2. Arsitektur Gereja
Setelah tahun 600-an, antara zaman Konstantinus dan Karel Agung muncul
zaman baru yang dikenal dengan Abad-abad Pertengahan sebagai masa
kebangkitan arsitektur gereja. Perdagangan dan perziarahan berkembang.
Semangat membangun dan mencipta mendapat dukungan sehingga para arsitek
dan seniman bertumbuh dan berkembang. Kota-kota baru bermunculan dan
bangunan bangunan berkembang. Demikian pula dengan pembangunan gedung
gereja. |
Bentuk bangunan gereja pertama yang dibangun dalam ukuran raksasa setelah
rumah-rumah dan katakombe ialah basilika. Basilika adalah bangunan Romawi
untuk kegiatan umum.
Model basilika diyakini sebagai bangunan gereja hingga sekitar seribu tahun
lamanya dalam sejarah gereja. Bentuk dasar bangunan gereja adalah basilika.
Paduan suara memegang peran penting dalam liturgi, terutama setelah
memasuki Abad-abad Pertengahan.
Setelah model basilika, arsitektur bizantium memberi warna pada bangunan
gereja. Walaupun pengaruh bizantium tidak luas, model ini dapat menjadi saksi
sejarah liturgis. Setelah Konstantinopel menjadi pusat Kekristenan pada tahun
330, bizantium berkembang sebagai bangunan gereja kedua setelah basilika.
Puncak arsitektur bizantium adalah Abad-abad Pertengahan pertama hingga
abad ke-12. Ciri khas luar dari bizantium adalah atap berkubah, bahkan
berkubah besar.
Antara tahun 1050 dan 1200, arsitektur romanesque, menjadi pola agak umum
bagi gereja. Bangunan ini di lengkapi dengan menara yang tingginya dapat
mencapai 100 meter dan beratap batu. Perkembangan kemudian dari
Romanesque adalah arsitektur gaya gothic dari Prancis. Sekitar abad ke-13
hingga ke-16 adalah abad gothic.
Segi menonjol dari gothic bukan hanya model fisik sebuah bangunan,
melainkan juga pemahaman akan cahaya. Tanda kehadiran Tuhan adalah
cahaya. Oleh karena itu, arsitektur gothic disebut struktur diafan, artinya
tembus cahaya (diaphanous = jernih, terang, bening). Gedung Gereja GPIB
Imanuel Jakarta dapat mewakili pemahaman diafan tersebut. Gereja Katedral
3. Liturgi pernikahan
Disadari bahwa sejak awal masa Kekristenan, pernikahan adalah urusan pribadi
dari yang menikah. Pernikahan tidak bersangkut paut dengan gereja atau pejabat
gereja. Oleh karena itu, selama sekitar seribu tahun pertama dalam sejarah
gereja, pernikahan tidak diliturgikan walaupun ada peran gereja atau pejabat
gereja di dalamnya.
Beberapa alasan atau contoh yang mendasari peran gereja dalam pernikahan di
gereja Barat sepanjang sejarah gereja seribu tahun pertama antara lain:
Perkawinan orang Kristen adalah sama dengan setiap perkawinan mana pun
sehingga orang yang kawin mengikuti saja adat istiadat setempat. Namun,
dalam perkawinan itu gereja coba mewujudkan etos Kristen. Hal ini tertulis
dalam surat kepada Diognetos (kurang lebih 175-kurang lebih 200).
Innocentius I (417) berpegang pada hukum negara dalam hal menangani
perkawinan, bukan pada gereja atau pejabat gerejawi.
Ada etos Kristen yang menonjol, yakni pernikahan gerejawi dilaksanakan hanya
satu kali. Namun, perkawinan kedua pun di akui bila dilaksanakan di luar
gereja. Orang yang bersundal tidak boleh diberkati dalam gereja. Namun
perkawinannya dianggap sah menurut negara.
Pada tahun 866, Uskup Nikolaus I mengembalikan urusan perkawinan kepada
mereka yang menikah. Perkawinan adalah urusan pribadi. Ia menulis surat
kepada orang-orang Bulgaria sebagai berikut:
“Inti perkawinan terletak pada kesepakatan atau persetujuan bebas dari kedua
belah pihak. Upacara gereja tidak mutlak perlu. Dengan demikian, perkawinan
sipil adalah perkawinan yang sesungguhnya.”
Pada abad ke-9, Uskup Reims Hinkmar menganjurkan peran gereja namun
tidak mutlak dalam perkawinan. Hal ini merupakan “lampu hijau” peran gereja
dalam perkawinan. Namun, perkawinan yang sejati ialah perkawinan yang
dirayakan sesuai adat istiadat setempat.
Sekalipun sulit ditetapkan sejak kapan pernikahan dilayankan di gereja, namun
peran dan kehadiran gereja dalam pernikahan telah ada sejak awal sejarah
gereja. Kehadiran dan peran gereja melalui pejabat gerejawi terwujud dalam
bentuk pemberkatan nikah. Bahkan sejak abad Pertama, pernikahan ditangani
oleh uskup walaupun tidak di gereja. Uskup mengatur, memberkati, dan
mengawasi pernikahan orang Kristen. Pernikahan dilangsungkan dengan
persetujuan uskup atau pejabat gereja dalam rangka melindungi mereka yang
menikah.
Baru pada abad ke-5, di Roma pernikahan mulai dihubungkan dengan
perjamuan kudus. Pernikahan di gerejakan, tetapi gereja tidak memutuskan sah
tidaknya sebuah pernikahan. Bahkan tidak ada kewajiban tertentu yang
memutuskan bahwa pernikahan harus dilayankan dalam sebuah liturgi gereja.
Bagi gereja, pernikahan yang sah ialah persetujuan kedua pihak yang menikah
dan keluarganya. Gereja membuat semacam tata pernikahan. Garis besar yang
dibuat gereja pada abad ke -9 dalam pernikahan adalah sebagai berikut:
Upacara penikahan menempuh beberapa tahap. Lebih dahulu adalah
pertunangan di bawah kuasa kepala keluarga masing-masing. Kemudian
perayaan pernikahan sendiri, mencakup penyerahan emas kawin secara tertulis
yang disepakati oleh kedua pihak, memasang cincin, dan menandatangani surat
nikah.| Mempelai pergi ke gereja dengan membawa persembahan yang dalam
misa dipersembahkan oleh imam. Mempelai diselubungi dan diberi berkat oleh
imam, kecuali perkawinan kedua. Mempelai keluar dari gedung gereja dengan
karangan bunga di kepala dan pulang.”
Setelah perkawinan dilakukan di dalam gereja, peran imam atau uskup dalam
pernikahan makin penting dalam hal sahnya sebuah pernikahan. Imam atau
uskup memasangkan karangan bunga pada kepala pengantin, menggabungkan
tangan pengantin dan memberkatinya, serta membawakan doa atau Mazmur.
Pengantin boleh memilih peresmian nikah mereka, yaitu catatan sipil atau
pemberkatan di gereja.
Liturgi nikah pada Abad-abad Pertengahan didasarkan pada sakramentaria
Roma. Dalam Sakramentarium Leonia (abad ke-7) liturgi nikah disebut incipit
velatio nuptialis, yakni pemberkatan tudung. Pemberkatan tersebut berisi enam
doa, yaitu:
1. Doa collecta, memohon berkat Allah secara umum.
2. Doa secreta dan hanc igitus, khusus untuk mempelai.
3. Doa pro sacra lege coniugii, permohonan agar perjamuan yang diberikan
oleh perempuan diterima sebagai hukum suci pernikahan.
4. Doa bagi pasangan yang dipersatukan Allah. Ini juga merupakan doa
persiapan bahwa Allah menetapkan pernikahan mereka untuk” “
melahirkan keturunan.
5. Doa pro famula tua illa. Yakni doa berkat dan mengingatkan bahwa pada
usia muda Allah menyatukan mempelai perempuan dengan suaminya
untuk tumbuh bersama hingga tua.
6. Doa pater mundi conditor (artinya “Bapa, Sang Khalik dunia”), yakni
doa-doa bagi mempelai tentang kisah penciptaan, adalah sebagai berikut: