Anda di halaman 1dari 21

99

BAB IV

PENUTUP

1. Pengantar

Pada bab III, penulis telah memaparkan inti pembahasan skripsi tentang Ritual

Sesaji masyarakat Katolik Suku Ogan dalam dinamika hidup beragama di desa

Batuputih. Pada bab IV ini penulis akan memberikan rangkuman umum, refleksi

kritis dan relevansi. Pada bagian akhir penulis memberikan situasi saat ini berkaitan

dengan praktik Ritual Sesaji yang terdapat dalam masyarakat Katolik Suku Ogan di

desa Batuputih. Selain itu, penulis juga memberikan rekomendasi bagi peneliti-

peneliti selanjutnya untuk menggali lebih dalam bagaimana penghayatan dan

pelaksanaan Ritual Sesaji bagi generasi muda masyarakat Katolik Suku Ogan di Desa

Batuputih saat ini.

2. Rangkuman Umum
100

Manusia merupakan makhluk ciptaan yang paling istimewa dari semua

ciptaan infrahuman180 lainnya. Keistimewaan tersebut terletak pada kemampuan

menggunakan akal budinya. Hal ini memungkinkan manusia untuk berinteraksi

dengan sesamanya sehingga membentuk masyarakat. Dari interaksi tersebut,

masyarakat membentuk kebudayaan yang lahir dari ide, gagasan, tindakan dan hasil

karya mereka. Dalam konteks Indonesia, kebudayaan selalu dikaitkan dengan suku

bangsa tertentu. Setiap suku bangsa memiliki keunikannya masing-masing yang

membuatnya berbeda dengan suku bangsa lain. Keunikan tersebut tercermin dalam

unsur-unsur kebudayaan seperti sistem religi, sistem organisasi kemasyarakatan,

sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem

teknologi. Dalam sistem religi, setiap suku bangsa memiliki pengalaman yang khas

pada sesuatu yang bersifat sakral. Sesuatu yang dianggap sakral dihormati, dipuja dan

dikeramatkan hingga akhirnya dilembagakan menjadi agama.181

Agama merupakan suatu lembaga yang mampu meyakinkan dan

membebaskan manusia dari rasa cemas dan ketakutan akan kekuatan yang berasal

dari luar dirinya. Manusia membutuhkan agama untuk membantunya dalam menalar

sesuatu yang susah dipahami dengan akal sehat. Agama berfungsi untuk menjalin

relasi antara manusia dengan Yang Ilahi demi kebaikan dirinya. Dalam agama

terdapat tindakan-tindakan suci yang digunakan untuk berkomunikasi dengan Yang

Ilahi. Tindakan-tindakan tersebut dapat berupa upacara dan ritual. Salah satu ritual
180
Makhluk infrahuman adalah ciptaan yang tingkatannya lebih rendah daripada manusia
seperti binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda mati. [Lihat Paulus Wahana, “Hubungan antar Manusia
Menurut Bubber”, Dalam Jurnal Filsafat Vol. 18 (Mei, 1994), hlm. 32-40.]

181
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama …, hlm. 87.
101

yang digunakan untuk menjalin komunikasi dengan Yang Ilahi adalah Ritual

Sesaji.182

Ritual Sesaji merupakan aktivitas manusia yang melakukan pemujaan kepada

roh-roh leluhur yang memiliki kekuatan yang berpengaruh bagi hidup manusia. Ritual

Sesaji yang terdapat dalam masyarakat merupakan bagian dari tata peribadatan sistem

kepercayaan yang terdapat di berbagai suku bangsa di Indonesia. Ritual Sesaji

terbentuk dari pengalaman hidup manusia yang berhadapan dengan suatu kekuatan

yang melampaui hidupnya. Pelaksanaan Ritual Sesaji dalam masyarakat Katolik Suku

Ogan di desa Batuputih, mengungkapkan simbol keinginan, ucapan syukur, ketakutan

dan penghormatan manusia terhadap kekuatan-kekuatan yang melampaui dirinya.

Dengan demikian Ritual Sesaji tidak hanya berkaitan dengan kepercayaan keagamaan

tetapi juga pengalaman keagamaan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.183

Masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih merupakan kelompok

masyarakat yang menghargai dan menghidupi warisan leluhurnya. Salah satu warisan

leluhur masyarakat Katolik Suku Ogan yang tetap lestari hingga sekarang adalah

Ritual Sesaji. Pelaksanaan Ritual Sesaji merupakan ungkapan penghargaan atas

warisan kebudayaan yang telah membantu hidup masyarakat Katolik Suku Ogan.

Bentuk penghargaan tersebut juga nyata dalam dinamika hidup sehari-hari. Pada

momen-momen tertentu, masyarakat Katolik Suku Ogan melakukan praktik Ritual

Sesaji untuk mendapatkan berkah dan keselamatan dalam usaha. Dalam pelaksanaan
182
Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama …, hlm. 25-29; bdk. D. Hendropuspito, Sosiologi
Agama …, hlm. 38-57.

183
Bernard Raho, Sosiologi Agama …, hlm. 52-56.
102

Ritual Sesaji tersebut yang menjadi sentral adalah Puyang atau leluhur yang telah

meninggal.184

Masyarakat Katolik Suku Ogan memiliki keyakinan bahwa Puyang atau

leluhur yang telah meninggal masih hidup berdampingan dengan manusia. Puyang

dapat menolong atau mengganggu hidup manusia. Pertolongan tersebut berupa

kesembuhan, kelancaran kerja dan keselamatan dari marabahaya. Sedangkan

gangguan berupa penyakit, bencana alam, gangguan jiwa dan lain sebagainya.

Berdasarkan pemahaman tersebut, masyarakat membuat Ritual Sesaji untuk

meminimalisir atau menetralkan “kemarahan” Puyang.185

Penulis menggunakan teori fungsionalisme struktural Talcott Parsons dan

teori konstruksi realitas sosial Peter Ludwig Berger untuk menganalisis fenomena

Ritual Sesaji yang terdapat dalam masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih.

Talcott Parsons melalui teori fungsionalisme strukturalnya terutama dalam skema

AGIL memberikan gambaran bagaimana masyarakat membentuk dan melestarikan

kebudayaannya. Masyarakat Katolik Suku Ogan mampu mengadaptasikan

lingkungannya dan melakukan tindakan nyata atas pengalamannya. Lewat

pengalaman tersebut mereka menentukan tujuan hidup bersama, yaitu hidup damai

bersama alam semesta dan sesamanya. Penghargaan terhadap alam semesta yang

184
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama …, hlm. 79-82.

185
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan
Peresmian Pastoran …, hlm. 15-17.
103

tercerminkan dalam tata perilaku masyarakat mampu mengintegrasikan dan

melestaraikan kebudayaan.186

Kehadiran Gereja Katolik di antara masyarakat Suku Ogan di desa Batuputih

kini telah berumur 74 tahun. Selama itu masyarakat Katolik Suku Ogan telah melalui

berbagai tahapan dalam proses sosial. Usia 74 tahun menunjukkan bahwa masyarakat

Katolik Suku Ogan telah melalui dan berproses dalam tahapan-tahapan skema AGIL

yang dicetuskan oleh Talcott Parsons. Tahapan sosial saat ini yang sedang dilakukan

oleh masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih adalah Latensi atau

Pemeliharaan pola. Pemeliharaan pola tersebut berupa penghayatan nilai-nilai Katolik

dalam pelaksanaan Ritual Sesaji.187

Peter Ludwig Berger melalui teori konstruksi realitas sosial telah memberikan

gambaran bagaimana kebudayaan dalam masyarakat tetap eksis. Leluhur masyarakat

Katolik Suku Ogan di desa Batuputih mengalami bahwa dunia yang ditempatinya

terasa asing dan kerapkali bersentuhan dengan sesuatu yang magis dan gaib.

Berhadapan dengan fenomena tersebut, mereka membutuhkan usaha penyeimbangan

terus-menerus. Usaha penyeimbangan tersebut merupakan bentuk eksternalisasi

leluhur masyarakat Katolik Suku Ogan dalam menghadapi dunia yang tidak

dikenalnya.188
186
Talcott Parsons and Edward A. Shills (ed.), Toward a General Theory …, hlm. 53-243;
bdk. Talcott Parsons, The Social System …, hlm. 5-17; bdk. juga Talcott Parsons, Social Structure …,
hlm. 82.

187
Talcott Parsons and Edward A. Shills (ed.), Toward a General Theory …, hlm. 53-56; bdk.
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian Pastoran
…, hlm. 34-37.

188
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 5-6.
104

Hasil eksternalisasi yang dilakukan oleh leluhur masyarakat Katolik Suku

Ogan diungkapkan dalam bentuk ritual-ritual keagamaan seperti Ritual Sesaji. Ritual

Sesaji yang dilakukan oleh masyarakat Katolik Suku Ogan merupakan bentuk

objektivasi dari hasil eksternalisasi yang dilakukan oleh leluhur masyarakat Katolik

Suku Ogan. Masyarakat Katolik Suku Ogan berusaha menggunakan kembali hasil

pencurahan diri leluhurnya karena memiliki manfaat bagi dirinya dalam menghadapi

dunia yang kerapkali terasa asing.189

Masyarakat Katolik Suku Ogan menyadari bahwa Ritual Sesaji yang mereka

lakukan memiliki manfaat bagi kehidupannya terutama dalam menjawab persoalan-

persoalan hidup yang tidak kunjung terselesaikan. Ritual Sesaji tersebut

diinternalisasikan ke dalam diri generasi penerusnya untuk menjaga keberlangsungan

dan kelestarian suatu kebudayaan. Proses internalisasi tersebut berlangsung dalam

sosialisasi yang dilakukan oleh pelaku sesaji terutama orangtua yang menceritakan,

mengajak, melibatkan anak-anaknya saat memberikan sesaji kepada leluhur atau

anggota keluarga yang telah meninggal.190

Seiring berjalannya waktu, masyarakat Katolik Suku Ogan mengalami

perkembangan kebudayaan. Interaksi antar kebudayaan menyebabkan terbentuknya

kebudayaan dengan cita rasa baru. Mayoritas penduduk desa Batuputih yang semula

beragama Islam, kini sebagian besar telah memeluk agama Katolik. Perubahan yang

terjadi dalam masyarakat Katolik Suku Ogan tentunya juga mengubah atau

189
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 9.

190
Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 16-18.
105

memberikan wajah baru pada adat-kebiasaan masyarakat Katolik Suku Ogan

terutama praktik Ritual Sesaji.191

Latar belakang perkembangan agama Katolik di desa Batuputih adalah

kegelisahan masyarakat Suku Ogan terhadap ajaran dan nubuat yang disampaikan

oleh Kyai Muhammad Sa’id. Kyai Muhammad Sa’id mengajarkan bahwa pada hari

penghakiman terakhir, nabi yang akan mengadili manusia pada hari kiamat adalah

nabinya orang-orang Kristen. Sang kyai menubuatkan bahwa desa Batuputih akan

dilanda banjir besar dan mereka akan selamat. Selain itu, ia juga menubuatkan bahwa

desa Batuputih akan dipimpin oleh bujang dan gadis yang berjubah putih. Ajaran

Kyai Muhammad Sa’id tentang hakim terakhir mampu memberikan sebersit jawaban

atas pencarian masyarakat tentang ilmu ketuhanan. 192

Setelah menerima pengajaran dari kyai tersebut, mereka mengadakan

musyawarah desa untuk menentukan langkah selanjutnya dalam menanggapi ajaran

kyai tersebut. Akhirnya mereka mendatangi Tuan Luyks residen Belanda yang

berkedudukan di Baturaja untuk mengungkapkan keinginan mereka memeluk agama

Kristen tertua. Setelah mendapat saran dari Tuan Luyks, beberapa orang di antara

mereka bersama kerio pergi ke Palembang menjumpai Mgr. Hendricus Mekkelholt

SCJ. Dari perjumpaan tersebut, Mgr. Hendricus Mekkelholt SCJ mengutus Pastor

191
Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang …, hlm. 160-164; bdk. [Fred.
Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian Pastoran …,
hlm. 15-16.

192
Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang …, hlm. 160.
106

Theodorus Borst SCJ ke desa Batuputih untuk memberikan pengajaran agama

Katolik untuk persiapan pembaptisan umat.193

Kehadiran dan perkembangan agama Katolik di antara masyarakat Suku Ogan

memberikan pengaruh dalam penggunaan doa pembuka dan penutup Ritual Sesaji.

Penggunaan doa-doa Katolik terdapat dalam beberapa ritual seperti: ritual

penyembuhan orang sakit, ritual kematian, pembangunan atau renovasi rumah, ritual

ziarah makam dan ritual pernikahan. Sedangkan ritual pendamaian atau rekonsiliasi

dengan Puyang, ritual pembukaan lahan dan ritual mohon ilmu kesaktian atau

kekayaan tidak menggunakan doa-doa secara Katolik melainkan mantera-mantera

warisan nenek moyang yang dikuasai oleh jeme pacakh.194

Masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih juga berusaha menghayati

imannya dalam hidup sehari-hari. Penghayatan iman tersebut dinyatakan dalam

pelaksanaan Ritual Sesaji. Ketika akan memberikan sesaji kepada leluhur yang telah

meninggal, mereka terlebih dahulu berdoa secara Katolik untuk memohon kepada

Yang Ilahi agar apa yang menjadi harapan dan tujuannya dapat tercapai. Setelah doa

pembuka, secara simbolis mereka akan menyampaikan maksud sesaji kepada

leluhurnya. Setelah itu, Ritual Sesaji ditutup dengan doa secara Katolik.195

Selain memberikan sesaji kepada leluhur, pada momen tertentu mereka juga

mengadakan doa bersama secara Katolik dengan mengundang tetangga-tetangga yang

193
Herman Yosep Sunu Endrayanto, Melintasi Gelombang …, hlm. 160-161.

194
Wawancara dengan Matias Cekwan Effendi pada tanggal 18 Oktober 2021.

195
Wawancara dengan Sirilus Sarkawi pada tanggal 12 Oktober 2021.
107

ada di sekitar rumah. Doa bersama merupakan salah satu bentuk persekutuan

(koinonia) sebagai umat Katolik. Selain itu, doa bersama juga merupakan salah satu

ciri khas dari cara hidup jemaat perdana. Doa bersama menjadi harapan agar doa-doa

yang dipanjatkan terkabulkan. Sebab Yesus pernah bersabda “Sebab di mana dua atau

tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”

(Mat. 18:20).

Bagi masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih, Ritual Sesaji

merupakan instrumen untuk memecahkan atau menyelesaikan persoalan hidup yang

sedang dihadapi. Ritual Sesaji menjadi pilihan akhir ketika hal-hal yang lebih rasional

gagal menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Hal tersebut sangat tampak dalam

pelaksanaan Ritual Sesaji untuk memohon kesembuhan bagi anggota keluarga yang

sakit. Pelaksanaan Ritual Sesaji dalam masyarakat Katolik Suku Ogan

menggambarkan situasi masyarakat yang berusaha kembali pada tradisi leluhur ketika

ilmu pengetahuan dan agama modern tidak mampu menyelesaikan persoalan

hidupnya.196

3. Refleksi Kritis

Pengalaman hidup manusia tidak hanya berhubungan dengan sesamanya,

melainkan juga dengan kekuatan-kekuatan lain yang melampaui dirinya. Melalui

pengalaman tersebut, manusia berusaha mengekspresikannya melalui tindakan-

tindakan konkret yang dapat mengintepretasikan tujuannya. Salah satu tindakan


196
Bronislaw Malinowski, The Role of Magic …, hlm. 63.
108

konkret tersebut adalah Ritual Sesaji. Ritual Sesaji merupakan usaha manusia untuk

menjalin relasi dengan Yang Ilahi, dewa-dewi, makhluk halus dan roh leluhur.

Melalui Ritual Sesaji, manusia mengungkapkan rasa hormat dan rasa takut pada

kekuatan yang melampaui dirinya.197

Praktik Ritual Sesaji membutuhkan bahan-bahan yang menjadi simbol dari

keinginan masyarakat. Penggunaan bahan-bahan tersebut bukan hanya sebagai sarana

magis untuk berkomunikasi dengan dunia gaib, tetapi sebagai simbol untuk

membantu mengingatkan pelaku sesaji akan kenyataan hidup manusia. Air

menyimbolkan sifat kerendahan hati; lilin menyimbolkan pengorbanan dan

penerangan; dupa menyimbolkan nama baik dan kehormatan yang harum semerbak

dan bunga menyimbolkan keindahan sekaligus kekekalan.198

Ritual Sesaji merupakan warisan leluhur masyarakat Katolik Suku Ogan yang

kaya akan nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai tersebut hendaknya mendapatkan

perhatian dari generasi penerusnya. Kendati pola pikir masyarakat Katolik Suku Ogan

telah mengalami perkembangan yang semakin maju, nilai-nilai kehidupan yang lahir

dari Ritual Sesaji harus diinternalisasikan dalam diri generasi selanjutnya. Nilai-nilai

tersebut merupakan pedoman bagi manusia dalam membangun kehidupan bersama

kelompoknya. Pewarisan nilai-nilai tersebut membutuhkan peranan orangtua yang

oleh Peter Ludwig Berger disebut sebagai agen sosialisasi primer. Tolak ukur

keberhasilan sosialisasi adalah jika kenyataan objektif yang terdapat dalam dunia
197
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama …, hlm. 79-82.

198
Anton M. Moeliono et al., Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 3 (Jakarta: Cipta Adi
Pustaka, 1989), hlm. 568.
109

sosial menjadi kenyataan subjektif. Kegagalan sosialisasi dalam masyarakat akan

menyebabkan terancamnya kelestarian suatu kebudayaan.199

Berkembangnya agama Katolik di antara masyarakat Suku Ogan di desa

Batuputih telah memberikan sumbangan tersendiri dalam praktik Ritual Sesaji.

Sumbangan tersebut berupa penghayatan dalam melakukan aktivitas keagamaan

dalam agama Katolik dan penggunaan doa-doa Katolik dalam beberapa Ritual Sesaji.

Sikap hormat yang ditujukan kepada Puyang dalam Ritual Sesaji juga

diimplementasikan dalam penghormatannya pada Yang Ilahi dalam perspektif agama

Katolik. Ritual Sesaji yang selama ini digunakan untuk memohon doa dan bantuan

kepada Puyang, kini permohonan doa dan bantuan dimohonkan kepada Yang Ilahi

dalam perspektif agama Katolik. Masyarakat Katolik Suku Ogan menjadikan Ritual

Sesaji sebagai sarana pengingat dan sarana untuk mendoakan anggota keluarga yang

telah meninggal dunia.200

Kehadiran Gereja Katolik tidak banyak memberikan pengaruh terhadap

praktik Ritual Sesaji yang dilakukan oleh masyarakat Katolik Suku Ogan di desa

Batuputih. Pengaruh praktik Ritual Sesaji justru datang dari perkembangan pola pikir

generasi muda. Perkembangan pola pikir membuat sebagian masyarakat berpikir

secara rasional dan tidak mudah percaya dengan hal-hal yang gaib. Peristiwa-

peristiwa hidup masyarakat Katolik Suku Ogan yang semula dikaitkan dengan

kekuatan gaib lambat-laun dapat dijelaskan dengan alasan-alasan yang lebih rasional.
199
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan …, hlm. 182-183;
bdk. Peter Ludwig Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 17.

200
Wawancara dengan Sirilus Sarkawi pada tanggal 12 Oktober 2021.
110

Kendati demikian, tidak semua peristiwa hidup manusia dapat dipahami dan dinalar

dengan akal sehat.201

4. Relevansi

Setelah memaparkan Ritual Sesaji masyarakat Katolik Suku Ogan di desa

Batuputih penulis akan membuat relevansi. Relevansi pertama-tama adalah bagi

masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih. Relevansi yang terakhir adalah

bagi pengembangan karya pastoral. Pada bagian ini akan ditampilkan bagaimana

peran Gereja dalam menghadapi adat-kebiasaan dan kebudayaan yang ada dalam

masyarakat dan apa yang dapat disumbangkan oleh kebudayaan tersebut bagi hidup

menggereja.

4.1 Masyarakat

Kebudayaan merupakan hasil aktivitas masyarakat yang kompleks mencakup

pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan dan

kebiasaan yang dilakukan oleh anggota masyarakat.202 Kebudayaan juga mencakup

cara berfikir, cara berbuat dan segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang dalam

hubungannya dengan lingkungan sekitar. Dalam suatu kebudayaan terdapat tiga

201
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan
Peresmian Pastoran …, hlm. 15-17.

202
Edward Burnett Tylor, Primitive Culture (New York: J.P. Putnam’s Sons, 1971), hlm. 410.
111

komponen dasar yang menjadi pembentuknya seperti gagasan-gagasan (ideas),

norma-norma (norms) dan benda hasil kebudayaan (things).203

4.1.1 Kehidupan Spiritual-Moral-Sosial

Manusia merupakan replika dari makrokosmos204 yang dikenal sebagai

mikrokosmos205. Sebagai bagian dari makrokosmos, manusia memiliki tugas untuk

menjaga kehidupan dan keseimbangan kosmos. Tindakan merusak atau menyimpang

dari kosmos dapat menyebabkan kerusakan kosmos. Untuk menciptakan

keseimbangan kosmos, manusia perlu mengadakan ritual-ritual tertentu. Bagi

masyarakat Katolik Suku Ogan, tindakan-tindakan ceroboh yang dilakukan di tempat

Puyang merupakan bentuk perusakan terhadap keharmonisan kosmos. Ketika

203
Robert Biersted, Social Order: An Introduction to Sociology (New York: MacGrow-Hill,
1970), hlm. 43.

204
Berdasarkan etimologinya kata “makrokosmos” berasal dari bahasa Yunani yaitu “makro”
yang berarti “besar” dan “kosmos” yang berarti “tatanan” atau “dunia” atau “dunia yang tertata”.
Makrokosmos berarti dunia yang besar dan tertata. Kata makrokosmos digunakan untuk menyebut
alam semesta. [Lihat George Perrigo Conger, Theories of Macrocosms and Microcosm In The History
of Philosophy (New York, Columbia University Press, 1992), hlm. xiv.]

205
Berdasarkan etimologinya kata “mikrokosmos” berasal dari bahasa Yunani yaitu “mikro”
yang berarti “kecil” dan “kosmos” yang berarti “tatanan” atau “dunia” atau “dunia yang tertata”.
Mikrokosmos berarti dunia yang kecil dan tertata. Kata mikrokosmos digunakan untuk menyebut
tingkat sub-sub atomic bahkan juga metafisik. Dalam hal ini, mikrokosmos menunjuk pada manusia.
[Lihat George Perrigo Conger, Theories of Macrocosms …, hlm. xiv.]
112

keharmonisan kosmos terganggu maka pelaku perusakan bahkan masyarakat sekitar

akan menanggung akibatnya. Oleh sebab itu, manusia membutuhkan ritual

pendamaian dengan Puyang agar tercipta kembali keharmonisan kosmos. Dengan

demikian Ritual Sesaji memiliki fungsi spiritual bagi masyarakat Suku Ogan di desa

Batuputih.206

Kebudayaan sebagai hasil produksi masyarakat mampu memberikan pedoman

dan orientasi bagi masyarakat dalam mengarahkan anggotanya untuk melakukan yang

baik sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Ritual Sesaji yang

terdapat dalam masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih merupakan warisan

kebudayaan yang kaya akan pesan moral. Melalui Ritual Sesaji, manusia dituntut

untuk menjunjung tinggi nilai sopan santun dan sikap permisi. Pesan moral yang

terdapat dalam ritual sesaji tersebut juga ditujukan kepada sesamanya.207

Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran sesamanya

dalam memanusiakan dirinya. Sebagai makhluk sosial, manusia berusaha

menciptakan dunia yang layak dan nyaman untuk ditempati. Usaha tersebut juga

dilakukan oleh masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih melalui prinsip-

prinsip hidup yang diwariskan kepada generasi penerusnya. Ajaran prinsip hidup

206
Ani Rostiyati et al., Fungsi Upacara Tradisional bagi Masyarakat Pendukungnya Masa
Kini (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DIY, 1994), hlm. 107-111.

207
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan
Peresmian Pastoran …, hlm. 19.
113

yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan antar sesama masyarakat Katolik Suku

Ogan di Batuputih merupakan perwujudan bahwa manusia adalah makhluk sosial.208

4.1.2 Implementasi Penghormatan Terhadap Puyang dalam Relasi antar

Sesama Masyarakat

Keberadaan mitos tentang Puyang sangat berkembang dalam masyarakat asli

Sumatera Selatan termasuk masyarakat Katolik Suku Ogan. Para leluhur masyarakat

Katolik Suku Ogan mewariskan cerita mitos tersebut secara lisan kepada generasi

penerus. Mitos tersebut memberikan pedoman bagi generasi penerus untuk

berperilaku dan bertindak bijaksana. Mitos tentang Puyang yang terdapat di desa

Batuputih memberikan pedoman dan arah bagi masyarakat Katolik Suku Ogan untuk

bertindak dan bersikap dalam hidup sehari-hari.209

Paham tentang Puyang dengan segala sesuatu yang berkaitan tentangnya

memiliki pengaruh besar dalam hidup masyarakat Katolik Suku Ogan. Masyarakat

Katolik Suku Ogan dituntut untuk menjaga sikap sopan santun bila berada di tempat-

tempat yang dikeramatkan seperti kuburan, petilasan, hutan dan lain sebagainya.

Tuntutan tersebut terbatinkan dalam diri masyarakat Katolik Suku Ogan. Tujuannya

adalah agar setiap warga masyarakat Katolik Suku Ogan tidak mendapatkan

208
Elly M Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Prenada Media Group, 2006),
hlm. 63.

209
Ani Rostiyati et al., Fungsi Upacara Tradisional …, hlm. 111; bdk. [Fred. Putra Akhir
Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan Peresmian Pastoran …, hlm. 16.
114

malapetaka atau gangguan dari Puyang. Sikap sopan santun yang ditujukan kepada

Puyang tersebut juga diberikan kepada sesamanya terutama kepada orang yang lebih

tua. Dengan demikian pemahaman tentang Yang Sakral, Yang Mistis dan Yang Ilahi

menjadi sarana kontrol sosial perilaku.210

Pelaksanaan Ritual Sesaji dalam masyarakat Katolik Suku Ogan di Batuputih

membutuhkan kesungguhan dan sikap yang pantas. Pelaku sesaji dituntut menjaga

sikapnya ketika sedang melakukan ritual tersebut. Hal tersebut terjadi karena pelaku

sesaji sedang berhadapan dengan Puyang atau kekuatan yang melampaui dirinya.

Tuntutan untuk menjaga sikap tersebut juga harus dilakukan dalam hidup sehari-hari.

Tuntutan yang terdapat dalam tradisi masyarakat Katolik Suku Ogan tersebut mampu

mengekang perbuatan negatif dan menghasilkan tingkah laku positif. Dengan

demikian konsep Puyang dan praktik Ritual Sesaji menjadi salah satu unsur

pembentuk kepribadian.211

4.2 Karya Pastoral

Sebagai calon imam diosesan yang akan berkarya di Keuskupan Agung

Palembang, penulis menyadari pentingnya mengenal dan mendalami keberagaman

suku dan kebudayaan umat Katolik yang ada di wilayah pastoral keuskupan tersebut.

Penulis melakukan penelitian kebudayaan pada masyarakat Katolik Suku Ogan di

210
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan
Peresmian Pastoran …, hlm. 17.

211
Ani Rostiyati et al., Fungsi Upacara Tradisional …, hlm. 2.
115

desa Batuputih berkaitan dengan Ritual Sesaji. Tujuan dari penelitian kebudayaan

tersebut adalah agar pelaku pastoral dapat menentukan pengembangan model pastoral

yang tepat dan sesuai dengan cita rasa budaya setempat.

Gereja sebagai persekutuan Umat Allah memiliki perutusan di tengah-tengah

masyarakat. Kehadiran Gereja diharapkan mampu menggali nilai-nilai kebudayaan

yang penting dalam masyarakat setempat bagi perkembangan peradapan manusia dan

Gereja. Dalam usaha menggali nilai-nilai tersebut, Gereja dapat mengadakan dialog

antara iman dan kebudayaan.212 Iman dan kebudayaan merupakan dua wajah ganda

yang terdapat di sebagian besar suku bangsa. Relasi antara iman dan kebudayaan

merupakan suatu keniscayaan. Kebudayaan sebagai unsur yang khas manusiawi

selalu memiliki dimensi Ilahi yang berkaitan dengan kepercayaan atau iman.

Kehadiran Gereja Katolik di tengah masyarakat Suku Ogan, mau tidak mau harus

berhadapan dengan kebudayaan dan kepercayaan tradisional. Dalam hal inilah

akulturasi213 atau inkulturasi214 menjadi suatu keharusan bagi Gereja dan

kebudayaan.215

212
Paus Paulus VI, Pewartaan Injil Kepada Bangsa-Bangsa: Amanat Apostolic Evangelii
Nuntiandi dari Paus Paulus VI dentang Evangelisasi di dalam Dunia Modern (Judul asli: Evangelii
Nuntiandi), diterjemahkan oleh Marcel Beding (Ende: Nusa Indah, 1981), no. 20. Untuk kutipan
selanjutnya dokumen ini disingkat dengan EN diikuti dengan nomor yang ditunjuk.

213
Akulturasi merupakan pencampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan
saling mempengaruhi. [Lihat Agung Tri Haryanta dan Eko Sujatmiko, Kamus Sosiologi …, hlm. 6-7.]

214
Secara etimologi, kata “Inkulturasi” berasal dari bahasa Latin “in” yang artinya “masuk”
atau “ke dalam” dan “colere” yang artinya “mengolah, mengerjakan dan mengembangkan, terutama
mengolah tanah atau bertani”. Secara umum istilah inkulturasi dapat dipahami sebagai usaha Gereja
Katolik untuk masuk dalam kultur suatu budaya agar kehidupan kristiani tidak merupakan gejala asing
di tengah kebudayaan tertentu. [Lihat Komisi Liturgi MAWI, Bina Liturgi I: Inkultrasi (Jakarta: Obor,
1985), hlm. 9; bdk. A. Sunarjo, Inkulturasi (Yogyakarta: Kanisius, 1977), hlm. 5.]

215
Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual …, hlm. 33-35.
116

Konsili Vatikan II menegaskan peran Gereja dalam menghadapi kebudayaan

masyarakat yang dijumpai dalam karya misinya. Gereja harus terbuka pada

kebudayaan masyarakat tanpa harus melebur menjadi satu dalam kebudayaan

tersebut.216 Berhadapan dengan hal itu, Gereja memiliki tugas untuk menemukan

benih-benih sabda yang terdapat di dalamnya serta mengangkat dan

menyempurnakan adat-kebiasaan dan kebudayaan masyarakat dengan ajaran iman

Katolik.217

Ritual Sesaji yang terdapat dalam masyarakat Katolik Suku Ogan merupakan

ritual pemberian persembahan kepada roh-roh leluhur. Tindakan ritual tersebut sama

sekali tidak menggambarkan peribadatan Katolik. Berdasarkan situasi tersebut,

hingga saat ini, belum ada tindakan tegas dari Gereja setempat untuk menertibkan

praktik Ritual Sesaji. Gereja setempat secara tegas tidak menolak namun juga tidak

menerima praktik Ritual Sesaji yang hidup dalam masyarakat Katolik Suku Ogan di

desa Batuputih. Oleh sebab itu, Gereja setempat hendaknya memberikan tindakan

konkret yang tepat dalam memberikan makna baru terhadap praktik Ritual Sesaji

sehingga memiliki citarasa Injil.218

Tindakan konkret yang dapat Gereja Katolik tawarkan berupa konsep

persembahan Habel. Habel telah menerima rahmat Allah dalam kehidupannya dan ia

216
Konsili Vatikan II, “Dekrit Tentang Kegiatan Misioner Gereja” (AG), dalam Dokumen
Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI-
Obor, 1993), no. 10. Untuk kutipan selanjutnya dokumen ini disingkat dengan AG diikuti dengan
nomor yang ditunjuk; bdk. EN, no. 20.

217
AG, no. 9-11.

218
EN, no. 20.
117

juga mau mempersembahkan miliknya yang terbaik bagi Allah (bdk. Kej. 4: 1-16).

Konsep persembahan Habel dapat dilukiskan sebagai berikut: sekurangnya setahun

sekali masyarakat Katolik Suku Ogan di Batuputih mempersembahkan sebagian hasil

usahanya dalam perayaan Ekaristi yang diintensikan secara khusus. Persembahan

umat tersebut menggambarkan persembahan Habel kepada Allah. Dalam

persembahan tersebut masyarakat Katolik Suku Ogan juga menyampaikan harapan

dan cita-cita untuk kehidupan selanjutnya. Hasil persembahan tersebut dapat

digunakan oleh Gereja Katolik untuk membantu mereka yang membutuhkan uluran

kasih. Selain dilaksanakan setahun sekali, Gereja Katolik setempat juga membuat

kemungkinan bahwa perayaan tersebut dapat dilakukan dalam waktu-waktu lain

sesuai dengan kebutuhan masyarakat Katolik Suku Ogan.219

Melalui konsep persembahan Habel tersebut, lambat laun Gereja Katolik

dapat memberikan konsep baru terhadap Ritual Sesaji. Ritual Sesaji tidak lagi

menjadi sarana untuk memohon bantuan roh leluhur melainkan sebagai sarana untuk

mendoakan keselamatan jiwa bagi keluarga yang telah meninggal. Selain itu nilai-

nilai luhur yang terkandung dalam Ritual Sesaji dapat menjadi sumbangan besar bagi

masyarakat Katolik Suku Ogan di desa Batuputih dalam menerima dan menghayati

iman kekatolikan. Nilai-nilai luhur tersebut antara lain: sikap penyerahan diri kepada

Yang Ilahi, sikap percaya, sikap hormat dan sikap takut akan Yang Ilahi.220

219
C. Barth, Teologi Perjanjian Lama I (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), hlm. 79.

220
Ayatullah Humaeni et al., Sesajen: Menelusuri Makna …, hlm. 24-25.
118

5. Pelaksanaan Ritual Sesaji Saat Ini dan Rekomendasi

Perkembangan pola pikir dan kemajuan teknologi saat ini menjadi faktor yang

mempengaruhi pelestarian ritual keagamaan tradisional dalam masyarakat Katolik

Suku Ogan. Beberapa Ritual Sesaji tertentu mulai ditinggalkan seperti: ritual

membuka atau mengolah ladang, ritual pembangunan rumah, ritual mohon ilmu

kesaktian dan ritual mohon kekayaan secara instan. Sedangkan ritual-ritual lain

seperti ritual ziarah makam, ritual pernikahan, ritual mohon kesembuhan, ritual

rekonsiliasi dan ritual peringatan kematian masih dipertahankan hingga sekarang.221

Penulis melakukan penelitian tentang Ritual Sesaji yang dilakukan oleh

masyarakat Suku Ogan di desa Batuputih yang beragama Katolik dan pernah

melakukan praktik ritual tersebut. Penulis berusaha menggali kekayaan spiritual yang

dimiliki oleh masyarakat Katolik Suku Ogan dalam dinamika hidup beragama.

Kekayaan spiritual tersebut mampu menjadi alat pengontrol sikap dan perilaku

seseorang ketika berada di tempat-tempat yang dikeramatkan. Sikap dan perilaku

tersebut juga diberikan kepada sesamanya terlebih bagi orang yang lebih tua.

Penulis melihat bahwa praktik Ritual Sesaji yang eksis dalam masyarakat

Katolik Suku Ogan di desa Batuputih mayoritas dilakukan oleh orang-orang tua yang

mendapatkan sosialisasi langsung dari orangtua atau leluhurnya. Berdasarkan situasi

tersebut, penulis memberikan rekomendasi bagi peneliti-peneliti selanjutnya untuk

melakukan penelitian yang lebih mendalam pada generasi muda masyarakat Katolik

221
[Fred. Putra Akhir Wahyanto dan Dominikus Iwan Tirta (ed.)], Pemberkatan dan
Peresmian Pastoran …, hlm. 16.
119

Suku Ogan berkaitan dengan sejauh mana pengetahuan, penghayatan dan

pelaksanaan praktik Ritual Sesaji dalam dinamika hidup sehari-hari yang semakin

maju dan modern ini.

Anda mungkin juga menyukai