Anda di halaman 1dari 14

Nama: Darwin Amanukuani

Npm: 12175201200024

MANAJEMEN (TATA-KELOLA) PELAYANAN GEREJA PADA MASA GEREJA


LAMA (ABAD KE-2 SAMPAI KE-5)

Pengertian MG atau TKG pada masa Gereja Lama sesungguhnya berakar pada
pengertian manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja mula-mula dalam zaman para rasul.
MG atau TKG pada masa Gereja Lama mengalami perkembangan seiring dengan
perkembangan konteks gereja pada masa itu. Perkembangan konteks dimaksud adalah
realitas sosial, kultural, religiusitas, ekonomis dan politis yang menantang bahkan
menghambat pelayanan gereja dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan gereja pada masa itu.
Tantangan dan hambatan itu baik berupa pandangan filosofis (Gnostisisme, Libertinisme),
religiusitas (Yudaisme, Paganisme, dsbnya) maupun politis (penindasan pemerintahan
kekaisaran Romawi). Contoh: seiring dengan perluasan pengaruh kekristenan di Asia Kecil,
sekitar tahun 112 M, gubernur Bitinia mengeluh dalam sebuah surat kepada kaisar di Roma
bahwa penjualan
hewan korban merosot akibat warganya tidak lagi beribadah di kuil-kuil sebab mereka telah
menjadi Kristen (bd. van den End [1] : Harta Dalam Bejana, 2015: 24). Dengan terjadinya
perkembangan gereja di seluruh wilayah Timur (Persia, India), Tenggara (Siria), Selatan
(Mesir) dan Utara Laut Tengah (Eropa), maka terjadilah perubahan besar dalam visi, misi dan
tujuan bergereja yang menjadi dasar, pengertian dan model manajemen (tata-kelola)
pelayanan gereja. Perkembangan ini tidak bebas dari kesulitan bahkan kesalahan manajerial
dilakukan baik oleh para pemimpin gereja yang menjadi pelopor-pelopor iman. Sebab pada
masa itu, belum tersedia pedoman manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja. Dalam
menghadapi tantangan dan penghambatan yang ditimbulkan oleh pengaruh YunaniRomawi
yang memiliki visi, misi dan tujuan yang berbeda dari gereja, maka gereja berada dalam
pergumulan manajerial, yaitu: hendak mengambil alih model manajemen YunaniRomawi
yang bercorak hanya bertumpu pada top-management (single fighter) ataukah menolaknya
sama sekali dengan mengembangkan (collegial management) seperti yang dikembangkan
pada masa Perjanjian Baru. Tampilnya para “bapa gereja” (misalnya: Klemens, Ignatius,
Polikarpus, dll) sebagai para pemikir sekaligus penggerak pelayanan gereja yang semakin
menyebar luas ke seluruh wilayah di Asia, Afrika, dan Eropa telah membuat gereja
memanajemeni (menata-kelola) pelayanannya dengan menggunakan kombinasi dari
manajemen (tata-kelola) tunggal dan manajemen (tata-kelola) pelayanan kolektif-kolegial.
Gereja/jemaat pada wilayah tertentu menahbiskan Uskup (episkopos=penilik) yang
selanjutnya mengangkat Penatua dan Diaken untuk membantu dirinya dalam pelayanan
gereja. Hal inilah yang melahirkan model manajemen (tata-kelola) pelayanan yang bercorak
“hirarkis” (bd. van den End [1], 2015: 33,34). Yang menggerakkan manajemen (tata-kelola)
pelayanan gereja adalah Uskup yang memimpin Penatua dan Diaken. Uskup, Penatua dan
Diaken tampil sebagai klerus yang memimpin dan berkuasa atas warga gereja (lihat Gambar
2.1). Ketika para Uskup menghadapi permasalahan di jemaat mereka masing-masing secara
serentak, maka permasalahan ini diputuskan dalam rapat para Uskup. Lahirlah model
manajemen (tata-kelola) gereja yang bercorak sinodal.
Seiring dengan pengaruh lingkungan, ketika raja-raja pada wilayah tertentu menjadi
Kristen, maka model manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja menjadi terpengaruh dengan
suasana yang berlaku dalam aparatur pemerintahan dan dalam kemiliteran. Lahirlah model
manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja yang bercorak dan menerapkan episkopalisme atau
kepemimpinan para uskup saja yang bersama-sama berkuasa dalam membuat keputusan
ketika gereja menghadapi permasalahan persekutuan, pelayanan dan kesaksian Dalam model
manajemen (tata-kelola) Episkopal, fungsi para Uskup adalah membela ajaran iman Kristen
dalam menghadapi serangan terhadap persekutuan iman Kristen yang dipimpinnya, baik yang
datang dari pandangan aliran filosofis, religiusitas, sosio-kultural, dsbnya.Fungsi para
Penatua lebih pada aspek pelaksana peribadahan dan fungsi para Diaken lebih pada aspek
pelaksana pelayanan kasih pada setiap jemaat. Seiring dengan Edik Millano (penetapan
undang-undang kekaisaran romawi pada tahun 323 M), maka orang Kristen diberi kebebasan
melaksanakan ajaran gerejanya di seluruh kekaisaran romawi. Konsili Nicea pada tahun 325
M dalam merumuskan pendapat menghadapi pandangan Arianisme yang memandang Yesus
Kristus, Sang Anak, baru ada sesudah diperanakkan oleh Sang Bapa, maka gereja semakin
memberikan peran khusus kepada Uskup Roma, Aleksandria dan Antiokhia. Paus ditetapkan
sebagai pimpinan para Uskup Tampilnya otoritas sipil yang kuat di Konstantinopel
menyebabkan gereja-gereja di Timur melepaskan diri dari pengaruh gereja-gereja di Barat.
Gereja-gereja di Barat melakukan konsolidasi dan ditetapkanlah kepemimpinan kepausan
yang berpusat di Roma. Lahirlah model manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja yang
bercorak Hierarkhis Episkopal dan peranan Paus dalam memanajemeni (menata-kelola)
pelayanan gereja semakin meluas ke seluruh dunia. Fungsi utama Paus adalah memimpin
para Uskup sekaligus menjalankan fungsi pengorganisasian sebagai kepala negara “kota
Vatikan” yang berpusat di Roma Fungsi manajerial pelayanan gereja yang dilakukan Paus
juga mencakup penggembalaan, selain menjaga kemurnian ajaran Gereja Katolik.
Manajemen (tata-kelola) pelayanan seperti ini melahirkan sikap ambigius dari warga dan
pelayan gereja. Pada satu pihak, ingin menguasai dunia, pada pihak lain pelayan dan warga
gereja menarik diri dari dunia. Timbulnya berbagai pendidikan gereja di masa Gereja Lama
tidak berhasil dipertahankan sepenuhnya untuk melahirkan warga dan pelayan gereja yang
memiliki wawasan eklesiologis yang benar.

ABAD PERTENGAHAN (ABAD KE-6 SAMPAI KE-14).


Persyaratan ketat yang dikembangkan Gereja Lama yang wajib dipenuhi oleh setiap
calon baptisan sebelum diterima sebagai warga gereja yang definitif, diperlemah bahkan
dihapus sama sekali dalam praktek manajemen (tata-kelola) pelayanan Gereja Abad
Pertengahan (bd. R.R. Boehlke [1], 2015: 161). Hal ini melahirkan pula hilangnya tradisi
bergereja yang menghargai kehidupan berpikir. Akibatnya manajemen (tata-kelola)
pelayanan gereja lebih berorientasi pada hasil kuantitatif (banyak orang menjadi Kristen) dan
bukan pada hasil kualitatif (memiliki pengetahuan yang luas, pengertian dan pengabdian
diri). Dari aspek manajemen (tatakelola) pelayanan, terjadi kemajuan dan perluasan wilayah
pelayanan gereja yang meliputi seluruh Eropa, Afrika dan Asia. Hilangnya kuasa kekaisaran
Romawi yang mempersatukan Eropa digantikan oleh kuasa Gereja Katolik dalam
kepemimpinan Paus di Vatikan – Roma, maka gereja berusaha untuk menguasai negara. Paus
Gregorius VII (1073-1085) melarang orang awam termasuk kaisar dan raja-raja untuk
mengangkat klerus. Hal ini menyebabkan Kaisar Hendrik IV (1056-1106) memecat Paus
Gregorius VII. Sebaliknya, Paus mengucilkan Kaisar dari gereja dan mengajak warga gereja
memberontak terhadap Kaisar. Naik dan turun atau kuat dan lemahnya pengaruh manajemen
(tata-kelola) pelayanan gereja terhadap kehidupan masyarakat sipil semakin terasa ketika
Paus Innocentius III (1198-1216) menegaskan bahwa “Paus kurang besar dari pada Allah
tetapi lebih besar dari manusia.” Menurut Innocentius III, pemerintahan negara berada di
bawah gereja dan hanya berkenan kepada Allah kalau melayani gereja. Sebab itu kaisar dan
raja-raja harus mengikuti petunjuk Paus sebagai Kepala Gereja di dunia ini. Kaisar dan raja-
raja hanyalah wali yang diangkat oleh Paus untuk mengurusi soal-soal dunia. Padangannya
dipraktikkan ketika dia melarang raja Perancis untuk menyerang kerajaan Inggris, dan raja
menaatinya. Sebaliknya dia campur tangan, sejauh itu menguntungkan kepentingan gereja,
ketika ada kerajaan lain memperebutkan takhta. Profil manajemen (tata-kelola) pelayanan
seperti ini melahirkan penggunaan kekuasaan gereja untuk kepentingan diri sendiri.
Tampillah para klerus yang hidup mewah dengan memeras warganya. contohnya: Paus
Bonafius VIII yang ketika mau mengutuk raja Perancis, Paus ini ditangkap dan dipenjarakan
oleh raja (bd. van den End [1], 2015: 126-127) Selain keinginan yang kuat dalam proses
manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja yang diterapkan oleh Paus dan para klerus untuk
menguasai dunia, tampil pula warga gereja dan pelayan gereja (pribadi dan kelompok) yang
menarik diri dari hiruk-pikuk dunia dengan cara meninggalkan segala kekuasaan dan
kekayaan duniawi. Contohnya: Petrus Waldes yang memimpin gerakan penginjilan oleh
kaum awam. Gerakan ini ditentang oleh para Uskup dan Petrus Waldes dikucilkan dari
gereja. Berbeda dari Waldes, tampillah Fransiskus dari Asisi dan Dominikus yang tidak
menarik orang-orang keluar dari hiruk-pikuk dunia kepada hidup bertapa, melainkan yang
mencari orang-orang yang tidak tersentuh dalam manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja
untuk kembali ke persekutuan gereja (bd. van den End [1], 2015: 127-128). Dengan model
manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja yang bercorak hirarkis, terdapat banyak kemajuan
tetapi juga kelemahan gereja dalam mewujudkan visi sebagai “tubuh Kristus” dan misi untuk
menjadikan semua bangsa murid Yesus Kristus serta tujuan memanusiakan manusia.
Kemajuan yang dicapai adalah perluasan wilayah “kekuasaan” pelayanan gereja. Kelemahan
yang dialami adalah tidak semua warga gereja memahami, menghayati dan mempraktikkan
nilai-nilai iman kristianinya

REFORMASI DAN PASCAREFORMASI (ABAD KE-15 SAMPAI KE-17)


Perkembangan manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja pada masa Reformasi Gereja ini
tidak dapat dilepaskan dari perkembangan konteks, baik pada masa Reformasi Gereja itu
berlangsung maupun menjelang masa Reformasi Gereja tersebut. Sebab konteks itulah yang
melahirkan pemikiran ulang mengenai hakikat, visi, misi dan tujuan gereja

a. Konteks Luas Masyarakat Eropa.


1) Dampak penemuan mesiu. Implikasi manajerialnya, muncul kebutuhan manusia untuk
berprestasi dan mandiri. Pendidikanlah yang dapat memampukan manusia meraih prestasi
dan kemandirian tsb. 2) Transformasi visi mengenai dunia. Implikasi manajerialnya, orang
Eropa mulai mengembangkan ilmu pengetahuan mengenai fauna, flora dan kultur wilayah
yang dikuasainya. Lahirlah eksploitasi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia
(SDM) secara maksimal melalui penjajahan (kolonialisme) oleh raja-raja yang mengabdi
kepada Paus. 3) Bertumbuhnya rasa nasionalisme di wilayah Eropa. Implikasi manajerialnya,
pendidikan semakin diperlukan demi pengembangan manajemen (tata-kelola) sumber daya
manusia (SDM), sehingga manusia tidak kehilangan kesadaran identitasnya. 4) Penemuan
kertas dan mesin cetak. Hal ini berimplikasi terhadap manajemen (tatakelola) SDM yang
semakin mudah dengan menambah pengetahuannya melalui sumber-sumber pengetahuan
yang dicetak dan disebarluaskan, juga dengan biaya yang relatif lebih murah. 5) Hak
membaca didemokrasikan. Implikasi manajerialnya adalah orang merasa didorong untuk
belajar membaca agar mampu mempertimbangkan berbagai gagasan yang disebarluaskan
dalam masyarakat dan gereja. 6) Dampak penemuan Kopernikus berimplikasi manajerialnya
adalah manusia semakin dididik melalui berbagai penemuan sekaligus pula menjadi
bersemangat untuk mengembangkan pandangan dan dalil-dalilnya yang tak selamanya
sejalan dengan kekuasaan gereja yang dimanajemeni (ditata-kelola) oleh Paus dan kaum
klerus lainnya. 7) Munculnya Gerakan Humanisme yang menggabungkan kesalehan yang
berakar dalam iman Kristen dan cita-cita filsafat Yunani yang mementingkan manusia
dengan menekankan: kemerdekaan, kepentingan setiap manusia, kehausan memperoleh
pengetahuan, menemukan gaya hidup sesuai keyakinan pribadi dan bukan ditentukan oleh
kekuasaan lembaga insani termasuk lembaga gereja. Implikasi manajerial pelayanan gereja
dengan munculnya gerakan ini adalah manusia terdorong untuk menemukan sendiri
pengertian dari naskah-naskah kuno Yunani langsung dari bahasa aslinya, termasuk Alkitab.
Bukan terjemahan oleh gereja. 8) Mulai bertumbuh gerakan pembaruan gereja melanjutkan
gerakan yang pernah terjadi pada masa lampau. Yaitu, tampilnya tokoh-tokoh pembaruan
gereja seperti yang mendapat pembungkaman oleh praktik manajerial Paus dan konsili. Di
samping mereka ada juga tokoh-tokoh yang tetap diakomodasi dalam sistem manajerial yang
menggunakan model kepausan dan kekonsilian. Mereka tetap menjunjung lembaga kepausan
sebagai top manajer dalam pelayanan gereja. Tokoh-tokoh itu, antara lain: Fransiskus dari
Asisi, Dominikus, dll. Tokoh-tokoh itu tetap menjunjung pemahaman teologis bahwa yang
berhak memilih uskup adalah para imam (pastor) yang melayani kathedral (gedung gereja
tempat uskup berkedudukan). 9) Selain para Uskup, terdapat juga para kardinal yang
berfungsi sebagai Menteri dan berkewenangan untuk memilih Paus ketika Paus meninggal.
Jabatan Paus adalah seumur hidup. (bd. van den End [1], 2015: 126). Tokoh-tokoh tertentu
seperti: Fransiskus dari Asisi, Dominikus, dll juga diserahi kewenangan untuk menjalankan
inkwisisi atau peradilan gerejawi terhadap setiap ajaran (lisan maupun tulisan) yang dinilai
sesat, baik yang dikemukakan oleh pastor maupun warga gereja umumnya (“awam”).
Eksekusi terhadap mereka yang sesat itu dilakukan oleh raja atau pemerintahan negara yang
membantu Paus dan Konsili

b. Manajemen (tata-kelola) Para Tokoh Reformasi.

Di tengah perkembangan konteks seperti ini, tampillah tokoh Marthin Luther (1483-
1546) yang mengritik pemahaman teologis yang dikembangkan oleh gereja (Paus dan
lembaga kepausan) dari kota Wittenberg. Luther menilai bahwa lembaga kepausan tidak
mewujudkan visi, misi dan tujuan gereja yang alkitabiah. Ia mengritik ajaran yang
memberikan ruang bagi para Pastor, Uskup dan Paus sebagai wakil Allah mengomersilkan
“surat penghapusan siksa” (indulgensi). Surat itu harus ditebus (dibayar) oleh anggota
keluarga yang masih hidup agar anggota keluarganya yang sudah mati dan berada di “tempat
perhentian sementara” (purgatorium) diperkenankan untuk masuk surga. Luther melalui 95
dalil Reformasi Gereja (tahun 1517) menolak penjualan indulgensi yang dilakukan Tetzel
untuk disetor ke pihak Paus Leo X di Roma yang sedang menggalang dana untuk
pembangunan gedung gereja Santo Petrus di kota Vatikan (bd. van den End [1], 2015:166-
168). Menurut Luther, manusia dibenarkan hanya oleh iman. Bukan oleh perbuatan ritus
gerejawi. entah dengan mengikuti ketujuh sakramen, ataupun dengan mengumpulkan benda-
benda (relikwi) peninggalan para santo. Manusia yang telah dibenarkan wajib
mengejawantahkan imannya dalam kehidupan moral dan pelayanannya serta ungkapan
syukur kepada Tuhan Allah yang kasih-Nya tiada tara dalam Yesus Kristus. Sebab iman kita
di dalam Kristus tiada membebaskan kita dari perbuatan-perbuatan pelayanan kita, namun
membebaskan kita dari berbagai pandangan yang salah mengenai perbuatan, yaitu perbuatan
yang bodoh yang memandang bahwa pembenaran diperoleh dengan perbuatan. Menurut
Luther, pembenaran oleh iman membuat setiap manusia memiliki persamaan hak di hadapan
Tuhan Allah. Tidak ada golongan tertentu yang menjadi penyalur anugerah Tuhan Allah dan
meneruskannya kepada orang lain yang dipandangnya lebih rendah martabatnya. Sebab
setiap warga gereja adalah “imam bagi warga seimannya.” Semua orang percaya yang telah
dibenarkan oleh Tuhan Allah berhak dan wajib melaksanakan pelayanan keimamatan
mereka. Tugas imamat yang wajib dilaksanakan sebagai tugas utama adalah ‘‘pelayanan
firman Tuhan.” Firman Tuhan adalah firman yang hidup (Yesus Kristus), tertulis (Alkitab)
dan diberitakan (Kotbah, Sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus). Tugas “imamat yang
rajani” (1 Pet 2: 9) adalah dasar teologis Luther untuk membangun model dan sistem
manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja di tengah realitas konteks sosio-politis dan religius
pada masa itu. Dengan pemahaman ini, Luther memandang MG atau TKG harus dipisahkan
dari kekuasaan atau otoritas pemerintahan raja, kaisar (negara). Bagi Luther, sifat
keimamatan dan kerajawian adalah: setiap orang Kristen melalui “iman kepada Yesus
Kristus” dipermuliakan di atas segala sesuatu, sehingga dengan kuasa rohani dia adalah tuan
di atas segala sesuatu tanpa kecuali (Roma 8:28; 1 Kor 3:21-23). Ini berarti bahwa setiap
orang Kristen ditempatkan di atas segala sesuatu bukan untuk memiliki dan menguasainya
dengan kuasa duniawi – ini merupakan suatu kegilaan yang diderita oleh para klerus, uskup
dan Paus serta para raja, putera mahkota dan orang lain di dunia ini (bd. Martin Luther,
Kebebasan Seorang Kristen, 1991: 22-23). Sebab menurut Luther, setiap orang Kristen yang
berkuasa adalah orang Kristen yang menanggung penderitaan bahkan kematian seperti
Kristus (bd 2 Kor 12:9). Dalam kerajawian kita, salib dan kematian itu sendiri melayani dan
bekerja bersama kita untuk kebajikan pelayanan dan keselamatan kita, manusia dan keutuhan
ciptaan. Dengan demikian, kita adalah “raja” yang terbebas dari model dan sistem
manajemen (tata-kelola) duniawi, sebab kita adalah imam yang dilayakkan untuk tampil di
hadirat Tuhan Allah untuk mendoakan dunia dan saling mengajar sebagai seorang imam yang
dimandatkan kepada semua orang yang percaya kepada-Nya oleh Kristus (Ibrani 10:19, 22).
Luther menolak penyebutan “imam, klerus, rohaniwan/wati” atau “gerejawan.” Alkitab tidak
membedakan mereka dengan warga gereja lainnya. Sebab yang dikenal dalam Alkitab adalah
“hamba, pelayan” yang saat ini dikenakan kepada mereka yang sekarang ini dengan bangga
menamai dirinya Paus, Uskup, Klerus dan yang aturannya menurut pelayanan firman Allah,
melayani yang lain dan mengajarkan mereka iman dan kebebasan selaku orang percaya
kepada Yesus Kristus (bd Marthin Luther, 1991: 25) Implikasinya adalah manajemen (tata-
kelola) pelayanan gereja tidak membedakan “rohaniawan/wati” dari warga gereja. MG atau
TKG ini melibatkan warga gereja dalam kebaktian Reformatif. baik dalam bentuk lagu-lagu
yang diciptakannya sendiri maupun pembacaan Alkitab dalam bahasa Jerman dan bahasa-
bahasa lokal atau nasional lainnya. Tukang sepatu, pandai besi, petani, masing-masing
mempunyai kesibukan profesinya sendiri, namun mereka semua dapat dipilih jemaat pula
untuk bertindak sebagai Imam dan Uskup (bd. van den End [1], 2015: 176). Konsep Luther
mengenai jabatan Imam dan Uskup pada mulanya masih direkrut dari kalangan pastor dan
uskup yang diangkat seperti berlangsung di kalangan gereja Katholik Roma (bd. C. Scott
Dixon and Luise Schorn-Schütte, “Introduction: The Protestant Clergy Of Early Modern
Europe” dalam The Protestant Clergy Of Early Modern Europe, 2003: 2). Namun kemudian,
dalam semangat “anticlerialism” gerakan Reformasi Gereja yang diprakarsai Luther, telah
membuka ruang kepada rekrutmen Imam dan Uskup dari kalangan warga gereja tersebut.
Sebab melalui pembaptisan yang diterima warga gereja, sejatinya menurut Luther, warga
gereja telah memperoleh jabatan keimamatannya dari Kristus. Sebab itu, para Imam dan
Uskup ini juga wajib membayar pajak dan berbagai kewajiban lain sebagaimana yang
dikenakan kepada warga negara lainnya. (bd R. Emmet Mclaughlin, “The Making of the
Protestant Pastor: The Theological Foundations of a Clerical Estate” dalam C. Scott Dixon
and Luise SchornSchütte, The Protestant Clergy Of Early Modern Europe, 2003: 64) Selain
para Imam (pastor) atau Gembala (poimen) yang sama dengan Gereja Katholik Roma,
direkrutlah juga warga gereja untuk membantu mereka, yaitu para Penatua (presbuteroi),
Pengajar (doctor), Diaken (diakonoi) serta Pemimpin Nyanyian/Puji-pujian (procantor).
Namun tugas pokok dan fungsi mereka dipandang oleh Luther sebagai jabatan manajerial
pelayanan gereja yang tidak permanen (periodik) dan dianggap biasa-biasa saja, bisa ada, bisa
juga tidak (adiafora), walaupun di jemaat-jemaatnya jabatan ini lebih sering ada. (bd
Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Sekitar Gereja, 2018:48). Hal ini bukan
berarti bahwa tradisi dan ajaran gereja mengenai fungsi Imam (pastor) dan Uskup serta
Biarawan dipertiadakan. Fungsi mereka dioptimalkan untuk berkotbah (mengajar). Luther
mempersiapkan bahan kotbah yang dapat digunakan mereka termasuk warga gereja
umumnya untuk disampaikan dalam kebaktian sebagai proses mengajar jemaat. Penekanan
pemberitaan mereka bahwa “perbuatan baik adalah buah iman dan bukan sarana untuk
memperoleh keselamatan” (bd. R.R. Boehlke *1+, 2015: 348). Meskipun manajemen (tata-
kelola) pelayanan gereja dipisahkan dari negara, namun Luther tetap menekankan pentingnya
kontribusi pemerintah (kota, kerajaan, kekaisaran dan negara) untuk menopang proses
pendidikan umat. Model manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja yang dikembangkan oleh
Luther lebih mengutamakan kesetaraan di antara warga dan pelayan gereja Dalam model
manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja ini, masing-masing jemaat akan memilih seorang
anggota jemaat dan pastornya untuk menjadi wakil jemaat dalam rapat bersama (sinode).
Namun terjadilah salah kaprah dari tokoh-tokoh dan kelompokkelompok tertentu (kaum
petani di Jerman) terhadap pemikiran kebebasan Kristen. Terjadilah pemberontakan kaum
petani yang dipimpin oleh Thomas Muenzer pada tahun 1524-1525. Luther menolak bentuk
perjuangan keadilan dengan menggunakan kekerasan yang dilakukan oleh Thomas Muenzer
dan kelompok petani. Seiring dengan perjuangan kelompok ini, maka Luther tidak percaya
bahwa warga gereja bisa menjalankan pemerintahan yang teratur dalam gereja. Sebab itu,
Luther menyetujui sistem manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja yang diadopsi dari
sistem pemeritahan raja Saksen yang membagi daerah pemerintahannya atas distrik-distrik.
Luther pun mengembangkan manajemen (tata-kelola) pelayanan gerejanya dengan
mengangkat seorang “pejabat” gereja yang diberi gelar superintendent (bd. episkopos dalam
Perjanjian Baru). Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari pejabat gereja ini adalah untuk
mengawasi pelayanan termasuk pendidikan/kotbah yang dilakukan oleh para pastor di
wilayah distrik ini. Manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja berlangsung dari atas ke bawah
dan peranan pemerintahan dalam gereja cukup besar. Nampaklah pengaruh lingkungan, yakni
keinginan para raja, baik Katholik maupun Reformasi untuk menguasai gereja/jemaat di
wilayahnya (bd van den End [1], 2015: 180). Model ini lebih jelas terlihat dalam Manajemen
(tata-kelola) pelayanan gereja ini berkembang meluas ke seluruh Jerman Utara, Skandinavia
dan beberapa daerah lainnya di Eropa. Namun di Eropa bagian Selatan dan wilayah gereja
Orthodoks – Timur, pengaruh Reformasi hampir tidak terasa. Malahan Gereja Katholik
dalam kerja sama dengan para raja, kaisar menumpas gerakan Reformasi ini (bd van den End
[1], 2015: 185). Luther sendiri dikucilkan oleh Gereja Katholik Roma pada tahun 1521.
Barulah 50 tahun kemudian (1570), terlihat perbedaan Gereja Katholik Roma dan Gerakan
Reformasi yang disebut Gereja Protestan, baik dalam aspek ajaran maupun manajemen (tata-
kelola) pelayanan gereja. Sesudah konsili di Trente, perpecahan Gereja Katholik Roma dan
Gereja Protestan tidak dapat dipulihkan lagi. Gereja-Gereja Protestan mengatur sendiri
kehidupan gereja dan manajemen (tatakelola) pelayanan serta organisasinya yang tetap (bd de
Jonge, Chr. Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja, 2015: 74-76). Di tengah perkembangan
reformasi dalam konteks Eropa yang penuh penumpasan gerakan ini, ternyata setiap daerah
atau kota juga mempunyai tokohnya tersendiri. Misalnya Ulrich Zwingli (1484-1531) di
Swiss. Karena Gerakan Reformasi tidak mempunyai organisasi gerakan yang ketat, maka
timbullah berbagai bentuk ajaran dan manajemen (tata-kelola) pelayanan masingmasing
gerejanya tersendiri. Ada Gereja Reformasi yang mempunyai Uskup, ada yang tidak.
Misalnya di Swedia dan Inggris. Ada gereja yang mempertahankan sebanyak mungkin
upacara ritual Gereja Katolik Roma (di Swedia dan Inggris), ada yang menghapuskannya
(Belanda, Belgia, Swiss dan sebagian Jerman, termasuk pula di Indonesia). Dalam konteks
Eropa seperti ini tampillah tokoh Yohanes Calvin (1509-1564). Dia lahir di Noyon (Perancis
Utara) seorang ahli hukum dan pengikut Luther yang berminat kepada ilmu teologi dan
menjadi pendeta di Jenewa (Swiss). Pendidikan teologinya diterimanya sesuai dengan
kurikulum pendidikan Abad Pertengahan yang mewajibkan mahasiswa Fakultas Hukum
mempelajari pokok-pokok iman Kristen. Di kemudian hari setelah pemerintah di Paris
mencurigainya sebagai penganut Gerakan Reformasi, maka Calvin terpaksa melarikan diri ke
Jenewa pada 1533 (bd. de Jonge, Apa Itu Calvinisme, 2016: 6-7). Pendeta Farel di Jenewa
memintakan Calvin membantunya, namun dia menolak sebab Calvin melihat banyak orang
Jenewa yang mabuk-mabukan, berjudi, berzina, dsbnya. Namun pendeta Farel menyatakan:
”atas nama Allah Yang Mahakuasa, aku berkata kepadamu, kalau engkau tidak mau
menyerahkan dirimu kepada pekerjaan Tuhan di sini, maka Allah akan mengutuki engkau,
karena engkau lebih mencari ketenangan dirimu sendiri daripada kemuliaan Kristus.”
Tawaran pendeta Farel pun diterima Calvin. Calvin menilai bahwa lembaga kepausan tidak
mewujudkan visi, misi dan tujuan gereja yang alkitabiah. Sependapat dengan Luther
mengenai “pembenaran” oleh iman, Calvin lebih menekankan lagi aspek “penyucian” yang
diukur oleh ketaatan kepada disiplin gereja. Warga gereja yang tidak mengindahkan
peringatan-peringatan oleh para Penatua yang dipilih oleh dan di antara warga gereja/jemaat,
maka orang itu dikenakan disiplin gereja. Namun hal itu belum cukup. Negara, dalam hal ini
pihak pemerintah kota Jenewa harus mengawasi tingkah laku warganya dalam bekerja sama
dengan pihak gereja. Siapa yang menolak, maka dia diusir dari kota. Siapa yang melanggar
peraturan gereja, kena hukuman negara. Dasar teologisnya adalah “kedaulatan Tuhan Allah”
atau “teokrasi” (kekuasaan Tuhan Allah atas seluruh kehidupan dunia).Implikasi visi teologis
ini terhadap manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja adalah gereja dan negara
berdampingan. Jadi berbeda dari pandangan Paus Innocentius III yang meletakkan negara di
bawah manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja Manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja
ini menghasilkan perlawanan warga kota Jenewa. Pendeta Farel dan Calvin dilarang untuk
memimpin ibadah (‘naik mimbar”). Namun mereka tidak mengacuhkan larangan itu, sebab
pemberitaan injil adalah tugas yang diberikan oleh Tuhan dan bukan oleh Jemaat. Akibatnya,
mereka dipecat dan dibuang (bd. de Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 2016:8). Calvin pergi ke
kota Strasburg (Jerman) atas undangan Martin Bucer dan menikah di kota ini dengan Idelette
de Bure (1540). Sementara itu, dengan adanya surat penggembalaan dari seorang Kardinal
untuk mengajak warga kota kembali ke Gereja Katolik Roma, maka para pendukung Gerakan
Reformasi melalui Dewan Kota Jenewa memintakan Farel dan Calvin kembali. Farel
menolak. Calvin menerima. Manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja diatur dalam Tata
Gereja (“UndangUndang Gerejawi”) yang diterima dan diberlakukan oleh Dewan Kota
Jenewa. Kehidupan gereja diawasi secara ketat oleh gereja bersama-sama dengan pemerintah
kota Jenewa (bd. van den End [1], 2015:193). Mengenai hubungan manajemen (tata-kelola)
pelayanan gereja dan manajemen (tata-kelola) pemerintahan negara (baca: kota Jenewa),
Calvin membangun paham teologisnya: (1) Demi keamanan negara, semua warga masyarakat
wajib mengakui iman yang sama. (2) Pemerintah terdiri dari warga yang menjadi pengikut
Yesus Kristus. Sebab itu, sebagai pengikut Yesus Kristus, kewajiban mereka dipenuhi
melalui pemerintahan negara. (3) Para pemimpin negara juga manusia berdosa. Sebab itu,
pemerintah sangat membutuhkan usaha dari warga gereja lainnya. (4) Para pelayan wajib
menentukan isi firman Tuhan Allah yang diproklamasikan dan siapa saja yang layak
menerima sakramen. Berdasarkan paham teologis ini, Calvin mengembangkan manajemen
(tata-kelola) pelayanan gereja dalam hubungan dengan negara dengan aspek-aspeknya
sebagai berikut: Terdapat enam aspek hubungan gereja dan negara a) Pemerintah sebagai
lembaga yang berasal dari Tuhan Allah, supaya agama Kristen dapat dipertahankan sesuai
dengan Alkitab. b) Panggilan hidup melayani masyarakat melalui sarana berbagai struktur
pemerintahan adalah panggilan hidup yang mulia. c) Para pemimpin negara harus didorong
untuk menyesuaikan semua tindakannya dengan kehendak Tuhan Allah. d) Pemerintahan
Aristokratis Kristen harus dikendalikan dengan hukum agar tidak bertindak keterlaluan. Hal
ini harus didukung oleh gereja. e) Hanya Tuhan Allah sajalah yang berhak mengatasi
pelanggaran-pelanggaran yang dibuat wakil-Nya. f) Tugas untuk mengendalikan para
pemimpin dipercayakan kepada wakil-wakil masyarakat, antara lain terdiri dari golongan
Imam (pendeta, pengajar), Bangsawan, Warga Kota yang mengambil keputusan dalam
Sidang Agung. Kunci kemakmuran dan kesejahteraan rakyat terletak pada kawaspadaan para
pemimpin (golongan rohaniawan, bangsawan dan pemimpin negara). Dengan mengikuti
azas-azas manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja pada masa Perjanjian Baru (Ef. 4:11),
Calvin kembali mendirikan jabatan rohaniawan (Penatua dan Diaken di samping jabatan
Pendeta dan Pengajar). Lihat Gambar 2.10. (bd Aritonang, Jan. S., Berbagai Aliran Di Dalam
Dan Di Sekitar Gereja, 2018:68). Di sinilah terletak perbedaannya dari pada Luther yang
tidak mengenal jabatan lain dari pastor/pendeta selain superintendent yang lebih bercorak
top-down (atas ke bawah). Calvin menyatakan bahwa Penatua dan Diaken dipilih oleh dan
dari antara warga gereja dalam kurun waktu tertentu (periodik), sehingga lebih bercorak
bottom-up (bawah ke atas), sedangkan Pendeta dan Pengajar diangkat oleh Gereja
(eclesiastical ordinance oleh Pendeta yang disepakati oleh Sinode). Bandingkanlah dengan
Keputusan Sidang Sinode GPM 1976 yang mengizinkan Ketua Klasis pada masa itu
menahbiskan Vikaris dan Penatua menjadi Penginjil/Pendeta pada wilayah kerjanya). Calvin
menetapkan dalam Tata Gerejanya bahwa Pendeta dan Pengajar wajib mengikuti pendidikan
seperti yang digagas oleh Luther. Di kemudian hari pada masanya, Calvin mengembangkan
juga pendidikan untuk Pendeta dan Pengajar sama seperti untuk warga gereja lainnya sesuai
dengan wadah pendidikan yang digagasnya melalui Schola Privata dan Schola Publica dalam
Akademi Jenewa (bd. Robert R. Boehlke [1], 2015:436-442 Pada waktu tertentu
berkumpullah wakil-wakil dari setiap Jemaat dalam suatu rapat bersama (Sinode) untuk
berunding mengenai permasalahan yang menyangkut keseluruhan gereja. Sinode yang
mengawasi para pelayan. Tidak ada tempat bagi seorang “pejabat” yang akan berkuasa atas
pelayan-pelayan lainnya (lihat Gambar 2.11 di atas). Secara azasi, pemerintah negara tidak
boleh mencampuri urusan gereja. Model manajemen (tata-kelola) pelayanan dengan sistem
seperti ini disebut Presbiterial. Dalam wilayah yang lebih luas para presbiter (Pendeta,
Pengajar, Penatua dan diaken) membentuk Sinode yang bercorak Presbiterial Sinodal.
Terjadilah pembagian peran di antara Gereja dan Negara untuk saling membantu, saling
mengajar dan saling mengingatkan. Warga gereja dididik untuk terlibat dalam hal urusan
negara. Namun gereja tidak boleh memegang “tangkai pedang” (bd Roberth R. Boelkhe [1],
2015: 409-410). Gereja tidak boleh diskriminatif dalam pelayanan kepada warga negara
dalam status sosial apapun. Dengan begitu, mereka menaklukkan diri kepada firman Tuhan
Allah di setiap tempat kehidupan mereka

2.4. MANAJEMEN (TATA-KELOLA) GEREJA PADA MASA PASCAREFORMASI


(1570 – 1650) Perkembangan manajemen (tata-kelola) pada Masa Pascareformasi ini tidak
dapat dilepaskan dari perkembangan konteks, baik pada Masa Reformasi Gereja itu
berlangsung maupun Masa Pascareformasi tersebut. Sebab konteks itulah yang melahirkan
pemikiran ulang mengenai hakikat, visi, misi dan tujuan gereja (bd de Jonge, Chr. 2015: 76).
Karena ajaran Luther, Calvin, dkk diterima oleh cukup banyak orang dan di manamana di
wilayah Eropa, maka timbullah kelompok-kelompok yang hidup sesuai ajaran Gerakan
Reformasi. Akibatnya Gereja Katholik Roma terpaksa mencari jawaban terhadap tantangan
Reformasi ini. Muncullah gerakan “Kontra-Reformasi” atau Reformasi Internal Gereja
KatholikRoma. Dilakukan dengan dua pendekatan yaitu (1) Pendirian Ordo Serikat Yesus
(Societas Jesus S.J.) oleh Ignatius dari Loyola (1491-1556). Ordo ini bertugas memerangi
Gerakan Reformasi dan (2) Pembaruan ajaran Gereja Katholik-Roma melalui Konsili Trente
(1545- 1563) yang menjawab ajaran Reformasi sekaligus menetapkan ajaran-ajaran
“reformatif” Gereja Katholik Roma. (bd de Jonge, Chr. 2015:77). Dengan kata lain, pada satu
pihak Gerakan Kontrareformasi ini melawan ajaran Gerakan Reformasi, pada pihak lain
Gereja Katholik Roma memperbaiki atau mereformasi kehidupan dan ajarannya sambil
meniadakan banyak hal yang menimbulkan kritik dari Gerakan Reformasi. Reformasi tidak
hanya menggoncangkan gereja, tetapi juga seluruh kehidupan masyarakat turut dipengaruhi.
Karena Gerakan Reformasi ini didukung oleh para raja, kaum bangsawan dan pemerintah
kota, maka timbullah ketegangan politik di antara yang Pro dan Kontrareformasi. Di banyak
daerah di Eropa Barat, pecahlah konflik dan perang gereja Katholik-Roma dan Reformasi di
mana alasan eklesiologis dan politis seringkali tercampur-baur. Pecahlah perang antara gereja
Katholik-Roma dan Reformasi di Swiss, Perancis, Belanda dan Jerman. Pada tahun 1648
perang antara Gereja Katholik-Roma dan Reformasi diakhiri. kehidupan masyarakat menjadi
teduh lagi. Terjadilah pembagian wilayah Eropa yang dilayani oleh Gereja Katholik Roma
dan Reformasi. Batas-batas wilayah antara kedua gereja ini ditentukan. Pro dan
Kontrareformasi selesai pada 1650. Fungsi manajerial pelayanan gereja di kalangan gereja-
gereja Reformasi menjadi bervariasi. Ada yang menerapkan model manajemen (tata-kelola)
pelayanan gereja yang digagas Luther, dan ada juga yang digagas Calvin. Manajemen (tata-
kelola) pelayanan Luther menekankan pelayanan Sakramen dan Pemberitaan Injil, sedangkan
Calvin menambahkan lagi dengan penegakan Disiplin Gereja. Dalam hal ini, salah satu Tugas
Pokok dan Fungsi (tupoksi) manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja adalah menegakkan
disiplin (pemuridan) melalui nasihat, teguran (admonition) dan tindak disiplin (punishment)
termasuk pula pengucilan (exclusion) dari gereja. Praktik manajerial pelayanan gereja seperti
ini tanpa disadari telah menjadi pengulangan terhadap manajemen (tata-kelola) pelayanan
Gereja Katholik Roma yang hierarkis. Malahan menimbulkan tantangan tersendiri dari
mereka yang memiliki jabatan panggilan seumur hidup dan yang periodik. Tantangan ini
tidak terletak pada penahbisan yang menandai dan tak terhapuskan dalam tupoksi manajerial
pelayanan gereja yang dimiliki seseorang, melainkan pada pendidikan dan pelatihan yang
dimiliki dalam jabatan pelayanan. Itulah yang menentukan “karakter” bertahan lama dan
kedudukan yang berbeda di antara pendeta, pengajar dan penatua, diaken. Pendeta yang tegas
(forceful) terkadang dapat menerapkan pengaruh yang sangat besar (preponderant) terhadap
para Penatua dan Warga Gereja yang bersaing, tidak terkecuali bagi para Pendeta Jemaat
yang sebaya. Perlawanan Gerakan Reformasi yang dilakukan Calvin terhadap paham
keunggulan klerus (clericalism) dalam Gereja Katholik-Roma, tanpa disadari dapat
membangkitkan kepausan baru (a new papacy) dalam Gerakan Reformasi. Terkadang
hubungan yang sulit tercipta di antara manajemen (tata-kelola) pemerintahan (sekuler)
dengan Gerakan Reformasi. Hal ini justeru memperkuat kecurigaan bangkitnya “kepausan”
baru. Manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja Kontrareformasi pada masa Pascareformasi
dengan disiplin hirarkisnya yang kuat, justeru berhasil menghambat lajunya perkembangan
Gerakan Reformasi di Eropa. (bd R. Emmet Mclaughlin, “The Making of The Protestant
Pastor: The Theological Foundations of a Clerical Estate” dalam C. Scott Dixon and Luise
Schorn-Schütte, The Protestant Clergy Of Early Modern Europe, 2003: 75). Sebab itu, pada
masa Pascareformasi, bermunculanlah kelompok-kelompok gereja yang melahirkan
manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja yang baru

3.1.PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA DI NUSANTARA (KULIAH 3).

Perkembangan MG atau TKG pada masa Hindia Belanda di Nusantara mencakup


pembahasan MG atau TKG pada masa 1650 ketika kehadiran Gereja Protestan di Nusantara
pada masa VOC sampai masa Pemerintahan Hindia Hindia Belanda (1900-an). a. Masa
VERENIGDE OOST- INDISCHE COMPAGNIE (VOC) Tahun 1596 sampai 1799.
Perkembangan MG atau TKG pada masa Reformasi dan Pascareformasi dalam uraian
sebelumnya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan konteks, baik pada masa Pekabaran
Injil itu berlangsung ke seluruh dunia maupun pada masa kini. Untuk memudahkan kita
melihat waktu yang jelas dari masa Pekabaran Injil, kita perlu sepakati hitungan masa
Pekabaran Injil ini. Dalam hal ini kita kini memfokuskan perhatian kita pada perkembangan
Gereja Reformasi
Gerakan Reformasi dan Pascareformasi Gereja yang ditandai dengan Gerakan
Kontrareformasi memperlihatkan kecenderungan gereja-gereja (Reformasi dan Katholik
Roma) untuk memanajemeni (menata-kelola) pelayanan agar kehidupan gereja tidak
menyimpang dari “Alkitab” (sebagaimana yang dipahami oleh para tokoh gereja) dan
“Ajaran Gereja” (yang ditetapkan melalui konsili ataupun sidang-sidang sinode dan
pertemuan-pertemuan gereja lainnya). Khususnya di Belanda, manajemen (tata-kelola)
pelayanan gereja dilaksanakan atas dasar Tata Gereja yang ditetapkan di sidang Sinode
Emden (1571) yang telah disusun oleh Calvin di Paris (1559). Dalam Tata Gereja ini, model
dan sistem manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja yang bercorak presbiterial-sinodal
ditegaskan kembali, yaitu: “tidak ada satu gereja, pendeta, penatua dan diaken, melainkan
setiap orang harus menghindari diri dari semua kecurigaan atau penggodaan untuk
menguasai.” Semua warga jemaat dan setiap pelayan (pejabat) memiliki kedudukan yang
sama. (bd. de Jonge, Chr. Apa itu Calvinis?, 2016:, 118). Berdasarkan Tata Gereja ini, maka
kedudukan “Klasis” ditetapkan. Klasis dibentuk oleh sejumlah persekutuan Jemaat yang
berdekatan dan yang dapat berkomunikasi tanpa kesulitan, saling membantu, mengambil
keputusan tertentu di samping Sinode Provinsial dan Nasional, serta menghubungkan
persekutuan Jemaat-jemaat setempat dengan gereja secara luas. Selain itu, Klasis bertugas
mengawasi persekutuan Jemaat-jemaat supaya regulasi sinodal diikuti, sekaligus mewakili
persekutuan Jemaat-jemaatnya dalam persidangan Sinode. Perwakilan Klasis ke Sidang
Sinode terdiri dari Pendeta, Penatua dan Diaken dengan jumlah Pendeta dari klasisnya tidak
boleh melebihi jumlah Penatua dan Diaken. Kehadiran mereka harus membawa Surat Tugas
(credential) sebagai yang diutus untuk menyampaikan usulan dan permasalahan Jemaat-
jemaat untuk memperoleh solusi dalam persidangan Sinode. Klasis bersidang minimal dua
kali atau maksimal empat kali dalam setahun dengan agenda utamanya membahas
pergumulan persekutuan Jemaat-jemaat di lingkup pelayanannya. Klasis menyetujui
undangan (pemilihan) pendeta yang dilakukan Jemaat-jemaat setelah diuji. Calon pendeta
diuji kelayakannya (fit and proper test) oleh beberapa pendeta yang telah bertugas dalam
Jemaat-jemaat di lingkup Klasis. Materi tes berfokus pada ajaran dan kehidupan sang calon.
Klasis mengatur pendeta yang berkotbah di Jemaat lain harus disetujui oleh Majelis Jemaat
dan pendeta setempat. Sekaligus Klasis mengatur kehidupan Jemaat-jemaat yang belum
memiliki pendeta atau majelis jemaat guna membangun organisasi pelayanan gereja. Klasis
diangkat dari kalangan pendeta, penatua dan diaken dalam Sidang Klasis dengan jumlah
pendeta tidak boleh melebihi jumlah penatua dan diaken. Setiap persidangan diakhiri dengan
Perjamuan Kudus (bd. de Jonge Chr. Apa itu Calvinis?, 2016:, 119). Persidangan Sinode
Nasional dihadiri oleh perwakilan yang diutus oleh persidangan Sinode Provinsial. Bukan
oleh Klasis. Tugas perutusan ini sama seperti tugas perutusan perwakilan Jemaat-jemaat ke
Persidangan Klasis dan Persidangan Klasis ke Persidangan Provinsial. Peranan manajemen
(tata-kelola) pelayan gereja seperti ini bertujuan untuk menjaga kesepakatan pemahaman
(consensus of mind) dan keseragaman pelayanan di kalangan Jemaat-jemaat tanpa
mengabaikan keanekaragaman masing-masing (unity in diversity). Dalam model dan sistem
manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja seperti ini, dibuka ruang sebesar-besarnya bagi
setiap orang yang tidak menyetujui keputusan salah satu Persidangan Gereja (Jemaat, Klasis
dan Sinode Provinsial). Dia boleh naik banding dalam Persidangan Gereja pada satu tingkat
yang lebih tinggi (Tata Gereja yang ditetapkan dalam Sidang Sinode Nasional di Dordrecht,
tahun 1619). Namun pengaruh manajemen (tata-kelola) pemerintahan dalam manajemen
(tatakelola) pelayanan gereja tetap diakomodasi dalam Tata Gereja tahun 1619 ini.
Akibatnya, kemungkinan jemaat mengundang (memilih) pendeta yang tidak disukai
pemerintah sangat kecil. Malahan hak pemerintah untuk mengutus dua orang wakil
(Komisaris Politik) dalam Persidangan Gereja, termasuk hak-hak tuan tanah untuk
menetapkan pendeta di daerahnya, tidak dihapuskan. Meskipun begitu, rekrutmen pendeta
dari kalangan warga jemaat (tukang besi, petani, dsbnya) tanpa mengikuti pendidikan teologi
seperti yang dianut Luther, dipertiadakan. Sementara itu, realitas konteks memperlihatkan
bertumbuhnya kebebasan untuk percaya dan berpikir menurut perasaan sendiri. Lahirlah
Gerakan Pietisme (yang menekankan kesalehan dan penghayatan iman) sebagai reaksi
terhadap Gereja-gereja Reformasi yang menghasilkan kehidupan dan ajaran gereja yang
dianggap kaku dan formal. Tidak ada kebebasan untuk mengungkapkan iman secara spontan.
Kotbah-kotbah tidak membicarakan pergumulan pribadi, melainkan bercorak pemaparan
ajaran iman secara ilmiah sebagai ungkapan ajaran yang benar (orthodoxi), namun
mengabaikan penghayatan dan perilaku, perbuatan sesuai ajaran yang benar (orthopraxis).
Akibatnya, Gerakan Pietisme yang mengutamakan penyerahan hati dan jiwa serta hidup
seluruhnya kepada Allah semakin berkembang. Gerakan ini mengutamakan perasaan,
penghayatan, pemikiran dan kepercayaan orang-perorang lantas memandang Ajaran Gereja
menjadi kurang penting (termasuk pula manajemen atau tata-kelola pelayanan gereja yang
dikelola oleh tokoh-tokoh gereja (para Presbiter atau anggota Sinode). Gerakan pietisme ini
menghasilkan individualisme yang mengutamakan kebebasan dan otonomi manusia yang
meragukan pemikiran dan ajaran yang datang dari luar diri manusia. Manusia harus keluar
dari kebodohannya dan menggunakan rasionya dalam menjawab berbagai permasalahan
global seiring dengan perluasan wilayah kolonial dan pekabaran injil. Individualisme ini
menghasilkan gerakan “pencerahan” (“aufklărung”) yang membebaskan diri dari segala
otoritas dan kekuasaan, baik dalam bidang iman, ilmu pengetahuan dan politik yang
menghambat pendapat dan pikiran manusia. Pembebasan diri dalam bidang iman ini
diungkapkan dalam bentuk melepaskan diri dari segala sesuatu yang diwajibkan gereja
melalui manajemen (tata-kelola) pelayanan yang dijalankan oleh para pemimpin gereja (para
Presbiter dan Pimpinan Sinodal). Dalam gerakan “pencerahan” ini, ajaran dan hukum
(regulasi gereja) yang ditegakkan dalam manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja tidak
diterima begitu saja. Alkitab diteliti secara kritis dengan menggunakan pendekatan ilmiah
(penemuan di bidang sastera, arkheologi, dsbnya). Kebenaran Alkitab dan Ajaran Gereja
diterima manusia apabila dipandang tidak bertentangan dengan perasaan dan pikiran
seseorang. Terjadilah perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi secara pesat,
luas dan luar biasa. Muncul pula upaya manusia membebaskan diri dari kekuatan politis para
raja, kaum bangsawan (land lord) dan pedagang yang berkolaborasi dengan para pemimpin
politis. Hal ini dilakukan dengan cara mengembangkan pemikiran yang demokratis. Suara
rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Pecahlah revolusi Perancis (1789). Pengaruh
revolusi Perancis ini melahirkan pemikiran baru, khususnya di Belanda. Gereja Hervormd
(Gereja Reformasi) di Belanda yang diatur oleh Tata Gereja tahun 1619, diganti dengan Tata
Gereja tahun 1816. Implikasi terhadap manajemen (tata-kelola) pelayanan gerejanya adalah
gereja diatur secara top-down mengikuti model pemerintah. Keadaan ini melahirkan
persekutuan jemaatjemaat wajib melaksanakan ketetapan Badan Pengurus Sinode. Perutusan
(wakil) jemaat ditiadakan. Gereja kehilangan haknya untuk mengawasi apa yang diajarkan
oleh para pendetanya. Kondisi ini melahirkan Gerakan Pekabaran Injil yang melepaskan diri
dari afiliasi pada gereja yang dipandang sudah tidak bebas lagi sebagai gereja, sebab sangat
didominasi oleh pemerintah kerajaan. Hal ini bukan hanya terjadi di Belanda tetapi juga di
Jerman. Sedangkan di Ingris telah terjadi jauh hari sebelumnya. Kebebasan berpikir dan
berpendapat ini melahirkan bermunculan gerakan warga gereja yang merasa terpanggil untuk
memberitakan injil baik ke dalam wilayah Eropa dan Inggris, maupun ke wilayah-wilayah
kolonial negara-negara (kerajaan-kerajaan) mereka. Bertumbuhlah berbagai organisasi
Gerakan Pekabaran Injil, baik yang berafiliasi maupun yang tidak berafiliasi dengan gereja
asal mereka. Contoh di Belanda yang berafiliasi: Nederlands Zendeling Genootschap (NZG)
atau Lembaga P.I. Belanda yang berafiliasi pada Gereja Hervormd ( Gereja Reformasi).
Contoh di Belanda yang tidak berafiliasi: Nederlandse Zendings Vereniging (NZV) atau
Perserikatan P.I. Belanda, Utrechtse Zendings Vereniging (UZV) atau Perserikatan P.I. di
Kota Utrecht, dan Nederlandse Gereformeerde Zendings Vereninging (NGZV) atau
Perserikatan P.I. Reformasi Ulang Belanda. (bd. van den End [1], 2015:247). Contoh di
Jerman yang tidak berafiliasi: Rheinische Missions Gesellschaft (RMG) atau Perserikatan P.I.
di Daerah Sungai Rhein. Contoh di Swiss yang tidak berafiliasi: Baseler Mission (BM) atau
Perserikatan P.I. di Kota Basel (bd. van den End [1], 2015: 247-248). Implikasi
perkembangan konteks ini terhadap manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja adalah
munculnya Gerakan-gerakan Pekabaran Injil di seluruh wilayah Eropa daratan dan Inggris.
Manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja yang semula melekat atau mengikuti model dan
sistem manajemen (tata-kelola) pemerintahan yang sentralistis dan top-down, mengalami
perubahan baik di Jerman, Belanda, Swiss dan Inggris. Model dan sistem manajemen (tata-
kelola) pelayanan gereja yang bercorak Presbiterial, Sinodal ataupun Presbiterial Sinodal pun
mengalami pembaruan. Pembaruan ini adalah tuntutan seiring dengan ekspansi politik
kolonialisme yang terjadi di luar Eropa daratan dan Inggris (ke Asia, Amerika dan Afrika).
Gereja-gereja reformasi mengembangkan manajemen (tata-kelola) pelayanannya ke wilayah-
wilayah jajahan mengikuti ekspansi kolonial, meskipun tidak selamanya visi, misi dan tujuan
gereja melalui Gerakan Pekabaran Injil itu sejalan dengan visi, misi dan tujuan ekspansif
kolonial negara asalnya. Malahan seringkali terjadi perbedaan, pertentangan dan perlawanan
di antara para pekabar injil dengan pemerintah negara (kerajaan) asalnya. Contohnya, adalah
pelarangan dan pencegahan pemerintah Belanda, Inggris, dan Portugis terhadap pekabaran
injil di wilayah Siam atau Muangthai (Thailand). Sebab pemerintah negara-negara (kerajaan)
ini menganggap bahwa pekabaran injil akan menghambat upaya politis dan ekonomis
(perdagangan gading gajah, dll) ke negara-negara (kerajaan-kerajaan) ini. Manajemen (tata-
kelola) pelayanan gereja yang dikembangkan oleh para pekabar injil (misionaris) lebih
berfokus pada pembentukan jemaat-jemaat lokal dan persekolahan. Dampak dari manajemen
(tata-kelola) pelayanan gereja seperti ini melahirkan pandangan bahwa kebudayaan Eropa
(“Barat”) lebih unggul dari kebudayaan lokal di wilayah penjajahan. Pada masa ini, Visi
gereja “menjadi persekutuan orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan dosa untuk
menjadi kesatuan tubuh Kristus” dan Misi “membaptiskan dan mengajar mereka melakukan
ajaran Yesus” serta Tujuan gereja untuk “memanusiakan manusia” diimplementasikan
melalui manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja yang “mengkristenkan” (“mengorang-
baratkan”) penduduk lokal. Dampaknya adalah hilangnya kearifan lokal oleh paham
triumphalistic para pekabar injil. Manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja dalam lapangan
pekabaran injil selain dilakukan oleh pendeta/penginjil (misionaris), juga oleh para pembantu
mereka (hulppredikant). Selain itu, kepada warga gereja yang telah dibaptis dan mempelajari
Alkitab serta Ajaran gereja di sekolah-sekolah dipercayakan untuk mendampingi pelayanan
gereja sebagai Penatua dan Diaken. Seiring dengan terjadinya “revolusi industri” yang
memberikan dampak kemiskinan, alkoholisme, munculnya pekerja anak di Inggris dan
Eropah daratan, diciptakanlah pelayanan gereja melalui para Pekerja Sosial. Sebab itu,
manajemen (tata-kelola) pelayanan yang dikelola oleh pendeta/penginjil, pembantu pendeta,
penatua dan diaken di lapangan pekabaran injil pun melibatkan “pekerja sosial” dan
“penghibur orang sakit” (ziekentrouwser).

3.2. MASA PENJAJAHAN HINDIA BELANDA DI NUSANTARA TAHUN 1800-1860


Manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja pada masa ini ditandai dengan berkembangnya visi
teologis-eklesiologis mengenai apa itu “gereja” sesudah masa pekabaran injil. Permulaan
abad ke-19 adalah masa “ledakan pekabaran injil” (evangelical explosive) yang sangat besar.
Hal ini melahirkan lahirnya berbagai denominasi gereja di dunia dan juga di Nusantara serta
Maluku sebagai lapangan pekabaran injil. Berbagai landasan teologis-ekklesiologis yang
menjadi landasan kehadiran gereja-gereja dalam berbagai denominasi ini melahirkan
berbagai model dan sistem manajemen (tatakelola) pelayanan gereja. Ada gereja-gereja yang
tetap mempertahankan model dan sistem manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja dari
negara asal sang pendeta/penginjil, namun ada yang dikembangkan bersama dengan warga
gereja yang merupakan hasil dari pelayanan penginjilannya. Muncullah sekurang-kurangnya
tiga model dan sistem pelayanan gereja, yaitu: (1) Gereja Negara (misalnya, Gereja
Hervormd); (2) Gereja Rakyat (misalnya, gereja Gereformeerd de Kerken) dan (3) Gereja-
gereja hasil pekerjaan Pekabaran Injil. Model dan sistem manajemen (tata-kelola) pelayanan
Gereja Negara bercorak topdown mengikuti pola pemerintahan negara (kerajaan)
sebagaimana corak Calvinis yang dipengaruhi manajemen (tata-kelola) negara. Model dan
sistem manajemen (tata-kelola) pelayanan Gereja Rakyat bercorak bottomup mengikuti corak
Calvinis murni. Model dan sistem manajemen (tata-kelola) pelayanan Gereja-gereja hasil
pekabaran injil bercorak campuran di antara kedua corak di atas sesuai situasi dan kondisi
masingmasing wilayah pekabaran injil. Dalam artian, ada yang bercorak presbiterial sinodal
yang sangat besar menekankan peranan Sinode Am dan/atau Sinode Nasional (sinode
penempatkan pendeta), namun ada pula menekankan peranan persekutuan jemaat (jemaat
yang mengundang/menetapkan pendeta di lingkup pelayanannya). Selain itu, ada pula yang
melaksanakan model manajemen (tata-kelola) yang murni ditentukan oleh pendeta yang
membentuk jemaat/gerejanya sendiri bersama warga gereja (congregasional). Model ini
terlihat dalam Gereja-gereja Gerakan Pentakostal, Kharismatik, dan Injili. Pendeta/penginjil
sendirilah yang membentuk gerejanya. Sebab itu, seluruh manajemen (tata-kelola) pelayanan
gereja berpusat pada diri sang pendeta (pendeta sentris). Peranan Majelis Jemaat (para
pembantu sang pendeta) hanya mengerjakan segala sesuatu yang ditetapkan oleh sang
pendeta. Selain itu, ada pula yang melaksanakan model manajemen (tata-kelola) yang murni
ditentukan oleh pemimpin Gerakan Zaman Baru. Gerakan Zaman Baru adalah gerakan yang
bertumbuh di California, USA sejak 1960-an. Untuk lebih memahami akar
teologiseklesiologis gerakan ini, silahkan membaca: Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di
dalam dan di Sekitar Gereja, 2018: 426, dstnya. Manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja
gerakan zaman baru ini adalah membangun jejaring (network) dengan para pengikutnya atau
anggota kelompok dan organisasi yang dipersatukan berdasarkan alasan ideologis ataupun
praktis, dengan memanfaatkan media informasi dan komunikasi (misalnya, New Age Journal,
New Realities, New Directions, Common Ground, dsbnya). Dengan manajemen (tata-kelola)
pelayanannya, gerakan ini bertujuan untuk menghadirkan pengalaman transformatif sebagai
pengalaman religius. Pengalaman ini bisa bersifat mistik, juga hidup yang meninggalkan
gaya hidup opresif. Pengalaman ini juga mengutamakan makna hidup baru. Model-model dan
sistem manajemen (tata-kelola) pelayanan ini dikemukakan agar kita memahami bahwa
terbuka kemungkinan manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja kita dipengaruhi oleh
berbagai model dan sistem manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja, baik bersumber dari
Gereja-Negara, Gereja Rakyat, Gereja Pekabaran Injil, maupun Gerakan Zaman Baru.
Selanjutnya salah seorang tokoh pendeta/penginjil yang sangat terkenal dalam kaitan dengan
kehadiran manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja di lapangan penginjilan Nusantara,
khususnya kepulauan Maluku dan yang memengaruhi manajemen (tata-kelola) pelayanan
GPM pada aspek-aspek tertentu ditampilkan oleh Joseph Kam, Sang Rasul Maluku.
Peranannya akan kita bahas dalam kuliah 4 dan 5 yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai