Anda di halaman 1dari 3

Penulis: Orang Riangbao, Vinsensius Ferari Prasong

Mahasiswa Universitas PGRI NTT

Paskah:

Transformasi

Diri

Dan

Sosial,

Bukan

Show

Force

Baru saja umat Kristen di seluruh dunia merayakan Paskah. Ada bermacam cara
mengekspresikan kepercayaan Kristen kepada Yesus Kristus yang hidup, mati dan bangkit itu.
Paskah dirayakan selain dalam bentuk ibadah-ibadah konvensional atau kreatif, juga dalam
bentuk prosesi Paskah dan pawai obor dan lain- lain. Suasana Paskah begitu terasa hampir di
semua tempat. Apalagi perayaan ini telah diawali dengan perayaan-perayaan sebelumnya selama
masa pra-Paskah hingga Jumat Agung (peringatan kematian Yesus Kristus). Pemasangan lampulampu salib warna-warni menghiasi hampir setiap rumah dan tempat yang strategis menjadi
pernik-pernik indah di malam hari. Perayaan dan pemandangan macam ini sudah mentradisi, dan
beberapa tahun belakangan ini kian marak dirayakan sebagai pesta iman bersama yang
melibatkan
hingga
pejabat-pejabat
daerah
dan
kota
dalam
kepanitiannya.
Sebagai seorang Kristen pasti bangga dan kagum mengamati maraknya perayaan Paskah. Media
cetak pun memajang berbagai foto dan atraksi menyemarakan Paskah baru-baru ini disertai katakata- kata yang sangat menawan. Pertanyaan yang selama ini mengusik ialah apakah fenomena
yang telah mentradisi ini dan bahkan yang telah menghebohkan ini dapat dijadikan rujukan
untuk mengukur kesuksesan, kebesaran dan kesejahteraan umat sungguh terlalu naf. Mari kita
kembali menengok kesaksian Alkitab tentang Paskah Yesus Kristus. Dalam empat Injil
dikisahkan bahwa setelah Yesus, Sang Guru itu mati, murid-muridNya dicekam ketakutan dan
kegelisahan yang amat sangat. Bukan saja takut dibunuh oleh orang-orang Yahudi (yang telah
membunuh Guru mereka) tetapi utamanya bahwa kematian Yesus telah membuat mereka
kehilangan pegangan hidup yakni kepercayaan dan pengharapan. Apa artinya hidup sekalipun
masih bernafas, jika tanpa iman dan pengharapan bagaikan sebuah kematian. Dengan demikian

kematian Sang Guru bukan saja akhir dari gerakan Yesus tetapi sekaligus akhir dari kehidupan
itu sendiri. Oleh karena itu tak ada cara lain kecuali meninggalkan kubur Yesus dan pergi
mengunci diri dalam cengkraman ketakutan tanpa kepastian masa depan. Lain halnya dengan
murid-murid Yesus yang perempuan. Sungguhpun mereka cemas, tetapi tidak pengecut, malahan
berani menghadapi kenyataan. Sebuah bukti bahwa perempuan-perempuan sejak semula telah
tampil sebagai pelopor-pelopor dari gerakan Kekristenan. Ketangguhan dan kesetiaan mereka
telah terbukti pun pada saat sedih, gelisah, genting, dan bahkan ketika nyawa terancam mereka
tetap bersama Yesus. Seperti diberitakan oleh empat Injil, perempuan-perempuan itulah yang
pertama-tama berjumpa dengan Kristus yang telah bangkit, baru sesudah itu murid-murid lakilaki setelah murid-murid perempuan memberitakan kabar sukacita itu kepada mereka.
Perjumpaan dengan Kristus itulah telah mengubah secara radikal kehidupan murid-murid:
sebelumnya takut berubah menjadi percaya, sebelumnya sedih berubah menjadi sukacita,
sebelumnya kehilangan pengharapan berubah menjadi berpengharapan, dan sebelumnya
mengisolasi dan mengurung diri berubah menjadi pemberani lalu pergi mewartakan Injil - Kabar
Baik - Kabar Keselamatan - Kabar Kehidupan kepada semua orang dan ke seluruh penjuru
dunia. Apa yang terjadi selanjutnya ialah gerakan Yesus yang pada mulanya hanya terdiri dari
beberapa orang saja kemudian meningkat dan meluas menjadi komunitas yang mendunia .
Banyak orang menjadi percaya dan hidup dalam damai sejahtera sebagai buah dari iman kepada
Yesus Kristus. Jadi, Paskah adalah perjumpaan dengan Kristus yang mengubah (transformasi)
hidup menjadi bermartabat: sejahtera lahir dan batin, material dan spiritual. Itulah fitrah manusia
yang sesungguhnya manusia sebagai Imago Dei (Gambar Allah), yang ditempatkanNya di
Taman Firdaus. Dengan demikian bagi kepercayaan Kristen, fitrah manusia yang hilang karena
manusia jatuh ke dalam dosa (melanggar kehendak Allah), hanya dapat ditemukan kembali
dalam
perjumpaannya
dengan
Yesus
Kristus
Bertolak dari perspektif ini, sambil menengok ke dalam konteks dan realitas sosial bangsa kita
sekarang ini maka Paskah sesungguhnya lebih merupakan sebuah perenungan pribadi dan
refleksi sosial ketimbang show force. Betul bahwa Paskah adalah sebuah kemenangan iman,
dan karena itu mesti dirayakan. Akan tetapi, apakah yang dimaksudkan dengan kemenangan
iman itu adalah transformasi diri dari setiap individu-individu dan komunitas Kristen dan
selanjutnya membawa perubahan sosial, ataukah hanya sebatas pengakuan verbal, yang
diekspresikan dalam bentuk kegiatan-kegiatan seremonial dan pernik-pernik Paskah? Jika
demikian, semeriah apa pun dan sebanyak apa pun orang yang hadir dalam perayaan Paskah itu,
jika Paskah tidak membawa tranformasi dalam kehidupan umat dan masyarakat luas, tak ada
artinya perayaan itu. Berita Paskah adalah berita pembebasan dan kemenangan. Bagi umat Israel,
Paskah adalah pembebasan dari perbudakan di Mesir, perbudakan mana telah merampas hak-hak
mereka sebagai manusia yang utuh. Sementara bagi murid-murid Yesus, Paskah adalah berita
pembebasan dari ketakutan, yang muncul karena kehilangan kepercayaan dan pengharapan akan
masa depan. Bagi mereka hanya dalam perjumpaan kembali dengan Yesus Kristus mereka
menemukan lagi spirit dan energi bagi kehidupan yang bermartabat dan berpengharapan yakni
hidup untuk menghidupkan orang lain. Dengan demikian berita Paskah itu selain mempunyai
dasar teologis juga memiliki dasar kultural dalam kehidupan kita. Sehingga mestinya refleksi
Paskah terarah pada realitas dan masalah sosial-politik bangsa dan negara kita, dan bukan
mengulangi saja kisah-kisah Alkitab sebagaimana tampak dalam prosesi-prosesi Paskah.
Bagaimanakah berita Paskah itu bermakna bagi kita di sini, jika fakta memperlihatkan, bahwa
bangsa kita belum dapat keluar dari krisis multi-dimensional: krisis ekonomi, politik,
kepemimpinan, moral, dan kepercayaan yang telah menggiring kepada kemiskinan dan

kebodohan, sementara pada sisi lain wajah bangsa kita kian tercoreng sebagai negara terkorup
dan pengutang terbesar di Asia. Secara politis, bangsa kita telah merdeka 69 tahun dari
penindasan bangsa asing, tetapi sesungguhnya kita belum menikmati kemerdekaan sebagai
individu yang utuh, yang hak-haknya dijamin oleh UUD 45 dan Pancasila. Bayangkan saja
sampi hal-hal yang amat privat (terutama bagi kaum perempuan) harus diatur oleh negara seperti
berbusana, berciuman, dan bergoyang. Bukankah ini cerminan bahwa demokrasi di Indonesia
baru sebatas wacana. Malah ada kecenderungan mempolitisasi dan mengkooptasi agama tertentu
sebagai kendaraan politik bukan saja di level pusat tetapi juga di daerah-daerah. Pun program
pemerintah dalam bentuk kompensasi pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) atau
disebut Subsidi Langsung Tunai (SLT) kepada keluarga/rumah tangga miskin nyatanya hanya
menggiring masyarakat ke dalam eufhoria kemiskinan misalnya muncul keluarga-keluarga
miskin siluman, dan bukan untuk membantu daya beli sebagai imbas dari kenaikan BBM.
Sementara yang miskin menjadi sasaran rentenir atau lintah darat. Dengan demikian bantuan itu
bukan memberikan solusi, sebaliknya hanya membodohi dan memperdaya masyarakat untuk
tidak kritis terhadap masalah yang sebenarnya, dan dengan begitu dapat meredam gejolak masa.
Kemiskinan adalah kenyataan real masyarakat kita. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia 19,2 juta orang atau 11% dan di Sulut
jumlah keluarga keluarga/rumah tangga miskin 22-25%. Ironinya, bahwa penyebab peningkatan
kemiskinan adalah korupsi, yang kini telah merajalela ke semua lini dan level instansi dan
birokrasi sampai ke lembaga-lembaga keagamaan (gereja). Sementara hutang negara kepada
Bank Dunia makin membumbung tinggi sehingga setiap bayi yang baru lahir pun telah dibebani
hutang. Sungguh memprihatinkan yang meminjam negara, yang menikmati koruptor, dan yang
membayar rakyat hingga tujuh turunan. Sebuah fakta yang menunjukkan bahwa kita masih
menjadi bangsa budak: budak korupsi, budak kemiskinan, dan budak kebodohan.
Dalam keprihatianan ini gereja mestinya hadir dengan gaung profetiknya. Ibadah dan perayaan
Paskah apa pun bentuknya, mestinya merefleksikan keprihatian ini. Agar perayaan-perayaan
Paskah sebagai wujud dari perjumpaan kita dengan Kristus yang bangkit menjadi sebuah energi
dan kekuatan moral bagi transformasi diri dan sosial menuju masyarakat yang sejahtera spiritual
dan material. Tak ada lain dari makna Paskah kecuali membangun kehidupan yang bermartabat
bagi setiap insan ciptaan Allah, bebas dari ketakutan dan struktur-struktur yang menindas.

Anda mungkin juga menyukai