Bab Iii Fix
Bab Iii Fix
BAB III
DI DESA BATUPUTIH
1. Pengantar
Bab III ini berisi analisis data atas hasil wawancara semi berstruktur yang telah
ditranskip. Analisis data merupakan suatu langkah yang penting dalam menentukan hasil
penelitian. Analisis data memuat reduksi atas jawaban yang telah diberikan oleh informan.
Kegiatan analisis data terdiri dari tiga kegiatan yang terjadi secara bersama. Tiga kegiatan
1
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hlm. 339.
38
Penulis mengawali bab III ini dengan latar belakang masyarakat Suku Ogan yang
ada di desa Batuputih. Selanjutnya penulis membahas Ritual Sesaji dari berbagai sudut
pandang, seperti: makna dan fungsi, bentuk kegiatan, unsur-unsur kegiatan dan waktu
pelaksanaan Ritual Sesaji. Penulis akan menganalis seluruh pembahasan dalam bab ini
dengan teori fungsionalisme struktural Talcott Parsons dan teori konstruksi realitas sosial
Pada bagian latar belakang masyarakat Katolik Suku Ogan ini, penulis akan
kepercayaan, sejarah perkembangan agama Katolik dan keberadaan Puyang yang menjadi
sentral Ritual Sesaji. Perkembangan sistem kepercayaan berpuncak pada tahun 1940-an.
manusia melalui proses eksternalisasi. Selain sebagai pembentuk masyarakat, manusia juga
2
Pastor Theodorus Borst SCJ adalah seorang imam religius dari Kongregasi Imam-Imam Hati
Kudus Yesus. Ia tiba di Palembang pada bulan Oktober 1939. Ia adalah pastor Belanda yang bertugas di
antara para migran Jawa di Sumatera. Ia menjadi pastor paroki pertama Gereja Katolik Sang Penebus
Batuputih. [Lihat Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang Gereja Katolik di Sumatera
Selatan: Krisis dan Pemulihan 1942-1952 (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hlm. 155.]
3
Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang …, hlm. 160.
39
dibentuk oleh masyarakat melalui norma-norma yang menjadi pembatas ruang geraknya.
Salah satu pembatas ruang gerak tersebut adalah Ritual Sesaji. Ritual Sesaji yang terdapat
dalam masyarakat Katolik Suku Ogan menjadi aturan sosial yang menuntun tindakan
masyarakat dapat dikaji melalui proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Ketiga
proses tersebut dilakukan oleh leluhur masyarakat Suku Ogan saat “turun gunung” dari
dataran tinggi Basemah dan mencari lahan pemukiman baru. Dalam usaha membangun
pemukiman baru, mereka berinteraksi dengan penduduk yang ada di pedalaman Sumatera
Selatan. Interaksi yang terjadi dengan suku-suku lain mendorong mereka untuk
fisik dan mental. Mereka merasakan bahwa hasil aktivitas tersebut bermanfaat bagi
4
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 4-5.
5
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 8-30; bdk. [Fred. Putra Akhir Wahyanto dan
Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian Pastoran …, hlm. 55.
40
Teori kedua menyatakan bahwa leluhur Suku Ogan berasal dari kelompok Melayu
Muda yang bermigrasi dari Indocina menuju wilayah Asia Tenggara. Awalnya mereka
mereka hidup berdampingan dengan Suku Abung dan Suku Basemah. Perkembangan
Kerajaan Sriwijaya, sekitar abad IX menjadi tekanan bagi ketiga suku tersebut. Akhirnya
mereka berpencar mencari pemukiman baru. Suku Ogan menetap di pinggiran Sungai
Ogan. Mereka tetap menghidupi adat istiadat dan bahasa dari daerah asalnya.6
penyesuaian diri yang dilakukan oleh masyarakat Suku Ogan dalam menghadapi
proses adaptasi. Leluhur masyarakat Suku Ogan melakukan adaptasi dengan menyusuri
daerah pedalaman Sumatera melalui sungai. Mereka menyadari bahwa kehidupan manusia
selalu membutuhkan air. Karena itu mereka membangun pusat peradaban di dekat sungai.
Masyarakat Suku Ogan memilihnya karena sungai menjadi penyedia pokok kehidupan
manusia.7 Pemilihan tempat tinggal di dekat sungai sebagai pusat peradaban oleh
masyarakat Suku Ogan merupakan bentuk adaptasi yang menjadikan lingkungan sesuai
6
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 55.
7
Dedi Irwanto M. Santun, Murni dan Supriyanto, Iliran dan Uluan: Dinamika dan Dikotomi Sejarah
Kultural Palembang (Yogyakarta: Eja Publisher, 2010), hlm. 78-80.
41
dengan kebutuhannya. Pemilihan tersebut terjadi karena adanya dorongan yang memotivasi
yang menimbulkan perasaan takjub, rasa hormat dan terpesona. Dalam kehidupan sehari-
hari, leluhur masyarakat Suku Ogan mengalami perasaan takjub, rasa hormat dan terpesona
pengalaman tersebut, mereka meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam mempunyai
dinamisme. Manifestasi dari sistem kepercayaan ini merujuk pada Roh Yang Mahatinggi,
roh-roh halus yang jumlahnya banyak dan roh para leluhur. Masyarakat Suku Ogan
8
Talcott Parsons, The Social System …, hlm. 4-10.
9
Putri Fitria, Kamus Sejarah dan Budaya Indonesia (Bandung: Nuansa Cendekia, 2014), hlm. 15.
10
Husni Thamrin, Antropologi Melayu …, hlm. 176.
42
Pemahaman tentang benda-benda yang memiliki roh atau jiwa merupakan bentuk
eksternalisasi atas pengalaman masyarakat Suku Ogan terhadap Yang Ilahi. Masyarakat
Suku Ogan memahami bahwa ada kekuatan lain yang ada di luar dirinya. Bagi masyarakat
Suku Ogan, agama memiliki fungsi sebagai pemahaman tentang dunia dan keluasannya
yang tak terbatas. Selain itu, agama juga berfungsi sebagai sarana ritual bagi masyarakat
Suku Ogan yang memungkinkannya untuk berelasi dengan sesuatu yang tak terjangkau
olehnya yang diyakini mampu memberikan jamiman dan keselamatan kepada dirinya. 11
Masehi di Kerajaan Malaka12 mengubah sistem kepercayaan masyarakat Suku Melayu pada
umumnya dan masyarakat Suku Ogan pada khususnya. Ajaran Islam memberikan
penjelasan yang rasional tentang Yang Ilahi. Ada banyak masyarakat Suku Ogan akhirnya
memeluk agama Islam. Kebudayaan Suku Ogan yang sangat kental dengan animisme-
dinamisme akhirnya mendapat pengaruh agama Islam dengan paham monoteisme 13.
Kendati demikian, ada banyak masyarakat Suku Ogan yang mempertahankan paham
11
Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama …, hlm. 23-34.
12
Kerajaan Malaka merupakaan pusat penyebaran agama Islam yang terletak dekat selat Malaka.
Kerajaan ini mengalami masa kejayaan pada abad 14 sampai abad 16 Masehi. [Lihat Husni Thamrin,
Antropologi Melayu …, hlm. 176.]
13
Secara etimologis, kata “Monoteisme” berasal dari bahasa Yunani yaitu “Monos” yang berarti
tunggal dan “Theos” yang berarti Tuhan. Monoteisme adalah sistem kepercayaan atau doktrin yang mengakui
hanya ada satu Tuhan. [Lihat James Hastings, Encyclopaedia of Religion …, hlm. 817; bdk. Mochtar Effendi,
Ensiklopedi Agama dan Filsafat Entri J sampai M (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001), hlm. 462; bdk.
juga Theo Huijibers, Manusia Mencari Allah: Suatu Filsafat Ketuhanan (Yogyakarta: Kanisius, 1977), hlm.
19.]
43
sehari-hari.14
makhluk halus. Mantera tersebut berisi gambaran tentang alam gaib atau makhluk halus
yang memiliki kemampuan luar biasa. Mantera-mantera tersebut hanya dikuasai oleh
pemujaan kepada makhluk halus, ritual pengobatan dan Ritual Sesaji. Kehadiran agama-
agama modern memberikan wajah baru pada mantera. Doa-doa yang bercirikan agama
yang sebelumnya bercirikan Islam berubah menjadi sistem kepercayaan monoteisme yang
bercirikan Katolik. Kendati masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih mempercayai
konsep ketuhanan dalam perspektif agama Katolik, mereka masih mempercayai keberadaan
roh-roh halus seperti Puyang, penunggu, ninek dan hantu. Dengan demikian sistem
14
Husni Thamrin, Antropologi Melayu …, hlm. 176.
15
Husni Thamrin, Antropologi Melayu …, hlm. 177.
44
Batuputih sangat kental dengan nuansa Islam. Masyarakat secara rutin melakukan kegiatan
untuk memberikan pelajaran agama. Sekitar tahun 1940, mereka mengundang seorang kyai
yang berasal dari Saranglang-Ogan Komering Ilir bernama Kyai Muhammad Sa’id 17 untuk
memberikan pelajaran agama kepada mereka. Dalam dakwahnya, sang kyai mengajarkan
bahwa hakim yang akan menentukan kehidupan di akhirat nanti adalah nabinya orang-
orang yang berjubah putih. Selain itu, sang kyai juga menubuatkan bahwa desa Batuputih
Ajaran tentang keselamatan dan nubuat yang disampaikan oleh Kyai Muhammad
Sa’id itu menggelisahkan hati penduduk desa Batuputih. Setelah melakukan musyawarah
desa, beberapa orang di antara mereka bersama kerio 20 pergi ke Palembang menjumpai
16
Secara etimologi, kata “Tadarus” berasal dari bahasa Arab dengan kata dasar “Yadrusu” yang
berarti “mempelajari, meneliti, menelaah, mengkaji dan mengambil pelajaran dari wahyu Allah SWT”.
Penambahan huruf “Ta” di depannya mengubahnya menjadi “tadarasa” atau “yatadarasu”. Dengan demikian
maknanya bertambah menjadi saling belajar atau mempelajari secara lebih mendalam. [Lihat Imam Nawawi,
Menjaga Kemuliaan Al-Qur’an (Bandung : Al-Bayan, 1996), hlm. 101.]
17
Kyai Muhammad Sa’id adalah seorang tokoh agama Islam yang sering berkelana menyebarkan
ajaran Islam kepada orang-orang pribumi Sumatera Selatan. Kyai Muhammad Sa’id sering menyusuri sungai-
sungai di Sumatera Selatan menggunakan biduk (perahu) dalam berdakwah. Ia berasal dari Saranglang-
Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir. [Lihat Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang
…, hlm. 160.]
18
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, bujang merupakan sebutan untuk laki-laki yang belum
menikah atau berumah tangga [Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), hlm. 227.
19
Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang …, hlm. 160.
20
Kerio (kriyo) adalah sebutan bagi kepala dusun Suku Ogan di Batuputih. Orang-orang dari Suku
Ogan yang menjumpai Mgr. Hendricus Mekkelholt SCJ adalah Abdul Haulik (Kerio), Damsik, Idrus Alwi
45
dari Tuan Luyks residen Belanda yang berkedudukan di Baturaja. Setelah pertemuan itu,
pada 16 Maret 1948 Mgr. Hendri mengutus Pastor Theodorus Borst SCJ untuk
Pada tanggal 31 Oktober 1948 terjadi peristiwa yang bersejarah bagi perkembangan Gereja
Katolik di Batuputih. Waktu itu ada 24 Masyarakat Suku Ogan dari 5 keluarga dibaptis
oleh Pastor Theodorus Borst SCJ. Tanggal tersebut dimaknai sebagai hari kelahiran Gereja
Katolik di Paroki Sang Penebus Batuputih. Ibarat emas yang dimurnikan dalam tanur api,
iman umat Katolik di Batuputih semakin dikuatkan melalui berbagai macam tantangan.
Pada saat ini jumlah umat Katolik Suku Ogan terus bertambah seiring berjalannya waktu.23
dan Alisuni. Keempat orang ini disebut sebagai tokoh Gereja Perdana di Batuputih. [Lihat Herman Yosep
Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang …, hlm. 160.]
21
Mgr. Hendricus Mekkelholt SCJ lahir pada tanggal 25 Februari 1896 di Belanda. Pada tanggal 19
Januari 1934, Mgr. Hendricus Mekkelholt SCJ ditunjuk menjadi Prefek Apostolik Bengkulu selama kurun
waktu 1934-1939. Pada tanggal 11 Juli 1939, ia ditunjuk menjadi Vikaris Apostolik Palembang dari tahun
1939-1961. Pada tanggal 3 Januari 1961, ia dipilih menjadi Uskup Keuskupan Palembang dari tahun 1961-
1963. Ia meninggal pada 26 Desember 1969 di tanah kelahirannya. [Lihat Herman Yosep Sunu Endrayanto,
Melintasi Gelombang …, hlm. 33-153.]
22
Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang …, hlm. 155-161; bdk. [Fred. Putra Akhir
Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian Pastoran …, hlm. 36.
23
Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang …, hlm. 160-164; bdk. [Fred. Putra Akhir
Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian Pastoran …, hlm. 15-16.
46
Berdasarkan hasil laporan jumlah umat-suku tahun 2022, jumlah umat Katolik Suku Ogan
oleh masyarakat Suku Ogan yang menjadi asal usul suatu kebudayaan. 25 Masyarakat
Katolik Suku Ogan memahami Puyang dalam dua pengertian yaitu PUYANG dalam arti
luas dan Puyang dalam arti sempit. Dalam arti luas, masyarakat memahami PUYANG
sebagai identitas yang menciptakan dan menguasai alam semesta. Sedangkan dalam arti
sempit Puyang merujuk pada roh-roh para leluhur, tokoh yang membuka daerah dan tokoh
yang memiliki kesaktian. Masyarakat Katolik Suku Ogan meyakini bahwa Puyang
mendiami tempat tertentu seperti makam atau petilasan dari yang bersangkutan.26
Masyarakat Katolik Suku Ogan juga mengenal istilah penunggu, hantu dan ninek.
seperti pohon besar, sungai besar, hutan dan jembatan. Masyarakat memahami hantu
24
Data tersebut diperoleh melalui narasumber yang berkompeten dan tidak dipublikasikan.
Narasumber bernama Fred. Putra Akhir Wahyanto yang bekerja sebagai sekretaris Paroki Sang Penebus
Batuputih.
25
Dedi Irwanto M. Santun, Murni dan Supriyanto, Iliran dan Uluan …, hlm. 81.
26
Dedi Irwanto M. Santun, Murni dan Supriyanto, Iliran dan Uluan …, hlm. 81.
47
sebagai roh yang mendiami suatu tempat dan bersifat jahat. Ninek27 adalah sebutan untuk
penguasa rimba atau harimau. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Katolik Suku
Ogan menggunakan sebutan ninek untuk memanggil kakek. Dalam konteks penguasa
rimba, sebutan ninek merupakan bentuk rasa hormat sekaligus rasa takut terhadap kekuatan
alam semesta.28
Puyang dalam teori konstruksi realitas sosial Peter Ludwig Berger merupakan hasil
eksternalisasi yang dicurahkan oleh leluhur masyarakat Katolik Suku Ogan ke dalam dunia.
Hasil eksternalisasi tersebut diobjektivasi atau digunakan kembali oleh masyarakat Katolik
Suku Ogan. Keberadaan PUYANG, Puyang, penunggu, hantu dan ninek menjadi
Suku Ogan mengalami bahwa kekuatan supernatural tersebut dapat menolong hidupnya dan
Suku Ogan menanamkan sikap sopan-santun. Masyarakat Katolik Suku Ogan meyakini
27
Sebutan ninek yang disematkan pada harimau merupakan bentuk kepercayaan masyarakat Melayu
kuno yang meyakini adanya reinkarnasi. Masyarakat Melayu kuno meyakini bahwa orang yang telah
meninggal dapat berinkernasi menjadi hewan seperti harimau atau buaya. Ketika berhadapan dengan kedua
hewan tersebut mereka tidak berani menyebutnya secara langsung, tetapi mereka akan menyebutnya dengan
nama-nama halus dan terhormat seperti ninek atau nenek (leluhur). [Lihat Dedi Irwanto M. Santun, Murni dan
Supriyanto, Iliran dan Uluan …, hlm. 87.
28
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 15-16.
48
supranatural akan berdampak negatif seperti sakit. Pengalaman tersebut mendorong mereka
Eksistensi Puyang kokoh hingga saat ini karena mendapat legitimasi dan
internalisasi30 dari masyarakat Katolik Suku Ogan. Hal ini senada dengan teori Peter
Ludwig Berger yang menyatakan bahwa hasil eksternalisasi akan menjadi kokoh apabila
normatif. Sikap sopan-santun terhadap Puyang merupakan hasil legitimasi normatif yang
dalam diri generasi penerus sehingga eksistensi Puyang dalam masyarakat katolik suku
Masyarakat Katolik Suku Ogan meyakini bahwa Puyang dan penunggu mempunyai
potensi baik dan buruk. Mereka dapat membuat seseorang menjadi sakit dan
cenderung merasakan ketakutan daripada rasa hormat. Sikap sopan santun menjadi tuntutan
bagi masyarakat apabila berada di daerah kekuasaan mereka. 32 Ketika seseorang mengalami
29
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 8-9.
30
Internalisasi merupakan proses peresapan kembali hasil eksternalisasi yang telah diobjektivasi.
Masyarakat berusaha menginternalisasikan sikap-sikap tersebut dalam diri generasi penerusnya agar mereka
mendapat pengakuan sebagai anggota masyarakat. [Lihat Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm.
4-30; bdk. Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan …, hlm. 177-178.]
31
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 4-30; bdk. Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan …, hlm. 177-178.
49
kemalangan, maka orang tersebut harus mengadakan Ritual Sesaji sebagai upaya
Ungkapan permisi34 sebagai bagian dari sikap sopan santun menjadi tuntutan yang
terbatinkan dalam diri masyarakat Katolik Suku Ogan. Ketika masyarakat melakukan
perburuan di hutan, mereka harus mengucapkan permisi kepada Puyang yang menguasai
hutan tersebut. Tujuannya adalah agar usahanya untuk mencari hewan buruan berhasil.
Selain itu, agar Puyang yang menguasai daerah itu tidak terkejut dan marah. Upaya
permohonan ijin kepada Puyang yang menguasai wilayah hutan adalah bentuk
Masyarakat Katolik Suku Ogan meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi
menimpa manusia baik bencana alam, sakit yang tak tersembuhkan dan kecelakaan lalu
lintas yang terjadi di desa Batuputih adalah bentuk kemarahan Puyang atau keusilan hantu.
Tindakan pelanggaran dan perusakan terhadap situs-situs sakral memiliki dampak negatif
32
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 16-17; bdk. Dedi Irwanto M. Santun, Murni dan Supriyanto, Iliran dan Uluan …, hlm. 86.
33
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 16.
34
Ungkapan permisi merupakan pengungkapan sikap hormat dan sopan santun yang diucapkan oleh
masyarakat Katolik Suku Ogan terhadap Puyang atau penunggu ketika akan melakukan aktivitas di tempat-
tempat yang dianggap keramat dan diyakini terdapat penunggunya. [Lihat [Fred. Putra Akhir Wahyanto dan
Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian Pastoran …, hlm. 16.]
35
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 16-17.
50
bagi pelaku dan masyarakat. Orang-orang yang terlibat harus menebus pelanggaran tersebut
agar tercipta keharmonisan. Hal ini dinyatakan oleh Matias Cekwan Effendi.
Kesadaran dan usaha masyarakat Katolik Suku Ogan dalam mengenal dan
menyeimbangkan dunia yang ditempatinya oleh Peter Ludwig Berger disebut sebagai
proses eksternalisasi. Masyarakat Katolik Suku Ogan menyadari bahwa kehidupan yang ia
berusaha mengenal dan mengekternalisasikan dirinya agar dunianya tidak terasa asing.
Talcott Parsons menyatakan bahwa dalam skema Integrasi terdapat sistem sosial
yang memuat simbol moral. Dalam sistem tersebut terdapat ketentuan normatif yang
mengatur etika, adat, sopan santun dan tata karma. Sikap hormat dan rasa takut terhadap
Puyang dalam masyarakat Katolik Suku Ogan merupakan sistem sosial yang menjadi
simbol moral. Masyarakat Katolik Suku Ogan menyadari bahwa mereka perlu menjalin
36
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 8-9.
51
relasi dengan kekuatan-kekuatan yang melampaui dirinya. Upaya menjalin relasi tersebut
dinyatakan melalui Ritual Sesaji. Ritual Sesaji menjadi simbol keinginan, ucapan syukur,
Suku Ogan juga menanamkan sikap sopan dalam dirinya apabila aktivitasnya
bersinggungan dengan tempat-tempat yang sakral. Dengan demikian sikap-sikap yang lahir
dari pemahaman tentang Yang Ilahi merupakan simbol moral yang menjadikan Ritual
3. Ritual Sesaji
tertentu dalam hidup mereka. Masyarakat Katolik Suku Ogan melakukan Ritual Sesaji
karena memiliki fungsi yang berguna bagi hidupnya. Ritual Sesaji menjadi keharusan
apabila masyarakat Katolik Suku Ogan mengalami masalah yang tak kunjung terselesaikan.
Karena itu, penulis akan memaparkan pengertian ritual, pengertian Sesaji dan pengertian
Ritual Sesaji. Selanjutnya, Penulis akan memaparkan makna dan fungsi Ritual Sesaji,
bentuk kegiatan Ritual Sesaji, unsur-unsur ritual seperti tempat ritual dan benda-benda yang
37
Malcolm Waters, Modern Sociological Theory (London: SAGE Publications, 1994), hlm. 142-151.
52
Pusat kepercayaan keagamaan terletak pada kesadaran dan keyakinan manusia akan
adanya kekuatan gaib yang mengatasi kekuatannya. Keyakinan atas eksistensi kekuatan
gaib tersebut mendorong manusia untuk melakukan ritual tertentu sebagai wujud
penghormatan. Manusia meyakini bahwa kekuatan gaib tersebut dapat dimintai atau
diperintah untuk memenuhi kebutuhan manusia dan mengatasi persoalan hidup manusia
Ritual merupakan tindakan manusia yang memiliki makna yang mendalam dibalik
tindakan itu sendiri. Ritual selalu melibatkan simbol-simbol tertentu seperti bahasa, gerak
dan perilaku. Simbol-simbol tersebut memiliki makna dan arti yang hanya diketahui oleh
orang yang memahami maksud dan tujuan dari tindakan tersebut yakni dukun. Masyarakat
awam hanya bisa mengikuti dan mematuhi petunjuk yang diberikan oleh dukun kepada
mereka tanpa mempertanyakan lebih lanjut mengenai arti logis dari tindakan tersebut.39
manusia pada Yang Ilahi dengan ditandai rasa hormat yang luhur. 40 Menurut Susanne K.
38
Ayatullah Humaeni, Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Magi Banten (Serang: Bantenologi
Press, 2015), hlm. 198.
39
Ayatullah Humaeni et al., Sesajen: Menelusuri Makna dan Akar Tradisi Sesajen Masyarakat
Muslim Banten dan Masyarakat Hindu Bali (Banten: LP2M UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2021),
hlm. 24-28.
40
Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama (Yogyakarta: Pustaka, 2006), hlm. 31.
53
Langer, ritual merupakan ungkapan yang lebih bersifat logis daripada psikologis. Ritual
Masyarakat Indonesia sangat kaya akan ragam upacara adat dan ritual keagamaan
tradisional. Upacara adat dan ritual tersebut mengiringi hampir setiap momen kehidupan
hingga kematian manusia dari yang sederhana hingga yang sangat kompleks. Dalam
pelaksanaan ritual tersebut seringkali disertai dengan pemberian sesaji. Beberapa suku di
Indonesia menjadikan sesaji sebagai syarat utama dalam ritual keagamaan tradisional.
Kekurangan benda atau alat sesaji dapat menyebabkan ritual tidak sempurna dan terjadi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sesaji adalah sesuatu yang disajikan atau
gaib dalam upacara bersaji. Kata bersaji berarti mempersembahkan sajian dalam upacara
41
Susanne K. Langer, Philosophy in a New Key: A Study in the Symbolism of Reason, Rite and Art
(New York: The New American Library, 1948), hlm. 42-63.
42
Ayatullah Humaeni et al., Sesajen: Menelusuri Makna …, hlm. 31-32.
54
makanan dan benda-benda lain yang melambangkan maksud dari komunikasi tersebut.43
Menurut Koentjaraningrat44, sesaji merupakan salah satu sarana upacara yang tidak
bisa ditinggalkan yang dilaksanakan pada saat tertentu dalam kepercayaannya terhadap
makhluk halus di tempat tertentu pula. 45 Sesaji merupakan aktualisasi pikiran, keinginan
dan perasaan pelaku untuk mendekatkan diri pada Yang Ilahi. Sesaji juga merupakan
sarana simbol yang digunakan untuk bernegoisasi secara spiritual dengan makhluk gaib.
Melalui pemberian makan secara simbolis, manusia mengharapkan roh-roh halus tersebut
empat komponen dasar, yaitu tempat pelaksanaan ritual, waktu pelaksanaan, benda-benda
pusaka atau perlengkapan ritual dan orang-orang yang bertindak sebagai pelaku ritual.
43
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ke-2 (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 862.
44
Koentjaraningrat lahir pada 15 Juni 1923 di Yogyakarta dari pasangan R.M. Emawan
Brotokoesoemo dan R.A. Pratitis Tirtotenoyo. Ia kuliah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta jurusan
Sastra Indonesia. Ia meraih gelar doktornya di Universitas Indonesia. Pada tahun 1952 ia menjadi asisten
dosen G.J. Held, profesor antropologi. Berkat hal itu, ia tertarik mempelajari bidang antropologi. Akhirnya ia
mendapat beasiswa untuk belajar di Universitas Yale. Tahun 1956 ia memperoleh gelar magister pada bidang
antropologi. Tahun 1962 ia diangkat menjadi guru besar antropologi Universitas Indonesia. Ia resmi pensiun
pada 15 juni 1988. Ia meninggal dunia di Rawamangun pada 23 maret 1999. [Lihat James J. Fox, “In
Memoriam Professor Koentjaraningrat 15 June 1923 - 23 March 1999”, dalam Journal of the Humanities
and Social Sciences of Southeast Asia (BKI) Vol . 157, No. 2 (2001), hlm. 239-245.]
45
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 349.
46
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Sinkritisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya
Spiritual Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2006), hlm. 245.
55
Dalam pelaksanaan ritual tersebut biasanya diiringi dengan kegiatan berdoa, bersujud,
tidak diganggu oleh makhluk halus tersebut. Wujud sesaji sangat beragam sesuai dengan
dan makanan. Setiap Ritual Sesaji yang dilakukan oleh masyarakat memiliki makna
Ritual Sesaji merupakan aktivitas manusia yang melakukan pemujaan kepada roh-
roh leluhur. Manusia menganggap roh-roh leluhur sebagai dewa yang memiliki kekuatan
yang berpengaruh bagi hidup manusia. Manusia meyakini bahwa orang-orang yang telah
meninggal mampu membantu hidup manusia terutama keluarganya. Manusia juga meyakini
penghormatan dari manusia. Oleh sebab itu, manusia harus menenangkan mereka dengan
memberikan Sesaji.49
47
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), hlm. 240.
48
Ayatullah Humaeni et al., Sesajen: Menelusuri Makna …, hlm. 35-36.
49
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama …, hlm. 79-82.
56
Ritual Sesaji yang terdapat dalam masyarakat merupakan bagian dari tata
peribadatan sistem kepercayaan. Ritual Sesaji tersebut merupakan fenomena religi yang
terdapat di berbagai suku bangsa di Indonesia. Ritual Sesaji yang terdapat dalam
masyarakat terbentuk dari pengalaman hidup manusia yang berhadapan dengan suatu
kekuatan yang melampaui hidupnya. Dalam realitas hidupnya, manusia juga mengalami
masalah-masalah yang sulit untuk dimengerti dengan akal budinya. Manusia meminta
bantuan pada kekuatan yang melampaui dirinya untuk memecahkan masalah tersebut.50
perlu bereksistensi untuk menciptakan keseimbangan dalam dunia dengan segala unsur-
yang ditempatinya. Ritual Sesaji yang terdapat dalam masyarakat merupakan hasil
Ritual Sesaji merupakan bentuk pengungkapan diri dari kepercayaan yang diyakini
oleh penganutnya. Ritual Sesaji tersebut tidak hanya berkaitan dengan kepercayaan
memiliki kekuatan yang dialami secara pribadi oleh orang yang melakukannya. Walaupun
50
Bernard Raho, Sosiologi Agama (Maumere: Ledalero, 2019), hlm. 52-56.
51
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 5-18.
57
pengalaman keagamaan bersifat personal, tetapi tetap memiliki dimensi sosial yang
Dalam teori fungsionalisme terdapat asumsi yang menyatakan bahwa semua unsur
kebudayaan dan sistem sosial dalam masyarakat memiliki manfaat bagi manusia.
Masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih melakukan Ritual Sesaji karena memiliki
manfaat bagi dirinya. Mereka melakukan Ritual Sesaji untuk menjalin komunikasi dengan
suatu kekuatan yang melampaui kekuatan manusia pada umumnya. Selain untuk
membangun relasi, melalui Ritual Sesaji manusia mengusahakan diri agar segala
pekerjaannya dapat berjalan lancar. Ritual Sesaji sebagai hasil kebudayaan manusia
menjadi alat yang mengatur hubungan antara manusia dengan Yang Ilahi, roh-roh leluhur
manusia untuk memecahkan atau menyelesaikan persoalan hidup yang ia alami. Ritual
Sesaji yang terdapat dalam masyarakat Katolik Suku Ogan merupakan salah satu dari
ritual-ritual keagamaan tradisional. Selain sebagai sarana untuk melestarikan tradisi leluhur,
Ritual Sesaji juga berfungsi sebagai upaya pendamaian antara manusia dengan kekuatan
52
Bernard Raho, Sosiologi Agama …, hlm. 42-47.
53
Ayatullah Humaeni et al., Sesajen: Menelusuri Makna …, hlm. 40-44.
58
mengganggu dan mengancam kehidupan manusia. Selain itu, Ritual Sesaji juga merupakan
bentuk ungkapan terimakasih kepada leluhur yang telah menolong dan menjaga hidup
manusia. 54 Dalam hal ini Ritual Sesaji menjadi instrumen bagi manusia untuk memecahkan
Menurut Talcott Parsons, dalam Pemeliharaan pola atau Latensi terdapat sistem
dapat menciptakan dan menopang motivasi setiap individu.56 Kepercayaan tentang Puyang
yang terdapat dalam masyarakat Katolik Suku Ogan merupakan simbol konstitutif yang
menjadi dasar dan inti perilaku keagamaan. Masyarakat Katolik Suku Ogan mempercayai
bahwa leluhur mereka yang telah meninggal dunia atau Puyang masih ada dan hidup
berdampingan dengan manusia. Puyang tersebut hidup di alam yang berbeda dengan
54
Ayatullah Humaeni et al., Sesajen: Menelusuri Makna …, hlm. 44-45; bdk. Suwardi Endraswara,
Agama Jawa: Ajaran, Amalan dan Asal-usul Kejawen (Yogyakarta: Narasi, 2015), hlm. 55.
55
Bronislaw Malinowski, “The Group and the Individual in Functional Analysis”, dalam American
Journal of Sociology Vol 44, No. 6 (1939), hlm. 938-964; bdk. Amri Marzali, “Struktural Fungsionalisme”,
dalam Jurnal Antropologi Indonesia Vol. 30, No. 2 (2006), hlm. 127-137; bdk. juga Bronislaw Malinowski,
The Role of Magic …, hlm. 63.
56
George Ritzer, Teori Sosiologi …, hlm. 410.
59
manusia. Bentuk ekspresi kepercayaan masyarakat Katolik Suku Ogan terhadap Puyang
diwujudkan dalam bentuk Ritual Sesaji. Ungkapan ekspresi tersebut merupakan tujuan
Masyarakat Katolik Suku Ogan menyakini bahwa Puyang memiliki sifat yang sama
dengan manusia. Mereka mempercayai bahwa melalui sesaji kebutuhan makan dan minum
Puyang dapat terpenuhi. Dengan demikian mereka tidak akan mengganggu hidup manusia.
Di Batuputih ini masih ada pemahaman tentang orang yang telah meninggal. Mereka
yang telah meninggal biasanya kami berikan makanan, minuman dan kebutuhan yang
menjadi kesukaannya. Tujuannya adalah agar mereka tidak mengganggu hidup
manusia atau acara yang hendak dilakukan oleh keturunannya.
kekuatan supranatural. Perasaan takut tersebut juga mendorong manusia Ogan untuk
berlaku sopan dan mengucapkan permisi apabila bersinggungan dengan kekuatan tersebut.
Salah satu wujud perdamaian dengan kekuatan supranatural itu adalah Ritual Sesaji. 58
Masyarakat Katolik Suku Ogan membagi Ritual Sesaji menjadi dua jenis kegiatan, yaitu
57
Malcolm Waters, Modern Sociological Theory …, hlm. 142-151.
58
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 16-17.
60
Max Weber59 menyatakan bahwa manusia merupakan aktor yang kreatif. Manusia
bertindak karena adanya kebiasaan, nilai dan norma yang terdapat dalam fakta sosial. 60
Manusia menyatakan tindakan tersebut melalui cara dan sarana yang diyakini mampu untuk
mencapai tujuannya. Masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih melakukan Ritual
Sesaji secara perorangan karena memiliki kepentingan tertentu. Apabila orang yang
memiliki kepentingan tidak mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan maka, jeme
Tidak menutup kemungkinan bahwa Ritual Sesaji ini dapat digantikan oleh jeme pacakh
atau orang yang dianggap tahu dan mampu. Pelaku sesaji dan jeme pacakh melakukan
Ritual Sesaji secara perorangan karena diyakini mampu memfokuskan diri pada tujuan
yang hendak dicapai.61 Hal ini disampaikan seorang informan, Matias Cekwan Effendi.
59
Max Weber lahir di Erfurt Jerman, pada tanggal 21 April 1864. Pemikiran dan psikologisnya
banyak dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang orang tuanya. Ayahnya adalah seorang birokrat yang
menduduki posisi yang relatif penting dan ibunya adalah seorang wanita yang sangat religius. Pada umur 18
tahun Max Weber meninggalkan rumah sementara waktu untuk belajar di Universitas Heidelberg. Pada tahun
1884, ia kembali ke berlin untuk mengambil kuliah di Unversitas Berlin. Di universitas tersebut, ia
mendapatkan gelar doktor dan menjadi pengacara. Max Weber banyak mempelajari agama meskipun secara
pribadi ia tidak terlalu religius. [Lihat George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2011), hlm. 124.]
60
Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization (New York: Free Press, 1964),
hlm. 88; bdk. I.B. Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Grup, 2012), hlm. 79.
61
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda (Jakarta: PT Rajawali Press, 2001), hlm. 126.
61
Dalam Ritual Sesaji yang berkaitan dengan gangguan dari makhluk halus biasanya
jeme pacakh akan menerawang dengan betarak atau semedi satu malam di tempat
mahkluk halus tersebut. Dia akan melakukannya sendirian supaya lebih fokus.
Setelah itu dia akan mendapat wangsit berkaitan dengan penyelesaian masalah yang
sedang dihadapi orang tersebut. Biasanya wangsit tersebut dibisikkan ke jeme pacakh
melalui mimpi.
merupakan tindakan yang dilakukan secara bersama-sama dalam suatu kelompok karena
memiliki tujuan yang sama. Hal tersebut didasari oleh pemikiran dan kepentingan yang
sama. Masyarakat Katolik Suku Ogan melakukan Ritual Sesaji secara bersama-sama karena
mereka memiliki tujuan yang sama. Dalam pelaksanaan Ritual Sesaji yang berbentuk
kelompok, orang yang dianggap tahu dan mampu akan ditunjuk sebagai pemimpin ritual.
Tujuannya adalah agar apa yang menjadi harapan dan tujuan bersama dapat tercapai seperti
acara pesta pernikahan berjalan lancar, proses pengerjaan proyek tidak mengalami
Pada umumnya, orang-orang yang terlibat dalam Ritual Sesaji ini adalah mereka
yang memiliki kepentingan seperti keluarga atau pemilik proyek. Orang yang bertugas
menjadi pemimpin ritual adalah orang yang dianggap tua dan tahu. Apabila Ritual Sesaji ini
62
Francesco Vanni, Agriculture and Public Goods: The Role of Collective Action (New York:
Springer Dordrecht Heidelberg, 2014), hlm. 21-24.
62
dilakukan dalam sebuah keluarga maka, yang menjadi pemimpin ritual adalah kepala
Biasanya orang yang memimpin Ritual Sesaji tersebut adalah jeme pacakh atau orang
yang dituakan dalam kelompok itu.
dan ketertarikan. Manusia mencoba membangun relasi dengan kekuatan tersebut sebagai
bentuk keinginan untuk berdamai melalui ritual-ritual khusus. Pelaksanaan ritual tersebut
membutuhkan tempat khusus, waktu khusus, tata laku yang terstruktur dan berbagai
peralatan ritus yang bersifat sakral. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan cara manusia
untuk mengungkapkan hubungan atau perjumpaan dengan kekuatan yang bersifat khusus
dan istimewa. Hal tersebut merupakan hasil refleksi para leluhur terhadap kekuatan yang
mengatasi kekuatannya.63
63
Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual …, hlm. 31.
63
eksternalisasi yang telah dicurahkan oleh manusia. Objektivasi tersebut dapat berupa fisik,
mental, ide, gagasan, benda dan lain sebagainya. Penentuan waktu dan tempat tertentu
agama terdapat tempat-tempat yang dianggap sakral. Penganut agama tertentu memisahkan
tempat-tempat tersebut dari dunia profan. Dunia sakral berkaitan dengan Yang Ilahi, roh-
roh leluhur dan makhluk-makhluk gaib. Pada tempat yang disakralkan tersebut, manusia
harus menjaga sikapnya dengan menunjukkan sikap kemurnian dan sikap hormat. Manusia
meyakini bahwa di tempat yang disakralkan tersebut bersemayam Yang Ilahi, dewa dan
roh-roh leluhur. Pemilihan waktu dan tempat merupakan hasil pengalaman yang didapatkan
Pelaku Ritual Sesaji meyakini bahwa tempat-tempat tersebut sangat dekat dengan
objek yang diberikan sesaji. Pelaku Ritual Sesaji biasanya memilih tempat yang berkaitan
erat dengan leluhur ketika masih hidup. Ketika ada keluarga yang akan menikah,
membangun rumah dan ada keluarga yang meninggal, pelaksanaan ritual dilakukan di
dalam kamar tidur milik keluarga yang bersangkutan. Hal ini ditegaskan oleh seorang
Sesaji itu biasanya ditaruh di dalam kamar atau di suatu tempat yang aman. Supaya
tidak diganggu oleh anak-anak dan oleh orang lain. Biasanya kalau kita akan
64
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 8-18.
65
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama …, hlm. 106-110.
64
modern tidak mampu memberikan jawaban atas persoalan dan kebutuhan hidup manusia,
maka ia akan berusaha mencari jawaban dengan kembali pada tradisi leluhur. Pernyataan
tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat Katolik Suku Ogan ketika
menghadapi masalah yang tidak dapat diselesaikan secara rasional. Mereka menyakini
bahwa sakit yang berkepanjangan dan tidak tidak dapat disembuhkan melalui pengobatan
medis merupakan gangguan dari roh-roh jahat dan hanya dapat disembuhkan melalui Ritual
Sesaji.66
Ritual Sesaji yang bertujuan untuk berekonsiliasi dengan Puyang dan memohon
memiliki kaitan langsung dengan Puyang atau roh halus tersebut, seperti makam atau
petilasan Puyang, batu besar, persimpangan jalan dan pohon besar. Seorang informan
mengatakan:
Ketika pembangunan menara tower telepon dekat pom bensin yang berada di awal
masuk desa Batuputih. Alat berat yang digunakan untuk bekerja tiba-tiba rusak.
Daerah atau tanah tempat pembangunan itu adalah tanah Puyang atau leluhur Suku
Ogan yang diyakini sebagai pendiri desa. Jalan yang ada disitu selalu rusak.
Pemahaman orang Batuputih, Puyang yang ada di tempat itu marah karena tanahnya
66
Bronislaw Malinowski, The Role of Magic …, hlm. 63
65
diambil. Pihak kontraktor itu akhirnya memotong kambing hitam di kuburan Puyang
tersebut.
Ritual Sesaji untuk pembukaan ladang baru atau mengelola ladang menjadi perlu
diadakan apabila selama proses pengolahan lahan sering mengalami gangguan dari hal-hal
yang tidak rasional. Contohnya: gagal panen yang terus-menerus atau kecelakaan kerja
yang aneh. Dalam hal ini pelaksanaan Ritual Sesaji harus dilaksanakan di ladang yang
berkaitan. Tujuan dari Ritual Sesaji ini adalah agar orang-orang yang mengerjakan tanah
atau ladang tersebut tidak diganggu lagi oleh roh-roh halus yang menunggu ladang. Ritual
Sesaji tersebut biasanya melibatkan jeme pacakh. Hal ini disampaikan oleh seorang
Apabila tanah tersebut setelah dilihat ternyata tidak sehat atau ada penunggunya,
biasanya disuruh memotong ayam hitam atau ayam putih kuning. Ayam tersebut
dipanggang dan disajenkan kepada penunggu yang ada di ladang tersebut. Hal
tersebut harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan disertai dengan bacaan-bacaan
atau jampi-jampi supaya orang yang mengerjakan tanah itu tidak diganggu lagi.
Sedangkan Ritual Sesaji yang bertujuan untuk memohon ilmu kesaktian atau
mencari kekayaan dengan cara instan biasanya dilaksanakan pada tempat-tempat keramat
seperti makam atau petilasan Puyang. Masyarakat Suku Ogan meyakini bahwa tempat
tersebut memiliki aura dan kekuatan yang besar. Hal ini disampaikan oleh seorang
Waktu masih gencar-gencarnya nomor-nomor atau togel itu, banyak orang yang
betarak di tempat Puyang. Seperti di makam Puyang Temenggung itu banyak yang
66
berziarah di situ sehari semalam. Ada juga yang betarak di makam Puyang Galuh
Tinggi. Hanya saja kita tidak tahu apakah berhasil atau tidak.
bagian yang tidak terpisahkan dari hidup manusia. Setiap perkataan dan perbuatannya
merupakan kumpulan simbol yang bermakna. Hampir tidak ada masyarakat yang hidup
tanpa simbol. Simbol-simbol tersebut dipahami dan dimengerti secara bersama dalam
kelompok. Simbol-simbol yang memiliki makna dan fungsi menjadi pemersatu kelompok
atau komunitas.69 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, simbol berarti tanda yang
menyatakan hal atau mengandung maksud tertentu. 70 Simbol juga dapat dipahami sebagai
peristiwa atau objek yang menunjuk pada sesuatu. Simbol memiliki tiga bagian yang tidak
67
Mircea Eliade lahir pada 13 Maret 1907 di Bukarest, Rumania. Ia pernah mengeyam pendidikan
filsafat. Pada tahun 1928, ia melanjutkan studinya di Universitas Calcutta, India dibawah bimbingan
Dasgupta. Pada tahun 1933, ia meraih gelar akademik di bidang filsafat dengan desertasi tentang Yoga. Ia
memiliki ketertarikan pada bidang sejarah agama-agama dan fenomenologi agama. Mircea Eliade wafat pada
22 April 1986. [Lihat Dibyasuharda, Dimensi Metafisik Dalam Simbol (Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada, 1990), hlm. 159-160.]
68
Mircea Eliade, The Myth of the Eternal Return: Or, Cosmos and History (New York: Princeton
University Press, 1974), hlm. 112-115; bdk. P.S. Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade
(Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 64-70.
69
Ayatullah Humaeni et al., Sesajen: Menelusuri Makna …, hlm. 47-48.
70
Anton Moeliono et al., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 840.
67
terpisahkan yaitu simbol itu sendiri, maksud atau rujukan simbol dan hubungan antara
simbol dengan rujukan. Rujukan simbol tersebut biasanya lebih dari satu.71
melakukan tindakan yang sesuai dengan harapannya. Masyarakat Katolik Suku Ogan
melakukan Ritual Sesaji menggunakan benda-benda atau alat-alat yang menjadi simbol dan
memiliki maksud tujuan tertentu. Benda-benda tersebut digunakan untuk memanggil dan
berkomunikasi dengan Yang Ilahi atau dewa-dewi atau roh leluhur. Benda-benda tersebut
dapat berupa kemenyan, bunga, makanan dan minuman. Tindakan pelaku sesaji yang
manusia atas harapan dan tujuan yang hendak diraih. Tindakan penyesuaian tersebut
Peter Ludwig Berger menyatakan bahwa proses objektivasi disebut juga sebagai
proses transformasi. Dalam proses tersebut manusia memiliki kehendak untuk melestarikan
kebudayaannya karena adanya fungsi orientasi. Fungsi orientasi dalam Ritual Sesaji berupa
keyakinan bahwa benda-benda dan sarana-sarana tersebut memiliki makna sakral yang
itu, mereka juga meyakini bahwa melalui pemberian sesaji mereka dapat mengalami
71
James P. Spradley, Metode Etnografi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. 121.
72
Talcott Parsons, The Social System …, hlm. 4-10; bdk. Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi
Agama (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 63.
68
manusia menyerap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan menjadikan makna-makna
untuk mentransformasikan kebudayaan yang ada dalam masyarakat menjadi bagian dari
hidupnya.73
Perlengkapan sesaji yang terdapat dalam masyarakat Katolik Suku Ogan merupakan
hasil objektivasi yang dilakukan oleh para leluhur Suku Ogan. Perlengkapan tersebut
merupakan sarana pokok dalam sebuah ritual. Perlengkapan Sesaji yang terdapat dalam
masyarakat Katolik Suku Ogan berupa kue apam (apem), kopi, teh, lauk-pauk, nasi, rokok,
perlengkapan sirih, kemenyan, candu dan bunga-bungaan. Hal ini disampaikan oleh
Dalam sesajen tersebut ada makanan, nasi dengan lauknya, ada minuman air putih,
minuman kopi atau teh, rokok, air dan kembang. Bagi leluhur perempuan yang
nginang dibuatkan ileim. Dalam ileim terdapat sirih, gambir, peputihnya atau
kapurnya, buah pinang yang telah di potong kecil-kecil dan dilipat dengan daun sirih.
Jika ada keluarga yang sakit dan tidak sembuh-sembuh, kita buatkan sesajen berupa
apem.
Menurut Peter Ludwig Berger, kebudayaan dapat bertahan lama apabila terdadap
proses sosialisasi. Pelaksanaan Ritual Sesaji dengan segala perlengkapan ritual yang
dilakukan masyarakat Katolik Suku Ogan merupakan hasil sosialisasi dan hasil belajar
73
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 15-16; Ayatullah Humaeni et al., Sesajen:
Menelusuri Makna dan Akar Tradisi Sesajen …, hlm. 53-54.
69
yang diterima oleh generasi baru dari generasi sebelumnya. Proses sosialisasi bukan hanya
sekadar proses belajar tetapi juga proses pembentukan diri. Generasi baru melihat dan
mempelajari segala sesuatu yang dilakukan oleh para leluhurnya. Segala sesuatu yang telah
didapatkan dan dipelajari dari generasi sebelumnya menjadi dasar bagi generasi baru untuk
melestarikan warisan leluhur dalam memecahkan persoalan hidup yang dihadapinya. 74 Hal
Saya mendapat pengetahuan tentang sesaji tersebut dari leluhur saya dan melalui
pengalaman langsung sewaktu melihat mereka mengadakan Ritual Sesaji tersebut.
Jadi kalau ada masalah atau akan mengadakan hajatan kita harus membuat sesajen.
Saya mengatahui hal tersebut bukan kerena diajari oleh mereka tetapi karena saya
melihat dan mengalaminya langsung.
Manusia menyadari bahwa ada perbedaan antara sela-sela dari waktu suci dan
waktu biasa. Waktu suci menjadi tempat bagi manusia untuk melaksanakan kegiatan ritual
keagamaan dan kesempatan untuk mencari berkah. Ketika waktu suci tiba, manusia akan
lebih menghayatinya dengan menjaga sikap, perilaku, perkataan, dan perbuatan agar tidak
menodai waktu suci tersebut sehingga mereka tidak kehilangan berkah. Sedangkan waktu
biasa menjadi tempat berlangsungnya peristiwa-peristiwa hidup tanpa arti religious yang
khusus. Pada waktu biasa ini, mereka akan beraktivitas seperti biasa dalam hidup sehari-
74
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 16-18.
70
hari tanpa adanya tuntutan lebih untuk menjaga sikap dan perilaku. Kedua waktu tersebut
Secara etimologis kata ziarah berasal dari bahasa Arab dari kata dasar zara, yazuru
dan ziyarah yang berarti berkunjung, menengok atau melewati. 76 Menurut Kamus Besar
mulia dan sakral.77 Kata makam juga berasal dari bahasa Arab yang berarti kubur atau
tempat pemakaman. Ziarah makam berarti kegiatan manusia yang mengunjungi tempat
pemakaman dengan niat mendoakan para leluhur yang telah meninggal dan dikuburkan di
tempat tersebut.78
Kaum fungsionalisme memahami salah satu fungsi agama sebagai sarana ritual bagi
manusia untuk berelasi dengan kekuatan lain yang dapat memberikan keselamatan. Salah
satu ritual agama tradisional adalah ziarah makam. Ziarah makam merupakan tindakan
75
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama …, hlm. 111-114.
76
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), hlm.
592.
77
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-3 (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), hlm. 1321.
78
Ahmad Warson Munawir, Tuntunan Praktis Ziarah Kubur (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010),
hlm. 33.
71
manusia yang disengaja dan dikehendaki dengan maksud dan tujuan tertentu. Dalam
melakukan ziarah makam, biasanya terdapat bacaan-bacaan, doa-doa tertentu yang sesuai
dengan keingingan dan tradisi yang berlaku di tempat ziarah tersebut. Masyarakat Katolik
Suku Ogan meyakini bahwa dengan melakukan ziarah makam saat ada acara-acara tertentu
mereka akan mendapatkan jaminan dan keselamatan seperti kelancaran dalam acara yang
hendak dilaksanakan.79
Masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih melakukan ziarah makam pada
saat-saat tertentu seperti menjelang hari raya besar dalam agama Katolik seperti Natal dan
Paskah, menjelang peringatan ke sekian hari dari keluarga yang telah meninggal, saat ada
keluarga yang sakit berkepanjangan dan tak tersembuhkan, saat akan membangun rumah,
dan menjelang pesta pernikahan. Ziarah makam menjadi keharusan bagi masyarakat
Katolik Suku Ogan apabila akan mengadakan sedekahan80. Hal tersebut disampaikan oleh
Kalau kita hendak mengadakan pernikahan atau sedekahan tentu kita akan memasak
makanan yang banyak. Kita harus mengirim sesaji kepada arwah-arwah Puyang.
Kami memahami bahwa jika kami tidak memberikan sesaji tersebut maka makanan
tersebut akan dibasikannya. Sebelum melakukan acara masak-masak, kita harus
melakukan ziarah ke makam keluarga atau leluhur dahulu. Supaya kita tidak
diganggu oleh arwah-arwah tersebut.
79
Yunasril Ali, Membersihkan Tasawuf: dari Syirik, Bid’ah dan Khufarat (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1992), hlm. 241.
80
Sedekah adalah pemberian sesuatu kepada orang lain dalam rupa makanan. Sedekah biasa
dilakukan untuk menghormati atau mendoakan orang yang meninggal dan dalam masyarakat Katolik Suku
Ogan di desa Batuputih sedekah diberikan pada saat pernikahan. [Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,
Kamus Besar Bahasa …, hlm. 1008.]
72
Selama kegiatan ziarah makam, masyarakat Katolik Suku Ogan harus membawa
bahan-bahan atau alat-alat yang diperlukan seperti sapu lidi, kembang dan air. Mereka
merupakan bentuk harapan agar acara yang hendak dilakukan dapat berjalan lancar dan
bersih dari gangguan atau permasalahan yang sedang mereka hadapi dapat mereka
selesaikan. Kembang atau bunga melambangkan harapan mereka agar nama leluhur tetap
harum dan mereka tidak mengganggu hidup keluarganya. Air melambangkan kehidupan
Yang pertama itu kita harus membawa sapu, air dan kembang. Sapu digunakan untuk
membersihkan makam, air dapat dikatakan untuk minum mereka, dan kembang itu
untuk menghormati supaya nama mereka tetap wangi. Tindakan membersihkan
makam merupakan harapan supaya situasi jalannya sedekahan aman dan lancar.
Selain itu, ada beberapa masyarakat Katolik Suku Ogan yang melakukan ziarah
makam untuk mencari kesaktian diri dan mencari kekayaan secara instan seperti mencari
togel (toto gelap). Mereka melakukan ziarah makam tersebut di tempat-tempat yang
diyakini sebagai makam dari Puyang. Hal ini disampaikan oleh seorang informan, Philipus
Muzir.
Saya bukan hanya mendengar ada orang yang melakukan itu, saya sendiri pun terlibat
dan pernah malakukannya. Saya pernah melakukannya sampai 4 atau 5 kali. Tempat
yang pernah saya datangi adalah makam Puyang Galuh Tinggi dan Puyang di
Pungkilan yang paling terkenal. Bahan-bahan yang dibawa adalah makanan, candu
dan kemenyan.
73
3.7.2 Perkawinan
1 Pasal 1, perkawinan adalah ikatan batin antara pria dan wanita sebagai suami-istri yang
bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal yang berlandaskan pada
Ketuhanan Yang Maha Esa.81 Dalam perkawinan, pria dan wanita membentuk ikatan legal
yang terjalin dalam jangka waktu yang panjang dan melibatkan berbagai aspek kehidupan
manusia seperti nilai kebudayaan, agama, hukum, tradisi, ekonomi dan lain sebagainya.
Perbedaan kebudayaan pada setiap suku menyebabkan proses perkawinan menjadi berbeda-
Talcott Parsons menyatakan bahwa dalam skema Latensi terdapat sistem yang
menyediakan dan memelihara pola-pola kebudayaan agar tetap eksis. Dalam sistem
tersebut terdapat simbol konstitutif yang terpola, teratur dan terlembagakan. Perkawinan
merupakan proses mengikat seorang pria dengan seorang wanita menjadi suami-istri untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Masyarakat Katolik Suku Ogan memiliki
adat perkawinan yang dikenal dengan istilah tandang behulang. Ngunduh mantu
81
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (Bandung: Citra Umbara, 2012), hlm. 2.
82
Kustini (ed.), Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan
Tidak Tercatat (Jakarta: Kementerian Agama RI-Badan Litbang dan Diklat, 2013), hlm. 3; bdk. Jamhari
Makruf dan Asep Saepudin Jahar, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perudang-undangan
Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional (Jakarta: Kencana Prenadamadia Group, 2013), hlm. 24.
74
perempuan apabila telah memenuhi degadaian atau persyaratan seperti mas kawin yang
berupa wajik atau pelak. Sistem perkawinan yang terdapat dalam Suku Ogan di desa
Proses perkawinan atau ngunduh mantu dalam tradisi masyarakat Katolik Suku
Ogan harus melewati beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut antara lain: mintak
status, masati rasan, tandang malam, ngantatkan seserahan, nunggalkan ngesanak atau
pertemuan kerabat, sekhuan pangkal, ngukus atau masak-memasak, payuan atau sedekahan
dan sekhuan pelebar atau pembubaran panitia. Tahapan-tahapan tersebut merupakan aturan
Ritual Sesaji dalam proses perkawinan atau ngunduh mantu dalam masyarakat
Katolik Suku Ogan dimulai setelah tahapan ngukus atau masak-memasak dan sebelum
tahapan payuan atau sedekahan. Keluarga yang hendak menikahkan anak biasanya
meletakkan sesaji di tempat yang aman dari jangkauan anak-anak dan binatang seperti
kamar tidur. Sesaji yang diletakkan di dalam kamar tersebut diperuntukkan bagi Puyang
83
Eksogami adalah prinsip perkawinan yang mengharuskan seseorang mencari jodoh di luar
lingkungan sosialnya, seperti di luar lingkungan kerabat, golongan sosial dan ras. [Lihat Agung Tri Haryanta
dan Eko Sujatmiko, Kamus Sosiologi …, hlm. 7.]
84
Talcott Parsons and Edward A. Shills (ed.), Toward a General Theory …, hlm. 55; bdk.
Pemberkatan dan Peresmian Pastoran …, hlm. 21-23.
85
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 21-23.
75
atau kerabat yang sudah meninggal. Hal ini disampaikan oleh seorang informan, Sirilus
Sarkawi.
Sesaji yang telah dibuat tersebut ditujukan untuk Puyang dan untuk leluhur yang
sudah meninggal seperti ninek atau kajut dan diletakkan di dalam kamar. Sesaji
tersebut tidak ditujukan kepada Yang Mahakuasa.
Talcott Parsons dalam skema Goal Attainment atau Pencapaian Tujuan menjelaskan
bahwa dalam suatu masyarakat terdapat suatu sistem yang memiliki tujuan yang jelas.
memaksimalkan sumber daya yang ada demi mencapai tujuan tersebut. Masyarakat Katolik
Suku Ogan di desa Batuputih melakukan Ritual Sesaji dalam pesta perkawinan dengan
tujuan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saat berlangsungnya acara yang
disebabkan oleh leluhur mereka. Tujuan tersebut menjadi dorongan dan motivasi bagi
masyarakat Katolik Suku Ogan untuk memberikan sesaji kepada leluhurnya saat akan
Ritual Sesaji yang diberikan kepada leluhur yang sudah meninggal atau Puyang
dalam pesta pernikahan merupakan bentuk pengakuan masyarakat Katolik Suku Ogan pada
eksistensi Puyang. Mereka melakukan Ritual Sesaji tersebut untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan saat berlangsungnya acara. Hal ini ditegaskan oleh seorang informan,
86
Talcott Parsons, The Social System …, hlm. 17; bdk. Talcott Parsons and Edward A. Shills (ed.),
Toward a General Theory …, hlm. 55.
76
Tujuan memberikan sesaji saat akan mengadakan pesta pernikahan adalah supaya
acara pernikahan berjalan lancar sampai selesai dan tidak mengalami gangguan.
Gangguan tersebut seperti tiba-tiba seluruh makanan menjadi basi. Kami
mempercayai bahwa makanan menjadi cepat basi disebabkan karena para leluhur atau
saudara-saudara keluarga yang sudah meninggal tidak diberikan sesaji.
untuk sajian yang akan diberikan kepada leluhur. Bahan-bahan tersebut berupa makanan
dan minuman yang juga akan disajikan kepada tamu undangan yang datang. Apabila
leluhur yang telah meninggal tersebut pada masa hidupnya memiliki kebiasaan nginang
maka dalam perlengkapan sesaji diberikan perlengkapan nginang atau ileim, jika menyukai
kopi pahit maka diberikan kopi pahit juga. Hal ini disampaikan oleh informan, Sirilus
Sarkawi.
Dalam sesaji itu ada nasi, ada lauknya, ada minumannya seperti kopi atau teh, ada
rokok jika leluhurnya merokok. Jika leluhurnya perempuan yang biasa nginang, maka
harus disertakan juga yang namanya ileim.
Rumah merupakan bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal manusia dalam
Sosialisasi tersebut berupa norma-norma dan adat kebiasaan yang berlaku dalam suatu
77
masyarakat.87 Selain itu, rumah juga menjadi pusat kehidupan berbudaya dan pembentukan
tetap terjamin seperti kepentingan untuk bertumbuh, kemungkinan untuk bergaul dengan
tersebut berupa kayu, pasir, batu bata, semen, atap dan lain sebagainya. Dalam proses
bahan-bahan yang akan digunakan sebagai sesaji. Mereka membuat sesaji tersebut untuk
memohon kepada Puyang agar proses pembangunan dapat berjalan lancar dan tidak
mengalami banyak kekurangan material. Hal ini disampaikan oleh seorang informan,
Sirilus Sarkawi.
Selain sesaji untuk mohon keselamatan dan kelancaran dalam proses pembangunan
rumah, masyarakat Katolik Suku Ogan juga menyediakan sesaji tertentu yang
87
Eko Budiharjo, Sejumlah Masalah Permukiman Kota (Bandung: Alumni, 1998), hlm. 148.
88
Juhana, Arsitektur dalam Kehidupan Masyarakat (Semarang: Bendera, 2000), hlm. 31.
89
Frick, Heinz dan Tri Hesti, Arsitektur Ekologis (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 1.
78
menyimbolkan harapan pemilik rumah. Bahan-bahan sesaji tersebut berupa kendi, air, uang
dan kelapa yang bertunas. Air dan uang tersebut dimasukkan ke dalam kendi dan
digantungkan bersama kelapa yang bertunas pada kerangka atap bangunan. Setiap bahan-
bahan tersebut menggambarkan harapan dari pemilik rumah. Hal ini disampaikan oleh
Secara umum yang sesaji yang dibutuhkan dalam proses pembangunan rumah adalah
kelapa yang baru tumbuh, kendi, air dan uang. Air dan uang tersebut biasanya
dimasukkan ke dalam kendi dan digantungkan pada kerangka rumah bersama kelapa
yang baru tumbuh itu. Uang melambangkan kemakmuran, air melambangkan
kehidupan dan kelapa yang baru tumbuh itu melambangkan kemakmuran yang akan
terus tumbuh dan berkembang.
Sakit dan penyakit merupakan dua hal yang berbeda. Sakit merupakan kondisi yang
tidak normal dalam diri seseorang sehingga ia mengalami gangguan fisik, emosional,
intelektual, sosial dan perkembangan. Sakit juga merupakan keadaan yang tidak
merupakan istilah medis yang menggambarkan adanya gangguan dalam fungsi tubuh
seseorang yang menyebabkan berkurangnya kemampuan kapasitas diri. Hal ini disebabkan
oleh reaksi biologis seseorang terhadap suatu organisme, benda asing atau luka. Reaksi
biologis tersebut merupakan fenomena objektif yang ditandai oleh perubahan fungsi-fungsi
79
tubuh. Sedangkan sakit merupakan fenomena subjektif yang ditandai dengan perasaan tidak
nyaman.90
Pengertian penyakit dalam dunia medis masa kini berbeda dengan pengertian
penyakit yang dipahami oleh masyarakat. Dunia medis memahami penyakit sebagai
gangguan pada fungsi tubuh sehingga tidak dapat melakukan fungsinya dengan baik. Bagi
menjalankan peran sosialnya secara wajar. Penyakit tersebut disebabkan oleh cara dan gaya
Penyebab penyakit dapat dibagi menjadi dua, yaitu penyebab naturalistik dan
dari intervensi suatu agen aktif yang berupa makhluk tetapi bukan manusia dan manusia
yang memiliki kekuatan tertentu. Makhluk bukan manusia tersebut berupa hantu, roh,
leluhur yang sudah meninggal dan roh jahat. Sedangkan manusia yang memiliki kekuatan
tertentu tersebut adalah tukang sihir dan tukang tenung atau santet.92
90
Irwan, Etika dan Perilaku Kesehatan (Yogyakarta: Absolute Media, 2017), hlm. 26-29.
91
Irwan, Etika dan Perilaku …, hlm. 35.
92
Irwan, Etika dan Perilaku …, hlm. 35.
80
Proses adaptasi dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh sistem tindakan. Sistem
tindakan adalah motivasi yang mengarahkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang
berguna bagi hidupnya. Ritual Sesaji yang diberikan saat ada anggota keluarga yang sakit
parah merupakan bagian dari sistem tindakan. Tindakan tersebut didorong oleh situasi sakit
berkepanjangan yang diderita oleh anggota masyarakat Katolik Suku Ogan. Mereka
meyakini bahwa sakit yang berkepanjangan disebabkan oleh makhluk halus. Karena itu
penyembuhan dari sakit tersebut. Ritual Sesaji tersebut menjadi sarana komunikasi dan
perkembangan jaman. Ketika ada anggota keluarga yang sakit, mereka terlebih dahulu
rumah sakit, maka pengobatan tradisional ditinggalkan. Akan tetapi ketika si sakit tidak
menjadi jalan untuk memperoleh kesembuhan dari sakitnya. Hal ini ditegaskan oleh
Saya sendiri masih mengalami tentang pemberian sesajen untuk orang sakit yang sulit
disembuhkan. Untuk sekarang ini kalau ada yang sakit, masyarakat sudah
93
Talcott Parsons, The Social System …, hlm. 4-10.
81
mempercayai bahwa ilmu medis dapat mengatasi hal-hal seperti itu. Ketika segala
macam usaha para medis itu tidak ada hasilnya, masih ada masyarakat yang
mengatakan bahwa itu penyakit kiriman. Ketika ilmu medis tidak dapat menolong
orang yang sakit, mereka akan melakukan hal-hal yang tidak rasional dengan
membuat sesajen dengan bantuan jeme pacakh.
Masyarakat Katolik Suku Ogan memberikan sesajen berupa kue apem atau apam
untuk anggota keluarga yang sakit parah. Sesaji apem juga diberikan kepada anggota
keluarga yang mengalami sakit akibat gangguan roh-roh jahat. Jika si sakit tidak kunjung
sembuh, mereka akan menjumpai jeme pacakh untuk mencari sebab tentang penyakit
Biasanya setelah kita berikan sesaji dan si sakit tidak sembuh-sembuh, kita dapat
mendatangi langsung dan bertanya kepada orang pintar tentang mengapa si sakit tidak
sembuh-sembuh. Apabila tidak ada lagi jalan lain, maka kita datang ke orang pintar.
Kita pergi ke jeme pacakh untuk mengetahui penyebab penyakitnya. Apakah sakitnya
disebabkan oleh penunggu di kebun atau dari mana atau si sakit memiliki masalah.
dibangunnya. Ritual Sesaji yang digunakan untuk ritual pendamaian dengan Puyang yang
marah merupakan usaha Manusia Ogan untuk menciptakan keseimbangan dalam dunianya.
Ritual Sesaji merupakan eksternalisasi manusia untuk membangun dunia yang sesuai
Ritual pendamaian merupakan salah satu ritual adat masyarakat Katolik Suku Ogan
untuk memulihkan hubungan dengan Puyang yang terganggu oleh ulah manusia.
Masyarakat melakukannya karena merasa ada gangguan dari kekuatan gaib. Gangguan
tersebut dapat berupa sakit, alat yang digunakan untuk bekerja menjadi rusak dan pekerjaan
yang seharusnya mudah menjadi sulit. Hal ini disampaikan oleh seorang informan, Sirilus
Sarkawi.
Sejauh yang saya ketahui tentang pembangunan tower telepon yang berada di sekitar
makam Puyang Galuh Tinggi itu, alat berat yang digunakan untuk membersihkan
94
Nur Fitriana, Fenomenologi Agama: Suatu Pengantar (Palembang: NoerFikri, 2012), hlm. 16-17.
95
Agus Bustanuddin, Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 97.
96
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 5-6.
83
lokasi tower tiba-tiba macet dan tidak bisa jalan. Operator alat berat atau sopirnya
langsung sakit. Apakah akhirnya orang itu meninggal atau tidak saya tidak tahu, tapi
yang jelas dia langsung sakit dan pekerjaan tersebut langsung diberhentikan. Orang
Batuputih menilai hal itu disebabkan oleh Puyang yang tidak suka dengan kehadiran
mereka.
Sesaji di tempat kejadian. Mereka akan meminta bantuan dari jeme pacakh untuk melihat
dan berkomunikasi dengan penunggu tak kasat mata di lokasi tersebut. Setelah itu, jeme
pacakh akan menyampaikan hasil penerawangannya perihal sesaji yang diminta oleh
Puyang. Sesaji tersebut dapat berupa hewan seperti sapi, kerbau, kambing atau ayam. Jeme
pacakh akan memimpin Ritual Sesaji tersebut bersama orang-orang yang terlibat dalam
Jika tanah atau lahan banyak penyakitnya atau banyak setannya, penyelesaiannya
tetap membutuhkan penerawangan dari jeme pacakh. Apakah harus memotong
kerbau atau yang lainnya, tergantung dari yang dititahkan oleh Puyang kepada jeme
pacakh. Kadang-kadang tidak cukup hanya menyembelih ayam hitam, tetapi bisa
juga harus menyembelih kerbau. Semuanya itu tergantung dari terawang dan
komunikasi dari jeme pacakh dengan Puyang di lokasi. Setelah melakukan
penerawangan dan mendapatkan wangsit, jeme pacakh akan menyampaikan
permintaan Puyang mengenai korban yang harus diberikannya.
Meski masyarakat Suku Ogan menyebar di pesisir dan sepanjang aliran sungai,
mata pencaharian utama mereka adalah petani. Mereka memanfaatkan kondisi tanah yang
84
subur untuk berladang atau menanam sayur-sayuran. Mereka memanfaatkan hasil hutan
seperti rotan, kayu dan bambu untuk keperluan pembangunan rumah beserta perabotannya.
Selain itu, mereka juga bercocok tanam secara tradisional.97 Selain bercocok tanam,
masyarakat Suku Ogan memiliki mata pencaharian sebagai pencari ikan atau nelayan
sungai. Mereka mencari ikan hanya sebagai selingan atau sarana untuk mendapatkan lauk
Masyarakat Katolik Suku Ogan yang berprofesi sebagai petani atau peladang
Kejadian-kejadian tersebut misalnya gagal panen yang terus menerus, kecelakaan kerja
yang tidak wajar atau mengalami gangguan dari makhluk halus. Ketika mereka mengalami
hal-hal tersebut, mereka akan meminta bantuan dari jeme pacakh untuk melihat lokasi
Biasanya kalau orang mengalami kegagalan atau gangguan, biasanya dia akan
mencari orang pintar dan bertanya kepadanya berkaitan dengan masalah di ladang
tersebut. Kemungkinan ada suatu tempat tertentu yang seharusnya tidak boleh
diganggu justru ditebas dan diolah. Padahal tempat tersebut menurut terawangan
orang pintar tadi tidak boleh diganggu. Biasanya orang pintar itu akan
memberitahukan bahwa tempat tersebut boleh dibersihkan tetapi jangan diganggu
atau diolah.
97
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 20-21.
98
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian
Pastoran …, hlm. 20-21.
85
Jeme pacakh yang telah diundang ke ladang tersebut biasanya akan berjalan
mengelilingi lokasi dan berusaha menerawangnya. Setelah mengetahui tempat mana yang
diyakini ada penunggunya, jeme pacakh akan membakar tumbuhan kelembak menyan
Setelah itu, jeme pacakh akan menyampaikan hasilnya kepada pemilik ladang. Jika
penunggu ladang meminta sesuatu seperti ayam hitam atau ayam putih kuning atau yang
lain, maka pemilik ladang harus mengupayakannya sekalipun permintaan tersebut tidak
masuk akal. Hal ini disampaikan oleh seorang informan, Matias Cekwan Effendi.
Biasanya Jeme pacakh itu akan membakarkan sesajen yang berupa tumbuhan
kelembak menyan. Sesajen tersebut bukan berbentuk makanan. Sesajen tersebut
dibakar oleh jeme pacakh sambil mengucapkan mantera-mantera untuk
berkomunikasi dengan penunggu disitu. Jika menurut hasil terawangan jeme pacakh
itu harus menyembelih ayam hitam maka pemilik ladang harus mengusahakannya.
Terkadang hal yang tidak rasional pun juga dilakukan. Tapi pada umumnya jeme
pacakh membakar kelembak menyan. Apabila Puyang atau penunggu disitu meminta
kurban berupa ayam melalui jeme pacakh maka pemilik ladang harus
menyembelihnya. Biasanya ayam yang disajenkan adalah ayam hitam atau ayam
putih kuning. Ayam putih kuning adalah ayam putih polos yang ke kuning-kuningan.
Semuanya itu tergantung dari hasil terawangan jeme pacakh.
Sistem kepercayaan masyarakat Katolik Suku Ogan masih mendapat pengaruh dari
bahwa roh-roh tersebut memiliki kekuatan gaib yang dapat menolong manusia. Berhadapan
dengan kekuatan tersebut, manusia berusaha menjalin relasi demi keselamatan dirinya. 99
Sebagian masyarakat Katolik Suku Ogan masih ada yang melakukan ritual di tempat-
tempat keramat. Tindakan tersebut merupakan upaya manusia untuk membangun relasi
atau hubungan dengan Yang Ilahi atau makhluk-makhluk yang mendiami tempat keramat
tersebut. Mereka melakukan tindakan tersebut karena adanya getaran spiritual yang
menggerakkan jiwanya. Para ahli agama menyebut peristiwa tersebut sebagai proses
Bentuk ritual yang masih dilakukan oleh beberapa masyarakat Katolik Suku Ogan
adalah semedi atau dalam istilah bahasa Ogan betarak. Berdasarkan tujuannya, semedi atau
betarak dapat dibagi menjadi dua yaitu tujuan baik dan tujuan buruk. Tujuan baik dari
semedi atau betarak adalah untuk mencari kebijaksanaan atau kesalehan pribadi,
pembersihan diri dan penguasaan diri dari hawa nafsu.101 Tujuan buruk dari semedi adalah
untuk mencari ilmu hitam atau ilmu untuk mencelakakan orang lain serta mencari kekayaan
99
Husni Thamrin, Antropologi Melayu …, hlm. 176.
100
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm.
144.
101
Neils Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa (Jakarta: Gramedia, 1980), hlm. 25;
bdk. Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 140.
87
Betarak atau semedi itu dapat dilakukan untuk mencari kebijaksanaan atau kesalehan
pribadi. Namun hal itu juga dapat disalahgunakan seperti mencari ilmu-ilmu hitam
dan mencari togel (toto gelap). Orang-orang sekarang menyebut orang yang
melakukan tindakan salah tersebut sebagai orang gila. Mereka menginginkan sesuatu
yang tidak rasional dan mencari kekayaan dengan cara mudah.
Sebagian masyarakat Katolik Suku Ogan melakukan semedi atau betarak di tempat-
tempat yang memiliki hubungan langsung dengan Puyang. Ketika akan mengadakan ritual
tersebut, mereka harus menyediakan syarat-syarat yang dibutuhkan. Pelaksanaan ritual pun
harus mempertimbangkan waktu. Waktu yang ideal untuk melakukan ritual tersebut adalah
malam hari. Mereka lebih suka memilih malam Jumat atau malam Jumat Kliwon kerena
dianggap sebagai malam yang sakral. Hal ini disampaikan oleh seorang informan, Philipus
Muzir.
Saya pernah melakukan betarak untuk mencari nomor sebanyak 4-5 kali. Tempat-
tempat yang saya datangi adalah makam Puyang Galuh tinggi dan makam Puyang di
Pungkilan yang paling terkenal. Selama ritual itu, saya membawa makanan, candu
dan kemenyan. Tindakan itu saya lakukan waktu masih muda yang pemikirannya
masih menginginkan yang enak, cepat dan tidak susah. Biasanya saya memilih
melakukannya pada malam Jumat atau malam Jumat Kliwon.
kepada orang yang sudah meninggal. Ritual tersebut menggunakan doa-doa untuk
kehidupan orang yang meninggal di alam lain. Doa-doa tersebut dilakukan menurut
88
kepercayaan dari orang yang mendoakannya. Selain untuk mendoakan orang yang sudah
meninggal, doa-doa tersebut juga menjadi pegingat bagi mereka yang masih hidup bahwa
Ritual kematian biasanya berlangsung selama beberapa hari dan tetap dilakukan
dalam durasi tertentu selama beberapa tahun setelahnya. Dalam tradisi masyarakat Katolik
Suku Ogan, peringatan kematian dilakukan pada hari ke 7, hari ke 40, hari ke 100, 1 tahun,
2 tahun dan 1000 hari. Dalam peringatan tersebut, mereka membuat sesaji untuk anggota
keluarga yang telah meninggal. Hal ini disampaikan oleh Agustina Rahmawati.
Waktu peringatan untuk keluarga yang meninggal itu ada 7 hari setelah meninggal,
40 hari, 100 hari bahkan sampai 1 tahun hingga 3 tahun tetap diperingati. Dalam
peringatan tersebut kita masih membuat sesaji.
Masyarakat Katolik Suku Ogan memberikan sesaji kepada leluhur yang telah
meninggal dalam rupa makanan dan minuman. Tujuan dari pemberian sesaji tersebut
Pemberian sesaji tersebut bukan bentuk pemujaan terhadap orang yang sudah mati. Bagi
masyarakat Suku Ogan yang beragama Katolik, yang harus disembah hanyalah Yang
Mahakuasa bukan Puyang atau orang yang sudah mati. Hal ini disampaikan oleh seorang
102
Ari Abi Aufa, “Memaknai Kematian dalam Upacara Kematian di Jawa”, dalam An-Nas: Jurnal
Humaniora Vol. 1 No. 1 (Februari 2017), hlm. 1-11.
89
Selain sebagai bentuk pengenangan kembali pada leluhur atau keluarga yang telah
meninggal, Ritual Sesaji yang diberikan dalam peringatan kematian bertujuan untuk
menghormati eksistensi mereka di alam tak kasat mata. Masyarakat Katolik Suku Ogan
memberikan sesaji dengan harapan agar roh leluhur tidak mengganggu hidup manusia
seperti merusak atau membasikan seluruh makanan yang akan dihidangkan kepada tamu
undangan yang datang. Sesaji tersebut biasanya diletakkan di kamar tertentu dan dikasih
lampu teplok atau lilin. Hal ini disampaikan oleh Matias Cekwan Effendi.
Pemberian sesaji tersebut sebagai bentuk penghormatan supaya mereka yang telah
meninggal tidak bergentayangan dan merusak seluruh makanan yang sudah
dipersiapkan. Makanan yang telah dimasak, dikhususkan atau disisihkan dulu
sebelum dimakan oleh orang banyak dan diletakkan di kamar tententu. Biasanya di
samping sesaji tersebut kalau jaman dulu dikasih lampu teplok atau sekarang biasa
dipakai adalah lilin.
Ritual Sesaji yang terdapat dalam masyarakat Katolik Suku Ogan merupakan tradisi
leluhur yang sudah ada sebelum masuk dan berkembangnya agama-agama modern. Ritual
90
Kepercayaan animisme diungkapkan dalam bentuk pemujaan kepada roh dan kepercayaan
dinamisme diungkapkan dalam bentuk pemujaan pada benda-benda mati yang dipercayai
Masuk dan berkembangnya agama Katolik di desa Batuputih pada tahun 1940-an
memberikan warna baru dalam pelaksanaan ritual-ritual adat. Salah satu ritual adat yang
mendapatkan pengaruh dari ajaran Katolik adalah Ritual Sesaji. Pengaruh agama Katolik
terhadap Ritual Sesaji terdapat dalam penggunaan doa-doa yang mengiringinya. Sebelum
pelaku memberikan sesaji kepada Puyang, mereka terlebih dahulu berdoa kepada Yang
Ilahi dengan mendoakan doa-doa menurut agama Katolik. Hal ini disampaikan oleh
Setelah kita menaruh sesajen tersebut di dalam kamar, kita berdoa dulu menggunakan
doa secara Katolik. Biasanya kita mendoakan doa Bapa Kami, Salam Maria dan
Kemuliaan. Setelah selesai berdoa, kita meninggalkan sesajen tersebut dan keluar
sambil menutup pintu kamar tersebut. Sesaji yang telah kita buat hanya untuk
Puyang, untuk leluhur yang meninggal, untuk ninek atau untuk kajut yang telah
meninggal. Sesaji tersebut bukan untuk Yang Mahakuasa.
103
Putri Fitria, Kamus Sejarah dan Budaya …, hlm. 15-16.
91
Doa-doa Katolik yang terdapat dalam pelaksanaan Ritual Sesaji pada masyarakat
Katolik Suku Ogan di desa Batuputih digunakan dalam pelbagai ritual seperti: ritual
penyembuhan orang sakit, ritual kematian, pembangunan atau renovasi rumah, ritual ziarah
makam dan ritual pernikahan. Sedangkan ritual-ritual yang lain seperti: ritual pendamaian
dengan Puyang atau rekonsiliasi, ritual pembukaan lahan dan ritual mohon ilmu dan
kekayaan menggunakan mantera-mantera yang dikuasai oleh jeme pacakh atau pelaku.
ajaran Katolik terhadap praktik ritual tersebut. Doa-doa tersebut dilakukan pada pembuka
dan penutup Ritual Sesaji. Setelah doa pembuka, pelaku ritual akan mengungkapkan
maksud dan tujuan dari ritual tersebut kepada Puyang atau leluhur yang telah meninggal.
Pelaku juga memohon bantuan dari leluhur agar proses acara dapat berjalan dengan lancar.
Biasanya kita membukanya dengan doa-doa secara Katolik. Setelah itu atau pada
bagian pertengahan, kita mengutarakan maksud dan tujuan kita terutama berkaitan
dengan keinginan yang hendak dicapai. Setelah itu, kita tutup dengan doa secara
Katolik lagi.
Pelaksanaan Ritual Sesaji tidak mendapatkan pengaruh yang sangat kuat dari ajaran
Gereja Katolik. Masyarakat Suku Ogan yang beragama Katolik masih melakukan praktik
tersebut. Pengaruh yang sangat besar datang dari perkembangan pola pikir yang semakin
92
maju. Pemikiran generasi baru lebih terarah pada hal-hal yang rasional. Walaupun
demikian, hal tersebut tidak serta merta menghilangkan Ritual Sesaji dalam kehidupan
masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih. Ritual Sesaji mohon kesembuhan bagi
orang sakit menjadi salah satu ritual yang kuat bertahan. Hal ini disampaikan oleh Matias
Cekwan Effendi.
Ketika hal-hal yang rasional tidak mampu menyembuhkan, pengobatan medis tidak
berhasil maka hal-hal yang tidak rasional pun ditempuh. Walaupun setelah
menempuh hal-hal yang tidak rasional dan tidak berhasil, hal itu tidak menjadi
masalah. Bagaimanapun juga hal-hal yang tidak rasional akan tetap dilakukan bila
hal-hal yang rasional ternyata tetap gagal.
ketika ilmu pengetahuan dan agama tidak mampu memberikan jawaban atas persoalan dan
kebutuhan hidup manusia, maka ia akan kembali pada tradisi leluhur untuk menyelesaikan
permasalahannya. Ritual Sesaji merupakan salah satu ritual adat yang digunakan untuk
menyelesaikan persoalan hidup yang dialami oleh masyarakat Katolik Suku Ogan di desa
Batuputih. Ritual Sesaji dalam penyembuhan orang sakit menjadi pilihan terakhir ketika
Ritual penyembuhan orang sakit dalam masyarakat Katolik Suku Ogan di desa
Batuputih telah berlangsung lama. Mereka melakukan ritual tersebut sejak sebelum
104
Bronislaw Malinowski, The Role of Magic …, hlm. 63.
93
berkembangnya agama Katolik. Bahkan setelah masuk dan berkembangnya agama Katolik
di desa Batuputih, hal tersebut masih tetap dilakukan. Mereka memberikan sesaji dalam
rupa kue yang disebut dengan apam atau apem. Hal ini disampaikan oleh Matias Cekwan
Effendi.
Secara umum pelaksanaan Ritual Sesaji dalam mayarakat Katolik Suku Ogan di
desa Batuputih tidak mendapatkan pengaruh yang sangat signifikan dari ajaran Gereja
Katolik. Tradisi dan agama berjalan sendiri-sendiri. Pelaksaan tradisi tersebut menjadi
warisan leluhur yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Katolik Suku
Ogan. Ritual Sesaji menjadi ada dan tetap lestari karena adanya masalah dan kebutuhan
yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Hal ini disampaikan oleh Philipus Muzir.
Saya merasa tidak ada pengaruh agama terhadap pelaksanaan Ritual Sesaji. Karena
keduanya berjalan sendiri-sendiri. Ritual Sesaji tersebut merupakan warisan dari
leluhur yang mungkin mendapat pengaruh dari daerah lain. Pelaksanaan ritual
tersebut tergantung pada kepentingan dan masalah yang sedang dihadapi oleh setiap
pribadi. Ritual tersebut juga tidak bisa dihilangkan dari adat-istiadat Suku Ogan.
94
5. Rangkuman
Manusia adalah mahkluk dinamis yang berubah menuju ke arah yang lebih baik.
perubahan tersebut. Masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih juga mengalami
Ogan yang semula dikaitkan dengan kekuatan gaib yang tidak masuk akal lambat-laun
dapat dijelaskan dengan alasan-alasan yang lebih rasional. Kendati demikian, tidak semua
peristiwa hidup manusia dapat dipahami dan dinalar dengan akal sehat.
yang masih menghargai dan menghidupi warisan leluhurnya. Salah satu warisan leluhur
Suku Ogan yang tetap lestari hingga sekarang adalah Ritual Sesaji. Pelaksanaan Ritual
Sesaji merupakan ungkapan penghargaan atas warisan kebudayaan yang telah membantu
hidup masyarakat. Bentuk penghargaan tersebut juga nyata dalam dinamika hidup sehari-
hari. Paham tentang Puyang dengan segala sesuatu yang berkaitan tentangnya memiliki
pengaruh besar dalam hidup masyarakat Katolik Suku Ogan. Pengaruh tersebut menjadi
tersebut mereka dapat menentukan tujuan hidup bersama, yaitu hidup damai bersama alam
semesta. Penghargaan terhadap alam semesta yang tercerminkan dalam tata perilaku
Peter Ludwig Berger melalui teori konstruksi realitas sosial telah memberikan
kebudayaan dalam masyarakat dapat terjadi karena adanya proses sosialisasi dan
internalisasi dalam generasi penerus. Proses sosialisasi Ritual Sesaji dalam masyarakat
Katolik Suku Ogan tersebut terjadi dalam tindakan pelaku sesaji terutama orangtua yang
kebudayaan dengan cita rasa baru. Masyarakat Suku Ogan di desa Batuputih yang semula
mayoritas beragama Islam kini sebagian besar telah memeluk dan mengimani agama
Katolik. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat tentunya juga mengubah atau
memberikan wajah baru pada adat-kebiasaan yang ada dalam masyarakat begitu pula
pelaksanaan Ritual Sesaji. Pengaruh tersebut terdapat dalam penggunaan doa pembuka dan
96
penutup Ritual Sesaji. Penggunaan doa-doa Katolik terdapat dalam beberapa ritual seperti:
ritual penyembuhan orang sakit, ritual kematian, pembangunan atau renovasi rumah, ritual
ziarah makam dan ritual pernikahan. Sedangkan ritual pendamaian atau rekonsiliasi dengan
Puyang, ritual pembukaan lahan dan ritual mohon ilmu atau kekayaan tidak menggunakan
doa-doa secara katolik melainkan mantera-mantera warisan nenek moyang yang dikuasai
Pelaksanaan Ritual Sesaji tidak dilakukan setiap hari melainkan setiap ada momen
tertentu dalam masyarakat dan keluarga. Kendati masyarakat Suku Ogan telah memeluk
agama Katolik, praktek Ritual Sesaji tidak dapat digantikan dengan berbagai aneka upacara
keagamaan agama Katolik. Bahkan praktik Ritual Sesaji tidak dapat ditinggalkan apabila
terdapat anggota keluarga yang sakit berkepanjangan dan saat akan mengadakan pesta
pernikahan atau peringatan anggota keluarga yang telah meninggal. Dengan demikian adat
istiadat atau tradisi Ritual Sesaji dan agama tidak berjalan sendiri-sendiri. Keduanya
berjalan bersama tanpa mengganggu atau menghilangkan satu sama lain. Ritual Sesaji
menjadi ada dan tetap lestari karena adanya masalah dan kebutuhan yang dihadapi oleh
masyarakat setempat.