Anda di halaman 1dari 11

DRAFT!

Sesi I: Alkitab dan saudara/i LGBT: sebuah tanggapan positif terhadap Pernyataan Pastoral PGI
mengenai LGBT

Emanuel Gerrit Singgih

Pendahuluan

Pernyataan Pastoral PGI mengenai LGBT menekankan bahwa tidak ada masalah dengan orientasi
seksual seseorang. Manusia bisa berorientasi heteroseksual atau berorientasi homoseksual. Sejak
akhir abad 20, di mana-mana orang mulai mengakui kepelbagaian konteks-konteks yang tadinya
dianggap hanya bisa satu saja, misalnya kepelbagaian etnis dan kepelbagaian agama. Termasuk
sekarang dalam pembicaraan kita, kepelbagaian gender dan kepelbagaian orientasi seksual. Di
wilayah seksualitas pun ada kepelbagaian atau keanekaragaman. Oleh karena itu PGI mengimbau
gereja-gereja agar menghentikan sikap anti LGBT yang didasarkan atas pandangan bahwa orientasi
homoseksual merupakan dosa dan dengan demikian, hubungan homoseksual juga merupakan dosa.
Mengapa dinilai berdosa? Oleh karena dianggap melawan orientasi heteroseksual dan hubungan
heteroseksual yang telah ditetapkan oleh Yang Ilahi. PGI tidak membicarakan hal-hal lain, misalnya
pemenuhan hasrat seksual dari orang homoseksual dan pernikahan sesama orang homoseksual.
Meskipun hal ini sudah lama terjadi di USA dan Eropa Barat dan didukung oleh gereja-gereja
Protestan, mungkin hal-hal ini masih dirasakan terlalu jauh oleh banyak orang Kristen, padahal kalau
dilihat dalam konteks Asia, di Thailand dan Vietnam hukumnya ramah terhadap orang LGBT dan di
Taiwan, perkawinan homoseksual diakui secara hukum. Pernyataan Pastoral ini memang terbatas
sifatnya, hanya merupakan imbauan untuk mengubah pemahaman, dari sikap negatif terhadap LGBT
menjadi pemahaman positif terhadap LGBT.

Saya tidak berkeberatan terhadap Pernyataan Pastoral PGI, bahkan saya memujinya sebagai sebuah
kejutan yang menyenangkan dalam diskursus teologis, gerejawi dan nasional di Indonesia (catatan:
PGI bukan yang pertama memberi kejutan. Sebelumnya jemaat Gereja Komunitas Anugerah [GKA]
Reformed Baptist Salemba juga telah mengeluarkan pernyataan agar orang Kristen mengubah
pandangan menolak kaum LGBT menjadi menerima kaum LGBT. Mereka jemaat kecil, tidak sama
dengan PGI, tetapi tetap perlu dicatat dalam sejarah gereja sebagai pelopor pembawa angin baru
dalam wacana etika seksual). Bahwa banyak orang yang menentang Pernyataan Pastoral ini bagi
saya tidak mengherankan, karena sikap anti LGBT sudah sedemikian dikemas dalam sebuah
bungkusan teologis yang disebut “Alkitabiah”, sehingga tidak bersikap anti LGBT akan dianggap
sebagai “tidak Alkitabiah”. Maka mereka yang pro pada Pernyataan Pastoral PGI harus bersedia
distigmatisasi sebagai “tidak Alkitabiah”. Itu salib yang harus dipikul dalam rangka membangun
sebuah dunia yang lebih baik dan lebih damai, dunia yang tidak memarginalisasi dan menstigmatisasi
kaum LGBT. Kalau kita masih bisa membayangkan situasi Indonesia pada awal 2016, ketika tiba-tiba
para pejabat pemerintah mengeluarkan pernyataan-pernyataan anti LGBT, padahal sebelumnya
tidak pernah ada gejala-gejala yang sedemikian, disusul dengan pelbagai macam pernyataan dari
para tokoh-tokoh agama tertentu yang sangat memojokkan kaum LGBT, bahkan ada usulan ke MK
agar LGBT dinyatakan sebagai pelanggaran hukum pidana, jadi berarti kriminalisasi LGBT, maka
tentu timbul pertanyaan, siapakah yang akan menolong mereka? Kalau mayoritas bersikap seperti

1
itu, siapa lagi yang bisa menolong mereka kalau bukannya kita orang Kristen? Itulah yang saya
maksud dengan istilah “memikul salib”.

Saya diminta oleh teman-teman PGI untuk mengambil bagian dalam simposium biblika mengenai
LGBT sebagai nara sumber yang harus menyediakan bahan untuk tiga sesi yang masing-masing
lamanya 2 jam. Ini sebuah pekerjaan yang tidak mudah, mengingat waktu persiapan yang amat
terbatas. Jadi mohon dimaafkan kalau saya tidak membuat rujukan ke karya-karya yang sudah ada,
sebagaimana layaknya dalam sebuah karya ilmiah. Yang dapat saya lakukan paling-paling hanya
memeriksa teks Alkitab dalam bahasa Ibrani dan Yunani, serta membandingkan beberapa
terjemahan Alkitab. Umumnya teks Alkitab yang saya gunakan terambil dari TB-LAI. Mungkin sudah
memadai kalau saya bisa menulis refleksi sekitar 8-10 halaman untuk setiap sesi, dan sisa waktu
dipergunakan untuk berdiskusi. Katakanlah sesi I kita gunakan untuk mendiskusikan hermeneutik
tradisional Protestan, sesi II kita gunakan untuk membahas ayat-ayat Alkitab yang berkaitan dengan
lgbt, sedangkan sesi III kita gunakan untuk membahas konsekwensi logis dari hasil sesi I dan II untuk
diterapkan dalam konteks kita, bergereja di Indonesia.

Titik tolak hermeneutis: Sola Scriptura? Ya, tetapi ada Plus-nya

Di kalangan gereja-gereja Reformasi (Lutheran dan Calvinis) yang tradisional, orang berpegang pada
prinsip Sola Scriptura dalam menentukan kebenaran. Hal ini diwarisi dari jaman reformasi Luther dan
Calvin, ketika mereka pada waktu itu berhadapan dengan kekuasaan Gereja Katolik yang waktu itu
amat besar, sehingga apa yang dikatakan oleh Gereja dianggap sebagai kebenaran. Menurut para
reformator, bukan Gereja yang menentukan kebenaran melainkan Alkitab. Kalau di Alkitab tidak ada
dikatakan mengenai lembaga kepausan, maka kepausan tidak Alkitabiah. Kelihatannya sederhana,
tetapi ruwet, oleh karena di gereja Reformasi pun ternyata ada banyak lembaga yang tidak disebut
di Alkitab, misalnya lembaga pendeta. Dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia tidak akan
dijumpai istilah “pendeta”. Apakah berarti bahwa pendeta-pendeta dan lembaga kependetaan
“tidak Alkitabiah”? Semuanya tentu saja akan mengatakan “Alkitabiah”, tetapi dasarnya jelas bukan
teks Alkitab tertentu, melainkan penafsiran tertentu dan seleksi terhadap ayat-ayat Alkitab
mengenai pimpinan jemaat atau ekklesia, ditambah dengan warisan tradisi budaya dan dampak
situasi sosial.

Ayat-ayat yang sering dipergunakan dalam rangka menentang lembaga kepausan, atau menurut
istilah hermeneutis populer masa kini, mendekonstruksinya, adalah Matius 18:18, “Aku (Yesus)
berkata kepadamu: Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang
kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga”. Konteksnya adalah penggembalaan yang harus
dilakukan oleh murid-murid, yang nantinya sebagai rasul, menjadi pemimpin di jemaat atau ekklesia
(Matius 18:17). Penggembalaan atau secara luas, kepemimpinan menurut Matius 18 bersifat
kolektif, tidak bersifat tunggal. Para murid yang diangkat menjadi rasul di Matius 10:1-4 oleh Gusti
Yesus memiliki wibawa “mengikat dan melepaskan” yang sama, dan itulah yang dipakai untuk
menentang lembaga kepausan. Tetapi yang menarik adalah bahwa di Matius 16:19, ada ayat yang
serupa, tetapi konteksnya tidak kolektif, malah tunggal, berkaitan dengan Petrus. “Kepadamu akan
Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang
kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga”. Isinya sama, mengenai “mengikat dan melepaskan”,
namun, bukan semua rasul yang mendapatkan wibawa “mengikat dan melepaskan”, melainkan

2
hanya satu saja, yaitu Petrus. Berdasarkan ayat ini, maka di Gereja Katolik berkembanglah
kepemimpinan tunggal. Karena Petrus meninggal di Roma (juga Paulus) maka wibawa mereka sangat
besar di Gereja Barat, dan akhirnya para paus dianggap sebagai meneruskan kepemimpinan Petrus.
Di atas pintu gerbang gereja Santo Petrus di Vatican, tertulislah dalam huruf-huruf yang besar dalam
bahasa Latin, Tu Est Petrus …, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan
mendirikan jemaatKu dan alam maut tidak akan menguasainya” (Matius 16:18). Tadinya Petrus
bernama Simon, tetapi kemudian dia diberi nama baru, yang dalam bahasa Aram adalah Kefas dan
dalam bahasa Yunani adalah Petrus, dari Petra, batu karang. Petrus adalah fondasi bagi pendirian
jemaat atau ekklesia.

Meskipun bacaan dari Injil Matius mengenai Petrus di atas cukup jelas, umumnya penafsiran
Reformatoris tradisional akan menyangkal hal ini. Penyangkalan ini dilakukan dengan meneruskan
narasi ke Matius 18:18 yang telah dikemukakan di atas. Jadi Matius 18:18 ini dipakai sebagai jangkar,
bahkan sebagai penentu makna, sehingga meskipun di Matius 16:19 ada ayat yang serupa, bahkan
sama, kecuali pada penggunaan kata pengganti orang (“kamu” dan “kau”), Matius 16:19 tidak
bermakna apa-apa bagi orang Protestan, karena sudah ditutup atau ditimbun dengan makna dari
Matius 18:18. Maka pernah ada masanya (mudah-mudahan sekarang tidak lagi) agak biasa bagi
pendeta-pendeta Protestan untuk menjelaskan Matius 16:19 apabila ada pertanyaan dari anggota
majelis atau warga jemaat, bahwa “orang Katolik salah menafsirkan ayat ini. Sebenarnya di sini
Petrus hanya mewakili teman-temannya, para murid atau rasul yang lain”. Padahal teksnya tidak
menyebut apa-apa mengenai Petrus yang mewakili teman-temannya. Malah konteks dari teks ini
bersifat seperti ujian. Gusti Yesus bertanya: “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Jawab
mereka: “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis; ada juga yang mengatakan : Elia dan ada juga
yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi. Lalu Yesus bertanya kepada mereka:
“Tetapi apa katamu, Siapakah Aku ini?” Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Messias, Anak
Allah yang hidup!” Kata Yesus kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan
manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan BapaKu yang di sorga” (Matius 16:13-17). Yang
bisa menjawab pertanyaan Yesus hanya Petrus saja, dan Petrus bisa menjawab oleh karena menurut
Gusti Yesus, dia mendapat wahyu khusus langsung dari Bapa di sorga, sedangkan yang lain tidak.
Orang Protestan juga terbiasa memerlihatkan bahwa konteks Matius 16 bukan hanya berbicara
mengenai hal yang baik mengenai si Petrus, tetapi juga hal yang jelek. Ketika Gusti Yesus mulai
mengungkapkan bahwa Ia akan menanggung banyak penderitaan bahkan dibunuh di Yerusalem, dan
bangkit pada hari ketiga, Petrus menegur Beliau, katanya: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu!
Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau”. Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus:
“Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagiKu, sebab engkau bukan memikirkan apa yang
dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (Matius 16:21-23). Petrus nampaknya
memiliki konsep mengenai Mesias yang berbeda dengan apa yang dipahami oleh Gusti Yesus. Juga
bukan sekadar konsep, melainkan konsep yang bisa membahayakan misi yang diemban oleh
Gurunya. Maka Petrus ditegur sebagai Iblis. Di Matius 4:1-11, Gusti Yesus dicobai oleh Iblis, namun
Iblis kalah. Di sini kembali lagi Iblis mencoba melakukan pencobaan melalui muridNya, yaitu Petrus.
Gambaran dalam narasi Matius menjadi kontras: Petrus yang tadinya menjadi saluran pewahyuan
dari Bapa di sorga, sekarang menjadi saluran pengaruh si Iblis. Gambaran yang kontras ini dipakai
oleh kaum Protestan tradisional untuk menggemboskan keutamaan Petrus, sedemikian rupa,
sehingga “keistimewaan” Petrus di Matius 16:17 tenggelam dalam makna “ketidak-istimewaan”
Petrus di Matius 16:23.

3
Apa yang dapat dikatakan mengenai hermeneutik tradisional Protestan sehubungan dengan
pembacaan teks Injil Matius di atas? Pertama, sangat riskan kalau kita memertahankan bahwa
pandangan Protestan tradisional mengenai sikap anti paus adalah “Akitabiah” sedangkan pandangan
yang pro paus adalah “tidak Alkitabiah”. Kita telah melihat di atas bahwa narasi atau pengisahan
Matius mengenai Petrus dan rasul-rasul lainnya tidak bisa digolongkan ke dalam salah satunya.
Entah teks yang memuliakan Petrus di Matius 16:17 maupun teks yang tidak memuliakan Petrus di
Matius 16:23, sama-sama terdapat dalam Injil Matius, sama-sama Alkitabiah! Berarti benar bahwa
model penafsiran Protestan yang sering dipakai adalah model penafsiran tertentu dan seleksi di atas
tadi. Secara hermeneutis kita dapat mengatakan bahwa orang menggunakan filter atau saringan
dalam membaca teks Alkitab. Kita menentukan lebih dulu kandungan filter tersebut, lalu kita
melakukan seleksi (biasanya secara pra-reflektif atau otomatis) atas ayat-ayat Alkitab, dan mana
yang sesuai dengan filter kita, itulah yang kita pegang, sedangkan mana yang tidak sesuai dengan
filter kita, diabaikan bahkan disingkirkan dari wacana, meskipun ada di teks Alkitab. Apakah lembaga
kepausan bisa dibenarkan berdasarkan penggunaan teks Matius 16:17,18 yang memuliakan Petrus?
Tentu saja tidak. Teks berbicara mengenai pemuliaan Petrus, bukan mengenai pemuliaan paus.
Tetapi teman-teman Katolik bisa berargumentasi secara sistematis-dogmatis, bahwa jabatan paus
memiliki alasan “Alkitabiah”.

Tetapi sama juga halnya dengan teks kebersamaan kolektif para rasul di Matius 18:18, yang tidak
bisa langsung diterapkan ke kebersamaan kolektif kepemimpinan di gereja-gereja Protestan masa
kini, karena jabatan rasul tidak ada lagi. Sebenarnya hal ini cukup disadari (namun, sebagai catatan,
dalam liturgi penahbisan majelis di gereja-gereja tertentu, saya kadang-kadang menjumpai ayat
“mengikat dan melepaskan”, dan memberi kesan bahwa majelis adalah rasul. Kalau majelis adalah
rasul, penahbisnya sederajat apa ya?), sehingga alasan-alasan untuk menyusun argumen
“Alkitabiah” mengenai kepemimpinan kolektif ini diambil dari bagian-bagian lain Perjanjian Baru,
misalnya dari surat-surat yang berbicara mengenai diakonos (diaken, dulu “syamasy”), presbuteros
(penatua) dan episkopos (penilik). Diaken hanya dua kali disebut di Perjanjian Baru. Filipi 1:1 berisi
salam rasul Paulus kepada “semua orang kudus”, “penilik jemaat” dan “diaken”. Penatua tidak
disebutkan, sehingga ada kemungkinan bahwa pimpinan jemaat di Filipi hanya penilik dan diaken.
Kemudian di I Timotius 3:8, persyaratan menjadi diaken disebut sesudah persyaratan menjadi
penilik. Persyaratan menjadi penilik lebih banyak daripada diaken, sehingga memberi kesan penilik
lebih tinggi daripada diaken. Penatua yang paling banyak disebut. Di Kisah Para Rasul 11:30
sumbangan dari Antiokhia dikirim kepada para penatua di Yerusalem. Di sini mereka disebut sejajar
dengan “para saudara” (ayat 1, 29). Memberi kesan bahwa penatua sinonim dengan saudara. Di ayat
28 disebutkan mengenai nabi Agabus. Bandingkan dengan I Korintus 12:28 dan Efesus 2:20 yang
menyebut jabatan rasul dan nabi. Di Kisah 14:23 para rasul menetapkan penatua-penatua di tiap
jemaat. Di Kisah 15:2 rasul-rasul dan penatua-penatua di Yerusalem bersama-sama mengambil
keputusan mengenai masalah teologis yang penting.Di Kisah 20:17 Paulus meminta agar para
penatua di Efesus bisa datang ke Miletus. Kalau hanya mengandalkan Kisah Para Rasul, maka
pimpinan jemaat adalah para rasul dan para penatua. Menarik bahwa di Kis 6:1-6, ada tujuh orang
yang dipilih untuk “pelayanan meja”, maksudnya untuk pelayanan diakonia. Di antaranya adalah
Stefanus dan Filipus. Tetapi mereka tidak disebut diaken, meskipun pekerjaannya adalah pekerjaan
diaken. I Timotius 4:14 berbicara mengenai sidang penatua yang menumpangkan tangan kepada
Timotius, dan di 5:15 para penatua bertugas berkotbah dan mengajar dan harus “dihormati dua kali

4
lipat”. Di surat I Timotius penilik, penatua dan diaken disebut sebagai pimpinan jemaat, namun
agaknya penilik lebih tinggi dari diaken dan diaken lebih tinggi dari penatua.

Di surat Titus 1:5 disebutkan mengenai wewenang Titus untuk menetapkan penatua, dan di Titus 1:7
juga disebutkan penilik jemaat dalam konteks yang sama dengan penetapan penatua. Memberi
kesan bahwa tugas mereka sama. Di Yakobus 5:14 penatua bertugas untuk berdoa dan mengoleskan
minyak atas nama Tuhan kepada orang sakit. Di I Petrus 5:1-2 para penatua dinasihati sebagai
gembala dari kawanan domba Allah, dan akhirnya di 2 Yohanes 1 ada salam dari penatua kepada Ibu
yang terpilih dan anak-anak, dan di 3 Yohanes 1 ada salam dari penatua kepada Gayus. Kalau
mendengar nama Yohanes, kita langsung menghubungkannya dengan rasul Yohanes. Tetapi surat-
surat Yohanes berasal dari penatua, bukan dari rasul. Hal ini juga telah memerlihatkan bahwa
jabatan penatua penting di jaman gereja perdana dan surat-suratnya disimpan dengan baik. Penilik
disebutkan di Filipi 1:1 dan 1 Timotius 3:1,2, sebelum merujuk ke diaken. Seperti telah dikemukakan
di atas, persyaratan menjadi penilik lebih banyak daripada diaken, sehingga memberi kesan jabatan
penilik lebih tinggi daripada diaken. Tetapi di fasal 3 ini tidak ada persyaratan bagi penatua. Hanya di
4:14 mereka berwewenang menumpangkan tangan, sedangkan di 5:17 di antara mereka ada yang
berkotbah dan mengajar.

Dari pemeriksaan terhadap munculnya istilah diaken, penilik dan penatua di dalam Perjanjian Baru,
sudah jelas terdapat keragaman, yang diakibatkan oleh konteks situasi atau wilayah yang berbeda,
ataupun masa yang berbeda. Pada masa kini di gereja-gereja Protestan di Indonesia terdapat banyak
variasi dari perkembangan pemahaman mengenai istilah-istilah ini. Sudah jelas bahwa dalam hal ini
prinsip Sola Scriptura tidak dipakai. Pada umumnya tidak ada jabatan penilik, kecuali di gereja-gereja
Batak, yang barangkali menerapkan jabatan penilik ini dalam kepemimpinan gereja, namun
pemimpin ini disebut ephorus bukan episkopos. Teman-teman dari gereja-gereja Batak mungkin bisa
menerangkan mengapa istilah ephorus yang dipakai. Dugaan saya karena istilah episkopos sudah
terlanjur dimaknai sebagai “uskup” atau “bishop”. Memang dalam pemahaman gereja Katolik dan
Ortodoks, jabatan uskup ditarik atau diusut dari istilah episkopos. Berarti mereka memiliki juga
alasan “Alkitabiah” mengenai jabatan uskup. Namun dalam argumen Protestan tradisional, terlebih-
lebih dalam aliran Calvinis, semua jabatan yang ada di Alkitab disamaratakan saja (jadi rumit karena
Calvin menetapkan juga jabatan doctores, doktor yang mengawasi doktrin. Tidak ada gereja Calvinis
di Indonesia yang memiliki doctores). Presbuteros adalah sama dengan episkopos dan juga sama
dengan diakonos. Padahal seperti kita lihat di atas, tidak mungkin ketiganya identik. Namun tidak
masalah karena meskipun dalam teorinya identik, di beberapa gereja hal yang khas Calvinis kesama
rataan ini juga tidak diterapkan. Ada yang menganggap bahwa pendeta (yang tidak disebut sama
sekali di Perjanjian Baru), penatua dan majelis sama derajatnya sebagai presbiter, ada yang resminya
mengaku demikian, namun dalam praktik menempatkan para diaken sebagai sedikit di bawah
majelis (biasanya ibu-ibu, majelisnya biasanya bapak-bapak). Ada pula yang menghapus jabatan
diaken. Daripada repot, semua saja dianggap majelis, pendeta juga. Padahal jabatan diaken seperti
kita lihat ada di Perjanjian Baru, dan kalau kita membaca mengenai Stefanus dan Filipus yang adalah
diaken-diaken (meskipun jabatannya tidak disebut) di Kisah 6:1-6 di atas, mereka bukan hanya
sekadar pembantu, melainkan tokoh-tokoh utama. Kalau kita melihat di Markus 10:45, maka di situ
Anak Manusia datang untuk melayani. Istilah Yunani yang dipakai adalah diakonesai yang berkaitan
dengan diakonos, “pelayan”. Gusti Yesus adalah diakonos, bahkan Diakonos Agung!

5
Jabatan pendeta umumnya dianggap berasal dari istilah presbuteros, tetapi kalau dilihat bahwa
pendeta memiliki hak untuk melayankan sakramen sedangkan penatua dan diaken tidak, saya
bayangkan bahwa jabatan pendeta sebenarnya meneruskan jabatan imam dalam gereja Katolik dan
dalam Perjanjian Lama. Hal ini tidak diakui oleh karena Reformasi menekankan pada imamat kaum
beriman (semua adalah imam, yang didasarkan atas tafsiran terhadap I Petrus 2:9, yang pada
gilirannya merupakan tafsiran atas Keluaran 19:6), tetapi dalam praktik, tidak semua menjalankan
pelayanan imam, hanya pendeta saja. Dalam beberapa gereja, mimbar (apalagi di gereja-gereja tua
yang mimbarnya menjulang tinggi jauh di atas jemaat) adalah wilayah sakral yang hanya boleh
dimasuki oleh pendeta, seperti Musa berhadapan dengan belukar duri yang terbakar tetapi tidak
hangus. Bahkan saya tahu ada pendeta yang membuka sepatunya sebelum naik tangga mimbar,
seperti Musa membuka kasutnya di hadapan belukar duri yang bernyala tersebut. Ada pula yang
malah memasukkan jabatan bishop dalam tata gerejanya. Gereja GKPB (Bali) adalah gereja Calvinis,
tetapi memiliki bishop. Tentunya keputusan ini tidak hanya Alkitabiah saja, meneruskan jabatan
episkopos, tetapi juga berdasarkan pertimbangan budaya. Dalam hal ini mereka tidak sendirian, oleh
karena gereja Reformasi di Hongaria, yang sangat Calvinistik, juga mempunyai jabatan bishop sejak
jaman Reformasi, yang seringkali berdampak politis juga dalam konteks yang lebih luas. Demikian
juga halnya dengan mereka yang berada di luar lingkup gereja-gereja Calvinis. Gereja Methodis,
gereja Lutheran di Swedia, beberapa gereja Lutheran di Jerman dan gereja Anglican memiliki jabatan
bishop, bahkan gereja Anglican memiliki juga jabatan archbishop atau uskup agung dan akhirnya
mereka mempunyai Primate, yaitu uskup agung Canterbury, yang diakui sebagai primus inter pares
(yang terutama dari antara yang setara) dan dan dengan demikian diakui sebagai Kepala kehormatan
dari Persekutuan Gereja-Gereja Anglican di seluruh dunia.

Kedua, kalau berdasarkan uraian di atas mengenai jabatan gereja yang amat variatif, amat riskan
bagi kita untuk melakukan pembedaan di antara apa yang “Alkitabiah” dan apa yang “tidak
Alkitabiah” karena semuanya bisa “Alkitabiah” (rekan saya Pdt. Dr. Yahya Wijaya secara bergurau
suka mengatakan bahwa untuk segala sesuatu ada ayatnya) maka dalam arti tertentu kita
seharusnya bisa menghargai kevariatifan ini. Ungkapan “Alkitabiah” bisa dikwalifikasikan sesuai
dengan tuntutan konteks. Kita berusaha memegang prinsip Sola Scriptura namun dalam praktik tidak
pernah kita menerapkan prinsip ini tanpa memertimbangkan konteks. Katakanlah kita selalu
menerapkan prinsip Sola Scriptura ditambahi dengan beberapa hal lain, minimal Sola Scriptura Plus.
Hal ini bukan disebabkan karena kita lalai, melainkan karena memang demikianlah proses kita
memahami teks. Dalam kenyataannya, selain Sola Scriptura masih ada Sola Fide, Sola Gratia dan
Sola Caritate atau Sola Amore (hanya cinta kasih saja). Yang keempat ini tidak biasa dalam tradisi
Calvinis, namun saya kemukakan juga, oleh karena sarat dengan muatan Alkitabiah, dan selalu juga
dikemukakan dalam diskursus mengenai teks Alkitab. Berarti sebenarnya ada bagi warga gereja
Reformasi ada kebebasan dalam menerapkan pemahaman mengenai apa yang dimaksudkan dengan
kebenaran yang “Alkitabiah”. Semuanya yang saya uraikan di atas didasarkan atas keyakinan bahwa
Alkitab adalah firman Allah dan bahwa semua yang diterangkan di dalam Alkitab diilhami oleh Roh
Kudus. Meskipun bidang saya adalah tafsir Alkitab khususnya Perjanjian Lama, dan meskipun saya
memelajari pelbagai macam model penafsiran, saya tetap memegang prinsip pengilhaman oleh Roh
Kudus ini. Pada semester yang lalu saya mengajar tafsir kitab Yesaya fasal 40-55 berdasarkan buku
tafsir saya, Dari Babel ke Yerusalem (Yogyakarta: Kanisius, 2014). Dalam model tafsir kritis historis,
Yesaya fasal 40-55 disebut “Deutero Yesaya” dan berasal dari jaman pembuangan, yang berbeda
dari Yesaya fasal 1-39 (dari jaman pra pembuangan) dan Yesaya 56-66 (dari jaman pasca

6
pembuangan). Tetapi sambil mengikuti pembedaan ini, saya juga memerhatikan secara seimbang
bentuk kitab Yesaya sebagaimana adanya sekarang ini, dan peran para editor dalam menyusun kitab
Yesaya sehingga menjadi seperti sekarang ini. Saya di mengatakan kepada para mahasiswa saya, kita
harus belajar bahwa bukan hanya pengarang kitab di dalam Alkitab yang diilhami oleh Roh Kudus,
tetapi juga para editornya!

Secara mutatis mutandis hal ini juga dapat kita terapkan sehubungan dengan mengalaskan
pandangan kita mengenai jabatan gereja maupun mengenai pokok-pokok lain sebagai pandangan
yang “Alkitabiah”. Katakanlah bahwa para editor yang bertanggungjawab dalam menyusun kitab
Yesaya sehingga mendapatkan bentuknya yang sekarang ini dapat kita paralelkan dengan para
teolog sistematik-dogmatik, yang pada gilirannya menyusun ajaran Gereja berdasarkan pemahaman
terhadap narasi dan teks-teks Alkitab. Tetapi tentu saja mereka tidak hanya memikirkan teks Alkitab
saja. Para teolog sistematik-dogmatik selalu mencari relevansi dari teks-teks Alkitab ini dalam
kehidupan kongkret pada jaman mereka. Itu berarti berjumpa atau berhadapan dengan wawasan-
wawasan yang dominan pada waktu itu, termasuk wawasan filsafati. Luther dan Calvin dapat
digolongkan ke dalam teolog-teolog sistematik-dogmatik, dan siapa yang membaca karya-karya
mereka pasti terkagum-kagum menyadari kedalaman pengetahuan mereka. Mereka “Alkitabiah”
atau dengan kata lain yang popular, “biblical”, tetapi juga tidak hanya biblical karena pikiran-pikiran
pada jaman mereka juga pada gilirannya memengaruhi mereka. Jaman itu dan sesudahnya para
teolog sistematik-dogmatik harus bekerja sendiri dalam memeriksa teks Alkitab dan konteksnya.
Tidak masalah karena Luther dan Calvin yang menguasai bahasa Latin, juga menguasai bahasa Ibrani
dan Yunani, sebagai buah dari jaman Renaissance di Eropa Barat. Tetapi kemudian ilmu teologi
biblika berkembang dan sampai hari ini mendapatkan tempat tersendiri di dalam ilmu teologi, di
samping ilmu teologi sistematik-dogmatik. Para teolog sistematik-dogmatik jaman sekarang tentu
memelajari bahasa –bahasa Alkitab, minimal Ibrani dan Yunani, namun dalam mencari makna iman
Kristiani dalam jaman sekarang, mereka dan para teolog biblika bekerjasama. Kadang-kadang ada di
antara para teolog sistematik-dogmatik ini yang begitu pintar mendalami biblika, sehingga malah
pikiran mereka menjadi acuan bagi para teolog biblika dalam menafsir Alkitab. Contohnya Karl Barth.
Kalau saya menerangkan kepada mahasiswa/i saya mengenai makna Imago Dei, maka saya selalu
mengutip pandangan Karl Barth, meskipun dia bukan pakar biblika. Masalahnya dia selalu memberi
banyak ruang untuk menafsir teks dalam buku Dogmatiknya yang terkenal, Kirchliche Dogmatik,
yang biasanya disingkat KD, sehingga akhirnya KD terdiri dari banyak jilid yang tebal-tebal. Barth
jelas biblical, tetapi selalu dalam rangka menghadapi filsafat. Dia bahkan menulis sebuah buku tebal
yang mengagumkan mengenai filsafat Barat abad ke 19. Saya sengaja menginformasikan hal ini oleh
karena banyak orang di Indonesia menganggap bahwa dogmatik atau sistematika harus anti filsafat,
harus “murni-Alkitabiah”. Karl Barth tidak begitu, dan tidak mungkin bisa begitu, karena tidak ada
teologi yang “murni-Alkitabiah”, langsung dari Alkitab. Bukan cuma teolog, kita semua juga begitu.
Teks itu kita interpretasikan dalam benak kita, yang sudah mengandung banyak bekal pikiran, entah
warisan nenek moyang kita, entah kita dapatkan dalam pendidikan kita, baik pendidikan non-
teologis maupun teologis. Kalau kita justru mendapatkan entah sebuah keterkejutan atau
kenyamanan dalam membaca sebuah teks Alkitab, keterkejutan atau kenyamanan itu disebabkan
karena ada pertemuan, encounter dengan wawasan yang sudah ada dalam pikiran dan perasaan
kita.

Kembali pada kerjasama di antara para teolog sistematik-dogmatik dengan para teolog biblika. Saya
termasuk ke dalam mereka yang tidak membuat antitesa di antara dogmatika-sistematika dengan

7
biblika. Masalahnya adalah tantangan-tantangan yang kita hadapi dalam konteks Indonesia adalah
demikian besarnya, sehingga kita perlu kembali melihat teologi sebagai sebuah kesatuan yang
integral, daripada terus menerus mewarisi keterpecahan atau fragmentasi teologi dalam kehidupan
bergereja. Saya tetap memegang teguh kemandirian masing-masing, yaitu ilmu teologi dogmatika-
sistematika dan ilmu biblika. Saya bukan pakar dogmatika-biblika melainkan mendalami biblika,
meskipun saya juga belajar mengenai dogmatika-sistematika. Tetapi kedua ilmu ini menghadapi
konteks Indonesia dengan warisan-warisan yang didapatkan dari konteks yang sangat berbeda dari
konteks kita di Indonesia, yaitu konteks Eropa Barat. Warisan-warisan yang didapatkan itu bisa jadi
warisan yang justru tidak dipegang oleh mayoritas orang Kristen di Eropa Barat. Di abad ke 19,
wawasan moral yang bersifat budaya Victorian mulai goyah dan digantikan oleh wawasan yang lebih
bebas. Wawasan moral budaya Victorian ini pada umumnya sangat ketat dalam mengatur masalah
basa basi berkaitan dengan sopan santun dan seksualitas. Pada waktu itu semua orang baik lelaki
maupun perempuan harus berpakaian menurut keperluan yang ada pada satu hari. Jadi pakaian
kerja lain dari pakaian resmi, pakaian pagi lain dari pakaian malam, pakaian di luar rumah lain dari
pakaian di dalam rumah. Yang penting adalah bahwa tubuh ditutupi oleh pakaian. Tubuh tidak
dipandang sebagai sesuatu yang indah, malahan sebagai sesuatu yang harus disembunyikan. Di
novel-novel dan film-film dengan latar belakang jaman Victorian, kita melihat bahwa di kalangan
keluarga-keluarga yang dianggap “respectable” (“keluarga baik-baik”) kamar tidur suami terpisah
dari kamar tidur istri. Pada waktu itu tidak ada suami dan istri yang tidur tanpa busana, untuk segala
sesuatu ada busananya, juga apabila suami istri mengadakan hubungan seksual.

Nah, ketika budaya Victorian ini goyah dan digantikan oleh budaya lain, tidak semua mengikutinya,
ada golongan minoritas yang tetap berpegang kepadanya karena sudah terlanjur mengidentikkan
moral budaya Victorian ini dengan iman. Bagi mereka, inilah yang “Alkitabiah”, sedangkan yang lain,
yang baru, “tidak Alkitabiah”. Orang-orang ini tidak lagi merasa kerasan dalam konteks mereka
berdiam dan karena itu banyak dari mereka bergabung dalam badan-badan misi yang mengabarkan
Injil ke daerah-daerah jajahan Inggris maupun Belanda, termasuk ke Hindia Belanda. Di Hindia
Belanda, warisan moral budaya Victorian ini bercampur dengan wawasan Puritan yang sudah ada
juga, dan dapat muncul dalam situasi masa kini, yang postmodern. Itulah menurut para arkeolog
pikiran, mengapa pemikiran seksual Victorian ada di Indonesia, baik di Gereja maupun di
Masyarakat. Jadi berbeda dengan anggapan umum bahwa warisan Barat itu mesti bertentangan
dengan kepribadian kita di Indonesia, warisan Barat dari abad ke 19 itu malah dianggap cocok
dengan situasi di Indonesia abad ke 21 dan dengan demikian ada kesesuaian di antara teologi tubuh
di Gereja dan di Masyarakat. Sebagai contoh, saya mengamati bahwa sekarang semua anak sekolah
SMP dan SMA negeri harus menggunakan rok yang panjangnya sampai ke mata kaki. Padahal dulu
ketika saya masih SMA, panjang rok itu sampai ke lutut. Apa yang menyebabkan perubahan ini? Saya
menduga inilah hasil dari pewarisan moral Victorian dari jaman penjajahan atau jaman kolonial yang
dihidupkan kembali, dan dianggap sebagai kepribadian Indonesia. Dari sudut teori orientalisme dan
poskolonialisme, anggapan ini dapat dipertanyakan. Orientalisme adalah pandangan yang kritis
terhadap apa yang dianggap sebagai warisan budaya atau kepribadian Timur. Pandangan yang kita
terima sekarang yang mengantitesakan Barat dan Timur, dan misalnya menganggap bahwa Timur
lebih pasif dan batiniah daripada Barat yang lebih aktif dan jasmaniah, sebenarnya adalah sebuah
konstruksi pemikiran yang dibentuk oleh kolonialisme Barat dan dicekokkan kepada jajahannya
orang Timur, sehingga sampai sekarang orang Timur menerimanya sebagai sesuatu yang benar-
benar menggambarkan kepribadian Timur, padahal bukan.

8
Poskolonialisme mengembangkan lebih lanjut kesadaran ini ke warisan mental orang jajahan.
Meskipun sudah lama merdeka, struktur-struktur pemikiran dari masa terjajah masih kuat bercokol
dan perlu dikritisi serta disingkirkan. Kalau betul bahwa kepribadian kita merupakan sebuah
konstruk yang dicekokkan kepada kita di masa lampau, kita sebagai bangsa yang merdeka perlu
membongkar konstruk ini, demi untuk mendapatkan bentuk kepribadian Indonesia yang autentik. Ini
bukan kembali ke tradisionalisme, oleh karena poskolonialisme mengakui bahwa mereka yang lama
dijajah telah merupakan mahluk hibrida, dia Timur tetapi juga Barat. Kita tidak mau mencari
kebudayaan asli Indonesia karena hal itu tidak mungkin, melainkan mau autentik. Kita perlu
membedakan originalitas dengan autentisitas. Orang Kristen perlu mengambil bagian dalam upaya
atau quest untuk “menjadi Indonesia”. Para teolog bisa memberikan wawasan-wawasan teologis
Kristen dalam rangka quest bersama ini. Tetapi tentu dibutuhkan pemahaman sosiologis dan
antropologis yang mendalam mengenai hal ini. Dalam hal ini teologi dapat bekerja sama dengan
ilmu-ilmu sosial. Ini bukan pergeseran dalam teologi, apalagi pengkhianatan, melainkan sesuai
dengan pemahaman di atas, bahwa orang Kristen adalah orang yang berpegang pada prinsip Sola
Scriptura Plus.

Penutup: menahan penilaian kepada yang lain sebagai “tidak Alkitabiah”

Salah satu warisan moral Victorian ini adalah pandangan yang negatif mengenai homoseksualitas.
Maka menjadi panggilan bagi teolog-teolog Indonesia untuk menafsirkan secara baru,
homoseksualitas ini menjadi sesuatu yang positif, seperti telah dilakukan oleh teman-teman PGI.
Mungkin dalam argumentasi mereka ada hal-hal yang dapat dipertanyakan, tetapi secara
keseluruhan menurut saya argumentasi yang dikemukakan cukup memadai. Sebagai penutup dari
uraian untuk sesi I ini saya ingin kembali ke dasar hermeneutik yang telah dikemukakan di atas. Dari
contoh yang telah diberikan mengenai bagaimana kita membaca Alkitab, maka jelaslah bahwa kita
membaca dan menerapkan teks Alkitab bersama dengan asumsi-asumsi kita. Hal ini tidak bisa kita
hindarkan, oleh karena mekanisme (kalau boleh saya menyebutnya demikian) atau proses
pemahaman di dalam diri kita memang demikian adanya. Kalau kita menghubungkannya dengan
prinsip Sola Scriptura, jelas juga bahwa semua yang menerapkan prinsip ini, pada hakikatnya tidak
menjalankan Sola Scriptura, melainkan ditambahi dengan asumsi-asumsi, dengan kata lain, Sola
Scriptura Plus. Asal kita menyadari hal ini, tidak apa-apalah kalau kita tetap bertahan dalam
kerinduan kita untuk mencari dasar Alkitabiah bagi pemikiran-pemikiran kita. Kita membaca teks
Alkitab secara subjektif, tidak pernah objektif. Mereka yang menekankan bahwa tafsiran mereka
“langsung dari Alkitab”, bahkan tidak ditafsir lagi melainkan dari sononya sudah begitu,
“sebagaimana adanya” sebenarnya mau menekankan bahwa mereka objektif. Tetapi mereka yang
memelajari model tafsir historis kritis juga pernah ada masanya menganggap tafsiran mereka
sebagai “objektif” karena katanya tidak melalui asumsi, melainkan “sebagaimana adanya”. Model
tafsiran pada masa kini, termasuk tafsiran historis kritis tidak lagi berani mengklaim objektifitas
seperti itu. Ada asumsi-asumsi juga di dalam benak si penafsir, dan jauh lebih baik apabila asumsi-
asumsi ini diakui terlebih dulu. Dalam hermeneutika dikenal apa yang disebut “lingkaran
hermeneutis”. Kita menafsirkan teks berdasarkan pra paham yang kita punyai, bahkan juga bisa
berdasarkan prasangka yang kita punyai, namun kita tidak berhenti sampai di situ, kita bergumul
terus dengan teks, sehingga akhirnya pra paham dapat kita atasi atau kita patahkan, dan masuk ke
dalam paham. Umumnya perubahan dari pra paham menuju kepada paham terjadi dalam dialog

9
dengan yang lain, dan memakan waktu. Jarang sekali hal itu terjadi begitu saja dalam perenungan
kita seorang diri. Maka benar juga hikmah popular yang berkata bahwa makin kurang pergaulan kita
dengan mereka yang berbeda dari kita, makin besar kemungkinan bahwa kita akan menganggap pra
paham atau prasangka kita sebagai paham.

Yang menjadi soal adalah apabila pra paham itu tidak diakui, bahkan langsung sudah dianggap
sebagai paham. Dalam bidang penafsiran Alkitab hal itu terjadi apabila kita menekankan bahwa
pemahaman kita adalah “Alkitabiah” sedangkan yang lain adalah “tidak Alkitabiah” alias tidak benar
atau salah. Dalam memahami dunia, realitas, konteks, atau teks, kita bisa salah, mengacaukan di
antara pra paham dengan paham, tetapi yang dimaksudkan di sini bukan itu, melainkan sebuah
keyakinan bahwa saya benar dan yang lain salah secara mutlak. Orang lain selalu salah, saya selalu
benar. Tentu saja secara manusiawi tidak ada yang bisa memertahankan pandangan bahwa saya
selalu benar sedangkan yang lain selalu salah. Tetapi dalam bidang keagamaan, sikap memutlakkan
pandangan sendiri sering muncul. Manusia bisa salah, tetapi Tuhan tidak bisa salah. Karena Tuhan
adalah mutlak, maka ajaranNya adalah mutlak, maka Alkitab sebagai Firman Allah adalah mutlak.
Karena Tuhan tidak bisa salah, maka Alkitab sebagai Firman Allah tidak bisa salah. Namun, yang jadi
masalah, logika ini diteruskan ke tafsiran. Kalau menafsir Firman Allah yang tidak bisa salah, maka
penafsir atau manusianya tidak bisa salah! Di kalangan Reformasi, dan lebih khusus lagi di kalangan
penganut Calvinisme, kemutlakan Alkitab sebagai Firman Allah diakui sebagai prinsip, namun dalam
soal menafsirkannya terdapat kebebasan. Artinya orang membedakan di antara teks dan tafsiran
mengenai teks. Dalam hal ini orang mengandalkan pada sejarah Reformasi sendiri. Luther dan Calvin
adalah Reformator yang dihormati, tetapi pendapat Calvin bisa berbeda dari pendapat Luther,
namun kedua-duanya akhirnya menjadi pertimbangan dalam pemahaman Kristen. Kalau ditarik atau
diusut ke belakang lagi, ke jaman Alkitab, pendapat Paulus mengenai iman ( iman bukan perbuatan)
jelas berbeda dari pemahaman Yakobus mengenai iman (iman dan perbuatan), tetapi keduanya
dipergunakan sebagai pertimbangan, bahkan tidak jarang diharmonisasikan. Di dunia ilmu tafsir
Kristen orang bisa berbicara mengenai kesalahan redaksional, salah salin atau varian dalam teks (di
Matius, Kotbah Gusti Yesus diucapkan di gunung, sedangkan di Lukas, kotbah Gusti Yesus diucapkan
di tanah datar), menelusuri perbedaan-perbedaan misalnya di kitab Ayub berdasarkan teks Ibrani
dari kalangan Masoret dan versi Septuaginta, misalnya berkaitan dengan makna ucapan istri Ayub.
Setelah model penafsiran naratif berkembang dan popular, juga di kalangan Kristen konservatif,
maka orang belajar melihat teks dalam konteks narasi, seperti contoh yang sudah saya kemukakan di
atas, mengenai masalah wibawa rasuli yang individual atau yang kolektif seperti di narasi Injil
Matius. Sudah biasa pula orang membandingkan tafsiran ayat tertentu menurut si A, si B dan si C,
dan akhirnya mengambil keputusan mana yang benar dalam menafsirkan dan mana yang salah.
Tetapi yang salah itu tidak akan dicap sebagai “tidak Alkitabiah”, karena diskursus berlangsung
dalam suasana akademik dan dalam aras tafsiran terhadap teks.

Namun tidak semua merasa kerasan dengan prinsip yang membedakan tafsiran terhadap teks dan
teks itu sendiri. Menurut kalangan Kristen tertentu (bisa Calvinis bisa bukan), kalau Alkitab tidak
bisa salah, maka tafsiran juga tidak bisa salah. Tafsiran dan teks adalah satu. Maka menggugat
tafsiran berarti menggugat teks. Kalangan ini menekankan bahwa Alkitab tidak bisa salah dan prinsip
mereka disebut sebagai pemahaman “inerrancy”. Wacananya merumuskan bahwa Alkitab adalah
“inerrant” tetapi sebenarnya yang mau ditekankan adalah bahwa pandangan dan pendapat mereka
tidak bisa salah. Pandangan mereka adalah “Alkitabiah” sedangkan pandangan lain yang berbeda
dari mereka adalah “tidak Alkitabiah”. Sepintas lalu memang tidak berbeda dengan keyakinan

10
kalangan Calvinis yang sudah disebut di atas, bahwa Alkitab sebagai Firman Allah tidak bisa salah,
tetapi sebenarnya sungguh berbeda dalam substansinya, oleh karena kalangan Calvinis yang bisa
membedakan di antara tafsiran terhadap teks dan teksnya sendiri, tidak pernah memutlakkan
tafsiran mereka. Tafsiran terhadap teks Alkitab selalu bisa salah atau ketinggalan jaman, dan karena
itu selalu perlu ada tafsiran-tafsiran baru, dan adanya tafsiran-tafsiran baru itu menunjukkan adanya
kepelbagaian tafsiran. Mahasiswa-mahasiswa sekolah teologi biasanya terkejut ketika mereka
mengikuti kuliah tafsir, karena buku tafsir yang dipergunakan oleh dosennya bukan cuma satu saja,
melainkan beberapa. Mereka sebelumnya agak terbiasa dengan satu tafsiran saja, sebagai tafsiran
yang benar (sedangkan yang lain salah). Maka mereka selalu bingung diperhadapkan dengan
kepelbagaian tafsir ini. Kalau mereka mengungkapkan kepada saya bahwa mereka bingung, saya
menjawab bahwa kebingungan itu merupakan sesuatu yang positif, karena itu tandanya mereka
mulai memikirkan alternatif-alternatif penafsiran. Dalam rangka membahas mengenai Alkitab dan
saudara/I LGBT, kita perlu mafhum mengenai pemahaman inerrancy ini, supaya diskursus mengenai
tema ini tidak berhenti oleh karena belum-belum sudah dicap sebagai “tidak Alkitabiah”. Biasanya
pemahaman inerrancy ini dikaitkan dengan kaum fundamentalis, tetapi saya tidak membuat kaitan
ini. Kalau kita menyadari struktur berpikir atau mind-setnya, maka paham inerrancy ini ada di mana-
mana, juga di kalangan para penafsir Alkitab yang menggunakan model-model tafsir akademis,
bahkan juga di kalangan para akademisi non agama. Ketika orang memutlakkan pendapatnya, dia
membuat sains yang sebenarnya terbuka menjadi tertutup. Sains menjadi saintisme, ilmu menjadi
mandek. Secara psikologis tidak mudah menjadi terbuka, yakin pada pendapat sendiri namun
terbuka pada keterbatasan pendapat sendiri. Misalnya orang ini tadinya tergolong fundamentalis,
tetapi kemudian berpindah ke golongan lain, tetapi mind-setnya tetap sama, ya sebenarnya dia
tetap fundamentalis, meskipun misalnya dia adalah pakar sains. Jadi daripada berbicara mengenai
orang fundamentalis, lebih baik kita berbicara mengenai mind-set fundamentalis. Kalau orang
berpendapat bahwa bersikap anti LGBT adalah “Alkitabiah” sedangkan bersikap pro LGBT adalah
“tidak Alkitabiah”, maka itulah cara kerja dari mind-set fundamentalis.

11

Anda mungkin juga menyukai