebelum adanya dunia ini.

Malaikat itu diciptakan dari cahaya kemuliaan Allah sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa malaikat itu
adalah makhluk roh yang bercahaya (Ibrani 1:4; II Korintus 11:14). Jadi wujud sebenarnya malaikat itu tidak
bisa dimengerti sebagai makhluk roh atau makhluk cahaya. Di dalam Alkitab ada penampakan-
penampakan malaikat saja tetapi bukan wujud yang sebenarnya. Umpamanya menampakkan diri bersayap
enam (Yesaya 6:2), Bersayap empat ( Yehezkiel 1:6), menampakan diri sebagai orangmuda (Markus 16:5),
menampakkan diri dengan baju putih (Kisah Rasul 1:10) dan bentuk yangmenakutkan (Wahyu 10:1-2) dan
lain-lain. Itu semua bukan bentuk yang asli, itu hanya penampakannya. Kita harus tahu wujud malaikat itu
nanti, kalau sudah akhir zaman.

Karena malaikat itu roh, maka malaikat tidak berbadan jasmani. Mereka bukan laki-laki bukan pula
perempuan. Kita tidak tahu bagaimana keadaan roh itu(Lukas 20:34-36). Karena mereka itu bukan laki-laki
dan bukan perempuan berarti mereka itu tidak beranak-pinak, tidak kawin-mengawin. Oleh karena itu
pada waktu Allah menciptakan malaikat, jumlahnya sudah tetap, tidak dapat dihitung jumlahnya ( Daniel
7:10). Jadi malaikat itu tidak kurang dan tidak tambah. Sejak diciptakan sudah itu keadaan mereka. Dalam
keadaan yang terjatuh, manusia memang lebih rendah dari malaikat, tetapi sebenarnya manusia itu
keberadaannya lebih tinggi dari malaikat (Ibrani 2:6-7).

Tujuan malaikat diciptakan adalah untuk melayani Allah dan untuk melayani manusia yang diselamatkan
(Wahyu 19:10; Ibrani 1:4). Karena malaikat itu tidak mempunyai tubuh jasmani dan kerjanya hanya untuk
memandang Allah (Matius 18:10, artinya merdoa kepada Allah dan bersekutu denganNya), malaikat itu
mempunyai kecerdasan (hikmat) yang melebihi manusia (Yehezkiel 28:3). Meskipun malaikat itu
mempunyai pengetahuan yang melebihi manusia, namun mereka bukan Mahatahu. Buktinya mereka tidah
tahu mengenai akhir zaman (Matius 24:36). Malaikat itu sangat kuat melebihi manusia (II Petrus 2:11) tetapi
bukan Mahakuasa. Malaikat tak dapat mejalankan kuasanya tanpa izin Allah (Ayub 1:12; 2:6). Malaikat
dapat hadir dimana-mana dalam waktu yang sangat cepat, tetapi bukan Mahahadir seperti Allah. (Ayub 2:1-
2).

Malaikat itu digolong-golongkan dalam beberapa jenis golongan, seperti dalam Kejadian 3:24 (Kerubim),
Serafim (Yehezkiel 10:1), Yesaya 6:2; Efesus 1:21;Kolose 1:16; Roma 8:38; Efesus 3:10; I Tesalonika 4:16;
Yudas 9; I Petrus 3:22. Ternyata kalau dibaca ayat ayat diatas ada 9 Jenis malaikat. Nama nama malaikat
yang diketahui dalam Alkitab ialah : Gabriel (Daniel 8:16; 9:21; Lukas 1:19), Mikael (Daniel 10:13; Yudas 9;
Wahyu 12:7-8). Pekerjaan Gabriel adalah menyampaikan kehendak Allah. Pekerjaan Mikael adalah
membela umat Allah untuk melawan Iblis (Daniel 10:13). Meskipun dalam Alkitab tidak disebut nama-nama
lain tentang malaikat kecuali nama dua ini, namun di dalam Tradisi Suci (KitabAnasginoskomena 10 Kitab
dari Septuaginta yang tak ada dalam kanon Ibrani), kita mengenal malaikat yang bernama Uriel (Tobid 3:17;
12:15), Apokripa II Ezra 4:36. Kita melihat malaikat Yermiel, Solatiel, Malaikat Palatiel, ada yang disebut
Yahudiel, Barakhel, itu nama-nama yang diajarkan oleh tradisi mengenai malaikat tersebut, tetapi itu tidak
terlalu penting hanya untuk pengetahuan saja.

Karena malaikat ini diciptakan untuk melayani Allah, yang melayani bagi pemeliharaan dunia ini diberi
tugas masing-masingmasing. Umpamanya (Wahyu 16:5), malaikat yang menguasai api (Wahyu 14:18).
Daniel 10:12 ada malaikat yang menjaga sejarah bangsa-bangsa. Maat 18:10 ada malaikat pelindung anak-
anak. Kisah Rasul 12:15 ada maaikat Petrus(Malaikat pelindung manusia biasa). Lukas 16:12 ada malaikat
yang mengantar jiwa waktu kematiannya. Lukas 15:10, malaikat itu bersukaria atas orangyang bertobat.
Inilah beberapa hal yang diterangkan dalam Alkitab mengenai pekerjaan malaikat itu. Jadi karena malaikat
itu ditugaskan untuk melayani orang percaya, jadi kalau ada orang yang bertobat tentu saja malaikat akan
bersuka ria. Walaupun Malaikat itu tidak termasuk bangsa manusia , namun mereka sama-sama
menyembah Yesus (Efesus 1:20-21; I Petrus 3:22). Dengan demikian malaikat itu menjadi sahabat orang
percaya, yaitu menjadi anggota Gereja (Efesus 1:10). Hal ini menunjukkan bahwa dunia yang diatas yaitu
dunia para malaikat dan dunia yang ada di bawah yaitu dunia manusia dalam Gereja itu sudah
dipersatukan menjadi satu. Oleh karena itu dalam Ibrani 12:22-23, kita melihat bahwa Gereja yaitu orang
percaya yang datang dalam Gereja itu, datang kedalam kumpulan beribu-ribu para malaikat yang
menunjukkan bahwa malaikatpun adalah anggota Gereja yang mendoakan orangpercaya dan juga
melindunginya. Dengan demikian malaikat dapat menolong manusia, terutama orang percaya.
Umpamanya Kisah Rasul 5:17-21 malaikat menolong para rasul yang lain. I Raja-raja 19:1-7, malaikat
memberi Elia makan. Matius 2:13-15, malaikat menampakkan diri kepada Yusuf untuk mengingatkan Yusuf
untuk pergi ke Mesir.

Tetapi meskipun dikatakan bahwa malaikat itu adalah anggota Gereja, karena malaikat itu tidak ernah jatuh
dalam dosa, dan menjadi anggota Gereja bukan melalui karya penebusantetapi melalui ketaatan dan
pengakuan mereka akan Ketuhanan atau Kepenguasaan Yesus yang duduk disebelah kanan Allah (Efesus
1:20-21; I Petrus 3:22), maka malaikat itu tidakmengerti arti penebusan. Mereka ingin tahu tetapi mereka
tidak bisa mengerti karena mereka tidak mengalami dosa. Jadi mereka tidakmengalami penebusan itu. (I
Petrus 1:10-12). Dengan demikian Gereja lah yang memberitahu kepada mereka tentang hikmah Allah di
dalam penebuan itu (Efesus 3:10).

Pada akhir zaman nanti, kalau manusia telah mengalami realita penebusan yang sempurna, maka manusia
itu ternyata lebih tinggi daripada malaikat. Nanti manusia itu sendirilah yang akan mengadili malaikat (I
Korintus 6:3). Tugas malaikat pada akhir zaman nanti, kalau Tuhan Yesus mau datang yaitu sebelum
kedatangan Yesus , malaikat itu akan meniiup Nafiri (sangkakala) dan mnegumpulkan orang-orangorang
milik Kristus dari segala penjuru dunia (Matius 24:31; I Tesalonika 4:16). Karena kalau Kristus datang,
malaikat itu akan datangmengiring Yesus turun ke dunia. Kristus melaksanakan pengadilanNya (II
Tesalonika 1:7; Yudas 14).
Itulah hal yang mengenai malaikat, yang ditekankan ialah bahwa kita yang hidup di dunia ini tidak sendirian
, Allah selalu memberikan malaikat untuk menjaga dan melindungi orang-orang yang percaya.

3. Alam Iblis dan Roh-Roh Jahat

Allah adalah sumber kebaikan ( Yakobus 1:17). Ia bukan pencipta kejahatan, Dengan demiian Allah tidak
menciptakan Iblis. Kejahatan timbul karena makhluk Allah menyahgunakan kehendak bebasnya untuk
tidak taat kepada Allah . inilah yang terjadi dengan Iblis dan pengikut-pengikutnya. Terselubung dalam
nubut mengenai Babel (Yesaya 14; Yehezkiel 27 dan 28), adalah mengisahkan tentang pemberontakan
malaikat yang jatuh.

Kalau kita lihat dalam Kejadian 3 ternyata kejadian kejatuhan malaikat ini jauh sebelum diciptakannya
dunia dan manusia. Jadi setelah ada manusia, Iblis sudah menyamar sebagai Ular kepada untuk membujuk
Adam dan Hawa. Kalau tadi dikatakan dalam Yesaya 14 dan Yehezkiel 28 adalah merupakan kisah
terselubungmengenai kejatuhan malaikat, dikarenakan di dalam Daniel 10:13; Iblis disebut sebagai
penghulu kerajaan Persia, maka Babel dan Tirus adalah menunjuk kepada sang penghlu yang tidak nampak
itu.

Sifat-sifat malaikat yang jatuh ini, pertama dalan Yesaya 14:12, Malaikat yang jatuh itu disebut Bintang
Timur atau Putra Fajar yang dalam bahasa Latin disebut “Luciferus” atau “Lucifer”. Lucifer artinya
“Pengemban Terang”, jadi sama dengan Putra Fajar; yang menunjukkan keindahan dan kemuliaan tentang
gemerlapnya malaikat ini dengan terangnya yang luar biasa. Keindahannya yang luar biasa ini dicatat oleh
Alkitab ( Yehezkiel 27:3-4), Ia disebut juga “Gambar dari kesempurnaan”, maha indah dan penuh hikmat
(Yehezkiel 28:3,11). Keindahannya dilambangkan dengan gemerlapnya dengan batu-batu permata yang
dipakainya (Yehezkiel 28:13-14) pada waktu masih di sorga atau taman Eden.

Taman eden ini bukanlah tempat dimana Adam dan Hawa tinggal , karena dalam Yehezkiel 28:14, Lucifer
dikatakan bertempat bersama dengan kerup yang berada di gunung udus Allah artinya ditempat ketinggian
kesucian Allah, dan yang berjalan-jalan ditengah batu yang bercahaya. Keadaan yang demikian itu tidak ada
dimana Adam dan Hawa tinggal. Oleh gemerlapan cahaya kemuliaannya itulah dia disebut Lucifer. Malaikat
ini diciptakan bukan hanya sangat baik tetapi sudah sempurna. Karena Luciferdan para pengikutnya itu
dulunya adalah malaikat yang diciptakan sempurna, maka karena dia telah jatuh dari kesempurnaannya
yang telah dicapainya itu, maka sudah tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk bertobat, tak ada
penebusan bagi mereka. Meskipun mereka tetap percaya akan adanya satu Allah, dan mereka takut akan
hal ini , namun mereka sudah tidak dapat berbalik kepada Allah ( Yakobus 2:19).

Lucifer adalah penghulu para kerup ( Yehezkiel 28:14) Ketika diciptakan Lucifer itu tanpa cela, murni
dankudus seperti malaikat-malaikat lainnya (Yehezkiel 28:15). Karena keindahannya yang luar biasa, serta
duduknya sebagai penghulu kerup itu, Lucifer lupa diri dan ingin menjadi Allah. ( Yesaya 14:13; Yehezkiel
28:1,6-9). Karena itu dihukum dan dibuang oleh Allah dalam kegelapan (Yehezkiel 28:16-17; Yesaya 14:15),
sehingga sifat terangnya pun lenyapdan terantai oleh sifat kekelaman kekal (Yudas 6; I Petrus 2:4). Dalam
pemberontakannya itu, sepertiga bintang dilangit (sepertiga jumlah Malaikat) disorga terseret oleh
hasutannya (Wahyu 12:14). Kita tidak tahu jumlah sebenarnya dari sepertiga jumlah malaikat yag asli itu.
Inilah para malaikat itu yang jatuh yang disebut dalam II Petrus 2:4.

Oleh Perlawanan Mikael, Lucifer dan pengikut-pengikutnya dibuang dari Sorga ke bumi (Wahyu 12:7-10),
yang dimaksud dengan bumi disini yaitu tempat yang bersifat tak Sorgawi yang ada diatas (Efesus 6:12;
2:2), yang disebut juga Tartarus (II Petrus 2:4) atau dunia orang mati (Yesaya 14:15) karena dialah yang
menjadi penguasa maut dan sumber maut (Ibrani 2:14-15; Yohanes 8:44). Di angkasa itulah dia mendirikan
kerajaan kegelapan, dan dia sendiri sebagai Raja-raja kegelapan (Efesus 6:12; 2:2) atau disebut juga
penghulu dunia yang gelap ini (Yohanes 16:11), dan bahkan mengangkat diri sebagai Allah zaman ini (II
Korintus 4:4).Jatuhnya Lucifer seperti inilah yang dikatakan Tuhan Yesus dalam Lukas 10:11. Dalam
kerajaan angkasa itu Licifer mengatur tata pemerintakannya seperti di sorga dengan tata pangkat dan
derajat masing-masingmasing roh kegelapan tadi (Efesus 6:12; Yudas 8; II Petrus 2:10-11), menunjukkan
kuasa malaikat gelap ini tak pernah hilang daripada mereka meskipun mereka sudah menjadi gelap
sifatnya. Itulah sebabnya dia dapat memberikan kekayaan bagi orang yang menyembahnya (Lukas 4:6-7),
kesaktian, kuasa dan pengaruh (Wahyu 13:2; II Tesalonika 2:9) melalui segala jenis upacara, sesajian yang
ditujukan kepadanya (I Korintus 10:20). Iblis juga menjadi sumber aliran-aliran pengajaran sesat (I Timotius
4:1) dan berpura-pura menjadi malaikat terang yang membawa kebenaran (II Korintus 11:14). Ia selalu
berjalan kesana kemari (Ayub 2:2), seperti singa yang mengaum untuk menerkam siapa saja yang dapat
diterkam oleh tipun sesatnya ( I Petrus 5:8). Hati-hati dengan klenik , dengan mistik yang palsu dan
penglihatan-penglihatan (Kolose 2:18). Oleh karena itu jangan kita mudah percaya kepada orang yang
mengatakan bahwa rohnya sudahkeluar, sudah mengalami pergi ke sorga dan lain-lain, karena di angkasa
(awang-awang) itu ada satu kerajaan yang diatur mirip seperti sorga dengan rajanya yaitu Lucifer yang
mengaku Allah sendiri.

Oleh karena itu jangan sampai tersesat dalam halyang demikian, karena Lucifer ini mampu menampakkan
dirinya dalam wujud apapun yang kelihatannya adalah benar dalam wujud. Dewa atau dalam wujud apa
yang disembah oleh orang itu sehingga makin menyesatkan orang yang menyembah ilah-ilah yang palsu
itu, karena dibelakang Allah yan palsu itu berdiri Lucifer yang mengaku sebagai Allah(II Korintus 4:4).
Memang itulah tujuannya, tujuan Lucifer itu ialah untuk merintangi manusia supaya tidak percaya kepada
Injil, untuk membutakan mata mereka. Demikian juga pekerjaan Lucifer ialah untk membuat orang
mengikuti perbuatan-perbuatan dosa. Jadi manusia oleh bujukan Lucifer dengan segala pengikutnya
diarahkan untuk mengikuti perbuatan dosa , diberikan roh-roh kenajisan tentu untuk membawa manusia
kepada erbuatan-perbuatan yang tidak senonoh. Juga diberikan penyakit yang bermacam-macam oleh
Lucifer kepada manusia untuk merusak manusia. Bahkan hamba-hamba Allah juga sering diganggu oleh
Lucifer ini seperti II Korintus 12, dimana Paulus mengatakan ada utusan setan yang sudah memukuli dia
sehingga dia sakit.

Karena tindakannya yang kotor ini, maka Lucifer disebut dalam Matius 12:24 sebagai “Bealsebul”. Beal
artinya “Tuhan” atau penguasa Zebul artinya kotoran atau tinja. Jadi bealzebul adalah penguasa segala yang
kotor , yang membuat orang berbuat tidak senonoh. Jadi manusia yang sudah dikuasai olehLucifer ini
menurit II Timotius 2:26 dikatakan terjerat oleh Iblis, supaya ia melakukan kehendaknya si Iblis itu. Oleh
karena itu orang demikian harus dilepaskan. Karena Lucifer itu menurut Paulus melalui manusia melalui
pikirannya sehingga menimbulkan keangkuhan dan kubu-kubu pemikiran yang membentengi mereka dari
pengenalan akan Injil, yang oleh Paulus dikatakan harus dilawan dengan kuasa Allah (II Korintus 10:4-6).
Jadi jelaslah bahwa yang menjadi kancah atau medan pengaruh dari Lucifer itu aalah di dalam pikiran
manusia. Oleh karena itu Lucifer dapat menguasai manusia sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu
ide-ide yang gila sama sekali, yang membahayakan bagi manusiadan membahayakan bagi orang yang
mempunyai ide itu sendiri. Karena memang itulah tujuan Lucifer supaya manusia pada akhirnya hancur.

Jadi di dalam jiwa (pikiran) kita harus berperang, kita harus menggunakan kekuatan seperti yang dikatakan
oleh Paulus itu untuk melawan kuasa kegelapan. Oleh karena itu dikatakan:”Kita berperang bukan
berperang melawan daging dan darah tetapi berperang melawan roh-roh jahat di udara” (Efesus 6:10-12).
Yang menjadi sasaran utama yang menjadi perlawanan setan ini adalah: Gereja (Matius 16:16-18),
dikatakan oleh penulis disana, bahwa Yesus akan mendirikanGerejaNya dan alam maut (kuasa Lucifer)
tidak akan dapat mengalahkannya, yang berarti Lucifer akan terus berusaha mengadakan peperangan
melawan, menghancurkan Gereja , menghalangi Injil, menghalangi orang percaya yag makin mendekat
kepada Allah.

Perlawana lucifer terhadap Gereja dapat dilihat di dalam Wahyu 12:4-6, 13-17 dikatakan bagaimana naga
yaitu Lucifer itu sendiri sebagai Ular Besar, melawan wanita yang melahirkan Sang Mesias . Wanita yang
disebut disini dapat juga dikatakan Maryam, tapi bisa juga Gereja, karena gerejalah yang selalu
memberitakan Mesias kepada manusia . Dan bisa juga Israel , karena melalui Israellah Mesias itu datang.
Namun yang jelas ialah, segala sesuatu yang berhubungan dengan Kristus yaitu umat Kristus akan menjadi
sasaran daripada serangan Lucifer ini. Jadi dalam dunia yang tetap berpegang pada Kristus (Gereja ) inilah
yang menjadi sasarannya. Inilah yang dikatakan oleh Yesus bahwa kekuasaan kerajaan maut /alam maut
tidak dapat mengalahkan Gereja. Ini berarti selalu terjadi peperangan antara Gereja dan Lucifer. Lucifer
akan menghalangi Gereja dengan segala usahanya, dengan segala macam bidat, kekacauan dan
perpecahan yang diakibatkan oleh tindakan Lucifer tersebut.

Perlawanan Lucifer terhadap Gereja itu akan menjadi-jadi dengan makin dekatnya kedatangan Kristus .
Dengan makin banyak munculnya pengajaran-pengajaran baru yang palsu yang lain seperti yang dikatakan
I Timotius 4:1-2. Karena yang dimusuhi adalah Gereja, maka Lucifer (Iblis atau Diabolos) akan selalu
menjadi pendakwa/penggugat manusia dihadapan Allah (Wahyu 12:10). Namun sebenarnya Lucifer itu
kekuasaannya sudah dihancurkan oleh Kristus ketika Ia mati dan bangkit dari kematian ( Kolose 2:15; Brani
2:14-15). Tetapisecara prinsip, meskipun dia sudah dikalahkan, dia tidak akan rela untuk mengakuainya
oleh karena itu ia tetap berperang melawan manusia, melawan orang Kristen (Efesus 6:11-12). Tetapi kalau
kita sungguh melawan kuasa kegelapan dengan kehidupan yang layak dihadapan Tuhan, dengan berdoa,
orang Kristen akan mendapatkan keunggulan (Yakobus 4:7-8), menginjak kuasa kegelapan ini.(Roma 16:20).

Oleh karena itu kita bersyukur karena Lucifer telah dikalahkan, dan pada akhirnya Lucifer akan
menumpahkan seluruk kekuasaannya sehingga usaha yang terakhir karena dia merasa kesia-sian
kekuasaannya itu pada diri seorang yang bernama : Antikristus , dan sampai Kristus sendiri datang untuk
menghancurkan antikristus dan sekaligus menghancurkan Lucifer untuk dimasukkan ke dalam neraka.
Orang-orangorang yangmengikuti Lucifer ini juga akan dimasukkan dalam neraka bersama-sama. Oleh
karena itu orang Kristen patut berjaga-jaga melawan tipu muslihat dari Lucifer ini.

Patut pula dicatat bahwa keadaan Lucifer dimana membentuk tata kekuasaannya seperti didalam Sorga,
sehingga dia mempunyai utusan untuk dapat menganggu kehidupan manusia ditempat-tempat tertentu
untuk menguasai. Umpamanya di Persia , Dia menjadi penguasa kerajaan Persia atau Penghulu kerajaaan
Persia dan lain-lain. Misalnya di Indonesia ia mengirimkanutusannya dalam wujud Nyi Roro Kidul, dayang-
danyang dan lain-lain. Hal-hal ini perlu diterangkan terutama dalam lingkup kita di Indonesia dimana orang
masih banyak yang mempercayai roh-roh itu, supaya mereka jelas bahwa apa yang mereka anggap sebagai
dayang dan sebagainya, nenek moyang sebagai apa ? adalah tipuan dari Lucifer.
BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Sat Jan 05, 2008 6:57 am

4.Kodrat Manusia

Kejadian 1:26-27 mengatakan: ” Berfirmanlah Allah: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan
rupa Kita…..Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah
diciptakannya dia……..”. Ayat ini sangat penting bagi Gereja Purba, terutama yang di Timur, dalam usaha
untuk mengerti makna kodrat dan hakekat manusia. Karena penyataan Alkitab mengenai keputusan Allah
untuk menciptakan manusia “MENURUT” Gambar dan RupaNya itu akan menjadi landasan untuk mengerti
mengenai kodat dan tujuan diciptakannya manusia dan dengan demikian akan berkaitan dengan makna
keselamatan manusia. Alkitab tak pernah mengatakan bahwa manusia itulah “Gambar dan Rupa”Allah.

Namun yang dikatakan Alkitab adalah bahwa manusia itu diciptakan “MENURUT” (yaitu: “sesuai dengan”,
“mengikuti pola”) “Gambar dan Rupa” Allah itu. Alkitab menyebutkan bahwa “Gambar Allah” (Kol.1:16) itu
tak lain adalah “Anak Allah” yaitu “Firman Allah”sendiri (Yohanes 1:14), juga “Rupa Allah” adalah “Anak Allah”
atau “Firman Allah” yang sama tadi (Fil.2:5-6), yang dalam penjelmaanNya sebagai manusia bernama:Yesus
Kristus. Dengan demikian “pola asli” yang “menurutNya” manusia diciptakan Allah adalah “Gambar Allah”
dan “Rupa Allah” yang tak lain adalah “Firman Allah” sendiri yang disebut juga “Anak Allah”. Itulah sebabnya
Tertulianus, seorang penulis Kristen purba dari Gereja Barat pernah mengatakan bahwa pada dasarnya
kodrat jiwa manusia itu bersifat “Kristen”.

Karena manusia diciptakan dengan pola asli (“menurut” ) Anak Allah atau Firman Allah tadi, yaitu “Kristus”
sendiri. Dosa dan kuasa kegelapan serta pengaruh-pengaruh jahat disekitarnyalah yang membuat manusia
itu tersesat dari kebenaran, sehingga tak percaya kepada Kristus, yaitu tak mau kembali kepada “kodrat
asal” atau “pola asli”nya tadi. Karena manusia itu diciptakan dengan “Firman Allah” itu sebagai pola aslinya,
maka tujuan panggilan manusia diciptakan adalah untuk merealisasikan potensi kodratnya tadi, yaitu
secara nyata kodat tadi “menyatu” atau “manunggal” dalam kemuliaan Allah melalui “Sabda” atau “Firman
Allah” tadi. Ini berarti bahwa manusia itu diberi anugerah (rahmat, kasih-karunia) oleh Allah pada saat
penciptaannya, memiliki kemampuan moral pada dirinya, yang merupakan refleksi atau “gambar” dari
sifat-sifat Allah sendiri. Sehingga dengan anugerah kekuatan moral dalam ketaatan pada kehendak ilahi
dan iman kepada Allah, manusia dapat mencapai “penyatuan” (“panunggalan”) dengan “Firman Allah”.
Dengan demikian manusia boleh “ambil bagian dalam kodrat ilahi” (II Petrus 1:4), yaitu menjadi mulia
seperti kemuliaan ilahi itu sendiri. . Manusia dipanggil untuk mengambil bagian dalam kasih Allah yang
kekal, di dalam hubungan-kasih yang kekal seperti yang terdapat di dalam diri Allah. Alkitab mencatat doa
Kristus kepada Bapa demikian:

“Dan Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia dan Aku datang
kepadaMu. Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam namaMu yaitu namaMu yang telah Engkau
berikan kepadaKu, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita.” ( Yohanes 17:11 ).
Dalam doa ini Almasih memohon supaya manusia boleh menjadi satu, sama seperti satunya “Kita” (“Bapa
dan Anak”, kesatuan antara Allah dan FirmanNya dalam kasih yang kekal), sehingga mengalami kehidupan
kesatuan seperti yang ada di dalam Allajh sendiri, yaitu kesatuan dalam hidup ilahi, dan dengan demikian
mengambil bagian dalam sifat-sifat Ilahi.

Alkitab menjelaskan lebih lanjut dalam mencatat doa Almasih ini:

“Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepadaKu, supaya mereka
menjadi satu, sama seperti kita adalah satu.” ( Yohanes 17: 22 ).

Kepada manusia milikNya Almasih telah “memberikan kemuliaan”, yaitu kemuliaan “ yang Engkau berikan
kepadaKu”. Kemuliaan yang diberikan Allah kepada Almasih itu tak lain adalah “energi” dan “hidup Allah”
sendiri, sebagaimana yang dikatakan : ”…Bapa mempunyai hidup dalam diriNya sendiri, demikian juga
diberikanNya Anak mempunyai hidup dalam diriNya sendiri” (Yohanes 5:26). Bapa memberikan hidupNya
sendiri pada Anak. Itulah artinya Bapa memberikan kemuliaan pada Anak. Sehingga segala sifat Bapa ada
pada Anak. Kristus memberikan kemuliaan ilahi tu kepada manusia, sehingga manusia menjadi satu dalam
sifat-sifat keilahian, meskipun bukan dalam dzat-hakekat keilahian. Jadi memanglah kehendak Allah ketika
merencanakan untuk menciptakan alam-semesta dengan manusia sebagai sasaran puncaknya, agar
manusia boleh ambil bagian dalam sifat-sifat ilahi, dan menjadi satu dengan Allah.

Ini bermakna bahwa tujuan manusia diciptakan adalah dipanggil untuk ambil bagian dalam kodrat Ilahi,
sebagaimana dikatakan demikian:

“Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar,
supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat Ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang
membinasakan dunia ini.” ( II Petrus 1:4 )

Dipanggil untuk ambil bagian dalam kehidupan Allah itulah tujuan manusia diciptakan. Dengan demikian
inilah pula takdir Allah bagi kodrat manusia. Inilah ketetapan kekal dalam rencana Allah dalam
menciptakan manusia agar dengan demikian manusia menjadi “anak-anak Allah” dan dalam keberadaan
“tanpa cacat cela serta kudus”. Hal ini dinyatakan oleh Alkitab demikian:

“Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat
dihadapanNya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-
anakNya,sesuai dengan kerelaan kehendakNya.” (Efesus 1:4-5 ).

Ayat-ayat dalam Efesus 1:4,5 diatas dan ayat-ayat Perjanjian Baru yang lain yang senada dengan itu tak
pernah dimengerti dalam Gereja Orthodox sejak jaman Purba, sebagai dasar ajaran tentang “Takdir” bagi
diselamatkan atau tidaknya seseorang atau “Takdir” dipilih atau tidaknya seseorang dalam keselamatan,
seperti yang dihayati oleh ajaran Calvinisme, yang dikenal dengan nama ajaran “Predestinasi”. Efesus 1:4
mengatakan: ”Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan
tak bercela di hadapannya”. Ini tidak dimengerti sebagai pemilihan individu perorangan, namun sebagai
pemilihan kemanusiaan secara kolektif (yaitu: memilih “KITA”), dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain
yang bukan manusia, misalnya para malaikat, alam ciptaan dan binatang, karena mereka itu tidak dipilih
untuk menjadi “seperti Allah”. Dan tujuan pemilihan manusia itu adalah agar manusia itu “kudus” dan “tak
bercela” melalui anugerah Allah, yaitu menjadi “seperti Allah” yang memang “Maha Kudus” dan “Tak Bercela
“ menurut kodratNya itu. Jadi ini adalah “pemilihan kodrat kemanusiaan”.
Demikian juga Efesus 1:5: ” Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk
menjadi anak-anakNya, sesuai dengan kerelaan kehendakNya”. Kata “menentukan kita dari semula” inipun
tak dimengerti sebagai ketentuan dari semula (“predestinasi” atau “takdir”) bagi perorangan oleh Gereja
Purba di Timur ini. Pengertian demikian ini menimbulkan ajaran bahwa ada orang yang memang sudah
ditakdir masuk neraka dan ada yang ditakdir masuk sorga. Ajaran ini terkenal dengan nama ajaran
“Double-Predestination ” (“Takdir-Ganda”), yang juga pernah diajarkan Calvin. Gereja Purba di Timur
mengerti “penentuan dari semula” ini adalah secara kolektif (menentukan “kita” dari semula), dan inipun
bukan penentuan dari semula bagi masuk sorga atau tidaknya seseorang. Namun penentuan dari semula
dari kemanusiaan (“kita”) yaitu kodrat kemanusiaan untuk menjadi “anak-anakNya” yaitu untuk menjadi
seperti Allah, - sebagaimana anak-anak itu pasti memiliki kodrat dan mengambil bagian kodrat dari
bapanya -, yang berlandaskan anugerah Allah atau “kerelaan kehendakNya”, dalam kasihNya oleh Yesus
Kristus atau Firman Allah yang hidup. Demikianlah “takdir “ atau “predestinasi” yang dimaksud dalam
Alkitab itu tidak pernah dimengerti oleh Gereja Orthodox Purba sebagai predestinasi perorangan bagi
keselamatannya, namun “predestinasi” (“penentuan dari semula”) dari kodrat kemanusiaannya agar
mengambil bagian dalam kodrat ilahi sebagai “anak-anak Allah” dan mengambil bagian dalam sifat-sifat
ilahi sebagai yang “kudus” dan “tak bercela” itu.

Ini terjadi oleh kuasa anugerah (“rahmat”, “kasih-karunia”) yang bekerja dalam dirinya.. Itulah sebabnya
manusia oleh anugerah Allah masih memiliki kehendak bebas sebagai kasih-karunia (anugerah, rahmat)
Allah kepadanya akibat diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Sehingga dengan demikian “kehendak
bebas” manusia itu tak dimengerti sebagai sesuatu yang bertentangan dengan dan terpisah dari anugerah
(“rahmat” “kasih-karunia”) sebagaimana yang diajarkan oleh ajaran “Pelagianisme” yang dianggap menjadi
ciri aliran “Arminianisme” musuh-bebuyutan Calvinisme itu. Demikianlah penghayatan Calvinisme klasik
tentang “Unconditional Election “ (“Pemilihan Tanpa Syarat”) yang terkait dengan ajaran “Takdir” itu tak
dapat muncul dalam ajaran Gereja Purba di Timur itu.

Ajaran Gereja Purba di Timur menegaskan sebagaimana keselamatan cuma-cuma itu dari Allah datangnya,
demikianlah kehendak bebas itupun berasal dari karunia Allah yang sama itu. Sehingga dengan demikian
makna kodrat manusia sebagai yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah untuk mencapai
kemuliaan ilahi itu akhirnya tidak terkaburkan maknanya. Tujuan penciptaan manusia untuk mencapai
keselamatan oleh anugerah yang bekerja dalam kehendak-bebas manusia maupun di dalam karya
keselamatan Kristus bagi ambil bagian dalam kodrat ilahi sendiri ini adalah merupakan ajaran seluruh Bapa
Gereja Timur di zaman purba, sebagaimana yang secara jelas diungkapkan oleh Episkop Maximos
Aghiorgoussis dari Pittsburgh, Pa, Amerika Serikat, demikian: “Menurut para Bapa Gereja Yunani (misal:
Ignatius dari Antiokhia, Ireneus dari Lyons, Athanasius dari Alexandria, Gregorius dari Nazianzus, Gregorius
dari Nyssa, Yohanes Khrisostomos, Basilius Agung, Yohanes dari Damaskus, dan lain-lain, pen.) :

sejak zaman purba: Manusia diciptakan menurut gambar Allah dengan panggilan khusus untuk menjadi
seperti Allah. Para Bapa Gereja menjelaskan dengan rinci ajaran dari Kitab Kejadian ini.Keberadaan
manusia “menurut gambar Allah” ini berarti bahwa manusia memiliki jiwa rohani yang memantulkan Allah
(Bapa) sebagai seorang pribadi. Manusia mampu untuk mengenal Allah dan dalam persekutuan
(“panunggalan”) denganNya. Manusia itu milik Allah, karena dalam keadaan sebagai anak Allah dan
menurut gambar Allah itu, maka manusia mempunyai kaitan-hubungan dengan Allah……Para Bapa Gereja
itu juga membuat perbedaan antara “gambar Allah” dalam manusia, dan “rupa Allah” dalam manusia
tadi:”gambar” adalah kemampuan (“potensi”) yang dikaruniakan (“rahmat” “anugerah”) pada manusia, yang
melaluinya manusia dapat mencapai kehidupan “theosis” (panunggalan dengan Allah, ambil bagian dalam
kodrat ilahi).Sedangkan “rupa” adalah realisasi (aktualisasi) dari “potensi” ini; yakni makin seperti “gambar
Allah” dan makin seperti “rupa Allah”. Dengan kata lain perbedaan antara “gambar” dan “rupa” itu adalah
perbedaan antara “apa adanya” dan “apa yang akan jadi”…juga berarti ketak-dapat-matian Allah itu
terpantul pada manusia, sejauh manusia tetap bersekutu (“manunggal”) dengan Allah melalui gambar Allah
yang ada pada dirinya…Karena manusia gagal untuk mencapai panunggalan (theosis) ini, “Adam yang
Baru”: Kristus (“sebagai pola asli manusia yang menurutNya kodrat manusia diciptakan”), mengambil bagi
DiriNya sendiri tanggung-jawab untuk menggenapi panggilan asli dari manusia dari manusia pertama
(Adam) ini” (Aghiorgousssis, Maximos Bishop, dalam “Salvation in Christ”,, Augsburg, Minneapolis, 1992, hal.
37-38).

5.Kejatuhan Manusia Kedalam Dosa

Beberapa hal mengenai manusia dinyatakan oleh Pengakuan Iman ini, yaitu kedatangan Kristus itu “untuk
kita manusia dan untuk keselamatan kita” serta bahwa Kristus itu “disalibkan bagi keselamatan
kita” dan bahwa Kristus akan datang lagi untuk “menghakimi orang hidup dan orang mati” serta kita
dibaptiskan “bagi pengampunan dosa-dosa”. Dengan demikian manusia itu dalam keberadaan tidak
selamat, yaitu dalam keberadaan berdosa yang memerlukan pengampunan, yang dosa itu sendiri jika tidak
mendapat pengampunan akan mengalami penghakiman di masa mendatang. Karena orang Kristen
menunggu kebangkitan orang-orang mati, berarti dosa itu ada hubungannya dengan Kematian. Itulah
sebabnya Yesus datang mengalahkan kematian, dengan mati disalibkan, dikuburkan, bangkit dan naik ke
sorga.

b.Kejatuhan Manusia dan Akibat-Akibatnya.

Panggilan manusia untuk mencapai “theosis” pada saat diciptakan itu harus dilalui manusia melalui ujian
iman yang dinyatakan dalam ketaatan terhadap perintah-perintahNya. Dengan demikian manifestasi moral
manusia yang bersumber dari anugerah (rahmat, kasih karunia) akan nampak kelihatan dan berkembang,
serta bergerak menuju kepada tujuan akhirnya. Dan ujian itu dinyatakan dalam larangan Allah agar
manusia tak memakan “buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat “ ( Kejadian 2:16-17). Ujian ini
menentukan nasib manusia, jika gagal untuk taat pada larangan itu manusia akan untuh dalam maut dan
kebinasaan. Dia akan mengalami disintegrasi dari tujuan akhir kodrat penciptaannya. Namun jika berhasil,
hidup kekal (“theosis” = “pengilahian”, yaitu ambil bagian dalam hidup dan kemuliaan ilahi, namun bukan
melebur dalam hakekat Allah sebagaimana yang diajarkan Agama Hindhu dan Kebatinan Jawa) itulah yang
didapatkannya. Allah mengetahui dilema dan resiko yang dihadapi oleh kehendak bebas manusia sebagai
wujud diciptakan menurut gambar dan rupaNya itu. Oleh karena itu Allah memperingatkan manusia
sebelumnya, mengenai akibat pelanggaran dan ketidak-taatan terhadap perintah itu jika dilakukan
manusia, dan akibat ketaatan jika dijalankan. : ” …..pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat
itu jangan kau makan buahnya, sebab PADA HARI engkau memakannya pastilah engkau mati” ( Kejadian
2:17).

PADA HARI manusia melanggar perintah Allah dengan memakan buah terlarang itu sajalah “mati” itu
diancamkan pada manusia. Sehingga jika manusia taat dan tak pernah memakan buah itu, berarti manusia
tidak akan pernah mati. Jadi manusia pertama itu masih dalam keadaan “potensial” yaitu potensial untuk
hidup kekal atau potensial untuk binasa. Dai harus memilih persimpangan jalan yang harus dihadapi oleh
kodratnya. Manusia masih dapat bertumbuh ke dalam “theosis” atau jatuh ke dalam “lapuk, binasa, dosa,
dan kematian”. Kodrat manusia itu memang diciptakan “sangat baik” ( Kejadian 1:31) namun belum
sempurna. Allah telah memperingatkan akibat-akibat pelanggaran atau ketaatan manusia. Jadi ketika
manusia melanggar perintah Allah, manusialah yang salah, dan Allah bebas dari kesalahan. Kejatuhan
manusia itu bukan direncanakan Allah, meskipun sudah diketahui Allah sebelumnya, karena Allah Maha
Tahu, sebagai resiko diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang memiliki kehendak bebas.
Jadi tujuan “theosis” sebagai hasil akhir keselamatan bukan baru didakan karena adanya dosa, namun
memang dari semula “theosis” itulah tujuan manusia diciptakan. Demikianlah kaena pelanggarannya,
kodrat manusia berjalan menukik ke bawah ke dalam dosa dan kematian. Sehingga manusia sekarang
dalam keadaan dosa =“hamartia” (“meleset dari sasaran”), baik sasaran kodrat keterciptaannya maupun
sasaran moral. Ke “ melesetan dari sasaran” kodrat itu berwujud kematian fisik yang bersumber dari
kematian roh (Efesus 2:1). Karena “tubuh tanpa roh itu mati “ (Yak.2:26), berarti roh itu sumber kehidupan
tubuh. Padahal tubuh itu sebelumnya dimaksudkan untuk hidup kekal jika manusia tidak jatuh, yang
berarti roh itu seharusnya mempunyai kuasa hidup yang dapat menghidupkan tubuh itu secara terus-
menerus. Namun fakta bahwa tubuh jasmani itu sekarang dapat mati, berarti roh tak sanggup lagi
memberikan hidup yang sedemikian itu.

Ini menunjukkan bahwa itu sendiri sekarang sedang sekarat, yaitu tak mempunyai daya hidup meskipun
roh itu sendiri tak dapat punah atau binasa seperti halnya tubuh (Mat.10:28). Karena daya hidup roh yang
memberikan kekekalan itu sumbernya dari Hidup Ilahi, maka sesudah jatuh itu berarti roh manusia itu
terputus dari Hidup Ilahi itu sendiri. Manusia sekarang enjadi lapuk dan fana, serta takluk kepada
kebinasaan, dan maut serta membusuk jadi tanah. Derita, duka, dan kematian itulah yang menjadi nasib
manusia sejak saat itu, karena “upah dosa/hamartia itu adalah maut” (Roma 6:23). Keadaan ini kita warisi
dari nenek-moyang kita, oleh karena itu keadaan ini dikenal dalam Gereja Purba di Timur sebagai “ Dosa
(hamartia=kemelesetan) nenek-moyang” dan Gereja di Barat menyebutnya sebagai “ Dosa Waris/Dosa
Asal”. Jadi dosa asal itu tak berarti kita menanggung “salahnya Adam” seperti yang pernah difahami di
Gereja Barat terutama pada abad pertengahan. “Salahnya Adam” itu ditanggung oleh Adam sendiri,
karena: ”Anak tak akan menanggung dosa bapaknya” (Yehezkiel 18:20), meskipun dikatakan : ”….dalam
kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku” (Mazmur 51:7).

Yang dimaksud dengan ayat dalam Mazmur ini adalah, pada saat Daud dikandung ibunya, kodrat manusia
itu sudah dalam keadaan dikuasai oleh kesalahan-kesalahan yang dilakukannya terhadap Allah, dan dosa,
yaitu kemelesetan kodrat itu sudah menjadi milik manusia, sehingga dalam keadaan kodrat manusia yang
seperti itulah keberadaan manusia ketika Daud dikandung dan diperanakkan. Berarti ini tak bermakna
bahwa Daud telah menanggung “kesalahan” dan “dosa” Adam ketika berada dalam kandungan. Yang
diwarisi manusia dari Adam adalah “akibat” dari dosa dan kesalahan Adam itu, yaitu: kelapukan,
kefanaan,kebinasaan, kehilangan hidup kekal yaitu terpisah dari Allah, derita, duka, kesakitan, dan
kematian. Hal ini diwarisi oleh segenap manusia, tak perduli apapun bangsa atau agamanya.Sedangkan
“kemelesetan sasaran” moral itu berwujud kecenderungan manusia untuk lebih mudah berbuat yang jahat
dan tidak kudus, serta sukarnya melakukan yang baik. Sehingga manusia berada dibawah permainan
kehendak Iblis. Demikianlah akibat kejatuhan manusia ini, segenap manusia sekarang berada dibawah
kuasa:”Iblis, Dosa, dan Maut” itu. Dan darinya tak seorangpun yang dapat melepaskan diri, sehingga tujuan
mencapai “theosis” itu tergelap-kaburkan dan terhalang realisasinnya. Maka “Iblis, Dosa, Maut” inilah yang
harus disirnakan dulu sehingga manusia kembali kepada tujuan panggilan semua mencapai “theosis” itu.
Bagaimana proses dan cara penyirnaan “Iblis, Dosa dan Maut” itu, inilah yang menjadi pembahasan
mengenai keselamatan dalam Kristus.

BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Mon Jan 07, 2008 12:19 pm

I. Aqidah Tentang Wahyu Terpuncak: Pribadi Yesus Kristus

Sebagaimana yang kita lihat dari butir 3 Yesus Kristus disebut “telah turun dari sorga”, yang berarti Dia
berasal dari luar ciptaan ini. Dan di atas telah kita pelajari bahwa ternyata Yesus Kristus adalah kekal di
dalam Allah sebagai FirmanNya. Berarti datangNya ke dalam dunia ini memang “turun dari sorga”. Karena
Allah bersifat ghaib (“terang”), oleh karenanya turunNya itu harus melalui “menjelma” dari “Sang Perawan
Maryam” ini adalah “oleh Roh Kudus” artinya kemanusiaan Yesus Kristus yang diperoleh dari Perawan
Maryam itu diciptakan oleh Roh Kudus dalam rahim Maryam sehingga Firman itu “menjadi manusia”.

Demikianlah Yesus Kristus itu sungguh Firman Allah yang adalah “Allah Sejati” yang keluar dari Allah Sejati,
namun juga sungguh manusia karena “telah menjelma...dari Sang Perawan Maryam, serta menjadi
manusia.” Pemahaman Gereja Orthodox mengenai Pribadi Kristus itu sangat kokoh berpegang erat pada
rumusan Konsili Kalsedon tahun 451.

Kaum Monofisit di zaman purba sampai kini menolak rumusan Kalsedon ini serta menganggapnya itu
bersifat Nestorianisme, terutama sebagaimana yang ditafsirkan oleh Gereja barat Roma Katolik dan
kemudian Protestantisme. Namun Gereja Orthodox mengertinya secara berbeda.

Ini penting ditegaskan karena umat Roma Katolik merasa bahwa Kalsedonia adalah kemenangan theologia
Latin Roma Katolik, terutama kemenangan dari Paus Leo Agung dari Roma. Dan Umat Monofisit dalam
penolakannya terhadap Rumusan Kalsedonia justru pandangan Gereja Barat ini yang digunakan sebagai
acuannya. Karena menurut Paus Leo memang kelihatannya ada pemisah-misahan dua kodrat itu, sehingga
bahaya mendekati kembali Nestorianisme itu tak terelakkan.

Sehingga sebenarnya yang dimusuhi umat Monofisit ( Koptik-Ethiopia, Syria Orthodox- Thomas India,
Armenia) adalah pemimpin Gereja Barat Latin: Paus Leo itu, namun bukan pemimpin dari Konstantinopel
atau Patriarkh Timur lainnya. Umat Monofisit menyangka bahwa Gereja Orthodox mengerti Rumusan
Kalsedonia sama dengan pemahaman Gereja Barat: Roma Katolik. Rumusan Kalsedonia dalam Gereja
Orthodox itu bukan dilihat dari titik pandang Paus Leo dari Roma, namun dari titik-pandang Kyrilos dari
Alexandria, sebagaimana yang dijelaskan dalam Konsili Ekumenis yang kelima tahun 553 sesudah Konsili IV
di Kalsedon tahun 451 itu.

Sering dalam pemahaman Gereja Barat, jika Kristus lahir, tumbuh dewasa, menderita, disalibkan, mati,
kesakitan, lapar, merasa tidak tahu dan lain-lain sifat kemanusiaan yang terlihat, itu dianggap hanya kodrat
kemanusiaanNya saja yang melakukan dan mengalami hal itu semua. Sedangkan jikalau Ia berbuat
mukjizat, bangkit dari antara orang mati menunjukkan otoritas dan lain-lain, itulah kodrat ilahiNya yang
bekerja.

Pemisah-pilahan seperti ini memang sangat bersifat Nestorianistis, itulah sebabnya ditolak umat Monofisit.
Disangka Umat Orthodoxpun menerima pemahaman seperti itu. Itu adalah salah paham dari pihak
Monofisit. Iman Orthodox dalam Konsili kelima ini menegaskan bahwa yang menjadi “subyek” dalam diri
Yesus Kristus adalah Firman Allah yang kekal itu. Jadi waktu Ia lahir dari Maryam, sakit, lapar, merasa tidak
tahu, disalibkan dan mati, itu adalah Firman Allah sendiri sebagai “subyek” yang mengalami melalui tubuh
kemanusiaanNya, namun pada saat yang bersamaan Firman Allah itu tetap tak terlahirkan, tak dapat sakit,
tak dapat lapar, selalu maha-tahu, tak bisa kesakitan ketika disalib, tak bisa mati meskipun Ia sedang mati.
Dan yang berbuat mukjizat itupun bukan hanya kodrat ilahiNya saja, namun Firman Allah yang sama dalam
tubuh manusiaNya itu yang melakukan.
Jadi Gereja Orthodox berani mengatakan bahwa dalam Yesus Kristus, Allah (yaitu, Firman) itu telah
disalibkan, namun juga tak disalibkan, telah dilahirkan namun toh juga tanpa awal, telah menderita sakit
namun juga tak merasa kesakitan, telah mati namun toh tetap hidup kekal. Karena baik kodrat ilahiNya
maupun kodrat manusiaNya itu tak dapat dipisah-pisahkan ataupun dibagi-bagi dan hanya memiliki subyek
tunggal yaitu pribadi atau hypostasis dari Firman Allah yang kekal itu. Jadi tuduhan Monofisit terhadap
Gereja Orthodox Timur dan penolakannya atas Kalsedonia sebagaimana yang dimengerti oleh Gereja
Orthodox Timur –sebagai bercorak Nestorianisme - itu jelas salah arah. Karena Kristus itu Firman Allah dan
bersifat Allah, maka peristiwa turunNya Kristus menjadi manusia itu sering disebut “Allah menjadi
manusia”. Penyataan “Allah jadi manusia” lalu “disalibkan, mati, dikuburkan,bangkit dari antara orang mati,
” dan seterusnya itu dapat menjadi salah pengertian yang besar juga jika jargon Kristen ini tak
diterjemahkan dengan bahasa umum.

Untuk sekedar perbandingan agar kita mengerti permasalahannya baiklah kita gunakan cara pemikiran
theologia Islam. Dalam Ilmu Theologia (Ilmu Kalam) Agama Islam Allah tak dapat difahami dalam dzatNya,
namun dapat dimengerti melalui sifat-sifatNya. Sifat-sifat Allah itu “ bukan Allah namun tak berbeda dari
Allah”. “Firman Allah” atau “Kalimatullah” adalah salah satu dari sifat Allah dalam Islam, dan “Kuasa” serta
“Hidup “ Allah adalah juga sifat Allah yang melekat (“qaimah”) atau berdiri atas Dzatullah.Demikianlah
Sifatullah itu “bukan Allah namun bukan ciptaan”.

Bedanya, dalam Islam “Firman Allah” ( dalam Kristen Orthodox “Logos”) dan “Kuasa” serta “Hidup” Allah
( dalam iman Kristen dimengerti sebagai Roh Allah atau Roh Kudus) itu tak difahami sebagai mempunyai
realita entitas jatidiri, sedangkan dalam iman Kristen kedua-duanya yaitu baik Firman Allah maupun Roh
Allah yang melekat satu (“qaimah”) di dalam diri Allah itu dimengerti sebagai memiliki “hypostasis” (realita
yang menggaris-bawahi jatidiri).

Jadi dalam mengerti satunya Firman Allah dan Roh Allah (sebagai sifat-sifat dzat dalam diri Allah) dengan
Allah yang esa dalam pemahaman Iman Kristen Orthodox itu, haruslah kita bandingkan pemahamannya
dengan pengertian mengenai satunya Dzatullah dan Sifat-Sifat Allah dalam Islam. Dimana jika ada kertas
putih, putih sebagai sifat berdiri atau melekat pada kertas yang menyandang warna tadi. Kertas adalah
gembaran dzat (esensi, hakekat) sedangkan putih adalah gambaran sifat. Meskipun putih bukan kertas,
namun tak dapat dipisah dari kertas, dan tak beda dari kertas putih itu. Demikianlah “Firman Allah “ itu
memang bukan Bapa (Allah) , namun Ia adalah Allah (karena Ia bersifat abadi dan tak berbeda dari Allah),
“Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1:1). Bahwa “Firman Allah” itu berbeda dengan Allah (Sang Bapa), ini
dijelaskan sendiri oleh “Firman Allah” itu sendiri ketika menjelma menjadi manusia : Yesus Kristus, dalam
ayat-ayat, berikut ini :”….Engkau (Yesus Kristus= Firman yang menjelma) …guru yang diutus Allah….”
( Yohanes 3:2), “….Allah….mengaruniakan AnakNya yang tunggal (“FirmanNya yang Satu-satunya = Yesus
Kristus), “….Allah mengutus AnakNya ( FirmanNya) ke dalam dunia…” ( Yohanes 3:17),”Bapa (Allah)
mengasihi Anak (Firman)….” ( Yohanes 3:35),”…..percaya kepada Dia ( Allah =Sang Bapa) yang mengutus Aku
( Yesus Kristus = Firman yang menjadi manusia)…( Yohanes 5:24), “…mengenal Engkau (Bapa =Allah) satu-
satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus (Firman Allah yang menjelma) yang telah Engkau
(Allah = Bapa) utus “ ( Yohanes 17:3), …Aku (Yesus = Firman Menjelma) akan pergi kepada Bapa-Ku dan
Bapamu, kepada ALLAHKU dan Allahmu” ( Yohanes 20:17), “… Bapa (Allah) lebih besar dari pada Aku (Yesus
Kristus = Firman Allah yang Menjelma) “ ( Yohanes 14:28), dan masih banyak lagi ayat-ayat seperti itu.

Memang ada sebagian sekte yang mengaku Kristen yang mengatakan bahwa Anak itu adalah Bapa, yang
bagi ajaran Orthodox ini tak lain adalah faham Sabelianisme yang telah lama dinyatakan sesat oleh Gereja
di jaman purba. Landasan mereka adalah beberapa ayat berikut ini:” Aku dan Bapa adalah satu” (Yohanes
10:30). Ayat ini jelas tidak mengatakan bahwa Anak dan Bapa itu sama saja, namun Anak dan Bapa itu
adalah satu, yaitu dalam hal dzat/hakekat keilahian, namun tetap Anak itu bukan Bapa, sebab disitu masih
dibedakan “Aku DAN Bapa” yang menunjukkan adanya dua ciri khas yang berbeda antara keduanya,
namun keduanya itu satu, bukan dalam arti identik atau sama saja, namun satu dalam hakekat-
keilahiannya, yang dibawah nanti akan kita bahas hal itu. Ayat lain yang digunakan oleh sekte ini
adalah :”….Barangsiapa telah melihat Aku ia telah melihat Bapa….Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam
Aku….” ( Yohanes 14:9-10). Melihat Anak berarti melihat Bapa, itu tak berarti bahwa Anak itu adalah Bapa.
Karena jelas dinyatakan dalam ayat berikutnya bahwa hal itu mungkin terjadi karena Anak (Firman) berada
di dalam Bapa, berarti Anak dan Bapa itu dapat dibedakan realitanya, dan Bapa di dalam Anak, yang berarti
Bapa itu berbeda dari Anak, namun keduanya saling bersemayam (saling mendiami) satu sama lain.

Karena memang Firman Allah itu bersemayam dan beradaNya di dalam Allah sendiri, dan Allah
menyatakan DiriNya adalah di dalam atau melalui FirmanNya itu sendiri. Jadi jelas ayat ini tidak
mengajarkan bahwa Anak itu adalah Bapa, atau Firman Allah adalah Sang Bapa itu sendiri, namun ini hanya
menyatakan ketak-terpisahan antara Allah dan FirmanNya, dan “qoimah” (melekat satunya) Firman itu
dalam Bapa, dan pemanifestasian atau pewahyuan Diri Allah melalui Firman itu. Dan yang terakhir adalah
Yesaya 9:5 :” ….seorang anak telah lahir…seorang putra telah diberikan…namanya disebutkan orang:
…..Allah yang perkasa, Bapa yang kekal….”

Dari ayat ini mereka mengambil kesimpulan bahwa Anak atau Putra itu tak lain bernama Allah yang
Perkasa dan Bapa yang Kekal, maka jelas Anak itu tak lain adalah Bapa. Argumentasi ini secara theologis
tak dapat dibenarkan, sebab yang disebut “Anak” dalam pemahaman tentang Tritunggal Maha Kudus
adalah “Firman Allah” yang kekal, yang sejak azali berada di dalam diri Allah. Padahal ayat diatas berbicara
tentang seorang “Anak yang telah lahir” dan “seorang Putra yang telah diberikan untuk kita”. Jadi ini tak
berbicara mengenai keberadaan kekal dari Sang Anak tadi. Ini berbicara mengenai anak yang lahir di dunia,
berarti ini berbicara tentang “Inkarnasi”, ketika “Firman itu telah menjadi manusia” ( Yohanes 1:14).

Dengan demikian ayat ini hanya menjelaskan bahwa Anak yang lahir sebagai manusia itu ternyata tak lain
adalah Ia yang bersifat Ilahi : Allah yang Perkasa. Namun wujud kelahiranNya sebagai manusia itu menjadi
“Adam yang akhir” ( I Kor. 15: 45) yang menjadi “roh yang menghidupkan” yaitu yang menjadi sumber dan
prinsip dari kehidupan yang kekal, akibat kebangkitanNya. Sebagai Adam yang akhir maka Ia adalah Bapa
segenap umat yang baru, dan Bapa ini adalah Bapa yang menjadi sumber kekekalan. Maka jelas Anak yang
lahir itu disebut “Bapa yang kekal”, bukan menunjuk bahwa Bapa dan Anak itu adalah identik dalam arti
rumusan Tritunggal, namun dalam makna Soteriologis-Kristologis, bahwa sebagai yang telah lahir menjadi
daging Ia itu adalah Bapa yang baru bagi manusia dan yang memberi kekekalan kepada manusia. Sama
seperti Adam adalah Bapa yang lama, yang mewariskan kebinasaan dan kematian kepada manusia ( Roma
5:12), dengan kata lain Adam adalah “Bapa Kematian” demikianlah Kristus adalah “Bapa Kekekalan”.
Jelaslah bahwa Anak dan Bapa itu tidak identik dan tidak disamakan begitu saja, karena memang Firman
Allah itu bukan Sang Bapa itu.

Namun bahwa Firman Allah itu tak beda sifatnya hakikiNya dari Allah, dikatakan demikian oleh ayat-ayat
berikut: “….Firman itu adalah Allah” ( Yohanes 1:1), “Aku ( Firman Allah yang menjelma) dan Bapa ( Allah)
adalah satu…..Jawab orang Yahudi:…..Engkau ( Yesus Kristus =Firman Allah menjelma) ….menyamakan
diriMu dengan Allah ( bukan :” mengidentikkan pribadi dengan Bapa”, menyamakan disini dalam arti sama
hakekatNya dengan Allah sebagai Firman Allah)” ( Yohanes 10:30,33), Tomas menjawab Dia (Yesus Kristus =
Firman Allah Menjelma) “ Ya Tuhanku dan Allahku” ( Yohanes 20:28), “….Mesias dalam keadaanNya sebagai
manusia….Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya.Amin “ ( Roma 9:5), “….Yesus, dalam
rupa Allah…kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik….” ( Filipi 2:5-6), “…AnakNya Yesus Kristus. Dia adalah
Allah yang benar…..” (I Yohanes 5:20). Fakta bahwa Anak (Firnan Allah) itu bukan Bapa (Allah), namun tak
beda dari Bapa (Allah, sebab Ia disebut juga Allah) ini sebanding dan sejajar dengan pemahaman dalam
Islam bahwa Sifat Allah itu bukan Allah namun tak beda dari Allah, atau Sifat-sifat Allah itu bukan Allah
namun bukan makhluk, atau bukan diciptakan. Demikianlah meskipun Firman Allah itu bukan Allah artinya
bukan Sang Bapa (Ho Theos) dalam pemahaman Iman Kristen Orthodox, namun Ia bukan makhuk juga dan
tak berbeda dari Allah (dalam bahasa Orthodox:satu dzat-hakekat dengan Sang Bapa) Karena Firman Allah
bukan makhluk dan tak beda dari Allah ( yaitu: satu dzat-hakekat dengan Sang Bapa) inilah maka dalam
bahasa Iman Kristen “Firman” itu disebut Allah. Perhatikanlah Injil Yohanes 1:1 ini, untuk Allah yang Esa
(Sang Bapa) Ia disebut Ho Theos (pelengkap penderita “ton Theon” berasal dari subyek “Ho Theos”), dengan
kata sandang tertentu “Ho” namun untuk Firman hanya disebut “Theos” tanpa kata sandang “Ho”, untuk
menunjuk bahwa “Ia bukan, namun tak berbeda” dengan Allah ( Sang Bapa ) itu.

Sedangkan mengenai realita “Firman Allah” yang memiliki hypostasis itu, kita harus membandingkan
dengan faham Tassawuf mengenai “Nur Muhammad.” Menurut faham Tassawuf Allah yang ghoib itu ingin
diriNya dikenal., lalu mengadakan “tajjali” (theophany) yaitu penampakan Diri. Penampakan Diri ini
dilakukan melalui Nama dan Sifat-sifatNya. Nama dan sifat Allah ini menampakkan diri dalam realita ”Nur
Muhammad” . Dan melalui Nur Muhammad ini semua makhluk yang lain berasal. Sehingga Nur
Muhammad adalah cermin Allah, dan Allah adalah cermin Nur-Muhammad. Jadi Nur Muhammad adalah
semacam “Logos” dalam ajaran Kristen Orthodox. Nur Muhammad ini meskipun ia bukan Allah, namun
bukan makhluk juga, karena ia bersifat azali atau abadi. Demikianlah “Firman Allah” dalam ajaran Iman
Kristen Orthodox itu disebut Logos, dan melalui Logos ini Allah menciptakan segala sesuatu, seperti halnya
melalui Nur Muhammad segala sesuatu berasal, menurut Tassawuf Islam.. Allah yang ghoib itu mengenal
DiriNya dalam “Logos” ini ( Mat.11:27)., sehingga Logos adalah “Gambar Allah yang tak kelihatan” ( Kolose
1:15) dengan menggunakan bahasa Tassawuf “Logos” adalah “Cermin Allah”, sehingga barangsiapa melihat
“Logos” (“Anak”) Ia telah melihat Allah (“Bapa”) ( Yohanes 14: 9).Sebagaimana dalam Tassawuf “Cermin
Allah” ini disebut NUR (Cahaya) Muhammad, demikianlah “Gambar Allah “ atau Logos itu disebut sebagai “
Cahaya Kemuliaan Allah” dan “Gambar Wujud Allah” ( Ibrani 1:3). Dengan demikian dapat dimengerti jika
Nur Muhammad itu memiliki hakekat jati-diri yang secara sempurna nantinya akan menampakkan diri
dalam diri Nabi Muhammad, menurut Tassawuf, maka Logos itupun dalam Iman Kristen Orthodox
dimengerti memiliki hypostasis ( realita yang menggaris-bawahi jati diri) yang secara sempurna
menampakkan diri atau menjadi daging di dalam diri manusia Yesus Kristus (Isa Almasih).

Bedanya, dalam Islam Sifat “Kalimat” dan realita “Nur Muhammad” itu dua hal yang terpisah sedangkan
dalam Iman Kristen Orthodox, “Firman “ sebagai sifat Allah itu juga adalah “Cahaya (Nur) kemuliaan” Allah
sendiri, yaitu Logos tadi. Jadi “Kalimat” (Firman) itu bukan hanya sekedar aspek sifatullah saja, namun
realita Logos yang ada di dalam diri Allah. Dalam Islam Allah memberikan komunikasi kehendakNya melalui
Kitab yang diturunkan: Al-Qur’an, yang adalah “Firman Allah” yang “Nuzul” ( diturunkan). Karena Al-Qur’an
itu diyakini sebagai “Firman Allah” maka Qur’an itu memiliki dua sifat “tercipta” dalam bentuk tulisan dan
kertas, dan “tak tercipta” atau azali sebagai realita “Firman Allah”. Hal yang sama difahami oleh Iman Kristen
Orthodox. Allah memberikan komunikasi kehendak dan rencanaNya juga melalui “Firman”. Hanya bedanya
karena dalam Iman Kristen Orthodox Firman itu bukan hanya sekedar aspek dari sifat-sifat Allah, namun
memiliki hypostasis, ketika diturunkan Ia tak hanya berwujud suara dan tulisan yaitu wujud Kitab, namun
“Firman itu telah menjadi manusia “ ( Yohanes 1:14). Sebagaimana “Nur Muhammad” menampakkan diri
secara sempurna di dalam diri Kanjeng Nabi, demikianlah dalam Iman Kristen Orthodox “Logos” yang
adalah sekaligus “Kalimat” dan “Nur” itu telah secara sempurna “menjadi manusia” di dalam Diri Manusia
Yesus Kristus (Isa Almasih).

Jadi Yesus Kristus adalah “Firman Allah” yang “Nuzul” dalam bentuk manusia. Oleh karena ini sebanding
dengan faham Islam dimana Al-Qur’an sebagai Firman Allah memiliki sifat tercipta dan tak tercipta,
demikianlah dalam Iman Kristen Orthodox Yesus Kristus sebagai Firman Allah yang menjadi daging
memiliki sifat “tercipta” yaitu “Manusia Sejati”, dan “tak tercipta” yaitu sifat kekal, dan azali. Padahal hanya
Allah saja yang kekal dan tak tercipta, dan telah kita bahas bahwa Firman Allah itu bukan Allah (yaitu bukan
Sang Bapa) namun tak berbeda dari Allah (yaitu satu dzat-hakekat dengan Sang Bapa), maka keadaan
Yesus sebagai Firman yang azali ini disebut “Allah”, yang artinya , Dia sudah ada sejak kekal dan melekat
(“qoimah”) satu di dalam hakekat Allah yang Esa (Sang Bapa) itu. Jadi yang dimaksud “Allah jadi manusia”
dalam Iman Kristen Orthodox adalah, “Firman Allah” yang ber-hypostasis, yang memiliki sifat ilahi yaitu
kekekalan, telah “nuzul” (“turun”) sebagai manusia, yaitu Yesus Kristus.

Jadi bukan Allah yang Maha Esa (Sang Bapa) itu yang menjadi manusia, namun “FirmanNya” (yang disapa
dalam bahasa theologis: “Anak”) itu yang dinuzulkan keatas bumi. Jadi jika dalam Islam faham tentang sifat
dzatullah: “Kalimat”, serta “Nur-Muhammad” dan “Al-Qur’an” adalah tiga realita yang berbeda-beda, namun
dalam Iman Kristen Orthodox fungsi dari ketiganya tadi telah terangkum dalam satu wujud yaitu "Logos"”
yang akhirnya menjadi manusia Yesus Kristus. Demikianlah pemahaman Iman Kristen Orthodox yang
sebenarnya. Karena Alkitab mengatakan “….Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1:1), dan “…Firman itu telah
menjadi manusia” (Yohanes 1:14), maka untuk mempersingkat orang Kristen sering mengucapkan “Allah
telah menjadi manusia”, padahal yang dimaksud adalah “Firman Allah” itu telah nuzul (“turun”) sebagai
“daging” atau manusia: Yesus Kristus. Dan karena daging itu dalam bahasa Latin adalah “carnus”, maka
menjadi daging adalah “incarnatio” atau “INKARNASI”. Namun jangan dikacaukan dengan “re-inkarnasi”
yang merupakan ajaran Hindhu-Budha tentang tumimbal-lahir, yaitu orang yang lahir menjadi manusia
kembali setelah kematian, ajaran re-inkarnasi ini tidak diterima oleh Iman Kristen Orthodox..

Sebagai dampak dari penghayatan dari ajaran tentang Inkarnasi yang sangat khas Orthodox adalah
terdapatnya “ikon-ikon” sebagai bagian integral dari theologia Orthodox. Gereja Orthodox tidak
menggunakan patung, dan dilarang menggunakan patung. Namun memiliki ikon-ikon atau gambar-gambar
simbol theologis yang mengekspresikan iman dan dogmanya. Sehingga ikon-ikon ini disebut sebagai
“theologia dalam warna”. Ikon ini berasal dari Alkitab itu sendiri. Memang pada saat Allah menyatakan Diri
kepada Musa dan memberikan Dasa Titah, dikatakan: “ Jangan ada padamu ilah lain dihadapanKu. Jangan
membuat bagimu patung yang menyerupai apapun…Jangan sujud menyembahnya atau beribadah
kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu…” ( Keluaran 20: 3-5). Disini larangannya adalah jangan ada “ilah
lain” dihadapan Allah yang Esa itu, sehingga ilah lain itu diekpresikan sebagai “patung yang menyerupai
apapun” untuk “disujud-sembahi” dan untuk “diibadahi” sebagai tandingan Allah. Larangan ini disebabkan
TUHAN itulah Allah bukan patung-patung tadi. Jadi yang dilarang disini adalah “patung ilah” atau “patung
dewa” yang diibadahi sebagai tandingan Allah, bukan asal patung saja. Allah yang Esa tak dapat
dipatungkan karena pada waktu Dia menyatakan Diri itu tanpa wujud dan bentuk yang kelihatan,
sebagaimana yang dikatakan:

”Lalu berfirmanlah TUHAN kepadamu dari tengah-tengah api; SUARA KATA-KATA KAMU DENGAR, TETAPI
SUATU RUPA TIDAK KAMU LIHAT, hanya ada suara….Hati-hatilah sekali – sebab KAMU TIDAK MELIHAT
SESUATU RUPA pada hari TUHAN berfirman kepadamu di Horeb dari tengah-tengah api – supaya JANGAN
KAMU BERLAKU BUSUK DENGAN MEMBUAT BAGIMU PATUNG YANG MENYERUPAI BERHALA
APAPUN…..” ( Ulangan 4:12,15-16 ).

Menurut ayat-ayat ini pembuatan patung berhala atau patung ilah yang menggambarkan Allah dilarang,
karena Allah menyatakan Diri hanya berwujud suara saja, tanpa rupa yang kelihatan. Karena tanpa rupa
yang kelihatan, berarti membuat gambaran tentang Allah dalam patung adalah dusta sebab patung yang
sedemikian hanyalah reka-rekaan manusia yang bukan menggambarkan realita yang sebenarnya, oleh
karena itu dilarang. Namun jika patung itu bukan patungnya Allah, ilah atau Dewa, bukan saja tak dilarang
malah diperintahkan, contohnya: patung Kerubim dalam Ruangan Maha Kudus ( Keluaran 25: 18-20), dan
patung-patung serta gambar-gambar (ikon-ikon) yang ada di dalam Bait Allah yang dibangun oleh Salomo
(Sulaiman) ( I Raja-raja 6:23-35).

Demikianlah larangan membuat patung itu mutlak sifatnya jika yang dipatungkan adalah Allah sendiri, ilah,
atau Dewa. Namun jika itu patung atau gambar makhluk Allah dan tidak dianggap ilah serta tidak diibadahi
sebagai ilah, bahkan sebagai alat ibadah dan ditempatkan rumah ibadahpun tidak dilarang, seperti yang
kita lihat dalam bukti-bukti diatas. Jika larangan membuat patung dalam Perjanjian Lama itu hanya dibatasi
pada patungNya Allah, ilah, atau Dewa saja karena terkait dengan cara Allah menyatakan Diri,
bagaimanakah dengan Perjanjian Baru? Dalam Perjanjian Baru Allah menyatakan diri dengan cara yang
lain. Dia menyatakan diri dalam “Wujud yang Nampak” bukan tanpa rupa yang tak kelihatan yaitu dengan
jalan :” Firman itu telah menjadi MANUSIA…. Dan kita TELAH MELIHAT kemuliaanNya….” ( Yohanes 1:14 ).

Jadi penampakan diri Allah dalam Perjanjian Baru melalui FirmanNya itu dengan Wujud Yang
Nampak :Manusia yang Dapat Dilihat. Wujud Penampakan Allah dalam FirmanNya yang Menjelma yang
dapat dilihat itu begitu nyatanya, sehingga dikatakan:” Apa yang telah ada sejak semula, yang telah KAMI
DENGAR, yang telah KAMI LIHAT DENGAN MATA KAMI, yang telah KAMI SAKSIKAN dan yang telah KAMI
RABA DENGAN TANGAN KAMI tentang FIRMAN HIDUP- itulah yang kami tuliskan kepada kamu ( I Yohanes
1:1 ). Firman itu disebut “Firman Hidup”: karena Dia menyatakan Diri sebagai makhluk hidup: Manusia,
bukan buku mati yang berwujud tulisan. Begitu hidupnya penampakan ini sehingga, Ia telah: di dengar,
dilihat dengan mata, disaksikan, diraba dengan tangan.

Jika larangan Perjanjian Lama tentang pembuatan patung Allah itu terkait dengan penampakannya yang
tanpa rupa, sekarang Dia nampak “Dengan Rupa”, masihkah larangan itu berlaku? Jelas tidak. Keberadaan
Allah yang azali dan ghaib itu tetap tak dapat digambarkan, namun keberadaan penampakanNya sebagai
manusia yang telah di dengar, dilihat, disaksikan dan diraba dengan tangan itu jelas dapat dan harus
digambarkan untuk menegaskan bahwa Allah sekarang sudah menampakkan Diri bukan tanpa rupa lagi,
namun “DENGAN RUPA”. Karena pada saat membuat patung Allah dalam Perjanjian Lama masih dilarang
saja, patung yang bukan Allah malah diperintahkan untuk membuat untuk tujuan ibadah, apalagi sekarang.

Itulah sebabnya ada Ikon. Ikon menegaskan makna Inkarnasi Kristus. Yang digambarkan bukan
keilahianNya yang tak nampak, namun pribadiNya yang menyatakan Diri dalam penampakan Manusia itu.
Jadi Ikon punya fungsi Dogmatis dan Theologis, bukan hanya sekedar hiasan. Oleh karena itu bentuknya
bersifat simbolis bukan menggambarkan bentuk manusia natural, namun bentuk simbol dogmatis.
Mengapa tidak membuat patung saja kalau begitu? Karena yang digambarkan adalah fungsi theologis dan
dogmatisNya, bukan hanya sekedar keindahan estetika naturalnya, maka penmggambaran itu harus sesuai
dengan julukan theologia bagi penampakan Kristus itu. Ketika Kristus menampakkan Diri, Dia tak disebut
sebagai “PatungNya Allah”, namun sebagai “Gambar Allah” (Kolose 1:15, II Korintus 4:4, Ibrani 1:3), itulah
sebabnya rekaman inkarnasiNya bukan berwujud patung namun “Gambar,” yang bahasa Yunaninya
berbunyi “Ikon”. Konsisten dengan makna theologis bagi Inkarnasi Kristus inilah Gereja Orthodox tak
pernah menggunakan patung, meskipun Perjanjian Lama mengijinkan pembuatan patung, sebab tolok-
ukurnya adalah Inkarnasi (Penjelmaan) Firman Allah sebagai manusia.

Mengapa ada juga Ikon orang kudus, bukan Kristus saja? Karena orang-orang kudus itu adalah yang
“ditentukan dari semula untuk menjadi serupa dengan Gambaran AnakNya” ( Roma 8:29). Jadi mereka
adalah “keserupaan Gambar Kristus”, sebagai dampak langsung dari Inkarnasi, itulah sebabnya mereka
juga digambarkan. Jika dibandingkan apa yang terdapat di dalam Agama Islam, Ikonografi dalam
pemahaman Gereja Orthodox itu sejajar dengan Kaligrafi dalam pemahaman Islam. Dalam Islam, terlebih-
lebih kaum Wahabi, segala bentuk gambaran manusia suci, terutama Nabi, apalagi Allah itu haram
hukumnya. Ini konsisten dengan ajaran Islam bahwa Allah itu ghaib dan berbeda sama sekali dengan
makhluknya, serta larangan yang keras dalam Islam akan syirik( menyekutukan Allah).

Allah yang ghaib itu, menurut Islam, sebagaimana juga menurut Iman Orthodox, telah memberikan Wahyu
kepada manusia melalui “FirmanNya” yang diturunkan. Dalam Islam turunNya Firman Allah itu berwujud
Kitab Al-Qur’an kepada Baginda Nabi, sedangkan dalam Iman Kristen Orthodox turunnya Firman itu
berwujud manusia Sang Junjungan Agung Yesus Kristus melalui kelahiranNya oleh Maryam. Jadi paralelnya
antara Islam dan Kristen Orthodox adalah: Al-Qur’an sebagai Firman Allah yang Nuzul, dengan Yesus
Kristus sebagai Firman Allah yang Menjadi Manusia, Nabi Muhammad sebagai Sang Penerima dan Pelahir
Firman Allah melalui ucapan-ucapan Kalam Suci itu dari mulutnya, dengan Siti Maryam yang menerima
Firman Allah dalam kandungannya dan melahirkannya. Kebuta-hurufan Nabi Muhammad agar kalimat-
kalimat Al-Qur’an yang diucapkan itu bukan berasal dari kepandaiannya sendiri namun murni dari Allah,
dengan Keperawanan Siti Maryam agar Bayi yang dilahirkan itu bukan karena perbuatan manusia namun
semata-mata mukjizat dari Allah. Karena Firman dalam Islam itu menjadi Al-Qur’an yang berbahasa Arab,
maka seni agamawi atau seni Tauhid Islam itu yang terutama sekali adalah berwujud kandungan Kitab Suci
Al-Qur’an yaitu ayat-ayatNya yang berbahasa Arab: Kaligrafi. Sedangkan dalam Iman Kristen Orthodox
karena Firman itu diturunkan dalam wujud manusia Yesus Kristus, maka seni keimanan atau seni theologia
dari iman Kristen Orthodox adalah wujud kemanusiaan Kristus, yaitu gambar (ikon): Ikonografi. Hormat
orang Kristen Orthodox terhadap Ikon adalah sebanding dengan hormat umat Muslimin terhadap huruf
dari ayat-ayat suci Al-Qur’an. Sebagaimana umat Muslimin mencium Al-Qur’an sebagai tanda hormat atas
isinya, demikianlah orang Orthodox mencium ikon sebagai tanda hormat akan isi ajaran yang digambarkan
disitu.

Mengenai mencium Ikon-ikon bagi orang luar mungkin akan dianggap sebagai menyembah berhala,
namun posisi Orthodox adalah demikian. Mencium ikon itu juga salah satu bentuk hormat dan
persekutuan kasih. Karena umat Kristen Orthodox percaya bahwa orang yang percaya kepada Kristus,
apalagi yang sudah mencapai kekudusan, biarpun sudah mati mereka masih hidup (Yohanes 11:28) karena
mereka sudah pindah dari maut kepada hidup ( Yohanes 5:24). Dan yang digambar dalam ikon adalah
orang-orang semacam itu. Berarti mereka adalah sesama saudara seiman. Padahal antar saudara seiman
harus ada hubungan persekutuan dan kasih. Dan salah satu bentuk persekutuan dan kasih itu adalah
dengan saling bersalaman dengan “Cium Kudus” ( Roma 16:16, II Kor. 13:12, I Pet. 5:14).

Salam “Cium Kudus” dengan saling menempelkan kiri dari kanan-kiri-kanan ini dilakukan pada saat
berjumpa dan terutama pada saat tertentu dalam Liturgi Suci antara mereka yang memiliki jenis kelamin
yang sama. Karena orang-orang kudus yang digambar dalam ikon itu masih hidup, dan merupakan anggota
dalam satu Gereja yang sudah mendapatkan kemenangan atas dosa, maka ummat Orthodox mengasihi
mereka dan sekaligus menghormati mereka, agar meneladani iman mereka dan selalu mengingat mereka (
Ibrani 13:7). Karena secara fisik jasmani mereka tak dapat lagi diberi salam, maka simbol kehadiran
mereka, yaitu ikon-ikon itulah yang diberi salam dengan “Cium Kudus” itu. Sekali lagi tak ada penyembahan
berhala sedikitpun dalam hal ini. Semuanya adalah aplikasi rinci dari data Kitab Suci, bukan sesuatu yang
diambil dari paganisme

Akan lebih mengejutkan lagi jika orang luar kadang-kadang melihat orang-orang Orthodox kadang-kadang
bersujud, dimana didepannya terdapat suatu ikon. Dan orang yang tidak melihat Alkitab dengan teliti akan
langsung menuduh tingkah laku umat Kristen Orthodox ini sebagai penyembahan berhala yang tidak
mempunyai landasan dalam Alkitab. Dan pasti ini dianggap sebagai pengaruh agama kafir Yunani atau
agama-agama pagan lain yang ada di sekitar Timur Tengah di zaman itu. Namun orang Kristen Orthodox
justru melakukan sujud seperti itu karena taat pada data Alkitab secara apa adanya dan secara harafiah.
Dan melihat orang yang mengaku Kristen tetapi menolak sujud, sebagai orang yang tak sungguh-sungguh
taat pada teladan yang diberikan Kitab Suci yang dibacanya. Di dalam Kitab Suci tidak semua gambar atau
patung itu adalah berhala, bahkan ada patung yang diperintahkan oleh Allah untuk dibuat, misalnya patung
malaikat Kerubim dari emas atau dari kayu berukuran besar dalam Kemah Ibadah bangsa Israel baik di
zaman Musa maupun Sulaiman (Salomo) (Keluaran 25, 18-20, 37:7-9, I Raja-Raja 6: 23-28), juga gambar-
gambar disekitar dinding ruangan tempat ibadah itu ( I Raja-Raja 6:29-35).

Jika bukan setiap gambar atau patung itu dianggap berhala, lalu apakah berhala itu? Definisi tentang
berhala itu diberikan oleh Kitab Suci demikian: 1) …..Memuja dan Menyembah makhluk dengan melupakan
(sebagai ganti dari , Yun.) Penciptanya ( Roma 1:25), 2)……Ada padamu Ilah lain….yang menyerupai apapun
yang ada di langit….di bumi….di bawah bumi….sujud beribadah kepadanya atau beribadah kepadanya…..
( Keluaran 20: 3-5). Yang termasuk jenis berhala pertama adalah memprioritaskan yang benda sebagai hal
yang utama dan menempatkan ditempat yang seharusnya milik Allah dalam hidup manusia, misalnya cinta
akan Mamon (Harta-benda, kekayaan, materi) ( Matius 6:24), membiarkan diri dikuasai hawa-nafsu dan
keingin perut ( Fil. 3:19), keserakahan (Kolose 3:5), dan lain-lain. Yang termasuk jenis berhala kedua adalah
mempercayai ada ‘ ilah lain” selain Allah yang Esa, yaitu percaya adanya kuasa-kuasa yang lain yang dapat
menolong manusia selain Allah yang Esa itu, misalnya ilmu sihir, mantra, ilmu klenik, tenaga dalam, atau
keyakinan kepada dewa-dewi ( Ulangan 18: 9-12, I Kor. 8:4), entah itu dipatungkan, digambar atau tidak.
Jadi tidak semua patung atau gambar itu pasti berhala, dan tidak semua berhala itu berwujud patung atau
gambar. Ikon adalah gambar, namun itu bukan berhala, karena tidak dianggap ilah atau dewa-dewi, tidak
menggantikan tempatnya Allah, juga tidak dianggap sebagai tandingan atau saingan Allah, dan tak pula
diibadahi sebagai Allah.
Ikon adalah simbol theologia mengenai karya Allah pada makhlukNya melalui penebusan Yesus Kristus.
Pertanyaan yang kedua, kalau bukan berhala mengapa orang Orthodox kadang-kadang sujud di depannya?
Dalam Kitab Suci sujud itu juga mempunyai beberapa makna: 1) Sujud mutlak dan wajib, hanya boleh
kepada Allah sebagai suatu ibadah dan penyembahan (Kejadian 24:26, 52, 17:3, Matius 26: 39, Wahyu 4:10).
2) Sujud haram yang dilarang, yaitu sujud kepada berhala-berhala dan ilah-ilah ( Keluaran 20:3-5), sujud
kepada malaikat-malaikat atau kepada manusia sebagai makhluk yang disembah dan diper-ilah atau
dengan sikap menyembah seperti kepada Allah (Kolose 2: 18, Wahyu 19:10, 22:8-9) 3) Sujud kepada sesama
manusia sebagai tanda hormat yang tak diwajibkan namun juga tak dilarang , misalnya sujudnya Abraham
kepada penduduk negeri Hebron (Kejadian 23:12), sujudnya Yakub kepada Esau abangnya ( Kejadian 33: 3),
sujudnya ayah-ibu Yusuf kepadanya, dalam mimpi (Kejadian 37: 10), dan lain-lain. Sujud orang Orthodox
adalah sujud jenis ketiga ini. Karena orang Orthodox tidak menyembah gambar waktu melakukan itu,
namun menghormati makna theologia yang terlukis padanya, dan menghormati orang yang digambarkan
padanya, tanpa sedikitpun terpikir bahwa mereka itu dewa., ilah, atau makhluk yang berkuasa. Orang
Orthodox melihat para orang kudus yang digambar disitu adalah teladan yang harus dihormati, dan
menurut Alkitab sujud jenis ketiga itu adalah bentuk penghormatan mendalam itu. Jadi tak ada
penyembahan berhala dalam Iman Krsten Orthodox, yang ada adalah taat pada ajaran Kitab Suci sampai
detailnya

b. Gelar-gelar Yesus Kristus

Dalam Pengakuan Iman ini beberapa gelar Yesus Kristus disebutkan, diantaranya adalah nama
manusiaNya: Yesus, dan gelar pengangkatanNya sebagai Mesias: Kristus (Almasih). Gelar yang lain
adalah: Tuhan, Anak Allah, Terang dan Allah Sejati.

Karena Pengakuan Iman ini tidak menjelaskan secara rinci, karena sifatnya yang berupa ringkasan saja, dari
arti gelar-gelar itu, marilah kita bahas makna gelar-gelar ini terutama gelar “Tuhan” karena justru itulah
yang sering menjadi masalah. Sebagai Firman yang tekah menjadi manusia, dan sebagai yang telah
dibangkitkan Allah, Kristus disapa dengan gelar “Tuhan” baik oleh Perjanjian Baru itu sendiri, maupun oleh
Pengakuan Iman Gereja ini. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari kata “Tuhan” langsung dimengerti
sebagai “Allah”. Sehingga menyebut Yesus sebagai “Tuhan” langsung membuat kesan bahwa Allah yang Esa
itu adalah Yesus itu. Apalagi jika itu dikaitkan dengan pengakuan Islam”Tiada Tuhan, selain Allah”,
menyebut Yesus sebagai Tuhan berarti akan difahami umat Kristen berbuat syirik (mempersekutukan
Allah), karena ada Tuhan lain disamping Allah, yaitu Tuhan Yesus. Padahal bukan demikian ajaran
Perjanjian Baru maupun Iman Kristen Orthodox. Kata “Tuhan”(“Kyrios”) yang digunakan kepada Yesus
dalam Perjanjian Baru itu mempunyai 3 latar-belakang:

1. Kata ini menterjemahkan kata “YHWH” (sering dibaca Yehuwah atau Yahweh) sebagai Nama Allah sendiri
dalam Alkitab Ibrani. Orang Yahudi menganggap kata ini sangat suci sekali sehingga takut untuk
mengucapkannya, sebagai gantinya setiap ada kata “YHWH” ini mereka baca dengan bunyi “Adonay”
(“Tuhanku”). Pada waktu Akitab Ibrani diterjemahkan oleh ummat Yahudi ke dalam bahasa Yunani
(Septuaginta), maka setiap kali ada kata “YHWH” bunyi bacaannya “Adonay” (Yunaninya: Kyrios) itulah yang
ditulis dalam terjemahan. Maka “Kyrios” bermakna Nama Allah sendiri. Dan dengan mengikuti tradisi ini
maka terjemahan Perjanjian Lama bahasa Indonesia selalu menulis “TUHAN” ( dengan huruf besar semua
untuk terjemahan bahasa Ibrani YHWH tadi).

2. Kata Kyrios dalam makna harafiahnya menunjuk kepada sebutan penghormatan, kepenguasaan atau
kepada sesuatu yang dipertuan. Pada saat Yesus hidup diatas dunia ini kata “Kyrios” yang digunakan orang-
orang sezamanNya untuk menyapa Dia itu seyogyanya dimengerti sebagai sebutan penghormatan saja:”
Tuan, Pak, Mister, Sir”, dan memanglah demikian maknanya.

Namun ketika Yesus telah dimuliakan, sebutan “Kyrios” (“Tuhan”) untuk Yesus ini mempunyai makna
sebagai “Penguasa” atau “Yang Dipertuan”. Jadi kata “Tuhan” (Kyrios) disini tak langsung menunjuk kepada
makna “Allah” (“Theos”). Itulah sebabnya sebutan “Allah” (“Theos”) bagi Sang Bapa, itu dibedakan
penggunaanya dengan sebutan “Kyrios” (“Tuhan”) bagi Yesus Kristus. Sehingga “Tuhan Yesus” maknanya
bukan “Allah Yesus” namun “Sang Penguasa Yesus”. Hal ini dibuktikan dalam penggunaannya dalam ayat-
ayat berikut ini :”…Yesus adalah Tuhan….Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati…” (Roma
10:9-10), “ Allah, yang membangkitkan Tuhan….” ( I Kor.6:14) “…satu Allah saja, yaitu Bapa,…..satu Tuhan
saja, yaitu Yesus Kristus…” ( I Kor.8:6), dan masih banyak yang lain lagi. Ayat-ayat diatas jelas membedakan
“Allah” yaitu “Bapa” dengan “Tuhan” yaitu Yesus Kristus, yang dibangkitkan oleh “Allah” atau “Bapa” ini. Sejak
kapan Yesus menerima gelar “Tuhan” ini? Sejak kebangkitanNya. Karena sesudah bangkit dari antara orang
mati Dia mengatakan kepada para muridNya:” KepadaKu telah diberikan (berarti: ada yang “memberikan”,
yaitu Allah sendiri) SEGALA KUASA (Kepenguasaan mutlak: Jabatan Tuhan) di sorga dan di bumi” ( Matius
28: 18).

Dengan demikian karena Allah yang memberikan “SEGALA KUASA” di sorga dan di bumi kepada Yesus yang
telah bangkit ini, maka Allah pulalah yang mengangkat Yesus menjadi “Penguasa Mutlak” atau “Tuhan” atas
sorga dan bumi ini. Inilah yang dikatakan dalam Kisah 2:36:” Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan
pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang telah kamu salibkan itu, menjadi Tuhan…”. Yesus diangkat
sebagai Penguasa Mutlak atau “Kyrios” (“Tuhan”) ini memiliki tiga tujuan: a. Untuk menunjukkan bahwa Dia
adalah Adam yang terakhir yang telah memulihkan kepenguasaan Adam atas alam, yang hilang karena
kejatuhan. b.Untuk menunjukkan bahwa Yesus yang manusia itu sungguh-sungguh Kalimatullah yang
menjelma sebagai manusia. Karena Allah selalu melaksanakan kepenguasaanNya atas alam melalui
kalimatNya, sekarang kuasa yang sama atau keTuhanan Allah yang sama dan hanya satu itu, dilaksanakan
melalui manusia Yesus Kristus, sehingga Yesus disebut Tuhan, dengan demikian Yesus tetaplah
Kalimatullah yang satu dan yang sama, karena melalui Kalimtullah itu Allah melaksanakan kuasa
KetuhananNya sendiri.

Dengan demikian baik Allah maupun KalimatNya tak berubah, baik dalam hakekatNya maupun dalam
hubunganNya, meskipun Kalimat itu telah nuzul sebagai manusia.c. Untuk tujuan keselamatan manusia,
karena dengan kuasa mutlak sebagai “Penguasa” atau “Tuhan” ini Yesus Kristus akan mengubah tubuh
manusia yang hina ini sehingga menjadi serupa dengan TubuhNya yang mulia pada Hari Kebangkitan nanti
(Filipi 3:20-21). Jadi gelar “Tuhan” bagi Yesus bukanlah dalam makna “Ilah” yang diangkat sebagai sekutu
Allah, sebagaimana yang sering kita dengar ketika saudara-saudara Muslim mengucapkan “La Ilaha illallah “
, “Tiada Ilah/Tuhan selain Allah”. Sebab Ilah artinya makhluk yang didewakan dan disejajarkan dengan Allah,
padahal, Tuhan bagi Yesus adalah gelar yang dikaruniakan Allah sendiri, terhadap “FirmanNya” sendiri yang
dimuliakan setelah menjelma menjadi manusia.

3.c. Karya Kristus

Penjelmaan (inkarnasi, dari Bahasa Latin: “in + carnus/daging + tio” [incarnatio] = menjadi daging) adalah
permulaan Karya Kristus sesudah turun dari sorga. Dan tujuan semua karya itu adalah  “untuk kita
manusia dan untuk keselamatan kita”. Dengan demikian Dia turunkan Kristus karena ingin kita menjadi
selamat. tetapi keselamatan tak terjadi begitu saja, namun melalui “disalibkan bagi keselamatan” kita,
dan penyaliban ini bukanlah suatu peristiwa khayal dan dongeng namun peristiwa menyejarah yang
terjadi “dibawah pemerintahan Pontius Pilatus” dan dalam peristiwa itu Yesus Kristus benar-benar
“menderita sengsara” dan akhirnya “dikuburkan”. Karena turunNya dari dari sorga, penjelmaanNya dan
penyaliban serta penguburanNya itu “untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita”, dan di atas
telah kita lihat bahwa manusia itu dalam keadaan tidak selamat dan berdosa yang ditandai dengan
kematian, maka agar manusia dilepaskan dari keberadaan kematian itu maka “pada hari ketiga Dia telah
bangkit”. Dengan bangkitNya itu Dia mengalahkan kuasa maut. Dan setelah bangkit “Dia telah naik ke
Sorga “agar manusiapun boleh lepas dari kuasa maut dan akhirnya juga boleh naik ke sorga seperti Kristus,
karena semua karya Kristus itu untuk “kita manusia”. Namun bukan hanya naik ke sorga saja, setelah naik
ke sorga, Kristus “duduk di sebelah kanan Sang Bapa” artinya masuk dalam kemuliaan dan kuasa Allah
sendiri, sehingga manusiapun pada akhirnya ikut manunggal dalam Kuasa dan Kemuliaan Allah yang sama.

Di zaman purba ada kelompok-kelompok sekte gnostik yang tidak percaya penyaliban Kristus. Alasannya
bukan berdasarkan fakta sejarah, namun berdasarkan ide sektarian mereka. Menurut mereka yang
jasmani ini buruk, hanya yang roh itu yang baik. Maka jika Kristus adalah Logos tak mungkin Ia betul-betul
jadi manusia, karena tak mungkin Logos bersentuhan dengan benda jasmani. Jadi kalau memang Ia
kelihatannya disalib itu hanya kelihatannya saja begitu, yang sebenarnya Kristus mentertawakan orang-
orang yang menyalibkannya itu. Oleh karena itu aliran sektarian ini disebut sebagai “doketisme” (dari kata
“dokein” = kelihatan).

Namun agama-agama Semitik: Yahudi, Kristen dan Islam menolak faham tentang buruknya yang jasmani.
Khususnya dalam Iman Kristen Ortodox bukti dari baiknya yang jasmani adalah Firman itu telah mengambil
daging jasmani dan telah mensucikan yang jasmani yang dimengerti dalam wujud ikon-ikon. Jadi penolakan
penyaliban dari ide penolakan yang jasmani itu, secara doktrinal tak bisa diterima dan secara sejarah tak
punya dasar.

Saudara-saudara Muslimin biasanya menolak Penyaliban Isa Almasih berlandaskan Surah An-Nissa 157:”
Dan perkataan mereka (umat Yahudi): Sesungguhnya kami telah membunuh Isa Anak Maryam, Utusan
Allah. Dan sebenarnya mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibkannya, tetapi diserupakan kepada
mereka ( “syubiha lahum”)……” Kebanyakan umat Muslimin mentafsirkan ayat ini dengan mengatakan
bahwa Isa tidak disalib, namun orang lain yang diserupakan seperti Isa oleh Allah –biasanya Yudas Iskariot
yang ditunjuk—sebagai ganti Isa. Sedangkan Isa sendiri diangkat oleh Allah ke sorga.

Namun tidak semua pemikir Muslim mengajarkan demikian: Yusuf Syueib mengatakan bahwa Isa memang
disalib, tetapi hanya pingsan saja, lalu setelah siuman melarikan diri ke Qumran hidup dengan ibunya
bersama sekte Esseni dan wafat disana, Drs. Hasbullah Bakry mengatakan yang sama seperti Yusuf Syuaib,
namun tidak tahu kemana akhir hidup Isa. Umat Ahmadiyyah juga mengatakan yang sama, bahwa Isa
memang disalib dan pingsan, namun setelah sadar ia melarikan diri ke Kashmir India, dimana kuburannya
masih ada sampai sekarang.

Kelihatannya sarjana-sarjana Muslim dan umat Ahmadiyyah yang mengakui penyaliban Isa itu disebabkan
adanya ayat-ayat yang mengatakan :” Dan keselamatan untuk aku, di hari aku dilahirkan, di hari aku
wafat….” ( Surah Maryam 33),”Ketika Allah mengatakan: Hai Isa! Sesungguhnya Aku akan mematikanmu…..”
( Surah Ali Imran 55) “…..Dan setelah Engkau (Allah) mewafatkan aku (Isa), Engkaulah Pengawas mereka…..”
(Al-Maidah 117). Dan ayat-ayat ini diambil secara literal, bahwa Isa memang akan mati, oleh karena itu
yakin bahwa yang disalib memang Isa. Sedangkan yang tak percaya pada penyalibannya biasanya
mengambil ayat dari An-Nisa 157 diatas :”….mereka tidak membunuhnya dan menyalibkannya…”. Dan
kelompok ini yang mengakui Isa diangkat ke sorga, karena memang ada ayat :”Tetapi, Allah telah
mengangkat Isa kepadaNya….” ( An-Nisa 158), “…..Hai Isa sesungguhnya Aku akan mematikanmu dan
mengangkatmu kepadaKU….” ( Al Imran 55). Bagaimana sesudah mati ini lalu diangkat, ada ayat lain :”…..di
hari aku dibangkitkan hidup kembali” (Maryam 33). Sebagai orang Kristen, kalau diizinkan untuk memahami
An-Nisa 157 itu, pertama penulis perlu menegaskan bahwa tidak ada bukti dari Al-Qur’an maupun Hadits
yang mengatakan bahwa orang bernama Yudas Iskariot (Yahudza) yang disalib setelah diubah rupa.

Bahkan kalau menurut Injil Yudas itu mati bunuh diri dengan mati gantung (Matius 27 :5), dan kemudian
ketika terjadinya gempa bumi hebat akibat kematian Yesus (Matius 27:51),Yudas tubuhnya jatuh
tertelungkup -- dari gantungannya -- sehingga isi perutnya tumpah keluar ( Kisah Para Rasul 1: 18). Yang
kedua, yang dikritik oleh An-Nisa 157 itu adalah pengakuan orang Yahudi bahwa “kami telah membunuh
Isa Anak Maryam”. Padahal menurut faktanya yang membunuh Isa adalah Pontius Pilatus (Gubernur
Romawi) :” Kata Pilatus kepada mereka:” Ambillah Dia dan hakimilah Dia menurut Tauratmu.” Kata orang
Yahudi itu:” Kami tidak diperkenankan membunuh seseorang” ( Yohanes 18: 31) Kata Pilatus kepada
mereka :” Ambil Dia dan salibkan Dia……” ( Yohanes 19:6).

Jadi berdasarkan fakta ini jika orang Yahudi memaksakan diri mengatakan “ kami telah membunuh Isa Anak
Maryam” jelas tidak demikian faktanya, dengan singkat ditolak oleh data Injil dan secara tepat dikatakan Al-
Qur’an “mereka tidak membunuhnya” sebab yang membunuh adalah Pontius Pilatus. Juga pada waktu
penyaliban dikatakan oleh Injil :” Kemudian serdadu-serdadu wali negeri membawa Yesus…..berjalan keluar
kota…di suatu tempat bernama Golgota…..Sesudah menyalibkan Dia mereka membagi-bagi pakaianNya….”
( Matius 27:27-35). Data Injil ini menunjukkan bahwa orang Yahudi, tepat seperti yang dikatakan Al-Qur’an:
“tidak menyalibkannya”, sebab memang yang menyalib adalah serdadu-serdadu Romawi. Jika orang-orang
Yahudi memaksakan diri mengatakan merekalah yang membunuh dan menyalibkan Isa, yang faktanya
tidak demikian, jelas itu adalah “syubiha lahum”, “diserupakan bagi mereka”, artinya itu hanya khayalan
mereka saja, sebab mereka tak pernah melakukan hal itu secara langsung dengan tangan mereka. Bahwa
memang Isa tak pernah dibunuh maupun disalib orang Yahudi sebab ia dibunuh oleh perintah Gubernur
Romawi serta disalib oleh serdadu-serdadunya, dan tak bisa dibunuh oleh mereka secara tuntas karena ia
“dibangkitkan hidup kembali” dan Allah telah mengangkat Ia ke sorga, kepada Allah sendiri. Inilah suatu
usaha pemahaman Kristen akan masalah ini, berdasarkan data yang ia lihat dari Al-Qur’an, dengan
keterangan data sejarah dari Injil.

Penegasan tentang fakta kesejarahan dari peristiwa Penyaliban, Kematian, Penguburan dan Kebangkitan
Yesus Kristus itu sangat sentral sekali dalam pemahaman Iman Kristen Orthodox karena melalui peristiwa
inilah keslamatan datang ke dalam dunia. Kristus Sebagai Landasan Keselamatan: Dalam Alkitab dan Dalam
Gereja

Pusat keyakinan Iman Kristen adalah Yesus Kristus sendiri sebagai pribadi, dan bukan sekedar suatu ide
tentang moralitas atau ide keagamaan yang bersifat abstrak. Yesus Kristus dimengerti oleh Iman Kristen
sesuai dengan yang diajarkan Alkitab sebagai “Firman Allah” (Yohanes 1:1), yang “olehNya /melaluiNya
segala sesuatu diciptakan” Allah (Yohanes 1:3 ), dan yang “telah menjadi manusia” ( Yohanes 1:14 ). Berarti
Yesus Kristus adalah “Firman Allah” yang diutus Allah turun ke bumi (Galatia 4:4 ) dengan menjelma serta
mengenakan sifat-sifat kemanusiaan yang jasmani secara kongkrit. Tujuan kedatangan Yesus Kristus
sebagai Firman Allah yang menjadi manusia adalah agar “ barangsiapa yang percaya akan Dai tidak binasa,
melainkan beroleh hidup yang kekal” ( Yohanes 3:16 ). Dengan demikian menurut Alkitab, keselamatan
bukanlah “sesuatu” yang diberikan oleh Allah melalui Yesus Kristus, namun Yesus Kristus itu sendirilah
“wujud” keselamatan itu. Serta “diluar Yesus Kristus” ini tidak ada keselamatan (Kisah 4:12 ).

Berarti berbicara tentang keselamatan itulah berbicara tentang Kristus, dan berbicara tentang Kristus itulah
berbicara tentang keselamatan. Kristologi ( Ajaran Tentang Kristus ) itulah Soteriologi ( Ajaran Tentang
Keselamatan), dan Soteriologi itulah Kristologi. Itulah sebabnya mengapa dalam Gereja Purba di sebelah
Timur : Gereja Orthodox perumusan dogmatis itu hanya berkisar sekitar Pribadi Yesus Kristus dalam
hubunganNya dengan Allah dan manusia, karena disitulah terkandung secara langsung makna
keselamatan itu.Sebagaimana yang telah kita bahas dalam bagian mengenai Sejarah dalam buku ini. Dan
perumusan-perumusan Konsili-Konsili Purba ini akhirnya diterima sebagai standard bagi ajaran dan Iman
Gereja Am yang benar dan tidak bersifat sektarian, terutama sekali dari Konsili I di Nikea (325) sampai
dengan Konsili IV di Kalsedonia (451). Sehingga rumusan-rumusan kebenaran Alkitab dalam Konsili-Konsili
itu tak lagi hanya menjadi milik dan standard bagi Iman Gereja Orthodox saja, namun juga milik semua
ummat Kristen yang benar baik dari kalangan Roma Katolik maupun dalam kalangan denominasi-
denominasi Protestan klasik.
Dalam Konsili I di Nikea pada tahun 325, Gereja Orthodox Purba ini di dalam melawan bidat Arianisme,
menegaskan bahwa Kristus itu satu essensi dengan Allah (Bapa), sehingga Dia adalah “Allah Sejati” yang
“keluar dari Allah Sejati”, karena Dia adalah Firman Allah sendiri, yang sifat hakekatNya adalah “Allah”
adanya (Yohanes 1:1). Hanya jika Kristus adalah Allah sejati saja, maka penjelmaanNya sebagai manusia itu
bermakna mendamaikan manusia berdosa kepada Allah yang Maha Kudus. Dan hanya penyaliban dari
kemanusiaan Penjelmaan Allah (Sang Firman) saja, maka kematian dan derita Kristus itu merupakan
pelenyapan kuasa maut oleh KebangkitanNya, dengan demikian sekaligus merupakan pelenyapan kuasa
dosa, karena upah dosa adalah maut. (Roma 6:23). Dalam Konsili III di Efesus tahun 431, Gereja Orthodox
Purba yang sama ini dalam melawan bidat Nestorianisme, menegaskan bahwa Kristus tak memiliki “Dua
Pribadi dan Dua Kodrat yang terpisah-pisah”, namun memiliki “Satu Kodrat (Satu Pribadi) Firman Allah yang
telah Menjelma”, sehingga Maria harus disebut “Theotokos” (Yang Memberi Kelahiran - secara daging -
kepada Allah, - yaitu: Sang Firman -) karena hanya jika Kristus memiliki Kodrat yang manunggal secara tak
terpisah-pisahkan saja, maka kemanusianNya itu dapat menjadi saluran bagi rahmat keilahianNya,
sehingga rahmat ilahi itu dimungkinkan untuk dikaruniakan kepada manusia bagi keselamatannya, karena
kemanusiaan yang telah dikenakan oleh Firman Allah dalam penjelmaanNya ini adalah satu dan sama
secara kodrat dan hakekat dengan kemanusiaan segenap ummat manusia (Ibrani 2:14,17).

Dan apa yang ditegaskan dalam Konsili III di Efesus ini, ditegaskan lagi oleh Gereja Orthodox Purba itu
dalam Konsili IV tahun 451 di Kalsedonia, dalam melawan bidat Monophysitisme, bahwa “ Kristus itu bukan
hanya memiliki satu kodrat ilahi saja “ namun memiliki “Dua Kodrat (ilahi sejati dan manusia sejati) yang
menyatu dalam Satu Pribadi (hypostasis)” dari Firman Allah yang kekal, namun yang telah menjadi manusia
itu, secara tak terpisah - pisahkan dan tak terbagi-bagi, namun tak terkacau-balaukan dan tak campur-baur.
Sebab jika Kristus hanya memiliki kodrat ilahi saja, seperti yang diyakini oleh ajaran Monophysitisme ini,
berarti penjelmanNya sebagai manusia jadi tak bermakna, dan dampak dari penjelmaannya terutama
penyaliban, kematian dan kebangkitanNya bagi keselamatan manusia yang terjadi dalam kemanusianNya
itupun lenyap. Karena kodrat manusiaNya itu, menurut ajaran Monophystisme ini, sudah tak ada lagi,
lenyap ditelan keilahianNya.

Dengan demikian keselamatan manusiapun lenyap pula, karena keselamatan itu dilaksanakan dalam
wujud kemanusiaanNya yaitu penyaliban, kematian dan kebangkitanNya dari kematian.. Sehingga jika
Kristus hanya memiliki kodrat ilahi saja, maka manunggal dengan Kristus itu berarti langsung melebur
dalam keilahianNya, sebab menurut ajaran Monophysitisme ini Kodrat Kristus hanya satu saja yaitu :
Kodrat Ilahi dan kodrat kemanusianNya sudah lenyap, sehingga jika betul demikian, kitapun akan menjadi
satu dengan kodrat Allah itu sendiri, serta menjadi sama dengan Allah secara kodrat. Jelas ini akan
menuntun pada ajaran pantheisme, yang diajarkan agama-agama Timur non-Kristen (Hindhu, Buddha,
Kebatinan Jawa), namun yang ditolak Alkitab dan bertentangan dengan Iman Kristen yang benar.
Demikianlah selanjutnya dalam Konsili V tahun 553, Konsili VI tahun 680-681 dalam melawan bidat
Monothelitisme, serta Konsili VII tahun 787 dalam melawan bidat Ikonoklasme, yang ditegaskan adalah
integritas Kristus sebagai “Allah Sejati” dan “Manusia Sejati” dalam “Satu Pribadi” dalam hal “kehendakNya”
(“Monothelitisme”) dan dalam hal “kejasmanianNya” (“Ikonoklasme’), sebagai penjamin mungkinNya karya
keselamatanNya itu dikaruniakan kepada manusia. Rumusan-rumusan Konsili tentang Kristus (Kristologi)
itu bukan semata- mata demi spekulasi filsafat, namun langsung terkait dengan makna keselamatan
manusia (Soteriologi), dan demi menjaga kebenaran akan keselamatan di dalam Kristus itu.

Beberapa Makna Keselamatan dalam Alkitab

Dalam Matius 1:21, keselamatan dimengerti sebagai “bebas dari dosa” atau sebagai “Immanuel, Allah
beserta kita” ( Matius 1:23). Rasul Paulus mengajarkan “ Yesus Kristus datang ke dunia untuk
menyelamatkan orang-orang berdosa” ( I Tim. 1:15). Juga dijelaskan bahwa “ Anak Manusia datang untuk
mencari dan menyelamatkan yang terhilang” (Lukas 19:10); untuk menyembuhkan orang sakit (Lukas 5:31)
dan untuk memamnggil bukannya orang benar tetapi “orang berdosa supaya bertobat” ( Lukas 5:32).
Kristus tidak datang untuk menghukum dunia, “ namun agar supaya dunia boleh diselamatkan melalui Dia”
(Yohanes 1:17).

Demikian juga dikatakan dalam Kolose 1:13-14, bahwa melalui Kristus Allah telah “ melepaskan kita dari
kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan AnakNya yang kekasih”, sehingga dengan
kedatangan Kristus kita “telah pindah dari maut ke dalam hidup” (I Yohanes 3:14), serta “jika kita mengaku
bahwa Yesus adalah Tuhan, dan bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kita
akan diselamatkan “ ( Roma 10:9-10), dan “jika Kristus tidak dibangkitkan,…maka sia-sialah iman kamu “ ( I
Kor.15:14).

Dari data-data Alkitab yang demikian itulah maka Pengakuan Gereja Purba yang dirumuskan di Nikea
dalam Konsili I tahun 325 dan Konstantinopel dalam Konsili II tahun 381 mendeklarasikan bahwa
Kristus “….untuk keselamatan kita, telah turun dari sorga, dan menjelma oleh Roh Kudus, dan dari Perawan
Maryam “ yang menunjuk pada fakta “Inkarnasi” (Penjelmaan sebagai Manusia), serta yang untuk
keselamatan kita “ telah disalibkan….dibawah pemerintahan Pontius Pilatus, Dia menderita sengsara dan
dikuburkan.Dan telah bangkit lagi pada hari ketiga sesuai dengan Kitab Suci. Dan telah naik ke sorga, serta
duduk disebelah kanan Sang Bapa” yang menunjuk pada karya penderitaan, penyaliban,
kematian/penguburan, kebangkitan serta kenaikanNya ke sorga.

Dengan demikian berdasarkan data-data Kitab Suci dan Pengakuan Iman Gereja Orthodox Purba, yang
adalah “Pengakuan Gereja Yang Am dan Rasuliah” yang disebut “Pengakuan Iman Nikea” ini, dapat kita
simpulkan bahwa keselamatan di dalam Kristus itu diberikan kepada manusia melalui “Inkarnasi”
( Penjelmaan Firman Allah sebagai manusia melalui Perawan Maryam oleh kuasa Roh Kudus), serta seluruh
karya dan kehidupan Kristus, teristimewa penderitaan, penyaliban, kematian, kebangkitanNya dari antara
orang mati, serta kenaikanNya ke sorga. Keselamatan dalam Kristus adalah kebebasan dari dosa,
kebebasan dari kematian, dan kebebasan dari kuasa kegelapan (Iblis) serta penyembuh-pulihan dari kodrat
kemanusiaan kita kepada kemuliaan Allah serta kehidupan kekal, yang adalah hidup milik Allah sendiri itu.
Jadi puncak keselamatan di dalam Kristus adalah pemulihan hidup ilahi ke dalam manusia serta penyatuan
kembali manusia berdosa dalam pengampunan dosa-dosanya kepada kemuliaan hidup Allah itu sendiri.

Unsur-Unsur Ajaran Keselamatan (Soteriologi)

Dalam terang makna keselamatan yang telah kita bahas diatas, maka ajaran tentang keselamatan yang
terdapat dalam Alkitab sebagaimana yang dipercayai oleh Gereja Am sejak zaman purba itu, memiliki
unsur-unsur berikut ini yang harus dibahas:

1. Manusia sebagai Obyek Karya Keselamatan: Kodrat Manusia, Kejatuhan dan Akibat-Akibatnya.
2.Karya Keselamatan Kristus: Pribadi dan Karya Kristus.
3. Keselamatan Sebagai Pengalaman Subyektif: Pribadi dan Karya Roh Kudus.
4. Gereja Sebagai Bahtera Keselamatan dan Persekutuan Orang Kudus
5. Penggenapan Keselamatan di Akhir Zaman.
BP
RITA WAHYU (Founder SPB)

 
Posts: 14905
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pm
 by BP » Mon Jan 07, 2008 12:30 pm

2. Karya Keselamatan Kristus: Pribadi dan Karya Kristus.

a.Pribadi Kristus

Sebagaimana yang telah kita bahas diatas, pribadi Yesus Kristus sebagai “Firman Allah” yang menjelma
menjadi manusia adalah pusat dari Iman Kristen, dan menjadi landasan keselamatan manusia.Karena Dia
adalah “pola asli “ kodrat manusia itu sendiri. Dan karena “pola asli” kodrat manusia adalah “Firman Allah”
yang melalui Firman yang sama ini segala sesuatu diciptakan Allah (Kej.1, Mazmur 33:6, Yohanes 1:1-3, I
Kor. 8:6, Ibrani 1:2-3, Kolose 1:15-16), maka untuk mengembalikan manusia kepada hidup kekal itu maka
Firman Allah:” Pola Asli” kodrat manusia itu telah menjadi daging (Yohanes 1:14). Artinya Ia telah
mengambil “ rupa….manusia” ( Filipi 2:7, Yohanes 1:14) “menjadi sama dengan mereka dan mendapat
bagian dalam keadaan mereka” ( Ibrani 2:14). Serta “…dalam segala hal Ia harus disamakan…” dengan
manusia ( Ibrani 2:17), termasuk tubuh, jiwa, roh, pikiran, hati, emosi dan segala sesuatunya kecuali dosa,
tanpa mengalami perubahan dari kodrat asliNya Yang Ilahi yang satu dalam KeAllahan dengan Sang Bapa
itu.

Demikianlah “Firman Allah” yang menjadi daging itu dalam kodrat asli ilahiNya berada satu hakekat dengan
Allah serta tak terpisah dariNya sebagai Logos (Kalimatullah) sehingga Ia tetaplah “Allah Sejati”, namun
sebagai yang telah “mengambil rupa manusia, sama, dan mendapat bagian dalam segala hal dengan
keadaan manusia" tadi, Ia berada dalam satu hakekat dengan manusia, sehingga Ia benar-benar “Manusia
Sejati”. Maka jadilah Ia satu-satunya “Pengantara” antara “Kodrat Ilahi” (Allah =Bapa), dan “Kodrat
Manusiawi” (Manusia) – I Tim.2:5. Di dalam “Firman Menjelma” : Yesus Kristus ini, panunggalan antara Allah
dan manusia, sorga dan bumi, rohani dan jasmani, ilahi dan manusiawi, yang tak tercipta dan yang tercipta,
baka dan fana, Tuhan dan hamba, “kawulo lan Gusti” telah terjadi. Disinilah terlihat jelas apa kaitan Pribadi
Kristus yang satu namun memiliki “Dua Kodrat” : Allah Sejati dan Manusia Sejati, itu terkait erat dengan
keselamatan manusia. Dan dalam keadaan “Satu Pribadi” dalam “Dua Kodrat” atau “Dua Kodrat” dalam
“Satu Pribadi” ini Ia menjalankan karya keselamatan itu. Dan karya keselamatan itu dijalankan sebagaimana
yang kita bahas dibawah ini.

b.Karya Kristus

Karena “ tubuh jasmani” dimana maut, kelapukan dan kefanaan itu tinggal telah diambil dan dikenakan
oleh “ Firman” (Logos/Kalimatullah) sebagai sumber dan asal-usul ciptaan, kehidupan, dan kekekalan
( karena Yang Ilahi itu adalah Hidup dan Kekal), maka terhisaplah kefanaan, kelapukan, dan kematian yang
tinggal dalam Tubuh Kemanusiaan yang telah dikenakan Sang Firman dalam PenjelmaanNya itu, ke dalam
kehidupan dan kekekalan Ilahi milik Allah itu sendiri, yang dibuktikan oleh Kebangkitan dari Tubuh
kemanusiaanNya yang sama tadi dari antara orang mati. Salib adalah pintu gerbang bagi Sang Firman
Menjelma untuk masuk ke dalam kerajaan maut, agar Kerajaan Maut itu dikalahkan. Sang Firman
Menjelma:Yesus Kristus ini disalibkan karena ketaatanNya kepada kehendak Bapa, sebagaimana yang
dikatakan Alkitab: ” Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai
mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:8).

Dan kehendak Bapa yang kepadanya Kristus taat sampai mati di kayu itu adalah kehendakNya untuk
melepaskan manusia dari kuasa Iblis, Dosa, dan Maut agar manusia memperoleh hidup kekal (“mencapai
theosis”) yang telah kita bicarakan. Berarti kehendak Allah ini adalah perwujudan dan manifestasi Kasih
Allah atas dunia ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Alkitab: ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia
ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang Tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya
tidak binasa (yaitu: tidak berada dibawah kuasa : Dosa, Iblis dan Maut) melainkan beroleh hidup yang kekal
(yaitu: manunggal dengan kehidupan dan kemuliaan Allah sendiri, atau dengan kata lain “mencapai
theosis”) ( Yohanes 3:16).

Karena kasih Allah mengaruniakan AnakNya dengan turun ke dalam dunia, dan karena taat kepada kasih
tadi, Anak Allah sampai mati di kayu salib. Berdasarkan data Alkitab ini maka kematian Kristus itu tak
dimengerti dalam bahasa hukum sebagaimana yang sudah sejak lama mendominasi pemikiran theologia
Barat. Menurut bahasa hukum yang digunakan Gereja Barat dalam bertheologia, dosa manusia itu
dimengerti sebagai melanggar keadilan Allah, sehingga Allah itu murka. Murka Allah dan keadilan Allah itu
“harus dipuaskan” dengan suatu kurban. Maka Kristus telah mati sebagai korban diatas kayu salib untuk
“memuaskan keadilan” Allah, sehingga dengan demikian korban Kristus tadi menjadi sarana “memuaskan
murka Allah” atas dosa manusia, yang berakibat manusia dilepaskan dari murka Allah dan mendapatkan
keselamatan.

Darah Kristus itu telah memuaskan hati Allah. Bahasa hukum yang demikian ini tak pernah dikenal oleh
mayoritas para Bapa Gereja terutama di Gereja Timur. Berdasarkan data Alkitab diatas kematian Kristus
diatas salib adalah manifestasi “philanthropia” (“kepengasihan Allah atas manusia”) melalui ketaatan
(kepasrahan) Kristus yang mutlak terhadap kehendak kasih Allah tadi. Berarti diatas salib ini oleh
ketaatanNya yang mutlak Kristus telah mengimpas ketidak-taatan Adam dalam kemanusiaan yang
dikenakan. Dengan demikian kemanusiaan yang dikenakan Kristus itu sekarang sudah “dibenarkan”
dihadapan Allah, karena tak ada lagi noda ketidak-taatan Adam sebagai inti-hakekat dari dosanya, dalam
kemanusiaan yang dikenakan Kristus itu.

Dengan demikian kemanusiaan itu telah mengalami “pembenaran” ( Roma 4:25) Demikianlah dosa
dikalahkan diatas Salib. Dan sesudah masuk ke dalam alam maut melalui pintu Gerbang Salib itu, Kerajaan
maut diporak-porandakan karena maut tak dapat menahan Tubuh Kristus yang mati dalam kuasa
kelapukannya, maut dikalahkan melalui bangkitNya dari mati dan Iblis dilucuti karena Iblis yang berkuasa
atas maut (Ibrani 2:14) tak dapat mencegah Kristus untuk lepas dari cengkeraman maut melalui
kebangkitanNya.. Akhirnya tubuh kemanusiaan Kristus itu mencapai kemenangan dari kematian dan
mengalami kebangkitan serta menyatu dengan kekekalan kodrat asli Firman yaitu kodrat ilahiNya yang
sejak penjelmaanNya hadir pula dalam tubuh.

Dengan demikian tubuh kemanusiaan Kristus itu telah dilepaskan yaitu “ditebus” dari kuasa “dosa, iblis,
dan maut” (Markus 10:45 ). Demikianlah kemanusiaan itu sekarang telah mengalami “penebusan”. Maka
tubuh kemuliaan Kristus yang telah bangkit dan dimuliakan dalam kehidupan dan kekekalan itu sekarang
menjadi sumber hidup kekal manusia. Akibat kematian dan kebangkitan Kristus itu kemanusiaan sudah
menyatu dengan hidup ilahi, berarti manusia telah menerima“pendamaian” dengan Allah (Roma 5:10).
Itulah sebabnya agar manusia yang bertubuh itu dapat ambil bagian dalam hidup kekal yang
menampakkan diri dalam tubuh kebangkitan Kristus tadi, sampai kini di sorgapun Kristus masih memiliki
“Tubuh Jasmani” yang telah dibangkitkan dan dimuliakan itu. Dan Tubuh Jasmani Kristus yang Mulia itu
menyatu dengan kemuliaan Ilahi yang Maha Kudus, sehingga kemanusiaan itu sekarang dalam Tubuh
Kemanusiaan Kristus yang mulia telah menerima “pengudusan” Dan Tubuh Mulia yang sama ini pula yang
menjadi landasan manusia yang menyatu denganNya itu ikut pula dimuliakan. Hal ini dijelaskan dalam ayat
Alkitab yang demikian : ” …di dalam sorga…dari situ kita menantikan Tuhan Yesus …yang akan mengubah
tubuh kita….sehingga serupa dengan TUBUH-Nya yang Mulia….” ( Filipi 3:20-21).

Sampai kapanpun Yesus tetap “Logos” atau “Kalimatullah” yang memiliki hakekat Allah Sejati di dalam
kesatuan hakekat dengan Bapa, dan juga memiliki hakekat Manusia Sejati karena Tubuh yang dikenakan
dan dibangkitkanNya itu dibawa naik ke sorga dan Tubuh itu sekarang berada disana dalam keadaan mulia,
serta menjadi landasan pemuliaan tubuh kita melalui kebangkitan tubuh kita diakhir jaman. Jadi Diri Yesus
itulah Keselamatan. Kristologi itulah Soteriologi. Soteriologi itulah Kristologi. Jika Yesus itu hanya ilahi saja,
manunggal dengan Kristus berarti melebur dalam keilahian, faham demikian ini adalah faham kafir
“pantheisme” yang tak dapat diterima oleh iman Kristen yang benar dan Alkitabiah. Jika Yesus itu hanya
manusia saja, manunggal denganNya tak akan membawa panunggalan kepada hidup yang kekal, sebab
manusia biasa pada dirinya sendiri tak memiliki hidup kekal.

Jika Yesus itu setengah Allah dan setengah manusia, kita tak mungkin dapat manunggal dengan yang
setengah manusia karena kita adalah manusia yang utuh dan sejati, dan tak akan mendapatkan kemuliaan
hidup ilahi sebab yang memiliki hidup ilahi adalah Allah yang Sejati dan sempurna. Jika Yesus sekarang tak
memiliki Tubuh Manusia lagi, meskipun telkah mulia, namun hanya berwujud roh saja, maka keselamatan
itu akan hilang karena wujud keselamatan itu adalah dilenyapkan maut oleh Tubuh yang telah dibangkitkan
tadi, maka binasalah kita jika kita percaya Yesus tak memiliki Tubuh lagi dan hanya berwujud roh seperti
itu.

Jika memang demikian, kemana hilangnya Tubuh yang telah dibangkitkan itu? Apakah menguap menjadi
gas ketika Ia harus melewati atmosfeer pada saat kenaikanNya sebagaimana yang diajarkan orang-orang
Saksi Yehuwah? Maka jelas bahwa Yesus Kristus itu sampai kapanpun tetap “Firman Yang Menjelma”
artinya “Allah Sempurna sebagai Firman”, namun “Insan Sempurna sebagai Yang Telah Menjelma”. Hanya
dengan menjaga makna kebenaran dari Kristus yang “Satu Pribadi dengan Dua Kodrat” yang tak pernah
berubah, tak berbaur, tak kacau-balau, maupun tak terpisah-pisah yang demikian itu sajalah keselamatan
itu mungkin bagi manusia. Inilah ajaran Gereja Am yang Rasuliah dan Alkitabiah, yang telah dibela dan
dirumuskan oleh Gereja Purba dan tetap tetap dipertahankan sampai sekarang oleh Gereja Orthodox,
pada Konsili Kalsedonia pada tahun 451.

Dengan demikian kemanusiaan yang dikenakan oleh Firman Allah dalam penjelmaanNya: Yesus Kristus, itu
adalah merupakan kemanusiaan yang baru. Suatu kemanusiaan yang seharysnya dicapai oleh Adam
seandainya Adam tidak jatuh di dalam dosa. Itulahy kemanusiaan yang sekarang harus menjadi tujuan
akhir kita dalam mencapai “theosis”. Sekarang karena “theosis”`manusia itu sudah terjadi dalam Adam
yang akhir dan baru: Yesus Kristus, maka hanya dengan menyatu dan manunggal dengan Yesus Kristus
sajalah “theosis” itu mungkin bagi kita. Perbuatan baik dan amal manusia pada dirinya sendiri tanpa
menyatu dengan Kristus ini tak akan membawa keselamatan. Tak ada perbuatan baik satupun yang dapat
memuliakan manusia, sebab sumber pemuliaan itu adalah Tubuh Kebangkitan Kristus yang telah
dimuliakan itu. Keselamatan tak akan di dapat melalui perbuatan baik dan amal-jasa manusia saja.

Dengan demikian mulai dari Ireneus dan seluruh abad sejarah Kekristenan para Bapa Gereja di Timur yang
menggunakan bahasa Yunani, selalu menegaskan “ Anak Allah menjadi manusia, agar manusia boleh
menjadi anak-anak Allah”, “ Allah menjadi manusia, agar manusia boleh menjadi seperti Allah”, “Yang Roh
menjadi Yang Daging, agar yang daging ini boleh ambil bagian di dalam sifat dan kodrat Yang Roh”, “Apa
yang dimiliki Allah secara kodratNya, itu diberikan kepada manusia melalui anugerah (rahmat, kasih-
karunia) Nya.” Keselamatan itu bukan hanya sekedar status yang diberikan saja, (misalnya: “Orang berdosa
yang dibenarkan” sebagaimana pernah dihayati Luther) namun kodrat kemanusiaan yang benar-benar
dipulihkan secara realita, dan bukan hanya sekedar secara posisi dan status. Keselamatan itu bukan
“sesuatu yang dituangkan” dari luar, namun penyembuhan yang dimulai dari dalam. Keselamatan itu bukan
hanya sekedar masuk sorga lepas dari neraka, namun manunggal dalam hidup ilahi itu sendiri, dan
menyatu dalam kemuliaan kodratNya di dalam Kristus (“ambil bagian dalam kodrat ilahi” II Pet.1:4).
Keselamatan adalah pelepasan dari kuasa Iblis, Dosa, Kelapukan Tubuh, Kefanaan Hidup, dan Kematian
serta dimanunggalkan dengan Tubuh Kebangkitan Kristus dan dengan demikian manunggal dengan hidup
ilahi, menyatu dalam kemuliaan serta mencapai “theosis”.

d. Sang Perawan Maryam

Dalam penjelmaanNya sebagai manusia Firman Allah yang turun dari sorga, menjelma “dari Sang Perawan
Maryam”. Dan dengan menjelma “dari Sang Perawan Maryam” ini, Ia “menjadi manusia”. Dengan demikian
maka “kemanusiaan” yang diambil dan dikenakan oleh Firman Allah “dalam penjelmaanNya” itu pastilah
berasal dari “Sang Perawan Maryam” ini.

Karena sebagai “Firman Allah” yang adalah “Anak Allah yang Tunggal” sejak “sebelum segala zaman” dan
bersifat “Allah sejati” karena Ia itu “keluar dari Allah sejati” serta dalam wujud “Terang” - jadi bukan
berwujud jasmani - karena Ia “ keluar dari Terang” karena Allah memang bersifat terang, maka jelas Ia tak
memiliki wujud kemanusiaan dan bukan manusia. Sebagai yang bukan manusia itu Ia “turun dari sorga”,
dan setelah “menjelma…dari Sang Perawan Maryam” itu Ia “menjadi manusia”.

Berarti Maryam telah ikut berpartisipasi dalam memberikan kemanusiaan kepada Firman Allah, agar Ia
dapat “disalibkan, mati, dikuburkan serta bangkit dari antara orang mati”, dan tubuh yang telah diambil dari
Maryam dan dibangkitkan itu akhirnya dibawa “naik ke sorga” serta “didudukkan di sebelah kanan Allah”
dan dengan “tubuh yang telah dimuliakan” yang asalnya “dari Sang Perawan Maryam” itulah nantinya
Kristus “akan datang lagi dalam kemuliaan”.

Itulah sebabnya andil Maryam bagi keselamatan manusia itu besar sekali, meskipun yang menjalankan
keselamatan dengan mengalahkan kematian itu bukan pribadi Maryam, namun pribadi Anak Allah yang
telah mengambil kemanusiaan dari Maryam itu sendiri.Jadi Maryam itu bukan juruselamat, dan tak pula
ikut ambil bagian sebagai penebus disamping Kristus, bukan pula ia itu pengantara keselamatan kepada
Allah. Ia adalah yang mengandung “Anak Allah yang Tunggal…Terang…Allah Sejati….Satu Dzat Hakekat dengan
Sang Bapa” ketika Ia menjelma “dari Sang Perawan Maryam”.

Jadi yang tinggal dalam rahim Maryam saat Ia mengandung itu bukan manusia biasa namun “Allah sejati”
yaitu “Anak Allah Yang Tunggal” yaitu “Firman Allah” sendiri yang sedang “menjelma”. Oleh karena itu
“Pribadi” anak yang sedang dikandung oleh Maryam ini bukanlah hanya sekedar pribadi manusia biasa
namun pribadi “Allah Sejati” yang sedang menjelma. Dengan demikian Maryam tidak sekedar menjadi Ibu
seorang manusia biasa, namun Ibu dan Bunda dari “Allah Sejati” yang sedang menjelma dan menjadi
manusia ini. Demikianlah maka Gereja menyebut Maryam sebagai “Theotokos” yaitu ia yang “Memberi
Kelahiran - dalam penjelmaanNya secara jasmani- kepada Allah –Firman Allah –“. Dan kejadian bayi dari
kemanusiaan Maryam ini adalah semata-mata mukjizat “dari Sang Roh Kudus” yang menjadikan “indung
telur” dari rahim Maryam tanpa dibuahi pria “menjadi manusia”. F

ungsi Roh Kudus kepada Maryam adalah untuk “menyucikan Maryam” agar layak menjadi sarana
menjelmaNya Firman Allah di dalam dirinya. Itulah sebabnya Gereja Orthodox tidak mengajarkan bahwa :
“Maria Terkandung Tanpa Dosa Asal”. Maryam adalah orang berdosa sama seperti kita semua namun yang
disucikan oleh Roh Kudus saat ia menerima panggilan menjadi Ibu Sang Penebus. Atas dasar semua alasan
inilah Maryam memiliki tempat dalam Pengakuan Iman, dalam theologia Gereja, dalam ekspresi ibadah
Gereja, dan dalam ikonografi Gereja. Jadi Maryamologi (Mariologi) dalam Iman Orthodox hanya
perpanjangan dari Kristologi saja, bukan sesuatu pembahasan yang berdiri sendiri terlepas darri Kristus.
Sebagian orang yang tak mengerti Iman Orthodox secara benar, atau karena mungkin sebagai reaksi
terhadap Mariologi dari Gereja Roma Katolik, bahkan dikalangan umat Kristen sendiri, serta tanpa
merenungkan implikasi theologis dan landasan Alkitabiah mengenai gelar “Theotokos” bagi Maryam Sang
Perawan ini sering mengejek gelar ini dengan mengatakan;” Allah tidak punya Ibu. Allah tidak dilahirkan
oleh siapapun. Maria hanya melahirkan manusia biasa saja.

Jadi dia itu bukan Bunda Allah, hanya Bunda Yesus saja”. Persis seperti yang dikatakan Nestorius itu. Atas
pernyataan semacam itu, kita bertanya:” Betulkah orang-orang yang mengaku Kristen ini percaya pada ke-
Allah-an Yesus sebagai “Firman Allah” atau tidak? Kalau memang percaya, apakah ke-Allah-an Yesus sebagai
“Firman Allah” itu kekal atau tidak? Jika memang kekal, ketika berada di dalam rahim Maryam, Dia masih
memiliki ke-Allah-an, yaitu tetap sebagai “Firman Allah” atau tidak? Jika masih memiliki, maka Maryam itu
hanya sekedar melahirkan manusia biasa saja, ataukah melahirkan “Allah” yaitu “Firman Allah” yang
menjadi manusia? Jika dia melahirkan “Allah” yaitu “Firman Allah” yang menjadi manusia, maka
kemanusiaan dari Anak yang dilahirkannya itu miliknya Allah yaitu “Firman Allah” ini atau bukan? Jika
kemanusiaan bayi yang dilahirkan Maria memang milikNya Allah yang menjelma ini, berarti Maryam
menjadi “IbuNya Allah” yang menjelma ini dalam kemanusiaanNya atau bukan? Jika demikian, bukankah
Maria adalah “Bunda Allah” dalam penjelmaanNya sebagai manusia? “. Jadi memang Maryam bukan “Bunda
Allah” Bapa (Allah yang Esa) yang tak pernah menjelma menjadi manusia, sebab Sang Bapa itu kekal tanpa
awal maupun akhir, dan tak diperanakkan ataupun beranak. Bukan pula gelar “Bunda Allah” berarti
Maryam itu “isterinya” Allah (‘naudzubillah min dzalik!!!) sebagai pasangan dari Allah Sang Bapa.

Sebab Allah yang bukan laki-laki, bukan perempuan, bukan banci serta tak berjenis kelamin itu bagaimana
memiliki isteri? Lagipula Allah yang ghoib, tak bertubuh jasmani, bersifat Roh murni, bagaimana dapat
memiliki pasangan yang kasat-mata, bertubuh jasmani, hanya sekedar makhluk saja? Itulah sebabnya
Maria bukan disebut sebagai “Allah Sang Ibu” karena dia bukan pasangan ataupun isteri “Allah Sang Bapa”.
Namun Maria adalah “Bunda Allah”, yaitu Bunda “Firman Allah” dalam penjelmaanNya sebagai manusia,
karena “Firman itu adalah Allah” ( Yohanes 1:1).Yesus disebut Anak Allah bukan karena Dia lahir tanpa Bapa
manusia, seolah-olah Allah itu menjadi suami Maryam dan melahirkan Anak Allah, dengan Maryam sebagai
Bunda Allah Anak ini. Yesus disebut “Anak Allah” bukanlah dalam wujud kemanusiaanNya, namun dalam
keberadaanNya sebagai Firman (Yohanes 1;14,18). Anak Allah yaitu Firman Allah sudah ada sebelum bayi
Yesus lahir dari Perawan Maryam (Yohanes 17:5, 8:56-58).

Firman Allah disebut “Anak Allah” karena sejak kekal Dia dikandung di dalam Diri Allah sendiri, sebagai Akal-
Budi atau Ilmu Ilahi dan selalu bersama Allah ( Yohanes 1:1) yaitu melekat satu dalam Hakekat (Dzat,
Essensi) Allah itu. Jadi Allah “mengandung” FirmanNya sendiri. Dan dari kandungan Hakekat Allah inilah
Firman itu “keluar” dari Allah (Yohanes 8:42) ketika diwahyukan dalam diri Allah sendiri dalam kekekalan
sebagai “Gambar Allah” (“Cermin Allah” menurut bahasa Tassawuf), ketika diucapkan sebagai Sabda “Kun
Faya kun” (“Jadilah maka jadi”, “yehi wa yehi”) saat penciptaan dunia, ketika diturunkan ke dunia menjadi
manusia Yesus Kristus saat Inkarnasi. Jadi seolah-olah Firman yang dikandung Allah itu dikeluarkan atau
“dilahirkan” oleh Allah di dalam DiriNya sendiri. Itulah sebabnya Firman Allah itu secara kata kias disebut
sebagai “Anak Allah”. Demikianlah jelas bahwa Allah itu tak diperanakkan maupun beranak apalagi
beristeri, sebab yang dimaksud “Anak Allah” adalah “Kalimatullah” sendiri yang sejak kekal dikandung dan
dikeluarkan oleh Allah sendiri, dan akhirnya diturunkan (“nuzul”) dalam wujud manusia Yesus Kristus.

Dengan demikian bukan karena lahirnya tanpa bapa manusia itu, yang menyebabkan Yesus Kristus disebut
“Anak Allah”. Kelahiran Yesus oleh Maryam itu bukan permulaan keberadaanNya, itu hanya permulaan
nuzulNya diatas bumi ini saja. Itulah sebabnya jika Maryam hanya disebut Bunda Yesus saja, berarti Yesus
itu hanya manusia biasa, dan tak memiliki ke-Allah-an sebagai Kalimatullah yang kekal dan sekarang telah
nuzul. Jika begitu sejak kapan Yesus menjadi Allah, sebab ketika lahir dari Maria Dia bukan Allah, buktinya
Maria tak boleh disebut “Bunda Allah” untuk menunjukkan bahwa bayi yang dilahirkannya itu adalah Allah
dalam hakekat pribadi kekalNya? Jika hanya baru kemudian saja manusia Yesus anak Maryam ini menjadi
Allah, apa bedanya dengan agama kafir yang membuat manusia biasa menjadi ilah? Bukankah kalau begitu
orang sedemikian ini percaya pada kemungkinan manusia biasa Anak Maryam bisa berkembang menjadi
Allah? Apakah bukan berhala dan kemusyrikan ajaran yang sedemikian ini? Dengan demikian Yesus bukan
betul-betul Allah namun manusia yang baru kemudian jadi Dewa, karena waktu dalam kandungan Maria
dan waktu dilahirkan Dia bukan Allah, dan tak boleh disebut Allah, sebab Ibunya tak boleh disebut Bunda
dari “Allah” yang sedang menjelma menjadi manusia Yesus ini? Atau jika bukan demikian, apakah ke-Allah-
an Yesus itu terpisah-pisah dari kemanusiaanNya, dimana waktu Dia dikandung serta dilahirkan Maryam,
ke-Allah-an itu dalam keadaan terpisah? Jika betul demikian justru inilah bidat “Nestorianisme” yang
ditentang Gereja Orhodox di jaman purba, melalui Konsilinya yang ketiga di Efesus tahun 431 Masehi, dan
justru gelar “Theotokos” ini yang setidak-tidaknya pada abad kedua dan ketiga sudah digunakan di dalam
Gereja Purba, dan dalam Konsili itu disahkan secara resmi penggunaannya karena memang konsisten
dengan Ajaran Alkitab, untuk dijadikan pagar bagi menjaga ketak-terpisahan Dua-Kodrat Yesus di dalam
satu Pribadi itu. Inilah implikasi yang sangat menyesatkan dari penolakan gelar Bunda Allah bagi Maria itu.

Jadi Gereja Orthodox tetap konsisten pada Tauhid, gelar ‘Theotokos’ bagi Maria justru untuk menjaga
Tauhid tadi, yaitu menjaga agar tak ada anggapan bahwa manusia dapat berkembang menjadi Allah, dan
untuk menjaga agar tak ada anggapan bahwa Kalimatullah dapat berubah dari keilahian dan kesatuanNya
dengan Allah ketika Nuzul sebagai manusia.. Gelar ini bukan untuk meninggikan Maria sebagaimana
kemudian yang disalah-artikan atau dibesar-besarkan dalam tradisi Roma Katolik, namun gelar ini untuk
menjaga integritas ke-Dua-Kodrat-an dalam Kesatuan Pribadi dari Firman Allah yang menjelma: Yesus
Kristus. “Theotokos’ lebih bersifat Kristologis daripada Mariologis dalam ajaran Gereja Orthodox. Jika begitu
marilah kita selidiki ajaran Alkitab, terutama Perjanjian Baru mengenai gelar ‘Theotokos” ( Bunda Allah) bagi
Maryam Sang Perawan ini.

Perjanjian Baru tidak banyak memuat kisah Maria, karena Maria memang bukan fokus pemberitaan
Perjanjian Baru. Berita Perjanjian Baru adalah tentang Kristus, dan pembahasan kita tentang Maria adalah
sebagai “dampak” langsung dari Inkarnasi ( Penjelmaan sebagai Manusia), dan bukan inti dari Inkarnasi itu
sendiri. Maria harus ada agar Inkarnasi Firman Allah ke dalam dunia ini terjadi. Jika tak ada Maria Inkarnasi
itu tak terjadi, sebab wanita yang harus menjadi sarana kelahiran Firman dalam penjelmaanNya sebagai
manusia itu itu sosoknya sudah dinubuatkan (Kejadian 3:15), pribadinya sudah ditentukan (dari keturunan
Abraham, dari jalur Daud, berasal dari Betlehem), dan semuanya itu hanya tergenapi dalam Maria saja,
bukan wanita yang lain. Itulah sebabnya sosok Maria itu bukan suatu kebetulan, namun pribadi yang sudah
direncanakan oleh kerelaan kehendak Allah dan ditetapkan oleh Allah di dalam ke-Maha-Berdaulatan dan
ke-Maha-TahuanNya.

Meskipun pembahasan tentang Maria itu sebagai “dampak” dan bukan inti dari peristiwa Inkarnasi, namun
ini merupakan suatu dampak yang sangat penting, karena ini akan merupakan pagar yang sangat penting
dalam kita menjaga iman kita kepada Kristus agar tak terbelokkan kepada pengajaran yang salah. Dalam
Matius 1:23, bayi yang dilahirkan oleh Maryam itu disebut sebagai “Immanuel” yang artinya “Allah
menyertai kita”. Ini berarti bahwa yang berwujud manusia itu ternyata bersifat dan berhakekat Allah, sebab
jika tidak demikian pastilah Dia tak disebut sebagai “Allah menyertai”. Serta ini bermakna pula bahwa
dalam keadaan sebagai bayi manusia itupun Pribadi bayi ini adalah Pribadi Allah. Jadi ini menegaskan apa
yang dikatakan oleh Yohanes bahwa “Firman” yang adalah “Allah” ( Yohanes 1:1) telah “menjadi manusia”
( Yohanes 1: 14) tanpa berubah dari sifat ke-Allah-anNya, sebab Allah itu tak mungkin berubah, sehingga
setelah lahir dalam wujud manusiapun Dia tetap disebut “Allah” menyertai kita. Jadi “Subyek” yang menjadi
Pribadi dari bayi manusia Anak Maryam ini adalah Firman Allah (“Anak Allah”) yang kekal dan pra-ada
sebelum lahir jadi bayi. Hal ini dikatakan oleh Alkitab demikian:’…Allah mengutus AnakNya ( yaitu:
FirmanNya yang pra-ada itu) yang lahir ( dalam nuzulNya ke bumi dalam pengutusan itu) dari seorang
perempuan (Maryam)” ( Galatia 4:4). Jadi ke-ilahi-an yang pra-ada dari Firman Allah (Yohanes 1:1) atau Anak
Allah (Galatia 4:4) itu tak hilang dan tak berubah ketika Dia nuzul sebagai bayi, karena Allah ataupun
KalimatNya memang tak pernah berubah. Demikianlah Firman Allah itu tetap Allah sebelum turun, ketika
dikandung, dan setelah dilahirkan oleh Maryam Sang Perawan dalam wujud baru yang dikenakanNya itu
karena Dia “telah mengambil rupa…menjadi sama dengan manusia “ (Filipi 2:7).Karena manusia itu dikenal
melalui hakekat pribadinya dan bukan hanya melalui bentuk-raganya,demikianlah Maria itu tidak hanya
mengandung raga seorang bayi manusia saja, namun mengandung bayi yang memiliki hakekat Pribadi
Firman Allah yang bersifat Allah yang mengenakan dan mengambil raga bayi dari ovum Maria. Ovum ini
tanpa sperma laki-laki telah diciptakan oleh Kuasa Allah sendiri menjadi bayi dan disatukan serta
dimanunggalkan dengan kodrat ilahi Kalimatullah sendiri serta diberi kehidupan manusiawi oleh Roh
Kudus atau Roh Allah yang berada melekat satu di dalam Hakekat (Essensi, Dzar) Allah sendiri. Dengan
demikian Firman Allah yang kekal dan yang sama itulah yang menjadi subyek Pribadi si bayi Anak Maryam
itu. Sehingga Maryam memang betul-betul melahirkan seorang bayi manusia yang subyek PribadiNya
adalah Allah yaitu Kalimatullah sendiri. Demikianlah Maria itu benar-benar “Theotokos” (Tokos = Sang
Pemberi lahir secara jasmani karena nuzulNya Theos = kepada Allah yaitu Kalimatullah/Firman Allah yang
secara kekal tak berjasmani itu”). Jadi sebutan “Theotokos” bagi Maryam itu justru keilahian Kristus yang tak
pernah berubah sebagai Kalimatullah itulah yang ditekankan, bukan diri Maria sendiri. Itulah sebabnya
ketika Maryam mengunjungi Elisabet, oleh ilham Roh Kudus dalam suatu nubuat wanita tua yang saleh ini
menyapa Maryam dengan sebutan “Ibu Tuhan” ku (Lukas 1:43). Kata “Tuhan”(“Kyrios”) yang digunakan
kepada Yesus dalam Perjanjian Baru itu mempunyai 3 latar-belakang, sebagaimana yang telah kita bahas
diatas, dan sebaiknya kita ulang lagi:

1. Kata ini menterjemahkan kata “YHWH” (sering dibaca Yehuwah atau Yahweh) sebagai Nama Allah sendiri
dalam Alkitab Ibrani. Orang Yahudi menganggap kata ini sangat suci sekali sehingga takut untuk
mengucapkannya, sebagai gantinya setiap ada kata “YHWH” ini mereka baca dengan bunyi “Adonay”
(“Tuhanku”). Pada waktu Akitab Ibrani diterjemahkan oleh ummat Yahudi ke dalam bahasa Yunani
(Septuaginta), maka setiap kali ada kata “YHWH” bunyi bacaannya “Adonay” (Yunaninya: Kyrios) itulah yang
ditulis dalam terjemahan. Maka “Kyrios” bermakna Nama Allah sendiri.

2. Kata Kyrios dalam makna harafiahnya menunjuk kepada sebutan penghormatan, kepenguasaan atau
kepada sesuatu yang dipertuan. Pada saat Yesus hidup diatas dunia ini kata “Kyrios” yang digunakan orang-
orang sezamanNya untuk menyapa Dia itu seyogyanya dimengerti sebagai sebutan penghormatan saja:”
Tuan, Pak, Mister, Sir”, dan memanglah demikian maknanya.

3. Namun ketika Yesus telah dimuliakan, sebutan “Kyrios” (“Tuhan”) untuk Yesus ini mempunyai makna
sebagai “Penguasa” atau “Yang Dipertuan”. Jadi kata “Tuhan” (Kyrios) disini tak langsung menunjuk kepada
makna “Allah” (“Theos”). Itulah sebabnya sebutan “Allah” (“Theos”) bagi Sang Bapa, itu dibedakan
penggunaanya dengan sebutan “Kyrios” (“Tuhan”) bagi Yesus Kristus. Sehingga “Tuhan Yesus” maknanya
bukan “Allah Yesus” namun “Sang Penguasa Yesus”, “Sang Junjujngan Yesus”. Hal ini dibuktikan dalam
penggunaannya dalam ayat-ayat berikut ini :”…Yesus adalah Tuhan….Allah telah membangkitkan Dia dari
antara orang mati…” (Roma 10:9-10), “ Allah, yang membangkitkan Tuhan….” ( I Kor.6:14) “…satu Allah saja,
yaitu Bapa,…..satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus…” ( I Kor.8:6), dan masih banyak yang lain lagi. Ayat-ayat
diatas jelas membedakan “Allah” yaitu “Bapa” dengan “Tuhan” yaitu Yesus Kristus, yang dibangkitkan oleh
“Allah” atau “Bapa” ini. Sejak kapan Yesus menerima gelar “Tuhan” ini? Sejak kebangkitanNya. Karena
sesudah bangkit dari antara orang mati Dia mengatakan kepada para muridNya:” KepadaKu telah diberikan
(berarti: ada yang “memberikan”, yaitu Allah sendiri) SEGALA KUASA (Kepenguasaan mutlak: Jabatan Tuhan)
di sorga dan di bumi” ( Matius 28: 18).

Dengan demikian karena Allah yang memberikan “SEGALA KUASA” di sorga dan di bumi kepada Yesus yang
telah bangkit ini, maka Allah pulalah yang mengangkat Yesus menjadi “Penguasa Mutlak” atau “Tuhan” atas
sorga dan bumi ini. Inilah yang dikatakan dalam Kisah 2:36:” Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan
pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang telah kamu salibkan itu, menjadi Tuhan…”. Yesus diangkat
sebagai Penguasa Mutlak atau “Kyrios” (“Tuhan”) ini memiliki tiga tujuan: a. Untuk menunjukkan bahwa Dia
adalah Adam yang terakhir yang telah memulihkan kepenguasaan Adam atas alam, yang hilang karena
kejatuhan. b.Untuk menunjukkan bahwa Yesus yang manusia itu sungguh-sungguh Kalimatullah yang
menjelma sebagai manusia. Karena Allah selalu melaksanakan kepenguasaanNya atas alam melalui
kalimatNya, sekarang kuasa yang sama atau keTuhanan Allah yang sama dan hanya satu itu, dilaksanakan
melalui manusia Yesus Kristus, sehingga Yesus disebut Tuhan, dengan demikian Yesus tetaplah
Kalimatullah yang satu dan yang sama, karena melalui Kalimtullah itu Allah melaksanakan kuasa
KetuhananNya sendiri.

Dengan demikian baik Allah maupun KalimatNya tak berubah, baik dalam hakekatNya maupun dalam
hubunganNya, meskipun Kalimat itu telah nuzul sebagai manusia.c. Untuk tujuan keselamatan manusia,
karena dengan kuasa mutlak sebagai “Penguasa” atau “Tuhan” ini Yesus Kristus akan mengubah tubuh
manusia yang hina ini sehingga menjadi serupa dengan TubuhNya yang mulia pada Hari Kebangkitan nati
(Filipi 3:20-21).

Setelah mengerti makna kata “Tuhan” yang dikenakan kepada Yesus Kristus, maka jelas jika kita sekarang
menyebut “Tuhan Yesus Kristus” maka makna ketiga itulah yang kita maksud. Sedangkan ketika para
Malaikat (Lukas 2: 11) menyebut Kristus sebagai Tuhan, dan terutama sekali ketika Elisabet menyebut Maria
sebagai “Ibu Tuhan” ( Lukas 1:43), jelas yang dimaksud bukan makna ketiga ini, karena Yesus baru atau
belum lahir, belum bangkit, dan belum dimuliakan. Bukan pula makna kedua, karena seorang bayi tak akan
disebut “Pak” atau “Tuan”, namun itu menunjuk makna pertama “Kyrios” (“YHWH”), yaitu sebagai Nama
Allah sendiri, untuk menunjuk bahwa bayi yang sedang lahir itu adalah “YHWH” yaitu “Firman YHWH”
sendiri yang sedang menjelma sebagai manusia. Dengan demikian “Ibu Tuhan” bagi Maria ini identik
dengan “Bunda Allah” atau “Theotokos”.

Jadi Maria memang “Ibu dari Yang Ilahi” sendiri, yaitu “Bunda Allah” Sang Sabda dalam keberadaan
nuzulNya, bukan dalam keadaan azali atau kekalNya. Karena keberadaan Sabda Allah yang azali dan kekal
itu tak berbadan jasmani, tak beribu serta tak dilahirkan wanita, dan tanpa awal maupun akhir. Melalui
gelar “Theotokos”` bagi Maria inilah justru keilahian Yesus Kristus sebagai Kalimatullah dijaga dan dipagari.
Maka kita tak akan lupa bahwa bayi yang dilahirkan Maria itu ternyata tetap Allah yang sama, dan tak
pernah berubah meskipun telah turun sebagai manusia, sehingga Ibu manusiaNya berhak disebut “Bunda
Allah” (“Theotokos”).

Sisi lain dari gelar “Theotokos” ini adalah untuk menegaskan kemanusiaan Yesus Kristus. Karena tanpa
menegaskan kemanusiaanNya, kita akan jatuh pada ajaran bidat Monofisitisme yang hanya menekankan
keilahian Yesus Kristus dan menghilangkan kemanusiaanNya serta dengan demikian mensifatkan wujud
kemanusiaaNya itu sebagai Yang Ilahi sendiri. Jika yang demikian ini yang terjadi akhirnya kita bukan
menyembah Allah yang benar dan ghaib, namun menyenmbah makhluk manusia Anak Maryam : “ Dewa
Yesus”.

Alkitab mengajarkan bahwa ketika Firman Allah “mengambil rupa ….menjadi sama dengan manusia” ( Filipi
2:7) atau “lahir dari seorang perempuan” ( Galayia 4:4) yaitu “ menjadi manusia” ( Yohanes 1:14), dia
mengambil ini dengan “menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka”
(Ibrani 2:14) artinya “ dalam segala hal (yaitu: termasuk tubuh, jiwa, roh, akal-budi, emosi, kehendak, dan
segenap sifat-sifat kemanusiaan) Ia harus disamakan dengan” manusia ( Ibarni 2:17). Ini berarti bahwa
Yesus Kristus adalah manusia sempurna.

Dalam segala hal Dia memiliki kodrat yang sama persis dengan segenap manusia lainnya. Karena kodrat
kemanusiaan yang diambilNya itu tak berbeda dalam segala hal dari segenap manusia di alam ini, maka
Dia betul-betul Anak Maryam ( Markus 6:3). Karena Yesus dalam kemanusiaanNya itu disebut “Anak
Abraham” dan “Anak Daud “ ( Matius 1:1), maka haruslah dalam jasad daging kemanusiaanNya itu mengalir
“gen” dari Abraham dan Daud bapa-bapa leluhurNya secara manusia itu. Padahal “gen” tadi harus didapat
dari manusia yang merupakan keturunan Abraham dan Daud, dan kita tahu satu-satunya manusia yang
mempersembahkan kemanusiaan dengan cara melahirkan Firman Allah yang menjelma ini sebagai bayi
adalah Maryam, berarti Yesus memang harus mengambil “gen” Abraham dan Daud itu melalui Maryam.
Artinya Maryam harus sungguh-sungguh dalam arti literal adalah Ibu kemanusiaan dari Penjelmaan
Kalimatullah ini. Maryam tidak hanya sekedar dilalui atau dilewati oleh kelahiran Yesus saja, namun
kemanusiaan Yesus itu berasal dari ovum kemanusiaan Maryam. Itulah sebabnya Yesus disebut sebagai
“buah rahim” Maryam ( Lukas 1: 42).

Ini berarti Maryam adalah pohon dari kemanusiaan Yesus, dan rahim atau ovum Maryam itu menjadi asal-
usul dimana “BUAH” yaitu tubuh kemanusiaan bayi Yesus itu diproses. Jadi Maryam bukan hanya sebagai
saluran saja, dalam arti tak menyumbangkan apapun kepada kodrat kemanusiaan dari Kalimatullah yang
menjelma, seperti layaknya pipa kraan yang dialiri air. Analogi ini tak masuk akal, karena air dari pipa kraan
itu bukan “buah” dari pipa tadi, padahal Yesus adalah “buah rahim” Maryam. Jadi memanglah kemanusiaan
Yesus itu semata-mata berasal dari ovum Maryam yang tanpa sperma laki-laki oleh Kuasa Firman Allah itu
sendiri dijadikan bentuk Bayi dan oleh Roh Allah sendiri diberikan kehidupan. Dengan demikian Yesus
itulah ‘Keturunan Perempuan’ ( Kejadian 3:15) karena terjadi tanpa sperma pria sama sekali namun
langsung oleh Kuasa Yang Maha Tinggi sebagai mukjizat luar biasa, dan sekaligus “keturunan Abraham dan
Daud”, karena Maryam adalah keturunan mereka dan melalui ovumnya “gen” Abraham dan Daud menjadi
kemanusiaan dari Firman Allah yang menjelma. Itulah sebabnya Galatia 4:4 mengatakan bahwa Anak Allah
yang pra-ada itu ketika lahir menjadi manusia dikatakan “genomenon ek gunaikos” = “lahir keluar dari” atau
“berasal dari” perempuan “. Jadi “berasal dari” atau “keluar dari” Maryam inilah kemanusiaan Yesus itu
dilahirkan ke dunia. Maryam bukan hanya dilalui saja, namun betul-betul menjadi Ibu Yesus Kalimatullah
itu, yang darinya kalimatullah yang tak berjasad jasmani itu mendapatkan jasad-jasmani kemanusiaanNya.

Itulah sebabnya Maryam disebut “Theo-“ yang menekankan ke “Allah” an si Bayi sebagai kalimatullah, dan “-
tokos” yang menekankan sungguh-sungguh si Bayi itu terlahir dari Maryam, berarti Ia manusia sejati yang
memiliki permulaan dari kelahiran Jadi memang Maryam yang harus memiliki gelar ini, untuk
menandaskan secara tegas bahwa kemanusiaan dari Bayi yang terlahir itu memang berasal dari Ibu yang
melahirkan itu yang adalah betul-betul manusia. Sehingga si Bayi itu adalah manusia sejati dan sempurna,
karena Ibu yang melahirkan adalah manusia sejati.

Demikianlah gelar “Theotokos” bagi Maryam itu merupakan ringkasan theologis tentang makna Inkarnasi
Kristus, serta menjadi pagar dan penjaga kokoh bagi “keilahian” dan “kemanusiaan” Kristus, yang tidak
saling berbaur, tidak saling kacau, namun tak-terpisah-pisahkan dan tak terbagi-bagi dalam kesatuan
Pribadi Firman Allah yang hanya satu itu. Gereja Orthodox pada tahun 431 di Efesus mengutuk “Nestorius”
yang menolak gelar ini, karena penolakan itu berarti pemisah-misahan Pribadi Kristus yang satu itu menjadi
dua. Jika Maryam hanya melahirkan kemanusiaanNya saja, berarti si Bayi yang lahir itu tak memiliki Pribadi
Ilahi, dengan demikian sudahlah terpisah antara Pribadi Ilahi dan Pribadi Manusianya, sehingga ada dua
Pribadi yang berbeda. Dengan demikian Yesus Kristus itu bukan Firman Allah yang menjelma, namun
hanya manusia biasa Anak Maryam, yang baru kemudian kesurupan Firman Allah, seperti layaknya kalau
orang kesurupan setan.

Dalam pengertian semacam ini maka Pribadi Firman Allah dan Pribadi Anak Maryam memang beda, berarti
ada dua pribadi dalam Yesus, dan bukan Satu Pribadi yang berkodrat dua secara tak terpisah. Jikalau begitu
yang disalib itu hanya sekedar manusia biasa, bukan kematian dari kodrat kemanusiaan Firman Allah yang
menjelma, sebab kodrat ilahiNya memang tak dapat disalib dan tak dapat mati. Jika yang mati itu hanya
manusia biasa Anak Maryam saja, maka keselamatan tak akan terjadi oleh kematian semacam itu. Sampai
sekarangpun Gereja Orthodox akan tetap menyangkal “Nestorius-Nestorius “ modern yang menolak
menyebut Maryam sebagai “Theotokos”. Jelaslah gelar Theotokos bukanlah untuk memberhalakan atau
mendewakan Maryam seperti yang sering disalah-mengerti serta seperti yang telah dialih-maknakan dalam
Gereja Roma Katolik. Namun gelar itu untuk menjaga keutuhan dan kesatuan “dua-kodrat” Kristus dalam
“satu Pribadi”. Sedangkan Maryam sendiri sebagai pribadi sampai kapanpun dia adalah “hamba Tuhan”
yang suci, saleh, serta taat. (Lukas 1:38).

All posts Post time Ascending Go


NextDisplay posts from previous:   Sort by     

POST A REPLY
43 posts • Page 1 of 3 • 123
Return to Ortodox
Jump to:                                                                                                                                                                

Ortodox Go
 

WHO IS ONLINE

Users browsing this forum: No registered users and 0 guests

 Board index
 Delete all board cookies
 All times are UTC + 7 hours
Powered by phpBB & phpBB SEO
Sarapan Pagi (c)2006 by BP & Saxman
Style we_universal created by Inventia.

Anda mungkin juga menyukai