Anda di halaman 1dari 5

1

DANGKAL ATAU DALAM?


Kisah Para Rasul 19:1-12

Tentang Kekristenan di dunia masa kini, John Stott menyimpulkannya dengan tiga kata, yaitu
“bertumbuh tanpa kedalaman”.1

Stott benar. Tidak ada keraguan terhadap fenomena pertumbuhan Gereja di berbagai belahan dunia.
Statistik pertumbuhan Gereja sangat mengagumkan. “Ledakan” bukanlah kata yang terlalu dramatis
untuk melukiskannya. Gereja di Cina, misalnya, telah bertumbuh setidaknya seratus kali lipat sejak
pertangahan abad ke-20. Saat ini lebih banyak orang percaya yang menyembah Tuhan setiap
Minggu di Cina dibanding dengan jumlah jemaat dari seluruh gereja di Eropa Barat. Namun, pada
April 2006, Ny. Cao Shengjie, yang pada saat itu adalah Presiden dari China Christian Council,
menyatakan di Los Angeles demikian:

Beberapa orang mengatakan bahwa Gereja makin baik tatkala mengalami pertumbuhan
jumlah. ... dan kita ingin melihat semakin banyak orang ditambahkan dalam Gereja setiap
hari. Namun kita tidak sekedar mencari jumlah, kita ingin pertambahan jumlah berjalan
paralel dengan peneguhan iman dari Gereja.2

Artinya, pertumbuhan Gereja seringkali adalah pertumbuhan tanpa kedalaman. Pertumbuhan


statistik tanpa kaitan dengan perkembangan pemuridan.

Ini seperti kondisi ekonomi di negeri kita. Di awal tahun ini, pemerintah menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi kita cukup signifikan, 6,1 %, melampaui target 5,8 %. Namun, nampaknya
angka itu hanya menunjukkan pertumbuhan statistik, tidak mencerminkan perubahan kondisi
ekonomi rakyat kecil. Buktinya, di awal tahun ini juga negeri kita digemparkan oleh kasus-kasus
bunuh diri dan kematian akibat kemiskinan dan kelaparan. Artinya, angka 6,1 % itu menyatakan
bahwa yang kaya semakin jaya dan yang miskin tetap atau semakin terpuruk.

Kembali kepada masalah Kekristenan. Kedangkalan pemuridan terjadi di mana-mana, dan para
pemimpin Gereja meratapi situasi ini. Seorang pemimpin dari Asia Selatan pernah menyurati Stott
dan mengatakan bahwa meskipun Gereja di negaranya bertumbuh dalam jumlah, “terdapat masalah
besar dengan kurangnya kekudusan dan integritas”. Senada dengan itu, seorang pemimpin dari
Afrika pernah menuliskan bahwa “pertumbuhan ini sebagian besar hanyalah angka-angka. ... Gereja
tidak punya dasar alkitabiah atau teologis yang kuat dari dirinya sendiri”.3

Keadaan seperti ini tidak dikehendaki Allah. Allah menghendaki bukan terutama pertumbuhan
statistik, tapi kedalaman. Sabda Yesus sang Kepala Gereja: “Bukan setiap orang yang berseru
kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan
kehendak Bapa-Ku yang di sorga” (Mat 7:21). Yesus menghendaki kedalaman lebih daripada
pertumbuhan statistik.

Dalam teks suci kita, Kisah Para Rasul 19:1-12, narator menuturkan pelayanan Paulus di Efesus.
Banyak penafsir mendekati teks ini, khususnya ayat 1-7, secara dogmatis, memperlakukannya

1
John Stott, Murid yang Radikal: Beberapa Aspek yang Sering Diabaikan Orang Kristen (terj. asli Inggris; Surabaya:
Literatur Perkantas Jawa Timur, 2010), p. 35.
2
Dikutip oleh Stott (ibid).
3
Ibid.
2

sebagai teks yang mengajarkan hal baptisan dan menjawab isu-isu tentang baptisan, terutama isu
baptisan ulang dan isu baptisan Roh sebagai pengalaman kedua. Mengacu kepada teks ini, ada
gereja yang mengklaim bahwa baptisannya yang sah, baptisan gereja atau aliran lain tidak sah; ada
yang mewajibkan baptisan ulang bagi yang calon anggota yang berasal dari gereja atau aliran lain;
ada yang mengajarkan perlunya baptisan Roh setelah baptisan air; ada juga yang menolak semua itu
dan menegaskan bahwa baptisan cukup sekali; dsb. Alhasil, sampai sekarang teks ini menjadi ajang
perdebatan. Supaya acara ini tidak turut memperpanjang perdebatan tersebut, saya akan mendekati
teks ini dengan cara lain. Saya akan menafsirnya secara literer atau sastrawi.

Pendekatan literer atau sastrawi terhadap teks sebagai sebuah karya sastra menyoroti kekayaan
sastra yang terdapat di dalamnya, seperti bahasa, gaya bahasa, struktur, dsb., untuk menemukan
kekayaan pesan-pesannya.

Untuk teks suci kita, saya akan melacak struktur sastrawinya guna menemukan pusatnya.
Perhatikan tuturan di ayat 1-7. Apakah Saudara melihat sebuah struktur di sini? Bagian ini – ayat 1-
7 – diawali dan diakhiri dengan unsur murid-murid (ay. 1 dan ay. 7). Di ayat 1, ada beberapa orang
murid; di ayat 7, diberitahu jumlahnya, kira-kira dua belas orang. Pasangan kalimat dengan unsur
sama seperti kita dapat kita jumpai pada lapisan-lapisan kalimat yang lebih dalam sampai kita tiba
pada pusatnya. Pada lapisan kedua, ayat 2 dan ayat 6, terdapat unsur Roh Kudus. Di ayat 2, Paulus
bertanya apakah mereka sudah menerima Roh Kudus waktu percaya, dan mereka menjawab belum,
bahkan mereka belum pernah mendengar tentang Roh Kudus; di ayat 6, Roh Kudus turun atas
mereka melalui penumpangan tangan Paulus. Pada lapisan ketiga, ayat 3 dan ayat 5, terdapat unsur
baptisan. Di ayat 3, Paulus bertanya dengan baptisan apa mereka telah dibaptis, dan mereka
menjawab dengan baptisan Yohanes; di ayat 5, mereka memberi diri dibaptis dalam nama Tuhan
Yesus. Akhirnya, sampailah kita di pusat bagian ini, yaitu ayat 4. Di sini, terdapat unsur Ketuhanan
Yesus. Paulus berkata, “Baptisan Yohanes adalah baptisan orang yang telah bertobat, dan ia berkata
kepada orang banyak, bahwa mereka harus percaya kepada Dia yang datang kemudian daripadanya,
yaitu Yesus”. Itulah pusat dari ayat 1-7!

Jadi, secara sastrawi, penekanan narator adalah pada vitalitas Ketuhanan Yesus dalam Kekristenan,
bukan pada masalah baptisan – doktrin atau cara baptisan. Dengan struktur tersebut, narator
bermaksud menyatakan bahwa sekali pun seseorang telah menyandang predikat “murid” atau
“Kristen,” sudah dibaptis, bahkan sudah “bertobat” – meninggalkan dosa-dosanya dan berperilaku
saleh –, sebelum ia percaya dan menyerahkan dirinya kepada Yesus, Kekristenannya masih
dangkal. Kekristenan bukanlah sekedar masalah kesalehan. Kekristenan jauh lebih dalam dari itu.
Banyak orang yang perilakunya saleh bukan Kristen. William Henry Griffith Thomas dalam
Christianity is Christ - karya klasiknya di awal abad ke-20 – menulis: “Christianity is nothing less
and can be nothing more than relationship to Christ”.4 Ya, Kekristenan tidak kurang dan tidak lebih
daripada hubungan dengan Yesus. Yesus sebagai Tuhan. Murid-murid yang disapa oleh Paulus
diajak untuk percaya kepada Yesus, lalu mereka memberi diri mereka dibaptis “dalam nama Tuhan
Yesus”. Demikianlah retorika narator. Percaya kepada Yesus tidak hanya berarti meninggalkan
dosa-dosa dan berperilaku saleh, tetapi juga dan terutama menyerahkan diri kepada Ketuhanannya.
Kekristenan yang sejati, yang dalam, diawali dengan penyerahan diri kepada Yesus. Kekristenan
tidak lain daripada pengabdian kepada Tuhan Yesus!

Apa yang mengikuti penyerahan diri kepada Yesus adalah pengalaman menerima Roh Kudus.
Bagian ini diawali dengan pertanyaan Paulus: “Sudahkah kamu menerima Roh Kudus, ketika kamu
4
W. H. Griffith Thomas, Christianity is Christ (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, t. p.), p. 8.
3

menjadi percaya?” (ay. 2a), dan diakhiri dengan peristiwa turunnya Roh Kudus ke atas mereka
ketika mereka menyerahkan diri kepada Tuhan Yesus, ditandai dengan berkata-kata dalam bahasa
roh dan bernubuat (ay. 6). Tanda-tanda adalah sekunder, tidak harus sama, yang terutama adalah
untuk apa Roh Kudus diberikan? Jawabannya terkait langsung dengan penyerahan diri atau
pengabdian kepada Yesus. Roh Kudus diberikan sebagai sumber daya atau kekuatan untuk
mengabdi kepada Yesus. Yang mengabdi kepada Yesus diberdayakan oleh Roh Kudus, yang tidak
ya tidak! Jadi, Kekristenan sejak awal adalah fully empowered by the Holy Spirit in a full
commitment to Lord Jesus, sepenuhnya diberdayakan oleh Roh Kudus dalam komitmen penuh
kepada Tuhan Yesus. Di situlah letak kedalaman Kekristenan!

Dalam konteks PMK yang lintas denominasi, kebenaran ini mengajak kita untuk berhenti
memperdebatkan masalah baptisan – doktrin dan cara baptisan. Satu atau dua baptisan? Selam atau
percik? Bukan pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang sedang digeluti Lukas ketika menulis Kisah
Para Rasul. Yang dipikirkannya adalah apa hakikat Kekristenan? Apa yang membedakan
Kekristenan dengan sekedar beragama? Jawabannya adalah adanya vitalitas Ketuhanan Yesus di
dalamnya. Kekristenan adalah penyerahan diri dan pengabdian kepada Yesus. Kekristenan adalah
sepenuhnya diberdayakan oleh Roh Kudus dalam komitmen penuh kepada Tuhan Yesus.

PMK semestinya menjadi tempat di mana Kekristenan yang dangkal, sekedar beragama Kristen,
diperdalam, sehingga anggota-anggotanya benar-benar menyerahkan diri dan mengabdi kepada
Yesus. Untuk itu, penginjilan yang kita lakukan mesti dikaji ulang. Jika apa yang kita tawarkan
kepada mereka yang belum percaya terutama adalah surga ganti neraka, maka bukankah kita tidak
menolong mereka untuk keluar dari pementingan diri sendiri? Siapa yang tidak ingin masuk ke
surga? Siapa yang ingin masuk ke neraka? Bukankah yang semestinya kita upayakan adalah
menyadarkan manusia akan panggilan kemanusiaan mereka, yaitu mencintai Tuhan dan sesama
manusia, keberdosaan dan keegoisan mereka, serta pengampunan dan pemulihan yang Allah
sediakan melalui Yesus?

Pernah seorang anggota Majelis di sebuah gereja berkomentar tentang khotbah-khotbah saya: “Pak
Erick cenderung berpihak hanya kepada orang lemah, padahal di gereja juga banyak orang kaya dan
mereka mempunyai pergumulan sendiri. Persoalan orang kaya lebih kompleks daripada orang
sederhana, Pak. Bapak juga harus memperhatikan dan menguatkan mereka!”

Saya menjawab, “Justru karena saya memperhatikan bukan cuma yang miskin, tapi juga yang kaya,
maka saya mengajak mereka untuk berbela rasa dengan dan menolong saudara-saudara mereka
yang miskin, karena saya yakin hanya dengan demikian hidup mereka berkenan di mata Allah dan
diberkati oleh Allah. Saya di satu sisi setuju bahwa persoalan orang kaya lebih kompleks daripada
orang miskin, tapi di sisi lain saya menjumpai bahwa banyak persoalan orang kaya diakibatkan ulah
mereka sendiri – meninggalkan kesederhanaan dan terus-menerus meningkatkan taraf hidup seiring
bertambahnya kekayaan mereka. Menurut saya, kalau mereka memilih untuk tidak mengandalkan
kekayaan mereka, tetapi bersandar hanya kepada Tuhan, dengan menolak kemewahan, sebaliknya
memilih gaya hidup sederhana demi bela rasa dengan dan menolong saudara-saudara mereka yang
miskin, maka persoalan mereka mungkin tidak akan sekompleks yang Bapak kemukakan!”

Si anggota Majelis terdiam sejenak, lalu berkata, “Benar juga, Pak. Saya harus mengakui bahwa
saya lebih sibuk mencari uang, bukan Tuhan, karena Tuhan tidak kelihatan, uang kelihatan, bisa
dipegang, bisa diandalkan, memberikan kenyamanan. Tapi menurut saya, di tengah-tengah segala
4

persoalan saya, sikap egois saya, ketidaksetiaan saya, Tuhan tetap menyayangi saya, memberkati
saya, buktinya Dia memberikan banyak keuntungan kepada saya!”

Dalam hati, saya berkata, “Persoalan orang kaya memang lebih kompleks ketimbang orang
sederhana. Tidak semua keuntungan berasal dari Tuhan. Keuntungan yang diperoleh secara tidak
adil, curang, jelas tidak berasal dari Tuhan. Lagipula kekayaan bukan satu-satunya dan bukan
terutama tanda berkenannya Tuhan atas hidup seseorang, karena kekayaan dimaksudkan bukan
untuk dinikmati sendiri dan hidup dalam kemewahan, tapi untuk dibagi dan berbela rasa dengan si
miskin!” Tidak heran Tuhan Yesus berkata, “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke
dalam Kerajaan Allah. ... lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang
kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Luk 18:24-25).

Wacana seperti ini semestinya yang mewarnai kehidupan PMK!

Sekarang kita perhatikan bagian selanjutnya, ayat 8-12. Kembali saya akan menyoroti struktur
sastrawinya dan menunjukkan pusatnya.

Bagian ini diawali dan diakhiri dengan unsur upaya meyakinkan orang-orang tentang Kerajaan
Allah (ay. 8 dan ay. 11-12). Di ayat 8, Paulus berusaha meyakinkan mereka melalui
pemberitaannya; di ayat 11-12, Paulus berusaha meyakinkan mereka melalui mujizat-mujizat yang
diadakannya. Pada lapisan kedua, ayat 9a dan ayat 10, terdapat unsur tanggapan atau hasil dari
pemberitaan Paulus. Di ayat 9a, ada beberapa orang yang menolak dan menentang pemberitaan
Paulus; di ayat 10, semua penduduk Asia mendengar pemberitaan Paulus. Akhirnya, di pusat bagian
ini, ayat 9b, terdapat unsur sikap Paulus terhadap dua macam tanggapan tersebut. “Paulus
meninggalkan mereka (yang menolak pemberitaannya) dan memisahkan murid-muridnya dari
mereka, dan setiap hari berbicara di ruang kuliah Tiranus”.

Jadi, penekanan narator dalam bagian ini melanjutkan penekanan pada bagian sebelumnya, yaitu
pada kedalaman Kekristenan. Itulah fokus pelayanan Paulus, bukan pertumbuhan statistik. Umpatan
terhadap pemberitaan-Nya di muka umum oleh beberapa orang yang tegar hatinya merupakan
ancaman terhadap pertumbuhan statistik Kekristenan. Namun, Paulus tidak mau meladeni mereka
demi mempertahankan jumlah. Dia memusatkan perhatian pada murid-muridnya, mereka yang
menerima pemberitaan-Nya, dan mengajar mereka secara intensif, setiap hari. Mengapa? Karena
fokus pelayanan Paulus bukanlah pertumbuhan statistik, tapi kedalaman Kekristenan!

Fokus pelayanan yang seperti itu disertai mujizat-mujizat yang luar biasa. Bagian ini diawali
dengan upaya Paulus meyakinkan penduduk Efesud tentang Kerajaan Allah (ay. 8), dan diakhiri
dengan terjadinya mujizat-mujizat luar biasa oleh Allah melalui Paulus, bahkan saputangan dan
kain yang pernah dipakai Paulus dapat melenyapkan penyakit dan mengusir roh-roh jahat (ay. 11-
12). Tanda-tanda saputangan dan kain itu adalah sekunder, bisa macam-macam, yang terutama
adalah untuk apa mujizat terjadi? Jawabannya terkait langsung dengan pemberitaan Injil oleh
Paulus. Mujizat itu adalah cara Allah meneguhkan berita yang disampaikan Paulus. Mujizat adalah
salah satu aspek dari fully empowered by the Holy Spirit in a full commitment to Lord Jesus,
sepenuhnya diberdayakan oleh Roh Kudus dalam komitmen penuh kepada Tuhan Yesus. Sekali
lagi, di situlah letak kedalaman Kekristenan!

Semasa duduk di bangku kuliah di Jurusan Teknik Mesin Trisakti, saya pernah memimpin
Kelompok Kecil yang anggota-anggotanya dari Fakultas Teknologi Mineral. Ketika itu, entah
sekarang, mahasiswa Teknik Mesin dan mahasiswa Teknonogi Mineral adalah musuh bebuyutan,
5

seringkali terjadi tawuran di antara keduanya. Dalam konteks seperti itu, saya tertantang untuk
menunjukkan bahwa dalam Kekristenan, tidak ada lagi musuh bebuyutan, yang ada saudara senasib
sepenanggunan. Dalam Kekristenan, Kerajaan Allah hadir!

Salah satu pergumulan adik rohani saya adalah keadaan ayahnya. Beliau punya satu lemari penuh
benda-benda magis. Hidupnya penuh dengan kekerasan. Kami berdoa agar ayah kami itu bertobat
dan menyerahkan diri kepada Yesus. Saya pribadi rindu terjadi mujizat atas ayah kami, sehingga
iman semua anggota Kelompok Kecil diteguhkan oleh mujizat tersebut. Nampaknya tidak terjadi
apa-apa, sampai suatu saat ayah kami mendadak sakit keras. Dirawat di Rumah Sakit, sampai
Beliau sekarat, dokter tidak dapat mendeteksi penyakitnya. Siang itu, saya memberanikan diri untuk
memberitakan Injil kepadanya. Suasana sangat mencekam, saya merasa ruangan itu penuh dengan
kuasa kegelapan yang ingin menelan saya. Modal saya cuma satu, iman bahwa daya Roh Kudus
menyertai pemberitaan Injil. Puji Tuhan, siang itu ayah kami mau bertobat dari dosa-dosanya dan
menyerahkan diri kepada Yesus. Siang itu juga, dengan ijin Beliau, kami ramai-ramai
menghancurkan benda-benda magis ayah kami. Cuma satu yang tidak ketemu. Paku emas di kuda-
kuda atap. Sampai hitam semua wajah kami, paku itu tidak berhasil kami temukan. Esoknya,
terheran-heran dokter menyatakan bahwa ayah kami mendadak sembuh, kondisi tubuhnya
mendadak normal. Beberapa hari kemudian Beliau pulang ke rumah. Lalu, Beliau mengikuti
pembinaan iman di sebuah gereja dan dibaptis. Beberapa hari setelah dibaptis, ayah kami wafat.
Wajahnya penuh damai. Ayah kami pulang ke rumah Bapa di surga. Dan kami mengiringi
kepergiannya dengan iman yang telah diteguhkan oleh mujizat demi mujizat!

Bandung, 11 Februari 2011,

Murid yang dieman Yesus.

Anda mungkin juga menyukai