Anda di halaman 1dari 60

37

BAB III

RITUAL SESAJI MASYARAKAT KATOLIK SUKU OGAN

DI DESA BATUPUTIH

1. Pengantar

Bab III ini berisi analisis data atas hasil wawancara semi berstruktur yang telah

ditranskip. Analisis data merupakan suatu langkah yang penting dalam menentukan hasil

penelitian. Analisis data memuat reduksi atas jawaban yang telah diberikan oleh informan.

Kegiatan analisis data terdiri dari tiga kegiatan yang terjadi secara bersama. Tiga kegiatan

tersebut adalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.1

1
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hlm. 339.
38

Penulis mengawali bab III ini dengan latar belakang masyarakat Suku Ogan yang

ada di desa Batuputih. Selanjutnya penulis membahas Ritual Sesaji dari berbagai sudut

pandang, seperti: makna dan fungsi, bentuk kegiatan, unsur-unsur kegiatan dan waktu

pelaksanaan Ritual Sesaji. Penulis akan menganalis seluruh pembahasan dalam bab ini

dengan teori fungsionalisme struktural Talcott Parsons dan teori konstruksi realitas sosial

Peter Ludwig Berger. Penulis menutup bab ini dengan rangkuman.

2. Latar Belakang Masyarakat Katolik Suku Ogan di Desa Batuputih

Pada bagian latar belakang masyarakat Katolik Suku Ogan ini, penulis akan

memaparkan identifikasi leluhur masyarakat Suku Ogan, perkembangan sistem

kepercayaan, sejarah perkembangan agama Katolik dan keberadaan Puyang yang menjadi

sentral Ritual Sesaji. Perkembangan sistem kepercayaan berpuncak pada tahun 1940-an.

Tahun-tahun tersebut menjadi tonggak sejarah kekatolikan di desa Batuputih. Pastor

Theodorus Borst SCJ2 menjadi perintis misi kekatolikan di desa tersebut.3

Menurut Berger, masyarakat merupakan realitas objektif yang dibentuk oleh

manusia melalui proses eksternalisasi. Selain sebagai pembentuk masyarakat, manusia juga

2
Pastor Theodorus Borst SCJ adalah seorang imam religius dari Kongregasi Imam-Imam Hati
Kudus Yesus. Ia tiba di Palembang pada bulan Oktober 1939. Ia adalah pastor Belanda yang bertugas di
antara para migran Jawa di Sumatera. Ia menjadi pastor paroki pertama Gereja Katolik Sang Penebus
Batuputih. [Lihat Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang Gereja Katolik di Sumatera
Selatan: Krisis dan Pemulihan 1942-1952 (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hlm. 155.]

3
Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang …, hlm. 160.
39

dibentuk oleh masyarakat melalui norma-norma yang menjadi pembatas ruang geraknya.

Salah satu pembatas ruang gerak tersebut adalah Ritual Sesaji. Ritual Sesaji yang terdapat

dalam masyarakat Katolik Suku Ogan menjadi aturan sosial yang menuntun tindakan

manusia dalam membangun relasi dengan Puyang atau Yang Ilahi.4

2.1 Identifikasi Asal Usul Suku Ogan

Peter Ludwig Berger menyatakan bahwa terbentuknya kebudayaan dalam

masyarakat dapat dikaji melalui proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Ketiga

proses tersebut dilakukan oleh leluhur masyarakat Suku Ogan saat “turun gunung” dari

dataran tinggi Basemah dan mencari lahan pemukiman baru. Dalam usaha membangun

pemukiman baru, mereka berinteraksi dengan penduduk yang ada di pedalaman Sumatera

Selatan. Interaksi yang terjadi dengan suku-suku lain mendorong mereka untuk

mengungkapkan dirinya pada dunia yang ditempatinya sehingga menghasilkan aktivitas

fisik dan mental. Mereka merasakan bahwa hasil aktivitas tersebut bermanfaat bagi

kehidupannya. Sesuatu yang bermanfaat tersebut digunakan kembali dan akhirnya

diwariskan kepada generasi berikutnya.5

4
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 4-5.

5
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 8-30; bdk. [Fred. Putra Akhir Wahyanto dan
Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian Pastoran …, hlm. 55.
40

Teori kedua menyatakan bahwa leluhur Suku Ogan berasal dari kelompok Melayu

Muda yang bermigrasi dari Indocina menuju wilayah Asia Tenggara. Awalnya mereka

menetap di daerah pesisir Sumatera. Kemudian mereka mulai melakukan perjalanan

menyusuri sungai-sungai untuk membangun pemukiman baru. Di daerah pedalaman

mereka hidup berdampingan dengan Suku Abung dan Suku Basemah. Perkembangan

Kerajaan Sriwijaya, sekitar abad IX menjadi tekanan bagi ketiga suku tersebut. Akhirnya

mereka berpencar mencari pemukiman baru. Suku Ogan menetap di pinggiran Sungai

Ogan. Mereka tetap menghidupi adat istiadat dan bahasa dari daerah asalnya.6

Pemilihan pinggiran sungai Ogan sebagai tempat tinggal merupakan upaya

penyesuaian diri yang dilakukan oleh masyarakat Suku Ogan dalam menghadapi

lingkungannya. Talcott Parsons mendefinisikan upaya penyesuaian diri tersebut sebagai

proses adaptasi. Leluhur masyarakat Suku Ogan melakukan adaptasi dengan menyusuri

daerah pedalaman Sumatera melalui sungai. Mereka menyadari bahwa kehidupan manusia

selalu membutuhkan air. Karena itu mereka membangun pusat peradaban di dekat sungai.

Masyarakat Suku Ogan memilihnya karena sungai menjadi penyedia pokok kehidupan

manusia.7 Pemilihan tempat tinggal di dekat sungai sebagai pusat peradaban oleh

masyarakat Suku Ogan merupakan bentuk adaptasi yang menjadikan lingkungan sesuai

6
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 55.

7
Dedi Irwanto M. Santun, Murni dan Supriyanto, Iliran dan Uluan: Dinamika dan Dikotomi Sejarah
Kultural Palembang (Yogyakarta: Eja Publisher, 2010), hlm. 78-80.
41

dengan kebutuhannya. Pemilihan tersebut terjadi karena adanya dorongan yang memotivasi

kelompok untuk bertindak sesuai dengan tujuannya.8

2.2 Sistem Kepercayaan Masyarakat Suku Ogan

Agama merupakan suatu pengalaman manusia terhadap fenomena supranatural

yang menimbulkan perasaan takjub, rasa hormat dan terpesona. Dalam kehidupan sehari-

hari, leluhur masyarakat Suku Ogan mengalami perasaan takjub, rasa hormat dan terpesona

ketika bersentuhan dengan fenomena supranatural atau kekuatan gaib. Berdasarkan

pengalaman tersebut, mereka meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam mempunyai

jiwa dan kekuatan gaib.9

Pada mulanya, sistem kepercayaan masyarakat Suku Ogan bersifat animisme-

dinamisme. Manifestasi dari sistem kepercayaan ini merujuk pada Roh Yang Mahatinggi,

roh-roh halus yang jumlahnya banyak dan roh para leluhur. Masyarakat Suku Ogan

meyakini roh-roh tersebut memiliki hubungan dengannya dan lingkungan alam.

Keberadaan roh-roh tersebut mampu mencelakakan seseorang dan sekaligus

melindunginya. Berhadapan dengan keberadaan roh-roh tersebut masyarakat Suku Ogan

memiliki rasa hormat dan sekaligus rasa takut.10

8
Talcott Parsons, The Social System …, hlm. 4-10.

9
Putri Fitria, Kamus Sejarah dan Budaya Indonesia (Bandung: Nuansa Cendekia, 2014), hlm. 15.

10
Husni Thamrin, Antropologi Melayu …, hlm. 176.
42

Pemahaman tentang benda-benda yang memiliki roh atau jiwa merupakan bentuk

eksternalisasi atas pengalaman masyarakat Suku Ogan terhadap Yang Ilahi. Masyarakat

Suku Ogan memahami bahwa ada kekuatan lain yang ada di luar dirinya. Bagi masyarakat

Suku Ogan, agama memiliki fungsi sebagai pemahaman tentang dunia dan keluasannya

yang tak terbatas. Selain itu, agama juga berfungsi sebagai sarana ritual bagi masyarakat

Suku Ogan yang memungkinkannya untuk berelasi dengan sesuatu yang tak terjangkau

olehnya yang diyakini mampu memberikan jamiman dan keselamatan kepada dirinya. 11

Perkembangan agama Islam yang terjadi sekitar abad ke 7 sampai abad ke 15

Masehi di Kerajaan Malaka12 mengubah sistem kepercayaan masyarakat Suku Melayu pada

umumnya dan masyarakat Suku Ogan pada khususnya. Ajaran Islam memberikan

penjelasan yang rasional tentang Yang Ilahi. Ada banyak masyarakat Suku Ogan akhirnya

memeluk agama Islam. Kebudayaan Suku Ogan yang sangat kental dengan animisme-

dinamisme akhirnya mendapat pengaruh agama Islam dengan paham monoteisme 13.

Kendati demikian, ada banyak masyarakat Suku Ogan yang mempertahankan paham

11
Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama …, hlm. 23-34.

12
Kerajaan Malaka merupakaan pusat penyebaran agama Islam yang terletak dekat selat Malaka.
Kerajaan ini mengalami masa kejayaan pada abad 14 sampai abad 16 Masehi. [Lihat Husni Thamrin,
Antropologi Melayu …, hlm. 176.]

13
Secara etimologis, kata “Monoteisme” berasal dari bahasa Yunani yaitu “Monos” yang berarti
tunggal dan “Theos” yang berarti Tuhan. Monoteisme adalah sistem kepercayaan atau doktrin yang mengakui
hanya ada satu Tuhan. [Lihat James Hastings, Encyclopaedia of Religion …, hlm. 817; bdk. Mochtar Effendi,
Ensiklopedi Agama dan Filsafat Entri J sampai M (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001), hlm. 462; bdk.
juga Theo Huijibers, Manusia Mencari Allah: Suatu Filsafat Ketuhanan (Yogyakarta: Kanisius, 1977), hlm.
19.]
43

animisme-dinamisme terutama dalam penggunaan mantera dalam peristiwa-peristiwa hidup

sehari-hari.14

Masyarakat Suku Ogan menggunakan mantera sebagai sarana interaksi dengan

makhluk halus. Mantera tersebut berisi gambaran tentang alam gaib atau makhluk halus

yang memiliki kemampuan luar biasa. Mantera-mantera tersebut hanya dikuasai oleh

dukun-dukun tradisional. Mereka menggunakan mantera untuk berbagai keperluan seperti

pemujaan kepada makhluk halus, ritual pengobatan dan Ritual Sesaji. Kehadiran agama-

agama modern memberikan wajah baru pada mantera. Doa-doa yang bercirikan agama

modern menjadi pembuka dan penutup mantera-mantera.15

Perkembangan kekatolikan yang terdapat dalam masyarakat Suku Ogan di desa

Batuputih mempengaruhi sistem kepercayaan mereka. Sistem kepercayaan monoteisme

yang sebelumnya bercirikan Islam berubah menjadi sistem kepercayaan monoteisme yang

bercirikan Katolik. Kendati masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih mempercayai

konsep ketuhanan dalam perspektif agama Katolik, mereka masih mempercayai keberadaan

roh-roh halus seperti Puyang, penunggu, ninek dan hantu. Dengan demikian sistem

kepercayaan masyarakat Katolik Suku Ogan bersifat monoteisme-animisme-dinamisme.

2.3 Sejarah Kekatolikan Masyarakat Suku Ogan di Desa Batuputih

14
Husni Thamrin, Antropologi Melayu …, hlm. 176.

15
Husni Thamrin, Antropologi Melayu …, hlm. 177.
44

Pada tahun 1940-an, kehidupan keagamaan masyarakat Suku Ogan di desa

Batuputih sangat kental dengan nuansa Islam. Masyarakat secara rutin melakukan kegiatan

keagamaan seperti tadarus16-an. Mereka sering mengundang tokoh-tokoh agama Islam

untuk memberikan pelajaran agama. Sekitar tahun 1940, mereka mengundang seorang kyai

yang berasal dari Saranglang-Ogan Komering Ilir bernama Kyai Muhammad Sa’id 17 untuk

memberikan pelajaran agama kepada mereka. Dalam dakwahnya, sang kyai mengajarkan

bahwa hakim yang akan menentukan kehidupan di akhirat nanti adalah nabinya orang-

orang yang berjubah putih. Selain itu, sang kyai juga menubuatkan bahwa desa Batuputih

akan dipimpin oleh bujang18 dan gadis yang berjubah putih.19

Ajaran tentang keselamatan dan nubuat yang disampaikan oleh Kyai Muhammad

Sa’id itu menggelisahkan hati penduduk desa Batuputih. Setelah melakukan musyawarah

desa, beberapa orang di antara mereka bersama kerio 20 pergi ke Palembang menjumpai
16
Secara etimologi, kata “Tadarus” berasal dari bahasa Arab dengan kata dasar “Yadrusu” yang
berarti “mempelajari, meneliti, menelaah, mengkaji dan mengambil pelajaran dari wahyu Allah SWT”.
Penambahan huruf “Ta” di depannya mengubahnya menjadi “tadarasa” atau “yatadarasu”. Dengan demikian
maknanya bertambah menjadi saling belajar atau mempelajari secara lebih mendalam. [Lihat Imam Nawawi,
Menjaga Kemuliaan Al-Qur’an (Bandung : Al-Bayan, 1996), hlm. 101.]

17
Kyai Muhammad Sa’id adalah seorang tokoh agama Islam yang sering berkelana menyebarkan
ajaran Islam kepada orang-orang pribumi Sumatera Selatan. Kyai Muhammad Sa’id sering menyusuri sungai-
sungai di Sumatera Selatan menggunakan biduk (perahu) dalam berdakwah. Ia berasal dari Saranglang-
Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir. [Lihat Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang
…, hlm. 160.]

18
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, bujang merupakan sebutan untuk laki-laki yang belum
menikah atau berumah tangga [Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), hlm. 227.

19
Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang …, hlm. 160.

20
Kerio (kriyo) adalah sebutan bagi kepala dusun Suku Ogan di Batuputih. Orang-orang dari Suku
Ogan yang menjumpai Mgr. Hendricus Mekkelholt SCJ adalah Abdul Haulik (Kerio), Damsik, Idrus Alwi
45

Mgr. Hendricus Mekkelholt SCJ21. Keberangkatan mereka ke Palembang merupakan saran

dari Tuan Luyks residen Belanda yang berkedudukan di Baturaja. Setelah pertemuan itu,

pada 16 Maret 1948 Mgr. Hendri mengutus Pastor Theodorus Borst SCJ untuk

mengunjungi desa Batuputih.22

Perkembangan agama Katolik di Batuputih semakin lama semakin tumbuh subur.

Pada tanggal 31 Oktober 1948 terjadi peristiwa yang bersejarah bagi perkembangan Gereja

Katolik di Batuputih. Waktu itu ada 24 Masyarakat Suku Ogan dari 5 keluarga dibaptis

oleh Pastor Theodorus Borst SCJ. Tanggal tersebut dimaknai sebagai hari kelahiran Gereja

Katolik di Paroki Sang Penebus Batuputih. Ibarat emas yang dimurnikan dalam tanur api,

iman umat Katolik di Batuputih semakin dikuatkan melalui berbagai macam tantangan.

Pada saat ini jumlah umat Katolik Suku Ogan terus bertambah seiring berjalannya waktu.23

dan Alisuni. Keempat orang ini disebut sebagai tokoh Gereja Perdana di Batuputih. [Lihat Herman Yosep
Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang …, hlm. 160.]

21
Mgr. Hendricus Mekkelholt SCJ lahir pada tanggal 25 Februari 1896 di Belanda. Pada tanggal 19
Januari 1934, Mgr. Hendricus Mekkelholt SCJ ditunjuk menjadi Prefek Apostolik Bengkulu selama kurun
waktu 1934-1939. Pada tanggal 11 Juli 1939, ia ditunjuk menjadi Vikaris Apostolik Palembang dari tahun
1939-1961. Pada tanggal 3 Januari 1961, ia dipilih menjadi Uskup Keuskupan Palembang dari tahun 1961-
1963. Ia meninggal pada 26 Desember 1969 di tanah kelahirannya. [Lihat Herman Yosep Sunu Endrayanto,
Melintasi Gelombang …, hlm. 33-153.]

22
Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang …, hlm. 155-161; bdk. [Fred. Putra Akhir
Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian Pastoran …, hlm. 36.

23
Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang …, hlm. 160-164; bdk. [Fred. Putra Akhir
Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian Pastoran …, hlm. 15-16.
46

Berdasarkan hasil laporan jumlah umat-suku tahun 2022, jumlah umat Katolik Suku Ogan

yang tinggal di Paroki Sang Penebus Batuputih adalah 552 jiwa.24

2.4 Eksistensi Puyang

Puyang merupakan bentuk pengkultusan terhadap seseorang yang telah meninggal

oleh masyarakat Suku Ogan yang menjadi asal usul suatu kebudayaan. 25 Masyarakat

Katolik Suku Ogan memahami Puyang dalam dua pengertian yaitu PUYANG dalam arti

luas dan Puyang dalam arti sempit. Dalam arti luas, masyarakat memahami PUYANG

sebagai identitas yang menciptakan dan menguasai alam semesta. Sedangkan dalam arti

sempit Puyang merujuk pada roh-roh para leluhur, tokoh yang membuka daerah dan tokoh

yang memiliki kesaktian. Masyarakat Katolik Suku Ogan meyakini bahwa Puyang

mendiami tempat tertentu seperti makam atau petilasan dari yang bersangkutan.26

Masyarakat Katolik Suku Ogan juga mengenal istilah penunggu, hantu dan ninek.

Masyarakat memahami penunggu sebagai roh-roh yang menempati tempat-tempat tertentu

seperti pohon besar, sungai besar, hutan dan jembatan. Masyarakat memahami hantu

24
Data tersebut diperoleh melalui narasumber yang berkompeten dan tidak dipublikasikan.
Narasumber bernama Fred. Putra Akhir Wahyanto yang bekerja sebagai sekretaris Paroki Sang Penebus
Batuputih.

25
Dedi Irwanto M. Santun, Murni dan Supriyanto, Iliran dan Uluan …, hlm. 81.

26
Dedi Irwanto M. Santun, Murni dan Supriyanto, Iliran dan Uluan …, hlm. 81.
47

sebagai roh yang mendiami suatu tempat dan bersifat jahat. Ninek27 adalah sebutan untuk

penguasa rimba atau harimau. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Katolik Suku

Ogan menggunakan sebutan ninek untuk memanggil kakek. Dalam konteks penguasa

rimba, sebutan ninek merupakan bentuk rasa hormat sekaligus rasa takut terhadap kekuatan

alam semesta.28

Puyang dalam teori konstruksi realitas sosial Peter Ludwig Berger merupakan hasil

eksternalisasi yang dicurahkan oleh leluhur masyarakat Katolik Suku Ogan ke dalam dunia.

Hasil eksternalisasi tersebut diobjektivasi atau digunakan kembali oleh masyarakat Katolik

Suku Ogan. Keberadaan PUYANG, Puyang, penunggu, hantu dan ninek menjadi

pengalaman yang cenderung menakutkan daripada menggetarkan. Masyarakat Katolik

Suku Ogan mengalami bahwa kekuatan supernatural tersebut dapat menolong hidupnya dan

juga dapat mencelakakannya. Berhadapan dengan pengalaman tersebut masyarakat Katolik

Suku Ogan menanamkan sikap sopan-santun. Masyarakat Katolik Suku Ogan meyakini

bahwa tindakan sembarangan dan tidak mengutamakan sopan-santun terhadap kekuatan

27
Sebutan ninek yang disematkan pada harimau merupakan bentuk kepercayaan masyarakat Melayu
kuno yang meyakini adanya reinkarnasi. Masyarakat Melayu kuno meyakini bahwa orang yang telah
meninggal dapat berinkernasi menjadi hewan seperti harimau atau buaya. Ketika berhadapan dengan kedua
hewan tersebut mereka tidak berani menyebutnya secara langsung, tetapi mereka akan menyebutnya dengan
nama-nama halus dan terhormat seperti ninek atau nenek (leluhur). [Lihat Dedi Irwanto M. Santun, Murni dan
Supriyanto, Iliran dan Uluan …, hlm. 87.

28
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 15-16.
48

supranatural akan berdampak negatif seperti sakit. Pengalaman tersebut mendorong mereka

untuk menjaga tingkah laku ketika bersinggungan dengan kekuatan tersebut.29

Eksistensi Puyang kokoh hingga saat ini karena mendapat legitimasi dan

internalisasi30 dari masyarakat Katolik Suku Ogan. Hal ini senada dengan teori Peter

Ludwig Berger yang menyatakan bahwa hasil eksternalisasi akan menjadi kokoh apabila

mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Legitimasi tersebut bersifat kognitif sekaligus

normatif. Sikap sopan-santun terhadap Puyang merupakan hasil legitimasi normatif yang

terus disosialisasikan kepada generasi penerus. Proses sosialisasi tersebut diinternalisasikan

dalam diri generasi penerus sehingga eksistensi Puyang dalam masyarakat katolik suku

ogan tetap terjamin.31

Masyarakat Katolik Suku Ogan meyakini bahwa Puyang dan penunggu mempunyai

potensi baik dan buruk. Mereka dapat membuat seseorang menjadi sakit dan

menyembuhkan. Berhadapan dengan kekuatan yang melampaui kekuatannya, manusia

cenderung merasakan ketakutan daripada rasa hormat. Sikap sopan santun menjadi tuntutan

bagi masyarakat apabila berada di daerah kekuasaan mereka. 32 Ketika seseorang mengalami

29
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 8-9.

30
Internalisasi merupakan proses peresapan kembali hasil eksternalisasi yang telah diobjektivasi.
Masyarakat berusaha menginternalisasikan sikap-sikap tersebut dalam diri generasi penerusnya agar mereka
mendapat pengakuan sebagai anggota masyarakat. [Lihat Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm.
4-30; bdk. Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan …, hlm. 177-178.]

31
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 4-30; bdk. Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan …, hlm. 177-178.
49

kemalangan, maka orang tersebut harus mengadakan Ritual Sesaji sebagai upaya

pendamaian dengan Puyang.33

Ungkapan permisi34 sebagai bagian dari sikap sopan santun menjadi tuntutan yang

terbatinkan dalam diri masyarakat Katolik Suku Ogan. Ketika masyarakat melakukan

perburuan di hutan, mereka harus mengucapkan permisi kepada Puyang yang menguasai

hutan tersebut. Tujuannya adalah agar usahanya untuk mencari hewan buruan berhasil.

Selain itu, agar Puyang yang menguasai daerah itu tidak terkejut dan marah. Upaya

permohonan ijin kepada Puyang yang menguasai wilayah hutan adalah bentuk

penghormatan sekaligus ungkapan ketakutan masyarakat Katolik Suku Ogan dalam

menghadapi kekuatan supernatural tersebut.35

Masyarakat Katolik Suku Ogan meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi

menimpa manusia baik bencana alam, sakit yang tak tersembuhkan dan kecelakaan lalu

lintas yang terjadi di desa Batuputih adalah bentuk kemarahan Puyang atau keusilan hantu.

Tindakan pelanggaran dan perusakan terhadap situs-situs sakral memiliki dampak negatif

32
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 16-17; bdk. Dedi Irwanto M. Santun, Murni dan Supriyanto, Iliran dan Uluan …, hlm. 86.

33
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 16.

34
Ungkapan permisi merupakan pengungkapan sikap hormat dan sopan santun yang diucapkan oleh
masyarakat Katolik Suku Ogan terhadap Puyang atau penunggu ketika akan melakukan aktivitas di tempat-
tempat yang dianggap keramat dan diyakini terdapat penunggunya. [Lihat [Fred. Putra Akhir Wahyanto dan
Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian Pastoran …, hlm. 16.]

35
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 16-17.
50

bagi pelaku dan masyarakat. Orang-orang yang terlibat harus menebus pelanggaran tersebut

agar tercipta keharmonisan. Hal ini dinyatakan oleh Matias Cekwan Effendi.

Masyarakat Katolik Suku Ogan memiliki pandangan demikian: ketika mereka


melakukan tindakan yang tidak baik di tempat Puyang maka Puyang yang ada di
tempat tersebut bisa menjadi marah. Kemarahan Puyang bisa menjadi bencana bagi
masyarakat. Ketika Puyang marah, maka orang-orang yang telah menyebabkan
kemarahan Puyang harus menebusnya dengan Ritual Sesaji.

Kesadaran dan usaha masyarakat Katolik Suku Ogan dalam mengenal dan

menyeimbangkan dunia yang ditempatinya oleh Peter Ludwig Berger disebut sebagai

proses eksternalisasi. Masyarakat Katolik Suku Ogan menyadari bahwa kehidupan yang ia

alami kerapkali bersentuhan dengan kekuatan-kekuatan yang melampaui dirinya. Manusia

berusaha mengenal dan mengekternalisasikan dirinya agar dunianya tidak terasa asing.

Manusia berusaha mengobjektivasikan kekuatan-kekuatan tersebut berdasarkan tingkatan-

tingkatan kesaktiannya. Hasil objektivasi tersebut berupa sebutan PUYANG, Puyang,

penunggu, ninek dan hantu.36

Talcott Parsons menyatakan bahwa dalam skema Integrasi terdapat sistem sosial

yang memuat simbol moral. Dalam sistem tersebut terdapat ketentuan normatif yang

mengatur etika, adat, sopan santun dan tata karma. Sikap hormat dan rasa takut terhadap

Puyang dalam masyarakat Katolik Suku Ogan merupakan sistem sosial yang menjadi

simbol moral. Masyarakat Katolik Suku Ogan menyadari bahwa mereka perlu menjalin

36
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 8-9.
51

relasi dengan kekuatan-kekuatan yang melampaui dirinya. Upaya menjalin relasi tersebut

dinyatakan melalui Ritual Sesaji. Ritual Sesaji menjadi simbol keinginan, ucapan syukur,

ketakutan dan penghormatan manusia terhadap kekuatan-kekuatan tersebut. Masyarakat

Suku Ogan juga menanamkan sikap sopan dalam dirinya apabila aktivitasnya

bersinggungan dengan tempat-tempat yang sakral. Dengan demikian sikap-sikap yang lahir

dari pemahaman tentang Yang Ilahi merupakan simbol moral yang menjadikan Ritual

Sesaji tetap eksis.37

3. Ritual Sesaji

Masyarakat Katolik Suku Ogan melakukan Ritual Sesaji pada momen-momen

tertentu dalam hidup mereka. Masyarakat Katolik Suku Ogan melakukan Ritual Sesaji

karena memiliki fungsi yang berguna bagi hidupnya. Ritual Sesaji menjadi keharusan

apabila masyarakat Katolik Suku Ogan mengalami masalah yang tak kunjung terselesaikan.

Karena itu, penulis akan memaparkan pengertian ritual, pengertian Sesaji dan pengertian

Ritual Sesaji. Selanjutnya, Penulis akan memaparkan makna dan fungsi Ritual Sesaji,

bentuk kegiatan Ritual Sesaji, unsur-unsur ritual seperti tempat ritual dan benda-benda yang

diperlukan serta waktu pelaksanaannya.

37
Malcolm Waters, Modern Sociological Theory (London: SAGE Publications, 1994), hlm. 142-151.
52

3.1 Pengertian Ritual

Pusat kepercayaan keagamaan terletak pada kesadaran dan keyakinan manusia akan

adanya kekuatan gaib yang mengatasi kekuatannya. Keyakinan atas eksistensi kekuatan

gaib tersebut mendorong manusia untuk melakukan ritual tertentu sebagai wujud

penghormatan. Manusia meyakini bahwa kekuatan gaib tersebut dapat dimintai atau

diperintah untuk memenuhi kebutuhan manusia dan mengatasi persoalan hidup manusia

yang tidak dapat dinalar secara akal sehat.38

Ritual merupakan tindakan manusia yang memiliki makna yang mendalam dibalik

tindakan itu sendiri. Ritual selalu melibatkan simbol-simbol tertentu seperti bahasa, gerak

dan perilaku. Simbol-simbol tersebut memiliki makna dan arti yang hanya diketahui oleh

orang yang memahami maksud dan tujuan dari tindakan tersebut yakni dukun. Masyarakat

awam hanya bisa mengikuti dan mematuhi petunjuk yang diberikan oleh dukun kepada

mereka tanpa mempertanyakan lebih lanjut mengenai arti logis dari tindakan tersebut.39

Ritual merupakan suatu bentuk perayaan yang berhubungan dengan keyakinan

manusia pada Yang Ilahi dengan ditandai rasa hormat yang luhur. 40 Menurut Susanne K.

38
Ayatullah Humaeni, Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Magi Banten (Serang: Bantenologi
Press, 2015), hlm. 198.

39
Ayatullah Humaeni et al., Sesajen: Menelusuri Makna dan Akar Tradisi Sesajen Masyarakat
Muslim Banten dan Masyarakat Hindu Bali (Banten: LP2M UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2021),
hlm. 24-28.

40
Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama (Yogyakarta: Pustaka, 2006), hlm. 31.
53

Langer, ritual merupakan ungkapan yang lebih bersifat logis daripada psikologis. Ritual

memperlihatkan simbol-simbol yang telah diobjekkan sehingga membentuk disposisi batin

pelaku ritual yang menjadi jaminan kebersamaan kelompoknya.41

3.2 Pengertian Sesaji

Masyarakat Indonesia sangat kaya akan ragam upacara adat dan ritual keagamaan

tradisional. Upacara adat dan ritual tersebut mengiringi hampir setiap momen kehidupan

hingga kematian manusia dari yang sederhana hingga yang sangat kompleks. Dalam

pelaksanaan ritual tersebut seringkali disertai dengan pemberian sesaji. Beberapa suku di

Indonesia menjadikan sesaji sebagai syarat utama dalam ritual keagamaan tradisional.

Kekurangan benda atau alat sesaji dapat menyebabkan ritual tidak sempurna dan terjadi

sesuatu yang tidak diinginkan.42

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sesaji adalah sesuatu yang disajikan atau

makanan, bunga-bungaan dan sebagainya yang dipersembahkan kepada kekuatan-kekuatan

gaib dalam upacara bersaji. Kata bersaji berarti mempersembahkan sajian dalam upacara

keagamaan yang dilakukan secara simbolis. Tujuannya adalah membangun komunikasi

41
Susanne K. Langer, Philosophy in a New Key: A Study in the Symbolism of Reason, Rite and Art
(New York: The New American Library, 1948), hlm. 42-63.

42
Ayatullah Humaeni et al., Sesajen: Menelusuri Makna …, hlm. 31-32.
54

dengan kekuatan-kekuatan gaib. Upaya tersebut ditempuh melalui jalan mempersembahkan

makanan dan benda-benda lain yang melambangkan maksud dari komunikasi tersebut.43

Menurut Koentjaraningrat44, sesaji merupakan salah satu sarana upacara yang tidak

bisa ditinggalkan yang dilaksanakan pada saat tertentu dalam kepercayaannya terhadap

makhluk halus di tempat tertentu pula. 45 Sesaji merupakan aktualisasi pikiran, keinginan

dan perasaan pelaku untuk mendekatkan diri pada Yang Ilahi. Sesaji juga merupakan

sarana simbol yang digunakan untuk bernegoisasi secara spiritual dengan makhluk gaib.

Melalui pemberian makan secara simbolis, manusia mengharapkan roh-roh halus tersebut

jinak dan dapat membantu hidup manusia.46

Koentjaraningrat berpendapat bahwa pelaksanaan Ritual Sesaji harus memenuhi

empat komponen dasar, yaitu tempat pelaksanaan ritual, waktu pelaksanaan, benda-benda

pusaka atau perlengkapan ritual dan orang-orang yang bertindak sebagai pelaku ritual.

43
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ke-2 (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 862.

44
Koentjaraningrat lahir pada 15 Juni 1923 di Yogyakarta dari pasangan R.M. Emawan
Brotokoesoemo dan R.A. Pratitis Tirtotenoyo. Ia kuliah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta jurusan
Sastra Indonesia. Ia meraih gelar doktornya di Universitas Indonesia. Pada tahun 1952 ia menjadi asisten
dosen G.J. Held, profesor antropologi. Berkat hal itu, ia tertarik mempelajari bidang antropologi. Akhirnya ia
mendapat beasiswa untuk belajar di Universitas Yale. Tahun 1956 ia memperoleh gelar magister pada bidang
antropologi. Tahun 1962 ia diangkat menjadi guru besar antropologi Universitas Indonesia. Ia resmi pensiun
pada 15 juni 1988. Ia meninggal dunia di Rawamangun pada 23 maret 1999. [Lihat James J. Fox, “In
Memoriam Professor Koentjaraningrat 15 June 1923 - 23 March 1999”, dalam Journal of the Humanities
and Social Sciences of Southeast Asia (BKI) Vol . 157, No. 2 (2001), hlm. 239-245.]

45
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 349.

46
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Sinkritisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya
Spiritual Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2006), hlm. 245.
55

Dalam pelaksanaan ritual tersebut biasanya diiringi dengan kegiatan berdoa, bersujud,

bersaji, berpuasa, bertapa dan bersemedi.47

Sesaji merupakan implementasi hubungan antara manusia dengan makhluk halus

atau roh-roh leluhur. Dengan pemberian sesaji, masyarakat mengharapkan kehidupannya

tidak diganggu oleh makhluk halus tersebut. Wujud sesaji sangat beragam sesuai dengan

kebutuhan yang diperlukan. Sesaji dapat berupa kemenyan, bunga-bungaan, buah-buahan

dan makanan. Setiap Ritual Sesaji yang dilakukan oleh masyarakat memiliki makna

tersendiri tergantung dari tujuannya.48

3.3 Pengertian Ritual Sesaji

Ritual Sesaji merupakan aktivitas manusia yang melakukan pemujaan kepada roh-

roh leluhur. Manusia menganggap roh-roh leluhur sebagai dewa yang memiliki kekuatan

yang berpengaruh bagi hidup manusia. Manusia meyakini bahwa orang-orang yang telah

meninggal mampu membantu hidup manusia terutama keluarganya. Manusia juga meyakini

bahwa roh-roh tersebut menguasai tempat-tempat tertentu dan kehadirannya menuntut

penghormatan dari manusia. Oleh sebab itu, manusia harus menenangkan mereka dengan

memberikan Sesaji.49

47
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), hlm. 240.

48
Ayatullah Humaeni et al., Sesajen: Menelusuri Makna …, hlm. 35-36.

49
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama …, hlm. 79-82.
56

Ritual Sesaji yang terdapat dalam masyarakat merupakan bagian dari tata

peribadatan sistem kepercayaan. Ritual Sesaji tersebut merupakan fenomena religi yang

terdapat di berbagai suku bangsa di Indonesia. Ritual Sesaji yang terdapat dalam

masyarakat terbentuk dari pengalaman hidup manusia yang berhadapan dengan suatu

kekuatan yang melampaui hidupnya. Dalam realitas hidupnya, manusia juga mengalami

masalah-masalah yang sulit untuk dimengerti dengan akal budinya. Manusia meminta

bantuan pada kekuatan yang melampaui dirinya untuk memecahkan masalah tersebut.50

Peter Ludwig Berger menjelaskan bahwa dalam proses eksternalisasi, manusia

selalu berusaha menjadikan lingkungan hidupnya sesuai dengan kebutuhannya. Manusia

perlu bereksistensi untuk menciptakan keseimbangan dalam dunia dengan segala unsur-

unsur yang terkandung di dalamnya. Tindakan manusia yang menjadikan kekuatan

supernatural sebagai penolong merupakan usaha manusia untuk menyeimbangkan dunia

yang ditempatinya. Ritual Sesaji yang terdapat dalam masyarakat merupakan hasil

eksternalisasi yang telah mendapatkan legitimasi dan diwariskan secara turun-menurun.51

Ritual Sesaji merupakan bentuk pengungkapan diri dari kepercayaan yang diyakini

oleh penganutnya. Ritual Sesaji tersebut tidak hanya berkaitan dengan kepercayaan

keagamaan tetapi juga berkaitan dengan pengalaman keagamaan. Ritus-ritus tersebut

memiliki kekuatan yang dialami secara pribadi oleh orang yang melakukannya. Walaupun

50
Bernard Raho, Sosiologi Agama (Maumere: Ledalero, 2019), hlm. 52-56.

51
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 5-18.
57

pengalaman keagamaan bersifat personal, tetapi tetap memiliki dimensi sosial yang

mempengaruhi seseorang dalam menginterpretasi pengalamannya kepada masyarakat.52

3.4 Makna dan Fungsi Ritual Sesaji

Dalam teori fungsionalisme terdapat asumsi yang menyatakan bahwa semua unsur

kebudayaan dan sistem sosial dalam masyarakat memiliki manfaat bagi manusia.

Masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih melakukan Ritual Sesaji karena memiliki

manfaat bagi dirinya. Mereka melakukan Ritual Sesaji untuk menjalin komunikasi dengan

suatu kekuatan yang melampaui kekuatan manusia pada umumnya. Selain untuk

membangun relasi, melalui Ritual Sesaji manusia mengusahakan diri agar segala

pekerjaannya dapat berjalan lancar. Ritual Sesaji sebagai hasil kebudayaan manusia

menjadi alat yang mengatur hubungan antara manusia dengan Yang Ilahi, roh-roh leluhur

dan roh-roh yang menguasai tempat atau benda tertentu. 53

Bronislaw Malinowski menyatakan bahwa agama berfungsi sebagai instrumen bagi

manusia untuk memecahkan atau menyelesaikan persoalan hidup yang ia alami. Ritual

Sesaji yang terdapat dalam masyarakat Katolik Suku Ogan merupakan salah satu dari

ritual-ritual keagamaan tradisional. Selain sebagai sarana untuk melestarikan tradisi leluhur,

Ritual Sesaji juga berfungsi sebagai upaya pendamaian antara manusia dengan kekuatan

52
Bernard Raho, Sosiologi Agama …, hlm. 42-47.

53
Ayatullah Humaeni et al., Sesajen: Menelusuri Makna …, hlm. 40-44.
58

supranatural. Tujuannya adalah agar makhluk-makhluk supranatural tersebut tidak

mengganggu dan mengancam kehidupan manusia. Selain itu, Ritual Sesaji juga merupakan

bentuk ungkapan terimakasih kepada leluhur yang telah menolong dan menjaga hidup

manusia. 54 Dalam hal ini Ritual Sesaji menjadi instrumen bagi manusia untuk memecahkan

atau menyelesaikan persoalan hidup yang sedang ia hadapi.55

3.5 Bentuk Kegiatan Ritual Sesaji

Menurut Talcott Parsons, dalam Pemeliharaan pola atau Latensi terdapat sistem

kebudayaam yang berisi simbol-simbol konstitutif atau kepercayaan yang bersifat

dogmatis. Sistem tersebut memelihara dan memperbaharui pola-pola kebudayaan yang

dapat menciptakan dan menopang motivasi setiap individu.56 Kepercayaan tentang Puyang

yang terdapat dalam masyarakat Katolik Suku Ogan merupakan simbol konstitutif yang

menjadi dasar dan inti perilaku keagamaan. Masyarakat Katolik Suku Ogan mempercayai

bahwa leluhur mereka yang telah meninggal dunia atau Puyang masih ada dan hidup

berdampingan dengan manusia. Puyang tersebut hidup di alam yang berbeda dengan

54
Ayatullah Humaeni et al., Sesajen: Menelusuri Makna …, hlm. 44-45; bdk. Suwardi Endraswara,
Agama Jawa: Ajaran, Amalan dan Asal-usul Kejawen (Yogyakarta: Narasi, 2015), hlm. 55.

55
Bronislaw Malinowski, “The Group and the Individual in Functional Analysis”, dalam American
Journal of Sociology Vol 44, No. 6 (1939), hlm. 938-964; bdk. Amri Marzali, “Struktural Fungsionalisme”,
dalam Jurnal Antropologi Indonesia Vol. 30, No. 2 (2006), hlm. 127-137; bdk. juga Bronislaw Malinowski,
The Role of Magic …, hlm. 63.

56
George Ritzer, Teori Sosiologi …, hlm. 410.
59

manusia. Bentuk ekspresi kepercayaan masyarakat Katolik Suku Ogan terhadap Puyang

diwujudkan dalam bentuk Ritual Sesaji. Ungkapan ekspresi tersebut merupakan tujuan

masyarakat untuk berdamai dengan Puyang.57

Masyarakat Katolik Suku Ogan menyakini bahwa Puyang memiliki sifat yang sama

dengan manusia. Mereka mempercayai bahwa melalui sesaji kebutuhan makan dan minum

Puyang dapat terpenuhi. Dengan demikian mereka tidak akan mengganggu hidup manusia.

Hal ini dinyatakan oleh seorang informan, Philipus Muzir.

Di Batuputih ini masih ada pemahaman tentang orang yang telah meninggal. Mereka
yang telah meninggal biasanya kami berikan makanan, minuman dan kebutuhan yang
menjadi kesukaannya. Tujuannya adalah agar mereka tidak mengganggu hidup
manusia atau acara yang hendak dilakukan oleh keturunannya.

Nenek moyang Suku Ogan mengalami kehidupan yang kerapkali bersentuhan

dengan kekuatan supranatural. Kekuatan tersebut menakutkan sekaligus menarik untuk

diketahui. Perasaan takut menggerakkan manusia untuk membangun perdamaian dengan

kekuatan supranatural. Perasaan takut tersebut juga mendorong manusia Ogan untuk

berlaku sopan dan mengucapkan permisi apabila bersinggungan dengan kekuatan tersebut.

Salah satu wujud perdamaian dengan kekuatan supranatural itu adalah Ritual Sesaji. 58

Masyarakat Katolik Suku Ogan membagi Ritual Sesaji menjadi dua jenis kegiatan, yaitu

kegiatan yang berbentuk perorangan dan kegiatan yang berbentuk kelompok.

57
Malcolm Waters, Modern Sociological Theory …, hlm. 142-151.

58
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 16-17.
60

3.5.1 Ritual Perorangan

Max Weber59 menyatakan bahwa manusia merupakan aktor yang kreatif. Manusia

bertindak karena adanya kebiasaan, nilai dan norma yang terdapat dalam fakta sosial. 60

Manusia menyatakan tindakan tersebut melalui cara dan sarana yang diyakini mampu untuk

mencapai tujuannya. Masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih melakukan Ritual

Sesaji secara perorangan karena memiliki kepentingan tertentu. Apabila orang yang

memiliki kepentingan tidak mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan maka, jeme

pacakh akan memberikan pengarahan tentang langkah-langkah yang harus dilakukan.

Tidak menutup kemungkinan bahwa Ritual Sesaji ini dapat digantikan oleh jeme pacakh

atau orang yang dianggap tahu dan mampu. Pelaku sesaji dan jeme pacakh melakukan

Ritual Sesaji secara perorangan karena diyakini mampu memfokuskan diri pada tujuan

yang hendak dicapai.61 Hal ini disampaikan seorang informan, Matias Cekwan Effendi.

59
Max Weber lahir di Erfurt Jerman, pada tanggal 21 April 1864. Pemikiran dan psikologisnya
banyak dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang orang tuanya. Ayahnya adalah seorang birokrat yang
menduduki posisi yang relatif penting dan ibunya adalah seorang wanita yang sangat religius. Pada umur 18
tahun Max Weber meninggalkan rumah sementara waktu untuk belajar di Universitas Heidelberg. Pada tahun
1884, ia kembali ke berlin untuk mengambil kuliah di Unversitas Berlin. Di universitas tersebut, ia
mendapatkan gelar doktor dan menjadi pengacara. Max Weber banyak mempelajari agama meskipun secara
pribadi ia tidak terlalu religius. [Lihat George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2011), hlm. 124.]

60
Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization (New York: Free Press, 1964),
hlm. 88; bdk. I.B. Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Grup, 2012), hlm. 79.

61
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda (Jakarta: PT Rajawali Press, 2001), hlm. 126.
61

Dalam Ritual Sesaji yang berkaitan dengan gangguan dari makhluk halus biasanya
jeme pacakh akan menerawang dengan betarak atau semedi satu malam di tempat
mahkluk halus tersebut. Dia akan melakukannya sendirian supaya lebih fokus.
Setelah itu dia akan mendapat wangsit berkaitan dengan penyelesaian masalah yang
sedang dihadapi orang tersebut. Biasanya wangsit tersebut dibisikkan ke jeme pacakh
melalui mimpi.

3.5.2 Ritual Kelompok

Menurut Marshall sebagaimana ditulis oleh Francesco Vanni, tindakan kolektif

merupakan tindakan yang dilakukan secara bersama-sama dalam suatu kelompok karena

memiliki tujuan yang sama. Hal tersebut didasari oleh pemikiran dan kepentingan yang

sama. Masyarakat Katolik Suku Ogan melakukan Ritual Sesaji secara bersama-sama karena

mereka memiliki tujuan yang sama. Dalam pelaksanaan Ritual Sesaji yang berbentuk

kelompok, orang yang dianggap tahu dan mampu akan ditunjuk sebagai pemimpin ritual.

Tujuannya adalah agar apa yang menjadi harapan dan tujuan bersama dapat tercapai seperti

acara pesta pernikahan berjalan lancar, proses pengerjaan proyek tidak mengalami

gangguan dan lain sebagainya.62

Pada umumnya, orang-orang yang terlibat dalam Ritual Sesaji ini adalah mereka

yang memiliki kepentingan seperti keluarga atau pemilik proyek. Orang yang bertugas

menjadi pemimpin ritual adalah orang yang dianggap tua dan tahu. Apabila Ritual Sesaji ini

62
Francesco Vanni, Agriculture and Public Goods: The Role of Collective Action (New York:
Springer Dordrecht Heidelberg, 2014), hlm. 21-24.
62

dilakukan dalam sebuah keluarga maka, yang menjadi pemimpin ritual adalah kepala

keluarga. Hal ini disampaikan seorang informan, Matias Cekwan Effendi.

Biasanya orang yang memimpin Ritual Sesaji tersebut adalah jeme pacakh atau orang
yang dituakan dalam kelompok itu.

3.6 Unsur-Unsur Ritual Sesaji

Pengalaman hidup manusia seringkali bersentuhan dengan kekuatan-kekuatan yang

melampaui dirinya. Berhadapan dengan kekuatan tersebut, manusia mengalami ketakutan

dan ketertarikan. Manusia mencoba membangun relasi dengan kekuatan tersebut sebagai

bentuk keinginan untuk berdamai melalui ritual-ritual khusus. Pelaksanaan ritual tersebut

membutuhkan tempat khusus, waktu khusus, tata laku yang terstruktur dan berbagai

peralatan ritus yang bersifat sakral. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan cara manusia

untuk mengungkapkan hubungan atau perjumpaan dengan kekuatan yang bersifat khusus

dan istimewa. Hal tersebut merupakan hasil refleksi para leluhur terhadap kekuatan yang

mengatasi kekuatannya.63

3.6.1 Tempat Ritual Sesaji

63
Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual …, hlm. 31.
63

Menurut Peter Ludwig Berger, objektivasi merupakan penggunaan kembali hasil

eksternalisasi yang telah dicurahkan oleh manusia. Objektivasi tersebut dapat berupa fisik,

mental, ide, gagasan, benda dan lain sebagainya. Penentuan waktu dan tempat tertentu

dalam pelaksanaan Ritual Sesaji merupakan hasil dari proses objektivasi. 64


Dalam setiap

agama terdapat tempat-tempat yang dianggap sakral. Penganut agama tertentu memisahkan

tempat-tempat tersebut dari dunia profan. Dunia sakral berkaitan dengan Yang Ilahi, roh-

roh leluhur dan makhluk-makhluk gaib. Pada tempat yang disakralkan tersebut, manusia

harus menjaga sikapnya dengan menunjukkan sikap kemurnian dan sikap hormat. Manusia

meyakini bahwa di tempat yang disakralkan tersebut bersemayam Yang Ilahi, dewa dan

roh-roh leluhur. Pemilihan waktu dan tempat merupakan hasil pengalaman yang didapatkan

oleh para leluhur dan diwariskan kepada generasi penerusnya.65

Pelaku Ritual Sesaji meyakini bahwa tempat-tempat tersebut sangat dekat dengan

objek yang diberikan sesaji. Pelaku Ritual Sesaji biasanya memilih tempat yang berkaitan

erat dengan leluhur ketika masih hidup. Ketika ada keluarga yang akan menikah,

membangun rumah dan ada keluarga yang meninggal, pelaksanaan ritual dilakukan di

dalam kamar tidur milik keluarga yang bersangkutan. Hal ini ditegaskan oleh seorang

informan, Sirilus Sarkawi:

Sesaji itu biasanya ditaruh di dalam kamar atau di suatu tempat yang aman. Supaya
tidak diganggu oleh anak-anak dan oleh orang lain. Biasanya kalau kita akan

64
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 8-18.

65
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama …, hlm. 106-110.
64

mengadakan sedekah itu banyak anak-anak kecil, tetangga-tetangga dan anak-anak


kita yang berkumpul. Untuk menghindari supaya tidak diganggu oleh keluarga-
keluarga lain biasanya disimpan di suatu tempat misalnya di kamar atau di tengah-
tengah rumah yang ada kamarnya.

Bronislaw Malinowski menegaskan bahwa ketika ilmu pengetahuan dan agama

modern tidak mampu memberikan jawaban atas persoalan dan kebutuhan hidup manusia,

maka ia akan berusaha mencari jawaban dengan kembali pada tradisi leluhur. Pernyataan

tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat Katolik Suku Ogan ketika

menghadapi masalah yang tidak dapat diselesaikan secara rasional. Mereka menyakini

bahwa sakit yang berkepanjangan dan tidak tidak dapat disembuhkan melalui pengobatan

medis merupakan gangguan dari roh-roh jahat dan hanya dapat disembuhkan melalui Ritual

Sesaji.66

Ritual Sesaji yang bertujuan untuk berekonsiliasi dengan Puyang dan memohon

kesembuhan karena gangguan roh halus biasanya dilaksanakan di tempat-tempat yang

memiliki kaitan langsung dengan Puyang atau roh halus tersebut, seperti makam atau

petilasan Puyang, batu besar, persimpangan jalan dan pohon besar. Seorang informan

mengatakan:

Ketika pembangunan menara tower telepon dekat pom bensin yang berada di awal
masuk desa Batuputih. Alat berat yang digunakan untuk bekerja tiba-tiba rusak.
Daerah atau tanah tempat pembangunan itu adalah tanah Puyang atau leluhur Suku
Ogan yang diyakini sebagai pendiri desa. Jalan yang ada disitu selalu rusak.
Pemahaman orang Batuputih, Puyang yang ada di tempat itu marah karena tanahnya

66
Bronislaw Malinowski, The Role of Magic …, hlm. 63
65

diambil. Pihak kontraktor itu akhirnya memotong kambing hitam di kuburan Puyang
tersebut.

Ritual Sesaji untuk pembukaan ladang baru atau mengelola ladang menjadi perlu

diadakan apabila selama proses pengolahan lahan sering mengalami gangguan dari hal-hal

yang tidak rasional. Contohnya: gagal panen yang terus-menerus atau kecelakaan kerja

yang aneh. Dalam hal ini pelaksanaan Ritual Sesaji harus dilaksanakan di ladang yang

berkaitan. Tujuan dari Ritual Sesaji ini adalah agar orang-orang yang mengerjakan tanah

atau ladang tersebut tidak diganggu lagi oleh roh-roh halus yang menunggu ladang. Ritual

Sesaji tersebut biasanya melibatkan jeme pacakh. Hal ini disampaikan oleh seorang

informan, Maria Jamnah:

Apabila tanah tersebut setelah dilihat ternyata tidak sehat atau ada penunggunya,
biasanya disuruh memotong ayam hitam atau ayam putih kuning. Ayam tersebut
dipanggang dan disajenkan kepada penunggu yang ada di ladang tersebut. Hal
tersebut harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan disertai dengan bacaan-bacaan
atau jampi-jampi supaya orang yang mengerjakan tanah itu tidak diganggu lagi.

Sedangkan Ritual Sesaji yang bertujuan untuk memohon ilmu kesaktian atau

mencari kekayaan dengan cara instan biasanya dilaksanakan pada tempat-tempat keramat

seperti makam atau petilasan Puyang. Masyarakat Suku Ogan meyakini bahwa tempat

tersebut memiliki aura dan kekuatan yang besar. Hal ini disampaikan oleh seorang

informan, Sirilus Sarkawi:

Waktu masih gencar-gencarnya nomor-nomor atau togel itu, banyak orang yang
betarak di tempat Puyang. Seperti di makam Puyang Temenggung itu banyak yang
66

berziarah di situ sehari semalam. Ada juga yang betarak di makam Puyang Galuh
Tinggi. Hanya saja kita tidak tahu apakah berhasil atau tidak.

3.6.2 Benda-Benda atau Alat-Alat Ritual

Mircae Eliade67 menyebutkan manusia sebagai homo symbolicum.68 Simbol menjadi

bagian yang tidak terpisahkan dari hidup manusia. Setiap perkataan dan perbuatannya

merupakan kumpulan simbol yang bermakna. Hampir tidak ada masyarakat yang hidup

tanpa simbol. Simbol-simbol tersebut dipahami dan dimengerti secara bersama dalam

kelompok. Simbol-simbol yang memiliki makna dan fungsi menjadi pemersatu kelompok

atau komunitas.69 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, simbol berarti tanda yang

menyatakan hal atau mengandung maksud tertentu. 70 Simbol juga dapat dipahami sebagai

peristiwa atau objek yang menunjuk pada sesuatu. Simbol memiliki tiga bagian yang tidak

67
Mircea Eliade lahir pada 13 Maret 1907 di Bukarest, Rumania. Ia pernah mengeyam pendidikan
filsafat. Pada tahun 1928, ia melanjutkan studinya di Universitas Calcutta, India dibawah bimbingan
Dasgupta. Pada tahun 1933, ia meraih gelar akademik di bidang filsafat dengan desertasi tentang Yoga. Ia
memiliki ketertarikan pada bidang sejarah agama-agama dan fenomenologi agama. Mircea Eliade wafat pada
22 April 1986. [Lihat Dibyasuharda, Dimensi Metafisik Dalam Simbol (Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada, 1990), hlm. 159-160.]

68
Mircea Eliade, The Myth of the Eternal Return: Or, Cosmos and History (New York: Princeton
University Press, 1974), hlm. 112-115; bdk. P.S. Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade
(Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 64-70.

69
Ayatullah Humaeni et al., Sesajen: Menelusuri Makna …, hlm. 47-48.

70
Anton Moeliono et al., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 840.
67

terpisahkan yaitu simbol itu sendiri, maksud atau rujukan simbol dan hubungan antara

simbol dengan rujukan. Rujukan simbol tersebut biasanya lebih dari satu.71

Talcott Parsons menjelaskan Adaptasi sebagai kebutuhan mendesak yang dapat

mendorong manusia untuk menyesuaikan dirinya. Manusia memotivasi dirinya untuk

melakukan tindakan yang sesuai dengan harapannya. Masyarakat Katolik Suku Ogan

melakukan Ritual Sesaji menggunakan benda-benda atau alat-alat yang menjadi simbol dan

memiliki maksud tujuan tertentu. Benda-benda tersebut digunakan untuk memanggil dan

berkomunikasi dengan Yang Ilahi atau dewa-dewi atau roh leluhur. Benda-benda tersebut

dapat berupa kemenyan, bunga, makanan dan minuman. Tindakan pelaku sesaji yang

menyesuaikan penggunaan benda-benda atau alat-alat ritual merupakan bentuk penyesuaian

manusia atas harapan dan tujuan yang hendak diraih. Tindakan penyesuaian tersebut

didorong oleh motivasi yang timbul dalam dirinya sendiri.72

Peter Ludwig Berger menyatakan bahwa proses objektivasi disebut juga sebagai

proses transformasi. Dalam proses tersebut manusia memiliki kehendak untuk melestarikan

kebudayaannya karena adanya fungsi orientasi. Fungsi orientasi dalam Ritual Sesaji berupa

keyakinan bahwa benda-benda dan sarana-sarana tersebut memiliki makna sakral yang

mampu menghubungkan spiritual manusia dengan makhluk-makhluk gaib tersebut. Selain

itu, mereka juga meyakini bahwa melalui pemberian sesaji mereka dapat mengalami

71
James P. Spradley, Metode Etnografi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. 121.

72
Talcott Parsons, The Social System …, hlm. 4-10; bdk. Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi
Agama (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 63.
68

keselamatan, perlindungan, keberkahan dan kebahagiaan. Dalam proses transformasi,

manusia menyerap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan menjadikan makna-makna

kebudayaan kesadarannya sendiri. Pelaksanaan Ritual Sesaji merupakan upaya manusia

untuk mentransformasikan kebudayaan yang ada dalam masyarakat menjadi bagian dari

hidupnya.73

Perlengkapan sesaji yang terdapat dalam masyarakat Katolik Suku Ogan merupakan

hasil objektivasi yang dilakukan oleh para leluhur Suku Ogan. Perlengkapan tersebut

merupakan sarana pokok dalam sebuah ritual. Perlengkapan Sesaji yang terdapat dalam

masyarakat Katolik Suku Ogan berupa kue apam (apem), kopi, teh, lauk-pauk, nasi, rokok,

perlengkapan sirih, kemenyan, candu dan bunga-bungaan. Hal ini disampaikan oleh

seorang informan, Sirilus Sarkawi:

Dalam sesajen tersebut ada makanan, nasi dengan lauknya, ada minuman air putih,
minuman kopi atau teh, rokok, air dan kembang. Bagi leluhur perempuan yang
nginang dibuatkan ileim. Dalam ileim terdapat sirih, gambir, peputihnya atau
kapurnya, buah pinang yang telah di potong kecil-kecil dan dilipat dengan daun sirih.
Jika ada keluarga yang sakit dan tidak sembuh-sembuh, kita buatkan sesajen berupa
apem.

Menurut Peter Ludwig Berger, kebudayaan dapat bertahan lama apabila terdadap

proses sosialisasi. Pelaksanaan Ritual Sesaji dengan segala perlengkapan ritual yang

dilakukan masyarakat Katolik Suku Ogan merupakan hasil sosialisasi dan hasil belajar

73
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 15-16; Ayatullah Humaeni et al., Sesajen:
Menelusuri Makna dan Akar Tradisi Sesajen …, hlm. 53-54.
69

yang diterima oleh generasi baru dari generasi sebelumnya. Proses sosialisasi bukan hanya

sekadar proses belajar tetapi juga proses pembentukan diri. Generasi baru melihat dan

mempelajari segala sesuatu yang dilakukan oleh para leluhurnya. Segala sesuatu yang telah

didapatkan dan dipelajari dari generasi sebelumnya menjadi dasar bagi generasi baru untuk

melestarikan warisan leluhur dalam memecahkan persoalan hidup yang dihadapinya. 74 Hal

ini dinyatakan oleh Sirilus Sarkawi.

Saya mendapat pengetahuan tentang sesaji tersebut dari leluhur saya dan melalui
pengalaman langsung sewaktu melihat mereka mengadakan Ritual Sesaji tersebut.
Jadi kalau ada masalah atau akan mengadakan hajatan kita harus membuat sesajen.
Saya mengatahui hal tersebut bukan kerena diajari oleh mereka tetapi karena saya
melihat dan mengalaminya langsung.

3.7 Waktu Pelaksanaan

Manusia menyadari bahwa ada perbedaan antara sela-sela dari waktu suci dan

waktu biasa. Waktu suci menjadi tempat bagi manusia untuk melaksanakan kegiatan ritual

keagamaan dan kesempatan untuk mencari berkah. Ketika waktu suci tiba, manusia akan

lebih menghayatinya dengan menjaga sikap, perilaku, perkataan, dan perbuatan agar tidak

menodai waktu suci tersebut sehingga mereka tidak kehilangan berkah. Sedangkan waktu

biasa menjadi tempat berlangsungnya peristiwa-peristiwa hidup tanpa arti religious yang

khusus. Pada waktu biasa ini, mereka akan beraktivitas seperti biasa dalam hidup sehari-

74
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 16-18.
70

hari tanpa adanya tuntutan lebih untuk menjaga sikap dan perilaku. Kedua waktu tersebut

menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan dalam hidup manusia.75

3.7.1 Ziarah Makam

Secara etimologis kata ziarah berasal dari bahasa Arab dari kata dasar zara, yazuru

dan ziyarah yang berarti berkunjung, menengok atau melewati. 76 Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, ziarah adalah kunjungan ke tempat-tempat yang dianggap keramat,

mulia dan sakral.77 Kata makam juga berasal dari bahasa Arab yang berarti kubur atau

tempat pemakaman. Ziarah makam berarti kegiatan manusia yang mengunjungi tempat

pemakaman dengan niat mendoakan para leluhur yang telah meninggal dan dikuburkan di

tempat tersebut.78

Kaum fungsionalisme memahami salah satu fungsi agama sebagai sarana ritual bagi

manusia untuk berelasi dengan kekuatan lain yang dapat memberikan keselamatan. Salah

satu ritual agama tradisional adalah ziarah makam. Ziarah makam merupakan tindakan

75
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama …, hlm. 111-114.

76
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), hlm.
592.

77
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-3 (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), hlm. 1321.

78
Ahmad Warson Munawir, Tuntunan Praktis Ziarah Kubur (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010),
hlm. 33.
71

manusia yang disengaja dan dikehendaki dengan maksud dan tujuan tertentu. Dalam

melakukan ziarah makam, biasanya terdapat bacaan-bacaan, doa-doa tertentu yang sesuai

dengan keingingan dan tradisi yang berlaku di tempat ziarah tersebut. Masyarakat Katolik

Suku Ogan meyakini bahwa dengan melakukan ziarah makam saat ada acara-acara tertentu

mereka akan mendapatkan jaminan dan keselamatan seperti kelancaran dalam acara yang

hendak dilaksanakan.79

Masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih melakukan ziarah makam pada

saat-saat tertentu seperti menjelang hari raya besar dalam agama Katolik seperti Natal dan

Paskah, menjelang peringatan ke sekian hari dari keluarga yang telah meninggal, saat ada

keluarga yang sakit berkepanjangan dan tak tersembuhkan, saat akan membangun rumah,

dan menjelang pesta pernikahan. Ziarah makam menjadi keharusan bagi masyarakat

Katolik Suku Ogan apabila akan mengadakan sedekahan80. Hal tersebut disampaikan oleh

seorang informan, Agustina Rahmawati.

Kalau kita hendak mengadakan pernikahan atau sedekahan tentu kita akan memasak
makanan yang banyak. Kita harus mengirim sesaji kepada arwah-arwah Puyang.
Kami memahami bahwa jika kami tidak memberikan sesaji tersebut maka makanan
tersebut akan dibasikannya. Sebelum melakukan acara masak-masak, kita harus
melakukan ziarah ke makam keluarga atau leluhur dahulu. Supaya kita tidak
diganggu oleh arwah-arwah tersebut.

79
Yunasril Ali, Membersihkan Tasawuf: dari Syirik, Bid’ah dan Khufarat (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1992), hlm. 241.

80
Sedekah adalah pemberian sesuatu kepada orang lain dalam rupa makanan. Sedekah biasa
dilakukan untuk menghormati atau mendoakan orang yang meninggal dan dalam masyarakat Katolik Suku
Ogan di desa Batuputih sedekah diberikan pada saat pernikahan. [Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,
Kamus Besar Bahasa …, hlm. 1008.]
72

Selama kegiatan ziarah makam, masyarakat Katolik Suku Ogan harus membawa

bahan-bahan atau alat-alat yang diperlukan seperti sapu lidi, kembang dan air. Mereka

menggunakan sapu lidi untuk membersihkan makam lehuhur. Tindakan tersebut

merupakan bentuk harapan agar acara yang hendak dilakukan dapat berjalan lancar dan

bersih dari gangguan atau permasalahan yang sedang mereka hadapi dapat mereka

selesaikan. Kembang atau bunga melambangkan harapan mereka agar nama leluhur tetap

harum dan mereka tidak mengganggu hidup keluarganya. Air melambangkan kehidupan

manusia. Hal ini disampaikan oleh seorang informan, Sirilus Sarkawi.

Yang pertama itu kita harus membawa sapu, air dan kembang. Sapu digunakan untuk
membersihkan makam, air dapat dikatakan untuk minum mereka, dan kembang itu
untuk menghormati supaya nama mereka tetap wangi. Tindakan membersihkan
makam merupakan harapan supaya situasi jalannya sedekahan aman dan lancar.

Selain itu, ada beberapa masyarakat Katolik Suku Ogan yang melakukan ziarah

makam untuk mencari kesaktian diri dan mencari kekayaan secara instan seperti mencari

togel (toto gelap). Mereka melakukan ziarah makam tersebut di tempat-tempat yang

diyakini sebagai makam dari Puyang. Hal ini disampaikan oleh seorang informan, Philipus

Muzir.

Saya bukan hanya mendengar ada orang yang melakukan itu, saya sendiri pun terlibat
dan pernah malakukannya. Saya pernah melakukannya sampai 4 atau 5 kali. Tempat
yang pernah saya datangi adalah makam Puyang Galuh Tinggi dan Puyang di
Pungkilan yang paling terkenal. Bahan-bahan yang dibawa adalah makanan, candu
dan kemenyan.
73

3.7.2 Perkawinan

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perkawinan Tahun 1974 Bab

1 Pasal 1, perkawinan adalah ikatan batin antara pria dan wanita sebagai suami-istri yang

bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal yang berlandaskan pada

Ketuhanan Yang Maha Esa.81 Dalam perkawinan, pria dan wanita membentuk ikatan legal

yang terjalin dalam jangka waktu yang panjang dan melibatkan berbagai aspek kehidupan

manusia seperti nilai kebudayaan, agama, hukum, tradisi, ekonomi dan lain sebagainya.

Perbedaan kebudayaan pada setiap suku menyebabkan proses perkawinan menjadi berbeda-

beda antara suku yang satu dangan suku yang lain.82

Talcott Parsons menyatakan bahwa dalam skema Latensi terdapat sistem yang

menyediakan dan memelihara pola-pola kebudayaan agar tetap eksis. Dalam sistem

tersebut terdapat simbol konstitutif yang terpola, teratur dan terlembagakan. Perkawinan

merupakan proses mengikat seorang pria dengan seorang wanita menjadi suami-istri untuk

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Masyarakat Katolik Suku Ogan memiliki

adat perkawinan yang dikenal dengan istilah tandang behulang. Ngunduh mantu

merupakan bentuk perkawinan yang mengharuskan pihak laki-laki mengambil seorang

81
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (Bandung: Citra Umbara, 2012), hlm. 2.

82
Kustini (ed.), Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan
Tidak Tercatat (Jakarta: Kementerian Agama RI-Badan Litbang dan Diklat, 2013), hlm. 3; bdk. Jamhari
Makruf dan Asep Saepudin Jahar, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perudang-undangan
Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional (Jakarta: Kencana Prenadamadia Group, 2013), hlm. 24.
74

perempuan apabila telah memenuhi degadaian atau persyaratan seperti mas kawin yang

berupa wajik atau pelak. Sistem perkawinan yang terdapat dalam Suku Ogan di desa

Batuputih tersebut bersifat eksogami83. Perkawinan merupakan lembaga yang terstruktur

dalam masyarakat yang menjamin keberlangsungan suatu kebudayaan.84

Proses perkawinan atau ngunduh mantu dalam tradisi masyarakat Katolik Suku

Ogan harus melewati beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut antara lain: mintak

status, masati rasan, tandang malam, ngantatkan seserahan, nunggalkan ngesanak atau

pertemuan kerabat, sekhuan pangkal, ngukus atau masak-memasak, payuan atau sedekahan

dan sekhuan pelebar atau pembubaran panitia. Tahapan-tahapan tersebut merupakan aturan

yang berlaku dalam masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih.85

Ritual Sesaji dalam proses perkawinan atau ngunduh mantu dalam masyarakat

Katolik Suku Ogan dimulai setelah tahapan ngukus atau masak-memasak dan sebelum

tahapan payuan atau sedekahan. Keluarga yang hendak menikahkan anak biasanya

meletakkan sesaji di tempat yang aman dari jangkauan anak-anak dan binatang seperti

kamar tidur. Sesaji yang diletakkan di dalam kamar tersebut diperuntukkan bagi Puyang

83
Eksogami adalah prinsip perkawinan yang mengharuskan seseorang mencari jodoh di luar
lingkungan sosialnya, seperti di luar lingkungan kerabat, golongan sosial dan ras. [Lihat Agung Tri Haryanta
dan Eko Sujatmiko, Kamus Sosiologi …, hlm. 7.]

84
Talcott Parsons and Edward A. Shills (ed.), Toward a General Theory …, hlm. 55; bdk.
Pemberkatan dan Peresmian Pastoran …, hlm. 21-23.

85
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 21-23.
75

atau kerabat yang sudah meninggal. Hal ini disampaikan oleh seorang informan, Sirilus

Sarkawi.

Sesaji yang telah dibuat tersebut ditujukan untuk Puyang dan untuk leluhur yang
sudah meninggal seperti ninek atau kajut dan diletakkan di dalam kamar. Sesaji
tersebut tidak ditujukan kepada Yang Mahakuasa.

Talcott Parsons dalam skema Goal Attainment atau Pencapaian Tujuan menjelaskan

bahwa dalam suatu masyarakat terdapat suatu sistem yang memiliki tujuan yang jelas.

Masyarakat membutuhkan sistem kepribadian yang dapat mendorong seseorang untuk

memaksimalkan sumber daya yang ada demi mencapai tujuan tersebut. Masyarakat Katolik

Suku Ogan di desa Batuputih melakukan Ritual Sesaji dalam pesta perkawinan dengan

tujuan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saat berlangsungnya acara yang

disebabkan oleh leluhur mereka. Tujuan tersebut menjadi dorongan dan motivasi bagi

masyarakat Katolik Suku Ogan untuk memberikan sesaji kepada leluhurnya saat akan

mengadakan pesta perkawinan.86

Ritual Sesaji yang diberikan kepada leluhur yang sudah meninggal atau Puyang

dalam pesta pernikahan merupakan bentuk pengakuan masyarakat Katolik Suku Ogan pada

eksistensi Puyang. Mereka melakukan Ritual Sesaji tersebut untuk menghindari hal-hal

yang tidak diinginkan saat berlangsungnya acara. Hal ini ditegaskan oleh seorang informan,

Matias Cekwan Effendi.

86
Talcott Parsons, The Social System …, hlm. 17; bdk. Talcott Parsons and Edward A. Shills (ed.),
Toward a General Theory …, hlm. 55.
76

Tujuan memberikan sesaji saat akan mengadakan pesta pernikahan adalah supaya
acara pernikahan berjalan lancar sampai selesai dan tidak mengalami gangguan.
Gangguan tersebut seperti tiba-tiba seluruh makanan menjadi basi. Kami
mempercayai bahwa makanan menjadi cepat basi disebabkan karena para leluhur atau
saudara-saudara keluarga yang sudah meninggal tidak diberikan sesaji.

Ritual Sesaji dalam pesta pernikahan membutuhkan bahan-bahan yang digunakan

untuk sajian yang akan diberikan kepada leluhur. Bahan-bahan tersebut berupa makanan

dan minuman yang juga akan disajikan kepada tamu undangan yang datang. Apabila

leluhur yang telah meninggal tersebut pada masa hidupnya memiliki kebiasaan nginang

maka dalam perlengkapan sesaji diberikan perlengkapan nginang atau ileim, jika menyukai

kopi pahit maka diberikan kopi pahit juga. Hal ini disampaikan oleh informan, Sirilus

Sarkawi.

Dalam sesaji itu ada nasi, ada lauknya, ada minumannya seperti kopi atau teh, ada
rokok jika leluhurnya merokok. Jika leluhurnya perempuan yang biasa nginang, maka
harus disertakan juga yang namanya ileim.

3.7.3 Pembangunan Rumah

Rumah merupakan bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal manusia dalam

melangsungkan kehidupan. Manusia menggunakan rumah sebagai tempat melangsungkan

proses sosialisasi suatu kebudayaan kepada orang-orang yang tinggal di dalamnya.

Sosialisasi tersebut berupa norma-norma dan adat kebiasaan yang berlaku dalam suatu
77

masyarakat.87 Selain itu, rumah juga menjadi pusat kehidupan berbudaya dan pembentukan

kepribadian.88 Manusia membangun rumah untuk menjamin kepentingan keluarga agar

tetap terjamin seperti kepentingan untuk bertumbuh, kemungkinan untuk bergaul dengan

tetangga, ketenangan, kesenangan, kebahagiaan dan kenyamanan.89

Pembangunan sebuah rumah membutuhkan berbagai macam material. Material

tersebut berupa kayu, pasir, batu bata, semen, atap dan lain sebagainya. Dalam proses

pembangunan rumah, masyarakat Katolik Suku Ogan terlebih dahulu mempersiapkan

bahan-bahan yang akan digunakan sebagai sesaji. Mereka membuat sesaji tersebut untuk

memohon kepada Puyang agar proses pembangunan dapat berjalan lancar dan tidak

mengalami banyak kekurangan material. Hal ini disampaikan oleh seorang informan,

Sirilus Sarkawi.

Tujuan memberikan sesaji dalam pembangunan rumah adalah supaya pekerjaan


berjalan lancar seperti yang diharapkan oleh keluarga, yang bekerja sehat semua,
bahan bangunannya cukup dan tidak mengalami kekurangan. Jikalau kurang,
kurangnya tidak terlalu banyak. Misalnya pemilik rumah sudah membeli 90 sak
semen dan ternyata selama pembangunan rumah tersebut membutuhkan 100 sak
semen, pemilik rumah hanya menambahkan 10 sak semen lagi.

Selain sesaji untuk mohon keselamatan dan kelancaran dalam proses pembangunan

rumah, masyarakat Katolik Suku Ogan juga menyediakan sesaji tertentu yang

87
Eko Budiharjo, Sejumlah Masalah Permukiman Kota (Bandung: Alumni, 1998), hlm. 148.

88
Juhana, Arsitektur dalam Kehidupan Masyarakat (Semarang: Bendera, 2000), hlm. 31.

89
Frick, Heinz dan Tri Hesti, Arsitektur Ekologis (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 1.
78

menyimbolkan harapan pemilik rumah. Bahan-bahan sesaji tersebut berupa kendi, air, uang

dan kelapa yang bertunas. Air dan uang tersebut dimasukkan ke dalam kendi dan

digantungkan bersama kelapa yang bertunas pada kerangka atap bangunan. Setiap bahan-

bahan tersebut menggambarkan harapan dari pemilik rumah. Hal ini disampaikan oleh

seorang informan, Matias Cekwan Effendi.

Secara umum yang sesaji yang dibutuhkan dalam proses pembangunan rumah adalah
kelapa yang baru tumbuh, kendi, air dan uang. Air dan uang tersebut biasanya
dimasukkan ke dalam kendi dan digantungkan pada kerangka rumah bersama kelapa
yang baru tumbuh itu. Uang melambangkan kemakmuran, air melambangkan
kehidupan dan kelapa yang baru tumbuh itu melambangkan kemakmuran yang akan
terus tumbuh dan berkembang.

3.7.4 Ritual Mohon Kesembuhan

Sakit dan penyakit merupakan dua hal yang berbeda. Sakit merupakan kondisi yang

tidak normal dalam diri seseorang sehingga ia mengalami gangguan fisik, emosional,

intelektual, sosial dan perkembangan. Sakit juga merupakan keadaan yang tidak

menyenangkan yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Sedangkan penyakit

merupakan istilah medis yang menggambarkan adanya gangguan dalam fungsi tubuh

seseorang yang menyebabkan berkurangnya kemampuan kapasitas diri. Hal ini disebabkan

oleh reaksi biologis seseorang terhadap suatu organisme, benda asing atau luka. Reaksi

biologis tersebut merupakan fenomena objektif yang ditandai oleh perubahan fungsi-fungsi
79

tubuh. Sedangkan sakit merupakan fenomena subjektif yang ditandai dengan perasaan tidak

nyaman.90

Pengertian penyakit dalam dunia medis masa kini berbeda dengan pengertian

penyakit yang dipahami oleh masyarakat. Dunia medis memahami penyakit sebagai

gangguan pada fungsi tubuh sehingga tidak dapat melakukan fungsinya dengan baik. Bagi

masyarakat, penyakit merupakan pengakuan sosial terhadap seseorang yang tidak

menjalankan peran sosialnya secara wajar. Penyakit tersebut disebabkan oleh cara dan gaya

hidup yang tidak sesuai dengan budaya setempat.91

Penyebab penyakit dapat dibagi menjadi dua, yaitu penyebab naturalistik dan

penyabab personalistik. Konsep naturalistik memandang penyakit sebagai akibat dari

pengaruh lingkungan, makanan, kebiasaan hidup, ketidakseimbangan dalam tubuh dan

penyakit bawaan. Konsep personalistik menganggap munculnya penyakit sebagai akibat

dari intervensi suatu agen aktif yang berupa makhluk tetapi bukan manusia dan manusia

yang memiliki kekuatan tertentu. Makhluk bukan manusia tersebut berupa hantu, roh,

leluhur yang sudah meninggal dan roh jahat. Sedangkan manusia yang memiliki kekuatan

tertentu tersebut adalah tukang sihir dan tukang tenung atau santet.92

90
Irwan, Etika dan Perilaku Kesehatan (Yogyakarta: Absolute Media, 2017), hlm. 26-29.

91
Irwan, Etika dan Perilaku …, hlm. 35.

92
Irwan, Etika dan Perilaku …, hlm. 35.
80

Talcott Parsons menyatakan bahwa dalam proses Adaptasi, manusia berusaha

menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya agar ke-eksistensi-annya tetap terjamin.

Proses adaptasi dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh sistem tindakan. Sistem

tindakan adalah motivasi yang mengarahkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang

berguna bagi hidupnya. Ritual Sesaji yang diberikan saat ada anggota keluarga yang sakit

parah merupakan bagian dari sistem tindakan. Tindakan tersebut didorong oleh situasi sakit

berkepanjangan yang diderita oleh anggota masyarakat Katolik Suku Ogan. Mereka

meyakini bahwa sakit yang berkepanjangan disebabkan oleh makhluk halus. Karena itu

memerlukan pengobatan tradisional dengan menggunakan sesaji untuk memperoleh

penyembuhan dari sakit tersebut. Ritual Sesaji tersebut menjadi sarana komunikasi dan

pendamaian dengan mahluk halus yang telah penyebabkan sakit.93

Masyarakat Katolik Suku Ogan merupakan kelompok yang terbuka pada

perkembangan jaman. Ketika ada anggota keluarga yang sakit, mereka terlebih dahulu

membawanya ke rumah sakit. Ketika si sakit mendapatkan kesembuhan saat dirawat di

rumah sakit, maka pengobatan tradisional ditinggalkan. Akan tetapi ketika si sakit tidak

mendapatkan kesembuhan setelah berobat ke rumah sakit maka pengobatan tradisional

menjadi jalan untuk memperoleh kesembuhan dari sakitnya. Hal ini ditegaskan oleh

seorang informan, Matias Cekwan Effendi.

Saya sendiri masih mengalami tentang pemberian sesajen untuk orang sakit yang sulit
disembuhkan. Untuk sekarang ini kalau ada yang sakit, masyarakat sudah

93
Talcott Parsons, The Social System …, hlm. 4-10.
81

mempercayai bahwa ilmu medis dapat mengatasi hal-hal seperti itu. Ketika segala
macam usaha para medis itu tidak ada hasilnya, masih ada masyarakat yang
mengatakan bahwa itu penyakit kiriman. Ketika ilmu medis tidak dapat menolong
orang yang sakit, mereka akan melakukan hal-hal yang tidak rasional dengan
membuat sesajen dengan bantuan jeme pacakh.

Masyarakat Katolik Suku Ogan memberikan sesajen berupa kue apem atau apam

untuk anggota keluarga yang sakit parah. Sesaji apem juga diberikan kepada anggota

keluarga yang mengalami sakit akibat gangguan roh-roh jahat. Jika si sakit tidak kunjung

sembuh, mereka akan menjumpai jeme pacakh untuk mencari sebab tentang penyakit

tersebut. Hal ini disampaikan oleh seorang informan, Sirilus Sarkawi.

Biasanya setelah kita berikan sesaji dan si sakit tidak sembuh-sembuh, kita dapat
mendatangi langsung dan bertanya kepada orang pintar tentang mengapa si sakit tidak
sembuh-sembuh. Apabila tidak ada lagi jalan lain, maka kita datang ke orang pintar.
Kita pergi ke jeme pacakh untuk mengetahui penyebab penyakitnya. Apakah sakitnya
disebabkan oleh penunggu di kebun atau dari mana atau si sakit memiliki masalah.

3.7.5 Ritual Pendamaian atau Rekonsiliasi

Kehidupan manusia seringkali bersentuhan dengan kekuatan-kekuatan supranatural.

Kekuatan supranatural tersebut memiliki kemampuan mengganggu kehidupan manusia.

Karena itu, manusia berusaha menyeimbangkan diri dengan kekuatan-kekuatan tersebut


82

dengan cara membangun komunikasi.94 Wujud komunikasi tersebut berupa ritual-ritual

yang berhubungan dengan kekuatan supranatural dan kesakralan sesuatu.95

Manusia berusaha membangun dunianya agar sesuai dengan kebutuhannya.

Manusia bereksistensi untuk menciptakan keseimbangan dalam dunia. Dalam bereksistensi,

manusia berusaha menempatkan dan merealisasikan kehidupannya dalam dunia yang

dibangunnya. Ritual Sesaji yang digunakan untuk ritual pendamaian dengan Puyang yang

marah merupakan usaha Manusia Ogan untuk menciptakan keseimbangan dalam dunianya.

Ritual Sesaji merupakan eksternalisasi manusia untuk membangun dunia yang sesuai

dengan kebutuhan hidupnya.96

Ritual pendamaian merupakan salah satu ritual adat masyarakat Katolik Suku Ogan

untuk memulihkan hubungan dengan Puyang yang terganggu oleh ulah manusia.

Masyarakat melakukannya karena merasa ada gangguan dari kekuatan gaib. Gangguan

tersebut dapat berupa sakit, alat yang digunakan untuk bekerja menjadi rusak dan pekerjaan

yang seharusnya mudah menjadi sulit. Hal ini disampaikan oleh seorang informan, Sirilus

Sarkawi.

Sejauh yang saya ketahui tentang pembangunan tower telepon yang berada di sekitar
makam Puyang Galuh Tinggi itu, alat berat yang digunakan untuk membersihkan

94
Nur Fitriana, Fenomenologi Agama: Suatu Pengantar (Palembang: NoerFikri, 2012), hlm. 16-17.

95
Agus Bustanuddin, Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 97.

96
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 5-6.
83

lokasi tower tiba-tiba macet dan tidak bisa jalan. Operator alat berat atau sopirnya
langsung sakit. Apakah akhirnya orang itu meninggal atau tidak saya tidak tahu, tapi
yang jelas dia langsung sakit dan pekerjaan tersebut langsung diberhentikan. Orang
Batuputih menilai hal itu disebabkan oleh Puyang yang tidak suka dengan kehadiran
mereka.

Orang-orang yang merasa pekerjaannya terganggu biasanya akan melakukan Ritual

Sesaji di tempat kejadian. Mereka akan meminta bantuan dari jeme pacakh untuk melihat

dan berkomunikasi dengan penunggu tak kasat mata di lokasi tersebut. Setelah itu, jeme

pacakh akan menyampaikan hasil penerawangannya perihal sesaji yang diminta oleh

Puyang. Sesaji tersebut dapat berupa hewan seperti sapi, kerbau, kambing atau ayam. Jeme

pacakh akan memimpin Ritual Sesaji tersebut bersama orang-orang yang terlibat dalam

pekerjaan itu. Hal ini disampaikan oleh Matias Cekwan Effendi.

Jika tanah atau lahan banyak penyakitnya atau banyak setannya, penyelesaiannya
tetap membutuhkan penerawangan dari jeme pacakh. Apakah harus memotong
kerbau atau yang lainnya, tergantung dari yang dititahkan oleh Puyang kepada jeme
pacakh. Kadang-kadang tidak cukup hanya menyembelih ayam hitam, tetapi bisa
juga harus menyembelih kerbau. Semuanya itu tergantung dari terawang dan
komunikasi dari jeme pacakh dengan Puyang di lokasi. Setelah melakukan
penerawangan dan mendapatkan wangsit, jeme pacakh akan menyampaikan
permintaan Puyang mengenai korban yang harus diberikannya.

3.7.6 Pembukaan atau Pengelolahan Ladang

Meski masyarakat Suku Ogan menyebar di pesisir dan sepanjang aliran sungai,

mata pencaharian utama mereka adalah petani. Mereka memanfaatkan kondisi tanah yang
84

subur untuk berladang atau menanam sayur-sayuran. Mereka memanfaatkan hasil hutan

seperti rotan, kayu dan bambu untuk keperluan pembangunan rumah beserta perabotannya.

Selain itu, mereka juga bercocok tanam secara tradisional.97 Selain bercocok tanam,

masyarakat Suku Ogan memiliki mata pencaharian sebagai pencari ikan atau nelayan

sungai. Mereka mencari ikan hanya sebagai selingan atau sarana untuk mendapatkan lauk

bagi kebutuhan keluarga.98

Masyarakat Katolik Suku Ogan yang berprofesi sebagai petani atau peladang

memanfaatkan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Sebagai petani,

terkadang mereka juga mengalami kejadian-kejadian aneh sewaktu bekerja di ladangnya.

Kejadian-kejadian tersebut misalnya gagal panen yang terus menerus, kecelakaan kerja

yang tidak wajar atau mengalami gangguan dari makhluk halus. Ketika mereka mengalami

hal-hal tersebut, mereka akan meminta bantuan dari jeme pacakh untuk melihat lokasi

ladangnya. Hal ini disampaikan oleh Sirilus Sarkawi.

Biasanya kalau orang mengalami kegagalan atau gangguan, biasanya dia akan
mencari orang pintar dan bertanya kepadanya berkaitan dengan masalah di ladang
tersebut. Kemungkinan ada suatu tempat tertentu yang seharusnya tidak boleh
diganggu justru ditebas dan diolah. Padahal tempat tersebut menurut terawangan
orang pintar tadi tidak boleh diganggu. Biasanya orang pintar itu akan
memberitahukan bahwa tempat tersebut boleh dibersihkan tetapi jangan diganggu
atau diolah.

97
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 20-21.

98
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 20-21.
85

Jeme pacakh yang telah diundang ke ladang tersebut biasanya akan berjalan

mengelilingi lokasi dan berusaha menerawangnya. Setelah mengetahui tempat mana yang

diyakini ada penunggunya, jeme pacakh akan membakar tumbuhan kelembak menyan

sambil membacakan mantera-mantera untuk berkomunikasi dengan penunggu tersebut.

Setelah itu, jeme pacakh akan menyampaikan hasilnya kepada pemilik ladang. Jika

penunggu ladang meminta sesuatu seperti ayam hitam atau ayam putih kuning atau yang

lain, maka pemilik ladang harus mengupayakannya sekalipun permintaan tersebut tidak

masuk akal. Hal ini disampaikan oleh seorang informan, Matias Cekwan Effendi.

Biasanya Jeme pacakh itu akan membakarkan sesajen yang berupa tumbuhan
kelembak menyan. Sesajen tersebut bukan berbentuk makanan. Sesajen tersebut
dibakar oleh jeme pacakh sambil mengucapkan mantera-mantera untuk
berkomunikasi dengan penunggu disitu. Jika menurut hasil terawangan jeme pacakh
itu harus menyembelih ayam hitam maka pemilik ladang harus mengusahakannya.
Terkadang hal yang tidak rasional pun juga dilakukan. Tapi pada umumnya jeme
pacakh membakar kelembak menyan. Apabila Puyang atau penunggu disitu meminta
kurban berupa ayam melalui jeme pacakh maka pemilik ladang harus
menyembelihnya. Biasanya ayam yang disajenkan adalah ayam hitam atau ayam
putih kuning. Ayam putih kuning adalah ayam putih polos yang ke kuning-kuningan.
Semuanya itu tergantung dari hasil terawangan jeme pacakh.

3.7.7 Ritual Mohon Ilmu Kesaktian dan Kekayaan Instan

Sistem kepercayaan masyarakat Katolik Suku Ogan masih mendapat pengaruh dari

paham animisme-dinamisme. Mereka masih mempercayai adanya roh-roh halus yang

mendiami tempat-tempat tertentu dan berpotensi mencelakakan. Masyarakat juga meyakini


86

bahwa roh-roh tersebut memiliki kekuatan gaib yang dapat menolong manusia. Berhadapan

dengan kekuatan tersebut, manusia berusaha menjalin relasi demi keselamatan dirinya. 99

Sebagian masyarakat Katolik Suku Ogan masih ada yang melakukan ritual di tempat-

tempat keramat. Tindakan tersebut merupakan upaya manusia untuk membangun relasi

atau hubungan dengan Yang Ilahi atau makhluk-makhluk yang mendiami tempat keramat

tersebut. Mereka melakukan tindakan tersebut karena adanya getaran spiritual yang

menggerakkan jiwanya. Para ahli agama menyebut peristiwa tersebut sebagai proses

masuknya cahaya Yang Ilahi ke dalam jiwa manusia.100

Bentuk ritual yang masih dilakukan oleh beberapa masyarakat Katolik Suku Ogan

adalah semedi atau dalam istilah bahasa Ogan betarak. Berdasarkan tujuannya, semedi atau

betarak dapat dibagi menjadi dua yaitu tujuan baik dan tujuan buruk. Tujuan baik dari

semedi atau betarak adalah untuk mencari kebijaksanaan atau kesalehan pribadi,

pembersihan diri dan penguasaan diri dari hawa nafsu.101 Tujuan buruk dari semedi adalah

untuk mencari ilmu hitam atau ilmu untuk mencelakakan orang lain serta mencari kekayaan

secara instan. Hal ini disampaikan oleh Matias Cekwan Effendi.

99
Husni Thamrin, Antropologi Melayu …, hlm. 176.

100
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm.
144.

101
Neils Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa (Jakarta: Gramedia, 1980), hlm. 25;
bdk. Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 140.
87

Betarak atau semedi itu dapat dilakukan untuk mencari kebijaksanaan atau kesalehan
pribadi. Namun hal itu juga dapat disalahgunakan seperti mencari ilmu-ilmu hitam
dan mencari togel (toto gelap). Orang-orang sekarang menyebut orang yang
melakukan tindakan salah tersebut sebagai orang gila. Mereka menginginkan sesuatu
yang tidak rasional dan mencari kekayaan dengan cara mudah.

Sebagian masyarakat Katolik Suku Ogan melakukan semedi atau betarak di tempat-

tempat yang memiliki hubungan langsung dengan Puyang. Ketika akan mengadakan ritual

tersebut, mereka harus menyediakan syarat-syarat yang dibutuhkan. Pelaksanaan ritual pun

harus mempertimbangkan waktu. Waktu yang ideal untuk melakukan ritual tersebut adalah

malam hari. Mereka lebih suka memilih malam Jumat atau malam Jumat Kliwon kerena

dianggap sebagai malam yang sakral. Hal ini disampaikan oleh seorang informan, Philipus

Muzir.

Saya pernah melakukan betarak untuk mencari nomor sebanyak 4-5 kali. Tempat-
tempat yang saya datangi adalah makam Puyang Galuh tinggi dan makam Puyang di
Pungkilan yang paling terkenal. Selama ritual itu, saya membawa makanan, candu
dan kemenyan. Tindakan itu saya lakukan waktu masih muda yang pemikirannya
masih menginginkan yang enak, cepat dan tidak susah. Biasanya saya memilih
melakukannya pada malam Jumat atau malam Jumat Kliwon.

3.7.8 Ritual Kematian

Ritual kematian merupakan bentuk penghormatan yang berikan oleh keluarga

kepada orang yang sudah meninggal. Ritual tersebut menggunakan doa-doa untuk

kehidupan orang yang meninggal di alam lain. Doa-doa tersebut dilakukan menurut
88

kepercayaan dari orang yang mendoakannya. Selain untuk mendoakan orang yang sudah

meninggal, doa-doa tersebut juga menjadi pegingat bagi mereka yang masih hidup bahwa

mereka juga akan meninggal.102

Ritual kematian biasanya berlangsung selama beberapa hari dan tetap dilakukan

dalam durasi tertentu selama beberapa tahun setelahnya. Dalam tradisi masyarakat Katolik

Suku Ogan, peringatan kematian dilakukan pada hari ke 7, hari ke 40, hari ke 100, 1 tahun,

2 tahun dan 1000 hari. Dalam peringatan tersebut, mereka membuat sesaji untuk anggota

keluarga yang telah meninggal. Hal ini disampaikan oleh Agustina Rahmawati.

Waktu peringatan untuk keluarga yang meninggal itu ada 7 hari setelah meninggal,
40 hari, 100 hari bahkan sampai 1 tahun hingga 3 tahun tetap diperingati. Dalam
peringatan tersebut kita masih membuat sesaji.

Masyarakat Katolik Suku Ogan memberikan sesaji kepada leluhur yang telah

meninggal dalam rupa makanan dan minuman. Tujuan dari pemberian sesaji tersebut

adalah untuk mengingatkan kembali kenangan-kenangan leluhur yang sudah meninggal.

Pemberian sesaji tersebut bukan bentuk pemujaan terhadap orang yang sudah mati. Bagi

masyarakat Suku Ogan yang beragama Katolik, yang harus disembah hanyalah Yang

Mahakuasa bukan Puyang atau orang yang sudah mati. Hal ini disampaikan oleh seorang

informan, Sirilus Sarkawi.

102
Ari Abi Aufa, “Memaknai Kematian dalam Upacara Kematian di Jawa”, dalam An-Nas: Jurnal
Humaniora Vol. 1 No. 1 (Februari 2017), hlm. 1-11.
89

Tujuan dari pemberian sesaji adalah untuk mengingatkan kembali kesenangannya


waktu dia masih hidup di dunia. Kesenangan tersebut seperti misalnya dia suka rokok
djisamsoe, dia suka kopi pahit dan sebagainya. Semua itu diberikan dalam sesajen
untuk mengingatkan kembali atau mengenang kembali. Bukan untuk tujuan yang lain
seperti penyembahan. Sebab kalau kita berdoa, kita hanya berdoa kepada Yang
Mahakuasa bukan kepada Puyang. Sebab tindakan menyembah Puyang adalah
perbuatan menduakan Tuhan.

Selain sebagai bentuk pengenangan kembali pada leluhur atau keluarga yang telah

meninggal, Ritual Sesaji yang diberikan dalam peringatan kematian bertujuan untuk

menghormati eksistensi mereka di alam tak kasat mata. Masyarakat Katolik Suku Ogan

memberikan sesaji dengan harapan agar roh leluhur tidak mengganggu hidup manusia

seperti merusak atau membasikan seluruh makanan yang akan dihidangkan kepada tamu

undangan yang datang. Sesaji tersebut biasanya diletakkan di kamar tertentu dan dikasih

lampu teplok atau lilin. Hal ini disampaikan oleh Matias Cekwan Effendi.

Pemberian sesaji tersebut sebagai bentuk penghormatan supaya mereka yang telah
meninggal tidak bergentayangan dan merusak seluruh makanan yang sudah
dipersiapkan. Makanan yang telah dimasak, dikhususkan atau disisihkan dulu
sebelum dimakan oleh orang banyak dan diletakkan di kamar tententu. Biasanya di
samping sesaji tersebut kalau jaman dulu dikasih lampu teplok atau sekarang biasa
dipakai adalah lilin.

4. Pengaruh Ajaran Katolik Terhadap Ritual Sesaji

Ritual Sesaji yang terdapat dalam masyarakat Katolik Suku Ogan merupakan tradisi

leluhur yang sudah ada sebelum masuk dan berkembangnya agama-agama modern. Ritual
90

tersebut merupakan bentuk objektifikasi dari kepercayaan animisme dan dinamisme.

Kepercayaan animisme diungkapkan dalam bentuk pemujaan kepada roh dan kepercayaan

dinamisme diungkapkan dalam bentuk pemujaan pada benda-benda mati yang dipercayai

memiliki kekuatan gaib.103

4.1 Pengaruh dalam Doa-doa Ritual Sesaji

Masuk dan berkembangnya agama Katolik di desa Batuputih pada tahun 1940-an

memberikan warna baru dalam pelaksanaan ritual-ritual adat. Salah satu ritual adat yang

mendapatkan pengaruh dari ajaran Katolik adalah Ritual Sesaji. Pengaruh agama Katolik

terhadap Ritual Sesaji terdapat dalam penggunaan doa-doa yang mengiringinya. Sebelum

pelaku memberikan sesaji kepada Puyang, mereka terlebih dahulu berdoa kepada Yang

Ilahi dengan mendoakan doa-doa menurut agama Katolik. Hal ini disampaikan oleh

seorang informan, Sirilus Sarkawi.

Setelah kita menaruh sesajen tersebut di dalam kamar, kita berdoa dulu menggunakan
doa secara Katolik. Biasanya kita mendoakan doa Bapa Kami, Salam Maria dan
Kemuliaan. Setelah selesai berdoa, kita meninggalkan sesajen tersebut dan keluar
sambil menutup pintu kamar tersebut. Sesaji yang telah kita buat hanya untuk
Puyang, untuk leluhur yang meninggal, untuk ninek atau untuk kajut yang telah
meninggal. Sesaji tersebut bukan untuk Yang Mahakuasa.

103
Putri Fitria, Kamus Sejarah dan Budaya …, hlm. 15-16.
91

Doa-doa Katolik yang terdapat dalam pelaksanaan Ritual Sesaji pada masyarakat

Katolik Suku Ogan di desa Batuputih digunakan dalam pelbagai ritual seperti: ritual

penyembuhan orang sakit, ritual kematian, pembangunan atau renovasi rumah, ritual ziarah

makam dan ritual pernikahan. Sedangkan ritual-ritual yang lain seperti: ritual pendamaian

dengan Puyang atau rekonsiliasi, ritual pembukaan lahan dan ritual mohon ilmu dan

kekayaan menggunakan mantera-mantera yang dikuasai oleh jeme pacakh atau pelaku.

Penggunaan doa-doa Katolik dalam Ritual Sesaji merupakan bentuk pengaruh

ajaran Katolik terhadap praktik ritual tersebut. Doa-doa tersebut dilakukan pada pembuka

dan penutup Ritual Sesaji. Setelah doa pembuka, pelaku ritual akan mengungkapkan

maksud dan tujuan dari ritual tersebut kepada Puyang atau leluhur yang telah meninggal.

Pelaku juga memohon bantuan dari leluhur agar proses acara dapat berjalan dengan lancar.

Hal ini disampaikan oleh Sirilus Sarkawi.

Biasanya kita membukanya dengan doa-doa secara Katolik. Setelah itu atau pada
bagian pertengahan, kita mengutarakan maksud dan tujuan kita terutama berkaitan
dengan keinginan yang hendak dicapai. Setelah itu, kita tutup dengan doa secara
Katolik lagi.

4.2 Pengaruh dalam Pelaksanaan Ritual Sesaji

Pelaksanaan Ritual Sesaji tidak mendapatkan pengaruh yang sangat kuat dari ajaran

Gereja Katolik. Masyarakat Suku Ogan yang beragama Katolik masih melakukan praktik

tersebut. Pengaruh yang sangat besar datang dari perkembangan pola pikir yang semakin
92

maju. Pemikiran generasi baru lebih terarah pada hal-hal yang rasional. Walaupun

demikian, hal tersebut tidak serta merta menghilangkan Ritual Sesaji dalam kehidupan

masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih. Ritual Sesaji mohon kesembuhan bagi

orang sakit menjadi salah satu ritual yang kuat bertahan. Hal ini disampaikan oleh Matias

Cekwan Effendi.

Ketika hal-hal yang rasional tidak mampu menyembuhkan, pengobatan medis tidak
berhasil maka hal-hal yang tidak rasional pun ditempuh. Walaupun setelah
menempuh hal-hal yang tidak rasional dan tidak berhasil, hal itu tidak menjadi
masalah. Bagaimanapun juga hal-hal yang tidak rasional akan tetap dilakukan bila
hal-hal yang rasional ternyata tetap gagal.

Malinowski menyatakan bahwa agama tradisional dengan segala ritual adatnya

merupakan produk kebudayaan masyarakat yang menjadi instrumen bagi pemeluknya

untuk memecahkan dan menyelesaikan persoalan hidup yang dialami. Ia menegaskan

ketika ilmu pengetahuan dan agama tidak mampu memberikan jawaban atas persoalan dan

kebutuhan hidup manusia, maka ia akan kembali pada tradisi leluhur untuk menyelesaikan

permasalahannya. Ritual Sesaji merupakan salah satu ritual adat yang digunakan untuk

menyelesaikan persoalan hidup yang dialami oleh masyarakat Katolik Suku Ogan di desa

Batuputih. Ritual Sesaji dalam penyembuhan orang sakit menjadi pilihan terakhir ketika

ilmu medis dan doa-doa Katolik tidak mampu memberikan kesembuhan.104

Ritual penyembuhan orang sakit dalam masyarakat Katolik Suku Ogan di desa

Batuputih telah berlangsung lama. Mereka melakukan ritual tersebut sejak sebelum

104
Bronislaw Malinowski, The Role of Magic …, hlm. 63.
93

berkembangnya agama Katolik. Bahkan setelah masuk dan berkembangnya agama Katolik

di desa Batuputih, hal tersebut masih tetap dilakukan. Mereka memberikan sesaji dalam

rupa kue yang disebut dengan apam atau apem. Hal ini disampaikan oleh Matias Cekwan

Effendi.

Sebelum dan sesudah berkembangnya agama Katolik di Batuputih, orang-orang


Batuputih sudah mempunyai tradisi bahwa ketika ada seorang keluarga yang
mengalami sakit berat dan tidak bisa disembuhkan secara medis, biasanya jeme
pacakh akan menyarankan untuk membuat sesaji untuk Puyang. Sesaji tersebut
diletakkan dalam kamar dalam bentuk kue apam atau apem.

Secara umum pelaksanaan Ritual Sesaji dalam mayarakat Katolik Suku Ogan di

desa Batuputih tidak mendapatkan pengaruh yang sangat signifikan dari ajaran Gereja

Katolik. Tradisi dan agama berjalan sendiri-sendiri. Pelaksaan tradisi tersebut menjadi

warisan leluhur yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Katolik Suku

Ogan. Ritual Sesaji menjadi ada dan tetap lestari karena adanya masalah dan kebutuhan

yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Hal ini disampaikan oleh Philipus Muzir.

Saya merasa tidak ada pengaruh agama terhadap pelaksanaan Ritual Sesaji. Karena
keduanya berjalan sendiri-sendiri. Ritual Sesaji tersebut merupakan warisan dari
leluhur yang mungkin mendapat pengaruh dari daerah lain. Pelaksanaan ritual
tersebut tergantung pada kepentingan dan masalah yang sedang dihadapi oleh setiap
pribadi. Ritual tersebut juga tidak bisa dihilangkan dari adat-istiadat Suku Ogan.
94

5. Rangkuman

Manusia adalah mahkluk dinamis yang berubah menuju ke arah yang lebih baik.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi faktor pendorong terjadinya

perubahan tersebut. Masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih juga mengalami

perubahan dan perkembangan tersebut. Peristiwa-peristiwa hidup masyarakat Katolik Suku

Ogan yang semula dikaitkan dengan kekuatan gaib yang tidak masuk akal lambat-laun

dapat dijelaskan dengan alasan-alasan yang lebih rasional. Kendati demikian, tidak semua

peristiwa hidup manusia dapat dipahami dan dinalar dengan akal sehat.

Masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih merupakan kelompok masyarakat

yang masih menghargai dan menghidupi warisan leluhurnya. Salah satu warisan leluhur

Suku Ogan yang tetap lestari hingga sekarang adalah Ritual Sesaji. Pelaksanaan Ritual

Sesaji merupakan ungkapan penghargaan atas warisan kebudayaan yang telah membantu

hidup masyarakat. Bentuk penghargaan tersebut juga nyata dalam dinamika hidup sehari-

hari. Paham tentang Puyang dengan segala sesuatu yang berkaitan tentangnya memiliki

pengaruh besar dalam hidup masyarakat Katolik Suku Ogan. Pengaruh tersebut menjadi

alat yang mampu mengontrol kehidupan sosial masyarakat.

Talcott Parsons melalui teori fungsinalisme strukturalnya terutama dalam skema

AGIL-nya telah memberikan gambaran bagaimana masyarakat membentuk dan

melestarikan kebudayaannya. Masyarakat Katolik Suku Ogan mampu mengadaptasikan


95

lingkungannya dan melakukan tindakan nyata atas pengalamannya. Lewat pengalaman

tersebut mereka dapat menentukan tujuan hidup bersama, yaitu hidup damai bersama alam

semesta. Penghargaan terhadap alam semesta yang tercerminkan dalam tata perilaku

masyarakat mampu mengintegrasikan kebudayaan dan melestaraikannya

Peter Ludwig Berger melalui teori konstruksi realitas sosial telah memberikan

gambaran bagaimana kebudayaan dalam masyarakat tetap eksis. Keberlangsungan

kebudayaan dalam masyarakat dapat terjadi karena adanya proses sosialisasi dan

internalisasi dalam generasi penerus. Proses sosialisasi Ritual Sesaji dalam masyarakat

Katolik Suku Ogan tersebut terjadi dalam tindakan pelaku sesaji terutama orangtua yang

menceritakan, mengajak, melibatkan anak-anaknya saat memberikan sesaji kepada leluhur

yang telah meninggal.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat Suku Ogan mengalami perkembangan

kebudayaan. Interaksi antar unsur-unsur kebudayaan menyebabkan terbentuknya

kebudayaan dengan cita rasa baru. Masyarakat Suku Ogan di desa Batuputih yang semula

mayoritas beragama Islam kini sebagian besar telah memeluk dan mengimani agama

Katolik. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat tentunya juga mengubah atau

memberikan wajah baru pada adat-kebiasaan yang ada dalam masyarakat begitu pula

dengan praktek Ritual Sesaji.

Perkembangan agama Katolik di desa Batuputih memiliki pengaruh dalam tata

pelaksanaan Ritual Sesaji. Pengaruh tersebut terdapat dalam penggunaan doa pembuka dan
96

penutup Ritual Sesaji. Penggunaan doa-doa Katolik terdapat dalam beberapa ritual seperti:

ritual penyembuhan orang sakit, ritual kematian, pembangunan atau renovasi rumah, ritual

ziarah makam dan ritual pernikahan. Sedangkan ritual pendamaian atau rekonsiliasi dengan

Puyang, ritual pembukaan lahan dan ritual mohon ilmu atau kekayaan tidak menggunakan

doa-doa secara katolik melainkan mantera-mantera warisan nenek moyang yang dikuasai

oleh jeme pacakh.

Pelaksanaan Ritual Sesaji tidak dilakukan setiap hari melainkan setiap ada momen

tertentu dalam masyarakat dan keluarga. Kendati masyarakat Suku Ogan telah memeluk

agama Katolik, praktek Ritual Sesaji tidak dapat digantikan dengan berbagai aneka upacara

keagamaan agama Katolik. Bahkan praktik Ritual Sesaji tidak dapat ditinggalkan apabila

terdapat anggota keluarga yang sakit berkepanjangan dan saat akan mengadakan pesta

pernikahan atau peringatan anggota keluarga yang telah meninggal. Dengan demikian adat

istiadat atau tradisi Ritual Sesaji dan agama tidak berjalan sendiri-sendiri. Keduanya

berjalan bersama tanpa mengganggu atau menghilangkan satu sama lain. Ritual Sesaji

menjadi ada dan tetap lestari karena adanya masalah dan kebutuhan yang dihadapi oleh

masyarakat setempat.

Anda mungkin juga menyukai