Anda di halaman 1dari 13

Tere Liye, Royalti dan Pajak Penulis

Published September 06, 2017 / by Pringadi As / 7 Comments on Tere Liye, Royalti dan Pajak Penulis

Tere Liye membuat dunia perbukuan gempar. Baru saja ia merilis pernyataan tidak akan
menjual bukunya lagi di toko buku disebabkan ketidakadilan pajak penulis yang ia rasakan.
Berbondong-bondong para pelapak online segera menjaga koleksi buku Tere Liye mereka
karena bisa jadi nanti hal ini menyebabkan kelangkaan buku Tere Liye dan harganya semakin
mahal di pasaran.

Sebelum ke benar atau salahnya argumen Tere Liye, saya sebenarnya ingin mendiskusikan
mengenai royalti itu sendiri. Apakah royalti untuk penulis itu besar atau kecil?

Royalti bagi penulis Indonesia untuk penerbit besar berkisar antara 10-15%. Cetakan pertama
berjumlah 3000-5000 eksemplar rata-rata royaltinya 10% dan akan meningkat jika masuk
cetakan-cetakan berikutnya hingga maksimal 15% (meski masih ada penerbit yang
memberikan royalti di bawah 10% dan kasus khusus untuk penulis mega best seller di atas
15%). Angka ini ternyata cukup besar bila dibandingkan dengan pegiat seni lainnya seperti
musik yang royaltinya maksimal 10%.

Bagaimana royalti penulis di negara lain?

Di Amerika dan Eropa, ternyata angka royalti bagi penulis juga berkisar antara 10-12,5%
untuk hardback, dan 7,5-10% untuk paperback. Royalti 15% diberikan untuk para penulis
eksepsional. Jepang juga demikian. Namun, yang membedakan adalah kebanyakan penerbit
di Jepang membayar secara penuh hak penulis paling lambat sebulan setelah terbit.

Sementara di Indonesia, royalti dibayarkan rata-rata per semesteran berdasarkan hasil


penjualan buku. Katakanlah di dalam laporan penjualan, sebuah buku terjual 1000 buku
dalam 6 bulan, ya penulis hanya menerima haknya 10% dari omset penjualan 1000 buku
tersebut.

Cara Jepang ini sesungguhnya sama persis dengan sistem syariah. Pembayaran royalti seperti
di Indonesia itu bisa diperdebatkan karena mengandung spekulasi dan ketidakpastian. Nasib
penghasilan penulis yang sudah berdarah-darah menulis masih harus ditentukan oleh hasil
penjualan buku. Seharusnya, penerbit lebih menghargai hasil kerja penulis dengan membeli
sekaligus untuk satu kali terbitan. Misal, cetakan pertama 3000 eksemplar, ya penerbit
langsung membayar hak penulis sebanyak 3000 eksemplar tadi di muka. Untuk win-win
solution, penerbit bisa menawarkan royalti yang lebih rendah, misalnya 8% tetapi dikalikan
langsung dengan total cetakan pertama. Dengan begitu, penulis tak perlu pusing-pusing
menantikan laporan penjualan dan bisa fokus menulis.

Tapi kan 10% kecil banget, padahal harga buku mahal?

Industi perbukuan memiliki proses bisnis yang panjang. Ada penerbit (kadang terpisah
dengan percetakan), ada distributor, ada toko buku, ada penulis, ada pemerintah. Setiap pihak
memiliki proporsinya masing-masing.
Misal, untuk buku dengan harga 100.000, proporsi pendapatan dari setelah PPN disisihkan
terlebih dahulu seharusnya:

Penerbit 38% x 100.000 = 38.000


Royalti penulis 10% x 100.000 = 10.000
Distributor 17% x 100.000 = 17.000
Toko buku 35% x 100.000 = 35.000

Penerbit terlihat paling besar, padahal itu belum dipotong biaya produksi yang melibatkan
proses percetakan, biaya layouting, editor, proofreader dan penggambar sampul. Saya juga
pernah menyalahkan toko buku, tapi toko buku ditekan oleh biaya sewa tempat yang sangat
mahal, sementara distributor tak bisa disalahkan juga karena geografi kita.

Bagaimana caranya biar bisa mengalihkan proporsi lebih banyak ke penulis? Jawabannya,
intervensi pemerintah.

1. Penerbit yang tergabung dalam IKAPI dapat meneken kontrak dengan PT Pos
Indonesia untuk mendistribusikan buku ke toko buku dengan biaya yang lebih rendah.
Hal ini seperti perlakuan kepada pengiriman buku ke komunitas-komunitas baca yang
berjalan saat ini.
2. Selama ini, toko buku berada di Mall. Sewanya tentu saja mahal. Pemerintah
melakukan manajemen aset gedung untuk menjadi toko buku seperti di Balai Bahasa
di tiap daerah atau bahkan di pos itu sendiri.

Lalu bagaimana dengan pajak yang dipermasalahkan Tere Liye?

Persoalan pajak memang menjadi polemik bukan cuma buat penulis, tetapi juga buat
penerbit. Ada PPN, ada PPh royalti, ada PPh penerbit. Siapa yang masih ingat janji kampanye
Presiden sekarang untuk menghapuskan pajak buku (dalam hal ini PPN). PPN untuk buku-
buku pelajaran memang sudah dihapus sejak dulu. Namun, PPN selain buku pelajaran masih
ada dan nilainya 10%. PPN ini sejatinya tidak ditanggung penerbit, melainkan ditanggung
oleh pembeli. Maka, mau tak mau, tuntutan penghapusan PPN buku ini harus terus
digalakkan.

(Lebih lengkap menghitung pajak buku, klik di sini).

Pajak Royalti termasuk PPh pasal 23, besarannya 15% untuk yang memiliki NPWP dan 30%
jika tidak memiliki NPWP. Pajak royalti ini tidak final. Artinya apa, ketika kita hendak
melaporkan SPT Tahunan dan menyetahunkan semua penghasilan kita, maka dapat dilakukan
perhitungan ulang atas pajak kita.

Misal, tadi cetakan pertama berjumlah 3000 eksemplar, Harga buku 100.000 (tanpa PPN).
Maka royalti bagi penulis adalah Rp30.000.000,-. Pajak royaltinya 15% dari 30 juta sebesar
Rp4,5 juta dipotong dan disetor oleh penerbit.

Nah, pemerintah memberi keringanan dengan adanya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
sebesar Rp54 juta setahun. Maksudnya, jika penghasilanmu di bawah 54 juta setahun, kamu
ndak perlu bayar pajak.
Fakta di lapangan mengatakan, 90% penulis kesulitan bisa menjual konstan 300 buku/ bulan.
Hanya ada 10% buku mengalami cetak ulang, atau bisa habis 3000 eksemplar dalam setahun.
Jika menulis adalah satu-satunya penghasilan, yang harus anda lakukan adalah melapor ke
pajak dan meminta kembali pajak anda yang sudah disetor tadi. Hal itu bisa dilakukan lho.

Selain keringanan itu, bahkan bila penghasilan royaltinya masih di bawah sekian milyar,
dasar pengenaan pajaknya juga bisa jadi hanya 50%-nya saja dengan mekanisme tertentu

Lalu bagaimana dengan Tere Liye?

Anda harus tahu, dan mungkin sudah tahu, bahwa Tere Liye adalah penulis yang bukunya
selalu masuk dalam 10 buku terlaris di Indonesia. Bisa dibilang, bahwa secara penghasilan,
Tere Liye masuk 3 besar penulis fiksi dengan penghasilan terbesar dari buku. Belum lagi dari
seminar-workshop yang ia isi. Berapa nominalnya? Bermilyar-milyar!

Jadi, Tere Liye bukan rakyat kecil. Tere Liye adalah orang kaya, dan asas perpajakan kita
bilang semakin kaya Anda, maka Anda harus membayar pajak semakin besar. Dari situlah
terjadi distribusi keadilan, distribusi kekayaan dari kaya ke miskin. Uang pajak itulah yang
digunakan untuk subsidi non-energi, belanja bantuan sosial, infrastruktur, dll.

Kesalahan Tere Liye berikutnya adalah membandingkan penghasilannya dengan profesi lain,
seperti UMKM. Pajak untuk UMKM dengan omset di bawah 4,8 M adalah 1% (jika tidak
ingin repot bikin laporan keuangan). Kesalahan Tere adalah dia tidak bisa menerjemahkan
angka 1% dari omset, atau dari total arus kas masuk secara keseluruhan. Kalau omsetnya 1
miliar, maka pajaknya 10 juta. Tapi, Tere tidak memperhitungkan berapa keuntungannya.
Saya berlatar belakang keluarga kelompok tani dan UMKM yang tahu persis pengambilan
margin untuk UMKM itu bahkan ada yang hanya 5% bersih. Jika omset 1 milyar, untungnya
bisa hanya 50 juta. Sementara, jika Anda penulis dapat 50 juta, Anda nggak perlu bayar
pajak, bukan? Atau katakanlah margin umum 10%, atau 100 juta. Kalau Anda penulis,
setelah disetahunkan, Anda hanya akan membayar 5% x 46 juta atau 8,3 juta rupiah. Masih
lebih rendah, bukan?

Kesalahan ketiga, jika tidak menjual di toko, Tere mau ngapain? Menulis secara gratis? Atau
bikin buku sendiri dan jualan online? Oh, hal itu tentu tidak menghapus kewajiban
perpajakan. Bedanya hanya jadi self-assessment, kita yang menghitung dan menyetor pajak
kita sendiri. Kalau tidak menyetor tidak apa-apa, sampai pemeriksa turun dan kita bisa kena
denda 2-4 kali lipat dari pajak terutang lho. Tahun depan Pajak bisa melihat dan menganalisis
transaksi di rekening pribadi kita lho.

Satu-satunya Hal Benar dari Tere Liye

Meski dibangun dengan argumentasi yang keliru, ada satu hal baik dari tindakan Tere Liye.
Penulis melawan. Tindakan politis Tere Liye sebenarnya lebih bagus ditujukan untuk
memangkas porsi distribusi dan toko buku. Dengan statusnya sebagai penulis bermassa besar,
Tere Liye bisa menjadi benchmark bahwa pada saatnya penulis tak butuh toko buku. Dia bisa
cukup berjualan online dan menambah penghasilannya 52% dari pengalihan distribusi dan
toko tadi.
Langkah itu bisa jadi lebih baik hati bila ia tidak rakus sehingga ketimbang memakan 52%
untuk dirinya sendiri, ia bisa memotong setengahnya 26% untuk diskon. Hal ini akan
menyebabkan buku menjadi lebih murah.

Ngopi
Posted on January 24, 2017 by BNGPY

Belakangan, ngopi itu sebuah hal yang merepotkan. Setidaknya buat saya. Jadi, ngopi itu jadi
mirip kehidupan, makin rumit. Cialat tenan!

Apa pasal? Beberapa waktu belakang, saya yang sudah sejak kecil minum kopi, dikagetkan
dengan pernyataan: Jangan ngaku pecinta kopi kalau kopinya kopi sachetan!. Sejak kecil,
saya minum kopi kampung. Kopi tumbukan sendiri. Tak pusing apa jenis kopinya. Pokoknya
disangrai lalu ditumbuk dan diayak halus sebagaimana kopi kampung lainnya.

Menjelang akil baligh, saya mulai kenal kopi pabrikan, lalu kenal kopi sachetan. Setelah itu
mulai kenal kopi dengan krimer instan, yang sachetan. Isi kepala saya sampai saat ini, kopi
sachetan yang enak, ya enak saja.

Enak menurut saya tentu harusnya tidak perlu minta izin dan permakluman orang lain,
bukan? Makanya saya kaget, ketika ada pernyataan soal kopi sachetan tadi.

Pertama, saya tak perlu menahbiskan diri sebagai pecinta kopi. Saya ngopi, secara rutin. Itu
saja. Dus, ndak papa kalau saya sampeyan anggap bukan pecinta kopi, hanya karena ngopi
sachetan. Kedua, apa kecintaan saya akan kopi ini harus dibuktikan pada orang? Jika saya
cinta kepada salah satu dari anda, bukankah yang perlu saya buktikan itu hanya kepada yang
saya cintai tadi? Bukan kepada khalayak.

Lalu ditambahi, muncul juga orang-orang yang bilang bahwa minum kopi pakai gula itu
keliru. Keliru. Sekali lagi, keliru. Orang yang minum kopi dan ditambahi gula, dikatakan
keliru. Yang saya jadi mikir kalau ada organisasi resmi di bidang perkopian yang bertugas
menegakkan regulasi soal tata cara minum kopi, pasti saya dihukum berat hanya karena ngopi
ditambahin gula.

Kawan saya cerita tentang bahaya minum kopi pake gula. Bisa diabetes, katanya. Fokus dia
bukan di gula lho ya, tapi kopi tanpa gula sebagai penyebab diabetes. Tiap ketemu, saya
diejek sebagai golongan orang yang sesat dan merugi, karena kopi bergula. Sedangkan dia
tak terima kalau saya tegor soal kebiasaannya merokok. Hak, katanya. Sedangkan saya
semacam tak punya hak menambahkan gula pada kopi saya sendiri, di matanya.

Lha lalu bagaimana nasib jutaan orang yang sejak dulu minum kopi dengan gula? Apakah
setelah mati akan dihisab, dibandingkan kadar kafein dan glukosa dalam tubuh untuk
menentukan dia layak masuk ke surga kopi atau nerakanya?

Lalu apa ndak boleh orang untuk ndak suka dengan kopi yang rasanya kecut itu? Hanya
karena dibilang begitulah cara menikmati kopi yang sejati?
Kemudian ada juga yang menasehati begini: Minum kopi kok sekali teguk? Kayak orang
haus saja. Kali ini cara minum pun saya dianggap salah. Saya diajari untuk minum kopi
seteguk demi seteguk. Banyak yang lupa, fungsi utama minum itu ya karena haus. Lupa?

Jadi saya dibilang kudu nyeruput sedikit, lalu ngobrol. Lalu nyeruput dikit lagi. Gitu terus.
Ngobrol? Lha kalau lagi sendirian? Atau lagi gak pengen ngobrol? Atau gak punya bahan
tontonan dan bacaan juga gawai ponsel saya habis daya?

Terus kalau minum kopi esspresso juga seteguk demi seteguk? Ha gelasnya kayak kutil gajah
gitu..

Minum kopi sekali teguk juga dibilang bidah, tidak sesuai tuntunan. Sebentar, tuntunan siapa
sih?

Tak tahan, saya akhirnya bertanya dalil dari aturan-aturan yang saya sebutkan tadi.
Termaktub di mana sih sehingga nampaknya beberapa dari teman saya paham benar tentang
tata cara minum kopi yang sesuai tuntunan, sedang saya sama sekali buta.

Lha minum kopi itu buatku udah kayak ibadah lho, mas! Kopi itu agamaku., ujar teman
saya.

Batin saya njerit. Secara empiris, konsumsi atas sesuatu yang bau-bau agama itu ujung-
ujungnya kita harus merogoh kocek lebih dalam. Dan benar, jika saya ingin minum kopi
sesuai syariat, ternyata harganya lebih mahal daripada kopi yang biasa saya minum, terutama
yang sachetan.

Tentu, para penikmat kopi salafy yang garis keras tentu akan berujar bahwa cara saya
minum kopi tidak beradab. Savage! Bahwa cara saya ngopi tidak memungkinkan bagi saya
untuk mendapatkan puncak kenikmatan hakiki dari kegiatan ngopi.

Saya juga paham, bagi beberapa orang ngopi itu seni tersendiri. Tapi seni itu tidak untuk
semua orang. Ada yang pengen ngopi ya sesederhana ngopi saja. Ndak lebih pake seni-
senian.

Kembali lagi, urusan kenikmatan yang saya rasakan, yang saya kejar, yang saya idamkan kan
ya menurut saya tho ya? Dan jika kopi itu agama, siapa anda lalu memaksakan tata cara
ngopi ke saya?

Apa lantas nanti akan muncul FPK, Front Pembela Kopi, dengan agenda menyelamatkan
kesesatan umat manusia dari cara minum kopi yang tidak sesuai tuntunan? Ini kok apa-apa
jadi salah sih?

Mungkin awalnya seloroh. Saya paham itu. Atau just kidding alias hanya guyon belaka. Tapi
ketika guyon itu dilakukan secara kontinyu, dengan penuh iman, maka tak heran bukan jadi
muncul kelompok elitis yang berkembang menjadi sangat elit dalam urusan mengejek umat
penikmat kopi yang berbeda.

Dan tahukah anda apa yang sering dibilang sebagai: Cuman guyon kok!? Bullying. pelaku
bullying atau merisak juga banyak yang menganggap tindakannya sebagai sebuah guyon
belaka.
Dan jika pembaca ada yang merasa tulisan saya ini bentuk over-sensitif dari saya, tahukah
anda siapa yang sering dianggap over-sensitif? Yak tul, para korban bully.

Maka jangan heran, ketika ke sebuah cafe, memesan kopi dan sang barista menertawakan
saya saat meminta gula untuk kopi saya, saya akan melawan. Saya akan tetap menuntut hak
saya akan gula. Pertama, saya adalah konsumen. Dan saya berhak mencintai kopi dengan cara
yang saya kehendaki!

Menutup tulisan ini, saya ingin bilang. Ha mbok dikurang-kurangi tho merasa lebih hebat
dari orang lain karena cara ngopi kalian itu kalian anggap yang paling benar.. Mbok sana
ngangkring, atau ke warung-warung pinggir jalan. Mau kalian anggap apa itu mereka yang
happy-happy saja ngopi sachetan, pake gula dan sekali teguk?

Sombong itu tidak baik.

Dan lalu saya teringat pernah membaca di beberapa kesempatan, olokan akan tipe mobil
tertentu. Avanza dan Xenia sudah lewat masa olok-olokannya, kini kehormatan untuk
menjadi bahan olokan kaum kelas menengah jatuh pada Agya dan Ayla. Bahkan ada yang
mengategorikan dua tipe mobil itu sebagai benda yang tak berguna di muka bumi ini.

Kalian boleh peduli akan regulasi LCGC, juga boleh kuatir dengan faktur keamanan mobil
LCGC, tapi menghina para penggunanya, meskipun secara tidak langsung, hanya
menunjukkan bahwa anda tidak jauh berbeda dengan mereka yang merasa ekslusif lalu
memaksakan kehendak kepada yang lain.

Ngopi yuk!

PS: Untuk kawan-kawan saya yang pecinta kopi garis keras, ukhuwah al kafeinniyah kita
harus tetap dijaga yes? Love you!

The Accountant
Posted on October 18, 2016 by BNGPY

Ayolah! Ini film Batman! Spoiler alert!

Semalam saya nonton film The Accountant, yang diperankan oleh Ben Affleck (yang juga
meranin Batman*), karena tertarik sejak pertama nonton trailernya di Youtube. Sepanjang
waktu saya menonton, terus-terusan saya mbatin bahwa ini adalah film Batman yang lebih
Batman daripada Batman V Superman!
Bocoran, inti filmnya begini, Ben memerankan tokoh yang mengidap sindrom asperger,
sehingga sulit berinteraksi dengan orang lain, yang bekerja sebagai seorang akuntan.
Disamping itu dia mempunyai hobi menembak. Belakangan ketahuan bahwa dia bukan
akuntan sembarangan. Klien-kliennya bermacam-macam, mulai dari orang biasa, perusahaan
besar, penjahat internasional sampai teroris.

Kemudian kisahnya meruncing, selain dia dicari oleh pihak pemerintah, sang akuntan juga
diburu oleh kliennya, untuk dibunuh karena berhasil membongkar kecurangan dalam
pembukuan perusahaan multi-nasional selama bertahun-tahun.

Sang akuntan punya semacam batcave, di mana dia menyimpan semua kebutuhannya yang di
luar kenormalan (senjata, paspor palsu, uang, emas dan lain-lain).

Dia juga mempunyai dua identitas, di luaran dia hanyalah akuntan biasa, hingga beberapa
dialog di film terkesan diulang-ulang: Jancuk! Dia cuman seorang akuntan!. Nyatanya
tidak, dia juga mahir bela diri, menembak, spionase dan lain sebagainya, bahkan dia
mempunyai banyak nama samaran, hingga tidak diketahui nama aslinya.

Mungkin ndak cuma saya sih yang merasa bahwa belakangan Indonesia sering disebut dalam
film. Di film ini, sang akuntan pernah belajar bela diri (yang mirip-mirip) pencak silat, di
Jakarta. bahkan ada kalimat dalam bahasa Indonesianya:

Tidak apa-apalanjutkan saja,.


Jika Bruce Wayne suka mengadakan acara amal bagi kemanusiaan, sang akuntan
mengumpulkan uang hasil bekerjanya, lalu dicuci dengan mekanisme money laundry, untuk
kemudian sebagian besar uang tersebut didonasikan ke yayasan yang menangani anak-anak
penderita autisme. Mirip kan?

Juga ada adegan di mana sang akuntan berada di satu ruangan di mana jasad bapak dan
ibunya ada di sana bersamaan. Batman banget kan?

Sang Akuntan juga bertemu tokoh perempuan yang menyita perhatiannya, hanya saja
hubungan keduanya tak bisa berjalan lancar, selain karena gaya hidup, juga terkendala
autisme yang dideritanya.

Tokoh wanita utama di film ini diperankan oleh Anna Kendrick yang tampil memesona,
kalau menurut saya, kecantikannya itu tidak membosankan. Sayangnya sang akuntan tidak
diceritakan hidup bahagia bersama dengan perempuan yang memikat hatinya itu. Lagi-lagi
kayak jalan cintanya Batman, kan?

Bruce Wayne memiliki trauma di masa kecil, yang mengganggu selama hidupnya. Ini juga
sama persis dengan yang diderita oleh sang akuntan di film ini, bedanya, di film ini sang
jagoan menderita autisme asperger.

Juga sama-sama tidak gampang tersenyum. Juga sama-sama dianggap penjahat oleh otoritas
keamanan. Juga sama-sama punya asisten yang bekerja melalui sambungan telekomunikasi.

Dan sama-sama ada pertanyaan: Who are you?.

Oh iya, kelupaan. Tokoh Ray King, direktur kejahatan keuangan dari Departemen keuangan
yang mengejar tokoh sang akuntan, diperankan oleh J.K. Simmons, yang juga akan berperan
sebagai Komisaris Gordon di film Justice League yang akan datang!

Film ini layak ditonton. Saya menikmatinya dari awal hingga akhir sampai-sampai saya
berdoa agar ada sekuelnya di masa yang akan datang. Dan kalau boleh usul, bisa diberi judul
The Accountant: The Depreciation of Justice.

Paham (joke-nya)?

Kesimpulannya: ini film superhero terbaik di tahun 2016.**


*Ben Affleck pemeran Batman terbaik (buat saya
**setelah Deadpool, tentu saja.

Puisi
Posted on January 21, 2014 by abangpay

Semenjak saya mengenal puisi di bangku sekolah, definisi puisi di dalam otak saya adalah
rangkaian kata-kata yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk baris dan bait, yang sebisa
mungkin keliatan mewah dan rumit.

Mewah dan rumit. Karena puisi (di dalam kepala saya) tidak mungkin menggunakan kata-
kata sembarangan. Sebisa mungkin berupa pilihan terbaik dari seluruh kosakata yang
mewakili maksud pembuat puisi tersebut. Rumit, karena pada akhirnya sebuah puisi akan
sulit untuk dipahami, bisa disalahpahami atau bahkan sama sekali tidak dipahami.

Maka lantas wajarlah saya punya pendapat bahwasanya pembuat puisi itu memang sengaja
menyamarkan apa yang sebenarnya terlintas di dalam benak mereka dan menuangkannya
dalam bentuk rangkaian kata yang memang didesain agar tidak mudah dipahami, semacam
kode yang susah untuk dienkripsi. Makanya dulu sering dapat tugas untuk memprosakan
puisi, katanya agar lebih dipahami.

Yang menurut saya malah sebaliknya, sulit. Membuat prosa dari sebuah puisi, mau tidak mau
kita harus mencoba memahami puisinya terlebih dahulu. Atau, setidak-tidaknya pura-pura
paham. Ya, sebagai rantai makanan paling bawah dalam dunia pendidikan di bangku sekolah,
tugas memprosakan puisi itu harus selesai. Tidak soal apakah saya paham atau tidak. Maka,
pura-pura paham puisi menjadi sangat penting.

Seiring perkembangan jiwa saya, belakangan saya punya sudut pandang lain soal puisi. Tidak
semua puisi adalah kode rahasia, yang sengaja dibuat agar tak semua memahami isi hati sang
penyair. Karena rupanya saking banyaknya unek-unek, bisa saja malah terwakili dengan
sedemikian pendeknya kalimat dalam puisi.

Maka wajar, jika sebuah puisi mampu mewakili keruwetan hati hingga ketika membaca baris
demi baris dan bait demi bait, sang pembaca merespon dengan: Anjing! Ini gue banget.

Lantas, apakah jika sebuah puisi menjadi dicintai pembaca, akan serta merta ia mempunyai
maksud dan makna yang memang dimaksudkan oleh sang penyair? Belum tentu.

Tapi kayaknya hal itu ndak penting. Intepretasi boleh berbeda, tergantung pribadinya. Dan
saya kira, sang penyair tidak keberatan, bahkan malah kagum jikalau puisinya menjadi multi
intepretatif.

Setidaknya itu bagi saya. You may disagree. Dan lebih lanjut, puisi itu bisa dalam media apa
saja. Bukankah lukisan adalah puisi yang digoreskan dalam kanvas? Lagu itu bukankah
sebenarnya penjelmaan puisi yang dibalut nada? Dan laporan keuangan itu sejatinya puisi
sang akuntan?
Dan sepuluh tahun terakhir ini bukankah seperti kumpulan antologi puisi SBY dalam dua
jilid?

Peran
Posted on December 8, 2011 by BNGPY

Tadi pagi saya mengikuti In House Training (IHT) tentang komunikasi yang dipandu oleh
tim dari LCC LP3I yang diadakan di kantor saya. Sesi pertama dibawakan a la akademisi
oleh Ibu Dian Marhaeni K., M.Si, dosen Akhlaq Komunikasi pada Mata Kuliah Periklanan
dan Public Relations di Fakultas Komunikasi Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Sesi kedua dibawakan oleh Bapak Antony Susilo dengan gaya motivator atau public speaker.
Tanpa membawa materi, hanya bertukar pikiran dan pengalaman yang dikumpulkan secara
empiris.

Tulisan ini bukan hendak mengulas soal isi atau materi IHT tersebut. Saya sangat tertarik
dengan cerita Pak Antony.

Jadi, saya pernah bertemu dengan Ketua REI Jawa Tengah. Saya bertanya tentang rahasia
sukses beliau sampai bisa menduduki posisi saat ini. Beliau lalu bercerita bahwa dulunya
hanya bekerja sebagai petani bunga melati.

Bunga melati tersebut diekspor (utamanya) ke Singapura. Dalam jumlah berton-ton. Lalu
melihat pangsa pasar yang begitu besar, datanglah pengusaha Malaysia.

Pengusaha itu lalu membeli bibit atau benih bunga melati dari petani lokal dengan harga jauh
lebih mahal dari harga pasaran. Tentu saja para petani tertarik, meski para pengekspor
melarang dan meyayangkan kejadian tersebut.

Kalian sih sudah kaya, tapi kami pingin kaya juga!, ujar Pak Budi menirukan cerita yang
dia dapat dari Ketua REI tadi.

Apa dampaknya? Sepuluh tahun setelah kejadian tersebut, Malaysia menjadi pengekspor
utama melati ke Singapura dengan harga yang jelas lebih murah dibanding dengan harga dari
Indonesia karena (salah satunya) biaya kirim yang lebih rendah.

Kebenaran cerita tersebut memang susah dibuktikan karena minimnya data dan fakta. Dan
cara saya dalam menceritakan kembali cerita Pak Antony jelas sangat jauh berbeda, penuh
bias dan terdistorsi.
BUKANKAH DULU KITA MENGIRIMKAN GURU KE MALAYSIA? DAN KINI
HANYA MENGEKSPOR BURUH?

Tapi satu hal yang harus kita pahami. Bahwa egoisme mungkin menguntungkan kita tapi
merugikan orang lain baik sedikit atau banyak, baik cepat ataupun lambat.

Kita boleh benci dengan negara jiran tersebut, tapi jangan asal benci. Semua kekalahan atau
ketertinggalan kita dengan pihak lain, seharusnya memecut kita untuk bercermin lalu
mengoreksi diri kita.

Karena jika kita terjebak pada ritual membenci saja, kita akan makin terpuruk dan tertinggal.
Saya memang tidak berfokus menjalankan hidup saya demi ngurusi negara, kalaupun ada
peran saya pastilah sangat sedikit. Saya sadar itu. Sendiri, saya tak berarti.

Tapi yang ingin saya lakukan adalah pesan orang tua saya dulu:

Jika tak bisa membantu, jangan mengganggu!

Saya tak ingin menjadi pribadi yang sibuk mencibir tiap kali ada orang lain yang teriak:
demi negara! demi bangsa! dengan alasan tidak percaya ataupun karena menganggapnya
sia-sia. Saya tak ingin sibuk mengkritisi tanpa melakukan apa-apa.

Negara kita sangat besar. Sangatlah besar. Tak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah.
Jika kita membenci pemerintah, bukan alasan bagi kita untuk membenci negara kita, bangsa
kita. Bukan juga alasan untuk merasa malu menjadi bangsa Indonesia.
Jadi, jika benci dengan pemerintah, singsingkan lengan baju dan lakukan sesuatu demi
negaramu. Bukan mati-matian menggulingkannya untuk lalu kaget jika kemudian
pemerintahan hanya dikuasai oleh bajingan baru.

Pernah dengar cerita tentang sebuah kerajaan dimana suatu hari sang raja ingin agar masing-
masing rakyatnya mengumpulkan sesendok madu? Madu yang sedianya dikumpulkan di
sebuah gentong raksasa di alun-alun kerajaan tersebut memang terisi penuh.

Tapi ada seseorang yang berpikir: Ah! Sayang kalau madu kepunyaanku dikumpulkan untuk
raja, lebih baik sendoknya kuisi dengan air. Satu sendok air tentu tak akan berpengaruh pada
madu yang dikumpulkan oleh seluruh rakyat bukan?

Orang tersebut lalu menyetor madu palsunya dan menuangkannya ke gentong raksasa yang
telah disediakan. Ketika akhirnya semua telah menyetorkan sendok demi sendok, semua
terkejut. Tak ada rasa madu di gentong yang terisi penuh tersebut.

Yang terasa hanyalah air. karena rupanya hampir semua rakyat kerajaan itu berpikir: Ah,
sesendok air tak akan berpengaruh pada segentong madu raksasa!.

MERDEKA!

Blog Versus Micro-Blogging


Posted on November 14, 2011 by BNGPY

Saya makin yakin bahwa menulis dan membaca adalah dua hal yang sebanding dan
sebangun. Normalnya, makin banyak membaca, makin banyak pula hal yang bisa ditulis.
Belakangan saya memang jarang sekali membaca (baca: tidak pernah). Banyak alasan yang
bisa saya bualkan, tapi kemalasanlah alasan sebenar-benarnya.

Saya bukan penulis yang tulisannya nyangkut di surat kabar, atau novelnya terpampang di
toko buku. Tulisan saya hanya sebatas sampai pada halaman blog saya. Dan itupun
terbengkalai untuk lalu mati.

Blog yang alamnya ada di dunia internet menjadi anak tiri dibanding item-item lain di
kehidupan berinternet saya. Adalah jejaring sosial yang menggeser kecanduan saya akan
ngeblog. Blog yang pada awalnya menjadi media jejaring sosial juga bagi saya (sebelum ada
facebook), telah mengenalkan saya kepada pribadi-pribadi luar biasa di blogosphere.

Pribadi-pribadi tersebut lalu berkenalan dengan media jejaring sosial lain. Juga saya. Seperti
blog namun dalam dosis sangat pendek. Hanya seratus empat puluh karakter sekali posting,
tapi bisa disebut blog. Namanya twitter.
Jujur, saya agak ketinggalan mengikuti dunia secerewet twitter. Karena dulu saya pikir, apa
yang bisa saya lakukan dengan karakter seterbatas itu. Saya salah. Di tengah mandeknya
produktivitas saya dalam menulis (blog), twitter menyuntikkan semangat baru untuk menulis.

Oke, saya punya akun facebook, tapi jika terlalu sering cuap-cuap di facebook, itu akan
sangat mengganggu teman-teman saya. Hal ini tak berlaku di twitter, rupanya. Semangat saya
dalam menulis sempat naik-turun juga di twitter. Ya, saya penjemu. Dan sok sibuk dengan
banyak hal lain.

Tapi kemudian saya berpikir, tanpa ngetweet, maka saya pensiun total dari dunia tulis-
menulis. Perlahan dan setengah mati, saya terus-menerus memaksa diri saya untuk menulis di
akun twitter saya. Tak mudah meski sebenarnya tak ada yang menarik dari tulisan-tulisan
saya di twitter . Kebanyakan hanya celetukan sinis dan sok-humoris atas link berita tertentu
dari situs lain, celoteh jorok dan (sering) menjurus, serta narsisme.

Kemudian saya berpikir, jika dalam sehari saya bisa menulis 30 sampai 40 tweet, itu artinya
saya menulis kira-kira 4.200 sampai dengan 5.600 huruf. Itu cukup untuk menjadi sebuah
tulisan untuk blog. Dan tulisan blog itupun nantinya bisa menjadi bahan untuk di-tweet!

Meski nampak seperti win-win-solution, pelaksanaannya ternyata sangat sulit. 4.000 huruf
bisa jadi 30 celoteh di twitter dengan tema yang berbeda. Sedang untuk menjadi satu tulisan
blog, harus ada tema atau topik yang kuat untuk dibahas.

Dalam dunia saya, twitter menang sedang blog saya lagi-lagi: KALAH!

Anda mungkin juga menyukai