Anda di halaman 1dari 11

– Perayaan Ekaristi pada abad pertengahan (VI-XVI)

Sejak abad VIII, Gereja mengarah diri untuk membakukan ritus perayaan Ekaristi dan pada
penyeragaman praktek perayaan Ekaristi. Karolus Agung, seorang kaisar Romawi
memerintahkan agar Perayaan Ekaristi ritus Romawi digarap secara serius menurut tradisi
yang dimiliki oleh ritus Romawi. Karolus Agung kemudian mengeluarkan dekrit untuk
mewajibkan Tata Perayaan Ekaristi ritus Roma-Galikan dilaksanakan diseluruh wilayah
kekaisarannya, untuk menunjukkan kesatuan Gereja di wilayah kekuasaannya.
Upaya pembaruan muncul kembali dibawah Paus Gregorius VII. Ia berusaha menegakkan
sentralitas liturgi Romawi dengan mengharuskan semua uskup di seluruh Gereja barat
menggunakan liturgi Romawi. Ia juga mewajibkan agar seluruh teks yang digunakan dalam
perayaan Ekaristi harus mendapat pengesahan dari kuria Roma.
Bentuk perayaan Ekaristi semakin diperkaya disepanjang masa ini, dimana doa-doa imam dan tambahan
ritus tata gerak ditambahkan, misalnya doa saat imam mencium altar. Pada abad pertengahan ini
berkembang misa votif (votum: harapan, keinginan), yakni misa yang dirayakan menurut ujud tertentu.
Dengan perkembangan misa votif ini, model misa pribadi semakin berkembang.
Kendati pada masa ini, kekristenan seakan sedang mengalami masa keemasannya, namun hal buruk
terjadi dalam perayaan liturgis, khususnya ekaristi, yaitu liturgy dan ekaristi hanya menjadi urusan klerus
(kaum tertahbis) dan umat biasa tidak dilibatkan. Umat seakan terasing dalam perayaan liturgy/ekaristi
dan hanya menjadi penonton. Keterasing umat dalam perayaan liturgis, secara khusus ekaristis terjadi
karena umat tidak memahami perayaan Ekaristi itu sendiri. Bahasa yang digunakan juga tidak dipahami
umat yaitu bahasa Latin; bahasa yang hanya dipelajari oleh para klerus. Cara imam membawa perayaan
Ekaristi, yaitu dengan membelakangi umat dan menghadap ke altar, dan pemisahan antara umat dan
imam yang berada di panti imam dengan pagar, juga menjadi salah satu alasan umat semakin menjadi
penonton.
– Keterasingan umat dalam perayaan liturgis ini menyebabkan suburnya praktek
olah kesalehan dan devosi popular. Ketika Ekaristi berlangsung, umat bukan ikut
ambil bagian dalam perayaan tetapi justru sibuk dengan berbagai doa
devosional, seperti rosario, memanjatkan doa kepada santo-santa, dll.
– Perayaan Ekaristi abad XVI-XX
Abad XVI ditandai dengan peristiwa besar dalam Gereja yakni munculnya gerakan Reformasi dari Martin Luther,
Johanes Calvin, Zwingli dan sebagainya. Para reformator ini memprotes teologi dan praktek Gereja yang mereka
pandang telah jauh menyinpang dari satu-satunya sumber hidup iman, yaitu Kitab Suci. Selain itu mereka
menolak Tradisi Gereja dan menolak Misa kudus, entah berkenaan dengan makna kurban kudus, soal bahasa
perayaan dan soal kehadiran nyata Tuhan/realis presentia.
Menanggapi gerakan reformasi tersebut, Gereja katolik mengadakan Konsili Trente (1545-1563). Salah satu hasil
dari Konsili ini adalah pembaruan yang menyeluruh dalam bidang liturgi. Sejalan dengan agenda pembaruan
liturgi, pada akhir tahun 1570 Paus Pius V memaklumkan Missale Romanum Pius V. Sementara pada tahun 1588,
Paus Pius V mendirikan Kongregasi Suci untuk Ibadat yang bertugas untuk mengawasi kesetiaan Gereja
dimanapun dalam melaksanakan pembaruan liturgi menurut perintah Konsili Trente, dan terutama merayakan
Ekaristi menurut buku misa yang baru tersebut. Pada waktu itu pula dinyatakan bahwa bahasa Latin menjadi
satu-satunya bahasa liturgi bagi seluruh Gereja Katolik di dunia, untuk menjaga kesatuan dan persatuan Gereja.
Pembaruan yang dilakukan Gereja setelah Konsili Trente, tidak terlalu mengubah keterlibatan dan
partisipasi umat dalam merayakan Ekaristi. Menurut Missale Romanum 1570, pemisahan antara
imam-umat tetap terjadi. Misa kudus dirayakan oleh imam sementara umat melakukan olah
devosional dan tetap menjadi pendengar dan penonton.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada abad XX yaitu dengan keluarnya Motu Proprio Tra le
Sollecitudini dari Paus Pius X, pada tahun 1903. melalui dokumen ini, beliau menginginkan agar
partisipasi umat dalam perayaan Ekaristi dimaksimalkan. Bersama keluarnya dokumen ini, muncul
juga gerakan pembaruan liturgi di berbagai tempat. Gerakan liturgi ini menghendaki agar umat
memahami liturgi dan berpartisipasi secara aktif dalam perayaan.
Tanggapan positf dari Tahta suci muncul melalui usaha pembaruan Paus Pius XII yaitu dengan
mengatur kembali perayaan malam Paskah (1951) dan liturgi Pekan Suci pada tahun 1955. Puncak
dari seluruh gerakan pembaruan ini terletak pada Konsili Vatikan II pada tahun 1965.
– Perayaan Ekaristi dalam semangat Konsili vatikan II
Dokumen pertama yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II ini berbicara tentang liturgi yaitu
Sacro sanctum Concilium. Melalui dokumen ini, diprogramkan oleh Gereja, agenda pembaruan
dalam bidang liturgy secara menyeluruh. Salah satu buah dari pembaruan dalambidang
liturgy, terjadi dengan pemugaran tata perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi, sesudah Konsili
vatikan II, bisa diikuti dalam bahasa pribumi dan tidak harus dirayakan dalam bahasa latin,
umat pun dapat mengambil bagian secara aktif, sadar dan penuh. Imam yang sebelumnya
memimpin perayaan dengan membelakangi umat kini berada di tengah umat. Apabila dahulu
Kitab Suci kurang mendapat perhatian, kini pembacaan Sabda Allah yang termuat dalamKitab
Suci dipandang sebagai bagian pokok dari perayaan Ekaristi. Homili disatukan sebagai bagian
integral dari liturgi sabda dan keseluruhan perayaan Ekaristi. Nyanyian-nyanyian bahkan tarian
dari budaya setempat diakomodasi sebagai bagian dari proses inkulturasi.
– Menanggapi keputusan Konsili Vatikan II dalam membarui liturgi, pada tahun 1970
diterbitkan Missale Romanum baru (dinamakan dengan misa in forma ordinaria)
menggantikan Missale Romanum lama (1570) (dinamakan dengan misa in forma
extraordinaria). Dalam buku misa yang baru ini, struktur misa diperjelas,
disederhanakan, menjadi semakin sistematis dan jelas. Buku ini juga menyediakan
tambahan 3 Doa Syukur Agung sehingga pada buku ini terdapat 4 Doa Syukur Agung.
Kemudian pada tahun 1975, Kongregasi Ibadat suci menerbitkan 2 Doa Syukur Agung
dengan tema Rekonsiliasi, yang dalam edisi Indonesia dikenal sebagai Doa Syukur
Agung V dan VI. Sebagai panduan dari buku misale Romanum 1970, diterbitkan pula
buku Institutio Generalis Missalis Romani atau yang diterjemahkan dalam bahasa
indonesia Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR).
– Hingga saat ini kedua jenis misa, yaitu misa yang dipugar sesudah Konsili Vatikan II
atau yang dinamakan Misa in Forma Ordinaria atau Missale Romanum Baru dan
misa yang diarayakan sebelum Konsili Vatikan II atau yang dinamakan Misa in
Forma Extraordinaria atau Missale Romanum lama (1570), bisa dirayakan.
– Misa in forma Ordinaria adalah misa yang kita rayakan sebagaimana kita
merayakan misa pada hari ini: pemimpin dan umat saling berhadapan dan umat
memilikiketerlibatan dan partisipasi yang maksimal.
– Misa in forma Extraordinaria adalah misa yang dirayakan dimana pemimpin
membelakangi umat dan umat kurang memiliki kerterlibatan dan partisipasi. Di
bawah diberikan video tentang contoh misa in forma Extraordinaria.
Video misa in Forma Extraordinaria
(misa sebelum Konsili Vatikan II)

Anda mungkin juga menyukai