SKRIPSI
Oleh:
NIM. 3182122013
i
ABSTRAK
Nop Berilayani Hia, NIM. 3182122013, Labeling Satua Barö Pada Perempuan
Belum Menikah Usia Dewasa Etnis Nias Di Kota Medan, Program Studi
Pendidikan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeru Medan.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
Berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
Labeling Satua Barö pada Perempuan Belum Menikah Usia Dewasa Etnis Nias di
Kota Medan. Tulisan ini sebagai syarat untuk memeroleh Gelar Sarjana Pendidikan
(S1) pada Program Studi Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Medan.
Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung, berupa
dukungan doa, arahan, bimbingan, motivasi dan semangat hingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu dengan penuh ketulusan hati, penulis
mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Syamsul Gultom, SKM., M.Kes selaku Rektor Universitas
Negeri Medan.
2. Ibu Dra. Nurmala Berutu, M.Pd selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Medan.
3. Ibu Dr. Rosramadhana, M.Si selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Antropologi sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi saya, yang selalu
memberikan arahan dan bimbingan dan ilmu yang bermanfaat sehingga bisa
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Bakhrul Khair Amal, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik
sekaligus Dosen Penguji, yang sudah menjadi pengganti orang tua penulis
selama masa perkuliahan yang selalu bersedia mendengarkan dan
memberikan solusi dalam perkuliahan penulis serta memberikan nasehat-
nasehat yang baik bagi penulis.
5. Ibu Ratih Baiduri, M.Si selaku Dosen Penguji penulis yang telah
memberikan arahan, motivasi dan ilmu serta semangat pada penulis selama
masa perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
6. Ibu Ayu Febryani, S.Pd, M.Si selaku Dosen Penguji sekaligus Dosen
Pendamping dalam menyelesaikan karya tulis yang dilakukan oleh penulis
iii
selama perkuliahan, yang dengan sabar selalu memberikan motivasi,
semangat, arahan dan bimbingan serta ilmu yang bermanfaat bagi penulis.
7. Seluruh Bapak/Ibu Dosen di Program Studi Pendidikan Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan yang telah membimbing
dan memberikan banyak sekali ilmu pengetahuan kepada penulis untuk
bekal di masa yang akan datang.
8. Kepada Kepala Balitbang Kota Medan dan seluruh jajarannya yang sudah
membantu dan membimbing penulis terkait pengurusan surat izin
penelitian. Serta kepada kepala lurah Kelurahan Kwala Bekala, Kelurahan
Besar, dan Kelurahan Madrash Hulu yang sudah menerima dan memberikan
izin kepada penulis untuk melakukan penelitian diwilayahnya.
9. Seluruh informan yang terlibat dalam penelitian ini yang telah memberikan
waktu, pemikiran dan pengetahuannya selama proses pengumpulan data
yang dilakukan dalam menyusun skripsi.
10. Teristimewa kepada kedua orang tua kandung penulis yaitu Bapak Ododogo
Hia dan Ibu Onima Zendrato yang selalu mendukung penulis melalui doa,
kasih sayang, motivasi, materi, dan waktu kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
11. Kepada saudari kandung penulis yaitu Adinda Krisdamaiyanti Hia yang
selalu memberikan semangat pada penulis, mendengarkan keluh kesah
penulis dan doa untuk selalu membanggakan kedua orang tua dan keluarga
sehingga penulis termotivasi untuk terus semangat.
12. Teman-teman perjuangan sekaligus sahabat penulis yaitu Rosanti Sianturi,
May Nisha Perbina Br. Barus, Ebenezer Berutu, Sermila Sihotang dan
Rikky Panggabean yang merupakan orang tangguh dengan segala
candaannya dan suka mengabsen kehadiran di digital library setiap harinya
yang sudah selalu memberikan dukungan doa, motivasi, dan membantu
penulis selama proses perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
13. Kepada Aktivis Karnitus Zebua, Helen Nardalia Gea, Erlin Nainggolan dan
Febryanto Malau merupakan orang yang tak kenal lelah dan selalu bahagia
yang sudah memberikan dukungan doa dan motivasi kepada penulis untuk
iv
menyelesaikan skripsi ini. Serta pula kepada, Sari Laura Pasaribu, Chika
Isabella Br Sembiring, dan Natalia Sihombing yang juga memberikan
semangat dan selalu menanyakan kabar dari penulis.
14. Kepada kakak Pkk Ukmkp-Up Fis yaitu Kakak Iin Lavenia Sibuea yang
selalu mendengarkan keluh kesah penulis, memberikan dukungan doa,
motivasi dan saran kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Serta
kepada KTB penulis yang juga May Nisha Perbina Br. Barus, Paulus Seftian
Sitorus dan Listin Sarumaha yang memberikan motivasi dan semangat
perjuangan yang luarbiasanya kepada penulis.
15. Teman sepelayanan penulis di gereja khususnya Mamasakhi Irel Zendrato
dan Aswina Gea yang sudah mendengarkan keluh kesah penulis,
memberikan dukungan doa, motivasi dan saran yang membangun bagi
penulis untuk terus semangat menyelesaikan skripsi ini.
16. Teman-teman satu bimbingan skripsi yaitu Siti Aisyah Lubis, Karina Ita
Apulina Br Bangun, Lina Kristiani Br Purba, Nur Adawiyah Siregar dan
Selma Karami Zulpana yang telah sama-sama berjuang dan memberikan
informasi kepada penulis.
17. Teman-teman kelas B Reguler 2018 yang telah membersamai selama 4
tahun dalam proses perkuliahan dan memberikan dukungan doa, semangat
serta motivasi yang luarbiasa kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa di dalam menyusun skripsi ini masih jauh dari
kata sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan dukungan
moril berupa kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih dan semoga skripsi
ini berguna bagi kita semua.
Medan, 05 September 2022
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN..................................................................................... i
ABSTRAK………………………………………………………………………...ii
vi
3.1 Jenis Penelitian ............................................................................................ 22
4.4 Upaya yang dilakukan perempuan belum menikah usia dewasa ................ 79
vii
LAMPIRAN - LAMPIRAN .................................................................................. 99
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 baluse (perisai), toho (tombak), dan balatu (pisau) .......................... 32
Gambar 4.2 Böwö ba wanowu niha ma’uwu hia silima ina lahömi: fondrakö döfi
1990 (Jumlah jujuran atau mahar pernikahan keturunan hia silima ina
lahömi: fondrakö Tahun 1990) ........................................................ 58
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Jumlah penduduk berdasarkan kecamatan dan jenis kelamin .............. 45
x
BAB I
PENDAHULUAN
berdampingan, menjadi penolong satu dengan yang lain. Hanya saja, perempuan
dan laki-laki memiliki perbedaan khususnya dari segi fisik. Perbedaan lain yang
terdapat yaitu pada kodrat seorang perempuan yang harus melahirkan, menyusui
dan menstruasi. Selain itu, perempuan dan laki-laki mempunyai status yang sama
dalam masyarakat, hanya yang membedakannya terdapat pada peran dan fungsi
Etnis Nias adalah etnis yang mendiami pulau Nias, yang secara administratif
termasuk dalam wilayah provinsi Sumatera Utara. Etnis Nias kaya akan
kebudayaan setempatnya yang menjadi sebuah identitas sosial. Salah satunya yaitu
budaya yang berlaku di masyarakat. Hal ini menyebabkan struktur sosial yang ada
pada etnis Nias cenderung dikuasai oleh peran laki-laki. Bagi etnis Nias laki-laki
merupakan tongkat estafet penerus dan pelindung bagi keluarga dan saudara-
pembawa citra yang baik bagi keluarganya. Sehingga, seorang perempuan haruslah
1
2
pertimbangan yang bukan hanya berasal dari dirinya sendiri, tetapi didasarkan pada
untuk mempertahankan citra baik dari sebuah keluarga etnis Nias. Keterbatasan
menikah. Laki-laki dan perempuan etnis Nias yang menginjak dewasa dari segi
umur harus segera menikah. Dewasa menurut Jahja (2011), adalah segala sesuatu
yang telah matang bukan lagi dianggap sebagai anak-anak, dan menurut Hurlock
(dalam Jahja, 2011: 246) terdapat tiga masa dewasa yaitu pertama dewasa awal
berumur 21-40 tahun, kedua dewasa madya berumur 41-60 tahun, dan ketiga
dewasa lanjut usia berumur 60 tahun hingga akhir hayat. Pernikahan tentunya
merupakan impian dari kebanyakan orang dan dianggap sebagai upacara yang
sakral oleh perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, banyak dari perempuan dan laki-
laki yang memutuskan untuk belum menikah ketika sudah memasuki usia dewasa.
Bagi etnis Nias laki-laki dewasa belum menikah dianggap sebuah hal yang
wajar, karena sedang mempersiapkan diri menuju tingkat kedewasaan yang lebih
dianggap menjadi masalah bagi sebuah keluarga karena dinilai telah gagal dan
perempuan tersebut akan diberi label. Perempuan dewasa yang tidak menikah
mendapat label Satua Barö. Biasanya perempuan yang mendapat label Satua Barö
3
adalah perempuan dewasa yang berusia 20 tahun keatas dan belum menikah (Dachi
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang
didominasi oleh perempuan yang tidak menikah diatas umur 19 tahun. Hal tersebut
menunjukkan bahwa fenomena ini merupakan hal yang sudah lama terjadi.
Labeling yang disematkan seolah menjadi hal yang wajar diberikan pada seseorang
yang dianggap melakukan pelanggaran dan menjadi sebuah reaksi yang diberikan
oleh masyarakat itu sendiri (Narwoko dan Suryanto, 2004). Labeling yang
diberikan terhadap perempuan dewasa etnis Nias belum menikah merupakan label
Satua Barö berasal dari bahasa Nias yang biasanya diartikan perawan tua
atau perempuan dewasa secara umur tetapi belum menikah. Menurut Bolen (2021:
55) kata perawan yang memiliki arti bersih, murni, tidak rusak, tak pernah dipakai,
tak tersentuh dan tak dikerjakan oleh laki-laki. Label Satua Barö biasanya sering
disingkat Stbr, umumnya diberikan pada perempuan belum menikah dan berusia 20
tahun keatas (dachi et al, 2018). Label Satua Barö cenderung menjadi sebuah
identitas bagi perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias. Labeling Satua
Barö yang dialami oleh perempuan etnis Nias bukan hanya dialami oleh perempuan
4
yang tinggal di Pulau Nias saja akan tetapi, juga dialami oleh perempuan etnis Nias
di Kota Medan.
Kota Medan merupakan kota yang didiami oleh beragam etnis dengan
tidak menutup kemungkinan perempuan etnis Nias mendapat labeling Satua Barö.
Label tersebut diberikan pada perempuan etnis Nias di Kota Medan yang belum
menikah namun sudah menginjak dewasa. Biasanya label ini diberikan oleh
masyarakat Nias yang juga tinggal di wilayah Kota Medan. Labeling ini di Kota
Medan diberikan pada perempuan yang berusia 30 tahun keatas, usia tersebut
tentunya memiliki perbedaan dengan usia yang ditentukan oleh etnis Nias itu
sendiri khususnya yang mendiami wilayah Pulau Nias. Labeling yang diberikan
pada perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias di Kota Medan
dalam segi sosial dan budayanya. Kehidupan seorang Satua Barö menjadi sebuah
hal yang harus ditutupi, dan cenderung dianggap tidak penting untuk diperlihatkan.
keterbatasan gerak. Salah satu akibat dari pemberian label terhadap perempuan
belum menikah usia dewasa etnis Nias di Kota Medan yaitu cenderung kurang
penelitian ini yang berfokus pada labeling Satua Barö di Kota Medan, dengan judul
“Labeling Satua Barö Pada Perempuan Belum Menikah Usia Dewasa Etnis Nias di
Kota Medan”.
5
etnis Nias di Kota Medan agar tidak diberi labeling Satua Barö?
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah penulis uraikan
pada perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias di Kota Medan
dewasa etnis Nias di Kota Medan agar tidak diberi labeling Satua Barö
a. Bagi peneliti
b. Bagi masyarakat
tentang perempuan dewasa etnis Nias dalam kehidupan sehari-harinya dan sebagai
pandangan baru bagaimaan seorang perempuan dalam mitologi ono niha memiliki
menjadi objek ketidakadilan dalam budaya patriarki yang telah terbentuk sejak
dalam budaya patriarki karena konstruksi sosial yang membuatnya diduakan dan
dianggap sebagai kaum lemah dan rendah berdasarkan atasa label koderat.
Penindasan yang dialami oleh perempuan dalam masyarakat baik sosial, politik,
adalah berakar dari budaya patriarki dimana laki-laki berasumsi bahwa perempuan
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Dachi, Daeli, Harefa dan Lase
(2018) dengan judul “Perkawinan Usia Anak di Nias”. Penelitian ini dilakukan
anak yang terjadi di Nias khususnya di Kecamatan Sitolu ori Kabupaten Nias Utara,
7
8
bahwa selama kurun waktu 2022-2018, dari 90 orang perempuan beruia 15-40
tahun sebanyak 22 orang menikah pertama kali umur 15-19 tahun. Penyebab dari
perkawinan usia dini adalah pergaulan bebas (seks pra-nikah), pendidikan rendah,
tradisi atau adat perkawinan, orientasi keturunan, kemiskinan, lakhomi (harga diri),
dan kawin paksa. Selain itu, dampak dari perkawinan usia dini meliputi dampak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkritisi problem sosial perempuan dalam
dari perspektif gender. Adapun hasil dalam penelitian ini yaitu perempuan belum
keluarga yang terlihat dari besarnya jujuran yang diminta oleh orang tua. Hal
Penelitian relevan terkait dengan perempuan yang belum menikah dapat kaji
melalui penelitian yang dilakukan oleh Fauzana (2019) dengan judul “Gadih
perlakuan yang diterima gadih gadang alun balaki dari lingkungan masyarakat. 2)
9
alun balaki dari sudut pandang aktor. Metode penelitian yang digunakan yaitu
menujukkan bahwa bentuk perlakuan yang diterima oleh gadang alun balaki dari
Perlakuan yang diterima tersebut ditanggapai oleh gadih galang alun balaki dengan
memberikan penjelasan, menarik diri dan bersikap acuh terhadap perlakuan yang
diberikan oleh masyarakat. Hasil lainnya menujukkan bahwa makna label gadih
gadang alun balaki yang diberikan menimbulkan perasaan terganggu, merasa biasa
tidak pernah menikah. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kesehatan pada
perempuan tidak menikah mengalami polarisasi yang dihasilkan dari respon yang
diberikan masyarakat. Disatu sisi, mereka merasa kuat dan tidak peduli dengan
masyarakat, sadar untuk bekerja, giat dan tidak membutuhkan pernikahan. Disisi
lain, perempuan yang tidak menikah merasa lemah, sensitif dan merasa tidak
dan kesusahan.
10
edisi 9-10 November 2017. Teknik analisis dalam penelitian ini menggunakan
berdaya, penyebab masalah, dan patut disalahkan atas masalah yang terjadi. Selain
itu sendiri.
Hidup pada Wanita Dewasa Madya yang Belum Menikah”. Tujuan penelitian yang
dilakukan adalah untuk mengetahui bagaimana makna hidup pada wanita usia
perempuan yang belum menikah akan memaknai hidup dengan mandiri, menerima
dengan judul “Labeling Pada Perempuan Maskulin”. Adapun tujuan dari penelitian
perempuan maskulin seperti lesbian, korak, urakan, aneh dan melanggar agama.
tersebut dengan bersikap cuek tidak peduli, anti sosial, dan berani melawan.
remaja perempuan dan mendeskripsikan makna dari labeling tersebut. Hasil dalam
penelitian ini yaitu faktor terbentuk labeling cabe-cabean disebabkan karena adanya
Stigma negatif tersebut berasal dari perilaku remaja seperti nongkrong dimalam
hari, berpakaian tidak sopan dan naik motor bertiga. Labeling cabe-cabean yang
labeling yang diberikan ternyata membuat remaja melakukan upaya untuk membela
tidak adil karena hanya memberikan reaksi tersebut pada remaja perempuan saja,
perempuan sebagai makhluk yang lemah, tidak berdaya, penyebab masalah dan
terkait perempuan yang tidak menikah dan labeling terhadap perempuan sudah
dilakukan, akan tetapi belum ada penelitian yang berfokus terhadap labeling yang
diberikan pada perempuan yang belum menikah di etnis Nias. Selain itu, penelitian
ini mengkaji secara mendalam terkait dengan latarbelakang dari munculnya label
satua barö terhadap perempuan yang diberikan oleh sekelompok etnis, dampak
yang ditimbulkan dari pemberian labeling serta, upaya yang dilakukan perempuan
Salah satu komponen penting dalam sebuah penelitian adalah teori, yang
bertujuan untuk menjelaskan suatu peristiwa yang terjadi. Penelitian ini aan
menggunakan teori labeling oleh Becker dan teori struktural fungsional oleh
Radcliffe Brown.
to criminal and/or deviant behavior; the theory focuses on the “reactors” rather
theory”. Dapat didefinisikan bahwa teori labeling berfokus pada reaksi orang lain
(diluar dirinya) dan pengaruh yang ditimbulkan sebagai akibat yang menghasilkan
diri mereka sebagai kriminal. Perilaku melanggar hukum/ aturan ini bukanlah yang
itu, ia menyatakan bahwa teori labeling memusatkan kajian terhadap reaksi orang
lain (diluar dirinya) dan pengaruh yang ditimbulkan sebagai akibat dari
penyimpangan yang dihasilkan. Teori labeling atau pemberian cap adalah reaksi
yang diberikan orang lain terhadap individu yang dianggap melakukan tindakan
Teori labeling menyatakan dua hal yang sangat penting yaitu pertama, orang
tergantung terhadap bagaimana orang lain menilainya. Segala sesuatu yang dilihat
dari waktu ke waktu. Terdapat dua konsep dalam teori labeling yaitu, 1) Primary
sebagai akibat dari penangkapan dan cap sebagai pelaku kejahatan. Dapat diketahui
bahwa labeling sebagai proses melabel seseorang yang diberikan sebagai identitas
Pemberian label atau cap pada seseorang dapat menghasilkan suatu peran
sosial yang menyimpang. Pemberian labeling ini juga dianggap sebagai sanksi bagi
seseorang yang dilabelkan negatif. Apabila cap atau label tersebut diberikan pada
seseorang maka akan melekat pada diri orang tersebut dan sangat sulit untuk
melepaskan diri. Perempuan etnis Nias yang belum menikah akan diberikan
labeling khusus karena dianggap melakukan tindakan negatif, yang merusak citra
Teori labeling ini sejalan dengan penelitian yang, dalam hal ini labeling
yang diberikan oleh etnis Nias kepada perempuan yang belum menikah usia dewasa
melakukan tindakan negatif. Teori labeling yang digunakan dalam penelitian ini
Nias dan menganalisis dampak yang ditimbulkan dari labeling Satua Barö terhadap
yang ada tersebut membentuk sebuah jaringan yang memiliki fungsi. Sehingga
dapat menjadi sebuah mekanisme adaptif yang mampu menjaga kehidupan sosial
yang teratur.
keterkaitan antara kajian budaya dengan struktur dan sistem sosial yang ada dan
memiliki pengaruh timbal balik antara sistem budaya dan sistem sosial yang ada di
dilakukan. Dalam hal ini untuk mendeskripsikan hubungan struktur dan fungsi yang
ada pada etnis Nias dengan pemberian labeling. Selain itu, juga berguna untuk
16
yang ada sehingga melahirkan upaya guna mencegah pemberian labeling tersebut.
Istilah gender masih sering disama artikan dengan sex yang nyatanya
memiliki pengertian yang berbeda. Sex (jenis kelamin) adalah pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis dan melekat
pada jenis kelamin tertentu. Konsep jenis kelamin ini digunakan untuk
membedakan berdasarkan unsur biologi dan anatomi tubuh (Tuttle dalam Narwoko
dan Suyanto, 2004:334). Sementara, gender adalah konsep hubungan sosial yang
akibat dari adanya perbedaan menurut kedudukan, fungsi dan orang masing-
masing.
diperkuat, dan dikonstruksikan secara sosial atau kultural, keagamaan, dan bahkan
sosial gender menganggap bahwa kaum laki–laki harus bersifat kuat dan agresif,
hal ini menjadikan laki-laki akan terlatih dan bersosialisasi untuk menjadi atau
menuju ke sifat gender yang telah ditentukan oleh masyarakat. Sebaliknya pula,
perempuan harus lemah lembut, sehingga sejak bayi perempuan mengalami proses
17
demikian dapat diketahui bahwa gender sebagai konsep merupakan hasil dari
pemikiran atau rekayasa manusia, yang dibentuk oleh masyarakat dengan sifat
dinamis karena perebdaan adat istiadata, budaya, agama dan sistem nilai bangsa,
disebut pulau Nias. Secara administratif Pulau Nias merupakan salah satu Pulau
yang ada di Provinsi Sumatera Utara (Wiradnyana,2010:1). Etnis Nias asli biasanya
menyebut dirinya Ono niha (anak manusia), hal ini dikarenakan dahulu nenek
moyang etnis Nias menganggap bahwa hanya daerah inilah yang dihuni oleh
manusia. Hampir seluruh penduduk yang berada dnjai Pulau Nias menganut agama
lainnya (Gustanto et al, 2005:8). Secara etimologi sendiri, penyebutan Ono Niha
berasal dari kata ono yang berarti anak, dan Niha yang berarti manusia.
Kebudayan tersebut menjadi landasan dalam berperilaku bagi etnis Nias. Etnis Nias
adalah penguasa terhadap perempuan yang terlihat secara nyata dalam sistem adat
istiadat yang ada dalam masyarakat Nias (Telaumbanua, 2017). Diera saat ini pun,
perempuan masih dianggap sebagai penguasa dalam domestik dan laki-laki pemilik
ruang (Gulo, 2019). Sistem patriarki yang dianut oleh etnis Nias telah menjadi
18
fondasi dan akar bagi kehidupan masyarakat Nias dalam bertindak dan berinteraksi
berpusat pada laki-laki (Yesyca, 2018). Hal itu menyebabkan pula seorang
yang tidak baik terhadap perempuan tersebut dan dianggap tidak patuh. Budaya
patriarki yang dianut oleh etnis Nias nyatanya memberikan label-label tersendiri
Kata pernikahan dalam kamus besar Bahasa Indonesia berasal dari kata
nikah yang berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami-isteri
harus dipatuhi oleh laki-laki dan perempuan yang hendak menikah. Syarat-syarat
ideal dari sebuah pernikahan tergantung pada hukum yang berlaku di dalam
masyarakat. Etnis Nias sendiri memiliki konsep pernikahannya sendiri yang diatur
Bagi etnis Nias, perkawinan atau pernikahan merupakan hal yang penting
dalam kehidupan setiap anggota masyarakat. Sehingga bagi etnis Nias perkawinan
merupakan cara untuk memeroleh lakhomi (harga diri atau kemuliaan) dan
mendapat status di masyarakat. Selain itu, bagi etnis Nias sumber kehidupan berasal
19
yang disebut mangai tanömö niha (mengambil benih manusia) (Dachi et al, 2018).
Bagi etnis Nias pernikahan/ perkawinan dilakukan karena usia sudah dianggap
cukup dewasa menurut etnis Nias, untuk mengurangi beban keluarga, mengikat tali
persaudaraan, dan pergaulan bebas. Selain itu, bagi etnis Nias pernikahan idealnya
3) Mahar atau yang dikenal dengan böwö (jujuran) ditentukan oleh status
penentuan usia pernikahan dalam etnis Nias, yaitu laki-laki sekitar 15-16
tahun dan perempuan berusia sekitar 12-13 tahun (Dachi et al, 2018).
2.3.4 Labeling
berasal dari kelompok, didasarkan pada ciri-ciri yang dianggap minoritas dalam
kelompok masyarakat. Dengan kata lain, labeling adalah rekasi yang diterima oleh
individu dari masyarakat, yang dinilai melakukan tindakan negatif. Labeling yang
perilaku yang tidak sesuai dengan aturan di masyarakat. Pemberian label pada
melakukan penyimpangan sekunder. Selain itu, orang yang diberikan label juga
Keterangan:
Penelitian ini berfokus pada perempuan yang berasal dari etnis Nias, yang
telah berusia dewasa menurut etnis Nias dan belum menikah. Perempuan usia
dewasa yang belum menikah ternyata mendapat label yang berasal dari etnis Nias
sendiri. Labeling yang diberikan pada perempuan belum menikah yaitu satua barö.
Labeling ini diberikan sebagai reaksi dari etnis Nias yang menganggap perempuan
melakukan tindakan negatif karena belum menikah dan dianggap menjadi citra
keluarganya maupun diri dari perempuan. labeling satua barö ini cenderung
dianggap sebagai sebuah cap yang sangat memalukan bahkan dianggap aib bagi
perempuan sendiri. Perempuan yang belum menikah tentunya akan berupaya agar
METODE PENELITIAN
hidup dari sudut pandang penduduk asli. Secara harfiah etnografi berarti tulisan
atau laporan tetang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas
hasil penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan (Spradley, 2015).
Adapun ciri dari metode penelitian etnografi yaiu bersifat holistik, thick
description, dan native’s point of view. Dalam penelitian ini yang menggunakan
labeling Satua barö yang diberikan pada perempuan etnis Nias, khususnya
perempuan belum menikah usia dewasa. Penelitian ini akan memeroleh data hasil
lapangan.
beberapa tempat yang ada di wilayah Kota Medan, dengan cakupan wilayah
penelitian pada lokasi tempat tinggal perempuan etnis Nias di Kota Medan,
khususnya yang belum menikah. Alasan penulis menjadikan Kota Medan sebagai
lokasi penelitian karena termasuk wilayah yang dihuni oleh etnis Nias khususnya
22
23
perempuan belum menikah yang mendapat label Satua Barö. Selain itu, Kota
Medan pula menjadi wilayah yang dihuni oleh berbagai status dan kedudukan sosial
etnis Nias. Selain itu, penulis tertarik wilayah Kota medan bukan merupakan
wilayah asli etnis Nias tetapi masih sangat eksis dengan label Satua Barö yang
diberikan pada perempuan belum menikah usia dewasa. Lokasi penelitian ini di
wilayah Kota Medan yang merupakan lokasi tempat tinggal informan penelitian,
adapun wilayah kelurahan dari lokasi informan penelitian yaitu Kelurahan Madrash
Hulu, Kelurahan Kwala Bekala, Kelurahan Besar, dan beberapa lokasi lainnya.
Sehubungan dengan itu maka seorang penulis harus memiliki kerja sama yang baik
dengan informan, karena hubungan diantara informan dan penulis sangat kompleks.
Oleh karena itu, adapun kriteria informan sebagaimana yang telah dijabarkan oleh
yang tidak dikenal, cukup waktu, dan non analitik merupakan kriteria informan
Barö.
24
2. Perempuan yang belum menikah dan beretnis Nias berusia 27 tahun keatas,
Memperoleh data atau informasi (data) yang diperlukan pada penelitian ini,
3.4.1 Observasi
peristiwa, tingkah laku, objek yang dilihat dan hal lain yang diperlukan untuk
mendukung penelitian. Adapun tujuan dari kegiatan observasi ini ialah untuk
mendapatkan data awal yang dapat dijadikan penulis sebagai acuan dasar dalam
sebuah penelitian. Pada kegiatan observasi ini penulis terjun ke lapangan secara
langsung untuk bisa melihat atau mengamati perilaku dan segala aktivitas yang
dilakukan oleh informan penelitian. Penulis terjun langsung untuk melihat aktivitas
yang dilakukan oleh informan penelitian dengn tujuan agar penulis mengetahui
upaya yang dilakukan agar tidak diberi label Satua Barö. Berdasarkan pengamatan
25
yang dilakukan oleh penulis, perempuan dewasa etnis Nias berjuang untuk
tersebut ternyata mendorong mereka pula untuk meningkatkan ekonomi bagi diri
mereka sendiri dan keluarganya. Selain itu, penulis juga mengamati dan mendengar
dari hasil wawancara terkait dengan kedudukan dan hal dari permepuan belum
pertama adalah menetapkan seorang informan. Ada lima syarat yang disarankan
keterlibatan langsung, suasana budaya yang tidak dikenal, dan waktu yang cukup.
merupakan jenis peristiwa percakapan yang khusus. Tiga unsur yang penting dalam
latarbelakang dari munculnya label Satua Barö, karakteristik Satua Barö, dampak
dari label Satua Barö, dan upaya yang dilakukan untuk tidak memeroleh atau
3.4.3 Dokumentasi
yang diperoleh melalui dokumen-dokumen (Hardani et al, 2020: 149). Pada tahapan
dokumentasi penulis mengumpulkan data dari hasil foto dan rekaman yang
diperoleh dari informan dan lokasi penelitian. Dokumentasi yang dilakukan untuk
merekam segala aktivitas yang dilakukan oleh informan penelitian. Hal dari
perempuan belum menikah usia dewasa pada etnis Nias. Penulis menemukan
menikah usia dewasa menjalani hidupnya dengan bahagia dan mandiri. Penulis juga
kondisi dari perempuan belum menikah usia dewasa mengingat ia belum memiliki
bahwa label Satua Barö bukan hanya diberikan pada perempuan tetapi juga pada
laki-laki hanya saja dikarenakan laki-laki merupakan penerus tidak terlalu disorot
oleh etnis Nias. Penulis juga menemukan budaya patriarki yang dianut oleh etnis
Nias sangatlah kuat keberadaanya hal tersebut terbukti dari observasi dan
wawancara yang dilakukan oleh penulis. Diketahui bahwa segala keputusan yang
ada dalam rumah tangga atau keluarga, adat dan sosial masyarakat di dominasi oleh
laki-laki. Selain itu juga, penulis menemukan jumlah Böwö (jujuran) dalam
pernikahan etnis Nias khusus marga Keturunan Hia. Jumlah dari Böwö (jujuran)
27
yang ada dalam pernikahan etnis Nias menjadi alasan kuat dari perempuan belum
Pada hari minggu tanggal 19 Juni 2022, merupakan hari pertama kegiatan
penelitian skripsi yang dilakukan oleh penulis. Setelah mendapat surat izin
penelitian dari lurah Kwala Bekala pada rabu, 16 juni 2022. Penulis melakukan
tersebut sebagai salah satu informan dalam penelitian yang dilakukan, dikarenakan
informan merupakan salah satu tokoh masyarakat yang terlibat secara langsung
dalam kegiatan adat yang dilaksanakan diwilayah informan. Selain itu, informan
juga menguasai dan memahami secara mendalam topik penelitian yang dilakukan,
dikarenakan informan merupakan etnis Nias asli yang berasal dari Pulau Nias. Hal
tersebut menjadi alasan dari penulis memilih beliau menjadi informan penelitian.
antara penulis dan informan dibantu oleh orang tua penulis, dikarenakan memiliki
nomor kontak dari informan penelitian. Penulis tiba dirumah informan pada pukul
13.55 Wib ditemani oleh ibu penulis, dengan disambut oleh sang istri, satu anak,
seorang adik laki-laki informan, dan juga informan. Sambutan hangat yang
diberikan informan merupakan hal pertama yang dirasakan oleh penulis saat
dengan informan dilakukan pendalaman terhadap judul atau proposal penulis yang
28
dilakukan oleh informan. Hal itu dikarenakan informan ingin menjawab pertanyaan
penelitian sesuai yang diketahui tanpa ada terkendala. Setelah informan membaca
Wib dan informan serta penulis merubah tempat untuk duduk menjadi di ruang
kurang dari 1 jam tepatnya berakhir pada pukul 15.35 Wib. Informan penelitian
penulis melihat antusias dari informan ketika menjawab pertanyaan yang diberikan
oleh penulis. Informan penelitian cukup menguasai topik penelitian dan pertanyaan
penulis dan informan saat wawancara berlangsung dengan sangat baik dan tanpa
terkendala atau merasa canggung. Pada saat proses wawancara dilakukan penulis
wawancara selesai pada pukul 16.00 Wib penulis dan informan melakukan foto
bersama sebagai bukti dari kegiatan wawancara yang dilakukan, setelah itu penulis
meninggalkan rumah dari informan penelitian sekitar pukul 16.15 Wib. Selain itu,
penulis juga mendapat tawaran bantuan dari informan penelitian untuk mencari
informan penelitian lainnya yang merupakan tokoh masyarkaat Nias dan kebetulan
kedua yang dilakukan oleh peneliti. Kegiatan wawancara tersebut dilakukan dengan
29
perempuan dewasa belum menikah yang ada di etnis Nias. Informan penelitian
dikenal dengan nama Ria dilingkungan tempat tinggalnya. Lokasi tempat tinggal
informan berada di dalam pasar Muara Takus, ia menyewa kamar kos dengan salah
yang berasal dari Pulau Nias, ia melakukan kegiatan merantau dan tinggal terpisah
dari sanak saudaranya. Alasan penulis memilih informan penelitian karena beliau
merupakan salah satu perempuan dewasa belum menikah yang ada di etnis Nias.
Kegiatan wawancara yang dilakukan denga informan dimulai pada pukul 08.30
Wib dan berlangsung kira-kira selama hampir setengah jam. Informan penelitian
bekerja seorang diri dan membiayai kehidupannya sendiri dengan tujuan tidak ingin
yang berada di lantai 3. Kamar kos tersebut cukup luas dan dihuni oleh beragam
yang diberikan oleh penulis. Akan tetapi, pada saat melakukan wawnacara tidak
informan sangat intens sehingga penulis mengetahui situasi dan perasan yang
dialami oleh informan secara langsung melalui cerita yang disampaikan oleh
30
bekerja.
merupakan perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias. Hal ini membuat
penelitian dengan dibantu oleh orang tua informan. Pada saat itu orang tua penulis
mewawancarai Bapak Fatizaro Hia, S.H yang merupakan tokoh masyarakat Nias di
Kota Medan yang cukup terkenal. Setelah komunikasi antara kenalan orang tua
Fatizaro Hia, S.H yang kebetulan masih memiliki ikatan kekerabatan dengan
di wawancarai dan membuat janji pada tanggal 03 juli 2022 di rumah Informan
penelitian.
Pada tanggal 03 Juli 2022 setelah pulang dari gereja penulis berangkat
menuju rumah informan sekitar pukul 14.00 Wib dengan ditemani oleh orang tua
dan adik penulis. Penulis sempat kesulitan menemukan rumah dari informan
pada pukul 15.00 WIB dan disambut dengan baik oleh informan penelitian dan
istrinya.
dilontarkan oleh informan dan orang tua dari penulis. Hal ini membantu penulis
yang di lakukan. Penulis juga sempat kagum dengan kemampuan informan yang
mengenai jumlah böwö (jujuran) pada keturunan marga Hia. Jumlah böwö (jujuran)
tersebut merupakan jumlah yang telah disepakati oleh para ketua adat di Pulau Nias.
pula oleh istri dari informan, sehingga komunikasi semakin berjalan lancar.
dilakukan diruang tamu rumah informan penelitian. Selain itu, penulis juga
tua penulis dan informan kembali bernolstagia dengan kehidupan mereka selama
berada di kampung tercinta yaitu Pulau Nias. Sembari melakukan obrolan tersebut
istri dari informan penelitian menyediakan makan bersama yang dilakukan. Setelah
makan bersama itu selesai penulis dan informan penelitian melakukan foto
bersama, sekitar pukul 18.45 Wib. Kemudian, tidak berlangsung lama pada pukul
19.30 Wib penulis dan orang tua penulis berpaminatan untuk pulang dari rumah
informan.
Pada hari selasa tanggal 05 Juli 2022 penulis melakukan wawancara dengan
Ibu Warni Zebua setelah melakukan membuat janji melalui sambungan telepon.
Kunjungan penulis kerumah informan ditemani oleh ibu penulis. Penulis sampai
kerumah informan sekitar pukul 11.05 Wib. Rumah informan tersebut sekaligus
kondisi informan pada saat itu sedang kurang sehat. Akan tetapi, meskipun begitu
mendapat label ini pula, yang diberikan secara langsung oleh keluarga informan
sendiri yaitu mama talu informan. Akan tetapi berdasarkan penuturan informan ia
tidak mengambil pusing terkait hal itu, dikarenakan menurutnya selagi dia tidka
dengan informan, penulis dan informan melakukan makan bersama dengan buah
tangan yang dibawakan oleh penulis. Setelah makan bersama selesai informan dan
rumahnya pada sore harinya. Wawancara dilakukan pada pukul 18.00 Wib di rumah
informan penelitian. Saat tiba dirumah informan penelitian, penulis yanng ditemani
oleh kakak sepupu penulis di sambut dengan baik oleh informan penelitian. Penulis
hangat, sehingga penulis dan informan sama-sama nyaman untuk melakukan tanya
mendapat label tersebut. Akan tetapi, setelah ia menikah tidak menerima label itu
informan sekitar pukul 18.40 Wib. Setelah meninggalkan rumah dari informan
informan penelitian dikarenakan sudah malam hari dan informan juga harus pulang
kerja.
Pada hari sabtu tanggal 09 Juli 2022 sekitar pukul 10.00 Wib penulis
mengunjungi tempat kerja dengan informan penelitian. Penulis tiba ditempat kerja
informan hanya seorang diri. Wawancara yang dilakukan dengan informan cukup
disambut dengan baik dan penulis mampu memiliki gambaran dari wawancara yang
35
mendapat label Satua Barö yang diberikan oleh orang-orang yang berasal dari Nias.
tersebut.
waktunya bekerja. Akan tetapi, informan penelitian meminta tolong dan tidak
diungkapkan oleh informan penulis, akan tetapi informan memohon untuk menjaga
identitasnya. Hal inilah yang membuat penulis membuat nama semaran dalam
penelitiannya. Akan tetapi, penulis mengizinkan untuk marganya dimuat saja dalam
penelitian ini, tetapi namanya disamarkan oleh penulis beserta identitas alamat dari
melakukan keingin dari informan. Sekitar pukul 11.10 Wib penulis meninggalkan
data yang masih belum terpenuhi. Di sela-sela mencari informan penelitian, pada
tanggal 08 juli 2022 ibu penulis mendapat telepon dari informan pertama penelitian
Pada Minggu tangga 10 juli 2022, penulis dan ibu beserta adik penulis
dari rumah pada pukul 09.20 Wib. Ibadah kebaktian minggu berlangsung selama 2
jam dari pukul 10.00-12.00 Wib. Setelah ibadah tersebut selesai, informan pertama
langsung menceritakan maksud dan tujuan dari wawancara yang dilakukan dan
Bapak Drs. Temazaro Zega, M. Kes. Yang ternyata merupakan Mantan Ketua
berada digereja, akan tetapi tidak mempengaruhi informan penelitian dan penulis
sudut pandang dari informan penelitian dan jawaban yang diberikan oleh informan
Selama wawancara dengan informan penelitian ternyata beliau memiliki anak yang
anaknya belum menikah hingga saat ini, dan beliau juga mendukung anaknya untuk
penelitian memberikan beberapa nasihat kepada penulis untuk tidak patah semangat
penelitian dengan panggilan kakek dikarenakan beliau bermarga Zega dan nenek
dari penulis juga bermarga Zega, hal itulah menyebabkan penulis memanggil
informan dengan sebutan kakek. Setelah wawancara selesai penulis dan informan
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
komponen dan analisis tema-tema budaya. Adapun analisis yang dilakukan dalam
penelitian ini dari hasil wawancara penelitian yang dilakukan terkait dengan
Labeling Satua Barö Pada Perempuan Belum Menikah Usia Dewasa Etnis Nias Di
penelitian. Dalam penelitian ini penulis melakukan analisis terhadap data yang telah
menyeluruh dari objek penelitian atau situasi sosial yang diteliti (Sugiyono, 2014).
domain yang telah dihipotesiskan. Ada beberapa langkah dalam analisis domain
yaitu memilih satu hubungan semantik tunggal, mempersiapkan satu kertas kerja
analisis domain, memilih satu sampel dari berbagai statemen informan, mencari
masing domain dan membuat daftar semua domain. Penelitian yang dilakukan
Berdasarkan analisis domain yang dilakukan oleh penulis pada tabel diatas,
yang sama menjadi 6 kategori sesuai dengan istilah tercakup dan istilah
40
pencakupnya yang memiliki hubungan semantik yang sama. terdapat enam istilah
pencakup dalam penelitan ini yaitu faktor penyebab perempuan belum menikah
usia dewasa, dampak labeling satua barö, dampak labeling satua barö, upaya
etnis nias, dan asal usul satua barö. Dalam menemukan istilah tercakup dan istilah
pertanyaan struktural yang telah ada dalam pedoman wawancara penelitian ini.
menunjukkan hubungan semua istilah bahasa asli dalam sebuah domain. Analisis
subser dalam sebuah domin dan berbagai hubungan diantara berbagai subset
(Spardley, 2015). Hasil dari analisis taksonomik disajikan dalam bentuk sebuah
diagram kotak, rangkaian garis dan titik atau sebuah garis saja. Berikut diagram
Kota Medan merupakan salah satu daerah otonom yang memiliki status kota
dan merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara. Kota Medan pula sering kali
berbatasan langsung dengan selat malaka di bagian utara sehingga relatif dekat
dengan kota-kota atau negera yang lebih maju seperti Penang, Kuala Lumpur
Letak Koordinat dari Kota Medan adalah 3o 30’ - 3o 43’ LU 98o 35’ – 98o 44’
BT dengan luas wilayah 36.510 Ha yang terdiri dari 11 kecamatan dengan 116
kelurahan. Sebagian besar dari wilayah Kota Medan adalah dataran rendah dengan
topografi yang cenderung miring ke Utara dan menjadi tempat pertemuan dua
sungai yaitu sungai Babura dan sungai Deli. Kota Medan berada pada ketinggian
2,5 – 37,5 meter dari atas permukaan laut. Adapn batas-batas wilayah Kota Medan
43
44
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Medan tahun 2020, jumlah
penduduk sebesar 2.435.252 jiwa yang terdiri dari laki-lai sebanyak 1.212.069 jiwa
dan perempuan sebanyak 1.223.183 jiwa. Berikut tabel distribusi jumlah penduduk
di Kota Medan berjumlh 2.435.252 jiwa yang tersebar di 21 kecamatan yang ada di
46
Kota Medan pada tahun 2020. Jumlah penduduk tersebut dibagi berdasarkan jenis
kelamin yaitu sebanyak 1.212.069 jiwa laki-laki dan 1.223.183 jiwa perempuan.
merupakan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara.
BPS tahun 2021 terdapat enam agama yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu,
terdapat enam agama yang mendiami wilayah Kota Medan tahun 2020. Penduduk
yang beragama Islam yang mendiami wilayah Kota Medan sebanyak 641.401 jiwa,
sebanyak 309.483 jiwa, penduduk beragama Hindu sebanyak 9.296 jiwa, penduduk
beragama Budha sebanya 215.315 jiwa, dan penduduk yang beragama Konghucu
47
sebanyak 11.194 jiwa. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa penduduk
Tahun 2020-2021
Medan tahun 2021 sebanyak 2.435.252 Jiwa dan tahun 2022 sebanya 2.460.858
jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk pertahun sejak tahun 2021-2022 memiliki
besaran yang sama yaitu sebesar 1,45 %. Persentase penduduk di Kota Medan tahun
2021 sebesar 16,46% dan ditahun 2022 sebesar 16,48% serta, kepadatan penduduk
perkm2 sebesar 9.189,63 km2 tahun 2021 dan tahun 2022 sebesar 9.286,26 km2.
Memiliki Rasio Jenis Kelamin Penduduk tahun 2021 sebesar 99,09 dan tahun 2022
sebesar 99,15. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat jumlah penduduk, laju
penduduk, persentase, kepadatan dan rasio jenis kelamin penduduk di Kota Medan.
menikah usia dewasa etnis Nias yang tersebar di wilayah Kota Medan. Jumlah
tersebut merupakan data lapangan dalam penelitian yang dilakukan dan ditemukan
pada saat melakukan observasi dan wawancara di Kota Medan. Dari hasil observasi
perempuan belum menikah usia dewasa di Kota Medan yaitu terdapat di sekitar
sekelompok orang, salah satunya label Satua Barö. Label satua baro merupakan
label yang diberikan oleh Etnis Nias kepada seseorang yang belum menikah. Label
ini menjadi sebuah penanda terhadap diri seseorang guna mengetahui status
perkawinannya. Label Satua Barö tentunya memiliki asal usul yang memiliki arti
tokoh masyarakat Nias yaitu Bapak Hia (55 tahun), mengenai asal usul kata dari
“hah namanya itu aja Satua Barö berarti itu dia sudah berumur tempat orang
tuanya. Barö andre itu identik dengan dia masih dikeluarganyalah hah itu
dia. Kalau soal sejarahnya fokus pada namanya Satua Barö tidak ada
sejarahnya. Satua itu itu artinya udah lama udah berumur tapi tetap dia
dilingkungan keluarganya tidak ada perpindahan. Haha itu dia itu
sejarahnya karena dia selama hidupnya masih tetap berada di keluarganya
49
maka menyandang gelar Satua Barö hah gitu gak ada sejarah namanya itu
diciptakan enggak terciptanya dengan orang yang selamanya memang
tinggal dirumah orang tuanya tidak pernah pindah tidak pernah masuk
kekeluarga orang lain.” (Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)
Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Bapak Hia (55 tahun) dapat
diketahui bahwa secara etimologi Satua Barö berasal dari bahasa Nias yaitu kata
Satua yang berarti orang tua atau tua dan Barö yang berarti disisi keluarga. Jadi
dapat disimpulkan Satua Barö adalah orang yang berusia dewasa tetapi belum
Selanjutnya, Bapak Zega (50 tahun) yang juga merupakan tokoh masyarakat
“inikan Satua Barö yang disebut Satua Barö itukan bahasa Nias itu ya
artinya wanita-wanita yang tidak menikah atau lama menikah ya”
(Wawancara pada tanggal 10 juli 2022)
perempuan yang tidak menikah atau lama menikah. Hal tersebut juga disampaikan
“Satua Barö itu adalah seorang perempuan etnis nias yang berumur lebih
dari 30 tahun tapi belum menikah”
“yahh pernah lah karena itukan label secara adat kebiasaan yang diberikan
orang tua dulu sampai sekarang. Apalagi kalau di Nias udah banyak yang
tau sampek dimedan ini kami bawa-bawa ke Medan ini, jangankan kami
yang lahir di Nias, kalian yang di Medan ini udah taukan Satua Barö,
karenakan kami ceritakan juga begini begini kalau lebih seperti ini satu baro
jangan bilang sama dia ya nanti marah dia” (Wawancara pada tanggal 19
Juni 2022)
Pernyataan dari Bapak Zebua (41 tahun) menjelaskan bahwa kata Satua
Barö memiliki definisi yaitu seorang perempuan Etnis Nias yang telah berumur 30
tahun dan belum menikah. Ia juga menyampaikan bahwa label Satua Barö
50
merupakan label yang berasal dari Pulau Nias dan tetap disampaikan turun-temurun
di wilayah Kota Medan melalui cerita. Meskipun wilayah Kota Medan bukan
wilayah asli etnis Nias. Hal tersebutlah yang menyebabkan label Satua Barö masih
Selain itu, Ibu Telaumbanua (35 tahun) yang merupakan salah satu
perempuan yang lama menikah dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 09
juli 2022 mendefinisikan pengertian satua barö menurut yang ia ketahui adalah
orang yang lama menikah atau pun belum mendapatkan pasangan hidup.
Pernyataan yang disampaikan oleh Ibu Telaumbanua (35 tahun) di perkuat oleh Ibu
Hia (55 tahun) dalam wawancara ppada tanggal 05 juli 2022 yang merupakan pula
Barö adalah sebutan yang diberikan kepada seorang gadis yang sudah berusia
penelitian dapat diketahui bahwa secara etimologi kata Satua Barö berasal dari
Bahasa Nias yakni Satua yang berarti orang tua atau sudah berusia dewasa.
Sedangkan, Barö yang berarti masih berada di lingkungan keluarganya sendiri atau
belum menjadi bagian dari keluarga orang lain (belum menikah). Jadi dapat
diketahui bahwa Satua Barö adalah orang yang telah berusia dewasa dan belum
menikah serta, biasanya diberikan kepada perempuan etnis Nias dan dikenal dalam
untuk diketahui oleh etnis Nias yang berasal dari Pulau Nias maupun di wilayah
Kota Medan. Label Satua Barö umumnya identik diberikan kepada seorang
salah satu tokoh masyarakat Nias, mengenai karakteristik dari label Satua Barö
mengatakan bahwa:
“30 tahun lebih keatas tapi belum menikah. Hah iya sadar sendiri. mereka
juga udah orang tua juga secara umurkan tapi tetap gadis. Kan namanya itu
misalnya tante Riba sampek sekarang namanya tante Riba coba kalau udah
nikah jadi ina ucok misalnya ina amin. Karena namanya itu terus yang
disebut hah itu dia. Beda disini walaupun dia udah nikah bisa kita panggil
namanya. Kalau kita enggak udah segan kita manggil namanya kalau belum
nikah walaupun udah nikah. Hah gitukan” (Wawancara pada tanggal 19 Juni
2022)
Menurut Bapak Zebua (41 tahun) karakteristik dari Satua Barö pada etnis
Nias meliputi umumnya diberikan kepada seorang perempuan Nias, berusia diatas
30 tahun tetapi belum menikah, belum mengalami perubahan nama, dan biasanya
dipanggil dengan kata “tante” serta diikuti oleh nama aslinya. Pernyataan yang
disampaikan oleh bapak Zebua (41 tahun) nyatanya di sampaikan oleh Bapak Hia
“itu pemanggilan nama itu tidak disebutkan walaupun sudah umur. Hah itu
tidak dipanggil namanya Satua Barö udah ada namanya kok si A contoh hah
yang menjadi pertanyaan sekarang bagaimana kita melihat seseorang
dikatakan Satua Barö. Ada panggilannya contohnya kalau sudah
berkeluarga setidaknya oo ama ini kalau masih gadiskan maish namanya
asli kek kitalah contoh dulu itu sebelum kawin contohnya namanya si ati
contohnya ooo ati ditaunya nama kecilnya dipanggil kan berarti kalau udah
berkeluarga dia dipanggil nama atau dikasih barasi. Karenakan sesutu
perempuan yang udah berkeluarga itu dikasih karena udah berkeluarga dia
52
di agak dipanggil nama kecilnya tapi dipanggil nama adatnya yang dikasih
label belakang barasinya. Nah jadi kita tau dari panggilan nama kenapa
kalau namanya dia itu walaupun dia udah berumur udah tua contohnya
masih dipanggil nama berarti itu belum berkeluarga jadi salah satu lagi
tanda kalau perempuan itu sudah berkeluarga nama kecilnya tidak dipanggil
lagi tapi ada gelar adat yang dikasih sama dia dengan dibarengin dengan
barasi. Selalu ada barasi itu misalnya anugrah barasi serasi barasi hah selalu
ada itu panggilan adat Nias sebagai tanda berkeluarga kalau dia belum
dipanggil gitu berarti dia masih perempuan belum menikah. Jadi pertama
dari mana kita tau perempuan Satua Barö sesuai nama dari awal lahir tidak
ada perubahan namanya sampai meninggal itu dia orang bisa mengetahui
bahwa ini kan kalau di berumurkan masih nama asli dipanggil orang udah
tau tidak ada perubahan nama. Seperti layani nanti kalau udah nikah bukan
layani lagi yang dipanggil. Begitu kawin bukan nama bawaannya yang
dipanggil tapi nama adatnya kenapa dikasih itu sebuah penghargaan bahwa
kita itu sudah pindah dari keluarganya kekeluarga laki-laki kedua untuk
menunjukkan bahwa itu sudah berkeluarga hah itu maknanya kenapa ada
perubahan nama sebagai pengahargaan untuk menunjukkan dia itu sudah
kawin bukan satua barö sae. Nah satua barö sampai dia beruban namanya
aja yang dipanggil tidak dipanggil samanya ehh satua barö enggak.”
(Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)
karakteristika dari Satua Barö pada etnis Nias tidak mengalami perubahan nama
sedari kecilnya mengingat etnis Nias mengalami perubahan nama yang meliputi
nama yang diberikan pada saat lahir oleh orang tua perempuan, nama yang
diberikan setelah menikah oleh keluarga pihak laki-laki yang umumnya disertai
dengan kata “barasi”, dan nama yang diberikan setelah memiliki anak. Perubahan
nama yang dialami oleh seorang perempuan merupakan sebuah kehormatan yang
status adatnya. Perubahan nama bagi seorang perempuan sebagai tanda status
menikah menjadi sebuah hal yang wajar dilakukan dan perempuan tersebut
haruslah mendapat gelar adat karena dianggap telah melakukan semua aturan yang
53
berlaku. Kata “Barasi” yang berada dibagian nama baru perempuan yang telah
menikah menjadi penanda bahwa dia telah menikah dan orang-orang akan
Selain itu pula karakteristik dari Satua Barö menurut Bapak Hia (55 tahhun)
mengatakan bahwa:
“Yang dibilang namanya Satua Barö itu ada batasan umur dia pun masih 25
tahun belum kawin bukan juga dibilang Satua Barö walaupun belum kawin
jadi ada batasan umurnya seperti 30 tahun 40 tahun jadi ada batasannya
walaupun 30 tahun belum dibilang Satua Barö karena seperti dibilang
setengah baya ya setengah umur gitu hah ada bataasn sampai dimana
dikategorikan dia Satua Barö iyakan berarti kalau udah dibilang satu baro
umurnya yang sudah tua masih di dalam keluarganya. Jadi bukan patokan
umur bisa 30 tahun bisa 25 tahun kenapa yang penting sepanjang dia tidak
berkeluarga sudah mulai yahh kalau masalah cap tadi makanya tetapi sudah
berumur tetapi tidak disebutkan meskipun sudah 40 tahun kan maish belum
tapi ornag sudah menegnal dia Satua Barö hah. Pertama misalnya kan dari
sisi bisa berkeluarga saya tidak bisa mengatakan 35 tahun karena bisa saja
nanti dapat jodoh. Tidak ada batas minimal rata-rata cumana kalau sudah
dibatas 30 tahun karena bagaimana pun 24 tahun keatas itu sudah
berkeluarga, tapi budaya nias itu tidak pernah mencap 30 tahun dia Satua
Barö bisa jadi 40 tahun dia dapat jodoh yakan. Nah jadi kita tau dari
panggilan nama kenapa kalau namanya dia itu walaupun dia udah berumur
udah tua contohnya masih dipanggil nama berarti itu belum berkeluarga jadi
salah satu lagi tanda kalau perempuan itu sudah berkeluarga nama kecilnya
tidak dipanggil lagi tapi ada gelar adat yang dikasih sama dia dengan
dibarengin dengan barasi” (Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)
Hasil wawancara dengan Bapak Hia mengenai karakteristik dari Satua Barö
adalah berusia 30 tahun dan masih tinggal bersama keluarganya. Panggilan Satua
Barö tidak disebutkan secara langsung, orang lain akan mengetahui seseorang itu
Satua Barö dikarenakan tinggal dirumah orang tuanya. Pada saat perempuan itu
telah memasuki usia sekitar 40 tahun ia tetap tidak akan dipanggil Satua Barö
secara langsung, akan tetapi orang-orang akan mengetahui sendiri. Hal ini
dikarenakan tidak ada batas minimal dalam segi usia yang menyatakan seseorang
54
itu Satua Barö. Akan tetapi, apabila dia telah memiliki tanda-tanda penuaan dan
telah memasuki umur 30 tahun bisa saja orang akan mengetahui dia Satua Barö
tetapi tidak disebutkan secara langsung. Menurut beliau bisa saja di usia 40 tahun
perempuan belum menikah ini mendapat jodoh, sehingga tidak perlu dipanggil
secara terang-terangan.
dilakukan Bapak Zega (50 tahun) yang juga merupakan tokoh masyarakat
mengatakan bahwa:
pernyataan kedua informan yang menyampaikan bahwa label Satua Barö diberikan
kepada seorang perempuan etnis Nias yang telah berusia 30 tahun keatas dan belum
Karakteristik usia dari seseorang yang mendapat label Satua Barö seperti yang
disampaikan Bapak Zega (50 tahun), ternyata disampaikan pula oleh Ibu Zebua (43
“satua barö itu seperti apa ya, oo menurutku ini ya kalau satua baro itu lama
mendapat jodohnya hah jadi dia mau menikah lama kelaman dia dapat jodoh
dalam umur 30 tahun e… umur 32 tahun 34 tahun ada juga baru dia dapat
jodoh 38 tahun 40 tahun kan itu beda-beda kita tunggu aja kapan dapat
jodoh” (Wawancara pada tanggal 05 juli 2022)
Wawancara dengan Ibu Zebua (43 tahun) menyatakan bahwa Satua Barö
memiliki karakteristik berusia 30 tahun keatas dan belum mendapatkan jodoh tetapi
55
memiliki keinginan untuk menikah. Menurutnya seorang Satua Barö yang berusia
Pernyataan serupa juga dikatakan oleh Ibu Telaumbanua (35 tahun) dalam
wawancara pada tanggal 09 juli 2022 yang menyatakan bahwa label Satua Barö
tidak dikatakan secara langsung kepada orang tersebut dan orang yang
mendapatkan label Satua Barö merupakan seseorang yang telah berusia 30 tahun
atau lebih. Berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh Ibu Telaumbanua (35
seseorang yang mendapat label Satua Barö pada etnis Nias. Usia tersebut ternyata
perempuan yang memiliki usia 30 tahun atau lebih harusnya sudah menikah.
bahwa label Satua Barö diberikan pada seorang perempuan yang telah berusia 30
tahun atau lebih dan belum menikah. Karakteristik lainnya yaitu belum mengalami
yang meliputi nama yang diberikan oleh orang tuanya ketika lahir, nama yang
diberikan setelah menikah oleh pihak keluarga laki-laki, dan nama yang berikan
pada saat memiliki anak. Selain itu pula umumnya dipanggil dengan sebutan
“tante”. Seorang perempuan yang berusia 30 tahun atau lebih belum menikah
tentunya memiliki penyebab yang menjadi faktor ia belum menikah. Faktor tersebut
tentunya dipengaruhi oleh budaya, lingkungan keluarga bahkan diri dari seorang
budaya Nias. Dulunya seseorang akan di jodohkan (Mamaigi Niha) ketika kedua
belah pihak merasa cocok dengan calon mempelai perempuan mereka akan
langsung membahas terkait dengan jujuran atau mahar (böwö), namun jika pihak
calon mempelai pria merasa jujuran atau mahar (böwö) terlalu besar maka mereka
akan membatalkan pembicaraan mereka atau mundur secara teratur. Selain itu,
tokoh adat (salawa hada) etnis Nias maka pernikahan yang dilakukan hanya
mendapat memiliki kedudukan yang tinggi di adat atau memiliki gelar adat maka
“Satua Barö ini kan karena gak dapat jodoh, itu jawaban sederhanan dulu
kan yakan semua orang orang lain pun gitu. Karena belum dapat jodohkan
masuk akal juga belum dapat jodoh dia kalau masalah jujuran itu mungkin
kebawah. Hah yang kedua itu nantikan kalau dikembangkan nanti atau
disemua etnis mana pun eemm seseorang itu belum dapat jodoh bisa dia
sampai tua hemm termasuk etnis Nias. kedua faktor budaya, yang diangkat
disana adalah budaya etnis Nias ini memang apa namanya dulu yang
mencari jodoh itu orang tua itu budaya nias dulu.”
“iya dulu dijodohkan. Hah iyakan bisakan kamu bedakan antara ketemu
jodoh karena budaya yakan. kedua faktor budaya, yang diangkat disana
adalah budaya etnis Nias ini memang apa namanya dulu yang mencari jodoh
itu orang tua itu budaya Nias dulu.”
“Nahh jadi kembali kita itu hal yang pertama tadi karena belum ketemu
jodohnya hal kedua karena budaya Nias. budaya Nias dulu yang mencari
jodoh si perempuan itu adalah orang tua mungkin kalian gak tau kalian
itukan bahwa dulu itu bukan seperti sekarang. Makanya kalau dulu itukan
dia misalnya kan kalian inilah dijodohkan sama orang bapak sampek kalian
nanti sembunyi-sembunyi datang laki-laki melihat kalian itulah dulu atau
gak pada saat ke gereja di lihat-lihat gak bisa seperti sekarang pacaran.
Hehehehe yaitu faktor yang kedua” (Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)
Hasil wawancara dengan Bapak Hia (55 tahun) dapat diketahui bahwa
perempuan belum menikah diusia dewasa pada etnis Nias disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu 1) faktor jodoh, seorang perempuan akan menikah tentunya jika
memiliki jodohnya tetapi bila belum memiliki jodoh maka ia belum bisa menikah.
2) faktor budaya, etnis Nias dulunya belum mengenai masa berpacaran karena
dalam budaya etnis Nias hanya mengenal perjodohan (Famigi Niha) yang
dilakukan oleh orang tua kedua calon mempelai. Dulunya yang mencarikan jodoh
58
adalah orang tua, sehingga pada saat pembicaraan terkait pernikahan hanya orang
tualah yang akan berperan. Pencarian jodoh yang dilakukan biasanya pada saat
orang.
Faktor lainnya yang disampaikan oleh Bapak Hia (55 tahun) dalam
“Juga yahh kita masukkan itu faktor ketiga masalah jujuran tadi. Jujuran
orang nias atau perempuan yang menikah boleh tidak bisa kawin karena
jujuran dari orang tua itu yang diambil oleh orang tua siperempuan dulu itu
sangat besar sebagai pertimbangan kalau dulu nogu seperti kalian kawin
minimal harus 100 ekor babi minimal itu kalau sekarang itu masih babi
belum yang lain-lain. Kalau sekarang 1 ekor babi apa kira-kira 4 alisi itu
sekitar 3 jutaan. Berarti kalau kali 100 berarti 300 juta heh jadi jujuran ini
snagat tinggi tapi sekarnag tidak lagi sudah ada perubahan khususnya kita
marga hia tinggal 52,5. Itu masih 52 tapi sebernarnya dalam prakteknya
adalah hanya dalam penyebutan tetapi tidak harus dibayarkna 52,5 ini dalam
pelaksanaannya misalnya kalian ini pesta itu sama-sama suami kelen itu
dihitung itu namanya fangerai böwö dihuting berapa jujuran karena di nais
itu seorang perempuan yang kawin ada 5 orng pihak yang menerima jujuran
satu orang tua perempuan, kedua saudara orang tua perempuan kemudian
sekampung, paman dari perempuan yang kawin kemudian paman dari
mamamu. Hah kalau bahasa nias dia kamu bisa kamu terjemahkan so’ono
itu namanya orang tua, sirege saudara bapak, mbanua itu sekampung dengan
orang tua kita itu banua, baru eee paman itu namanya uwu namanya bahasa
nias baru pamannya mama namanya ionaya nuwu. Kalau dikumpul itu
semua dalam yang 5 pihak ini ada 52,5 kali 4 alisi, 4 alisi ini satu ekor. Hah
jadi 52 itu hitung-hitung itu 52 kali 3 juta itulah dia jujuran sekarang tetapi
di jaman sekarang sudah ada perubahan karena orang tua sudah melihat itu
sangat memberatkan baik dipihak laki-laki maka oleh penetua-penetua adat
mereka sepakat menurunkan jujuran itu dari yang 100 lebih menjadi 52,5.
Namun didalam prakteknya itu tidak harus dibayar.”
“Kemudian itu perempuan nias tidak menikah karena faktor karir bisa
mereka juga ada yang berhasil ya. hah itulah dulu yang bisa bapa tau nanti
kalau ada yang kau tanyakan tanyakan.”
“ada satu terlalu memilih ada saudara juga masa dibilangnya udah sama dia
ke bapatalu baru dia nikah harus sama kek mamaknya baiknya semuanya
yahh mana ada sampek sekarang gak nikah-nikah. Jadi artinya Satua Barö
di nias bukan hanya perempuan”” (Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)
59
Hasil wawancara dengan Bapak Hia (55 tahun) menjabarkan faktor ketiga
adalah jujuran atau mahar (böwö). Etnis Nias dalam pernikahan dikenal dengan
istilah böwö atau jujuran/mahar yang sangat besar. Dulunya seseorang yang hendak
menikah harus melunaskan böwö yang diminta oleh pihak keluarga calon mempelai
perempuan, mislanya 100 ekor babi belum dengan keperluan lainnya. apabila pihak
calon mempelai laki-laki tidak sanggup untuk memenuhi hal tersebut maka
pernikahan tidak jadi dilangsungkan. Begitu besarnya böwö dalam pernikahan etnis
Nias inilah yang menjadi alasan munculnya perempuan belum menikah usia
dewasa. Namun, seiring dengan perkembangan saat ini böwö yang besar tersebut
tidak lagi sebesar dulunya setelah melalui diskusi panjang para pemuka adat maka
memutuskan untuk menurunkan jumlah dari böwö tersebut khususnya pada marga
Hia sebesar 52,5 alisi. Saat ini, pada saat kegiatan fangerai böwö (menghitung
jujuran/mahar) dilakukan dalam upacara pernikahan adat maka jumlah dari böwö
yang telah diputuskan oleh pemuka adat hanya disebutkan saja tidak harus
dibayarkan. Böwö yang tinggi tersebut menjadi salah satu alasan kuat tidak
Barö bukan hanya diberikan pada perempuan saja tetapi juga pada laki-laki.
60
Gambar 4.2 Böwö ba wanowu niha ma’uwu hia silima ina lahömi: fondrakö döfi
1990 (Jumlah jujuran atau mahar pernikahan keturunan hia silima ina lahömi:
fondrakö Tahun 1990) (Sumber: Informan Penelitian, Bapak Fatizaro Hia, S.H.)
Dokumentasi pribadi, 03 juli 2022
diinginkan menjadi salah satu faktor penyebab belum menikah. Dorongan untuk
mencapai keberhasilan dalam pekerjaan menjadi hal tepenting saat ini. Terakhir,
faktor terlalu memilih merupakan penyebab dari banyaknya yang belum menikah
pada etnis Nias. Kriteria pasangan yang beragam menjadi alasannya salah satunya
61
yaitu menemukan pasangan yang mirip persis dengan salah satu orang tua. Hal
tersebut tentunya bukan hal yang mudah bahkan dianggap mustahil menemukan
seseorang yang memiliki kepribadian sama persis dengan salah satu orang tua.
Informan juga menyampaikan bahwa label Satua Barö bukan hanya diberikan
Wawancara yang dilakukan dengan Bapak Zega (50 tahun) juga mengenai
“Bukan hanya orang Nias tapi memang di Nias itu dulunya banyak wanita-
wanita Nias belum menikah karena mungkin eeee alasannya ee karena
banyak mungkin banyak persoalan-persoalan terkait dengan adat ya”.
“Jadi dulukan jujuran beda dengan sekarang udah ada perubahan-perubahan
jujuran sehingga dia dulu eee kalau yang mau melamar dia harus punya
uang yang banyak dulu harus punya eee peliharaaan dulu ternak babi yang
banyak, karena dalam adat Nias kan harus ada babi. Kemudian satu juga
mungkin wanita-wanita Nias itu juga masa dulu kenapa lama kawin
disamping persoalan adat yang berbelit atau jujuran juga mungkin karena
terlalu ketat dalam pola pergaulan yahhh. terlalu banyak aturan sehingga
mungkin anak-anak perempuan Nias itu tidak bisa bebas bergaul mencari
jodoh sebagaimana dengan suku-suku yang lain.”
“ehh persoalan karirnya yang membuat dia kadang-kadang membuat dia
mengambil keputusan untuk tidak menikah” (Wawancara pada tanggal 10
juli 2022)
Hasil wawancara dengan Bapak Zega (50 tahun) dapat diketahui bahwa
yang menjadi penyebab dari perempuan Nias belum menikah berkaitan dengan adat
yang ada pada etnis Nias. Ia menyampaikan bahwa jujuran/mahar (böwö), pola
pergaulan yang ketat dan banyaknya aturan dalam adat Nias menjadi seorang
perempuan tidak bebas bergaul dengan orang lain sehingga tidak bisa untuk bebas
memilih ataupun mencari jodohnya. Selain itu, karir bisa saja saat ini menjadi
Selain itu, berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Ibu Zebua (43
mengatakan bahwa:
“aku gak mau menikah karena aku gak mau satu gak mau aku satu marga
aku gak mau aku dipendalaman. Jadi kubilang sama orang bapakku gak mau
aku tinggal di pedalaman sana yang banyak sawahnya. Aku mau
menyekolahkan adekku dulu kubilang baru aku mau menikah makanya aku
lama menikah, umur 34 tahun baru aku dapat jodoh” (Wawancara pada
tanggal 05 juli 2022)
karena ia tidak ingin menikah dengan orang yang memiliki marga sama dengannya.
Selain itu, ia juga tidak ingin saat menikah nanti tinggal diwilayah pedalaman dari
dahulu sebelum akhirnya ia menikah. Hal tersebut membuat Ibu Zebua (43 tahun)
“salah satunya penyebabnya atau faktornya itu belum ada jodohnya atau
belum ada komitmen untuk membentuk keluarga”
sebuah keluarga.
Ibu Hia (55 tahun) juga menuturkan terkait dengan penyebab dari
“kalau dulu ini yahhh karena besar jujurannya tau sendirikan apa kekmana
böwö itu besarnya yahh kadang gak sanggup pihak laki-laki gak jadi nikah”.
“apa yahhh hah dulukan gak dikenal kita pacaran anak-anak sekarang aja
yang pacaran kalau dulu itu di jodohkan gak ada istilah pacaran sekarang
kan udah bebas anak-anak kalau bahasa niasnya itu eeemmmm famaigi niha
cuman orang tuanya nanti yang melihat mana yang cocok sama anaknya
baru nanti dijumpailah ntah dikasih tau ntah siapa kenalan dari pihak
perempuan itu kalau suka orang itu” (Wawancara pada tanggal 05 juli 2022)
Menurut Ibu Hia (55 tahun) penyebab perempuan belum menikah adalah
karena jujuran/ mahar (böwö) yang sangat besar sehingga calon mempelai laki-laki
karena etnis Nias tidak mengenal pacaran seperti saat ini. dulunya orang-orang yang
hendak menikah akan melakukan perjodohan (famaigi niha) yang dilakukan oleh
orang tua.
perempuan berusia dewasa etnis Nias belum menikah, mengenai penyebab dirinya
Hasil wawancara dengan Tante Gea (50 tahun) yang menjadi alasannya
teologia. Selain itu, ia juga menyadari bahwa usianya sudah tidak muda lagi untuk
melayani Tuhan saja. Serta, ia juga tidak ingin memberatkan siapapun ketika dia
64
dampak yang dialami. Dampak tersebut bisa dialami oleh perempuan yang diberi
label maupun keluarganya yang biasanya berasal dari lingkungan sekitar dari
perempuan belum menikah usia dewasa. Label Satua Barö memiliki dampak
mengatakan bahwa:
Hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Zebua (41 tahun) bahwa
dilangsungkan) meskipun dia berusia lebih dewasa dari perempuan yang hendak
65
menikah, hal itu dikarenakan belum menjalani kehidupan pernikahan. Selain itu,
“Dalam posisi budaya nias seseorang yang belum berkeluarga yahh kalau
posisinya pertama didalam keluarga kalau nias tidak mendapatkan harta.
Dulunya yang mendapatkan warisan hanya laki-laki tapi sekarang
berdasarkan seseorang yang mendapatkan warisan adalah ahli waris dari
orang tua. Ahli waris itu siapa laki-laki dan perempuan. Tapi dulu tidak,
hukum adat nias hanya mengenal pembagian harta warisan itu untuk laki-
laki yahhh itu lah dia. Maka posisi mereka dalam harta warisan tidak ada itu
yang pertama. Kedua dalam hubungan keluarga misalnya kan contoh
misalnya inikan kalian kawin anak paman tidak dinyatakan kalian ini
sebagai fadono tapi hanya mamakmu itu sama mamakmu belum berdiri
kalian ibaratnya ada kewajiban dari pihak paman itu tidak dibebankan atas
nama kalian tapi dibebankan atas nama mamak. Hal berikutnya jika di suatu
kampung itu ada pembagian jambar-jambar gak dapat juga hanya laki-laki
yang dapat. Itu la gambarannya kalau perempuan nias ini tidak kawin tidak
berkeluarga yahh kemudian dari hubungan keluarga dengan paman dan juga
kepada satu persudaraan mereka tidak mendapatkan suatu bagian atau beban
hah contoh kawinlah pamanmu di bebankan sama mamakmu. Menurut adat
nias saudara mamak saya atau saudara mamak dari perempuan itu bila ada
suatu pekerjaan maka pihak saudara atau paman itu ya wajib punya beban
dari mamak tetapi perempuan yang sudah berumur ini tidak dikenakan atau
tidak menjadi sebuah tanggungjawab. Ada sebuah kebiasaan adat bahwa
saudara mamakmu atau paman kawin atau segala pekerjaan mereka itu ada
kewajiban adat yang harus dibayarkan tetapi kewajiban itu tidak menjadi
tanggungjawab perempuan yang berumur ini tapi yang bertanggungjawab
orang tuanya nya hah seperti itulah penjelasannya itulah kira-kira.”
(Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)
dan tanggungjawab perempuan belum menikah usia dewasa pada etnis Nias, tidak
66
ada kedudukannya dan tidak mendapatkan bagian dari harta warisan. Dulunya,
dalam hukum adat Nias pembagian harta warisan diberikan hanya kepada laki-laki
saja. Selain itu, tidak dibebankan dalam membayar kewajiban adat terhadap pihak
menempati posisi adat yaitu fadono atau ono alawe (perempuan yang sudah
menikah dan merupakan pekerja dalam upacara atau kegiatan adat yang
menikah tidak mendapatkan bagian jambar (zimbi) pada saat kegiatan adat
dilakukan.
“nah kedudukannya dalam adat itu dia gak punya hak suara yahh tidak
punya hak suara yahh dalam adat. Hah ini sebenarnya bukan hanya soal
wanita yang tidak menikah, perempuan-perempuan Nias itu kan terlalu jauh
ketimpangan gender yahhh. Artinya wanita itu tidak berhak bicara soal adat
warisan misalnya kan. Hah itu yang salah, gak boleh itukan adat kalau
secara perdata sama itu wanita sama pria yahhh seperti itu” (Wawancara
pada tanggal 10 juli 2022)
menikah usia dewasa dalam adat tidak ada, ia bahkan tidak memiliki hak suara
terkait pembagian harta warisan dikarenakan ketimpangan gender yang terjadi pada
67
pembagian harta warisan dilakukan berdasarkan hukum perdata sehingga baik laki-
laki dan perempuan memiliki hak yang sama khususnya hak berpendapat mengenai
“kalau menurutku satua baro itu kalau melalui adat gak ada posisinya
melalui adat jadi melalui sosial gak ada juga posisinya jadi kalau melalui
keluarga ada posisinya bertanggungjawab sama orang adeknya,
menyekolahkan adek membantu orang tua nya” (Wawancara pada tanggal
05 juli 2022)
pernyataan para informan lainnya bahwa tidak ada kedudukan perempuan belum
menikah usia dewasa khususnya yang mendapat label Satua Barö dalam adat. Akan
Ibu Telaumbanua (35 tahun) sebagai perempuan yang lama menikah dan
“tidak ada posisinya karena dia masih dalam apa ee apa karena dia belumm
memiliki keluarga selain bapak mamaknya ooo karena dia belum
membentuk suatu keluarga” (Wawancara pada tanggal 09 juli 2022)
bahwa seorang perempuan belum menikah usia dewasa tidak memiliki posisi
apapun dalam adat. Segala tanggungjawab ataupun tugasnya dalam adat masih
membentuk sebuah keluarga sehingga tidak memiliki kedudukan dalam dalam adat.
68
menikah juga di sampaikan oleh Ibu Hia (55 tahun), ia mengatakan bahwa:
“ooo gak adalah dek kan dia belum menikah masih ada mamak bapaknya
itulah yang ada posisinya kalau untuk kekgitu kekgitu gak ada dia makanya
di dapur aja nanti dia dikasih bantu-bantu masak tapi kalau udah nikah hah
baru ada dia nanti dikasih jamabr diingat-ingat dia” (Wawancara pada
tanggal 05 juli 2022)
Hasil wawancara dengan Ibu Hia (55 tahun) menjelaskan bawa seorang
perempuan belum menikah usia dewasa yang mendapat label Satua Barö tidak
memiliki kedudukan dalam adat dikarenakan belum menikah dan masih menjadi
tanggungjawab dari kedua orangtuanya. Akan tetapi, ia masih memiliki tugas untuk
kegiatan yang dilangsungkan. Selain itu, apabila dia sudah menikah maka orang
menikah usia dewasa etnis Nias (sampai saat ini), mengenai kedudukan dan
“iya saya membantu mereka, saya bergaul dengan mereka juga karenakan
mereka saudara saya”
“sayakan punya saudara yah saudara sama sayalah kalau masih ada orang
bapak sama mamak sama merekalah saya kalau ada kegiatan adat ntah
memasak-masak saya bantu.” (Wawancara pada tanggal 22 juni 2022)
bergantung dengan orang tua maupun sanak saudaranya akan tetapi, tetap
kegiatan adat.
setelah menikah tidak ia rasakan dan menjadi beban kedua orang tuanya atau sanak
saudaranya. Akan tetapi, mereka akan senantiasa membantu segala aktivitas dalam
pelaksanaan adat tetapi hanya kegiatan yang berhubungan dengan keperluan dapur
saja misalnya memasak. Dampak lainnya terhadap label Satua Barö tersebut adalah
“Tapi kalau duduk ya duduk bersama kerja, kerja dia. membantu pekerjaan
didapur bisa dan tidak ada yang dalam arti malu gara-gara Satua Barö.”
“kalau orang Nias malas berhubungan enggak, tapi mereka yang
menyingkir. Mereka bergabung dengan yang sudah muda-muda udah gak
lagi. Mereka mundur teratur mereka bergabung nanti sama mamak-
mamak.” (Wawancara pada tanggal 19 juni 2022)
Menurut Bapak Zebua (41 tahun) bahwa perempuan yang belum menikah
usia dewasa mendapat label Satua Barö memiliki hubungan yang baik dengan
sekitarnya. Tidak ada rasa malu untuk bergaul diakibatkan dirinya mendapat label
Satua Barö. Etnis Nias lainnya akan menerima mereka dengan baik, akan tetapi
perempuan yang mendapat label Satua Barö cenderung akan memilih-milih dalam
pertemanannya mengingat usianya yang tidak muda lagi. Meskipun mereka belum
70
menikah mereka akan memposisikan diri mereka dengan orang yang memiliki usia
sama dengan mereka meskipun itu kelompok ibu-ibu yang sudah menikah.
Selanjutnya, wawancara dengan Tante Gea (50 tahun) pada tanggal 22 juni
dengan orang lain menurutnya ia mampu dan bisa berteman dengan siapapun juga.
Hasil wawancara dengan Bapak Zebua (41 tahun) menjelaskan bahwa ada
terdapat perasaan sedih dari orang tua apabila anaknya tidak menikah khusunya
perempuan, karena menurutnya setiap orang tua ingin anaknya berkeluarga dan
mempunyai cucu dari seluruh anak yang ia memiliki. Selain itu, keluarga memiliki
71
beban dan tanggungjawab akan kehidupan perempuan belum menikah usia dewasa
hingga nantinya ia menutup usia. Tempat tinggal dari perempuan belum menikah
usia dewasa akan dirembukkan oleh pihak keluarga kemana dia akan tinggal baik
itu secara bergantian, akan tetapi bisa saja ia memilih lokasi kediamannya untuk ia
tinggalin dan seluruh keluarga haruslah menerimanya. Keluarga tersebut mau tidak
mau harus menanggung beban dan tanggungjawab tersebut serta menjadi sebuah
beban moril. Hal ini dikarenakan etnis Nias memiliki pepatah yang mengatakan
hakhö e be’e noro bio ba (sama siapa kamu kasih bebanmu yang udah gagal itu).
Serta pula, keluarga akan memiliki kesadaran diri penuh bahwa mereka memilik
seorang anak yang berusia dewasa belum menikah, misalnya dalam sebuha
keluarga terdapat yang belum menikah makan dengan santainya akan menyebutkan
jumlah anaknya dan mengenalkan bisa keluarganya bahwa salah satu anaknya
Wawancara dengan Bapak Hia (55 tahun) yang merupaka tokoh masyarakat
Nias di Kota Medan, mengenai dampak dari labeling tersebut terhadap keluarga
mengatakan bahwa:
“kalau soal mengejek tidak cuman ada imbasnya hah gini kan ada faktor
kenapa bisa salah satunya tadikan jujurannya kan hah ketika banyak orang
yang sudah lanjut usia di rumahnya maka orang enggan mau melamar anak-
anak saudara kita. Iyah itu imbasnya tapi imbas jeleknya gak ada diejek
enggak, tapi imbasnya adalah ee anak saudara nya laki-laki yang punya anak
perempuan bisa berimbas ya orang tidak ee berkeinginana karena salah satu
faktor tadi jujuran karena kesitu faktornya bukan faktor yang beberapa tadi
hah faktor yang berimbas pada keluarga adalah faktor yang jujuran karena
mereka bilang ahkk makanya gak kawin-kawin anak saudara itu karena
besar kali jujuran jangan jangan kita ambil anaknya saudaranya begitu juga
hah itulah yang menjadi imbasnya tapi sekarang udah enggak. Hah karena
faktor jujuran tadi.”
“hah jadi didalam keluarga inikan ada bapak ada mama ada anak ada
perempuan ada laki-laki maka tentu misalnya ketika orang tuanya
72
meninggal yang utama dulu yang ketika dia lanjut umur ada anak laki-laki
itu tanggungjawab anak laki-laki baitu yang pertama pokoknya laki-laki lah
baik itu dari saudaranya kemudian contoh gak ada anaknya laki-laki yahh
saudaranya perempuan harus dia bertanggungjawab karena kenapa karena
saudaranya gak mungkin contoh adekmu perempuan kan contoh yang satu
lanjut usia diambil adekmu dia berkeluarga gak mungkin sampai hati
meninggalkan kamu kan gitukan rasa keterikatan batin itu ada tapi yang
utama kalau ada laki-laki itu yang utama tapi kalau agak ada laki-laki
perempuan pun harus bertanggungjawab kenapa karena pengganti orang tua
saudaranya laki-laki adalah saudaranya dan saudaranya perempuan tidak
bisa melepaskan tanggungjawab misalnya contoh ada saudaranya laki-laki
tua kamu itu tidak boleh tidak bisa meleparkan tanggungjawabnya. Hah
harus dia mengurus sama seperti mengurus orang tuanya. Itulah ikatan batin
gak bisa kita berikan sama orang banyak itu sampek meninggal.”
(Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)
perempuan belum menikah usia dewasa maka kebanyakan orang merasa enggan
untuk melamar anak dari saudara laki-laki si perempuan belum menikah tersebut.
Orang akan berpikir bahwa banyaknya perempuan belum menikah usia dewasa
didalam keluarga tersebut disebabkan oleh faktor jujuran atau mahar (böwö) yang
sangat besar, sehingga orang-orang tidak akan berani untuk melamar anak
perempuan saudara laki-laki dari perempuan belum menikah usia dewasa tersebut.
dengan dampak yang dialami oleh keluarga apabila orang tua meninggat
mengatakan bahwa:
“Satua Barö ini tidak menerima harta kemudian satu baro ini dihargai
dimana kita tau kalau dia dihargai dia selalu memberikan ee kalau misalnya
dia selalu dipertanyakan ha sesuatu samanya kalau udah meninggal
73
Apabila kedua orang tua dari perempuan belum menikah usia dewasa
Seorang Satua Barö dapat menjadi orang tua dalam keluarganya yang
Wawancara dengan Bapak Zega (50 tahun) mengenai dampak label Satua
“sebenarnyakan di label itu kan seharusnya bisa ada rasa apa dengan
kelaurga ya secara psikologis artinya kalau anaknya tidak menikah mungkin
ada perasaan belum sempurna tugas orang tua Seharusnya ini memberi
dampak efek terhadap budaya Nias khususnya soal jujuran tadi jadi supaya
keluarga-keluarga tidak meminta jujuran atau upacara-upacara adat yang
berbelit-belit ya”.
“yahhh kadang-kadang ada orang tua di Nias sana tergantung terhadap
konsep mereka berpikir. Yah dia mungkin orang tua merasa sedih frustasi
anaknya belum menikah”
“kalau di Nias yahh barangkali masih ada, saya aja naak saya udah 34 tahun
umurnya belum menikah” (Wawancara pada tanggal 10 juli 2022)
Hasil wawancara dengan Bapak Zega (50 tahun) menjelaskan bahwa label
Satua Barö yang diberikan kepada seorang perempuan usia dewasa belum menikah
dengan psikologi pada keluarga. Keluarga khususnya orang tua akan merasa sedih
74
bahkan frustasi ketika anaknya belum menikah. Hal ini disebabkan timbulnya
perasaan dari orang tua yang merasa belum sempurnanya tugasnya sebagai orang
tua dikarenakan anaknya belum menikah. Menurutnya label Satua Barö pada
perempuan belum menikah usia dewasa menjadi sebuah dampak besar terhadap
keluarga untuk tidak meminta jujuran atau mahar (böwö) yang sangat besar dan
Selanjutnya, wawancara yang dilakukan dengan Ibu Zebua (43 tahun) pada
tanggal 05 juli 2022 mengenai label Satua Barö dampak terhadap keluarga,
menuturkan bahwa label Satua Barö yang diberikan padanya membuat keluarganya
hanya bersikap cuek dan santai saja. Keluarga beliau tidak terlalu memikirkan akan
label Satua Barö yang diberikan padanya mereka akan terus mendoakannya agar
mendapat jodoh. Serta pula, label Satua Barö membuat fokus untuk membantu
Begitu pula yang di sampaikan oleh Ibu Telaumbanua (35 tahun) dalam
wawancara pada tanggal 09 juli 2022 bahwa tidak ada dampak negatif yang dialami
oleh keluarga perempuan belum menikah terhadap label Satua Barö. Justru label
inilah yang dialami oleh keluarganya, perempuan yang mendapat label Satua Barö
Wawancara dengan Ibu Hia (55 tahun) mengenai dampak label Satua Barö
“apa yang mau dibilang keluarganya kalau belum nikah dek aku aja dulu
waktu ada bapak ku ini yahh sedihlah dia waktu belum menikah aku tapi
75
waktu udah nikah udah tenang aja dia” (Wawancara pada tanggal 05 juni
2022)
Hasil wawancara dengan Ibu Hia (55 tahun) mengenai dampak label Satua
keluarga khususnya orang tua akan bersedih. Akan tetapi, ketika anak
perempuannya sudah menikah akan ada perasaan bahagia yang orang tua
Terakhir, wawancara yang dilakukan dengan Tante Gea (55 tahun) yang
“keluarga saya semuanya kalau umur begini tak usah menikah lagi hemm
nanti mereka merasa sedih juga kalau aku berpindah dari eee dari mereka
terasa sedih disana, terasa susah, tidak perduli lebih baik aku disamping
mereka aja sampai aku tua karena mereka semua pegawai negeri kan ada
biaya hidup. Yahh karena mereka sudah mengambil kesimpulan aku tetap
disamping mereka ajahh. Tak usah lagi jauh-jauh” (Wawancaraa pada
tanggal 22 juni 2022)
keluarganya tidak memutuskan pula bawah bila umurnya sudah sejauh ini
lagi. Keluarganya pula menerima dirinya yang belum menikah hingga saat ini dan
Label Satua Barö ternyata juga memberi dampak terhadap diri perempuan
belum menikah usia dewasa. Berdasarkan wawancara dnegan Bapak Zebua (41
“banyaklah, dia menceritakan bahkan nangis pun sedihlah kadang coba dulu
kalau bapak dulu gak besar jujuran pasti aku udah punya anak kayak adekku
itu kayak gitu”
“kalau orang Nias malas berhubungan enggak, tapi mereka yang
menyingkir. Mereka bergabung dengan yang sudah muda-muda udah gak
lagi. Mereka mundur teratur mereka bergabung nanti sama mamak-mamak”
(Wawancara pada tanggal 19 juni 2022)
Hasil wawancara dengan Bapak Zebua (41 tahun) menjelaskan bahwa self
impact yang dirasakan oleh perempuan belum menikah usia dewasa yang mendapat
label Satua Barö pastinya sangat sedih bahkan bisa saja menangis. Timbulnya
perasaan kecewa terhadap keluarga yang terkadang terucap pada saat berbicara
yang disebabkan oleh jujuran atau mahar (böwö) pada saat tersebut. Selain itu pula,
dirinya memilih dengan siapa ia bergaul dan pula timbulnya perasaan untuk
Dampak label Satua Barö terhadap diri perempuan belum menikah usia
dewasa juga dijelaskan oleh Bapak Hia (55 tahun) ia mengatakan bahwa:
“Hemm pokoknya dia orang Satua Barö ini satu di tidak berpikir macam-
macam ya harus bekerja saja hah yang kedua kalau misalnya ada saudaranya
ketika tidak ada saudaranya laki-laki atau gak adalah saudaranya maka dia
fokus kerja hah pada umumnya berhasil itu banyak hartanya. Ketika dia
banyak hartanya yahh bisa dia jadi saluran berkat kepada saudara terdekat
bisa dibantunya. So daö ba khöda ifangowalu nono dalifuse nia batoröi
khönia ba daö zondorogö yaiya hah itu akibat sebenarnya tidak harus dia
pikirkan. Dia tidak memiliki beban moral bahwa dia Satua Barö kedua
ketika gak ada keluarganya dia mau bekerja tapi ketika dia berhasil banyak
hartanya pada umumnya bisa jadi saluran berkat bagi sanak keluarganya.”
(Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)
terima perempuan belum menikah usia dewasa tersebut ialah tidak memiliki
77
saja. Selain itu, perempuan belum menikah usia dewasa yang mendapat label Satua
perekonomian dari keluarganya. Serta pula, perempuan belum menikah usia dewasa
ini bisa menikahkan anak dari saudaranya yang seharusnya tidak dia pikirkan, hal
tersebut terbukti dari kisah adanya Satua Barö yang menikahkan anak dari
saudaranya itulah yang mengurus dia akhirnya (So daö ba khöda ifangowalu nono
Selanjutnya, wawancara dengan Ibu Zebua (43 tahun) pada tanggal 05 juli
2022 mengenai self-impact terhadap dirinya sendiri akibat dari label Satua Barö, ia
menyampaikan bahwa pada saat dirinya mendapat label Satua Barö ia hanya sabar.
Menurutnya label Satua Barö tersebut membuatnya menjadi cuek dan menganggap
santai label tersebut. Akibat dari label Satua Barö yang diterimanya ia menjadi
lebih fokus untuk bekerja dan berusaha mencari kesibukkan dirinya sendiri agar
tidak memikirkan label tersebut. Serta pula, ia terus mendoakan jodohnya sendiri.
“yahhh kerja dia lah dek biar ada uangnya kadangpun dibantunya
kelaurganya karenakan gak ada tanggungannya uangnya pun ada kemana
dikasihnya yah sama keluarganyalah dikasihnya dibantunya keluarganya
ntah dikasihnya uang belanja” (Wawancara pada tanggal 09 juli 2022)
perempuan yang mendapat label Satua Barö akan lebih memfokuskan dirinya untuk
bekerja daripada memikirkan label tersebut. Hal tersebut terjadi kerena menurutnya
jika dia bekerja untuk menghasilkan uang sehingga bisa membantu keperluan
78
keluarganya. Dengan kata lain label Satua Barö menyebabkan seorang perempuan
akan lebih fokus bekerja untuk menghasilkan uang tanpa harus memikirkan label
tersebut.
Hal serupa juga disampaikan oleh Ibu Hia (55 tahun) mengenai self-impact
“pasti sedih dek ada rasa sedih di hatinya itu karenakan dia gak nikah bale
kalau apa nanti kadang merasa minder dia kalau menjumpai orang katanya
ihh belum nikah aku gak usah lah kesana kadnag bisa aja nanti dibilangnya
itu tapi kalau udah biasa itu dia udah gak ada lagi itu udah biasa aja udah
dibawa santai aja” (Wawancara pada tanggal 05 juli 2022)
Hasil wawancara dengan Ibu Hia (55 tahun) menjelaskan bahwa self-impact
yang dialami oleh perempuan belum menikah usia dewasa pastinya merasakan
dikarenakan belum menikah. Perasaan tersebut muncul akibat dari perkataan orang
lain padanya karena belum menikah. Selain itu, label Satua Barö yang diberikan
pada perempuan belum menikah usia dewasa akan dibawa santai saja dikarenakan
Sementara wawancara yang dilakukan dengan Tante Gea (50 tahun) terkait
“ooo baru saya sedih itu kalau mereka, mereka sakit ada persoalan mereka
dikampung ada problema ada kekurangan materi saya ikut susah juga
mengenai pribadi saya, saya tak pernah mau menerima susah karena Tuhan
itu adil dia memberikan mana yang terbaik untuk kita kebutuhan hidup kita.
Dialah yang mencukupi segala sesuatu tak usah di dalam Alkitab tak usah
sedih tak usah susah tapi kalau susah itu kalau saya ingat keluarga saya ada
yang sakit ada yang kekurangan materi ada yang problema yahhh ikut saya
sedih juga karena keluarga saya” (Wawancara pada tanggal 22 juni 2022)
79
apapun. Ia tidak mau memikirkan kesusahan akibat belum menikah hingga saat ini.
sesuai yang dia butuhkan. Ia percaya bahwa segala sesuatu yang dia butuhkan telah
disediakan Tuhan. Selain itu, ia hanya akan bersedih apabila keluarganya mendapat
masalah amak ia akan ikut bersedih akan hal yang menimpah keluarganya.
Label Satua Barö yang diterima oleh perempuan belum menikah etnis Nias
dialami secara langsung oleh perempuan belum menikah usia dewasa. Hal tersebut
menyebabkan dibutuhkan upaya agar tidak diberi label lagi atau dengan kata lain
agar label itu tidak mempengaruhi kehidupan dari perempuan belum menikah etnis
Nias.
tantangan yang dihadapi oleh perempuan belum menikah usia dewasa yang
apa ee ada perempuan Nias menikah dia di ganggu ganggu, cantik misalnya
kan laki-laki ada laki-laki ganggu dia gak tergiur dia. Apa dikata orang
berpedoman dia sama tantenya itu walaupun atua baro tetap dijaganya
dirinya itukan. Jadi teladan yang baik juga kalau dia sampai akhirnya. Malah
pun gini layan kalau misalnya umur 50 tahu udah kebanyakan dibilang
udahlah gak usah lagi menikah”
“iya kalau cerewet dia diblg itu Satua Barö, kalau yang punya anak dibilang
gak pernah dia merasakan punya anak ya gitu pulak. Walaupun gak dibilang
sama dia dibelakangnya dibelakangnya nanti dibilang mak di marahin tante
itu yahh namanya satua barö.”
“eee banyak beban, gapapa kalau suaminya bagus contoh ini ya udah
kubilang sama mamatalumu ina anggi kalau apa gak usah lagi menikah
itukan memang ada jodohnya yaudah. Kenapa alasannya gitu lebih bagus
buka usahamu Satua Barö nikmati hidupmu ada anak-anakku kok tapi
kemarin dia gak mau dia apa juga nanti kekhawatiran orang itu juga gpp
istri kalian bagus-bagus kalau enggak kalian bisa. Itu pulak ya he, kadang
satua barö ini juga sempat gak bagus istri saudaranya jadi budak juga. Jadi
pembantu itu pulak.” (Wawancara pada tanggal 19 juni 2022)
tantangan yang diterima oleh perempuan belum menikah usia dewasa ialah akan
menjadi bahan gosip orang lain karena belum menikah. Selain itu, ia akan menjadi
buah bibir orang-orang apabila memiliki sifat yang tidak disenangi oleh orang lain.
Seseorang yang mendapat label Satua Barö juga akan mendapat julukan apabila
dianggap oleh masyarakat memiliki umur yang sudah pantas untuk dijuluki
misalnya sudah berkisar umur 40-45 tahun. Serta pula, orang-orang akan selalu
Satua Barö ini pula ditakutkan akan menjadi sebuah hal yang dikhawatirkan oleh
dan nilai sosial yang berlaku di etnis Nias. Kekhawatiran lainnya, apabila
perempuan belum menikah usia dewasa yang mendapat label Satua Barö memiliki
saudara ipar yang tidak menyukainya maka bisa saja menjadi pembantu dalam
81
rumah tersebut. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh
Wawancara dengan Bapak Hia (55 tahun) mengenai tantangan yang dterima
“mungkin ketika ada saudaranya yang ngurus happy happy aja dia mau kerja
tapi kalau gak ada saudaranya hah bagaimana kan jadi satu beban pemikiran
itu apa yang harus dilakukannya ya mengandalkan dirinya sendiri….”
(Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)
Hasil wawancara dengan Bapak Hia (55 tahun) menjelaskan bahwa seorang
yang mendapat label Satua Barö akan merasa happy ketika ada saudara yang
mengurusnya. Ia akan fokus untuk bekerja karena masih memiliki saudara yang
akan mengurusnya. Namun, jika dia tidak memiliki saudara maka itu akan menjadi
tantangan dan beban pikiran tersendiri untuk dirinya. Ia harus mengandalkan diri
sendiri.
tantangan yang ia alami label Satua Barö terhadap dirinya mengatakan bahwa:
“belum punya komitmen untuk menikah apalagi pernikahan itu kan cuman
sekali seumur hidup kalau nikah aku cuman gara-gara takut sama gosip bisa
aja cerai aku nanti” (Wawancara pada tanggal 09 juni 2022)
belum menikah etnis Nias akibat dari label Satua Barö ialah mendapat gosip dari
orang sekitar. Label Satua Barö yang dia terima membuatnya harus berpikir lebih
jauh tentang pernikahan. Selain belum memiliki komitmen untuk menikah iya juga
takut untuk bercerai hanya dikarenakan ingin menikah untuk menghindari label
yang diberikan.
82
tahun) pada tanggal 22 juni yang merupakan perempuan belum menikah usia
Baginya apabila keluarganya sakit atau mengalami persoalan ia akan turut sedih.
Merasakan kesusahan yang dialami oleh keluarganya pula dan merasa susah
Adapun upaya yang dilakukan oleh perempuan belum menikah usia dewasa
mengenai label Satua Barö. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Zebua (41
“satua barö itu harus enjoy menerima label ini. karena lebih berharga satua
barö daripada hamil diluar nikah atau kawin lari yahh satua barö itu harus
enjoy menerima label ini. karena lebih berharga satua barö daripada hamil
diluar nikah atau kawin lari yahh” (Wawancara pada tanggal 19 juni 2022)
Hasil wawancara dengan denga Bapak Zebua (41 tahun) mengenai upaya
yang dilakukan perempuan belum menikah usia dewasa yang mendapat label Satua
Barö haruslah tetap menikmati hidupnya. Dengan perasaan enjoy akan label yang
diberikan kepadanya. Menurut Bapak Zebua (41 tahun) karena label Satua Barö
Menurutnya, label Satua Barö lebih berharga dari pada orang yang hamil diluar
Sementara, wawancaa dengan Bapak Hia (55 tahun) mengenai upaya yang
dilakukan oleh perempuan belum menikah usia dewasa yang mendapat label
“Hemm pokoknya dia orang satua barö ini satu di tidak berpikir macam-
macam ya harus bekerja saja hah yang kedua kalau misalnya ada saudaranya
ketika tidak ada saudaranya laki-laki atau gak adalah saudaranya maka dia
fokus kerja hah pada umumnya berhasil itu banyak hartanya. Ketika dia
banyak hartanya yahh bisa dia jadi saluran berkat kepada saudara terdekat
bisa dibantunya.” (Wawancara pada tangaal 03 juli 2022)
Menurut Bapak Hia (55 tahun) upaya yang dilakukan perempuan yang
mendapat label Satua Barö adalah dnegan tidak memikirkan label tersebut. Ia dapat
fokus bekerja untuk bisa tidak memikirkan label tersebut. Selanjurnya, perempuan
sendiri.
Wawancara dengan Ibu Zebua (43 tahun) yang dilakukan pada tanggal 05
juli 2022 mengenai upaya yang dilakukan perempuan yang mendapat label tersebut
Keterampilan yang dapat dilakukannya misalnya belajar salon dan menjahit. Selain,
membantu menimalisir akan label tersebut kegiatan itu juga mampu menjadi daya
jual tersendiri bagi perempuan yang mendapat label untuk meningkatkan taraf
mengatakan bahwa:
“menurut ku agar perempuan itu gak digosipkan dia harus menititip eee
sesuatu harus dilakukannya apa ya dia harus berketerampilan berbakat
84
memiliki pendapat yang sama dengan Ibu Zebua (43 tahun). Menurutnya
perempuan yang mendapat label Satua Barö agar tidak mendapat gosip lagi ia harus
bernyanyi, menjahit salon, bahkan membuka usaha sendiri. Hal tersebut dilakukan
keterampilan yang banyak bisa meminimalisir gosip yang beredar temasuk label
tersebut.
Sedangkan, berdasarkan wawancara dengan Ibu Hia (55 tahun) upaya yang
perempuan yang belum menikah usia dewasa yang mendapat label Satua Barö tidak
perlu memikirkan label tersebut. Menurutnya agar label itu tidak terlalu dipikirkan
sebbaiknya fokus untuk bekerja membantu keperluan keluarganya. Selain itu, juga
upaya yang dilakukan yaitu fokus terhadap dirinya sendiri tanpa memperdulikan
label tersebut.
“Terus karena udah terlanjur umur saya ambil kesimpulan aku melayani
Tuhan aja tidak, saya bawa happy aja. Senang-senang aja karena di dalam
alkitab di dalam Korintus dikatakan siapa yang tak pernah menyusui anak
lebih diberkati Tuhan lagi. Makanya saya menetapkan hati hanya
mengandalkan Tuhan aja hidup dan mati hanya kepada Tuhan kuserahkan”
(Wawancara pada tanggal 22 juni 2022)
85
Menurut Tante Gea (50 tahun) yang merupakan informan penelitian ia tidak
terhadap statusnya bahkan hidupnya sendiri sebab ia percaya bahwa Tuhan yang
labeling Satua Barö pada perempuan dewasa belum menikah etnis Nias di Kota
Medan sejalan dengan teori labeling yang mengatakan bahwa labeling merupakan
reaksi orang lain (diluar dirinya) dan pengaruh yang ditimbulkan sebagai akibat dari
seseorang merupakan dampak dari orang lain kepada individu dikarenakan merasa
individu itu melakukan hal yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Labeling
Satua Barö yang diberikan pada perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias
menjadi sebuah identitas diri yang diberikan oleh etnis Nias sebagai pembeda
karena perempuan yang telah berusia dewasa seharusnya menikah, sehingga akan
menjadi sebuah hal yang dianggap tidak biasa apabila seorang perempuan yang
Teori labeling menyatakan dua hal yang sangat penting yaitu pertama, orang
tergantung terhadap bagaimana orang lain menilainya. Hal ini membuktikan bahwa
label Satua Barö menyatakan bahwa perempuan belum menikah usia dewasa
86
merupakan perilaku yang tidak normal bagi etnis Nias. Akibat dari belum
memberinya label. Label ini memberi dampak pada perempuan yang mendapat
label. Dampak tersebut merupakan akibat dari reaksi yang diberikan oleh kelompok
etnis Nias terhadap label Satua Barö, yang umumnya tidak hanya berdampak pada
diri individu saja melainkan pada keluarga dan kehidupan sosial budayanya.
3) dampak terhadap keluarga, dan 4) self impact. Keempat dampak yang dialami
dewasa, hal ini membuat ia memiliki keterbatasan terhadap ruang dan geraknya
Labeling Satua Barö yang diterima oleh perempuan belum menikah usia
dewasa juga pula secara tidak langsung merupakan langkah yang dilakukan oleh
etnis Nias, untuk meminimalisir keberadaan dari Satua Barö yang berguna untuk
mempertahankan struktur sosial yang ada di etnis Nias. Hal ini sejalan dengan teori
struktural fungsional oleh Radcliffe brown yang mengatakan bahwa aspek perilaku
sebuah pernikahan bukan hanya untuk memuaskan diri dari salah satu pihak tetapi
tidak menikah tentunya akan mengganggu stabilitas dari regenerasi etnis Nias.
sehingga dapat dikatakan label Satua Barö merupakan antisipasi regenerasi etnis
Nias.
masyarakat Nias, akan tetapi tidak memiliki fungsi dalam kegiatan yang
perempuan belum menikah usia dewasa haruslah tetap diakui oleh etnis Nias karena
mereka bagian dari masyarakat Nias meskipun dalam status adat mereka tidak
memiliki fungsi tetapi dalam keluarga mereka memiliki peran untuk membantu
adanya hubungan antara label yang diberikan dengan karakteristik dari label Satua
Barö. Hal ini terlihat apabila seorang perempuan belum menikah usia dewasa maka
tidak terjadi perubahan nama adat bahkan kedudukan dan tanggung jawab dalam
adat tidak dimiliki, sehingga akan merusak tatanan dari stuktur sosial yang ada. Hal
lainnya yaitu perempuan belum menikah usia dewasa memiliki faktor penyebab
dari keputusannya yang berkaitan dengan budaya yang ada. Famaigi niha dan böwö
merupakan budaya yang ada di etnis Nias yang mempengaruhi keberadaan dari
label Satua Barö. Hal ini terjadi dikarenakan mengingat bahwa etnis Nias sangatlah
menghargai tatanan struktur sosial dan budaya yang ada sehingga apabila seseorang
tidak menikah akan berdampak pada kegiatan famaigi niha dan böwö yang ada
dikarenakan etnis Nias sangat menjunjung tinggi budayanya. Akan tetapi, budaya
88
tersebutlah yang menjadi faktor penyebab dari label Satua Barö, sehingga melalui
5.1 Kesimpulan
Labeling Satua Barö Pada Perempuan Belum Menikah Usia Dewasa Etnis Nias di
1. Latar belakang label Satua Barö pada perempuan belum menikah usia
dewasa etnis Nias di Kota Medan adalah label Satua Barö berasal dari Pulau
oleh perantau dari Nias atau orang tua. Satua Barö adalah orang yang telah
perempuan etnis Nias dan dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai gadis tua.
Label Satua Barö sebenarnya bukan hanya diberikan pada perempuan saja
tetapi juga pada laki-laki. Akibat dari budaya patriarki yang ada label
tersebut menjadi tidak terlalu terlihat pada laki-laki. Faktor penyebab dari
89
90
2. Dampak yang ditimbulkan dari labeling Satua Barö pada perempuan belum
menikah usia dewasa etnis Nias di Kota Medan adalah 1) dampak terhadap
dan tidak mendapatkan bagian dari harta warisan, tidak dibebankan dalam
posisi adat yaitu fadono atau ono alawe 2) Dampak terhadap hubungan
sosial meliputi tidak ada rasa malu untuk bergaul, dan memilih-milih dalam
diri penuh, orang lain akan enggan untuk melamar anak dari saudara laki-
laki perempuan belum menikah usia dewasa. 4) self impact meliputi adanya
perasaan sedih, minder, cuek dan santai terhadap label Satua Barö,
dialami perempuan belum menikah usia dewasa yang mendapat label Satua
Barö.
3. Upaya yang dilakukan perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias di
Kota Medan agar tidak diberi labeling Satua Barö meliputi tetap menikmati
91
hidupnya, tidak memikirkan perkataan orang lain, fokus untuk bekerja dan
5.2 Saran
Adapun saran-saran yang bisa diberikan penulis terkait dengan Labeling
Satua Barö Pada Perempuan Belum Menikah Usia Dewasa Etnis Nias di Kota
1. Bagi perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias yang mendapat
label Satua Barö tidak terlalu memikirkan label yang diberikan oleh orang
tidak menjadi beban pikiran sendiri perempuan belum menikah usia dewasa
2. Bagi orang tua ataupun keluarga etnis Nias sebaiknya tidak terlalu
mempelai pihak laki-laki. Untuk saat ini diharapkan tidak lagi terlalu
ruang gerak perempuan untuk berinteraksi dengan lawan jenis. Serta pula,
melihat bahwa anak laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama
dilakukan oleh perempuan yang mendapat label Satua Barö agar tidak
memikirkan label tersebut. Orang tua ataupun keluarga juga sebaiknya tidak
untuk selalu menerima dengan baik perempuan belum menikah etnis Nias
psikologis yang dialami, perspektif dari orang sekitar terkait label dan
Ahmadi, D. & H., A. N. 2005. Teori Penjulukan. Mediator, Vi(2), Pp. 297-306.
Repository.Ub.Ac.Id.
Arsip Daerah Pemerintah Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. 2022. Peta Kota
Medan. Available At: http://arsip.pemkomedan.go.id/content/peta-kota-
medan.html [Accessed 30 Juli 2022].
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2021. Jumlah Penduduk Menurut
Kabupaten/Kota dan Agama yang Dianut, 2020. Available At:
https://sumut.bps.go.id/statictable/2021/04/21/2289/jumlah-penduduk-
menurut-kabupaten-kota-dan-agama-yang-dianut-2020.html [Accessed 30
Juli 2022].
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2022. Penduduk, Laju
Pertumbuhan Penduduk, Distribusi Persentase Penduduk, Kepadatan
Penduduk, Rasio Jenis Kelamin Penduduk Menurut Kabupaten/Kota, 2020
dan 2021. Available At:
https://sumut.bps.go.id/statictable/2022/03/04/2535/penduduk-laju-
pertumbuhan-penduduk-distribusi-persentase-penduduk-kepadatan-
penduduk-rasio-jenis-kelamin-penduduk-menurut-kabupaten-kota-2020-
dan-2021.html [Accessed 30 Juli 2022].
93
94
Dachi, O., et al. 2018. Perkawinan Usia Anak di Nias. Gunung Sitoli: Lembaga
Pustaka Belajar.
Gustanto, Wanti, A. D., Setiawan, I. & Fitrina, . N. C. 2005. Adat Dan Budaya Suku
Bangsa Nias Sumatera Utara. 1 Ed. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah Dan
Narwoko, J. & Suyanto, B. 2004. Sosiologi: Teks Pengantar Dan Terapan. 2010
Community, III(1).
Rahmalia, D. 2018. Makna Hidup Pada Wanita Dewasa Madya Yang Belum
Menulis.
Tamdee, P., Dendoung , S., Muttiko, M. & Sringernyuang , L. 2016. Modern social
Telaumbanua, E. 2017. Antara “Nias Pulau Impian” Dan “Pulau Sejuta Budaya”.
[Online]
Nias-Pulau-Impian-Dan-Pulau-Sejuta-Budaya-8374
Obor Indonesia.
Banua : Kampung
Batoröi : Tinggal
Be’e : Berikan
Dalifuse : Saudara
Döfi : Tahun
Famaigi : Melihat
Fangerai : Menghitung
Ifangowalu : Dinikahkan
Ina : Ibu
97
98
Ngaötö : Keturunan
Nogu : Anak
Noro : Beban
Sa’a : Sulung
Satua : Tua
Solohi : Mengikuti
99
100
2. DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar 2.1. Foto bersama informan penelitian (Bapak Desdanillah Zebua, S.Pdk)
Dokumentasi pribadi, 2022
Gambar 2.3. Foto bersama informan penelitian (Bapak Fatizaro Hia, S.H.)
Dokumentasi pribadi, 2022
101
Gambar 2.4. Foto bersama informan penelitian (Bapak Drs. Temazaro Zega, M.
Kes.)
Dokumentasi pribadi, 2022
3. PEDOMAN WAWANCARA
1. Pedoman wawancara tokoh masyarakat
1) Apakah anda dapat menceritakan seperti apa satua barö ?
2) Bisakah anda menceritakan alasan timbulnya satua barö ?
3) Dapatkah anda menceritakan kepada siapa kata satua barö diberikan?
4) Dapatkah anda memberitahu kriteria seperti apa yang disebut satua barö
menurut budaya Nias?
5) Apakah label satua barö diberikan secara langsung atau terang-terangan
oleh masyarakat?
6) Apakah pemberian label atau cap satua barö berpengaruh pada pelaksanaan
adat atau budaya etnis Nias?
7) Apakah satua barö mempunyai hak dan kewajiban kegiatan adat etnis Nias?
8) Apakah anda dapat mendeskripsikan seperti apa kedudukan satua barö pada
adat atau budaya Nias?
9) Apakah ada fungsi dari pemberian kata satua barö terhadap perempuan
yang belum menikah?
10) Bagaimana fungsi tersebut berperan dalam kehidupan satua baro khususnya
dalam kehidupan sosial dan adat?
11) Apakah terjadi perubahan terhadap kata satua barö yang diberikan kepada
perempuan usia dewasa belum menikah di kota Medan?
12) Apakah anda dapat menceritakan bagaimana perubahan apa yang terjadi?
13) Dapatkah anda memberikan contoh perlakuan yang diterima oleh
perempuan belum menikah yang mendapat julukan satua barö?
14) Apakah ada dampak yang diterima perempuan belum menikah usia dewasa
terhadap label satua barö?
15) Bagaimana tanggapan secara adat etnis Nias terhadap dampak dari label
satua barö ?
16) Pernahkah anda mendengar seseorang dilabelkan satua barö oleh etnis
Nias?
17) Bagaimana pandangan anda terkait perempuan yang belum menikah usia
dewasa di kota Medan?
103
18) Menurut anda bagaimana seharusnya perempuan yang belum menikah usia
dewasa etnis Nias di kota Medan dalam bertingkah laku?
ada perpindahan.
Haha itu dia itu
sejarahnya
karena dia selama
hidupnya masih
tetap berada di
keluarganya maka
menyandang
gelar satu baro
hah gitu gak ada
sejarah namanya
itu diciptakan
enggak
terciptanya
dengan orang
yang selamanya
memang tinggal
dirumah orang
tuanya tidak
pernah pindah
tidak pernah
masuk kekeluarga
orang lain.”
Karak “30 tahun “Yang dibilang “hah “satua “oo tidak itu Dikatakan Satua
teristi lebih keatas namanya Satua kriterianya baro itu satua baro itu Barö apabila
k tapi belum Barö itu ada menurut seperti dikatakan seorang
menikah” batasan umur dia artinya apa ya, secara tidak perempuan telah
107
Faktor “sebenarny “Satua Barö ini “Bukan “aku kan “aku gak “salah satunya “kalau Keputusan
penye a alasan kan karena gak hanya orang sedang mau penyebabnya dulu ini belum menikah
bab mereka, dapat jodoh, itu Nias tapi mengikut menikah atau faktornya yahhh pada seorang
perem kalau jawaban memang di i karena itu belum ada karena perempuan
puan pengalaman sederhanan dulu Nias itu pelajara aku gak jodohnya atau besar disebabkan oleh
belum kami kan yakan semua dulunya n alkitab, mau satu belum ada jujurannya beberapa faktor
menik dikampung orang orang lain banyak mengikut gak mau komitmen tau yang meliputi
ah dulu ya, pun gitu. Karena wanita- i aku satu untuk sendirikan 1) belum
bukan belum dapat wanita Nias pelajara marga membentuk apa menemukan
merekanya jodohkan masuk belum n alkitab aku gak keluarga” kekmana jodoh
yang tidak akal juga belum menikah sekolah mau aku böwö itu 2) adanya
mau. dapat jodoh dia karena pendeta dipendal besarnya kegiatan
Mereka mau kalau masalah mungkin eeee tapi gak aman. yahh famaigi niha
tapi kalau di jujuran itu alasannya ee diizinkan Jadi kadang (perjodohan)
111
pihak laki- antara ketemu babi yang itu bahasa 10) Adanya
lakinya jadi jodoh karena banyak, terlalu niasnya itu beban
gak jadi budaya yakan. karena dalam tinggi eeemmmm 11) Tidak
walaupun adat Nias kan juga famaigi memiliki
kedua faktor
suka sama harus ada siapa niha komitmen
suka.” budaya, yang babi. yang cuman berumah
“dulu iya, diangkat disana Kemudian membay orang tangga
sekarang adalah budaya satu juga arnya tuanya
udah etnis nias ini mungkin itu.” nanti yang
enggak lagi. memang apa wanita- melihat
Karena gini namanya dulu wanita Nias mana yang
dulukan itu juga masa cocok
yang mencari
kalau ketua dulu kenapa sama
adat di jodoh itu orang lama kawin anaknya
pasang tua itu budaya disamping baru nanti
gowe udh nias dulu.” persoalan dijumpaila
kasih apa “Nahh jadi adat yang h ntah
itu ee hada kembali kita itu berbelit atau dikasih tau
yang hal yang pertama jujuran juga ntah siapa
besarlah mungkin kenalan
tadi karena belum
banyak karena dari pihak
uangnya ketemu jodohnya terlalu ketat perempua
yang besar- hal kedua karena dalam pola n itu kalau
besar itu di budaya nias. pergaulan suka orang
rela untuk budaya nias dulu yahhh. terlalu itu”
makan ubi yang mencari banyak
kayu hanya aturan
jodoh si
untuk sehingga
113
pelaksanaannya
misalnya kalian
ini pesta itu sama-
sama suami kelen
itu dihitung itu
namanya fangerai
böwö dihiting
berapa jujuran
karena di nais itu
seorang
perempuan yang
kawin ada 5 orng
pihak yang
menerima jujuran
satu orang tua
perempuan, kedua
saudara orang tua
perempuan
kemudian
sekampung,
paman dari
perempuan yang
kawin kemudian
paman dari
117
mamamu. Hah
kalau bahasa nias
dia kamu bisa
kamu terjemahkan
so’ono itu
namanya orang
tua, sirege
saudara bapak,
mbanua itu
sekampung
dengan orang tua
kita itu banua,
baru eee paman
itu namanya uwu
namanya bahasa
nias baru
pamannya mama
namanya ionaya
nuwu. Kalau
dikumpul itu
semua dalam yang
5 pihak ini ada
52,5 kali 4 alisi, 4
alisi ini satu ekor.
118
“Kemudian itu
perempuan nias
tidak menikah
karena faktor
karir bisa mereka
juga ada yang
berhasil ya. hah
itulah dulu yang
bisa bapa tau
nanti kalau ada
yang kau
tanyakan
tanyakan.”
“ada satu terlalu
memilih ada
saudara juga
masa dibilangnya
udah sama dia ke
bapatalu baru dia
nikah harus sama
kek mamaknya
baiknya semuanya
yahh mana ada
sampek sekarang
gak nikah-nikah.
Jadi artinya Satua
120
Barö di nias
bukan hanya
perempuan”
yang mau mendapatkan gender yahhh. orang ada bapak kalau nihalö
melaksanak warisan adalah ahli Artinya wanita bapak sama posisinya mamak untuk (pemberian
an waris dari orang itu tidak berhak mamak bertanggu nya ooo kekgitu nasihat kepada
pernikahan, bicara soal adat sama ngjawab karena kekgitu mempelai
tua. Ahli waris itu
itu gak bisa warisan merekalah sama dia gak ada wanita sebelum
dia karena siapa laki-laki dan misalnya kan. saya kalau orang belum dia pernikahan),
dia belum perempuan. Tapi Hah itu yang ada adeknya, membe makany tidak memiliki
pernah, apa dulu tidak, hukum salah, gak boleh kegiatan menyekola ntuk a di tanggungjawab
yang mau adat nias hanya itukan adat adat ntah hkan adek suatu dapur untuk
diapakanny mengenal kalau secara memasak- membantu keluarg aja melunaskan
a cuman pembagian harta perdata sama itu masak saya orang tua a” nanti utang adat
gini, kalau wanita sama bantu” nya.” dia kepada paman,
warisan itu untuk
misalnya pria yahhh dikasih dan tidak
eee ini laki-laki yahhh itu seperti itu”. bantu- memiliki posisi
kakaknya, lah dia. Maka posisi bantu sebagai fadono
kakaknya ya mereka dalam harta masak (orang yang
mau warisan tidak ada tapi bertugas dalam
nikahlah itu yang pertama. kalau menyiapkan
adeknya ini. Kedua dalam udah menu masakan
Nah harus nikah dalam acara
hubungan keluarga
minta hah adat) dalam
permisi misalnya kan baru segala kegiatan
sama contoh misalnya ada dia adat yang
kakaknya. inikan kalian kawin nanti dilaksanakan
Itu pula anak paman tidak dikasih oleh sibaya
adat, minta dinyatakan kalian jamabr (paman) akan
permisi itu diingat- tetapi, tetap
ini sebagai fadono
ada membantu
122
sebuah
tanggungjawab.
Ada sebuah
kebiasaan adat
bahwa saudara
mamakmu atau
paman kawin atau
segala pekerjaan
mereka itu ada
kewajiban adat
yang harus
dibayarkan tetapi
kewajiban itu tidak
menjadi
tanggungjawab
perempuan yang
berumur ini tapi
yang
bertanggungjawab
orang tuanya nya
hah seperti itulah
penjelasannya
itulah kira-kira.”
125
udah gak
lagi.
Mereka
mundur
teratur
mereka
bergabung
nanti sama
mamak-
mamak.”
Dampa “Kalau “kalau soal “sebenarnyakan “keluarga “cuek aja “kalau “apa Keluarga dari
k sedih mengejek tidak di label itu kan saya keluargak dampak yang perempuan yang
terhada sedihlah cuman ada seharusnya bisa semuanya u berdoa negatif mau belum menikah
p karenakan imbasnya hah gini ada rasa apa kalau umur santai” tidak dibilan berusia dewasa
keluarg orang tua kan ada faktor dengan kelaurga begini tak “gak ada dampak g mengalami
a kan pengen kenapa bisa salah ya secara usah dipikirkan positif keluarg dampak yang
anak- satunya tadikan psikologis menikah apa-apa ada dia anya meliputi:
anaknya jujurannya kan hah artinya kalau lagi hemm berdoa bisa kalau 1. Ada perasaan
berkeluarga ketika banyak anaknya tidak nanti aja” memba belum sedih
biar orang yang sudah menikah mereka “menguru ntu nikah diantara para
anaknya lanjut usia di mungkin ada merasa s mereka keluarg dek aku anggota
punya cucu rumahnya maka perasaan belum sedih juga yah anya aja keluarga saat
semua. orang enggan mau sempurna tugas kalau aku keluargan misalny dulu anak/
Kalau sedih melamar anak-anak orang tua berpindah yalah a kayak waktu saudarinya
sedih saudara kita. Iyah Seharusnya ini dari eee orang memba ada belum
tapikan itu itu imbasnya tapi memberi dari mereka adeknya, ntu bapak menikah
kalau kita imbas jeleknya gak dampak efek terasa sedih mamaknya kasih ku ini 2. Timbulnya
gali kalau ada diejek enggak, terhadap budaya disana, ” sekolah yahh sikap acuh
127
saudaranya yahh
yang dia tinggal itu
selalu meminta
pertimbangana-
pertimbanagn
didalam keluarga
dan memang gitu
dia.”
Self- “banyaklah, “Hemm pokoknya “ooo baru “aku “yahhh “pasti Adapun dampak
Impact dia dia orang Satua saya sedih pokoknya kerja sedih yang dialami
menceritaka Barö ini satu di itu kalau sabar cuek dia lah dek ada terhadap diri
n bahkan tidak berpikir mereka, santai aja dek rasa perempuan
nangis pun macam-macam ya mereka terus aku biar sedih di belum menikah:
sedihlah harus bekerja saja sakit ada kucari ada hatinya 1. Timbulnya
kadang hah yang kedua persoalan kerjaku uangny itu perasaan
coba dulu kalau misalnya ada mereka sampai a karenak sedih, cuek
kalau bapak saudaranya ketika dikampung sibukkan kadang an dia maupun
dulu gak tidak ada ada terus pun gak minder
besar saudaranya laki- problema berdoa dibantu nikah terhadap
jujuran laki atau gak ada juga” nya bale orang lain
pasti aku adalah saudaranya kekurangan kelaurg kalau 2. Mengambil
udah punya maka dia fokus materi saya anya apa keputusan
anak kayak kerja hah pada ikut susah karenak nanti untuk tidak
adekku itu umumnya berhasil juga an gak kadang menikah
kayak gitu” itu banyak mengenai ada merasa ketika sudah
“kalau hartanya. Ketika pribadi tanggu minder berumur
orang Nias dia banyak saya, saya nganny dia 3. Bekerja lebih
malas hartanya yahh bisa tak pernah a kalau keras
133
dibelakangny
a
dibelakangny
a nanti
dibilang mak
di marahin
tante itu yahh
namnya
Satua Barö.”
Upaya “Satua Barö “Hemm “Terus “yahh dia “menurut ku “yahh Upaya
yang itu harus pokoknya dia karena udah harus buat agar gak perempuan yang
dilakuka enjoy orang Satua terlanjur keterampila perempuan itu usah belum menikah
n menerima Barö ini satu umur saya n belajar gak digosipkan dipedul terhadap label
terhadap label ini. di tidak ambil salon, jahit dia harus ikannya tersebut adalah
label karena lebih berpikir kesimpulan lah biar ada menititip eee diurusn dengan :
berharga macam- aku melayani untuk masa sesuatu harus ya aja 1. Bersikap
Satua Barö macam ya Tuhan aja depan gitu” dilakukannya keluarg cuek atau
daripada harus tidak, saya apa ya dia anya tidak
hamil diluar bekerja saja bawa happy harus kalau memperd
nikah atau hah yang aja. Senang- berketerampul ada ulikan
kawin lari kedua kalau an berbakat mamak perkataa
senang aja
yahh Satua misalnya ada tinggila bapakn n orang
Barö itu saudaranya karena di misalnya ya dia lain
harus enjoy ketika tidak dalam menyanyi yang 2. Fokus
menerima ada alkitab di dipanggung ee ngurus untuk
label ini. saudaranya dalam menjahit eee kerja membant
karena lebih laki-laki atau Korintus salon emm dia u
berharga gak adalah dikatakan untuk keluarga
137