Anda di halaman 1dari 1

Bakal Caleg Perempuan

Keberadaan bakal calon anggota legislastif perempuan di setiap partai politik


seharusnya bukan sekadar pelengkap untuk memenuhi syarat sebagai peserta
pemilihan umum. Parpol memiliki tanggung jawab untuk melakukan kaderisasi dan
rekrutmen secara serius untuk mendapatkan bakal caleg perempuan yang memiliki
kompetensi dan berkualitas.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah mengatur syarat parpol
menjadi peserta pemilu salah satunya adalah menyertakan paling sedikit 30 persen
keterwakilan perempuan dalam kepengurusan tingkat pusat. Selain itu diatur pula,
dalam daftar bakal calon anggota legislatif (caleg) juga minimal memuat 30 persen
perempuan, baik untuk DPR, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota.

Namun, untuk memenuhi persyaratan itu bukan sesuatu yang mudah. Sebab pada
praktiknya tidak semua parpol melakukan kaderisasi caleg perempuan secara
sistematis. Beberapa parpol bahkan mencari caleg perempuan di saat-saat akhir
pencalonan agar memenuhi syarat yang diatur UU.

Tak hanya itu, presentase caleg yang berhasil lolos ke parlemen juga masih jauh di
bawah 30 persen. Pada Pemilu 2019, misalnya, hanya ada 118 persen dari 575
caleg yang berhasil duduk di DPR. Ini berarti anggota DPR 2019-2024 dari kalangan
perempuan baru sebanyak 20,5 persen. Bahkan pada periode sebelumnya hanya 17
persen atay 97 dari 560 anggota DPR adalah perempuan.

Kondisi itu berarti ada persoalan dalam kepastian keterpilihan perempuan dalam
pemilu, kendati setiap parpol mencalonkan 30 persen perempuan sebagai di setiap
daerah pemilihan (dapil). Masih banyak ditemui caleg perempuan yang menempati
nomor urut besar, sehingga potensi keterpilihan lebih rendah. Selain itu, soal akses
dan kapasitas untuk bersaing dengan caleg laki-laki juga menjadi persoalan, karena
acap kali caleg perempuan tidak dipersiapkan dengan baik oleh parpol.

Anggota Dewan Pembina Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi


(Perludem) Titi Anggraini, Minggu (24/4/2022) di Jakarta, mengatakan, dengan tidak
diubahnya UU Pemilu, otomatis terobosan dan komitmen pengawalan caleg
perempuan bergantung sepenuhnya kepada keputusan dan konsistensi tiap-tiap
parpol. Padahal awalnya, kalangan masyarakat sipil mendorong agar ada penguatan
aturan afirmasi perempuan dalam UU Pemilu. Harapannya, peluang keterpilihan
perempuan menjadi lebih besar.

“Salah satu yang kami dorong adalah usulan agar caleg perempuan ditempatkan di
nomor urut 1 pada paling sedikit 30 persen dapil. Karena kecenderungannya caleg-
caleg perempuan itu penemptannya di nomor urut besar,” kata Titi.

Anda mungkin juga menyukai