Salah satu “napas” dalam ibadah umat Kristen saat ini adalah musik dan nyanyian. Peran dari kedua hal tersebut
sangat signifikan dalam menolong umat untuk menjumpai Allah dalam ibadah yang diselenggarakan di banyak
gereja.
Ada beberapa hal yang menurut saya dapat dijadikan alasan mengapa saat ini pembicaraan tentang musik
ibadah begitu penting untuk digali lebih dalam lagi peran dan fungsinya.
Dengan adanya gagasan, semangat dan keterbukaan dari gereja-gereja dan para pemimpin mereka, maka
mulailah timbul upaya untuk membuat porsi musik ibadah makin diperhatikan, baik fungsi, peran dan pendekatan
dari berbagai faktor, seperti budaya, sejarah gereja dan sejarah musik itu sendiri.
Di sisi lain, kontroversi seputar masalah musik ibadah itu sendiri terus bergulir, seperti penggunaan alat-alat
musik yang “boleh” dan “tidak”, genre musik yang digunakan, dan tentunya daftar lagu “halal” dan “haram”. Sikap
gereja kita (baca:Gereja Kristen Indonesia) masih berada di area tengah antara mempertahankan “tradisi lama”
dan mengikuti perkembangan musik yang ada.
Untuk melihat lebih jauh bagaimana musik gereja itu berpengaruh dalam ibadah di gereja serta bagaimana cara
gereja (GKI) bersikap terhadap musik gereja, saya membagi musik gereja dalam berbagai sudut pandang.
Dalam Efesus 5:19 dan Kolose 3:16 diajarkan prinsip-prinsip kekristenan melalui musik. Musik gereja menjadi
suatu alat yang memperlengkapi setiap orang yang dipilih Tuhan menjadi penginjil, pengajar, pemusik, pemimpin
paduan suara untuk melayani pekerjaan-Nya. Musik dapat dipakai Tuhan untuk menyatakan kebenaran, dan
sebagai sarana umat untuk menyampaikan ucapan syukur melalui nyanyian dan puji-pujian.
Salah satu kitab yang paling banyak menyinggung tentang musik adalah Mazmur. Kitab ini ditulis oleh orang
yang memiliki keterampilan bermusik dan kerohanian yang luar biasa. Daud menulis Mazmur 33:3, “
Nyanyikanlah bagi-Nya nyanyian baru; petiklah kecapi baik-baik (skillfully) dengan sorak-sorai!” Daud dipilih
Tuhan karena ia seorang “yang pandai main kecapi”. Ia bukan hanya sekadar tahu saja tentang musik, namun ia
mahir memainkannya. Versi King James dalam 1 Tawarikh 15:22 juga menyatakan bahwa Kenanya, seorang
pemimpin Lewi, dipilih Tuhan karena “he instructed about the song, because he was skillful”. Jadi kedua hal yang
paling penting dalam musik gereja adalah kerohanian dan keterampilan yang harus dikembangkan secara
bersama dan terus-menerus.
Musik gereja dapat menjadi berkat bagi jemaat bila dipakai dan dikembangkan dengan baik dan benar. Pada
saat kita akan membangkitkan apresiasi musik kepada anggota jemaat, para musisi gereja harus sadar dan ingat
bahwa tidak semua anggota gereja memiliki latar belakang musik. Itu sebabnya jemaat harus diajar dengan
sabar dan bertahap untuk menunjukkan bahwa musik juga dapat dipakai untuk mengekspresikan kekristenan.
Musik gereja dibentuk dengan tujuan untuk memenangkan jiwa manusia berdosa melalui firman Tuhan.
Musiknya sendiri tidak dapat membuat seseorang menjadi Kristen dan tidak dapat menyebabkan seseorang
beribadah kepada Allah. Hanya kuasa Roh Kudus yang bekerja melalui musiklah yang dapat membuat
perubahan pada diri seseorang.
Saya mengutip sebuah tulisan van Dop dari sebuah makalah musik sebagai berikut:
“Ada yang mengatakan bahwa yang menentukan bagi musik gereja ialah ”sensus religious”,
rasa religiusnya, suasana sakralnya. Saya tidak cukup dapat memahami kualifikasi itu. Apa
norma-normanya? Di mana batas-batasnya? Siapa menetapkannya? Saya lebih cenderung
memilih suatu istilah lain, yakni istilah “fungsi audiomental”: bagaimana impresi psikologis
melalui pendengaran. Musik mempunyai fungsi evokatif, sedemikian seharusnya juga musik
gereja. Musik apa pun bisa dipakai dalam gereja, asal fungsi audiomentalnya terjamin sesuai
dengan apa yang ingin kita hayati dalam iman. Yang lain adalah show belaka, atau hanya
ekshibisi emosi, atau norak, “would-be”, imitasi tanpa makna.”
Jelas sekali di sini bahwa komunikasi dalam musik harus dipahami secara menyeluruh, bukan hanya sekadar
menyampaikan pesan kepada pendengar, namun harus juga memiliki dampak psikologis (mental) yang sangat
signifikan.
Saya berpendapat bahwa tidak ada yang salah bila mengikuti “tradisi lama” atau mengikuti perkembangan
zaman yang terjadi. Yang menjadi masalah adalah bila masing-masing orang atau kelompok bertahan pada
suatu keputusan tertentu tanpa memiliki keterbukaan terhadap yang lain. Hal ini memicu timbulnya “generation
gap” dalam gereja. Munculnya generasi muda yang sangat apresiatif terhadap musik gereja kita (baca: Gereja
Kristen Indonesia) tentunya menjadi angin segar bagi kehidupan jemaat dan tentunya dalam atmosfer musik
ibadah.
Sikap gereja saat ini menurut saya adalah merangkul generasi muda gereja yang memiliki semangat, kepedulian
dan talenta bermusik dengan memberi kesempatan kepada mereka (baca:generasi muda) untuk mengapresiasi
musik gereja seluas-luasnya dengan bekal bahwa fungsi audiomental harus tetap terjaga. Begitu pula generasi
muda saat ini harus secara sadar mengerti bahwa musik ibadah berbeda dengan musik pada umumnya,
sehingga baik fungsi maupun cara bermain musik harus sangat diperhatikan. Harus berhati-hati dalam memilih
jenis musik yang akan dipakai dalam ibadah dan tentunya penggunaan alat musik juga harus dipertimbangkan
baik buruknya. Bila para musisi tidak dapat memainkan alat musik dengan baik dan benar, maka sebaiknya perlu
dipertimbangkan apakah perlu menyediakan alat tersebut sesuai dengan keinginan pemusik atau meng-gunakan
peralatan yang sudah ada.
Pada akhirnya masing-masing kita (gereja) perlu memberikan alternatif pada generasi muda dalam
mengapresiasi musik gereja tanpa menghilangkan identitas diri bahwa kita adalah Gereja Kristen Indonesia yang
memiliki ciri khas seperti gereja-gereja lain pada umumnya.
Dalam bukunya The Ministry of Music, Kenneth W.Osbeck berkatan bahwa untuk mencapai program musik yang
efektif dan utuh dalam gereja, biasanya dibutuhkan usaha dan kesabaran. Ada banyak kendala seperti: rasa
puas diri, minimnya latar belakang pendidikan musik bagi jemaat, tradisi, prasangka.
Satu hal yang perlu diingat, bahwa musik yang baik dan program musik yang hebat bukanlah tujuan utama
dalam kehidupan berjemaat. Oleh karena itu titik berat dari musik gereja adalah menarik individu-individu kepada
karya keselamatan Kristus melalui musik. •