Anda di halaman 1dari 149

LABELING SATUA BARÖ PADA PEREMPUAN BELUM MENIKAH USIA

DEWASA ETNIS NIAS DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Syarat


Ujian Mempertahankan Skripsi

Oleh:

Nop Berilayani Hia

NIM. 3182122013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANTROPOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2022
LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini diajukan oleh, Nop Berilayani Hia, NIM. 3182122013


Program Studi Pendidikan Antropologi, Jenjang S-1
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan

Telah Diperiksa dan Disetujui


Untuk Diujikan Dalam Ujian Mempertahankan Skripsi

Medan,05 September 2022

Mengetahui : Disetujui oleh:


Ketua Prodi Pendidikan Antropologi Dosen Pembimbing,

Dr. Rosramadhana, M.Si Dr. Rosramadhana, M.Si


NIP. 197808262010122001 NIP. 197808262010122001

i
ABSTRAK

Nop Berilayani Hia, NIM. 3182122013, Labeling Satua Barö Pada Perempuan
Belum Menikah Usia Dewasa Etnis Nias Di Kota Medan, Program Studi
Pendidikan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeru Medan.

Penelitian bertujuan untuk untuk menelusuri latarbelakang munculnya label satua


barö pada perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias di Kota Medan,
mendeskripsikan dampak yang ditimbulkan dari labeling satua barö pada
perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias di Kota Medan dan menganalisis
upaya yang dilakukan perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias di Kota
Medan agar tidak diberi labeling satua barö. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode etnografi. Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota
Medan. Teknik pengumpulan data yaitu melalui observasi, wawancara mendalam,
dokumentasi dan catatan lapangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa label
satua barö merupakan label untuk seseorang yang belum menikah pada etnis Nias
dan telah berusia dewasa, umumnya diberikan pada perempuan. Latar belakang
munculnya label satua barö akibat dari kegiatan merantau yang dilakukan dan
disampaikan melalui cerita-cerita. Dampak yang ditimbulkan dari labeling satua
barö meliputi dampak terhadap kedudukan dan tanggungjawab dalam adat, dampak
terhadap hubungan sosial, dampak terhadap keluarga meliputi perasaan sedih dari
orang tua, dan self impact. Adapun upaya yang dilakukan agar tidak diberi labeling
yaitu tetap menikmati hidupnya, tidak memikirkan perkataan orang lain, fokus
untuk bekerja dan membantu keluarga, berusaha meningkatkan keterampilan yang
dimiliki, dan melayani Tuhan. Upaya tersebut merupakan upaya untuk
meminimalisir dari labeling satua barö dan label tersebut hilang apabila seseorang
menikah.

Kata Kunci: Belum Menikah, Labeling, Nias, Perempuan, Satua Barö

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
Berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
Labeling Satua Barö pada Perempuan Belum Menikah Usia Dewasa Etnis Nias di
Kota Medan. Tulisan ini sebagai syarat untuk memeroleh Gelar Sarjana Pendidikan
(S1) pada Program Studi Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Medan.
Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung, berupa
dukungan doa, arahan, bimbingan, motivasi dan semangat hingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu dengan penuh ketulusan hati, penulis
mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Syamsul Gultom, SKM., M.Kes selaku Rektor Universitas
Negeri Medan.
2. Ibu Dra. Nurmala Berutu, M.Pd selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Medan.
3. Ibu Dr. Rosramadhana, M.Si selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Antropologi sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi saya, yang selalu
memberikan arahan dan bimbingan dan ilmu yang bermanfaat sehingga bisa
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Bakhrul Khair Amal, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik
sekaligus Dosen Penguji, yang sudah menjadi pengganti orang tua penulis
selama masa perkuliahan yang selalu bersedia mendengarkan dan
memberikan solusi dalam perkuliahan penulis serta memberikan nasehat-
nasehat yang baik bagi penulis.
5. Ibu Ratih Baiduri, M.Si selaku Dosen Penguji penulis yang telah
memberikan arahan, motivasi dan ilmu serta semangat pada penulis selama
masa perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
6. Ibu Ayu Febryani, S.Pd, M.Si selaku Dosen Penguji sekaligus Dosen
Pendamping dalam menyelesaikan karya tulis yang dilakukan oleh penulis

iii
selama perkuliahan, yang dengan sabar selalu memberikan motivasi,
semangat, arahan dan bimbingan serta ilmu yang bermanfaat bagi penulis.
7. Seluruh Bapak/Ibu Dosen di Program Studi Pendidikan Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan yang telah membimbing
dan memberikan banyak sekali ilmu pengetahuan kepada penulis untuk
bekal di masa yang akan datang.
8. Kepada Kepala Balitbang Kota Medan dan seluruh jajarannya yang sudah
membantu dan membimbing penulis terkait pengurusan surat izin
penelitian. Serta kepada kepala lurah Kelurahan Kwala Bekala, Kelurahan
Besar, dan Kelurahan Madrash Hulu yang sudah menerima dan memberikan
izin kepada penulis untuk melakukan penelitian diwilayahnya.
9. Seluruh informan yang terlibat dalam penelitian ini yang telah memberikan
waktu, pemikiran dan pengetahuannya selama proses pengumpulan data
yang dilakukan dalam menyusun skripsi.
10. Teristimewa kepada kedua orang tua kandung penulis yaitu Bapak Ododogo
Hia dan Ibu Onima Zendrato yang selalu mendukung penulis melalui doa,
kasih sayang, motivasi, materi, dan waktu kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
11. Kepada saudari kandung penulis yaitu Adinda Krisdamaiyanti Hia yang
selalu memberikan semangat pada penulis, mendengarkan keluh kesah
penulis dan doa untuk selalu membanggakan kedua orang tua dan keluarga
sehingga penulis termotivasi untuk terus semangat.
12. Teman-teman perjuangan sekaligus sahabat penulis yaitu Rosanti Sianturi,
May Nisha Perbina Br. Barus, Ebenezer Berutu, Sermila Sihotang dan
Rikky Panggabean yang merupakan orang tangguh dengan segala
candaannya dan suka mengabsen kehadiran di digital library setiap harinya
yang sudah selalu memberikan dukungan doa, motivasi, dan membantu
penulis selama proses perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
13. Kepada Aktivis Karnitus Zebua, Helen Nardalia Gea, Erlin Nainggolan dan
Febryanto Malau merupakan orang yang tak kenal lelah dan selalu bahagia
yang sudah memberikan dukungan doa dan motivasi kepada penulis untuk

iv
menyelesaikan skripsi ini. Serta pula kepada, Sari Laura Pasaribu, Chika
Isabella Br Sembiring, dan Natalia Sihombing yang juga memberikan
semangat dan selalu menanyakan kabar dari penulis.
14. Kepada kakak Pkk Ukmkp-Up Fis yaitu Kakak Iin Lavenia Sibuea yang
selalu mendengarkan keluh kesah penulis, memberikan dukungan doa,
motivasi dan saran kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Serta
kepada KTB penulis yang juga May Nisha Perbina Br. Barus, Paulus Seftian
Sitorus dan Listin Sarumaha yang memberikan motivasi dan semangat
perjuangan yang luarbiasanya kepada penulis.
15. Teman sepelayanan penulis di gereja khususnya Mamasakhi Irel Zendrato
dan Aswina Gea yang sudah mendengarkan keluh kesah penulis,
memberikan dukungan doa, motivasi dan saran yang membangun bagi
penulis untuk terus semangat menyelesaikan skripsi ini.
16. Teman-teman satu bimbingan skripsi yaitu Siti Aisyah Lubis, Karina Ita
Apulina Br Bangun, Lina Kristiani Br Purba, Nur Adawiyah Siregar dan
Selma Karami Zulpana yang telah sama-sama berjuang dan memberikan
informasi kepada penulis.
17. Teman-teman kelas B Reguler 2018 yang telah membersamai selama 4
tahun dalam proses perkuliahan dan memberikan dukungan doa, semangat
serta motivasi yang luarbiasa kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa di dalam menyusun skripsi ini masih jauh dari
kata sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan dukungan
moril berupa kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih dan semoga skripsi
ini berguna bagi kita semua.
Medan, 05 September 2022

Nop Berilayani Hia


NIM.3182122013

v
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN..................................................................................... i

ABSTRAK………………………………………………………………………...ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix

DAFTAR TABEL ................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... P1

1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 5

1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI .................................... 7

2.1 Kajian Pustaka ............................................................................................... 7

2.2 Landasan Teori ............................................................................................ 13

2.2.1 Teori Labeling....................................................................................... 13

2.2.2 Teori struktural fungsional.................................................................... 15

2.3 Kerangka Konsep ........................................................................................ 16

2.3.1 Konsep Gender ..................................................................................... 16

2.3.2. Etnis Nias ............................................................................................. 17

2.2.3 Konsep Pernikahan Ideal Etnis Nias ..................................................... 18

2.3.4 Labeling ................................................................................................ 19

2.4 Kerangka Berpikir ....................................................................................... 20

BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 22

vi
3.1 Jenis Penelitian ............................................................................................ 22

3.2 Lokasi Penelitian ......................................................................................... 22

3.3 Informan Penelitian ..................................................................................... 23

3.4 Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 24

3.4.1 Observasi .............................................................................................. 24

3.4.2 Wawancara Mendalam ......................................................................... 25

3.4.3 Dokumentasi ......................................................................................... 26

3.4.4 Catatan Lapangan ................................................................................. 27

3.5 Teknik Analisis Data ................................................................................... 37

3.5.1 Melakukan Analisis Wawancara Etnografis ......................................... 37

3.5.2. Analisis Domain .................................................................................. 38

3.5.3 Analisis Taksonomik ............................................................................ 40

3.5.4 Menulis Etnografi ................................................................................. 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 43

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................................... 43

4.1.1 Keadaan Geografis ................................................................................ 43

4.1.2 Keadaan Penduduk ............................................................................... 44

4.2 Latar Belakang Munculnya Label Satua Barö ............................................ 48

4.3 Dampak dari Labeling Satua Barö .............................................................. 64

4.4 Upaya yang dilakukan perempuan belum menikah usia dewasa ................ 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 89

5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 89

5.2 Saran ............................................................................................................ 91

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 93

GLOSARIUM/DAFTAR ISTILAH ..................................................................... 97

vii
LAMPIRAN - LAMPIRAN .................................................................................. 99

1. DAFTAR INFORMAN PENELITIAN......................................................... 99

2. DOKUMENTASI PENELITIAN ............................................................... 100

3. PEDOMAN WAWANCARA ..................................................................... 102

4. TABEL REDUKSI DATA .......................................................................... 105

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka berpikir .............................................................................. 20

Gambar 3.1 baluse (perisai), toho (tombak), dan balatu (pisau) .......................... 32

Gambar 3.2 Diagram garis taksonomik penelitian ................................................ 41

Gambar 4.1 Peta Kota Medan ............................................................................... 44

Gambar 4.2 Böwö ba wanowu niha ma’uwu hia silima ina lahömi: fondrakö döfi
1990 (Jumlah jujuran atau mahar pernikahan keturunan hia silima ina
lahömi: fondrakö Tahun 1990) ........................................................ 58

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 lembar kerja analisis domain ................................................................ 39

Tabel 4.1 Jumlah penduduk berdasarkan kecamatan dan jenis kelamin .............. 45

Tabel 4.2 Agama di Kota Medan .......................................................................... 46

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk, Distribusi Persentase


Penduduk, Kepadatan Penduduk, Rasio Jenis Kelamin
Penduduk…………………………………………...…………………47

x
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perempuan dan laki-laki pada dasarnya diciptakan untuk hidup saling

berdampingan, menjadi penolong satu dengan yang lain. Hanya saja, perempuan

dan laki-laki memiliki perbedaan khususnya dari segi fisik. Perbedaan lain yang

terdapat yaitu pada kodrat seorang perempuan yang harus melahirkan, menyusui

dan menstruasi. Selain itu, perempuan dan laki-laki mempunyai status yang sama

dalam masyarakat, hanya yang membedakannya terdapat pada peran dan fungsi

dalam menjalankan tanggungjawabnya. Hal tersebut umumnya dikenal dalam

konsep gender. Konsep gender sendiri membentuk perspektif masyarakat terhadap

perempuan, salah satunya yaitu pada etnis Nias.

Etnis Nias adalah etnis yang mendiami pulau Nias, yang secara administratif

termasuk dalam wilayah provinsi Sumatera Utara. Etnis Nias kaya akan

kebudayaan setempatnya yang menjadi sebuah identitas sosial. Salah satunya yaitu

etnis Nias menganut budaya patriarki. Menurut Rokhmansyah (2013), budaya

patriarki adalah penstrukturan peran laki-laki sebagai penguasa yang mendominasi

budaya yang berlaku di masyarakat. Hal ini menyebabkan struktur sosial yang ada

pada etnis Nias cenderung dikuasai oleh peran laki-laki. Bagi etnis Nias laki-laki

merupakan tongkat estafet penerus dan pelindung bagi keluarga dan saudara-

saudarinya. Sementara itu, seorang perempuan etnis Nias digambarkan sebagai

pembawa citra yang baik bagi keluarganya. Sehingga, seorang perempuan haruslah

tunduk terhadap struktur sosial yang berlaku di masyarakat. Hal tersebut

1
2

menyebabkan perempuan mengalami keterbatasan geraknya. Salah satunya yaitu

keterbatasan mengambil keputusan dalam hidupnya.

Keputusan yang diambil oleh seorang perempuan harus didasarkan pada

pertimbangan yang bukan hanya berasal dari dirinya sendiri, tetapi didasarkan pada

pertimbangan kedua orang tua maupun keluarganya. Pelibatan tersebut bertujuan

untuk mempertahankan citra baik dari sebuah keluarga etnis Nias. Keterbatasan

perempuan usia dewasa mengambil keputusan tersebut ialah keputusan untuk

menikah. Laki-laki dan perempuan etnis Nias yang menginjak dewasa dari segi

umur harus segera menikah. Dewasa menurut Jahja (2011), adalah segala sesuatu

yang telah matang bukan lagi dianggap sebagai anak-anak, dan menurut Hurlock

(dalam Jahja, 2011: 246) terdapat tiga masa dewasa yaitu pertama dewasa awal

berumur 21-40 tahun, kedua dewasa madya berumur 41-60 tahun, dan ketiga

dewasa lanjut usia berumur 60 tahun hingga akhir hayat. Pernikahan tentunya

merupakan impian dari kebanyakan orang dan dianggap sebagai upacara yang

sakral oleh perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, banyak dari perempuan dan laki-

laki yang memutuskan untuk belum menikah ketika sudah memasuki usia dewasa.

Bagi etnis Nias laki-laki dewasa belum menikah dianggap sebuah hal yang

wajar, karena sedang mempersiapkan diri menuju tingkat kedewasaan yang lebih

matang secara finansial, kepribadian, dan kepemimpinan. Sementara itu,

berbanding terbalik dengan perempuan dewasa belum menikah, cenderung

dianggap menjadi masalah bagi sebuah keluarga karena dinilai telah gagal dan

perempuan tersebut akan diberi label. Perempuan dewasa yang tidak menikah

mendapat label Satua Barö. Biasanya perempuan yang mendapat label Satua Barö
3

adalah perempuan dewasa yang berusia 20 tahun keatas dan belum menikah (Dachi

et all, 2018). Fenomena seorang perempuan belum menikah bukan merupakan

sebuah fenomena yang baru saja terjadi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang

dilakukan pengolahan data oleh Lokadata (2018), mengungkapkan sebesar 66

persen laki-laki dan perempuan yang melajang, diantaranya sebesar 33 persen

didominasi oleh perempuan yang tidak menikah diatas umur 19 tahun. Hal tersebut

menunjukkan bahwa fenomena ini merupakan hal yang sudah lama terjadi.

Perempuan dewasa belum menikah cenderung seringkali mendapat citra yang

buruk dari masyarakat sekitarnya, yang melahirkan pelabelan pada perempuan.

Labeling yang disematkan seolah menjadi hal yang wajar diberikan pada seseorang

yang dianggap melakukan pelanggaran dan menjadi sebuah reaksi yang diberikan

oleh masyarakat itu sendiri (Narwoko dan Suryanto, 2004). Labeling yang

diberikan terhadap perempuan dewasa etnis Nias belum menikah merupakan label

secara budaya yang disebut Satua Barö.

Satua Barö berasal dari bahasa Nias yang biasanya diartikan perawan tua

atau perempuan dewasa secara umur tetapi belum menikah. Menurut Bolen (2021:

55) kata perawan yang memiliki arti bersih, murni, tidak rusak, tak pernah dipakai,

tak tersentuh dan tak dikerjakan oleh laki-laki. Label Satua Barö biasanya sering

disingkat Stbr, umumnya diberikan pada perempuan belum menikah dan berusia 20

tahun keatas (dachi et al, 2018). Label Satua Barö cenderung menjadi sebuah

identitas bagi perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias. Labeling Satua

Barö yang dialami oleh perempuan etnis Nias bukan hanya dialami oleh perempuan
4

yang tinggal di Pulau Nias saja akan tetapi, juga dialami oleh perempuan etnis Nias

di Kota Medan.

Kota Medan merupakan kota yang didiami oleh beragam etnis dengan

berbagai kebudayaannya. Meskipun Kota Medan kaya akan kebudayaan ternyata

tidak menutup kemungkinan perempuan etnis Nias mendapat labeling Satua Barö.

Label tersebut diberikan pada perempuan etnis Nias di Kota Medan yang belum

menikah namun sudah menginjak dewasa. Biasanya label ini diberikan oleh

masyarakat Nias yang juga tinggal di wilayah Kota Medan. Labeling ini di Kota

Medan diberikan pada perempuan yang berusia 30 tahun keatas, usia tersebut

tentunya memiliki perbedaan dengan usia yang ditentukan oleh etnis Nias itu

sendiri khususnya yang mendiami wilayah Pulau Nias. Labeling yang diberikan

pada perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias di Kota Medan

memberikan dampak terhadap kehidupan perempuan etnis Nias di Kota Medan

dalam segi sosial dan budayanya. Kehidupan seorang Satua Barö menjadi sebuah

hal yang harus ditutupi, dan cenderung dianggap tidak penting untuk diperlihatkan.

Hal ini menyebabkan perempuan belum menikah usia dewasa mengalami

keterbatasan gerak. Salah satu akibat dari pemberian label terhadap perempuan

belum menikah usia dewasa etnis Nias di Kota Medan yaitu cenderung kurang

diperhitungkan dalam segi adat.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengkaji secara mendalam

penelitian ini yang berfokus pada labeling Satua Barö di Kota Medan, dengan judul

“Labeling Satua Barö Pada Perempuan Belum Menikah Usia Dewasa Etnis Nias di

Kota Medan”.
5

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka

penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Apa yang melatarbelakangi munculnya label Satua Barö pada perempuan

belum menikah usia dewasa etnis Nias di Kota Medan?

2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari labeling Satua Barö pada

perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias di Kota Medan?

3. Bagaimana upaya yang dilakukan perempuan belum menikah usia dewasa

etnis Nias di Kota Medan agar tidak diberi labeling Satua Barö?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah penulis uraikan

diatas, adapun tujuan penelitian ini yakni sebagai berikut:

1. Untuk menelusuri latarbelakang munculnya label Satua Barö pada

perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias di Kota Medan

2. Untuk mendeskripsikan dampak yang ditimbulkan dari labeling Satua Barö

pada perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias di Kota Medan

3. Untuk menganalisis upaya yang dilakukan perempuan belum menikah usia

dewasa etnis Nias di Kota Medan agar tidak diberi labeling Satua Barö

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis diharapkan dapat memberikan

manfaat secara teoritis dan praktis, yang diuraikan sebagai berikut:


6

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangsih pemikiran, pengetahuan, serta wawasan dalam pengembangan kajian

perempuan, Antropologi Feminis, Gender dan Seksualitas, dan ilmu-ilmu sosial

lainnya yang berhubungan.

1.4.2 Manfaat praktis

a. Bagi peneliti

Secara praktis, sebagai upaya dalam pengembangan nalar ilmiah,

pengalaman penelitian serta upaya menambah khasanah pengetahuan dalam

mempertajam kemampuan berpikir yang ilmiah dengan mengikuti kerangka

penelitian sosial terhadap fenomena-fenomena yang lahir dan beredar serta

berkembang luas di masyarakat.

b. Bagi masyarakat

Secara praktis, sebagai sarana untuk menambah pembahaman masyarakat

tentang perempuan dewasa etnis Nias dalam kehidupan sehari-harinya dan sebagai

bahan pertimbangan, khususnya perempuan dalam menentukan pilihan hidupnya.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Perempuan Etnis Nias

Adapun penelitian relevan dalam penelitian ini yaitu penelitian yang

dilakukan oleh Gulo (2019) dengan judul “Ketidakadilan Budaya Patriarki

Terhadap Perempuan Nias”. Penelitian ini bertujuan untuk memberi satu

pandangan baru bagaimaan seorang perempuan dalam mitologi ono niha memiliki

penghormatan yang sangat tinggi, namun dalam realitanya, perempuan di nias

menjadi objek ketidakadilan dalam budaya patriarki yang telah terbentuk sejak

lama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan mengalami ketertindasan

dalam budaya patriarki karena konstruksi sosial yang membuatnya diduakan dan

dianggap sebagai kaum lemah dan rendah berdasarkan atasa label koderat.

Penindasan yang dialami oleh perempuan dalam masyarakat baik sosial, politik,

dan agama. Dasarnya terjadi ketidakadilan dalam masyarakat diberbagai bidang

adalah berakar dari budaya patriarki dimana laki-laki berasumsi bahwa perempuan

adalah miliki kepunyaannya, pelayannya dan pelengkapnya.

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Dachi, Daeli, Harefa dan Lase

(2018) dengan judul “Perkawinan Usia Anak di Nias”. Penelitian ini dilakukan

bertujuan untuk memeroleh informasi tentang sejauhmana praktik perkawinan usia

anak yang terjadi di Nias khususnya di Kecamatan Sitolu ori Kabupaten Nias Utara,

faktor penyebab dan dampak serta upaya penyadaran pencegahan guna

meminimalisasi dampak perkawinan usia anak. Hasil penelitian ini menunjukkan

7
8

bahwa selama kurun waktu 2022-2018, dari 90 orang perempuan beruia 15-40

tahun sebanyak 22 orang menikah pertama kali umur 15-19 tahun. Penyebab dari

perkawinan usia dini adalah pergaulan bebas (seks pra-nikah), pendidikan rendah,

tradisi atau adat perkawinan, orientasi keturunan, kemiskinan, lakhomi (harga diri),

dan kawin paksa. Selain itu, dampak dari perkawinan usia dini meliputi dampak

ekonomi, sosia, kesehatan, pendidikan dan psikologi.

Penelitian relevan lainnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Nduru

(2017) dengan Judul “Perempuan Dan Adat Perkawinan (Studi Tentang

Marginalisasi Perempuan Dalam Jujuran Adat Istiadat Perkawinan Di Nias)”.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkritisi problem sosial perempuan dalam

hubungannya dengan adat istiadat perkawinan yang berdampak pada marginaslisasi

dari perspektif gender. Adapun hasil dalam penelitian ini yaitu perempuan belum

mendapatkan kedudukan dalam ruang publik, perempuan dianggap nomor dua di

keluarga yang terlihat dari besarnya jujuran yang diminta oleh orang tua. Hal

tersebut menyebabkan terjadinya fenomena kawin lari dalam masyarakat Nias,

yang berdampak terhadap posisi perempuan dan kemiskinan.

2.1.2 Perempuan belum menikah

Penelitian relevan terkait dengan perempuan yang belum menikah dapat kaji

melalui penelitian yang dilakukan oleh Fauzana (2019) dengan judul “Gadih

Gadang Alun Balaki Studi Terhadap Perempuan Berstatus Belum Menikah Di

Nagari Padang Laweh Malalo, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah

Datar”. Terdapat tiga tujuan penelitian yaitu, 1) mengidentifikasi bentuk-bentuk

perlakuan yang diterima gadih gadang alun balaki dari lingkungan masyarakat. 2)
9

mengidentifikasi tanggapan gadih gadang alun balaki terhadap bentuk-bentuk

perlakukan dari lingkungan masyarakat. 3) memahami makna label gadih galung

alun balaki dari sudut pandang aktor. Metode penelitian yang digunakan yaitu

metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Adapun hasil penelitian yang

menujukkan bahwa bentuk perlakuan yang diterima oleh gadang alun balaki dari

masyarakat yaitu menjadi bahan pergunjingan dan diberikan label negatif.

Perlakuan yang diterima tersebut ditanggapai oleh gadih galang alun balaki dengan

memberikan penjelasan, menarik diri dan bersikap acuh terhadap perlakuan yang

diberikan oleh masyarakat. Hasil lainnya menujukkan bahwa makna label gadih

gadang alun balaki yang diberikan menimbulkan perasaan terganggu, merasa biasa

saja dan upaya merasionalkan kondisi yang terjadi.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Tamdee et al (2016) berjudul

“Modern Social Life And Never-Married Women's Health Problems”. Penelitian

yang dilakukan bertujuan untuk mengeksplorasi masalah kesehatan wanita yang

tidak pernah menikah. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kesehatan pada

perempuan yang tidak menikah dipengaruhi oleh gaya hidupnya. Kesehatan

perempuan tidak menikah mengalami polarisasi yang dihasilkan dari respon yang

diberikan masyarakat. Disatu sisi, mereka merasa kuat dan tidak peduli dengan

masyarakat, sadar untuk bekerja, giat dan tidak membutuhkan pernikahan. Disisi

lain, perempuan yang tidak menikah merasa lemah, sensitif dan merasa tidak

diperdulikan oleh orang sekitarnya, sehingga menimbulkan kecemasan, paranoid,

dan kesusahan.
10

2.1.3 Labeling terhadap perempuan


Penelitian yang relevan terkait dengan label terhadap perempuan dilakukan

oleh Rengkaningtias (2018) dengan judul “Perempuan Dalam Pandangan Media:

Labelisasi Perempuan Sebagai “Agent of Problem” Pada Koran Merapi”. Tujuan

dari penelitian ini terkait bagaimana Koran merapi merepresentasikan sosok

perempuan sebagai agent of problem (penyebab masalah) dalam pemberitaannya

edisi 9-10 November 2017. Teknik analisis dalam penelitian ini menggunakan

metode critical discourse analysis (CDA). Adapun hasil penelitian menunjukkan

bahwa Koran merapi merepresentasikan perempuan sebagai makhluk lemah, tidak

berdaya, penyebab masalah, dan patut disalahkan atas masalah yang terjadi. Selain

itu, Koran Merapi merepresentasikan pula bahwa perempuan semakin

termarginalkan akibat dari pemberian label agent of problem terhadap perempuan

itu sendiri.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Rahmalia (2018) berjudul “Makna

Hidup pada Wanita Dewasa Madya yang Belum Menikah”. Tujuan penelitian yang

dilakukan adalah untuk mengetahui bagaimana makna hidup pada wanita usia

madya yang belum menikah, dengan menggunakan metode kualitatif dan

pendekatan fenomenologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang

perempuan yang belum menikah akan memaknai hidup dengan mandiri, menerima

keadaan dengan lapang dada, dan akan terlihat lebih bahagia.

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Apriliyani & Cintia (2017),

dengan judul “Labeling Pada Perempuan Maskulin”. Adapun tujuan dari penelitian

ini meliputi 1) untuk mengetahui faktor penyebab masyarakat memberikan


11

labeling, 2) untuk mengetahui terkait macam labeling yang diberikan oleh

masyarakat kepada perempuan maskulin, dan 3) untuk mengetahui cara penyikapan

perempuan maskulin terhadap pelabelan yang diberikan oleh masyarakat.

Penelitian ini termasuk kedalam penelitian kualitatif dengan metode deskriptif,

yang dilaksanakan di Kota Malang. Hasil penelitian dalam tulisan tersebut

mendeskripsikan bahwa terdapat 3 faktor yang menjadi penyebab masyarakat

memberikan pelabelan terhadap perempuan maskulin yakni sebagai berikut: 1)

penampilan perempuan maskulin yang seperti laki-laki, 2) perilaku perempuan

seperti merokok, dan cara berjalan, 3) lingkungan pertemanannya kebanyakan laki-

laki. Faktor tersebut menyebabkan masyarakat memberikan label lain pada

perempuan maskulin seperti lesbian, korak, urakan, aneh dan melanggar agama.

Hasil selanjutnya menjelaskan bahwa perempuan maskulin menyikapi pelabelan

tersebut dengan bersikap cuek tidak peduli, anti sosial, dan berani melawan.

Terakhir, penelitian yang dikaji oleh Maulana (2016), dengan judul

“Labeling'cabe-cabean' sebagai faktor pendorong perilaku menyimpang: studi

kasus remaja perempuan Cabangbungin Bekasi”. Tujuan dari penelitian yang

dilakukan untuk menjelaskan proses terbentuknya labeling cabe-cabean pada

remaja perempuan dan mendeskripsikan makna dari labeling tersebut. Hasil dalam

penelitian ini yaitu faktor terbentuk labeling cabe-cabean disebabkan karena adanya

stigma negatif pada remaja dalam berperilaku, berpenampilan dan beraktivitas.

Stigma negatif tersebut berasal dari perilaku remaja seperti nongkrong dimalam

hari, berpakaian tidak sopan dan naik motor bertiga. Labeling cabe-cabean yang

berikan pada remaja perempuan bertujuan sebagai pengendalian sosial di


12

masyarakat khususnya remaja agar mampu membatasi dirinya. Hasil lainnya,

labeling yang diberikan ternyata membuat remaja melakukan upaya untuk membela

dirinya seperti menganggap dirinya belum dewasa dan beranggapan masyarakat

tidak adil karena hanya memberikan reaksi tersebut pada remaja perempuan saja,

sementara remaja laki-laki yang berperilaku sama tidak diberikan label.

Berdasarkan berbagai penelitian terdahulu yang telah diuraikan diatas, dapat

diketahui bahwa pemberian label terhadap perempuan diberikan oleh masyarakat

yang menganggap perempuan melakukan penyimpangan. Pemberian label pada

perempuan cenderung mengakibatkan timbulnya rasa tidak adil dengan representasi

perempuan sebagai makhluk yang lemah, tidak berdaya, penyebab masalah dan

patut disalahkan. Label yang diberikan pada perempuan didasarkan reaksi

masyarakat terhadap perempuan yang dianggap melakukan tindakan negatif atau

menyimpang dari aturan yang berlaku di dalam masyarakat. Meskipun penelitian

terkait perempuan yang tidak menikah dan labeling terhadap perempuan sudah

dilakukan, akan tetapi belum ada penelitian yang berfokus terhadap labeling yang

diberikan pada perempuan yang belum menikah di etnis Nias. Selain itu, penelitian

ini mengkaji secara mendalam terkait dengan latarbelakang dari munculnya label

satua barö terhadap perempuan yang diberikan oleh sekelompok etnis, dampak

yang ditimbulkan dari pemberian labeling serta, upaya yang dilakukan perempuan

belum menikah agar tidak diberikan label tersebut.


13

2.2 Landasan Teori

Salah satu komponen penting dalam sebuah penelitian adalah teori, yang

bertujuan untuk menjelaskan suatu peristiwa yang terjadi. Penelitian ini aan

menggunakan teori labeling oleh Becker dan teori struktural fungsional oleh

Radcliffe Brown.

2.2.1 Teori Labeling

Becker (2018) menyatakan bahwa, “labeling theory focuses on the reaction

to criminal and/or deviant behavior; the theory focuses on the “reactors” rather

than the “actors”and labeling should be viewed as a perspective rather than a

theory”. Dapat didefinisikan bahwa teori labeling berfokus pada reaksi orang lain

(diluar dirinya) dan pengaruh yang ditimbulkan sebagai akibat yang menghasilkan

penyimpangan. Menurut Becker (2018) labeling berguna untuk menggambarkan

orang yang menyatakan dirinya melanggar peraturan hukum dengan menjadikan

diri mereka sebagai kriminal. Perilaku melanggar hukum/ aturan ini bukanlah yang

difokuskan oleh teori penjulukan, melainkan mengenai orang-orang yang tidak

bersalah dituduh dan diperlakukan seolah-oleh melakukan penyimpangan. Selain

itu, ia menyatakan bahwa teori labeling memusatkan kajian terhadap reaksi orang

lain (diluar dirinya) dan pengaruh yang ditimbulkan sebagai akibat dari

penyimpangan yang dihasilkan. Teori labeling atau pemberian cap adalah reaksi

yang diberikan orang lain terhadap individu yang dianggap melakukan tindakan

yang dinilai negatif (Narwoko & Suyanto, 2004: 114-115).

Teori labeling menyatakan dua hal yang sangat penting yaitu pertama, orang

berperilaku normal atau tidak normal, menyimpang atau tidak menyimpang,


14

tergantung terhadap bagaimana orang lain menilainya. Segala sesuatu yang dilihat

tidak termasuk dalam kategori-kategori yang berlaku di masyarakat, maka

seseorang akan dikatakan menyimpang. Kedua, penilaian itu mengalami perubahan

dari waktu ke waktu. Terdapat dua konsep dalam teori labeling yaitu, 1) Primary

Devience, yakni ditujukan pada perbuatan penyimpang awal. 2) Secondary

devience, yakni berkaitan dengan reorganiasi psikologis dari pengalaman seseorang

sebagai akibat dari penangkapan dan cap sebagai pelaku kejahatan. Dapat diketahui

bahwa labeling sebagai proses melabel seseorang yang diberikan sebagai identitas

(Ahmadi dan Hanum, 2005).

Pemberian label atau cap pada seseorang dapat menghasilkan suatu peran

sosial yang menyimpang. Pemberian labeling ini juga dianggap sebagai sanksi bagi

pelaku penyimpangan. Labeling sendiri biasanya diberikan secara khusus kepada

seseorang yang dilabelkan negatif. Apabila cap atau label tersebut diberikan pada

seseorang maka akan melekat pada diri orang tersebut dan sangat sulit untuk

melepaskan diri. Perempuan etnis Nias yang belum menikah akan diberikan

labeling khusus karena dianggap melakukan tindakan negatif, yang merusak citra

sebuah keluarga Nias.

Teori labeling ini sejalan dengan penelitian yang, dalam hal ini labeling

yang diberikan oleh etnis Nias kepada perempuan yang belum menikah usia dewasa

merupakan reaksi dari etnis Nias, yang menganggap perempuan tersebut

melakukan tindakan negatif. Teori labeling yang digunakan dalam penelitian ini

akan mendeskripsikan latarbelakang munculnya labeling sebagai reaksi dari etnis


15

Nias dan menganalisis dampak yang ditimbulkan dari labeling Satua Barö terhadap

perempuan belum menikah usia dewasa.

2.2.2 Teori struktural fungsional

Teori struktural fungsional merupakan teori yang dikembangkan oleh

Radcliffe Brown. Struktural fungsional memandang kebudayaan yang ada dalam

suatu masyarakat memiliki keterkaitan antara subsistem kebudayan yang

menghasilkan sesuatu dan memiliki fungsi sebagai kebutuhan sosial kelompok.

Struktural fungsional juga memandang masyarakat sebagai suatu sistem dari

struktur sosial yang memiliki pola-pola hubungan. Keseluruhan hubungan sosial

yang ada tersebut membentuk sebuah jaringan yang memiliki fungsi. Sehingga

dapat menjadi sebuah mekanisme adaptif yang mampu menjaga kehidupan sosial

yang teratur.

Perspektif struktural fungsional memandang kebudayaan sebagai common

denominator (sebutan bersama) yang menyebabkan tindakan dari individu dapat

dimengerti secara bersama. Dalam artiannya struktural fungsional memiliki

keterkaitan antara kajian budaya dengan struktur dan sistem sosial yang ada dan

memiliki pengaruh timbal balik antara sistem budaya dan sistem sosial yang ada di

masyarakat. Sehingga, melalui analisis fungsional mampu menggambarkan

hubungan-hubungan yang ada dimasyarakat dengan sistem budaya.

Teori struktural fungsional ini pula sejalan dengan penelitian yang

dilakukan. Dalam hal ini untuk mendeskripsikan hubungan struktur dan fungsi yang

ada pada etnis Nias dengan pemberian labeling. Selain itu, juga berguna untuk
16

mengidentifikasi keterkaitan dari dampak yang ditimbulkan dengan struktur sosial

yang ada sehingga melahirkan upaya guna mencegah pemberian labeling tersebut.

2.3 Kerangka Konsep

2.3.1 Konsep Gender

Istilah gender masih sering disama artikan dengan sex yang nyatanya

memiliki pengertian yang berbeda. Sex (jenis kelamin) adalah pensifatan atau

pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis dan melekat

pada jenis kelamin tertentu. Konsep jenis kelamin ini digunakan untuk

membedakan berdasarkan unsur biologi dan anatomi tubuh (Tuttle dalam Narwoko

dan Suyanto, 2004:334). Sementara, gender adalah konsep hubungan sosial yang

membedakan peran antara perempuan dan laki-laki. Perbedaan tersebut terjadi

akibat dari adanya perbedaan menurut kedudukan, fungsi dan orang masing-

masing.

Perbedaan gender antara laki–laki dan perempuan terjadi melalui proses

yang sangat panjang. Proses tersebut terjadi akibat dibentuk, disosialisasikan,

diperkuat, dan dikonstruksikan secara sosial atau kultural, keagamaan, dan bahkan

mellaui kekuasaan negara. Konstruksi gender perlahan–lahan mempengaruhi

perkembangan fisik dan bioogis masing-masing jenis kelamin. Misalnya konstruksi

sosial gender menganggap bahwa kaum laki–laki harus bersifat kuat dan agresif,

hal ini menjadikan laki-laki akan terlatih dan bersosialisasi untuk menjadi atau

menuju ke sifat gender yang telah ditentukan oleh masyarakat. Sebaliknya pula,

perempuan harus lemah lembut, sehingga sejak bayi perempuan mengalami proses
17

sosialisasi yang berpengaruh pada perkembangan emosi, visi, ideologi kaum

perempuan dan perkembangan fisik serta biologinya (Fakih,2013:9-10). Dengan

demikian dapat diketahui bahwa gender sebagai konsep merupakan hasil dari

pemikiran atau rekayasa manusia, yang dibentuk oleh masyarakat dengan sifat

dinamis karena perebdaan adat istiadata, budaya, agama dan sistem nilai bangsa,

masyarakat, dan budaya tertentu.

2.3.2. Etnis Nias

Etnis Nias merupakan sekelompok orang yang mendiami wilayah yang

disebut pulau Nias. Secara administratif Pulau Nias merupakan salah satu Pulau

yang ada di Provinsi Sumatera Utara (Wiradnyana,2010:1). Etnis Nias asli biasanya

menyebut dirinya Ono niha (anak manusia), hal ini dikarenakan dahulu nenek

moyang etnis Nias menganggap bahwa hanya daerah inilah yang dihuni oleh

manusia. Hampir seluruh penduduk yang berada dnjai Pulau Nias menganut agama

Kristen, sebagian lainnya menganut agama Kristen Katolik dan agama-agama

lainnya (Gustanto et al, 2005:8). Secara etimologi sendiri, penyebutan Ono Niha

berasal dari kata ono yang berarti anak, dan Niha yang berarti manusia.

Etnis Nias merupakan etnis yang masih menjunjung tinggi kebudayaannya.

Kebudayan tersebut menjadi landasan dalam berperilaku bagi etnis Nias. Etnis Nias

menganut budaya patriarki. Berdasarkan mitologi Nias menyatakan bahwa laki-laki

adalah penguasa terhadap perempuan yang terlihat secara nyata dalam sistem adat

istiadat yang ada dalam masyarakat Nias (Telaumbanua, 2017). Diera saat ini pun,

perempuan masih dianggap sebagai penguasa dalam domestik dan laki-laki pemilik

ruang (Gulo, 2019). Sistem patriarki yang dianut oleh etnis Nias telah menjadi
18

fondasi dan akar bagi kehidupan masyarakat Nias dalam bertindak dan berinteraksi

di seluruh ruang lingkup kehidupan.

Sistem kemasyarakatan yang dianut oleh etnis Nias secara nyata

mengandung ketidakadilan terhadap perempuan. Pengambilan keputusan selalu

berpusat pada laki-laki (Yesyca, 2018). Hal itu menyebabkan pula seorang

perempuanpun harus melibatkan kaum laki-laki dalam mengambil keputusan.

Apabila, seorang perempuan mengambil keputusannya sendiri akan diberikan cap

yang tidak baik terhadap perempuan tersebut dan dianggap tidak patuh. Budaya

patriarki yang dianut oleh etnis Nias nyatanya memberikan label-label tersendiri

pada sekelompok perempuan yang dianggap melanggar ketentuan yang ada.

2.2.3 Konsep Pernikahan Ideal Etnis Nias

Kata pernikahan dalam kamus besar Bahasa Indonesia berasal dari kata

nikah yang berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami-isteri

(dengan resmi). Pernikahan tentunya dilakukan sepengetahuan agama, adat dan

hukum yang berlaku. Hal tersebut menyebabkan timbulnya syarat-syarat yang

harus dipatuhi oleh laki-laki dan perempuan yang hendak menikah. Syarat-syarat

ideal dari sebuah pernikahan tergantung pada hukum yang berlaku di dalam

masyarakat. Etnis Nias sendiri memiliki konsep pernikahannya sendiri yang diatur

oleh hukum adat.

Bagi etnis Nias, perkawinan atau pernikahan merupakan hal yang penting

dalam kehidupan setiap anggota masyarakat. Sehingga bagi etnis Nias perkawinan

merupakan cara untuk memeroleh lakhomi (harga diri atau kemuliaan) dan

mendapat status di masyarakat. Selain itu, bagi etnis Nias sumber kehidupan berasal
19

dari pihak perempuan, sehingga memunculkan prinsip untuk menikahi perempuan

yang disebut mangai tanömö niha (mengambil benih manusia) (Dachi et al, 2018).

Bagi etnis Nias pernikahan/ perkawinan dilakukan karena usia sudah dianggap

cukup dewasa menurut etnis Nias, untuk mengurangi beban keluarga, mengikat tali

persaudaraan, dan pergaulan bebas. Selain itu, bagi etnis Nias pernikahan idealnya

haruslah memenuhi syarat yaitu (Wiradyana, 2010):

1) Perkawinan/pernikahan dilakukan dengan warga sederajat

2) Perkawinan/ pernikahan dari garis keturunan patrilineal dapat dilakukan

apabila pasangan tersebut paling tdak sudah dalam tingkatan 9 generasi.

3) Mahar atau yang dikenal dengan böwö (jujuran) ditentukan oleh status

sosial dari seorang perempuan (perempuan bangsawan akan lebih mahal

dibandingkan dengan masyarakat biasa).

4) Usia dari laki-laki dan perempuan sudah dianggap dewasa berdasarkan

penentuan usia pernikahan dalam etnis Nias, yaitu laki-laki sekitar 15-16

tahun dan perempuan berusia sekitar 12-13 tahun (Dachi et al, 2018).

2.3.4 Labeling

Labeling adalah sebuah identitas yang diberikan kepada individu yang

berasal dari kelompok, didasarkan pada ciri-ciri yang dianggap minoritas dalam

kelompok masyarakat. Dengan kata lain, labeling adalah rekasi yang diterima oleh

individu dari masyarakat, yang dinilai melakukan tindakan negatif. Labeling yang

diberikan akan menghasilkan penyimpangan yang berasal dari orang yang

dilabelkan (Narwoko dan Suyanto, 2004:115).


20

Umumnya, labeling diberikan pada orang yang melakukan penyimpangan

perilaku yang tidak sesuai dengan aturan di masyarakat. Pemberian label pada

seseorang akan menyebabkan orang tersebut mengalami perubahan peran dan

cenderung akan berlaku sebagaimana label yang diberikan padanya (Sujono,

2001:23). Pemberian labeling pada seseorang mengakibatkan orang tersebut

melakukan penyimpangan sekunder. Selain itu, orang yang diberikan label juga

cenderung akan melakukan tindakan-tindakan lainnya seperti tindakan primer,

khususnya untuk mempertahankan diri dari pemberian label dari masyarakat.

2.4 Kerangka Berpikir

Perempuan Etnis Nias

Usia dewasa dan belum


menikah

Labeling Satua Barö

Reaksi masyarakat Citra Buruk

Upaya perempuan Nias

Gambar 2.1 Kerangka berpikir


21

Keterangan:

Penelitian ini berfokus pada perempuan yang berasal dari etnis Nias, yang

telah berusia dewasa menurut etnis Nias dan belum menikah. Perempuan usia

dewasa yang belum menikah ternyata mendapat label yang berasal dari etnis Nias

sendiri. Labeling yang diberikan pada perempuan belum menikah yaitu satua barö.

Labeling ini diberikan sebagai reaksi dari etnis Nias yang menganggap perempuan

melakukan tindakan negatif karena belum menikah dan dianggap menjadi citra

buruk ketika label tersebut diberikan kepada seorang perempuan. Keberadaan

labeling tersebut nyatanya memberikan dampak terhadap perempuan, baik bagi

keluarganya maupun diri dari perempuan. labeling satua barö ini cenderung

dianggap sebagai sebuah cap yang sangat memalukan bahkan dianggap aib bagi

perempuan sendiri. Perempuan yang belum menikah tentunya akan berupaya agar

mampu meminimalisir keberadaan dari labeling tersebut.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan yaitu jenis kuaitatif dengan menggunakan

metode etnografi. Menurut Spradley (2015) etnografi adalah pekerjaan

mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan tujuan untuk memahami pandangan

hidup dari sudut pandang penduduk asli. Secara harfiah etnografi berarti tulisan

atau laporan tetang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas

hasil penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan (Spradley, 2015).

Adapun ciri dari metode penelitian etnografi yaiu bersifat holistik, thick

description, dan native’s point of view. Dalam penelitian ini yang menggunakan

metode etnografi adalah bertujuan khusus untuk dapat mendeskripsikan terkait

labeling Satua barö yang diberikan pada perempuan etnis Nias, khususnya

perempuan belum menikah usia dewasa. Penelitian ini akan memeroleh data hasil

kegiatan melalui observasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan catatan

lapangan.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitiaan yang menjadi wilayah alur penelitian ini yaitu di

beberapa tempat yang ada di wilayah Kota Medan, dengan cakupan wilayah

penelitian pada lokasi tempat tinggal perempuan etnis Nias di Kota Medan,

khususnya yang belum menikah. Alasan penulis menjadikan Kota Medan sebagai

lokasi penelitian karena termasuk wilayah yang dihuni oleh etnis Nias khususnya

22
23

perempuan belum menikah yang mendapat label Satua Barö. Selain itu, Kota

Medan pula menjadi wilayah yang dihuni oleh berbagai status dan kedudukan sosial

etnis Nias. Selain itu, penulis tertarik wilayah Kota medan bukan merupakan

wilayah asli etnis Nias tetapi masih sangat eksis dengan label Satua Barö yang

diberikan pada perempuan belum menikah usia dewasa. Lokasi penelitian ini di

wilayah Kota Medan yang merupakan lokasi tempat tinggal informan penelitian,

adapun wilayah kelurahan dari lokasi informan penelitian yaitu Kelurahan Madrash

Hulu, Kelurahan Kwala Bekala, Kelurahan Besar, dan beberapa lokasi lainnya.

3.3 Informan Penelitian

Informan dalam penelitian kualitatif pada umunya merupakan bagian

terpenting dalam mengumpulkan data. Dalam suatu penelitian, informan

merupakan sumber data utama, sehingga penelitian tergambar dengan baik.

Sehubungan dengan itu maka seorang penulis harus memiliki kerja sama yang baik

dengan informan, karena hubungan diantara informan dan penulis sangat kompleks.

Oleh karena itu, adapun kriteria informan sebagaimana yang telah dijabarkan oleh

Spradley (2015) yaitu enkulturasi penuh, keterlibatan langsung, suasana budaya

yang tidak dikenal, cukup waktu, dan non analitik merupakan kriteria informan

yang penulis butuhkan, sehingga berdasarkan ketentuan tersebut maka penulis

menerapkan kriteria informan sebagai berikut:

1. Tokoh masyarakat etnis Nias di Kota Medan, sebagai orang yang

mengetahui dan paham terkait latarbelakang munculnya labeling Satua

Barö.
24

2. Perempuan yang belum menikah dan beretnis Nias berusia 27 tahun keatas,

sebagai orang yang mendapatkan labeling Satua Barö.

3. Perempuan yang sudah menikah, beretnis Nias dan pernah mendapat

labeling Satua Barö.

4. Keluarga perempuan yang belum menikah dan beretnis Nias, sebagai

informan pendukung terkait dampak yang dialami perempuan belum

menikah akibat labeling yang diberikan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Memperoleh data atau informasi (data) yang diperlukan pada penelitian ini,

maka penulis menggunakan pengumpulan data dengan teknik:

3.4.1 Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data untuk mencatat secara sistematis

peristiwa, tingkah laku, objek yang dilihat dan hal lain yang diperlukan untuk

mendukung penelitian. Adapun tujuan dari kegiatan observasi ini ialah untuk

mendapatkan data awal yang dapat dijadikan penulis sebagai acuan dasar dalam

sebuah penelitian. Pada kegiatan observasi ini penulis terjun ke lapangan secara

langsung untuk bisa melihat atau mengamati perilaku dan segala aktivitas yang

dilakukan individu di lokasi penelitian (Creswell, 2016).

Observasi yang dilakukan oleh penulis adalah mengamati aktivitas yang

dilakukan oleh informan penelitian. Penulis terjun langsung untuk melihat aktivitas

yang dilakukan oleh informan penelitian dengn tujuan agar penulis mengetahui

upaya yang dilakukan agar tidak diberi label Satua Barö. Berdasarkan pengamatan
25

yang dilakukan oleh penulis, perempuan dewasa etnis Nias berjuang untuk

meminimalisir dari pemberian label tersebut. Hal ini dibuktikan dengan

meningkatkan keterampilan mereka menjahit, salon dan sebagainya. Keterampilan

tersebut ternyata mendorong mereka pula untuk meningkatkan ekonomi bagi diri

mereka sendiri dan keluarganya. Selain itu, penulis juga mengamati dan mendengar

dari hasil wawancara terkait dengan kedudukan dan hal dari permepuan belum

menikah usia dewasa.

3.4.2 Wawancara Mendalam

Spradley (2015) menjelaskan tentang melakukan wawancara etnografis

sebagai langkah pencari kesimpulan penelitian dengan metode etnografi. Langkah

pertama adalah menetapkan seorang informan. Ada lima syarat yang disarankan

Spradley untuk memilih informan yang baik misalnya enkulturasi penuh,

keterlibatan langsung, suasana budaya yang tidak dikenal, dan waktu yang cukup.

Langkah kedua adalah melakukan wawancara etnografis. Wawancara etnografis

merupakan jenis peristiwa percakapan yang khusus. Tiga unsur yang penting dalam

wawancara etnografis adalah tujuan yang eksplisit, penjelasan dan pertanyaannya

yang bersifat etnografis.

Wawancara yang dilakukan oleh penulis yaitu dengan wawancara yang

tidak terstruktur. Wawancara mendalam dilakukan penulis untuk mendapatkan data

penelitian. Pada tahap ini, penulis melakukan wawancara terkait dengan

latarbelakang dari munculnya label Satua Barö, karakteristik Satua Barö, dampak

dari label Satua Barö, dan upaya yang dilakukan untuk tidak memeroleh atau

meminimalisir label Satua Barö.


26

3.4.3 Dokumentasi

Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi adalah pengambilan data

yang diperoleh melalui dokumen-dokumen (Hardani et al, 2020: 149). Pada tahapan

dokumentasi penulis mengumpulkan data dari hasil foto dan rekaman yang

diperoleh dari informan dan lokasi penelitian. Dokumentasi yang dilakukan untuk

merekam segala aktivitas yang dilakukan oleh informan penelitian. Hal dari

dokumentasi yang diperoleh digunakan untuk membantu penulis menganalisis data

dan temuan lapangan.

Temuan lapangan dari penelitian ini adalah kondisi psikologis dari

perempuan belum menikah usia dewasa pada etnis Nias. Penulis menemukan

berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan perempuan belum

menikah usia dewasa menjalani hidupnya dengan bahagia dan mandiri. Penulis juga

menemukan adanya keprihatinan yang berasal dari orang-orang sekitar terhadap

kondisi dari perempuan belum menikah usia dewasa mengingat ia belum memiliki

keluarga, sehingga dikhawatirkan masa tuanya nantinya. Pula penulis menemukan

bahwa label Satua Barö bukan hanya diberikan pada perempuan tetapi juga pada

laki-laki hanya saja dikarenakan laki-laki merupakan penerus tidak terlalu disorot

oleh etnis Nias. Penulis juga menemukan budaya patriarki yang dianut oleh etnis

Nias sangatlah kuat keberadaanya hal tersebut terbukti dari observasi dan

wawancara yang dilakukan oleh penulis. Diketahui bahwa segala keputusan yang

ada dalam rumah tangga atau keluarga, adat dan sosial masyarakat di dominasi oleh

laki-laki. Selain itu juga, penulis menemukan jumlah Böwö (jujuran) dalam

pernikahan etnis Nias khusus marga Keturunan Hia. Jumlah dari Böwö (jujuran)
27

yang ada dalam pernikahan etnis Nias menjadi alasan kuat dari perempuan belum

menikah usia dewasa.

3.4.4 Catatan Lapangan

Pada hari minggu tanggal 19 Juni 2022, merupakan hari pertama kegiatan

penelitian skripsi yang dilakukan oleh penulis. Setelah mendapat surat izin

penelitian dari lurah Kwala Bekala pada rabu, 16 juni 2022. Penulis melakukan

wawancara dengan bapak Desdanillah Zebua, S.Pdk, selaku informan 1 peneliti

yang berlokasi di wilayah kelurahan Kwala Bekala. penulis memilih informan

tersebut sebagai salah satu informan dalam penelitian yang dilakukan, dikarenakan

informan merupakan salah satu tokoh masyarakat yang terlibat secara langsung

dalam kegiatan adat yang dilaksanakan diwilayah informan. Selain itu, informan

juga menguasai dan memahami secara mendalam topik penelitian yang dilakukan,

dikarenakan informan merupakan etnis Nias asli yang berasal dari Pulau Nias. Hal

tersebut menjadi alasan dari penulis memilih beliau menjadi informan penelitian.

Sebelum penulis melakukan wawancara informan terlebih dahulu penulis

menelpon informan untuk membuat janji melakukan wawancara. Komunikasi

antara penulis dan informan dibantu oleh orang tua penulis, dikarenakan memiliki

nomor kontak dari informan penelitian. Penulis tiba dirumah informan pada pukul

13.55 Wib ditemani oleh ibu penulis, dengan disambut oleh sang istri, satu anak,

seorang adik laki-laki informan, dan juga informan. Sambutan hangat yang

diberikan informan merupakan hal pertama yang dirasakan oleh penulis saat

berkunjung. Sebelum melakukan wawancara, informan melakukan wawancara

dengan informan dilakukan pendalaman terhadap judul atau proposal penulis yang
28

dilakukan oleh informan. Hal itu dikarenakan informan ingin menjawab pertanyaan

penelitian sesuai yang diketahui tanpa ada terkendala. Setelah informan membaca

proposal penelitian dan pedoman wawancara kemudian informan barulah bersedia

untuk diwawancarai. Wawancara dengan informan dilakukan pada pukul 14.53

Wib dan informan serta penulis merubah tempat untuk duduk menjadi di ruang

keluarga untuk mendapatkan space (ruang) tenang. Wawancara dilakukan selama

kurang dari 1 jam tepatnya berakhir pada pukul 15.35 Wib. Informan penelitian

menjawab keseluruhan pertanyaan yang diberikan dan informan juga memberikan

saran terhadap penelitian yang dilakukan. Selama kegiatan wawancara dilakukan,

penulis melihat antusias dari informan ketika menjawab pertanyaan yang diberikan

oleh penulis. Informan penelitian cukup menguasai topik penelitian dan pertanyaan

yang disampaikan oleh penulis sehingga komunikasi yang terbangun diantara

penulis dan informan saat wawancara berlangsung dengan sangat baik dan tanpa

terkendala atau merasa canggung. Pada saat proses wawancara dilakukan penulis

memahami pandangan informan terkait dengan satua barö. Setelah kegiatan

wawancara selesai pada pukul 16.00 Wib penulis dan informan melakukan foto

bersama sebagai bukti dari kegiatan wawancara yang dilakukan, setelah itu penulis

meninggalkan rumah dari informan penelitian sekitar pukul 16.15 Wib. Selain itu,

penulis juga mendapat tawaran bantuan dari informan penelitian untuk mencari

informan penelitian lainnya yang merupakan tokoh masyarkaat Nias dan kebetulan

satu gereja dengan informan.

Pada hari selasa tanggal 22 Juni 2022 merupakan kegiatan wawancara

kedua yang dilakukan oleh peneliti. Kegiatan wawancara tersebut dilakukan dengan
29

perempuan dewasa belum menikah yang ada di etnis Nias. Informan penelitian

dikenal dengan nama Ria dilingkungan tempat tinggalnya. Lokasi tempat tinggal

informan berada di dalam pasar Muara Takus, ia menyewa kamar kos dengan salah

satu temannya sebesar Rp500.000/bulannya. Informan merupakan etnis Nias asli

yang berasal dari Pulau Nias, ia melakukan kegiatan merantau dan tinggal terpisah

dari sanak saudaranya. Alasan penulis memilih informan penelitian karena beliau

merupakan salah satu perempuan dewasa belum menikah yang ada di etnis Nias.

Kegiatan wawancara yang dilakukan denga informan dimulai pada pukul 08.30

Wib dan berlangsung kira-kira selama hampir setengah jam. Informan penelitian

bekerja seorang diri dan membiayai kehidupannya sendiri dengan tujuan tidak ingin

merepotkan atau membuat keluarga dari informan khawatir terhadap dirinya.

Kegiatan wawancara yang dilakukan berlangsung dikamar kos informan

yang berada di lantai 3. Kamar kos tersebut cukup luas dan dihuni oleh beragam

etnis yang bekerja didaerah tersebut. Sebelum melakukan kegiatan wawancara

dengan informan, penulis memberitahukan terkait tujuan dari penelitian yang ia

lakukan. Hal tersebut dilakukan untuk memberi keterbukaan terhadap informan,

mengingat informan menanyakan kembali yang dilakukan. Selama kegiatan

wawancara yang dilakukan informan penelitian menjawab keseluruhan pertanyaan

yang diberikan oleh penulis. Akan tetapi, pada saat melakukan wawnacara tidak

sengaja informan penulis hampir menangis dikarenakan informan menceritakan

sedikit mengenai kehidupannya. Selain itu, wawancara yang dilakukan oleh

informan sangat intens sehingga penulis mengetahui situasi dan perasan yang

dialami oleh informan secara langsung melalui cerita yang disampaikan oleh
30

informan. Setelah kegiatan wawancara selesai dan foto bersama, penulis

meninggalkan lokasi tempat tinggal informan dikarenakan beliau hendak pergi

bekerja.

Setelah wawancara yang dilakukan dengan informan kedua, penulis

mendapat kendala selama dilapangan yaitu ketidakbersediaan informan penelitian

untuk diwawancarai. Informan penelitian yang menolak yaitu informan yang

merupakan perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias. Hal ini membuat

penulis harus mengganti dan mencari kembali informan penelitiannya. Selama

beberapa hari mencari informan penelitian, penulis akhirnya menemukan informan

penelitian dengan dibantu oleh orang tua informan. Pada saat itu orang tua penulis

menanyakan pada salah satu kenalannya bersedia tidaknya diwawancarai, akan

tetapi kenalan tersebut menolak diwawancarai dan memberikan solusi untuk

mewawancarai Bapak Fatizaro Hia, S.H yang merupakan tokoh masyarakat Nias di

Kota Medan yang cukup terkenal. Setelah komunikasi antara kenalan orang tua

penulis dengan kenalannya, orang tua informan langsung menghubungi Bapak

Fatizaro Hia, S.H yang kebetulan masih memiliki ikatan kekerabatan dengan

keluarga penulis. Komunikasi tersebut dismabut baik sehingga informan bersedia

di wawancarai dan membuat janji pada tanggal 03 juli 2022 di rumah Informan

penelitian.

Pada tanggal 03 Juli 2022 setelah pulang dari gereja penulis berangkat

menuju rumah informan sekitar pukul 14.00 Wib dengan ditemani oleh orang tua

dan adik penulis. Penulis sempat kesulitan menemukan rumah dari informan

penelitian dikarenakan berada di wilayah griya martubung. Setelah mencari


31

akhirnya penulis menemukan rumah informan. Penulis sampai di rumah informan

pada pukul 15.00 WIB dan disambut dengan baik oleh informan penelitian dan

istrinya.

Tidak menunggu lama informan penelitian langsung saja melakukan

wawancara, sepanjang wawancara yang dilakukan juga terselip candaan yang

dilontarkan oleh informan dan orang tua dari penulis. Hal ini membantu penulis

untuk membangun komunikasi yang baik dengan informan. Selama wawancara

dengan informan penulis banyak menemukan informasi terkait dengan penelitian

yang di lakukan. Penulis juga sempat kagum dengan kemampuan informan yang

mengetahui banyak tentang budaya etnis Nias sehingga menambah wawasan

penulis. Informan penelitian juga membantu penulis dalam mengumpulkan

dokumentasi peenlitian. Informan penelitian memberikan data dalam bentuk paper

mengenai jumlah böwö (jujuran) pada keturunan marga Hia. Jumlah böwö (jujuran)

tersebut merupakan jumlah yang telah disepakati oleh para ketua adat di Pulau Nias.

Sepanjang wawancara dengan informan penelitian juga dibantu menjawab

pula oleh istri dari informan, sehingga komunikasi semakin berjalan lancar.

Wawancara dengan informan penelitian berlangsung selama dua jam lebih,

berakhirnya wawancara tersebut pada pukul 17.30 Wib. Wawancara tersebut

dilakukan diruang tamu rumah informan penelitian. Selain itu, penulis juga

mengamati dinding rumah informan penelitian terdapat baluse (perisai), toho

(tombak), dan balatu (pisau) yang digantung di dinding rumahnya.


32

Gambar 3.1 baluse (perisai), toho (tombak), dan balatu (pisau)


Dokumentasi Pribadi, Minggu 03 Juli 2022

Setelah selesainya wawancara antar penulis dan informan, kemudia orang

tua penulis dan informan kembali bernolstagia dengan kehidupan mereka selama

berada di kampung tercinta yaitu Pulau Nias. Sembari melakukan obrolan tersebut

istri dari informan penelitian menyediakan makan bersama yang dilakukan. Setelah

makan bersama itu selesai penulis dan informan penelitian melakukan foto

bersama, sekitar pukul 18.45 Wib. Kemudian, tidak berlangsung lama pada pukul

19.30 Wib penulis dan orang tua penulis berpaminatan untuk pulang dari rumah

informan.

Pada hari selasa tanggal 05 Juli 2022 penulis melakukan wawancara dengan

Ibu Warni Zebua setelah melakukan membuat janji melalui sambungan telepon.

Kunjungan penulis kerumah informan ditemani oleh ibu penulis. Penulis sampai

kerumah informan sekitar pukul 11.05 Wib. Rumah informan tersebut sekaligus

tempatnya bekerja, informan berprofesi sebagai penjahit. Sebelum melakukan

wawancara dilakukan penulis menjelaskan maksud dan tujuan kedatangannya

menemui informan dan kemudian informan meminta daftar pertanyaan pada

penulis untuk membantunya dan tidak gugup saat menjawab pertanyaan.


33

Wawancara dengan informan berlangsung selama 45 menit dikarenakan

kondisi informan pada saat itu sedang kurang sehat. Akan tetapi, meskipun begitu

tidak mengurangi semangat dari informan dalam menyampaikan pandangannya dan

jawaban dari pertanyaan yang diberikan. Wawancara yang dilakukan dengan

informan sangatlah komunikatif sehingga penulis lebih memahami secara

mendalam. Mengingat dari penuturan informan sebelum ia menikah dulunya ia

mendapat label ini pula, yang diberikan secara langsung oleh keluarga informan

sendiri yaitu mama talu informan. Akan tetapi berdasarkan penuturan informan ia

tidak mengambil pusing terkait hal itu, dikarenakan menurutnya selagi dia tidka

membebani dan merepotkan siapapun dia tidak mempermasalah label tersebut.

Percakapan dengan informan penelitian sangatlah baik dan sangat hangat.

Hal ini membantu wawancara dengan informan. Setelah berakhirnya wawancara

dengan informan, penulis dan informan melakukan makan bersama dengan buah

tangan yang dibawakan oleh penulis. Setelah makan bersama selesai informan dan

penulis melakukan foto bersama sebagai dokumentasi penelitian yang dilakukan.

Sekitar pukul 13.20 Wib penulis meninggalkan rumah informan.

Selanjutnya, setelah menyelesaikan wawancara dengan informan ketiga,

penulis memiliki janji melakukan wawancara dengan informan selanjutnya di

rumahnya pada sore harinya. Wawancara dilakukan pada pukul 18.00 Wib di rumah

informan penelitian. Saat tiba dirumah informan penelitian, penulis yanng ditemani

oleh kakak sepupu penulis di sambut dengan baik oleh informan penelitian. Penulis

langsung menceritakan kembali tujuannya datang untuk menemui informan


34

penelitian. Setelah itu, penulis memberikan daftar pertanyaan kepada informan

untuk memudahkan wawancara yang dilakukan.

Wawancara yang dilakukan dengan informan penelitian juga sangatlah

hangat, sehingga penulis dan informan sama-sama nyaman untuk melakukan tanya

jawab, wawancara yang dilakukan berlangsung selama lebih dari 30 menit

dikarenakan informan penelitian memiliki pekerjaan lainnya. Akan tetapi penulis

tidak mempermasalahkan keadaan informan penelitian dikarenakan komunikasi

yang dilakukan dengan informan sangatlah mendalam. Selama waancara informan

banyak menceritakan pandangannya dulu dan dirinya yang dulunya hampir

mendapat label tersebut. Akan tetapi, setelah ia menikah tidak menerima label itu

kembali. Setelah menyelesaikan wawancara dengan informan penelitian, penulis

melakukan foto bersama sebagai bukti dokumentasi. Penulis meninggalkan rumah

informan sekitar pukul 18.40 Wib. Setelah meninggalkan rumah dari informan

penelitian, penulis menuju lokasi informan selanjutnya untuk menanyakan secara

langsung kesediannya menjadi informan penelitian. setelah berdiskusi terkait

waktu, disepakatilah wawancara dilakukan pada tanggal 09 Juli 2022 di lokasi

tempat informan bekerja. Selanjutnya penulispun meninggalkan tempat kerja dari

informan penelitian dikarenakan sudah malam hari dan informan juga harus pulang

kerja.

Pada hari sabtu tanggal 09 Juli 2022 sekitar pukul 10.00 Wib penulis

mengunjungi tempat kerja dengan informan penelitian. Penulis tiba ditempat kerja

informan hanya seorang diri. Wawancara yang dilakukan dengan informan cukup

disambut dengan baik dan penulis mampu memiliki gambaran dari wawancara yang
35

dilakukan. Wawancara dengan informan penelitian berlangsung hanya 45 menit

dikarenakan ia harus bekerja. Selama wawancara dengan informan, penulis

mengetahui pengalaman yang dirasakan oleh informan penelitian yang sempat

mendapat label Satua Barö yang diberikan oleh orang-orang yang berasal dari Nias.

Menurutnya ia tidak mempermasalahkan hal tersebut dikarenakan saat itu ia belum

memiliki komitmen untuk menikah sehingga ia mengacuhkan keberadaan label

tersebut.

Wawancara yang dilakukan tersebut memanglah kesepakatan antara penulis

dan informan dikarenakan informan merasa ia bisa membantu penulis, disela-sela

waktunya bekerja. Akan tetapi, informan penelitian meminta tolong dan tidak

mengizinkan namanya untuk dilampirkan dalam penelitian penulis. Alasan tersebut

diungkapkan oleh informan penulis, akan tetapi informan memohon untuk menjaga

identitasnya. Hal inilah yang membuat penulis membuat nama semaran dalam

penelitiannya. Akan tetapi, penulis mengizinkan untuk marganya dimuat saja dalam

penelitian ini, tetapi namanya disamarkan oleh penulis beserta identitas alamat dari

informan. Setelah berdiskusi terkait keinginan informan, penulis bersedia untuk

melakukan keingin dari informan. Sekitar pukul 11.10 Wib penulis meninggalkan

tempat kerjada dari informan penelitian.

Selanjutnya penulis masih mencari informan penelitian guna melengkapi

data yang masih belum terpenuhi. Di sela-sela mencari informan penelitian, pada

tanggal 08 juli 2022 ibu penulis mendapat telepon dari informan pertama penelitian

yaitu Bapak Desdanillah Zebua, S.Pdk yang menginformasikan kebersediaan dari


36

tokoh masyarakat Nias untuk diwawancarai. Sesuai kesepakatan informan

penelitian bersedia di wawancarai setelah pulang dari kegiatan ibadah gereja.

Pada Minggu tangga 10 juli 2022, penulis dan ibu beserta adik penulis

melakukan ibadah di gereja BNKP Jemaat Hiliomasio Medan. Penulis berangkat

dari rumah pada pukul 09.20 Wib. Ibadah kebaktian minggu berlangsung selama 2

jam dari pukul 10.00-12.00 Wib. Setelah ibadah tersebut selesai, informan pertama

Bapak Desdanillah Zebua, S.Pdk memanggil penulis untuk berkenalan langsung

dengan informan. Setelah penulis berkenalan dengan informan penelitian. Penulis

langsung menceritakan maksud dan tujuan dari wawancara yang dilakukan dan

memberikan lembar pertanyaan pada informan agar informan penelitian

mengetahui pertanyaan yang ditanyakan. Pertanyaan yang dilontarkan oleh penulis

tidaklah terstruktur. Informan penelitian yang diwawancarai oleh penulis adalah

Bapak Drs. Temazaro Zega, M. Kes. Yang ternyata merupakan Mantan Ketua

BKKBN Sumatera Utara.

Wawancara dengan informan penelitian kurang didukung situasi karena

berada digereja, akan tetapi tidak mempengaruhi informan penelitian dan penulis

untuk melakukan wawancara. Selama wawancara dilakukan penulis mendapatkan

sudut pandang dari informan penelitian dan jawaban yang diberikan oleh informan

semakin mendukung jawaban yang telah diberikan oleh informan penelitian.

Selama wawancara dengan informan penelitian ternyata beliau memiliki anak yang

berusia dewasa tetapi belum menikah. Beliau tidak mempermasalahkan keputusan

anaknya belum menikah hingga saat ini, dan beliau juga mendukung anaknya untuk

berkarir serta mewujudkan mimpinya terlebih dahulu. Wawancara dengan informan


37

penelitian berlangsung selama 30 menit. Selama wawancara juga informan

penelitian memberikan beberapa nasihat kepada penulis untuk tidak patah semangat

meraih mimpi. Penulis merasakan semangat yang luarbiasa disampaikan oleh

informan penelitian. Selama wawancara dilakukan penulis memanggil informan

penelitian dengan panggilan kakek dikarenakan beliau bermarga Zega dan nenek

dari penulis juga bermarga Zega, hal itulah menyebabkan penulis memanggil

informan dengan sebutan kakek. Setelah wawancara selesai penulis dan informan

melakukan foto bersama.

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

analisis etnografi ialah penyelidikan berbagai bagian sebagaimana uang

dikonseptualisasikan oleh informan (Spradley,2015). Analisis data dalam

penelitian etnografi meliputi analisis domain, analisis taksonomik, analisis

komponen dan analisis tema-tema budaya. Adapun analisis yang dilakukan dalam

penelitian ini dari hasil wawancara penelitian yang dilakukan terkait dengan

Labeling Satua Barö Pada Perempuan Belum Menikah Usia Dewasa Etnis Nias Di

Kota Medan meliputi:

3.5.1 Melakukan Analisis Wawancara Etnografis

Penelitian ini melakukan analisis wawancara etnografis terlebih dahulu

dengan tujuan untuk mendeskripsikan suatu sistem makna budaya dalam

batasannya sendiri. Analisis wawancara etnografis dikaitkan dengan simbol dan

makna yang disampaikan oleh informan, sehingga penulis harus mengidentifikasi


38

simbol-simbol yang disampaikan melalui proses wawancara yang telah dilakukan.

Melalui analisis wawancara etnografis inilah maka penulis dapat menemukan

domain-domain yang terkandung dalam hasil wawancara. Analisis wawancara

etnografis dilakukan melalui pertanyaan deskriptif yang telah diajukan dalam

penelitian. Dalam penelitian ini penulis melakukan analisis terhadap data yang telah

diperoleh berdasarkan wawancara yang dilakukan. Analisis wawancara yang

dilakukan oleh penulis membantu penulis untuk mengetahui dan mendeskripsikan

penjelasan yang disampaikan oleh informan penelitian.

3.5.2. Analisis Domain

Analisis domain berfungsi untuk memeroleh gambaran umum dan

menyeluruh dari objek penelitian atau situasi sosial yang diteliti (Sugiyono, 2014).

Analisis domain juga berfungsi untuk menemukan domain-domain pada penduduk

asli (Spradley, 2015). Untuk mengetahui domain dilakukan dengan cara

mengajukan pertanyaan struktural guna memperkuat atau melemahkan domain-

domain yang telah dihipotesiskan. Ada beberapa langkah dalam analisis domain

yaitu memilih satu hubungan semantik tunggal, mempersiapkan satu kertas kerja

analisis domain, memilih satu sampel dari berbagai statemen informan, mencari

istilah-istilah pencakup serta istilah tercakup yang benar-benar sesuai dengan

hubungan semantik itu, memformulasikan pertanyaan struktural untuk masing-

masing domain dan membuat daftar semua domain. Penelitian yang dilakukan

menghasilkan domain-domain yang ditempatkan atau disesuaikan dengan

hubungan semantik universal. Berikut gambar lembar kerja analsis domain:


39

Tabel 3.1 lembar kerja analisis domain

No. Rincian Domain Hubungan Sematik Domain


Jodoh
Böwö
Famaigi Niha
Pernikahan kelas
sosial
Pernikahan Sebab Faktor penyebab
1. semarga (X adalah Penyebab perempuan belum menikah
Tempat tinggal dari Y) usia dewasa
Pemilih dalam
menentukan
kriteria
Komitmen
Pendidikan
Kedudukan dan
tanggungjawab
Akibat
dalam adat Dampak labeling satua
2. (X adalah akibat dari
Hubungan sosial barö
Y)
Keluarga
Self-impact
>30 tahun
Atribut
Belum menikah
3. (X adalah salah satu Karakteristik satua barö
Perubahan nama
atribut dari Y)
Kondisi fisik
Bekerja
Cara
Tidak memikirkan Upaya meminimalisir label
4. (X adalah suatu cara
Keterampilan satua barö
untuk melakukan Y)
Mengurus keluarga
Keluarga Tempat aksi Tempat bersosialisasi
Kegiatan adat (X adalah suatu perempuan belum menikah
5.
Lingkungan tempat untuk etnis Nias
melakukan Y)
Nias Pencakupan tegas
6. Etimologi (X adalah sejenis dari Asal usul satua barö
Y)

Berdasarkan analisis domain yang dilakukan oleh penulis pada tabel diatas,

penulis banyak menemukan domain-domain yang memiliki hubungan semantik

yang sama menjadi 6 kategori sesuai dengan istilah tercakup dan istilah
40

pencakupnya yang memiliki hubungan semantik yang sama. terdapat enam istilah

pencakup dalam penelitan ini yaitu faktor penyebab perempuan belum menikah

usia dewasa, dampak labeling satua barö, dampak labeling satua barö, upaya

meminimalisir label satua barö, tempat bersosialisasi perempuan belum menikah

etnis nias, dan asal usul satua barö. Dalam menemukan istilah tercakup dan istilah

pencakup penelitian ini menggunakan hubungan semantik universal yang

dijabarkan oleh spradley dalam bukunya. Untuk menemukan domain ditemukan

melalui analisis hasil wawancara dengan para informan dengan menanyakan

pertanyaan struktural yang telah ada dalam pedoman wawancara penelitian ini.

3.5.3 Analisis Taksonomik

Taksonomik bahasa penduduk asli adalah serangkaian kategori yang

diorganisirkan berdasarkan hubungan semantik tunggal, dalam hal ini taksonomik

menunjukkan hubungan semua istilah bahasa asli dalam sebuah domain. Analisis

taksonomik adalah penjabaran domain-domain yang dipilih menjadi lebih rinci.

Dengan kata lain, analisis taksonomik digunakan untuk mengidentifikasi subset-

subser dalam sebuah domin dan berbagai hubungan diantara berbagai subset

(Spardley, 2015). Hasil dari analisis taksonomik disajikan dalam bentuk sebuah

diagram kotak, rangkaian garis dan titik atau sebuah garis saja. Berikut diagram

taksonomik garis dalam penelitian ini:


41

Gambar 3.2 Diagram garis taksonomik penelitian


42

3.5.4 Menulis Etnografi

Menuliskan etnografi berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan.

Menurut Rosramadhana et al (2020) menulis etnografi adalah proses enkulturasi

penuh untuk mendapatkan data dan pengalaman langsung di lapangan melalui

observasi, wawancara mendalam, dokumentasi, dan catatan lapangan. Menulis

etnografi bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan makna dari budaya

asing dari objek penelitian yang diteliti (Spradley, 2015).


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Keadaan Geografis

Kota Medan merupakan salah satu daerah otonom yang memiliki status kota

dan merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara. Kota Medan pula sering kali

digunakan sebagai barometer dan tolak ukur pembangunan dan penyelenggaraan

pemerintah daerah. Secara geografis, Kota Medan sangatlah strategis dikarenakan

berbatasan langsung dengan selat malaka di bagian utara sehingga relatif dekat

dengan kota-kota atau negera yang lebih maju seperti Penang, Kuala Lumpur

Malaysia dan Singapura.

Letak Koordinat dari Kota Medan adalah 3o 30’ - 3o 43’ LU 98o 35’ – 98o 44’

BT dengan luas wilayah 36.510 Ha yang terdiri dari 11 kecamatan dengan 116

kelurahan. Sebagian besar dari wilayah Kota Medan adalah dataran rendah dengan

topografi yang cenderung miring ke Utara dan menjadi tempat pertemuan dua

sungai yaitu sungai Babura dan sungai Deli. Kota Medan berada pada ketinggian

2,5 – 37,5 meter dari atas permukaan laut. Adapn batas-batas wilayah Kota Medan

secara administratif yaitu:

1. Sebelah Utara : Kabupaten Deliserdang dan Selat Malaka

2. Sebelah Selatan : Kabupaten Deliserdang

3. Sebelah Barat : Kabupaten Deliserdang

4. Sebelah Timur : Kabupaten Deliserdang

43
44

Gambar 4.1 Peta Kota Medan


Sumber: website arsip.pemkomedan.go.id/

4.1.2 Keadaan Penduduk

4.1.2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Kecamatan Dan Jenis Kelamin

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Medan tahun 2020, jumlah

penduduk sebesar 2.435.252 jiwa yang terdiri dari laki-lai sebanyak 1.212.069 jiwa

dan perempuan sebanyak 1.223.183 jiwa. Berikut tabel distribusi jumlah penduduk

berdasarkan kecamatan dan jenis kelamin:


45

Tabel 4.1 Jumlah penduduk berdasarkan kecamatan dan jenis kelamin


Jumlah Penduduk Kota Medan Menurut
Kecamatan dan Jenis Kelamin (Jiwa)
No. Wilayah
Laki-Laki Perempuan Total
2020 2020 2020
1. Medan Tuntungan 48.243 49.006 97.249
2. Medan Johor 75.660 76.096 151.756
3. Medan Amplas 64.577 65.149 129.726
4. Medan Denai 85.282 84.361 169.643
5. Medan Area 58.023 59.006 117.029
6. Medan Kota 41.189 43.477 84.666
7. Medan Maimun 24.134 25.097 49.231
8. Medan Polonia 29.857 30.058 59.915
9. Medan Baru 17.467 19.055 36.522
10. Medan Selayang 50.948 52.228 103.176
11. Medan Sunggal 63.909 65.154 129.063
12. Medan Helvetia 81.529 83.381 164.910
13. Medan Petisah 34.614 37.230 71.844
14. Medan Barat 43.697 44.905 88.602
15. Medan Timur 57.284 59.701 116.985
16. Medan Perjuangan 51.025 52.788 103.813
17. Medan Tembung 72.727 73.807 146.534
18. Medan Deli 95.957 93.364 189.321
19. Medan Labuhan 67.633 66.132 133.765
20. Medan Marelan 92.550 89.965 182.515
21. Medan Belawan 55.764 53.223 108.987
Total 1.212.069 1.223.183 2.435.252
Sumber: Data BPS Kota Medan Tahun 2020

Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa jumlah seluruh penduduk

di Kota Medan berjumlh 2.435.252 jiwa yang tersebar di 21 kecamatan yang ada di
46

Kota Medan pada tahun 2020. Jumlah penduduk tersebut dibagi berdasarkan jenis

kelamin yaitu sebanyak 1.212.069 jiwa laki-laki dan 1.223.183 jiwa perempuan.

Jumlah keseluruhan data penduduk berdasarkan kecamatan dan jenis kelamin

merupakan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara.

Adapun tujuan dilampirkannya data jumlah pendududuk diatas untuk mengetahui

jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin.

4.1.2.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

Adapun agama yang mendiamin wilayah Kota Medan, berdasarkan data

BPS tahun 2021 terdapat enam agama yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu,

Budha Dan Konghucu. Berikut tabel distribusi agama di Kota Medan:

Tabel 4.2 Agama di Kota Medan


No. Agama Jumlah (Jiwa)
1. Islam 641.401
2. Protestan 495.141
3. Katolik 309.483
4. Hindu 9.296
5. Budha 215.315
6. Konghucu 11.194
Sumber: Data BPS Kota Medan Tahun 2020

Berdasarkan data tabel tersebut dapat diketahui bahwa di Kota Medan

terdapat enam agama yang mendiami wilayah Kota Medan tahun 2020. Penduduk

yang beragama Islam yang mendiami wilayah Kota Medan sebanyak 641.401 jiwa,

penduduk beragama Protestan sebanyak 495.141 jiwa, penduduk beragama Katolik

sebanyak 309.483 jiwa, penduduk beragama Hindu sebanyak 9.296 jiwa, penduduk

beragama Budha sebanya 215.315 jiwa, dan penduduk yang beragama Konghucu
47

sebanyak 11.194 jiwa. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa penduduk

di wilayah Kota Medan di dominasi paling banyak yaitu agama Islam.

4.1.2.3 Jumlah Penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk, Distribusi Persentase

Penduduk, Kepadatan Penduduk, Rasio Jenis Kelamin Penduduk Di Kota Medan

Tahun 2020-2021

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk, Distribusi Persentase


Penduduk, Kepadatan Penduduk, Rasio Jenis Kelamin Penduduk
Tahun
No. Keterangan
2021 2022
1. Jumlah Penduduk (Jiwa) 2.435.252 2.460.858
2. Laju Pertumbuhan Penduduk per 1,45 1,45
Tahun (%)
3. Persentase Penduduk 16,46 16,48
4. Kepadatan Penduduk per km2 9.189,63 9.286,26
5. Rasio Jenis Kelamin Penduduk 99,09 99,15
Sumber: Data BPS Kota Medan Tahun 2021

Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa jumlah penduduk di Kota

Medan tahun 2021 sebanyak 2.435.252 Jiwa dan tahun 2022 sebanya 2.460.858

jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk pertahun sejak tahun 2021-2022 memiliki

besaran yang sama yaitu sebesar 1,45 %. Persentase penduduk di Kota Medan tahun

2021 sebesar 16,46% dan ditahun 2022 sebesar 16,48% serta, kepadatan penduduk

perkm2 sebesar 9.189,63 km2 tahun 2021 dan tahun 2022 sebesar 9.286,26 km2.

Memiliki Rasio Jenis Kelamin Penduduk tahun 2021 sebesar 99,09 dan tahun 2022

sebesar 99,15. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat jumlah penduduk, laju

penduduk, persentase, kepadatan dan rasio jenis kelamin penduduk di Kota Medan.

Sehingga dapat diketahui pertumbuhan penduduk yang ada.


48

Berdasarkan tabel keadaan penduduk yang telah diuraikan diatas dalam

penelitian ini, penulis menemukan sebanyak delapan orang perempuan belum

menikah usia dewasa etnis Nias yang tersebar di wilayah Kota Medan. Jumlah

tersebut merupakan data lapangan dalam penelitian yang dilakukan dan ditemukan

pada saat melakukan observasi dan wawancara di Kota Medan. Dari hasil observasi

dan wawancara yang dilakukan penulis dalam penelitiannya penyebaran dari

perempuan belum menikah usia dewasa di Kota Medan yaitu terdapat di sekitar

wilayah kecamatan Medan Johor sebanyak 3 orang, Medan Labuhan sebanyak 4

orang, dan Medan Polonia 1 orang.

4.2 Latar Belakang Munculnya Label Satua Barö

Label merupakan sebuah identitas yang diberikan kepada seseorang oleh

sekelompok orang, salah satunya label Satua Barö. Label satua baro merupakan

label yang diberikan oleh Etnis Nias kepada seseorang yang belum menikah. Label

ini menjadi sebuah penanda terhadap diri seseorang guna mengetahui status

perkawinannya. Label Satua Barö tentunya memiliki asal usul yang memiliki arti

dalam bahasa Nias

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan informan yang merupakan

tokoh masyarakat Nias yaitu Bapak Hia (55 tahun), mengenai asal usul kata dari

Satua Barö mengatakan bahwa:

“hah namanya itu aja Satua Barö berarti itu dia sudah berumur tempat orang
tuanya. Barö andre itu identik dengan dia masih dikeluarganyalah hah itu
dia. Kalau soal sejarahnya fokus pada namanya Satua Barö tidak ada
sejarahnya. Satua itu itu artinya udah lama udah berumur tapi tetap dia
dilingkungan keluarganya tidak ada perpindahan. Haha itu dia itu
sejarahnya karena dia selama hidupnya masih tetap berada di keluarganya
49

maka menyandang gelar Satua Barö hah gitu gak ada sejarah namanya itu
diciptakan enggak terciptanya dengan orang yang selamanya memang
tinggal dirumah orang tuanya tidak pernah pindah tidak pernah masuk
kekeluarga orang lain.” (Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Bapak Hia (55 tahun) dapat

diketahui bahwa secara etimologi Satua Barö berasal dari bahasa Nias yaitu kata

Satua yang berarti orang tua atau tua dan Barö yang berarti disisi keluarga. Jadi

dapat disimpulkan Satua Barö adalah orang yang berusia dewasa tetapi belum

menikah dan masih berada di rumah orang tuanya.

Selanjutnya, Bapak Zega (50 tahun) yang juga merupakan tokoh masyarakat

juga menuturkan pengertian dari Satua Barö, ia mengatakan bahwa:

“inikan Satua Barö yang disebut Satua Barö itukan bahasa Nias itu ya
artinya wanita-wanita yang tidak menikah atau lama menikah ya”
(Wawancara pada tanggal 10 juli 2022)

Bapak Zega (50 tahun) menginformasikan bahwa satua baro adalah

perempuan yang tidak menikah atau lama menikah. Hal tersebut juga disampaikan

oleh Bapak Zebua (41 tahun) yang mengatakan bahwa:

“Satua Barö itu adalah seorang perempuan etnis nias yang berumur lebih
dari 30 tahun tapi belum menikah”
“yahh pernah lah karena itukan label secara adat kebiasaan yang diberikan
orang tua dulu sampai sekarang. Apalagi kalau di Nias udah banyak yang
tau sampek dimedan ini kami bawa-bawa ke Medan ini, jangankan kami
yang lahir di Nias, kalian yang di Medan ini udah taukan Satua Barö,
karenakan kami ceritakan juga begini begini kalau lebih seperti ini satu baro
jangan bilang sama dia ya nanti marah dia” (Wawancara pada tanggal 19
Juni 2022)

Pernyataan dari Bapak Zebua (41 tahun) menjelaskan bahwa kata Satua

Barö memiliki definisi yaitu seorang perempuan Etnis Nias yang telah berumur 30

tahun dan belum menikah. Ia juga menyampaikan bahwa label Satua Barö
50

merupakan label yang berasal dari Pulau Nias dan tetap disampaikan turun-temurun

di wilayah Kota Medan melalui cerita. Meskipun wilayah Kota Medan bukan

wilayah asli etnis Nias. Hal tersebutlah yang menyebabkan label Satua Barö masih

banyak ditemukan pada etnis Nias di Kota Medan.

Selain itu, Ibu Telaumbanua (35 tahun) yang merupakan salah satu

perempuan yang lama menikah dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 09

juli 2022 mendefinisikan pengertian satua barö menurut yang ia ketahui adalah

orang yang lama menikah atau pun belum mendapatkan pasangan hidup.

Pernyataan yang disampaikan oleh Ibu Telaumbanua (35 tahun) di perkuat oleh Ibu

Hia (55 tahun) dalam wawancara ppada tanggal 05 juli 2022 yang merupakan pula

seorang perempuan yang memutuskan lama menikah mengatakan bahwa Satua

Barö adalah sebutan yang diberikan kepada seorang gadis yang sudah berusia

dewasa namun belum juga ingin melakukan pernikahan. Pernyataan tersebut

ternyata memiliki kesamaan dengan informan yang lainnya yang mendefinisikan

Satua Barö sesuai dengan yang mereka ketahui.

Ringkasnya berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan informan

penelitian dapat diketahui bahwa secara etimologi kata Satua Barö berasal dari

Bahasa Nias yakni Satua yang berarti orang tua atau sudah berusia dewasa.

Sedangkan, Barö yang berarti masih berada di lingkungan keluarganya sendiri atau

belum menjadi bagian dari keluarga orang lain (belum menikah). Jadi dapat

diketahui bahwa Satua Barö adalah orang yang telah berusia dewasa dan belum

menikah serta, biasanya diberikan kepada perempuan etnis Nias dan dikenal dalam

bahasa Indonesia sebagai gadis tua.


51

Label Satua Barö yang diberikan kepada seseorang ternyata memiliki

karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut menjadi sebuah rahasia yang umum

untuk diketahui oleh etnis Nias yang berasal dari Pulau Nias maupun di wilayah

Kota Medan. Label Satua Barö umumnya identik diberikan kepada seorang

perempuan yang belum menikah tetapi sudah berusia dewasa.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Zebua (41 tahun) yang merupakan

salah satu tokoh masyarakat Nias, mengenai karakteristik dari label Satua Barö

mengatakan bahwa:

“30 tahun lebih keatas tapi belum menikah. Hah iya sadar sendiri. mereka
juga udah orang tua juga secara umurkan tapi tetap gadis. Kan namanya itu
misalnya tante Riba sampek sekarang namanya tante Riba coba kalau udah
nikah jadi ina ucok misalnya ina amin. Karena namanya itu terus yang
disebut hah itu dia. Beda disini walaupun dia udah nikah bisa kita panggil
namanya. Kalau kita enggak udah segan kita manggil namanya kalau belum
nikah walaupun udah nikah. Hah gitukan” (Wawancara pada tanggal 19 Juni
2022)

Menurut Bapak Zebua (41 tahun) karakteristik dari Satua Barö pada etnis

Nias meliputi umumnya diberikan kepada seorang perempuan Nias, berusia diatas

30 tahun tetapi belum menikah, belum mengalami perubahan nama, dan biasanya

dipanggil dengan kata “tante” serta diikuti oleh nama aslinya. Pernyataan yang

disampaikan oleh bapak Zebua (41 tahun) nyatanya di sampaikan oleh Bapak Hia

yang merupakan tokoh masayrakat Nias di Kota Medan, mengatakan bahwa:

“itu pemanggilan nama itu tidak disebutkan walaupun sudah umur. Hah itu
tidak dipanggil namanya Satua Barö udah ada namanya kok si A contoh hah
yang menjadi pertanyaan sekarang bagaimana kita melihat seseorang
dikatakan Satua Barö. Ada panggilannya contohnya kalau sudah
berkeluarga setidaknya oo ama ini kalau masih gadiskan maish namanya
asli kek kitalah contoh dulu itu sebelum kawin contohnya namanya si ati
contohnya ooo ati ditaunya nama kecilnya dipanggil kan berarti kalau udah
berkeluarga dia dipanggil nama atau dikasih barasi. Karenakan sesutu
perempuan yang udah berkeluarga itu dikasih karena udah berkeluarga dia
52

di agak dipanggil nama kecilnya tapi dipanggil nama adatnya yang dikasih
label belakang barasinya. Nah jadi kita tau dari panggilan nama kenapa
kalau namanya dia itu walaupun dia udah berumur udah tua contohnya
masih dipanggil nama berarti itu belum berkeluarga jadi salah satu lagi
tanda kalau perempuan itu sudah berkeluarga nama kecilnya tidak dipanggil
lagi tapi ada gelar adat yang dikasih sama dia dengan dibarengin dengan
barasi. Selalu ada barasi itu misalnya anugrah barasi serasi barasi hah selalu
ada itu panggilan adat Nias sebagai tanda berkeluarga kalau dia belum
dipanggil gitu berarti dia masih perempuan belum menikah. Jadi pertama
dari mana kita tau perempuan Satua Barö sesuai nama dari awal lahir tidak
ada perubahan namanya sampai meninggal itu dia orang bisa mengetahui
bahwa ini kan kalau di berumurkan masih nama asli dipanggil orang udah
tau tidak ada perubahan nama. Seperti layani nanti kalau udah nikah bukan
layani lagi yang dipanggil. Begitu kawin bukan nama bawaannya yang
dipanggil tapi nama adatnya kenapa dikasih itu sebuah penghargaan bahwa
kita itu sudah pindah dari keluarganya kekeluarga laki-laki kedua untuk
menunjukkan bahwa itu sudah berkeluarga hah itu maknanya kenapa ada
perubahan nama sebagai pengahargaan untuk menunjukkan dia itu sudah
kawin bukan satua barö sae. Nah satua barö sampai dia beruban namanya
aja yang dipanggil tidak dipanggil samanya ehh satua barö enggak.”
(Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Hia (55 tahun) mengenai

karakteristika dari Satua Barö pada etnis Nias tidak mengalami perubahan nama

sedari kecilnya mengingat etnis Nias mengalami perubahan nama yang meliputi

nama yang diberikan pada saat lahir oleh orang tua perempuan, nama yang

diberikan setelah menikah oleh keluarga pihak laki-laki yang umumnya disertai

dengan kata “barasi”, dan nama yang diberikan setelah memiliki anak. Perubahan

nama yang dialami oleh seorang perempuan merupakan sebuah kehormatan yang

diberikan kepadanya karena telah mengalami perubahan status pernikahan maupun

status adatnya. Perubahan nama bagi seorang perempuan sebagai tanda status

pernikahannya. Perubahan nama yang diberikan kepada perempuan yang telah

menikah menjadi sebuah hal yang wajar dilakukan dan perempuan tersebut

haruslah mendapat gelar adat karena dianggap telah melakukan semua aturan yang
53

berlaku. Kata “Barasi” yang berada dibagian nama baru perempuan yang telah

menikah menjadi penanda bahwa dia telah menikah dan orang-orang akan

mengetahui kedudukan perempuan itu dalam adat.

Selain itu pula karakteristik dari Satua Barö menurut Bapak Hia (55 tahhun)

mengatakan bahwa:

“Yang dibilang namanya Satua Barö itu ada batasan umur dia pun masih 25
tahun belum kawin bukan juga dibilang Satua Barö walaupun belum kawin
jadi ada batasan umurnya seperti 30 tahun 40 tahun jadi ada batasannya
walaupun 30 tahun belum dibilang Satua Barö karena seperti dibilang
setengah baya ya setengah umur gitu hah ada bataasn sampai dimana
dikategorikan dia Satua Barö iyakan berarti kalau udah dibilang satu baro
umurnya yang sudah tua masih di dalam keluarganya. Jadi bukan patokan
umur bisa 30 tahun bisa 25 tahun kenapa yang penting sepanjang dia tidak
berkeluarga sudah mulai yahh kalau masalah cap tadi makanya tetapi sudah
berumur tetapi tidak disebutkan meskipun sudah 40 tahun kan maish belum
tapi ornag sudah menegnal dia Satua Barö hah. Pertama misalnya kan dari
sisi bisa berkeluarga saya tidak bisa mengatakan 35 tahun karena bisa saja
nanti dapat jodoh. Tidak ada batas minimal rata-rata cumana kalau sudah
dibatas 30 tahun karena bagaimana pun 24 tahun keatas itu sudah
berkeluarga, tapi budaya nias itu tidak pernah mencap 30 tahun dia Satua
Barö bisa jadi 40 tahun dia dapat jodoh yakan. Nah jadi kita tau dari
panggilan nama kenapa kalau namanya dia itu walaupun dia udah berumur
udah tua contohnya masih dipanggil nama berarti itu belum berkeluarga jadi
salah satu lagi tanda kalau perempuan itu sudah berkeluarga nama kecilnya
tidak dipanggil lagi tapi ada gelar adat yang dikasih sama dia dengan
dibarengin dengan barasi” (Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)

Hasil wawancara dengan Bapak Hia mengenai karakteristik dari Satua Barö

adalah berusia 30 tahun dan masih tinggal bersama keluarganya. Panggilan Satua

Barö tidak disebutkan secara langsung, orang lain akan mengetahui seseorang itu

Satua Barö dikarenakan tinggal dirumah orang tuanya. Pada saat perempuan itu

telah memasuki usia sekitar 40 tahun ia tetap tidak akan dipanggil Satua Barö

secara langsung, akan tetapi orang-orang akan mengetahui sendiri. Hal ini

dikarenakan tidak ada batas minimal dalam segi usia yang menyatakan seseorang
54

itu Satua Barö. Akan tetapi, apabila dia telah memiliki tanda-tanda penuaan dan

telah memasuki umur 30 tahun bisa saja orang akan mengetahui dia Satua Barö

tetapi tidak disebutkan secara langsung. Menurut beliau bisa saja di usia 40 tahun

perempuan belum menikah ini mendapat jodoh, sehingga tidak perlu dipanggil

secara terang-terangan.

Seperti yang disampaikan oleh kedua informan diatas, wawancara yang

dilakukan Bapak Zega (50 tahun) yang juga merupakan tokoh masyarakat

mengatakan bahwa:

“hah kriterianya menurut artinya mungkin kalau eee menurut orang-orang


Nias wanita itu kalau udah 30 tahun gak nikah udah dianggap 30 tahun ke
atas he tidak nikah atau belum bertunangan yahh ya itu dianggap Satua
Barö. Belum nikah, belum bertunangan hah” (Wawancara pada tanggal 10
juli 2022)

Pernyataan yang disampaikan oleh Bapak Zega (50 tahun) mendukung

pernyataan kedua informan yang menyampaikan bahwa label Satua Barö diberikan

kepada seorang perempuan etnis Nias yang telah berusia 30 tahun keatas dan belum

menikah atau belum menjalin hubungan serius menuju jenjang pernikahan.

Karakteristik usia dari seseorang yang mendapat label Satua Barö seperti yang

disampaikan Bapak Zega (50 tahun), ternyata disampaikan pula oleh Ibu Zebua (43

tahun) yang merupakan perempuan yang lama menikah mengatakan bahwa:

“satua barö itu seperti apa ya, oo menurutku ini ya kalau satua baro itu lama
mendapat jodohnya hah jadi dia mau menikah lama kelaman dia dapat jodoh
dalam umur 30 tahun e… umur 32 tahun 34 tahun ada juga baru dia dapat
jodoh 38 tahun 40 tahun kan itu beda-beda kita tunggu aja kapan dapat
jodoh” (Wawancara pada tanggal 05 juli 2022)

Wawancara dengan Ibu Zebua (43 tahun) menyatakan bahwa Satua Barö

memiliki karakteristik berusia 30 tahun keatas dan belum mendapatkan jodoh tetapi
55

memiliki keinginan untuk menikah. Menurutnya seorang Satua Barö yang berusia

lebih dari 30 tahun keataspun bisa menikah jika memiliki jodoh.

Pernyataan serupa juga dikatakan oleh Ibu Telaumbanua (35 tahun) dalam

wawancara pada tanggal 09 juli 2022 yang menyatakan bahwa label Satua Barö

tidak dikatakan secara langsung kepada orang tersebut dan orang yang

mendapatkan label Satua Barö merupakan seseorang yang telah berusia 30 tahun

atau lebih. Berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh Ibu Telaumbanua (35

tahun) mendukung dan memperkuat pernyataan informan lainnya terkait usia

seseorang yang mendapat label Satua Barö pada etnis Nias. Usia tersebut ternyata

dianggap merupakan usia dewasa yang seharusnya seseorang khususnya

perempuan yang memiliki usia 30 tahun atau lebih harusnya sudah menikah.

Ringkasnya berdasarkan penuturan dari para informan penelitian diketahui

bahwa label Satua Barö diberikan pada seorang perempuan yang telah berusia 30

tahun atau lebih dan belum menikah. Karakteristik lainnya yaitu belum mengalami

perubahan nama mengingat seorang perempuan Nias mengalami perubahan nama

yang meliputi nama yang diberikan oleh orang tuanya ketika lahir, nama yang

diberikan setelah menikah oleh pihak keluarga laki-laki, dan nama yang berikan

pada saat memiliki anak. Selain itu pula umumnya dipanggil dengan sebutan

“tante”. Seorang perempuan yang berusia 30 tahun atau lebih belum menikah

tentunya memiliki penyebab yang menjadi faktor ia belum menikah. Faktor tersebut

tentunya dipengaruhi oleh budaya, lingkungan keluarga bahkan diri dari seorang

perempuan yang telah berusia dewasa pada etnis Nias.


56

Wawancara dengan Bapak Zebua (41 tahun) mengenai penyebab seorang

perempuan belum menikah, ia mengatakan bahwa:

“sebenarnya alasan mereka, kalau pengalaman kami dikampung dulu ya,


bukan merekanya yang tidak mau. Mereka mau tapi kalau di Nias itukan
tidak ada masa pacaran, dijodohkan dia namanya mamaigi niha. Mamaigi
niha itu adalah pihak laki-laki datang ke pihak perempuan kalau cocok nanti
barulah berapa jujuran diminta. Kalau besar jujurannya, makanya nanti
mundur teratur pihak laki-lakinya jadi gak jadi walaupun suka sama suka.
dulu iya, sekarang udah enggak lagi. Karena gini dulukan kalau ketua adat
di pasang gowe udh kasih apa itu ee hada yang besarlah banyak uangnya
yang besar-besar itu di rela untuk makan ubi kayu hanya untuk mendirikan
gowe itu di depan rumahnya. Supaya posisisnya diadat tinggi, gak bisa
dimulai perkawinan itu kalau gak ada dia kan gitu. Itu dia yang pertama,
nikah anaknya, kastanya tinggi banyak kali yang mau syarat-syaratnya
karena posisinya itu, karena udah di buatnya itu harus dibuat juga, nama
ngaötö salawa. Jadi salawa dari pihak perempuan salawa dari pihak laki-
laki nanti anaknya itu kalau nikah berarti ngaötö salawa sama ngaötö
salawa karena yang diapakan tadi adatnya yang dinikahkan kan adatnya.
Salawa zebua dengan salawa zendratö misalnya gitu lah.” (Wawancara
pada tanggal 19 juni 2022)

Bapak Zebua (41 tahun) menyampaikan bahwa sepengetahuannya di Nias

dulunya perempuan belum menikah di sebabkan tidak adanya pacaran dalam

budaya Nias. Dulunya seseorang akan di jodohkan (Mamaigi Niha) ketika kedua

belah pihak merasa cocok dengan calon mempelai perempuan mereka akan

langsung membahas terkait dengan jujuran atau mahar (böwö), namun jika pihak

calon mempelai pria merasa jujuran atau mahar (böwö) terlalu besar maka mereka

akan membatalkan pembicaraan mereka atau mundur secara teratur. Selain itu,

disebabkan karena dulunya terjadi pernikahan berdasarkan kedudukan diantara para

tokoh adat (salawa hada) etnis Nias maka pernikahan yang dilakukan hanya

berdasarkan persamaan kedudukan yang ada. Dulunya sebuah pernikahan

didasarkan pada kedudukan dari keluarga tersebut apabila keluarga tersebut


57

mendapat memiliki kedudukan yang tinggi di adat atau memiliki gelar adat maka

pernikahan akan dilangsung dengan keluarga yang memiliki kedudukan ataupun

gelar adat yang sama.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Hia (55 tahun) mengenai pula

penyebab perempuan usia dewasa belum menikah, ia mengatakan bahwa:

“Satua Barö ini kan karena gak dapat jodoh, itu jawaban sederhanan dulu
kan yakan semua orang orang lain pun gitu. Karena belum dapat jodohkan
masuk akal juga belum dapat jodoh dia kalau masalah jujuran itu mungkin
kebawah. Hah yang kedua itu nantikan kalau dikembangkan nanti atau
disemua etnis mana pun eemm seseorang itu belum dapat jodoh bisa dia
sampai tua hemm termasuk etnis Nias. kedua faktor budaya, yang diangkat
disana adalah budaya etnis Nias ini memang apa namanya dulu yang
mencari jodoh itu orang tua itu budaya nias dulu.”
“iya dulu dijodohkan. Hah iyakan bisakan kamu bedakan antara ketemu
jodoh karena budaya yakan. kedua faktor budaya, yang diangkat disana
adalah budaya etnis Nias ini memang apa namanya dulu yang mencari jodoh
itu orang tua itu budaya Nias dulu.”
“Nahh jadi kembali kita itu hal yang pertama tadi karena belum ketemu
jodohnya hal kedua karena budaya Nias. budaya Nias dulu yang mencari
jodoh si perempuan itu adalah orang tua mungkin kalian gak tau kalian
itukan bahwa dulu itu bukan seperti sekarang. Makanya kalau dulu itukan
dia misalnya kan kalian inilah dijodohkan sama orang bapak sampek kalian
nanti sembunyi-sembunyi datang laki-laki melihat kalian itulah dulu atau
gak pada saat ke gereja di lihat-lihat gak bisa seperti sekarang pacaran.
Hehehehe yaitu faktor yang kedua” (Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)

Hasil wawancara dengan Bapak Hia (55 tahun) dapat diketahui bahwa

perempuan belum menikah diusia dewasa pada etnis Nias disebabkan oleh beberapa

faktor yaitu 1) faktor jodoh, seorang perempuan akan menikah tentunya jika

memiliki jodohnya tetapi bila belum memiliki jodoh maka ia belum bisa menikah.

2) faktor budaya, etnis Nias dulunya belum mengenai masa berpacaran karena

dalam budaya etnis Nias hanya mengenal perjodohan (Famigi Niha) yang

dilakukan oleh orang tua kedua calon mempelai. Dulunya yang mencarikan jodoh
58

adalah orang tua, sehingga pada saat pembicaraan terkait pernikahan hanya orang

tualah yang akan berperan. Pencarian jodoh yang dilakukan biasanya pada saat

kegiatan keagamaan ataupun kegiatan adat lainnya yang menghadirkan banyak

orang.

Faktor lainnya yang disampaikan oleh Bapak Hia (55 tahun) dalam

wawancara pada tanggal 03 juli 2022 mengatakan bahwa:

“Juga yahh kita masukkan itu faktor ketiga masalah jujuran tadi. Jujuran
orang nias atau perempuan yang menikah boleh tidak bisa kawin karena
jujuran dari orang tua itu yang diambil oleh orang tua siperempuan dulu itu
sangat besar sebagai pertimbangan kalau dulu nogu seperti kalian kawin
minimal harus 100 ekor babi minimal itu kalau sekarang itu masih babi
belum yang lain-lain. Kalau sekarang 1 ekor babi apa kira-kira 4 alisi itu
sekitar 3 jutaan. Berarti kalau kali 100 berarti 300 juta heh jadi jujuran ini
snagat tinggi tapi sekarnag tidak lagi sudah ada perubahan khususnya kita
marga hia tinggal 52,5. Itu masih 52 tapi sebernarnya dalam prakteknya
adalah hanya dalam penyebutan tetapi tidak harus dibayarkna 52,5 ini dalam
pelaksanaannya misalnya kalian ini pesta itu sama-sama suami kelen itu
dihitung itu namanya fangerai böwö dihuting berapa jujuran karena di nais
itu seorang perempuan yang kawin ada 5 orng pihak yang menerima jujuran
satu orang tua perempuan, kedua saudara orang tua perempuan kemudian
sekampung, paman dari perempuan yang kawin kemudian paman dari
mamamu. Hah kalau bahasa nias dia kamu bisa kamu terjemahkan so’ono
itu namanya orang tua, sirege saudara bapak, mbanua itu sekampung dengan
orang tua kita itu banua, baru eee paman itu namanya uwu namanya bahasa
nias baru pamannya mama namanya ionaya nuwu. Kalau dikumpul itu
semua dalam yang 5 pihak ini ada 52,5 kali 4 alisi, 4 alisi ini satu ekor. Hah
jadi 52 itu hitung-hitung itu 52 kali 3 juta itulah dia jujuran sekarang tetapi
di jaman sekarang sudah ada perubahan karena orang tua sudah melihat itu
sangat memberatkan baik dipihak laki-laki maka oleh penetua-penetua adat
mereka sepakat menurunkan jujuran itu dari yang 100 lebih menjadi 52,5.
Namun didalam prakteknya itu tidak harus dibayar.”
“Kemudian itu perempuan nias tidak menikah karena faktor karir bisa
mereka juga ada yang berhasil ya. hah itulah dulu yang bisa bapa tau nanti
kalau ada yang kau tanyakan tanyakan.”
“ada satu terlalu memilih ada saudara juga masa dibilangnya udah sama dia
ke bapatalu baru dia nikah harus sama kek mamaknya baiknya semuanya
yahh mana ada sampek sekarang gak nikah-nikah. Jadi artinya Satua Barö
di nias bukan hanya perempuan”” (Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)
59

Hasil wawancara dengan Bapak Hia (55 tahun) menjabarkan faktor ketiga

adalah jujuran atau mahar (böwö). Etnis Nias dalam pernikahan dikenal dengan

istilah böwö atau jujuran/mahar yang sangat besar. Dulunya seseorang yang hendak

menikah harus melunaskan böwö yang diminta oleh pihak keluarga calon mempelai

perempuan, mislanya 100 ekor babi belum dengan keperluan lainnya. apabila pihak

calon mempelai laki-laki tidak sanggup untuk memenuhi hal tersebut maka

pernikahan tidak jadi dilangsungkan. Begitu besarnya böwö dalam pernikahan etnis

Nias inilah yang menjadi alasan munculnya perempuan belum menikah usia

dewasa. Namun, seiring dengan perkembangan saat ini böwö yang besar tersebut

tidak lagi sebesar dulunya setelah melalui diskusi panjang para pemuka adat maka

memutuskan untuk menurunkan jumlah dari böwö tersebut khususnya pada marga

Hia sebesar 52,5 alisi. Saat ini, pada saat kegiatan fangerai böwö (menghitung

jujuran/mahar) dilakukan dalam upacara pernikahan adat maka jumlah dari böwö

yang telah diputuskan oleh pemuka adat hanya disebutkan saja tidak harus

dibayarkan. Böwö yang tinggi tersebut menjadi salah satu alasan kuat tidak

berlangsungnya suatu pernikahan, sehingga memunculkan perempuan yang belum

menikah usia dewasa. Berdasarkan penuturan informan penelitian Label Satua

Barö bukan hanya diberikan pada perempuan saja tetapi juga pada laki-laki.
60

Gambar 4.2 Böwö ba wanowu niha ma’uwu hia silima ina lahömi: fondrakö döfi
1990 (Jumlah jujuran atau mahar pernikahan keturunan hia silima ina lahömi:
fondrakö Tahun 1990) (Sumber: Informan Penelitian, Bapak Fatizaro Hia, S.H.)
Dokumentasi pribadi, 03 juli 2022

Selanjutnya, faktor karir yang berkeinginan untuk mencapai apa yang

diinginkan menjadi salah satu faktor penyebab belum menikah. Dorongan untuk

mencapai keberhasilan dalam pekerjaan menjadi hal tepenting saat ini. Terakhir,

faktor terlalu memilih merupakan penyebab dari banyaknya yang belum menikah

pada etnis Nias. Kriteria pasangan yang beragam menjadi alasannya salah satunya
61

yaitu menemukan pasangan yang mirip persis dengan salah satu orang tua. Hal

tersebut tentunya bukan hal yang mudah bahkan dianggap mustahil menemukan

seseorang yang memiliki kepribadian sama persis dengan salah satu orang tua.

Informan juga menyampaikan bahwa label Satua Barö bukan hanya diberikan

kepada perempuan saja tetapi juga pada laki-laki.

Wawancara yang dilakukan dengan Bapak Zega (50 tahun) juga mengenai

penyebab seorang perempuan belum menikah, ia mengatakan bahwa:

“Bukan hanya orang Nias tapi memang di Nias itu dulunya banyak wanita-
wanita Nias belum menikah karena mungkin eeee alasannya ee karena
banyak mungkin banyak persoalan-persoalan terkait dengan adat ya”.
“Jadi dulukan jujuran beda dengan sekarang udah ada perubahan-perubahan
jujuran sehingga dia dulu eee kalau yang mau melamar dia harus punya
uang yang banyak dulu harus punya eee peliharaaan dulu ternak babi yang
banyak, karena dalam adat Nias kan harus ada babi. Kemudian satu juga
mungkin wanita-wanita Nias itu juga masa dulu kenapa lama kawin
disamping persoalan adat yang berbelit atau jujuran juga mungkin karena
terlalu ketat dalam pola pergaulan yahhh. terlalu banyak aturan sehingga
mungkin anak-anak perempuan Nias itu tidak bisa bebas bergaul mencari
jodoh sebagaimana dengan suku-suku yang lain.”
“ehh persoalan karirnya yang membuat dia kadang-kadang membuat dia
mengambil keputusan untuk tidak menikah” (Wawancara pada tanggal 10
juli 2022)

Hasil wawancara dengan Bapak Zega (50 tahun) dapat diketahui bahwa

yang menjadi penyebab dari perempuan Nias belum menikah berkaitan dengan adat

yang ada pada etnis Nias. Ia menyampaikan bahwa jujuran/mahar (böwö), pola

pergaulan yang ketat dan banyaknya aturan dalam adat Nias menjadi seorang

perempuan tidak bebas bergaul dengan orang lain sehingga tidak bisa untuk bebas

memilih ataupun mencari jodohnya. Selain itu, karir bisa saja saat ini menjadi

penyebab seseorang saat ini belum menikah.


62

Selain itu, berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Ibu Zebua (43

tahun) mengenai keputusannya lama menikah disebabkan oleh beberapa hal, ia

mengatakan bahwa:

“aku gak mau menikah karena aku gak mau satu gak mau aku satu marga
aku gak mau aku dipendalaman. Jadi kubilang sama orang bapakku gak mau
aku tinggal di pedalaman sana yang banyak sawahnya. Aku mau
menyekolahkan adekku dulu kubilang baru aku mau menikah makanya aku
lama menikah, umur 34 tahun baru aku dapat jodoh” (Wawancara pada
tanggal 05 juli 2022)

Ibu Zebua (43 tahun) menyampaikan bahwa keputusannya lama menikah

karena ia tidak ingin menikah dengan orang yang memiliki marga sama dengannya.

Selain itu, ia juga tidak ingin saat menikah nanti tinggal diwilayah pedalaman dari

Pulau Nias. Ia juga ingin membantu untuk menyekolahkan adik-adiknya terlebih

dahulu sebelum akhirnya ia menikah. Hal tersebut membuat Ibu Zebua (43 tahun)

akhirnya mendapat jodoh pada usia 34 tahun.

Wawancara dengan Ibu Telaumbanua (35 tahun) mengenai penyebabnya

perempuan lama menikah, ia mengatakan bahwa:

“salah satunya penyebabnya atau faktornya itu belum ada jodohnya atau
belum ada komitmen untuk membentuk keluarga”

Pernyataan yang disampaikan oleh Ibu Telaumbanua (35 tahun) yang

menjadi penyebab dari perempuan belum menikah berkaitan dengan jodoh.

Menurutnya faktor jodohlah yang menjadi penyebab seorang perempuan belum

menikah. Selain itu, belum timbulnya keinginan berkomitmen untuk membentuk

sebuah keluarga.

Ibu Hia (55 tahun) juga menuturkan terkait dengan penyebab dari

perempuan belum menikah, ia mengatakan bahwa:


63

“kalau dulu ini yahhh karena besar jujurannya tau sendirikan apa kekmana
böwö itu besarnya yahh kadang gak sanggup pihak laki-laki gak jadi nikah”.
“apa yahhh hah dulukan gak dikenal kita pacaran anak-anak sekarang aja
yang pacaran kalau dulu itu di jodohkan gak ada istilah pacaran sekarang
kan udah bebas anak-anak kalau bahasa niasnya itu eeemmmm famaigi niha
cuman orang tuanya nanti yang melihat mana yang cocok sama anaknya
baru nanti dijumpailah ntah dikasih tau ntah siapa kenalan dari pihak
perempuan itu kalau suka orang itu” (Wawancara pada tanggal 05 juli 2022)

Menurut Ibu Hia (55 tahun) penyebab perempuan belum menikah adalah

karena jujuran/ mahar (böwö) yang sangat besar sehingga calon mempelai laki-laki

tidak sanggup untuk memenuhi jujuran/mahar (böwö) mengakibatkan

dibatalkannya pernikahan. Selain itu, menurutnya pula penyebab lainnya adalah

karena etnis Nias tidak mengenal pacaran seperti saat ini. dulunya orang-orang yang

hendak menikah akan melakukan perjodohan (famaigi niha) yang dilakukan oleh

orang tua.

Berdasarkan wawancara dengan Tante Gea (50 tahun) yang merupakan

perempuan berusia dewasa etnis Nias belum menikah, mengenai penyebab dirinya

belum menikah mengatakan bahwa:

“aku kan sedang mengikuti pelajaran alkitab, mengikuti pelajaran alkitab


sekolah pendeta tapi gak diizinkan menikah kalau enggak selesai theologia
itu mengenai sekolah pendeta. Terus karena udah terlanjur umur saya ambil
kesimpulan aku melayani Tuhan aja dan terus adat istiadat itu jujuran ini
jujuran itu terlalu tinggi juga siapa yang membayarnya itu.”

Hasil wawancara dengan Tante Gea (50 tahun) yang menjadi alasannya

belum menikah adalah dikarenakan ia ingin melanjutkan pendidikannya di sekolah

teologia. Selain itu, ia juga menyadari bahwa usianya sudah tidak muda lagi untuk

menikah sehingga ia akhirnya memutuskan untuk tidak menikah dan ingin

melayani Tuhan saja. Serta, ia juga tidak ingin memberatkan siapapun ketika dia
64

akan menikah dengan jujuran/mahar (böwö) yang besar karena ketidaksanggupan

dari berbagai pihak.

4.3 Dampak dari Labeling Satua Barö

Labeling Satua Barö yang diberikan pada seseorang tentunya memiliki

dampak yang dialami. Dampak tersebut bisa dialami oleh perempuan yang diberi

label maupun keluarganya yang biasanya berasal dari lingkungan sekitar dari

perempuan belum menikah usia dewasa. Label Satua Barö memiliki dampak

terhadap kedudukan dan tanggungjawab dalam adat, dampak terhadap hubungan

sosial, dampak terhadap keluarga, dan self impact.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Bapak Zebua (41 tahun),

mengenai dampak terhadap kedudukan dan tanggungjawab dalam adat, ia

mengatakan bahwa:

“kalau untuk pekerjaan, enggak enggak berpengaruh. Tapi, kedudukan


adatnya gak ada. misalnya, motu ononihalo kasih nasehat sama perempuan
yang mau melaksanakan pernikahan, itu gak bisa dia karena dia belum
pernah, apa yang mau diapakannya cuman gini, kalau misalnya eee ini
kakaknya, kakaknya ya mau nikahlah adeknya ini. Nah harus minta permisi
sama kakaknya. Itu pula adat, minta permisi itu ada uangnya untuk meminta
izin ini. Kalau diizinkannya barulah dilaksanakan adat adeknya”.
“Itulah cuman itu kedudukannya diadat. Tapi kalau duduk ya duduk
bersama kerja, kerja dia. membantu pekerjaan didapur bisa dan tidak ada
yang dalam arti malu gara-gara Satua Barö. Bukan aib itu” (Wawancara
pada tanggal 19 juni 2022)

Hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Zebua (41 tahun) bahwa

perempuan belum menikah tidak dapat melakukan kegiatan fotu ononihalö

(pemberian nasihat pada calon mempelai perempuan sebelum pernikahan

dilangsungkan) meskipun dia berusia lebih dewasa dari perempuan yang hendak
65

menikah, hal itu dikarenakan belum menjalani kehidupan pernikahan. Selain itu,

perempuan belum menikah berusia dewasa masih dapat melakukan pekerjaannya

membantu di dapur bersama dengan perempuan lainnya meskipun dia mendapat

label Satua Barö.

Selanjutnya, menurut Bapak Hia (55 tahun) yang merupakan tokoh

masyarakat Nias di Kota Medan, mengenai kedudukan dan tanggungjawab

perempuan belum menikah dalam adat mengatakan bahwa:

“Dalam posisi budaya nias seseorang yang belum berkeluarga yahh kalau
posisinya pertama didalam keluarga kalau nias tidak mendapatkan harta.
Dulunya yang mendapatkan warisan hanya laki-laki tapi sekarang
berdasarkan seseorang yang mendapatkan warisan adalah ahli waris dari
orang tua. Ahli waris itu siapa laki-laki dan perempuan. Tapi dulu tidak,
hukum adat nias hanya mengenal pembagian harta warisan itu untuk laki-
laki yahhh itu lah dia. Maka posisi mereka dalam harta warisan tidak ada itu
yang pertama. Kedua dalam hubungan keluarga misalnya kan contoh
misalnya inikan kalian kawin anak paman tidak dinyatakan kalian ini
sebagai fadono tapi hanya mamakmu itu sama mamakmu belum berdiri
kalian ibaratnya ada kewajiban dari pihak paman itu tidak dibebankan atas
nama kalian tapi dibebankan atas nama mamak. Hal berikutnya jika di suatu
kampung itu ada pembagian jambar-jambar gak dapat juga hanya laki-laki
yang dapat. Itu la gambarannya kalau perempuan nias ini tidak kawin tidak
berkeluarga yahh kemudian dari hubungan keluarga dengan paman dan juga
kepada satu persudaraan mereka tidak mendapatkan suatu bagian atau beban
hah contoh kawinlah pamanmu di bebankan sama mamakmu. Menurut adat
nias saudara mamak saya atau saudara mamak dari perempuan itu bila ada
suatu pekerjaan maka pihak saudara atau paman itu ya wajib punya beban
dari mamak tetapi perempuan yang sudah berumur ini tidak dikenakan atau
tidak menjadi sebuah tanggungjawab. Ada sebuah kebiasaan adat bahwa
saudara mamakmu atau paman kawin atau segala pekerjaan mereka itu ada
kewajiban adat yang harus dibayarkan tetapi kewajiban itu tidak menjadi
tanggungjawab perempuan yang berumur ini tapi yang bertanggungjawab
orang tuanya nya hah seperti itulah penjelasannya itulah kira-kira.”
(Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Hia (55 tahun) mengenai kedudukan

dan tanggungjawab perempuan belum menikah usia dewasa pada etnis Nias, tidak
66

ada kedudukannya dan tidak mendapatkan bagian dari harta warisan. Dulunya,

dalam hukum adat Nias pembagian harta warisan diberikan hanya kepada laki-laki

saja. Selain itu, tidak dibebankan dalam membayar kewajiban adat terhadap pihak

paman misalnya, dalam membantu pembayaran jujuran/mahar (böwö) apabila anak

dari paman (Sibaya) menikah maka ibu dari siperempuanlah yang

bertanggungjawab untuk membayarkannya, dikarenakan anak perempuannya

belum menikah sehingga belum mendapatkan tanggungjawab tersebut.

Selanjutnya, dalam kegiatan adat perempuan belum menikah tidak dapat

menempati posisi adat yaitu fadono atau ono alawe (perempuan yang sudah

menikah dan merupakan pekerja dalam upacara atau kegiatan adat yang

dilangsungkan oleh keluarga pihak perempuan). Serta pula, perempuan belum

menikah tidak mendapatkan bagian jambar (zimbi) pada saat kegiatan adat

dilakukan.

Wawancara dengan Bapak Zega (50 tahun) mengenai kedudukan dan

tanggungjawab perempuan dalam adat, mengatakan bahwa:

“nah kedudukannya dalam adat itu dia gak punya hak suara yahh tidak
punya hak suara yahh dalam adat. Hah ini sebenarnya bukan hanya soal
wanita yang tidak menikah, perempuan-perempuan Nias itu kan terlalu jauh
ketimpangan gender yahhh. Artinya wanita itu tidak berhak bicara soal adat
warisan misalnya kan. Hah itu yang salah, gak boleh itukan adat kalau
secara perdata sama itu wanita sama pria yahhh seperti itu” (Wawancara
pada tanggal 10 juli 2022)

Menurut Bapak Zega (50 tahun) kedudukan seorang perempuan belum

menikah usia dewasa dalam adat tidak ada, ia bahkan tidak memiliki hak suara

untuk menyampaikan pendapatnya. Hal tersebut terlihat dari pembicaraan adat

terkait pembagian harta warisan dikarenakan ketimpangan gender yang terjadi pada
67

etnis Nias. Menurutnya, meskipun perempuan tersebut belum menikah seharusnya

pembagian harta warisan dilakukan berdasarkan hukum perdata sehingga baik laki-

laki dan perempuan memiliki hak yang sama khususnya hak berpendapat mengenai

pembagian harta warisan.

Sedangkan, berdasarkan wawancara dengan Ibu Zebua (43 tahun) mengenai

kedudukan dan tanggungjawab dalam adat, mengatakan bahwa:

“kalau menurutku satua baro itu kalau melalui adat gak ada posisinya
melalui adat jadi melalui sosial gak ada juga posisinya jadi kalau melalui
keluarga ada posisinya bertanggungjawab sama orang adeknya,
menyekolahkan adek membantu orang tua nya” (Wawancara pada tanggal
05 juli 2022)

Hasil wawancara dengan Ibu Zebua (43 tahun) ternyata mendukung

pernyataan para informan lainnya bahwa tidak ada kedudukan perempuan belum

menikah usia dewasa khususnya yang mendapat label Satua Barö dalam adat. Akan

tetapi, perempuan tersebut memiliki tanggungjawab untuk menyekolahkan adik-

adiknya dan membantu orang tuanya.

Ibu Telaumbanua (35 tahun) sebagai perempuan yang lama menikah dan

pernah mendapat label Satua Barö, mengatakan bahwa:

“tidak ada posisinya karena dia masih dalam apa ee apa karena dia belumm
memiliki keluarga selain bapak mamaknya ooo karena dia belum
membentuk suatu keluarga” (Wawancara pada tanggal 09 juli 2022)

Hasil wawancara tersebut dengan Ibu Telaumbanua (35 tahun) mengatakan

bahwa seorang perempuan belum menikah usia dewasa tidak memiliki posisi

apapun dalam adat. Segala tanggungjawab ataupun tugasnya dalam adat masih

menjadi tanggungjawab orangtuanya. Hal tersebut dikarenakan ia belum

membentuk sebuah keluarga sehingga tidak memiliki kedudukan dalam dalam adat.
68

Pernyataan mengenai kedudukan dan tanggungjawab perempuan belum

menikah juga di sampaikan oleh Ibu Hia (55 tahun), ia mengatakan bahwa:

“ooo gak adalah dek kan dia belum menikah masih ada mamak bapaknya
itulah yang ada posisinya kalau untuk kekgitu kekgitu gak ada dia makanya
di dapur aja nanti dia dikasih bantu-bantu masak tapi kalau udah nikah hah
baru ada dia nanti dikasih jamabr diingat-ingat dia” (Wawancara pada
tanggal 05 juli 2022)

Hasil wawancara dengan Ibu Hia (55 tahun) menjelaskan bawa seorang

perempuan belum menikah usia dewasa yang mendapat label Satua Barö tidak

memiliki kedudukan dalam adat dikarenakan belum menikah dan masih menjadi

tanggungjawab dari kedua orangtuanya. Akan tetapi, ia masih memiliki tugas untuk

membantu dalam kegiatan dapur seperti membantu memasak dalam kegiatan-

kegiatan yang dilangsungkan. Selain itu, apabila dia sudah menikah maka orang

akan mengingatnya karena dia mendapat kedudukan setelah menikah.

Wawancara dengan Tante Gea (50 tahun) merupakan perempua belum

menikah usia dewasa etnis Nias (sampai saat ini), mengenai kedudukan dan

tanggungjawabnya dalam adat mengatakan bahwa:

“iya saya membantu mereka, saya bergaul dengan mereka juga karenakan
mereka saudara saya”
“sayakan punya saudara yah saudara sama sayalah kalau masih ada orang
bapak sama mamak sama merekalah saya kalau ada kegiatan adat ntah
memasak-masak saya bantu.” (Wawancara pada tanggal 22 juni 2022)

Berdasarkan wawancara dengan Tante Gea (50 tahun) menjelaskan bahwa

tidak ada tanggungjawabnya terhadap adat dikarenakan dirinya masih menjadi

tanggungjawab kelaurganya. Dalam pelaksanaan kegiatan adatpun ia akan

bergantung dengan orang tua maupun sanak saudaranya akan tetapi, tetap

membantu dalam kegiatan memasak. Hal ini dikarenakan kesadarannya sendiri


69

untuk membantu keluarganya khususnya dalam kegiatan dapur saat pelaksanaan

kegiatan adat.

Perempuan belum menikah usia dewasa tidak mendapat kedudukan maupun

tanggungjawab yang signifikan dalam adat dikarenakan dirinya masih menjadi

tanggungjawab kedua orang tuanya. Segala beban yang seharusnya ia dapatkan

setelah menikah tidak ia rasakan dan menjadi beban kedua orang tuanya atau sanak

saudaranya. Akan tetapi, mereka akan senantiasa membantu segala aktivitas dalam

pelaksanaan adat tetapi hanya kegiatan yang berhubungan dengan keperluan dapur

saja misalnya memasak. Dampak lainnya terhadap label Satua Barö tersebut adalah

dampak terhadap hubungan sosialnya.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Zebua (41 tahun) mengenai

hubungan sosial Satua Barö terhadap lingkungan sekitarnya, mengatakan bahwa:

“Tapi kalau duduk ya duduk bersama kerja, kerja dia. membantu pekerjaan
didapur bisa dan tidak ada yang dalam arti malu gara-gara Satua Barö.”
“kalau orang Nias malas berhubungan enggak, tapi mereka yang
menyingkir. Mereka bergabung dengan yang sudah muda-muda udah gak
lagi. Mereka mundur teratur mereka bergabung nanti sama mamak-
mamak.” (Wawancara pada tanggal 19 juni 2022)

Menurut Bapak Zebua (41 tahun) bahwa perempuan yang belum menikah

usia dewasa mendapat label Satua Barö memiliki hubungan yang baik dengan

sekitarnya. Tidak ada rasa malu untuk bergaul diakibatkan dirinya mendapat label

Satua Barö. Etnis Nias lainnya akan menerima mereka dengan baik, akan tetapi

perempuan yang mendapat label Satua Barö cenderung akan memilih-milih dalam

pertemanannya mengingat usianya yang tidak muda lagi. Meskipun mereka belum
70

menikah mereka akan memposisikan diri mereka dengan orang yang memiliki usia

sama dengan mereka meskipun itu kelompok ibu-ibu yang sudah menikah.

Selanjutnya, wawancara dengan Tante Gea (50 tahun) pada tanggal 22 juni

2022 mengenai hubungan sosialnya dengan orang lain ia menyampaikan bahwa

meskipun ia merupakan perempuan belum menikah usia dewasa ia tetap berteman

dengan siapapun. Ia tidak membeda-bedakan orang lain ketika ia berinteraksi

dengan orang lain menurutnya ia mampu dan bisa berteman dengan siapapun juga.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Zebua (43 tahun) yang

merupakan salah satu tokoh masyarakat diwilayah simalingkar, mengenai dampak

label Satua Barö terhadap keluarga mengatakan bahwa:

“Kalau sedih sedihlah karenakan orang tua kan pengen anak-anaknya


berkeluarga biar anaknya punya cucu semua. Kalau sedih sedih tapikan itu
kalau kita gali kalau misalnya di umum gak nampak sedihnya.”
“yah keluarganya. yahh gini dia kalau misalnya bukan dia yang dioper jadi
dianya nanti yang memilih dimana dianya nyaman.”
“tanggungjawab siapa, sama siapa kita lempar tanggung jawab. Kalau
misalnya, pepatah orang nias ya hakhö e be’e noro bio ba yang artinya sama
siapa kamu kasih bebanmu yang udah gagal itu. Bio itu kayak talas yang
besar itu kan berat itu. Hah sama siapa kamu kasih beban itu yang seberat
itu. Hakhö e be’e noro bio karena kan berat. Karena mengapain itu memang
berat”.
“Orang tua, ditanya sama orang tuapun nanti berapa anakmu gadis, kalau
ada yang belum menikah lebih dari 40 tahun dibilangnya 4 orang lagi tapi 1
Satua Barö. Hah itu dibilangnya, orang tuanya ya”
“iyah, karena gak ada yang mau. Jadi, karena gak ada yang mau yaudah,
kalau ada yang kurang barulah orang tua yang mengorbankan” (Wawancara
pada tanggal 19 juni 2022)

Hasil wawancara dengan Bapak Zebua (41 tahun) menjelaskan bahwa ada

terdapat perasaan sedih dari orang tua apabila anaknya tidak menikah khusunya

perempuan, karena menurutnya setiap orang tua ingin anaknya berkeluarga dan

mempunyai cucu dari seluruh anak yang ia memiliki. Selain itu, keluarga memiliki
71

beban dan tanggungjawab akan kehidupan perempuan belum menikah usia dewasa

hingga nantinya ia menutup usia. Tempat tinggal dari perempuan belum menikah

usia dewasa akan dirembukkan oleh pihak keluarga kemana dia akan tinggal baik

itu secara bergantian, akan tetapi bisa saja ia memilih lokasi kediamannya untuk ia

tinggalin dan seluruh keluarga haruslah menerimanya. Keluarga tersebut mau tidak

mau harus menanggung beban dan tanggungjawab tersebut serta menjadi sebuah

beban moril. Hal ini dikarenakan etnis Nias memiliki pepatah yang mengatakan

hakhö e be’e noro bio ba (sama siapa kamu kasih bebanmu yang udah gagal itu).

Serta pula, keluarga akan memiliki kesadaran diri penuh bahwa mereka memilik

seorang anak yang berusia dewasa belum menikah, misalnya dalam sebuha

keluarga terdapat yang belum menikah makan dengan santainya akan menyebutkan

jumlah anaknya dan mengenalkan bisa keluarganya bahwa salah satu anaknya

adalah Satua Barö.

Wawancara dengan Bapak Hia (55 tahun) yang merupaka tokoh masyarakat

Nias di Kota Medan, mengenai dampak dari labeling tersebut terhadap keluarga

mengatakan bahwa:

“kalau soal mengejek tidak cuman ada imbasnya hah gini kan ada faktor
kenapa bisa salah satunya tadikan jujurannya kan hah ketika banyak orang
yang sudah lanjut usia di rumahnya maka orang enggan mau melamar anak-
anak saudara kita. Iyah itu imbasnya tapi imbas jeleknya gak ada diejek
enggak, tapi imbasnya adalah ee anak saudara nya laki-laki yang punya anak
perempuan bisa berimbas ya orang tidak ee berkeinginana karena salah satu
faktor tadi jujuran karena kesitu faktornya bukan faktor yang beberapa tadi
hah faktor yang berimbas pada keluarga adalah faktor yang jujuran karena
mereka bilang ahkk makanya gak kawin-kawin anak saudara itu karena
besar kali jujuran jangan jangan kita ambil anaknya saudaranya begitu juga
hah itulah yang menjadi imbasnya tapi sekarang udah enggak. Hah karena
faktor jujuran tadi.”
“hah jadi didalam keluarga inikan ada bapak ada mama ada anak ada
perempuan ada laki-laki maka tentu misalnya ketika orang tuanya
72

meninggal yang utama dulu yang ketika dia lanjut umur ada anak laki-laki
itu tanggungjawab anak laki-laki baitu yang pertama pokoknya laki-laki lah
baik itu dari saudaranya kemudian contoh gak ada anaknya laki-laki yahh
saudaranya perempuan harus dia bertanggungjawab karena kenapa karena
saudaranya gak mungkin contoh adekmu perempuan kan contoh yang satu
lanjut usia diambil adekmu dia berkeluarga gak mungkin sampai hati
meninggalkan kamu kan gitukan rasa keterikatan batin itu ada tapi yang
utama kalau ada laki-laki itu yang utama tapi kalau agak ada laki-laki
perempuan pun harus bertanggungjawab kenapa karena pengganti orang tua
saudaranya laki-laki adalah saudaranya dan saudaranya perempuan tidak
bisa melepaskan tanggungjawab misalnya contoh ada saudaranya laki-laki
tua kamu itu tidak boleh tidak bisa meleparkan tanggungjawabnya. Hah
harus dia mengurus sama seperti mengurus orang tuanya. Itulah ikatan batin
gak bisa kita berikan sama orang banyak itu sampek meninggal.”
(Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Hia (55 tahun) menjelaskan bahwa

dampak yang dialami keluarga apabila dikeluarga tersebut memiliki banyak

perempuan belum menikah usia dewasa maka kebanyakan orang merasa enggan

untuk melamar anak dari saudara laki-laki si perempuan belum menikah tersebut.

Orang akan berpikir bahwa banyaknya perempuan belum menikah usia dewasa

didalam keluarga tersebut disebabkan oleh faktor jujuran atau mahar (böwö) yang

sangat besar, sehingga orang-orang tidak akan berani untuk melamar anak

perempuan saudara laki-laki dari perempuan belum menikah usia dewasa tersebut.

Selain itu, keluarga bertanggungjawab penuh terhadap kehidupan perempuan

belum menikah usia dewasa.

Bapak Hia (55 tahun) dalam wawancaranya juga menyampaikan terkait

dengan dampak yang dialami oleh keluarga apabila orang tua meninggat

mengatakan bahwa:

“Satua Barö ini tidak menerima harta kemudian satu baro ini dihargai
dimana kita tau kalau dia dihargai dia selalu memberikan ee kalau misalnya
dia selalu dipertanyakan ha sesuatu samanya kalau udah meninggal
73

orangtuanya curhat tempat keluarganya. Kek mama sa’a walaupun udah


pendeta bapa ama pini pasti curhat itu kaak jadi dia curhat tidak dianggap
direndahkan malah dia justru itu dia dinggap sebagai pengganti orang tua
begitu dia tidak direndahkan dan walaupun dia tidak anak yang paling tua
dia itu kalau sudah gak ada orang tua saudaranya yahh yang dia tinggal itu
selalu meminta pertimbangan-pertimbangan didalam keluarga dan memang
gitu dia.” (Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)

Apabila kedua orang tua dari perempuan belum menikah usia dewasa

meninggal dunia maka yang memiliki tanggungjawab penuh adalah saudaranya

laki-laki ataupun perempuan. Keluarga harus menerima tanggungjawab tersebut

dikarenakan itu merupakan tanggungjawab moril dan tugas yang diberikan.

Seorang Satua Barö dapat menjadi orang tua dalam keluarganya yang

menggantikan posisi orangtuanya, misalnya dalam pelibatan mengambil keputusan

dalam keluarga mereka akan bertanya atau mendiskusikan kepadanya.

Wawancara dengan Bapak Zega (50 tahun) mengenai dampak label Satua

Barö terhadap keluarga, mengatakan bahwa:

“sebenarnyakan di label itu kan seharusnya bisa ada rasa apa dengan
kelaurga ya secara psikologis artinya kalau anaknya tidak menikah mungkin
ada perasaan belum sempurna tugas orang tua Seharusnya ini memberi
dampak efek terhadap budaya Nias khususnya soal jujuran tadi jadi supaya
keluarga-keluarga tidak meminta jujuran atau upacara-upacara adat yang
berbelit-belit ya”.
“yahhh kadang-kadang ada orang tua di Nias sana tergantung terhadap
konsep mereka berpikir. Yah dia mungkin orang tua merasa sedih frustasi
anaknya belum menikah”
“kalau di Nias yahh barangkali masih ada, saya aja naak saya udah 34 tahun
umurnya belum menikah” (Wawancara pada tanggal 10 juli 2022)

Hasil wawancara dengan Bapak Zega (50 tahun) menjelaskan bahwa label

Satua Barö yang diberikan kepada seorang perempuan usia dewasa belum menikah

membawa dampak terhadap keluarga menurutnya, dampak tersebut berkaitan

dengan psikologi pada keluarga. Keluarga khususnya orang tua akan merasa sedih
74

bahkan frustasi ketika anaknya belum menikah. Hal ini disebabkan timbulnya

perasaan dari orang tua yang merasa belum sempurnanya tugasnya sebagai orang

tua dikarenakan anaknya belum menikah. Menurutnya label Satua Barö pada

perempuan belum menikah usia dewasa menjadi sebuah dampak besar terhadap

keluarga untuk tidak meminta jujuran atau mahar (böwö) yang sangat besar dan

pelaksanaan adat yang dinilainya berbeli-belit.

Selanjutnya, wawancara yang dilakukan dengan Ibu Zebua (43 tahun) pada

tanggal 05 juli 2022 mengenai label Satua Barö dampak terhadap keluarga,

menuturkan bahwa label Satua Barö yang diberikan padanya membuat keluarganya

hanya bersikap cuek dan santai saja. Keluarga beliau tidak terlalu memikirkan akan

label Satua Barö yang diberikan padanya mereka akan terus mendoakannya agar

mendapat jodoh. Serta pula, label Satua Barö membuat fokus untuk membantu

mengurus keperluan keluarganya.

Begitu pula yang di sampaikan oleh Ibu Telaumbanua (35 tahun) dalam

wawancara pada tanggal 09 juli 2022 bahwa tidak ada dampak negatif yang dialami

oleh keluarga perempuan belum menikah terhadap label Satua Barö. Justru label

tersebut menyebabkan perempuan belum menikah usia dewasa tersebut akan

membantu keluarganya misalnya membantu menyekolahkan keluarganya. Hal

inilah yang dialami oleh keluarganya, perempuan yang mendapat label Satua Barö

menjaid lebih fokus untuk membantu keluarganya.

Wawancara dengan Ibu Hia (55 tahun) mengenai dampak label Satua Barö

terhadap keluarga juga mengatakan bahwa:

“apa yang mau dibilang keluarganya kalau belum nikah dek aku aja dulu
waktu ada bapak ku ini yahh sedihlah dia waktu belum menikah aku tapi
75

waktu udah nikah udah tenang aja dia” (Wawancara pada tanggal 05 juni
2022)

Hasil wawancara dengan Ibu Hia (55 tahun) mengenai dampak label Satua

Barö terhadap keluarga menjelaskan bahwa ketika ia menerima label tersebut

keluarga khususnya orang tua akan bersedih. Akan tetapi, ketika anak

perempuannya sudah menikah akan ada perasaan bahagia yang orang tua

perempuan tersebut alami.

Terakhir, wawancara yang dilakukan dengan Tante Gea (55 tahun) yang

merupakan perempuan belum menikah usia dewasa (sampai saat), mengenai

dampak terhadap keluarganya karena ia belum menikah mengatakan bahwa:

“keluarga saya semuanya kalau umur begini tak usah menikah lagi hemm
nanti mereka merasa sedih juga kalau aku berpindah dari eee dari mereka
terasa sedih disana, terasa susah, tidak perduli lebih baik aku disamping
mereka aja sampai aku tua karena mereka semua pegawai negeri kan ada
biaya hidup. Yahh karena mereka sudah mengambil kesimpulan aku tetap
disamping mereka ajahh. Tak usah lagi jauh-jauh” (Wawancaraa pada
tanggal 22 juni 2022)

Berdasarkan wawancara dengan Tante Gea (50 tahun) menjelaskan bahwa

keluarganya tidak memutuskan pula bawah bila umurnya sudah sejauh ini

sebaiknya tidak usah menikah lagi. Menurutnya, keputusan yang diamil

keluarganya merupakan keputusan yang tepat karena ia merasa keluarganya

mengkhawatirkannya apabila ia menikah dikarenakan umurnya yang tidak muda

lagi. Keluarganya pula menerima dirinya yang belum menikah hingga saat ini dan

bersedia untuk mengurusnya hingga dia tua nantinya.

Label Satua Barö ternyata juga memberi dampak terhadap diri perempuan

belum menikah usia dewasa. Berdasarkan wawancara dnegan Bapak Zebua (41

tahun) mengatakan bahwa:


76

“banyaklah, dia menceritakan bahkan nangis pun sedihlah kadang coba dulu
kalau bapak dulu gak besar jujuran pasti aku udah punya anak kayak adekku
itu kayak gitu”
“kalau orang Nias malas berhubungan enggak, tapi mereka yang
menyingkir. Mereka bergabung dengan yang sudah muda-muda udah gak
lagi. Mereka mundur teratur mereka bergabung nanti sama mamak-mamak”
(Wawancara pada tanggal 19 juni 2022)

Hasil wawancara dengan Bapak Zebua (41 tahun) menjelaskan bahwa self

impact yang dirasakan oleh perempuan belum menikah usia dewasa yang mendapat

label Satua Barö pastinya sangat sedih bahkan bisa saja menangis. Timbulnya

perasaan kecewa terhadap keluarga yang terkadang terucap pada saat berbicara

ketika sedang membandingkan dirinya dengan saudaranya yang sudah menikah,

yang disebabkan oleh jujuran atau mahar (böwö) pada saat tersebut. Selain itu pula,

timbulnya kesadaran diri terhadap perempuan tersebut yang menyebabkannya

dirinya memilih dengan siapa ia bergaul dan pula timbulnya perasaan untuk

menjauh dari kelompok etnisnya.

Dampak label Satua Barö terhadap diri perempuan belum menikah usia

dewasa juga dijelaskan oleh Bapak Hia (55 tahun) ia mengatakan bahwa:

“Hemm pokoknya dia orang Satua Barö ini satu di tidak berpikir macam-
macam ya harus bekerja saja hah yang kedua kalau misalnya ada saudaranya
ketika tidak ada saudaranya laki-laki atau gak adalah saudaranya maka dia
fokus kerja hah pada umumnya berhasil itu banyak hartanya. Ketika dia
banyak hartanya yahh bisa dia jadi saluran berkat kepada saudara terdekat
bisa dibantunya. So daö ba khöda ifangowalu nono dalifuse nia batoröi
khönia ba daö zondorogö yaiya hah itu akibat sebenarnya tidak harus dia
pikirkan. Dia tidak memiliki beban moral bahwa dia Satua Barö kedua
ketika gak ada keluarganya dia mau bekerja tapi ketika dia berhasil banyak
hartanya pada umumnya bisa jadi saluran berkat bagi sanak keluarganya.”
(Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)

Berdasarkan penjelasan dari Bapak Hia (55 tahun) self-impact yang di

terima perempuan belum menikah usia dewasa tersebut ialah tidak memiliki
77

tanggungjawab apapun sehingga menyebabkan ia hanyalah fokus untuk bekerja

saja. Selain itu, perempuan belum menikah usia dewasa yang mendapat label Satua

Barö akan menjadi saluran berkat bagi keluarganya misalnya membantu

perekonomian dari keluarganya. Serta pula, perempuan belum menikah usia dewasa

ini bisa menikahkan anak dari saudaranya yang seharusnya tidak dia pikirkan, hal

tersebut terbukti dari kisah adanya Satua Barö yang menikahkan anak dari

saudaranya itulah yang mengurus dia akhirnya (So daö ba khöda ifangowalu nono

dalifuse nia batoröi khönia ba daö zondorogö).

Selanjutnya, wawancara dengan Ibu Zebua (43 tahun) pada tanggal 05 juli

2022 mengenai self-impact terhadap dirinya sendiri akibat dari label Satua Barö, ia

menyampaikan bahwa pada saat dirinya mendapat label Satua Barö ia hanya sabar.

Menurutnya label Satua Barö tersebut membuatnya menjadi cuek dan menganggap

santai label tersebut. Akibat dari label Satua Barö yang diterimanya ia menjadi

lebih fokus untuk bekerja dan berusaha mencari kesibukkan dirinya sendiri agar

tidak memikirkan label tersebut. Serta pula, ia terus mendoakan jodohnya sendiri.

Adapun wawancara yang dilakukan dengan Ibu Telaumbanua (35 tahun)

terkait pula self-impact label Satua Barö, mengatakan bahwa:

“yahhh kerja dia lah dek biar ada uangnya kadangpun dibantunya
kelaurganya karenakan gak ada tanggungannya uangnya pun ada kemana
dikasihnya yah sama keluarganyalah dikasihnya dibantunya keluarganya
ntah dikasihnya uang belanja” (Wawancara pada tanggal 09 juli 2022)

Hasil wawancara dengan Ibu Telaumbanua (35 tahun) menjelaskan bahwa

perempuan yang mendapat label Satua Barö akan lebih memfokuskan dirinya untuk

bekerja daripada memikirkan label tersebut. Hal tersebut terjadi kerena menurutnya

jika dia bekerja untuk menghasilkan uang sehingga bisa membantu keperluan
78

keluarganya. Dengan kata lain label Satua Barö menyebabkan seorang perempuan

akan lebih fokus bekerja untuk menghasilkan uang tanpa harus memikirkan label

tersebut.

Hal serupa juga disampaikan oleh Ibu Hia (55 tahun) mengenai self-impact

dari label tersebut mengatakan bahwa:

“pasti sedih dek ada rasa sedih di hatinya itu karenakan dia gak nikah bale
kalau apa nanti kadang merasa minder dia kalau menjumpai orang katanya
ihh belum nikah aku gak usah lah kesana kadnag bisa aja nanti dibilangnya
itu tapi kalau udah biasa itu dia udah gak ada lagi itu udah biasa aja udah
dibawa santai aja” (Wawancara pada tanggal 05 juli 2022)

Hasil wawancara dengan Ibu Hia (55 tahun) menjelaskan bahwa self-impact

yang dialami oleh perempuan belum menikah usia dewasa pastinya merasakan

kesedihan. Terdapat perasaan minder ketika berjumpa dengan orang banyak

dikarenakan belum menikah. Perasaan tersebut muncul akibat dari perkataan orang

lain padanya karena belum menikah. Selain itu, label Satua Barö yang diberikan

pada perempuan belum menikah usia dewasa akan dibawa santai saja dikarenakan

sudah terbiasa akan kehadiran label tersebut.

Sementara wawancara yang dilakukan dengan Tante Gea (50 tahun) terkait

dengan dampak dari keputusannya belum menikah mengatakan bahwa:

“ooo baru saya sedih itu kalau mereka, mereka sakit ada persoalan mereka
dikampung ada problema ada kekurangan materi saya ikut susah juga
mengenai pribadi saya, saya tak pernah mau menerima susah karena Tuhan
itu adil dia memberikan mana yang terbaik untuk kita kebutuhan hidup kita.
Dialah yang mencukupi segala sesuatu tak usah di dalam Alkitab tak usah
sedih tak usah susah tapi kalau susah itu kalau saya ingat keluarga saya ada
yang sakit ada yang kekurangan materi ada yang problema yahhh ikut saya
sedih juga karena keluarga saya” (Wawancara pada tanggal 22 juni 2022)
79

Hasil wawancara dengan Tante Gea (50 tahun) mengenai dampak

keputusannya belum menikah terhadap dirinya menurutnya tidak berdampak

apapun. Ia tidak mau memikirkan kesusahan akibat belum menikah hingga saat ini.

Baginya meskipun ia belum menikah ia percaya bahwa Tuhan akan menolongnya

sesuai yang dia butuhkan. Ia percaya bahwa segala sesuatu yang dia butuhkan telah

disediakan Tuhan. Selain itu, ia hanya akan bersedih apabila keluarganya mendapat

masalah amak ia akan ikut bersedih akan hal yang menimpah keluarganya.

4.4 Upaya yang dilakukan perempuan belum menikah usia dewasa

Label Satua Barö yang diterima oleh perempuan belum menikah etnis Nias

tentunya memiliki tantangan tertentu. Tantangan akibat label tersebut tentunya

dialami secara langsung oleh perempuan belum menikah usia dewasa. Hal tersebut

menyebabkan dibutuhkan upaya agar tidak diberi label lagi atau dengan kata lain

agar label itu tidak mempengaruhi kehidupan dari perempuan belum menikah etnis

Nias.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Zebua (41 tahun) mengenai

tantangan yang dihadapi oleh perempuan belum menikah usia dewasa yang

mendapat label Satua Barö mengatakan bahwa:

“kalau dijuluki kali belum cuman diomong-omongi orang lain. Kalau


dijuluki nanti 40-45 tahun. Udah mulai dijuluk-juluki nanti satua barö satua
barö apalagi di Medan ini kan 30 tahun masih bisa itu belum dijuluki ornag
kali itu. Yahh tapi jangan khawatir juga sih menurut aku sih jangan terlalu
dikhawatirkan berdoa. Menikah tapi kalau jodohnya asal-asal yakan. Nah
jangan nanti karena takut jadi Satua Barö jadi kawin lari gegara asal-asalan
aja. Lebih berharga satua barö dari yang hamil diluar nikah atau kawin lari
diadat Nias ya. Walaupun nanti sama adatnya kalau pun nanti sudah nikah
karena ada anaknya kan. Tapi sampek anaknya nanti anaknya bertingkah
ooo solohi ina mo hah kan. Kalau Satua Barö enggak, kalau misalnya eee
80

apa ee ada perempuan Nias menikah dia di ganggu ganggu, cantik misalnya
kan laki-laki ada laki-laki ganggu dia gak tergiur dia. Apa dikata orang
berpedoman dia sama tantenya itu walaupun atua baro tetap dijaganya
dirinya itukan. Jadi teladan yang baik juga kalau dia sampai akhirnya. Malah
pun gini layan kalau misalnya umur 50 tahu udah kebanyakan dibilang
udahlah gak usah lagi menikah”
“iya kalau cerewet dia diblg itu Satua Barö, kalau yang punya anak dibilang
gak pernah dia merasakan punya anak ya gitu pulak. Walaupun gak dibilang
sama dia dibelakangnya dibelakangnya nanti dibilang mak di marahin tante
itu yahh namanya satua barö.”
“eee banyak beban, gapapa kalau suaminya bagus contoh ini ya udah
kubilang sama mamatalumu ina anggi kalau apa gak usah lagi menikah
itukan memang ada jodohnya yaudah. Kenapa alasannya gitu lebih bagus
buka usahamu Satua Barö nikmati hidupmu ada anak-anakku kok tapi
kemarin dia gak mau dia apa juga nanti kekhawatiran orang itu juga gpp
istri kalian bagus-bagus kalau enggak kalian bisa. Itu pulak ya he, kadang
satua barö ini juga sempat gak bagus istri saudaranya jadi budak juga. Jadi
pembantu itu pulak.” (Wawancara pada tanggal 19 juni 2022)

Hasil wawancara dengan Bapak Zebua (41 tahun) menjelaskan bahwa

tantangan yang diterima oleh perempuan belum menikah usia dewasa ialah akan

menjadi bahan gosip orang lain karena belum menikah. Selain itu, ia akan menjadi

buah bibir orang-orang apabila memiliki sifat yang tidak disenangi oleh orang lain.

Seseorang yang mendapat label Satua Barö juga akan mendapat julukan apabila

dianggap oleh masyarakat memiliki umur yang sudah pantas untuk dijuluki

misalnya sudah berkisar umur 40-45 tahun. Serta pula, orang-orang akan selalu

memberikan identitas sebagai Satua Barö apabila melakukan kesalahan. Label

Satua Barö ini pula ditakutkan akan menjadi sebuah hal yang dikhawatirkan oleh

perempuan belum menikah usia dewasa untuk melakukan penyimpangan norma

dan nilai sosial yang berlaku di etnis Nias. Kekhawatiran lainnya, apabila

perempuan belum menikah usia dewasa yang mendapat label Satua Barö memiliki

saudara ipar yang tidak menyukainya maka bisa saja menjadi pembantu dalam
81

rumah tersebut. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh

seorang perempuan belum menikah usia dewasa.

Wawancara dengan Bapak Hia (55 tahun) mengenai tantangan yang dterima

perempuan yang mendapat label Satua Barö mengatakan bahwa:

“mungkin ketika ada saudaranya yang ngurus happy happy aja dia mau kerja
tapi kalau gak ada saudaranya hah bagaimana kan jadi satu beban pemikiran
itu apa yang harus dilakukannya ya mengandalkan dirinya sendiri….”
(Wawancara pada tanggal 03 juli 2022)

Hasil wawancara dengan Bapak Hia (55 tahun) menjelaskan bahwa seorang

yang mendapat label Satua Barö akan merasa happy ketika ada saudara yang

mengurusnya. Ia akan fokus untuk bekerja karena masih memiliki saudara yang

akan mengurusnya. Namun, jika dia tidak memiliki saudara maka itu akan menjadi

tantangan dan beban pikiran tersendiri untuk dirinya. Ia harus mengandalkan diri

sendiri.

Berdasarkan wawancara dengan Ibu Telaumbanua (35 tahun) mengenai

tantangan yang ia alami label Satua Barö terhadap dirinya mengatakan bahwa:

“belum punya komitmen untuk menikah apalagi pernikahan itu kan cuman
sekali seumur hidup kalau nikah aku cuman gara-gara takut sama gosip bisa
aja cerai aku nanti” (Wawancara pada tanggal 09 juni 2022)

Menurut Ibu Telaumbanua (35 tahun) tantangan yang dialami perempuan

belum menikah etnis Nias akibat dari label Satua Barö ialah mendapat gosip dari

orang sekitar. Label Satua Barö yang dia terima membuatnya harus berpikir lebih

jauh tentang pernikahan. Selain belum memiliki komitmen untuk menikah iya juga

takut untuk bercerai hanya dikarenakan ingin menikah untuk menghindari label

yang diberikan.
82

Selanjutnya, berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Tante Gea (50

tahun) pada tanggal 22 juni yang merupakan perempuan belum menikah usia

dewasa, mengenai tantangan yang ia hadapi dengan statusnya belum menikah

menyampaikan bahwa tantangan yang ia hadapi dengan statusnya yang belum

menikah adalah ketika menyangkut permasalahan yang dialami keluarganya.

Baginya apabila keluarganya sakit atau mengalami persoalan ia akan turut sedih.

Merasakan kesusahan yang dialami oleh keluarganya pula dan merasa susah

mengingat kondisi sendiri.

Adapun upaya yang dilakukan oleh perempuan belum menikah usia dewasa

mengenai label Satua Barö. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Zebua (41

tahun) mengatakan bahawa:

“satua barö itu harus enjoy menerima label ini. karena lebih berharga satua
barö daripada hamil diluar nikah atau kawin lari yahh satua barö itu harus
enjoy menerima label ini. karena lebih berharga satua barö daripada hamil
diluar nikah atau kawin lari yahh” (Wawancara pada tanggal 19 juni 2022)

Hasil wawancara dengan denga Bapak Zebua (41 tahun) mengenai upaya

yang dilakukan perempuan belum menikah usia dewasa yang mendapat label Satua

Barö haruslah tetap menikmati hidupnya. Dengan perasaan enjoy akan label yang

diberikan kepadanya. Menurut Bapak Zebua (41 tahun) karena label Satua Barö

yang diberikan kepadanya bukanlah sebuah label yang sangat memalukan.

Menurutnya, label Satua Barö lebih berharga dari pada orang yang hamil diluar

nikah atau kawin lari.


83

Sementara, wawancaa dengan Bapak Hia (55 tahun) mengenai upaya yang

dilakukan oleh perempuan belum menikah usia dewasa yang mendapat label

tersebut mengatakan bahwa:

“Hemm pokoknya dia orang satua barö ini satu di tidak berpikir macam-
macam ya harus bekerja saja hah yang kedua kalau misalnya ada saudaranya
ketika tidak ada saudaranya laki-laki atau gak adalah saudaranya maka dia
fokus kerja hah pada umumnya berhasil itu banyak hartanya. Ketika dia
banyak hartanya yahh bisa dia jadi saluran berkat kepada saudara terdekat
bisa dibantunya.” (Wawancara pada tangaal 03 juli 2022)

Menurut Bapak Hia (55 tahun) upaya yang dilakukan perempuan yang

mendapat label Satua Barö adalah dnegan tidak memikirkan label tersebut. Ia dapat

fokus bekerja untuk bisa tidak memikirkan label tersebut. Selanjurnya, perempuan

yang mendapat label tersebut bisa memfokuskan dirinya untuk membantu

saudaranya yang kesusahan sehingga ia menjadi saluran berkat bagi saudaranya

sendiri.

Wawancara dengan Ibu Zebua (43 tahun) yang dilakukan pada tanggal 05

juli 2022 mengenai upaya yang dilakukan perempuan yang mendapat label tersebut

adalah dengan meningkatkan keterampilan diri dari perempuan tersebut.

Keterampilan yang dapat dilakukannya misalnya belajar salon dan menjahit. Selain,

membantu menimalisir akan label tersebut kegiatan itu juga mampu menjadi daya

jual tersendiri bagi perempuan yang mendapat label untuk meningkatkan taraf

hidupnya menjadi lebih baik.

Pernyataan serupa juga dikatakan oleh Ibu Telaumbanua (35 tahun)

mengatakan bahwa:

“menurut ku agar perempuan itu gak digosipkan dia harus menititip eee
sesuatu harus dilakukannya apa ya dia harus berketerampilan berbakat
84

tinggilah misalnya menyanyi dipanggung ee menjahit eee salon emm buka


usaha gitulah” (Wawancara pada tanggal 09 juni 2022)

Menurut Ibu Telaumbanua (35 tahun) berdasarkan hasil wawancara

memiliki pendapat yang sama dengan Ibu Zebua (43 tahun). Menurutnya

perempuan yang mendapat label Satua Barö agar tidak mendapat gosip lagi ia harus

memiliki keterampilan dalam dirinya. Keterampilan tersebut bisa meliputi

bernyanyi, menjahit salon, bahkan membuka usaha sendiri. Hal tersebut dilakukan

untuk meminimalisir akan label yang diberikan, karena apabila memiliki

keterampilan yang banyak bisa meminimalisir gosip yang beredar temasuk label

tersebut.

Sedangkan, berdasarkan wawancara dengan Ibu Hia (55 tahun) upaya yang

dilakukan perempuan yang mendapat label Satua Barö menjelaskan bahwa

perempuan yang belum menikah usia dewasa yang mendapat label Satua Barö tidak

perlu memikirkan label tersebut. Menurutnya agar label itu tidak terlalu dipikirkan

sebbaiknya fokus untuk bekerja membantu keperluan keluarganya. Selain itu, juga

upaya yang dilakukan yaitu fokus terhadap dirinya sendiri tanpa memperdulikan

label tersebut.

Sedangkan wawancara yang dilakukan dengan Tante Gea (50 tahun)

mengenai dirinya yang belum menikah mengatakan bahwa:

“Terus karena udah terlanjur umur saya ambil kesimpulan aku melayani
Tuhan aja tidak, saya bawa happy aja. Senang-senang aja karena di dalam
alkitab di dalam Korintus dikatakan siapa yang tak pernah menyusui anak
lebih diberkati Tuhan lagi. Makanya saya menetapkan hati hanya
mengandalkan Tuhan aja hidup dan mati hanya kepada Tuhan kuserahkan”
(Wawancara pada tanggal 22 juni 2022)
85

Menurut Tante Gea (50 tahun) yang merupakan informan penelitian ia tidak

terlalu memikirkan statusnya yang belum menikah. ia merasakan kebahagian

meskipun dengan status belum menikah. Menurutnya, ia tidak perlu khawatir

terhadap statusnya bahkan hidupnya sendiri sebab ia percaya bahwa Tuhan yang

menjadi penolongnya sehingga. Hal tersebut menjadikannya lebih memantapkan

hatinya untuk melayani Tuhan dengan statusnya tersebut.

Melihat kenyataan yang diperoleh dari hasil penelitian terkait dengan

labeling Satua Barö pada perempuan dewasa belum menikah etnis Nias di Kota

Medan sejalan dengan teori labeling yang mengatakan bahwa labeling merupakan

reaksi orang lain (diluar dirinya) dan pengaruh yang ditimbulkan sebagai akibat dari

penyimpangan yang dihasilkan (Becker, 2018). Labeling yang dialami oleh

seseorang merupakan dampak dari orang lain kepada individu dikarenakan merasa

individu itu melakukan hal yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Labeling

Satua Barö yang diberikan pada perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias

menjadi sebuah identitas diri yang diberikan oleh etnis Nias sebagai pembeda

ditengah-tengah kehidupan sosial. Pemberian label ini sebagai tanda identitas,

karena perempuan yang telah berusia dewasa seharusnya menikah, sehingga akan

menjadi sebuah hal yang dianggap tidak biasa apabila seorang perempuan yang

berusia dewasa tak kunjung menikah.

Teori labeling menyatakan dua hal yang sangat penting yaitu pertama, orang

berperilaku normal atau tidak normal, menyimpang atau tidak menyimpang,

tergantung terhadap bagaimana orang lain menilainya. Hal ini membuktikan bahwa

label Satua Barö menyatakan bahwa perempuan belum menikah usia dewasa
86

merupakan perilaku yang tidak normal bagi etnis Nias. Akibat dari belum

menikahnya seornag perempuan usia dewasa menyebabkan orang-orang sekitar

memberinya label. Label ini memberi dampak pada perempuan yang mendapat

label. Dampak tersebut merupakan akibat dari reaksi yang diberikan oleh kelompok

etnis Nias terhadap label Satua Barö, yang umumnya tidak hanya berdampak pada

diri individu saja melainkan pada keluarga dan kehidupan sosial budayanya.

Dampak tersebut terbagi menjadi empat kategori meliputi, 1) dampak terhadap

kedudukan dan tanggungjawab dalam adat, 2) dampak terhadap hubungan sosial,

3) dampak terhadap keluarga, dan 4) self impact. Keempat dampak yang dialami

tersebut tentunya mempengaruhi kehidupan dari perempuan belum menikah usia

dewasa, hal ini membuat ia memiliki keterbatasan terhadap ruang dan geraknya

dalam kegiatan sosial budayanya.

Labeling Satua Barö yang diterima oleh perempuan belum menikah usia

dewasa juga pula secara tidak langsung merupakan langkah yang dilakukan oleh

etnis Nias, untuk meminimalisir keberadaan dari Satua Barö yang berguna untuk

mempertahankan struktur sosial yang ada di etnis Nias. Hal ini sejalan dengan teori

struktural fungsional oleh Radcliffe brown yang mengatakan bahwa aspek perilaku

sosial bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tetapi justru

untuk mempertahankan stuktur sosial masyarakat. Pada kenyataannya di etnis Nias

sebuah pernikahan bukan hanya untuk memuaskan diri dari salah satu pihak tetapi

untuk mempertahankan struktur sosial yang ada di masyarakat. Sehingga membuat

generasi Nias harus memelihara keberadaan struktur sosial melalui hubungan

pernikahan. Apabila seorang perempuan belum atau bahkan memutuskan untuk


87

tidak menikah tentunya akan mengganggu stabilitas dari regenerasi etnis Nias.

sehingga dapat dikatakan label Satua Barö merupakan antisipasi regenerasi etnis

Nias.

Perempuan belum menikah usia dewasa merupakan bagian dari struktur

masyarakat Nias, akan tetapi tidak memiliki fungsi dalam kegiatan yang

berlangsung dalam struktur masyarakat. Meskipun demikian, keberadaan dari

perempuan belum menikah usia dewasa haruslah tetap diakui oleh etnis Nias karena

mereka bagian dari masyarakat Nias meskipun dalam status adat mereka tidak

memiliki fungsi tetapi dalam keluarga mereka memiliki peran untuk membantu

perekonomian keluarga. Hal inilah yang menyebabkan etnis Nias mengakui

keberadaan dari perempuan belum menikah usia dewasa.

Teori stuktural fungsional yang diangkat pula memberikan gambaran

adanya hubungan antara label yang diberikan dengan karakteristik dari label Satua

Barö. Hal ini terlihat apabila seorang perempuan belum menikah usia dewasa maka

tidak terjadi perubahan nama adat bahkan kedudukan dan tanggung jawab dalam

adat tidak dimiliki, sehingga akan merusak tatanan dari stuktur sosial yang ada. Hal

lainnya yaitu perempuan belum menikah usia dewasa memiliki faktor penyebab

dari keputusannya yang berkaitan dengan budaya yang ada. Famaigi niha dan böwö

merupakan budaya yang ada di etnis Nias yang mempengaruhi keberadaan dari

label Satua Barö. Hal ini terjadi dikarenakan mengingat bahwa etnis Nias sangatlah

menghargai tatanan struktur sosial dan budaya yang ada sehingga apabila seseorang

tidak menikah akan berdampak pada kegiatan famaigi niha dan böwö yang ada

dikarenakan etnis Nias sangat menjunjung tinggi budayanya. Akan tetapi, budaya
88

tersebutlah yang menjadi faktor penyebab dari label Satua Barö, sehingga melalui

label diberikan guna menjaga kelangsungan dari keberadaan etnis Nias.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai

Labeling Satua Barö Pada Perempuan Belum Menikah Usia Dewasa Etnis Nias di

Kota Medan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Latar belakang label Satua Barö pada perempuan belum menikah usia

dewasa etnis Nias di Kota Medan adalah label Satua Barö berasal dari Pulau

Nias, dan dibawa melalui kegiatan merantau ke Kota Medan. Penyebaran

label tersebut dilakukan secara lisan melalui cerita-cerita yang disampaikan

oleh perantau dari Nias atau orang tua. Satua Barö adalah orang yang telah

berusia dewasa dan belum menikah serta, biasanya diberikan kepada

perempuan etnis Nias dan dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai gadis tua.

Label Satua Barö sebenarnya bukan hanya diberikan pada perempuan saja

tetapi juga pada laki-laki. Akibat dari budaya patriarki yang ada label

tersebut menjadi tidak terlalu terlihat pada laki-laki. Faktor penyebab dari

banyaknya perempuan belum menikah usia dewasa yaitu karena belum

menemukan jodoh, adanya kegiatan famaigi niha (perjodohan), böwö atau

jujuran, pernikahan kasta yang ada di masyarakat, terlalu memilih

dalammenentukan jodoh, menempuh pendidikan, karier, tidak

menginginkan pernikahan satu marga, lokasi tempat ting gal setelah

menikah, adanya beban, tidak memiliki komitmen berumah tangga.

89
90

2. Dampak yang ditimbulkan dari labeling Satua Barö pada perempuan belum

menikah usia dewasa etnis Nias di Kota Medan adalah 1) dampak terhadap

kedudukan dan tanggungjawab dalam adat meliputi tidak dapat melakukan

kegiatan fotu ononihalö (pemberian nasihat pada calon mempelai

perempuan sebelum pernikahan dilangsungkan), tidak ada kedudukannya

dan tidak mendapatkan bagian dari harta warisan, tidak dibebankan dalam

membayar kewajiban adat terhadap pihak paman, tidak dapat menempati

posisi adat yaitu fadono atau ono alawe 2) Dampak terhadap hubungan

sosial meliputi tidak ada rasa malu untuk bergaul, dan memilih-milih dalam

pertemanannya. 3) dampak terhadap keluarga meliputi perasaan sedih dari

orang tua, keluarga memiliki beban dan tanggungjawab akan kehidupan

perempuan belum menikah usia dewasa, keluarga akan memiliki kesadaran

diri penuh, orang lain akan enggan untuk melamar anak dari saudara laki-

laki perempuan belum menikah usia dewasa. 4) self impact meliputi adanya

perasaan sedih, minder, cuek dan santai terhadap label Satua Barö,

timbulnya perasaan kecewa terhadap keluarga, timbulnya kesadaran diri

terhadap perempuan, semakin fokus untuk bekerja, menjadi saluran berkat

bagi keluarganya, semakin giat mendoakan jodohnya, dan ikut menanggung

beban keluarga. Dampak ini akan mengganggu secara psikologis yang

dialami perempuan belum menikah usia dewasa yang mendapat label Satua

Barö.

3. Upaya yang dilakukan perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias di

Kota Medan agar tidak diberi labeling Satua Barö meliputi tetap menikmati
91

hidupnya, tidak memikirkan perkataan orang lain, fokus untuk bekerja dan

membantu keluarga, berusaha meningkatkan keterampilan yang dimiliki,

dan melayani Tuhan. Upaya tersebut dirasa mampu meminimalisir label

yang diberikan tersebut. Meskipun label tersebut tidak hilang dengan

sendirinya kecuali perempuan tersebut menikah dan mengalami perubahan

nama dan mendapat gelar adat yaitu “barasi”.

5.2 Saran
Adapun saran-saran yang bisa diberikan penulis terkait dengan Labeling

Satua Barö Pada Perempuan Belum Menikah Usia Dewasa Etnis Nias di Kota

Medan sebagai berikut:

1. Bagi perempuan belum menikah usia dewasa etnis Nias yang mendapat

label Satua Barö tidak terlalu memikirkan label yang diberikan oleh orang

lain. Kiranya, perempuan belum menikah usia dewasa bisa menikmati

hidupnya dengan happy. Sebaiknya kekhawatiran terhadap keluarganya

tidak menjadi beban pikiran sendiri perempuan belum menikah usia dewasa

karena ada saudara ataupun keluarga lainnya yang memikirkannya

2. Bagi orang tua ataupun keluarga etnis Nias sebaiknya tidak terlalu

memberatkan permasalahan böwö atau jujuran/mahar kepada calon

mempelai pihak laki-laki. Untuk saat ini diharapkan tidak lagi terlalu

memaksa untuk kegiatan famaigi niha (perjodohan) karena akan membatasi

ruang gerak perempuan untuk berinteraksi dengan lawan jenis. Serta pula,

melihat bahwa anak laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama

meskipun etnis Nias meneganut budaya patriarki. Selain itu, diharapkan


92

orang tua ataupun keluarga turut mendukung segala aktivitas yang

dilakukan oleh perempuan yang mendapat label Satua Barö agar tidak

memikirkan label tersebut. Orang tua ataupun keluarga juga sebaiknya tidak

terlalu memikirkan label tersebut karena dikhawatirkan akan mengganggu

psikis dari anggota keluarga lainnya.

3. Bagi masyarakat Nias sebaiknya tidak terlalu membicarakan perempuan

belum menikah usia dewasa dikarenakan akan mengganggu segala aktivitas

yang dilakukannya baik itu dirinya maupun keluarga. Diharapkan pula

untuk selalu menerima dengan baik perempuan belum menikah etnis Nias

yang mendapat label Satua Barö.

4. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan penelitian menjadi penelitian lanjutan

terkiat dengan label-label yang diberikan oleh sekelompok etnis, khususnya

etnis Nias. Diharapkan terdapat penelitian lanjutan terkait dengan kondisi

psikologis yang dialami, perspektif dari orang sekitar terkait label dan

sebagainya. Sehingga dapat membantu meningkatkan wawasan umum

terkait label yang diberikan.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, D. & H., A. N. 2005. Teori Penjulukan. Mediator, Vi(2), Pp. 297-306.

Apriliyani & Cintia, D. 2018. Labeling Pada Perempuan Maskulin, Malang:

Repository.Ub.Ac.Id.

Arsip Daerah Pemerintah Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. 2022. Peta Kota
Medan. Available At: http://arsip.pemkomedan.go.id/content/peta-kota-
medan.html [Accessed 30 Juli 2022].

Becker, Horward. 2018. Outsiders: Studies In The Sociologu Of Deviance. New

York: Free Press.

Bolen, J. S. 2021. Goddesses In Everywoman: Powerful Archetypes In Women's

Lives. 1 Ed. Yogyakarta: Ircisod.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2021. Jumlah Penduduk Menurut
Kabupaten/Kota dan Agama yang Dianut, 2020. Available At:
https://sumut.bps.go.id/statictable/2021/04/21/2289/jumlah-penduduk-
menurut-kabupaten-kota-dan-agama-yang-dianut-2020.html [Accessed 30
Juli 2022].
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2022. Penduduk, Laju
Pertumbuhan Penduduk, Distribusi Persentase Penduduk, Kepadatan
Penduduk, Rasio Jenis Kelamin Penduduk Menurut Kabupaten/Kota, 2020
dan 2021. Available At:
https://sumut.bps.go.id/statictable/2022/03/04/2535/penduduk-laju-
pertumbuhan-penduduk-distribusi-persentase-penduduk-kepadatan-
penduduk-rasio-jenis-kelamin-penduduk-menurut-kabupaten-kota-2020-
dan-2021.html [Accessed 30 Juli 2022].

93
94

Creswell, J. W. 2016. Research Design : Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif

Dan Campuran. 1 Ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dachi, O., et al. 2018. Perkawinan Usia Anak di Nias. Gunung Sitoli: Lembaga

Penelitian STT BNKP Sunderman.

Fakih, M. 2008. Analisis Gender Dan Transformasi Sosial. 12 Ed. Yogyakarta:

Pustaka Belajar.

Fauzana, A. 2019. Gadih Gadang Alun Balaki Studi Terhadap Perempuan

Berstatus Belum Menikah Di Nagari Padang Laweh Malalo, Kecamatan

Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Padang: Universitas Andalas.

G., Wahyuddin. 2017. Aliran Struktural Fungsional (Konsepsi Radcliffe Brown).

Jurnal Al-hikmah, XIX(2).

Gulo, Y. 2019. Ketidakadilan Budaya Patriarkhi Terhadap Perempuan Di Nias.

Jupiis: Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial,, XI(1), Pp. 10-20.

Gustanto, Wanti, A. D., Setiawan, I. & Fitrina, . N. C. 2005. Adat Dan Budaya Suku

Bangsa Nias Sumatera Utara. 1 Ed. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah Dan

Nilai Tradisional Banda Aceh.

Hardani, Et Al. 2020. Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. 1 Ed.

Yogyakarta: Cv. Pustaka Ilmu.

Islahuddin & Nur, C. 2019. Lokadata.Id. [Online]

Available At: Https://Lokadata.Id/Artikel/Hidup-Lajang-Sebuah-Pilihan

[Accessed 24 Januari 2022].

Jahja, Y. 2011. Psikologi Perkembangan. 1 ed. Jakarta: Kencana.


95

Maulana, M. 2016. Labeling'cabe-Cabean' Sebagai Faktor Pendorong Perilaku

Menyimpang : Studi Kasus Remaja Perempuan Cabangbungin Bekasi,

Jakarta: Program Studi Pendidikan Sosiolagi Jurusan Sosiolgi Fis Unj.

Narwoko, J. & Suyanto, B. 2004. Sosiologi: Teks Pengantar Dan Terapan. 2010

Ed. Jakarta: Prenada.

Nduru, Efentinus. 2017. Perempuan dan Adat Perkawinan (Studi Tentang

Marginalisasi Perempuan dalam Jujuran Adat Istiadat Perkawinan di Nias.

Community, III(1).

Rahmalia, D. 2018. Makna Hidup Pada Wanita Dewasa Madya Yang Belum

Menikah. Kognisi Jurnal, III(1), Pp. 29-44.

Rengkaningtias, A. U. 2018. Perempuan Dalam Pandangan Media:Labelisasi

Perempuan Sebagai “Agent Of Problem” Pada Koran Merapi. Jurnal

Communication, Ix(1), Pp. 35-52.

Rosramadhana, et al. 2020. Menulis Etnografi: Belajar Menulis Tentang

Kehidupan Sosial Budaya Berbagai Etnis. 1 ed. Medan: Yayasan Kita

Menulis.

Rokhmansyah, A. 2016. Pengantar Gender Dan Feminisme: Pemahaman Awal

Kritik Sastra Feminisme. 1 Ed. Yogyakarta: Garudhawacana.

Schram. 2018. Introduction to Criminology, s.l.: Sage Publishing.

Spradley, J. P. 2015. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sugiono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif

dan R&D). Bandung: Alfabeta.

Sujono, D. 2001. Synopsis Kriminologi. Bandung: Mandar Maju.


96

Tamdee, P., Dendoung , S., Muttiko, M. & Sringernyuang , L. 2016. Modern social

life and never-married women's health problems. Kasetsart Journal Of

Social Sciences, Issue 37, pp. 15-21.

Telaumbanua, E. 2017. Antara “Nias Pulau Impian” Dan “Pulau Sejuta Budaya”.

[Online]

Available At: Https://Kabarnias.Com/Sudut-Pandang/Opini-Warga/Antara-

Nias-Pulau-Impian-Dan-Pulau-Sejuta-Budaya-8374

[Accessed 31 Januari 2022].

Wiradnyana, K. 2010. Legitimasi Kekuasaaan Pada Budaya Nias:Panduan

Penelitian Arkeologi Dan Antropologi. 1 Ed. Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor Indonesia.

Yesyca, M., Lase, F. J. & Anggraini , N. 2018. Pemetaan Kekerasan Antarpribadi

Terhadap Perempuan Di Kabupaten Nias Tahun 2009-2016. Masyarakat,

Kebudayaan Dan Politik, XXXIV(1), Pp. 24-35.


GLOSARIUM/DAFTAR ISTILAH

Alisi : Ukuran besar babi

Banua : Kampung

Barasi : Gelar adat yang diberikan pada perempuan sudah menikah

Barö : Disisi keluarga

Batoröi : Tinggal

Be’e : Berikan

Bio : Tanggaung jawab

Böwö : Jujuran atau Mahar

Dalifuse : Saudara

Döfi : Tahun

Fadono : Saudara Perempuan yang sudah menikah

Famaigi : Melihat

Fangerai : Menghitung

Fondrakö : Hukum adat Nias

Hakhö : Kepada siapa

Ifangowalu : Dinikahkan

Ina : Ibu

Ionaya Nuwu : Paman dari Ibu

Khönia : Kepunyaan dia

Lahömi : Nama sungai di Nias Barat

Motu Ononihalö : Pemberian Nasihat pada pengantin

Niha : Orang atau manusia

97
98

Ngaötö : Keturunan

Nogu : Anak

Noro : Beban

Ono Alawe : Anak perempuan

Sa’a : Sulung

Salawa : Kepala desa

Satua : Tua

Satua Barö : Orang yang berusia dewasa dan belum menikah

Sibaya : Paman (Saudara kandung laki-laki ibu)

Solohi : Mengikuti

Zimbi : Jambar babi

Zondorogö : Yang mengurus/merawat


LAMPIRAN - LAMPIRAN

1. DAFTAR INFORMAN PENELITIAN

No. Nama Usia Pekerjaan Alamat Jabatan/status


1. Desdanillah 41 Wiraswasta Jl. Linggar Tokoh
Zebua, tahun Raya GG masyarakat Nias
S.Pdk. Rejeki ujung di Kota Medan
lingk.20 Kwala dan keluarga
Bekala perempuan belum
menikah usia
dewasa

2. Yusnidar 50 Wiraswasta Jl. Muara Perempuan


Gea tahun Takus No.218 belum menikah
Medan usia dewasa

3. Fatizaro Hia, 55 Wiraswasta Jl. TG Sentosa Tokoh


S.H. tahun 23 No.92 Blok masyarakat Nias
IV di Kota Medan
dan keluarga
perempuan belum
menikah usia
dewasa

4. Drs. 50 Mantan Jl. Pintu air IV Tokoh


Temazaro tahun kepala gang tenang, masyarakat Nias
Zega, M. BKKBN Kelurahan di Kota Medan
Kes. Sumatra Kwala Bekala dan memiliki
Utara keluarga
perempuan belum
menikah usia
dewasa

5. Warni Zebua 43 Penjahit Jl. Pintu air IV Perempuan


tahun gang maduma, Sudah menikah
Kelurahan
Kwala Bekala
6. Lömotöi 35 Wiraswasta Medan Perempuan sudah
telaumbanua tahun menikah
7. Rohana Hia 55 Ibu rumah Jl. Karya Jaya Perempuan sudah
tahun tangga No. 281 LK XI menikah
Medan
Tabel 1. Daftar informan penelitian

99
100

2. DOKUMENTASI PENELITIAN

Gambar 2.1. Foto bersama informan penelitian (Bapak Desdanillah Zebua, S.Pdk)
Dokumentasi pribadi, 2022

Gambar 2.2. Foto bersama informan penelitian (Tante Yusnidar Gea)


Dokumentasi pribadi, 2022

Gambar 2.3. Foto bersama informan penelitian (Bapak Fatizaro Hia, S.H.)
Dokumentasi pribadi, 2022
101

Gambar 2.4. Foto bersama informan penelitian (Bapak Drs. Temazaro Zega, M.
Kes.)
Dokumentasi pribadi, 2022

Gambar 2.5. Foto bersama informan penelitian (Ibu Warni Zebua)


Dokumentasi pribadi, 2022

Gambar 2.6. Foto bersama informan penelitian (Ibu Rohana Hia)


Dokumentasi pribadi, 2022
102

3. PEDOMAN WAWANCARA
1. Pedoman wawancara tokoh masyarakat
1) Apakah anda dapat menceritakan seperti apa satua barö ?
2) Bisakah anda menceritakan alasan timbulnya satua barö ?
3) Dapatkah anda menceritakan kepada siapa kata satua barö diberikan?
4) Dapatkah anda memberitahu kriteria seperti apa yang disebut satua barö
menurut budaya Nias?
5) Apakah label satua barö diberikan secara langsung atau terang-terangan
oleh masyarakat?
6) Apakah pemberian label atau cap satua barö berpengaruh pada pelaksanaan
adat atau budaya etnis Nias?
7) Apakah satua barö mempunyai hak dan kewajiban kegiatan adat etnis Nias?
8) Apakah anda dapat mendeskripsikan seperti apa kedudukan satua barö pada
adat atau budaya Nias?
9) Apakah ada fungsi dari pemberian kata satua barö terhadap perempuan
yang belum menikah?
10) Bagaimana fungsi tersebut berperan dalam kehidupan satua baro khususnya
dalam kehidupan sosial dan adat?
11) Apakah terjadi perubahan terhadap kata satua barö yang diberikan kepada
perempuan usia dewasa belum menikah di kota Medan?
12) Apakah anda dapat menceritakan bagaimana perubahan apa yang terjadi?
13) Dapatkah anda memberikan contoh perlakuan yang diterima oleh
perempuan belum menikah yang mendapat julukan satua barö?
14) Apakah ada dampak yang diterima perempuan belum menikah usia dewasa
terhadap label satua barö?
15) Bagaimana tanggapan secara adat etnis Nias terhadap dampak dari label
satua barö ?
16) Pernahkah anda mendengar seseorang dilabelkan satua barö oleh etnis
Nias?
17) Bagaimana pandangan anda terkait perempuan yang belum menikah usia
dewasa di kota Medan?
103

18) Menurut anda bagaimana seharusnya perempuan yang belum menikah usia
dewasa etnis Nias di kota Medan dalam bertingkah laku?

2. Pedoman wawancara perempuan belum menikah dan mendapat label satua


barö
1) Apa alasan anda memutuskan belum menikah hingga saat ini?
2) Apakah anda setuju dengan labeling satua barö yang diberikan pada
perempuan belum menikah?
3) Bagaimana tanggpan anda setelah mendapat labeling satua barö?
4) Siapa sajakah yang memberi labeling satua barö pada anda?
5) Apakah ada penolakan yang anda lakukan ketika diberikan labeling satua
barö?
6) Apakah labeling satua barö mampu mempengaruhi anda dalam
pengambilan keputusan untuk menikah?
7) Apa saja dampak yang anda terima setelah mendapat labeling satua barö?
8) Hambatan seperti apa yang anda lalui setelah diberikan label satua barö?
9) Bagaimana anda menjalani kehidupan bermasyarakat setelah diberi labeling
satua barö?
10) Bagaimana tanggapan keluarga atau orang sekitar anda terkait label satua
barö yang diberikan pada anda?
11) Apa dampak labeling satua barö bagi keluarga anda?
12) Apa upaya yang anda lakukan agar tidak diberi labeling satua barö?
13) Apakah upaya yang dilakukan tersebut berhasil meminimalisir labeling satua
barö yang diberikan pada anda?

3. Pedoman wawancara perempuan sudah menikah dan pernah mendapat label


satua barö:
1) Apakah anda mengetahui terkait satua Baro?
2) Seperti apakah satua Baro tersebut?
3) Kepada siapa umumnya kata satua Baro itu diberikan?
104

4) Apakah perempuan belum menikah memiliki tugas terhadap


keluarga/sosial/adat?
5) Apa sajakah tugas tersebut? (Point 4)
6) Seperti apakah posisi seorang perempuan belum menikah terhadap
adat?
7) Berapakah usia anda ketika menikah?
8) Apakah anda mendapat atau pernah mendengar label satua Baro saat
belum menikah?
9) Apakah penyebab anda menikah diusia tersebut?
10) Apakah yang anda lakukan setelah mendengar hal tersebut?
11) Apakah keluarga anda mendapat dampak dari label tersebut?
12) Bagaimanakah tanggapan keluarga anda setelah mendengar tersebut?
13) Apakah label satua Baro tersebut mempengaruhi keputusan anda
menikah?
14) Apa saja perubahan yang anda alami setelah memutuskan menikah?
15) Apakah anda masih mengalami dampak dari label satua baro setelah
menikah?
16) Apa saja hambatan yang alami saat mendapat atau mendengar label
tersebut?
17) Apa sajakah upaya yang anda lakukan terhadap label tersebut?
18) Menurut anda, apa sajakah upaya yang dilakukan perempuan agar tidak
mendapat label tersebut?

4. Keluarga perempuan belum menikah:


1) Bagaimana tanggapan keluarga mengenai labeling satua barö?
2) Apa dampak yang dialami setelah pemberian labeling satua barö
terhadap perempuan yang berasal dari keluarga anda?
3) Bagaimana tanggapan keluarga terhadap orang sekitar yang memberi
labeling satua barö terhadap anggota keluarga anda?
4) Apa upaya yang dilakukan keluarga agar perempuan belum menikah
tidak diberi labeling satua barö
105

4. TABEL REDUKSI DATA


1. Latar belakang Satua Barö
Masal Informan
ah Bapak Bapak Hia Bapak Zega Yusnida Ibu Ibu Ibu Hia
yang Zebua r Gea Zebua Telaumbanua Analisis
ditelit
i
Asal “Satua Barö “hah namanya itu “inikan Satua “setauku ya “waktu Secara etimologi
usul itu adalah aja Satua Barö Barö yang dek satua baro dulu ini ya Satua Barö
satua seorang berarti itu dia disebut Satua itu adalah dek yang berasal dari
barö perempuan sudah berumur Barö itukan orang yang kudengar- bahasa Nias.
etnis nias tempat orang bahasa Nias lama menikah dengar Satua berarti
yang tuanya. Barö itu ya artinya atau lama waktu aku orang tua, tua
berumur andre itu identik wanita- mendapat di Nias dan Barö berarti
lebih dari 30 dengan dia masih wanita yang pasangan satua baro di sisi keluarga.
tahun tapi dikeluarganyalah tidak menikah hidup” itu gadis Satua Barö
belum hah itu dia. Kalau atau lama tua yang adalah seseorang
menikah” soal sejarahnya menikah ya.” gak nikah- yang telah
fokus pada nikah” berusia dewasa
namanya Satua dan belum
Barö tidak ada menikah.
sejarahnya. Satua
itu itu artinya
udah lama udah
berumur tapi
tetap dia
dilingkungan
keluarganya tidak
106

ada perpindahan.
Haha itu dia itu
sejarahnya
karena dia selama
hidupnya masih
tetap berada di
keluarganya maka
menyandang
gelar satu baro
hah gitu gak ada
sejarah namanya
itu diciptakan
enggak
terciptanya
dengan orang
yang selamanya
memang tinggal
dirumah orang
tuanya tidak
pernah pindah
tidak pernah
masuk kekeluarga
orang lain.”

Karak “30 tahun “Yang dibilang “hah “satua “oo tidak itu Dikatakan Satua
teristi lebih keatas namanya Satua kriterianya baro itu satua baro itu Barö apabila
k tapi belum Barö itu ada menurut seperti dikatakan seorang
menikah” batasan umur dia artinya apa ya, secara tidak perempuan telah
107

satua “iya sadar pun masih 25 mungkin oo langsung berusia di atas


barö sendiri. tahun belum kalau eee menurutk kepada 30 tahun tetapi
mereka juga kawin bukan juga menurut u ini ya seseorang yang belum menikah
udah orang dibilang Satua orang-orang kalau berumur 30 atau belum
tua juga Barö walaupun Nias wanita satua tahun lebih membina
secara belum kawin jadi itu kalau baro itu atau keatas 30 keluarga. Selain
umurkan ada batasan udah 30 lama tahun.” itu, tidak ada
tapi tetap umurnya seperti tahun gak mendapa perubahan nama
gadis. Kan 30 tahun 40 tahun nikah udah t yang dialami
namanya itu jadi ada dianggap 30 jodohnya oleh perempuan
misalnya batasannya tahun ke atas hah jadi tersebut.
tante Riba walaupun 30 he tidak nikah dia mau Dikarenakan
sampek tahun belum atau belum menikah seorang
sekarang dibilang Satua bertunangan lama perempuan
namanya Barö karena yahh ya itu kelaman dalam etnis nias
tante Riba seperti dibilang dianggap dia dapat akan mengalami
coba kalau setengah baya ya Satua Barö. jodoh perubahan nama
udah nikah setengah umur Belum nikah, dalam yang meliputi
jadi ina gitu hah ada belum umur 30 nama kecil,
ucok bataasn sampai bertunangan tahun ee nama setelah
mislanya dimana hah” umur 32 menikah yang
ina amin. dikategorikan dia tahun 34 ditandai dengan
Karena Satua Barö iyakan tahun kata barasi, dan
namanya itu berarti kalau ada juga nama setelah
terus yang udah dibilang baru dia memiliki anak.
disebut hah satu baro dapat
itu dia. umurnya yang jodoh 38
Beda disini sudah tua masih tahun 40
108

walaupun di dalam tahun


dia udah keluarganya. Jadi kan itu
nikah bisa bukan patokan beda-
kita panggil umur bisa 30 beda kita
namanya. tahun bisa 25 tunggu
Kalau kita tahun kenapa aja
enggak yang penting kapan
udah segan sepanjang dia dapat
kita manggil tidak berkeluarga jodoh”
namanya sudah mulai yahh
kalau belum kalau masalah
nikah cap tadi makanya
walaupun tetapi sudah
udah nikah. berumur tetapi
Hah tidak disesbutkan
gitukan…” meskipun sudah
40 tahun kan
maish belum tapi
ornag sudah
menegnal dia
Satua Barö hah.
Pertama misalnya
kan dari sisi bisa
berkeluarga saya
tidak bisa
mengatakan 35
tahun karena bisa
saja nanti dapat
109

jodoh. Tidak ada


batas minimal
rata-rata cumana
kalau sudah
dibatas 30 tahun
karena
bagaimana pun
24 tahun keatas
itu sudah
berkeluarga, tapi
budaya nias itu
tidak pernah
mencap 30 tahun
dia Satua Barö
bisa jadi 40 tahun
dia dapat jodoh
yakan.”
“Nah jadi kita tau
dari panggilan
nama kenapa
kalau namanya
dia itu walaupun
dia udah berumur
udah tua
contohnya masih
dipanggil nama
berarti itu belum
berkeluarga jadi
110

salah satu lagi


tanda kalau
perempuan itu
sudah
berkeluarga nama
kecilnya tidak
dipanggil lagi tapi
ada gelar adat
yang dikasih sama
dia dengan
dibarengin
dengan barasi”

Faktor “sebenarny “Satua Barö ini “Bukan “aku kan “aku gak “salah satunya “kalau Keputusan
penye a alasan kan karena gak hanya orang sedang mau penyebabnya dulu ini belum menikah
bab mereka, dapat jodoh, itu Nias tapi mengikut menikah atau faktornya yahhh pada seorang
perem kalau jawaban memang di i karena itu belum ada karena perempuan
puan pengalaman sederhanan dulu Nias itu pelajara aku gak jodohnya atau besar disebabkan oleh
belum kami kan yakan semua dulunya n alkitab, mau satu belum ada jujurannya beberapa faktor
menik dikampung orang orang lain banyak mengikut gak mau komitmen tau yang meliputi
ah dulu ya, pun gitu. Karena wanita- i aku satu untuk sendirikan 1) belum
bukan belum dapat wanita Nias pelajara marga membentuk apa menemukan
merekanya jodohkan masuk belum n alkitab aku gak keluarga” kekmana jodoh
yang tidak akal juga belum menikah sekolah mau aku böwö itu 2) adanya
mau. dapat jodoh dia karena pendeta dipendal besarnya kegiatan
Mereka mau kalau masalah mungkin eeee tapi gak aman. yahh famaigi niha
tapi kalau di jujuran itu alasannya ee diizinkan Jadi kadang (perjodohan)
111

Nias itukan mungkin karena menikah kubilang gak yang


tidak ada kebawah. Hah banyak kalau sama sanggup dilakukan
masa yang kedua itu mungkin enggak orang pihak laki- oleh orang
pacaran, nantikan kalau banyak selesai bapakku laki gak tua
dijodohkan dikembangkan persoalan- theologia gak mau jadi 3) böwö atau
dia nanti atau persoalan itu aku nikah” jujuran
namanya disemua etnis terkait mengena tinggal di ” apa 4) Pernikahan
mamaigi mana pun eemm dengan adat i sekolah pedalam yahhh hah kasta yang
niha. seseorang itu ya.” “Jadi pendeta. an sana dulukan ada di
Mamaigi belum dapat dulukan Terus yang gak masyarakat.
niha itu jodoh bisa dia jujuran beda karena banyak dikenal 5) Terlalu
adalah sampai tua hemm dengan udah sawahny kita memilih
pihak laki- termasuk etnis sekarang terlanjur a. Aku pacaran dalam
laki datang Nias. kedua udah ada umur mau anak-anak menentukan
ke pihak faktor budaya, perubahan- saya menyekol sekarang jodoh
perempuan yang diangkat perubahan ambil ahkana aja yang 6) Menempuh
kalau cocok disana adalah jujuran kesimpul dekku pacaran pendidikan
nanti budaya etnis nias sehingga dia an aku dulu kalau dulu 7) Karier
barulah ini memang apa dulu eee melayani kubilang itu di 8) Tidak
berapa namanya dulu kalau yang Tuhan baru aku jodohkan menginginka
jujuran yang mencari mau melamar aja dan mau gak ada n pernikahan
diminta. jodoh itu orang dia harus terus menikah istilah satu marga
Kalau besar tua itu budaya punya uang adat makanya pacaran 9) Lokasi
jujurannya, nias dulu.” yang banyak istiadat aku lama sekarang tempat
makanya “iya dulu dulu harus itu menikah kan udah tinggal
nanti dijodohkan. Hah punya eee jujuran ” bebas setelah
mundur iyakan bisakan peliharaaan ini anak-anak menikah
teratur dulu ternak jujuran kalau
kamu bedakan
112

pihak laki- antara ketemu babi yang itu bahasa 10) Adanya
lakinya jadi jodoh karena banyak, terlalu niasnya itu beban
gak jadi budaya yakan. karena dalam tinggi eeemmmm 11) Tidak
walaupun adat Nias kan juga famaigi memiliki
kedua faktor
suka sama harus ada siapa niha komitmen
suka.” budaya, yang babi. yang cuman berumah
“dulu iya, diangkat disana Kemudian membay orang tangga
sekarang adalah budaya satu juga arnya tuanya
udah etnis nias ini mungkin itu.” nanti yang
enggak lagi. memang apa wanita- melihat
Karena gini namanya dulu wanita Nias mana yang
dulukan itu juga masa cocok
yang mencari
kalau ketua dulu kenapa sama
adat di jodoh itu orang lama kawin anaknya
pasang tua itu budaya disamping baru nanti
gowe udh nias dulu.” persoalan dijumpaila
kasih apa “Nahh jadi adat yang h ntah
itu ee hada kembali kita itu berbelit atau dikasih tau
yang hal yang pertama jujuran juga ntah siapa
besarlah mungkin kenalan
tadi karena belum
banyak karena dari pihak
uangnya ketemu jodohnya terlalu ketat perempua
yang besar- hal kedua karena dalam pola n itu kalau
besar itu di budaya nias. pergaulan suka orang
rela untuk budaya nias dulu yahhh. terlalu itu”
makan ubi yang mencari banyak
kayu hanya aturan
jodoh si
untuk sehingga
113

mendirikan perempuan itu mungkin


gowe itu di adalah orang tua anak-anak
depan mungkin kalian perempuan
rumahnya. Nias itu tidak
gak tau kalian
Supaya bisa bebas
posisisnya itukan bahwa dulu bergaul
diadat itu bukan seperti mencari
tinggi, gak sekarang. jodoh
bisa dimulai Makanya kalau sebagaimana
perkawinan dulu itukan dia dengan suku-
itu kalau misalnya kan suku yang
gak ada dia lain.”
kalian inilah “ehh persoalan
kan gitu. Itu
dia yang dijodohkan sama karirnya yang
orang bapak membuat dia
pertama, kadang-kadang
nikah sampek kalian membuat dia
anaknya, nanti smebunyi- mengambil
kastanya keputusan untuk
sembunyi datang
tinggi tidak menikah”
laki-laki melihat
banyak kali
kalian itulah dlu
yang mau
syarat- atau gak pada
syaratnya saat ke gereja di
karena lihat-lihat gak
posisinya bisa seperti
itu, karena sekrang pacaran.
udah di
Hehehehe yaitu
buatnya itu
114

harus faktor yang kedua.


dibuat juga, Juga yahh kita
nama masukkan itu
ngaötö
faktor ketiga
salawa. Jadi
salawa dari masalah jujuran
pihak tadi. Jujuran
perempuan orang nias atau
salawa dari perempuan yang
pihak laki- menikah boleh
laki nanti tidak bisa kawin
anaknya itu
karena jujuran
kalau nikah
berarti dari orang tua itu
ngaötö yang diambil oleh
salawa ornag tua
sama siperempuan dulu
ngaötö itu sangat besar
salawa sebagai
karena yang
pertimbangan
diapakan
tadi adatnya kalau dulu nogu
yang seperti kalian
dinikahkan kawin minimal
kan harus 100 ekor
adatnya. babi minimal itu
Salawa
kalau sekarang itu
zebua
115

dengan masih babi belum


salawa yang lain-lain.
zendratö Kalau sekarang 1
misalnya
ekor babi apa
gitu lah.”
kira-kira 4 alisi itu
sekitar 3 jutaan.
Berarti kalau kali
100 berarti 300
juta heh jadi
jujuran ini snagat
tinggi tapi
sekarnag tidak
lagi sudah ada
perubahan
khususnya kita
marga hia tinggal
52,5. Itu maish 52
tapi sebernarnya
dalam prakteknya
adalah hanya
dalam penyebutan
tetapi tidak harus
dibayarkna 52,5
ini dalam
116

pelaksanaannya
misalnya kalian
ini pesta itu sama-
sama suami kelen
itu dihitung itu
namanya fangerai
böwö dihiting
berapa jujuran
karena di nais itu
seorang
perempuan yang
kawin ada 5 orng
pihak yang
menerima jujuran
satu orang tua
perempuan, kedua
saudara orang tua
perempuan
kemudian
sekampung,
paman dari
perempuan yang
kawin kemudian
paman dari
117

mamamu. Hah
kalau bahasa nias
dia kamu bisa
kamu terjemahkan
so’ono itu
namanya orang
tua, sirege
saudara bapak,
mbanua itu
sekampung
dengan orang tua
kita itu banua,
baru eee paman
itu namanya uwu
namanya bahasa
nias baru
pamannya mama
namanya ionaya
nuwu. Kalau
dikumpul itu
semua dalam yang
5 pihak ini ada
52,5 kali 4 alisi, 4
alisi ini satu ekor.
118

Hah jadi 52 itu


hitung-hitung itu
52 kali 3 juta
itulah dia jujuran
sekarang tetapi di
jaman sekarang
sudah ada
perubahan karena
orang tua sudah
melihat itu sangat
memberatkan baik
dipiak laki-laki
maka oleh
penetua-penetua
adat mereka
sepakat
menurunkan
jujruan itu dari
yang 100 lebih
menjadi 52,5.
Namun didalm
prakteknya itu
tidak harus
dibayar.”
119

“Kemudian itu
perempuan nias
tidak menikah
karena faktor
karir bisa mereka
juga ada yang
berhasil ya. hah
itulah dulu yang
bisa bapa tau
nanti kalau ada
yang kau
tanyakan
tanyakan.”
“ada satu terlalu
memilih ada
saudara juga
masa dibilangnya
udah sama dia ke
bapatalu baru dia
nikah harus sama
kek mamaknya
baiknya semuanya
yahh mana ada
sampek sekarang
gak nikah-nikah.
Jadi artinya Satua
120

Barö di nias
bukan hanya
perempuan”

2. Dampak dari label satua barö


Informan
Masala Ibu
h yang Bapak Ibu Telau Ibu Analisis
Bapak Hia Bapak Zega Tante Gea
diteliti Zebua Zebua mbanu Hia
a
Kedudu “kalau “Dalam posisi “nah “iya saya “kalau “tidak “ooo Perempuan
kan dan untuk budaya nias kedudukannya membantu menurutku ada gak belum menikah
tanggun pekerjaan, seseorang yang dalam adat itu mereka, satua baro posisin adalah yang ada di etnis
gjawab enggak dia gak punya saya itu kalau ya dek kan Nias tidak
belum berkeluarga
dalam enggak hak suara yahh bergaul melalui karena dia memiliki
adat berpengaru yahh kalau tidak punya hak dengan adat gak dia belum kedudukan
h. Tapi, posisinya pertama suara yahh mereka juga ada masih menika dalam adat. Hal
kedudukan didalam keluarga dalam adat. Hah karenakan posisinya dalam h masih tersebut
adatnya gak kalau nias tidak ini sebenarnya mereka melalui apa ee ada dibuktikan
ada. mendapatkan harta. bukan hanya saudara adat jadi apa mamak dengan tidak
misalnya, Dulunya yang soal wanita yang saya” melalui karena bapakn memeroleh harta
motu tidak menikah, “sayakan sosial gak dia ya warisan
mendapatkan
ononihalo perempuan- punya ada juga belumm itulah meskipun ahli
kasih warisan hanya laki- perempuan Nias saudara yah posisinya memilik yang waris (dulunya),
nasehat laki tapi sekarang itu kan terlalu saudara jadi kalau i ada tidak ikut serta
sama berdasarkan jauh saya kalau melalui keluarg posisin dalam kegiatan
perempuan seseorang yang ketimpangan masih ada keluarga a selain ya la fotu nono
121

yang mau mendapatkan gender yahhh. orang ada bapak kalau nihalö
melaksanak warisan adalah ahli Artinya wanita bapak sama posisinya mamak untuk (pemberian
an waris dari orang itu tidak berhak mamak bertanggu nya ooo kekgitu nasihat kepada
pernikahan, bicara soal adat sama ngjawab karena kekgitu mempelai
tua. Ahli waris itu
itu gak bisa warisan merekalah sama dia gak ada wanita sebelum
dia karena siapa laki-laki dan misalnya kan. saya kalau orang belum dia pernikahan),
dia belum perempuan. Tapi Hah itu yang ada adeknya, membe makany tidak memiliki
pernah, apa dulu tidak, hukum salah, gak boleh kegiatan menyekola ntuk a di tanggungjawab
yang mau adat nias hanya itukan adat adat ntah hkan adek suatu dapur untuk
diapakanny mengenal kalau secara memasak- membantu keluarg aja melunaskan
a cuman pembagian harta perdata sama itu masak saya orang tua a” nanti utang adat
gini, kalau wanita sama bantu” nya.” dia kepada paman,
warisan itu untuk
misalnya pria yahhh dikasih dan tidak
eee ini laki-laki yahhh itu seperti itu”. bantu- memiliki posisi
kakaknya, lah dia. Maka posisi bantu sebagai fadono
kakaknya ya mereka dalam harta masak (orang yang
mau warisan tidak ada tapi bertugas dalam
nikahlah itu yang pertama. kalau menyiapkan
adeknya ini. Kedua dalam udah menu masakan
Nah harus nikah dalam acara
hubungan keluarga
minta hah adat) dalam
permisi misalnya kan baru segala kegiatan
sama contoh misalnya ada dia adat yang
kakaknya. inikan kalian kawin nanti dilaksanakan
Itu pula anak paman tidak dikasih oleh sibaya
adat, minta dinyatakan kalian jamabr (paman) akan
permisi itu diingat- tetapi, tetap
ini sebagai fadono
ada membantu
122

uangnya tapi hanya ingat segala kegiatan


untuk mamakmu itu sama dia” yang dilakukan.
meminta mamakmu belum
izin ini.
berdiri kalian
Kalau
diizinkanny ibaratnya ada
a barulah kewajiban dari
dilaksanaka pihak paman itu
n adat tidak dibebankan
adeknya atas nama kalian
Itulah tapi dibebankan
cuman itu
atas nama mamak.
kedudukann
ya diadat. Hal berikutnya jika
Tapi kalau di suatu kampung
duduk ya itu ada pembagian
duduk jambar-jambar gak
bersama dapat juga hanya
kerja, kerja laki-laki yang
dia.
dapat. Itu la
membantu
pekerjaan gambarannya kalau
didapur bisa perempuan nias ini
dan tidak tidak kawin tidak
ada yang berkeluarga yahh
dalam arti kemudia dari
malu gara-
hubungan keluarga
gara Satua
123

Barö. Bukan dengan paman dan


aib itu.” juga kepada satu
persudaraan
mereka tidak
mendapatkan suatu
bagian atau beban
hah contoh
kawinlah pamanmu
di bebankan sama
mamakmu. Menurut
adat nias saudara
mamak saya atau
saudara mamak
dari perempuan itu
bila ada suatu
pekerjaan maka
pihak saudara atau
paman itu ya wajib
punya beban dari
mamak tetapi
perempuan yang
sudah berumur ini
tidak dikenakan
atau tidak menjadi
124

sebuah
tanggungjawab.
Ada sebuah
kebiasaan adat
bahwa saudara
mamakmu atau
paman kawin atau
segala pekerjaan
mereka itu ada
kewajiban adat
yang harus
dibayarkan tetapi
kewajiban itu tidak
menjadi
tanggungjawab
perempuan yang
berumur ini tapi
yang
bertanggungjawab
orang tuanya nya
hah seperti itulah
penjelasannya
itulah kira-kira.”
125

Hubung “Tapi kalau “yahh saya Hubungan sosial


an duduk ya juga perempuan yang
sosial duduk bergaul belum menikah
bersama tidak dengan
kerja, kerja membeda- lingkungannya
dia. bedakan berjalan dengan
membantu siapa saja baik, hanya saja
pekerjaan saya timbul perasaan
didapur bisa temani” terkait dengan
dan tidak posisi
ada yang perempuan itu
dalam arti sendiri sehingga
malu gara- mengakibatkan
gara Satua mereka
Barö.” memposisikan
“kalau diri dengan
orang Nias teman
malas bergaulnya.
berhubunga
n enggak,
tapi mereka
yang
menyingkir.
Mereka
bergabung
dengan
yang sudah
muda-muda
126

udah gak
lagi.
Mereka
mundur
teratur
mereka
bergabung
nanti sama
mamak-
mamak.”
Dampa “Kalau “kalau soal “sebenarnyakan “keluarga “cuek aja “kalau “apa Keluarga dari
k sedih mengejek tidak di label itu kan saya keluargak dampak yang perempuan yang
terhada sedihlah cuman ada seharusnya bisa semuanya u berdoa negatif mau belum menikah
p karenakan imbasnya hah gini ada rasa apa kalau umur santai” tidak dibilan berusia dewasa
keluarg orang tua kan ada faktor dengan kelaurga begini tak “gak ada dampak g mengalami
a kan pengen kenapa bisa salah ya secara usah dipikirkan positif keluarg dampak yang
anak- satunya tadikan psikologis menikah apa-apa ada dia anya meliputi:
anaknya jujurannya kan hah artinya kalau lagi hemm berdoa bisa kalau 1. Ada perasaan
berkeluarga ketika banyak anaknya tidak nanti aja” memba belum sedih
biar orang yang sudah menikah mereka “menguru ntu nikah diantara para
anaknya lanjut usia di mungkin ada merasa s mereka keluarg dek aku anggota
punya cucu rumahnya maka perasaan belum sedih juga yah anya aja keluarga saat
semua. orang enggan mau sempurna tugas kalau aku keluargan misalny dulu anak/
Kalau sedih melamar anak-anak orang tua berpindah yalah a kayak waktu saudarinya
sedih saudara kita. Iyah Seharusnya ini dari eee orang memba ada belum
tapikan itu itu imbasnya tapi memberi dari mereka adeknya, ntu bapak menikah
kalau kita imbas jeleknya gak dampak efek terasa sedih mamaknya kasih ku ini 2. Timbulnya
gali kalau ada diejek enggak, terhadap budaya disana, ” sekolah yahh sikap acuh
127

misalnya di tapi imbasnya Nias khususnya terasa adik- sedihla terhadap


umum gak adalah ee anak soal jujuran tadi susah, tidak adiknya h dia perkataan
nampak saudara nya laki- jadi supaya perduli ” waktu orang lain
sedihnya.” laki yang punya keluarga- lebih baik belum 3. Timbulnya
“yah anak perempuan keluarga tidak aku menika perasaan
keluarganya bisa berimbas ya meminta jujuran disamping h aku belum
. yahh gini orang tidak ee atau upacara- mereka aja tapi menyelesaika
dia kalau berkeinginana upacara adat sampai aku waktu n
misalnya karena salah satu yang berbelit- tua karena udah tanggungjaw
bukan dia faktor tadi jujuran belit ya”. mereka nikah ab dan tugas
yang dioper karena kesitu “yahhh kadang- semua udah orang tua
jadi dianya faktornya bukan kadang ada pegawai tenang terhadap
nanti yang faktor yang orang tua di negeri kan aja anaknya.
memilih beberapa tadi hah Nias sana ada biaya dia” 4. Adanya
dimana faktor yang tergantung hidup. Yahh kesadaran
dianya berimbas pada terhadap konsep karena diri keluarga
nyaman.” keluarga adalah mereka berpikir. mereka di depan
“tanggungj faktor yang jujuran Yah dia mungkin sudah umum,
awab siapa, karena mereka orang tua mengambil bahwa
sama siapa bilang ahkk merasa sedih kesimpulan memiliki
kita lempar makanya gak frustasi anaknya aku tetap anak/saudari
tanggung kawin-kawin anak belum menikah” disamping yang belum
jawab. saudara itu karena “kalau di Nias mereka menikah
Kalau besar kali jujuran yahh barangkali ajahh. Tak 5. Menjadi
misalnya, jangan jangan kita masih ada, saya usah lagi bahan
pepatah ambil anaknya aja naak saya jauh-jauh” pertimbanga
orang nias saudaranya begitu udah 34 tahun n pada orang
ya hakho e juga hah itulah lain ketika
128

be’e noro yang menjadi umurnya belum hendak


bio ba yang imbasnya tapi menikah” melamar
artinya sekarang udah anak
sama siapa enggak. Hah perempuan
kamu kasih karena faktor dari keluarga
bebanmu jujuran tadi.” yang
yang udah “hah jadi didalam memiliki
gagal itu. keluarga inikan ada perempuan
Bio itu bapak ada mama belum
kayak talas ada anak ada menikah di
yang besar perempuan ada usia dewasa
itu kan berat laki-laki maka tentu 6. Memiliki
itu. Hah misalnya ketika tanggung
sama siapa orang tuanya jawab dan
kamu kasih meninggal yang beban moril
beban itu utama dulu yang terhadap
yang ketika dia lanjut kehidupan
seberat itu. umur ada anak laki- keluarga dari
Hakho e laki itu perempuan
be’e noro tanggungjawab yang berusia
bio karena anak laki-laki baitu dewasa
kan berat. yang pertama belum
Karena pokoknya laki-laki menikah.
mengapain lah baik itu dari 7. Perempuan
itu memang saudaranya belum
berat”. kemudian contoh menikah
“Orang tua, gak ada anaknya berusia
ditanya laki-laki yahh dewasa
129

sama orang saudaranya menjadi


tuapun nanti perempuan harus tempat curhat
berapa dia para anggota
anakmu bertanggungjawab keluarganya.
gadis, kalau karena kenapa 8. Menjadi
ada yang karena saudaranya pengganti
belum gak mungkin orang tua saat
menikah contoh adekmu sudah
lebih dari 40 perempuan kan meninggal.
tahun contoh yang satu
dibilangnya lanjut usia diambil
4 orang lagi adekmu dia
tapi 1 Satua berkeluarga gak
Barö. Hah mungkin sampai
itu hati meninggalkan
dibilangnya, kamu kan gitukan
orang rasa keterikatan
tuanya ya” batin itu ada tapi
“iyah, yang utama kalau
karena gak ada laki-laki itu
ada yang yang utama tapi
mau. Jadi, kalau agak ada
karena gak laki-laki
ada yang perempuan pun
mau harus
yaudah, bertanggungjawab
kalau ada kenapa karena
yang kurang pengganti orang
130

barulah tua saudaranya


orang tua laki-laki adalah
yang saudaranya dan
mengorbank saudaranya
an” perempuan tidak
bisa melepaskan
tanggungjawab
misalnya contoh
ada saudaranya
laki-laki tua kamu
itu tidak boleh tidak
bisa meleparkan
tanggungjawabnya.
Hah harus dia
mengurus sama
seperti mengurus
orang tuanya.
Itulah ikatan batin
gak bisa kita
berikan sama orang
banyak itu sampek
meninggal.”
“Satua Barö ini
tidak menerima
harta kemudian
satu baro ini
dihargai dimana
kita tau kalau dia
131

dihargai dia selalu


memberikan ee
kalau misalnya dia
selalu
dipertanyakan ha
sesuatu samanya
kalau udah
meninggal
orangtuanya curhat
tempat
keluarganya. Kek
mama sa’a
walaupun udah
pendeta bapa ama
pini pasti curhat itu
kaak jadi dia curhat
tidak dianggap
direndahkan malah
dia justru itu dia
dinggap sebagai
pengganti orang
tua begitu dia tidak
direndahkan dan
walaupun dia tidak
anak yang paling
tua dia itu kalau
sudah gak ada
orang tua
132

saudaranya yahh
yang dia tinggal itu
selalu meminta
pertimbangana-
pertimbanagn
didalam keluarga
dan memang gitu
dia.”
Self- “banyaklah, “Hemm pokoknya “ooo baru “aku “yahhh “pasti Adapun dampak
Impact dia dia orang Satua saya sedih pokoknya kerja sedih yang dialami
menceritaka Barö ini satu di itu kalau sabar cuek dia lah dek ada terhadap diri
n bahkan tidak berpikir mereka, santai aja dek rasa perempuan
nangis pun macam-macam ya mereka terus aku biar sedih di belum menikah:
sedihlah harus bekerja saja sakit ada kucari ada hatinya 1. Timbulnya
kadang hah yang kedua persoalan kerjaku uangny itu perasaan
coba dulu kalau misalnya ada mereka sampai a karenak sedih, cuek
kalau bapak saudaranya ketika dikampung sibukkan kadang an dia maupun
dulu gak tidak ada ada terus pun gak minder
besar saudaranya laki- problema berdoa dibantu nikah terhadap
jujuran laki atau gak ada juga” nya bale orang lain
pasti aku adalah saudaranya kekurangan kelaurg kalau 2. Mengambil
udah punya maka dia fokus materi saya anya apa keputusan
anak kayak kerja hah pada ikut susah karenak nanti untuk tidak
adekku itu umumnya berhasil juga an gak kadang menikah
kayak gitu” itu banyak mengenai ada merasa ketika sudah
“kalau hartanya. Ketika pribadi tanggu minder berumur
orang Nias dia banyak saya, saya nganny dia 3. Bekerja lebih
malas hartanya yahh bisa tak pernah a kalau keras
133

berhubunga dia jadi saluran mau uangny menjum 4. Menjadi


n enggak, berkat kepada menerima a pun pai saluran
tapi mereka saudara terdekat susah ada ornag berkat
yang bisa dibantunya. So karena kemana katanya terhadap
menyingkir. daö ba khöda Tuhan itu dikasih ihh keluarganya
Mereka ifangowalu nono adil dia nya yah belum 5. Ikut
bergabung dalifuse nia batoröi memberikan sama nikah menanggung
dengan khönia ba daö mana yang keluarg aku gak beban
yang sudah zondorogö yaiya terbaik anyalah usah keluarga
muda-muda hah itu akibat untuk kita dikasih lah
udah gak sebenarnya tidak kebutuhan nya kesana
lagi. harus dia pikirkan. hidup kita. dibantu kadnag
Mereka Dia tidak memiliki Dialah yang nya bisa aja
mundur beban moral bahwa mencukupi keluarg nanti
teratur dia Satua Barö segala anya dibilan
mereka kedua ketika gak sesuatu tak ntah gnya itu
bergabung ada keluarganya usah di dikasih tapi
nanti sama dia mau bekerja dalam nya kalau
mamak- tapi ketika dia Alkitab tak uang udah
mamak.” berhasil banyak usah sedih belanja biasa
hartanya pada tak usah ” itu dia
umumnya bisa jadi susah tapi udah
saluran berkat bagi kalau susah gak ada
sanak itu kalau lagi itu
keluarganya.” saya ingat udah
keluarga biasa
saya ada aja
yang sakit udah
134

ada yang dibawa


kekurangan santai
materi ada aja”
yang
problema
yahhh ikut
saya sedih
juga karena
keluarga
saya”
135

3. Upaya yang dilakukan perempuan tidak menikah usia dewasa


Masalah Informan
yang Bapak Bapak Hia Bapak Yusnidar Ibu Ibu Analisis
Ibu Zebua
diteliti Zebua Zega Gea Telaumbanua Hia
Tantanga “kalau “mungkin “mereka “belum punya Tantangan yang
n yang dijuluki kali ketika ada sakit ada komitmen dihadapi oleh
dialami belum cuman saudaranya persoalan untuk menikah perempuan
diomong- yang ngurus mereka apalagi belum menikah
omongi happy happy dikampung pernikahan itu yaitu:
orang lain. aja dia mau ada kan cuman 1. Sering
Kalau kerja tapi problema sekali seumur dibicarak
dijuluki nanti kalau gak ada hidup kalau an
40-45 ada kekurangan nikah aku dibelaka
tahun.” saudaranya materi saya cuman gara- ng
“iya kalau hah ikut susah gara takut dirinya
cerewet dia bagaimana juga sama gosip 2. Menangg
diblg itu kan jadi satu mengenai bisa aja cerai ung
Satua Barö, beban pribadi aku nanti” beban
kalau yang pemikiran itu saya,” keluarga
punya anak apa yang
dibilang gak harus
pernah dia dilakukannya
merasakan ya
punya anak mengandalka
ya gitu pulak. n diri.”
Walaupun
gak dibilang
sama dia
136

dibelakangny
a
dibelakangny
a nanti
dibilang mak
di marahin
tante itu yahh
namnya
Satua Barö.”
Upaya “Satua Barö “Hemm “Terus “yahh dia “menurut ku “yahh Upaya
yang itu harus pokoknya dia karena udah harus buat agar gak perempuan yang
dilakuka enjoy orang Satua terlanjur keterampila perempuan itu usah belum menikah
n menerima Barö ini satu umur saya n belajar gak digosipkan dipedul terhadap label
terhadap label ini. di tidak ambil salon, jahit dia harus ikannya tersebut adalah
label karena lebih berpikir kesimpulan lah biar ada menititip eee diurusn dengan :
berharga macam- aku melayani untuk masa sesuatu harus ya aja 1. Bersikap
Satua Barö macam ya Tuhan aja depan gitu” dilakukannya keluarg cuek atau
daripada harus tidak, saya apa ya dia anya tidak
hamil diluar bekerja saja bawa happy harus kalau memperd
nikah atau hah yang aja. Senang- berketerampul ada ulikan
kawin lari kedua kalau an berbakat mamak perkataa
senang aja
yahh Satua misalnya ada tinggila bapakn n orang
Barö itu saudaranya karena di misalnya ya dia lain
harus enjoy ketika tidak dalam menyanyi yang 2. Fokus
menerima ada alkitab di dipanggung ee ngurus untuk
label ini. saudaranya dalam menjahit eee kerja membant
karena lebih laki-laki atau Korintus salon emm dia u
berharga gak adalah dikatakan untuk keluarga
137

Satua Barö saudaranya siapa yang buka usaha dirinya 3. Bekerja


daripada maka dia tak pernah gitulah” sendiri 4. Mengem
hamil diluar fokus kerja menyusui ” bangkan
nikah atau hah pada keteramp
anak lebih
kawin lari umumnya ilan diri
yahh” berhasil itu diberkati
banyak Tuhan lagi.
hartanya. Makanya
Ketika dia saya
banyak menetapkan
hartanya hati hanya
yahh bisa dia
mengandalka
jadi saluran
berkat n Tuhan aja
kepada hidup dan
saudara mati hanya
terdekat bisa kepada
dibantunya.” Tuhan
kuserahkan”
32

Anda mungkin juga menyukai