Anda di halaman 1dari 109

KATOLIK

ITU APA ?
SOSOK-AJARAN-KESAKSIANNYA

Franz Magnis-Suseno

PENERBIT PT KANISIUS - 2017


KATA PENGANTAR

Sekian kali saya sudah ditanyai oleh kenalan dan sahabat apakah ada
buku di mana ia dapat memperoleh informasi ketat menyeluruh tentang
apa itu “Katolik” baik oleh penanya Katolik, maupun bukan Katolik.
Yang mereka cari adalah informasi yang tidak terlalu lebar tentang
keseluruhan sosok yang disebut Katolik. Mereka barangkali sudah tahu
banyak tentang Katolik, tetapi yang mereka cari adalah keseluruhannya,
logika internalnya. Sebenarnya sudah ada beberapa buku bagus yang
memberikan uraian tentang Gereja Katolik.1 Namun kebanyakan uraian
tersebut membatasi diri pada segi-segi tertentu. Tambahan pula teologi
Katolik terus berkembang. Nah, dalam buku ini saya mencoba menyajikan
keseluruhan sosok “Katolik” itu, realitasnya, dan pengertian diri Gereja
Katolik sekarang, termasuk dengan memperhatikan pertanyaan-per-
tanyaan tajam yang sekarang sering diajukan terhadapnya. Alamat
pertama buku ini tentu rekan Katolik sendiri yang mencari informasi
tentang apa itu “Katolik” dan tantangan apa yang dirasakannya. Namun
bisa juga bahwa teman yang tidak Katolik, barangkali tidak Kristiani, ingin
tahu realitas dan logika internalnya Gereja Katolik.
Saya bagi buku ini ke dalam tiga bagian. Bagian pertama sekadar
menjelaskan sosok tampak Gereja Katolik. Bab pertama melukiskan
Gereja Katolik dengan ciri-cirinya sebagaimana dia memperlihatkan
diri sekarang, Dalam bab kedua saya mensketsakan bagaimana Gereja
Katolik itu sampai terbentuk, maka saya menjelaskan sejarah 2000 tahun
perkembangan Gereja darj Umat Awal sampai sekarang.

1 Lihat misalnya (rincian di Daftar Pustaka): Iman Katolik. Buku Informasi dan Referensi (terbitan
KWI1996); buku Mgr. I. Suharyp, The Catholic Way. Kekatolikan dan Keindanesiaan Kita (Kanisius
2009); buku Romo I. Ismartono, Kuliah Agama Katolik di Perguruan Tinggi Negeri (Obor 1993);
buku Katolik (The Everything Catholicism Book) (Karisma 2004); dan buku yang diedit oleh Romo
J. F, Susapto: Credo dan Relevansinya. Ulasan Komprehensif Rumusan Iman Kristiani (Obor 2014).

11
Bagian kedua menjelaskan apa yang diimani oleh Gereja Katolik, yang
dalam kenyataan diimani bukan hanya oleh umat Katolik, melainkan oleh
seluruh umat Kristianitas, Dalam bab ketiga saya menjelaskan sumber-
sumber iman kepercayaan Kristiani, Kitab Sucinya dengan dua bagiannya,
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru: Dalam arti apa dua Kitab Suci itu
diyakini memuat wahyu Allah, menjadi inspirasi, serta sejauh mana Kitab
Suci diyakini bebas dari kekeliruan. Bab keempat adalah bab inti seluruh
buku, tentang siapa itu Yesus dari Nazaret, bagaimana Yesus menyatakan
diri sebagai Yang Dari Allah, dan bagaimana dalam Yesus umat Kristiani
diantar sampai dikenalnya siapa Allah, ya Allah Tritunggal. Kemudian
dalam bab kelima dibicarakan tiga kenyataan paling mendasar yang
diimani umat Kristiani tentang manusia: Bahwa manusia bersama dengan
seluruh alam raya diciptakan oleh Allah, bahwa manusia jatuh ke dalam
dosa, namun diselamatkan oleh Allah, dan bahwa di akhir zaman segala-
galanya akan disempurnakan. Di situ saya membahas beberapa hal yang
bagi umat amat banyak berarti: Apa yang terjadi dalam kematian, apa itu
surga, api penyucian dan neraka, dan apa yang akan terjadi pada akhir
zaman.
Bagian ketiga berfokus pada Gereja, umat mereka yang mengikuti
Yesus, dan perutusannya. Bab keenam membicarakan hakikat Gereja,
struktur internalnya, karisma-karisma, dan tugas panggilannya. Dalam
bab ketujuh dan kedelapan saya membicarakan kesaksian yang menjadi
panggilan Gereja, atau dengan kata lain, bagaimana umat Yesus harus
hidup. Bab ketujuh membicarakan bagaimana masing-masing warga
Gereja dipanggil untuk mengikuti Yesus. Jadi, inti semangat yang
dituntut Yesus. Bab kedelapan membicarakan bagaimana Gereja
melibatkan diri dalam penataan masyarakat agar manusia didukung
dalam perkembangannya sesuai dengan martabat anugerah Allah. Di
situ dibahas ajaran sosial serta etika politik Gereja, tetapi juga teologi
pembebasan, bagaimana Gereja menyikapi ideologi-ideologi besar yang

12
muncul dalam 300 tahun terakhir, dan bagaimana sikap Gereja terhadap
Pancasila. Dalam bab terakhir saya mengangkat tantangan-tantangan
yang akan dihadapi oleh Gereja Katolik di masa mendatang.
Perlu diperhatikan bahwa buku ini bukan buku resmi Gereja Katolik.
Buku ini memahami Gereja Katolik sebagaimana saya menghayatinya
sampai sekarang, 80 tahun. Jadi, buku ini seluruhnya tanggung jawab saya.
Belum tentu setiap penjelasan disetujui oleh semua saudara dan saudari
Katolik. Harapan saya bahwa buku ini membantu kaum terdidik Katolik
untuk menemukan informasi tentang agama yang mereka anut dalam
bentuk yang tidak terlalu panjang. Namun, barangkali teman-teman
beragama lain pun dapat memanfaatkannya kalau ingin lebih tahu apa
sebenarnya Kekatolikan itu.
Akhirnya saya ingin berterima kasih kepada sedemikian banyak
manusia yang sentuhannya dalam hidup saya mendorong saya untuk
mendalami iman saya yang Katolik itu. Keluarga saya yang kental Katolik,
Romo-Romo Yesuit yang mendidik saya, menerima saya sebagai anggota,
dan yang kemudian mengantar saya ke dalam filsafat dan teologi. Begitu
banyak tukar pikiran dan desakan hati, begitu banyak buku yang dapat
saya baca, yang memberikan pencerahan kepada saya. Beberapa buku
yang amat membantu dalam menjernihkan pengertian saya waktu menulis
buku ini saya susun dalam daftar pustaka.
Buku ini bukan buku ilmiah. Saya menulisnya atas dasar pemahaman
intuitif saya terhadap Gereja yang selama 80 tahun mengantar saya. Catatan
kaki sangat terbatas. Sebagian besar uraiannya semata-mata berdasarkan
pengertian yang saya peroleh selama hidup saya. Itulah keterbatasan buku
ini. “Rapopo? kata Presiden Jokowi tercinta kita. Semoga Tuhan Yesus
mengatakan demikian juga, paling-paling menjewer hanya sedikit.

Jakarta, 10 Januari 2017


Franz Magnis-Suseno, SJ

13
DAFTAR SINGKATAN

LG = Lumen Gentium (Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Gereja)


LThK = Lexikonfur Theologie und Kirche
PB = Perjanjian Baru
PL = Perjanjian Lama

14
BAGIAN PERTAMA:
KATOLIK
SEPINTAS PANDANG

15
BAB 1
GEREJA KATOLIK: SEBUAH IKHTISAR

“Gereja Katolik” adalah nama resmi umat beragama Katolik. “Gereja”


berarti “umat” atau “jemaat” Gereja Katolik ditata menurut keuskupan,
wilayah yang diketuai oleh seorang uskup di bawah kepemimpinan uskup
kota Roma, Paus. Keuskupan dibagi dalam paroki-paroki yang masing-
masing berpusat pada sebuah gereja di mana umat beribadat dan dilayani
oleh pastor paroki. Orang masuk ke dalam Gereja Katolik (selanjutnya
saya sebut “Gereja” saja) melalui ritus pembaptisan. Apabila orang yang
mau masuk Katolik sudah dibaptis sah dalam Gereja lain (Gereja Katolik
mengakui pembaptisan banyak Gereja lain) ia tidak perlu dibaptis lagi.
Kebanyakan orang Katolik dibaptis sebagai bayi atas prakarsa orang
tua. Apabila orang yang mau masuk Gereja sudah berumur tujuh tahun
atau lebih, ia sendiri harus mengajukan permintaan dibaptis dan baru
akan menerima pembaptisan sesudah “magang” (menjadi “katekumen”)
selama beberapa waktu, biasanya selama dua belas bulan.

1.1. Keluarga Besar Umat Kristiani

Pada tahun 2010 di seluruh dunia diperkirakan terdapat 1,239 miliar


orang Katolik yang merupakan sekitar 17% umat manusia. 36% semua
orang Katolik tinggal di Amerika Latin, 10% di Amerika Utara, di Eropa
yang dulu pusat Gereja Katolik, sekarang hanya tinggal 24% orang
Katolik. Mayoritas mereka tinggal di negara-negara berbahasa Latin:
Italia, Spanyol, Portugal, dan Prancis, lalu di Austria, Belgia, Irlandia,
Kroasia, Polandia, Slovakia, dan Slovenia. Di Jerman jumlah orang
Katolik dan Protestan hampir sama, dan Swiss dan Ceko juga masih

16
terdapat umat Katolik dalam persentase cukup besar. Di negara-negara
Eropa lain Katolik merupakan minoritas kecil, sebagian dari mereka
adalah pendatang. 15,3% orang Katolik tinggal di Asia, Australia, dan
Oseania, di mana satu-satunya negara Asia dengan mayoritas penduduk
Katolik adalah Filipina, dan 14,7% di Afrika.
Gereja Katolik merupakan bagian dari umat Kristiani di seluruh
dunia. Yang mempersatukan semua orang Kristiani adalah keyakinan
bahwa dalam manusia Yahudi Yesus yang hidup dan dihukum mati ham-
pir 2000 tahun lalu, Allah sendiri masuk ke dalam dunia, bahwa Yesus itu
adalah Sang Penebus (= “Kristus”) yang dijanjikan dan bahwa, karena itu,
dalam Yesus Kristus itu Allah menawarkan keselamatan kepada segenap
orang. Kesamaan iman semua orang Kristiani terungkap dalam Credo,
suatu rumusan kuno iman Kristiani. Mereka bersama memiliki satu kitab
suci yang terdiri atas kitab suci umat Yahudi, Perjanjian Lama (PL), dan
Injil atau Perjanjian Baru (PB, lih. di Bab 3).
Umat Kristiani sedunia secara garis besar terdiri atas tiga cabang
besar: Gereja Katolik, Gereja Ortodoks, dan Gereja Protestan. Gereja
Katolik dan Gereja Ortodoks sama-sama merupakan kelanjutan Umat
Awal. Umat Awal adalah umat pertama di bawah pimpinan Petrus,
Yakobus dan ke-10 rasul pilihan Yesus lain di Yerusalem. Mereka bersatu
dalam kepercayaan bahwa Yesus yang disalibkan atas upaya pimpinan
Yahudi oleh penguasa Romawi dibangkitkan oleh Allah dan ditetapkan
sebagai Tuhan. Dari Umat Awal itu Injil kemudian menyebar ke seluruh
wilayah kekuasaan Roma, ke Mesopotamia (Irak), dan Laut Hitam. Petrus,
pemimpin para rasul, akhirnya menjadi uskup di Roma dan di situ mati
sebagai martir, sehingga uskup-uskup Roma kemudian diakui mempunyai
kedudukan paling tinggi (“primat”) di antara uskup-uskup lain.
Perpecahan antara Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks bukan
karena perselisihan mengenai ajaran, melainkan sebagai akibat proses

17
panjang saling menjadi asing antara Gereja Barat yang berbahasa Latin dan
Gereja-gereja di wilayah Timur Roma (Konstantinopolis) yang berbahasa
Yunani. Proses itu sudah mulai di abad ke-4 di mana kekaisaran Roma
pecah ke dalam bagian Barat dengan Ravenna dan bagian Timur dengan
Konstantinopolis (Istambul) sebagai ibukota. Gereja-gereja Timur yang
selain berbahasa Yunani juga berbahasa Siria, Koptik, Khaldea, dan lain-
lain, semakin tidak mengakui primat uskup Roma. Perpecahan menjadi
resmi pada tahun 1054 waktu batrik Konstantinopolis sebagai pemimpin
Gereja-gereja Timur dan Paus sebagai pemimpin Gereja Barat saling
mengekskomunikasikan (saling mengeluarkan dari kesatuan umat).
Sejak itu Gereja-gereja Timur dan Gereja Barat berjalan sendiri-sendiri.
Kristianitas Timur pada saat ini terpecah ke dalam 14 Gereja mandiri
di mana Gereja Ortodoks Rusia adalah yang terbesar dengan 150 juta
umat. Dapat ditambah bahwa pada tahun 1965 Paus Paulus VI dan
Batrik Anaxagoras, Ketua Kehormatan Gereja Ortodoks, bersama-sama
mencabut ekskomunikasi itu.
Sedangkan Gereja Protestan lahir dalam reformasi. “Reformasi
Protestan” adalah suatu gerakan protes (maka “Protestan”) yang di-
lancarkan oleh Martin Luther (1483-1546) di Jerman dan Jean Calvin
(1509-1564) melawan Gereja Roma yang dianggap sudah menyeleweng
dari ajaran Kristus. Dengan alasan bahwa tidak ada dasar dalam Kitab Suci,
Protestantisme menolak segala apa yang khas bagi Gereja Barat: adanya
Paus, uskup dan imamat tertahbis, sakramen-sakramen (ritus-ritus yang
memastikan pencurahan rahmat Ilahi pada yang menerimanya), devosi
pada Bunda Maria dan santo-santa. Mereka membersihkan gereja-
gereja dari segala gambar dan patung, menghapus ziarah dan kebiasaan
tradisional lain seperti pemakaian dupa dan air suci, biara-biara ditutup,
dan selibat (ketentuan bahwa imam tidak boleh kawin) dihapus. Perlu
dicatat bahwa di antara Protestantisme Luteran dan Kalvinis juga terdapat
perbedaan-perbedaan cukup mendalam.

18
Dengan lahirnya Protestantisme, kekristenan Barat pecah ke dalam
Gereja lama (“Gereja Katolik”) dan dua aliran besar Protestan yang sendiri
di abad-abad berikut pecah ke dalam lebih banyak gereja dan sekte-sekte
(jemaat-jemaat yang mengafirkan segala dunia Kristiani di luar mereka
sendiri). Di abad ke-20, kegerejaan Protestan melahirkan dua gerakan
pembaruan amat kuat, gerakan Pentakosta, dan Karismatik.
Empat ratus tahun lamanya Katolik dan Protestan saling memusuhi.
Akan tetapi dalam seratus tahun terakhir terjadi sesuatu yang luar biasa:
Berhadapan dengan sekularisme dan ateisme ganas seperti komunisme
dan Nasional-Sosialisme (“Nazi”) serta ancaman penggerogotan iman
karena daya tarik kapitalisme, hubungan Katolik dan Protestan menjadi
akrab dan saling percaya meski perbedaan-perbedaan dalam ajaran
tetap ada. Namun Katolik dan Protestan sekarang merasa bersatu dalam
iman kepada Yesus sebagai “Jalan, Kehidupan, dan Kebenaran” (Yoh.
14:6). Mereka menjadi sadar bahwa apa yang mempersatukan jauh lebih
mendalam daripada yang memisahkan mereka.
Dewasa ini sekitar 55% kaum Kristiani adalah Katolik, 34% atau
sekitar 746 juta orang termasuk Protestan, dan 245 juta atau 11% adalah
anggota Gereja Ortodoks. Seluruhnya terdapat sekitar 2,23 miliar umat
Kristiani yang merupakan 32% dari hampir 7 miliar manusia dunia di
tahun 2010. Sebagai perbandingan, 22,5% penduduk dunia menganut
agama Islam, 85% daripadanya termasuk Islam Sunni dan 15% Islam
aliran lain, terutama Syiah. Sekitar 13,6% umat manusia atau 943 juta
orang termasuk agama Hindu, dan 6,7% atau sekitar 463 juta orang
termasuk pelbagai aliran Buddhisme. Ada 15 juta orang Yahudi di dunia.
Penganut agama-agama lain terhitung 857 juta atau 12,4%, dan 11,5%
umat manusia atau 797 juta tidak beragama.
Di Indonesia sendiri Gereja Katolik hanya merupakan umat yang
kecil. Menurut sensus tahun 2010,2,91 % orang Indonesia termasuk Katolik

19
(dan 6,96% termasuk Gereja Protestan), hal mana pada jumlah penduduk
255 juta sekarang berarti bahwa di Indonesia ada sekitar tujuh setengah
juta orang Katolik. Katolik merupakan mayoritas hanya di beberapa
daerah di Nusa Tenggara Timur. Di tempat lain, umat Katolik merupakan
minoritas, tetapi minoritas yang merasa sepenuhnya terintegrasi dalam
bangsa Indonesia serta mampu memberikan sumbangan berarti bagi
keselamatan dan kemajuan bangsa dan negara.

1.2. Khas Katolik

Salah satu kekhasan Katolik adalah bahwa Gereja selalu berusaha untuk
inkulturasi. Maksudnya, Injil perlu diwartakan dan dihayati dalam bentuk
yang sesuai dengan budaya masyarakat masing-masing. Misalnya kalau
Injil dipermaklumkan oleh misionaris dari Belanda, maka tidak boleh
lantas orang yang mau mengikuti Injil harus menjadi orang Belanda.
Umat Kristiani yakin bahwa Injil Yesus Kristus dikirim ke segenap
manusia. Maka segenap manusia harus bisa menerimanya tanpa harus ke
luar dari kebudayaannya. Orang Yunani yang dulu dibaptis tetap orang
Yunani, orang Belanda Kristiani tetap orang Belanda, dan — seperti
dirumuskan oleh Mgr. Albertus Soegijapranata (1896-1963) — orang
Katolik di Indonesia adalah “seratus persen Katolik dan seratus persen
Indonesia”. Karena itu sekarang misa kudus biasanya dirayakan dalam
bahasa setempat dan cara membangun gereja bisa sesuai dengan gaya
bangunan religius dalam budaya yang bersangkutan.
Meskipun begitu, “Katolik” di seluruh dunia juga punya “bau” yang
khas. Dari luar, sebuah gereja Katolik tidak mesti kelihatan berbeda dari
gereja Protestan. Namun, begitu kita masuk ke dalam, perbedaannya
mencolok. Gereja-gereja Protestan bagi orang Katolik kelihatan kering.
Tidak ada gambar, patung, dan tabernakel. Gereja Protestan tidak
memberikan kesan sakral dan memang tidak mau memberi kesan itu.

20
Sebaliknya, begitu kita masuk suatu gereja Katolik, suasana sakral
mulai terasa. Di dekat pintu ada bak air suci untuk memerciki diri.
Gereja sering sedikit gelap. Di udara masih tercium sisa kemenyan dari
perayaan-perayaan besar. Bagi umat, sering kali selain bangku duduk
ada juga bangku untuk berlutut. Di sebelah kiri atau kanan dalam gereja
biasanya ada satu atau dua “kamar pengakuan” di mana umat dapat
mohon pengampunan atas dosa-dosanya dari imam. Di gereja Katolik
mesti ada patung: patung Yesus, patung Bunda Maria, patung Santo atau
Santa yang secara khusus melindungi gereja ini. Di dinding kiri dan
kanan ada lukisan “jalan salib”, 14 gambar tentang Yesus yang dihukum
mati oleh Pontius Pilatus, lalu didera, dimahkotai dengan ranting-ranting
berduri, kemudian dipaksa membawa salibnya ke gunung Golgota dan
disalib.
Pusat gereja adalah altar, suatu meja besar di depan, di mana ibadat
inti Gereja Katolik, Ekaristi, dirayakan. Di belakangnya terdapat tabernakel
di mana hosti, roti bundar tipis yang telah dikonsekrasikan menjadi
kehadiran Tuhan Yesus sendiri (“Sakramen Mahakudus”) disimpan (lih.
6.1. ). Tabernakel adalah tempat paling sakral. Di dekatnya ada “lampu
abadi”, lampu kecil bernyala merah yang memberi tahu bahwa di dalam
tabernakel ada Tuhan. Tabernakel tidak boleh didekati oleh sembarang
orang. Melecehkan roti terkonsekrasi itu bagi orang Katolik merupakan
sakrilegi, penghujatan Tuhan yang sangat mengerikan. Karena Sakramen
Mahakudus di tabernakel itu, orang Katolik di gereja selalu membawa
diri dengan hormat, seperti di rumah Tuhan, ia bicara hanya seperlunya
dan tidak dengan suara keras. Karena itu orang Katolik masuk ke gereja
tidak hanya untuk mengikuti misa, melainkan juga untuk berdoa sendiri
dalam hati di hadapan Tuhan. Selain gereja, ada juga kapel, gereja kecil
sebuah biara, di mana, seperti di gereja, Ekaristi dirayakan, dan Sakramen
Mahakudus disimpan dalam tabernakel.

21
Yang khas bagi Katolik adalah kemajemukan devosi dan upacara.2
Orang Katolik tidak hanya berdoa kepada Allah Bapa dan Tuhan Yesus
Kristus, melainkan — itulah yang keras-keras ditolak oleh reformasi
Protestan — kepada ribuan Santo dan Santa, pria dan wanita-wanita
kudus yang diyakini sudah sampai di surga. Tempat paling istimewa dalam
devosi Katolik (dan Ortodoks) diberikan kepada Bunda Maria, Ibu Yesus.
Bukan untuk menyaingi Allah Bapa atau Tuhan Yesus, melainkan karena
umat Katolik yakin bahwa Yesus tidak mungkin menolak permohonan
dari ibu-Nya, maka tak ada salahnya memohonkan dukungan Bunda
Maria dulu. Begitu pula orang Katolik yakin bahwa para Santa dan Santo
masih mau memperhatikan kita, maka mereka berdoa kepada mereka
mohon dukungan di hadapan Tuhan. Orang Katolik suka ziarah ke
tempat-tempat tertentu yang dirasa punya kawat lebih langsung ke Tuhan
Yesus atau Bunda Maria, biasanya patung dan gambar suci tertentu,
misalnya patung Bunda Maria di Lourdes (Prancis), Madonna Hitam di
Czestochowa (Polandia), atau Ratu Kita di Guadalupe (Meksiko).
Gereja Katolik mengenal banyak sekali bentuk ibadat: Misalnya
pujian di mana Sakramen Mahakudus ditakhtakan (“adorasi”), doa
rosario, jalan salib. Ada doa untuk segala macam keperluan seperti
misalnya sebelum menempuh perjalanan, pemberkatan rumah, doa bagi
orang sakit, novena (doa yang terulang selama sembilan hari), devosi
pada Hati Kudus Yesus dan Hati Bunda Maria, dan pelbagai doa di
makam. Semua devosi dan doa itu bebas, artinya tidak diwajibkan dan
tidak dianggap syarat untuk masuk surga.
Ibadat sentral Gereja Katolik (dan Gereja Ortodoks) adalah perayaan
Ekaristi, “misa kudus” (6.2.). Orang Katolik wajib ikut misa sekurang-
kurangnya setiap hari minggu. Dalam kebanyakan gereja dan kapel
misa kudus dirayakan setiap hari. Dalam misa kudus, dosa-dosa umat

2 Maka sindiran bahwa Katolik adalah NU-nya Nasrani dan Protestan Muhammadiyahnya Nasrani
tidak seluruhnya salah.

22
diampuni, dibacakan teks-teks dari Kitab Suci, dan dalam doa syukur
karya penebusan Yesus diingatkan serta dihadirkan kembali. Puncak doa
syukur agung adalah konsekrasi, ritus paling sakral di Gereja Katolik: Atas
kuasa Yesus, imam mengulangi kata-kata Yesus dalam perjamuan akhir
atas roti dan anggur yang menjadikan roti dan anggur itu kehadiran Yesus
sendiri. Dalam komuni, roti kudus (hosti terkonsekrasi) dibagi kepada
umat, sedangkan anggur terkonsekrasi diminum oleh imam dan umat
yang bertugas.

1.3. Paus, Uskup, Imam

Menurut keyakinan Katolik (dan Ortodoks) hanya seorang imam yang


ditahbiskan sah oleh seorang uskup memiliki kuasa untuk merayakan
Ekaristi, untuk menghadirkan Yesus dalam roti dan anggur, serta
untuk mengampuni dosa-dosa umat. Uskup adalah seorang imam yang
ditahbiskan menjadi uskup melalui ritus peletakan tangan oleh seorang
uskup yang sudah tertahbis. Akhirnya semua kuasa uskup dikembalikan
pada penahbisan oleh salah satu dari kedua belas rasul yang dipilih oleh
Yesus sendiri. Gereja Katolik menyebut rantai tahbisan sah itu suksesi
apostolik (penggantian para rasul). Karena semua dua belas rasul pilihan
Yesus adalah laki-laki, maka Gereja Katolik sampai sekarang berpendapat
bahwa hanya seorang laki-laki dap at ditahbiskan menjadi uskup dan
imam. Para imam adalah pembantu uskup dan hanya boleh melakukan
fungsi mereka apabila mereka ditugaskan resmi oleh uskup atau atasan
gerejani lain. Kuasa seorang uskup, meskipun pernah ditahbiskan
secara sah, hanya akan diakui apabila ia diakui sebagai pemimpin
suatu keuskupan oleh Paus, uskup Roma. Peran kunci imam dan uskup
tertahbis sah membedakan Gereja Katolik (dan Gereja Ortodoks) dari
Gereja Protestan. Dapat ditambah di sini bahwa suksesi apostolik dan
primat uskup Roma merupakan struktur yang dengan cukup efektif

23
mengamankan kesatuan Gereja terhadap segala macam perpecahan.
Umat Katolik hanya akan mengakui seorang imam yang diutus oleh
uskup yang berwenang dan seorang uskup hanya akan diakui apabila ia
diangkat atau diakui oleh Paus di Roma.
Di Indonesia terdapat 37 keuskupan yang masing-masing dipimpin
oleh seorang uskup yang diangkat oleh Paus. Mereka bersatu dalam
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang bertemu setiap tahun sekali
untuk membicarakan tantangan dan tanggung jawab umat Katolik di
Indonesia. KWI juga mempunyai pelbagai komisi untuk memberikan
pelayanan kepada umat Katolik di tingkat nasional dan untuk ber-
komunikasi dengan instansi-instansi negara dan masyarakat luas. Perlu
diperhatikan bahwa KWI bukan lembaga di atas masing-masing uskup,
melainkan sebuah forum komunikasi. Wewenang tertinggi di setiap
keuskupan dipegang oleh uskupnya di bawah wewenang Paus.

1.4. Tarekat dan Perkumpulan dalam Gereja

Selain pelayanan teritorial, artinya pembagian umat menurut suatu wi-


layah menurut paroki dan keuskupan, dalam Gereja Katolik terdapat
banyak kelompok, komunitas, tarekat, dan gerakan yang tidak teritorial,
di mana yang paling penting adalah ordo-ordo dan kongregasi-kongregasi,
atau dalam bahasa Indonesia juga disebut tarekat. Tarekat-tarekat itu ter-
diri atas laki-laki dan perempuan yang hidup dalam biara atau komuni-
tas, yang mengikrarkan diri pada pengabdian kepada Allah dan pelayanan
dalam Gereja melalui tiga kaul: kaul kemiskinan yang menyatakan bahwa
mereka tidak boleh memiliki sesuatu secara pribadi, kaul keperawanan,
yaitu keterikatan untuk tidak berkeluarga dan tidak aktif secara seksual,
dan kaul ketaatan, artinya mereka hidup di bawah seorang atasan dan taat
kepadanya. Sekarang di Gereja Katolik ada ratusan tarekat perempuan
maupun laki-laki yang semuanya pernah didirikan (lih. di bab 2) oleh

24
seorang guru rohani laki-laki atau perempuan. Karena spiritualitas dan
kesuciannya, mereka menjadi menarik bagi orang-orang yang bercita-cita
untuk mengikuti cara hidup mereka. Akhirnya cara itu secara resmi diakui
oleh Gereja sebagai bentuk kehidupan rohani dalam Gereja. Di antaranya
yang paling terkenal adalah keluarga Benediktin yang mengikuti cara
hidup biara yang didirikan oleh Santo Benediktus (480- 543), keluarga
besar Fransiskan yang mengikuti inspirasi Santo Fransiskus dari Assisi
(1181-1226), Ordo Dominikan yang didirikan oleh Santo Dominikus
(1170-1221), dan Ordo Yesuit (“Serikat Yesus”) yang didirikan oleh Santo
Ignatius dari Loyola (1491-1556). Kecuali ordo Yesuit semua mempunyai
cabang untuk laki-laki (“bruder” dan “pater”) dan perempuan (“suster”).
Di antara kongregasi-kongregasi yang lebih muda terdapat Komunitas
Sabda Ilahi (SVD), Komunitas Hati Kudus, Komunitas Salesian, Komunitas
Keluarga Kudus, suster-suster Santa Ursula, Carolus Borromeus, Abdi
Dalem Sang Kristus, dan masih banyak sekali tarekat imam, bruder, dan
suster lain. Semua tarekat itu mempunyai spiritualitas masing-masing
yang khas. Ada yang lebih kontemplatif, artinya mereka berfokus pada
doa bersama (seperti misalnya di biara Trapis di Rowoseneng untuk
laki-laki dan di Gedono untuk perempuan). Dan ada yang apostolik,
artinya, mereka menawarkan segala macam pengabdian kepada umat
seperti pemberian sakramen-sakramen, membantu di paroki, bimbingan
rohani, memberikan pelayanan pastoral terhadap kelompok-kelompok
tertentu dalam Gereja, menyelenggarakan pendidikan dari tingkat dasar
sampai universitas, khususnya juga pendidikan bagi mereka yang difabel,
mereka mengurus rumah sakit, menulis buku, melakukan penelitian
ilmiah, bekerja di antara orang-orang miskin dan terlantar, menerbitkan
majalah, merekalah yang membawa misi Gereja ke seluruh dunia.
Kebanyakan tarekat itu berada di bawah wewenang langsung Paus di
Roma, namun ada juga yang di bawah seorang uskup. Dapat dikatakan
bahwa tarekat-tarekat laki-laki dan perempuan bermotivasi tinggi itu,

25
yang bebas bergerak ke mana-mana dan siap dikirim ke dalam situasi
apa pun tanpa takut mati karena tidak berkeluarga, dan tidak mencari
kekayaan, merupakan ujung lembing perutusan Gereja Katolik. Tak salah
kalau mereka diperbandingkan dengan suatu pasukan rohani gerak cepat
yang dapat diterjunkan di mana pun Gereja memerlukannya.
Selain tarekat tarekat itu di Gereja Katolik ada banyak sekali
perkumpulan, komunitas, persekutuan lain. Ada perkumpulan lokal,
misalnya perkumpulan doa dan ada perkumpulan di seluruh dunia seperti
Legio Mariae (dengan devosi khusus kepada Bunda Maria), Christian Life
Communities (yang menghayati spiritualitas Santo Ignatius), atau gerakan
Focolare. Yang sangat terkenal adalah Opus Dei yang anggota-anggotanya
setiap hari mengucapkan doa-doa tertentu, mendapat bimbingan dari
pusat dan bertujuan untuk membawa nilai-nilai Katolik ke dalam hidup
dan pekerjaan sehari-hari, termasuk ke dalam dunia bisnis, politik,
dan ilmu pengetahuan. Sejak puluhan tahun, kehidupan Gereja Katolik
diperkaya oleh gerakan karismatik, suatu gerakan yang lahir dari Gereja-
gereja Pentakosta di Amerika di permulaan abad lalu, yang menghayati
hembusan Roh Allah mirip seperti yang dialami umat Kristiani purba.
Bisa dirangkum bahwa 1,2 miliar umat dalam Gereja Katolik
amat beraneka rupa. Itu bisa dilihat di Roma di mana para biarawan
dan biarawati suka memakai pakaian tradisional mereka dengan segala
warna dan potongan. Di Gereja Katolik ada yang progresif dan ada
yang tradisionalis, ada para pengikut Josemaria Escrivd (1902-1975),
pendiri Opus Dei yang sangat taat pada Paus, dan ada Prof. Hans Kiing
(*1928) yang kritis, ada yang cenderung fundamentalis, dan ada teologi
pembebasan, ada Santa dan Santo seperti John Henry Newman (1801—
1891), Uskup Oscar Romero (1917-1980) yang ditembak mati di tengah
misa di San Salvador, dan Ibu Theresa dari Calcutta (1910-1997).

26
Sesudah kita sedikit melihat-lihat Gereja Katolik seakan-akan dari
luar, mari kita sekarang mencoba untuk mengerti hati dan jiwanya. Tetapi
untuk itu perlu kita mengerti perjalanan Gereja dari murid-murid Yesus
2000 tahun lalu sampai ke Gereja Katolik di abad ke-21. Maka dalam bab
dua kita akan menelusuri sejarah Gereja Katolik.

27
BAB 2
SEJARAH DUA RIBU TAHUN

Pada siang hari tanggal 27 April tahun 31 (M)3 di bukit eksekusi kota
Yerusalem matilah di kayu salib, bersama dengan dua perampok, seorang
guru rohani keliling berkebangsaan Yahudi bernama Yesus dari Nazaret4
dengan dijaga oleh prajurit-prajurit Kaisar Roma Tiberius. Menjelang
petang, beberapa pengikut Yesus kemudian menurunkan jenazah-Nya
dari salib dan meletakkan-Nya ke dalam suatu makam yang tidak jauh.
Selain dalam empat Injil penyaliban itu juga disebut oleh sejarawan
Romawi Tacitus dan sejarawan Yahudi Josephus Flavius. Resminya,
Yesus dihukum mati atas tuduhan mau mempersiapkan pemberontakan
terhadap penguasa Romawi. Namun, seperti ditulis dalam keempat Injil,
yang sebenarnya di belakang kematian Yesus adalah para pimpinan politis
dan religius Yahudi yang memandang Yesus sebagai ancaman terhadap
dasar-dasar keagamaan dan politik bangsa Yahudi. Peristiwa itu adalah
permulaan sejarah Kristianitas.

2.1. Umat Awal

Para pembesar Yahudi kiranya mengharapkan bahwa dengan demikian


"ancaman” Yesus sudah berakhir. Sedangkan para pengikut Yesus yang
memang tidak banyak, merasa ketakutan. Dalam pandangan mereka,
Guru tercinta harapan mereka ternyata gagal - sama seperti banyak nabi
sebelumnya (bdk. Luk. 24:13 ss.). Dalam pandangan masyarakat Yahudi
mati di salib - penyaliban adalah salah satu hukuman paling kejam yang
3 Kemungkinan lain tanggal kematian Yesus adalah tanggal 7 April tahun 30. Data-data dalam Injil
tidak memberikan kepastian, kecuali bahwa Yesus disalib pada tanggal 15 bulan Nisan. Lih. http://
www.efg-hohenstaufenstr.de/downloads/bibel/todesjahr_jesu.html
4 Tentang Yesus lihat di bab 4.

28
pernah dirancang manusia - dianggap tanda kutukan Allah. Dengan
dihukum mati, sejarah Yesus kelihatan selesai.
Akan tetapi perkembangan kemudian lain. Sekitar 50 hari sesudah
Yesus mati di salib, kedua belas murid inti yang dipilih oleh Yesus sendiri 5,
dipimpin oleh Simon Petrus — dalam Gereja mereka disebut rasul, dalam
bahasa Yunani “apostoloi” (“yang diutus”) — ke luar dari rumah di mana
mereka bersembunyi. Mereka masuk ke dalam bait Allah di Yerusalem
dan dengan penuh semangat dan berani mempermaklumkan bahwa Yesus
yang baru saja dihukum mati oleh para pemimpin Yahudi, dibangkitkan
oleh Allah dan diangkat menjadi Tuhan dan Penyelamat, dan bahwa siapa
yang bertobat dan dibaptis atas nama Yesus akan diselamatkan. Dalam
Kisah para Rasul (dari padanya kita ketahui permulaan Umat Awal itu)
ditulis bahwa pada hari itu sekitar 3000 orang minta dibaptis (Kis. 2:41).
Mulai hari itu mereka berkumpul setiap hari di bait Allah untuk berdoa,
mereka mempermaklumkan Kabar Gembira dan semakin banyak orang
mengikuti mereka.
Namun konflik dengan para tetua Yahudi tidak dapat dielakkan. Ke-
dua belas rasul ditangkap, diancam, dan dilarang keras mengkhotbahkan
Yesus sebagai Sang Penebus. Akan tetapi mereka menolak taat dengan
argumen bahwa mereka harus lebih taat terhadap Allah daripada
terhadap manusia (Kis. 5:29). Suatu konfrontasi antara diakon Stefanus
dengan tokoh-tokoh Yahudi berakhir dengan Stefanus dirajam (Kis.
7:59). Sekarang jemaat Kristiani kecil itu mulai ditindas. Raja Herodes
menyuruh memenggal kepala Yakobus, salah satu dari ke-12 rasul dan
masih saudara Yesus. Ia juga mencoba menangkap Petrus. Banyak umat
terpaksa melarikan diri dari Yerusalem dan membawa Kabar Gembira ke
kota-kota Yahudi lain dan bahkan ke luar dari daerah inti Yahudi. Di situ
mereka mulai disebut Kristiani.

5 Yudas yang mengkhianati Yesus sudah diganti oleh Mathias.

29
Lama-kelamaan bukan hanya orang-orang Yahudi, melainkan juga
simpatisan yang bukan Yahudi ada yang minta dibaptis. Perkembangan ini
menghadapkan Gereja muda dengan suatu pertanyaan yang fundamental:
Apakah orang bukan Yahudi yang mau dibaptis harus disunat, jadi
harus masuk Yahudi dulu, atau boleh dibaptis begitu saja? Dalam suatu
musyawarah di Yerusalem di sekitar tahun 45 M yang masuk ke dalam
sejarah sebagai “Konsili para Rasul” (Kis. 15) para rasul mencapai suatu
kesepakatan historis: Orang-orang bukan Yahudi boleh dibaptis tanpa
perlu disunat, jadi mereka tidak perlu masuk agama Yahudi. Dengan
keputusan itu Kristianitas siap menjadi gerakan dunia.
Pada tahun 70 kota Yerusalem — seperti diramalkan Yesus —
dikepung dan dihancurkan oleh tentara Roma. Semua orang Yahudi diusir,
termasuk kaum Kristiani. Dari Yerusalem pusat Gereja pindah ke Roma
di mana Petrus, pemimpin para rasul, menjadi uskup pertama. Sejak itu
para uskup Roma diakui mempunyai kedudukan tertinggi dalam Gereja
(dan sejak abad ke-7 disebut “papa” [bapak], dalam bahasa Indonesia
“Paus”). Dari suatu komunitas sempalan Yahudi, umat Kristiani telah
berkembang menjadi agama tersendiri. Pada akhir abad pertama Masehi,
umat Kristiani sudah ditemukan dalam seluruh wilayah kekaisaran Roma,
di Palestina, Siria, Asia Kecil (sekarang Turki), Yunani, Italia, Prancis,
Spanyol, Afrika Utara, dan Mesir, serta lebih jauh di Mesopotamia (Irak),
Armenia di Kaukasus (yang pada tahun 301 menjadi kerajaan pertama di
dunia yang resmi menganut agama Kristiani), dan sekurang-kurangnya
sejak abad ke-3 juga sudah di India Selatan.

2.2.300 Tahun Pertumbuhan Diam-Diam

Meskipun sudah tersebar dalam wilayah luas, komunitas-komunitas


Kristiani masih kecil, tidak lebih dari salah satu dari sekian agama dan
aliran religius yang hidup subur di wilayah Roma pada zaman itu. Kecuali

30

i
beberapa pegawai tinggi di istana Kaisar yang Kristiani, kebanyakan umat
termasuk rakyat sederhana. Seperti ditulis Paulus: “Ingat saja, saudara-
saudara, bagaimaria keadaan kamu... tidak banyak orang yang bijak,
tidak banyak yang berpengaruh, tidak banyak yang terpandang” (IKor.
1:26). Orang-orang Kristiani tidak berperan dalam politik. Mereka juga
menolak masuk dalam dinas militer.
Roma waktu itu menjalankan kebijakan keagamaan yang toleran.
Mestinya komunitas Kristiani kecil yang hidup dengan damai di antara
sekian agama dan aliran keagamaan lain bisa hidup dengan tenteram
juga. Tetapi kenyataannya berbeda. Hampir sejak semula orang-orang
Kristiani ditekan dan diancam oleh aparat Romawi. Selama 300 tabun
pertama umat Kristiani mengalami sekurang-kurangnya empat kali
penindasan berat. Ribuan umat Kristiani dibunuh dengan kejam, di mana
tempat paling kondang adalah Koloseum di Roma, sebuah gelanggang
raksasa yang sekarang masih berdiri, di mana orang-orang Kristiani
dimangsakan kepada binatang-binatang buas. Penganiayaan pertama
yang diperintahkan oleh Kaisar Nero (37-68 M) juga diceritakan oleh
Tacitus. Dalam penganiayaan itu Petrus, uskup pertama Roma, dan
Paulus, sang misionaris agung, dibunuh sebagai martir. Anehnya, hanya
kaum Kristiani yang mengalami penindasan seperti itu. Apa alasannya?
Alasannya adalah bahwa orang-orang Kristiani yang tegas-tegas
menolak menyembah berhala, karena itu juga menolak mempersembah-
kan kurban kepada kaisar. Semua warga kekaisaran Romawi ikut dalam
upacara-upacara penyembahan kaisar sebagai dewa, hanya orang-orang
Kristiani menolak. Karena penolakan itu mereka dianggap berbahaya dan
kalau tetap menolak, dibunuh.
Mereka yang bersedia dibunuh demi iman mereka dalam Gereja
dihormati sebagai martir, yang berarti, sebagai saksi iman: mereka mati
karena tidak mau menyangkal iman Kristiani mereka. Menjadi martir

31
dalam Kristianitas dianggap bukti terkuat kesetiaan pada Allah. Para
martir menjadi contoh orang yang bersedia melepaskan nyawa karena
setia pada Yesus Kristus. Banyak martir zaman Romawi sekarang masih
dihormati dalam Gereja, di antaranya Santa Agnes dan Santa Agatha,
Santo Ignatius dari Antiokhia dan Santo Tarsisius. Dalam 2000 tahun
perjalanannya, Gereja mengalami banyak sekali penganiayaan dan
ribuan warga Gereja bersedia dibunuh demi iman mereka dan diingat
kembali dalam perayaan Ekaristi kudus. Perlu diperhatikan bahwa dalam
Gereja Katolik orang yang mati dalam perang tidak pernah dianggap
martir. Melainkan martir adalah mereka yang bersedia disembelih demi
imannya seperti “domba yang dibawa ke tempat penjagalan” (Yes. 53:7).
Para martir, orang-orang yang tanpa rasa benci dan dendam
memilih mati daripada melepaskan iman secara mendalam membentuk
spiritualitas Kristiani. Contohnya adalah Santo Stefanus (Kis. 7:60) yang
berdoa bagi mereka yang merajamnya. Mati sebagai martir merupakan
kemenangan akhir kebaikan hati terhadap kejahatan dan kebencian. Juga
orang yang bersedia mati daripada melakukan sesuatu yang jahat atau
yang mati karena tidak meninggalkan mereka yang perlu bantuan dan
perlindungan dianggap martir. Menjadi martir menjadi cita-cita tertinggi
dan bukti penyerahan iman paling menyeluruh dalam Kristianitas. Umat
yakin bahwa para martir langsung masuk ke dalam kegembiraan di sisi
Allah.
Jemaat-jemaat Kristiani pertama hidup dalam keterancaman dan low
profile. Belum ada gereja-gereja. Ibadat diadakan dalam rumah biasa atau
dalam kuburan luas di bawah tanah yang ada di Roma (“katakombe”).
Namun, mereka mengembangkan kehidupan spiritual dan intelektual
yang tinggi. Sejak abad ke-2 muncul teolog-teolog yang berusaha
mendalami iman Kristiani. Mereka merenungkan iman Kristiani,
membandingkannya dengan pelbagai ajaran filsafat Yunani, dan mereka

32
bergulat dengan pertanyaan yang sejak semula digeluti umat Kristiani:
siapa sebenarnya Yesus Kristus, Sang Juru Selamat itu (lihat bab 4).
Selama dua abad pertama Kristianitas mengembangkan struktur-
struktur hierarki kepemimpinan umat yang sampai sekarang berlaku
dalam mencirikan Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks. Umat dibagi
ke dalam dioses-dioses (keuskupan) yang dipimpin oleh uskup. Seorang
uskup diakui sah apabila ia ditahbiskan oleh seorang uskup yang sudah
ditahbiskan sah dan seterusnya sampai ke uskup-uskup pertama, yaitu
para rasul yang diangkat oleh Yesus sendiri. Para uskup dibantu oleh
imam-imam yang harus menerima tahbisan imamat dari seorang uskup.
Para imamlah yang langsung melayani umat di lokasi (“paroki”) tertentu.
Mereka juga disebut pastor (“gembala”). Struktur itu dimiliki sampai
hari ini oleh semua Gereja semula dan baru didobrak di abad ke-16 oleh
reformasi Protestan.
Dalam waktu itu Gereja juga mencapai kesepakatan tentang tulisan-
tulisan mana yang termasuk baik Kitab Suci PL maupun PB (lihat di
bab 3). Dengan demikian selama 300 tahun, dalam persembunyian dan
dalam suasana senantiasa terancam, di luar perhatian para penguasa dan
filosof, umat Kristiani memantapkan diri. Pada permulaan abad ke-4,
di masa penganiayaan paling kejam di bawah kaisar Diocletianus (245-
311), diperkirakan sudah sekitar 30% dari seluruhnya 70 juta penduduk
wilayah kekuasaan Roma mengikuti jalan Yesus Kristus.

2.3. Balikan Konstantin

Namun situasi umat Kristiani akan segera mengalami perubahan yang


dramatis. Pada tahun 305 kaisar Diocletianus mundur dari jabatannya.
Tujuh tahun kemudian Konstantin, panglima pasukan Romawi di Inggris,
berhasil mengalahkan saingannya Maxentius dalam suatu pertempuran di
dekat kota Roma. Menurut legenda, pada malam sebelumnya Konstantin

33
mimpi melihat Yesus yang menunjuk pada sebuah salib dengan kata-
kata: In hoc signo vinces (“dalam tanda ini kau akan menang”). Konstantin
menjadi kaisar. Setahun kemudian ia mempermaklumkan kebebasan
beragama di seluruh kekaisaran Roma. Untuk pertama kalinya umat-umat
Kristiani dapat menunjukkan identitas religius mereka secara terbuka.
Konstantin sendiri sebenarnya tetap mengakui semua agama lain.
Ia baru minta dibaptis sebelum meninggal dunia di tahun 337. Namun
agama Kristiani segera menjadi faktor penting dalam kekaisaran Roma.
Usaha kaisar Julianus (360-363) untuk mengembalikan pamor keagamaan
tradisional Roma gagal. Pada tahun 380 kaisar Theodosius (347-395)
menetapkan agama Kristiani sebagai agama negara resmi.
Namun secara internal Gereja berhadapan dengan beberapa tan-
tangan teologis yang serius. Dari Persia dan India ajaran-ajaran dualistik
yang menganggap materi dan tubuh sebagai sesuatu yang jahat menyaingi
ajaran Kristiani. Di dalam Gereja sendiri Arius (250-336), seorang imam
dari Alexandria di Mesir, mendapat banyak pengikut dengan ajarannya
bahwa Yesus tidak sehakikat dengan Allah, melainkan suatu makhluk
antara Allah dan manusia. Arius dan beberapa ajaran lain yang dianggap
sesat memaksa Gereja untuk memikirkan secara lebih mendalam apa
yang sebenarnya diimaninya tentang Yesus Kristus. Itu dilakukan dalam
empat konsili ekumenis6 yang diakui sampai sekarang oleh hampir
seluruh Kristianitas: Nikea (325), Konstantinopolis (381), Efesus (431)
dan Kalsedon (451).
Perdamaian yang dinikmati oleh Gereja mempunyai suatu akibat
sampingan: Orang tidak dapat menjadi martir lagi. Hal itu mendorong
mereka yang ingin mengikuti Kristus secara total untuk mencari jalan-
jalan lain. Ada wanita-wanita yang memutuskan mempertahankan
keperawanannya sebagai tanda bahwa mereka seratus persen milik Tuhan.
6 Konsili adalah pertemuan resmi para wakil Gereja;4 ekumenis” berarti bahwa komunitas Kristiani
di seluruh dunia terwakili.

34
Ada yang menarik diri ke padang gurun di Mesir untuk suatu kehidupan
tapa. Komunitas-komunitas para “bapa (dan ibu) padang gurun” itu
menjadi asal mula kehidupan membiara dalam Gereja. Aturan hidup
bersama yang diberikan oleh Santo Basilius (330-379), uskup Kaisarea
di Siria, sampai sekarang menjadi dasar tata hidup dalam biara-biara di
dunia Kristiani Ortodoks.
Pada tahun 529, Benediktus dari Nursia di Italia (480-550)
mendirikan sebuah biara di Monte Cassino. Kepada para biarawannya,
Benediktus memberikan pedoman “ora et labora” (“berdoalah dan
bekerjalah”). Mereka tidak hanya berdoa bersama selama kurang lebih
tujuh jam per hari, melainkan juga membuka hutan dan bercocok tanam,
menyalin teks-teks kuno bagi perpustakaan mereka dan menulis. Biara-
biara Benediktin, baik bagi laki-laki maupun perempuan, menyebar ke
seluruh Eropa bak pulau-pulau kebudayaan yang menjembatani jurang
antara kebudayaan Yunani-Romawi dan budaya Eropa baru di Abad
Pertengahan.
Sementara ini sejak abad ke-4 kekaisaran Romawi semakin diancam
oleh suku-suku Jerman7 yang, di bawah tekanan suku-suku Mongol
dari Asia Tengah, mendesak ke Barat. Juga untuk menghadapi ancaman
itu, pada tahun 395 kekaisaran Romawi dibagi dua: Roma Timur yang
berbahasa Yunani dengan ibu kota Konstantinopolis, dan Roma Barat,
berbahasa Latin, dengan ibukota Roma dan Ravenna.8 Namun tentara
Romawi Barat tidak mampu menangkis gelombang demi gelombang

7 Bangsa-bangsa Jerman adalah kelompok etnik besar ketiga di Eropa. Yang pertama adalah
suku-suku Keltik (yang bahasanya masih terpelihara di Skotlandia, Wales, di Irlandia, dan di
semenanjung Breton di Prancis). Kebanyakan suku Keltik kemudian diromawikan dan sampai
hari ini merupakan negara-negara dengan akar bahasa Latin. Suku-suku Jerman yang merupakan
kelompok bahasa tersendiri (di samping bahasa-bahasa Keltik, bahasa-bahasa berakar bahasa
Latin, bahasa Yunani, dan bahasa-bahasa Slavia) sekarang tcrmasuk masyarakat-masyarakat yang
berbahasa Jerman, Inggris, dan Skandinavia.
8 Balas antara dua bagian itu adalah sungai Drina, sungai yang sekarang merupakan sebagian batas
antara Bosnia-Herzegovina dan Serbia, jadi antara bagian Katolik dan Ortodoks yang saling
berhadapan dalam perang Balkan 1991-1995.

35
penyerang Jerman itu yang sampai menguasai Prancis, Inggris, Spanyol,
bahkan Afrika Utara. Pada tahun 409 suku Visigoth dan di tahun 455
suku Vandal bahkan menjarah kota Roma. 476 kaisar Roma terakhir
dipaksa turun takhta oleh kepala suku Ostrogoth. Sesudah 1229 tahun
kerajaan Romawi berakhir. Roma Timur masih berlanjut hampir seribu
tahun lebih lama.
Suku-suku Jerman ini semula menerima Kristianitas dalam bentuk
Arianisme. Namun mereka cukup cepat terserap ke dalam budaya
masyarakat-masyarakat berbahasa Romawi yang mereka taklukkan,
dan itu berarti bahwa mereka masuk ke dalam Kristianitas yang resmi.
Secara politik mereka menciptakan konstelasi Eropa baru yang tidak lagi
berfokus pada Laut Tengah, dengan negara-negara berbobot baru seperti
Spanyol, Prancis, Inggris, dan kemudian juga Jerman dan Italia, yang
bertahan sampai sekarang. Namun untuk sementara Eropa bagian Barat
secara budaya sepertinya menghilang dari peta bumi.
Namun kekacauan politik tidak meredam vitalitas Gereja yang
masih muda, yang baru ke luar dari ratusan tahun penindasan. Uskup
Roma, Paus, semakin berwibawa. Pada abad ke-4 Irlandia sudah masuk
ke dalam agama Kristiani dan menjadi suatu pusat yang daripadanya para
misionaris menyebar ke seluruh Eropa. Pada abad ke-5 Chlodwik, raja
suku Franka yang menguasai Prancis dan Jerman bagian Barat, dibaptis.
Sampai dengan abad ke-8 suku-suku di Jerman, terutama berkat usaha
para misionaris dari Irlandia dan Inggris, menerima Kristianitas. Di abad
ke-9 dan ke-10 suku-suku di Skandinavia — di Denmark, Norwegia,
Swedia, dan Finlandia — menyusul. Mulai dengan abad ke-8 misionaris-
misionaris yang diutus dari Roma maupun dari Konstantinopolis
mengantar bangsa-bangsa Slavia masuk menganut iman Kristiani.
Bangsa-bangsa Slavia Barat — bangsa Kroasia, Slovenia, Slovak, Ceko,
dan Polandia — mengikuti Roma dengan memakai bahasa Latin sebagai
bahasa ibadat, sedangkan bangsa-bangsa Slavia Timur — Serbia, Bulgaria,

36
Rumania — masuk dunia Kristiani Ortodoks dengan merayakan ibadat
liturgis dalam bahasa Yunani atau bahasa Slavia kuno. Pada tahun 988
Pangeran Vladimir dari Kiev dibaptis, Rusia masuk dunia Kristiani. Maka
sesudah Konstantinopolis, “Roma kedua”, direbut oleh tentara Turki 1453,
Moskow menganggap diri sebagai Roma ketiga.
Berbeda dengan bagian Barat kekaisaran Romawi bagian Timur
berhasil mempertahankan diri, Konstantinopolis tetap menguasai Balkan
Selatan dan Yunani, Asia Kecil (Turki), Siria, Palestina dan Mesir, dan
bahkan berhasil merebut kembali Afrika Utara dari tangan suku Jerman
Vandal. Konstantinopolis menganggap diri kekaisaran Romawi yang sah,
Tetapi kebangkitan kembali kekuasaan Roma kedua itu mendadak
macet karena suatu peristiwa yang berdimensi mondial, kedatangan agama
Islam. Pada tahun 632 nabi Muhammad meninggal dunia di Mekkah.
Hanya lima tahun kemudian khalifah ke-2, Umar bin Khattab, merebut
Yerusalem. Dalam waktu singkat Siria, Mesopotamia, Mesir, dan seluruh
Afrika Utara jatuh ke tangan Arab. Tahun 710, al-Tarik menyeberang ke
Spanyol. Mulailah kekuasaan Islam Arab atas sebagian besar Spanyol dan
Portugal. Perlu diperhatikan bahwa penguasa Arab tidak memaksakan
islamisasi sehingga sebagian besar rakyat tetap mempertahankan iman
Kristiani. Begitu pula di Mesir, Palestina, Siria, dan Mesopotamia
(Irak) suatu minoritas Kristiani tetap bertahan.9 Hanya di Afrika Utara
Kristianitas menghilang sama sekali. Kekuasaan Konstantinopolis tinggal
di bagian Barat Asia Minor, di Yunani, dan di sebagian Balkan.
Sementara ini di Eropa Barat suku bangsa Franka memantapkan
diri sebagai kekuatan dominan. 732 pangeran Franka Karl Martel
mengalahkan tentara Arab dalam pertempuran dekat Tours dan Poitier,
hanya 80 km dari Paris, dan memaksa tentara Arab untuk menarik diri ke
9 Adalah suatu tragedi bahwa umat Kristiani yang selama 1400 tahun hidup dengan aman di bawah
kekuasaan Muslim sejak 20 tahun terancam habis karena kekacauan politik mendalam di Timur
Tengah yang tidak lepas dari penjajahan Barat - sesudah mengalahkan Turki - dan pelbagai
intervensi Amerika Serikat.

37
Spanyol. Ekspansi Arab berakhir. Di tahun 753 Paus Stephanus II meminta
bantuan raja Franka Pipin untuk menangkis pasukan Langobard, suatu
suku Jerman lain lagi yang mengancam Roma. Sebagai tanda terima kasih
Pipin menghadiahkan wilayah yang diduduki Langobard, bagian tengah
Italia selebar sekitar 300 km dari Utara ke Selatan dengan kota Roma
di pusatnya, kepada Paus Stephanus. Hadiah itulah permulaan “Negara
Gereja” yang selama 1100 tahun menjadi basis pemerintahan Paus.
Sebagai pengakuan terhadap peran utama suku Franka maka di tahun
800 Paus Leo III memahkotai putra Pipin, Karl — yang masuk sejarah
sebagai Karl Agung — sebagai Kaisar Romawi. Dengan demikian Eropa
bagian Barat secara definitif ke luar dari zona pengaruh Roma kedua,
Konstantinopolis. Tamparan itu membuat Kristianitas Timur-Yunani
semakin terasing dari Kristianitas Barat-Latin. Eropa tidak lagi melihat
ke Konstantinopolis. Suatu zaman baru, Abad Pertengahan, merekah.

2.4. Abad Pertengahan

Abad Pertengahan dapat dibagi tiga: abad ke-9 dan ke-10 sebagai abad
gelap, abad ke-11 sampai dengan ke-13 sebagai masa agungnya, dan
abad ke-14 dan ke-15 sebagai masa krisis. Sesudah kematian Karl Agung,
kesatuan kerajaannya pecah; bagian Barat akan menjadi Prancis, dan
bagian Timur akan menjadi Jerman. Italia tenggelam dalam kekacauan.
Takhta uskup Roma, Kepausan, diperebutkan antara keluarga-keluarga
bangsawan Roma. Kekacauan itu mulai berakhir sesudah Paus Yohanes
XII di tahun 952 memahkotai Otto, raja Jerman yang setahun sebelumnya
sudah dimahkotai sebagai raja Italia, menjadi Kaisar, pemimpin Kekaisaran
Romawi Suci Berbangsa Jerman (The Holy Roman Empire of the German
Nation) yang menggantikan kekaisaran Romawi (dan bertahan sampai
tahun 1806). Dengan demikian struktur-struktur politik baru di Eropa
menjadi mantap.

38
Konsolidasi politis itu diikuti oleh konsolidasi Kepausan. Tahun
1059 Paus Stefanus IX menetapkan bahwa Paus harus dipilih oleh para
kardinal yang diangkat oleh Paus. Dengan demikian kaisar maupun
rakyat Roma tidak lagi dapat memaksakan seorang Paus. Paus menjadi
kekuatan spiritual yang perlu diperhitungkan oleh kaisar. Sering terjadi
tarik-menarik antara “pedang rohani” di tangan Paus dan “pedang
jasmani” di tangan kaisar di mana kedua belah pihak suka mengajukan
klaim berlebihan. Namun ketegangan ini berakibat bahwa bahkan
rakyat kecil menyadari perbedaan antara kekuatan politik dan kekuatan
rohani, suatu kesadaran yang menjadi akar sekularisasi Eropa. Salah satu
keputusan amat berpengaruh bagi masa depan Gereja Katolik diambil
oleh Konsili Lateran II pada tahun 1139 di Roma dengan melarang para
imam berkeluarga. Sejak itu dalam Gereja Katolik Roma kesediaan untuk
hidup dalam selibat, untuk tidak berkeluarga, menjadi syarat agar seorang
laki-laki dapat ditahbiskan menjadi imam (pastor).
Pada tahun 1054 hubungan antara Gereja Barat (Roma) dan Gereja
Timur (Konstantinopolis) akhirnya pecah total, sesudah suatu konfrontasi
antara utusan Paus Leo IX dan Batrik Michael Kerullaris berakhir
dengan mereka saling mengekskomunikasikan. 1094 Paus Urbanus II
membuka suatu bab gelap dalam sejarah Gereja dengan menyerukan
“perang salib” untuk merebut tempat-tempat ziarah umat Kristiani di
Tanah Suci (Palestina) dari tangan Arab Muslim. 1099 pasukan Kristiani
berhasil merebut Yerusalem dan mempertahankannya selama 89 tahun.
Perang-perang salib itu — terhitung sembilan kali selama 200 tahun —
membawa korban jiwa luar biasa, baik bagi para penyerang Kristiani
maupun bagi penduduk Palestina dan makin lama makin menjadi kasar.
1202 pasukan Kristiani dalam perjalanan ke Palestina malah menjarah
Konstantinopolis, pusat Kristianitas Timur, suatu pengkhianatan yang
sampai sekarang masih teringat oleh Gereja Yunani. Akhirnya perang salib
tidak menghasilkan sesuatu apa pun bagi Eropa Kristiani, tetapi sampai

39
hari ini membebani hubungan antara umat Kristiani dan Islam. Bahwa
sebenarnya juga ada cara lain untuk bertemu dengan Islam diperlihatkan
Santo Fransiskus dari Assisi. Tahun 1219 ia sendirian mengunjungi
Sultan al-Kamil di Mesir dan diterima baik. Sejak itu tempat-tempat suci
Kristiani di Yerusalem secara resmi diurus oleh ordo Fransiskan di bawah
kekuasaan Islam.
Eropa Abad Pertengahan penuh religiositas, guncangan, pemba-
ruan, ketegangan sosial, dan takhayul-takhayul. Pada akhir abad ke-12
Joakim dari Fiore mempermaklumkan zaman Roh Kudus di mana para
penguasa dunia dan hierarki Gereja akan dihapus karena Roh Allah
akan berkuasa langsung dalam hati umat. Ajaran serupa diperjuangkan
kaum Waldensian dan kaum Katar yang melakukan pemberontakan di
Italia Utara dan Prancis, namun ditindas dengan kejam. Untuk langsung
mencekik “ajaran-ajaran sesat” seperti itu, di Prancis didirikan suatu
lembaga yang menjadi salah satu unsur paling terkenal dalam sejarah
Gereja, yaitu inkuisisi — biasanya dipimpin oleh anggota ordo Dominikan
(lih. di bawah) — untuk mengawasi segala ajaran teologis apakah sesuai
dengan ajaran resmi Gereja. Mereka yang ajarannya dicurigai ditangkap
dan diperiksa, kadang-kadang dengan disiksa, dan kalau mereka tidak
bersedia bertobat dari suatu kesesatan, mereka dibakar di depan umum.
Inkuisisi baru ditutup di abad ke-17. Sejak zaman Pencerahan adanya
inkuisisi menjadi salah satu kecaman paling keras terhadap Gereja
Katolik.
Tetapi sekaligus Kristianitas Barat mengalami suatu ledakan spiritu-
al, intelektual, dan seni budaya luar biasa. Seni lukis, bangunan-bangunan
dalam gaya Romanik dan Gotik yang sampai hari ini dikagumi, serta sastra
dan refleksi teologis mencuat kreativitasnya. Religiositas rakyat diwarnai
oleh segala macam devosi: devosi Sakramen Mahakudus, rosario, jalan
salib, prosesi, dan ziarah, misalnya ke makam Santo Yakobus di Santiago

40
de Compostella. Tradisi biara Benediktin dibarui mulai dari Prancis,
yang dari padanya ratusan biara Sistersien membawa spiritualitas baru
ke seluruh Eropa. Tahun 1084, Santo Bruno mengumpulkan beberapa
kawan sejiwa untuk hidup bertapa dalam silencium total (sama sekali
tidak boleh omong-omong) dari padanya lahir ordo Kartusian.
Begitu pula pemikiran teologis dan filosofis berkembang dengan
pesat, dirangsang oleh pemikiran para filosof Islam yang buku-bukunya
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Pada saat di mana di dunia
Islam sendiri filsafat mulai disingkirkan oleh serangan jepitan sufisme
dan kaum fiqih, pemikiran para filosof Muslim justru dipelajari di Barat
Kristiani. Waktu tulisan-tulisan Ibn Rushd dibakar di Cordoba, di Paris
malah terbentuk aliran Averoisme yang mengembangkan filsafatnya.
Dalam perkembangan intelektual itu ada dua ordo baru yang memainkan
peranan besar.
Yang pertama adalah ordo Dominikan, nama resminya “Ordo
Para Pengkhotbah”, yang didirikan oleh Santo Dominikus (1170-1221).
Dominikus mau membela iman bukan dengan memerangi mereka yang
sesat, melainkan dengan mengajarkan kebenaran. Demi kemurnian
kesaksian, mereka menolak memiliki kekayaan apa pun dan berfokus
pada studi dan kemampuan berkhotbah. Sampai hari ini ordo Dominikan
menyumbangkan teolog dan filosof besar kepada Gereja. Di antaranya
(Santo) Thomas Aquinas (1225-1274), salah seorang pemikir terbesar
segala zaman yang oleh Paus Leo XIII 1879 dinyatakan pelindung
para filosof dan teolog Katolik. Thomas yakin bahwa iman harus dapat
dipertanggungjawabkan secara nalar. Maka ia berusaha menempatkan
iman-kepercayaan Gereja pada dasar teologis yang kuat. Dengan
mendasarkan diri pada filsafat Aristoteles, Thomas Aquinas menanamkan
penghargaan terhadap filsafat ke dalam Gereja Katolik (sampai sekarang
Gereja mewajibkan para calon imam belajar filsafat selama empat
semester).

41
Ordo kedua adalah Ordo Fransiskan (nama resmi mereka adalah
Saudara-saudara Hina Dina) yang didirikan oleh Santo Fransiskus dari
Assisi (1182-1226). Dengan mengikuti secara harfiah nasihat Yesus:
"Juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin,
kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Mat. 19:21), Fransiskus
dan kawan-kawannya memberikan bantuan rohani — pelayanan khotbah,
misa dan sakramen — dengan memilih hidup dalam kemiskinan,
bahkan dengan mengemis di pinggir jalan. Sekarang keluarga biarawan
dan biarawati Fransiskan merupakan salah satu sumber spiritualitas
dan abdi penginjilan khas dalam Gereja Katolik. Juga Ordo Fransiskan
sejak semula sudah menghasilkan teolog dan filosof besar, di antaranya
William Ockham (1285-1347), salah satu filosof Abad Pertengahan paling
berpengaruh yang mempersiapkan iklim filosofis bagi Protestantisme
maupun bagi empirisme dan positivisme, dua aliran utama filsafat
modernitas.
Pada abad ke-14 dan ke-15 Gereja mengalami krisis. Penyakit
sampar yang membunuh kira-kira sepertiga dari semua penduduk Eropa
dianggap hukuman Tuhan. Karena para kardinal sering tidak dapat
menyepakati pemilihan seorang paus baru, maka beberapa kali terpilih
dua Paus yang saling mengutuk dengan akibat bahwa dunia Kristiani
terpecah (skisma). Selama hampir seratus tahun para paus melarikan diri
dari Roma dan tinggal dalam keterasingan di kota Avignon di Francis
Selatan di bawah perlindungan raja Prancis, Akhirnya Konsili Konstanz
1415-18 berhasil mengakhiri skisma dengan memaksa tiga paus yang
berebutan untuk mundur bersama dan memilih seorang paus baru yang
diakui oleh semua. Namun di Konsili Konstanz juga dibakar Jan Hus,
seorang tokoh pembaru Ceko yang dituduh sebagai penyebar ajaran sesat
meskipun sebelumnya ia dijamin akan boleh bebas pulang. Eksekusi
Hus menimbulkan pemberontakan rakyat Ceko terhadap para pangeran
Jerman-Austria — ledakan pertama nasionalisme modern dalam sejarah
— dan mengasingkan sebagian rakyat Ceko dari Gereja Katolik.

42
Pada abad ke-15, Kepausan sepertinya menduniawi, terbawa
oleh semangat Renaissance mereka mensponsori sastra dan seni serta
memperindah kota Roma untuk menyaingi kota Firense dan Venesia.
Gaya hidup pribadi mereka tak beda dengan para pangeran duniawi.
Seakan-akan situasi sudah siap untuk meledak ke dalam kelahiran
modernitas.
Suatu zaman baru mulai menyingkap di semenanjung Iberia. 1492
tentara gabungan dua kerajaan Spanyol terbesar, Kastilia dan Aragon, di
bawah pimpinan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella, merebut Granada,
benteng terakhir 782 tahun kekuasaan Arab-Islam di Spanyol. Orang-
orang Yahudi dan Muslim diusir. Di tahun yang sama Ferdinand dan
Isabella mengutus Christopher Columbus untuk mencari jalan baru ke
India, bukan lewat Afrika, melainkan dengan berlayar ke Barat. Meskipun
Columbus tidak sampai ke Asia, tetapi ia menemukan Amerika bagi Eropa.
Enam tahun kemudian Vasco da Gama, utusan raja Portugal, berhasil
mengitari Afrika dan mendarat di India. Suatu zaman baru mulai, zaman
kolonialisme Eropa, suatu zaman yang membawa Kristianitas sampai ke
ujung-ujung bumi.

2.5. Reformasi Protestan dan Pencerahan

Pada tanggal 19 Januari 1517 seorang biarawan Agustinian, Martin Luther


(1483-1546), memasang 89 tesis — yang mengecam penjualan indulgensi10
— pada pintu gereja kota Jerman Wittemberg. Pemasangan tesis-tesis itu
— yang historisitasnya masih diragukan — menjadi permulaan revolusi
Protestantisme.

10 Indulgensi adalah pengurangan masa jiwa orang yang telah nieninggal tertahan di “api penyucian”
(lih, 5. 4. 1.) untuk dibersihkan dari sisa-sisa dosanya sebelum bisa masuk surga. Indulgensi
dijanjikan oleh Gereja diberikan sebagai imbalan atas doa dan perbuatan amal tertentu, misalnya
menyumbang pembangunan gereja Santo Petrus di Roma. Ajaran Gereja lentang indulgensi
sampai hari ini masih kontroversial.

43
Sesudah dikutuk oleh Gereja, Luther semakin melawan. Ia me-
lontarkan tiga semboyan melawan Gereja Roma: “hanya Kitab Suci” (sola
scriptura), “hanya karena rahmat” (sola gratia) dan “hanya karena iman”
(sola fide): Gereja harus dibersihkan dari segala ritus dan jabatan yang tak
ditemukan dalam Kitab Suci, manusia diselamatkan hanya karena rahmat
Tuhan, dan hanya karena ia menyerahkan diri dalam iman (dan bukan
karena segala macam perbuatan berjasa). Paus, uskup, imam tertahbis,
kehidupan membiara, sakramen-sakramen, kecuali sakramen baptis dan
perjamuan suci: semua hal yang hakiki Katolik itu dihapus. Melawan
klaim Gereja bahwa hanya para uskup dan mereka yang diutus dapat
menjelaskan Kitab Suci, Luther menegaskan hak setiap orang Kristiani
untuk bebas membaca sendiri Kitab Suci. Tak salah kalau filosof Hegel
(1770-1831) mengartikan revolusi Luther sebagai munculnya subjektivitas
modern. Dengan Luther hak kesadaran religius individual masuk ke
dalam keagamaan dan tidak akan dapat dibuang lagi — meskipun Luther
masih menolak kebebasan beragama.
Luther diikuti reformatoryreformator lain. Di antara mereka yang
terbesar adalah Jean Calvin. 1541 ia mendirikan suatu negara Tuhan di
Geneva dengan aturan-aturan moral yang keras. Calvin lebih radikal
lagi dalam menolak segala hal yang dianggap biasa di Gereja Katolik. Ia
paling terkenal karena mengajarkan predestinasi, ajaran bahwa manusia
— sebelum bisa berbuat baik atau jahat — sudah ditentukan oleh Allah
apakah ia akan masuk surga atau neraka. Namun, menurut Calvin ada
petunjuk apakah seseorang boleh mengharapkan termasuk mereka yang
terpilih, yaitu kalau ia sukses dalam usahanya. Maka Calvinisme dalam
sejarah menumbuhkan motivasi kuat untuk maju secara ekonomis.
Dengan reformasi Protestan ini — “Protestan” karena Reformasi
pada intinya merupakan gerakan protes terhadap Gereja Roma —
Gereja Barat sampai hari ini terpecah. Dua per tiga Jerman dan seluruh

44
Skandinavia mengikuti Luther. Sebagian penduduk Swiss, Prancis,
Hongaria dan Belanda mengikuti Kalvinisme. Hanya Austria, Bavaria
dan beberapa daerah Jerman lain tetap Katolik, begitu juga sebagian besar
Prancis dan seluruh Eropa Selatan. Perpecahan Gereja Barat menjadi
lengkap sesudah 1529 Raja Henry VIII membawa Gereja di Inggris ke
luar dari persatuannya dengan Paus dan mengangkat diri sebagai kepala
Gereja yang sejak itu disebut Gereja Anglikan.
Bagi Gereja Katolik, reformasi Protestan menjadi dorongan untuk
mereformasi diri sendiri. Reformasi Katolik itu mulai dari Spanyol. Spanyol
dan Portugal waktu itu menjadi kekuatan dunia dengan menaklukkan
Amerika Tengah dan Selatan yang menjadi Katolik. Di Afrika, Goa,
Maluku, Filipina, dan Jepang para misionaris mempermaklumkan Injil.
Di Spanyol sendiri Santo Yohanes dari Salib (1542-1591) dan Santa
Teresa dari Avila (1515-1582) membarui semangat kehidupan membiara.
Universitas-universitas Spanyol mendukung sekian teolog-teolog besar,
banyak dari mereka dari ordo Dominikan dan Fransiskan.
Di Paris tahun 1534, tujuh pria di bawah bimbingan Ignatius dari
Loyola (1491-1556) mengikatkan diri dengan mengucapkan kaul akan
mengabdikan diri kepada Yesus. Mereka kemudian menawarkan diri
kepada Paus Paulus III untuk diutus ke mana pun beliau menghendakinya.
Tahun 1541, Paus memberikan pengakuan Gereja kepada mereka. Mereka
menamakan diri Serikat Yesus, namun lebih dikenal sebagai ordo Yesuit.
Ordo Yesuit akan memainkan peran kunci dalam pembaruan Gereja
Katolik. Para misionaris Yesuit segera menyebar ke India, Indonesia,
Jepang, Tiongkok, dan Amerika. Di Eropa mereka berada di baris pertama
menghadapi Protestantisme. Mereka mendirikan ratusan universitas dan
sekolah menengah demi pendidikan generasi muda Katolik. Melalui
khotbah dan pelayanan sakramen mereka berhasil membawa beberapa
daerah yang telah menjadi Protestan kembali ke Gereja Katolik.

45
Pembaruan diri berhadapan dengan Protestantisme dicetuskan
oleh Gereja Katolik dalam Konsili di Trente (1546-63). Konsili Trente
merumuskan kembali ajaran Gereja tentang Ekaristi dan sakramen-
sakramen lain, menertibkan kehidupan para imam, inembarui
pendidikan para calon imam dan menata kembali liturgi. Selain Ordo
Yesuit ada beberapa ordo baru yang memainkan peranan besar dalam
pembaruan itu, di antaranya suster-suster Ursulin dan suster-suster Mary
Ward (“Congreatio Jesu”) yang mengembangkan pendidikan perempuan,
sedangkan ordo Kapusin mewujudkan kembali hidup radikal miskin
menurut cita-cita Santo Fransiskus dari Assisi. Optimisme baru Gereja
itu tercermin dalam gaya bangunan Barok dan melimpahnya karya-karya
seni.
Pada saat yang sama, suatu dunia baru mulai menyingsing, mo-
dernitas. Tahun 1539, biarawan Katolik Kopernikus menulis bahwa
bukannya matahari mengitari bumi, melainkan bumi mengitari matahari.
Alam tidak lagi dipelajari atas dasar buku-buku Aristoteles, melainkan
melalui pengamatan. Dalam penelitian astronomis, orang-orang Gereja
sangat terlibat. Begitu misalnya selama 200 tahun ordo Yesuit ditugaskan
oleh kaisar Tiongkok untuk menjalankan observatorium astronomis di
Beijing. Pandangan tentang dunia berubah. Alam tidak lagi dianggap
dihuni oleh roh-roh, melainkan mengikuti hukumnya sendiri. Francis
Bacon (1561-1626) merumuskan prinsip dasar ilmu dan teknologi
modern, yaitu bahwa alam dapat dikuasai dengan mempergunakan
hukum alam sendiri. Isaac Newton (1642-1726) menemukan hukum-
hukum dasar segala gerak-gerik di alam raya. Seakan-akan Tuhan tidak
lagi diperlukan untuk memahami dunia.
Abad ke-17 dan ke-18 disebut abad Pencerahan karena mau
membebaskan manusia dari takhayul dan kepercayaan-kepercayaan tak
berdasar. Pencerahan itulah yang melahirkan pandangan dunia modern.
Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704) membantah

46
kepercayaan kuno bahwa para raja diangkat oleh Tuhan. Sejak itu suatu
kekuasaan hanya dianggap sah kalau berdasarkan persetujuan rakyat.
Perdamaian Westfalen pada tahun 1648 mengakhiri perang 30 tahun di
antara negara-negara Katolik dan Protestan dengan memperkuat prinsip
kedaulatan negara dan mengakhiri peran Gereja sebagai kekuatan
politik. Alam dan masyarakat mulai dipandang tanpa acuan pada Tuhan.
Sekularisasi semakin terasa.
Bagi Gereja, pencerahan merupakan tantangan berat. Astronom
termasyhur Galileo Galilei (1564-1642) menyatakan bahwa Kitab Suci
keliru karena tidak mengakui bahwa bumi bukan pusat alam raya. Gereja
lalu menuntut agar ia menyangkal bahwa bumi mengitari matahari.
Konflik dengan Galileo ini sampai sekarang dipakai sebagai bukti oleh
lawan-lawan Gereja bahwa Gereja kolot dan menghambat kemajuan ilmu
pengetahuan.
Tahun 1717 di London, didirikan persaudaraan freemasons,
suatu perkumpulan rahasia yang bermaksud menentang kekolotan.
Para freemasons menjadi musuh bebuyutan Gereja Katolik. Gempa
bumi Lisabon tahun 1755 mengguncang kepercayaan banyak orang
bahwa dunia ditata oleh Allah yang bijaksana dan baik. Filosof Prancis
Voltaire (1694-1778) karenanya menyatakan diri ateis dan menyerukan
penghapusan Gereja. Kebencian terutama diarahkan kepada Ordo Yesuit
yang dianggap pasukan Gereja paling depan. Satu demi satu negara-negara
Katolik, mulai dengan Portugal pada tahun 1759, mengusir para Yesuit.
Akhirnya, pada tahun 1773, Paus Klemens XIV (1769-1774) tunduk
terhadap tekanan negara-negara itu dan membubarkan ordo Yesuit.

2.6. Revolusi Prancis

Tahun 1788, kas Louis XVI, raja Prancis, kosong. Negara bangkrut.
Terpaksa raja memanggil para wakil rakyat Prancis yang selama 174 tahun

47
tidak pernah berkumpul, berhimpun di Paris untuk mengatasi krisis. Pada
tanggal 5 Mei 1789 “konven nasional”, 1200 wakil para bangsawan, klerus
(uskup dan imam) dan rakyat biasa, berkumpul di Versailles. Suatu hasil
pertama konven nasional yang menjadi salah satu tonggak kemanusiaan
beradab di dunia adalah daftar “hak-hak warga negara dan manusia”
Namun suasana di Paris lama kelamaan menjadi semakin radikal, juga
radikal anti-Gereja Katolik. Paus dilarang campur tangan Gereja Prancis.
Batas-batas keuskupan ditata kembali. Para uskup dan pastor akan diangkat
dan dibayar oleh negara. Lebih dari 10.000 pastor, biarawati dan biarawan
dihukum mati karena menolak undang-undang dasar baru itu. 1793 raja
Louis XVI dipenggal kepalanya, disusul setengah tahun kemudian oleh
istrinya, ratu Marie-Antoinette. Tahun 1793, Robbespierre, pemimpin
sayap ekstremis, mempermaklumkan “teror agung” (la grande terreure)
dan menggantikan kepercayaan kepada Allah dengan devosi terhadap
“realitas tertinggi” (etre supreme). Robbespierre begitu ditakuti sehingga
ia sendiri akhirnya digulingkan dan langsung dipenggal kepalanya. Sejak
tahun 1794, unsur-unsur lebih moderat mulai berperan lagi. Sementara
ini Napoleon, panglima tentara revolusioner Prancis, semakin berkuasa.
Tahun 1798, tentaranya menduduki Roma dan menahan Paus Pius VI,
lalu membawanya ke Prancis di mana ia setahun kemudian meninggal.
Penggantinya, Pius VII tetap ditahan. Di tahun 1804 ia dipaksa untuk
mengurapi Napoleon sebagai kaisar Prancis. Meniru kebijakan Prancis
yang anti-Gereja, pada tahun 1803 di seluruh wilayah berbahasa Jerman
biara-biara ditutup dan kekayaan Gereja (yang sebagian besar terdiri atas
bangunan, tanah pertanian dan hutan) diambil alih oleh negara.11 Sebagai
gantinya negara menggaji para uskup dan pastor paroki, sekaligus untuk
bisa mengontrol Gereja. Eksistensi Gereja Katolik kelihatan betul-betul
terancam.

11 Banyak perpustakaan dengan buku-buku yang sangat berharga, dijarah dan hancur.

48
Tahun 1815, Napoleon dikalahkan oleh suatu koalisi negara-negara
besar Eropa. Dalam kongres di Wina, Austria, negara-negara Prussia,
Rusia, Inggris dan Prancis (yang kembali menjadi kerajaan) menyepakati
suatu tatanan Eropa yang mau mengembalikan situasi seperti sebelum
Revolusi Prancis. Dalam rangka restorasi itu Paus bisa kembali ke Roma
dan Negara Gereja diutuhkan kembali yang setahun sebelumnya sudah
membatalkan pembubaran ordo Yesuit. Tetapi zaman telah berubah,
Dua ideologi dahsyat baru, liberalisme dan nasionalisme, semakin
menghantam restorasi. Pada tahun 1830, rakyat Prancis menggulingkan
dinasti reaksioner raja-raja Bourbon, diganti dengan seorang raja yang
liberal. Pada tahun 1848, suatu revolusi liberal-republikan mengguncang
seluruh Eropa, namun dapat ditindas. Kekalahan Prancis dalam perang
dengan Jerman 1870 memungkinkan dua negara baru lahir, Jerman dan
Italia. Negara Gereja tercaplok oleh Italia dan terhapus.
Gereja semakin dimusuhi oleh kaum intelektual. Ludwig Feuerbach
(1804-1872) mempermaklumkan bahwa manusia hanya dapat berkem-
bang apabila ia membebaskan diri dari agama. Karl Marx (1818-1883)
menyatakan agama sebagai candu rakyat. August Comte (1798-1857)
mengungkapkan sesuatu yang semakin dipercayai di universitas-uni-
versitas, yaitu bahwa sudah tiba waktunya untuk menggantikan agama
dengan ilmu pengetahuan. 1858 Charles Darwin menerbitkan bukunya
“On the Origin of Species by Means of Natural Selection” tentang evolusi
kehidupan di bumi. Buku Darwin dianggap membuktikan bahwa kisah
Kitab Suci Perjanjian Lama tentang penciptaan dunia dalam waktu enam
hari tidak benar, maka jelas Kitab Suci terbukti salah. Pada akhir abad
ke-19 Sigmund Freud (1856-1939) menjelaskan agama sebagai neurosis
(penyakit jiwa) kolektif umat manusia. Modernitas sepertinya semakin
meninggalkan Gereja Katolik. Semboyan Revolusi Prancis “kemerdekaan,
kesetaraan, persaudaraan” berbunyi miring bagi Gereja yang masih
merasakan luka-luka penganiayaannya.

49
Sebagai reaksi, Gereja Katolik abad ke-19 mengambil sikap anti-
modernitas. Gereja mengutuk rasionalisme, liberalisme, dan sekularisme
yang dicurigainya berada di belakang segala kesesatan modern itu.
Ia mengutuk kebebasan beragama dan perpisahan antara Gereja dan
negara. Gereja Katolik seakan-akan menempatkan diri sebagai benteng
kebenaran Ilahi yang melawan “dunia” yang semakin sesat. Sikap ini
menjadi latar belakang Konsili Vatikan yang diadakan pertama kalinya.

2.7. Konsili Vatikan I

Pada tahun 1846, Paus Gregorius XVI (1831-1846) yang keras anti-
modernitas diganti oleh Paus Pius IX (1846-1878). Pius semula bersikap
terbuka, tetapi sesudah tentara revolusioner Italia di bawah Giuseppe
Mazzini menyerang Roma, ia pun mengambil sikap keras. Tahun 1866, ia
menerbitkan sillabus errorum, suatu daftar segala kepercayaan yang oleh
Gereja dianggap sesat, di antaranya demokrasi, kebebasan beragama, dan
hak-hak asasi manusia. Dunia luas menyambut silabus itu dengan caci
maki.
Untuk memantapkan sikap Gereja berhadapan dengan segala
tantangan zaman, Pius IX pada tahun 1869 memanggil seluruh uskup
Gereja Katolik ke Roma dal am suatu konsili, konsili pertama sejak
Konsili Trente. Konsili mulai bersidang Desember 1869 tetapi terpaksa
sudah dibubarkan pada bulan Juli 1870, karena Roma diancam oleh
tentara nasionalis Italia. Karena itu Konsili hanya dapat menyelesaikan
dua dekrit.
Dekrit pertama Konsili membahas hubungan antara iman dan
nalar (faith and reason). Di satu pihak, dekrit ini menolak Protestantisme
yang menyangkal peran nalar dalam iman. Di lain pihak, dekrit tersebut
membantah rasionalisme sekuler yang mau menyingkirkan iman sebagai
takhayul ke tong sampah. Konsili menegaskan bahwa antara iman dari

50
nalar tidak mungkin ada pertentangan karena dua-duanya berasal dari
Allah dan bahwa manusia dapat mencapai kepastian tentang adanya
Allah melalui nalar, Dekrit ini begitu penting karena di dalamnya Gereja
menyatakan dukungan para pemikiran rasional. Sikap ini mengisyaratkan
bahwa Gereja tidak mau tergelincir ke dalam godaan irasionalisme dan
fundamentalisme, melainkan tetap terbuka terhadap kemajuan ilmu
pengetahuan.12
Dekrit kedua amat menentukan bagi sosok Gereja Katolik sampai
sekarang. Dekrit itu menetapkan dua hal: Pertama, bahwa Paus memiliki
“primat”, artinya kuasa tertinggi atas seluruh Gereja. Primat Paus
menjamin kesatuan Gereja, tetapi, itu sekarang diakui, tidak luput dari
bahaya sentralisasi berlebihan. Kedua, bahwa Paus memiliki infallibilitas
(tak dapat sesat), tepatnya, tidak dapat keliru apabila ia dengan seresmi-
resminya (ex cathedra) menjelaskan ajaran Gereja dalam hal iman dan
moralitas. Sejak itu Gereja Katolik muncul dengan ciri-cirinya yang khas:
susunan hierarkis dengan Paus di puncak, di mana “Roma” memutuskan
semua hal penting yang menyangkut iman, ibadat dan disiplin.
Infallibilitas Paus termasuk bagian kekatolikan yang paling banyak
ditolak di luar Gereja, serta dipermasalahkan cakupannya juga di dalam
Gereja Katolik. Sebenarnya infallibilitas tak lain daripada implikasi
keyakinan Gereja bahwa Roh Kebenaran Ilahi tidak pernah akan me-
ninggalkannya. Akhirnya mesti ada instansi dalam Gereja yang dapat
memutuskan suatu perbedaan pendapat, dan instansi itu adalah uskup
Roma, bersama atau tanpa suatu konsili. Tambahan pula, definisi ke-
tidaksesatan Paus dirumuskan dengan sangat hati-hati. Tidak dikatakan
bahwa segenap ajaran dan keputusan Paus tak bisa salah, melainkan
Paus hanya tak bisa sesat apabila ia mengajar dengan seresmi-resminya.
Dalam 145 tahun sejak munculnya istilah ini, baru satu kali seorang Paus

12 Betapa penting bagi Gereja Katolik pemikiran rasional kelihatan dari ketentuan hukum kanonik
(hukum Gereja) bahwa para calon imam harus belajar empat semester filsafat dalam persiapan
atas tahbisan imamat.

51
membuat pernyataan yang seresmi-resminya, yaitu pernyataan pada
tahun 1950 bahwa Maria Bunda Yesus diangkat ke surga utuh dengan
jiwa dan badannya — suatu kepercayaan yang sudah ada dalam dunia
Kristiani sejak abad ke-3 M.
Ajaran tentang primat dan ketidaksesatan Paus ini menimbulkan
reaksi keras di luar Gereja. Gereja dituduh menolak modernitas, ilmu
pengetahuan dan cita-cita demokrasi serta ketinggalan zaman. Di negara-
negara Protestan seperti Belanda, Inggris, dan Skandinavia, orang-orang
Katolik (yang baru sejak permulaan abad ke-19 menikmati kebebasan),
sering dicurigai sebagai kurang nasional. Sedangkan di negara-negara
Katolik berkembang suatu sikap antiklerikalisme yang muak terhadap
apa saja yang berbau uskup, imam, rohaniwan, dan rohaniwati. Prancis,
pada tahun 1871, menjadi republik dan menganut sekularisme ekstrem
(laicite) dengan nada anti-Katolik. Di Italia terjadi keterasingan antara
Gereja dan kaum nasionalis karena Gereja tidak mengakui pencaplokan
negara Gereja ke dalam kerajaan Italia Bersatu. Di beberapa negara,
sekolah Katolik diambil alih negara. Ordo Yesuit mengalami pengusiran
berulang kali misalnya oleh pemerintah Spanyol, Prancis, Swiss, dan oleh
Bismarck di Kekaisaran Jerman.
Namun sikap anti-Gereja para elit politik dan intelektual itu tidak
memengaruhi masyarakat luas yang masih mantap dalam iman Katolik.
Malah sebaliknya, pada abad ke-19 tampak perkembangan yang luar
biasa dalam kehidupan Gereja. Paroki-paroki berkembang pesat. Di-
dirikan puluhan tarekat religius baru untuk perempuan dan laki-laki, di
antaranya Serikat Sabda Allah (SVD), Para misionaris Eropa menyebar
ke seluruh pelosok dunia. Di Amerika Serikat, Gereja Katolik mengalami
pertumbuhan besar dan mulai menyadari bahwa kebebasan beragama
dan perpisahan antara Gereja dan negara sebenarnya tidak perlu
dikhawatirkan. Dapat disimpulkan bahwa pada akhir abad ke-19 Gereja

52
Katolik kuat bersatu. Orang-orang Katolik yakin akan dirinya sendiri dan
memainkan peranan yang semakin tidak dapat diabaikan dalam negara-
negara mereka.13
Pada 1891, Paus Leo XIII mengumumkan sebuah ensiklik (surat
edaran resmi) yang membuka perhatian Gereja Katolik ke suatu bidang
baru, Rerum Novarum. Ensiklik ini hasil empat puluh tahun Gereja
Katolik melibatkan diri dalam masalah keadilan bagi buruh industri. Di
dalamnya Leo menolak liberalisme dan kapitalisme, tetapi di lain pihak,
dan melawan sosialisme ekstrem, membenarkan hak milik pribadi,
namun sekaligus menegaskan bahwa hak milik pribadi secara hakiki
berfungsi sosial, jadi harus menguntungkan bagi semua. Ensiklik itu
menegaskan dua prinsip keadilan sosial amat mendasar: Bahwa buruh
berhak atas upah yang cukup agar ia, bersama keluarganya, bisa hidup
secara wajar; dan bahwa kaum buruh berhak untuk membentuk serikat
buruh. Ensiklik ini menjadi tonggak ajaran sosial Gereja Katolik yang
terus berkembang dan menjadi alternatif meyakinkan terhadap ideologi
Marxisme.
Namun, Gereja Katolik tetap masih susah menangani modernitas.
Obsesi ketakutan terhadap apa yang disebut modernisme mencapai
puncaknya di bawah Paus Pius X (1903-1914). Di bawah beliau, para
calon imam diharuskan mengucapkan suatu “sumpah anti-modernisme”,
para teolog dimata-matai, dosen Kitab Suci yang tidak mempertahankan
pengertian harfiah teks Kitab Suci, termasuk kisah tentang penciptaan
dunia dalam enam hari, diberhentikan dengan akibat bahwa selama
puluhan tahun ahli-ahli Katolik absen dalam pengembangan ilmu-ilmu
Kitab Suci.

13 Salah satu contoh semangat optimis-berani Gereja adalah kweekschool yang dibuka Romo van
Lith 1904 di Muntilan dan yang menjadi asal mula umat Katolik Jawa.

53
2.8. Gereja Membuka Diri

Paus Pius X meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 1914, sebulan


sesudah perang dunia pertama pecah. Perang itu membawa perubahan-
perubahan revolusioner bagi Eropa. Tahun 1918, seusai perang, dua
kerajaan besar selama ratusan tahun, kekaisaran Austria-Hongaria dan
kekhalifahan Turki, tidak ada lagi. Di Eropa Timur muncul negara-negara
baru. Dalam revolusi Oktober 1917 kekaisaran Rusia Suci14 menjadi Uni
Soviet, negara komunis pertama. Dan dari kekacauan politis, sosial, dan
ekonomis pasca perang lahir suatu kekuatan mengerikan baru, fasisme.
Tahun 1922 Benito Mussolini mengambil alih kekuasaan di Italia. Tahun
1933 Adolf Hitler mulai berkuasa di Jerman dan atas nama Nasional-
Sosialisme (“Nazi”) membangun suatu rezim totaliter yang dalam 12
tahun eksistensinya membunuh sekitar 13 juta orang yang dicap “sub-
manusia” dan “tak pantas hidup” Di Spanyol Jenderal Franco mendirikan
suatu rezim fasis sesudah ia mengalahkan kekuatan-kekuatan republikan
yang kiri (dan anti-Gereja).
Perubahan-perubahan revolusioner dan menakutkan ini memaksa
Gereja Katolik untuk semakin membuka diri. Kaum awam Katolik
memakai keterbukaan-keterbukaan demokratis baru untuk berpartisipasi
aktif dalam kehidupan masyarakat. Mereka membentuk partai-partai
Katolik yang segera memainkan peran penting dalam kehidupan negara
masing-masing. Melalui segala macam perhimpunan dan perkumpulan
bagi mahasiswa Katolik, pandu Katolik, muda-mudi Katolik, dan
serikat buruh Katolik, orang-orang Katolik aktif dalam kehidupan
bangsa mereka. Kaum cendekiawan dan sastrawan Katolik hadir dalam
kehidupan intelektual dan sastra bangsa masing-masing melalui majalah
dan di seminar-seminar. Teologi Katolik dibarui dengan pemikiran
sekian teolog yang menempatkan Gereja dan misinya ke tengah-tengah
14 Tsar Nikolaus sudah digulingkan pada tanggal 23 Februari 1917; pemerintahan Rusia kemudian
dipcgang oleh suatu pemerintahan sementara yang dijatuhkan dalam Revolusi Oktober.

54
tantangan pasca perang dunia pertama itu. Gerakan liturgis, gerakan
ekumenis, gerakan Kitab Suci, mempersiapkan pembaruan-pembaruan
Konsili Vatikan 40 tahun kemudian, di antaranya “teologi baru” (nouvelle
theologie) di Prancis. Dalam reksa pastoral, dicoba jalan-jalan baru. Begitu
misalnya, untuk membawa kembali Injil ke kalangan kaum buruh yang
terasing dari Gereja dan kebanyakan mengikuti Partai Komunis, Kardinal
Emmanuel C. Suhard (1874-1949) dari Paris mengizinkan ratusan imam
masuk dunia perburuhan dengan menjadi buruh biasa (“imam buruh”)
di dalam pabrik-pabrik:
Pimpinan Gereja pun membuka diri. Pengganti Pius X, Clemens
XV, menyatakan dukungan penuh Gereja terhadap usaha perdamaian.
Penggantinya, Paus Pius XI (1922-1939), pada tahun 1928 menandatangani
“Perjanjian Lateran” dengan Pemerintah (Fasis) Italia yang mengesahkan
pengintegrasian negara Gereja ke dalam kerajaan Italia dan dengan
demikian mengakhiri permusuhan antara Gereja dengan aspirasi
nasional Italia. Berhadapan dengan ancaman fasisme dan komunisme,
Paus mendukung kerja sama para politisi Katolik dengan politisi sosial-
demokrat, liberal, dan demokratis lainnya. Tahun 1931, Pius XI menulis
ensiklik Quadragesimo Anno yang mengembangkan ajaran Gereja tentang
keadilan dalam hubungan perburuhan. Tahun 1937, Pius XI secara resmi
mengutuk Nasional-Sosialisme Hitler dan komunisme.
Tahun 1945, Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan telak
Jerman Nazi dan Jepang, dengan 60 juta korban mati di semua pihak.
Namun konflik di dunia tidak berakhir. Hanya beberapa tahun kemudian
dunia terpecah ke dalam “dunia bebas” di bawah kepemimpinan Amerika
Serikat dan “dunia komunis” yang dipimpin Uni Soviet (dan oleh
Tiongkok yang kemudian bersaing dengan Uni Soviet). Sementara ini
negara-negara yang sebelumnya dijajah memanfaatkan kelemahan Eropa
untuk membebaskan diri satu demi satu.

55
Dalam konstelasi baru itu, Gereja Katolik tegas-tegas menempatkan
diri di kubu anti-komunis. Melihat penindasan terhadap Gereja di
banyak negara komunis, khususnya di Uni Soviet dan di Republik Rakyat
Tiongkok, Gereja Katolik bersatu menganggap komunisme sebagai
ancaman terbesar yang dihadapinya. Sekaligus Gereja mendukung
pembebasan diri negara-negara yang masih dijajah. Dalam teologi, dibuka
perspektif-perspektif baru. Salah satunya dirintis oleh antropolog dan
teolog, Pastor Yesuit Pierre Teilhard de Chardin. Daripada menolak ajaran
Charles Darwin tentang evolusi, Teilhard menunjukkan bahwa evolusi
justru dapat dimengerti sebagai dinamika alam raya ke pemenuhannya
dalam Yesus Kristus. Di Roma, pemikiran-pemikiran seperti itu masih
dicurigai.15 Paus Pius XII (1876-1958) juga menolak “teologi baru”
Prancis. Di lain pihak, Pius XII adalah Paus pertama yang menulis bahwa
ajaran evolusi tidak harus ditolak oleh orang Katolik. Sesudah tahun 1943,
dalam ensiklik Divino Ajflante Spiritu, Pius XII mengajak para teolog
Katolik untuk mempelajari Kitab Suci dengan memakai metode-metode
kritis paling modern, suatu langkah yang memungkinkan para ekseget
(ahli Kitab Suci) Katolik kembali ke dalam diskursus ilmiah tentang Kitab
Suci dan amat mendukung pembaruan teologi Katolik di kemudian hari.
Pada 1958, para kardinal yang memilih Angelo Roncalli (1881-1963)
yang sudah berumur 77 tahun sebagai Paus baru mereka, sebenarnya mau
memilih seorang “Paus peralihan” Ternyata Yohanes XXIII — itu nama
yang dipilih Roncalli — membawa Gereja ke luar dari ketertutupannya.
Dalam ensiklik Mater et Magistra (1959), ia memperluas ajaran sosial
Gereja dari masalah buruh ke masalah masyarakat yang lemah pada
umumnya. Dalam ensiklik Pacem et Terris (1964), ia menyatakan dukungan
Gereja Katolik terhadap hak-hak asasi manusia. Ia mencairkan sikap
keras terhadap negara-negara komunis dan menjadikan pemeliharaan

15 Tulisan-tulisan Teilhard de Chardin untuk sementara waktu dilarang ditempatkan dalam


perpustakaan-perpustakaan seminari-seminari.

56
perdamaian dunia menjadi tugas penting Gereja. Namun kejutan paling
bersejarah Paus Yohanes XXIII adalah keputusannya. Hanya tiga bulan
sesudah dipilih Paus, ia mengadakan suatu konsili.

2.9. Konsili Vatikan II

Dalam sambutan pembukaan konsili pada tanggal 11 Oktober 1962,


Paus Yohanes membuat jelas apa yang dikehendakinya: bukan dogma-
dogma baru16, melainkan agar Gereja “membuka jendela ke dunia” dan
melakukan suatu aggiornamento, suatu penyesuaian dengan tuntutan
zaman. Curia, aparat Vatikan yang sangat konservatif, sebenarnya
mempersiapkan teks-teks yang tinggal disetujui oleh uskup-uskup konsili
itu, akan tetapi di hari-hari pertama teks-teks itu sudah ditolak oleh para
uskup, dan Paus Yohanes mendukung. Mengikuti petunjuk Paus Yohanes,
Konsili tidak mengutuk ajaran dan gerakan apa pun. Komunisme pun
tidak dikutuk, bukan seakan-akan komunisme tidak bermasalah —
Gereja tetap menolak ateisme dan totalitarianisme, inti ajaran resmi
Marxisme-Leninisme — melainkan untuk membuat jelas bahwa Gereja
bersedia bicara dengan siapa pun.
Di sini hanya dapat diberi garis-garis paling besar. Yang paling
mendasar: para bapa konsili mengubah visi tentang Gereja. Dari sebuah
benteng yang melawan kesesatan-kesesatan zaman, Gereja dipahami oleh
Konsili sebagai umat Allah dalam penziarahan di dunia yang dipanggil
memancarkan cahaya Ilahi kepada para bangsa (Lumen Gentium),
Konsili menegaskan bahwa Gereja bukan pertama-tama Paus, para
uskup, dan aparat lain, melainkan seluruh umat mereka yang dibaptis.
Tripanggilan Gereja — menjadi guru, gembala, dan imam — adalah
panggilan seluruh umat, sedangkan para uskup dan pembantu mereka,
para imam, mengabdikan diri secara khusus pada pelayanan umat itu.

16 “Dogma” adalah rumusan iman Gereja yang harus diimani kalau mau menjadi anggota Gereja.

57
Seluruh umat, dan bukan hanya para rohaniwan dan rohaniwati, dipanggil
ke jalan kesempurnaan. Konsili menegaskan peran kaum awam17 dalam
pengabdian Gereja.
Dobrakan paling terasa oleh umat adalah pembaruan liturgi (= ibadat
resmi Gereja). Tujuan pembaruan itu adalah agar seluruh umat terlibat
dalam liturgi dan bukan hanya segelintir orang (mereka yang bisa bahasa
Latin). Maka selain bahasa Latin, boleh juga dipakai bahasa setempat.
Konsili mendesak agar bentuk-bentuk misa dan sakramen diwujudkan
sedemikian rupa sehingga makna universal mereka dapat dihayati dalam
budaya-budaya yang begitu berbeda di dunia. Misa kudus dalam bahasa
Indonesia dan bukan lagi dalam bahasa Latin adalah hasil Konsili Vatikan
II yang paling langsung terasa oleh umat Katolik Indonesia.
Konsili juga menyatakan sikap positif Katolik terhadap Gereja
Ortodoks dan Gereja Protestan dan dengan demikian mengakhiri ratusan
tahun saling curiga dan bahkan saling memusuhi. Paus Paulus VI (1963-
1978) dan Batrik Konstantinopolis Athenagoras (1886-1972) pada tahun
1965 bersama-sama mencabut ekskomunikasi dari tahun 1054. Melalui
konstitusi Dei Verbum Konsili memberikan kembali tempat sentral
kepada Kitab Suci dalam orientasi iman Gereja Katolik.
Pernyataan yang barangkali paling penting, yang belum pernah
dinyatakan, namun yang sudah sejak beberapa abad semakin diyakini
dalam Gereja Katolik, dimuat dalam pasal 16 konstitusi Lumen
Gentium. Di situ Gereja Katolik secara resmi menyatakan bahwa Allah
menawarkan keselamatan bukan hanya kepada mereka yang dibaptis,
melainkan kepada semua orang tanpa kecuali, termasuk mereka yang
tanpa kesalahan pribadi sama sekali tidak percaya pada Allah, asal saja

17 Kaum awam adalah umat Katolik yang tidak menerima tahbisan diakonat atau imamat;
sebenarnya kaum rohaniwan-rohaniwati, para anggota ordo dan kongregasi resmi Gereja, sejauh
mereka tidak menerima suatu tahbisan, juga termasuk kaum awam. Tetapi, pada umumnya
“kaum awam” dimaksud sebagai mereka yang “hidup dalam dunia”, yang hidup dalam profesi
biasa (“duniawi”) dan berkeluarga atau bebas berkeluarga.

58
mereka berusaha untuk hidup menurut hati nurani mereka (LG 16).
Dalam bahasa sederhana: Gereja menyatakan bahwa juga orang Islam,
orang Buddha, dan bahkan orang ateis bisa masuk surga. Pepatah kuno
extra ecclesiam nulla salus (“di luar Gereja tidak ada keselamatan”) tidak
lagi berlaku.18
Sikap Gereja terhadap dunia luar dipaparkan dalam konstitusi besar
Gaudium etSpes. Konsili menyampaikan di dalamnyabahwa “kegembiraan
dan harapan, kesedihan dan kekhawatiran” umat manusia dirasakan juga
oleh Gereja dan bahwa Gereja mau ikut menanggulanginya. Di dalamnya,
Gereja menyatakan dukungannya pada cita-cita luhur manusia modern
seperti perdamaian dan penolakan perang, keadilan sosial, hak-hak asasi
manusia, pemerintahan yang demokratis, dan otonomi dunia yang wajar.
Ada dua dekrit Konsili yang tak kurang revolusioner: yang satu,
Dignitatis Humanae, Gereja memberikan dukungan penuh kepada
kebebasan beragama — suatu perubahan total terhadap sikap Gereja di
abad ke-19 — dan dalam yang satunya, Nostra Aetate, Gereja mengajak
umat Katolik untuk bersikap positif terhadap agama-agama lain serta
menghargai segala apa yang “benar dan suci” dengan menyatakan
penghargaan khusus terhadap monoteisme Islam.

2.10. Sesudah Vatikan II

Pada bulan Desember 1965 dan sesudah hampir 3000 uskup dari seluruh
dunia lima kali bersidang di Gereja Santo Petrus di Roma, Konsili
Vatikan II berakhir. Vatikan IT sekarang terhitung setengah lusin konsili
paling berpengaruh dalam sejarah Gereja {Tanner. 2011). Gereja Katolik
sepertinya mendapat semangat optimis baru.

18 Secara resmi, Gereja tidak mencabut pepatah itu yang misalnya ditegaskan keras-keras dalam
Konsili Firense (1438-1445), melainkan memberikan arti lain kepadanya, yaitu bahwa, meskipun
orang tidak dibaptis dan barangkali tidak pcrcaya pada Allah, namun kalau ia diselamatkan, ia
diselamatkan melalui rahmat yang dicurahkan Tuhan kc dalam Gereja.

59
Di seluruh dunia misa kudus dan liturgi lain dirayakan dalam bahasa
setempat. Kaum awam semakin aktif berpartisipasi dalam kegiatan
paroki-paroki. Hubungan dengan Gereja Protestan menjadi semakin
dekat, dan juga hubungan dengan Gereja Ortodoks yang masih terhambat
oleh macam-macam beban sejarah menjadi lebih akrab. Namun, ada juga
sekelompok uskup tradisionalis yang tidak bisa menerima perubahan-
perubahan itu. Uskup Agung Marcel Lefebvre (1905-1991), mantan uskup
agung Dakar (Senegal), menolak sebagian dari keputusan Konsili Vatikan
II dan menuduh Konsili sudah tidak setia pada ajaran Katolikyang sejati.
Pada tahun 1969, ia membentuk Persaudaraan Pius yang meneruskan
cara beribadat sebelum Konsili Vatikan II dan menolak taat pada Paus.
Pada tahun 1970-an, Gereja Katolik betul-betul menjadi Gereja
sedunia. Di Afrika dan Asia, Gereja tumbuh terus termasuk kemudian
juga di Tiongkok. Di mana-mana kepemimpinan dalam Gereja pindah
dari tangan para misionaris ke tangan para rohaniwan dan rohaniwati
pribumi. Di Amerika Latin, Gereja Katolik menstabilisasikan diri
meskipun khususnya di Brasil banyak orang Katolik tersedot ke dalam
Gereja-gereja evangelikal baru dari Amerika Utara. Mayoritas orang
Katolik tidak lagi hidup di Eropa dan Amerika Utara.
Namun, suasana optimis tidak tanpa gangguan. Di dunia Barat tahun
1960-an berlangsung semacam revolusi budaya yang juga membingungkan
Gereja. Sebagian generasi muda yang tidak lagi mengalami kengerian
Perang Dunia II memberontak terhadap konsumerisme kapitalistik
generasi orang tua mereka. Universitas-universitas diramaikan oleh
gerakan “Kiri Baru” yang “anti-otoriter” Amerika Serikat diguncang oleh
emansipasi kaum Negro, disusul oleh feminisme dan gerakan gender.
“Budaya” kaum hippies di Amerika mencuat dalam suatu revolusi seks
yang meremehkan penolakan terhadap “free sex”, Pada tahun 1960-an,
undang-undang yang mengkriminalisasikan hubungan homoseks dan
pornografi dicabut.

60
Pada tahun 1968, dalam situasi itu, dengan mengabaikan anjuran
suatu komisi kardinal yang diangkatnya sendiri, Paus Paulus VI
menerbitkan ensiklik Humanae Vitae yang melarang pemakaian alat-alat
kontrasepsi, termasuk “pil anti-hamil” Ensiklik itu menimbulkan protes
luas dalam Gereja, beberapa konferensi uskup seperti di Jerman dan di
Indonesia menerbitkan penjelasan resmi yang memperlunak larangan
itu. Untuk pertama kalinya suatu ajaran resmi pimpinan Gereja Katolik
diabaikan oleh sebagian besar umat. Reformasi Gereja ke dalam juga
mulai macet. Ada kesan bahwa Roma menjadi takut terhadap dinamika
Vatikan II dan mulai mengerem. Mereka yang mau meneruskan reformasi
yang dimulai oleh Konsili berhadapan dengan mereka yang menganggap
Konsili sebagai batas maksimal bagi perubahan-perubahan dalam Gereja
yang tidak boleh dilampaui. Dorongan untuk membahas kewajiban
selibat dan kemungkinan penahbisan perempuan menjadi imam ditolak
oleh Roma.
Di tahun 1970-an, banyak imam, biarawan, dan biarawati me-
nanggalkan jubah mereka dan berhenti. Sekaligus jumlah panggilan
menjadi imam, bruder, dan suster di negara-negara Barat menurun.
Sekularisasi yang sudah berjalan sejak 200 tahun mulai betul-betul
merasuk ke dalam masyarakat luas di Barat. Jumlah orang yang pada
hari Minggu ke gereja semakin menurun. Semakin banyak orang secara
resmi ke luar dari Gereja. Namun pada saat yang sama muncul gerakan
dan teologi-teologi baru yang penting seperti teologi feminis dan teologi
gender, black theology, dan teologi ekologis. Dua gerakan baru paling
penting adalah teologi pembebasan dan gerakan karismatik.
Teologi pembebasan berkembang di Amerika Latin. Gereja Katolik
di sana menyadari betapa ia selama berabad-abad berpihak pada para
tuan tanah dan golongan kaya. Disadari bahwa pembebasan Injil tidak
boleh dibatasi pada pembebasan dari dosa, melainkan harus mengarah
pada pembebasan manusia seluruhnya, termasuk pembebasan dari

61
segala penindasan dan ketidakadilan. Gereja menyadari bahwa ia harus
“berpihak pada orang miskin” dan harus memberikan prioritas kepada
orang-orang miskin, dan bukan kepada kaum kaya dan berkuasa
(option for the poor). Sikap ini membawa Gereja ke dalam konflik
dengan kediktatoran-kediktatoran militer yang waktu itu berkuasa di
banyak negara Amerika Latin. Yang paling mencolok di antara ratusan
rohaniwan, rohaniwati dan aktivis Gereja yang dibunuh adalah (Beato)
Oscar Romero (* 1917), uskup agung San Salvador, yang ditembak mati
di tengah misa pada tanggal 24 Maret 1980. Sudah sejak semula teologi
pembebasan dicurigai tertular Marxisme, namun akhirnya inspirasinya
diangkat oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya “Sollicitudo Rei
Socialis”. Teologi pembebasan membarui visi Gereja Katolik.
Gerakan Karismatik, di mana termasuk juga Gereja-gereja Pen-
takosta, lahir dari “Gereja-gereja bebas” Protestan Amerika Serikat dan
menekankan pengalaman Roh Kudus dalam kebersamaan mereka, dengan
doa-doa penyembuhan dan orang bicara dengan bahasa-bahasa esoteris.
Meski gerakan itu mempunyai segi-segi yang bisa dipertanyakan, akan
tetapi Gereja Katolik membuka diri terhadapnya dan melihat anggota-
anggotanya yang karismatis sebagai pemerkayaan kehidupan rohani.
Pada tahun 1978, untuk pertama kalinya sejak hampir 500 tahun
seorang bukan Italia, Karol Woytyla (1920-2015), uskup agung Krakow di
Polandia, dipilih menjadi Paus dengan nama Yohanes Paulus II.19 Selama
26 tahun ia memimpin Gereja Katolik dengan tegas dan optimis. Yohanes
Paulus IT menegaskan kembali sikap-sikap tradisional Gereja, selibat
tidak dilonggarkan, perempuan tidak bisa ditahbiskan menjadi imam,
teologi pembebasan harus membersihkan diri dari bahasa yang berbau
Marxis. Semua keputusan penting ditarik ke Roma. Sentralisasi Gereja
Katolik mencapai puncaknya di bawah Paus ini.

19 Pendahulunya, pengganti Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus I, meninggal hanya sebulan
sesudah dipilih Paus, pada tanggal 28 September 1978.

62
Tetapi sekaligus Yohanes Paulus II memajukan Gereja dengan
berani. Tahun 1986, ia mengajak 160 pemimpin dari semua agama besar
untuk selama sehari bertemu di kota Santo Fransiskus di Assisi dalam
suasana puasa dan doa. Banyak orang tradisionalis kaget bahwa Paus
mengakui bahwa orang dari agama lain pun dapat berdoa. Dalam ensiklik
Redemptoris Missio ia menyatakan bahwa Roh Kudus juga berkarya
di luar Gereja yang kelihatan. Ia merehabilitasi Galileo Galilei dan
meminta maaf atas dosa-dosa yang dilakukan Gereja dalam sejarahnya.
Bertolak dari Konsili Vatikan II, ia merangkul cita-cita etika politik
modernitas. Hormat terhadap hak-hak asasi manusia menjadi inti teologi
kemanusiaan Yohanes Paulus II. Ia menolak hukuman mati dan perang.
Kebijaksanaannya diteruskan oleh penggantinya, Paus Benediktus XVI
(2005-2013). Adalah kekhasan Benediktus bahwa ia sangat sadar betapa
ia, sebagai Paus, harus memancarkan apa yang menjadi hakikat Allah,
cinta kasih.
Pada tanggal 28 Februari 2013, Paus Benediktus mendadak me-
ngundurkan diri dari jabatannya sebagai uskup Roma. Hanya satu
kali, lebih dari 700 tahun yang lalu, seorang Paus melakukannya atas
kehendaknya sendiri.20 Keputusan Benediktus yang dipikirkan matang-
matang sudah pasti akan menjadi petunjuk bagi masa depan. 13 hari
kemudian para kardinal memilih Kardinal Jorge Mario Bergoglio (*1936),
uskup agung Buenos Aires, Ibu Kota Argentina, sebagai Paus baru.
Ia memilih nama Fransiskus. la adalah Paus pertama yang bukan dari
Eropa sejak lebih dari seribu tahun. Ia langsung membikin kaget: Sesudah
membayar sendiri rekening di tempat penginapannya, ia tidak masuk ke
dalam istana Kepausan, melainkan memilih suatu apartemen sederhana
di rumah penginapan Santa Martha, tempat para tamu Vatikan menginap.
Sejak semula Paus Fransiskus membawa angin baru ke dalam Gereja: Ia
20 Tahun 1294, Paus Celestin V, seorang petapa yang dipilih Paus melawan kehendaknya sendiri,
mengundurkan diri sesudah menjabat hanya beberapa bulan.

63
menegaskan bahwa Gereja harus dekat dengan manusia, solider dengan
mereka yang miskin, lemah dan tertinggal, bahwa panggilan pertamanya
adalah memancarkan kerahiman Ilahi.
Lima puluh tahun sesudah Konsili Vatikan II, Gereja Katolik
berhadapan dengan tantangan-tantangan baru. Di Eropa dan Amerika
semakin banyak orang tidak beragama. Di Asia dan Afrika, Islam dan
agama-agama lain menyatakan diri kembali dengan ampuh. Situasi
ini menantang Gereja Katolik, dan juga Gereja Protestan: Bagaimana
pesan Ilahinya harus disampaikan dalam dunia baru itu agar tetap dapat
dimengerti? Yang jelas, Gereja Katolik harus terus memperbarui diri. Apa
Paus Fransiskus akan memberi dorongan menentukan pada pembaruan
itu? Kita akan melihatnya.

64
BAGIAN KEDUA:
IMAN KATOLIK

65
BAB 3
KITAB SUCI UMAT KRISTIANI

3* 1. Pengantar

Dalam bab sebelumnya kita melihat bagaimana apa yang dimulai 2000
tahun yang lalu dengan kematian seorang Yesus dari Nazaret di kayu salib
meluas menjadi Kristianitas sedunia, di antaranya Gereja Katolik. Siapa
si Yesus dari Nazaret itu? Pertanyaan itu dijawab dalam ajaran Gereja.
Dan ajaran Gereja tak lain adalah apa yang diimani sejak 2000 tahun oleh
umat Kristiani. Harta kekayaan tradisi Kristiani paling mendalam adalah
imannya akan Yesus Kristus sebagai Putra Allah dan Penyelamat dunia.
Iman berdasarkan pengalaman para murid pertama akan ke-
bangkitan Kristus, kemudian diteruskan sebagai tradisi suci oleh umat
Kristiani. Tradisi itu semula lisan saja: Petrus dan para murid pertama,
sesudah menerima Roh Kudus, mewartakan Kabar Gembira mulai dari
Yerusalem meluas ke Yudea dan seluruh wilayah kekaisaran Romawi
dan lebih jauh lagi. Makin lama makin timbul kebutuhan dalam jemaat-
jemaat untuk menuliskan apa yang diwartakan itu. Maka muncul tulisan-
tulisan yang memuat tradisi itu. Tulisan-tulisan itulah yang menjadi Kitab
Suci Perjanjian Baru (PB). Di dalamnya ditulis bagaimana para pengikut
Yesus mengalami-Nya dan bagaimana mereka, karena pengalaman
kematian Yesus di salib dan kebangkitan-Nya, memahami ajaran-Nya.
Maka sebelum kita masuk ke dalam pertanyaan tentang Yesus, kita harus
bertanya tentang sumber-sumber pengetahuan kita tentang Yesus, dan itu
berarti, tentang Kitab PB.
Suatu catatan pendahuluan. Semua agama besar memiliki kitab
suci, tulisan-tulisan yang memuat apa yang menjadi keyakinan paling

66
dasar mereka. Macam apa kitab suci suatu agama dan bagaimana umat
itu memperolehnya harus kita tanyakan pada agama yang bersangkutan.
Adalah teramat polos mengira bahwa semua kitab suci mesti sama bentuk
dan pengertiannya dengan pengertian kita tentang kitab suci kita sendiri.
Sebagai contoh: Kitab suci agama Islam adalah Al Qur’an. Menurut
keyakinan Islam Al Qur’an tidak ditulis oleh manusia, juga tidak oleh
Nabi Muhammad, melainkan ditulis oleh Allah sendiri. Kitab Suci agama
Kristiani (juga: teks-teks suci agama Buddha) tidak demikian. Semua teks
Kitab Suci umat Kristiani ditulis oleh manusia. Yang membuat teks-teks
itu suci adalah bahwa teks-teks itu diyakini ditulis dengan diinspirasi oleh
Roh Allah (lih. di bawah). Inspirasi berarti bahwa Allah seolah-olah dari
belakang menggerakkan pengertian para penulis sehingga dalam apa
yang mereka tulis termuat pesan Allah sendiri.
Yesus dari Nazaret adalah seorang Yahudi dan seluruh kehidupan
dan spiritualitas-Nya bernapaskan Kitab Suci umat Yahudi, Perjanjian
Lama (PL). Begitu pula umat Kristiani melihat Yesus sebagai Dia yang
dijanjikan dalam PL. Kalau PB bicara tentang kitab suci, maka yang
dimaksud adalah PL. Karena itu kitab suci umat Kristiani terdiri atas dua
bagian, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.21 PL memuat kisah tentang
bangsa terpilih sampai kedatangan Almasih, sedangkan PB merupakan
tulisan-tulisan yang memuat iman kepercayaan umat Kristiani kepada
Yesus Kristus. Dua Kitab itu disebut “perjanjian” karena intinya adalah
perjanjian Allah dengan manusia. Kitab PL adalah mengenai perjanjian
yang diadakan Allah dengan Abraham, Musa, dan bangsa Israel. Kitab PB
adalah mengenai “perjanjian baru” (yang diramalkan oleh nabi Yeremia,
Yer. 31:31) yang diadakan Allah dengan umat manusia dalam Yesus

21 Dua Kitab yang merupakan Kitab Suci Kristiani ini, juga disebut bijbel (Inggris bible) yang secara
harfiah berarti “kitab” dan dalam umat Kristiani dipakai sebagai kata untuk membedakan kitab
suci Kristiani dari kitab-kitab suci agama lain. Bijbel - Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
- merupakan kitab suci seluruh umat Kristiani, Katolik, Ortodoks dan Protestan. Beberapa
perbedaan kecil antara Katolik dan Protestan dijelaskan di bawah.

67
Kristus (maka kalau bicara “perjanjian”, perlu dibedakan antara perjanjian
yang diadakan Allah dengan manusia dan dua kitab yang memuat berita
tentang dua perjanjian itu).

3* 2. Perjanjian Lama

Perjanjian Lama terbentuk dari tulisan-tulisan suci bangsa Israel selama


lebih dari 800 tahun yang mendapat bentuk akhir di sekitar 100 tahun
sebelum masa Yesus. Pada hakikatnya, PL adalah kisah tentang perjanjian
Allah dengan “bangsa terpilih”, Israel. Dalam bentuk akhir, PL terdiri atas
46 tulisan yang biasanya dibagi dalam tiga kelompok: (1) tulisan-tulisan
tentang prasejarah dan sejarah bangsa Israel, (2) buku-buku doa dan
renungan suci, serta (3) buku-buku para nabi.
Bagian paling suci PL adalah lima buku pertama yang disebut Tora
(bah. Indonesia “Taurat) atau “Pentateukh” (“lima gulungan buku”). 22
Dalam Tora termuat kisah tentang penciptaan dunia dan tentang
perjanjian Allah dengan bangsa Israel. Buku pertama, Genesis, mulai
dengan kisah penciptaan alam raya oleh Allah pada permulaan zaman,
penciptaan manusia laki-laki dan perempuan, tentang dosa manusia
pertama dan kemerosotan umat manusia selanjutnya sampai Allah
menyelamatkan Nuh dalam bahtera dari air bah. Kisah-kisah ini disebut
“prasejarah” karena dianggap bukan laporan tentang kejadian-kejadian
historis, melainkan penggambaran kebenaran-kebenaran paling dasariah
sejarah penyelamatan Ilahi dengan imaji-imaji yang mudah dimengerti.
Sejarah dalam arti sesungguhnya mulai dengan Abraham. Meski
masih sepertinya jauh-jauh dalam kabut jarak 4000 tahun, tetapi Abraham
diyakini memang orang nyata. Sejarah keselamatan manusia mulai
dengan Abraham dipanggil oleh Allah dari negeri Haran (Irak) ke “tanah
22 Kadang-kadang di Indonesia kata “Taurat” dipakai untuk seluruh Kitab Suci umat Yahudi. Tetapi
itu penamaan sembrono. Taurat (bhs. Ibrani: Tora) adalah lima buku pertama dari seluruhnya 46
buku PL.

68
yang akan ditunjukkan” kepadanya, disusul dengan kisah tentang Ishak
dan Yakub, tentang putranya Yusuf yang dijual oleh sepuluh saudaranya
ke Mesir, dan justru karena itu dapat menyelamatkan keturunan Yakub.
Keempat buku Pentateukh berikut menceritakan kisah bangsa Israel
dari kelahiran sampai kematian Musa: Panggilan Musa, pembebasan
bangsa Israel dari Mesir melalui Laut Merah, perjanjian Allah dengan
bangsa Israel di Sinai, dan perjalanannya selama 40 tahun di padang gurun.
Buku-buku berikut mengisahkan seluruh perjalanan bangsa Israel dari
penaklukan “tanah yang dijanjikan” (Yudea), kisah bangsa Israel di tanah
Yudea mulai dengan zaman para hakim, lalu raja Saul, raja Daud, dan
raja Salomo, terpecahnya Israel menjadi Israel dan Yudea, pembuangan
ke Babilon dan kembalinya suatu sisa bangsa Yahudi ke tanah Yudea serta
nasib mereka sampai perjuangan para saudara Makabe di abad ke-2 SM.
Kelompok kedua tulisan PL terdiri atas kitab Ayub, kitab Mazmur
yang 150 mazmurnya sekarang masih tetap didoakan dalam Gereja
Katolik, serta “kitab-kitab kebijaksanaan” yang terdiri atas renungan-
renungan tentang Allah dan penyelamatan-Nya. Bagian ketiga PL terdiri
atas tulisan empat nabi besar (Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Daniel), Kitab
Barukh dan Ratapan, dan kitab 12 “nabi kecil”
Tulisan-tulisan pertama dalam PL diperkirakan sudah ditulis sekitar
900 tahun SM. Lima buku Pentateukh diselesaikan dalam bentuk sekarang
sesudah sisa umat Yahudi kembali dari pembuangan di Babilon ke tanah
Yudea, jadi di abad ke-5 SM. Beberapa dari tulisan-tulisan kemudian
hanya terdapat dalam bahasa Yunani.23 Pengumpulan tulisan-tulisan
itu ditetapkan secara resmi sebagai Kitab Suci oleh para pimpinan umat
Yahudi pada tahun 70 M, di tahun Yerusalem dihancurkan tentara Roma.

23 Di sini ada perbedaan antara Katolik dan Protestan. Protestan menyebutkan tulisan-tulisan PL
yang hanya terdapat dalam bahasa Yunani “apokrif” (tak dapat diandalkan), sedangkan Gereja
Katolik mengakuinya, akan tetapi disebut Deuterokanonika, yang dapat diterjemahkan “kalah
ampuh” dengan tulisan-tulisan inti.

69
Timbul pertanyaan: Sejauh mana PL juga merupakan Kitab Suci
bagi umat Kristiani? Sebelum memasuki pertanyaan ini mari kita lihat
PB lebih dahulu.

3.3. Perjanjian Baru

PB adalah dasar padanya seluruh umat Kristiani mengacu sebagai


kesaksian normatif tentang iman Kristiani. Dalam PB, Gereja-Gereja
menemukan apa yang diimani oleh umat Kristiani awal. PB terdiri atas
'll tulisan di mana yang paling penting adalah empat Injil, empat tulisan
tentang hidup, kematian, dan kebangkitan Yesus, yang merupakan
“kesaksian utama tentang kehidupan dan ajaran Yesus, jantung semua
tulisan lain” (Kompendium 22). 23 tulisan lainnya terdiri atas “Kisah Para
Rasul”, suatu kisah tentang pembentukan dan perkembangan Umat Awal
sejak dari permulaannya di Yerusalem, lalu 13 surat yang ditulis oleh
Paulus atau kalangan para murid, surat kepada umat Ibrani, tujuh surat
rasul-rasul lain dan kitab Wahyu.
Bagaimana tulisan-tulisan itu terbentuk? Tulisan-tulisan itu masing-
masing semula ditulis dalam salah satu jemaat. Sebuah kumpulan sabda-
sabda Yesus (yang disebut Q, dari kata Jerman Quelle, “sumber”) yang
kemudian dipergunakan oleh penulis Injil Matius dan Lukas diperkirakan
sudah beredar 20 tahun sesudah wafat Yesus. Paulus menulis suratnya
yang pertama kepada jemaat di Tesalonika sekitar 30 tahun sesudah
wafat Yesus dengan maksud memperkuat iman mereka. Buku terakhir
PB diperkirakan Kitab Wahyu, suatu tulisan dengan visi-visi dramatis
tentang akhir zarnan dalam gaya apokaliptik yang pada saat itu populer
di kalangan Yahudi. Dari empat Injil — ditulis antara tahun 70 dan 100 M
— tiga Injil pertama berkaitan. Injil paling pertama adalah Injil Markus.
Matius dan Lukas diperkirakan mengomposisikan Injil mereka dengan
memakai Injil Markus sebagai dasar dan memasukkan juga Q, kumpulan

70
sabda-sabda Yesus, dalam urutan berbeda, ditambah dengan bahan
rnereka masing-masing. Injil terakhir, Injil Yohanes, sama sekali mandiri.
Jadi teks-teks PB semula ditulis dalam salah satu jemaat, entah
sebagai pegangan bagi pengajaran, entah untuk memperingatkan jemaat
tentang hidup sesuai dengan Injil. Tulisan-tulisan itu kemudian tersebar
di antara jemaat-jemaat lain, dan bisa saja dalam proses itu masih
dilengkapi, akhirnya menjadi tulisan yang diakui sebagai teks suci dalam
umat Kristiani. Begitu tulisan-tulisan yang semula lahir dalam satu jemaat,
akhirnya menjadi kumpulan resmi 27 tulisan yang diakui oleh seluruh
Kristianitas sebagai Kitab Sucinya. Proses itu disebut “pembentukan
kanon” (“daftar” tulisan-tulisan Kitab Suci). Pembentukan kanon itu
selesai sekitar tahun 180 M. Suatu daftar lengkap dengan semua 46 tulisan
PL dan 27 tulisan PB diberikan oleh Santo Athanasius dalam suatu surat
dari tahun 367. Penetapan definitif tulisan-tulisan itu sebagai kanon
tulisan Kitab Suci “memastikan bagi generasi-generasi berikut bahwa
yang bicara dalam tulisan-tulisan itu hanyalah Kristus yang wibawanya
diakui sebagai Ilahi, hanya la sendiri. Keputusan itu merupakan norma
bagi iman Kristiani untuk segala zaman” (Beinert 38).
Tentu ada juga tulisan beredar yang tidak masuk ke dalam Kitab Suci,
entah karena memang tidak mengklaim menjadi dasar iman Kristiani,
entah karena ditolak oleh Gereja. Tulisan-tulisan yang mengklaim diri
bersifat apostolik juga, tetapi ditolak oleh Gereja disebut “apokrif”
(“tersembunyi”, “tak asli”). Seluruhnya ada 26 teks yang mengklaim
merupakan “Injil” tetapi tidak diakui oleh Gereja.24
Dengan demikian muncul pertanyaan: dari mana Gereja tahu
tulisan mana yang boleh dianggap Kitab Suci, dan mana yang tidak?
Ada dua syarat yang harus terpenuhi agar Gereja dapat mengakui suatu
tulisan sebagai termasuk Kitab Suci. Yang pertama adalah apostolisitas,
24 Istilah “kitab apokrif PB” dipakai sama oleh Katolik dan Protestan, Secara substansial tak ada
perbedaan antara Katolik dan Protestan tentang mana Injil yang benar dan mana yang tidak.

71
artinya yang diakui sebagai termasuk Kitab Suci harus ditulis dalam
kaitan dengan para apostoloi, para saksi mata Yesus, sekurang-kurangnya
ditulis oleh orang yang masih berhubungan dengan murid-murid saksi
kebangkitan Yesus, jadi oleh generasi Kristiani kedua. Maka jelas bahwa
tulisan yang ditulis sesudah tahun 100 M tidak mungkin termasuk Kitab
Suci. Semua “Injil” apokrif ditulis di abad ke-2 M atau lebih kemudian,
jadi jauh sesudah masa apostolik.25
Syarat yang kedua: Gereja hanya mengakui suatu tulisan sebagai
bagian Kitab Suci apabila tulisan itu memuat iman yang benar dan hanya
iman yang benar. Jadi yang pertama bukan Kitab Suci. Iman Gereja benar
bukan karena sesuai dengan Kitab Suci, melainkan suatu tulisan termasuk
Kitab Suci karena sesuai dengan iman Gereja. Yang pertama adalah
Gereja, komunitas mereka yang percaya bahwa Yesus adalah Putra Allah
dan Sang Penebus. Gereja lahir pada hari Pentakosta karena pada hari
itu Roh Allah turun kepada para muridnya dan Roh Kudus itulah yang
dalam sakramen baptis diteruskan dalam umat Kristiani (sampai hari
ini). Gereja secara hakiki adalah komunitas mereka yang dipersatukan
oleh Roh Allah. Karena dipenuhi Roh Kudus Gereja tahu tentang iman
yang benar. Dalam Roh Kudus itulah komunitas kaum beriman dapat
merasakan apakah suatu tulisan yang mengklaim apostolisitas memuat
iman Gereja yang benar, jadi ikut ditulis oleh Roh Kudus. Namun sesudah
Kitab Suci terbentuk, benar atau tidaknya iman Gereja diukur dari Kitab
Suci.

25 Injil Barnabas tidak termasuk Injil-Injil apokrif ini. Tentang Tnjil Barnabas tak ada teks, sindiran
atau acuan apa pun di abad-abad pertama Kristianitas. Dari gaya bahasa, dari tidak ada
pengetahuan apa pun tentang daerah Palestina, dan dari acuan pada irama urutan 100 “tahun
suci” yang baru ditetapkan oleh Paus Bonifasius VIII di tahun 1300 (!) dapat dipastikan bahwa
“Injil” itu ditulis sesudah tahun 1300, kemungkinan besar oleh seorang Kristen Spanyol yang
masuk Islam. Jadi “Injil” Barnabas ditulis pada akhir abad pertengahan dan karena itu sama sekali
tidak merupakan suatu Injil.

72
3.4. Inspirasi

Di sini muncul pertanyaan baru: Mengapa Kristianitas bisa menganggap


tulisan-tulisan yang semuanya ditulis oleh manusia sebagai Kitab Suci?
Gereja menjawab: tulisan-tulisan ini suci karena terinspirasi oleh Roh
Kudus. Yang menulis teks-teks itu adalah manusia, demi macam-macam
keperluan umat: katekese, peringatan, pewartaan. Tetapi pada saat menulis,
mereka dijiwai oleh Roh Kudus sehingga di dalam apa yang mereka tulis,
Roh Kudus sendiri menyampaikan kebenaran keselamatan. Inspirasi
berarti bahwa dalam tulisan manusia, “tangan” Roh Kudus ikut menulis.
Keyakinan ini berdasarkan iman umat Kristiani tadi bahwa Gereja adalah
komunitas mereka yang dipersatukan dalam satu iman oleh Roh Kudus.
Maka dalam pembentukan kanon, Gereja dibimbing oleh Roh Kudus
yang menjiwainya, yang membuatnya “mencium” tulisan-tulisan mana
yang memuat pesan Roh Kudus, jadi termasuk Kitab Suci. “Penciuman”
Gereja itu disebut sensus fidei, suatu “perasaan” tentang iman yang benar.
Berdasarkan sensus fidei itu Gereja merasakan mana dari sekian tulisan
memuat dasar-dasar imannya, tetapi juga menolak tulisan-tulisan yang
dijiwai oleh roh yang lain.
Ajar an tentang inspirasi menunjukkan suatu dialektika antara tra-
disi dan Kitab Suci. Betul, Kitab Suci sebagai tandon tertulis dan resmi
tentang apa yang diimani umat Kristiani adalah dasar segala kepercayaan
Gereja selanjutnya. Umat Kristiani akan selalu kembali ke Kitab Suci kalau
merasa ragu-ragu tentang imannya. Apa pun yang bertentangan dengan
Kitab Suci menyeleweng dari iman Kristiani. Tetapi Kitab Suci sendiri
adalah hasil tradisi yang sudah ada. Kitab Suci merupakan pengamanan
dan pemastian tradisi yang mendahuluinya. Maka semboyan Martin
Luther tentang “sola scriptura” (yang boleh diimani hanya apa yang
terdapat dalam Kitab Suci) yang dialamatkan pada Gereja Katolik, adalah
berlebihan. Tradisi dengan sendirinya lebih luas daripada pemantapan-

73
nya dalam tulisan. Betul, mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan
Kitab Suci berarti menempatkan diri di luar komunitas beriman Kristiani.
Tetapi itu tidak berarti bahwa tak bisa ada tradisi Kristiani sejati yang
tidak masuk ke Kitab Suci. Seperti misalnya bahwa umat berdoa kepada
Tbunda Yesus, Maria.
Pertimbangan ini secara khusus berlaku bagi Yesus sendiri. Sejak 250
tahun ada suatu gerakan kritik Kitab Suci yang mencoba untuk menggali
“Yesus historis”, “Yesus yang sebenarnya” dan yang sudah ditelanjangi
dari apa yang dilihat umat Kristiani padanya. Tetapi (seperti dijelaskan
dengan jernih oleh Paus Benediktus XVI, dalam bukunya tentang Yesus 26)
tak ada “Yesus historis” itu. Mengapa? Karena apa pun yang kita ketahui
tentang Yesus kita ketahui melalui ingatan para murid Yesus dan umat
pertama. Dari sumber-sumber di luar Kristianitas — Tacitus, Sueton,
Josephus — hanya dapat dipastikan bahwa seorang Yesus dieksekusi di
bawah pemerintahan Pontius Pilatus di Yudea dan bahwa Yesus itulah
oleh orang-orang aneh yang menamakan diri “Kristiani” dijadikan pusat
pujaannya. Jadi, apa pun yang kita ketahui tentang Yesus, siapa Dia, di
mana Dia lahir, apa yang dilakukan dan apa yang dikatakan-Nya, tentang
murid-murid-Nya, tentang penangkapan-Nya dan kematian-Nya, serta
pengalaman-pengalaman kebangkitan, kita ketahui dari empat Injil
dalam Kitab Suci. Dan ingatan akan Yesus dalam empat Injil itu tidak
ditulis secara netral, sebagai laporan historis kering, melainkan “supaya
kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias, Putra Allah, dan supaya kamu oleh
imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yoh 20:31). Jadi, dalam
Kitab Suci kita selalu sudah mendapat “Yesus iman”, Yesus sebagaimana
ia dilihat dan diimani oleh umat yang percaya kepada-Nya sebagai Putra
Allah dan Penyelamat. Itu tidak berarti bahwa gambar tentang Yesus yang
mereka lukiskan kurang tepat, apalagi palsu. Karena yang menyelamatkan

26 Josef Ratzinger/Papst Benedikt VI 2007, Jesus von Nazareth, Erster Teil; lih. juga Thomas Soding
2007, h. 2-6.

74
mereka bukan suatu sosok bikinan sendiri, melainkan si Yesus dari
Nazaret itu. Para saksi bertemu dengan Yesus dan mata mereka terbuka
sehingga mereka melihat bahwa Yesus itu Sang Penyelamat, dan itu yang
mereka wartakan.
Di sini dapat dicatat bahwa siapa pun yang menulis tentang Yesus,
mau tak mau akan menggambarkan-Nya sebagaimana ia meyakini-Nya.
Bisa saja orang tidak dapat menerima Yesus seperti yang diimani oleh
umat Kristiani. Tetapi itu bukan karena ia tahu bahwa Yesus yang nyata-
nyata berjalan-jalan di Galilea, lain daripada yang diimani umat Kristiani
— tentang “Yesus sebagaimana Ia sebenarnya” tak ada laporan apa pun
— melainkan karena ia sendiri tidak dapat mengimaninya, jadi karena
imannya berbeda. Tak ada sosok Yesus “telanjang-objektif-historis” Ttu
berlaku bagi Injil-lnjil apokrif (yang kebanyakan berdasarkan gnosis,
lih. 4.10.). Itu berlaku bagi “Isa” dalam Al Quran yang dilukiskan sesuai
dengan keyakinan Islami. Dan itu juga berlaku bagi kritik bijbel yang sejak
200 tahun mau membongkar gambaran Kristiani tentang Yesus sebagai
tak sesuai dengan “Yesus yang sebenarnya”. Menurut mereka Yesus yang
lahir dari seorang perawan, tidak membuat orang lumpuh bisa berjalan,
tidak berjalan di atas air, dan tidak mungkin Ia menghidupkan kembali
putri Yairus dari kematiannya. Tetapi kalau kita bertanya mengapa Yesus
tidak mungkin melakukan mukjizat-mukjizat itu, jawabannya adalah
bahwa “orang modern tak dapat percaya hal-hal seperti itu” Pandangan
“modern” tentang Yesus itu sama saja mencerminkan suatu kepercayaan,
yaitu kepercayaan bahwa tidak mungkin Yesus melakukan apa yang
dalam empat Injil dilaporkan dilakukan-Nya. Tahunya dari mana? Kalau
memang ada Allah, apa tak mungkin Sang Suci Allah melakukan apa
yang dilaporkan itu? Orang bisa saja tidak percaya apa yang dipercayai
umat Kristiani, tetapi ketidakpercayaan mereka tidak lebih “objektif ” atau
“ilmiah” dari kepercayaan yang mereka tolak.

75
Bagaimana halnya PL? Umat Yahudi dan Kristiani sama saja
meyakini tulisan-tulisan PL sebagai terinspirasi oleh Roh Kudus. Tulisan-
tulisan PL ditulis selama berabad-abad dan dikumpulkan oleh umat
Yahudi yang meyakininya sebagai Sabda Keselamatan Allah. Sampai hari
ini umat Yahudi, atas dasar Kitab Suci PL, mengharapkan terpenuhinya
janji penyelamatan Allah.
Dan karena PL adalah juga Kitab Suci Yesus dan Yesus dimengerti
sebagai Penebus yang dijanjikan dalam PL, umat Kristiani meyakini PL
sebagai Kitab Suci. Namun, ada perbedaan dalam penghayatan Kristiani
dibandingkan dengan penghayatan umat Yahudi. Karena yakin bahwa
janji Allah kepada bangsa Israel terpenuhi dalam Yesus Kristus, umat
Kristiani membaca PL dengan fokus baru. Kisah komunikasi Allah dengan
bangsa terpilih yang mulai dengan Abraham dimengerti sebagai persiapan
bangsa Israel akan kedatangan Almasih, yaitu Yesus. “Tulisan-tulisan PL
ditulis terutama untuk mempersiapkan kedatangan Kristus, sang Penebus
dunia” (Kompendium 21). Dari iman pada Yesus PL mendapat suatu
transparansi baru terhadap rencana keselamatan Allah. Dan sebaliknya,
PL juga dibaca melalui filter Injil. PL dipahami sebagai pendidikan bangsa
terpilih selama 2000 tahun. Maka dalam PL ada juga paham-paham yang
menunjukkan bahwa bangsa Israel masih di perjalanan, jadi yang kurang
memadai, yang masih menunggu penyempurnaan oleh Kabar Gembira
Injil.
Dari perspektif itu kita dapat mengerti bahwa dalam PL masih ada
kekerasan, pertumpahan darah, bahwa Salomo mempunyai ratusan istri.
Perjalanan panjang bangsa Israel juga suatu perjalanan belajar tentang
sikap apa yang sebenarnya diharapkan Allah dari bangsanya. Ritualisme
ketat yang semula diperlukan agar bangsa Israel tidak tenggelam dalam
bangsa-bangsa sekeliling tidak merupakan suatu tatanan untuk selamanya.
Dan kita juga melihat bagaimana para nabi membuka fokus bangsa Israel
ke suatu keselamatan universal bagi semua bangsa, bukan hanya bagi

76
bangsa Israel. Karena itu Gereja yakin bahwa PL justru dimengerti betul
kalau dibaca dengan kacamata Injil.

3.5. Tidak Dapat Keliru

Bahwa Kitab Suci terinspirasi berarti bahwa dalam Kitab Suci, Allah
sendiri bicara. Padahal Allah tidak dapat sesat. Maka Gereja mengajarkan
bahwa Kitab Suci tidak dapat sesat. Padahal ada macam-macam detil di
Kitab Suci yang tidak mungkin terjadi seperti ditulis, ada kontradiksi-
kontradiksi kecil dan perbedaan ingatan. Begitu misalnya laporan-
laporan tentang kebangkitan Yesus dalam empat Injil sulit dicocokkan
satu sama lain.
Untuk memecahkan masalah itu perlu diperhatikan bahwa inspirasi
tidak berarti bahwa penulis seakan-akan hanyalah mesin tiknya tangan
Allah. Gereja Katolik dan kebanyakan Gereja Protest an menolak inspirasi
verbal Kitab Suci — bahwa setiap kata seakan-akan didikte oleh Allah
— melainkan Kitab Suci adalah tulisan Allah melalui tulisan manusia.
Manusia-manusia yang menulis teks-teks Kitab Suci adalah manusia biasa
(yang tidak sadar bahwa mereka terinspirasi). Itu berarti bahwa mereka
menulis menurut pengertian mereka sendiri. Padahal segenap pengertian
manusia terbatas dan tak ter jamin selalu tepat. Kitab Suci bukan buku
ilmu alam atau buku sejarah. Yang dimuat di dalamnya tentang alam dan
susunan alam raya, tentang kejadian-kejadian dalam sejarah, tentang
pelbagai bangsa itu mencerminkan pengetahuan dan pengertian para
penulisnya yang sesuai dengan pengetahuan dan pengertian waktu itu.
Karena itu Gereja keliru (dan Paus Yohanes Paulus II mengaku keliru)
waktu 400 tahun lalu mengutuk Galileo Galilei karena ia mempertahankan
bahwa bumi mengitari matahari dan bukan sebaliknya.
Yang membuat tulisan-tulisan Kitab Suci menjadi suci adalah bahwa
melalui tulisan para penulis Allah sendiri menyampaikan pesan-Nya.

77
Pesan Allah bukan tentang hal-hal yang dapat diketahui manusia sendiri
— tentang alam, sejarah, macam-macam segi manusia — melainkan
mengenai hal-hal yang tidak mungkin diketahui oleh manusia dari
dirinya sendiri: Tentang siapa Allah itu, tentang bagaimana Allah bersikap
terhadap manusia, dan apa yang diharapkan Allah dari manusia. Dalam
PB baru itu berarti: Allah memberitahukan siapa Yesus Kristus itu. Di sini
Kitab Suci tidak bisa keliru.

3.6* Kisah Penciptaan

Sebagai contoh, mari kita mengambil perdebatan yang barangkali paling


riuh: tentang kisah-kisah penciptaan bumi dalam du a bab pertama Kitab
Genesis (Kitab pertama PL). Sejak ribuan tahun (umat Yahudi dan) umat
Kristiani berpendapat, berdasarkan Kitab Genesis (Bab 1 sampai dengan
2:4a) bahwa Allah “menciptakan langit dan bumi” sekitar tujuh ribu tahun
lalu dan dalam waktu enam hari. Maka semua kaget ketika 1858 Charles
Darwin mengajukan teori evolusi: bahwa segala organisme berhayat yang
ada sekarang (tetumbuhan dan binatang) merupakan hasil perkembangan
selama jutaan tahun (sekarang diperkirakan selama 3,5 miliar tahun)
dari satu organisme sederhana semula, jadi merupakan keturunan
dari organisme sederhana semula itu, dan bahwa perkembangan itu
dapat dijelaskan semata-mata secara alami dengan tak perlu campur
tangan llahi sama sekali.27 Umat Yahudi dan Kristiani bertanya: Apakah
Kitab Suci ternyata keliru? Di Ainerika Serikat, sekelompok umat yang
menamakan diri fundamentalist menyatakan bahwa wahyu llahi harus
lebih dipercayai daripada ilmu manusia, maka mereka menolak ajaran
evolusi. Gereja Katolik pun ainat curiga, tetapi Paus Pius XII membuka
diri terhadap kemungkinan evolusi sudah 70 tahun lalu dan Paus Yohanes
27 Saya membicarakan evolusi dalam buku saya Tman dan Hati Nurani. Gereja Berhadapan dengan
Tantangan-tantangan Zaman, Jakarta: Obor 2014, him. 151-179.

78
Paulus II menyatakan bahwa tak ada alasan orang Katolik harus menolak
ajaran evolusi. Bagaimana itu mungkin?
Kaum fundamentalis Protestan yakin bahwa setiap kata Kitab Suci
secara harfiah berasal dari Allah. Tetapi Gereja Katolik dan banyak umat
Protestan menolak pandangan fundamentalis itu. Menurut mereka
yang perlu ditanyakan adalah apa yang mau dijelaskan oleh penulis
kisah penciptaan itu. Apa mereka mau membuat laporan ilmu alam,
ataukah mereka mau mengungkapkan suatu kebenaran Ilahi di mana
kisah penciptaan menjadi wahananya? Mereka menemukan sesuatu
yang, anehnya, sebelumnya luput dari perhatian. Yaitu bahwa dalam
kitab Genesis ada dua (!) kisah penciptaan: Yang pertama (Gen. 1 —2:4a)
menceritakan 8 karya penciptaan Allah yang diciptakan dalam 6 hari:
(1) penciptaan siang dan malam (terang dan gelap), (2) langit dan bumi,
(3) laut dan daratan, dan (4) tetumbuhan, lalu di hari ke empat (5)
penciptaan matahari, bulan dan bintang, (6) binatang di air dan di udara,
dan pada hari ke-6 (7) binatang di daratan dan (8) penciptaan manusia
(diperkirakan bahwa penulis, di abad ke-5 SM, memakai suatu teks yang
sudah ada, dengan delapan hari, tetapi diubah menjadi enam hari, supaya
pada hari ke-7, hari Sabat sebagai hari istirahat — “pada hari ke-7 Allah
istirahat” — mendapat sanksi Ilahi).
Kisah kedua diperkirakan ditulis dalam abad ke-8 SM, jadi jauh
sebelum (!) kisah pertama, dan langsung menyusul di bab 2:4b-25.
Kisah ini mulai dengan bumi masih kering tanpa kehidupan. Lalu, (ayat
7) Allah membentuk manusia dan baru sesudahnya diciptakan taman
Eden dengan segala tetumbuhan. Agar manusia tidak sendirian, Allah
kemudian menciptakan binatang (ayat 19), tetapi karena manusia tidak
menemukan kawan di antara binatang-binatang itu, Allah akhirnya
menciptakan perempuan dari rusuk manusia (ayat 21).

79
Sebetulnya bahwa dua kisah yang begitu berbeda ditempatkan
berurutan sudah membuat jelas bahwa dua-duanya tidakmau memberikan
laporan historis. Itu juga kelihatan dari sedikit keanehan dalam kisah
pertama. Kok bisa ada siang dan malam tiga hari sebelum matahari, bulan,
dan bintang diciptakan, dan tetumbuhan memerlukan sinar matahari
yang di hari ketiga juga belum diciptakan. Namun yang kelihatan aneh
tidak lagi aneh kalau kita mengerti “enam hari” itu bukan sebagai urutan
hari atau waktu tertentu. Perbedaan antara tiga hari pertama dan kedua
lantas menjadi jelas. Pada tiga hari pertama Allah menciptakan apa yang
tidak bergerak, sedangkan di tiga hari berikut Allah menciptakan makhluk
yang bergerak. Penulis melihat bumi sebagai panggung kehidupan. Di
hari-hari pertama dibangun panggungnya dengan semua unsur yang
tidak bergerak, di tiga hari kedua diciptakan makhluk-makhluk yang
main di panggung itu: matahari, bulan dan bintang, lalu binatang dan
manusia. Segala keanehan hilang, dan meskipun dua kisah itu berbeda,
namun tak ada kontradiksi apa pun.
Maka juga menjadi jelas apa yang merupakan kebenaran Ilahi yang
mau disampaikan dalam dua kisah penciptaan itu. Yang disampaikan
dalam kisah pertama bukan mana yang diciptakan lebih dulu, bukan
waktu dan urutannya, melainkan kebenaran dasar iman Yahudi-Kristiani:
yaitu bahwa segala apa yang ada diciptakan oleh Allah, bahwa segala itu
diciptakan demi manusia, dan bahwa apa yang diciptakan Allah adalah
baik. Sedangkan kisah kedua mau menyampaikan bagaimana manusia
yang diciptakan dengan penuh perhatian oleh Allah kemudian berdosa,
serta apa akibatnya.
Begitu pula kisah tentang Nuh dan air bah bukan laporan tentang
suatu peristiwa historis, melainkan kisah tentang air bah yang banyak
beredar dalam mitologi bangsa-bangsa dipakai untuk menyampaikan
pesan, bahwa umat manusia sedemikian jatuh ke dalam dosa, sehingga

80
seharusnya dimusnahkan, tetapi Allah menyelamatkannya. Begitu pula
tidak setiap pandangan dalam Kitab Suci harus dianggap pesan Ilahi,
misalnya di mana Paulus marah-marah terhadap wanita-wanita yang
berdoa tanpa memakai kerudung (IKor. 11:5.6).
Kembali ke pertanyaan semula: Kitab Suci sebagai tulisan manusia
bisa keliru, bisa terbatas, sama dengan keterbatasan pengertian dan
pandangan dunia para penulis, tetapi pesan dari Allah di dalamnya tidak
bisa sesat, melainkan menjadi andalan harapan manusia atas keselamatan:
bahwa Allah yang menciptakan kita, bahwa Allah tidak meninggalkan
kita dalam kedosaan, melainkan akan menyelamatkan kita, dan bahwa
ia menyelamatkan kita dalam Putra-Nya, Yesus Kristus. Karena itu kita
sekarang harus masuk pertanyaan inti iman Kristiani dan juga buku ini:
Siapa sihy Yesus dari Nazaret itu?

81
BAB 4
YESUS DARI NAZARET, JALAN KE HATI
ALLAH TRITUNGGAL

4.1. Pengantar

Yesus dari Nazaret adalah sosok kunci dan poros iman Kristianitas. Dalam
Yesus, umat Kristiani menemukan siapa Allah sebenarnya.
Dalam bab ini saya, pertama, mencoba memperlihatkan Yesus
sendiri, apa yang dipermaklumkan-Nya, apa yang dilakukan-Nya,
dan jalan mana yang dijalani-Nya. Kemudian saya mau menunjukkan
bagaimana Yesus itu dipahami dalam iman mereka yang percaya pada
Yesus, untuk akhirnya mencoba mengerti bagaimana dalam manusia
Yesus, rahasia paling dalam Allah sendiri dibuka bagi kita, yaitu bahwa
Allah adalah Tritunggal. Dapat dicatat di sini bahwa apa yang mau
diuraikan dalam bab ini merupakan keyakinan dasar iman seluruh
Kristianitas, baik Gereja Katolik, Gereja Ortodoks dan Gereja Protestan.

4.2. Dari Mana Kita Tahu tentang Yesus?

Dari luar Kristianitas hampir tak ada sumber sama sekali yang bicara
tentang Yesus atau Kristus. Ada laporan pendek sejarawan Yahudi Flavius
Josephus (meninggal sesudah tahun 100 M) bahwa di tahun 62 M imam
g g Yahudi, Ananos, mengeksekusi “Yakobus, saudara Yesus yang
a un

juga disebut Kristus” Hanya itu. Sueton, seorang sejarawan Romawi


(meninggal tahun 140 M), menulis bahwa kaisar Claudius (di tahun 49 M,
FMS) “mengusir orang-orang Yahudi dari Roma yang, karena didorong
oleh Krestos, terus-menerus bikin kerusuhan” Hanya sejarawan Romawi

82
Tacitus (meninggal tahun 120 M) lebih rinci; dalam laporannya tentang
kebakaran Roma tahun 64 ia menulis bahwa kaisar Nero mempersalahkan
“mereka yang oleh masyarakat disebut Kristiani, yang dibenci karena
kejahatan-kejahatan mereka. Kristus daripadanya nama itu berasal, sudah
dihukum mati di bawah pemerintahan (kaisar) Tiberius oleh prokurator
(= gubernur provinsi) Pontius Pilatus” (Keller 153).
Kelihatan bahwa di luar Kristianitas tidak ada sumber apa pun
tentang dari mana Yesus, apa yang dilakukan dan apa diajarkan-Nya.
Yang pasti hanya bahwa seorang Yesus Kristus dihukum mati di Palestina
oleh Pontius Pilatus,28 dan bahwa di abad pertama Masehi di Yerusalem
dan di Roma ada kelompok-kelompok pengikut Kristus itu. Maka untuk
mengetahui siapa Yesus tak ada sumber lain daripada empat Injil.
Dua catatan. Pertama: Seperti dijelaskan dalam bab 3, keempat
Injil adalah buku iman. Artinya, empat Injil memang mau menceritakan
bagaimana Yesus sebenarnya, apa yang diajarkan-Nya, apa yang
dilakukan-Nya, dan apa yang dialami-Nya serta bagaimana Ia disambut
orang. Namun, keempat-empatnya bukan semacam laporan kering,
melainkan ditulis oleh orang-orang yang percaya bahwa Yesus yang
mereka ceritakan itu adalah Almasih, dengan maksud agar pembaca pun
dapat mengerti bahwa Yesus adalah Tuhan dan Sang Penyelamat. Dalam
arti ini, empat Injil bukan laporan “objektif”, melainkan tulisan untuk
meyakinkan, Itu tidak berarti bahwa mereka mengarang sesuatu dari
udara kosong atau memalsukan apa yang dilakukan dan dikatakan Yesus.
Mereka justru percaya pada Yesus, karena Yesus dalam kenyataannya
menunjukkan diri sebagai Tuhan dan Penyelamat. Sama seperti kalau kita
percaya kepada seseorang: Cara kita menceritakan orang itu akan lain
daripada orang yang membencinya, atau dari yang hanya merekamnya
28 Pelbagai anggapan bahwa Yesus tidak mati di salib, bahwa orang yang mati di salib adalah orang
lain, dll. tidak berdasarkan dokumen historis apa pun dan murni dibentuk karena mereka tidak
mau menerima bahwa Yesus mati di salib. Sumber utama penolakan itu adalah gnosis (lih. di
bawah 4.10.).

83
saja, dan kemungkinannya besar bahwa gambaran yang paling benar
tentang orang itu, kita dapat dari mereka yang betul-betul mengenalnya
dan percaya kepada dia. Begitu pula kepercayaan para penulis Injil akan
Yesus justru membuat mereka melihat Yesus yang nyata dengan lebih
benar. Yesus sebagaimana ia digambarkan dalam empat Injil — itulah
yang diyakini oleh Gereja-gereja — adalah Yesus yang sebenarnya, Yesus
sebagaimana Ia memperlihatkan diri kepada mereka yang membuka hati
kepada-Nya.
Kedua: Empat Injil (Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, Injil
Yohanes) tidak ditulis masing-masing oleh satu orang, seperti disugesti
oleh nama-nama itu, melainkan masing-masing merupakan hasil
redaksi dari pelbagai tradisi yang sudah beredar dalam komunitas-
komunitas Kristiani sampai mendapat bentuk empat Injil seperti yang
kita mempunyainya sekarang29. Injil-Injil sudah selesai dalam bentuk
sekarang sekitar 100 tahun sesudah kematian Yesus.

4.3. Yesus dari Nazaret

Di abad-abad pertama muncul pelbagai kepercayaan bahwa Yesus


sebenarnya bukan manusia, melainkan roh murni yang hanya pura-
pura bertubuh. Maka perlu ditegaskan: Yesus yang nyata — seperti kita
mengetahuinya dari empat Injil — jelas seorang manusia normal seperti
kita: Ia lemah lembut (Mrk. 10:16) tetapi bisa juga marah (Mrk. 3:5), Ia
kadang-kadang capai (Yoh. 4:6) dan lapar (Mat. 21:18), Iabisa sedih (Mrk.
14:33 dst.) maupun bersorak-sorai (Luk. 10:21-22). Orang mengenal
keluarga-Nya (Mrk. 3:17; 6:1; Yoh. 7:5). Ia memang melakukan hal-hal
yang menakjubkan dan cara Ia mengajar sangat mengesankan. Akhirnya
kemanusiaan Yesus kelihatan dari fakta bahwa Ia mati, mati di kayu salib
dengan tak berdaya.30 Mari kita melihatnya lebih dekat.
29 Bdk. Albertus Pumomo OFM, dim. Susanto 2014: h. 45.
30 bdk. Keller 156-7.

84
Pertama, suatu catatan tentang nama Yesus. Dalam seluruh PB la
disebut Yesus, juga Yesus Kristus (“Yang Diurapi”). “Yesus” sebenarnya
merupakan Yunanisasi kata Yeshua atau Yoshua, nama asli dalam bahasa
Aram, bahasa ibu Yesus dan masyarakat di Palestina waktu itu. Jadi sangat
mungkin bahwa ibu-Nya dan para murid memanggil Yesus: “Yeshua” atau
“Yoshua”
Dalam PB, Yesus disebut “dari Nazaret” karena keluarganya hidup
di Nazaret di Galilea. Tetapi Injil Matius dan Injil Lukas masing-masing
dibuka dengan suatu kisah bahwa Yesus lahir di Betlehem di daerah
Yudea, kota kelahiran raja Daud. Dua “kisah kanak-kanak Yesus” itu
tidak berkaitan satu sama lain, jadi masing-masing berasal dari suatu
tradisi dalam Umat Awal yang berbeda. Justru karena dua kisah itu cukup
berbeda, meski tidak saling bertentangan, maka sangat menarik bahwa
mereka sesuai dalam tiga hal: satu, bahwa Yesus lahir di Betlehem; dua,
bahwa Maria ibu Yesus mengandung karena ia “dinaungi oleh Roh Kudus”,
jadi bahwa Maria waktu mengandung dan sampai melahirkan tetap
perawan, jadi bahwa Yesus tidak mempunyai ayah fisik, dan; tiga, bahwa
bayi Putra Maria itu dipermaklumkan sebagai Imanuel (“Allah beserta
kita”, Mat. 1:23) dan Penyelamat (Luk 2:11) seperti yang dijanjikan kepada
bangsa Israel. Kelahiran Yesus oleh para ahli ditempatkan di tahun 6 atau
7 SM, pokoknya sebelum kematian raja Herodes di tahun 4 SM. 31 Lukas
(2:41-52) masih mempunyai satu kisah tentang Yesus yang berumur 12
tahun, bagaimana Ia pernah tertinggal di Yerusalem. Selain itu kita tidak
tahu apa-apa tentang hidup Yesus di Nazaret selama kurang lebih 30
tahun.32 _______
31 Apa Yesus lahir 6 tahun sebelum “kelahiran nya”? Di tahun 525 M seorang biarawan, Dionysius
Exiguus, menempatkan tahun kelahiran Yesus sebagai "tahun 1” di tahun 754 sesudah kota Roma
didirikan. Baru jauh kemudian diketahui bahwa raja Ilerodes sudah meni nggal di tahun 750 sejak
pendirian Roma, padahal Yesus lahir sebelumnya. Jadi seharusnya tahun 1 itu tahun 747 atau 748
sesudah Roma didirikan. Namun perhitungan Dionysius tidak diubah lagi.
32 Kekosongan itu merangsang fantasi banyak penulis. Ada satu Injil apokrif dari akhir abad ke-2
M dengan nama “Injil Kanak-kanak (Yesus) Menurut Ihomas” yang mau mengisi kekosongan
itu. Di situ misalnya ada cerita bagaimana si Yesus kecil membentuk lima ekor burung dari tanah
liat, kemudian bertepuk tangan, lalu burung-burung itu betul-betul terbang, atau bahwa Yesus

85
Sekarang banyak orang menolak dua kisah itu dengan menyebutnya
sebagai mitos karena “tak mungkin ada anak tanpa ayah” Gereja tidak
akan mengutuk orang yang merasa tidak dapat memercayai kelahiran
Yesus dari seorang perawan. Hanya perlu diperhatikan: Penolakan itu
pun semata-mata berdasarkan sebuah kepercayaan, yaitu kepercayaan
bahwa tidak mungkin Allah melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan hukum alam. Tetapi kalau orang percaya pada Allah, jadi bahwa
segala apa yang terjadi ada dalam rencana penyelamatan Allah, maka
tanpa menyangkal hukum alam, ia bisa juga mengerti bahwa kasih Ilahi
tidak terikat olehnya. Apalagi, apabila Yesus nyata-nyata Imanuel, “Allah
beserta kita” — tentu itu pun hanya dapat diimani — bukankah sangat
masuk akal bahwa Allah mengambil peran langsung dalam permulaan
Yesus?

4.4. Kerajaan Allah

Di salah satu tahun antara 27 dan 30 M* 33 Yesus meninggalkan ibu-Nya


di Nazaret dan bergabung dengan gerakan Yohanes Pembaptis di sungai
Yordan. Pada waktu itu, Yesus sama seperti para penziarah lain, minta
dibaptis oleh Yohanes. Ia mengalami suatu “panggilan” oleh Allah. Ketiga
Injil sinoptik, dengan didukung oleh Injil Yohanes, memberitakan bahwa
“Ia melihat langit terkoyak, dan Roh seperti burung merpati turun ke
atas-Nya. Lalu terdengarlah suara dari langit: ‘Engkaulah Putra-Ku yang

kecil menjadi marah terhadap anak lain dan mengutuknya menjadi pohon kering. Dalam “Injil”
ini Yesus mirip tukang sulap di pasar malam yang memamerkan kehebatannya. Sangat bcrbeda
dari Yesus nyata seperti kelihatan dalam empat Injil, yang tidak pernah membuat mukjizat
untuk memamerkan diri atau memenuhi kebutuhannya sendiri (bdk. Luk. 4:2-4), apalagi untuk
melampiaskan emosinya. Yesus tak pernah membuat mukjizat demi diri sendiri, melainkan
mukjizat-mukjizatnya merupakan ekspresi belas kasih terhadap mereka yang berada dalam
kesusahan (bdk. Lohfink2l4). Mukjizat-mukjizat Yesus dimengerti sebagai kekuatan penyembuh
33 Ilahi yang memancar
Meskipun dari data
ada beberapa Yesusdiketika
Injil berhadapan
Lukas (3:1),dengan
namunmanusia yang menderita.
tahun Yesus meninggalkan Nazaret tidak
bisa pastikan dengan persis; para ahli bahkan tidak bisa memaslikan berapa lama Yesus berjelajah
mengajar di Galilea dan Yudea sebelum dihukum mati (kiranya pada tahun 31, dan bisa juga
sudah pada tahun 30 M, lih. bab 2).

86
Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenari” (Mrk, 1:11). Tiga Injil sinoptik
melaporkan bahwa sesudah pengalaman itu Yesus menarik diri selama
40 hari ke padang gurun untuk berpuasa, di mana ia juga digoda oleh
setan. Kembali dari puasa itu Yesus mulai mewartakan "Kabar Gembira”
Rupa-rupanya semula ia masih bersama dengan kelompok Yohanes,
dari mereka Ia juga mendapat murid-murid pertama. Sesudah Yohanes
Pembaptis ditahan oleh raja Herodes, Yesus dan murid-murid-Nya
pindah ke Galilea. Di situ kota kecil Kapernaum untuk sementara waktu
menjadi basis-Nya.
Dari Kapernaum Yesus mempermaklumkan “Kabar Gembira”
(Ueuanggelionn/“Injil”). Isi Injil itu dirumuskan dengan ketat-jelas oleh
Markus: “Sesudah Yohanes ditangkap, datanglah Yesus ke Galilea mem-
beritakan Injil Allah, kata-Nya: ‘Waktunya telah genap, Kerajaan Allah
sudah dekat, bertobatlah dan percayalah kepada Kabar Gembira!’” (Mrk.
1:15). Yesus berseru agar orang bertobat karena Kerajaan Allah sudah
dekat. Apa yang dimaksud oleh Yesus?
Pertanyaan itu juga membakar hati para murid Yesus dan hati
orang yang mendengarkannya. Sejak ratusan tahun bangsa Israel sudah
menunggu kedatangan Sang Penebus yang diramalkan oleh para nabi,
yang diharapkan akan mendirikan kembali kerajaan Daud sebagai berkah
bagi semua bangsa di dunia. Apa maksud Yesus bahwa janji ini akan
terpenuhi sekarang? Apakah Yesus akan mendirikan kembali kerajaan
Daud itu?
Yesus tidak memberikan penjelasan teoretis. Yang dituntut-Nya
adalah agar manusia berubah, ya bertobat. Ia menegur ritualisme dan
kemunafikan para elit religius (yang dalam empat Injil adalah para
imam Yahudi, ahli Taurat, dan kaum Farisi). Ia mengecam mereka yang
menganggap diri lebih baik daripada orang lain (Luk 18:9-14).

87
Sekaligus la bergaul dengan siapa saja, termasuk dengan mereka
yang waktu itu oleh masyarakat Yahudi dianggap kurang sedap. Waktu
la ditegur mengapa la makan dan minum bersama orang-orang berdosa
itu Yesus menunjuk pada kata nabi Hosea (6:6): “Yang Kukehendaki ialah
belas kasihan dan bukan persembahan,” dan menambah: “Aku datang
bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Mat.
9:13). Yesus tidak datang untuk menghancurkan dan menghukum,
melainkan untuk menyelamatkan. “Buluh yang patah terkulai tidak
akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan
dipadamkan-Nya...” (Mat. 12:30).
Ketaatan pada hukum Taurat tidak lagi memadai. “Jika kebajikanmu
tidak lebih benar daripada kebajikan ahli-ahli Taurat dan orang-orang
Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga”
(Mat. 5:20). Yesus menuntut suatu perubahan hati. Ia memuji bahagia
mereka yang miskin, yang berdukacita, yang lemah lembut, yang haus
akan kebenaran, yang murah hati, yang membawa damai, yang dianiaya
demi kebenaran, yang difitnah dan dicela, ia menuntut kemurnian hati,
kebaikan hati, kesediaan untuk mengampuni, kepercayaan bahwa Bapa
di surga akan mendengarkan segala doa yang diajukan kepada-Nya, Ia
memperingatkan orang jangan sampai menghakimi, jangan khawatir
akan hari esok, jangan mengumpulkan harta — karena orang kaya sangat
sulit masuk Kerajaan Allah (Mat. 5-7; 19:24).
Tuntutan-tuntutan itu semua dirangkum Yesus dalam dua perintah
yang sudah termuat dalam Taurat dan yang merupakan inti segala
hukum Allah: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan
dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!” (Mat. 22:37-40). Karena
“Allah adalah kasih” (Yoh 1:8). Cinta kasih, dan itu berarti juga: belas
kasih (Mat. 9:13), itulah hukum Kerajaan Allah yang dibawa Yesus.

88
Yang langsung dirasakan oleh para pendengar adalah bahwa cara
Yesus mengajar adalah lain daripada semua guru lain. Yesus bicara
dengan wibawa: “Takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-
Nya, sebab ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti
ahli-ahli Taurat mereka” (Mat. 7:28s.). Tentang Allah Yesus bicara seperti
orang yang memang tahu. Ia berani menyebut Allah “Bapa” dan bahkan
mengajak para murid agar berdoa kepada “Bapa kami di surga” (Mat.
6:9). Siapa Allah itu dijelaskan Yesus dengan perumpamaan seorang
ayah yang anaknya memfoya-foyakan warisannya, akhirnya kembali ke
rumah ayahnya supaya dipekerjakan sebagai hamba saja, ternyata malah
sudah ditunggu ayah, dicium, dirangkul, dan dipestakan (Luk. 15:11-32).
Allah boleh disebut Bapa karena kasih seorang bapak adalah inti hati-
Nya. Maka Kerajaan Allah tak lain adalah kekuasaan kasih seorang bapak
tanpa batas. Tanpa kecuali. Kasih itu terentang kepada siapa pun. Karena
itu Yesus berulang kali mengingatkan (misalnya Mat. 18:35) bahwa
hanya orang yang keras hati tidak dapat diampuni oleh Bapa di surga.
Bukan karena Bapa di surga tidak mau, melainkan karena kekerasan hati
menutup orang terhadap kasih Bapa yang tetap terentang kepadanya. Kita
harus bersedia memaafkan orang lain “bukan 7 kali, melainkan 77 kali “
(Mat. 18:22).
Tetapi Yesus tidak hanya bicara. Orang-orang merasakan bahwa
bersama Yesus datanglah keselamatan. Orang lumpuh yang bertemu
dengan Yesus dan percaya bisa berjalan, orang tuli mendengar lagi, orang
buta dapat melihat. Kehadiran Yesus menyembuhkan. Mereka yang
kerasukan setan dibebaskan dari padanya.34 Dan waktu massa rakyat yang
mengikuti Yesus terancam kelelahan, Yesus memperbanyak beberapa
potong roti yang dibawa seorang pemuda agar semua dapat makan
sampai kenyang.
34 Gejala “kerasukan setan” menurut tiga Injil sinoptik sangat luas terdapat dalam masyarakat waktu
itu. Apakah itu setan sesungguhnya, apakah itu roh-roh, apakah itu istilah untuk gejala penyakit
psikis kita tidak tahu. Yang dilaporkan dalam Injil adalah bahwa orang yang “kerasukan” itu jadi
disembuhkan.

89
Perbanyakan roti ini ada buntutnya (lib. Yoh. 6:14-21). Massa yang
telah menjadi kenyang mau mengangkat Yesus menjadi raja. Agar murid-
muridnya tidak terbawa juga, Yesus menyuruh mereka masuk perahu
menyeberang danau Galilea mendahului-Nya. Ia sendiri menarik diri ke
gunung untuk berdoa. Di tengah malam, Yesus tahu bahwa para murid
masih di tengah danau menghadapi kesulitan karena angin yang keras,
maka Ia segera menyusul mereka — dengan terpaksa berjalan di atas
air! Kali lain Yesus tidur di buritan perahu padahal ada angin besar; para
murid yang panik membangunkan Yesus, lalu la memerintahkan angin
untuk mereda, dan angin mereda (Mrk. 4:36-41). Ada tiga berita dalam
Injil bahwa Yesus menghidupkan kembali orang yang sudah mati.35
Orang-orang merasakan bahwa dengan Yesus ada keselamatan
masuk di antara mereka. “Mereka takjub dan tercengang dan berkata:
‘Ia menjadikan baik segala-galanya”’, “roh-roh jahat pun diperintah-Nya
dan mereka taat kepada-Nya” (Mrk. 1:27; 7:37). Sepertinya Kerajaan
Allah yang diproklamasikan Yesus datang dalam Yesus sendiri. Waktu
Yohanes Pembaptis dari penjaranya menanyakan: “Engkaukah yang akan
datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” Yesus menjawab:
“Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan
kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta
menjadi tahir, orang tuli men dengar, orang mati dibangkitkan, dan
kepada orang miskin diberitakan kabar baik. Dan berbahagialah orang
yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku” (Mat. 11:3-6).
35 Mukjizat-mukjizat alam Yesus — berjalan di atas air, meredakan angin, apalagi menghidupkan
kembali orang mati — oleh banyak ahli Kitab Suci dianggap ciptaan umat saja. Barangkali. Tetapi
barangkali juga betul-betul terjadi. Mukjizat-mukjizat yang sulit dipercayai itu scbenarnya bisa
dimengerti — dan bukankah pada Allah tak ada hal yang mustahil? Yesus disalahpahami apabila
dianggap tukang bikin mukjizat yang seenaknya dapat melakukan hal-hal ajaib. Yesus manusia
biasa. Tetapi berhadapan dengan orang dalam kesusahan, sepertinya Yesus tidak bisa angkat
bahu, Ia datang dengan keselamatan dan kesembuhan yang menjadi hakikat-Nya: waktu murid-
murid sendirian penuh frustrasi di perahu Yesus datang, terpaksa harus berjalan di atas air; waktu
mereka ketakutan akan tcnggelam, Yesus menenangkan angin; dalam tiga penghidupan kembali
— putri Yairus, anak janda di Naim, Lazarus — selalu ada orang yang amat kesusahan karena
kematian itu, maka Yesus berbelas kasih mengembalikan dia yang dicintai itu.

90
Namun ada juga mereka yang tidak dapat menerima Yesus. Yang
betul-betul mengagetkan — dan segera menimbulkan permusuhan
para elit religius Yahudi — adalah bahwa Yesus mengatakan hal-hal
yang hanya boleh dikatakan oleh Allah sendiri. Kepada seorang lumpuh
Yesus mengatakan: “Dosamu sudah diampuni!” hal mana mendapat
reaksi keras dari para ahli Taurat: “Mengapa orang ini berkata begitu?
la menghujat Allah. Siapa yang dapat mengampuni dosa selain daripada
Allah sendiri?” (Mrk. 2:5-7). Waktu Yesus mengatakan kepada seorang
perempuan yang mencuci kaki-Nya dengan tetes tangisannya: “Dosamu
sudah diampuni” la mendapat reaksi: “Siapakah la ini sehingga la dapat
mengampuni dosa?” (Luk. 7:48 s.).
Siapakah Dia ini? Waktu orang-orang Farisi marah karena murid-
murid Yesus memetik bulir gandum di pinggir jalan pada hari Sabat,
Yesus mengatakan: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan
manusia untuk hari Sabat, jadi Putra Manusia adalah juga Tuhan atas
hari Sabat” (Mrk. 2:23-28). “Putra Manusia” adalah sebutan Yesus tentang
diri-Nya sendiri. Yesus Tuhan atas hari Sabat! Dengan menunjuk pada
Daud yang bersama dengan para pengikutnya kelaparan, lalu makan
roti suci dari rumah Allah yang hanya boleh dimakan oleh para imam,
Yesus mengatakan kata luar biasa: “Aku berkata kepadamu: Di sini
ada yang melebihi bait Allah” (Mat. 12:6). Yesus melebihi bait Allah!
Begitu pula Yesus menolak peraturan dalam Taurat bahwa makan tanpa
membasuh tangan membuat orang menjadi najis hal mana oleh penulis
Injil dikomentari: “Dengan demikian Yesus menyatakan semua makanan
halal” (Mrk. 7:19).
Secara rutin Yesus bicara seakan-akan la memiliki wewenang
Allah sendiri. Dalam khotbah di gunung, enam kali Yesus melawankan
maklumat-Nya sendiri terhadap apa yang difirmankan dalam Taurat
padahal Taurat merupakan Hukum Allah bagi Israel: “Kamu telah

91
mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita.... Tetapi Aku
berkata kepadamu...”36 Sulit dibantah bahwa Yesus di sini menempatkan
diri sederajat dengan Allah Pemberi Taurat. Kalau para nabi bicara atas
nama Allah, maka Yesus bicara atas nama-Nya sendiri.37 la bicara dengan
suatu wibawa yang tak ada nabi yang berani melakukannya. Pengajarannya
suka dibuka dengan kata “Amin”: “Amin, Aku berkata kepadamu.. .” (Mat.
5:18). Dalam empat Injil Yesus dikutip 74 kali memakai permulaan itu
(Ziircher III, 570). Dalam bahasa Indonesia: “Sesungguhnya, Aku berkata
kepadamu”.38 Padahal memulai suatu pernyataan dengan “Amin” berarti
bahwa si pembicara menuntut dari para pendengar kesediaan untuk
menerima apa saja yang akan dikatakan dengan percaya (mengamini)
tanpa ragu. Jadi kebenaran yang diwartakan Yesus bukan untuk di’
pertimbangkan atau didiskusikan, melainkan untuk diterima. Tetapi
hanya ada satu yang berhak menuntut ketaatan mutlak begitu saja, Allah
sendiri. Kuasa yang dirasakan para pendengar dalam ajaran Yesus adalah
bahwa la bicara dengan wibawa Allah.
Dalam Injil Yohanes Yesus mengatakannya secara terbuka: “Aku
dan Bapa adalah satu” (Yoh. 10:30). Lain kali Yesus bersabda: “Akulah
terang dunia; barangsiapa mengikuti Aku, ia tidak akan berjalan dalam
kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup” (Yoh. 8:12). Tak
mungkin orang yang hanya nabi bicara seperti itu. Karena itu Yesus dapat
mengatakan: “Amin, amin, Aku berkata kepadamu: barangsiapa menuruti
firman-Ku, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya” (Yoh.
8:51). Bukan hanya di Injil Yohanes Yesus mengatakan secara terbuka

36 Di bab 5, ayat 21 dan 22; 27 dan 28; 31 dan 32; 33 dan 34; 38 dan 39; dan 43 dan 44.
37 Bandingkan juga panggilan para nabi dengan panggilan Yesus. Yesaya (Yes. 6:8s.) dan Yeremia
(Yer. 1:4-8) diutus untuk menyampaikan Sabda Alilah kepada bangsa Israel, tetapi Yesus, sesudah
dibaptis oleh Yohanes, diperkcnalkan sendiri sebagai “Putra-Ku yang terkasih” (Mrk. 1:11).
38 Dalam bahasa Yunani asli: Amen lego hymin, Inggrisnya: Truly, I tell you. Yang aneh adalah bahwa
dalam terjemahan resmi Protestan ke dalam bahasa Indonesia (oleh Lembaga Alkitab Indonesia
2001, diterima juga oleh Katolik) kata “amen” tidak diterjemahkan sama sekali, melainkan
dibiarkan kosong (hanya: “Aku berkata kepadamu”).

92
siapa ia. Injil Matius melaporkan ucapan Yesus ini: “Semuanya telah
diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorang pun mengenal
Putra selain Bapa, dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Putra dan
orang yang kepadanya Putra itu berkenan menyatakannya” (Mat. 11:27).
Yesus memang anak Maria, tetapi Ia Putra Allah.
Dengan demikian sudah semakin jelas dalam arti apa Kerajaan
Allah sudah dekat. Yesus sendiri memberikan petunjuk: “Jika Aku
mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan
Allah sudah datang kepadamu” (Mat. 12:28). Kerajaan Allah datang
dalam diri Yesus sendiri. Karena Yesus sendiri dari Allah. Maka barang
siapa mengikuti Yesus dia sudah berada dalam Kerajaan Allah. Karena
itu Yesus dapat mengatakan: “Sekarang berlangsung penghakiman atas
dunia ini: sekarang juga penguasa dunia ini akan dilemparkan ke luar”
(Yoh. 12:31). Dalam Yesus, Allah sendiri mulai merajai dunia dan siapa
pun diundang masuk ke dalamnya. Kerajaan Allah adalah kerajaan kasih
sayang dan belas kasihan.

4.5. Yesus Ditolak dan Dihukum Mati

Namun sudah sejak semula Yesus mengalami penolakan. Elit religius


segera curiga dengan Yesus. Mereka tidak dapat menerima bahwa Yesus
mengalahkan hukum Sabat demi berbelas kasih dan menyembuhkan
orang, bahwa Ia mengabaikan rincian peraturan Taurat tentang ke-
bersihan ritual, bahwa ia bergaul akrab dengan orang yang dianggap
pendosa, bahwa ia mengampuni dosa.
Klaim yang implisit dalam pewartaan Yesus, bahwa cinta dan belas
kasihan mengalahkan hukum, bahwa Allah adalah Bapa di surga yang
merentangkan kasih-Nya kepada siapa saja tanpa kecuali, mengancam
kedudukan mereka. Yang paling menantang mereka: si Yesus dari Nazaret
itu berani bicara atas nama dan dengan wibawa Allah. Dalam Injil

93
kelihatan bagaimana perlawanan terhadap Yesus terus memformasikan
diri.
Tetapi maklumat Yesus tidak hanya menantang elit, melainkan juga
orang-orang biasa. Harapan mereka agar Yesus mengembalikan kerajaan
Daud tidak dilayani Yesus. Kerajaan Allah yang dipermaklumkan Yesus
bukan suatu kerajaan politik, melainkan Kerajaan Allah di hati orang
yang bertobat. Untuk mencegah disalahpahami secara politis, Yesus
tegas-tegas melarang disebut Almasih (Mrk. 8:29 s.). Dalam bab 6 Injil
Yohanes diceritakan apa yang sering disebut krisis Gali lea: Sesudah Yesus
memperbanyak roti, massa mau mengangkat-Nya menjadi raja dan
menuntut “tanda” (6:30), suatu sindiran agar la mengulangi penggandaan
roti. Tetapi Yesus menjawab: “Akulah roti hidup; barangsiapa datang
kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku,
ia tidak akan haus lagi.... Akulah roti hidup yang telah turun dari surga...”
(Yoh. 6:35.51). Maka orang-orang, termasuk dari di antara murid-murid-
Nya, meninggalkan-Nya. Keluh mereka: “Kata-kata ini keras, siapakah
yang sanggup mendengarkan-Nya?” (Yoh. 6:60). Sampai Yesus bertanya
pada kedua belas rasul: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Dalam
situasi kritis ini, Petruslah yang menemukan kata-kata indah: “Tuhan,
kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup
yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu bahwa Engkaulah Yang
Kudus dari Allah” (Yoh. 6:68 s.). Meski belum memahami Yesus, mereka
percaya kepada-Nya.
Yesus sendiri semakin menyadari apa yang akan dialami-Nya di
Yerusalem. Nabi Elia dulu dikejar-kejar, nabi Yeremia dan Yohanes
Pembaptis dibunuh. Maka Ia mencoba untuk mempersiapkan murid-
murid terdekat-Nya: “Putra Manusia akan harus menderita banyak
dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat, lalu
dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari” (Mrk. 8:31). Tetapi “mereka tidak

94
mengerti” (Mrk. 9:32). Petrus yang menegur Yesus karena bicara-Nya itu,
oleh Yesus dimarahi keras (Mrk. 8:33). Mereka belum mengerti bahwa
kesetiaan Yesus sebagai hamba Allah termasuk kesediaan untuk dizalimi
dan dibunuh.
Akhirnya Yesus sepertinya mengambil inisiatif. Menj elang peraya-
an paskah (tahun 31 atau 30 M) Yesus naik ke Yerusalem. Di perbatasan
kota ia mengizinkan diri disambut meriah oleh rakyat dengan seruan
"Terpujilah yang datang, sang Raja dalam nama Tuhan”. Teguran beberapa
orang Farisi ditolak Yesus: “Aku berkata kepadamu: Jika mereka ini diam,
maka batu ini akan berteriak” (Luk. 19:38-40). Yesus langsung masuk ke
Bait Allah dan, tak ada kata lain, membuat gaduh: Ia membikin cambuk
dan mengusir segala macam pedagang dan penukar uang yang mengisi
pelatarannya (Luk. 19:45 s., Mat. 21:12 s.). Ketegangan meninggi terus.
Para imam kepala mempertanyakan wewenang Yesus untuk bertindak
demikian. Yesus menjawab dengan meramalkan bahwa Bait Allah akan
dihancurkan: “Tidak satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu
yang lain; semuanya akan diruntuhkan” (Luk. 21:6).
Keempat Injil menceritakan apa yang kemudian terjadi. Sudah
dalam suasana krisis Yesus rnasih merayakan perjamuan pra-Paskah
bersama kedua belas rasul, lalu, di malam hari, mereka pergi ke Taman
Zaitun untuk berdoa. Di situ Ia ditangkap oleh serombongan petugas dan
dibawa ke rumah imam agung. Di situ Yesus diperiksa oleh para tua-tua,
imam-imam kepala, dan ahli-ahli Kitab. Atas pengakuan Yesus bahwa
Ia memang Almasih, Ia dipersalahkan menghujat Allah dan dijatuhi
hukuman mati. Karena hanya gubernur Roma, Pontius Pilatus, berhak
menjatuhkan hukuman mati, dan hukum Romawi tidak menggubris
hukum masing-masing kelompok agama, maka Yesus dituduhkan pada
Pilatus sebagai pelaku persiapan makar. Pilatus sebenarnya tidak yakin
akan kesalahan Yesus, tetapi di bawah tekanan keras para pemimpin

95
Yahudi ia akhirnya menjatuhkan hukuman mati pada Yesus dengan
tuduhan “mau menjadi raja”. Yesus didera dan kemudian disalib, sesuai
dengan kebiasaan Romawi, dan di salib Yesus mati.
Ada baiknya kita perhatikan apa arti kematian Yesus di salib.
Saya mengutip Albert Keller (Keller, 165): “Suatu akhir kehidupan dan
karya Yesus yang lebih hina dan lebih kejam hampir tak bisa dipikirkan.
Bangsa-Nya sendiri menuntut penyaliban-Nya dan menyerahkan-Nya,
murid-murid-Nya meninggalkan-Nya, Ia dikhianati dan disangkal, para
prajurit mendera-Nya, mengejek-Nya dengan memahkotai-Nya dengan
duri-duri, akhirnya Ia disalib di antara dua penjahat. Di salib orang-
orang mengejek-Nya, di antaranya para imam kepala, ahli-ahli Kitab, dan
para tua-tua. Tetapi Yesus meneriakkan perasaan ditinggalkan oleh Allah
dengan memakai Mazmur 22:2: ‘Eli, Eli, lama sabakhtani?’, yang berarti:
‘Ya Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku, sebelum
ia meninggal (Mat. 27:38-46). Kematian itu dalam mata saudara-saudara
seiman Yahudi teramat hina ”
Bagi murid-murid-Nya, kematian Yesus tak kurang sebuah mala-
petaka. Kecuali barangkali Yohanes (bdk Yoh. 19:26) semua meninggal-
kan-Nya. Bukan merekalah yang kemudian membawa tubuh Yesus ke
makam, melainkan dua murid lain bersama beberapa wanita. Para murid
bersembunyi di belakang pintu terkunci (Yoh 20:19; Mrk. 16:10). Bagi
mereka Yesus gagal. Harapan bahwa Ialah yang akan menebus bangsa
Israel pupus (bdk. Luk 24:21). Bagi mereka Yesus adalah satu lagi dari
sederetan nabi yang ditolak. Suatu impian indah telah menguap.

4.6. Yesus Dibangkitkan dari Kematian

Dengan kematian Yesus di salib seharusnya gerakan Yesus berakhir.


Tetapi ternyata gerakan Yesus tidak berakhir, melainkan justru mulai.
Pada permulaan gerakan Yesus itu bukan para rasul yang diangkat Yesus,

96
melainkan beberapa wanita — seperti diceritakan dalam keempat Injil
— pada pagi hari kedua sesudah Yesus dieksekusi, pergi ke makam Yesus
untuk menjebati jenazah-Nya. Namun yang mereka temukan bukan
jenazah Yesus, melainkan makam yang kosong. Di dalam ruang makam,
mereka disapa oleh dua malaikat yang mengatakan bahwa Yesus sudah
bangkit, dan di luar makam, Yesus sendiri menampakkan diri kepada
mereka. Waktu mereka menceritakan pengalaman itu kepada para rasul,
mereka tidak dipercaya (Luk. 24:11; Mrk. 16:11).
Para rasul baru percaya waktu Yesus juga menampakkan diri kepada
mereka. Dalam suratnyayangpertamakepada umat Korintus (IKor. 15:3-
8), Paulus menyebutkan penampakan-penampakan terpenting: Pertama
kepada Petrus, kemudian kepada semua sebelas rasul, lalu sekali kepada
500 orang, lalu kepada kesebelas rasul lagi, akhirnya kepada Paulus
sendiri. Penampakan kepada para wanita tidak disebut, rupa-rupanya
karena dalam agama Yahudi perempuan tak bisa menjadi saksi.
Penampakan-penampakan itu menyebabkan suatu perubahan luar
biasa dalam para rasul. Mereka yang sebelumnya takut dan tidak mau
percaya, sekarang berani membuka pintu. Di bawah hidung para pimpinan
Yahudi yang baru saja menyalibkan Yesus, mereka mempermaklumkan
bahwa “la, Sang Pemimpin Kehidupan, telah kamu bunuh, tetapi Allah
telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, dan tentang hal itu
kami adalah saksi” (Kis. 3:15). Dan waktu mereka lalu ditangkap dan
dilarang bicara, mereka menjawab dengan suatu kalimat yang termasuk
kalimat paling agung yang pernah diucapkan manusia: “Kita harus lebih
taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis. 5:29). Keyakinan bahwa
Yesus adalah Sang Penebus begitu kuat sehingga mereka membawa Kabar
Gembira itu ke mana-mana: ke luar dari Yerusalem, ke seluruh Yudea,
dan lebih jauh “sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8). Mereka akan berani
mati bagi keyakinan mereka itu.

97
Dari mana perubahan itu? Perubahan itu bukan hanya karena mere-
ka melihat Yesus hidup. Ada sesuatu dalam hati mereka yang berubah.
Mereka sendiri mengatakannya: Dari Yesus yang bangkit mereka meneri-
ma sesuatu: Roh Kudus (Luk. 24:4; Yoh. 20:22). Roh Kudus itu membuka
hati mereka sehingga mereka mengerti apa yang mereka saksikan serta
berani untuk mempermaklumkannya, bahkan dengan risiko dibunuh
— seperti Yesus. Dalam Injil, Roh Kudus disebut anugerah dari Yesus
yang bangkit. Yesus sendiri naik ke surga, tetapi melalui Roh, Yesus tetap
ada dalam hati mereka. Mereka menjadi ingat akan apa yang dikatakan
Yesus pada malam sebelum la ditangkap: “Sang Penghibur, yaitu Roh
Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan
mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu
akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yoh. 14:26).
Penerimaan Roh Kudus bagi mereka bukan suatu ajaran, melainkan
suatu pengalaman dahsyat. Pada hari Pentakosta, umat mengalami
kedatangan Roh Kudus seperti lidah-lidah api yang turun ke atas mereka
(Luk. 2). Orang merasakan turunnya Roh Kudus waktu mereka dibaptis
(mis. Kis. 19:6) dan ada yang bahkan sudah dipenuhi Roh Kudus sebelum
jadi dibaptis (Kis. 10:44-6).39 Paulus bisa mengingatkan umat Galatia
pada pengalaman itu (Gal. 3:2). Dalam pengalaman turunnya Roh Kudus,
komunitas pertama para pengikut Yesus itu mengalami pemenuhan
janji Yesus: “Kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, kamu akan menjadi
saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke
ujung bumi” (Kis. 1:8). Hukum Allah yang dibawa oleh Yesus, Sang Musa
baru, tidak lagi ditulis di atas dua loh batu, melainkan ke dalam hati para
beriman oleh Roh Allah sendiri (bdk. Yer. 31:33).

39 Gerakan Karismatik — salah satu gerakan religious revival paling mengesankan sejak pertengahan
abaci ke-20 yang mulai dalam gerakan Gereja-Gereja Protestan Pentakosta, tetapi juga masuk ke
Gereja Katolik dan memperkaya penghayatan imannya — berusaha menghayati kedatangan Roh
Kudus dalam hati mereka yang beriman.

98
4. 7. Sisipan: Dapatkah Kesaksian Paskah Dipercayai?

Kebangkitan Yesus bukan suatu peristiwa yang dapat dibuktikan. Bukti


bahwa Lazarus dihidupkan kembali oleh Yesus (Yoh. 11:43 s.) adalah
Lazarus sendiri. Tetapi Yesus tidak kembali ke hidup biasa di dunia. Yesus
yang bangkit memang Yesus yang disalibkan, yang bekas luka-Nya jelas
kelihatan, tetapi la hidup dalam alam seberang, suatu kehidupan yang
mengatasi keterbatasan ruang dan waktu.
Yang merupakan fakta historis-empiris adalah pernyataan beberapa
wanita dan murid-murid Yesus bahwa mereka melihat Yesus, Yesus yang
baru saja disalibkan, dalam keadaan hidup dan mulia.40 Apakah kesaksian
mereka — seperti diceritakan dalam empat Injil dan diyakini dalam
seluruh PB — dapat dipercayai?
Penjelasan mereka yang menolak kesaksian para murid Yesus
adalah sederhana: Para murid amat sedih dengan penghukuman mati
Yesus. Mereka tidak bisa menerima bahwa guru tercinta gagal begitu
saja. Maka lama-kelamaan mereka semakin yakin bahwa tak mungkin
Allah membiarkan Yesus mati, bahwa la tetap masih hidup di sisi Allah.
Akhirnya mereka mengimajinasikan bahwa mereka bertemu dengan
Yesus itu. Jadi Yesus yang bangkit sekadar imajinasi hati yang kecewa?
Tetapi apakah penjelasan ini masuk akal? Keempat Injil melaporkan
bahwa para murid putus asa. Ada yang meninggalkan Yerusalem (Luk.
4:13 ss.) dan sebagian murid rupa-rupanya malah kembali ke Galilea
(Mat. 28:16; Yoh 21). Yang dikatakan dua murid yang meninggalkan
Yerusalem kepada seorang teman seperjalanan — yang ternyata Yesus
sendiri, namun tidak mereka sadari — mengungkapkan suasana

40 Makam kosong juga merupakan fakta, namun tentu tidak membuktikan apa-apa. Bahkan
andaikata tidak ada makam kosong, itu tidak akan membuktikan bahwa Yesus tidak bangkit.
Tubuh Yesus yang bangkit bukan perpanjangan tubuh fisik (beda halnya dengan Lazarus yang
dihidupkan kembali oleh Yesus, Yoh. 11), melainkan tubuh dalam dimensi keabadian, dan tubuh
itu tidak punya kaitan dengan unsur-unsur fisiko-kimia tubuh kita di dunia ini. Unsur-unsur itu
ditinggalkan untuk selamanya.

99
mereka; “Kami dahulu mengharapkan bahwa Dialah yang datang untuk
membebaskan bangsa Israel. Tetapi sementara itu telah lewat tiga hari,
sejak semuanya itu terjadi.” Murid-murid itu menganggap Yesus telah
gagal — sama seperti sekian nabi sebelumnya yang juga gagal. Karena itu,
waktu ada beberapa wanita menceritakan bahwa mereka melihat Yesus,
mereka menganggapnya “omong kosong” (Luk. 24:11). Apalagi dalam
agama Yahudi sama sekali tidak dikenal paham orang yang sudah ke luar
dari dunia ini menampakkan diri kembali. Tak ada alasan apa pun untuk
mengarang sesuatu yang sedemikian asing bagi mereka sendiri.
Yang menjadi fakta sejarah adalah bahwa murid-murid Yesus yang
ketakutan dan sebagian pulang ke Galilea secara mendadak menjadi
yakin seyakin-yakinnya bahwa Yesus hidup dan menjadi penjamin
keselamatan mereka. Perubahan mendadak dari takut dan putus asa
menjadi keyakinan gembira penuh keberanian bahwa Yesus hidup di
sisi kanan Allah mau dijelaskan bagaimana kalau bukan karena mereka
mengalami sesuatu yang memastikan bahwa Yesus ternyata hidup, hidup
dalam kemuliaan?
Ada sesuatu yang mencolok dalam berita-berita Injil tentang
penampakan-penampakan Yesus, yaitu bahwa penampakan-penampakan
itu tidak mengikuti suatu logika. Berita-berita itu malah tidak gampang
dicocokkan satu sama lain. Justru itulah petunjuk bahwa berita-berita itu
tidak dikarang. Andaikata dikarang belakangan, bisa dipastikan bahwa
ditulis dalam suatu urutan yang logis dan jelas. Tetapi berita-berita dalam
empat Injil tidak gampang diharmonisasikan. Justru itulah petunjuk
keasliannya. Itu yang dialami para saksi, itu yang diberitakan, dan baru
jauh belakangan disadari bahwa harmonisasi sulit. Dari empat Injil cukup
jelas bahwa para saksi menyatakan: “Kami melihat Tuhan!” bukannya
karena mereka tetap percaya kepada Yesus, melainkan mereka sebaliknya
menjadi percaya karena melihat Yesus.

100
Namun, barangkali unsur yang paling kuat bahwa berita-berita
tentang penampakan Yesus yang mulia tidak mungkin dikarang adalah
bahwa semua empat Injil melaporkan bahwa yang pertama kali melihat
Yesus yang bangkit adalah beberapa perempuan. Padahal dalam seluruh
PB perempuan hampir tidak memainkan peranan apa pun. Kekecualian
hanyalah Lukas bab 1 dan 2 di mana Maria muncul sebagai Ibu Yesus. Itu
bisa dimengerti. Budaya Yahudi sangat patriarkal. Yang terhitung adalah
laki-laki (bandingkan misalnya Mrk. 6:44). Hanya laki-laki bisa menjadi
saksi di pengadilan. Suatu penampakan terhadap perempuan dianggap
sedemikian tidak relevan sehingga Paulus mendiamkannya dalam daftar
penampakan (IKor. 15). Andaikata penampakan-penampakan Yesus
dikarang belakangan, tak mungkin dikarang bahwa Yesus menampakkan
diri pertama-tama kepada perempuan. Bahwa perempuanlah saksi
pertama yang diperintahkan “mewartakan kepada murid-murid-Nya: la
telah bangkit dari orang-orang mati” (Mat. 28:7), jadi dipanggil menjadi
saksi pertama kebangkitan, hanya masuk akal ditemukan dalam semua
empat Injil karena memang perempuan-perempuan itulah orang pertama
yang melaporkan pengalaman melihat Yesus yang bangkit kepada para
rasul. Andaikata kisah penampakan itu karangan belaka, tak pernah para
wanita itu akan masuk ke dalam kisah-kisah kebangkitan.
Kalau orang memang tidak memercayai kesaksian para wanita dan
murid-murid Yesus bahwa Yesus yang mati di salib menyatakan diri
sebagai hidup, ia tentu tidak dapat dipaksa. Tetapi bagaimana andaikata
Yesus betul-betul bangkit? Andaikata apa yang ditulis dalam empat Injil
memang terjadi? Andaikata beberapa wanita yang amat sedih, kemudian
murid-murid terdekat Yesus yang merasa terpukul karena kematian
guru mereka di salib dua hari sebelumnya, betul-betul bertemu dengan
Yesus itu, Yesus yang mereka kenal, tetapi sekarang dalam suasana mulia?
Kesegaran kisah-kisah penampakan, tanpa usaha harmonisasi, laporan
mengherankan bahwa yang pertama kali melihat Yesus Tuhan adalah

101
perempuan, perubahan para murid yang dari ragu-ragu dan ketakutan
sampai mereka mempermaklumkan penuh keberanian bahwa Yesus
adalah Tuhan di depan muka para penguasa yang baru saja membunuh
Yesus: Itu semuanya sangat lebih masuk akal kalau itu bukan karangan
belakangan, melainkan berita tentang apa yang betul-betul terjadi.

4.8. Kabar Gembira: Iman Umat Awal

Mari kita sekarang melihat iman yang tumbuh di hati Umat Awal yang
mengalami bahwa Yesus bangkit dari mati. Dulu mereka mengikuti Yesus
penuh kagum dan harapan, tetapi tanpa mengerti. Sekarang — dalam
cerah Roh Kudus — mereka mengerti. Seperti dijelaskan Yesus sendiri
kepada dua murid yang putus asa pergi ke Emaus: <KHai kamu orang
bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala
sesuatu yang telah dikatakan para nabi!’ Lalu Ta menjelaskan kepada
mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci...” (Luk.
24:26 s.).
Mereka menyadari bahwa apa yang dialami Yesus sebenarnya sudah
ditunjukkan dalam PL. Mereka mengerti bahwa Kerajaan Allah yang
dipermaklumkan Yesus bukan suatu kerajaan politik, melainkan tak lain
Kerajaan Allah di hati manusia yang mengikuti Yesus. Kalau pun Kerajaan
Allah akan digenapkan pada akhir zaman, namun dalam Yesus Kerajaan
Allah sudah datang. Dalam Yesus sendiri, manusia ditawari keselamatan
karena Yesus adalah “jalan, kehidupan, dan kebenaran” (Yoh 14:6). Karena
itu, mereka tidak lagi takut terhadap kematian. Mereka memahami bahwa
Yesus adalah “Musa baru’ (Kis. 3:22; Ul. 18:15.19). Tetapi kalau tentang
Musa pertama ditetapkan: “Muka-Ku tidak dapat kaulihat” (Kel. 33:22),
maka Yesus, Musa baru, adalah muka Allah: “Filipus, siapa yang melihat
Aku, melihat Bapa” (Yoh. 14:9). Mereka sadar bahwa Yesus datang dari
Allah, bahwa la adalah “Sabda Allah” (Yoh. 1:1), “Putra Tunggal Allah,

102
yang ada di pangkuan Bapa” (Yoh. 1:18), sang Immanuel (Mat. 1:23),
“Allah bersama kita”
Akhirnya mereka juga mengerti mengapa Yesus “harus” (Luk.
24:26) menderita dan mati di salib. Mereka memahami bahwa Yesus
adalah Hamba Allah yang diramalkan Nabi Yesaya, yang “menanggung
dosa banyak orang” (Yes. 53:12). Mereka sadar bahwa kematian Yesus di
salib bukan suatu kegagalan, melainkan pengurbanan yang memberikan
kehidupan bagi mereka yang mengikuti-Nya. Mereka juga sadar bahwa
Yesus, meski telah “naik ke surga” (Luk. 24:11; Kis.l:9), tetap bersama
mereka dan “menyertai” mereka “sampai kepada akhir zaman” (Mat.
28:20) karena mereka merasakan kekuatan Roh Kudus yang dijanjikan-
Nya.
Keyakinan umat pertama itu terungkap dalam sekian sebutan.
Yesus sendiri menamakan diri “Putra Manusia” suatu acuan pada “Putra
Manusia” yang di kitab nabi Daniel (7:13) dipermaklumkan sebagai
pembawa keselamatan di akhir zaman. Dalam cahaya kebangkitan umat
di Yerusalem menyebut Yesus “Kurios”, “Tuhan”. Kata “Kurios” dipakai
dalam Septuaginta41 sebagai terjemahan dari kata “Adonai”, nama yang
dipakai sebagai ganti “Yehowa”, nama Allah yang paling suci. Dengan
disebut “Kurios” Yesus diakui sebagai Raja Ilahi. Karena umat meyakini
Yesus sebagai Sang Penyelamat yang dijanjikan dalam PL, la disebut
“Kristus” (Christos), “Yang diurapi oleh Allah”, terjemahan Yunani kata
“Almasih”, Sang Penyelamat. “Kristus” segera menjadi nama kedua Yesus,
Yesus Kristus, dan dalam waktu singkat para pengikut Kristus disebut
“Kristiani “ (Kis. 11:26).
Sangat dini Yesus juga disebut “Putra Allah” (huios tou theou).
Dalam PL “Putra Allah” juga dipakai bagi seluruh bangsa Israel, tetapi
juga bagi orang yang berada “dalam perhatian khusus Allah”, misalnya

41 Septuaginta adalah terjemahan resmi PL ke dalam bahasa Yunani yang sejak abad ke-2 SM
dipakai di kalangan Yahudi yang berbahasa Yunani.
raja Daud. Yesus sendiri menamakan diri “Putra” untuk mengungkapkan
hubungan khusus-Nya dengan Bapa di surga: “Tidak seorang pun
mengenal Bapa selain Putra dan orang yang kepadanya Putra itu
berkenan menyatakannya” (Mat. 11:27). Umat Kristiani memakai sebutan
itu dalam pengertian itu. Sebutan lain bagi Yesus adalah “Hakim orang
hidup dan mati” (Kis. 10:42), “Yang Kudus dari Allah” (Yoh. 6:69), “Juru
Selamat” (Yoh. 4:42), “Allah beserta kita” (“Imanuel”, Mat. 1:23). Bagi
umat Kristiani, sebutan-sebutan itu mengungkapkan iman mereka bahwa
Yesus adalah “dari Allah”.
Tetapi Yesus bahkan juga disebut “Allah” begitu saja: “Kita ada di
dalam Yang Benar, di dalam Putra-Nya, Yesus Kristus. Dia adalah Allah
yang benar “ (lYoh. 5:20; bdk. juga Yoh. 1:1; Rom. 9:5; Koi. 2:2; Ibr. 1:8-
10; 2Ptr 1:1). Karena itu umat Kristiani PB percaya bahwa Yesus sudah
ada sebelum segala zaman. Dalam Injil Yohanes, Yesus berkata “sebelum
Abraham jadi, Aku ada” (Yoh. 8:58). Surat kepada umat Ibrani (1:2)
menulis bahwa Allah “menjadikan alam semesta oleh Putra-Nya” dan
dalam surat kepada umat Kolose ditulis bahwa “segala sesuatu diciptakan
oleh Dia dan untuk Dia” (Koi. 1:16 s.). Keyakinan akan pre-eksistensi
Yesus itu juga terungkap pada permulaan Injil Yohanes dan dalam surat-
surat Paulus lain (IKor. 8:6; Koi. 1:15-20; Flp. 2:6).

4.9. Sisipan: Yesus Sendiri?

Berhadapan dengan sebutan-sebutan ini kita dapat bertanya: Apakah


Yesus sendiri pernah mengatakan bahwa ia adalah Allah? Dalam keempat
Injil, Yesus memang tak pernah mengatakan: “Aku ini Allah”. Tetapi bukan
itu yang menentukan. Yang menentukan adalah apa yang diperbuat dan
apa yang dipermaklumkan Yesus. Dan dalam hal ini keempat Injil jelas
sekali. Yesus bukan hanya melakukan hal-hal yang hanya boleh dilakukan
oleh Allah — seperti sudah kita lihat — melainkan Ia juga mengatakan

104
hal-hal yang hanya boleh dikatakan Allah, dengan penuh kesadaran.
Ia mengampuni dosa. Ia berkuasa membarui hukum Taurat. Ia berani
memulai pengajaran-Nya dengan tuntutan agar Ia mutlak dipercayai
sama seperti hanya Allah dapat menuntut-Nya: “Amin, amin, Aku berkata
kepadamu.”
Di sini juga dapat disebut pernyataan-pernyataan Yesus dalam Injil
Yohanes yang mulai dengan “Akulah... ”, misalnya “Akulah roti kehidupan”
(6:48); “Akulah cahaya dunia” (8:12); “Akulah dari atas, kamu dari dunia
ini, Aku bukan dari dunia ini” (8:23); “Akulah gembala yang baik” (10:11);
“Akulah kebangkitan dan hidup, barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan
hidup walaupun ia sudah mati...” (11:25); “Akulah jalan, kebenaran dan
hidup...” (14:6). Cara bicara seperti ini hanya pantas di mulut Allah.
Dalam semua empat Injil sangat mencolok bahwa yang akhirnya
menentukan bagi keselamatan seseorang adalah sikap yang diambilnya
terhadap Yesus. Mengikuti Yesus, itulah jalan keselamatan. Para murid
harus “mengakui” dan bukan “menyangkal” Yesus, mereka harus “memikul
salib mereka dan mengikuti” Yesus, dan “barangsiapa kehilangan nya-
wanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (Mat. 10:32. 38.39). Nabi
atau guru rohani mana yang akan berani mengatakan: “Marilah kepada-
Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan
kelegaan kepadamu” (Mat. 11:28)? Para nabi wajib mengantar para
pendengar kepada Allah, dan tidak pernah kepada diri mereka sendiri.
Tetapi Yesus mengantar mereka kepada diri-Nya sendiri karena Ia adalah
“Putra” yang “mengenal Bapa” (Mat. 11:27). Dan Thomas diizinkan Yesus
menyebut-Nya “Tuhanku dan Allahku” (Yoh. 20:28).
Bahwa Yesus menempatkan diri di tempat Allah justru ditangkap oleh
para lawannya. Sejak semula mereka menuduh Yesus sebagai penghujat,
bukan karena Ia mengatakan hal-hal yang tidak pantas tentang Allah,
melainkan karena Ia bicara seakan-akan Ia adalah Allah. Waktu Yesus

105
mengampuni dosa orang lumpuh, mereka bertanya: “la menghujat Allah.
Siapa yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah sendiri?” (Mrk.
2:7, begitu juga Luk. 7:49). Beberapa kali orang mengangkat batu untuk
melempari Yesus sebagai seorang penghujat (Yoh. 8:59; 10:31). Dan atas
tuduhan bahwa Yesus menghujat Allah, la dihukum mati oleh Mahkamah
Agama Yahudi (Mrk. 14:64).
Maka dalam keempat Injil jelas: Yesus mengatakan bahwa la dari
Allah. Tentu saja, orang dapat tidak memercayai klaim Yesus, la dapat
dianggap sebagai penghujat atau orang gila megalomania, tetapi mengakui
Yesus sebagai nabi dan sekaligus menyangkal klaim-Nya yang begitu jelas
diangkat sendiri dan bahkan disadari oleh lawan-lawannya, tidak masuk
akal.42
Ada yang bilang bahwa ketuhanan Yesus dikarang belakangan ke
dalam Injil-Injil itu. Tetapi tuduhan ini pun tak masuk akal. Justru karena
Yesus tak pernah langsung mengatakan “Aku ini Allah” atau “dari Allah”.
Andaikata ketuhanan Yesus hasil rekayasa, tentu akan dimasukkan kata-
kata di mana Yesus sendiri menyatakannya dengan jelas. Tetapi pernyataan
semacam itu justru tidak ada. Bahwa umat pengikut Yesus menjadi yakin
bahwa Yesus berasal dari Allah adalah berdasarkan sosok Yesus sendiri,
perbuatan, perkataan, sikap-sikap-Nya, baik dalam Injil-Injil sinoptik
maupun dalam Injil Yohanes yang begitu berbeda. Yesus secara konsisten
tampak bernapaskan “Aku dari Allah”. Bagaimana konsistensi sampai ke
semua detil itu mau direkayasa? Bahwa umat percaya pada Yesus sebagai
Putra dan Sabda Allah adalah karena sosok Yesus sendiri: memang itulah
Yesus.

42 Sebenarnya hanya ada dua pilihan berhadapan dengan Yesus: Yang satu: ia dianggap pendusta
atau megalomania (sakit jiwa dengan pandangan berlebihan tentang dirinya sendiri). Yang
satunya: Ta betul seorang nabi; tetapi kalau ia betul seorang nabi, maka apa yang dipermaklumkan
dan diperlihatkan tentang diri-Nya sendiri harus diterima, dan itu sangat jelas: Ia dari Allah, Ia
adalah Allah beserta kita.

106
Dalam bagian berikut kita akan melihat bagaimana Gereja, sering
dengan susah payah, berusaha untuk merumuskan dalam kata-kata apa
yang sejak permulaannya diimaninya itu.

4.10. Kristologi

Sosok Yesus dari Nazaret mesti menimbulkan pertanyaan. Di satu pihak,


la jelas seorang manusia “biasa”: la lahir dari seorang ibu yang diketahui,
la makan dan minum, tidur, capai, marah, bisa takut, dan tentu, la mati
(bdk. 4.3). Tetapi dalam cahaya Roh Kudus — yang dihadiahkan Yesus
sesudah kebangkitan-Nya — para pengikut Yesus menyadari: Yesus
bukan manusia biasa; dalam Yesus, Allah sendiri datang untuk menebus
umat manusia. Inti iman mereka adalah keyakinan bahwa manusia Yesus,
Putra Maria dari Nazaret, adalah Tuhan dan Putra Allah. Bagaimana ini
dapat dimengerti?
Segera juga muncul pertanyaan: Bagaimana mungkin Allah yang
satu, Allah Abraham, Isak, dan Yakub, yang juga Allah umat Kristiani,
sekaligus Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah Roh Kudus? Apakah ter-
nyata ada tiga Allah, seperti ada Brahma, Siwa, dan Wisnu? Pengertian
ini disebut triteisme. Atau sebaliknya sebutan “Bapa”, “Putra”, dan “Roh
Kudus” hanyalah tiga cara (modus) Allah yang mengungkapkan kekayaan
hakikat Ilahi — mirip dengan Islam di mana Allah disebut dengan 99
nama, tetapi hanya ada satu Allah dan 99 nama adalah cara bagaimana
manusia yang terbatas mengungkapkan kekayaan hakikat Allah? Pe-
ngertian ini disebut modalisme.
Triteisme sejak semula tegas-tegas ditolak Gereja. Di satu pihak tidak
ada tiga Allah, melainkan hanya ada satu Allah, Allah yang memanggil
Abraham, yang memilih Musa untuk membawa Israel ke luar dari Mesir,
dan yang mengutus Putra-Nya ke dunia. Di lain pihak, Putra dan Roh
Kudus bukan sekadar dua nama lain bagi Allah, melainkan merupakan

107
realitas dalam Allah sendiri, Allah (Bapa) tidak mengutus diri-Nya ke
dunia, melainkan Putra-Nya. Bagi Umat Awal jelas bahwa Allah tidak
total identik dengan Yesus. Yesus sendiri berdoa kepada Allah Bapa, jadi
menghadap Bapa. Begitu pula Roh Allah diutus oleh Allah, jadi tidak
sama dengan Allah Bapa yang mengutus-Nya. Usaha untuk merumuskan
bagaimana Yesus Kristus — dan juga Roh Kudus — dapat dimengerti
disebut Kristologi (dan Pneumatologi). Adalah Tertullianus (155-240),
seorang teolog dari Kartago (sekarang Tunisia), yang untuk pertama kali
membentuk kata (Latin) “trinitas” (tritunggal) bagi Allah yang diimani
umat Kristiani.
Sementara itu sudah pada abad pertama Masehi ada suatu gerakan
religius sinkretistik, yang masuk dari Timur yang disebut gnostisisme
atau gnosis (dari gnosis, pengetahuan) dan oleh Gereja dirasakan sebagai
ancaman. Gnosis mewarisi dualisme kuno Persia yang membagi realitas
ke dalam dunia rohani dan dunia jasmani, di mana dunia jasmani adalah
dunia penuh kekacauan. Menurut gnosis, manusia harus membebaskan
diri dari keterikatan terhadap apa pun yang jasmani dan itu ter jadi
dengan mencari pengetahuan (gnosis) yang benar. Gnostisisme masuk
ke dalam Kristianitas dengan nama doketisme (dari dokein, “kelihatan
saja”, “seakan-akan”). Doketisme menolak bahwa Sabda Allah betul-betul
menjadi manusia, karena dianggap tidak pantas. Menurut doketisme,
Yesus hanya kelihatan sebagai manusia, tetapi sebenarnya la roh. Maka
la juga tidak mati di salib43. Manusia tidak ditebus karena Yesus mati
bagi dosa-dosa manusia, melainkan dengan menerima ajaran esoteris
yang dibawa Yesus. Kecenderungan doketistik yang juga mencuat dalam
beberapa tulisan apokrif sudah ditolak dalam PB (lYoh. 4:3; 2Yoh. 7).
Gereja tetap pada keyakinan bahwa Yesus adalah manusia sungguh-
sungguh dan mati sungguh-sungguh di kayu salib.

43 Doketisme adalah latar belakang pelbagai kepercayaan bahwa Yesus Input dari kematian di salib,
bahwa yang disalib adalah hanya pura-pura Yesus dan sebenarnya orang lain.

108
Tetapi bagaimana Yesus sebagai manusia dan sekaligus Allah dapat
dipikirkan, dan bagaimana Allah bisa berupa Bapa, Putra, dan Roh Kudus
namun tetap satu? Akhirnya, Arius (265 -336 M) memaksa Gereja untuk
memastikan dalam suatu ajaran jelas, apa yang menjadi imannya tentang
Yesus dan tentang Allah. Arius mengajarkan bahwa Yesus memang bukan
manusia biasa, melainkan ciptaan Allah yang pertama, suatu makhluk
antara Allah dan manusia. Ajaran Arius meluas dengan cepat dalam
sebagian umat Kristiani. Untuk melawan Arius, pada tahun 325 M, atas
dorongan kaisar Konstantin, para uskup berkumpul di Nikea (sekarang
di Turki). Sidang para uskup seluruh Kristianitas itu menjadi konsili
pertama Gereja.
Di Nikea, para uskup menegaskan iman Gereja pada keilahian
Yesus. Melawan Arius, mereka mengajarkan bahwa Logos (“Sabda Allah”
yang menjelma dalam Yesus dari Nazaret, bdk. Yoh. 1:1) tidak diciptakan,
jadi abadi, dan bahwa Yesus Kristus sama hakikatnya dengan (Allah)
Bapa. Ajaran ini dirumuskan dalam suatu syahadat besar yang sampai
sekarang didoakan dalam misa.44 Konsili berikut diadakan tahun 381 di
Konstantinopolis. Di konsili itu Gereja menegaskan hal yang sama bagi
Roh Kudus, jadi bahwa Roh Kudus adalah Ilahi, sehakikat dengan Allah
Bapa dan Allah Putra, dan keyakinan ini dimasukkan ke dalam Syahadat
Nikea.
Tetapi yang belum dijelaskan adalah bagaimana dalam pribadi Yesus
keilahian dan kemanusiaan dapat bersama. Pertanyaan itu menimbulkan
suatu debat yang panas — yang di sini tidak perlu dimasukkan45. Dalam
konsili berikutnya di Efesus (431), pendapat batrik Nestorius dari
Konstantinopolis bahwa Maria Ibu Yesus tidak boleh disebut Ibu (Putra)
Allah ditolak karena kalau Maria bukan Ibu (Yesus yang) Allah, maka hal
itu dapat diartikan bahwa Yesus sebenarnya hanya seorang manusia saja
44 Syahadat Nikea adalah yang pertama, yang lebih panjang, dari dua syahadat yang dapat dipilih
untuk didoakan dalam misa hari minggu.
45 Lili. Dister I, hlm. 181 -242.

109
— mirip dengan pandangan adopsianisme yang telah ditolak Gereja, yang
mengatakan bahwa Yesus bukan Allah, melainkan manusia yang diadopsi
oleh Allah (mirip dengan Kresna titisan dewa Wisnu, di mana Kresna
memang muncul dengan kekuatan Wisnu, tetapi pada akhir perang
Baratayuda, Wisnu menarik diri dari Kresna dan Kresna ternyatalah
hanya raja biasa). Konsili berikut pada tahun 449, juga di Efesus, malah
berakhir dalam pertengkaran antara batrik (baru) Konstantinopolis dan
batrik Aleksandria dan masuk ke sejarah sebagai “konsili para begal”.
Rumus Kristologis yang akhirnya, dan sampai hari ini, menjadi
kepercayaan semua Gereja46 ditentukan atas dasar intervensi uskup
Roma, Paus Leo T (“Leo Agung”, 400-461 M): Yesus Kristus, Putra Allah
adalah “satu persona” Ilahi (hypostasis, persona) dalam dua kodrat, kodrat
Ilahi dan kodrat manusia. Dalam bahasa biasa: Yesus adalah satu, yaitu
Putra yang sejak segala zaman selalu bersama Allah Bapa dan Allah
Roh Kudus, yang secara hakiki dan sepenuhnya Ilahi, namun sekaligus
seorang manusia utuh karena la, Sabda Allah, “menerima” kemanusiaan
dengan menjelma (“inkarnasi”) dalam rahim Maria. Yesus Kristus adalah
Putra Allah yang sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia.
Tiga catatan penutup. Pertama, merumuskan apa yang diimani selalu
terjadi dalam suatu bahasa. Dogma-dogma tentang Allah Tritunggal
dan Yesus Kristus dirumuskan dengan memakai dan mengembangkan

46 Dengan satu kekecualian: Gereja KoptikMesir (yang dipimpin batrik Aleksandria) tidak menerima
dcfinisi Kalsedon ini, karena masih sakit hati atas konllik dengan Konstantinopolis sebelumnya.
Kristologi Gereja Koptik (sampai hari ini, termasuk juga Gereja Etiopia) disebut monofisitisme,
artinya, menurut mereka Yesus bcrkodrat (physis) satu (mono), YAITU ilahi, hal mana oleh
Gereja-Gereja lain dianggap mengancam keutuhan kemanusiaan Yesus. Perlu dicatat bahwa
dalam pandangan banyak teolog sekarang, perbedaan Gereja Koptik itu dianggap tidak relevan
lagi. Mengapa? Gereja Koptik, sama dengan semua Gereja lain, mengajar bahwa Yesus adalah
Putra Allah yang menjadi manusia dan siapa yang percaya kepada-Nya akan selamat. Sedangkan
penolakan terhadap rumusan Kalsedon berdasarkan konllik tentang penerapan istilah-istilah
filosofis Yunani yang bagaimana pun juga paling-paling membantu, tetapi tak pernah sepenuhnya
menyatakan hakikat Allah. Konflik mengenai bahasa — yang oleh kebanyakan umat Kristiani,
baikyang resmi ikut Kalsedon, maupun yang Koptik, sama sekali tidak dimengerti — tidak perlu
dianggap alasan untuk mempertahankan pemisahan antara dua “kubu” itu.

110
paham-paham filsafat Yunani. Itu juga kelemahan segala rumusan. Hanya
dengan susah, apa yang diimani dapat diterjemahkan ke dalam bahasa
Yunani, yang tidak tahu tentang apa yang dipermasalahkan Gereja. Bukan
hanya karena bahasa filosofis Yunani terbatas, melainkan secara prinsip:
tak mungkin manusia “menangkap” hakikat Ilahi. Segala usaha untuk
merumuskan sesuatu tentang Allah adalah terbatas, selalu masih dapat
dirumuskan dengan lebih baik, jadi perlu sewaktu-waktu dibarui justru
supaya tidak malah mempersempit dan akhirnya malah memalsukan apa
yang sebenarnya mau dijelaskan. Itu juga berlaku bagi dogma-dogma
abad ke-4 dan ke-5 itu.
Kedua, untuk memahami dogma-dogma Kristologis itu — tetapi
juga dogma-dogma lain Gereja — lebih penting diperhatikan apa yang
mau ditolak, daripada apa yang dirumuskan secara positif. Rumusan
dogma-dogma Trinitaris dan Kristologis kelihatan susah dan jauh
dari sempurna. Tetapi yang sangat jelas adalah apa yang mau ditolak
oleh Gereja dengan rumusan susah tentang “kodrat” (Yunani: physis,
Latin: natura) dan “pribadi” (hypostasis/persona) Yesus. Yang ditolak
adalah bahwa Yesus diciptakan dan bahwa la suatu realitas yang kurang
bermartabat daripada Allah, begitu pula mereka tolak bahwa Roh Kudus
dianggap sekadar gambaran kekuatan ilahi daripada la adalah Allah
sendiri yang memberikan diri kepada kita. Dan mereka menolak segala
paham bahwa Bapa, Putra, dan Roh Kudus adalah tiga Allah, atau bahwa
Yesus karena hakikat ilahi-Nya bukan manusia utuh, atau sebaliknya
bahwa Yesus tidak bersifat ilahi.
Ketiga, Gereja di Kalsedon bicara tentang “satu Allah dalam tiga
pribadi (hypostasis/persona)” Rumusan ini agak menyesatkan. Mengapa?
Karena apa yang sekarang kita mengerti sebagai “pribadi” (Inggris:
“person”) adalah lain daripada apa yang di tahun 451 M (di Konsili
Chalcedon) dimaksud dengan kata hypostasis (Latin: persona). Dalam

111
bahasa sekarang “pribadi” (“person”) berarti “pusat perasaan, pengertian
dan kehendak”. Bagi kita, tiga pribadi berarti ada tiga pusat perasaan,
pengertian dan kehendak. Padahal Gereja justru menegaskan bahwa
dalam Allah Tritunggal hanya ada satu perasaan, satu pengertian dan
satu kehendak dan bukan tiga. Barangkali, daripada bicara tentang “tiga
pribadi ilahi”, lebih tepat — tetapi kurang indah — kita bicara tentang
“satu Allah dalam tiga pola keberadaan”

4.11. Allah Tritunggal

Apakah Allah Tritunggal dapat dimengerti? Apakah kita "dapat me-


mikirkan, tanpa jatuh ke dalam kontradiksi, bahwa Allah yang satu
memuat di dalam-Nya tiga kenyataan yang sedemikian berbeda satu dari
yang lain sehingga tetap tidak meniadakan kesatuan Allah?” (Beinert
195).
Tentu kita tidak dapat mengerti Allah Tritunggal. Bukan hanya Allah
Tritunggal: Allah memang tidak dapat dimengerti. Manusia tak mungkin
mengerti siapa dan bagaimana Allah. Allah yang satu pun kita tidak
mengerti. Sebagaimana sudah dijelaskan oleh Santo Thomas Aquinas
(1225-1274), barangkali pemikir terbesar Gereja sampai sekarang: apa
pun yang kita mengerti tentang Allah adalah selalu kurang daripada yang
tidak kita mengerti.
Akan tetapi sedikit dapat kita mengerti juga. Bahkan harus kita
mengerti. Kalau kita sama sekali tidak mengerti, maka segenap ucapan
tentang Allah sama dengan blah-blah-blah (termasuk bahwa Allah itu
satu, baik, kuasa, dll.). Yang membuat kita mengerti tentang Allah yang
Tritunggal adalah Allah sendiri. Yang perlu kita ingat: Bukan Gereja
atau umat Kristiani purba yang mulai bicara tentang Allah Tritunggal.
Yang ada pada permulaan adalah suatu pengalaman. Bukan Gereja yang
mengangkat Yesus menjadi Tuhan, melainkan mereka yang bertemu

112
dan percaya pada Yesus lama-lama menyadari dengan amat takjub dan
terharu bahwa dalam manusia Yesus, anak Maria, Allah sendiri bicara
kepada mereka. Karena itu pun, mereka yang tidak mau percaya kepada
Yesus menuduh: la menghujat Allah. Tuduhan bahwa Yesus menyamakan
diri dengan Allah adalah betul, hanya itu bukan hujatan, melainkan
kebenaran. Pengalaman dengan Yesus itulah yang kemudian diungkapkan
Umat Awal dengan sebutan-sebutan “Tuhan” dan “Almasih” dan lain-lain
yang sudah kita lihat.
Sama halnya Roh Kudus. Roh Kudus pun bukan sebuah teori, sebuah
gagasan pintar, melainkan pertama-tama sebuah pengalaman. Mereka
yang percaya pada Yesus mengalami diri menjadi baru, mereka merasakan
Roh Allah, mereka merasa bersatu dengan Yesus meskipun Yesus sudah
naik ke surga, mereka merasa bahwa Roh itulah yang membuat mereka
mengerti Kabar Gembira dan mampu untuk mengabarkannya dengan
berani. Mereka mengalaminya sebagai kekuatan Allah sendiri yang
membuat mereka menjadi baru. Mereka merasakannya sebagai semangat
Allah, jadi ilahi, namun diutus, jadi sebagai kenyataan ilahi tersendiri, dan
pengalaman itulah akhirnya dalam konsili Konstantinopolis diungkapkan
dalam keyakinan bahwa Roh Kudus adalah Allah.
Bagi umat Kristiani awal, Allah tetap tak lain daripada Allah yang
disembah umat Yahudi, Allah Abraham, Allah Isak, dan Allah Yakub,
tetapi dalam sosok Yesus dari Nazaret, Allah yang satu itu membuka diri
sebagai Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah Roh Kudus. Dalam Yesus,
Allah membuka hati-Nya sendiri dan karena itu mereka yang percaya
dengan amat terharu mengerti bahwa Allah itu Tri-Tunggal, sama sekali
tidak terpecah, sama sekali satu, tetapi terkembang dalam tri-kenyataan
sebagai Bapa yang mencintai mereka, yang menyatakan cinta-Nya itu
dalam Putra, dan bersatu dengan mereka sebagai Roh. Kita juga dapat
mengatakan: Allah adalah segala apa dalam segala apa: Bapa; Allah

113
adalah Allah bagi kita: Putra; Allah menyatakan diri sebagai Allah dalam
kita: Roh (bdk. Beinert 196).
Umat Yahudi masih melihat Allah seakan-akan hanya dari luar.
Tetapi mereka yang percaya pada Yesus — dalam kekuatan Roh — dapat
melihat ke dalam hati Allah Abraham, Allah Isak, dan Allah Yakub itu.
Mereka menyadari, bahkan mengalami, bahwa Allah adalah sumber dan
asal usul segalanya (“Bapa”) yang menyatakan diri dalam “Sabda” atau
“Putra” (sehingga kita tahu siapa itu Allah dalam “Putra”) melalui Roh
Kudus (yang meresapi kita sehingga kita mampu mengerti rahasia Allah,
lih. IKor. 2:10). Allah adalah Allah yang satu yang membuka hatinya bagi
kita dalam Putra-Nya dan mengubah kita dalam Roh-Nya. Itulah yang
kemudian oleh Gereja dirumuskan sebagai “Allah Tritunggal”
Suatu kunci bagi pengertian Ketritunggalan Allah adalah apa yang
ditulis dalam surat pertama Yohanes: “Allah adalah kasih” (lYoh. 4:8).
Kasih tak mungkin ada dalam kesendirian. Kasih secara hakiki hanya
dapat dimengerti di mana ada “engkau” dan “kita” Kasih hanya dapat
menjadi perintah pertama dan utama Allah bagi kita manusia (Mat. 22:37-
9) karena kasih ada dalam Allah sendiri. Allah sendiri selalu dan secara
hakiki mencintai dan dicintai dan karena itu jelas bahwa kesatuan Allah
bukan kesatuan dalam kesendirian atau kesepian, melainkan kesatuan
suatu hidup internal Ilahi, kesatuan cinta.
Kita dapat bertanya: Cinta itu apa? Yang kita pertanyakan bukan
cinta monyet, melainkan cinta yang semurni-murninya, seindah-
indahnya, sedalam-dalamnya yang dapat kita imajinasikan (yang tak
pernah terwujud sepenuhnya di antara kita). Cinta itu pemberian diri
total dan penerimaan total dia yang dicintai. Begitu total sehingga yang
mencintai bersedia mati demi yang dicintai. Dalam cinta itu, apa yang saya
butuhkan, saya mengerti, saya kehendaki, saya rasakan adalah apa yang
dibutuhkan, dimengerti, dikehendaki, dirasakan oleh yang dicintai dan
apa yang dia rasakan, dia mengerti, dia kehendaki menjadi seluruhnya

114
apa yang kurasakan, kumengerti, kukehendaki. Jadi rasa, pengertian,
dan kehendak betul-betul menjadi satu. Mereka yang saling mencintai
menjadi sama sekali satu — namun tanpa menghilangkan hubungan
antara mereka, jadi mereka tidak lebur, tidak kehilangan identitas. Justru
itulah Allah Tritunggal. Bukan tiga perasaan, tiga pengertian, dan tiga
kehendak, melainkan satu yang total sama — tanpa menghilangkan relasi
di antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Seperti dalam skema di bawah
ini.47

Penjelasan: Allah adalah Bapa, Allah adalah Putra, Allah


adalah Roh; Bapa bukan Putra bukan Roh; Allah sebagai
Dasar segala-galanya (Bapa) menyatakan diri dalam Putra,
Putra adalah penyataan diri Allah, Roh adalah cinta diri Allah.

47 Saya ambil dari Be inert, 197.

115
Tentu orang bisa tidak memercayai itu semua. Bagi mereka di luar
persatuan iman Kristiani, itu semua bisa berbunyi asing, sulit, jauh dari
cara mereka sendiri menghayati Tuhan maupun diri sendiri. Orang
dapat menganggap “penjelasan” di atas aneh, susah, dibuat-buat. Silakan.
Akan tetapi mengatakan bahwa ajaran Tritunggal bertentangan dengan
kesatuan Allah, atau dalam bentuk pertanyaan sederhana: “Bagaimana
tiga bisa disebut satu?” adalah (maaf) tidak mutu. Karena kita dapat
langsung bertanya kembali: Dari mana Anda tahu apa arti “satu” pada
Allah? Apa “satu” harus seperti satu batu di sawah di mana, kalau ada tiga
batu, batunya memang tiga dan bukan satu? Bukankah sifat Allah apa pun
tidak dapat kita mengerti, paling-paling dapat kita sentuh sedikit? Apa arti
“satu” pada Allah tidak kita ketahui dari apa yang kita bayangkan sebagai
satu, dari bagaimana menurut pikiran picik kita sendiri Allah seharusnya,
melainkan hanya dari apa yang diwahyukan oleh Allah sendiri. Kalau
kita mau tahu bagaimana Allah, kita harus membuka diri terhadap apa
yang dijelaskan Allah sendiri kepada kita. Mereka yang mengikuti Yesus
sebagai Sang Penyelamat dengan terharu dan kagum menjadi semakin
tahu siapa dan bagaimana Allah sebenarnya.

4.12. Catatan Penutup

Bahwa Ketritunggalan Allah di luar umat Kristiani tidak dipercayai, tidak


pertama-tama karena memang kelihatan tidak gampang dimengerti,
melainkan karena seluruh iman Kristiani bagi mereka asing. Di Barat,
semakin banyak orang hidup seakan-akan tidak ada Allah, lalu akhirnya
mereka juga tidak percaya lagi pada Allah, dan karena itu menganggap
paham Allah Tritunggal sebagai nonsense.
Lain situasi mereka yang tegas-tegas percaya adanya satu Allah di
luar Kristianitas, misalnya saudara Yahudi atau Muslim. Mereka sejak
kecil akrab dan mantap dalam iman mereka, mereka tidak mempunyai

116

u
alasan untuk memercayai suatu kepercayaan agama lain. Mereka
mantap dalam keyakinan iman mereka pada satu Allah, maka kalau
kaum Kristiani memercayai Allah yang Satu sebagai Allah Tritunggal itu
tentu asing bagi mereka. Maka kalau orang yang tidak menghayati iman
Kristiani dalam-dalam, lalu mengatakan, saya tak dapat menerima bahwa
menurut iman Kristiani Allah bersifat Bapa, Putra, dan Roh Kudus, itu
wajar karena hatinya sudah penuh dengan keyakinannya sendiri di mana
Ketritunggalan Ilahi tidak punya tempat.48
Lain hal kalau orang mengejek atau menertawakan iman Kristiani
akan Allah Tritunggal. Itu pun sebaiknya tidak kita balas dengan menjadi
marah, tersinggung, apalagi dengan caci maki kembali. Tetapi tentu
menertawakan keyakinan agama lain sebenarnya merupakan tanda
sikap mental yang agak primitif: tak mengerti, maka ditertawakan!
Memang, kesombongan erat berkait dengan kebodohan. Sikap tepat
terhadap kepercayaan yang tidak dapat diikuti adalah kerendahan hati
yang mengaku tidak bisa mengikuti kepercayaan itu, tetapi bersedia
menghormatinya.
Satu pertanyaan yang sering dikemukakan adalah: Allah kok
punya anak? Namun umat Kristiani tidak mengatakan bahwa “Allah
punya anak” atau (di Katolik) “Allah punya putra”.49 Yang mempunyai
48 Sesudah berdiskusi sampai larut malam saya pernah ditanyai oleh beberapa mahasiswa HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam) mengapa saya yang kelihatan bersimpati dengan Islam, tidak
masuk Islam. Mungkin mereka memperkirakan bahwa ada segi-segi tertentu dalam Islam yang
membuat saya tidak masuk, yang lalu bisa mereka jelaskan kepada saya. Tetapi yang saya jawab
lain, Saya menjawab bahwa saya berasal dari keluarga kental Katolik, bahwa iman Katolik menjadi
jati diri, ya darah daging saya, dan karena itu kemungkinan pindah agama sepertinya sama sekali
sampai tidak masuk ke hati saya. Maka kalau saya tidak masuk Islam, itu bukan karena saya
memperbandingkan Nabi Muhammad dengan Yesus Kristus atau lsb. (meski dalam kenyataan
saya mempunyai beberapa keberatan dengan apa yang diyakini umat Islam), melainkan karena
saya mantap dalam iman saya sendiri. Mereka menerima penjelasan saya itu.
49 Karena dalam telinga banyak orang Indonesia kata “anak” menimbulkan asosiasi dengan proses
alamiah terjadinya keturunan (ada ibu dst.), maka kebiasaan Katolik dalam memakai kata “putra”
saya anggap lebih tepat. Istilah Kitab Suci, dalam bahasa Yunani, adalah huios tou theou (Inggris:
The Son of God), oleh karena itu dipakai “Yesus, Putra Allah” (Jesus, the Son of God), bukan “Yesus,
Anak Allah” (Jesus the child of God). Allah Tritunggal adalah (kesatuan ilahi antara) “Bapa, Putra,
dan Roh (Kudus)” dan bukan “Bapa, Anak dan Roh (Kudus)”

117
anak adalah Maria, Ibu Yesus yang melahirkan-Nya di Betlehem. Yang
diimani uniat Kristiani adalah: “Allah adalah Bapa, Putra, dan Roh, yakni
kesatuan hidup inter-Ilahi, di dalam keilahian sendiri. Selain kata “Putra”,
juga dipakai kata “Sabda” (logos, Yoh. 1:1): Sang Putra menyatakan Allah.
Ringkasnya, Allah sebagai sumber/dasar segala-galanya (“Bapa”) adalah
Dia yang selalu menyatakan/mengungkapkan Diri (“Putra” “Sabda”), dan
Bapa dan Putra dipersatukan oleh kasih (“Roh”).
Bantahan lain yang sering dikemukakan, yang di atas sudah dibahas
adalah: “Satu kok bisa jadi tiga?” Bantahan ini lemah. Lemah karena
semua sifat yang kita perkatakan tentang Allah (“Allah adalah suci, baik,
adil, satu .„”) diambil dari pengalaman kita di dunia dan karena itu tidak
pernah dapat diterapkan begitu saja kepada Allah. Allah memang adil,
tetapi keadilan Allah lain daripada keadilan kita. Ia satu, tetapi kita sangat
keliru kalau kata “satu” kita mengerti seperi “satu potong roti” (dan bukan
“tiga potong roti”) atau “satu orang” (dan bukan “tiga orang”). Apa arti
kesatuan Allah hanya dapat kita dengar dari Allah sendiri, dan dalam
Yesus Kristus Allah menyatakan diri sebagai Allah Yang Satu yang bersifat
Tritunggal. Bahwa Allah adalah Tritunggal: Bapa, Putra, dan Roh, kita
sadari karena kita menerimanya dari Yesus Kristus, Anak Maria dari
Nazaret yang di dalam-Nya Allah sendiri menyertai kita.

118

Anda mungkin juga menyukai