Npm: 12175201200024
Pengertian MG atau TKG pada masa Gereja Lama sesungguhnya berakar pada
pengertian manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja mula-mula dalam zaman para rasul.
MG atau TKG pada masa Gereja Lama mengalami perkembangan seiring dengan
perkembangan konteks gereja pada masa itu. Perkembangan konteks dimaksud adalah
realitas sosial, kultural, religiusitas, ekonomis dan politis yang menantang bahkan
menghambat pelayanan gereja dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan gereja pada masa itu.
Tantangan dan hambatan itu baik berupa pandangan filosofis (Gnostisisme, Libertinisme),
religiusitas (Yudaisme, Paganisme, dsbnya) maupun politis (penindasan pemerintahan
kekaisaran Romawi). Contoh: seiring dengan perluasan pengaruh kekristenan di Asia Kecil,
sekitar tahun 112 M, gubernur Bitinia mengeluh dalam sebuah surat kepada kaisar di Roma
bahwa penjualan
hewan korban merosot akibat warganya tidak lagi beribadah di kuil-kuil sebab mereka telah
menjadi Kristen (bd. van den End [1] : Harta Dalam Bejana, 2015: 24). Dengan terjadinya
perkembangan gereja di seluruh wilayah Timur (Persia, India), Tenggara (Siria), Selatan
(Mesir) dan Utara Laut Tengah (Eropa), maka terjadilah perubahan besar dalam visi, misi dan
tujuan bergereja yang menjadi dasar, pengertian dan model manajemen (tata-kelola)
pelayanan gereja. Perkembangan ini tidak bebas dari kesulitan bahkan kesalahan manajerial
dilakukan baik oleh para pemimpin gereja yang menjadi pelopor-pelopor iman. Sebab pada
masa itu, belum tersedia pedoman manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja. Dalam
menghadapi tantangan dan penghambatan yang ditimbulkan oleh pengaruh YunaniRomawi
yang memiliki visi, misi dan tujuan yang berbeda dari gereja, maka gereja berada dalam
pergumulan manajerial, yaitu: hendak mengambil alih model manajemen YunaniRomawi
yang bercorak hanya bertumpu pada top-management (single fighter) ataukah menolaknya
sama sekali dengan mengembangkan (collegial management) seperti yang dikembangkan
pada masa Perjanjian Baru. Tampilnya para “bapa gereja” (misalnya: Klemens, Ignatius,
Polikarpus, dll) sebagai para pemikir sekaligus penggerak pelayanan gereja yang semakin
menyebar luas ke seluruh wilayah di Asia, Afrika, dan Eropa telah membuat gereja
memanajemeni (menata-kelola) pelayanannya dengan menggunakan kombinasi dari
manajemen (tata-kelola) tunggal dan manajemen (tata-kelola) pelayanan kolektif-kolegial.
Gereja/jemaat pada wilayah tertentu menahbiskan Uskup (episkopos=penilik) yang
selanjutnya mengangkat Penatua dan Diaken untuk membantu dirinya dalam pelayanan
gereja. Hal inilah yang melahirkan model manajemen (tata-kelola) pelayanan yang bercorak
“hirarkis” (bd. van den End [1], 2015: 33,34). Yang menggerakkan manajemen (tata-kelola)
pelayanan gereja adalah Uskup yang memimpin Penatua dan Diaken. Uskup, Penatua dan
Diaken tampil sebagai klerus yang memimpin dan berkuasa atas warga gereja (lihat Gambar
2.1). Ketika para Uskup menghadapi permasalahan di jemaat mereka masing-masing secara
serentak, maka permasalahan ini diputuskan dalam rapat para Uskup. Lahirlah model
manajemen (tata-kelola) gereja yang bercorak sinodal.
Seiring dengan pengaruh lingkungan, ketika raja-raja pada wilayah tertentu menjadi
Kristen, maka model manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja menjadi terpengaruh dengan
suasana yang berlaku dalam aparatur pemerintahan dan dalam kemiliteran. Lahirlah model
manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja yang bercorak dan menerapkan episkopalisme atau
kepemimpinan para uskup saja yang bersama-sama berkuasa dalam membuat keputusan
ketika gereja menghadapi permasalahan persekutuan, pelayanan dan kesaksian Dalam model
manajemen (tata-kelola) Episkopal, fungsi para Uskup adalah membela ajaran iman Kristen
dalam menghadapi serangan terhadap persekutuan iman Kristen yang dipimpinnya, baik yang
datang dari pandangan aliran filosofis, religiusitas, sosio-kultural, dsbnya.Fungsi para
Penatua lebih pada aspek pelaksana peribadahan dan fungsi para Diaken lebih pada aspek
pelaksana pelayanan kasih pada setiap jemaat. Seiring dengan Edik Millano (penetapan
undang-undang kekaisaran romawi pada tahun 323 M), maka orang Kristen diberi kebebasan
melaksanakan ajaran gerejanya di seluruh kekaisaran romawi. Konsili Nicea pada tahun 325
M dalam merumuskan pendapat menghadapi pandangan Arianisme yang memandang Yesus
Kristus, Sang Anak, baru ada sesudah diperanakkan oleh Sang Bapa, maka gereja semakin
memberikan peran khusus kepada Uskup Roma, Aleksandria dan Antiokhia. Paus ditetapkan
sebagai pimpinan para Uskup Tampilnya otoritas sipil yang kuat di Konstantinopel
menyebabkan gereja-gereja di Timur melepaskan diri dari pengaruh gereja-gereja di Barat.
Gereja-gereja di Barat melakukan konsolidasi dan ditetapkanlah kepemimpinan kepausan
yang berpusat di Roma. Lahirlah model manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja yang
bercorak Hierarkhis Episkopal dan peranan Paus dalam memanajemeni (menata-kelola)
pelayanan gereja semakin meluas ke seluruh dunia. Fungsi utama Paus adalah memimpin
para Uskup sekaligus menjalankan fungsi pengorganisasian sebagai kepala negara “kota
Vatikan” yang berpusat di Roma Fungsi manajerial pelayanan gereja yang dilakukan Paus
juga mencakup penggembalaan, selain menjaga kemurnian ajaran Gereja Katolik.
Manajemen (tata-kelola) pelayanan seperti ini melahirkan sikap ambigius dari warga dan
pelayan gereja. Pada satu pihak, ingin menguasai dunia, pada pihak lain pelayan dan warga
gereja menarik diri dari dunia. Timbulnya berbagai pendidikan gereja di masa Gereja Lama
tidak berhasil dipertahankan sepenuhnya untuk melahirkan warga dan pelayan gereja yang
memiliki wawasan eklesiologis yang benar.
Di tengah perkembangan konteks seperti ini, tampillah tokoh Marthin Luther (1483-
1546) yang mengritik pemahaman teologis yang dikembangkan oleh gereja (Paus dan
lembaga kepausan) dari kota Wittenberg. Luther menilai bahwa lembaga kepausan tidak
mewujudkan visi, misi dan tujuan gereja yang alkitabiah. Ia mengritik ajaran yang
memberikan ruang bagi para Pastor, Uskup dan Paus sebagai wakil Allah mengomersilkan
“surat penghapusan siksa” (indulgensi). Surat itu harus ditebus (dibayar) oleh anggota
keluarga yang masih hidup agar anggota keluarganya yang sudah mati dan berada di “tempat
perhentian sementara” (purgatorium) diperkenankan untuk masuk surga. Luther melalui 95
dalil Reformasi Gereja (tahun 1517) menolak penjualan indulgensi yang dilakukan Tetzel
untuk disetor ke pihak Paus Leo X di Roma yang sedang menggalang dana untuk
pembangunan gedung gereja Santo Petrus di kota Vatikan (bd. van den End [1], 2015:166-
168). Menurut Luther, manusia dibenarkan hanya oleh iman. Bukan oleh perbuatan ritus
gerejawi. entah dengan mengikuti ketujuh sakramen, ataupun dengan mengumpulkan benda-
benda (relikwi) peninggalan para santo. Manusia yang telah dibenarkan wajib
mengejawantahkan imannya dalam kehidupan moral dan pelayanannya serta ungkapan
syukur kepada Tuhan Allah yang kasih-Nya tiada tara dalam Yesus Kristus. Sebab iman kita
di dalam Kristus tiada membebaskan kita dari perbuatan-perbuatan pelayanan kita, namun
membebaskan kita dari berbagai pandangan yang salah mengenai perbuatan, yaitu perbuatan
yang bodoh yang memandang bahwa pembenaran diperoleh dengan perbuatan. Menurut
Luther, pembenaran oleh iman membuat setiap manusia memiliki persamaan hak di hadapan
Tuhan Allah. Tidak ada golongan tertentu yang menjadi penyalur anugerah Tuhan Allah dan
meneruskannya kepada orang lain yang dipandangnya lebih rendah martabatnya. Sebab
setiap warga gereja adalah “imam bagi warga seimannya.” Semua orang percaya yang telah
dibenarkan oleh Tuhan Allah berhak dan wajib melaksanakan pelayanan keimamatan
mereka. Tugas imamat yang wajib dilaksanakan sebagai tugas utama adalah ‘‘pelayanan
firman Tuhan.” Firman Tuhan adalah firman yang hidup (Yesus Kristus), tertulis (Alkitab)
dan diberitakan (Kotbah, Sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus). Tugas “imamat yang
rajani” (1 Pet 2: 9) adalah dasar teologis Luther untuk membangun model dan sistem
manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja di tengah realitas konteks sosio-politis dan religius
pada masa itu. Dengan pemahaman ini, Luther memandang MG atau TKG harus dipisahkan
dari kekuasaan atau otoritas pemerintahan raja, kaisar (negara). Bagi Luther, sifat
keimamatan dan kerajawian adalah: setiap orang Kristen melalui “iman kepada Yesus
Kristus” dipermuliakan di atas segala sesuatu, sehingga dengan kuasa rohani dia adalah tuan
di atas segala sesuatu tanpa kecuali (Roma 8:28; 1 Kor 3:21-23). Ini berarti bahwa setiap
orang Kristen ditempatkan di atas segala sesuatu bukan untuk memiliki dan menguasainya
dengan kuasa duniawi – ini merupakan suatu kegilaan yang diderita oleh para klerus, uskup
dan Paus serta para raja, putera mahkota dan orang lain di dunia ini (bd. Martin Luther,
Kebebasan Seorang Kristen, 1991: 22-23). Sebab menurut Luther, setiap orang Kristen yang
berkuasa adalah orang Kristen yang menanggung penderitaan bahkan kematian seperti
Kristus (bd 2 Kor 12:9). Dalam kerajawian kita, salib dan kematian itu sendiri melayani dan
bekerja bersama kita untuk kebajikan pelayanan dan keselamatan kita, manusia dan keutuhan
ciptaan. Dengan demikian, kita adalah “raja” yang terbebas dari model dan sistem
manajemen (tata-kelola) duniawi, sebab kita adalah imam yang dilayakkan untuk tampil di
hadirat Tuhan Allah untuk mendoakan dunia dan saling mengajar sebagai seorang imam yang
dimandatkan kepada semua orang yang percaya kepada-Nya oleh Kristus (Ibrani 10:19, 22).
Luther menolak penyebutan “imam, klerus, rohaniwan/wati” atau “gerejawan.” Alkitab tidak
membedakan mereka dengan warga gereja lainnya. Sebab yang dikenal dalam Alkitab adalah
“hamba, pelayan” yang saat ini dikenakan kepada mereka yang sekarang ini dengan bangga
menamai dirinya Paus, Uskup, Klerus dan yang aturannya menurut pelayanan firman Allah,
melayani yang lain dan mengajarkan mereka iman dan kebebasan selaku orang percaya
kepada Yesus Kristus (bd Marthin Luther, 1991: 25) Implikasinya adalah manajemen (tata-
kelola) pelayanan gereja tidak membedakan “rohaniawan/wati” dari warga gereja. MG atau
TKG ini melibatkan warga gereja dalam kebaktian Reformatif. baik dalam bentuk lagu-lagu
yang diciptakannya sendiri maupun pembacaan Alkitab dalam bahasa Jerman dan bahasa-
bahasa lokal atau nasional lainnya. Tukang sepatu, pandai besi, petani, masing-masing
mempunyai kesibukan profesinya sendiri, namun mereka semua dapat dipilih jemaat pula
untuk bertindak sebagai Imam dan Uskup (bd. van den End [1], 2015: 176). Konsep Luther
mengenai jabatan Imam dan Uskup pada mulanya masih direkrut dari kalangan pastor dan
uskup yang diangkat seperti berlangsung di kalangan gereja Katholik Roma (bd. C. Scott
Dixon and Luise Schorn-Schütte, “Introduction: The Protestant Clergy Of Early Modern
Europe” dalam The Protestant Clergy Of Early Modern Europe, 2003: 2). Namun kemudian,
dalam semangat “anticlerialism” gerakan Reformasi Gereja yang diprakarsai Luther, telah
membuka ruang kepada rekrutmen Imam dan Uskup dari kalangan warga gereja tersebut.
Sebab melalui pembaptisan yang diterima warga gereja, sejatinya menurut Luther, warga
gereja telah memperoleh jabatan keimamatannya dari Kristus. Sebab itu, para Imam dan
Uskup ini juga wajib membayar pajak dan berbagai kewajiban lain sebagaimana yang
dikenakan kepada warga negara lainnya. (bd R. Emmet Mclaughlin, “The Making of the
Protestant Pastor: The Theological Foundations of a Clerical Estate” dalam C. Scott Dixon
and Luise SchornSchütte, The Protestant Clergy Of Early Modern Europe, 2003: 64) Selain
para Imam (pastor) atau Gembala (poimen) yang sama dengan Gereja Katholik Roma,
direkrutlah juga warga gereja untuk membantu mereka, yaitu para Penatua (presbuteroi),
Pengajar (doctor), Diaken (diakonoi) serta Pemimpin Nyanyian/Puji-pujian (procantor).
Namun tugas pokok dan fungsi mereka dipandang oleh Luther sebagai jabatan manajerial
pelayanan gereja yang tidak permanen (periodik) dan dianggap biasa-biasa saja, bisa ada, bisa
juga tidak (adiafora), walaupun di jemaat-jemaatnya jabatan ini lebih sering ada. (bd
Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Sekitar Gereja, 2018:48). Hal ini bukan
berarti bahwa tradisi dan ajaran gereja mengenai fungsi Imam (pastor) dan Uskup serta
Biarawan dipertiadakan. Fungsi mereka dioptimalkan untuk berkotbah (mengajar). Luther
mempersiapkan bahan kotbah yang dapat digunakan mereka termasuk warga gereja
umumnya untuk disampaikan dalam kebaktian sebagai proses mengajar jemaat. Penekanan
pemberitaan mereka bahwa “perbuatan baik adalah buah iman dan bukan sarana untuk
memperoleh keselamatan” (bd. R.R. Boehlke *1+, 2015: 348). Meskipun manajemen (tata-
kelola) pelayanan gereja dipisahkan dari negara, namun Luther tetap menekankan pentingnya
kontribusi pemerintah (kota, kerajaan, kekaisaran dan negara) untuk menopang proses
pendidikan umat. Model manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja yang dikembangkan oleh
Luther lebih mengutamakan kesetaraan di antara warga dan pelayan gereja Dalam model
manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja ini, masing-masing jemaat akan memilih seorang
anggota jemaat dan pastornya untuk menjadi wakil jemaat dalam rapat bersama (sinode).
Namun terjadilah salah kaprah dari tokoh-tokoh dan kelompokkelompok tertentu (kaum
petani di Jerman) terhadap pemikiran kebebasan Kristen. Terjadilah pemberontakan kaum
petani yang dipimpin oleh Thomas Muenzer pada tahun 1524-1525. Luther menolak bentuk
perjuangan keadilan dengan menggunakan kekerasan yang dilakukan oleh Thomas Muenzer
dan kelompok petani. Seiring dengan perjuangan kelompok ini, maka Luther tidak percaya
bahwa warga gereja bisa menjalankan pemerintahan yang teratur dalam gereja. Sebab itu,
Luther menyetujui sistem manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja yang diadopsi dari
sistem pemeritahan raja Saksen yang membagi daerah pemerintahannya atas distrik-distrik.
Luther pun mengembangkan manajemen (tata-kelola) pelayanan gerejanya dengan
mengangkat seorang “pejabat” gereja yang diberi gelar superintendent (bd. episkopos dalam
Perjanjian Baru). Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari pejabat gereja ini adalah untuk
mengawasi pelayanan termasuk pendidikan/kotbah yang dilakukan oleh para pastor di
wilayah distrik ini. Manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja berlangsung dari atas ke bawah
dan peranan pemerintahan dalam gereja cukup besar. Nampaklah pengaruh lingkungan, yakni
keinginan para raja, baik Katholik maupun Reformasi untuk menguasai gereja/jemaat di
wilayahnya (bd van den End [1], 2015: 180). Model ini lebih jelas terlihat dalam Manajemen
(tata-kelola) pelayanan gereja ini berkembang meluas ke seluruh Jerman Utara, Skandinavia
dan beberapa daerah lainnya di Eropa. Namun di Eropa bagian Selatan dan wilayah gereja
Orthodoks – Timur, pengaruh Reformasi hampir tidak terasa. Malahan Gereja Katholik
dalam kerja sama dengan para raja, kaisar menumpas gerakan Reformasi ini (bd van den End
[1], 2015: 185). Luther sendiri dikucilkan oleh Gereja Katholik Roma pada tahun 1521.
Barulah 50 tahun kemudian (1570), terlihat perbedaan Gereja Katholik Roma dan Gerakan
Reformasi yang disebut Gereja Protestan, baik dalam aspek ajaran maupun manajemen (tata-
kelola) pelayanan gereja. Sesudah konsili di Trente, perpecahan Gereja Katholik Roma dan
Gereja Protestan tidak dapat dipulihkan lagi. Gereja-Gereja Protestan mengatur sendiri
kehidupan gereja dan manajemen (tatakelola) pelayanan serta organisasinya yang tetap (bd de
Jonge, Chr. Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja, 2015: 74-76). Di tengah perkembangan
reformasi dalam konteks Eropa yang penuh penumpasan gerakan ini, ternyata setiap daerah
atau kota juga mempunyai tokohnya tersendiri. Misalnya Ulrich Zwingli (1484-1531) di
Swiss. Karena Gerakan Reformasi tidak mempunyai organisasi gerakan yang ketat, maka
timbullah berbagai bentuk ajaran dan manajemen (tata-kelola) pelayanan masingmasing
gerejanya tersendiri. Ada Gereja Reformasi yang mempunyai Uskup, ada yang tidak.
Misalnya di Swedia dan Inggris. Ada gereja yang mempertahankan sebanyak mungkin
upacara ritual Gereja Katolik Roma (di Swedia dan Inggris), ada yang menghapuskannya
(Belanda, Belgia, Swiss dan sebagian Jerman, termasuk pula di Indonesia). Dalam konteks
Eropa seperti ini tampillah tokoh Yohanes Calvin (1509-1564). Dia lahir di Noyon (Perancis
Utara) seorang ahli hukum dan pengikut Luther yang berminat kepada ilmu teologi dan
menjadi pendeta di Jenewa (Swiss). Pendidikan teologinya diterimanya sesuai dengan
kurikulum pendidikan Abad Pertengahan yang mewajibkan mahasiswa Fakultas Hukum
mempelajari pokok-pokok iman Kristen. Di kemudian hari setelah pemerintah di Paris
mencurigainya sebagai penganut Gerakan Reformasi, maka Calvin terpaksa melarikan diri ke
Jenewa pada 1533 (bd. de Jonge, Apa Itu Calvinisme, 2016: 6-7). Pendeta Farel di Jenewa
memintakan Calvin membantunya, namun dia menolak sebab Calvin melihat banyak orang
Jenewa yang mabuk-mabukan, berjudi, berzina, dsbnya. Namun pendeta Farel menyatakan:
”atas nama Allah Yang Mahakuasa, aku berkata kepadamu, kalau engkau tidak mau
menyerahkan dirimu kepada pekerjaan Tuhan di sini, maka Allah akan mengutuki engkau,
karena engkau lebih mencari ketenangan dirimu sendiri daripada kemuliaan Kristus.”
Tawaran pendeta Farel pun diterima Calvin. Calvin menilai bahwa lembaga kepausan tidak
mewujudkan visi, misi dan tujuan gereja yang alkitabiah. Sependapat dengan Luther
mengenai “pembenaran” oleh iman, Calvin lebih menekankan lagi aspek “penyucian” yang
diukur oleh ketaatan kepada disiplin gereja. Warga gereja yang tidak mengindahkan
peringatan-peringatan oleh para Penatua yang dipilih oleh dan di antara warga gereja/jemaat,
maka orang itu dikenakan disiplin gereja. Namun hal itu belum cukup. Negara, dalam hal ini
pihak pemerintah kota Jenewa harus mengawasi tingkah laku warganya dalam bekerja sama
dengan pihak gereja. Siapa yang menolak, maka dia diusir dari kota. Siapa yang melanggar
peraturan gereja, kena hukuman negara. Dasar teologisnya adalah “kedaulatan Tuhan Allah”
atau “teokrasi” (kekuasaan Tuhan Allah atas seluruh kehidupan dunia).Implikasi visi teologis
ini terhadap manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja adalah gereja dan negara
berdampingan. Jadi berbeda dari pandangan Paus Innocentius III yang meletakkan negara di
bawah manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja Manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja
ini menghasilkan perlawanan warga kota Jenewa. Pendeta Farel dan Calvin dilarang untuk
memimpin ibadah (‘naik mimbar”). Namun mereka tidak mengacuhkan larangan itu, sebab
pemberitaan injil adalah tugas yang diberikan oleh Tuhan dan bukan oleh Jemaat. Akibatnya,
mereka dipecat dan dibuang (bd. de Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 2016:8). Calvin pergi ke
kota Strasburg (Jerman) atas undangan Martin Bucer dan menikah di kota ini dengan Idelette
de Bure (1540). Sementara itu, dengan adanya surat penggembalaan dari seorang Kardinal
untuk mengajak warga kota kembali ke Gereja Katolik Roma, maka para pendukung Gerakan
Reformasi melalui Dewan Kota Jenewa memintakan Farel dan Calvin kembali. Farel
menolak. Calvin menerima. Manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja diatur dalam Tata
Gereja (“UndangUndang Gerejawi”) yang diterima dan diberlakukan oleh Dewan Kota
Jenewa. Kehidupan gereja diawasi secara ketat oleh gereja bersama-sama dengan pemerintah
kota Jenewa (bd. van den End [1], 2015:193). Mengenai hubungan manajemen (tata-kelola)
pelayanan gereja dan manajemen (tata-kelola) pemerintahan negara (baca: kota Jenewa),
Calvin membangun paham teologisnya: (1) Demi keamanan negara, semua warga masyarakat
wajib mengakui iman yang sama. (2) Pemerintah terdiri dari warga yang menjadi pengikut
Yesus Kristus. Sebab itu, sebagai pengikut Yesus Kristus, kewajiban mereka dipenuhi
melalui pemerintahan negara. (3) Para pemimpin negara juga manusia berdosa. Sebab itu,
pemerintah sangat membutuhkan usaha dari warga gereja lainnya. (4) Para pelayan wajib
menentukan isi firman Tuhan Allah yang diproklamasikan dan siapa saja yang layak
menerima sakramen. Berdasarkan paham teologis ini, Calvin mengembangkan manajemen
(tata-kelola) pelayanan gereja dalam hubungan dengan negara dengan aspek-aspeknya
sebagai berikut: Terdapat enam aspek hubungan gereja dan negara a) Pemerintah sebagai
lembaga yang berasal dari Tuhan Allah, supaya agama Kristen dapat dipertahankan sesuai
dengan Alkitab. b) Panggilan hidup melayani masyarakat melalui sarana berbagai struktur
pemerintahan adalah panggilan hidup yang mulia. c) Para pemimpin negara harus didorong
untuk menyesuaikan semua tindakannya dengan kehendak Tuhan Allah. d) Pemerintahan
Aristokratis Kristen harus dikendalikan dengan hukum agar tidak bertindak keterlaluan. Hal
ini harus didukung oleh gereja. e) Hanya Tuhan Allah sajalah yang berhak mengatasi
pelanggaran-pelanggaran yang dibuat wakil-Nya. f) Tugas untuk mengendalikan para
pemimpin dipercayakan kepada wakil-wakil masyarakat, antara lain terdiri dari golongan
Imam (pendeta, pengajar), Bangsawan, Warga Kota yang mengambil keputusan dalam
Sidang Agung. Kunci kemakmuran dan kesejahteraan rakyat terletak pada kawaspadaan para
pemimpin (golongan rohaniawan, bangsawan dan pemimpin negara). Dengan mengikuti
azas-azas manajemen (tata-kelola) pelayanan gereja pada masa Perjanjian Baru (Ef. 4:11),
Calvin kembali mendirikan jabatan rohaniawan (Penatua dan Diaken di samping jabatan
Pendeta dan Pengajar). Lihat Gambar 2.10. (bd Aritonang, Jan. S., Berbagai Aliran Di Dalam
Dan Di Sekitar Gereja, 2018:68). Di sinilah terletak perbedaannya dari pada Luther yang
tidak mengenal jabatan lain dari pastor/pendeta selain superintendent yang lebih bercorak
top-down (atas ke bawah). Calvin menyatakan bahwa Penatua dan Diaken dipilih oleh dan
dari antara warga gereja dalam kurun waktu tertentu (periodik), sehingga lebih bercorak
bottom-up (bawah ke atas), sedangkan Pendeta dan Pengajar diangkat oleh Gereja
(eclesiastical ordinance oleh Pendeta yang disepakati oleh Sinode). Bandingkanlah dengan
Keputusan Sidang Sinode GPM 1976 yang mengizinkan Ketua Klasis pada masa itu
menahbiskan Vikaris dan Penatua menjadi Penginjil/Pendeta pada wilayah kerjanya). Calvin
menetapkan dalam Tata Gerejanya bahwa Pendeta dan Pengajar wajib mengikuti pendidikan
seperti yang digagas oleh Luther. Di kemudian hari pada masanya, Calvin mengembangkan
juga pendidikan untuk Pendeta dan Pengajar sama seperti untuk warga gereja lainnya sesuai
dengan wadah pendidikan yang digagasnya melalui Schola Privata dan Schola Publica dalam
Akademi Jenewa (bd. Robert R. Boehlke [1], 2015:436-442 Pada waktu tertentu
berkumpullah wakil-wakil dari setiap Jemaat dalam suatu rapat bersama (Sinode) untuk
berunding mengenai permasalahan yang menyangkut keseluruhan gereja. Sinode yang
mengawasi para pelayan. Tidak ada tempat bagi seorang “pejabat” yang akan berkuasa atas
pelayan-pelayan lainnya (lihat Gambar 2.11 di atas). Secara azasi, pemerintah negara tidak
boleh mencampuri urusan gereja. Model manajemen (tata-kelola) pelayanan dengan sistem
seperti ini disebut Presbiterial. Dalam wilayah yang lebih luas para presbiter (Pendeta,
Pengajar, Penatua dan diaken) membentuk Sinode yang bercorak Presbiterial Sinodal.
Terjadilah pembagian peran di antara Gereja dan Negara untuk saling membantu, saling
mengajar dan saling mengingatkan. Warga gereja dididik untuk terlibat dalam hal urusan
negara. Namun gereja tidak boleh memegang “tangkai pedang” (bd Roberth R. Boelkhe [1],
2015: 409-410). Gereja tidak boleh diskriminatif dalam pelayanan kepada warga negara
dalam status sosial apapun. Dengan begitu, mereka menaklukkan diri kepada firman Tuhan
Allah di setiap tempat kehidupan mereka