Anda di halaman 1dari 6

Bab I

Pendahuluan

A. Latar belakang

Berbicara tentang musik-liturgis, kita ingat akan nama-nama lain yang juga sering kita dengar
seperti: musik-gereja, musik-rohani, musik-suci. Dalam rangka mengerti kekhasan musik liturgi
baiklah lebih dahulu kita memahami arti dari istilah-istilah lain itu dan hubungannya dengan
musik-liturgis.

Bab II

Pembahasan

B. Jenis Musik

“Musik-gereja” atau musica eccelsiastica adalah istilah yang digunakan oleh para pengikut
Kristus atau Gereja ketika persekutuan beriman ini menyadari kekhasannya dalam
mengekspresikan iman lewat musik terutama dalam ibadat atau liturgi. Istilah ini mengacu pada
tatanan bunyi dengan melodi tertentu tanpa teks atau sesuai dengan bentuk teks yang
mengungkapkan baik isi hati umat beriman maupun ajaran dan iman Gereja. Musik ini dapat
dihasilkan dengan bantuan alat/instrumen atau/dan dengan suara penyanyi. Karena
mengungkapkan iman yang diajarkan dan dihayati oleh umat beriman maka musik Gereja
memiliki kekhasan dibandingkan dengan musik dari umat yang beragama lain meskipun
dipengaruhi juga oleh musik agama lain misalnya dari musik orang Yahudi. Musik gereja pada
umumnya adalah salah satu bentuk dari musik-religus atau musik-rohani.

Yang dimaksudkan dengan “musik-religius” (musica religiosa) atau “musik-rohani” adalah musik
yang mengungkapkan atau mengandung tema-tema rohani. Musik atau lagu rohani ini dimiliki
umat agama manapun. Bahkan ada tema musik-rohani yang umum diterima oleh umat
manapun karena bersifat universal. Baik melodi maupun teksnya mengungkapkan pengalaman
rohani yang diterima oleh orang beriman dari berbagai agama. Ketika suatu musik/lagu rohani
mengungkapkan pengalaman khusus dari umat agama tertentu, maka ia menjadi musik/lagu
yang khas misalnya lagu-rohani khas Yahudi atau khas Hindu dan Budha atau khas Kristen dan
Islam. Musik-rohani itu jadi khas Kristiani bila mengungkapkan keyakinan iman akan Kristus
Tuhan dan Penyelamat atau akan Tritunggal Mahakudus serta pokok iman lain yang diyakini
orang Kristiani. Itulah yang kita namakan secara umum musik-gereja. Di dalam lingkup Gereja
sendiri, musik-rohani dalam arti sempit berarti segala macam musik/lagu yang mengungkapkan
pengalaman rohani khas Gereja tetapi tidak dimaksudkan untuk digunakan dalam perayaan-
perayaan liturgis.

C. Ciri-ciri Musik Liturgis

“Musik-liturgis” (khususnya melodi yg dihasilkan oleh alat-alat musik) dan “nyanyian-liturgis”


(khususnya teks atau tindakan liturgis yang diberi melodi), dapat dilagukan dengan suara dan
bunyi alat-alat musik sebagai pengiring. Baik teks maupun musik dengan melodinya yang secara
khas mengekspresikan iman Gereja yang dirayakan dalam liturgi yaitu tentang apa yang
dilakukan Allah (karya agung Allah yang menyelamatkan) dan tanggapan manusia beriman
(syukur-pujian, sembah-sujud, dan permohonan).

Kita menggunakan istilah “musik-liturgis” dan bukan “musik dalam liturgi” karena dengan
“musik-liturgis” mau digarisbawahi pandangan Gereja tentang musik sebagai bagian utuh dari
perayaan liturgi dan bukan sebagai suatu unsur luar yang dicopot dan dimasukkan ke dalam
perayaan liturgis seakan-akan suatu barang asing atau hal lain dari liturgi lalu diletakkan di
tengah perayaan liturgi.

Sebagai bagian utuh dari liturgi, musik-liturgi itu merupakan doa dan bukan sekedar suatu
ekspresi seni yang jadi bahan tontonan. Memang musik-liturgi itu mesti indah dan memenuhi
persyaratan-persyaratan seni musik/nyanyian pada umumnya, namun lebih dari itu musik-
liturgi mengungkapkan doa manusia beriman. Bahkan musik atau nyanyian-liturgis sebagai doa
mempunyai nilai tinggi. Sebab musik-liturgi menggerakkan seluruh diri manusia yang menyanyi
atau yang menggunakan alat-alat musik (budi, perasaan-hati, mata, telinga, suara, tangan atau
kaki dll). Sekaligus demi harmoni dituntut kurban untuk meninggalkan diri sendiri dan
menyesuaikan diri dengan orang lain, dengan tempat, dengan situasi, dengan maksud-tujuan
musik/nyanyian liturgis yaitu demi Tuhan dan sesama.

D. Seni Musik Liturgis

Musik-liturgis sebagai karya seni (bukan tontonan atau pertunjukan) sebenarnya membantu
kita semua sebagai peraya untuk mengarahkan seluruh diri kepada inti misteri yang dirayakan
dalam liturgi yaitu kepada Tuhan sendiri sebagai sumber segala karya seni. Oleh karena itu cara-
cara yang mengalihkan perhatian kita kepada hal lain atau kepada tokoh tertentu perlu
diwaspadai. Bisa saja kita memilih seorang artis sebagai pemazmur atau penyanyi solo tetapi
ketika ia menjalankan tugasnya tidak boleh ditonjolkan keartisannya, tetapi “fungsi liturgisnya”.
Memberikan aplaus kepada si pemazmur atau solist karena suaranya yang bagus lebih
merupakan bagian dari suatu acara panggung pertunjukan. Demikian juga pembawa homili
yang memilih dan membawakan lagu yang sedang populer di tengah atau di akhir homili
(karena ada kaitan dengan tema homili) yang langsung ditanggapi oleh umat dengan tepuk
tangan meriah, perlu dipertimbangkan apakah hal seperti itu punya fungsi atau makna liturgis.
Padahal ketika imam menyanyikan Prefasi atau Kisah Institusi dalam Doa Syukur Agung dengan
suara yang bagus tidak diberi aplaus.

Pertimbangan yang sama dapat kita pakai untuk menilai kebiasaan koor menyanyikan semua
lagu selama perayaan liturgis. Sebetulnya koor dengan dirigen yang bagus sungguh berfungsi
liturgis kalau dapat membantu semua peraya yang lain untuk menyanyi bersama dengan lebih
baik seperti atau mendekati cara koor menyanyi. Kalau dari awal sampai akhir semua nyanyian
dibawakan hanya oleh koor, meskipun semuanya sangat mempesona, sebetulnya telah
mengurangkan maknanya sebagai musik/nyanyian liturgis. Perlu ada suatu pembagian yang
lebih seimbang dalam hal ini.

E. Proses Menjadi Musik Liturgis

Menerima musik-liturgis sebagai doa liturgis menuntut pula kesediaan setiap peraya atau
kelompok peraya untuk menerima musik atau nyanyian yang sudah disepakati oleh Gereja
untuk dipakai di dalam perayaan-perayaan liturgi. Musik/nyanyian yang ada di dalam buku-
buku nyanyian yang diterbitkan dengan nihil obstat dan imprimatur pimpinan Gereja,
dipandang sebagai musik-liturgis. Tentu melewati proses seleksi yang dibuat oleh orang-orang
yang punya kemampuan dalam bidangnya hingga mendapat persetujuan dari pimpinan Gereja.
Kesempatan terbuka bagi para komponis untuk mencipta lagu-lagu bagu yang lebih sesuai
dengan rasa seni musik orang setempat, namun untuk dipakai sebagai musik/nyanyian liturgis
perlu menempuh prosedur seleksi hingga mendapat pesetujuan resmi untuk dipakai dalam
perayaan liturgi. Patut kita puji inisitip-inisitip untuk mencipta dan menemukan lagu-lagu baru
yang lebih seusai dengan budaya setempat dan kebutuhan liturgis, misalanya dalam misa
dengan “lagu-lagu alternatif”. Akan tetapi perlu kita waspadai kecenderungan menggunakan
nyanyian-nyanyian baru itu tanpa peduli pada proses untuk “menjadi milik besama” dari
Gereja, apalagi kalau yang jadi patokan utama adalah rasa suka, tertarik, tersentuh tanpa
mengindahkan persyaratan liturgis.

Kadang terjadi bahwa kita memilih musik/nyanyian tertentu untuk perayaan liturgi karena
sudah bosan dengan yang lama padahal yang baru itu belum tentu memenuhi persyaratan
liturgis. Ini tantangan buat kita: merasa bosan dengan musik/nyanyian liturgis karena terus
menerus menyanyikan yang sama (lama) atau merasa tidak tertarik, tidak suka, tidak tersentuh,
tidak tergerak. Kita cendrung tersentuh dengan yang baru. Maka serta merta kita mencari dan
membawakan musik/nyanyian baru dalam liturgi, tetapi tanpa pertimbangan atau seleksi.

Jadi bukan soal utama suka atau tidak suka, menarik atau tidak menarik, menyentuh atau tidak
menyentuh, baru atau lama tetapi apakah telah menjadi “milik bersama” dari Gereja karena
disepakati sebagai musik/nyanyian liturgis. Sebuah nyanyian atau musik diterima sebagai “milik
bersama” bukan hanya karena telah dimasukkan ke dalam buku nyanyian resmi tetapi juga
karena dilatih bersama, dinyanyikan bersama dan dipahami serta dihayati bersama maknanya
dalam perayaan.

Musik-liturgis diterima atau diakui oleh Gereja sebagai miliknya, milik persekutuan demi
kepentingan bersama (dikenal tradisi untuk tidak menulis si komponisnya dalam buku-buku
resmi nyanyian-liturgis, tetapi nama mereka ditulis dalam catatan sejarah penyusunan buku).
Perlu ada proses menjadikan musik-liturgis itu sebagai milik bersama. Dalam proses ini Gereja
melihat betapa pelunya membuat latihan untuk menguasai dan menghayati musik/nyanyian
bersama sebagai nyanyian dari hati, nayanyian yang mempengaruhi seluruh pribadi peraya. Jadi
ada proses meninggalkan diri sendiri (rasa dan keinginan pribadi atu kelompok khusus) lalu
menerima yang umum dan menjadikannya bagian atau milik pribadi demi kepentingan umum.
Ini sebuah proses yang tidak gampang, karena yang menjadi tantangan adalah kecenderungan
untuk mengutamakan rasa atau keinginan pribadi/kelompok khusus. Aspek personalnya lebih
nampak dari pada aspek liturgis (yang umum). Kepentingan pribadi lebih menonjol dari pada
kepentingan umum.

Untuk memenuhi persyaratan sebagai bagian utuh dari liturgi, musik-liturgi juga mesti berfungsi
liturgis dalam arti baik teks maupun lagunya sesuai dengan unsur atau tindak liturgis dalam
keseluruhan tata perayaan liturgis. Maka kita dapati nyanyian yang cocok untuk liturgi
pembaptisan tetapi tidak sesuai untuk liturgi pernikahan. Nyanyian-liturgis untuk Ekaristi juga
mesti sesuai dengan teks liturgi Ekaristi dan tindakan liturgis dalam unsur-unsur atau bagian-
bagian tertentu dari liturgi Ekaristi. Sebuah lagu pembuka tentu tidak cocok untuk kesempatan
seruan “kudus-kudus”, meskipun dari sudut kebenaran teks dan keindahan lagu tak ada cacat.
Dalam hal ini tempat liturgis lagu pembuka itu tidak cocok atau nyanyian itu tidak mempunyai
fungsi liturgis karena dinyanyikan pada saat “kudus kudus”.

F. Memilih Musik Liturgis

Perlu diketahui juga teks-teks liturgis mana saja yang dapat dinyanyikan (khususnya dalam
liturgi Ekaristi). Ada teks-teks baku-tetap (antara lain Tuhan Kasihanilah Kami, Kemuliaan, Aku
Percaya, Kudus-Kudus, Bapa Kami, Anak Domba Allah). Nyanyian ini disebutordinarium. Ada
juga teks-teks yang dapat berubah atau bervarisi rumusannya sesuai dengan perayaan pada
hari bersangkutan dan disebutproprium (Antifon Pembuka atau Lagu Pembuka untuk
mengiringi perarakan masuk, Mazmur Tanggapan untuk menanggapi Sabda Allah yang telah
dimaklumkan, Alleluia-Bait Pengantar Injil untuk menyiapkan diri mendengarkan pemakluman
Injil, Antifon Komuni atau Lagu Komuni selama atau sesudah komuni, Nyanyian Persiapan
Persembahan untuk mengiringi perarakan bahan-bahan persembahan dan Lagu Penutup untuk
mengiringi perarakan kembali). Teks-teks ini sangat kaya dan berhubungan erat dengan
tindakan liturgis, unsur-unsur liturgis, tema perayaan, masa liturgis serta bacaan-bacaan dalam
perayaan liturgi. Suatu hal yang patut dipuji adalah kebiasan menyanyikan Mazmur Tanggapan
dan Alleluia-Bait Pengantar Injil dengan teks yang bervariasi sesuai dengan hari atau pestanya.
Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah lagu yang sesuai dengan teks-teks antifon (Pembuka
dan Komuni) yang sebenarnya sangat kaya dan bervariasi serta biblis.

Dalam hubungan dengan teks-teks liturgi, terutama yang harus atau boleh dinyanyikan,
diharapkan agar susunannya tepat serta mudah dan indah kalau dinyanyikan. Dalam hal ini lagu
melayani teks dan bukan sebaliknya. Baiklah kita waspadai nyanyian-nyanyian yang
mengorbankan ketepatan dan kebenaran iman demi mempertahankan suatu melodi. Misalnya
lagu Bapa Kami Filipina, demi penyesuaian dengan melodinya diubahlah rumusan “jadilah
kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga” menjadi “jadilah kehendak-Mu di bumi dan
di surga”. Mengganti “seperti” dengan “dan” sebenarnya mengubah iman kita akan surga,
bahwa di surga dan di bumi kehendak Tuhan tidak selalu terjadi. Padahal kita percaya bahwa
kehendak Tuhan selalu terjadi di surga sedangkan di bumi tidak selalu terjadi karena ulah
manusia yang suka melawan kehendak Tuhan, maka kita mohon agar kehendak Tuhan terjadi di
bumi seperti di surga. Kalau prinsip “melodi melayani teks” diperhatikan, maka ketepatan dn
kebenaran teks-teks liturgis juga dapat lebih dijamin.

Anda mungkin juga menyukai