Anda di halaman 1dari 119

RELASI INTERPERSONAL SISWA TUNARUNGU

DI SMALB NEGERI 1 KOTA BENGKULU

SKRIPSI

OLEH :

DOSMA PERONIKA SIMANJUNTAK


D1A019032

PRODI S1 KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BENGKULU

2023

1
2
3
4
RIWAYAT HIDUP
(CURRICULUM VITAE)
Identitas Pribadi

Nama : DOSMA PERONIKA SIMANJUNTAK


Jenis kelamin : Perempuan
Tempat tanggal lahir : Lumban Situngkir, 14 Juli 2000
Agama : Kristen Protestan
Anak ke : 1 (satu) dari 3 (tiga) Bersaudara
Fakultas/jurusan : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Nama Ayah : Juli Anto Simanjuntak
Nama Ibu : Irma Sumihar Maibang
Alamat : Lumban Situngkir, Desa Onan Lama, Pegagan Hilir,
Kab. Dairi, Sumatera Utara

Riwayat Pendidikan
1. Sekolah Dasar 030326 Tigalama, Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Provinsi
Sumatera Utara (2006-2012)
2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi,
Provinsi Sumatera Utara (2012-2015)
3. Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Sidikalang, Kabupaten Dairi, Provinsi
Sumatera Utara (2015-2018)
4. Mahasiswa Jurusan Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Bengkulu Tahun 2019
Pengalaman Organisasi
1. Anggota Hima KS periode 2019-2023
2. Staff magang Hima KS bidang minat bakat 2019-2020
3. Bendahara bidang media dan informasi 2020-2021
4. Anggota bidang penalaran dan keilmuan Hima KS 2021-2022
5. Anggota Persekutuan Mahasiswa Kristen Universitas Bengkulu
6. Anggota Ikatan Mahasiswa Rafflesia Dairi (IMARADA)
Pengalaman Praktik lapangan
1. Praktikum Mikro setting praktek Lembaga Penerima Wajib Lapor Peduli
Sosial Nasional (LPWP PESONA) dengan judul “Pemberian Motivasi Kepada
Klien Untuk Meningkatkan Fungsi Sosial Selama Rawat Jalan”
2. Praktikum Makro setting praktek di kelurahan Tanah Patah dengan judul
“Meningkatkan Pengetahuan Tentang Pola Asuh orang tua Dalam Mengatasi
Penyalahgunaan Napza Melalui Sosialisasi”
3. Peserta Kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Periode 98 di Air Batang,
Kabupaten Kaur
5
Aktivitas Kemahasiswaan
1. Peserta Hari kasih dan Iman (HKDI) Persekutuan Mahasiswa Kristen
Universitas Bengkulu tahun 2019
2. Peserta Kegiatan Social Training (SWORT) jurusan Kesejahteraan sosial
FISIP UNIB tahun 2019
3. Peserta Pelatihan Manajemen Organisasi (PMO) Jurusan Kesejahteraan
Sosial FISIP UNIB tahun 2019
4. Peserta Gerakan Sosial Politik (GASPOL) Fisip 2019
5. Panitia Musyawarah besar Hima KS FISIP UNIB Tahun 2019
6. Panitia Natal Ikatan Mahasiswa Rafflesia Dairi (IMARADA) 2019
7. Panitia KOMPAS Jurusan Kesejahteraan Sosial 2021
8. Panitia Natal Persekutuan Mahasiswa Kristen Universitas Bengkulu tahun
2021
9. Panitia Gerakan Sosial Politik (GASPOL) Fisip 2022

6
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yesus penulis persembahkan atas nikmat
kasih, berkat dan karunia yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Relasi Interpersonal Siswa Tunarungu Di SMALB 1
Kota Bengkulu” ini dengan baik. Keberhasilan penulis menyelesaikan kuliah, penelitian
dan penulisan skripsi ini tidak hanya diri sendiri tetapi, berkat dorongan dan bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak, maka penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih
kepada:
1. Ibu Dr. Yunilisiah M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Bengkulu.
2. Ibu Desy Afrita AKS, MP selaku Ketua Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Sosial Politik Universitas Bengkulu dan Dosen penguji skripsi
yang telah banyak memberikan masukan pada saat ujian dan saran untuk perbaikan
skripsi ini.
3. Bapak Dr. Aries Munandar, M.Si. selaku dosen pembimbing utama yang telah
banyak memberikan nasehat, mengarahkan penulis dengan kesabaran, dan
memberikan motivasi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini
4. Bapak Ishak Fadlurrohim,S.Tr.Sos.,M.Kesos selaku dosen pembimbing
pendamping yang berkenan memberikan masukan, semangat, dukungan dan arahan
serta masukan-masukan dan kritik dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak Dr. Tamrin Bangsu, M.KM selaku Dosen penguji sidang skripsi saya yang
sudah banyak memberikan masukan pada saat ujian dan saran untuk perbaikan
skripsi ini.
6. Seluruh Dosen Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Bengkulu yang telah memberikan ilmunya dan wawasannya yang
bermanfaat bagi penulis.
7. Staff pegawai kesekretariatan Jurusan Kesejahteraan Sosial yang telah membantu
dan melancarkan segala urusan administrasi dan keperluan-keperluan selama
penulisan skripsi ini.
8. Ibu Resi Yusnimarlita, M.Pd selaku Kepala Sekolah SLB Negeri 1 Kota Bengkulu
yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian skripsi.

7
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kesalahan dan
kekurangan yang memerlukan perbaikan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat
membangun dari pembaca sangat penulis harapkan, semoga skripsi ini bermanfaat
bagi kita semua.

Bengkulu, 24 Oktober 2023

DOSMA PERONIKA SIMANJUNTAK


NPM. D1A019032

8
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto

1. “Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam


doa” (Roma 12:12)
2. “Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang” (Amsal 23:18)
3. “Be you, be unique”

Persembahan
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus yang selalu ada dalam setiap proses hidup
memberikan kasih dan kekuatan, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Dengan syukur dan bangga, saya sampaikan rasa terimakasih kepada:
1. Tuhan Yesus yang sungguh baik, buat berkat dan kasih, dan penyertaannya
sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
2. Inang ku yang sangat ku banggakan, ibu Lentina Simbolon yang selalu peduli
padaku, yang selalu ada setiap aku membutuhkan, terimakasih telah menjadi Inang
ku, aku menyayangimu.
3. Kedua orang tuaku yang sangat kucintai, Bapak Juli Anto Simanjuntak dan Ibu
Irma Sumihar Maibang yang selalu menjadi tiang doa untuk ku, memberikan
dukungan dalam keadaan apapun, juga selalu mendengarkan setiap keluh kesah ku.
Kalian orang tua terhebat dan anugerah terindah yang diberikan Tuhan pada ku.
Dan kupersembahkan gelar S.Sos ini untuk orang hebat dalam hidupku, Bapak,
Mamak, dan Inang.
4. Untuk adikku Eben Ezer Simanjuntak dan Zesika Simanjuntak yang selalu
menguatkan dan mendukung, kalian hebat.
5. Untuk Dadang Saputra sebagai sahabat selama 4 tahun di perkuliahan yang sama-
sama berjuang dan mendukung satu sama lain, tempat berbagi cerita dan orang
yang selalu menjadi ojek gratisku juga sahabat yang selalu mendoakan proses
penulisan skripsi ini, bersyukur bisa mengenalmu.
6. Untuk Alin A.K. Siringo-ringo sebagai orang spesial yang selalu support,
mendoakan, memberikan semangat, mendengarkan keluh kesah selama penulisan
skripsi ini.
7. Untuk Nadila Anjani dan Etika Zaenab sebagai sahabat di perkuliahan yang
membantu seluruh proses penelitian dan memberikan motivasi yang positif.
8. Untuk teman-teman “CKP TW”, Andre, Nadila dan Dadang yang membantu dan
mendukung dalam penulisan skripsi dari awal sampai skripsi ini selesai, kalian
membuat kehidupan kampus lebih berwarna.

9
9. Semua Dosen Jurusan kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Bengkulu.
10. Teman Seperjuanganku Kesejahteraan Sosial Angkatan 19
11. Kepada Almamaterku “Almamater UNIB”.
12. Fandom neonku

10
ABSTRACT
INTERPERSONAL RELATIONS OF DEAF STUDENTS
AT STATE SPECIAL SCHOOL 1 IN BENGKULU CITY

DOSMA PERONIKA SIMANJUNTAK


D1A019032
Interpersonal relationships refer to interpersonal connections. Relationships
involve a series of interactions between individuals, encompassing
communication, information exchange, feelings, and behaviors among those
involved. These relationships can denote connections between friends, family
members, or anyone who knows each other and regularly interacts. This research
aims to analyze the interpersonal relationships of deaf students at SMALB Negeri
1 in Bengkulu City. This is a qualitative descriptive study that involves 14
informants, including 6 deaf students, 5 parents and family members of deaf
students, and 3 teachers who instruct deaf students. Data were collected through
observation, interviews, and document studies. The research findings explain that
deaf students at SMALB 1 in Bengkulu City are capable of maintaining
interpersonal relationships but not optimally due to various factors, one of which
is the language used during communication. One of the most crucial aspects of
communicating with deaf students is sign language, but the social environment of
deaf students tends to struggle to use sign language, which is highly important in
building communication relationships. The social skills of deaf students are not
poor, as they can greet and smile at others. However, they encounter difficulties in
more extensive interactions, both from the deaf individuals themselves and from
those who do not understand sign language.

Keywords: Interpersonal relations, deaf students.

11
ABSTRAK
RELASI INTERPERSONAL SISWA TUNARUNGU
DI SMALB NEGERI 1 KOTA BENGKULU

DOSMA PERONIKA SIMANJUNTAK


D1A019032
Relasi interpersonal merujuk pada hubungan antarpribadi. Hubungan
yang melibatkan serangkaian interaksi antara individu, ada komunikasi,
pertukaran informasi, perasaan, dan perilaku antara individu yang terlibat
didalamnya. Hubungan ini bisa berarti hubungan antara teman, anggota
keluarga, atau siapapun yang saling kenal dan berinteraksi secara rutin.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis relasi interpersonal siswa
tunarungu di SMALB Negeri 1 kota Bengkulu. penelitian ini merupak an
penelitian deskriptif kualitatif yang melibatkan 14 informan yaitu 6 siswa
tunarungu, 5 orang tua dan keluarga tunarungu, 3 guru yang mengajar siswa
tunarungu. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan studi
dokumentasi. Hasil penelitian menjelaskan bahwa siswa tunarungu di
SMALB 1 Kota Bengkulu mampu menjalankan relasi interpersonal dengan
baik namun belum optimal dikarenakan beberapa faktor salah satunya adalah
bahasa yang digunakan saat berkomunikasi. Salah satu hal yang paling
penting dalam berkomunikasi dengan siswa tunarungu adalah bahasa isyarat,
namun cenderung lingkungan sosial tunarungu tidak mampu menggunakan
bahasa isyarat, sementara dalam membangun relasi komunikasi itu sangat
penting. Keterampilan sosial tunarungu tidak buruk, jika untuk sekedar
menyapa, tersenyum dengan orang lain tunarungu. Namun jika untuk
berinteraksi lebih lanjut cenderung kesulitan baik dari tunarungunya sendiri
maupun orang lain yang tidak paham menggunakan bahasa isyarat.

kunci Kata: Relasi interpersonal, siswa tunatungu

12
Daftar Isi
LEMBAR PENGESAHAN i
RIWAYAT HIDUP ii
KATA PENGANTAR iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN vi
ABSTRACT viii
ABSTRAK ix
BAB I PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 12
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 12
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13
2.1 Konsep Relasi Interpersonal ...................................................................... 13
2.1.1 Aspek Relasi Interpersonal ................................................................ 18
2.1.2 Tipe Relasi Interpersonal ................................................................... 19
2.1.3 Pola komunikasi dalam Relasi Interpersonal .................................... 25
2.2 Penyandang Disabilitas .............................................................................. 26
2.2.1 Tunarungu ........................................................................................... 26
2.2.2 Karakteristik Tunarungu .................................................................... 28
2.2.3 Faktor 31
2.3 Sekolah Luar Biasa .................................................................................... 30
BAB III METODE PENELITIAN 32
3.1 Jenis penelitian ........................................................................................... 32
3.2 Batasan penelitian ...................................................................................... 33
3.3 Teknik penentuan informan....................................................................... 33
3.4 Teknik pengumpulan data ......................................................................... 34
3.5 Teknik analisis data.................................................................................... 35
BAB IV DESKRIPSI SLB NEGERI 1 KOTA BENGKULU 36
4.1 Profil SLB Negeri 1 Kota Bengkulu ......................................................... 36
4.1.1 Sejarah SLB Negeri 1 Kota Bengkulu .................................................... 36
4.1.2 Letak geografis SLB Negeri 1 Kota Bengkulu....................................... 38
4.2 Struktur Kepengurusan Organisasi SLB Negeri 1 Kota Bengkulu .............. 38

1
4.3 Visi, Misi dan Tujuan SLB Negeri 1 Kota Bengkulu .............................. 39
4.4 Jumlah Siswa SLB Negeri 1 Kota Bengkulu ........................................... 41
4.5 Data Guru dan staf Di SLB Negeri 1 Kota Bengkulu.............................. 42
4.6 Sarana dan Prasarana ................................................................................. 42
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 45
5.1 Hasil Penelitian .......................................................................................... 45
5.1.1 Karakteristik 49
5.1.2 Karakteristik Tunarungu di SMALB Negeri 1 Kota Bengkulu ....... 47
5.1.3 Relasi Interpersonal Siswa Tunarungu.............................................. 52
5.2 Pembahasan ................................................................................................ 77
5.2.1 77
5.2.2 81
5.2.3 Love Relationships ................................................................................... 85
5.2.4 Workplace Relationship ........................................................................... 89
5.2.5 Online-Only Relationships....................................................................... 90
BAB VI PENUTUP 94
6.1 Kesimpulan ................................................................................................. 94
6.2 94
DAFTAR PUSTAKA 96
PEDOMAN WAWANCARA RELASI INTERPERSONAL SISWA
TUNARUNGU 99
PEDOMAN OBSERVASI RELASI INTERPERSONAL SISWA
TUNARUNGU 104
DOKUMENTASI 104

2
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jumlah ABK yang bersekolah Luar Biasa Negeri 01 Kota Bengkulu Tahun
2022/2023 ..................................................................................................................... 44
Tabel 2. jumlah Data guru dan staf di SLB Negeri 1 Kota Bengkulu tahun 2022/2023 ... 45
Tabel 3. Jumlah Ruangan Sekolah Utama ...................................................................... 46
Tabel 4. Jumlah Fasilitas Pendukung ............................................................................. 47
Tabel 5. Jumlah Fasilitas Olahraga ................................................................................ 47
Tabel 6. Jumlah Fasilitas Ruangan Internet .................................................................... 48
Tabel 7. Karakteristik berdasarkan Nama, Jenis kelamin dan Status .............................. 50
Tabel 8. Ringkasan Hasil Penelitian Relasi Interpersonal Siswa Tunarungu ................... 91

3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Data siswa SLBN 1 Kota Bengkulu............................................................... 10
Gambar 2. SLB Negeri 1 Kota Bengkulu ....................................................................... 39
Gambar 3. Letak geografis ............................................................................................ 40
Gambar 4 Struktur organisasi SLB Negeri 1 Kota Bengkulu .......................................... 41
Gambar 5. kondisi SLB Negeri 1 Kota Bengkulu........................................................... 47
Gambar 6. interaksi siswa tunarungu ............................................................................. 60
Gambar 7. siswa tunarungu sedang berdiskusi ............................................................... 61
Gambar 8. Story WhatsApp informan FR (19 Tahun) .................................................... 74
Gambar 9. percakapan dengan informan DM................................................................. 75
Gambar 10. Story WhatsApp informan DP (18 Tahun) .................................................. 75

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia sebagai makhluk sosial tentu tidak bisa hidup sendiri, manusia
membutuhkan interaksi dan juga hubungan dengan orang lain guna pemenuhan
kebutuhan hidup mereka, paling tidak setiap manusia menjalin hubungan sosial
dengan orang terdekat mereka seperti keluarga dan orang tua. Selanjutnya
manusia akan membentuk suku, kelompok hingga dengan bangsa yang
menempati berbagai belahan dunia (Santoso, 2017).
Sebagai makhluk individu, manusia memiliki keunikan masing-masing,
keunikan tersebut yang membedakanya dari manusia lainya. Namun pada pada
dasarnya kebutuhan manusia itu sama meskipun jika ditinjau dalam segi perilaku,
fisik, ataupun sikapnya manusia berbeda-beda. Menurut Maslow tingkatan
kebutuhan manusia diantaranya kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta dan
kepemilikan, aktualisasi diri dan kebutuhan untuk dihargai (Kurniawati dan
Maemonah, 2021).
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan manusia guna memberi jaminan
terhadap keberlanjutan hidup mereka supaya lebih mempunyai martabat, oleh
sebab itu Negara mempunyai kewajiban dalam memberi pelayanan pendidikan
yang memiliki mutu terhadap semua warganya tanpa adanya pengecualian,
termasuk juga mereka yang mempunyai perbedaan kemampuan sebagaimana
yang terkandung dalam “Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pasal 5 Ayat (2) yang berbunyi warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dant/atau sosial berhak
mendapatkan pendidikan khusus. Undang-undang ini juga yang menjadi salah
satu dasar hadirnya pendidikan inklusi” (Aisyah, Santoso dan Zakariya, 2019)
Dalam menjalani kehidupan di sekolah, siswa selalu melakukan relasi diantara
pribadi 1 dengan yang lain. Relasi inilah yang dikenal dengan relasi interpersonal.
Siswa juga harus dapat berinteraksi dan membangun relasi dengan orang orang
disekitarnya. Makin individu mampu membangun relasinya dengan individu lain

5
maka akan semakin luas jaringan relasi interpersonal yang terbangun. Kondisi
yang saling membutuhkan akan memperkuat ikatan relasi tersebut.
Sumber utama relasi interpersonal adalah komunikasi. Richard L. dkk (dalam
Liliweri, 2015) relasi interpersonal hanya dapat diamati, dialami, dirasakan ketika
sedang berkomunikasi. Hal ini karena ketika sedang berkomunikasi bukan hanya
menyampaikan isi pesan tetapi menentukan tingkat relasi.
Peranan komunikasi itu sangat penting dalam relasi interpersonal, dimana
dikatakan bahwa; (1) komunikasi disebut juga sebagai dasar dari semua relasi
interpersonal, yang mana komunikasi efektif merupakan suatu kunci langgengnya
sebuah relasi interpersonal yang sehat serta berusia panjang. (2) komunikasi
memainkan peran penting dalam hal mengurangi salah paham sehingga akan
memperkuat ikatan di antara manusia. (3) suatu relasi akan kehilangan pesona jika
individu tidak mengekspresikan diri dan membalas perasaan mereka melalui
berbagai modus komunikasi.
Relasi interpersonal yang terjalin baik akan menjadikan seseorang memiliki
kompetensi diri yang berkualitas di kehidupannya, banyak sekali ahli psikologi
dan komunikasi berpendapat bahwasanya kompetensi individu ketika membangun
relasi interpersonal mereka akan membawakan keberhasilan terkait banyak hal.
Hasil penelitian Hayes (2006) menjelaskan bahwa ia menemukan hal yang
menjadi pembeda diantara manajer yang sukses dengan yang tidak sesuai dengan
kompetensi interpersonalnya. Suchy (2000) berpandangan bahwa kesuksesan
seseorang dalam hidup dan karier 80% ditentukan oleh faktor kompetensi relasi
interpersonalnya (Wulandari dan Rahma, 2018).
Relasi interpersonal yang efektif bisa dilihat dari proses komunikasi antar
personal yang terlibat. Proses komunikasi yang berlangsung dengan baik ditandai
dengan output atau hasil dari proses komunikasi tersebut. Proses komunikasi akan
berjalan lancar jika antar personal menggunakan bahasa yang dapat dimengerti
satu sama lain. Bahasa komunikasi jadi dasar membangun relasi interpersonalnya,
bahasa yang umum digunakan yaitu: bahasa tulisan, lisan serta isyarat.

6
Daya tarik (attraction) ialah suatu variabel yang penting sekali pada relasi
interpersonal. Rasa ketertarikan antar pribadi akan menjadi awal relasi
interpersonal yang akan berkembang pada sebuah hubungan. Terkait daya tarik
juga akan menjadi penentu tindakan serta sikap seseorang dalam membangun
relasinya dengan seseorang yang lain, kekuatan daya tarik individu mampu
mendorong orang lain untuk membangun suatu hubungan.
Tingkat kemampuan seseorang dalam membangun relasi interpersonalnya
dapat dilihat dari kemampuan mereka untuk membentuk serta menjaga ataupun
mempertahankan hubungan dengan sesamanya (antar pribadi) dengan memuaskan
dan juga baik. Seseorang yang terlibat pada suatu relasi interpersonal akan
mendapatkan keuntungan secara psikologis, karena dengan hadirnya orang lain
dalam hidup seseorang dapat merefleksikan diri dan mendapat penilaian dari
orang lain. Dengan adanya relasi interpersonal yang terbangun memberi peluang
bagi individu untuk berbagi beban hidup, disaat salah satu pihak mendapatkan
permasalahan, maka akan memungkinkan untuk meminta bantuan pada pihak lain.
Relasi interpersonal juga dapat membantu individu lebih dapat mengembangkan
potensi diri secara sosial dan psikisnya. Mengenai relasi, seseorang yang kurang
mampu dalam hal menjalin relasi sosial akan berdampak pada kehidupan sosial
orang tersebut seperti malu, menarik diri, mengalami kecemasan sosial serta
merasa kesepian. (Wulandari dan Rahma, 2018).
Hasil penelitian Gunawan Saleh (2018) menyimpulkan komunikasi
interpersonal antara guru dan siswa memberi pengaruh yang kuat untuk
meningkatkan kepercayaan diri anak usia dini (siswa) Raudatul Athfal Asiah Kota
Pekanbaru (Saleh, 2018). Hasil penelitian Larasati & Marheni menunjukan adanya
hubungan diantara komunikasi interpersonal orang tua dan remaja dengan
keterampilan sosialnya yakni semakin efektifnya komunikasi interpersonal yang
diciptakan di antara orang tua dengan anaknya, maka juga akan makin tinggi
keterampilan sosial yang remaja miliki (Larasati and Marheni, 2019).
Namun tidak selalu relasi interpersonal berdampak positif, salah satu
fenomena siswa tunarungu SLBN 1 Kota Bengkulu dirudapaksa 10 pria, dan
pelaku utama adalah teman korban di SLB. Dari 10 pelaku 2 diantaranya adalah

7
penyandang disabilitas. Remaja perempuan tersebut berusia 17 tahun, kejadian
ini berawal dari korban dijemput pelaku utama yang merupakan teman korban dan
membawa ke rumahnya. Pelaku merudapaksa korban dan merekamnya, lalu
pelaku mengancam korban akan menyebarkan video tersebut. pelaku utama
memberitahu teman temannya dan 9 teman lainnya merudapaksa korban dengan
memberikan sejumlah uang mulai dari Rp.40.000-Rp.500.000. peristiwa ini
terjadi sejak awal Januari 2022 hingga September 2022, kasus ini terungkap
ketika korban menceritakan kejadian tersebut kepada orang tua nya.
Korban yang berinisial LD pada kasus diatas merupakan pelaku perundungan
di sekolah. LD sering memalak uang jajan salah satu siswa yang merupakan
penyandang tunarungu juga. Hal ini terjadi sekitar 6 bulan, orangtua DV yang
merupakan korban LD, curiga kepada DV setiap pulang sekolah sering menangis
dan sering mengatakan kalau dia kelaparan padahal orangtua DV selalu
memberikan uang jajan, akhirnya orang tua DV bertanya kepada teman-teman DV
dan mengetahui bahwasanya DV sering dipalak oleh LD. Sekolah yang
merupakan salah satu lingkungan sosial yang jadi media dalam menjalin relasi
diantara guru, orangtua, maupun teman sebaya menjadi media pertemuan antara
pelaku dan korban dalam kasus ini.
Pendidikan itu sendiri sangat penting untuk setiap umat manusia, yang mana
mereka semua mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan, begitu juga dengan
mereka yang memiliki gangguan khusus seperti halnya anak tunarungu. Ada 2
layanan yang ditujukan untuk anak tunarungu yakni inklusif dan eksklusif. Salah
satu pendidikan eksklusif bentuknya yakni SLB atau Sekolah Luar Biasa, pada
bentuk ini mempunyai sistem pendidikan yang mewajibkan untuk memberi
layanan pendidikan dengan memakai kurikulum khusus, tempat belajar dan
pendidik khusus serta proses pembelajarannya yang juga khusus.
Sementara pendidikan inklusif merupakan layanan pendidikan untuk setiap
anak yang mempunyai kebutuhan khusus serta anak normal lainnya. Sistem
pendidikan dengan bentuk inklusif dilakukan di sekolah-sekolah umum dengan
memberi peranan terhadap setiap peserta didik pada proses pembelajarannya tanpa

8
adanya perbedaan latar belakang ekonomi, sosial, agama, etnik, jenis kelamin,
golongan, keadaan mental dan fisik (Nisa, 2019).
Di Indonesia terdapat sekolah bagi anak yang berkebutuhan khusus yakni
sebanyak 2.250 unit dengan jenjang-jenjang pendidikan yang berbeda pada tahun
ajaran 2020/2021. Berdasarkan jumlah itu ada 2.017 SLB dengan rincian 552 SLB
yang statusnya negeri serta dengan status swasta sebanyak 1.465 unit. Di Kota
Bengkulu terdapat 7 Sekolah Luar Biasa (SLB), 5 diantaranya berstatus negeri,
dan 2 lainnya adalah swasta. Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) 1 Kota Bengkulu
merupakan sekolah dengan siswa SMA penyandang tunarungu terbanyak
dibanding dengan SLB lainya, yaitu 11 siswa penyandang tunarungu, sekolah ini
juga berada dilingkungan yang mendukung topik penelitian ini. Hal ini yang
melatarbelakangi pemilihan lokasi pada penelitian ini.
Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 pasal 1 ayat (1) tentang “Penyandang
Disabilitas menjelaskan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang
mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka
waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan
warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”.
Terdapat empat kategori penyandang disabilitas berdasarkan “Undang-
Undang No. 8 tentang Penyandang Disabilitas diantaranya yakni disabilitas fisik,
disabilitas intelektual, disabilitas mental, dan disabilitas sensorik. Kategori diatas
dapat dialami secara tunggal, ganda, dan multi dalam jangka waktu yang lama”.
Sesuai data oleh (SUPAS) Survei Penduduk Antar Sensus pada 2015 mencatat
jika di Indonesia jumlah dari penyandang disabilitasnya menduduki angka
11.580.117 jiwa, dengan rincian penyandang disabilitas sensorik sebanyak 52%
atau 6.021.661 dan penyandang disabilitas fisik sebanyak 26% atau 3.000.830
jiwa, 12% penyandang disabilitas mental atau sebanyak 1.389.614 jiwa serta
penyandang disabilitas intelektual berjumlah 10% atau sekitar 1.158.012 jiwa
(Edi, dkk 2020). Sesuai data (BPS) Badan Pusat Statistik pada 2020 menjelaskan
jika jumlah penyandang disabilitas yang ada di Indonesia sebanyak 22,5 juta jiwa

9
Kedua data tersebut menunjukkan bahwa adanya peningkatan jumlah penyandang
disabilitas di Indonesia sebanyak 10.919.883 jiwa selama lima tahun.
Data dari Dinas sosial Provinsi Bengkulu pada tahun 2019, mencatat bahwa
penyandang disabilitas mencapai 3.651 jiwa, diantaranya 245 jiwa disabilitas
intelektual, 775 disabilitas sensorik, 830 disabilitas mental, 1.236 disabilitas
ganda, dan 1.665 disabilitas fisik. Dan data anak membutuhkan perlindungan
khusus berjumlah 526 jiwa (Dinas Sosial, 2019).
Menurut BPS Provinsi Bengkulu pada tahun 2022 tercatat penyandang
disabilitas di Provinsi Bengkulu mencapai 4.552 jiwa, dengan jenis penyandang
disabilitas tunanetra 545 jiwa, tunarungu 595 jiwa, tunawicara 500 jiwa,
tunarungu-wicara 501, tunadaksa 756 jiwa, tunagrahita 877 jiwa, tunalaras 607
jiwa, tuna eks sakit kusta 46 jiwa, tunaganda 125 jiwa. (BPS Provinsi Bengkulu,
2022).
Data Anak Berkebutuhan Khusus yang ada di SLB yaitu SMA di SLB
NEGERI 1 Kota Bengkulu Jl. Bukit Barisan, Kebun Tebeng, Kec. Ratu Agung,
Kota Bengkulu, Bengkulu, sebagai berikut :
Gambar 1
Grafik data siswa SLBN 1 Kota Bengkulu Tingkat SMALB Tahun.2022/2023

12
10
8
jumlah siswa

6
Laki-laki
4
2 perempuan
0
A B C C1 D
keterangan ABK

Sumber : SLB Negeri 1 Kota


Bengkulu
Keterangan ABK :
A = Tunanetra
B = Tunarungu
C1 = Tunagrahita sedang
C = Tunagrahita Ringan
D = Tunadaksa

10
Penyandang disabilitas pendengaran biasanya disebut juga tunarungu yaitu
orang yang terkena disfungsi pada pendengarannya yang mampu mempengaruhi
kehidupan keseharian (Somatri, 2007). Hearing impairment atau tunarungu
menjadi suatu istilah umum yang memperlihatkan mereka tidak memiliki
kemampuan untuk mendengar dari skala ringga hingga ke berat yang tergolong
pada deaf atau tuli, dan a hard of hearing/kurang dengar. Orang tuli merupakan
mereka yang tidak mampu mendengarkan yang menyebabkan mereka mengalami
hambatan untuk memproses informasi bahasa dengan melalui pendengaran
mereka. Selanjutnya orang yang kurang dengar ialah mereka yang umumnya
memakai alat bantu pendengaran yang memiliki sisa dengar yang masih
memungkinkan dalam memproses informasi dengan pendengaran mereka.
Disfungsi terhadap pendengaran pada anak akan membuat mereka
mengalami keterlambatan pada perkembangan sosio emosinya dan kesulitan
dalam memahami pikiran dan perasaan orang lain. Hal ini yang membuat mereka
lebih sering menghasilkan emosi yang negatif, emosi negatif yang membuat para
anak tersebut menjadi kesulitan dalam berelasi dan berinteraksi dengan orang lain
sehingga orang-orang yang ada di sekeliling mereka lumayan kesulitan untuk
memahami serta menerima mereka (Liben, 1978).
Kesulitan-kesulitan tersebut yang membuat mereka mengalami hambatan
pada perkembangan sosio emosinya. Hartup menjelaskan kapabilitas individu
dalam berelasi dengan lingkungan sosialnya akan terlihat disaat para anak sedang
bermain. Menurut Yuhan (2013) menjelaskan bermain dengan teman sebaya
mempunyai peranan yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas
pertemanannya di masa mendatang, hal tersebut jadi penentu juga terkait berhasil
atau tidaknya anak dapat mempertahankan relasi mereka dengan teman sebaya.
Penyandang tunarungu lebih cenderung menciptakan interaksi sosial diantara
sesama mereka sebagai tunarungu yang mempunyai tingkat dengar yang kurang
lebih sama (Yuhan, 2013).
Dalam melakukan interaksi di lingkungan masyarakat, komunikasi verbal
merupakan komunikasi yang seringkali digunakan, sementara terhadap kasus
penyandang tunarungu ini komunikasi lisan serta verbal merupakan suatu hal

11
yang sulit untuk dilakukan. Tunarungu yang memiliki gangguan pendengaran
menjadi terhambat untuk mengembangkan kemampuan berbicara dan
berbahasanya dan hal tersebut juga bisa membuat perkembangan sosial ikut
terhambat sebab kurangnya penguasaan bahasa yang mereka miliki, hal ini
membuat para tunarungu kesulitan membangun relasi sosial dengan orang lain.
Pada umumnya, ketika melakukan komunikasi tunarungu memakai bahasa
isyarat BISINDO dan SIBI sesuai apa yang diketahui mereka. Namun tidak setiap
penyandang ini dapat memakai bahasa isyarat karena beberapa alasan, salah
satunya tunarungu yang ada lingkungan masyarakat yang kurang mendapat
pembelajaran tentang bahasa isyarat dan yang tidak sekolah. Sehingga mereka
kesulitan untuk melakukan interaksi sosial dengan lingkungannya (Octaviani dan
Yuningsih, 2020).
Penelitian yang dilakukan Naufal dan Husnita (2022) tentang “Pola
Komunikasi Interpersonal Penyandang Disabilitas Ganda” menjelaskan pola
komunikasi yang terjadi antara pengurus dengan anak-anak di Wisma Tuna Ganda
Palsigunung yaitu komunikasi primer dan sirkuler. Proses awalnya dari
komunikasi diantara pengurus dengan para anak melalui pendekatan emosional.
Pembelajaran dan terapi dilakukan dengan menyesuaikan dengan mood anak itu
sendiri, karena setiap anak memiliki mood dan karakter yang berbeda. Dan karena
hal itu pengurus juga mengaplikasikan cara berkomunikasi yang berbeda diantara
anak satu dengan yang lain (Naufal dan Husnita, 2022)
Hasil penelitian Larasati K. dan Marheni A. (2019) tentang “Hubungan
Antara Komunikasi Interpersonal Orangtua-Remaja Dengan Keterampilan Sosial
Remaja” menunjukkan jika ada hubungan yang signifikan diantara komunikasi
interpersonal antara orang tua remaja dengan keterampilan sosial yakni makin
efektifnya komunikasi interpersonal yang dibentuk di antara orang tua dengan
remaja, maka juga akan makin tinggi keterampilan sosial yang remaja miliki.
Dengan melalui komunikasi ini yang efektif dengan orang tuanya sudah bisa
dengan terbuka untuk menceritakan tentang dirinya sendiri serta permasalahan
yang mereka hadapi pada orang tuanya. Remaja bisa juga merasakan empati
disaat orang tua mendengarkan mereka.

12
Penelitian yang dilakukan oleh Octaviani dan Yuningsih, (2020) yang
berjudul “Kemampuan Interaksi Sosial Tunarungu di Kelurahan Batununggal
Kota Bandung”. Menyimpulkan bahwa kemampuan terkait interaksi sosial anak
tuna rungu di Kelurahan Batununggal di Kota Bandung bisa dikatakan belumlah
tercapai dengan optimal, hal tersebut bisa digambari dengan 2 kategori yakni
seperti kontak sosial yang termasuk hubungan diantara tunarungu dengan
lingkungan sosialnya serta hubungan diantara anak tunarungu dengan orangtua
dan keluarganya, yang mana 2 hal itu belum optimal berjalannya karena dalam
berinteraksi sosial dengan orang lain terutama orang normal pada biasanya anak
tunarungu akan mengalami kesulitan yang dikarenakan beberapa faktor yang
mempengaruhinya seperti faktor perasaan rendah diri sehingga ia jadi takut atau
malu untuk bertegur sapa dengan orang lain. Hubungan anak tunarungu dengan
orangtua dan keluarganya telah terjalin dengan baik meskipun masih ada keluarga
informan dalam penelitian tersebut yang kesulitan dalam memahami apa yang
dibicarakan informan (Octaviani dan Yuningsih, 2020).
Penelitian yang dilakukan Wayan Widiana, dkk (2019) tentang “Analisis
Interaksi Siswa Kolok (Tunarungu) di Sekolah Inklusif”. Hasil penelitian yaitu
interaksi sosial yang dilaksanakan siswa Kolok atau tunarungu di Kelas IV SDN 2
Bengkala memakai bahasa isyarat lokal, yaitu bahasa yang dipakai oleh para
siswa kolok dalam melakukan interaksi sosialnya diantara sesama mereka sebagai
mahasiswa kolok dan juga para siswa normal ataupun guru les dan guru
pendamping (Widiana, Nurjana dan Vidiawati, 2019). Dengan demikian
penelitian ini mencoba menganalisis relasi interpersonal siswa tunarungu di
SMALB 1 Negeri Bengkulu.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dirumuskan masalah
penelitian ini yaitu bagaimana Relasi Interpersonal Tunarungu di SMALB Negeri
1 Kota Bengkulu?.

13
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis relasi interpersonal tunarungu di
SMALB Negeri 1 Kota Bengkulu.

1.4 Manfaat Penelitian


1) Secara Teoritis
Kegunaan penelitian untuk menjadi sumbangan ilmu dan pemahaman baru
bagi kajian Kesejahteraan Sosial tentang bagaimana relasi interpersonal tunarungu
di SMALB Negeri 1 Kota Bengkulu.
2) Secara Praktis
a. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi penulis
maupun pembaca.
b. Penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan dalam praktek pekerjaan
sosial.

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Relasi Interpersonal
Menurut Duck & Gilmour (dalam Budyatna & Ganiem, 2011) Relasi
interpersonal atau hubungan antar pribadi dapat didefinisikan sebagai serangkaian
interaksi antara dua individu yang saling kenal satu sama lain dan saling
bergantung, hubungan ini dapat terbangun apabila orang yang terlibat didalamnya
menunjukkan rasa empati dan sikap saling menerima dan memahami satu sama
lain. Relasi interpersonal memiliki tingkat keluasan dan kedalam yang berbeda.
Wulandari & Rahma menjelaskan relasi interpersonal adalah suatu relasi antar
personal yang terjadinya antara 2 orang ataupun lebih, relasi ini dapat terbangun
dengan melalui proses sosial yang melibatkan 2 orang ataupun lebih. Pada
masing-masing pihak tersebut tentu saja mempunyai kontribusi yang sesuai
dengan kapasitas membangun kepentingan relasi yang sesuai dengan harapan
(Wulandari dan Rahma, 2018).

Menurut Michener & Delamater relasi sosial atau bisa disebut juga dengan
hubungan sosial merupakan hasil dari rangkaian tingkah laku dan interaksi yang
sistematis diantara 2 orang ataupun lebih. Pada relasi ini hubungan yang timbal
balik diantara individu dengan kelompok masyarakat yang saling mempengaruhi.
Hubungan dapat bersifat formal maupun informal yang intim dan selaras guna
mencapai tujuan tertentu (Anggita, Soraida dan Yunudyawati, 2019).

Max Weber (dalam Soekanto, 2011) menggambarkan hubungan sosial sebuah


kondisi ketika 2 orang ataupun lebih ikut terlibat pada sebuah proses perilaku,
yang mana proses itu terjadinya karena didasari tingkahlaku pihak-pihak yang
terlibat dengan perilaku pihaknya diperhitungkan. Dengan demikian hubungan
sosial yang berisi kemungkinan jika para pribadi yang ikut serta ini akan bersikap
dengan cara yang berisi arti dan dahulu ditetapkan.

Arti suatu hubungan sosial yang bisa disepakati dengan dasar persetujuan
mutual yang berarti pihak-pihak yang ikut serta di sebuah hubungan tertentu akan

15
membuat perjanjian tentang perilaku mereka di masa mendatang. Dengan
demikian semua pihak selama ia bersikap rasional pada kondisinya akan dianut
oleh pihak yang lain yang akan beradaptasi dengan kesepakatan yang ada.

Teori Simmel (Soekanto, 2011) mengungkapkan mengenai relasi sosial


yang memberi konsep masyarakat adalah hasil dari interaksi di antara individu -
individu. Masyarakat dipandang lebih daripada suatu kumpulan individu, yang
mana apabila individu hidup tidak lepas dari kehidupan luar, orang lain dan diri
mereka sendiri yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain. Simmel memakai
pendekatan yakni pendekatan asosiasi ialah seseorang yang saling berkaitan
dengan mempengaruhi sehingga terbentuklah sebuah masyarakat.

Teori Simmel bukan hanya menjadi titik tolak terhadap konsep masyarakat
tetapi juga menjadi konsep interaksi sosial atas sejumlah individu ataupun
kelompok yang membentuk masyarakat itu sendiri. Konsep masyarakat hanya
menunjuk pada interaksi sosial yang terjadi, menurut Simmel masyarakat itu
bukan substansi tetapi unsur-unsur. Simmel memfokuskan teorinya pada
hubungan-hubungan sosial (social relationships).

Riwayat hidup Simmel sebagai filosof telah meraih gelar profesor dan
pernah mengalami masa sulit sehingga ia melihat jika ternyata manusia itu tidak
dapat hidup tanpa orang lain. Pertemuan dengan orang baru yang tidak dikenali
sebelumnya jadi suatu tantangan baru untuknya di dalam berinteraksi sosial,
sehingga perjumpaan-perjumpaan tersebut dituangkan dalam sejumlah teori
interaksi sosial.

George Simmel juga menyebut dalam istilah Jerman manusia sebagai


Unterschiedswesen (mahluk pembeda) yang artinya manusia berbeda, dia tidak
mau disamakan dengan orang lain, ia selalu ingin berbeda dengan yang lainnya.
Manusia singkatnya merupakan makhluk yang sama walaupun mempunyai
perbedaan diantara sesama mereka, pada kesamaan tersebut ia berbeda sementara
pada perbedaanya ia sama. Hal ini sejalan dengan konsep penyandang disabilitas
khususnya tunarungu, dengan keterbatasan yang mereka miliki, mereka juga

16
memiliki kebutuhan yang sama dengan orang lain yang bukan penyandang
tunarungu dan harus melakukan relasi dengan orang lain layaknya manusia pada
umumnya.
Selain memaparkan tentang bentuk struktur yang terjadi, teori relasi sosial
Simmel memaparkan juga mengenai relasi interpersonal, yang mana relasi ini
yang membentuk triad dan diad. Pada konsep dyad memberi gambaran hubungan
diantara 2 individu, sedangkan triad menggambarkan hubungan tiga atau lebih
yang saling terikat.
Relasi interpersonal yang baik jika interaksi yang bersifat positif serta
menguntung untuk mereka yang terlibat dalam hal itu. Sebaliknya hubungan yang
tidak baik dan terjadi begitu saja dan tidak terpelihara dan tidak berkembang.

Secara psikologis seseorang yang mampu menjalin relasi interpersonal akan


mendapatkan keuntungan. Dengan adanya orang lain pada hidupnya akan jadi
tempat merefleksikan diri, dengan mendapat penilaian orang lain atau dengan
bercermin dari orang lain. Dengan relasi interpersonal seseorang dapat lebih
mengekspresikan beban atau kebutuhannya yang tidak dapat dipenuhi sendiri.
Relasi interpersonal yang kuat akan memberi kesempatan seseorang untuk dapat
membagi beban kehidupan mereka dengan orang lain, dan dalam relasi tersebut
seseorang dapat mengembangkan potensi diri secara psikis dan sosial. Oleh
karenanya relasi interpersonal adalah suatu kebutuhan sosial primer untuk semua
orang. (Wulandari dan Rahma, 2018).

Sifat utama relasi interpersonal adalah pada hubungan pengolahan pesan yang
timbal-balik. Perspektif sosiologis menjelaskan hubungan timbal-balik ini dengan
(1) adanya face to face atau interaksi dengan tatap muka yang sering dikenal
interaksi interpersonal, (2) yang kemudian membentuk hubungan interpersonal
(interpersonal relationships) = interaksi interpersonal dinamis, interaktif serta
transaksional; (3) dan membentuk suatu komunikasi yang interpersonal.

Sifat hubungan yang timbal balik letaknya ada di tahap interaksi


interpersonal, pembentukan relasinya lalu membangun komunikasi interpersonal

17
itu sendiri. Di satu sisi, komunikasi ini hanya dapat terjadi apabila terdapat relasi
dan interaksi yang mendahului, interaksi interpersonal yang jadi proses personal
yang utama dan dapat memperkuat relasi dan interaksi interpersonal. Dengan
demikian 2 orang maupun lebih bisa membentuk dan relasi dan melakukan
interaksi interpersonal tetapi apabila tidak adanya komunikasi interpersonal antara
mereka, maka relasi interpersonalnya itu akan dibubarkan sendiri (Liliweri,2015)

Dean Barnlund dalam (Harapan dan Ahmad, 2014) menjelaskan mengenai


komunikasi antarpersonal sebagai suatu perilaku orang dalam sebuah pertemuan
tatap muka pada situasi sosial informal yang melaksanakan interaksi yang
fokusnya lewat pertukaran isyarat non verbal dan juga verbal yang saling
membalas. Sehingga jika terdapat proses komunikasi yang tidak adanya feedback
itu bukan proses komunikasi. Misalnya seseorang yang berbicara dengan patung,
patung tersebut tidak dapat memberikan reaksi, maka itu bukan komu nikasi
antarpribadi (interpersonal) tetapi komunikasi intrapersonal. Komunikasi
intrapersonal merupakan komunikasi di dalam diri individu tanpa ikut membuat
orang lain terlibat ataupun sederhananya komunikasi dengan dirinya sendiri.

Komunikasi antarpribadi ialah suatu interaksi yang paling sedikitnya 2 orang.


Menurut John Steward & Gary D’Angelo (1980) menjelaskan apabila ia
memandang partisipan dalam komunikasi antarpersonal berkaiatan diantara satu
sama lainnya sebagai individu pribadi yang mempunyai keunikan tersendiri, yang
mempunyai kemampuan memilih, memiliki perasaan, mempunyai manfaat dan
dapat merefleksikan diri (Harahap & Ahmad, 2014).

Richard L. Weaver (dalam Budyatna & Ganiem, 2011 ) ciri-ciri komunikasi


antarpribadi (interpersonal), yakni:

A. Paling sedikit melibatkan 2 orang: arti sederhana dari komunikasi


interpersonal adalah jumlah orang yang ikut terlibat dan sesungguhnya
komunikasi interpersonal terjadi di antara 2 orang dari bagian kelompok
yang lebih besar.

18
B. Terdapat feedback atau umpan balik yakni komunikasi antarpribadi harus
mengikutsertakan feedback yang sifatnya nyata, berkesinambungan dan
juga segera.
C. Tatap muka tidak jadi suatu yang diharuskan yaitu untuk komunikasi
antarpribadi yang sudah tercipta, maka kehadiran secara fisik tidak
menjadi suatu hal yang penting seperti interaksi menggunakan email.
D. Tidak diharuskan mempunyai tujuan, maksudnya komunikasi
interpersonal ini tidak wajib selalu dengan sadar atau disengaja.
E. Memberikan hasil berupa effect dan pengaruh, maksudnya guna dianggap
sebagai komunikasi interpersonal itu benar dan baik maka pesan yang
dikirimkan haruslah mempunyai pengaruh atau effect.
F. Tidak diharuskan memakai kata-kata , maksudnya komunikasi
antarpribadi bisa berlangsung tanpa adanya kata-kata misalnya komunikasi
yang sifatnya non verbal.
G. Dipengaruhi konteks, maksudnya merujuk pada tempat di mana pertemuan
yang melakukan komunikasi terjadi meliputi apa yang melatarbelakangi
komunikasi tersebut.
H. Dipengaruhi gangguan atau kegaduhan atau juga noise: setiap stimulus
yang mengganggu pada proses penyampaian pesannya. Gangguan ini bisa
sifatnya internal, eksternal maupun semantic.

Terdapat tahapan-tahapan yang membentuk relasi interpersonal yang menjadi


proses sosial menurut De Vito (dalam Wulandari dan Rahma, 2018) berbagai
tahap itu adalah pergerakan atas relasi negative dan positif, meliputi ;

1) Kontak yakni suatu tahap awal di dalam relasi antarpribadi yang


menggunakan alat indra menilai orang lain serta membuat suatu keputusan
melanjutkan hubungan ini atau tidak. Selanjutnya penampilan yang jadi
indikator utama pada kontak yang dikarenakan jelas dan juga mudah.
2) Keterlibatan: pada tahap ini telah terbangun kontak dan merupakan tahap
pengenalan lebih jauh, biasanya telah melakukan minat, hobi atau sesuatu
secara bersama sama.

19
3) Keakraban: pada tahap ini menciptakan hubungan yang terikat diantara
individu, yang disebut juga dengan hubungan primer.
4) Perusakan yakni pada tahap ini menciptakan hubungan yang terikat
diantara individu dengan tanda melemahnya suatu ikatan, merasakan
hubungan itu tidak terlalu penting dan mulai menjauh.
5) Pemutusan yakni suatu keadaan yang menunjukkan tali pengikat yang
terputus.

2.1.1 Aspek Relasi Interpersonal


Relasi interpersonal mempunyai aspek-aspek tertentu. Menurut Jalaluddin
Rakhmat (1996) dalam bukunya Psikologi Komunikasi yang mengatakan jika
relasi interpersonal yang diciptakan atas dasar aspek, yaitu:
1) Aspek kesamaan karakteristik personal
Orang-orang yang mempunyai sikap dan nilai, agama dan keyakinan,
tingkat sosio ekonomi, ideology akan lebih cenderung saling suka, yang
mana mereka akan mudah bersahabat yang memperlihatkan eratnya
korelasinya kepribadian mereka.
2) Stress atau tekanan emosional
Jika seseorang yang berada pada kondisi yang penuh dengan tekanan
emosional dan rasa cemas maka ia akan butuh kehadiran orang lain, di mana
orang-orang yang sama-sama mempunyai penderitaan yang sama akan
menciptakan kelompok yang mempunyai rasa solidaritas tinggi.
3) Rendahnya harga diri
Jika harga dirinya direndahkan maka seseorang akan memiliki hasrat untuk
bergabung dengan orang lain atau filiasi juga akan meningkat, selain itu ia
juga akan semakin responsive dalam menerima kasih sayang dari orang lain.
Orang rendah diri lebih cenderung mudah dalam mencintai orang lain.
4) Isolasi sosial
Perilaku menyenangkan orang lain yang bertambah akan memberikan
dampak yang positif terhadap diri seseorang.

20
2.1.2 Tipe Relasi Interpersonal
Joseph DeVito (2014) mengemukakan berbagai definisi dari tipe-tipe
interpersonal, tipe relasi interpersonal tersebut, yaitu:

1. Friendship Relationships
Yaitu hubungan persahabatan antara dua orang yang saling menguntungkan
dan saling menghargai. Hubungan ini biasanya bersifat positif. Persahabatan
merupakan sebuah hubungan interpersonal yang mana pasti terjadi komunikasi
dan interaksi. Lebih lanjut, hubungan ini memandang satu sama lain sebagai
pribadi yang utuh, sebagai individu yang unik, apa adanya dan tak tergantikan.
Hubungan persahabatan tidak merugikan atau merusak individu yang terlibat
didalamnya, misalnya mengintimidasi, mengontrol, atau mengejek satu sama lain.
Sebaliknya hubungan persahabatan ditandai dengan kesetiaan, saling menyayangi
dan terdapat keseimbangan antara memberi dan menerima. Tiga hal utama yang
harus ada dalam hubungan persahabatan ini adalah kepercayaan, dukungan
emosional dan saling berbagi. Semakin dekat hubungan persahabatan maka
semakin mereka saling bergantung, mereka juga cenderung memiliki gaya
berinteraksi dan aturan yang mereka buat sendiri, mereka akan memutuskan apa
yang bisa dilakukan dan apa yang tidak bisa mereka lakukan tanpa menyinggung
satu sama lain.
Cara seseorang memandang persahabatan akan dipengaruhi oleh budaya,
gender, dan teknologi. Pandangan persahabatan yang dipahami dan dijalani dalam
budaya Amerika Serikat yang cenderung individualis akan berbeda dengan
budaya Timur Tengah dan Asia yang cenderung kolektivis. Yang mana
persahabatan cenderung lebih erat dalam budaya kolektivis karena pada budaya
ini lebih fokus pada kelompok dan kerjasama, sedangkan pada budaya
individualis cenderung lebih fokus pada diri sendiri dan cenderung pada
persaingan. Gender atau jenis kelamin sangat juga berpengaruh dalam membentuk
cara pandang seseorang tentang persahabatan. Wanita biasanya lebih terlibat
perilaku afektif dan berbagi perasaan dan kepercayaan dengan teman-teman
mereka. Sementara, persahabatan laki-laki lebih sering dibangun dengan kegiatan

21
bersama, misalnya kegiatan olahraga. Selanjutnya teknologi juga mempengaruhi
persahabatan sebelumnya, pertemanan biasa dimulai saat bertemu di sekolah,
tempat kerja, atau lingkungan tempat tinggal, namun saat ini persahabatan online
dalam berbagai bentuk telah menjadi bagian kehidupan pertemanan. Fenomena
persahabatan online telah menjadi bagian dari kehidupan sosial seseorang saat ini.

2. Family relationships
Konsep keluarga sangat luas, tidak terbatas pada model keluarga tradisional
yang hanya terdiri dari suami, istri, dan anak-anak. Saat ini ada berbagai jenis
hubungan yang juga dianggap sebagai keluarga termasuk keluarga tanpa anak
dan pasangan yang tinggal bersama tanpa menikah. Namun pada prinsip nya
karakteristik dan struktur umum keluarga yang berlaku tetap seperti keluarga
tradisional. Setiap keluarga memiliki peran yang diakui bersama oleh anggota
keluarganya, misalnya peran sebagai kepala keluarga, peran sebagai ibu rumah
tangga dan peran sebagai anggota keluarga. Selanjutnya tanggung jawab setiap
anggota keluarga sesuai dengan perannya, yang mana anggota keluarga memiliki
kewajiban dan tanggung jawab kepada satu sama lain, baik secara finansial
maupun emosional.
Keluarga dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, salah satunya tipologi
yang berorientasi pada komunikasi keluarga, ini adalah cara untuk
mengklasifikasikan dan memahami keluarga berdasarkan bagaimana mereka
berinteraksi dan berkomunikasi dalam hubungan keluarga. Dalam tipologi ini,
keluarga dilihat dari dua cara utama, (1) Conformity-orientation merujuk pada
sejauh mana anggota keluarga mengungkapkan sikap, nilai, dan keyakinan
mereka. Keluarga dengan tingkat conformity yang tinggi cenderung memiliki
kesamaan dalam sikap, nilai dan keyakinan dan berusaha menghindari konflik,
begitu pun sebaliknya keluarga dengan conformity rendah biasanya anggota
keluarga biasanya memiliki sikap, nilai, dan keyakinan yang berbeda-beda yang
menyebabkan sering terjadi konflik dalam hubungan keluarga ini. (2)
Conversation-orientation mengacu pada sejauh mana anggota keluarga dapat
mengungkapkan pendapat, berbicara, terbuka dan berdiskusi tentang berbagai

22
hal. Hubungan keluarga dengan tingkat conversation mendorong keluarga untuk
terlibat dalam diskusi dan mendukung penyampaian pendapat anggota,
sebaliknya hubungan keluarga dengan tingkat conversation rendah biasanya
menghindari diskusi dan kurang mendengar pendapat anggota keluarga yang
lain.

Berdasarkan hasil kombinasi dua cara utama tersebut menghasilkan empat


jenis keluarga, yaitu (1) Consensual families, merupakan jenis keluarga yang
tinggi dalam conformity dan tinggi dalam conversation, yang mana keluarga ini
mementingkan komunikasi dalam mencapai kesepakatan dalam keluarga juga
anggota keluarga terlibat aktif dalam diskusi dan berusaha untuk mencapai
kesepakatan dalam berbagai masalah. (2) Protective families, merupakan
keluarga yang tinggi dalam conformity dan rendah dalam conversation, yang
mana keluarga jenis ini mendorong untuk mencapai kesepakatan dan berusaha
menghindari konflik, tetapi komunikasi terbuka kurang ditekankan, keluarga ini
cenderung kurang dalam berdiskusi. (3) Pluralistic families, merupakan keluarga
yang rendah dalam conformity dan tinggi dalam conversation, yang mana
keluarga ini kurang memberikan dukungan untuk berbagai sikap anggota
keluarga namun anggota keluarga diizinkan untuk mengungkapkan pendapat
secara terbuka walau pendapat yang berbeda satu sama lain.(4) Laissez-faire
families, merupakan keluarga yang rendah conformity dalam dan rendah dalam
conversation, yang mana kurangnya komunikasi dan interaksi dalam keluarga ini
dan mungkin keluarga ini menghargai privasi dan kebebasan anggota keluarga
dalam berperilaku. Penting diketahui bahwa tidak ada penilaian bahwa satu jenis
keluarga lebih baik dari jenis keluarga yang lain, karena apa yang berhasil dalam
suatu keluarga bisa jadi tidak berhasil dalam keluarga lain. Dengan kata lain
setiap jenis keluarga memiliki dinamika dan karakteristiknya sendiri.

Family relationship juga dipengaruhi oleh budaya, gender, dan teknologi.


Dalam berbagai budaya, konsep keluarga dan cara setiap anggota berfungsi atau
tanggung jawab setiap anggota keluarga dapat sangat berbeda. Selain itu hak dan
kewajiban individu dalam keluarga dapat berbeda tergantung pada budaya dan

23
gender. Teknologi juga mempengaruhi dinamika keluarga,baik dalam cara
keluarga berkomunikasi maupun dalam cara menjalani kehidupan sehari-hari.

3. Love Relationships
Dari semua tipe relasi interpersonal, love relationship dianggap sebagai tipe
yang paling kompleks, karena hubungan ini melibatkan perasaan cinta kasih yang
ditandai dengan kedekatan, perhatian, keintiman, gairah, dan komitmen.
Hubungan ini dapat berkembang dan terjaga namun juga kadang hubungan ini
dapat putus atau hancur. Love relationship didasari pada enam jenis cinta yang
berbeda, yaitu; (1) Eros, cinta berdasarkan keindahan dan seksualitas. (2) Ludus,
cinta yang dianggap sebagai permainan dan hiburan. (3) Storge, cinta yang
berfokus pada kedamaian dan perkembangan hubungan tersebut. (4) Pragma,
cinta yang praktis, bisa karena kepentingan atau berdasarkan kebutuhan dan
tradisi. (5) Mania, cinta dengan perasaan yang ekstrem, seperti euphoria dan
depresi, dengan kata lain ingin memiliki seutuhnya dan dimiliki seutuhnya. (6)
Agape, cinta yang tulus tanpa ego, berfokus pada kasih sayang dan kebaikan
tanpa mengharapkan imbalan. Ke enam jenis tersebut memiliki karakteristiknya
sendiri dan tujuan yang berbeda dalam hubungan interpersonal.
Budaya memainkan peran penting dalam mempengaruhi love relationship.
Terdapat perbedaan cara orang menjalani dan memahami love relationship
berdasarkan latar belakang budaya mereka, seperti cenderung orang Asia lebih
fokus pada persahabatan, sementara orang Eropa lebih cenderung pada cinta
romantis. Selain itu, hukum, norma sosial, dan ekspektasi budaya juga
mempengaruhi cara hubungan ini. selanjutnya terdapat perbedaan persepsi antara
laki-laki dan wanita dalam memahami love relationship, hal ini tercermin dari
bagaimana mereka bertindak saat sedang jatuh cinta, sedang menjalani hubungan
dan saat mengakhiri hubungan percintaan tersebut.

4. Workplace Relationships

24
Workplace Relationships adalah bentuk hubungan yang biasanya terjadi di
tempat kerja. Di tempat kerja semua bentuk komunikasi bisa terjadi maka tidak
heran kalau relasi interpersonal juga bisa terjadi. Ada tiga jenis Professional
relationship yaitu: (1) Mentoring, adalah hubungan antara individu yang
berpengalaman dengan seseorang yang kurang berpengalaman. Dengan kata lain,
hubungan antara senior dan junior di tempat kerja, yang mana umumnya senior
akan membantu dan melatih junior yang baru masuk kerja. Dalam mentoring ini
akan terjadi pertukaran informasi dan pemikiran antara senior dan junior yang
memungkinkan junior mendapat pemahaman tentang pekerjaan, perspektif
pendatang baru, dan pengembangan kemampuan untuk memecahkan masalah
yang terjadi di tempat kerja. (2) Networking, adalah suatu proses yang
melibatkan interaksi dengan orang lain untuk mendapat bantuan, pemecahan
masalah, pengembangan wawasan tentang pekerjaan. Networking biasanya
terjalin antara individu yang sudah saling mengenal dan biasanya hubungan ini
saling menguntungkan satu sama lain. Selain itu, dengan kemajuan teknologi
networking juga dapat dilakukan secara online melalui media sosial. (3)
Romantic relationship at work, hubungan asmara di tempat kerja seringkali
menjadi masalah kompleks dan kontroversial di berbagai organisasi. Beberapa
organisasi melarang karyawan terlibat hubungan asmara di tempat kerja karena
dianggap merugikan produktivitas perusahaan. Namun, ada juga organisasi yang
mentolerir hubungan asmara di tempat kerja. Sebenarnya ada hal positif dari
hubungan asmara di tempat kerja seperti kesempatan bertemu dengan orang yang
memiliki minat dan latar belakang yang sama, namun ketika hubungan tersebut
positif bagi individu yang terlibat, hubungan tersebut juga memiliki potensi
memunculkan masalah terutama dalam konteks manajemen, keputusan promosi,
atau relokasi yang harus diambil. Dengan demikian, hubungan pertemanan di
tempat kerja sangat didukung, namun hubungan asmara dianggap berisiko dan
biasanya dihindari banyak organisasi.
Tata krama di tempat kerja merupakan hal yang penting dari awal hingga
akhir karier seseorang. Terdapat aturan umum tata krama di tempat kerja seperti
bersikap positif, berkomunikasi dengan baik, mendengarkan dengan cermat, dan

25
mencakup berbagai aspek interaksi antarpribadi, setiap tempat kerja memiliki
aturan yang sedikit berbeda dalam hal yang dianggap boleh atau tidak dilakukan.
Namun, ada beberapa pedoman umum yang berlaku di hampir semua lingkungan
kerja, contohnya menghargai kolega, menghormati privasi pribadi, menghindari
sentuhan fisik yang tidak diinginkan, dan memperlakukan semua orang dengan
sopan. Tata krama adalah nilai yang sangat penting di tempat kerja dan memiliki
implikasi besar dalam mengbangun hubungan dan berinteraksi sehari-hari antar
karyawan serta membangun budaya kerja yang positif dan professional.
5. Online-Only Relationships
yaitu suatu relasi interpersonal yang diciptakan dengan melalui jaringan
internet atau media sosial seperti hubungan antara pengguna Instagram dengan
pengikutnya, blogger dengan pembacanya, serta teman di platform Facebook atau
kontak di WhatsApp. Relasi interpersonal di dunia nyata dan di dunia maya sering
kali memiliki kesamaan dalam membangun komunikasi, yang artinya kedua relasi
membutuhkan komunikasi dan interaksi untuk dapat tetap terjaga. Di era sekarang
juga mengajak setiap pengguna media sosial untuk lebih interaktif, di mana
penggunanya bisa memberikan komentar, memberi ulasan, menyukai, atau hal-hal
lain yang melibatkan pengguna masuk dalam komunikasi online.
Berikut penggunaan media sosial atau jejaring internet dengan positif, yaitu
(1) Tidak mengunggah foto yang mencerminkan citra diri secara negatif. (2)
Tidak mengeluh di sosial media, misalnya mengeluh tentang masalah pekerjaan
akan membuat pihak manajemen menilai kurang professional. (3) Tidak
membocorkan kebiasaan buruk orang-orang terdekat di media sosial atau
membicarakan perilaku buruk seseorang. (4) mengatur privasi di jejaring sosial
atau mengelompokkan orang-orang yang bisa melihat informasi pengguna.

2.1.3 Pola komunikasi dalam Relasi Interpersonal


Dengan terbentuknya hubungan atau relasi, maka berkembang pula pola-
pola komunikasi. Pola dapat diartikan sebagai corak atau gambaran dari hubungan
sosial yang sifatnya tetap. Pada pola interaksi sosial terbentuk dengan jalan proses
yang berulang dan lama sampai timbul model komunikasi yang tetap agar bisa

26
ditiru serta dijadikan contoh. Dengan pola interaksi tersebut maka akan memberi
hasil yang penuh keajegan yang mana hal itu sebuah keadaan yang teratur secara
sosial dan juga tetap serta berlangsung secara terus menerus.
Canggara (dalam Inah dan Trihapsari, 2016) menjelaskan pola komunikasi
dalam beberapa kategori, yaitu:
a) Pola komunikasi primer
Pola komunikasi ini sebagai sebuah proses menyampaikan pikiran dari
pihak komunikator terhadap komunikan dengan memakai sebuah lambang
sebagai saluran atau media. Pada pola ini terbagi atas 2 lambang yakni
lambing nonverbal, dan verbal.
b) Pola komunikasi sekunder
Pada pola ini yakni sebagai suatu proses menyampaikan pesan dari
komunikator terhadap komunikan dengan memakai sarana ataupun alat
yang menjadi media kedua sesudah memakai lambing komunikasi yang
lebih banyak jumlahnya dan jauh juga tempatnya.
c) Pola komunikasi linear
Makna dari linear adalah lurus yang artinya perjalanan dari 1 titik kepada
titik yang lainnya dengan lurus, maksudnya suatu penyampaian pesan dari
komunikator terhadap komunikan sebagai titik terminalnya.
d) Pola komunikasi sirkular
Secara harfiah sikular berarti bulat, bundar ataupun keliling. Pada
prosesnya sirkular ini terjadi umpan balik, yang mana di dalam pola
komunikasi seperti ini akan berjalan terus proses komunikasinya.

2.2 Penyandang Disabilitas


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas yang menjelaskan bahwa penyandang disabilitas adalah
“setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan/atau
sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan
dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan
efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”.

27
Dengan lahirnya UU Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas
terjadi pergeseran paradigma terhadap penyandang disabilitas, sebelumnya dalam
UU Nomor 4 Tentang Penyandang Cacat mendefinisikan penyandang cacat yaitu
“setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang cacat fisik, penyandang cacat
mental, dan penyandang cacat fisik dan mental. UU Penyandang Cacat ini
dipandang bersifat belas kasihan (charity based) dan dinilai menjadikan
penyandang cacat sebagai objek”. Belum lagi dalam UU Penyandang Cacat ini
pemenuhan hak penyandang disabilitas dianggap hanya dilakukan oleh sektor
sosial,dikarenakan para orang yang menyandang disabilitas masih dinilai menjadi
persoalan permasalahan sosial yang mana kebijakan dalam memenuhi hak mereka
berupa rehabilitasi sosial serta jaminan sosial.

2.2.1 Tunarungu
Tunarungu merupakan suatu istilah yang diambil dari kata tuna dan rungu
yang mana tuna berarti kurang dan rungu berarti pendengaran. Menurut Murni
Winarsih (dalam Rahmah, 2018) menjelaskan tunarungu ialah suatu istilah umum
untuk menunjukkan kesulitan dalam pendengaran seseorang mulai dari skala
ringan hingga ke skala yang berat yang tergolong atas tuli serta kurang dengar.
Anak tunarungu merupakan anak yang kehilangan keberfungsian pendengarannya
sebagian ataupun seluruhnya sebagai akibat dari rusaknya fungsi pendengaran
yang dampaknya begitu kompleks di dalam kehidupan (Rahmah, 2018)
Mohammad (dalam Wasito, Sarwindah dan Sulistiani, 2010)
mengemukakan jika pendengaran yang terganggu akan membuat individu
penguasaan bahasanya juga menjadi terbatas, hal itu bisa membuat kesempatan
berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya menjadi ikut terhambat. Anak
tunarungu seringkali menafsirkan suatu hal dengan negatif sebab mereka kurang
memahami bahasa tulisan dan juga lisan. Dan hal tersebut menyebabkan tekanan
emosi bagi penyandang tunarungu.
Perkembangan Anak Tunarungu menurut Sutjihati (dalam Wasito,
Sarwindah dan Sulistiani, 2010) menjelaskan bahwa:

28
1. Perkembangan terkait kognitif atau intelegensi pada anak yang menyandang
tunarungu dipengaruhi perkembangan bahasa yang membuat kemampuan
bahasa mereka terhambat sehingga perkembangan intelegensinya ikut
terhambat.
2. Kekurangan dalam memahami bahasa tulisan serta lisan sering
mengakibatkan para tunarungu memberi penafsiran pada suatu hal dengan
negative ataupun salah yang mampu memberi tekanan pada emosi mereka.
Tekanan ini bisa membuat perkembangan diri menjadi terhambat dengan
sikap menutup dirinya keluar, bersikap dengan agresif maupun sebaliknya,
Nampak ragu-ragu dan juga bimbang.
3. Anak tunarungu banyak sekali yang mengalami kecemasan sebab
komunikasi lingkungan yang beragam, hal ini membuat anak tunarungu jadi
kebingungan yang seringkali menimbulkan konflik, ketakutan, dan
kebingungan karena sesungguhnya ia hidup di lingkungan yang berbagai
macam.
4. Perkembangan pribadi anak ditentukan berdasarkan hubungan diantara anak
dengan orang tuanya khusus ibu, ditambah lagi ketika perkembangannya
masih di fase awal. Pada perkembangan kepribadian anak ini terjadi di
dalam pergaulan ataupun perluasan pengalaman yang biasanya diarahi
faktor anak itu sendiri.

2.2.2 Karakteristik Tunarungu


Karakteristik ABK tunarungu sangatlah berbeda dengan anak normal
lainnya. Dampak ketunarunguannya, ABK tunarungu memiliki karakteristik yang
berbeda. Uraian akan yang akan dijelaskan mencakup empat karakteristik
diantaranya sebagai berikut:
1) Segi fisiknya
a) Pada cara berjalan anak tunarungu membungkuk, kaku yang diakibatkan
oleh masalah organ keseimbangan pada telinga mereka. Hal itu yang
menjadi penyebab para tunarungu mengalami keseimbangan yang kurang
pada aktivitas fisik mereka.

29
b) Tidak teratur dan pendeknya pernafasan, anak tunarungu tidak pernah
mendengar berbagai jenis suara di dalam kehidupan kesehariannya,
bagaimana mengucapkan, suaranya, intonasinya dan lain-lain sehingga
mereka tidak biasa mengatur pernafasan seperti dalam berbicara.
c) Agak beringas dalam hal melihat, sebagai salah satu alat indra penglihatan
yang paling banyak dipakai oleh anak yang menyandang tunarungu sebab
pengalaman mereka sebagian besar didapat dengan melihat. Oleh sebab itu
para anak ini dikenal juga dengan anak visual, sehingga cara melihatnya
Nampak memperlihatkan besarnya keingintahuan mereka atau terlihat
beringas.
2) Segi bahasa
a) Tidak banyak memiliki kosa kata
b) Kesulitan mengartikan idiomatik/kata yang mengandung makna ungkapan.
c) Kurang teraturnya dalam tata bahasanya.
3) Segi intelektual nya
a) Normalnya kemampuan intelektual, yakni pada hakikatnya para anak
tunarungu tidak mempunyai masalah pada intelektualnya tetapi sebagai
akibat bahasa dan komunikasi mereka yang terbatas membuat
perkembangan mereka menjadi lambat dalam hal intelektualnya.
b) Lambatnya perkembangan akademik, hal sebab bahasa mereka yang
terbatas, seringkali mereka lambat dalam hal intelektual dikarenakan
komunikasinya yang terhambat sehingga mereka juga akan terhambat dalam
segi akademiknya.
4) Sosial Emosional
a) Mudah berprasangka dan seringkali curiga, sikap ini timbul karena
pendengarannya yang mengalami kelainan sehingga mereka tidak
mampu memahami apa yang orang lain bicarakan yang membuat ia
curiga.
b) Seringkali sikapnya agresif, hal ini terjadi karena mereka tidak mampu
mengartikan apa yang orang lain katakana.

30
2.2.3 Faktor Penyebab Tunarungu
Penyebab hilangnya pendengaran dapat dikarenakan faktor genetic, infeksi
pada ibu misalnya seperti infeksi selama kehamilan terkena cacar air, ketika
melahirkan mengalami komplikasi, pada awal masa anak-anak telah mengalami
cacar air dan gondok. Sekarang ini banyak sekali anak yang dilindungi dari
kehilangan indra pendengarannya dengan cara memberi vaksinasi guna mencegah
infeksi terjadi. Berbagai tanda permasalahan indera pendengaran yakni dengan
mengarahkan salah satu telinganya ke pembicara, memakai salah satu telinga ke
dalam suatu percakapan atau tidak memahami obrolan disaat wajah pembicara
tidak bisa dilihatnya, indikasi lain ialah tidak mengikuti arahan, seringkali
meminta orang lain mengulang apa dikatakan mereka, salah mengucapkan nama
orang atau kata, tidak ingin ikut berpartisipasi ketika diskusi kelas (Anita, 2004).

Berbagai sebab kelainan pada pendengaran atau disebut juga dengan


tunarungu yang bisa terjadi sebelum anak dilahirkan ataupun setelah mereka
dilahirkan. Sardjono (Rahmah, 2018) mengungkapkan jika faktor penyebab
tunarungu bisa terbagi atas:

A. Faktor-faktor prenatal atau sebelum dilahirkan


▪ Cacar air
▪ Campak seperti Rubella, Gueman measles
▪ Terjadinya toxaemia atau keracunan pada darah
▪ Pemakaian obat dalam jumlah besar atau pilkina
▪ Anoxia atau kekurangan oksigen
▪ Adanya kelainan pada organ pendengaran anak dari lahir
B. Faktor natal atau saat anak anak dilahirkan
C. Faktor Rhesus (Rh) ibu atau anak yang sejenis
▪ Anak yang lahirnya dengan pre mature
▪ Anak yang lahir memakai alat bantu tang atau forcep
▪ Proses pada kelahiran yang terlalu lama
D. Faktor post natal atau setelah anak yang dilahirkan
▪ Infeksi

31
▪ Peradangan pada selaput otak anak atau meningitis
▪ Tunarungu perseptif yang sifatnya keturunan
▪ Otitis Media kronis
▪ Terjadinya infeksi terhadap berbagai alat pernafasan.

Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan jika faktor yang menjadi penyebab
terjadi tunarungu ialah pre natal atau keturunan, natal atau bawaan pihak ibu, post
natal atau faktor setelah anak dilahirkan.

2.3 Sekolah Luar Biasa


Sekolah sebagai satuan pendidikan merupakan suatu kelompok pelayanan
pendidikan yang mengadakan pendidikan dengan jalur non formal, formal serta
informal pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Pendidikan luar biasa adalah
suatu layanan pendidikan khusus yang diberi kepada para peserta didik yang
mempunyai kebutuhan khusus bertujuan supaya mereka bisa melewati proses
perkembangan dan pertumbuhannya dengan optimal ketika menjalankan aktivitas
belajar (Hasmira, 2016)
Menurut Suparno (dalam Hasmira, 2016) mengemukakan Sekolah Luar
Biasa yaitu pendidikan bagi para peserta didik yang mempunyai tingkat kesulitan
untuk mengikuti proses pembelajarannya yang dikarenakan kelainan emosional,
fisik, sosial dan mental namun mempunyai bakat yang istimewa dan potensi
kecerdasan.
Dalam Undang-undang RI No.2 Tahun 1989 tentang “Sistem Pendidikan
Nasional, pengertian Sekolah Luar Biasa adalah lembaga pendidikan yang
menyelenggarakan program pendidikan bagi anak tuna atau cacat. Negara kita
telah memiliki Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra, tunarungu dan
tunawicara, tunadaksa, tunalaras, tunaganda dan anak ter belakangan”.
Dalam prinsipnya segala para peserta didik mempunyai hak untuk
mendapatkan peluang dalam mendapatkan kinerja akademik yang memuaskan
tanpa pengecualian khususnya para peserta didik yang mengalami tunarungu.
Peserta didik tunarungu adalah para peserta didik yang memiliki gangguan
pendengaran, yang membuat mereka tidak bisa mendengarkan bunyi dengan baik

32
ataupun tidak bisa mendengarkan sama sekali namun dipercaya jika manusia yang
tidak ada yang tidak bisa mendengarkan sama sekali meskipun sedikit sekali
dengan sisa-sisa pendengarannya yang masih dapat dioptimalkan terhadap para
peserta didik yang mengalami tunarungu tersebut (Hasmira, 2016)

33
2.1 Kerangka Teori

Relasi Interpersonal Siswa Tunarungu

di SMALB 1Kota Bengkulu

Tipe-tipe Relasi Interpersonal (Joseph


DeVito, 2014)

Friendship Family Love Workplace


relationship relationship relationship relationship
s s s s

Online-Only relationships

34
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis penelitian


Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode
analisis data deskriptif. Steven Dukeshire and Jennifer Thurlow 2002 dalam
(Sugiyono, 2020) mengemukakan penelitian kualitatif adalah penelitian yang
menggunakan data yang bukan angka-angka, pengumpulan data serta analisis data
yang bersifat naratif, metode ini dipakai guna mendapatkan data yang kaya,
informasi yang mendalam tentang permasalahan atau isu yang akan diteliti. Selain
itu, penelitian kualitatif melakukan analisis serta interpretasi teks dan hasil
interview yang bertujuan guna menemukan makna atas sebuah fenomena,
Auerbach and Silverstein, 2003 dalam (Sugiyono, 2020). Penelitian ini bermaksud
menjelaskan secara rinci bagaimana tipe-tipe relasi tunarungu di SMALB Negeri
1 Kota Bengkulu.

3.2 Batasan penelitian


Batasan penelitian dibuat dengan tujuan memberikan fokus pada objek
yang akan diteliti saat melaksanakan penelitian. Dalam penelitian ini terdapat
batasan pada relasi interpersonal siswa tunarungu, relasi interpersonal tersebut
adalah hubungan antarpribadi siswa tunarungu dengan orang lain yang saling
mengenali baik guru, siswa, dan orang tua yang terbangun melalui proses sosial.
Fokus penelitian ini pada tipe tipe relasi interpersonal yaitu sebagai berikut.
1. Friendship relationships, hubungan persahabatan siswa tunarungu dengan
orang lain, baik sesama penyandang tunarungu atau dengan siswa umum.
Hubungan persahabatan yang positif, yang tidak merugikan atau merusak
individu yang terlibat dalam persahabatan tersebut.
2. Family relationships, tipe ini menggambarkan bagaimana hubungan keluarga
tunarungu, mulai dari hubungan tunarungu dengan ayah, hubungan tunarungu
dengan ibu dan dan hubungan tunarungu dengan saudara kandung.
3. Love relationships, hubungan percintaan tunarungu dengan lawan jenis yang
melibatkan perasaan cinta kasih, yang ditandai dengan adanya kedekatan,

35
perhatian, keintiman, gairah, dan komitmen. Atau yang bisa disebut dengan
hubungan pacaran.
4. Workplace relationships, tipe ini adalah hubungan yang terjalin secara
profesional antara rekan kerja yang melibatkan etika kerja dalam sebuah
tempat kerja, dengan demikian maka tipe ini tidak tidak relevan atau tidak
sesuai dengan topik dan tujuan penelitian ini.
5. Online-Only Relationships, tipe ini menggambarkan relasi interpersonal
siswa tunarungu yang diciptakan melalui media sosial atau jaringan internet
seperti hubungan antara siswa tunarungu dengan pengikutnya di Instagram,
atau hubungan dengan teman di platform Facebook, atau dengan teman se
kontak di WhatsApp. Dan aktivitas tunarungu di semua media sosial yang
dimilikinya.

3.3 Teknik penentuan informan.


Sasaran dari penelitian ini adalah tunarungu. Penelitian ini difokuskan pada
hal yang berkaitan dengan objek penelitian agar membatasi konsep penelitian
yang diangkat. Ruang lingkup yang akan diteliti yaitu, tipe-tipe relasi tunarungu
di SMALB Negeri 1 Kota Bengkulu. Penelitian ini memakai teknik Purposive
Sampling, yakni teknik dalam mengambil sampel penelitian sebagai sumber data
berdasarkan dengan pertimbangan tertentu seperti orang itu yang paling
mengetahui mengenai apa yang peneliti harapkan ataupun mungkin orang itu yang
menjadi paling tahu tentang permasalahan sehingga nanti bisa memberi
kemudahan untuk peneliti dalam menjelajahi situasi atau objek sosial yang akan
diteliti (Sugiyono, 2020). Penentuan informan untuk mendapatkan informasi yang
maksimal, informan yang diteliti diantaranya sebagai berikut:

1) Tunarungu di SMALB Negeri 1 kota Bengkulu kelas 10-11 SMA yang


berjumlah 6 orang
2) Guru yang mengajar tunarungu khususnya siswa SMALB Negeri 1 Kota
Bengkulu yang berjumlah 3 orang.
3) Orang tua tunarungu yang bersekolah di SMALB Negeri 1 kota Bengkulu
yang berjumlah 5 orang.

36
3.4 Teknik pengumpulan data
Menurut Sugiyono (2020) pengumpulan data sebagai suatu langkah yang
sifatnya paling strategis pada penelitian sebab bertujuan untuk mendapatkan data.
Proses ini berdasarkan tekniknya dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Wawancara
Wawancara dipakai guna mengumpulkan data jika peneliti akan
melaksanakan studi pendahuluan agar bisa menemukan masalah yang
seharusnya diteliti dan mengetahui berbagai hal dari para responden dengan
lebih dalam. Esterberg (2002) menjelaskan wawancara yakni suatu
pertemuan antara 2 orang maupun lebih guna saling bertukar ide serta
informasi dengan kegiatan tanya jawab sehingga bisa dikonstruksikan
maknanya ke dalam sebuah topic tertentu. Peneliti melakukan wawancara
kepada informan yang berkaitan dengan objek penelitian dengan
menggunakan pertanyaan yang telah disusun oleh peneliti secara terarah dan
sistematis agar memperoleh informasi dan data yang objektif. Peneliti
melakukan wawancara dengan tunarungu SMALB Negeri 1 Kota Bengkulu,
guru, kepala sekolah, teman dan orang tua tunarungu.
2. Observasi
Pengumpulan data untuk mendapatkan informasi, maka penelitian dilakukan
dengan melakukan pengamatan secara langsung atau observasi. Nasution
1998 dalam (Sugiyono, 2020) menjelaskan jika observasi adalah suatu dasar
bagi segala ilmu pengetahuan, yang mana para ilmuan hanya bisa bekerja
dengan didasari atas data yakni data tentang fakta dunia kenyataan yang
didapat dengan observasi. Aspek yang diobservasi adalah aktivitas relasi
tunarungu, pada siapa saja siswa tersebut menjalin hubungan dan bagaimana
jenis hubungan yang dibangun.
3. Studi Dokumentasi
Dokumen sebagai catatan peristiwa yang berlalu berupa gambar, tulisan,
karya monumental (Sugiyono, 2020) penggunaan teknik ini sebagai
pelengkap dari pengumpulan data wawancara, observasi dan lain-lain.

37
3.5 Teknik analisis data
Pada tahap ini memakai analisis kualitatif. Analisis data adalah suatu proses
dalam mencari data, menyusunnya dengan lebih sistematis yang telah didapat dari
catatan lapangan, wawancara dan lain-lain sehingga lebih mudah memberi
pemahamannya yang membuat temuan tersebut bisa diinformasikan terhadap
orang lain (Sugiyono, 2020). Adapun beberapa tahapan yang akan dilakukan
dalam menganalisis data sebagai berikut:

1. Reduksi Data (Data Reduction)


Mereduksi data adalah membuat rangkuman dari data yang diperoleh,
membuat focus pentingnya, lalu mencari teman serta polanya sehingga data yang
sudah direduksi akan memberi gambaran yang lebih jelas, yang akan memberi
kemudahan peneliti dalam melaksanakan pengumpulan data yang berikutnya di
lapangan jika dibutuhkan (Sugiyono, 2020).
2. Penyajian data (Data Display)
Dengan penyajian data maka akan memberi kemudahan dalam memberikan
pemahaman mengenai apa yang terjadi sehingga dapat membuat rencana kerja
berikutnya sesuai dengan apa yang sudah dipahami itu. Miles dan Huberman ,
1984 dalam (Sugiyono, 2020) menjelaskan yang seringkali dipakai pada penyajian
data penelitian kualitatif yaitu dengan teks naratif berupa matrik, grafik, chart dan
jejaring kerja atau network.
3. Penarikan kesimpulan/ verifikasi (Conclusion Drawing/Verification)
Kesimpulan awal yang diungkapkan pada awal sifatnya masih sementara
sehingga bisa berubah apabila ditemukan berbagai bukti yang mampu mensupport
dalam tahapan pengumpulan data selanjutnya, namun jika kesimpulan yang
diungkapkan tersebut pada awal itu didukung dengan bukti yang konsisten dan
juga valid ketika peneliti kembali lagi ke lapangan untuk pengumpulan data
lanjutan maka kesimpulan yang sudah dikemukakan itu adalah kesimpulan yang
kredibel.

38
BAB IV
DESKRIPSI SLB NEGERI 1 KOTA BENGKULU

4.1 Profil SLB Negeri 1 Kota Bengkulu

4.1.1 Sejarah SLB Negeri 1 Kota Bengkulu


SLB Negeri Kota Bengkulu didirikan pada tanggal 16 Agustus 1984
berdasarkan INPRES dengan nama SDLB Negeri Kota Bengkulu. Sekolah ini
pertama kali beralamat di Jalan S.Parman menempati SDN No. 36, namun seiring
dengan perubahan waktu pada tahun 1987 sekolah ini pindah ke Jalan Bukit
Barisan, Karabela Kelurahan Kebun Tebeng Kota Bengkulu dikarenakan telah
mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat signifikan. Pada saat itu
telah memiliki 14 tenaga pengajar dan memiliki 62 siswa. Dengan adanya
kebijakan pemerintah, dimana dibentuknya diRektorat tersendiri yang menangani
Pendidikan Luar Biasa, maka pada Tahun 2004 memberanikan diri untuk
membuka SMPLB.
Dengan adanya perjuangan gigih antara Kepala Sekolah, Komite Sekolah
dan Dewan Guru maka pada tanggal 02 Maret 2007, SDLB Negeri Kota Bengkulu
berubah alih status menjadi SLB Negeri Kota Bengkulu yang memiliki 135 siswa
tingkat dasar (SD) dan 43 siswa tingkat lanjutan (SLTP), serta mempunyai 12
orang siswa SMK yang terdiri dari kelas I berjumlah 7 orang dan Kelas II
berjumlah 25 orang.

Gambar 2. SLB Negeri 1 Kota Bengkulu

39
Adapun identitas SLB Negeri 1 Kota Bengkulu sebagai berikut:

Nama Sekolah : SLB Negeri 1 Kota Bengkulu


Nama Kepala sekolah : Resi Yusnimarlita.M M.Pd
Nomor statistik : 101266005069
Status Sekolah : Negeri
Bentuk Sekolah : Biasa
Kategori Sekolah : SSN
Waktu Belajar : Pagi
SK status sekolah : No. 07.04.03.16.4.0000.3 tanggal 22 April 1997
Keterangan SK : Penegerian
Akreditasi : Terakreditasi A

4.1.2 Letak geografis SLB Negeri 1 Kota Bengkulu

Gambar 3. Letak geografis

Letak titik Koordinat SLB Negeri 1 Kota Bengkulu berada di lintang: -


3.8567 dan bujur: 102.367 yang beralamat di jalan Bukit Barisan, Karbela
Kelurahan Kebun Tebeng, Kecamatan Ratu Agung, Kota/Provinsi Bengkulu dan
memiliki batas geografis wilayah-wilayah berikut: batas utara: sawah lebar lama,
batas selatan: tanah patah, batas barat: padang jati dan batas timur: jembatan kecil.

40
4.2 Struktur Organisasi SLB Negeri 1 Kota Bengkulu
Gambar 4 Struktur organisasi SLB Negeri 1 Kota Bengkulu

KEPALA SEKOLAH
KOMITE RESI YUSNIMARLITA.M M.Pd
SEKOLAH NIP. 198003052008012007
AWALUDIN

BENDAHARA KA. TATA USAHA


YAYU MARITA,M.Pd YONDRA ERLANDI, S.Pd
NIP. 198502202010012001 NIP. 198310282008041001

WAKA KURIKULUM WAKA HUMAS


NIA APRILIANA, S.Pd YUSLINA, S.Pd
NIP. NIP.
199504022019022003 196911152006042004

WAKA KESISWAAN WAKA SARPRAS


MASNALELA, S.Pd ASRI, S.Pd
NIP. 196811292006042001 NIP. 196805102000031011

KO. PERPUSTAKAAN KOORD. KETERAMPILAN


RINA OKTAVIANA. A.Md DIANITA, S.Si
NIP. 198110132009032010

GURU KELAS/BD STUDI GURU KELAS/BD STUDI GURU KELAS/BD STUDI


SDLB SMPLB SMALB

SISWA/SISWI

Sumber: SLB Negeri 1 Kota Bengkulu

41
4.3 Visi, Misi dan Tujuan SLB Negeri 1 Kota Bengkulu
4.3.1 Visi, Misi dan Tujuan Tingkat Dasar

1) Visi
Membimbing dan mensejajarkan anak berkebutuhan khusus di bidang
keterampilan dan olahraga mandiri berdasarkan pada nilai-nilai budaya
dan agama.
2) Misi
a. Meningkatkan mutu yang relevan dalam pendidikan khusus dan
layanan khusus.
b. Menanamkan keyakinan/akidah melalui pengamalan ajaran agama.
c. Mengembangkan pengetahuan di bidang keterampilan, bahasa,
olahraga dan seni budaya sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan
siswa.
d. Meningkatkan mutu pendidikan sesuai tuntunan masyarakat dan
perkembangan Iptek.
e. Meningkatkan profesionalisme guru
f. Menjalin kerjasama dengan instansi terkait.
3) Tujuan
a. Mensukseskan wajib belajar 9 tahun.
b. Memperluas pelayanan pendidikan khusus sesuai kebutuhan
masyarakat.
c. Menyiapkan tamatan pendidikan luar biasa menjadi warganegara yang
memiliki keimanan yang baik, berbudaya dan produktif sesuai dengan
kemampuan.
d. Membentuk manusia memiliki keterampilan dan olahraga yang handal,
e. Menyediakan tenaga kependidikan yang berkualitas dan profesional
agar mampu melaksanakan proses, pembelajaran kurikuler maupun
ekstrakurikuler yang bermutu.

42
4.3.2 Visi, Misi dan Tujuan tingkat Dikmen (Pendidikan Menengah)

1) Visi
Terwujudnya peserta didik yang unggul di bidang olahraga dan
keterampilan serta mandiri dalam berkarya berlandaskan nilai-nilai agama
dan budaya.
2) Misi
a. Meningkatkan mutu yang relevan dalam pendidikan khusus dan
layanan khusus.
b. Menanamkan keyakinan/akidah melalui pengamalan sehari-hari sesuai
ajaran agama.
c. Mengembangkan pengetahuan di bidang keterampilan, bahasa,
olahraga dan seni budaya sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan
siswa.
d. Meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan karakter bangsa
sesuai tuntutan masyarakat ( anti korupsi ).
e. Meningkatkan profesionalisme pendidik.
f. Menjalin kerjasama dengan instansi terkait.
3) Tujuan
a. Mensukseskan wajib belajar 12 tahun
b. Memperoleh penghargaan di bidang olahraga yaitu juara di tingkat
provinsi.
c. Menyiapkan tamatan pendidikan luar biasa menjadi warga negara
yang memiliki keimanan yang baik, berbudaya dan produktif sesuai
dengan kemampuan siswa.
d. Membentuk peserta didik beriman sesuai dengan ajaran agama.
e. Membentuk peserta didik memiliki kemampuan dibidang
keterampilan yang dapat menjadi bekal hidup mandiri .
f. Menyediakan pendidik yang berkualifikasi dan profesional agar
mampu melaksanakan proses pembelajaran kurikuler maupun
ekstrakurikuler yang bermutu.

43
g. Mengembangkan sekolah yang dinamis dan nyaman untuk mendorong
usaha pencapaian kemajuan sekolah sesuai visi dan misi.
4.4 Jumlah Siswa SLB Negeri 1 Kota Bengkulu
Data dari SLB Negeri 1 Kota Bengkulu pada periode tahun ajaran
2022/2023 menunjukkan siswa berjumlah 141 orang. Dalam perekrutan siswa
baru biasanya SLB Negeri 1 Kota Bengkulu menerima seluruh siswa dari berbagai
daerah, namun biasanya sekolah memberikan standar IQ minimal siswa yang
diterima.
Tabel 1 Jumlah ABK yang bersekolah Luar Biasa Negeri 01 Kota Bengkulu
Tahun 2022/2023

TINGKAT PENDIDIKAN
SDLB SMPLB SMALB JUMLAH
NO ANAK DIFABEL
L P L P L P
1 A (tunanetra) - 1 - - - - 1
2 B (Tunarungu) 5 6 1 6 4 7 29
3 C (Tunagrahita ringan) 22 10 7 3 11 6 59
4 C1 (Tunagrahita sedang) 13 4 8 5 11 3 44
D (Tunadaksa)
5 1 - - 1 2 - 4
6. Tanpa Keterangan - 3 - - 1 - 4
Total 41 24 16 15 29 16 141
Sumber: SLBN 1 Kota Bengkulu Tahun 2022/2023

Tabel 4.1 menunjukkan jumlah ABK di sekolah luar biasa secara


keseluruhan berjumlah 141 anak yang terdiri dari 1 anak tunanetra, 29 anak
tunarungu, 59 anak tunagrahita ringan, 44 anak tunagrahita sedang dan 4 anak
tunadaksa serta tanpa keterangan berjumlah 4 orang.

4.5 Data Guru dan staf Di SLB Negeri 1 Kota Bengkulu


Tenaga pengajar atau guru juga staff merupakan suatu komponen penting
dalam mencapai tujuan dan visi misi sekolah. Proses belajar mengajar di SLB
Negeri 1 Kota Bengkulu tidak bisa terlepas dari Sumber Daya Manusia (SDM)
dalam mendukung kegiatan tersebut. Dilihat dari data guru baik guru tetap
maupun guru tidak tetap yang berjumlah 35 orang hanya ada 2 guru dari program
studi S1 pendidikan Luar Biasa (PLB) namun keahlian guru yang tersedia

44
memadai dalam pengajaran di kelas, guru yang tersedia mampu menggunakan
bahasa isyarat dalam melancarkan proses belajar mengajar.
SLB Negeri 1 Kota Bengkulu memiliki beberapa jenis karyawan yang bekerja
dalam proses kegiatan operasinya antara lain sebagai berikut :
Tabel 2. jumlah Data guru dan staf di SLB Negeri 1 Kota Bengkulu tahun
2022/2023

Jumlah personal menurut pendidikan


No Personal S1 S1 Ket
S2 D3 SMP SMA JML
PLB UMUM
1 Kepala Sekolah - - 1 - - - 1 PNS
2 Guru tetap 2 14 3 - - - 19 PNS
3 Guru tidak tetap - 15 1 - - - 16 Honor
4 Kasubbag TU - 1 - - - - 1 PNS
5 Staf Tata Usaha - - - - - 1 1 Honor
6 Penjaga Sekolah - - - - - 1 1 Honor
7 Perpustakaan - - - 1 - - 1 Honor
Petugas
8 - - - - 1 1 2 Honor
kebersihan
9 Satpam - - - - 1 1 1 Honor
JUMLAH 2 31 4 1 2 3 43
Sumber: Dokumentasi SLB Negeri 1 Kota Bengkulu
Pada tabel 4.2 diatas jumlah guru dan staff yang mengajar dan bekerja di
SLB Negeri 1 Kota Bengkulu yang berjumlah 43 orang agar proses pembelajaran
bagi ABK dapat berjalan dengan efektif dan membantu ABK dalam
melaksanakan keberfungsian sosialnya.
4.6 Sarana dan Prasarana
SLB Negeri 1 Kota Bengkulu yang beralamat di jalan Bukit Barisan,
Karbela Kelurahan Kebun Tebeng, Kecamatan Ratu Agung, Kota/Provinsi
Bengkulu, memiliki yang cukup luas untuk bangunan sekolah yang menjadi
tempat belajar bagi ABK yang luasnya tanah 4.293,20m². Sekolah akan lebih baik
terutama dalam masalah kebersihan sekolah yang dilakukan oleh siswa dan
didukung oleh pihak sekolah yang berkaitan agar dapat menjadikan sekolah
tempat belajar yang nyaman dan menyenangkan yang dapat meningkatkan mutu
ABK yang lebih baik. Adapun beberapa bagian ruangan di SLB Negeri 1 Kota
Bengkulu adalah sebagai berikut:

45
1. Bangunan Gedung
Tabel 3. Jumlah Ruangan Sekolah Utama

No Ruangan Jumlah
1 Ruang belajar 27 lokal
2 Ruang guru 1 lokal
3 Ruang kepala 1 lokal
4 Ruang Tata Usaha 1 lokal

5 Ruang keterampilan Terdiri


dari:

1. Ruang keterampilan
Otomotif
2. Ruang keterampilan
Pertukangan kayu
3. Ruang keterampilan Tata
Boga
4. Ruang keterampilan Tata 7 lokal
Busana
5. Ruang keterampilan
Musik
6. Ruang keterampilan Tata
Rias

7. Ruang keterampilan
Akupresur

Sumber: dokumentasi SLBN 1 Kota Bengkulu

Tabel 4.3 diatas menunjukkan bahwa adanya fasilitas utama yang


mendukung proses pembelajaran ABK agar lebih nyaman maka sekolah
menyediakan fasilitas utama yang berupa 27 lokal ruang belajar, 1 lokal ruang
guru, 1 lokal ruang kepala sekolah, 1 lokal ruang tata usaha, 7 lokal ruang
keterampilan yang terdiri dari ruang keterampilan otomotif, ruang keterampilan
pertukangan kayu, ruang keterampilan boga, ruang keterampilan busana, ruang
keterampilan musik, ruang keterampilan rias dan ruang keterampilan akupresur.

46
2. Fasilitas pendukung

Tabel 4. Jumlah Fasilitas Pendukung

No Ruangan Jumlah
1 Mushola 1 unit
2 Rumah penjaga 1 unit
3 Perpustakaan 1 unit
4 Ruang UKS 1 unit
5 WC guru 3 unit
6 WC siswa 7 unit
7 WC kepala 1 unit
8 Gudang 2 unit
9 Tong sampah 24 unit
10 Wastafel 8 unit
Sumber: dokumentasi SLBN 1 Kota Bengkulu

Gambar 5. kondisi SLB Negeri 1 Kota Bengkulu


Selain fasilitas utama, adanya fasilitas pendukung yang dapat dilihat pada
tabel 4.4 diatas yang menyediakan beberapa fasilitas yaitu berupa 1 unit mushola,
1 unit rumah penjaga, 1 unit perpustakaan, 1 unit ruang UKS, 1 unit WC guru, 1
unit WC siswa, 1 unit WC kepala sekolah, 2 unit gudang, 24 unit tong sampah dan
8 unit wastafel.
3. Fasilitas Olahraga

Tabel 5. Jumlah Fasilitas Olahraga

No Lapangan Jumlah
1 Lapangan basket 1 buah

47
2 Lapangan Volly 1 buah
3 Lapangan lompat jauh 1 buah
4 Lapangan Bocce 1 buah
Sumber: dokumentasi SLBN 1 Kota Bengkulu

Proses pembelajaran dan kelengkapan sekolah maka sekolah menyediakan


fasilitas olahraga yang berupa 1 buah lapangan basket, 1 buah lapangan volly, 1
buah lapangan lompat jauh dan satu buah lapangan bocce.

4. Ruang Internet (ICT) 1 ruang

Tabel 6. Jumlah Fasilitas Ruangan Internet

No Fasilitas Jumlah
1 Laptop 13 unit
2 Printer 3 unit
3 Televisi 2 unit
4 DVD Player 1 unit
5 Infokus 3 unit
6 VCD 1 unit
7 Wireless 1 unit
8 Komputer 8 unit
Sumber: dokumentasi SLBN 1 Kota Bengkulu
Mendukung proses pembelajaran siswa, sekolah menyediakan fasilitas 1
unit ruang internet (ICT) yang dilengkapi dengan 13 unit laptop, 3 unit printer, 2
unit televisi, 1 unit DVD Player, 3 unit infokus, 1 unit VCD, 1 unit wireless dan 8
unit komputer.

48
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan kurang lebih dua bulan dimulai pada bulan Mei
sampai dengan bulan Juli. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif
dengan tahapan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi yang bertujuan
untuk mendeskripsikan hasil temuan penelitian sesuai dengan fakta yang
diperoleh di lapangan. Pengambilan data observasi dilakukan pada saat siswa
tunarungu berada di lingkungan sekolah untuk mengikuti proses pembelajaran,
seperti. Selain itu, wawancara dilakukan menggunakan pedoman wawancara yang
dibuat oleh peneliti sesuai dengan latar belakang dan batasan penelitian.
Selanjutnya digunakan juga studi dokumentasi untuk menganalisis dokumen-
dokumen yang dilakukan peneliti dalam penelitian. Sehingga hasil penelitian
tentang relasi interpersonal siswa tunarungu di SMALB 1 kota Bengkulu dapat
terjawab sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.

5.1.1 Karakteristik Informan


Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, dengan
menggunakan teknik tersebut peneliti memperoleh 14 Orang informan yang
memberi informasi tentang relasi interpersonal siswa tunarungu di SMALB 1
Kota Bengkulu, yang terdiri dari 6 siswa tunarungu, 5 orang tau dan keluarga
tunarungu serta 3 guru yang mengajar siswa tunarungu. Informan yang berjenis
kelamin laki-laki berjumlah 3 orang dan perempuan berjumlah 11 orang. Kriteria
informan adalah ABK tunarungu, staff/guru yang mengajar dan sering
berinteraksi dan berkomunikasi dengan ABK tunarungu, dan orangtua ABK
tunarungu. Hasil penelitian yang sudah dilakukan di lapangan maka infroman
dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, jenis kelamin, umur, agama dan status
informan sebagai berikut.

49
Tabel 7. Karakteristik berdasarkan Nama, Jenis kelamin dan Status

No Nama Umur Jenis Status Agama


Informan kelamin
1. AN 17 tahun P Siswa/pelajar Islam
2. RD 18 tahun L Siswa/pelajar Islam
3. VN 18 tahun P Siswa/pelajar Islam
4. DM 18 tahun P Siswa/pelajar Islam
5. FR 19 tahun P Siswa/pelajar Islam
6. DP 18 tahun L Siswa/pelajar Islam
7. EK 38 tahun P Guru Agama Islam
8. AJ 53 tahun P Guru Kelas Islam
9. LS 31 tahun P Guru Kelas Islam
10. YA 43 tahun P Orangtua FR Islam
11. LD 34 tahun P Orangtua RD Islam
12. TN 32 tahun P Kakak VN Islam
13. MD 42 tahun L Orangtua AN Islam
14. ST 40 tahun P Orangtua DP Islam
Sumber: Hasil Penelitian 2023

Table 7 menunjukkan bahwa jumlah informan sebanyak 14 informan.


Informan yang berusia diantara 10-20 tahun sebanyak 6 orang yaitu informan AN,
RD, VN, DM, FR, dan DP yang merupakan siswa tunarungu SMALB Negeri 1
Kota Bengkulu. Informan yang berusia diantara 30-40 tahun berjumlah 5 orang
yaitu EK (guru), LS (guru kelas), LD (orangtua RD), TN (kakak VN), ST
(orangtua DP). Informan yang berusia 41-50 tahun berjumlah 2 orang yaitu
informan MD (orangtua AN), YA (orangtua FR). Informan yang berusia diantara
51-60 tahun berjumlah 1 orang yaitu informan AJ (guru kelas). Selain itu,
informan yang berjenis kelamin laki-laki terdiri dari 3 orang dan perempuan 11
orang. Dan seluruh informan beragama Islam.

50
5.1.2 Karakteristik Tunarungu di SMALB Negeri 1 Kota Bengkulu
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terdapat temuan dari 11 siswa
SMA tunarungu hanya 6 siswa yang dapat dijadikan informan, hal ini dikarenakan
waktu penelitian yang dilakukan bertepatan setelah siswa kelas 12 sudah selesai
melaksanakan ujian akhir. Berikut adalah karakteristik dari 6 siswa tunarungu
yang didapat dari keterangan guru dan orangtua tunarungu:

a. RD
RD adalah siswa kelas 10, yang saat ini berusia 18 tahun. Siswa laki laki
yang memiliki IQ 88 ini merupakan anak pertama dari 3 bersaudara dan
merupakan anak laki laki satu satunya dari pasangan bapak DN dan ibu LD. RD
sangat terampil dalam bidang olahraga, khususnya tenis meja dan dia kerap
menjadi perwakilan sekolahnya dalam bidang olahraga tersebut baik tingkat
provinsi maupun nasional.
Berdasarkan keterangan ibu LD, RD adalah anak yang mandiri, sejak kecil
ibu LD tidak memandang RD sebagai penyandang disabilitas, RD dibiasakan
untuk melakukan atau mengerjakan hal-hal yang seharusnya dikerjakan anak
seusianya. Ibu LD juga mengatakan kalau dirumah RD paling dekat dengan ibu,
namun walau dekat dengan ibu, RD anak yang cukup tertutup, pendiam dan lebih
suka memendam masalahnya sendiri. Ibu LD menjelaskan awalnya dia kesusahan
hanya untuk sekedar berinteraksi dengan RD, ibu LD sangat awam dengan bahasa
isyarat jadi dirumah pun hanya berinteraksi seadanya.
Berikut hasil wawancara dengan orangtua RD (Ibu LD) :
“kalau nyuruh makan, nunjuk piring. Kalau nyuruh mandi nunjuk gayung
kayak itulah cuma. Sampai dia masuk SD waktu itu gurunya bilang ‘untuk
orang tua yang mendampingi anaknya, dan ingin belajar bahasa isyarat
bisa ikut bergabung ke kelas ada kursi disediakan’ jadi dulu ibu ikut
sekolah, ikut belajar di kelasnya, dari situ ibu belajar bahasa isyarat dan
ibu yang mengajari orang rumah. Sekarang semua orang rumah sudah bisa
menggunakan bahasa isyarat”
Ibu LD mengatakan tidak pernah membatasi RD untuk berelasi dengan
siapa saja, hanya saja lingkungan ibu RD tinggal saat ini sangat awam dengan
penyandang disabilitas khususnya tunarungu. Hal ini juga yang membuat RD
lebih dekat dengan teman-teman sekolahnya yang sama sama penyandang

51
tunarungu, bahkan jika hari libur RD lebih sering berkunjung ke rumah teman
sekolah dan kerap kali menginap dirumah teman sekolahnya. Menurut ibu LD
relasi interpersonal antara orangtua dengan anak itu sangat penting dan harus terus
dibangun. Karena hal ini akan membantu anak untuk lebih percaya diri dan lebih
terbuka.
b. FR
FR adalah siswa kelas 11, yang pada saat ini berusia 19 tahun. Siswa
perempuan yang memiliki IQ 80 ini merupakan anak pertama dari 2 bersaudara
dan merupakan anak perempuan satu satunya dari pasangan bapak MM dan ibu
YA. Secara fisik FR tidak terlihat sebagai penyandang disabilitas, siswi dari
jurusan tata busana ini juga terampil dalam bidang kecantikan dan pada tahun ini
menjadi perwakilan sekolah pada ajang lomba kecantikan tingkat SMALB se-
provinsi Bengkulu dan berhasil meraih juara 2.
Berikut hasil wawancara dengan orangtua FR (Ibu YA) :
“Dia ini anak yang terbuka dan suka cerita, apa apa nanti ceritakan ke ibu.
Di sekolah belajar apa, jajan apa aja, sampe kawannya yang berantampun
diceritakannya nanti ke ibu. Pokok kalau lagi nggak sama ibu semua di
fotokan nya ke ibu. Itu yang buat ibu percaya sama dia”

Dari hasil observasi baik di rumah dan di sekolah peneliti melihat FR


merupakan anak yang ramah dan mudah berbaur. FR seperti gadis seusianya, dia
suka dandan, suka foto, dan aktif di media sosial. Ibu YA selalu mendukung FR
berelasi dengan siapapun, namun FR sendiri yang membatasi diri dengan orang-
orang yang ada di lingkungan tempat tinggalnya, karena FR selalu merasa berbeda
dengan mereka, hal ini yang membuat FR hanya berteman dengan teman-teman
sesame tunarungu dari sekolahnya.

c. AN
AN adalah siswa kelas 10, yang pada saat ini berusia 17 tahun. Siswa
perempuan yang memiliki IQ 86 ini merupakan anak pertama dari 3 bersaudara
dan merupakan anak perempuan satu satunya dari pasangan bapak MA dan ibu
NR. AN diketahui sebagai penyandang kerunguan saat berusia 1 tahun, saat itu

52
orang tua AN mengusahakan segala cara untuk memulihkan AN, mulai dari terapi
di rumah sakit jiwa sampe obat obat tradisional.
Siswa dari jurusan tata busana ini juga memiliki banyak prestasi namun
sekolah hanya mengikutsertakan AN lomba di tingkat provinsi mengingat kondisi
fisik AN yang kurang mendukung. AN juga siswa yang pendiam, dari kondisi
fisik AN tidak terlihat sebagai penyandang disabilitas.
Berikut hasil wawancara dengan orangtua AN (Bapak MA) :
“Di rumah juga dia kek gitulah, pendiam. Jarang dia itu main keluar,
apalagi sama orang-orang di lingkungan sini. Dan saya juga sangat
membatasi pergaulan dia, mau pergi kemana, sama siapa saya harus tau,
bahkan HPnya itu sealu saya cek. Ya sekarangkan banyak kasus-kasus
yang bisa menjadi pelajaran, jadi saya harus memastikan bagaimana
pergaulannya.”
Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan orangtua AN membatasi relasi
yang bertujuan untuk kebaikan AN. Ayah AN juga mengatakan bahwasanya anak
mereka tidak diperbolehkan untuk pergi ke sekolah sendiri, walau jarak dari
rumah ke sekolah cukup jauh, AN selalu diantar jemput oleh ayahnya.
d. VN
VN adalah siswa kelas 10, yang pada saat ini berusia 18 tahun. Siswa
perempuan yang memiliki IQ 79 ini merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara
dari pasangan bapak IW dan ibu NC. kerunguan yang disandang VN saat ini
bukan bawaan lahir, di umur 2 tahun pintu rumah jatuh dan mengenai wajah VN.
Sejak saat itu di ketahui telinga sebelah kirinya kehilangan fungsi sementara
telinga sebelah kanan mengalami penurunan fungsi pendengaran. VN sempat
bersekolah di sekolah umum sampai kelas 5 SD sampai akhirnya dipindahkan ke
SLB hal ini dikarenakan tempat VN bersekolah tidak dapat mengeluarkan ijazah
karena VN dianggap anak berkebutuhan khusus.
Berikut hasil wawancara dengan kakak VN (TN, 32 Tahun) :
“VN ini nggak kayak penyandang lain dek, dia ini masih kek orang
normal. Ya karna meg dia lahir normal, Cuma karena ketimpa pintu itu
lah. Coba kalau sekolah dia dulu bisa ngeluarin ijazah, nggak akan sekolah
di slb dia ni”

Dari hasil observasi VN adalah anak ceria dan mudah berbaur, dia anak yang
mudah akrab dan pintar mencairkan suasana, bahkan dengan orang baru VN

53
pandai beradaptasi. Siswa dari jurusan tata busana ini kerap kali ikut lomba untuk
mewakili sekolah baik tingkat provinsi maupun tingkat nasional.

e. DM
DM adalah siswa kelas 11, yang pada saat ini berusia 18 tahun. Siswa
perempuan yang memiliki IQ 40 ini merupakan anak pertama dari 3 bersaudara
dari pasangan bapak DI dan ibu RA. DM merupakan satu satu informan
tunarungu yang tinggal sendiri (kost), orangtua DM bertempat tinggal di Curup
dan ini yang menjadi alasanya karena jarak dari rumah ke sekolah sangat jauh.
Sebelumnya DM tinggal dengan pamannya di Bengkulu, namun karena paman
dan keluarga pindah keluar kota, akhirnya DM memilih untuk tinggal sendiri.
Tidak jauh berbeda dengan informan tunarungu yang lain, DM pun memiliki
banyak prestasi, siswa dari jurusan tata busana ini kerap mengikuti lomba baik
tingkat provinsi maupun nasional.
Dari hasil wawancara dengan DM, mengatakan telah terbiasa hidup sendiri,
DM bisa mengerjakan hal-hal yang orang lain bisa lakukan, misalnya memasak.
Mengingat DM tinggal sendiri orang tuanya melarang dia untuk bergaul
sembarangan dengan orang lain. DM juga bercerita kalau teman-teman kelas nya
sering berkunjung ke kost an nya.
f. DP
DP adalah siswa kelas 11, yang pada saat ini berusia 18 tahun. Siswa laki-laki
yang memiliki IQ 35 ini merupakan anak bungsu dari 2 bersaudara dari pasangan
bapak JA (Alm) dan ibu ST. DP anak ceria, lucu, dan polos, dia suka cerita hal-
hal random, namun karena polosnya dia suka dimanfaatin sama orang. DP sangat
terampil dalam menjahit, bertepatan pada penelitian ini DP juga sedang mengikuti
lomba menjahit tingkat provinsi dan menjadi juara 1.
Berikut keterangan Ibu DP (ST, 40 Tahun):
“DP inikan anaknya ceria, tapi walau gitu dia ini suka mendam
masalahnya sendiri, jarang dia ini mau cerita, kalaupun cerita pasti yang
diceritain nggak jauh jauh dari kegiatan sekolah. Kalau masalah
pertemanan, relasinya dia, itu kurang terbuka ke saya”

54
DP diketahui sebagai penyandang tunarungu saat DP berusia 1 tahun,
sebelumnya Ibu DP sudah merasa ada yang berbeda dengan DP, misalnya kalau
dipanggil tidak merespon, ketika menonton televisi tidak ada ekspresi. Sampai
satu kejadian di mana ada piring yang jatuh tepat di belakang DP, dan DP tidak
merespon apapun, sejak saat itu Ibu DP mencoba mencari alternatif untuk
menyembuhkan DP.

5.1.3 Relasi Interpersonal Siswa Tunarungu


Dalam penelitian ini, peneliti telah melakukan tahapan penelitian untuk
memenuhi kebutuhan data penelitian. Tahapan yang dimulai dari proses observasi
dengan melakukan pengamatan secara langsung di lapangan, hingga proses
pengumpulan data melalui wawancara dengan informan. sehingga diperoleh data
yang dapat memenuhi kebutuhan penelitian ini. Data-data tersebut merupakan
konsep teori dari batasan penelitian terkait relasi interpersonal siswa tunarungu di
SMALB 1 Kota Bengkulu.
Selanjutnya dari observasi yang telah dilakukan, dapat dilihat siswa
tunarungu mampu membangun relasi dengan lingkungan sosialnya walau belum
maksimal. Ke enam informan tunarungu diketahui mampu menggunakan bahasa
isyarat, ketika berinteraksi dengan sesama mereka atau orang lain yang mampu
menggunakan bahasa isyarat, maka biasanya mereka akan berkomunikasi
menggunakan bahasa isyarat. Namun, jika kepada orang lain yang tidak paham
menggunakan bahasa isyarat, contohnya dengan peneliti, maka biasanya
menggunakan alat bantu kertas dan alat tulis juga bisa menggunakan alat
komunikasi online, misalnya WhatsApp.
Siswa tunarungu merupakan individu yang unik yang menjadikan
penelitian ini menarik. Meski dengan adanya keterbatasan namun siswa tunarungu
mampu membangun relasi interpersonal di keluarga, sekolah, bahkan
komunikatas. Sebagaimana yang telah diketahui pada batasan penelitian, terkait
tipe-tipe relasi interpersonal, berikut hasil penelitian yang diperoleh berdasarkan
indikator tersebut:

55
5.1.3.1 Friendship Relationships
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan peneliti melihat bahwa
siswa tunarungu hanya berteman dengan siswa tunarungu juga, bahkan saat diluar
sekolah mereka akan saling mengunjungi satu sama lain. Biasanya mereka akan
saling mengunjungi ketika ada tugas kelompok dari sekolah, tetapi ada juga yang
saling mengunjungi hanya sekedar untuk bermain game bersama, hal ini biasanya
dilakukan oleh informan RD dengan DP, bahkan ketika peneliti melakukan
kunjungan ke rumah RD, saat itu RD sedang berada di rumah DP, yang mana
kebetulan pada saat itu DP dalam keadaan sakit. Diketahui juga dari keterangan
orang tua RD, bahwa RD dan DP sudah terbiasa saling mengunjungi bahkan tidak
jarang keduanya bermalam ketika sedang berkunjung.
Cara siswa tunarungu berteman cukup unik, mereka terlihat kompak dan
saling peduli satu dengan yang lain, seperti ketika DM melakukan kesalahan
dalam pelajaran keterampilan menjahit, DP menepuk kepala DM sebagai bentuk
guyonan, lalu mereka tertawa bersama. Bahkan ketika tradisi Tabot di Bengkulu
sedang berlangsung informan tunarungu mereka ber-6 mengunjungi acara tersebut
seperti siswa SMA pada umumnya. Diketahui informan tunarungu ini telah
menjalin pertemanan sejak mereka duduk di bangku SD dan SMP, hal ini karena
umumnya informan tunarungu berasal dari sekolah yang sama yaitu SLB 1 kota
Bengkulu.
Disisi lain informan RD dan FR merupakan anggota dari klub tenis yang
sama di daerah tempat tinggal mereka, dari informasi diungkapkan orangtua FR,
hanya RD dan FR anggota klub sebagai penyandang disabilitas. Ketika hendak
latihan di klub, mereka akan bepergian bersama. Bukan hanya itu, dikarenakan
rumah mereka di daerah yang sama tidak jarang RD dan FR berangkat sekolah
bersama. Salah satu keunikan siswa tunarungu, mereka mampu mengendarai
motor sendiri ke sekolah.
Selanjutnya, persahabatan antara siswa tunarungu ini juga dapat dilihat di
masing-masing media sosial yang mereka punya. Dari ke 6 informan tunarungu, 5
diantaranya sering mengunggah kebersamaan mereka di media sosial, khususnya
Instagram dan WhatsApp. Potret ketika ada acara di sekolah, atau sedang

56
mengikuti lomba, juga potret ketika menjalani kehidupan sekolah sehari-hari.
Tidak jarang mereka melakukan live bersama di aplikasi Instagram, khususnya
DP dan FR, mereka akan mengobrol seperti biasa menggunakan bahasa isyarat.
Tidak jarang pula pada saat melakukan live ada teman mereka yang sesama
penyandang tunarungu namun dari sekolah bahkan kota yang berbeda.
Maka berdasarkan hasil observasi di atas, pengamatan yang dilakukan
peneliti terkait Friendship Relationships siswa tunarungu dipertegas melalui hasil
wawancara dengan wali kelas 10 LS (31 Tahun):
“Mereka ini hanya berteman sesama mereka, nggak mau mereka ini
berteman dengan anak lain di sekolah, apalagi anak tunagrahita, wah
nggak level mereka itu. Mereka menganggap anak tunagrahita itu anak
bodoh bodoh. Tapi kalau sesama mereka wah solid kali, saya juga nggak
bisa menjelaskan tapi kayak orang ini punya chemistry untuk sesama
mereka anak tunarungu itu. Bukan cuma anak tunarungu yang disekolah
ini loh, ini kalau mereka ini dibawa lomba kemana gitu, dalam hitungan
jam udah punya teman itu, tetapi sesama tunarungu pasti. mereka ini kan
merasa walau mereka penyandang tapi secara fisikkan nggak kelihatan jadi
ya mereka mau bertemannya juga sama orang yang secara fisik dan mental
kek mereka. Dan mereka ini loh seperti punya bahasa sendiri, cara mereka
berkomunikasi itu beda dengan sesama tunarungu beda juga sama orang
lain”
Berdasarkan pernyataan yang diungkapkan oleh informan guru LS, siswa
tunarungu mempunyai rasa solidaritas yang tinggi, dan memiliki rasa senasib
sepenanggungan, juga siswa tunarungu merasa jika sesama tunarungu adalah
lingkungan di mana mereka merasa lebih dipahami dan diterima. Hal ini yang
mendasari kedekatan siswa tunarungu satu sama lain. Dari ungkapan di atas juga
diketahui cara siswa tunarungu berkomunikasi antara sesama tunarungu berbeda
dengan cara mereka berkomunikasi dengan siswa lain.

Selanjutnya peneliti juga melakukan tahap observasi terkait seperti apa


afeksi dari setiap mereka dalam persahabatan tersebut. Afeksi tersebut tergambar
dalam bentuk saling menghargai, saling mempercayai, dan saling menerima
diantara mereka. Dalam kehidupan sehari-hari di sekolah sikap menghargai
terlihat dari sesama mereka saling memahami keterbatasan satu sama lain,
contohnya ketika informan AN tidak dapat mengerjakan soal matematika,
informan tunarungu yang lain turut membantu, mereka mengajarinya sambil

57
bercanda. Saling mempercayai tergambar ketika merasa saling terbuka satu sama
lain.

Ada satu kesempatan di mana saat itu sesama siswa tunarungu berkumpul
di satu ruangan termasuk siswa tunarungu yang masih duduk di bangku SMP,
karena pada saat itu guru hendak memberi pengumuman tentang lomba yang akan
segera mereka ikut. Saat itu siswa tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa
isyarat, tidak ada suara sama sekali, hanya tangan mereka yang bergerak,
kemudian mereka tertawa bersama. Seluruh siswa yang ada di ruangan itu terlibat
aktif dalam percakapan tersebut, memberikan perhatian penuh saat yang lain
berbicara, seperti tidak ada batasan diantara mereka.

Hasil wawancara dengan siswa tunarungu juga menunjukkan hasil sama,


ketika ditanya siapa saja teman dekat mereka, mereka akan saling menyebut nama
teman sekolah mereka, misalnya FR akan menyebut DP dan DM, begitu
sebaliknya. Dan ketika ditanya siapa teman diluar sekolah, ada yang menjawab
dengan senyuman yang berarti tidak ada, hanya VN yang mengatakan memiliki
sahabat di lingkungan tempat tinggal yang bukan penyandang disabilitas.
Kedekatan yang diciptakan tunarungu ini juga dilihat dari siswa tunarungu yang
saling memberi perhatian yang menunjukkan adanya hubungan yang erat antara
mereka, seperti saat salah satu teman mereka ulang tahun makanya mereka akan
merayakan hari spesial itu di sekolah, dan biasanya tidak ada ulang tahun yang
terlewat, mereka akan mengingat ulang tahun sama lain. Hal ini didukung dengan
pernyataan wali kelas 11 AJ (53 Tahun), berikut hasil wawancara dengan AJ (53
Tahun):

“anak tunarungu ini seperti memiliki koneksi yang kuat, bahkan kalau ada
masalah sesama mereka pasti sudah saling tahu, kasus terakhir yang
terjadi di sekolah ini itu juga terungkap karena salah satu siswa tunarungu
nggak sengaja nunjukin video yang membuat kasus itu terungkap.
Ternyata setelah diusut hampir semua siswa tunarungu dari SMP sampai
SMA udah tau kasus ini. Karena itu juga ketahuan kalau korban dari kasus
ini ternyata pelaku bullying juga dengan teman sesama tunarungu juga.
Sebisa itu mereka menutupi kasus ini, dari situkan udah ketengokkan
kalau mereka ini solid”.

58
Sejalan dengan pernyataan diatas, 4 dari 5 orangtua anak tunarungu yang
telah diwawancarai juga memberikan pernyataan yang sama. Berikut hasil
wawancara dengan LD (34 Tahun) orangtua RD:

“Dulu sebelum sekolah anak ini masih mau main sama anak anak sini, tapi
emang kadang pulang main itu udah nangis, karena diejek mungkin ya
sama kawan-kawannya. Nah semenjak sekolah apalagi setelah SMA ini,
udah jarang main sama anak-anak sini. Tengoklah kek sekarang main
kerumah teman sekolahnya dia, bahkan kalo kesana dia suka nginap, dan
karena saya sudah kenal dengan orangtua kawannya ini nggak masalah lah
buat saya walaupun dia harus menginap”
Dari pernyataan diatas diketahui salah satu alasan siswa tunarungu lebih
membangun peer group dengan sesama tunarungu daripada dengan individu yang
memiliki pendengaran normal yaitu adanya diskriminasi yang dialami oleh siswa
tunarungu di lingkungan tempat tinggal mereka. Sebagai respon terhadap
pengalaman diskriminasi ini, informan tunarungu cenderung memilih untuk
berteman dengan sesama tunarungu juga. Mereka melihat kesamaan karakteristik
dan merasa jika dengan sesama penyandang tunarungu mereka tidak akan
diperlakukan tidak adil seperti pengalaman sebelumnya.

Selanjutnya hasil wawancara dengan YA (43 Tahun) orangtua dari FR:

“Kami kan disini di lingkungan mahasiswa, dulu kalau ada mahasiswa sini
yang ngajak FR ini main, dia masih mau. Tapi makin kesini nggak mau
lagi. Mungkin karena mahasiswa yang dekat sama dia dulu udah lulus, jadi
sama yang sekarang udah nggak mau. Padahal mereka juga suka ngajak
loh, kalau mau main ke pantai atau mau main kemana suka ngajak FR ini.
Tapi FR ini udah gak pernah mau, katanya ‘aku beda dari mereka, mereka
ngk paham aku ngomong apa’ gitunya katanya. Makanya kalau mau main
kemana mana ya sama teman-teman dari sekolah itulah. Yang diajak main
kerumah juga mereka mereka itulah”
Keterangan informan YA diatas menunjukkan bahwa siswa tunarungu
memiliki pilihan bebas untuk berteman dengan siapa saja, orangtua tidak
membatasi anak mereka untuk membangun relasi dengan siapapun apalagi dengan
lingkungan tempat tinggalnya. Namun pada pernyataan diatas diketahui tunarungu
memiliki rasa minder dan merasa berbeda dengan lingkungannya yang
menyebabkan tunarungu kesulitan jika membangun relasi dengan yang bukan

59
penyandang tunarungu, juga dari segi bahasa tunarungu akan kesulitan
berkomunikasi dengan lingkungan yang tidak paham menggunakan bahasa
isyarat.
Melalui observasi dan ungkapan informan diatas, peneliti melihat rasa
minder dan perasaan berbeda yang informan tunarungu cukup tinggi. seperti
ketika pertama kali peneliti memperkenalkan diri dan menyampaikan tujuan
berada disana, ketika itu FR bertanya apakah peneliti paham menggunakan bahasa
isyarat, peneliti mengatakan kurang memahami bahasa isyarat, dan setelahnya
informan tunarungu enggan untuk berinteraksi karena mereka merasa tidak akan
dimengerti. Mereka kurang percaya diri karena tahu bahwa mereka memiliki
kebutuhan komunikasi yang berbeda.
Sedikit berbeda dengan pernyataan TN (32 Tahun) kakak VN:
“VN ini deket sama teman sekolahnya, tapi dilingkungan ini juga dia
punya banyak teman, karena seperti yang sudah saya jelaskan, dia ini
emang penyandang tetapi tidak bawaan lahir dan sempat bersekolah di
sekolah umum selama 5 tahun, jadi dia seperti teman teman dia yang lain.
Juga kan VN ini anaknya mudah berbaur jadi dia itu seperti orang normal
pada umumnya.”
Dari keterangan informan TN diketahui tunarungu yang bukan bawaan
lahir lebih bahkan sempat bersekolah di sekolah umum, lebih memiliki tingkat
percaya diri dalam berelasi dengan lingkungan, yang mana pada keterangan diatas
siswa tunarungu tersebut juga memiliki relasi yang baik dengan lingkungan
tempat tinggalnya.

Gambar 6. interaksi siswa tunarungu


Gambar diatas diambil ketika siswa tunarungu memberikan perhatian
kepada teman mereka yang baru saja mengalami kecelakaan ketika hendak ke
sekolah, mereka menanyakan kronologi kecelakaannya, juga menanyakan apakah
ada luka serius, mereka memastikan temannya tidak mengalami hal yang sama

60
dengan menasehati dan memberitahu cara berlalu lintas yang baik dan benar dan
terlihat bahwa mereka saling peduli satu sama lain.

Gambar 7. siswa tunarungu sedang berdiskusi

Gambar diatas ambil pada saat siswa tunarungu memberi dukungan


kepada teman mereka yang akan mengikuti lomba menjahit tingkat provinsi,
situasi pada gambar diatas menunjukkan siswa tunarungu sedang berdiskusi apa
saja yang akan dilakukan ketika mengikuti lomba dan berbagi pengalaman ketika
mengikuti lomba, juga mereka saling memberi saran dan dukungan.
Dari hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan relasi interpersonal dengan tipe friendship association digambarkan
dengan hubungan siswa tunarungu rata rata hanya dengan sesama penyandang
tunarungu, hubungan persahabatan yang dibangun diantara mereka sangat hangat
dan saling peduli. Ketika mereka berada dalam satu kelompok penyandang tuli
saat itu juga tidak terasa adanya keterbatasan yang mereka miliki. Mereka saling
menerima, saling memahami dan saling mempercayai. Disimpulkan juga relasi
interpersonal ini terbentuk karena adanya kesamaan latar belakang sebagai
penyandang tunarungu sehingga tidak menyulitkan mereka untuk berinteraksi dan
membangun hubungan.

5.1.3.2 Family Relationships


Relasi interpersonal siswa tunarungu dengan tipe family relationship
dilihat dari seberapa dalam hubungan informan tunarungu dengan keluarga, pada
hasil ini akan dijabarkan mulai dari kedekatan tunarungu dengan ibu, ayah, dan
saudaranya. Hubungan kedekatan tunarungu dengan ibu dapat dilihat dari hasil
observasi ketika para ibu yang cenderung terlibat dengan aktivitas tunarungu baik
di rumah atau pun disekolah. Hal yang sama juga disampaikan informan AJ (guru
kelas) yang mana para ibu yang lebih aktif menanyakan seputar keseharian anak
di sekolah, tentang lomba yang akan diikuti anak, tentang kegiatan anak

61
disekolah, dan para ibu juga yang cenderung aktif terlibat jika ada acara-acara
yang diselenggarakan sekolah.
Selanjutnya relasi interpersonal tunarungu dengan ayah, yang mana relasi
yang dibangun tidak sedekat dengan ibu, hasil wawancara dengan informan
tunarungu juga menunjukkan hasil bahwa saat mengalami masa sulit mereka lebih
sering menceritakannya kepada ibu. Para ayah lebih cenderung fokus pada urusan
pekerjaan dan tidak terlalu ikut campur urusan anak.
Keseluruhan informan tunarungu memiliki saudara baik adik maupun
kakak dan informan tunarungu merupakan satu satunya penyandang disabilitas di
rumah. Dari hasil observasi Relasi interpersonal informan tunarungu dengan
saudaranya layaknya relasi antara saudara pada umumnya, mereka saling
menyayangi, saling menghargai dan saling menghormati. Hal ini dapat dilihat
ketika melakukan kunjungan ke rumah, saudara dari informan RD, FR, AN, dan
VN mampu menggunakan bahasa isyarat, dan mereka melakukan interaksi seperti
saudara pada umumnya. Dapat dilihat mereka memiliki keterlibatan dan dukungan
yang tinggi satu sama lain, misalnya menjemput sekolah. Informan LD dan YA
mengatakan dengan memberikan pengertian kepada anak yang lain bahwa saudara
mereka memiliki keterbatasan adalah salah satu cara agar anak-anak saling
memahami satu sama lain.
Berdasarkan hasil observasi 5 dari 6 keluarga tunarungu berkomunikasi
menggunakan bahasa isyarat. Anggota keluarga belajar menggunakan bahasa
isyarat. Keseluruhan keluarga tunarungu menjelaskan bahwa ketika mengetahui
anak mereka adalah penyandang tunarungu yang berarti mereka menyadari bahwa
anak memiliki kesulitan dalam mendengar atau bahkan tuli, ini ada momen yang
berat bagi keluarga karena mereka harus beradaptasi dengan kenyataan. Salah satu
tantangan pertama yang muncul adalah bagaimana berkomunikasi dengan anak
tunarungu. Karena anak tersebut memiliki keterbatasan dalam mendengar suara
dan ucapan, keluarga harus mencari cara yang efektif untuk berkomunikasi
dengan anak tersebut. Informan YA, ST, dan LD mengungkapkan awalnya
mereka berkomunikasi ala kadarnya, menggunakan bahasa tubuh bahkan menulis

62
di kertas, hingga kemudian saat anak menginjak usia sekolah, sekolah
memfasilitasi untuk pembelajaran bahasa isyarat untuk orangtua.
Keluarga tunarungu yang kurang paham atau tidak memiliki pengetahuan
yang cukup dalam menggunakan bahasa isyarat adalah keluarga informan AN.
Sebagai pengganti penggunaan bahasa isyarat, keluarga ini lebih memilih untuk
berkomunikasi menggunakan media sosial di rumah, seperti pesan teks dan
aplikasi komunikasi online. Orang tua AN menjelaskan selain penggunaan media
sosial, ada semacam bahasa ibu atau gaya berkomunikasi yang biasa yang biasa
digunakan oleh orang tua atau keluarga dirumah, namun mereka sering
mengalami kesulitan memahami maksud pesan yang disampaikan, akibat
kesulitan tersebut kemudian keluarga memutuskan menggunakan media sosial
untuk mengklarifikasi pesan dan memastikan pesan-pesan yang dikomunikasikan
telah dipahami. MD juga menambahkan kurangnya pemahaman tersebut
dikarenakan tidak pernah mengikuti pelatihan bahasa isyarat.
Maka berdasarkan hasil observasi diatas, pengamatan yang dilakukan
peneliti terkait family relationship siswa tunarungu dipertegas melalui hasil
wawancara LD (34 Tahun) orangtua RD:
“Dengan membangun hubungan secara individu sama dia, itu salah satu
cara ibu untuk membuat dia lebih percaya diri, biar dia nggak merasa
terlalu berbeda dengan adik adiknya. RD inikan anaknya agak serius dan
tertutup cara ibu membangun hubungan sama dia, kalau misal bertanya
walau pertanyaanya serius ibu akan bercandain, buat dia nyaman dulu
jangan dipaksa, sampai dia sendiri nanti yang terbuka dari dulu selalu
seperti itu. Karena ibu sudah hafal karakternya gimana, jadi dia lebih deket
sama ibu, kalau Bapaknya kan jarang dirumah karena kerjaannya jauh, jadi
anak anak semua deketnya ke saya. Dulu RD ini udah SD (sekolah dasar),
kebetulan Bapaknya dirumah, ibu minta tolonglah nganterin ke sekolah,
Bapaknya malah nanya ‘udah sekolah dia? Dimana sekolahnya?’ mungkin
menurut Bapaknya anak tuli kek gini nggak bisa sekolah”.

Dari pernyataan yang disampaikan oleh informan LD, mengungkapkan


bahwa salah satu cara yang digunakan ibu untuk meningkatkan kepercayaan diri
anak adalah dengan membangun hubungan secara personal dengan anak, karena
hal ini dapat menciptakan hubungan yang mendalam dan positif antara anak dan
orangtua. Di sisi lain, diketahui juga bahwa ayah cenderung lebih sibuk dengan

63
urusan pekerjaan dan berpersepsi bahwa urusan rumah tangga dan anak adalah
tanggung jawab ibu. Akibatnya ibu lebih terlibat dengan aktivitas anak sehari-hari
termasuk pendidikan dan pembentukan karakter anak dan hal ini yang
menciptakan kuatnya ikatan antara ibu dan anak yang dapat berkontribusi pada
peningkatan percaya diri anak.

Pernyataan serupa disampaikan oleh YA (43 Tahun) orangtua FR:

“Awalnya saya khawatir, gimanalah nanti saya sekedar berkomunikasi


dengan anakku ini ya, gitu dulu mikirnya. Tapi saya biasakan untuk
menanyakan hal-hal kecil sama dia, misalnya tadi belajar apa di sekolah,
ngapain aja di sekolah, akhirnya dia sendiri yang terbuka cerita sama saya.
Semua kegiatannya itu diceritain ke saya dan menurut saya itu yang
membuat saya percaya sama anak ini, hal kecil seperti itu yang membuat
kami dekat. Sebenarnya dirumah dia ini dekat kok sama semua, sama
Bapak sama adeknya juga tapi mungkin kalau ke saya kan sama sama
perempuan jadi lebih dekatnya ke saya”.

Informan YA menggambarkan pengalaman awal ketika ketika mengetahui


FR sebagai penyandang disabilitas. Ada kekhawatiran tentang bagaimana cara
berkomunikasi dengan anak mereka, namun dengan usaha dan pendekatan dengan
mulai aktif menanyakan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang membuat FR
merasa nyaman dan terbuka berbagi informasi dengan orang tua. YA menyadari
pendekatan ini berhasil membangun hubungan yang baik dengan anak tersebut.

Selanjutnya peneliti melakukan tahap observasi terkait orang tua dalam


mendukung dan memberikan afeksi kepada anak. Salah satu cara yang orang tua
lakukan adalah dengan mempercayai tunarungu ini ditunjukkan dengan sikap
orang tua percaya bahwa anak-anak mereka dapat melakukan tugas dan peran
sosial mereka seperti informan DP yang dipercayakan oleh orang tuanya untuk
mengendarai motor sendiri ke sekolah, juga informan DM yang dipercaya oleh
orang tuanya untuk tinggal sendiri di kota Bengkulu, karena jarak dari rumah ke
sekolah cukup jauh. Selanjutnya orang tua juga memberi anak tanggung jawab,
orang tua memberikan tanggung jawab sesuai dengan kemampuan tunarungu,
seperti informan LD mempercayakan RD untuk melakukan pekerjaan rumah
seperti yang dilakukan anak seusianya, mencuci piring, menjaga adik dan

64
pekerjaan rumah lainnya, juga informan FR yang diberi tanggung jawab untuk
menjemput adiknya dari sekolah dan tempat ngaji.

Selanjutnya hasil wawancara dengan TN (32 Tahun) kakak VN:


“Sebenarnya kami kakaknya juga dekat sama VN ini, Cuma kalau ditanya
lebih dekat ke siapa ya pasti sama mama, kan mama lah yang tau gimana
gimana nya dia, kalau ada apa apa juga pasti ceritanya ke mama. Dia
memang lebih terbuka sama mama dan karena mama juga nggak yang
terlalu mengekang gitu jadi VN ini lebih leluasa aja kalau sama mama”

Informan TN diatas menjelaskan bahwa kakak-kakak VN juga memiliki


hubungan yang dekat dengan VN, ini menunjukkan bahwa ada ikatan emosional
dan komunikasi yang baik antara saudara tersebut. meskipun demikian, hubungan
VN dengan ibu memiliki keunikan tersendiri. VN lebih terbuka dan nyaman
bercerita juga dapat mempercayakan perasaan dan masalahnya dengan ibu. VN
merasa bahwa ibu adalah orang yang paling memahami dan mengetahui
situasinya dengan baik.
Berikut hasil wawancara dengan ST (40 Tahun) orangtua DP:
“DP ini memang dekat dengan saya, apalagi sejak papanya meninggal dia
apa apa ke saya, tapi walau kek gitu DP ini suka memendam masalahnya
sendiri. Apalagi masalah pertemanan dia ini jarang cerita, paling cerita
tentang lomba-lomba yang harus dia ikuti dari sekolah. Makanya dia ini
pernah dipalakin temannya selama hampir 6 bulan, dan saya tahu itu juga
dari teman-temannya yang lain, kalau dia nggak mau itu cerita. Setelah
tahu dari salah satu teman sekelasnya, saya tanya dia baik baik, ternyata
menurut dia kalau ada yang minta in uang jajannya itu bukan bentuk bully,
uang jajannya dia ambil sama teman itu berarti temannya nggak punya
uang jajan, makanya dia nggak terlalu masalah sama hal itu. Coba kalau
dia ceritain hal hal kecil kek gini kan nggak akan sampai selama itu uang
jajannya di ambilin temannya. Memang sangat sangat penting sebagai
orang tua memiliki hubungan yang dekat dengan anak”.
Dari pernyataan informan ST diatas menunjukan bahwa memiliki
hubungan yang dekat dengan DP, terutama setelah kehilangan ayah DP. DP sering
mencari dukungan dari ibu. Meskipun dekat dengan ibu, DP cenderung
menyimpan masalahnya sendiri dan jarang bercerita tentang masalah pribadinya,
terutama terkait masalah pertemanan. Salah satu contoh pengalaman DP ketika
dipalak oleh temannya selama hampir 6 bulan. Setelah mengetahui masalah DP,

65
informan ST mencoba memahami situasi DP, dengan komunikasi terbuka dengan
anak tersebut. Informan ST juga menambahkan pentingnya hubungan yang dekat
antara orangtua dan anak,bahkan ketika anak cenderung menyimpan masalahnya
sendiri. Dengan komunikasi yang baik, orang tua dapat memberikan dukungan
yang diperlukan anak dan membantu mengatasi masalah.

Berbeda dengan informan sebelumnya, informan MD (42 Tahun) ayah


AN, menyampaikan bahwa AN cenderung lebih dekat dengan adik laki-laki nya,
hal ini karena adiknya tersebut lumayan bisa menggunakan bahasa isyarat,
sedangkan kedua orang tua AN tidak bisa menggunakan bahasa isyarat.

Berikut hasil wawancara dengan MD (42 Tahun) ayah AN:


“Dia ini anaknya tertutup, kalau ada yang perlu aja baru dikasih tahu ke
saya, kalau cerita apa segala macam nggak mau anak ini, tapi mungkin
karena kami nggak ada yang paham bahasa isyarat juga, cuma adik
tengahnya itulah yang lumayan paham bahasa isyarat. Kadang malah kalau
sudah kesulitan berkomunikasi saya suruh di ketikan aja”

Sedangkan informan DM, siswa tunarungu yang tinggal sendiri


mengatakan bahwa dia dekat semua anggota keluarga, namun ketika mengalami
masalah cenderung akan bercerita kepada Ibu, DM juga menambah sebagai anak
yang tinggal jauh dari keluarga hubungan yang dibangun dengan keluarga hanya
sebatas melalui telepon karena jarang bertemu. Tidak hanya itu DM juga
mengatakan tidak semua hal bisa diceritakan kepada keluarga karena kendala
jarak tersebut.
Hasil observasi terkait bagaimana orang tua memberikan dukungan kepada
anak di tunjukkan dengan memfasilitasi minat dan bakat anak. Ini berarti mereka
memberikan kebebasan penuh dan mengidentifikasi minat dan bakat yang dimiliki
anak dan kemudia membantu anak untuk mengambangkan potensi tersebut.
Seperti DP yang terampil dalam menjahit, juga sering mengikuti lomba, ketika
akan mengikuti lomba DP sering melakukan pembelajaran tambahan dalam
menjahit, ibu DP (informan ST) selalu mendukung anak dengan ada jam
tambahan, bahkan kadang DP harus pulang sore kerumah ST tidak keberatan.

66
Tidak beda jauh dengan DP, RD juga didukung penuh oleh orang tua
dalam minat tenis meja yang dia miliki, orang tua RD bahkan membangun
hubungan baik dengan pelatih tenis RD di klub, jika ada informasi tentang di RD
di klub, misalnya ada lomba atau ada kegiatan diluar latihan, pelatih RD akan
menghubungi orang tau RD langsung, seperti mengatakan akan ada kegiatan full
day seluruh anggota klub harus membawa bekal. Tidak berbeda jauh, FR juga
mendapat dukungan dalam minat dan bakatnya dalam bidang kecantikan.
Mendukung setiap kegiatan lomba yang dilakukan FR, membelikan alat
kecantikan yang dibutuhkan FR dalam mengembangkan minat tersebut. informan
DM aktif dalam merencanakan masa depan AN, merancang rencana yang akan
dilakukan AN setelah lulus SMA. MD berharap AN dapat melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang tinggi. sedikit berbeda dengan harapan MD, TN kakak
dari tunarungu VN, menjelaskan bahwa keluarga sepakat untuk membuka usaha
bagi VN kelak setelah lulus SMA, usaha apa saja yang sekiranya mampu VN
kelola.

Dari hasil wawancara diatas dan hasil observasi di lapangan dapat


disimpulkan informan tunarungu cenderung lebih dekat dengan Ibu, banyak faktor
yang mempengaruhi kedekatan tersebut. Dari 6 informan 5 diantaranya
mengatakan lebih dekat dengan ibu, mereka mengatakan bahwa dalam keluarga
ibu lah yang menjadi tempat mereka untuk bercerita, dan jika ada kebutuhan atau
keperluan biasanya mereka akan mengatakan kepada ibu. Sementara 1 informan
mengatakan lebih dekat dengan adik dan ayahnya. Meski demikian keluarga
khususnya orang tua memiliki sikap yang mendukung setiap pertumbuhan anak
dan keluarga juga memiliki sikap menerima kekurangan dan kelebihan yang
dimiliki informan tunarungu.

5.1.3.3 Love Relationships


Dari hasil wawancara dan observasi dilapangan love relationships ini yang
paling jarang ditemui, bahkan selama 2 bulan waktu penelitian, peneliti tidak
menemukan adanya hubungan percintaan yang ditandai dengan hubungan spesial
atau pacaran. Dari 6 informan tunarungu mengatakan sedang tidak berpacaran dan

67
3 diantaranya bahkan belum pernah berpacaran. Dari hasil observasi dapat dilihat
kedekatan antara siswa laki-laki dan perempuan cenderung hanya sebatas teman
atau sahabat, tidak mengarah pada hubungan percintaan. Meski hubungan siswa
laki-laki dan perempuan deket, seperti merasa nyaman berbicara, berbagi waktu,
dan berinteraksi satu sama lain namun hubungan tersebut tetap dalam konteks
pertemanan dan tidak berkemabang menjadi hubungan percintaan.
Penelitian ini dilakukan juga mencakup observasi terhadap aktivitas siswa
tunarungu di media sosial. hasil observasi menunjukkan bahwa unggahan yang
dibagikan di media sosial oleh siswa tidak menunjukkan adanya hubungan
percintaan percintaan. Sebaliknya, unggahan-unggahan tersebut lebih fokus pada
hubungan persahabatan dan aktivitas sehari-hari. Tidak ada tanda-tanda atau bukti
yang menunjukkan bahwa siswa tunarungu sedang menjalani hubungan
percintaan dengan seseorang. Unggahan informan di media sosial lebih mencakup
cerita kegiatan bersama teman, memposting ulang video lucu di platform
Instagram, atau hanya sekedar unggahan sedang melakukan olahraga, ikut lomba,
dan sunset di sore hari.
Selain observasi di media sosial, peneliti juga melakukan observasi
kunjungan ke tempat tinggal atau lingkungan fisik siswa tunarungu. Hasil dari
kunjungan ke rumah lima siswa tunarungu tidak menunjukkan tanda-tanda adanya
hubungan percintaan di antara siswa tunarungu dengan lawan jenis. Orang tua
siswa juga memberikan konfirmasi atau penegasan terhadap fakta bahwa anak-
anak mereka tidak sedang dalam hubungan percintaan. Orang tau AN bahkan
mengatakan melarang anaknya untuk terlibat dalam hubungan pacaran saat ini.
sedikit berbeda, orang tua FR justru memberikan kebebasan kepada anak mereka
untuk menjalani hubungan percintaan mengingat usia anak mereka tersebut sudah
pada usia normal untuk terlibat dengan hubungan tersebut.
Sejalan dengan hasil observasi, pernyataan wali kelas 10 LS (31 Tahun)
memberikan penjelasan yang serupa, berikut hasil wawancara dengan LS:
“Sangat mudah membedakan anak-anak ini mana yang sudah pernah
pacaran dan mana yang belum. Lihat AN bedakan dengan VN. AN ini
sangat dibatasi orangtuanya, sementara VN karena memang dia juga
pernah sekolah di sekolah umum jadi dia kayak remaja seusianya, yang

68
udah cinta cintaan. Tapi kalau untuk saat ini seperti anak-anak ini nggak
ada yang pacaran deh, soalnya kalau ada yang pacaran biasa di cie-cie in
sama kawannya yang lain, karena biasanya mereka ini kan bangga kalau
punya pacar, jadi pasti dipamerin ke temannya”

Dari keterangan LS diatas dapat diketahui bahwa siswa tunarungu yang


menjadi informan dalam penelitian ini tidak memiliki hubungan spesial dengan
orang lain. LS juga menambahkan mudah membedakan siswa tunarungu yang
sudah pernah menjalani hubungan percintaan dan yang belum pernah
menjalaninya. Ini berarti ada perbedaan yang mencolok dalam perilaku atau
tanda-tanda tertentu yang mereka tunjukan. LS memberikan contoh AN dan VN,
AN disebut sebagai anak yang sangat dibatasi oleh orang tuanya, sementar VN
disebut memiliki pengalaman sekolah di sekolah umum dan terlihat seperti remaja
seusianya yang sudah mengalami hubungan percintaan. Namun, hasil wawancara
di atas menekan pada saat penelitian berlangsung, tidak ada dari siswa tunarungu
yang sedang menjalani hubungan percintaan. Ketika sedang pacaran biasa siswa
tunarungu bangga dan memamerkannya kepada teman-temannya jika hal tersebut
terjadi.

Didukung dengan hasil wawancara dengan informan LD (34 Tahun),


berikut hasil wawancaranya:

“Saya tidak melarang anak ini pacaran, ya di umur sekarang sudah


waktunya untuk pacaran. Tapi saya lebih dukung kalau dia pacaran beda
kota gitu. Pernah dia pacaran sama orang Palembang, orang Bali juga
pernah. Mereka ini kan seperti punya komunitas sesama penyandang
tunarungu. Misal kalau mereka lomba kemana gitu nanti tukeran WA, dan
memang kecenderungan yang saya lihat mereka ini pasti pacaran sesama
tunarungu, mungkin karena mereka punya bahasa sendiri kali ya. Nah
kalau gitu saya nggak larang dan saya nggak perlu khawatir anak ini
macam macam. Pacarnya jauh kok. Kalau sekarang memang kayaknya
nggak punya pacar dia, karena HPnya hilang dari 2 bulan yang lalu, dan
belum ada uang untuk beli baru”.

Dari hasil wawancara di atas, LD mengungkapkan bahwa tidak melarang


anaknya untuk menjalani hubungan percintaan. LD menyadari bahwa anaknya
sudah cukup usia untuk memulai pacaran. Meskipun demikian, LD lebih
mendukung jika anaknya menjalani hubungan dengan seseorang dari kota yang

69
berbeda, karena juga pengalaman anaknya yang pernah pacaran dengan orang-
orang dari luar kota. LD menjelaskan bahwa anaknya pernah menjalin hubungan
percintaan dengan orang-orang dari berbagai kota, seperti Palembang dan Bali.
Mereka adalah penyandang tunarungu dari komunitas yang sama. LD juga
menambahkan bahwa saat ini anaknya tidak memiliki pacar karena handphone
anaknya hilang dua bulan yang lalu, dan belum memiliki uang untuk
menggantinya. Terlihat bahwa LD memiliki sikap yang terbuka terhadap
hubungan percintaan anaknya dan bahkan mendukungnya. Walau lebih nyaman
jika anaknya menjalani hubungan dengan orang dari luar kota, mungkin karena
pengalaman positif yang anaknya miliki dalam hubungan dengan sesama
penyandang tunarungu dari kota yang berbeda.

Sedikit berbeda dengan keterangan LD (34 Tahun) yang menjelaskan


bahwa tidak melarang anaknya untuk berpacaran tetapi lebih mendukung kalau
anaknya pacaran virtual atau pacaran jarak jauh yang sama sekali belum pernah
bertemu. TN (32 Tahun) mengungkap bahwa keluarga tidak melarang VN untuk
berpacaran. Mereka mengakui bahwa meskipun VN seorang penyandang
tunarungu, secara fisik dan mental, anak tersebut seperti orang pada umumnya.
Yang berarti sebagai individu yang mampu menjalani hubungan percintaan
dengan orang lain.

“Kalau sekarang saya kurang tau anak ini punya pacar atau enggak. Tapi
dia pernah punya pacar, pernah kok pacaranya dibawa kerumah. Kami
tidak melarang dia berpacaran karena bagaimanapun, dia memang
penyandang tapi secara fisik dan mental dia seperti orang pada umumnya,
dia juga bisa suka sama lawan jenisnya”

Hal berbeda disampaikan MD (42 Tahun), berikut tanggapan MD (42


Tahun) tentang love relationships siswa tunarungu:

“Saya kurang setuju seorang siswa berpacaran atau punya hubungan


spesial dengan orang lain yang bukan anggota keluarga. Dan hal ini yang
saya terapkan terhadap anak saya, kalau siswa ya kerjaannya belajar,
apalagi dengan kekurangan yang disandang anak saya ini. Saya mau dia
lebih fokus dengan keterampilan yang dia punya. Ini juga untuk kebaikan
anak itu sendiri”.

70
Di sisi lain, informan MD menyampaikan dengan tegas
ketidaksetujuannya terhadap siswa yang berpacaran atau memiliki hubungan
spesial dengan orang lain yang bukan anggota keluarga. ini menunjukkan bahwa
MD memiliki pandangan yang kuat tentang fokus utama seorang siswa, yaitu
belajar. MD menambahkan bahwa sebagai seorang siswa harus lebih memusatkan
perhatian dan energy pada pembelajaran, terutama mengingat anak mereka
memiliki keterbatasan atau disabilitas yang perlu diperhatikan. Selain itu MD juga
ingin anaknya fokus pada pengembangan keterampilan yang dimiliki anaknya, ini
dapat diartikan bahwa MD ingin anaknya mengalokasikan waktu dan usahanya
untuk mengembangjan keterampilan dan bakat yang dimilikinya demi masa depan
anak.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti menyimpulkan relasi


interpersonal dengan tipe love relationships siswa tunarungu adalah tipe relasi
interpersonal yang jarang ditemukan di kalangan siswa tunarungu selama masa
penelitian. Tidak ada kedekatan yang mengarah pada hubungan percintaan antara
siswa tunarungu dengan lawan jenis baik disekolah maupun diluar sekolah, hal ini
didukung dari hasil observasi dan wawancara dengan orangtua dan siswa
tunarungu itu sendiri.

5.1.2.4 Workplace Relationships


Workplace Relationships ini merujuk pada hubungan yang terjalin di
lingkungan kerja. Hubungan ini mencakup interaksi dan dinamika antara individu
dalam konteks professional, seperti hubungan antara atasan dan bawahan, rekan
kerja atau bahkan dengan pihak luar seperti klien atau pelanggan. Hubungan di
tempat kerja kerja umumnya melibatkan aturan dan etika kerja. Dengan demikian
relasi interpersonal dengan tipe Workplace Relationships tidak relevan atau tidak
sesuai dengan topik dan variabel penelitian, di mana penelitian ini memiliki fokus
yang sangat spesifik pada relasi interpersonal siswa tunarungu di sekolah. Dengan
kata lain penelitian ini fokus pada tipe-tipe yang lebih relevan sesuai dengan
kerangka dan batasan yang telah ditentukan, sehingga relasi interpersonal di
lingkungan kerja dianggap di luar cakupan penelitian.

71
5.1.2.5 Online-Only Relationships
Dari hasil penelitian Online-Only relationships adalah tipe relasi
interpersonal yang marak dikalangan siswa tunarungu. Relasi interpersonal yang
dibangun melalui internet atau yang dikenal dengan media sosial ini menjadi salah
wadah bagi siswa tunarungu untuk berteman dengan siapapun dan dari kota
manapun, namun kebanyakan hanya dengan sesama penyandang tunarungu. Hal
ini sejalan dengan relasi interpersonal tipe friendship relationships, di mana
tunarungu ini akan sangat mudah membangun relasi dengan orang lain yang
sesama penyandang tunarungu.
Hasil wawancara dengan 6 informan tunarungu, akun media sosial yang
informan miliki adalah Facebook, Instagram, dan WhatsApp, dan setelah peneliti
melakukan observasi di berbagai akun media sosial tersebut, platform WhatsApp
merupakan media sosial yang paling sering digunakan. Hal ini didukung dari
unggahan informan, informan rutin memperbarui status WhatsApp bahkan hampir
setiap hari, rata-rata mengunggah 1 status setiap harinya. Hal ini menunjukkan
bahwa WhatsApp memiliki peran yang signifikan dalam interaksi dan komunikasi
sehari-hari informan. Meskipun Instagram juga digunakan oleh informan ,
frekuensinya lebih rendah dibanding WhatsApp, informan hanya mengunggah
status di platform ini pada saat-saat tertentu. Seperti, membagikan momen khusus
atau mengikuti perkembangan tertentu. Dibanding dengan WhatsApp dan
Instagram, Facebook adalah platform media sosial yang paling jarang digunakan
oleh informan. Mereka hanya sesekali menggunggah status disana, dan ada yang
bahkan tidak melakukan unggahan sama sekali selama beberapa tahun terakhir.
Hal ini menunjukkan bahwa Facebook tidak menjadi platform utama bagi
informan untuk berinteraksi dan berkomunikasi di dunia online.

Dari hasil observasi pada setiap akun media sosial yang dimiliki
tunarungu, unggahan informan di platform media sosial tidak berbeda dengan
anak seusianya. Misalnya foto, video lucu, kata motivasi, gambar lucu bahkan
idola-idola mereka. FR merupakan informan yang paling sering mengunggah idol-
idol korea di hampir semua media sosialnya, karena peneliti juga memahami

72
tentang idol-idol korea, peneliti dengan informan sering berbagi pengalaman dan
informasi seputar idol korea. Hal ini menunjukkan bahwa media online
mempermudah informan tunarungu berkomunikasi dan berinteraksi. Ketika
berhadapan langsung informan dan peneliti tidak banyak berinteraksi karena
keterbatasan dalam pemahaman bahasa isyarat. Namun, ketika menggunakan
media online informan dan peneliti tidak mengalami keterbatasan tersebut karena
media online menyediakan berbagai alat komunikasi virtual contohnya pesan teks.

Selanjutnya unggahan informan tunarungu di platform media sosial adalah


berbagi aktivitas sehari-hari. Seperti, DP yang membagikan momen ketika meraih
juara 1 dalam lomba menjahit SMALB tingkat provinsi. AN yang lebih sering
membagikan perjalan keluarga ke pantai atau hanya sekedar ke kondangan
keluarga. DM cenderung membagikan kata kata motivasi atau penggalan lirik
lagu.

Di lihat dari unggahan informan tunarungu di media sosial, informan


cenderung lebih aktif dalam membangun dan menjalin hubungan online daripada
nyata, seperti ketika mengunggah teman-teman kehidupan nyata terlihat bahwa
perteman informan tunarungu hanya sebatas dengan sesama siswa tunarungu dari
SMALB 1 kota Bengkulu. Namun, ketika mengunggah hasil tangkap layar
percakapan mereka di platform WhatsApp, biasanya teman-teman informan
berasal dari berbagai daerah. Ini menggambarkan mereka lebih aktif di dunia
maya daripada dunia nyata. Ada implikasi bahwa siswa tunarungu mengalami
keterbatasan dalam berinteraksi di dunia nyata apalagi dengan orang yang kurang
paham menggunakan bahasa isyarat.

73
Gambar 8. Story WhatsApp informan FR (19 Tahun)

Dari gambar 8 menunjukan bahwa FR memiliki teman dari luar provinsi


Bengkulu, ini menunjukkan bahwa informan memiliki jejaring sosial yang cukup
luas dan dapat menjalin hubungan dengan orang-orang dari berbagai daerah. tidak
hanya itu FR kerap kali membagikan hasil screenshot percakapannya dengan
teman-teman virtualnya. Biasanya nama kontak dibuat dengan menyebutkan nama
dan asal kotanya, contoh “Alda Tuli (Semarang)”, hal ini menjelaskan tentang
sejauh mana informan menjalin hubungan dengan teman virtualnya. Asal kotanya
pun sangat beragam dari Bali, Sumedang, Garut, Palembang, Medan,
Probolinggo, dll. Kebiasaan berinteraksi dengan teman teman virtual dari berbagai
daerah dan berbagi hasil percakapan melalui tangkap layar suatu kebiasaan yang
umum dalam kelompok tunarungu.
Dari observasi yang peneliti lakukan dengan menjalin hubungan dengan
informan tunarungu menggunakan media online, hambatan yang peneliti temui
adalah perbedaan pemahaman literasi. Perbedaan literasi ini mencakup
kemampuan merangkai kata dengan baik, dan mengorganisasi kata-kata dengan
tepat. Contohnya pada gambar 5.3 di salah satu gambar unggahan FR terdapat
kalimat “jomblo single masih tetap” yang bisa saja maksud dari kalimat ini adalah
“masih single” lalu ada kalimat “saya nama, nabil cowok” kalimat ini
menunjukkan penempatan kata yang salah. Berikut salah satu contoh lain
perbedaan pemahaman literasi yang peneliti rasakan.

74
Gambar 9. percakapan dengan informan DM

Pada isi percakapan diatas terdapat kalimat “sudah kemarin sekolah minggu aku
lomba” perlu hati-hati dalam membaca dan memaknai pesan yang diterima dari
informan. Ini berarti tidak hanya membaca pesan dengan cermat tetapi juga
memperhatikan konteks pesan tersebut. terkadang pesan terlihat ambigu atau tidak
terstruktur pada pembacaan pertama, namun dapat memiliki makna ketika
memahami konteks percakapannya dengan tepat. Perlu bertanya lebih banyak
pertanyaan klarifikasi ketika ada ketidakjelasan dalam pesan yang diterima.
Peneliti meminta informan DM untuk memberikan penjelasan lebih lanjut dan
memastikan pemahaman yang tepat untuk menghindari kesalahpahaman.

Gambar 10. Story WhatsApp informan DP (18 Tahun)

75
Gambar diatas menunjukan ketika informan DP sedang melakukan live
streaming di Instagram, dan yang bergabung dalam live streaming tersebut yang
sebelah kiri bawah adalah informan FR. Sepanjang live mereka menggunakan
bahasa isyarat, tidak ada suara sama sekali, ekspresi wajah mereka menjelaskan
situasi percakapan yang sedang mereka lakukan.
Hasil wawancara dengan guru sekolah EK (38 Tahun) dan pendapat yang
sama juga disampaikan AJ dan LS mengatakan:
“kenapa anak-anak tunarungu ini memiliki banyak kawan dari luar kota,
yang pertama itu karena mereka ini punya komunitas Tuli, orang inikan
lebih suka dipanggil tuli dari pada tunarungu. Dari komunitas itu lah,
karena mereka ini gampang bergaul, kalau sesama tuli. Juga karena kan
anak-anak tunarungu disini sering ikut lomba kemana mana, dari situ juga,
kalau udah ketemu sesama tuli mereka ini kayaknya seperti ketemu orang
yang paling paham dengan mereka. Jadi mereka akan cepat akrab”

Dapat disimpulkan relasi interpersonal dengan tipe Online-Only


relationships atau relasi yang dibangun melalui media sosial adalah tipe relasi
yang sering digunakan oleh informan tunarungu. Hal ini dikarenakan dengan
media sosial informan tunarungu mampu berkomunikasi dengan siapapun bahkan
mereka yang tidak bisa menggunakan bahasa isyarat. Dan hal ini terjadi pada
peneliti, saat melakukan penelitian ini peneliti sering berkomunikasi dengan
informan tunarungu menggunakan media sosial WhatsApp.

5.2 Pembahasan
Pembahasan pada sub bab ini akan mengkaji tentang hasil penelitian, di mana
pada hasil penelitian menunjukkan bahwa informan berada di rentang usia 17-53
tahun. Dengan jenis kelamin dominan perempuan, dari 14 informan 11
diantaranya perempuan dan 3 lainya laki-laki dan keseluruhan informan menganut
agama islam. Pemilihan informan berdasarkan kriteria di mana informan tersebut
paling tahu tentang relasi interpersonal siswa tunarungu. Adapun yang akan
dilakukan dalam analisis data pada tipe relasi interpersonal menurut Joseph
DeVito (2014) yaitu, friendship relationships, family relationships, love
relationships, workplace relationships, dan Online-Only relationships siswa
tunarungu di SMALB 1 Kota Bengkulu sebagai berikut:

76
5.2.1 Friendship relationships
Dari hasil penelitian relasi interpersonal dengan tipe friendship
relationships merupakan relasi interpersonal siswa tunarungu yang rata rata hanya
terjalin dengan siswa tunarungu juga. Persahabatan yang dibangun dengan
bermain bersama, saling bertukar cerita, menghabiskan waktu bersama. Siswa
tunarungu sering saling menjenguk satu sama lain, bahkan di luar lingkungan
sekolah. Ini menunjukkan adanya ikatan yang kuat diantara mereka. kunjungan
tersebut dimotivasi berbagai alasan, seperti tugas kelompok sekolah atau hanya
sekedar berkumpul bersama.

Hasil penelitian juga menunjukkan pertemanan siswa tunarungu yang erat


dan kompak. Hubungan erat ini didasarkan pada rasa solidaritas diantara siswa
tunarungu. Siswa tunarungu merasa dekat satu sama lain karena mereka
mengalami tantangan yang serupa sebagai penyandang tunarungu, hal ini
menciptakan dasar emosional kuat di antara mereka. karena memiliki pengalaman
hidup yang hampir sama, siswa tunarungu dapat saling memahami dengan baik.
Dijelaskan juga pada hasil penelitian persahabatan tunarungu tidak terikat oleh
batasan gender, mereka merangkul keragaman gender dalam pertemanan mereka,
yang berarti siswa laki-laki dan siswa perempuan dapat menjadi teman dengan
bebas. Seperti ketika salah satu dari mereka melakukan kesalahan teman-
temannya merespon dengan guyonan, mencerminkan suasana yang santai dan
persahabatan yang yang hangat antara mereka.

Kedekatan persahabatan siswa tunarungu tidak hanya terbatas pada


lingkungan sekolah, seperti contoh mereka turut berpartisipasi mengunjungi
tradisi Tabot di Bengkulu, ini menunjukkan mereka ingin bahwa siswa tunarungu
tidak membiarkan keterbatasan fisik mereka menghalangi untuk merasakan aspek
budaya dan sosial di kehidupan sehari-hari. Mereka ingin menikmati pengalaman
persahabatan seperti teman-teman seusianya. Siswa tunarungu juga sering
menggunakan media sosial untuk berbagi momen kebersamaan mereka.
mengunggah foto dan video yang menggambarkan saat-saat di sekolah, serta
momen sehari-hari dalam kehidupan sekolah.

77
Pada hasil penelitian juga ditegaskan bahwa siswa tunarungu
menunjukkan rasa solidaritas yang kuat di antara sesama mereka. Siswa tunarungu
memiliki rasa memiliki persamaan nasib dan saling mendukung satu sama lain
karena keterbatasan yang mereka hadapi yang menciptakan ikatan emosional di
antara mereka. kedekatan yang dibangun didasari pada rasa senasib
sepenanggungan, menggambarkan perasaan saling memahami dan merasa lebih
nyaman dan diterima di lingkungan di mana mereka bisa berinteraksi dengan
bahasa yang saling mengerti. Kesamaan yang mereka sandang membuat mereka
lebih terbuka dan berkomunikasi dengan lebih mudah dengan cara komunikasi
khusus yang mereka miliki.

Afeksi dalam hubungan persahabatan siswa tunarungu adalah elemen


kunci dalam memahami dinamika dan kedekatan sesama mereka. salah satu ciri
khas hubungan persahabatan siswa tunarungu adalah saling menghargai. Memiliki
pemahaman mendalam tentang keterbatasan dan pengalaman masing-masing.
Kesamaan menjadi hal yang mempersatukan, sehingga cenderung untuk
membantu satu sama lain. Misalnya jika ada siswa yang kesulitan, teman-teman
sekelasnya tidak hanya akan membantu tetapi juga melakukannya dengan penuh
kehangatan dan candaan, menciptakan atmosfer yang penuh dengan rasa hormat.
Persahabatan siswa tunarungu ditandai dengan saling mempercayai satu sama
lain. mereka nyaman untuk membuka diri dan berbicara tentang perasaan, karena
merasa didengar dan dimengerti oleh yang lain. Memiliki kepercayaan yang
dalam terhadap teman-teman yang memberi rasa keamanan dan dukungan. Siswa
tunarungu menerima satu sama lain tanpa penilaian, tidak memandang
keterbatasan sebagai halangan.hal ini menciptakan lingkungan di mana siswa
tunarungu merasa diterima dan di cintai apa adanya. Sikap ini mencerminkan
inklusivitas dalam persahabatan siswa tunarungu.

Siswa tunarungu sebenarnya memiliki kebebasan dalam memilih berteman


dan membangun hubungan sosial, seperti halnya anak-anak pada umumnya.
Orang tua dari siswa tunarungu umumnya tidak membatasi anak-anak mereka
dalam hal ini. siswa tunarungu dapat berteman dengan siapa saja, baik teman

78
sebaya yang tunarungu maupun dengan individu yang tidak memiliki kerunguan.
Namun, pada hasil penelitian dijelaskan bahwa ada tantangan khusus yang
dihadapi tunarungu dalam membangun relasi dengan individu yang tidak
memiliki kerunguan. Salah satu tantangan utamanya adalah rasa minder dan
perasaan berbeda yang sering kali muncul. Kondisi ini membuat siswa tunarungu
merasa kurang percaya diri dalam berinteraksi dengan individu yang bukan
penyandang disabilitas. Tidak hanya itu siswa tunarungu seringkali menghadapi
tantangan serius akibat diskriminasi dan perlakuan tidak adil di lingkungan sekitar
mereka yang mayoritas adalah individu dengan pendengaran normal.

Menghadapi sikap negatif dari individu lain yang mungkin tidak


memahami kondisi mereka atau tidak nyaman dalam berinteraksi dengan mereka,
sikap negatif tersebut berupa ejekan, lelucon yang tidak pantas atau komentar
merendahkan. Hal semacam ini dapat merusak harga diri dan kesejahteraan
psikologis siswa tunarungu. Karena pengalaman-pengalam tersebut, siswa
tunarungu sering merasa tidak nyaman dan merasa tidak aman di lingkungan yang
lebih luas, yang kemudian menjadi salah satu alasan kuat mengapa mereka
memilih untuk membentuk friendship relationships dengan sesama tunarungu.
Tempat di mana mereka merasa lebih dipahami, diterima, dan aman dari
diskriminasi dan perlakuan tidak adil. Dalam konteks ini, membangun hubungan
dengan sesama tunarungu menjadi suatu bentuk dukungan dan perlindungan bagi
mereka dalam menghadapi tantangan keterbatasan.

Dari penjelasan diatas maka dapat dilihat alasan mengapa siswa tunarungu
hanya berteman dengan sesama mereka. Menurut Jalaluddin Rakhmat dalam
(dalam Wulandari dan Rahma, 2018) ada 4 aspek terciptanya relasi interpersonal,
yaitu (1) aspek kesamaan karakteristik, (2) stress atau tekanan emosional, (3)
rendahnya harga diri, (4) isolasi sosial. dari 4 aspek tersebut 3 aspek relevan
dengan hasil penelitian.

Aspek kesamaan karakteristik, menjadi alasan utama tunarungu hanya


mampu membangun relasi interpersonal dengan sesama tunarungu juga. Dengan

79
latar belakang yang sama sebagai penyandang tuli, mereka memiliki rasa senasib
sepenanggungan. Selanjutnya peranan komunikasi sangat penting dalam relasi
interpersonal, sementara dalam kasus tunarungu mereka berkomunikasi
menggunakan bahasa isyarat yang tidak semua siswa di SMALB bisa
menggunakannya, sementara dengan sesama tunarungu sudah pasti mampu
menggunakan bahasa isyarat, karena hal tersebut tidak ada kesulitan bagi
penyandang tunarungu untuk berkomunikasi dengan sesama penyandang
tunarungu juga.

Aspek selanjutnya yang relevan dengan hasil penelitian ini adalah aspek
rendahnya harga diri, penyandang tunarungu cenderung memiliki masalah
kepercayaan diri, mereka kerap menganggap diri mereka rendah dan berbeda dari
yang lain. Sementara kepercayaan diri itu salah satu unsur penting dalam
bersosialisasi dengan lingkungan sosial, tanpa kepercayaan diri itu akan
menimbulkan masalah dalam membangun relasi interpersonal dengan orang lain,
dari hasil penelitian 5 dari 6 anak memiliki rasa percaya diri rendah jika
bersosialisasi dengan lingkungan tempat tinggal, sehingga mereka hanya tetap
berteman dengan teman sekolahnya yang sesama penyandang tunarungu bahkan
ketika diluar jam sekolah.
Aspek terakhir yang relevan dengan hasil penelitian adalah aspek isolasi
sosial, siswa tunarungu kerap menarik diri dari lingkungan sosial, dari teman
teman sebayanya di lingkungan tempat tinggal. Dari hasil penelitian tunarungu
menarik diri dari lingkungan tempat tinggal kerana alasan mereka pernah di bully,
ada juga karena masyarakat tempat tinggal siswa tunarungu tersebut masih awam
dengan penyandang tuli. Dari beberapa alasan diatas membuat mereka lebih
nyaman berteman dengan teman sekolah yang tunarungu juga.
Dari hasil penelitian 5 dari 6 siswa tunarungu tidak dilarang atau dibatasi
oleh orangtua untuk berteman dengan siapapun, bahkan ada orangtua yang
menyarankan anaknya untuk berbaur dengan lingkungan tempat tinggal mereka,
namun seperti yang telah diuraikan diatas, banyak faktor yang membuat siswa
tunarungu hanya akrab dengan sesama tunarungu.

80
Sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Octaviani
dan Yuningsih, (2020) yang berjudul “Kemampuan Interaksi Sosial Tunarungu di
Kelurahan Batununggal Kota Bandung”. Menyimpulkan bahwa kemampuan
terkait interaksi sosial anak tuna rungu di Kelurahan Batununggal di Kota
Bandung bisa dikatakan belumlah tercapai dengan optimal, yang mana hal
tersebut belum optimal berjalannya karena dalam berinteraksi sosial dengan orang
lain terutama orang normal pada biasanya anak tunarungu akan mengalami
kesulitan yang dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti faktor
perasaan rendah diri sehingga ia jadi takut atau malu untuk bertegur sapa dengan
orang lain. (Octaviani dan Yuningsih, 2020).
Dalam konteks ini, bahwa membangun relasi interpersonal dengan sesama
tunarungu bukanlah tindakan yang salah atau negatif. Dari hasil penelitian,
peneliti melihat ini adalah mekanisme perlindungan sosial yang dapat membantu
siswa tunarungu merasa lebih nyaman dan mendapat dukungan dalam
menghadapi berbagai tantangan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari,
serta hal ini juga merupakan respon wajar yang mereka berikan terhadap
diskriminasi yang pernah mereka alami.

5.2.2 Family Relationship


Berdasarkan hasil penelitian, relasi interpersonal siswa tunarungu dengan
tipe family relationship didominasi dekatan informan dengan ibu. 5 informan
tunarungu mengatakan dekat dengan ibu, 1 informan mengatakan lebih dekat
dengan ayah dan adik laki-lakinya. Para ibu tersebut merasa bahwa mereka lebih
paham karakter anak tunarungu dibanding dengan anggota keluarga yang lain.
Para ibu cenderung lebih peka terhadap kebutuhan anak dan siap membantu
mereka mengatasi tantangan yang terkait dengan kerunguan yang anak sandang.
Dari hasil penelitian juga menunjukkan para ibu lebih sering terlibat dengan
aktivitas anak baik disekolah maupun dirumah, keterlibatan ini dapat mencakup
dalam pengembangan bahasa isyarat, pendampingan anak, dan mendukung dalam
belajar dibidang apapun.

81
Pada hasil penelitian dijelaskan hubungan ibu dengan anak tunarungu
didasarkan pada komunikasi terbuka. Ibu biasanya memahami perasaan dan
pikiran anak mereka, dan ibu cenderung mengajak anak untuk berkomunikasi dan
memberi anak kesempatan untuk berbicara, misalnya bercerita seputar kegiatan di
sekolah. Hal ini dapat membantu membangun kepercayaan dan membuat anak
merasa didengar dan dimengerti. Kedekatan tunarungu dengan ibu juga
mencerminkan tingkat ikatan emosional antara anak dan ibu. Ibu juga berperan
sebagai pendukung utama dalam perkembangan tunarungu. Mereka terlibat dalam
mendukung pendidikan anak, menghadiri kegiatan sekolah anak, dan
mengembangkan potensi anak.

Selanjutnya dilihat dari hasil penelitian hubungan antara ayah dan anak
tunarungu cenderung kurang dekat atau tidak sedekat dengan ibu. Hasil penelitian
ini didukung dengan peran tradisional dalam keluarga, di mana dalam budaya
tradisional mengatur bahwa ibu lebih sering terlibat dalam merawat anak-anak,
terutama ketika anak memiliki kebutuhan khusus seperti tunarungu. Ayah lebih
fokus pada peran sebagai kepala keluarga atau sebagai pencari nafkah dalam
keluarga, yang menyebabkan ayah memiliki waktu terbatas untuk berinteraksi
dengan anak. Hal ini terbukti ketika ayah RD terkejut saat mengetahui bahwa RD
sudah masuk sekolah dasar. Ayah yang kurang terlibat dalam perkembangan anak
karena merasa ini adalah tanggung jawab ibu. Sama seperti ibu, ayah juga
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, hal ini juga menjadi penghalang
dalam membangun hubungan yang lebih dekat dengan anak, dari hasil penelitian
ibulah yang mengajarkan ayah menggunakan bahasa isyarat.

Namun, penjelasan diatas tentang hubungan antara ayah dan tunarungu


cenderung kurang dekat dibanding dengan ibu ini tidak berlaku untuk setiap
keluarga informan tunarungu, informan AN mengatakan lebih dekat dengan ayah
dan saudara laki-lakinya. Keterangan ayah informan di hasil penelitian
mengatakan bahwasannya keluarga informan tidak paham menggunakan bahasa
isyarat, hal ini membatasi interaksi dan komunikasi antara anggota keluarga,

82
hanya adik laki-lakinya yang sedikit paham bahasa isyarat yang membuat
informan tersebut lebih dekat dengan adiknya.

Dari hasil penelitian juga dapat dilihat walau informan tunarungu rata-rata
dekat dengan ibu, namun hubungan tunarungu dengan anggota keluarga lainya
juga cukup baik, hal ini dilihat dari anggota keluarga yang menyesuaikan diri
dengan situasi dan kondisi informan tunarungu. Ibu berperan penting dalam
meningkatkan pemahaman anggota keluarga tentang kondisi informan tunarungu,
terlebih informan tunarungu merupakan satu-satunya penyandang disabilitas di
rumah. Dari 6 informan tunarungu, 5 diantaranya memiliki keluarga yang paham
bahasa isyarat, hal ini menunjukkan sikap suportif keluarga terhadap informan
tunarungu. Sikap suportif lain yang ditunjukkan oleh orangtua yaitu dengan tidak
membedakan informan tunarungu dengan saudaranya yang lain, mereka diberi
tanggungjawab yang sama ketika dirumah. Keluarga juga beradaptasi dengan
perubahan cara mereka berkomunikasi, dengan belajar bahasa isyarat atau
menggunakan teknologi media sosial untuk berkomunikasi dengan anak
tunarungu. Karena salah satu masalah yang dihadapi keluarga tunarungu adalah
bagaimana mereka berkomunikasi efektif dengan anak, karena komunikasi yang
efisien dalam keluarga kunci penting dalam memberikan dukungan kepada anak
dalam menghadapi kondisi pendengaran mereka.
Orang tua dari siswa tunarungu menunjukkan kepercayaan penuh terhadap
kemampuan dan peran sosial anak-anak mereka. dengan membiarkan anak-anak
menjalankan peran tersebut sesuai dengan yang seharusnya dilakukan. Contohnya,
anak-anak diberi tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan rumah, ada yang
ditugaskan untuk menjemput adik mereka dari sekolah, bahkan ada tunarungu
yang dipercaya tinggal sendiri, karena jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh.
Hal ini menunjukkan bahwa orang tua tidak membatasi atau menghambat anak-
anak mereka dalam mengambil peran sosial sesuai dengan usia dan kemampuan
mereka.
Selanjutnya para orang tua juga memahami pentingnya hubungan yang
erat dan komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak dalam konteks

83
mendukung perkembangan anak. Hubungan yang dekat antara orang tua dan anak
akan merupakan fondasi yang penting dalam keluarga. ketika ada kedekatan yang
kuat, anak akan merasa nyaman, aman, dan diberdayakan untuk berbicara tentang
perasaan dan masalah yang mereka hadapi. Terkadang, anak-anak suka
menyimpan masalah mereka sendiri, ini bisa disebabkan oleh berbagai alasan,
termasuk rasa malu atau kekhawatiran tentang bagaimana orang tua akan bereaksi.
Penting bagi orang tua untuk menanamkan komunikasi yang baik dengan anak, ini
mencakup pendekatan dengan anak, mendengarkan dengan empati, dan
menciptakan lingkungan di mana anak merasa dapat berbicara tanpa rasa takut
dan malu.
Ketika orang tua memiliki hubungan yang kuat dengan anak-anak mereka,
mereka dapat memberikan dukungan yang diperlukan anak menghadapi masalah
dan kesulitan. Dukungan tersebut bisa berupa saran, bantuan praktis, atau sekedar
mendengarkan dan memberikan dukungan emosional. Melalui komunikasi yang
baik, orang tua dapat membantu memberikan panduan kepada anak, membantu
mencari solusi, atau mengarahkan mereka ke sumber yang tepat dalam
mengembangkan kemampuan anak. Ketika anak merasa percaya dan yakin bahwa
mereka dapat terbuka dengan orang tua tentang masalah apapun, ini memfasilitasi
hubungan yang sehat dan memungkinkan anak untuk berkembang dengan baik.

Selain itu, 5 informan orangtua juga menunjukkan sikap yang positif yaitu
sikap menerima terhadap anak-anak mereka. Sikap menerima tersebut relatif sama
yang ditandai dengan menerima anak-anak apa adanya dan dukungan terhadap
anak mengakui segala kekurangan dan kelebihan anak, mengupayakan yang
terbaik untuk anak. Dalam hal ini seperti membawa anak terapi, mencoba mencari
alternatif penyembuhan, juga ditandai dengan orangtua yang menyekolahkan anak
di SLB hingga jenjang SMA saat ini. sikap menerima ini mencerminkan ketulusan
dan keikhlasan dalam menerima segala yang terkait dengan anak-anak mereka,
yang berarti orang tua tidak hanya menerima anak secara fisik, tetapi juga secara
emosional dan mental. Hal ini sejalan dengan teori relasi interpersonal Duck &

84
Gilmour (dalam Budyatna & Ganiem, 2011) bahwasanya orang yang terlibat
dalam relasi tersebut menunjukkan rasa empati dan sikap saling memahami.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan Fatimah dan Hidayati (2020) yang


berjudul “Hubungan Interpersonal Orang Tua dengan Anak Tuli Studi Kasus di
SLB-B Ruhui Rahayu”. Pada penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ada tiga
faktor yang dapat menumbuhkan hubungan interpersonal orang tua dan anak
penyandang tuli, yaitu sikap menerima, sikap suportif, dan sikap terbuka. Ketiga
sikap ini, jika diterapkan dengan baik, dapat menumbuhkan sikap simpati, empati
dan toleransi antara anggota keluarga. Hasil penelitian yang peneliti temukan
selaras dengan hasil penelitian tersebut.

5.2.3 Love Relationships


Love relationship merupakan tipe relasi interpersonal yang dianggap
kompleks, karena hubungan ini melibatkan perasaan cinta kasih yang ditandai
dengan kedekatan, perhatian, keintiman, gairah, dan komitmen. Hubungan ini
dapat berkembang dan terjaga namun juga kadang hubungan ini dapat putus atau
hancur. Dari hasil penelitian relasi interpersonal dengan tipe love relationship
paling jarang ditemui, bahkan dari hasil penelitian tidak ditemukan adanya
hubungan percintaan tunarungu dengan lawan jenis. 3 dari 6 informan bahkan
mengatakan belum pernah berpacaran, dan hasil ini didukung dengan pengakuan
guru dan orangtua yang telah di uraikan pada hasil penelitian. Meskipun ada
hubungan kedekatan antara siswa laki-laki dan perempuan, hubungan tersebut
biasanya tetap pada konteks pertemanan atau persahabatan dan tidak berkembang
menjadi hubungan percintaan.
Dilihat pada hasil penelitian tidak ada hubungan percintaan yang terlihat
selama penelitian berlangsung, tidak ada siswa tunarungu yang menunjukkan ada
hubungan percintaan baik dalam melalui aktivitas di media sosial maupun dalam
interaksi sehari-hari. Di lihat dari unggahan siswa tunarungu di media sosial lebih
fokus pada hubungan persahabatan dan aktivitas sehari-hari daripada hubungan
percintaan. Orang tua memainkan penting dalam memastikan bahwa anak-anak
mereka tidak terlibat dalam hubungan percintaan. Orang tua siswa tunarungu

85
menegakan bahwa anak-anak mereka tidak sedang dalam hubungan percintaan
dengan lawan jenis. Ini menunjukkan bahwa orang tau memiliki pemahaman yang
jelas tentang aktivitas anak-anak mereka.
Selanjutnya pada hasil penelitian juga dijelaskan bahwa 4 dari 5 orang tua
tunarungu memiliki sikap dan pandangan yang positif serta inklusif terhadap anak
mereka dalam konteks hubungan percintaan. Orang tua menunjukkan sikap
terbuka dan mendukung mereka dalam hal menjalani hubungan tersebut. mereka
dengan tegas menyatakan tidak melarang anak mereka berpacaran. Hal ini
menunjukan bahwa orang tua memberikan kebebasan kepada anak mereka untuk
menjalani hubungan percintaan sesuai dengan keinginan dan perasaan mereka. 4
dari 5 orang tua tersebut juga mengakui bahwa meskipun anak mereka adalah
seorang penyandang tunarungu, baik dari segi fisik maupun mental, anak mereka
tidak berbeda secara signifikan dengan orang-orang pada umumnya. Para orang
tua tersebut melihat anaknya sebagai individu yang memiliki kemampuan dan
kebutuhan yang sama untuk mengalami cinta dan hubungan percintaan seperti
yang dialami oleh individu lain yang bukan penyandang disabilitas. Sikap ini lah
yang dapat diartikan sebagai bentuk pandangan positif dan inklusif terhadap anak,
memberi dukungan dan kepercayaan bahwa anak dapat menjalan hubungan
percintaan dengan baik meskipun memiliki kondisi kerunguan.
Di sisi lain 1 dari 5 orang tua tunarungu yang memiliki pandangan berbeda
terkait hubungan percintaan anak. Orang tua tersebut menunjukkan penolakan
yang kuat terhadap siswa yang berpacaran atau memiliki hubungan percintaan
dengan orang lain. Ini bisa diartikan bahwa orang tua tersebut melihat hubungan
percintaan sebagai sesuatu yang dapat mengganggu fokus dan prioritas anak.
Pandangan orang tua ini menekankan bahwa pendidikan adalah prioritas utama
bagi anak sebagai pelajar. Yang mana menurut orang tua tersebut sebagai siswa,
tugas utama anak adalah belajar, ini berkaitan dengan keyakinan bahwa
pendidikan adalah fondasi yang kuat untuk masa depan anak. Orang tua ini
mengklarifikasi bahwa sikap yang diambil untuk kebaikan anak itu sendiri.
Dengan membatasi atau menghindari hubungan percintaan di usia sekolah, orang

86
tua berpendapat anak tersebut akan memiliki lebih banyak waktu dan fokus untuk
perkembangan dalam hal pendidikan dan pengembangan keterampilan pribadi.
Dilihat dari hasil penelitian tidak ditemukan adanya hubungan percintaan
tunarungu dengan lawan jenis. Namun, dilihat dari usia informan di rentang usia
17-20 tahun. Di mana usia ini telah masuk pada tahap perkembangan dewasa
muda, pada tahap ini menurut Olds, dkk (dalam putri 2010) individu mengalami
perubahan signifikan dalam hubungan personal, khususnya yang berkaitan dengan
pertemanan, cinta, dan seksualitas. Tahap ini dikenal sebagai periode ketika
individu mencari dan menemukan pasangan yang tepat. Yang mana ketertarikan
dengan lawan jenis sudah sangat wajar dalam masa perkembangan ini. Pada tahap
ini, individu cenderung mencari pasangan yang cocok dan membina hubungan
yang kuat, saling percaya dan berkomitmen. Namun, hubungan ini memerlukan
pengorbanan dan persetujuan dari kedua individu yang terlibat, ini berarti bahawa
mereka harus bersedia mengorbankan sebagian dari waktu, perhatian dan
keinginan pribadi mereka demi hubungan yang berkelanjutan. Karena komitmen
pribadi sangat ditekankan dalam hubungan ini, setiap individu yang terlibat harus
bekerja keras untuk menjaga hubungan agar tetap sehat dan berkelanjutan.
Menurut Perpignan & Udry (dalam Hidayah 2021) bahwa setiap anak
yang sedang merasakan dan mempunyai hubungan asmara dengan lawan jenisnya,
akan lebih sering mengungkapkan atau menceritakan apa yang dirasakannya
kepada teman yang dianggap dekat dibanding dengan orangtuanya. Dengan kata
lain, ada perbedaan tingkat keterbukaan remaja. Mereka cenderung lebih terbuka
ketika berbicara tentang masalah sekolah atau masalah di lingkungan sosial
dibanding dengan masalah asmara. Hal ini bisa disebabkan adanya rasa malu,
privasi, atau kekhawatiran tentang reaksi orang tua terhadap hubungan tersebut.
Dalam konteks ini teman-teman dekat memiliki peran yang penting sebagai
pendengar dan penyalur dukungan. Remaja merasa lebih nyaman berbicara
dengan teman mereka tentang masalah asmara karena dianggap memiliki
pengalaman serupa Dilihat dari hasil wawancara dengan orangtua tunarungu,
diketahui informan tunarungu biasanya lebih terbuka berkaitan masalah di sekolah
maupun masalah di lingkungan sosial dan sangat jarang terbuka jika berkaitan

87
dengan masalah asmara. Ada juga penjelasan guru yang menjelaskan bahwa jika
salah satu diantara siswa tunarungu tersebut memiliki hubungan percintaan
dengan orang lain, maka biasanya sesama mereka akan mengetahuinya.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti menyimpulkan relasi
interpersonal dengan tipe love relationships siswa tunarungu adalah tipe relasi
interpersonal yang jarang ditemukan di kalangan siswa tunarungu selama masa
penelitian. Tidak ada kedekatan yang mengarah pada hubungan percintaan antara
siswa tunarungu dengan lawan jenis baik disekolah maupun diluar sekolah.
Diketahui juga 4 dari 5 orangtua tidak melarang informan tunarungu untuk
berpacaran, bahkan mereka beranggapan hal tersebut wajar mengingat usia
informan tunarungu saat ini. sementara 1 orangtua mengungkapkan pendapat
sebaliknya, informan orang tua tersebut menyampaikan bahwa tidak seharusnya
seorang pelajar memiliki pacar atau hubungan asmara. Diketahui dari hasil
penelitian juga bahwa ada orangtua yang lebih setuju kalau anaknya pacaran
virtual.

5.2.4 Workplace Relationship


Seperti yang telah dikemukakan pada hasil penelitian, relasi interpersonal
dengan tipe Workplace Relationships tidak relevan dengan topik dan variabel
penelitian. Hubungan ini lebih merujuk pada hubungan yang terjadi di lingkungan
kerja, yang mencakup interaksi dan komunikasi dalam konteks professional.
Hubungan ini melibatkan atasan dengan bawahan, rekan kerja, serta entitas
eksternal seperti klien atau pelanggan. Dalam lingkungan kerja ada 3 jenis
hubungan ini yaitu: Mentoring (pembimbingan): Ini adalah hubungan antara
individu yang berpengalaman dengan individu yang kurang berpengalaman.
Networking (jaringan kerja): Networking melibatkan interaksi dengan orang lain
untuk mendapatkan bantuan, solusi masalah, atau pemahaman lebih mendalam
tentang pekerjaan. Romantic Relationship at Work (hubungan asmara di tempat
kerja): Hubungan asmara di tempat kerja, beberapa perusahaan melarangnya
karena dianggap dapat mengganggu produktivitas, sementara yang lain mungkin
mentoleransi. Dengan demikian relasi interpersonal dengan tipe Workplace

88
Relationships tidak relevan atau tidak sesuai dengan topik dan variabel penelitian
yang merupakan siswa sekolah yang belum bekerja, penelitian ini memiliki fokus
yang sangat spesifik pada relasi interpersonal siswa tunarungu di sekolah. Dengan
kata lain penelitian ini fokus pada tipe-tipe yang lebih relevan sesuai dengan
kerangka dan batasan yang telah ditentukan, sehingga relasi interpersonal di
lingkungan kerja dianggap di luar cakupan penelitian.

5.2.5 Online-Only Relationships


Online-Only Relationships merujuk pada jenis hubungan yang sepenuhnya
terjalin melalui dunia online, terutama melalui media sosial dan platform internet
lainnya. Dalam hubungan ini individu terlibat dalam interaksi, pertemanan , atau
komunikasi dengan orang lain melalui teks, pesan, atau media digital tanpa perlu
berinteraksi langsung di dunia nyata. Jenis hubungan yang dibangun melalui
media sosial ini marak di kalangan siswa tunarungu artinya siswa tunarungu lebih
aktif dalam membangun dan menjalin hubungan online dari hubungan di dunia
nyata. Ini menggambarkan bahwa informan tunarungu lebih menghabiskan waktu
mereka untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain melalui platform
internet daripada secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Ada implikasi
bahwa informan tunarungu menghadapi keterbatasan dalam berinteraksi di dunia
nyata yang termasuk kesulitan dalam komunikasi lisan. Karena itu, informan
tunarungu mencari hubungan dan interaksi melalui media online yang dapat
menjadi lebih mudah di akses dan lebih cocok untuk mereka. informan tunarungu
merasa nyaman dengan dunia online, di mana mereka dapat berkomunikasi
menggunakan teks.
Pemanfaatan internet dalam mengembangkan relasi interpersonal juga
dilakukan oleh informan tunarungu. Keunggulan yang ditawarkan oleh internet
dengan memfasilitasi penggunanya untuk dapat berkomunikasi tanpa batas
digunakan baik oleh informan tunarungu, bahkan pada hasil penelitian yang mana
orang tua salah satu informan tunarungu tidak dapat menggunakan bahasa isyarat,
maka tidak jarang mereka berkomunikasi menggunakan aplikasi WhatsApp walau
sedang berada di rumah. Selanjutnya penggunaan internet ini juga dimanfaatkan

89
informan tunarungu untuk membangun relasi mereka dengan teman komunitas
penyandang tuli dari seluruh Indonesia.
Dari hasil penelitian dapat dilihat terdapat hambatan yang ditemui ketika
menggunakan media online dalam berinteraksi dengan informan tunarungu.
Hambatan tersebut adalah perbedaan pemahaman literasi seperti kemampuan
untuk merangkai kata dengan benar dan mengorganisasi kata-kata dengan tepat.
Diketahui bahwa informan tunarungu memiliki keterbatasan dalam kemampuan
berbahasa. Mereka kurang cakap dalam menyusun kalimat dan sering kali salah
menempatkan kata-kata dalam kalimat. Hal ini menjadi penghambat dalam
komunikasi online, terutama jika pesan yang informan sampaikan tidak mudah
dimengerti atau struktur tidak jelas. Perlu lebih berhati-hati dalam membaca pesan
dari informan tunarungu dan bertanya untuk mengklarifikasi memastikan
pemahaman yang tepat. Meskipun terdapat perbedaan literasi, penting untuk
menciptakan lingkungan komunikasi yang inklusif dan mendukung bagi informan
tunarungu. Kesadaran akan keterbatasan literasi informan tunarungu penting
untuk menciptakan lingkungan tersebut dan sebagai individu yang memiliki
kemampuan pemahaman literasi harus bersedia untuk beradaptasi.
Penelitian ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2015)
yang berjudul “Pemanfaatan Media Internet Oleh Penyandang Tunarungu Studi
Kasus Komunitas GERKATIN di Kota Surabaya”. Dalam penelitian tersebut
dijelaskan pemanfaatan internet oleh penyandang tunarungu merupakan sebuah
kepentingan yang sangat dibutuhkan dalam membantu aktivitas maupun
pemenuhan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan smartphone
membuat tunarungu memiliki akses internet tanpa batas yang memungkinkan
mereka mengakses berbagai informasi dan layanan online secara online. Akses
internet juga memberikan kemudahan bagi penyandang tunarungu dalam
menjalani kehidupan sehari-hari, dan memampukan mereka untuk berpartisipasi
dalam berbagai aspek kehidupan dengan lebih efektif.
Dilihat dari hasil penelitian media sosial yang informan miliki adalah
Facebook, Instagram, dan WhatsApp, dan aplikasi WhatsApp merupakan media
sosial yang paling sering digunakan kemudian Instagram dan yang paling jarang

90
digunakan adalah aplikasi Facebook. Dari hasil unggahan di media sosial
diketahui bahwa informan tunarungu memiliki teman dari berbagai daerah dari
seluruh indonesia, tidak hanya itu mayoritas penyandang tunarungu menggunakan
internet sebagai media publikasi informasi, mereka akan mengunggah kegiatan-
kegiatan mereka biasanya disertai dengan caption tentang apa yang mereka
rasakan. Dari hasil penelitian juga dapat diindikasikan bahwa jejaring sosial
adalah media komunikasi yang diminati dan banyak digunakan oleh penyandang
tunarungu.

Tabel 8. Ringkasan Hasil Penelitian Relasi Interpersonal Siswa Tunarungu

No Tipe Relasi Hasil Penelitian


Interpersonal
1. Friendship relationships Relasi interpersonal dengan tipe friendship
relationships berjalan baik dengan sesama
tunarungu namun tidak berjalan baik dengan
siswa umum atau dengan teman sebaya di
lingkungan tempat tinggal, ada aspek yang
menyebabkan hal tersebut, yaitu; aspek
kesamaan karakteristik, rendahnya harga diri,
dan juga isolasi sosial.
2. Family relationships Family relationship yang terjalin antara
tunarungu dengan keluarga berjalan dengan
baik, namun karena beberapa faktor siswa
tunarungu lebih dekat dengan ibu dibanding
ayah, meski demikian relasi interpersonal
tunarungu dengan ayah dan saudaranya juga
terjalin dengan baik, yang dilihat dari rasa
saling menyayangi dan saling menghargai
dalam keluarga.
3. Love relationships Relasi interpersonal dengan tipe Love
relationships paling jarang ditemui, bahkan

91
dari hasil penelitian tidak ditemukan adanya
hubungan spesial tunarungu dengan orang lain
yang bukan keluarga.
4. Workplace relationships Dari hasil penelitian yang diketahui bahwa
relasi interpersonal dengan tipe Workplace
Relationships tidak relevan dengan topik dan
variabel penelitian.
6. Online-Only Online-Only relationships atau relasi yang
relationships dibangun melalui media sosial adalah tipe
relasi yang sering digunakan oleh informan
tunarungu. Hal ini dikarenakan dengan media
sosial informan tunarungu mampu
berkomunikasi dengan siapapun bahkan
mereka yang tidak bisa menggunakan bahasa
isyarat.

92
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Dalam menjalani kehidupan sehari hari seseorang harus mampu
membangun relasi interpersonal dengan orang lain, tidak terkecuali penyandang
tunarungu. Relasi interpersonal itu sendiri dapat didefinisikan sebagai serangkaian
interaksi antara dua individu yang saling kenal satu sama lain dan saling
bergantung, hubungan ini dapat terbangun apabila orang yang terlibat didalamnya
menunjukkan rasa empati dan sikap saling menerima dan memahami satu sama
lain. Sebagai seorang siswa, tunarungu harus mampu melakukan relasi dengan
teman, guru, orangtua, juga lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. Pada
penelitian ini ada 5 tipe relasi interpersonal siswa tunarungu yang menjadi fokus
penelitian yang mana ke-5 tipe relasi tersebut memiliki tingkat keluasan dan
kedalaman yang berbeda.
Dari penelitian yang telah dilakukan siswa tunarungu memiliki
kemampuan yang baik untuk membangun relasi dengan sesama penyandang
tunarungu, namun berbeda dengan orang lain yang bukan penyandang tunarungu.
Salah satu hal yang paling penting dalam berkomunikasi dengan siswa tunarungu
adalah bahasa isyarat, namun kebanyakan orang bahkan siswa penyandang
disabilitas lain, kurang mampu bahkan tidak tahu sama sekali dengan bahasa
isyarat, sementara dalam membangun relasi komunikasi itu sangat penting jadi
sangat wajar jika siswa tunarungu hanya mampu membangun relasi dengan
sesama tunarungu juga. Keterampilan sosial tunarungu tidak buruk, jika untuk
sekedar menyapa, tersenyum dengan orang lain tunarungu pun masih paham
mampu melakukan hal tersebut. Namun jika untuk berinteraksi lebih lanjut
memang cenderung kesulitan baik dari tunarungunya sendiri maupun orang lain
yang tidak paham menggunakan bahasa isyarat.
Pada penelitian ini ada 5 tipe relasi interpersonal tunarungu yang menjadi
fokus penelitian. Tipe pertama yaitu friendship relationships, dari hasil penelitian
dapat disimpulkan relasi interpersonal dengan tipe friendship relationships
digambarkan dengan hubungan siswa tunarungu rata rata hanya dengan sesama

93
penyandang tunarungu. Ada 3 aspek yang mempengaruhi hal tersebut yaitu aspek
kesamaan karakteristik, rendahnya harga diri, juga isolasi sosial. Tipe kedua yaitu
family relationships berdasarkan hasil penelitian, relasi interpersonal siswa
tunarungu dengan tipe family relationships didominasi kedekatan informan
dengan ibu. 5 informan tunarungu mengatakan dekat dengan ibu, 1 informan
mengatakan lebih dekat dengan ayah dan adik laki-lakinya.
Tipe ketiga yaitu love relationships, relasi interpersonal dengan tipe ini
paling jarang ditemui, bahkan dari hasil penelitian tidak ditemukan adanya
hubungan spesial tunarungu dengan orang lain yang bukan keluarga. Tipe
keempat yaitu workplace relationships, dari hasil penelitian yang diketahui bahwa
relasi interpersonal dengan tipe Workplace Relationships tidak relevan dengan
topik dan variabel penelitian. Tipe kelima yaitu online-only relationships atau
relasi yang dibangun melalui media sosial adalah tipe relasi yang sering
digunakan oleh informan tunarungu. Hal ini dikarenakan dengan media sosial
informan tunarungu mampu berkomunikasi dengan siapapun bahkan mereka yang
tidak bisa menggunakan bahasa isyarat.
Dengan demikian maka penelitian ini dapat disimpulkan bahwa 4 dari 5
tipe-tipe relasi interpersonal menurut Joseph DeVito relevan dengan hasil
penelitian dan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa siswa tunarungu di
SMALB 1 Kota Bengkulu mampu menjalankan relasi interpersonal dengan baik
namun belum optimal dikarenakan beberapa faktor yaitu faktor keterbatasan
bahasa dalam berkomunikasi, kurangnya percaya diri, dan lingkungan sosial yang
kurang memahami situasi penyandang tunarungu.

6.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang berjudul “Relasi Interpersonal Siswa Tunarungu
di SMALB 1 Kota Bengkulu” peneliti memberikan saran dan rekomendasi pada:

1. Siswa Tunarungu
Peneliti berharap siswa tunarungu dapat meningkatkan percaya diri untuk
bersosialisasi dengan semua kalangan masyarakat khususnya masyarakat
lingkungan tempat tinggal siswa tunarungu tersebut.

94
2. Orangtua
Peran keluarga terutama ayah perlu diperhatikan dalam hubungan relasi
interpersonal dengan anak, karena anak tidak hanya butuh sosok ibu namun juga
peran ayah sangat penting dalam meningkatkan percaya diri anak dalam
bersosialisasi dengan lingkungan. Selanjutnya peneliti berharap orang tua lebih
memperhatikan penggunaan internet pada siswa tunarungu agar tidak
disalahgunakan.
3. Guru
Guru dan pihak staff lainnya tetap menjaga hubungan yang baik dengan
siswa tunarungu, peneliti mengapresiasi guru walau bukan lulusan PLB namun
guru beradaptasi dengan kondisi tunarungu dan mampu menggunakan bahasa
isyarat, juga peneliti berharap guru tetap semangat dalam membimbing siswa
tunarungu agar dapat meningkatkan percaya diri dan kemandirian siswa tersebut.
4. Masyarakat dan Pemerintah
Pemerintah daerah dan pihak sekolah mengadakan pelatihan bahasa isyarat
kepada lingkungan terdekat tunarungu. Dan peneliti berharap masyarakat lebih
terbuka dan peduli dengan isu-isu penyandang disabilitas.

95
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S., Santoso, T. and Zakariya (2019) ‘Pelaksanaan Pelayanan dan
Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas Dalam Bidang Pendidikan
Pada Sekolah Luar Biasa (SLB) di Kota Surabaya’.

Anggita, K., Soraida, S. and Yunudyawati (2019) ‘Relasi Sosial Pekerja


Perempuan di Pabrik Kecap Teratai Kota Palembang’, 22 edisi 1, pp. 53–
66.
Budyatna, Muhammad dan Ganiem, Leila Mona. 2011. Teori Komunikasi
Antarpribadi. Jakarta. Kencana.
DeVito, Joseph A. 2014.Interpersonal Message.Edinburgh Gate.Pearson
Education Limeted.

Dewi, Zulfa Kurnia. 2015. Pemanfaatan Media Internet Oleh Penyandang


Tunarungu.
Fatimah, Siti dan Hidayati, Diajeng Laily. 2020. Hubungan Interpersonal Orang
Tua dengan Anak Tuli.TAUHIJAT: Jurnal Bimbingan Konseling Islam.
Harapan, Edi dan Ahmad, Syarwani. 2014. Komunikasi Antarpribadi. Jakarta. PT
RajaGrafindo Persada.

Hasmira (2016) ‘Universitas Negeri Makassar Analisis Kesulitan Belajar


Matematika Pada Peserta Didik Tunarungu’, pp. 1–13.
Inah, E. N. and Trihapsari, M. (2016) ‘Pola Komunikasi Interpersonal Kepala
Madrasah Tsanawiyah Tridana Mulya Kecewa Landono Kabupaten
Konawe Selatan’, Nucl. Phys., 13(1), pp. 104–116.

Hidayah, Perintis Nurul. (2021) 'Keterbukaan Penyandang Tuli Kepada


Orangtuanya Mengenai Hubungan Asmara'. Surakarta
Kurniawati, U. M. and Maemonah, M. (2021) ‘Analisis Hierarki Kebutuhan
Maslow Dalam Pembelajaran Daring Anak Usia Dasar: Analisis Jurnal
Sinta 2 Sampai 6’, AULADUNA: Jurnal Pendidikan Dasar Islam, 8(1), p.
51. doi: 10.24252/auladuna.v8i1a5.2021.
Larasati, K. and Marheni, A. (2019) ‘Hubungan antara komunikasi interpersonal
orangtua-remaja dengan keterampilan sosial remaja’, Jurnal Psikologi
Udayana, 6(01), p. 88. doi: 10.24843/jpu.2019.v06.i01.p09.
Liliweri, Alo.2015. Komunikasi Antarpersonal. Jakarta. Kencana

Naufal, M. F. and Husnita, H. (2022) ‘Pola Komunikasi Interpersonal Penyandang


Disabilitas Ganda’, Borobudur Communication Review, 2(2), pp. 67–73.
doi: 10.31603/bcrev.5656.

96
Nisa, L. S. (2019) ‘Pemenuhan Kebutuhan Pendidikan bagi Penyandang
Disabilitas di Kalimantan Selatan’, Jurnal Kebijakan Pembangunan,
14(1), pp. 47–55.
Octaviani, Y. and Yuningsih, Y. (2020) ‘Kemampuan Interaksi Sosial Tunarungu
Di Kelurahan Batununggal Kota Bandung’, Jurnal Ilmu Kesejahteraan
Sosial, 1(2), pp. 115–134. Available at:
http://www.journal.unpas.ac.id/index.php/humanitas/article/view/1919.
Rahmah, F. N. (2018) ‘Problematika Anak Tunarungu Dan Cara Mengatasinya’,
Quality, 6(1), p. 1. doi: 10.21043/quality.v6i1.5744.
Saleh, G. (2018) ‘Pengaruh Komunikasi Interpersonal Guru Dalam Meningkatkan
Rasa Percaya Diri Anak Usia Dini’, Medium, 6(2), pp. 51–61. doi:
10.25299/medium.2018.vol6(2).2411.

Santoso, M. B. (2017) ‘Mengurai Konsep Dasar Manusia Sebagai Individu


Melalui Relasi Sosial Yang Dibangunnya’, Prosiding Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat, 4(1), p. 104. doi:
10.24198/jppm.v4i1.14217.
Seokanto, Soerjono.2011. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta. PT
RajaGrafindo Persada.

Sugiyono.2020. Metode penelitian kualitatif. Bandung. Penerbit Alfabeta.


UU RI Nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang Disabilitas.
Wasito, D. R., Sarwindah, D. and Sulistiani, W. (2010) ‘Penyesuaian Sosial Tuna
Rungu yang Bersekolah di Sekolah Umum’, Insan, 12(03), pp. 138–152.
Available at: http://journal.unair.ac.id/filerPDF/2-12_3.pdf.
Widiana, I. W., Nurjana, I. G. and Vidiawati, N. K. R. (2019) ‘Analisis Interaksi
Sosial Siswa Kolok (Tunarungu) Di Sekolah Inklusif’, Journal for Lesson
and Learning Studies, 2(3), pp. 455–464.

Wulandari, R. and Rahma, A. (2018) ‘Relasi Interpersonal dalam Psikologi


Komunikasi’, Photosynthetica, 3(1), pp. 1–13.

97
L
A
M
P
I
R
A
N

98
PEDOMAN WAWANCARA
RELASI INTERPERSONAL SISWA TUNARUNGU
DI SMALB 1 BENGKULU

PEDOMAN WAWANCARA
GURU YANG MENGAJAR TUNARUNGU DI SMALB NEGERI 1 KOTA
BENGKULU

A. Identitas
1. Nama :
2. Umur :
3. Jenis kelamin :
4. Agama :
5. Pendidikan :
6. Alamat rumah :
7. Pekerjaan :
B. Riwayat guru
1. Berapa tahun mengajar di SLB N 1 kota Bengku :
2. Pengalaman bekerja :
3. Bidang studi pelajar :
C. Daftar pertanyaan
1. Bagaimana relasi interpersonal anda dengan orang tua tunarungu?
2. Bagaimana cara anda berkomunkasi dengan oang tua tunarungu?
3. Bagaimana orang tua tunarungu saat proses interaksi dengan anda?
4. Apakah anda mengalami kesulitan membangun relasi interpersonal
dengan orang tua tunarungu?
5. Bagaimana bentuk kesulitan yang anda rasakan saat membangun
relasi interpersonal dengan orang tua tunarungu?
6. Jika mengalami kesulitan, bagaimana anda mengatasi hal tersebut?
7. Apakah relasi interpersonal yang anda bangun dengan orang tua
berpengaruh terhadap ABK tunarungu?

99
8. Bagaimana relasi interpersonal anda dengan ABK tunarungu?
9. Apakah anda menguasai bahasa isyarat (SIBI atau BISINDO)?
10. Apakah anda mengalami kesulitan membangun relasi interpersonal
dengan ABK tunarungu?
11. Bagaimana bentuk kesulitan yang anda rasakan saat membangun
relasi interpersonal dengan ABK tunarungu?
12. Jika mengalami kesulitan, bagaimana anda mengatasi hal tersebut?
13. Apakah di sekolah ABK tunarungu punya kelompok pertemanan?
14. Dengan siapa saja ABK tunarungu melakukan interaksi atau relasi?
15. Menurut anda apakah kelompok pertemanan ABK berpengaruah
pada ABK itu sendiri?

100
PEDOMAN WAWANCARA
ORANG TUA ABK TUNARUNGU YANG BERSEKOLAH DI SMALB
NEGERI 1 KOTA BENGKULU

A. Identitas
1. Nama :
2. Umur :
3. Jenis kelamin :
4. Agama :
5. Pendidikan :
6. Alamat rumah :
7. Pekerjaan :
B. Daftar pertanyaan
1. Dalam keluarga anda ada berapa anggota keluarga?
2. Bagaimana hubungan antara anggota keluarga anda terhadap ABK
tunarungu?
3. Bagaimana anda berinteraksi dengan anak (ABK tunarungu) anda?
4. Bagaimana hubungan interpersonal anda dengan anak (ABK
tunarungu)?
5. Bagaimana anda membangun hubungan interpersonal anda dengan
anak (ABK tunarungu)?
6. Apakah anda memotivasi atau mengizinkan anak (ABK tunarungu)
anda membangun relasi interpersonal dengan orang lain?
7. Apakah anda mengantar anak (ABK tunarungu) ke sekolah setiap
hari?
8. Apakah anda turut serta dalam aktivitas anak (ABK tunarungu)?
9. Apa saja yang dilakukan anak (ABK tunarungu) selama di luar
sekolah?
10. Apakah anda membantu melatih anak (ABK tunarungu) berbahasa
dan berinteraksi di rumah?

101
11. Selain anda, adakah anggota keluarga yang selalu menemani atau
bermain dengan anak (ABK tunarungu)?
12. Di lingkungan rumah anda apakah anak (ABK tunarungu)
memiliki kelompok bermain/pertemanan?
13. Menurut anda, apakah ada pengaruh relasi interpersonal terhadap
anak (ABK tunarungu)?
14. Bagaimana relasi interpersonal anda dengan guru di sekolah
tunarungu?
15. Bagaimana cara anda berkomunkasi dengan guru?
16. Bagaimana guru tunarungu saat proses interaksi dengan anda?
17. Apakah anda mengalami kesulitan membangun relasi interpersonal
dengan guru?
18. Bagaimana bentuk kesulitan yang anda rasakan saat membangun
relasi interpersonal dengan guru?
19. Jika mengalami kesulitan, bagaimana anda mengatasi hal tersebut?
20. Apakah relasi interpersonal yang anda bangun dengan guru
berpengaruh terhadap ABK tunarungu?

102
PEDOMAN WAWANCARA
SISWA TUNARUNGU DI SMALB NEGERI 1 KOTA BENGKULU
Pedoman wawancara untuk siswa tunarungu di SMALB NEGERI 1 Kota
Bengkulu.

A. Identitas
1. Nama :
2. Jenis Kelamin :
3. Umur :
4. Agama :
5. Pendidikan :
6. Alamat :
B. Daftar pertanyaan untuk informan
1. Siapa saja teman bermain kamu di sekolah?
2. Bagaimana komunikasi kamu dengan teman-teman di sekolah?
3. Kamu punya teman dekat tidak di sekolah?
4. Bagaimana cara kamu membangun hubungan teman teman kamu?
5. Kalau guru, Siapa guru yang paling deket sama kamu?
6. Bagaimana cara kamu membangun hubungan dengan guru
tersebut?
7. Ke sekolah biasanya berangkat sendiri apa diantar orangtua?
8. Kalau di rumah, kamu lebih dekat dengan siapa, ayah, ibu, kaka,
atau adik?
9. Apakah kamu mempunyai media sosial?
10. Media sosial apa saja yang kamu punya?

103
PEDOMAN OBSERVASI
RELASI INTERPERSONAL SISWA TUNARUNGU
DI SMALB 1 BENGKULU
Hari/tanggal :

Waktu :

Tempat :

Tujuan observasi untuk memperoleh informasi dan data tentang relasi


interpersonal tunarungu dengan cara mengamati secara langsung situasi di
lapangan di SMALB Negeri 1 Kota Bengkulu. Aspek yang diobservasi berkaitan
dengan:

1. Mengamati hubungan atau kedekatan ABK tunarungu dengan teman dan


guru di sekolah
2. Mengamati cara ABK tunarungu berinteraksi dengan teman dan guru di
sekolah.
3. Mengamati sosial media ABK tunarungu dengan cara terhubung dengan
sosial media yang dimiliki ABK tunarungu.
4. Mengamati hubungan ABK tunarungu dengan orangtua
5. Mengamati proses belajar mengajar ABK tunarungu.

104
PEDOMAN DOKUMENTASI
RELASI INTERPERSONAL SISWA TUNARUNGU
DI SMALB 1 BENGKULU
1. Berupa Catatan Tertulis
a. Laporan hasil observasi
b. Laporan hasil wawancara
c. Data sistem sumber
2. Berupa Foto
a. Proses wawancara dengan sumber.
b. Proses interaksi ABK tunarungu
3. Berupa Rekaman Suara
Proses wawancara yang dilakukan oleh peneliti bersama sumber.

105
Foto Dokumentasi

1. Foto dokumentasi dengan guru

106
2. Foto dokumentasi dengan orangtua

107

Anda mungkin juga menyukai