Bab Iv Fix
Bab Iv Fix
BAB IV
PENUTUP
1. Pengantar
Pada bab III, penulis telah memaparkan inti pembahasan skripsi tentang Ritual
Sesaji masyarakat Katolik Suku Ogan dalam dinamika hidup beragama di desa
Batuputih. Pada bab IV ini penulis akan memberikan rangkuman umum, refleksi
kritis dan relevansi. Pada bagian akhir penulis memberikan situasi saat ini berkaitan
dengan praktik Ritual Sesaji yang terdapat dalam masyarakat Katolik Suku Ogan di
desa Batuputih. Selain itu, penulis juga memberikan rekomendasi bagi peneliti-
pelaksanaan Ritual Sesaji bagi generasi muda masyarakat Katolik Suku Ogan di Desa
2. Rangkuman Umum
100
masyarakat membentuk kebudayaan yang lahir dari ide, gagasan, tindakan dan hasil
karya mereka. Dalam konteks Indonesia, kebudayaan selalu dikaitkan dengan suku
membuatnya berbeda dengan suku bangsa lain. Keunikan tersebut tercermin dalam
sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem
teknologi. Dalam sistem religi, setiap suku bangsa memiliki pengalaman yang khas
pada sesuatu yang bersifat sakral. Sesuatu yang dianggap sakral dihormati, dipuja dan
membebaskan manusia dari rasa cemas dan ketakutan akan kekuatan yang berasal
dari luar dirinya. Manusia membutuhkan agama untuk membantunya dalam menalar
sesuatu yang susah dipahami dengan akal sehat. Agama berfungsi untuk menjalin
relasi antara manusia dengan Yang Ilahi demi kebaikan dirinya. Dalam agama
Ilahi. Tindakan-tindakan tersebut dapat berupa upacara dan ritual. Salah satu ritual
180
Makhluk infrahuman adalah ciptaan yang tingkatannya lebih rendah daripada manusia
seperti binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda mati. [Lihat Paulus Wahana, “Hubungan antar Manusia
Menurut Bubber”, Dalam Jurnal Filsafat Vol. 18 (Mei, 1994), hlm. 32-40.]
181
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama …, hlm. 87.
101
yang digunakan untuk menjalin komunikasi dengan Yang Ilahi adalah Ritual
Sesaji.182
roh-roh leluhur yang memiliki kekuatan yang berpengaruh bagi hidup manusia. Ritual
Sesaji yang terdapat dalam masyarakat merupakan bagian dari tata peribadatan sistem
terbentuk dari pengalaman hidup manusia yang berhadapan dengan suatu kekuatan
yang melampaui hidupnya. Pelaksanaan Ritual Sesaji dalam masyarakat Katolik Suku
Dengan demikian Ritual Sesaji tidak hanya berkaitan dengan kepercayaan keagamaan
masyarakat yang menghargai dan menghidupi warisan leluhurnya. Salah satu warisan
leluhur masyarakat Katolik Suku Ogan yang tetap lestari hingga sekarang adalah
warisan kebudayaan yang telah membantu hidup masyarakat Katolik Suku Ogan.
Bentuk penghargaan tersebut juga nyata dalam dinamika hidup sehari-hari. Pada
Sesaji untuk mendapatkan berkah dan keselamatan dalam usaha. Dalam pelaksanaan
182
Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama …, hlm. 25-29; bdk. D. Hendropuspito, Sosiologi
Agama …, hlm. 38-57.
183
Bernard Raho, Sosiologi Agama …, hlm. 52-56.
102
Ritual Sesaji tersebut yang menjadi sentral adalah Puyang atau leluhur yang telah
meninggal.184
leluhur yang telah meninggal masih hidup berdampingan dengan manusia. Puyang
gangguan berupa penyakit, bencana alam, gangguan jiwa dan lain sebagainya.
teori konstruksi realitas sosial Peter Ludwig Berger untuk menganalisis fenomena
Ritual Sesaji yang terdapat dalam masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih.
pengalaman tersebut mereka menentukan tujuan hidup bersama, yaitu hidup damai
bersama alam semesta dan sesamanya. Penghargaan terhadap alam semesta yang
184
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama …, hlm. 79-82.
185
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan
Peresmian Pastoran …, hlm. 15-17.
103
melestaraikan kebudayaan.186
kini telah berumur 74 tahun. Selama itu masyarakat Katolik Suku Ogan telah melalui
berbagai tahapan dalam proses sosial. Usia 74 tahun menunjukkan bahwa masyarakat
Katolik Suku Ogan telah melalui dan berproses dalam tahapan-tahapan skema AGIL
yang dicetuskan oleh Talcott Parsons. Tahapan sosial saat ini yang sedang dilakukan
oleh masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih adalah Latensi atau
Peter Ludwig Berger melalui teori konstruksi realitas sosial telah memberikan
Katolik Suku Ogan di desa Batuputih mengalami bahwa dunia yang ditempatinya
terasa asing dan kerapkali bersentuhan dengan sesuatu yang magis dan gaib.
leluhur masyarakat Katolik Suku Ogan dalam menghadapi dunia yang tidak
dikenalnya.188
186
Talcott Parsons and Edward A. Shills (ed.), Toward a General Theory …, hlm. 53-243;
bdk. Talcott Parsons, The Social System …, hlm. 5-17; bdk. juga Talcott Parsons, Social Structure …,
hlm. 82.
187
Talcott Parsons and Edward A. Shills (ed.), Toward a General Theory …, hlm. 53-56; bdk.
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian Pastoran
…, hlm. 34-37.
188
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 5-6.
104
Ogan diungkapkan dalam bentuk ritual-ritual keagamaan seperti Ritual Sesaji. Ritual
Sesaji yang dilakukan oleh masyarakat Katolik Suku Ogan merupakan bentuk
objektivasi dari hasil eksternalisasi yang dilakukan oleh leluhur masyarakat Katolik
Suku Ogan. Masyarakat Katolik Suku Ogan berusaha menggunakan kembali hasil
pencurahan diri leluhurnya karena memiliki manfaat bagi dirinya dalam menghadapi
Masyarakat Katolik Suku Ogan menyadari bahwa Ritual Sesaji yang mereka
sosialisasi yang dilakukan oleh pelaku sesaji terutama orangtua yang menceritakan,
kebudayaan dengan cita rasa baru. Mayoritas penduduk desa Batuputih yang semula
beragama Islam, kini sebagian besar telah memeluk agama Katolik. Perubahan yang
terjadi dalam masyarakat Katolik Suku Ogan tentunya juga mengubah atau
189
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 9.
190
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 16-18.
105
kegelisahan masyarakat Suku Ogan terhadap ajaran dan nubuat yang disampaikan
oleh Kyai Muhammad Sa’id. Kyai Muhammad Sa’id mengajarkan bahwa pada hari
penghakiman terakhir, nabi yang akan mengadili manusia pada hari kiamat adalah
nabinya orang-orang Kristen. Sang kyai menubuatkan bahwa desa Batuputih akan
dilanda banjir besar dan mereka akan selamat. Selain itu, ia juga menubuatkan bahwa
desa Batuputih akan dipimpin oleh bujang dan gadis yang berjubah putih. Ajaran
Kyai Muhammad Sa’id tentang hakim terakhir mampu memberikan sebersit jawaban
kyai tersebut. Akhirnya mereka mendatangi Tuan Luyks residen Belanda yang
Kristen tertua. Setelah mendapat saran dari Tuan Luyks, beberapa orang di antara
SCJ. Dari perjumpaan tersebut, Mgr. Hendricus Mekkelholt SCJ mengutus Pastor
191
Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang …, hlm. 160-164; bdk. [Fred.
Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian Pastoran …,
hlm. 15-16.
192
Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang …, hlm. 160.
106
memberikan pengaruh dalam penggunaan doa pembuka dan penutup Ritual Sesaji.
penyembuhan orang sakit, ritual kematian, pembangunan atau renovasi rumah, ritual
ziarah makam dan ritual pernikahan. Sedangkan ritual pendamaian atau rekonsiliasi
dengan Puyang, ritual pembukaan lahan dan ritual mohon ilmu kesaktian atau
pelaksanaan Ritual Sesaji. Ketika akan memberikan sesaji kepada leluhur yang telah
meninggal, mereka terlebih dahulu berdoa secara Katolik untuk memohon kepada
Yang Ilahi agar apa yang menjadi harapan dan tujuannya dapat tercapai. Setelah doa
leluhurnya. Setelah itu, Ritual Sesaji ditutup dengan doa secara Katolik.195
Selain memberikan sesaji kepada leluhur, pada momen tertentu mereka juga
193
Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang …, hlm. 160-161.
194
Wawancara dengan Matias Cekwan Effendi pada tanggal 18 Oktober 2021.
195
Wawancara dengan Sirilus Sarkawi pada tanggal 12 Oktober 2021.
107
ada di sekitar rumah. Doa bersama merupakan salah satu bentuk persekutuan
(koinonia) sebagai umat Katolik. Selain itu, doa bersama juga merupakan salah satu
ciri khas dari cara hidup jemaat perdana. Doa bersama menjadi harapan agar doa-doa
yang dipanjatkan terkabulkan. Sebab Yesus pernah bersabda “Sebab di mana dua atau
tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”
(Mat. 18:20).
sedang dihadapi. Ritual Sesaji menjadi pilihan akhir ketika hal-hal yang lebih rasional
gagal menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Hal tersebut sangat tampak dalam
pelaksanaan Ritual Sesaji untuk memohon kesembuhan bagi anggota keluarga yang
menggambarkan situasi masyarakat yang berusaha kembali pada tradisi leluhur ketika
hidupnya.196
3. Refleksi Kritis
konkret tersebut adalah Ritual Sesaji. Ritual Sesaji merupakan usaha manusia untuk
menjalin relasi dengan Yang Ilahi, dewa-dewi, makhluk halus dan roh leluhur.
Melalui Ritual Sesaji, manusia mengungkapkan rasa hormat dan rasa takut pada
magis untuk berkomunikasi dengan dunia gaib, tetapi sebagai simbol untuk
penerangan; dupa menyimbolkan nama baik dan kehormatan yang harum semerbak
Ritual Sesaji merupakan warisan leluhur masyarakat Katolik Suku Ogan yang
perhatian dari generasi penerusnya. Kendati pola pikir masyarakat Katolik Suku Ogan
telah mengalami perkembangan yang semakin maju, nilai-nilai kehidupan yang lahir
dari Ritual Sesaji harus diinternalisasikan dalam diri generasi selanjutnya. Nilai-nilai
oleh Peter Ludwig Berger disebut sebagai agen sosialisasi primer. Tolak ukur
keberhasilan sosialisasi adalah jika kenyataan objektif yang terdapat dalam dunia
197
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama …, hlm. 79-82.
198
Anton M. Moeliono et al., Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 3 (Jakarta: Cipta Adi
Pustaka, 1989), hlm. 568.
109
dalam agama Katolik dan penggunaan doa-doa Katolik dalam beberapa Ritual Sesaji.
Sikap hormat yang ditujukan kepada Puyang dalam Ritual Sesaji juga
Katolik. Ritual Sesaji yang selama ini digunakan untuk memohon doa dan bantuan
kepada Puyang, kini permohonan doa dan bantuan dimohonkan kepada Yang Ilahi
dalam perspektif agama Katolik. Masyarakat Katolik Suku Ogan menjadikan Ritual
Sesaji sebagai sarana pengingat dan sarana untuk mendoakan anggota keluarga yang
praktik Ritual Sesaji yang dilakukan oleh masyarakat Katolik Suku Ogan di desa
Batuputih. Pengaruh praktik Ritual Sesaji justru datang dari perkembangan pola pikir
secara rasional dan tidak mudah percaya dengan hal-hal yang gaib. Peristiwa-
peristiwa hidup masyarakat Katolik Suku Ogan yang semula dikaitkan dengan
kekuatan gaib lambat-laun dapat dijelaskan dengan alasan-alasan yang lebih rasional.
199
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan …, hlm. 182-183;
bdk. Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 17.
200
Wawancara dengan Sirilus Sarkawi pada tanggal 12 Oktober 2021.
110
Kendati demikian, tidak semua peristiwa hidup manusia dapat dipahami dan dinalar
4. Relevansi
masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih. Relevansi yang terakhir adalah
bagi pengembangan karya pastoral. Pada bagian ini akan ditampilkan bagaimana
peran Gereja dalam menghadapi adat-kebiasaan dan kebudayaan yang ada dalam
masyarakat dan apa yang dapat disumbangkan oleh kebudayaan tersebut bagi hidup
menggereja.
4.1 Masyarakat
cara berfikir, cara berbuat dan segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang dalam
201
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan
Peresmian Pastoran …, hlm. 15-17.
202
Edward Burnett Tylor, Primitive Culture (New York: J.P. Putnam’s Sons, 1971), hlm. 410.
111
203
Robert Biersted, Social Order: An Introduction to Sociology (New York: MacGrow-Hill,
1970), hlm. 43.
204
Berdasarkan etimologinya kata “makrokosmos” berasal dari bahasa Yunani yaitu “makro”
yang berarti “besar” dan “kosmos” yang berarti “tatanan” atau “dunia” atau “dunia yang tertata”.
Makrokosmos berarti dunia yang besar dan tertata. Kata makrokosmos digunakan untuk menyebut
alam semesta. [Lihat George Perrigo Conger, Theories of Macrocosms and Microcosm In The History
of Philosophy (New York, Columbia University Press, 1992), hlm. xiv.]
205
Berdasarkan etimologinya kata “mikrokosmos” berasal dari bahasa Yunani yaitu “mikro”
yang berarti “kecil” dan “kosmos” yang berarti “tatanan” atau “dunia” atau “dunia yang tertata”.
Mikrokosmos berarti dunia yang kecil dan tertata. Kata mikrokosmos digunakan untuk menyebut
tingkat sub-sub atomic bahkan juga metafisik. Dalam hal ini, mikrokosmos menunjuk pada manusia.
[Lihat George Perrigo Conger, Theories of Macrocosms …, hlm. xiv.]
112
demikian Ritual Sesaji memiliki fungsi spiritual bagi masyarakat Suku Ogan di desa
Batuputih.206
dan orientasi bagi masyarakat dalam mengarahkan anggotanya untuk melakukan yang
baik sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Ritual Sesaji yang
terdapat dalam masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih merupakan warisan
kebudayaan yang kaya akan pesan moral. Melalui Ritual Sesaji, manusia dituntut
untuk menjunjung tinggi nilai sopan santun dan sikap permisi. Pesan moral yang
menciptakan dunia yang layak dan nyaman untuk ditempati. Usaha tersebut juga
dilakukan oleh masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih melalui prinsip-
prinsip hidup yang diwariskan kepada generasi penerusnya. Ajaran prinsip hidup
206
Ani Rostiyati et al., Fungsi Upacara Tradisional bagi Masyarakat Pendukungnya Masa
Kini (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DIY, 1994), hlm. 107-111.
207
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan
Peresmian Pastoran …, hlm. 19.
113
yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan antar sesama masyarakat Katolik Suku
Sesama Masyarakat
Sumatera Selatan termasuk masyarakat Katolik Suku Ogan. Para leluhur masyarakat
Katolik Suku Ogan mewariskan cerita mitos tersebut secara lisan kepada generasi
berperilaku dan bertindak bijaksana. Mitos tentang Puyang yang terdapat di desa
Batuputih memberikan pedoman dan arah bagi masyarakat Katolik Suku Ogan untuk
memiliki pengaruh besar dalam hidup masyarakat Katolik Suku Ogan. Masyarakat
Katolik Suku Ogan dituntut untuk menjaga sikap sopan santun bila berada di tempat-
tempat yang dikeramatkan seperti kuburan, petilasan, hutan dan lain sebagainya.
Tuntutan tersebut terbatinkan dalam diri masyarakat Katolik Suku Ogan. Tujuannya
adalah agar setiap warga masyarakat Katolik Suku Ogan tidak mendapatkan
208
Elly M Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Prenada Media Group, 2006),
hlm. 63.
209
Ani Rostiyati et al., Fungsi Upacara Tradisional …, hlm. 111; bdk. [Fred. Putra Akhir
Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian Pastoran …, hlm. 16.
114
malapetaka atau gangguan dari Puyang. Sikap sopan santun yang ditujukan kepada
Puyang tersebut juga diberikan kepada sesamanya terutama kepada orang yang lebih
tua. Dengan demikian pemahaman tentang Yang Sakral, Yang Mistis dan Yang Ilahi
membutuhkan kesungguhan dan sikap yang pantas. Pelaku sesaji dituntut menjaga
sikapnya ketika sedang melakukan ritual tersebut. Hal tersebut terjadi karena pelaku
sesaji sedang berhadapan dengan Puyang atau kekuatan yang melampaui dirinya.
Tuntutan untuk menjaga sikap tersebut juga harus dilakukan dalam hidup sehari-hari.
Tuntutan yang terdapat dalam tradisi masyarakat Katolik Suku Ogan tersebut mampu
demikian konsep Puyang dan praktik Ritual Sesaji menjadi salah satu unsur
pembentuk kepribadian.211
suku dan kebudayaan umat Katolik yang ada di wilayah pastoral keuskupan tersebut.
210
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan
Peresmian Pastoran …, hlm. 17.
211
Ani Rostiyati et al., Fungsi Upacara Tradisional …, hlm. 2.
115
desa Batuputih berkaitan dengan Ritual Sesaji. Tujuan dari penelitian kebudayaan
tersebut adalah agar pelaku pastoral dapat menentukan pengembangan model pastoral
yang penting dalam masyarakat setempat bagi perkembangan peradapan manusia dan
Gereja. Dalam usaha menggali nilai-nilai tersebut, Gereja dapat mengadakan dialog
antara iman dan kebudayaan.212 Iman dan kebudayaan merupakan dua wajah ganda
yang terdapat di sebagian besar suku bangsa. Relasi antara iman dan kebudayaan
selalu memiliki dimensi Ilahi yang berkaitan dengan kepercayaan atau iman.
Kehadiran Gereja Katolik di tengah masyarakat Suku Ogan, mau tidak mau harus
kebudayaan.215
212
Paus Paulus VI, Pewartaan Injil Kepada Bangsa-Bangsa: Amanat Apostolic Evangelii
Nuntiandi dari Paus Paulus VI dentang Evangelisasi di dalam Dunia Modern (Judul asli: Evangelii
Nuntiandi), diterjemahkan oleh Marcel Beding (Ende: Nusa Indah, 1981), no. 20. Untuk kutipan
selanjutnya dokumen ini disingkat dengan EN diikuti dengan nomor yang ditunjuk.
213
Akulturasi merupakan pencampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan
saling mempengaruhi. [Lihat Agung Tri Haryanta dan Eko Sujatmiko, Kamus Sosiologi …, hlm. 6-7.]
214
Secara etimologi, kata “Inkulturasi” berasal dari bahasa Latin “in” yang artinya “masuk”
atau “ke dalam” dan “colere” yang artinya “mengolah, mengerjakan dan mengembangkan, terutama
mengolah tanah atau bertani”. Secara umum istilah inkulturasi dapat dipahami sebagai usaha Gereja
Katolik untuk masuk dalam kultur suatu budaya agar kehidupan kristiani tidak merupakan gejala asing
di tengah kebudayaan tertentu. [Lihat Komisi Liturgi MAWI, Bina Liturgi I: Inkultrasi (Jakarta: Obor,
1985), hlm. 9; bdk. A. Sunarjo, Inkulturasi (Yogyakarta: Kanisius, 1977), hlm. 5.]
215
Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual …, hlm. 33-35.
116
masyarakat yang dijumpai dalam karya misinya. Gereja harus terbuka pada
tersebut.216 Berhadapan dengan hal itu, Gereja memiliki tugas untuk menemukan
Katolik.217
Ritual Sesaji yang terdapat dalam masyarakat Katolik Suku Ogan merupakan
ritual pemberian persembahan kepada roh-roh leluhur. Tindakan ritual tersebut sama
hingga saat ini, belum ada tindakan tegas dari Gereja setempat untuk menertibkan
praktik Ritual Sesaji. Gereja setempat secara tegas tidak menolak namun juga tidak
menerima praktik Ritual Sesaji yang hidup dalam masyarakat Katolik Suku Ogan di
desa Batuputih. Oleh sebab itu, Gereja setempat hendaknya memberikan tindakan
konkret yang tepat dalam memberikan makna baru terhadap praktik Ritual Sesaji
persembahan Habel. Habel telah menerima rahmat Allah dalam kehidupannya dan ia
216
Konsili Vatikan II, “Dekrit Tentang Kegiatan Misioner Gereja” (AG), dalam Dokumen
Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI-
Obor, 1993), no. 10. Untuk kutipan selanjutnya dokumen ini disingkat dengan AG diikuti dengan
nomor yang ditunjuk; bdk. EN, no. 20.
217
AG, no. 9-11.
218
EN, no. 20.
117
juga mau mempersembahkan miliknya yang terbaik bagi Allah (bdk. Kej. 4: 1-16).
digunakan oleh Gereja Katolik untuk membantu mereka yang membutuhkan uluran
kasih. Selain dilaksanakan setahun sekali, Gereja Katolik setempat juga membuat
dapat memberikan konsep baru terhadap Ritual Sesaji. Ritual Sesaji tidak lagi
menjadi sarana untuk memohon bantuan roh leluhur melainkan sebagai sarana untuk
mendoakan keselamatan jiwa bagi keluarga yang telah meninggal. Selain itu nilai-
nilai luhur yang terkandung dalam Ritual Sesaji dapat menjadi sumbangan besar bagi
masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih dalam menerima dan menghayati
iman kekatolikan. Nilai-nilai luhur tersebut antara lain: sikap penyerahan diri kepada
Yang Ilahi, sikap percaya, sikap hormat dan sikap takut akan Yang Ilahi.220
219
C. Barth, Teologi Perjanjian Lama I (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), hlm. 79.
220
Ayatullah Humaeni et al., Sesajen: Menelusuri Makna …, hlm. 24-25.
118
Perkembangan pola pikir dan kemajuan teknologi saat ini menjadi faktor yang
Suku Ogan. Beberapa Ritual Sesaji tertentu mulai ditinggalkan seperti: ritual
membuka atau mengolah ladang, ritual pembangunan rumah, ritual mohon ilmu
kesaktian dan ritual mohon kekayaan secara instan. Sedangkan ritual-ritual lain
seperti ritual ziarah makam, ritual pernikahan, ritual mohon kesembuhan, ritual
masyarakat Suku Ogan di desa Batuputih yang beragama Katolik dan pernah
melakukan praktik ritual tersebut. Penulis berusaha menggali kekayaan spiritual yang
dimiliki oleh masyarakat Katolik Suku Ogan dalam dinamika hidup beragama.
Kekayaan spiritual tersebut mampu menjadi alat pengontrol sikap dan perilaku
tersebut juga diberikan kepada sesamanya terlebih bagi orang yang lebih tua.
Penulis melihat bahwa praktik Ritual Sesaji yang eksis dalam masyarakat
Katolik Suku Ogan di desa Batuputih mayoritas dilakukan oleh orang-orang tua yang
melakukan penelitian yang lebih mendalam pada generasi muda masyarakat Katolik
221
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan
Peresmian Pastoran …, hlm. 16.
119
pelaksanaan praktik Ritual Sesaji dalam dinamika hidup sehari-hari yang semakin