Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH DIAKONIA DALAM PASTORAL UMAT

Nama Kelompok:
1. Elonike Br Bangun
2. Helena Br Sitepu
3. Lestania Irawanni Saragih
4. Rinaldo Barus
5. Risna Valentin Saragih
6. Santa Yosefa Purba

SEKOLAH TINGGI PASTORAL


SANTO BONAVENTURA KEUSKUPAN AGUNG MEDAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK
TAHUN AKADEMIK 2022/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan atau diakonia telah menjadi sebuah percakapan dan praktek yang umum
dalam pelayanan gereja. Namun ada pertanyaan penting untuk dimengerti: “apakah
diakonia merupakan wujud dari kasih Kristus bagi manusia, ataukah sebuah bentuk
pelayanan sosial modern yang selalu dikaji dan dikembangkan bentuk-bentuk
pelaksanaannya”? Untuk menjawab pertanyaan ini, sejak awal tulisan ini saya ingin
memberikan keseimbangan terhadap teks-teks Alkitab yang sering dipakai untuk
menggambarkan pelayanan diakonia yang berbasis pada Alkitab. Orang sudah sangat
sering atau terbiasa memakai Matius 25:31-46 tentang ‘Penghakiman Terakhir’ dan Lukas
10:25-37 tentang ‘Orang Samaria yang Murah Hati’ untuk membangun sebuah paradigma
tentang pelayanan diakonia yang dilakukan oleh gereja (Rössler, 1994: 158). Singgih
memakai Lukas 10:25-37 untuk menjelaskan bentuk pelayanan diakonia yang keluar dari
batas golongan sendiri (Singgih, 1992: 18-19). Namun dalam diskusi-diskusi tentang
diakonia gereja penggunaan perikop-perikop ini tidak menolong orang untuk memahami
apa sebetulnya diakonia. Penggunaan perikop-perikop ini sering membuat orang melihat
pelayanan diakonia menjadi tidak berbeda sama sekali dengan pelayanan sosial modern
yang ada dalam masyarakat. Orang tidak lagi melihat diakonia sebagai pelayanan gereja
yang bertujuan untuk menjadi “alat untuk menyatakan kemuliaan Tuhan atau ‘Kerajaan
Allah’ di dunia ini” (Singgih, 1992: 22). Karena itu perlu memahami pelayanan diakonia
gereja dari uraian Kis 6:1-7. Kisah dalam Kis 6:1-7 berawal dari protes orang-orang
Yahudi yang berbahasa Yunani kepada orang-orang Ibrani karena pelayan. Praktek gereja
mula-mula ini, khususnya gereja di Yerusalem, sebenarnya merupakan warisan dari tradisi
Yahudi di Sinagoge (Hehanussa, 2012). Dalam tradisi Yahudi Sinagoge memiliki minimal
dua fungsi, yaitu fungsi religius dan fungsi sosial. Sinagoge bukan hanya menjadi tempat
ibadah tetapi juga menjadi tempat pelayanan kasih kepada kaum miskin (Willimon, 1988:
59).
Melakukan diakonia (pelayanan) secara baik dapat diumpamakan sebagai
"membangun sebuah rumah di atas batu karang yang teguh Yesus memberikan
perumpamaan itu kepada kita, untuk menegur pen dengarnya yang hanya mendengar
Firman Tuhan tetapi tidak melakukan dalam hidupnya, maka dia bagaikan seorang yang
membangun rumah di atas pasir, rumah itu akan roboh bila terkena hujan dan angin.
menyalurkan kehidupan manusiawi dan mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan
2
kepada mereka. Itulah perutusan khas mereka, dan di situlah "mereka adalah rekan kerja
cinta, kasih Allah Pencipta" (GS 50) Sebagai ayah dan ibu, suami isteri bertugas mendidik
anak, juga di dalam menguasai, menghayati dan mengamalkan ajaran ajaran iman Katolik
(GS 48), Konsil menghimbau suami isteri Katolik untuk memelihara kesetiaan dalam cinta
kasih, sehingga mereka dapat menjadi contoh bagi lingkungannya (GS 49).
Bila kita melakukan diakonia, maka kita telah ikut serta membangun fondasi yang
kuat bagi gereja sebagai Tubuh Kristus. Tanpa diakonia, Pekabaran Injil oleh gereja
menjadi abstrak, bagaikan gong yang bunyi nya nyaring dan suaranya menggema, tetapi
hilang ditelan waktu. Tujuh jemaat di Asia Kecil yang dikisahkan dalam kitab Wahyu
adalah jemaat yang tanpa kasih dan pelayanan. Jemaat yang hidup bagi diri sendiri. Jemaat
di Asia Kecil itu hampir semuanya hilang tanpa bekas. Jemaat yang tidak mengaitkan iman
dan perbuatan akan mati.
Ada hubungan yang erat antara diakonia dan misi; tanpa maka misi tidak
mempunyai perspektif. Ia tidak memiliki pengharapan eskatologis atas kedatangan
Kerajaan Allah.Dalam Injil (Lukas 5:17-26), Yesus berkata kepada seorang lum puh yang
diusung di hadapan-Nya disaksikan orang-orang Farisi dan ahli Taurat, "mana yang lebih
mudah mengatakan "dosamu sudah diampuni" atau "hai, bangkit dan berdirilah Yesus
tidak hanya memberitakan peng. ampunan Allah, tetapi memberdayakan orang lumpuh
hingga ia bang kit dan berjalan. Yesus melakukan pelayanan holistik terhadap orang
lumpuh yang diusung itu dalam bentuk pengampunan dosa dan pem berdayaan. Pelayanan
pemberdayaan bagi yang lemah merupakan ciri pelayanan Yesus yang berbeda dengan
orang Farisi yang mengutamakan hukum agama.

3
BAB II
PEMBAHASAN

B. PENGERTIAN DIAKONIA
a) Pengertian Diakonia Secara Etimologi
Diakonia secara etimologi dalam bahasa Yunani διακονεο (diakoneo) berarti
melayanisebagai pelayan dapur, yang menantikan perintah di sekitar meja makan (Mat
8 :15;Efesus 4:12)1.
b) Pengertian diakonia Menurut Para Ahli
1) Diakonia adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan Gereja.
Sebagaimana halnya aspek pengudusan dan pewartaan, diakonia atau
pelayanan membentuk dan mengungkapkan jati diri Gereja sebagai komunitas
murid-murid Yesus. Gereja hadir dan tampil di tengah dunia untuk menapaki
jalan sang Gembala Agung, yang datang bukan untuk dilayani tetapi untuk
melayani (bdk. Mrk. 10:45).
2) Diakonia adalah tindakan dari diakonein. Orang yang melakukan diakonia di
sebut diakonos. (Rapids: Michigan,1989)
3) J.P. Widyatmadja mengatakan bahwa Gereja bisa hidup tanpa gedung, tetapi
tidak bisa hidup tanpa diakonia. Hal ini menandakan bahwa Diakonia
sangatlah penting dalam kehidupan ber-Gereja. Usia panggilan diakonia setua
dengan gerakan Yesus yang lahir di Palestina lebih dari dua ribu tahun lalu.
Gerakan Yesus tidak bisa dipisahkan dari gerakan solidaritas terhadap orang
miskin. Solidaritas itu diwujudnyatakan oleh Gereja melalui diakonia Gereja.
Tanpa diakonia dan perhatian pada orang miskin, sebuah Gereja tidak bisa
disebut sebagai tubuh Kristus. Diakonia, sebagai misi Gereja dikenal dalam
istilah tritugas panggilan Gereja, yaitu Koinonia (persekutuan), marturia
(kesaksian), dan diakonia (pelayan).
4) Diakonia merupakan salah satu dari tritugas panggilan Gereja yang harus
dijalankan dalam rangka mewujudkan kerajaan Allah di dunia ini. Diakonia
sebagai pelayanan kasih identik juga dengan pelayanan keadilan, dalam artian
bertindak memerangi dan jika mungkin mengatasi penindasan, ketidakadilan,
kemiskinan dan kekurangmampuan serta berperan dalam meningkatkan

1
https://kumparan.com/berita-update/apa-arti-kata-diakonia-dari-bahasa-yunani-ini-penjelasannya-
1y8tNJrQb2a
4
kemungkinan-kemungkinan hidup dalam terang injil. (Grand Rapids:
Michigan,1989).

c) Pengertian Diakonia Secara Umum


umum Kata “diakonia” berasal dari bahasa Yunani yaitu “diakonein” artinya
pelayan meja, Diakonia dianggap sebagai pelayanan yang dilakukan oleh seorang
hamba yang melayani meja makan, dan pekerjaan ini dianggap rendah. Pada
perkembangan selanjutnya kata “diakonein” memiliki arti melayani secara umum.
d) Pengertian diakonia secara essensial
Secara Essensial arti kata DIAKONIA adalah PELAYANAN GEREJA.
Makna kata diakonia sebagai pelayanan gereja ini bisa dijumpai dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI).
e) Pengertian Diakonia Menurut Alkitab

Dalam kitab suci, secara harafiah, kata diakonia berarti memberi pertolongan
atau pelayanan. Dalam bahasa Ibrani pertolongan, penolong, ezer dalam Kej. 2:18, 20;
Mzm. 121:1. Diakonia dalam bahasa Ibrani disebut syeret yang artinya melayani. Dan
dalam terjemahan bahasa Yunani, kata diakonia disebutkan diakonia (pelayanan),
diakonein (melayani), dan diakonos (pelayan) Istilah diakonia sebenarnya, sudah
terlihat sejak dari Perjanjian lama. Dalam Kitab Kejadian jelas dikatakan bahwa Allah
menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada (Ex Nihilo) dan semua
yang diciptakan Allah sungguh amat baik (Kej. 1:10-31).2 Allah juga membuktikan
pemeliharaan-Nya secara khusus ditujukan kepada manusia yaitu sebagai pelayanan.
Manusia sebagai wakil Allah untuk melayani-Nya dalam mengurus bumi dan isinya.
Inilah panggilan pertama bagi manusia untuk melayani dan sebagai manusia ciptaan
Tuhan, seharusnya ia melayani. Pelayanan Allah bagi dunia terfokus kepada bangsa
Israel sebagai karya penyelamatan-Nya. Dalam keluhan bangsa-Nya, Allah juga
mendengarkan seruan mereka, Allah memperdulikan orang Israel dan menyatakan
keselamatan serta penebusan. Pembebasan ini bertujuan supaya bangsa yang sudah
dibebaskan melayani Allah dalam kebebasannya dan menjawab kasih-Nya dengan
belas kasih(Jontha Fresly Sembiring, n.d.) 3

3
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwi94tb-
5
C. Dasar Biblis Diakonia

Dalam Perjanjian Baru, di samping kata-kata ini terdapat 5 kata lain untuk
melayani, masing-masing dengan nuansa dan arti tersendiri, yang dalam terjemahan-
terjemahan Alkitab kita pada umumnya diterjemahkan dengan kata melayani yaitu:

1.   Douleuein, yaitu melayani sebagai budak. Kata ini terutama menunjukkan arti
ketergantungan dari orang yang melayani. Orang Yunani sangat tidak menyukai kata
ini. Orang baru menjadi manusia jika ia dalam keadaan bebas. Perjanjian Baru, mula-
mula memakai kata ini dalam arti biasa sesuai dengan keadaan masyarakat pada masa
itu. Di smaping itu, kata ini juga mendapat arti religius. Orang Kristen adalah budak
Tuhan Allah atau hamba Kristus Yesus (Rom. 1:1). Itu sesungguhnya merupakan
suatu gelar kehormatan. Seorang Kristen tidak melakukan keinginan dan rencananya
sendiri, tetapi keinginan dan rencana Tuhan Yesus yang telah melepaskannya dari
belenggu dosa dan dengan demikian sudah membebaskannya.
2.  Leitreuein, yaitu melayani untuk uang. Kata bendanya latreia (pelayanan yang
diupah) juga dipakai dalam pemujaan dewa-dewa. Dalam terjemahan Yunani dalam
PL, yaitu Septuaginta (LXX), kata ini terdapat kurang lebih 90 kali, pada umumnya
untuk melayani Tuhan Allah dan pada khususnya untuk pelayanan persembahan . Juga
dalam Perjanjian Baru, kata ini menunjukkan pelayanan untuk Tuhan Allah atau
dewa-dewa, tidak pernah untuk saling melayani manusia. Roma 12:1 menyebutkan
logike latreia (ibadah yang sejati). Melayani Tuhan dengan tubuh, yaitu dengan diri
sendiri dalam keberadaan yang sebenarnya adalah ibadah yang sesungguhnya dalam
hubungan baru antar Kristus dan manusia.
3. Leitourgein yaitu dalam bahasa Yunani digunakan untuk pelayanan umum bagi
kesejahteraan rakyat dan negara. Dalam LXX arti sosial politik ini terutama dipakai di
lingkungan pelayanan di kuil-kuil. Dalam Perjanjian Baru (khususnya surat Ibrani),
kata ini menunjukkan kepada pekerjaan Imam besar Yesus Kristus. Kemudian dalam
Roma 15:27 dan 2 Kor. 9:12, kata ini dipakai untuk kolekte dari orang Kristen asal
kafir (suatu perbuatan diakonal) untuk orang miskin di Yerusalem. Dari kata inilah
berasal kata liturgi, yaitu suatu kata ibadah dalam peretemuan jemaat.
4.  Therapeuein yaitu menggarisbawahi kesiapan untuk melakukan pelayanan ini sebaik
mungkin. Kata ini juga di tempat lain, dipakai sebagai sinonim dari menyembuhkan.

zZn7AhWZTmwGHX5yB0oQFnoECAgQAw&url=https%3A%2F%2Frepository.uksw.edu%2Fbitstream
%2F123456789%2F13338%2F2%2FT2_752015013_BAB%2520II.pdf&usg=AOvVaw1UGv0T_QtEHqLWmK2yyjGh
6
5. Huperetein yaitu menunjukkan suatu hubungan kerja terutama relasi dengan orang
untuk siapa pekerjaan  itu dilakukan. Kata ini berarti si pelaksana memperhatikan
instruksi si pemberi kerja4.

Makna dan Nilai-Nilai Yang Akan Dicapai Dalam Pelayanan


a. Makna Pelayanan

Kata “diakonia” berasal dari bahasa Yunani yaitu “diakonein” artinya pelayan
meja, Diakonia dianggap sebagai pelayanan yang dilakukan oleh seorang hamba yang
melayani meja makan, dan pekerjaan ini dianggap rendah. Pada perkembangan
selanjutnya kata “diakonein” memiliki arti melayani secara umum.
b. Nilai-nilai yang diharapkan dari diakonia atau pelayanan diantaranya;

Berikut ini tawaran untuk merancang pelayanan pastoral yang efektif dan efisien.
1. Pelayanan pastoral yang produktif

Pelayanan pastoral yang produktif dapat pula dilihat dari ratio atau perbandingan
antara masukan (input) sumber daya: tenaga pastoral, fasilitas, modal, asset, uang, tanah
dan lain-lain dengan luaran (output): tingkat ketercapaian pelayanan sesuai dengan reksa
pastoral Gereja Keuskupan atau Gereja Universal. Secara kualitatif, produktivitas berarti
mutu kehidupan umat beriman hari ini (harus) semakin lebih baik dari hari kemarin, dan
hari esok lebih baik dari hari ini. Untuk itulah konsep perencanaan, pelaksanaan serta
evaluasi pastoral sangat penting diadakan dalam pelayanan pastoral Gereja. Dalam
konteks Gereja lokal Keuskupan Ruteng, hal ini dilakukan dalam Sinode1-3 serta sidang
pastoral tahunan, atau rapat pastoral lainnya. Sidang pastoral ini dilakukan untuk
mengetahui tingkat ketercapaian program pastoral dalam kehidupan ber-Gereja.
2. Kualitas pelayanan pastoral

Kualitas pelayanan pastoral berkaitan erat dengan tingkat kepuasan umat beriman
terhadap pelayananan pastoral yang diberikan oleh para agen pastoral seperti uskup,
imam, diakon, para katekis dan para pelayanan lainnya. Tingkat kepuasan umat terhadap
pelayanan pastoral dapat diperoleh melalui kajian ilmiah yang dibuat dengan pengukuran
indikator. Informasi tingkat kepuasan juga dapat diketahui dari diskusi sosial-eklesial.
Artinya, tingkat kepuasan umat juga dapat diketahui dari informasi-informasi yang
disampaikan baik secara lisan maupun tertulis tentang pelayanan yang dilakukan oleh

4
https://text-id.123dok.com/document/myjr0x26z-diakonia-dalam-perjanjian-baru.html
7
agen pastoral. Oleh karena itu, anjuran, masukan, informasi pastoral sangat penting
diketahui oleh para agen pastoral untuk menata strategi pelayanan yang tepat.
3. Pelayanan pastoral yang responsif
Responsivitas adalah kemampuan kelembagaan Gereja untuk mengenali
kebutuhan umat beriman, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan
mengembangkan program-program pelayanan pastoral sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Pemetaan kebutuhan tersebut dapat dilakukan melalui analisis sosial yang
dapat dibuat melalui kajian ilmiah seperti pengukuran instrumen indikator maupun
melalui Fokus Group Discussion(FGD). Responsivitas dalam pelayanan pastoral juga
dapat dipandang sebagai kerelaan untuk menolong dan menyelenggarakan pelayanan
secara tulus iklas. Konsep pelayanan Yesus Kristus tentu menjadi bagian integral dari
pelayanan pastoral sebab Ia sendiri melayani setiap orang datang kepada-Nya bertumpu
pada cinta kasih dan bahkan diri-Nya adalah kasih Allah yang menyelamatkan manusia.
4. Pelayanan patoral yang responsbel
Responsibilitas berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan pelayan pastoral yang
mengindahkan prinsip-prinsip, ajaran, norma, dan hukum Gereja yang benar. Pelayanan
pastoral yang mengindahkan prinsip lain namun kalau tidak sesuai dengan hukum dan
ajaran Gereja Katolik, maka tindakan itu tidak benar. Prinsip kebenaran sesuai ajaran
adalah hal yang penting dalam pelayanan pastoral supaya tidak juga dianggap sebagai
pelayanan pastoral yang serampangan. Prinsip ini juga sangat penting untuk menjaga
kekhasan dalam pelayanan pastoral dibandingkan dengan kegiatan sosialkaritatif yang
gencar dilakukan dalam dunia dewasa ini.
5. Pelayanan pastoral yang akuntabel
Akuntabilitas berkaitan dengan konsistensi kegiatan dan kebijakan/reksa pastoral
dengan kehendak umat beriman. Tentu seja kehendak umat Allah yang diperhatikan
adalah kehendak yang berkaitan dengan upaya manusiawinya untuk mengeskpresikan
dirinya sebagai manusia religius (homo religious). Pelayanan pastoral yang akuntabel di
sini selain mengenakan ukuran internal perencanaan program seperti pencapaian target,
juga mengenaka ukuran eksternal seperti nilai-nilai yang dilayani berdampat pada
kehidupan konkrit umat beriman. Dengan kata lain, akuntabilitas pelayanan pastoral
dibuktikan oleh seberapa mampunya karakter “altar” memurnikan “pasar” kehidupan
umat beriman.
6. Pelayanan pastoral yang efektif

8
Efektivitas pelayanan pastoral berarti tingkat ketercapaian tujuan yang ditetapkan
oleh Gereja sesuai reksa pastoral. Hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis,
nilai, misi, tujuan pastoral serta fungsi agen pastoral. Rasionalitas teknis dalam pelayanan
pastoral sangat penting untuk mengukur sejauh mana tindakan pastoral tersebut
berdampak baik atau buruk. Dengan demikian, pelayanan pastoral tidak bersifat stagnan
atau bertahan dalam “zona nyaman” karena selalu mencari cara yang efektif dalam
pelaksanaanya.
7. Pelayanan pastoral yang efisien
Efisiensi dalam pelayanan pastoral diperoleh dari perbandingan antara hasil yang
dicapai dengan pengeluaran dari pelayanan tersebut. Pelayanan pastoral tidak mungkin
dilakukan tanpa adanya sumber daya baik manusia, alam, uang, dan lain-lain. Karena itu,
pertimbangan laba dalam pastoral sangat penting bukan untuk mencari keuntungan
melalui tindakan pastoral melainkan demi menjaga sustainable agar pelayanan itu tetap
dapat dilakukan dalam segala waktu dan tempat. Pelayanan tanpa sumber daya adalah
mustahil dalam konteks manajemen. Oleh karena itu, upaya efisiensi sangat penting demi
mendapatkan pelayanan pastoral yang optimal.
8. Pelayanan pastoral yang realiabel (realibility)
Realibilitas dalam pelayanan pastoral diperoleh dengan cara memetakan
pelayanan yang dijanjikan secara akurat. Itu berarti pelayanan pastoral mesti mempunyai
tujuan yang visibel, terukur dan dapat dijangkau tujuannya. Oleh karena itu, pelayanan
pastoral yang diberikan oleh fungsionaris pastoral harus benar-benar merupakan langkah-
langkah implementatif untuk menggapai reksa pastoral atau kebijakan Gereja lokal dan
universal.
9. Pelayanan pastoral yang memiliki kepastian (assurance)
Kepastian dalam pelayanan pastoral adalah pengetahuan dan kesopanan para agen
pastoral serta kemampuan mereka dalam memberikan kepercayaan kepada umat beriman.
Sebagaimana ditekankan dalam konteks pastoral, agen pastoral mesti menjadi orang yang
dapat dipercaya. Orang yang dapat dipercaya adalah orang yang memiliki kepastian iman,
kepastian pengetahunan dan moral. Kepastian juga dapat dipandang sebagai konsekuensi
dari terpenuhinya indikator pelayanan seperi yang dijelaskan sebelumnya seperti:
responsivitas, efektifitas, efisiensi, realibilitas, dan lain-lain.
10. Pelayanan pastoral yang berkeadilan (sosial)
Konsep keadilan sangat bervariasi. Ada yang memandang dari perspektif hak dan
kewajiban (keseimbangan), ada yang melihat dari segi kesepakatan (komutatif). Keadilan

9
dalam konteks Gereja adalah option for the poor (pilihan utama kepada kaum “miskin”)
yaitu keadilan yang mendahulukan orang-orang yang miskin dan terpinggirkan. Keadilan
ini juga sejalan dengan konsep keadilan sosial yang mendahulukan orang-orang yang
tidak berdaya. Keadilan ini disebut juga keadilan sosial. Dalam koteks pelayanan
pastoral, keadilan sosial merupakan inti dasar pelayanan pastoral Gereja Katolik. Oleh
karena itu, para agen pastoral mesti mendahulukan orang yang tidak berdaya dalam
pelayanan pastoralnya5.
Pemahaman Makna Secara Teologis Di atas sudah dikatakan bahwa lemahnya
pengajaran pelayanan sosial gereja dan hanya menekankan pengajaran persekutuan orang
kudus menyebabkan gagalnya gereja berperan aktif dalam persoalan-persoalan sosial di
luar gereja. Diakonia adalah salah satu aspek dari pelayanan kesaksian gereja, bahkan
diakonia dipandang sangat penting dalam mendekatkan teologi dengan realitas manusia
agar teologi gereja dapat selalu berdekatan dengan manusia dalam kenyataan yang
konkret dan bukan sekedar suatu teologi diangan-angan. Karena itu keutuhan pelayanan
dari gereja bertemu diantara firman dan perbuatan, khususnya dalam pelayanan diakonia
gereja.
Pemahaman kita tentang diakonia tidak dapat dipisahkan seperti disebutkan diatas
diantara pietas dan caritas. Pietas dalam disiplin Calvinistik dipahami sebagai suatu sikap
dan tindakan yang diarahkan kepada penyembahan dan pelayanan kepada Allah. Pietas
juga dikaitkan dengan penghormatan dan kasih kepada pembawa gambar Allah. Dalam
hal ini pietas adalah ethos dan tindakan dari umat yang percaya dan sekaligus sebagai
suatu pengakuan kokoh untuk memperkenalkan Allah kepada pembawa gambar Allah
dan menjadikan hidup mereka dibumi sebagai bagian yang memberikan pertolongan
sebisa mungkin bagi pembawa gambar Allah Sementara caritas, yang merupakan
pelayanan yang diberikan atas nama Kristus memiliki arti yang luas. Caritas bukan hanya
sekedar suatu pelayanan kasih semata, melainkan caritas juga adalah suatu pelayanan
diakonal yang berkeadilan dari gereja.
Pelayanan kasih dan keadilan ini bersifat preventif dan kuratif, mencegah dan
menyembuhkan. Secara negatif, pelayanan ini memerangi dan jika mungkin mengatasi
penderitaan, ketidak adilan, kemiskinan, kekurangmampuan dan secara positif
meningkatkan kemungkinan-kemungkinan hidup dalam terang Injil. Dalam hal ini maka
diakonia merupakan tugas perawatan kepada jemaat lokal, dan jemaat universal dan
sekaligus juga bantuan kepada semua orang yang membutuhkan, khususnya mereka yang

5
https://kumparan.com/berita-update/apa-arti-kata-diakonia-dari-bahasa-yunani-ini-penjelasannya-
1y8tNJrQb2a
10
ada dalam kesusahan, yang miskin, para pengungsi, tahanan, pecandu obat dan korban
bencana alam6.
Berdasarkan pemahaman yang luas di atas bahwa diakonia bukan hanya sekedar
pelayanan kasih melainkan juga pelayanan keadilan. Itulah sebabnya sangat penting
melihat arti kedua ini dalam kaitan dengan tanggung jawab gereja dalam kehidupan
masyarat secara luas. Dengan perkataan lain, arti kedua ini menolong gereja menyatakan
kepedulian mereka secara sosial dalam kehidupan masyarakat. Perlu diingat juga bahwa
pelayanan gereja yang khas ini berkaitan erat dengan pemberitaan firman Allah dan
pelaksanaan sakramen dalam gereja.
Paradigma diakonia dan leitourgia disini merupakan suatu ajaran yang jelas dari
gereja Reformed. Namun sayang paradigma ini yang bersumber dari Kisah 2;42
perlahan-lahan terlupakan dalam gereja. Elemen koinonia-caritas ini terlupakan karena
adanya kecenderungan gereja justru memisahkan empat hukum pertama kepada Allah
(Ibadah Minggu, Firman, Sakramen dan doa) dari enam hukum kedua kepada sesama
(perhatian kepada sesama yaitu dengan memberi persembahan atau bantuan) Pelayanan
diakonia adalah suatu pelayanan yang bersifat imperatif, karena tugas pelayanan ini
diberikan oleh Raja Gereja kepada kita. Di dalam namaNya, gereja dipanggil untuk
menjadi tanda pertolongan dan keselamatan terhadap semua mereka yang tidak
mempunyai pertolongan dan melalui tindakan ini gereja menjadi saksi dari kasih Allah
kepada yang miskin dan yang menderita. Dalam hal inilah tersimpul erat suatu hubungan
yang tidak terpisahkan antara diakonia dan leitourgia. Di antara pietas dan caritas.
Berkaitan dengan diskusi dalam artikel ini, maka orang miskin dan yang menderita ini
menjadi sorotan utama dari kepedulian gereja secara sosial.

D. Bentuk-Bentuk Diakonia
a) Diakonia Karitatif (Victim Care)

6
https://journal.sttsimpson.ac.id/index.php/Js/article/download/8/7#:~:text=Dasar%20Teologi%20Pelayanan
%20Diakonia&tex
t=Dalam%20PL%20diakonia%20dipahami%20sebagai,(Abineno%201983%3A15).
11
Gereja terlibat langsung dalam melakukan pelayanan yang murah hati dan
belas kasih, merawat yang sakit, memberikan sembako murah, memberi uang kepada
orang miskin dan sebagainya. Kelas sosial yang tercipta dalam masyarakat,
kayamiskin, tidak bisa diubah. Gereja berada pada pihak “yang membutuhkan
bantuan”, yaitu mereka yang lemah dan miskin supaya sedikit lebih baik dan
mengurangi penderitaan mereka. Kemiskinan tidak dapat dibasmi. Yang bisa terjadi
adalah : yang kaya berperan sebagai pemberi dan yang miskin berperan sebagai
penerima. Model ini adalah model tertua dari bentuk pelayanan Gereja yang
dilakukan, dan sampai saat ini masih juga dilakukan. Pelayanan ini cepat dirasakan
manfaatnya, dan sangat tepat dalam situasi darurat dan sangat membutuhkan
pertolongan yang bersifat segera, misalnya bencana alam. Mereka bisa merasakan
secara langsung manfaat dari bantuan yaitu untuk mencukupi kebutuhan pangan
sehari-hari dan kebutuhan lainnya. Bantuan (barang dan dana) yang diberikan kepada
umat yang miskin merupakan wujud kepedulian Gereja terhadap penderitaan dan
kemalangan umatnya.
b. Diakonia Pemberdayaan (Victim Cause)
Dalam bentuk pelayanan yang kedua, Gereja juga berusaha melakukan
berbagai macam cara untuk mencari akar permasalahannya dan mengantisipasi atau
mencegah terjadinya masalah. Kedua bentuk pelayanan Gereja didasarkan pada sikap
“Orang Samaria yang Baik Hati” (Luk 10:30-37). Yesus mengisahkan Orang
Samaria yang tergerak hatinya oleh belas kasihan melihat orang yang terluka dan tak
berdaya. Orang Samaria mempunyai tanggungjawab ganda yaitu membalut luka-luka
korban perampokan dan membawa orang itu ke tempat penginapan dan merawatnya.
Selain ia melakukan tindakan belaskasih kepada korban (victim care), ia juga
mengetahui penyebab orang itu terluka (victim cause). Orang Samaria tidak hanya
membalut luka-lukanya dan meninggalkannya, melainkan membawa korban menuju
tempat penginapan supaya terhindar dari ancaman bahaya yang sama. Dalam
perjalanan sejarah Gereja, sudah ada gerakan dari bentuk pelayanan victim care
kepada bentuk pelayanan victim cause. Suatu tindakan disebut sebagai pelayanan
bukan hanya karena sudah memberi makan kepada orang lapar, melainkan harus
sampai pada pertanyaan, “Mengapa mereka lapar dan apa yang bisa dilakukan untuk
mengatasi itu?” Gereja tidak hanya melayani mereka yang terluka, memberi makan
kepada orang lapar, meringankan penderitaan orang miskin melainkan juga mencari
penyebab masalah sosial-ekonomi yang ada. Di satu sisi, perjuangan Gereja dalam
melayani mereka yang lemah dan miskin masih sangat dibutuhkan. Di sisi lain,
12
Gereja juga tetap berjuang mencari penyebab dari masalah itu dan melakukan
sesuatu untuk mengatasi masalah itu (Meyvie Wairata, n.d.).

E. Orientasi Diakonia

a. Tujuan Diakonia

Diakonia dipandang sebagai sikap solidaritas yang mendalam terhadap orang


lain berdasarkan kasih. Solidaritas itu diwujudkan dalam diakonia. Artinya dalam
diakonia ada sikap tanpa pamrih, sikap yang emenekankan hidup bersama dengan
tidak mencari keuntungan diri sendiri. Tujuan pekerjaan diakonal adalah membantu
orang lain dan menempatkannya pada posisi yang benar di hadapan sesama manusia
dan Tuhan Allah. Memperdulikan keberadaan umat manusia secara utuh yaitu
kebutuhan rohani, jasmani dan kebutuhan sosial. Tujuan diakonia juga mendukung
realisasi sebuah persekutuan cinta kasih dan membangun serta mengarahkan orang
untuk hidup di dalamnya. Oleh sebab itu, diakonia mempunyai fungsi kritis dalam
jemaat maupun di dalam masyarakat.

b. Contoh Dari Diakonia

1. Membantu orang lain

Salah satu hal yang utama dan terutama dalam bentuk pelayanan diakonia adalah
keinginan dan aksi kita dalam membantu orang lain. Membantu orang lain sama saja
artinya dengan melayani orang tersebut. Kita membantu untuk memfasilitasi mereka
sesuatu yang mereka butuhkan. Misalnya saja, ada seseorang yang memerlukan
bantuan kita untuk memanggilkan ambulance dalam keadaan darurat, maka disini kita
melayani orang lain dengan memberikan sesuatu yang ia butuhkan yaitu bantuan
ambulance. Ini adalah salah satu contoh dari sekian banyak contoh etika kristen dalam
kehidupan sehari – hari yang bisa kita lakukan dan terapkan.

Mungkin kebanyakan dari kita akan berpikir bahwa hal yang cukup ditekankan
dalam pelayanan diakonia adalah bentuk pelayanan kepada mereka yang miskin dan
sebatang kara. Tetapi, yang sebenarnya lebih baik kita lakukan adalah kita membantu
mereka yang bisa kita bantu. Tidak hanya terfokus kepada orang – orang miskin saja.
Karena, setiap orang tentunya memiliki permasalahan yang membutuhkan bantuan
dari orang lain. Meski bantuan – bantuan yang bisa kita berikan adalah bantuan yang

13
kecil misalnya mengajari teman yang tidak bisa mengerti satu mata pelajaran tertentu,
hal ini juga sudah tergolong kedalam pelayanan diakonia

2. Mau mendengarkan

Karena membantu orang lain konteksnya sangat luas maka bentuk pelayanan
diakonia akan saya perkecil lagi. Dengan mau mendengarkan orang lain kita juga
sebenarnya telah melakukan pelayanan. Kita sebenarnya bisa lebih mendalami bentuk
pelayanan berupa mendengarkan seruan hati orang lain apabila kita tidak terlalu
membatasi siapa saja yang mau kita dengarkan. Misalnya saja, kita seringkali suka
sekali untuk bercerita dan berkeluh kesah kepada sahabat terdekat kita mengenai
permasalahan yang sedang ia hadapi.

Karena dia adalah sahabat atau orang terdekat kita tentunya kita mau dan rela
untuk mendengarkan curahan hati mereka, tetapi bagaimana apabila seseorang yang
membutuhkan kita untuk mendengarkan curahan hatinya dan meminta nasehat dari
kita bukanlah orang terdekat kita?  Kita biasanya akan cenderung malas atau bahkan
menggurui mereka seolah kita bisa melewati berbagai macam rintangan dan
menganggap bahwa permasalahan yang mereka hadapi bukanlah permasalahan yang
besar.

Untuk lebih memahami dan mendalami pelayanan diakonia dalam praktek


kehidupan sehari – hari, maka sebaiknya kita mau lebih membuka diri terutama bagi
mereka – mereka yang memang membutuhkan telinga kita untuk mendengarkan
curahan hatinya dan meminta nasehat kita akan hal itu tanpa memandang latas
belakang orang tersebut. Karena setiap orang, tentunya memerlukan orang lain untuk
membantu mereka menjernihkan pikiran mereka dan mencari jalan keluar atas
permasalahan yang sedang mereka hadapi. Diakonia berarti kita membantu
mewujudkan cita – cita Allah untuk membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih
baik dengan melakukan pelayanan. Dan pelayanan itu sebaiknya kita lakukan dengan
sepenuh hati dan sesuai dengan kemampuan kita agar kita bisa ikhlas dalam
melakukan pelayanan tersebut.

14
3. Menyumbang

Bentuk pelayanan diakonia yang juga seringkali dilakukan dan diajarkan oleh
Gereja sendiri adalah melakukan sumbangan. Biasanya Gereja akan mengajak umat
untuk melakukan sumbangan demi membantu saudara – saudara yang sedang
mengalami bencana alam dan memerlukan bantuan baik itu berupa suplai makanan
ataupun uang. Selain itu, sumbangan yang digalakkan dan digalang oleh Gereja juga
banyak digunakan untuk membantu saudara – saudara disekitar kita yang kurang
beruntung dan memerlukan bantuan. Dan dengan melakukan sumbangan inilah sedikit
dari sekian banyak peran Gereja dalam masyarakat bisa mulai terlihat seiring
berjalannya waktu (Jehaut, 2020).

Itulah beberapa bentuk pelayanan diakonia yang bisa saya bagikan kepada Anda.
Semoga dengan adanya sedikit informasi mengenai pelayanan diakonia ini, hati Anda
menjadi tergerak dan mau ikut ambil bagian dalam melayani masyarakat dan orang –
orang disekitar kita. Dan semoga dengan keinginan untuk melayani kita juga dapat
mewujudkan keluarga kristen yang ideal. Terima kasih atas waktu yang Anda berikan,
Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Hakekat Gereja dalam Pelayanan Diakonia Gereja merupakan sebuah institusi


yang berada di tengah-tengah dunia, sehingga Gereja tidak dapat terlepas dari
tanggungjawabnya terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat
yang berada di dunia. Gereja dan masyarakat adalah dua dimensi dari satu kehidupan
Kristen, Iman, harapan dan cinta kasih Kristiani bukanlah sesuatu yang abstrak
terkotak, yang hanya berlaku di dalam kerangka-intern Gerejawi, melainkan selalu
konkret dan kontekstual di tengah masyarakat. Keberadaan Gereja dan orang Kristen
yang hidup ditengah-tengah masyarakat dan sebagai anggota masyarakat tidaklah
terlepas dari masalah kemiskinan yang menyebabkan adanya ketimpangan nilai-nilai
atau norma-norma kesejahteraan tersebut. Dalam keterlibatan mengatasi masalah
kemiskinan, Gereja dan orang Kristen tidaklah cukup hanya memahami apa arti
kemiskinan dan siapa yang miskin (orang miskin) saja, tetapi Gereja dan orang Kristen
harus mampu merangkul mereka dan mengangkat hakekat dan martabat mereka yang
berada dalam kondisi hidup miskin. Dengan kata lain kesadaran etis Gereja dan orang
Kristen terhadap masalah kemiskinan harus disertai dengan tindakan konkret atau
tanggung jawab etis terhadap orang miskin, atau membantu meringankan beban berat
yang membuat mereka menderita. Secara etimologi, kata gereja berasal dari bahasa
15
Yunani “ekklesia” yang artinya mereka yang dipanggil keluar. Dengan menggunakan
pengertian ini, maka yang tergabung dalam persekutuan ini adalah orang-orang pilihan
yang sudah dipanggil keluar dari lingkungannya yang gelap. Tetapi pada saat yang
sama, mereka yang sudah dipanggil keluar tersebut kembali diutus ke dalam dunia,
kedalam lingkungannya untuk menjadi garam dan terang (Mat.5:13-14). Itu berarti
Allah memanggil umat pilihanNya bukan untuk dijadikan garam dan terang bagi
kegelapan dan ketewaran yang masih ada di sekitarnya. Oleh sebab itu, adanya
pemberitaan Firmaan Allah yang benar, penyelenggaraan sakramen yang kudus dan
penegakan disiplin, tetapi juga harus menjadi gereja bagi orang lain.

Garam dan terang tidak berfungsi bagi dirinya sendiri, garam dan terang selalu
berfungsi bagi yang lain. Gereja dapat menjadi gereja bagi orang lain dengan melalui
pemenuhan tugas pelayanan yang telah Allah mandatkan kepada gereja. Mandat ini
merupakan Missio Dei dari pada Allah. Missio Dei memberitakan kabar baik bahwa
Allah adalah Allah untuk semua manusia, ini jangan dipersempit menjadi bahwa Allah
hanya untuk orang kristen. Gereja adalah persekutuan orang-orang yang menanggapi
atau menjawab panggilan Allah dalam iman untuk ikut mengambil bagian dalam karya
penyelamatan Allah melalui Kristus. Gereja kemudian menjadi persekutuan orang-
orang yang megikut Yesus; persekutuan murid-murid Yesus. Sebagai persekutuan
pengikut Yesus, gereja sering digambarkan sebagai tubuh Kristus. Gambaran itu
mengandung arti bahwa Tuhan Yesus sebagai Kepala Gereja, Kepala dari tubuh itu,
ingin menggunakan gereja untuk menyatakan dirinya serta merta. Bersama dengan
Koinonia dan Martirya, Diakonia adalah Tri-tugas gereja yang menjadi satu kesatuan
dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pelayananan gereja ini harus dilaksanakan
secara terpadu dan bersama sehingga menjadi pelayanan gereja yang holistik. Karena
itu membahas diakonia tidak dapat dipisahkan dari pelayanan gereja yang sering kita
kenal sebagai tugas panggilan gereja. Itu berarti diakonia gereja adalah bagian integral
dari pelayanan utuh atau menyeluruh gereja Tuhan di dalam dunia ini. Oleh sebab itu,
dapat disimpulkan bahwa gereja adalah jemaat ataupun umat Allah yang berkumpul
untuk beribadah kepada Tuhan, kapanpun dan di mana pun sehingga kesimpulan ini
tidak menunjuk kepada gereja yang adalah suatu gedung tempat umat Allah itu
berkumpul dan beribadah tetapi gereja adalah umat Allah yang percaya dan beribadah
kepada Tuhan secara kelompok maupun individu. Gereja yang merupakan
perkumpulan inilah yang menjadi sumber dan tempat terjadinya diakonia karena
dalam perkembangannya diakonia bukan hanya tugas beberapa orang terthabis saja,
16
tetapi juga tugas gereja secara keseluruhan. Secara hakiki Gereja telah hidup menyatu
dengan masyarakat yang bersifat pluralistik.Gereja sebagai persekutuan orang percaya
berada di tengah-tengah masyarakat dan berada dalam sistem masyarakat,
kebudayaan, politik, ekonomi dan sosial.Keberadaan gereja di tengah masyarakat
bersifat integral dengan semua sistem.

Segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sangat mempengaruhi


kehidupan gereja. Itu sebabnya gereja tidak boleh hanya menyuarakan kabar baik
tentang surga, atau lebih suka mengurusi persoalan-persoalan rohaniah belaka,
keselamatan surgawi dan yang semacam itu. Sikap semacam itu membuat gereja lebih
suka memakai pola hidup yang eksklusif dan selalu memperhatikan pelayanan ke
dalam. Gereja seharusnya tahu dan peduli terhadap masalahmasalah konkret dalam
kehidupan masyarakat atau tidak mengambil sikap diam membisu, atau mengambil
jarak dengan persoalan-persoalan hidup yang konkret. E. G. Singgih mengatakan
bahwa gereja yang kontekstual di Indonesia adalah gereja yang sadar akan konteksnya,
termasuk konteks kemiskinan. Itu sebabnya gereja dalam menjalankan fungsinya perlu
berinteraksi terus menerus dengan masyarakat sekitarnya agar dapat juga
berpartisipasi dalam pergumulan konteksnya (Zega, 2021).

6. Kelompok Sasaran
Kelompok sasaran dari diakonia adalah semua orang. Baik itu BIA,
BIR,OMK, dan oang tua sekalipun, diakonia tetap diberikan kepda seluruh orang.
Contoh Memberikan bantuan kepada korban gempa. Umumnya, para korban gempa
kehilangan banyak harta, benda, dan bahkan tempat tinggal. Dan bantuan konkrit yang
bisa kita berikan kepada mereka adalah dana dan kebutuhan pokok. Ini bisa menjadi
salah satu tempat bagi kita untuk menyalurkan berkat, yaitu dengan memberikan
bantuan nyata semampu kita.
Memberikan bantuan kepada mereka yang terkena dampak gempa merupakan
salah satu bentuk diakonia yang bisa kita lakukan dimana saja. Dan untuk
menyalurkannya, kita tidak perlu bingung lagi. Karena pada jaman sekarang, banyak
sekali aktivis sosial yang memiliki kepekaaan tinggi dan bersedia menyalurkan
bantuan bagi mereka yang membutuhkan. Asal kita tanggap dan tidak gaptek, maka
niat kita untuk memberikan bantuan pasti akan terwujud.

17
1. Ikut Bakti Sosial
Bakti sosial merupakan kegiatan sosial yang bertujuan untuk membantu atau
meringankan beban mereka yang kesulitan. Bakti sosial bisa kita lakukan di panti
asuhan, panti jompo, atau di rumah-rumah anak jalanan. Dalam bakti sosial biasanya
bantuan tidak hanya berupa dana, melainkan juga kita didorong untuk ikut secara
langsung dalam rangkaian kegiatan yang disusun untuk mendekatkan kita kepada
mereka.
Kegiatan-kegiatan tersebut biasanya berupa lomba-lomba bersama, senam
pagi, bermain, dan lain sebagainya. Sehingga, kita juga dapat mengasah jiwa sosial,
meningkatkan kepedulian, sekaligus memberikan dorongan atau motivasi secara
emosional kepada mereka. Bakti sosial dapat diadakan oleh gereja, sekolah, maupun
perkumpulan masyarakat.
2. Desa binaan
Desa binaan merupakan kegiatan sosial yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat tertentu yang dirasa masih terbelakang dan kurang
berkembang. Biasanya kegiatan desa binaan dilakukan mahasiswa untuk
memberdayakan masyarakat dan dilakukan secara berkala. Misalkan satu bulan sekali.
Mahasiswa akan terus memantau, mendukung, dan membantu masyarakat sampai
memiliki kemampuan untuk berkembang sendiri.
Jadi, tujuan dari desa binaan bukanlah untuk menciptakan ketergantungan,
melainkan untuk menumbuhkan rasa kepercayaan diri masyarakat akan potensinya
sehingga dapat mengikuti perkembangan jaman. Kegiatan ini tidak hanya dilakukan
oleh mahasiswa, namun bisa juga oleh organisasi atau perkumpulan tertentu yang
memiliki visi untuk mensejahterakan masyarakat.
3. Penyuluhan
Penyuluhan merupakan salah satu pelayanan yang masuk dalam jenis diakonia
reformatif. Diakonia jenis ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak untuk mensejahterakan kehidupannya.
Penyuluhan biasanya dilakukan oleh suatu organisasi, bisa organisasi masyarakat atau
gereja dengan sasaran masyarakat tertentu.

Penyuluhan mungkin tidArtanto, W. (2002). Diakonia Gereja (Vol. 2396, Issue 91).

Hehanussa, J. M. N. (2012). Pelayanan Diakonia Yang Transformatif : Gema Teologi, 36,


127–138.
18
Jehaut, R. (2020). Tinjauan Yuridis tentang Diakonia dalam Gereja. Jurnal Alternatif, IX(1),
1–12.

Jontha Fresly Sembiring, M. T. (n.d.). 7-Article Text-44-1-10-20200226 (2).

Meyvie Wairata. (n.d.). Diakonia Transformatif dalam Pengentasan Kemiskinan: Upaya


Mentransformasi Pelayanan Gereja terhadap Orang Miskin dalam Konteks GKI Martin
Luther di Tanah Papua. 10–36.

Zega, Y. K. (2021). Pelayanan Diakonia: Upaya Gereja dalam Mengentaskan Kemiskinan


bagi Warga Jemaat. IMMANUEL: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristen, 2(2), 88–102.
https://doi.org/10.46305/im.v2i2.64

ak memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada masyarakat,


melainkan memberikan wawasan dan pengetahuan tentang kesehatan supaya
masyarakat mengetahui bagaimana cara mengelola kesehatan dengan benar. Jadi,
tujuan dari penyuluhan kesehatan adalah untuk menyampaikan pesan kesehatan yang
dapat memberikan kesadaran serta mempengaruhi pola pikir dan cara hidup
masyarakat agar dapat memiliki hidup yang sejahtera.
4. Pembangunan sekolah
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu faktor yang berpengaruh dalam
kesejahteraan masyarakat adalah pendidikan. Dengan pendidikan yang baik,
masyarakat akan memiliki pengetahuan dan kemampuan sebagai bekal untuk hidup
dengan kaki sendiri. Maka tidak salah apabila pemerintah berjuang untuk meratakan
dan memajukan pendidikan di Indonesia agar semua rakyat memiliki kualitas hidup
yang baik.
Gereja dapat membantu untuk mewujudkan misi pemerintah yaitu dalam hal
memeratakan pendidikan. Karena ada beberapa daerah yang kurang mendapat
perhatian sehingga masyarakatnya tidak memiliki dasar pendidikan yang baik. Dan
biasanya di tempat seperti ini, masyarakat bel…
5. Mengajar
Mengajar masih sulit untuk diaplikasikan karena membutuhkan biaya yang
besar dan perlu rencana yang matang. Namun, kita bisa menggunakan cara lain yang
tetap memiliki tujuan yang sama. Mengajar di sini biasanya dilakukan oleh organisasi
Kristen di universitas atau organisasi di gereja untuk memberikan pelayanan
pendidikan.

19
Sasarannya bisa anak jalanan, anak-anak di panti asuhan, atau anak-anak di
daerah tertentu yang kurang mendapatkan pendidikan yang layak. Mengajar
merupakan salah satu pelayanan yang cocok dilakukan oleh para remaja karena
sifatnya yang tidak memerlukan biaya.
Mungkin sekian artikel mengenai contoh-contoh diakonia. Dari beberapa
contoh tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa pelayanan dapat dilakukan dengan
berbagai kegiatan tertentu. Tidak hanya dalam bentuk dana, melainkan bisa juga
dengan tenaga dan kemampuan kita. Jadi, jangan pernah merasa bahwa kita tidak
punya apa-apa untuk dibagikan. Semoga artikel ini dapat membantu teman-teman
dalam memiliki kegiatan diakonia untuk diaplikasikan.

7. Metode-Metode Dalam Diakonia


1. Katekese
Merasa pembahasan untuk Kelompok katekis Munich katekismus terlalu
'kering' dan terlalu 'teologis. Sulit dicerna oleh murid, apalagi di usia SD. Memang,
kalau ditelaah, rumus-rumus dalam katekismus adalah sejenis uraian padat tentang
dogma-dogma dan ajaran moral Katolik seperti yang lazim dibahas di dalam teologi.
Karena itu pula, buku Katekismus dijuluki compendium theologiae (ringkasan padat
tentang teologi). Kelompok Munich pada dasawarsa awal Abad XX mulai mengambil
prakarsa untuk menyajikan kisah kisah dan episode-episode Kitab Suci Perjanjian
Lama dan khususnya Perjanjian Baru, di dalam pelajaran agama. Cerita dan episode
Kitab Suci dibawakan dengan cara yang lebih hidup, 'ditafsirkan' dan dipetik
intisarinya untuk bekal hidup seorang beriman.
Dengan demikian, katekese dan pelajaran agama yang tadinya lebih
berorientasi kepada teologi, mulai bergeser dan berorientasi kepada Kitab Suci,
khususnya kepada alur Sejarah Keselamatan. Dengan kata lain, katekese aliran
teologis, mulai didampingi dan kemudian digeser oleh aliran katekese biblis. Di
samping berpegang kepada adegan Kitab Suci, ada yang memanfaatkan perayaan-
perayaan liturgi sebagai titik tolak dan penunjuk jalan di dalam pelajaran agama
(Hehanussa, 2012).
Tidak perlu dikuatirkan, karena di dalam liturgi, bukan saja dirayakan dan
diperingati, akan tetapi juga dihadirkan peristiwa-peristiwa besar di dalam sejarah
keselamatan kita. Inilah aliran katekese liturgis. Baik katekese biblis maupun katekese
liturgis, mulai dari satu adegan, satu peristiwa konkrit yang lebih dapat diminati dan
diikuti murid. Bagaimanapun, kedua jenis katekese ini lebih dapat berbicara kepada
20
perasaan, hati dan kehendak murid daripada katekese teologis, yang lebih menyapa
daya pikir atau rasio manusia saja.
2. Metode Munich
Sampai dengan pertengahan Abad XX, sekolah-sekolah metode Herbart-Ziller-
Rhein (Herbartianisme) Metode ini kemudian diejek dengan julukan metode "sekolah
dengar" atau lebih jelek lagi metode "sekolah pasif" Memang benar, menurut metode
ini pelaku utama adalah guru (maestro) la yang menyajikan, menguraikan dan
menyimpulkan bahan pelajaran. Murid mendengarkan secara pasif, dan mencatat
semua dengan teliti, atau paling tidak menambahkan catatan-catatan pinggir pada buku
pelajarannya. Berdasarkan metode Herbart, serikat kateketik Jerman yang berpusat di
Munich' menyusun metode pelajaran agama di sekolah-sekolah.
Di banyak sekolah di Indonesia, metode ini masih tetap dipegang teguh,
walau dalam bentuk yang jauh lebih buruk daripada apa yang dikembangkan
Herbartianisme Karma pelaku utama atau sentrum/pusat adalah guru, maka metode ini
berpegang kepada "maestrocentrisme", yaitu paham yang mengatakan bahwa guru
adalah segala-galanya. Langkah metode Munich:
1. Persiapan (Vorbereitung)
menarik minat dan menjelaskan tujuan dan manfaat pokok bahasan
menjabarkan kerangka pokok bahasan
2. Pembahasan (Erarbeitung):
Memperkenalkan tema pokok, lalu dibagi-bagi ke dalam:
1. sub pokok bahasan I
2. sub pokok bahasan II
3. sub pokok bahasan III
dst (bisa lebih banyak lagi)
3. Rangkuman seluruh pokok bahasan dicakup dalam rumur-rumus singkat(Artanto,
2002).
Penerapan atau aplikasi (Anwendung) yang dapat dilakukan dalam hidup atau
tugas khusus dan niat pengajar agama diminta menyiapkan bahan sesuai dengan tahap-
tahap penyajian tersebut di atas. Supaya pelajaran memikat di tahap pembahasan,
harus ada contoh contoh konkrit dari kehidupan sehari-hari atau riwayat dan cerita
yang serasi, yang membantu murid menerapkan dan juga mengingat apa yang sudah
dibahas.

21
Tahap-tahap pengajaran ini sudah dianggap kolot oleh sekolah aktif.
Akan tetapi, mengikuti dengan teliti tahap-tahap pengajaran ini masih jauh lebih baik
dan bermanfaat daripada mengajar agama tanpa susunan apa pun, tanpa ujung
pangkalnya. Terlalu sering dijumpai pengajar-pengajar pada umumnya dan pengajar
agama pada khususnya, yang menyampaikan pokok bahasan tanpa persiapan apa pun,
dan karena itu pula tanpa susunan yang rapi. Berbicara seenaknya, ngalor-ngidul tanpa
fokus dan tanpa pentahapan, kurang bermanfaat. Bagaimanapun, tahap-tahap metode
Munich ini masih dapat digunakan pada kesempatan-kesempatan lain, di mana rasul
awam harus tampil membawakan sambutan atau renungan.

22
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pelayanan atau diakonia merupakan bagian esensial dari hakekat Gereja dan
ekspresi paling bermakna dari keberadaanya yang otentik di tengah dunia. Secara
yuridis ia merupakan unsur konstitutif yang membentuk Gereja. Ia menjadi pilar
penopang yang menyanggah bangunan Gereja, umat Allah. Tanpa diakonia tidak ada
Gereja yang sesungguhnya. Umat beriman memiliki hak dan kewajiban untuk
mengambil bagian dalam diakonia Gereja sesuai dengan status yuridisnya masing-
masing, baik itu menyangkut diakonia karitatif maupun transformatif. Hak dan
kewajiban ini didasarkan atas baptisan dan bukan pemberian dari pihak lain. Atas
dasar itu maka umat beriman dituntut untuk menggunakan hak dan menjalankan
tanggungjawabnya dengan sebaik-baiknya sambil memperhatikan berbagai pedoman
dan aturan yang digariskan oleh otoritas Gereja yang berwenang. Juga uskup diosesan,
dalam kapasitasnya sebagai pimpinan tertinggi Gereja Partikular, memiliki peran dan
tanggungjawab besar dalam bidang diakonia.
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa gereja adalah jemaat ataupun umat
Allah yang berkumpul untuk beribadah kepada Tuhan, kapanpun dan di mana pun
sehingga kesimpulan ini tidak menunjuk kepada gereja yang adalah suatu gedung
tempat umat Allah itu berkumpul dan beribadah tetapi gereja adalah umat Allah yang
percaya dan beribadah kepada Tuhan secara kelompok maupun individu.
Gereja yang merupakan perkumpulan inilah yang menjadi sumber dan tempat
terjadinya diakonia karena dalam perkembangannya diakonia bukan hanya tugas
beberapa orang terthabis saja, tetapi juga tugas gereja secara keseluruhan.

23
Daftar Pustaka

Artanto, W. (2002). Diakonia Gereja (Vol. 2396, Issue 91).


Hehanussa, J. M. N. (2012). Pelayanan Diakonia Yang Transformatif : Gema Teologi, 36,
127–138.
Jehaut, R. (2020). Tinjauan Yuridis tentang Diakonia dalam Gereja. Jurnal Alternatif, IX(1),
1–12.
Jontha Fresly Sembiring, M. T. (n.d.). 7-Article Text-44-1-10-20200226 (2).
Meyvie Wairata. (n.d.). Diakonia Transformatif dalam Pengentasan Kemiskinan: Upaya
Mentransformasi Pelayanan Gereja terhadap Orang Miskin dalam Konteks GKI Martin
Luther di Tanah Papua. 10–36.
Zega, Y. K. (2021). Pelayanan Diakonia: Upaya Gereja dalam Mengentaskan Kemiskinan
bagi Warga Jemaat. IMMANUEL: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristen, 2(2), 88–102.
https://doi.org/10.46305/im.v2i2.64

24

Anda mungkin juga menyukai