Anda di halaman 1dari 115

PROGRAM TERAPI MENTAL SPIRITUAL DALAM

REHABILITASI SOSIAL PENYANDANG


DISABILITAS MENTAL
(Studi Kasus di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas
Mental “Dharma Guna” Bengkulu)

SKRIPSI

Oleh:
DWI APTEZI
D1A017003

JURUSAN KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
iv
v
vi
RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Diri
Nama : Dwi Aptezi
Tempat/Tanggal Lahir : Tanjung Tebat, 23 April 1999
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Anak ke : 1 (satu) dari 2 (dua) bersaudara
Orang Tua : Yitman Harnadi dan Iniarti
Alamat : Desa Tanjung Tebat, Kecamatan Bunga Mas,
Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu.
II. Riwayat Pendidikan
1) SD Negeri 38 Bengkulu Selatan Tahun 2005-2011
2) SMP Negeri 10 Bengkulu Selatan Tahun 2011-2014
3) SMA Negeri 1 Bengkulu Selatan Tahun 2014-2017
4) Diterima di Universitas Bengkulu Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Tahun 2017
III. Riwayat Organisasi
1) Bendahara Bidang Kesejahteraan Mahasiswa (Kesmawa) HIMA-KS
Tahun 2018
2) Anggota Bidang Kestari Intellectual Moeslem Community (IMC) Tahun
2018-2019
3) Staff Bidang Kerja Sama Organisasi (BKO) HIMA-KS Tahun 2019
4) Anggota Bidang Studi Qur‟an Terpadu (SQT) Intellectual Moslem
Community (IMC) 2019-2020
5) Sekretaris Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FISIP KBM
UNIB 2019-2020
6) Pengurus LKSA Rumah Singgah Al-Ma‟un Tahun 2020-sekarang
IV. Pengalaman Praktik Lapangan
1) Praktikum dan Supervisi 1 dengan setting praktik “Pemberian Motivasi
Dalam Upaya Meningkatkan Kepercayaan Diri Klien (K) Melalui Teknik

vii
Support” di Yayasan Peduli Sosial Nasional (PESONA) Bengkulu Tahun
2020
2) Kuliah Kerja Nyata (KKN) Mandiri Periode 91 Universitas Bengkulu di
Kota Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu Tahun
2020
V. Kepanitiaan dan Kegiatan Kemahasiswaan yang Pernah Diikuti
1) Peserta PKK (Pengenalan Kehidupan Kampus) Mahasiswa Baru
Universitas Bengkulu Tahun 2017
2) Peserta PKK (Pengenalan Kehidupan Kampus) Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Tahun 2017
3) Peserta SWORT (Social Worker Training) Jurusan Kesejahteraan Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu Tahun 2017
4) Peserta PMO (Pelatihan Manajemen Organisasi) Jurusan Kesejahteraan
Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu Tahun
2017
5) Peserta Oriaba (Oriaentasi Anggota Baru) IMC (Intellectual Moslem
Community) Tahun 2017
6) Panitia Gema IMC (Intellectual Moslem Community) Tahun 2017
7) Peserta Sekolah Legislatif FISIP (SELFI) Tahun 2017
8) Peserta Pelatihan Manajemen Organisasi (PMO) Dewan Perwakilan
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu
Tahun 2017
9) Panitia musyawarah besar HIMA-KS tahun 2017
10) Anggota Laskar Fatmawati Jilid 3 Tahun 2017-2018
11) Panitia musyawarah kerja IMC (Intellectual Moslem Community) Tahun
2017
12) Panitia SWORT (Social Worker Training) Jurusan Kesejahteraan Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu Tahun 2018
13) Panitia PMO (Pelatihan Manajemen Organisasi) Jurusan Kesejahteraan
Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu Tahun
2018

viii
14) Panitia Kunjungan Panti (Kunti) HIMA-KS Tahun 2018
15) Panitia Oriaba (Oriaentasi Anggota Baru) IMC (Intellectual Moslem
Community) Tahun 2018
16) Panitia Gema IMC (Intellectual Moslem Community) Tahun 2018
17) Panitia Oriaba (Orientasi Anggota Baru) IMC (Intellectual Moslem
Community) Tahun 2019
18) Panitia Kunjungan Panti (Kunti) HIMA-KS Tahun 2019
19) Panitia Social Welfare Competition (SWC) HIMA-KS Tahun 2019
20) Peserta Seminar Internasional Kesejahteraan Sosial FISIP UNIB Tahun
2017
21) Panitia Seminar Nasional HIMA-KS Tahun 2018
22) Panitia Dialog Publik HIMA-KS Tahun 2019
23) Panitia Pelaksana KS Cup 2019

ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robbil‟aalamiin Puji dan syukur kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Program Terapi Mental Spiritual
dalam Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental (Studi Kasus di
Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma Guna”
Bengkulu)” ini dengan baik. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi syarat
mendapatkan gelar sarjana pada Jurusan Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Bengkulu.
Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari bantuan
beberapa pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada
kesempatan ini, dengan penuh kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Dr. Retno Agustina Ekaputri, S.E., M.Sc selaku Rektor Universitas
Bengkulu.
2. Ibu Dr. Yunilisiah, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Bengkulu.
3. Ibu Desy Afrita, AKS.MP selaku Ketua Jurusan Kesejahteraan Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu.
4. Bapak Dr. Suparman, M.Si selaku pembimbing utama dan Bapak Drs.
Cucu Syamsudim, MPSSp selaku pembimbing pendamping, atas
kesediaan dan keikhlasannya, meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran
kepada penulis, yang telah membimbing, memberikan saran, ide-ide,
arahan dan motivasi kepada penulis selama penyusunan skripsi ini,
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
5. Ibu Dr. Nurhayati Darubekti, MS dan Ibu Yessilia Osira, S.Sos.MP selaku
dosen penguji atau pembahas skripsi penulis yang telah mengoreksi dan
memberikan banyak masukan, kritik dan saran yang membangun dalam
penyelesaian skripsi ini.

x
6. Seluruh dosen dan staff administrasi Jurusan Kesejahteraan Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu yang telah
memberikan pelayanan terbaik.
7. Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma Guna”
Bengkulu yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis
untuk melakukan penelitian.
8. Seluruh informan penelitian yang sudah bersedia memberikan informasi
yang dibutuhkan oleh penulis pada saat penelitian.
9. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, hingga skripsi ini bisa
terselesaikan. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan pihak-pihak yang
telah membantu penulis. Penulis penyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini
masih jauh dari kata sempurna, masih banyak sekali kekurangan dalam
penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan berbagai
masukan, kritik dan saran yang diberikan oleh pembaca yang bersifat membangun
untuk memperbaiki kekurangan yang ada pada skripsi ini. Penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca.

Bengkulu, 25 November 2021


Penulis

Dwi Aptezi

D1A017003

xi
ABSTRACT

SPIRITUAL MENTAL THERAPY PROGRAM IN SOCIAL


REHABILITATION OF PEOPLE WITH MENTAL DISABILITIES
(Case Study: at the Social Rehabilitation Center for People with Mental
Disabilities “Dharma Guna” Bengkulu)
DWI APTEZI
DIA017003

People with mental disabilities are people with social welfare problems who
are people with mental disorders who experience disturbances in thoughts,
behavior, and feelings that are manifested in the form of a set of symptoms and/or
significant behavioral changes, and can cause suffering and obstacles in carrying
out their social functions. Efforts to restore the social functioning of people with
disabilities mental are through social rehabilitation in the form of therapeutic
services, one of which is a spiritual mental therapy program. This study aims to
determine how the spiritual mental therapy program in social rehabilitation of
people with mental disabilities. This study uses a qualitative research method with
a descriptive approach. The informants in this study consisted of 11 people who
were selected using a purposive sampling technique , namely, 1 head of social
rehabilitation, 1 companion for the mental spiritual therapy program, 2 instructors
for the mental spiritual therapy program, 2 social workers and 5 people with
mental disabilities. Data collection through observation, interviews and
documentation studies. The results of this study indicate that spiritual mental
therapy in social rehabilitation of people with mental disabilities at BRSPDM
"Dharma Guna" Bengkulu is an Islamic-based spiritual mental therapy, which is
based on the concept of purification of the soul which consists of 1). Self-
purification, which is to purify people with mental disabilities from mental
disorders experienced, is carried out in the form of ruqyah, 2). Self-development,
namely to develop oneself and the positive potential of persons with mental
disabilities, is carried out in the form of reciting activities and memorizing short
letters, 3). Self-discovery, namely the effort that persons with mental disabilities
to recognize him and his God, carried out through public lectures or religious
guidance. There are several obstacles in the implementation of spiritual mental
therapy programs, including the lack of initiative and motivation of people with
mental disabilities and lack of time in carrying out activities. The results of the
development of people with mental disabilities after participating in spiritual
mental therapy are quite good.

Keywords: spiritual mental therapy, social rehabilitation, people with mental


disabilities.

xii
ABSTRAK
PROGRAM TERAPI MENTAL SPIRITUAL DALAM REHABILITASI
SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS MENTAL (Studi Kasus Di Balai
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma Guna”
Bengkulu)
DWI APTEZI
DIA017003

Penyandang disabilitas mental merupakan salah satu penyandang masalah


kesejahteraan sosial yang merupakan orang dengan gangguan jiwa yang
mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi
dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna,
serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi
sosialnya. Upaya untuk mengembalikan keberfungsian sosial penyandang
disabilitas mental yaitu melalui rehabilitasi sosial dalam bentuk layanan terapi
salah satunya yaitu program terapi mental spiritual. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana program terapi mental spiritual dalam rehabilitasi sosial
penyandang disabilitas mental. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Informan pada penelitian ini terdiri dari
11 orang yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling yaitu, 1 orang
kepala bidang rehabilitasi sosial, 1 orang pendamping program terapi mental
spiritual, 2 orang instruktur program terapi mental spiritual, 2 orang pekerja sosial
dan 5 orang penyandang disabilitas mental. Pengumpulan data melalui observasi,
wawancara dan studi dokumentasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
terapi mental spiritual dalam rehabilitasi sosial penyandang disabilitas mental di
BRSPDM “Dharma Guna” Bengkulu adalah terapi mental spiritual berbasis
Islami, yaitu berdasarkan konsep pensucian jiwa yang terdiri dari 1). Pensucian
diri, yaitu untuk mensucikan diri penyandang disabilitas mental dari gangguan
mental yang dialami, dilakukan dalam bentuk ruqyah, 2). Pengembangan diri,
yaitu untuk mengembangkan diri dan potensi positif penyandang disabilitas
mental, dilakukan dalam bentuk kegiatan mengaji dan hafalan surat pendek, 3).
Penemuan diri, yaitu upaya agar penyandang disabilitas mental mengenali dirinya
dan Tuhannya, dilakukan melalui kegiatan ceramah umum atau bimbingan agama.
Adapun beberapa hambatan dalam pelaksanaan program terapi mental spiritual,
diantaranya yaitu kurangnya inisiatif dan motivasi penyandang disabilitas mental
serta kurangnya waktu dalam pelaksanaan kegiatan. Hasil perkembangan
penyandang disabilitas mental setelah mengikuti terapi mental spiritual cukup
baik.

Kata kunci: terapi mental spiritual, rehabilitasi sosial, penyandang disabilitas


mental.

xiii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
HALAMAN BERITA ACARA UJIAN .............................................................. iii
HALAMAN ORISINALITAS ............................................................................ iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................ v
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... x
ABSTRACT ........................................................................................................ xii
ABSTRAK ......................................................................................................... xiii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian .................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 8
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 9
1.4 Kegunaan Penelitian .......................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Program ............................................................................................ 10
2.1.1 Konsep Program .............................................................................. 10

2.1.2 Perencanaan Program ...................................................................... 10

2.1.3 Pelaksanaan Program ....................................................................... 11

2.1.4 Evaluasi Program ............................................................................. 13

2.2 Terapi Mental Spiritual .................................................................... 14


2.2.1 Konsep Terapi .................................................................................. 14

2.2.2 Mental Spiritual ............................................................................... 15

2.2.3 Terapi Mental spiritual..................................................................... 17

xiv
2.3 Rehabilitasi Sosial............................................................................ 19
2.3.1 Konsep Rehabilitasi Sosial .............................................................. 19

2.3.2 Tujuan Rehabilitasi Sosial ............................................................... 20

2.3.3 Bentuk-bentuk Rehabilitasi Sosial ................................................... 20

2.4 Penyandang Disabilitas Mental ....................................................... 22


2.4.1 Konsep Penyandang Disabilitas....................................................... 22

2.4.2 Jenis-Jenis Penyandang Disabilitas ................................................. 23

2.4.3 Penyandang Disabilitas Mental ....................................................... 24

2.4.4 Faktor- Penyebab Penyandang Disabilitas Mental .......................... 26

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Jenis Penelitian ................................................................................ 28
3.2 Batasan/Ruang Lingkup Penelitian .................................................. 28
3.3 Teknik Penentuan Informan............................................................. 30
3.4 Teknik Pengumpulan Data............................................................... 30
3.5 Teknik Analisis Data ....................................................................... 32
BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
4. 1 Profil Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental
“Dharma Guna” Bengkulu ............................................................... 34
4.1.1 Lokasi dan Jangkauan Pelayanan .................................................... 34

4.1.2 Sejarah Singkat Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas


Mental “Dharma Guna” Bengkulu .................................................. 34

4.2 Kedudukan, Tugas dan Fungsi Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang


Disabilitas Mental “Dharma Guna” Bengkulu ................................ 35
4.2.1 Kedudukan ....................................................................................... 35

4.2.2 Tugas ................................................................................................ 35

4.2.3 Fungsi............................................................................................... 35

4.3 Struktur dan Tata Kerja Lembaga .................................................... 36

xv
4.4 Visi, Misi, Motto Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas
Mental “Dharma Guna” Bengkulu .................................................. 37
4.4.1 Visi ................................................................................................... 37

4.4.2 Misi .................................................................................................. 38

4.4.3 Motto ................................................................................................ 38

4.5 Fasilitas dan Prasarana ..................................................................... 38


4.6 Prosedur Pelayanan .......................................................................... 39
4.6.1 Syarat-Syarat Penerimaan ................................................................ 39
4.6.2 Lama Pelayanan ............................................................................... 40
4.6.3 Sasaran Pelayanan............................................................................ 40
4.7 Model Intervensi .............................................................................. 40

4.7.1 Jenis Kegiatan .................................................................................. 40

4.7.2 Tahapan Kegiatan ............................................................................ 41

4.8 Sumber Pendukung Pelayanan ......................................................... 42

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


5.1 Hasil Penelitian ................................................................................ 43
5.1.1 Karakteristik Informan ..................................................................... 43

5.1.2 Program Terapi Mental Spiritual dalam Rehabilitasi Sosial


Penyandang Disabilitas Mental ....................................................... 47

5.2 Pembahasan ..................................................................................... 59


5.2.1 Program Terapi Mental Spiritual dalam Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas Mental ....................................................... 59

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan ...................................................................................... 66
6.2 Saran ................................................................................................ 67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xvi
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Peningkatan Penyandang Disabilitas Mental Kota Bengkulu Tahun


2017-2019............................................................................................. 2
Tabel 1.2 Jumlah Penyandang Disabilitas Mental di BRPDM Dharma Guna
Bengkulu .............................................................................................. 4
Tabel 5. 1 Karakteristik Informan Berdasarkan Umur ........................................ 43
Tabel 5. 2 Karakteristik Informan Berdasarkan Jenis Kelamin .......................... 44
Tabel 5. 3 Karakteristik Informan Berdasarkan Pendidikan ............................... 45
Tabel 5. 4 Karakteristik Informan Berdasarkan Pekerjaan ................................. 46

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Observasi


Lampiran 2 Pedoman Wawancara
Lampiran 3 Dokumentasi Penelitian
Lampiran 4 Surat Izin Pra Penelitian dari Fakultas
Lampiran 5 Surat Izin Pra Penelitian dari Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas Mental “Dharma Guna” Bengkulu
Lampiran 6 Surat Penunjukan Pembimbing
Lampiran 7 Lembar Pengesahan Seminar Proposal
Lampiran 8 Surat Penunjukan Penguji Seminar Proposal
Lampiran 9 Berita Acara Seminar Proposal
Lampiran 10 Lembar Pengesahan Perbaikan Seminar Proposal
Lampiran 11 Surat Izin Penelitian dari Fakultas
Lampiran 12 Surat Izin Penelitian dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu
Lampiran 13 Surat Izin Penelitian dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
(KESBANGPOL) Kota Bengkulu
Lampiran 14 Surat Izin Penelitian dari Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas Mental “Dharma Guna” Bengkulu
Lampiran 15 Surat Penunjukan Penguji Komprehensif
Lampiran 16 Surat Penunjukan Penguji Skripsi
Lampiran 17 Berita Acara Ujian Skripsi
Lampiran 18 Lembar Pengesahan Perbaikan Skripsi

xviii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini sangat beragam, salah
satunya yaitu penyandang masalah kesejahteraan sosial. Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial atau biasa disebut PMKS adalah perseorangan, keluarga,
kelompok dan/atau masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau
gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat
terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, maupun sosial secara
memadai dan wajar (Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08
Tahun 2012 Tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial).
Penyandang masalah kesejahteraan sosial ini terdiri dari 26 jenis salah satunya
yaitu penyandang disabilitas.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang
mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka
waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan
warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Penyandang disabilitas ini
meliputi, penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas intelektual,
penyandang disabilitas mental dan penyandang disabilitas sensorik. Pada
penelitian ini fokus penelitian yang dilakukan peneliti yaitu penyandang
disabilitas mental.
Penyandang disabilitas mental berdasarkan Direktorat Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial Republik Indonesia adalah Orang
Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
yang dalam jangka waktu lama mengalami hambatan dalam interaksi dan
partisipasi di masyarakat. Selanjutnya, ODMK adalah orang yang mempunyai
masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas

1
hidup sehingga memiliki resiko mengalami gangguan jiwa. Sedangkan ODGJ
adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan
yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/ atau perubahan perilaku
yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam
menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Secara kuantitas tercatat oleh Dinas Sosial Kota Bengkulu bahwa
penyandang disabilitas mental di Kota Bengkulu selalu meningkat dari tahun ke
tahun. Pada tahun 2017 sampai 2018 meningkat sebanyak 45 penyandang
disabilitas mental dan 2018 hingga 2019 meningkat sebanyak 59 penyandang
disabilitas mental. Pada tahun 2017 berjumlah 131 jiwa, pada tahun 2018
berjumlah 176 jiwa, dan pada tahun 2019 sebanyak 235 jiwa.
Tabel 1.1 Peningkatan Penyandang Disabilitas Mental Kota Bengkulu Tahun
2017-2019

Tahun
No Jenis Masalah
2017 2018 2019
1 Penyandang Disabilitas Mental 131 176 235
(Sumber : Dinas Sosial Kota Bengkulu, 2020)
Penyandang disabilitas mental seringkali mengalami masalah yang
kompleks, bukan saja masalah yang terjadi dalam dirinya seperti
halusinasi,waham dan sebagainya, tetapi juga permasalahan dari luar dirinya,
seperti dari lingkungan sosialnya. Permasalahan gangguan jiwa dapat dialami oleh
siapa saja, dan dapat menimbulkan beban tidak saja bagi penyandangnya tetapi
juga bagi keluarganya apabila tidak mendapat penanganan yang tepat (Yazfinedi,
2018).
Persoalan mengenai disabilitas juga telah diatur dalam Undang-Undang
bahwasanya penyandang disabilitas menjadi tanggung jawab dan
kesejahteraannya dijamin oleh negara. Hal ini juga tertuang dalam Undang-
Undang No. 8 Tahun 2016 Pasal 17 Tentang Penyandang Disabilitas yang
menyebutkan bahwa penyandang disabilitas mempunyai hak kesejahteraan sosial
yang meliputi hak rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan
perlindungan sosial.

2
Kementerian Sosial melalui Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas mewujudkan amanat pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas
tersebut dalam bentuk penyelenggaraan Program Rehabilitasi Sosial bagi
Penyandang Disabilitas (Progres PD) dalam upaya peningkatan kesejahteraan
sosial penyandang disabilitas, dimana Berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial. Rehabilitasi
Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan
seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan
masyarakat. Maka dari itu Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian
Sosial Republik Indonesia mendirikan beberapa Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Bidang Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas di beberapa daerah di
Indonesia. Salah satunya di Provinsi Bengkulu yaitu Balai Rehabilitasi Sosial
Penyandang disabilitas Mental Dharma Guna Bengkulu atau yang sering disebut
BRSPDM Dharma Guna Bengkulu yang merupakan salah satu UPT yang
memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas mental, yang
langsung berada di bawah Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian
Sosial Republik Indonesia. BRSPDM ini beralamat di Jalan Raden Fatah, no.45.
Rt 20. Rw 06. Kelurahan Sumur Dewa Kecamatan Selebar Kota Bengkulu,
38211. BRSPDM ini memiliki wilayah jangkauan yaitu seluruh wilayah regional
Sumatera, yang terdiri dari 9 provinsi yaitu, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, Provinsi
Kepulauan Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bengkulu
dan Provinsi Lampung.
Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental Dharma Guna
Bengkulu ini dalam melakukan pelayanan rehabilitasi sosial menerima
penyandang disabilitas mental sebagai penerima manfaat dalam satu tahun dibagi
menjadi dua semester atau dua periode, yaitu periode Januari-Juni (semester
pertama) dan Periode Juli-Desember (semester kedua), dalam per semester
kapasitas penerimaan sebanyak 50 orang. Jadi setiap tahunnya kapasitas
penerimaan berjumlah 100 orang dari semester pertama dan semester kedua.

3
Berikut data penyandang disabilitas mental di Balai Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas Mental Dharma Guna Bengkulu :
Tabel 1. 2 Jumlah penyandang disabilitas mental di BRSPDM Dharma Guna
Bengkulu

Periode
No Tahun Januari-Juni Juli -Desember Jumlah

1 2019 50 50 100

2 2020 50 35 85
(Sumber : Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental Dharma
Guna Bengkulu, 2020)
Penyandang disabilitas mental yang menjalani rehabilitasi sosial di Balai
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma Guna” Bengkulu
merupakan penyandang disabilitas yang mengalami gangguan mental skizofrenia.
Skizofrenia merupakan sindrom klinis yang paling kompleks dan dapat
melumpuhkan fungsi-fungsi psikososial manusia, sehingga mempengaruhi
kognisi, persepsi, emosi, perilaku dan fungsi sosial (Marettih, dkk 2017 ). Namun
penyandang disabilitas mental yang mengalami skizofrenia yang menjalani
rehabilitasi sosial, sudah dinyatakan tenang oleh Rumah Sakit Jiwa atau oleh
dokter jiwa, karena jika penyandang disabilitas mental yang mengalami
skizofrenia ini belum dinyatakan tenang, maka belum bisa menjalani rehabilitasi
sosial karena masih membutuhkan perawatan dan pengobatan di Rumah Sakit
Jiwa atau rehabilitasi medis.
Hasil pra penelitian yang dilakukan oleh peneliti melalui wawancara dengan
pendamping program terapi mental spiritual Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas Mental Dharma Guna Bengkulu, kondisi penyandang disabilitas
mental sebagai penerima manfaat pada saat awal mula masuk di Balai Rehabilitasi
Sosial Penyandang Disabilitas Mental Dharma Guna Bengkulu mereka tidak
berfungsi sosial secara baik. Dilihat dari aspek mental spiritualnya, pengetahuan
tentang agama sangat kurang, tidak memiliki kesadaran dalam hal beribadah, hal
ini mengingat karena mereka mengalami gangguan mental atau masalah kejiwaan
maka dari itu jiwa spiritualnya pun juga terganggu. Sehingga keberfungsian sosial

4
penyandang disabilitas mental ini tidak terjalan dan kesejahteraan sosialnya tidak
terpenuhi.
Upaya mengembalikan keberfungsian sosial penyandang disabilitas mental
sebagai penerima manfaat di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas
Mental Dharma Guna Bengkulu, maka diberikan upaya rehabilitasi sosial dalam
bentuk pelayanan terapi, adapun salah satu terapi yang dilakukan yaitu terapi
mental spiritual. Terapi mental spiritual adalah terapi untuk menyelaraskan
pikiran, tubuh dan jiwa dalam upaya mengatasi kecemasan dan depresi,
menggunakan nilai-nilai moral, spiritual dan agama yang ditujukan untuk
membangun mental dan kehidupan spiritual lebih baik. Terapi ini dimaksudkan
agar penerima manfaat mengalami perubahan yaitu pemulihan dan pengembangan
fungsi sosial sehingga penerima manfaat dapat kembali berkontribusi atau
berpartisipasi dalam lingkungannya (Pedoman Operasional Asistensi Rehabilitasi
Sosial Penyandang Disabilitas). Terapi mental spiritual yang diberikan kepada
penyandang disabilitas mental sebagai penerima manfaat di BRSPDM Dharma
Guna Bengkulu adalah Terapi Mental Spiritual secara Islami yaitu suatu
pengobatan atau penyembuhan gangguan psikologis yang dilakukan secara
sistematis dengan berdasarkan kepada konsep al qur‟an dan as sunnah ( Taufiq,
2006 dalam jurnal Razak, dkk 2014).
Terapi mental spiritual yang diberikan kepada penyandang disabilitas
mental yaitu berupa terapi ruqyah syar‟iyah, mengaji dan hafalan surat pendek,
serta ceramah umum atau bimbingan agama. Terapi mental spiritual ini
dimaksudkan untuk membantu agar penyandang disabilitas mental mampu
memahami dasar-dasar ajaran agama yang dianutnya, mampu dan berinisiatif
untuk menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya, serta
mampu menerapkan nilai-nilai ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari.
Terapi mental spiritual ini dilakukan secara rutin satu kali dalam satu minggu.
Setiap masing-masing penyandang disabilitas mental diberikan penilaian
dalam bentuk laporan perkembangan dari hasil terapi mental spiritual yang telah
dilaksanakan. Namun, hasil yang diperoleh dari program terapi mental spiritual
yang telah dilaksanakan dengan sedemikian rupa, tidak semua penyandang

5
disabilitas mental sebagai penerima manfaat yang menjalani terapi mental
spiritual ini mengalami kemajuan atau perubahan yang baik, keberhasilannya
tidak merata, tergantung dari masing-masing penerima manfaat, ada yang
mengalami perubahan dan kemajuan dengan baik, ada juga yang tidak. Hal ini
dipengaruhi dari kondisi kejiwaan masing-masing penyandang disabilitas mental
tersebut, karena kondisi kesehatan mental atau kejiwaan setiap masing-masing
penyandang disabilitas mental berbeda-beda, ada beberapa penyandang disabilitas
mental yang belum mampu menerima arahan dan memahami akan hal-hal yang
diberikan dan diajarkan saat mengikuti terapi mental spiritual. Kemudian hal ini
juga dipengaruhi oleh motivasi dan kesadaran penyandang disabilitas mental
untuk mengikuti terapi mental spiritual masih kurang, oleh karena itu hasil yang
diperoleh tidak maksimal, karena tidak semua penerima manfaat mengalami
kemajuan dan perubahan dengan baik.
Spiritual merupakan suatu kebutuhan manusia yang merupakan salah satu
aspek dari kesejahteraan sosial, dimana kesejahteraan sosial adalah kondisi
terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat
hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan
fungsi sosialnya (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009
Tentang Kesejahteraan Sosial). Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk
mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban
agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai,
menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. Dapat disimpulkan bahwa
kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup,
kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan, dan kebutuhan
untuk memberi dan mendapatkan maaf (Ambarwati dan Nita, 2015). Kehidupan
manusia selain kehidupan materialistis masih ada kehidupan spiritualistis yaitu
kehidupan kerohanian. Kebutuhan manusia selain kebutuhan biologis, sosial juga
mempunyai kebutuhan metafisis. Kebutuhan ini terutama memberikan kebutuhan
spiritual/ kerohanian, yaitu kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sang
Maha Ada, Sang Maha Kuasa (Sundari, 2018).

6
Canda dan Leola (2010) menjelaskan bahwa pada pekerjaan sosial
kontemporer biasanya membedakan antara spiritualitas dan agama sebagai konsep
yang terkait tetapi berbeda. Spiritualitas mengacu pada kualitas manusia yang
universal dan mendasar yang melibatkan pencarian makna, tujuan, moralitas,
kesejahteraan, dan kedalaman dalam hubungan dengan diri kita sendiri, orang
lain, dan realitas tertinggi namun dapat dipahami, dalam pengertian ini,
spiritualitas dapat diekspresikan melalui bentuk-bentuk keagamaan atau mungkin
independen darinya. Agama adalah pola nilai, kepercayaan, simbol, perilaku, dan
pengalaman yang dilembagakan (yaitu sistematis) yang berorientasi pada masalah
spiritual, dibagikan oleh suatu komunitas, dan ditransmisikan dari waktu ke waktu
dalam tradisi.
Penelitian tentang terapi mental spiritual sudah pernah dilakukan
sebelumnya oleh Ulfaira Nabila (2020) dengan judul penelitian “Pengaruh Terapi
Mental Spiritual Terhadap Kesadaran Beragama Penerima Manfaat di Balai
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Rungu Wicara Melati Bambu
Apus Jakarta Timur”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang positif antara terapi mental spiritual dengan kesadaran beragama serta
terdapat pengaruh positif dan signifikan variabel terapi mental spiritual dengan
kesadaran beragama penerima manfaat di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas Sensorik Rungu Wicara Melati Bambu antara Apus Jakarta Timur.
Penelitian sebelumnya juga dilakukan oleh Windi Setyani (2020) dengan
judul penelitian “Efektivitas Program Terapi Mental Spiritual Dalam Upaya
Pemulihan Klien Penyalahgunaan NAPZA di Balai Rehabilitasi Sosial Korban
Penyalahgunaan Napza (BRSKPN) “Galih Pakuan” Bogor”. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa program terapi mental spiritual secara umum efektif bagi
pemulihan klien penyalahguna NAPZA karena dapat meningkatkan pemahaman
keagamaan dan kualitas keimanan agar dapat mengontrol diri untuk menghindari
NAPZA. Program yang diberikan juga tepat sasaran dan tepat waktu sesuai
dengan kebijakan lembaga. Berdasarkan hasil observasi tujuan dari program
terapi mental spiritual ini sudah bisa dicapai jika dilihat dari perubahan-perubahan

7
pada klien, namun perlu ditingkatkan lagi kualitas pelayanannya agar klien yang
sudah bebas tidak kembali melakukan penyalahgunaan NAPZA.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa terapi mental
spiritual memberikan pengaruh dan dampak yang positif dalam pelaksanaannya,
baik diterapkan untuk disabilitas sensorik rungu wicara maupun dalam rehabilitasi
penyalahgunaan NAPZA. Tetapi pada penelitian ini sedikit berbeda, penelitian ini
akan melihat bagaimana pemberian terapi mental spiritual kepada orang yang
mengalami disabilitas mental yang pastinya akan berbeda jika dilakukan kepada
orang-orang yang sehat tidak memiliki gangguan kejiwaan. Oleh karena itu
peneliti tertarik untuk meneliti tentang program terapi mental spiritual dalam
rehabilitasi sosial penyandang disabilitas mental. Dari hasil penelitian ini
diharapkan program terapi mental spiritual dapat bermanfaat untuk penyandang
disabilitas mental dalam memenuhi kebutuhan spiritualnya dan menjalankan
kehidupan beragama sesuai dengan ajaran agama yang dianut penyandang
disabilitas mental tersebut, terapi mental spiritual ini penting untuk dilakukan agar
kesejahteraan sosial penyandang disabilitas mental terpenuhi. Sehingga apabila
kesejahteraan sosialnya terpenuhi maka keberfungsian sosial penyandang
disabilitas ini pun dapat berjalan dengan baik.
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah peneliti jabarkan diatas.
Maka dari itu peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana program terapi mental
spiritual yang dilaksanakan dalam rehabilitasi sosial penyandang disabilitas
mental di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental Dharma Guna
Bengkulu, dengan judul penelitian pada penelitian ini yaitu “Program Terapi
Mental Spiritual Dalam Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental” (Studi
Kasus Di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma
Guna” Bengkulu).
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana program terapi
mental spiritual dalam rehabilitasi sosial penyandang disabilitas mental di Balai
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental Dharma Guna Bengkulu?”

8
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana program
terapi mental spiritual dalam rehabilitasi sosial penyandang disabilitas mental di
Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental Dharma Guna Bengkulu.
1.4 Kegunaan Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian yang
bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi keilmuan, khususnya ilmu
kesejahteraan sosial, yang berhubungan dengan program terapi mental
spiritual dalam rehabilitasi sosial penyandang disabilitas mental.
b. Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
kepada pihak Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas
Mental “Dharma Guna” Bengkulu.
2. Sebagai referensi yang berguna bagi peneliti lain yang berminat
dalam bidang yang berhubungan dengan program terapi mental
spiritual dalam rehabilitasi sosial penyandang disabilitas mental.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Program
2.1.1 Konsep Program
Joan L. Herman, dkk (1987) dalam buku Arifin (2019) program
merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan
tujuan untuk memperoleh hasil atau pengaruh. Secara sederhana, program dapat
diartikan suatu rencana kegiatan yang disusun secara sistematis, logis, dan
rasional sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan program. Charles O.
Jones dalam jurnal Lestaluhu (2015) program dapat dipahami sebagai cara yang
disahkan untuk mencapai tujuan.
Munthe (2015) menyatakan bahwa program merupakan suatu kegiatan atau
aktivitas yang terencana dengan sistematis untuk diimplementasikan dalam
kegiatan nyata secara berkelanjutan dalam organisasi serta melibatkan banyak
orang di dalamnya. Menurut Widoyoko dalam jurnal Munthe (2015) program
diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang direncanakan dengan saksama dan
dalam pelaksanaanya berlangsung dalam proses yang berkesinambungan dan
terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan orang banyak.
Berdasarkan beberapa pengertian program menurut para ahli diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa program adalah suatu atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara seksama untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang disusun
secara sistematis, logis, dan rasional sesuai dengan kebutuhan, dimana dalam
pelaksanaannya melibatkan orang banyak.
2.1.2 Perencanaan Program
Nasihudin dan Rusdiana (2019) perencanaan dalam arti luas adalah proses
mempersiapkan secara sistematis yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan
tertentu. Perencanaan program adalah proses penyusunan berbagai keputusan
yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan.
Prajudi Atmosudirdjo dalam buku Nasihudin dan Rusdiana (2019)
perencanaan merupakan perhitungan dan penentuan tentang sesuatu yang akan

10
dijalankan dalam mencapai tujuan tertentu, orang yang merencanakannya dan cara
menjalankan perencanaan tersebut.
Perencanaan program dapat disimpulkan sebagai suatu kegiatan penyusunan
program untuk dilaksanakan pada suatu periode tertentu dalam rangka mencapai
tujuan yang ditetapkan. Perencanaan program merupakan langkah awal dalam
pengembangan suatu program.
Tujuan perencanaan menurut Husaini Usman (2011) yaitu :
a. Standar pengawasan, yaitu mencocokkan pelaksanaan dengan
perencanaannya.
b. Mengetahui kapan pelaksanaan dan selesainya suatu kegiatan.
c. Mengetahui siapa saja yang terlibat (struktur organisasinya), baik
kualifikasinya maupun kuantitasnya.
d. Mendapatkan kegiatan yang sistematis termasuk biaya dan kualitas pekerjaan.
e. Meminimalkan kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan menghemat biaya,
tenaga, dan waktu.
f. Memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai kegiatan pekerjaan.
g. Menyerasikan dan memadukan beberapa sub kegiatan.
h. Mendeteksi hambatan kesulitan yang bakal ditemui.
i. Mengarahkan pada pencapaian tujuan.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa perencanaan program bertujuan
sebagai standar pengawasan yaitu untuk mencocokkan pelaksanaan dengan
perencanaan, menentukan waktu pelaksanaan program, siapa saja yang terlibat,
mempertimbangkan biaya, tenaga dan waktu yang akan digunakan,
menggambarkan semua kegiatan yang akan dilaksanakan, mendeteksi hambatan
yang akan ditemui serta mengarahkan untuk pencapaian tujuan.
2.1.3 Pelaksanaan Program
Westra (2011:24) dalam jurnal Hertanti, dkk (2019) mengemukakan bahwa
pelaksanaan program merupakan sebagai usaha-usaha yang dilakukan untuk
melaksanakan semua rencana dan kebijaksanaan yang telah dirumuskan dan
ditetapkan dengan melengkapi segala kebutuhan dan alat-alat yang diperlukan,

11
siapa yang akan melaksanakan, dimana tempat pelaksanaanya dan kapan waktu
dimulainya.
Pelaksanaan adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya
mekanisme suatu sistem. Pelaksanaan bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu
kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan (Usman, 2002:70).
Secara sederhana dapat dipahami bahwa pelaksanaan program adalah suatu
kegiatan yang dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah dirumuskan untuk
mencapai suatu tujuan.
Charles O. Jones dalam jurnal Lestaluhu (2015) berpendapat bahwa
“program adalah unsur pertama yang harus ada demi terciptanya suatu kegiatan”.
Lebih lanjut Jones juga menjelaskan bahwa di dalam pelaksanaan program dibuat
beberapa aspek, yaitu mengenai:
a. Tujuan kegiatan yang akan dicapai.
Tujuan merupakan sesuatu yang ingin dicapai dimasa yang akan mendatang
atau hasil akhir dari sesuatu yang dilaksanakan, dimana tujuan menjadi
langkah awal dalam suatu pelaksanaan program. Suatu pelaksanaan program
tentunya memiliki tujuan yang jelas.
b. Kegiatan yang diambil dalam mencapai tujuan.
Untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan tentunya terdapat kegiatan
yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut. Kegiatan yang
dilaksanakan sesuai dengan perencanaan yang telah dilakukan, kegiatan yang
dilakukan juga tentunya tidak melenceng dari tujuan yang akan dicapai.
Kegiatan yang diambil merupakan langkah dari pencapaian tujuan yang telah
ditentukan.
c. Aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui.
Aturan merupakan suatu pedoman, petunjuk, ketentuan dalam suatu
kebijakan maupun dalam suatu program. Adapun prosedur merupakan suatu
langkah-langkah atau rangkaian aktivitas yang harus dijalankan agar
mendapatkan hasil yang diinginkan secara maksimal. Suatu program akan
terlaksana dengan baik jika terdapat aturan dan prosedur yang jelas.

12
d. Perkiraan anggaran yang dibutuhkan.
Anggaran merupakan salah satu rencana keuangan untuk pelaksanaan suatu
program yang akan dilaksanakan. Mulai dari mengalokasikan biaya, biaya
yang dibutuhkan untuk kegiatan yang sudah dijadwalkan, kemudian
menentukan sumber biaya yaitu sumber biaya yang akan digunakan pada saat
pelaksanaan program.
e. Strategi pelaksanaan.
Strategi pelaksanaan merupakan proses atau langkah-langkah dalam
pelaksanaan program untuk mencapai tujuan. Strategi yang digunakan untuk
mengimplementasikan suatu kebijakan atau suatu program mempengaruhi
hasil dari pelaksanaan program tersebut.
Aspek-aspek tersebut dipandang mempengaruhi keberhasilan suatu proses
pelaksanaan program, selain itu dalam proses pelaksanaan program sekurang-
kurangnya terdapat tiga unsur penting dan mutlak yaitu :
a. Adanya program (kebijaksanaan) yang dilaksanakan.
b. Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan manfaat dari program
perubahan dan peningkatan.
c. Unsur pelaksanaan baik organisasi maupun perorangan yang bertanggung
jawab dalam pengelolaan pelaksana dan pengawasan dari proses
implementasi tersebut.
Berdasarkan pendapat di atas dapatlah dikatakan bahwa pelaksanaan suatu
program senantiasa melibatkan ketiga unsur tersebut.
2.1.4 Evaluasi Program
Suchman dalam buku Suharsimi dan Abdul (2014) memandang evaluasi
sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan
yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan.
Arifin (2019) evaluasi program adalah suatu proses atau kegiatan ilmiah
yang dilakukan secara berkelanjutan dan menyeluruh sebagai upaya pengendalian,
penjamin dan penetapan mutu (nilai dan arti) suatu program, berdasarkan kriteria
dan pertimbangan tertentu untuk membuat suatu keputusan dan
pertanggungjawaban dalam melaksanakan program.

13
Tujuan evaluasi program menurut Arifin (2019) adalah untuk mengetahui
keefektifan dan efisiensi pelaksanaan suatu program, untuk mengetahui
ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan, untuk mengetahui relevansi
pelaksanaan program dengan rencana program, untuk mengidentifikasi kekuatan
dan kelemahan program, dan menyediakan informasi untuk membuat keputusan.
Chittenden (1994) dalam Arifin (2019) tujuan evaluasi program yaitu :
a. Keeping track (melacak)
Bertujuan untuk menelusuri dan melacak proses pelaksanaan program sesuai
dengan rencana program yang telah ditetapkan.
b. Checking-out (memeriksa)
Bertujuan untuk mengecek kesesuaian pelaksanaan program dengan rencana
program
c. Finding-out (menemukan)
Bertujuan untuk mencari, menemukan dan mendeteksi kekurangan, kesalahan
atau kelemahan program dalam proses pelaksanaan, sehingga evaluator dapat
dengan cepat mencari alternatif solusinya
d. Summing-up (menyimpulkan)
Bertujuan untuk menyimpulkan tingkat keberhasilan program sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa evaluasi program adalah suatu
kegiatan menentukan atau melihat hasil dari pelaksanaan program yang telah
direncanakan untuk mencapai tujuan. Evaluasi program bertujuan untuk
mengetahui hasil dari pelaksanaan program yang telah dilaksanakan, keefektifan
program tersebut, tercapai tidaknya tujuan, serta mengidentifikasi kekuatan dan
kelemahan atau faktor penghambat dan pendorong dari pelaksanaan program yang
telah dilaksanakan.
2.2 Terapi Mental Spiritual
2.2.1 Konsep Terapi
Terapi merupakan usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang
sakit, pengobatan penyakit dan perawatan penyakit. Menurut Prof Dr. Singgih D
Gunawan terapi berarti perawatan terhadap aspek kejiwaan seseorang yang

14
mengalami suatu gagasan, ataupun penerapan teknik khusus pada penyembuhan
penyakit mental dan pada kesulitan-kesulitan pada penyesuain diri. Chaplin
(1999) dalam buku Solihin (2004) terapi adalah upaya pengobatan yang ditujukan
untuk penyembuhan kondisi psikologis. Terapi juga dapat diartikan sebagai upaya
sistematis dan terencana dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi
klien dengan tujuan mengembalikan, memelihara, menjaga, dan mengembangkan
kondisi klien agar akal dan hatinya berada dalam kondisi dan posisi proporsional
(Gerald Corey, 1995 dalam buku Solihin, 2004).
Berdasarkan beberapa pengertian terapi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
terapi adalah suatu cara atau proses penyembuhan, perawatan atau usaha untuk
mengobati dan memulihkan seseorang yang sedang sakit agar dapat sehat
kembali.
Fungsi dan tujuan terapi menurut Purwandi (2003) dalam Setyani (2020)
adalah sebagai berikut :
a. Memperkuat motivasi klien untuk melakukan hal yang positif
b. Mengurangi tekanan emosional klien
c. Mengubah kebiasaan buruk klien
d. Mengembangkan potensi klien
e. Memperoleh pengetahuan tentang diri sendiri
f. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi & hubungan interpersonal
g. Memodifikasi struktur kognisi
h. Mengubah kondisi fisik & mental
i. Munculnya kesadaran diri
j. Mengubah lingkungan sosial
k. Meningkatkan kemampuan mengambil keputusan
Fungsi dan tujuan terapi secara sederhana dapat disimpulkan sebagai usaha
untuk membantu klien menjadi lebih baik agar dapat berfungsi sosial di
masyarakat.
2.2.2 Mental Spiritual
Burhanuddin (1999) mental secara etimologi berasal dari kata latin, yaitu
mens atau mentis artinya roh, sukma, jiwa dan nyawa. Mental adalah sesuatu yang

15
bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau
tenaga.
Solihin, 2004 mendefinisikan bahwa mental yaitu yang berhubungan dengan
pikiran, akal dan ingatan, seperti mudah lupa, malas berpikir, tidak mampu
berkonsentrasi, tidak dapat mengambil keputusan dengan baik dan benar, bahkan
tidak memiliki kemampuan untuk membedakan antara yang halal dan haram,
yang bermanfaat dan tidak.
Zakiah Darajat dalam buku Mulyadi (2017) kesehatan mental adalah
terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala
penyakit jiwa (psychose). Kesehatan mental juga merupakan kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta
lingkungan dimana ia hidup.
Maka dapat disimpulkan bahwa mental adalah sesuatu yang berhubungan
dengan jiwa, batin, emosi, watak manusia yang bukan bersifat tenaga, dan
kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan jiwa atau penyakit
jiwa.
Indikator kesehatan mental atau mental yang sehat menurut Zakiah Dradjat
dalam buku Mulyadi, 2017 diantaranya yaitu:
a. Terbebas dari gangguan dan penyakit jiwa
b. Terwujudnya keserasian antar unsur-unsur kejiwaan
c. Mempunyai kemampuan dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya
d. Beriman dan bertakwa kepada Allah dan berupaya merealisasikan tuntunan
agama dan kehidupan sehari-hari sehingga terciptanya kehidupan yang
bahagia di dunia dan akhirat.
Mental erat kaitannya dengan spiritual. Solihin, 2004 mendefinisikan bahwa
spiritual yaitu yang berhubungan dengan masalah roh, semangat atau jiwa religius
yang berhubungan dengan agama, keimanan, kesalehan dan menyangkut nilai-
nilai transendental.
Sejati, 2019 mengungkapkan bahwa spiritual juga berarti, kejiwaan, rohani,
batin dan moral, dalam arti luas yaitu suatu hal yang berhubungan dengan spirit,

16
yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia, didalamnya terdapat
kepercayaan terhadap kekuatan supranatural seperti dalam agama.
Hasan, 2008 dalam Jurnal Sejati, 2019 spiritual merupakan kebangkitan
atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna hidup, spiritual
merupakan bagian dari esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan
seseorang.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
spiritual adalah sesuatu yang berhubungan dengan kejiwaan seseorang dalam hal
kerohanian, keimanan, religius atau agama.
2.2.3 Terapi Mental spiritual
Terapi mental spiritual menurut kementerian sosial adalah terapi untuk
menyelaraskan pikiran, tubuh dan jiwa dalam upaya mengatasi kecemasan dan
depresi, menggunakan nilai-nilai moral, spiritual dan agama yang ditujukan untuk
membangun mental dan kehidupan spiritual lebih baik. Terapi ini dimaksudkan
agar penerima manfaat mengalami perubahan yaitu pemulihan dan pengembangan
fungsi sosial sehingga penerima manfaat dapat kembali berkontribusi atau
berpartisipasi dalam lingkungannya.
Terapi mental spiritual dapat dipahami juga sebagai bimbingan mental
spiritual yang merupakan kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kesehatan
mental sehingga mampu memiliki kualitas spiritual sesuai dengan keyakinan
ajaran agama yang dianut dari aspek perbaikan pengetahuan, kepribadian, emosi,
sikap, dan perilaku dalam beribadah dengan Tuhannya (Mintarsih, 2017:29).
Terapi mental spiritual yang diberikan kepada penyandang disabilitas
mental dalam rehabilitasi sosial di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas Mental Dharma Guna Bengkulu adalah terapi mental spiritual secara
Islami. Menurut Taufiq (2006) dalam jurnal Razak, dkk (2014) Terapi spiritual
islami adalah suatu pengobatan atau penyembuhan gangguan psikologis yang
dilakukan secara sistematis dengan berdasarkan kepada konsep al qur‟an dan as
sunnah. Terapi spiritual islami memandang bahwa keimanan dan kedekatan
kepada Allah adalah merupakan kekuatan yang sangat berarti dalam upaya
perbaikan pemulihan diri dari gangguan depresi maupun masalah-masalah

17
gangguan kejiwaan lainnya, dan menyempurnakan kualitas hidup manusia. Pada
dasarnya terapi spiritual islami tidak hanya sekedar menyembuhkan gangguan-
gangguan psikologis, tetapi yang lebih substansial adalah bagaimana membangun
sebuah kesadaran diri agar manusia bisa memahami hakikat dirinya.
Terapi spiritual islami bersifat: a). Fleksibel, yaitu dapat dilakukan kapan
saja baik secara individual maupun secara kelompok; b). Preventif, yaitu dapat
dilakukan bagi setiap orang yang tidak menderita penyakit psikologis; c). Kuratif,
yaitu dilakukan dalam rangka pengobatan atau penyembuhan bagi orang yang
mengalami penyakit psikologis; d). Rehabilitasi, yaitu tahap pemulihan bagi
setiap orang yang baru pulih dari penyakitnya (Razak, dkk 2014).
Hawwa (2003) dalam jurnal Razak, dkk (2014) terapi spiritual islami
mengacu kepada konsep penyucian jiwa (Tazkiyatunnufus), yang dibagi menjadi 3
tahap pensucian jiwa, yaitu:
a. Takhalli (pensucian diri)
Tahap ini bertujuan untuk membersihkan diri dari sifat-sifat buruk, negatif
thinking, dan segala kebiasaan-kebiasaan buruk yang dilakukan manusia.
Fase takhalli adalah fase penyucian mental, jiwa, akal, pikiran, qalbu dan
moral (akhlak) dengan sifat-sifat yang mulia dan terpuji dengan usaha
mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Ada beberapa cara yang
dapat dilakukan untuk mensucikan diri, seperti mandi taubat, shalat taubat
dan memperbanyak istighfar kepada Allah SWT.
b. Tahalli (pengembangan diri)
Pada tahap ini manusia dilatih untuk mengembangkan potensi-potensi positif
yang ada dalam dirinya dengan membangun nilai-nilai kebaikan dan
kebermaknaan dalam hidupnya. Tahap ini yaitu mengisi diri dengan sifat-sifat
terpuji, agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan diatas ketentuan
agama, baik kewajiban luar maupun kewajiban dalam ketaatan lahir maupun
batin. Dapat dilakukan dengan cara seperti sholat, puasa, tilawah, dan
melakukan akhlak baik atau sifat-sifat terpuji, seperti jujur, sabar, dan lain
sebagainya. Sehingga sifat-sifat tersebut akan menjadi kebiasaan dari
akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari.

18
c. Tajalli (penemuan diri)
Pada tahap ini manusia telah mengenali dirinya. Ada 4 masalah pokok yang
dikenali pada tahap ini, yaitu: siapa diri manusia, dari mana manusia berasal,
untuk apa manusia ada dan kemana setelah manusia tiada. Pada tahap ini
dapat disibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah.
Terapi mental spiritual yang diberikan kepada penyandang disabilitas
mental sebagai penerima manfaat di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas Mental Dharma Guna Bengkulu bertujuan untuk pencegahan dan
penanggulangan depresi maupun gangguan psikologis lainnya. Selain itu juga
untuk memberikan pemahaman agama kepada penyandang disabilitas mental ,
agar penyandang disabilitas mental mampu memahami dasar-dasar ajaran agama
yang dianutnya, mampu dan berinisiatif untuk menjalankan ibadah sesuai dengan
ajaran agama yang dianutnya, serta mampu menerapkan nilai-nilai ajaran
agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga ketika penerima manfaat sudah
selesai menjalani masa rehabilitasi, penerima manfaat sudah bisa menjalankan
kewajiban sebagai umat beragama sebagaimana agama yang dianutnya, sudah
bisa melakukan ibadah sehari-hari, seperti sholat, membaca Al-qur‟an, dan yang
lainnya.
2.3 Rehabilitasi Sosial
2.3.1 Konsep Rehabilitasi Sosial
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009
Tentang Kesejahteraan Sosial. Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi
dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi
sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi sosial
dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang
yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara
wajar.
Haryanto (2009) rehabilitasi sosial merupakan bagian dari proses
rehabilitasi penderita cacat yang berusaha untuk menghilangkan atau setidak-
tidaknya mengurangi semaksimal mungkin pengaruh-pengaruh negatif yang

19
disebabkan kecacatannya, sehingga penderita dapat aktif dalam kehidupan di
masyarakat.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi sosial
adalah proses untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang
yang mengalami disfungsi sosial agar dapat menjalankan fungsi sosialnya secara
wajar dan dapat aktif dalam kehidupan di masyarakat.
2.3.2 Tujuan Rehabilitasi Sosial
Haryanto (2009) tujuan rehabilitasi sosial adalah segala upaya untuk :
a. Memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta tanggung
jawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat atau
lingkungan sosialnya.
b. Memulihkan kembali kemauan dan kemampuan untuk dapat melaksanakan
fungsi sosialnya secara wajar.
Tujuan rehabilitasi selain penyembuhan secara fisik, juga penyembuhan
keadaan sosial secara menyeluruh seperti menyiapkan individu atau pasien agar
mampu melakukan kegiatan-kegiatan baik secara penuh maupun tidak penuh,
serta mengembalikan kepercayaan pada diri sendiri. Dengan demikian program
rehabilitasi sosial ditujukan agar individu mencapai kemandirian mental, fisik,
psikososial dan sosial dalam arti adanya keseimbangan antara apa yang masih
dapat dilakukannya dan apa yang tidak dapat dilakukannya.
Secara sederhana rehabilitasi sosial bertujuan untuk mengembalikan
kepercayaan diri, kesadaran diri, dan kemampuan seseorang dalam menjalankan
fungsi sosialnya di masyarakat.
2.3.3 Bentuk-bentuk Rehabilitasi Sosial
Bentuk-bentuk rehabilitasi sosial sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Sosial Republik Indonesia nomor 22 tahun 2014 tentang standar
rehabilitasi sosial dengan pendekatan profesi pekerjaan sosial, sebagai berikut:
a. Motivasi dan diagnosis psikososial
Motivasi dan diagnosis psikososial merupakan upaya yang diarahkan untuk
memahami permasalahan psikososial dengan tujuan memulihkan,
mempertahankan, dan meningkatkan keberfungsian sosial.

20
b. Perawatan dan pengasuhan
Perawatan dan pengasuhan merupakan upaya untuk menjaga, melindungi,
dan mengasuh agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
c. Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan
Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan merupakan usaha
pemberian keterampilan kepada penerima pelayanan agar mampu hidup
mandiri dan/atau produktif.
d. Bimbingan mental spiritual
Bimbingan mental spiritual merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
meningkatkan pengetahuan serta memperbaiki sikap dan perilaku berdasarkan
ajaran agama.
e. Bimbingan fisik
Bimbingan fisik merupakan kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan jasmani penerima pelayanan.
f. Bimbingan sosial dan konseling psikososial
Bimbingan sosial dan konseling psikososial merupakan semua bentuk
pelayanan bantuan psikologis yang ditujukan untuk mengatasi masalah
psikososial agar dapat meningkatkan keberfungsian sosial.
g. Pelayanan aksesibilitas
Pelayanan aksesibilitas merupakan penyediaan kemudahan bagi penerima
pelayanan guna mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan dalam segala
aspek kehidupan.
h. Bantuan dan asistensi sosial
Bantuan sosial dan Asistensi sosial merupakan upaya yang dilakukan berupa
pemberian bantuan kepada penerima pelayanan yang mengalami guncangan
dan kerentanan sosial agar dapat hidup secara wajar.
i. Bimbingan resosialisasi
Bimbingan resosialisasi merupakan kegiatan untuk mempersiapkan penerima
pelayanan agar dapat diterima kembali ke dalam keluarga dan masyarakat.

21
j. Bimbingan lanjut
Bimbingan lanjut merupakan kegiatan pemantapan kemandirian penerima
pelayanan setelah memperoleh pelayanan rehabilitasi sosial.
k. Rujukan.
Rujukan merupakan pengalihan layanan kepada pihak lain agar penerima
pelayanan memperoleh pelayanan lanjutan atau sesuai dengan kebutuhan.
Secara sederhana rehabilitasi sosial dilakukan dalam beberapa bentuk
diantaranya motivasi dan diagnosis psikososial, perawatan dan pengasuhan,
pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan, bimbingan mental spiritual,
bimbingan fisik, bimbingan sosial dan konseling psikososial, pelayanan
aksesibilitas, bantuan dan asistensi sosial, bimbingan resosialisasi, bimbingan
lanjut dan rujukan. Bentuk-bentuk rehabilitasi ini dilaksanakan dengan sistematis,
setiap kegiatan yang dilakukan memiliki tujuan tertentu, namun semua bentuk
dari rehabilitasi sosial tersebut bertujuan untuk mengembalikan keberfungsian
sosial klien.
2.4 Penyandang Disabilitas Mental
2.4.1 Konsep Penyandang Disabilitas
Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang
mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka
waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan
warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Menurut Resolusi PBB Nomor
61/106 tanggal 13 Desember 2006, penyandang disabilitas merupakan setiap
orang yang tidak mampu menjamin oleh dirinya sendiri, seluruh atau sebagian,
kebutuhan individual normal dan/atau kehidupan sosial, sebagai hasil dari
kecacatan mereka, baik yang bersifat bawaan maupun tidak, dalam hal
kemampuan fisik atau mentalnya.
Penyandang disabilitas dapat disimpulkan sebagai seseorang yang memiliki
hambatan dalam menjalankan fungsi sosialnya di masyarakat, selain itu

22
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya karena
mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan sensorik.
2.4.2 Jenis-Jenis Penyandang Disabilitas
Jenis penyandang disabilitas menurut UU No. 8 Tahun 2016 adalah sebagai
berikut:
a. Penyandang Disabilitas Fisik
Penyandang disabilitas fisik yaitu terganggunya fungsi gerak, antara lain
amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat
stroke, akibat kusta, dan orang kecil.
b. Penyandang Disabilitas Intelektual
Penyandang disabilitas intelektual yaitu terganggunya fungsi pikir karena
tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas
grahita dan down syndrom.
c. Penyandang Disabilitas Mental
Penyandang disabilitas mental yaitu terganggunya fungsi pikir, emosi, dan
perilaku, antara lain:
1. Psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan
gangguan kepribadian.
2. Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi
sosial di antaranya autis dan hiperaktif.
d. Penyandang Disabilitas Sensorik
Penyandang disabilitas sensorik yaitu terganggunya salah satu fungsi dari
panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau
disabilitas wicara.
Secara sederhana dapat dipahami bahwa jenis-jenis penyandang disabilitas
ada empat, yaitu penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas intelektual,
penyandang disabilitas mental dan penyandang disabilitas sensorik. Pada
penelitian ini fokus penelitian yang dilakukan peneliti adalah penyandang
disabilitas mental.

23
2.4.3 Penyandang Disabilitas Mental
Menurut Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian
Sosial Republik Indonesia, yang dimaksud dengan penyandang disabilitas mental
adalah Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan Gangguan
Jiwa (ODGJ) yang dalam jangka waktu lama mengalami hambatan dalam
interaksi dan partisipasi di masyarakat. Yazfinedi (2018).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014, Tentang
Kesehatan Jiwa menjelaskan Orang Dengan Masalah Kejiwaan yang selanjutnya
disingkat ODMK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial,
pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki
risiko mengalami gangguan jiwa. Kemudian Orang Dengan Gangguan Jiwa yang
selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam
pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan
gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan
penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
ODGJ oleh Kementerian Sosial dinamakan Penyandang Disabilitas Mental
yang dulunya dikenal dengan penyandang cacat mental eks psikotik (tunalaras)
adalah seseorang yang mempunyai kelainan mental atau tingkah laku karena
pernah mengalami sakit jiwa yang oleh karenanya merupakan rintangan atau
hambatan baginya untuk melakukan pencarian nafkah atau kegiatan
kemasyarakatan dengan faktor penyebab utama adalah adanya kerusakan/tidak
berfungsinya salah satu atau lebih Sistem Saraf Pusat (SSP) yang terjadi sejak
lahir, akibat penyakit, kecelakaan dan juga karena keturunan. (Murni dan Mulia,
2015).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penyandang
disabilitas mental adalah individu yang mengalami masalah kejiwaan baik
masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, sehingga
mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan, yang dalam jangka
waktu panjang mengalami hambatan dalam berinteraksi dan berpartisipasi di
masyarakat serta mengalami hambatan dalam menjalankan fungsi sosialnya dalam
pemenuhan kebutuhan, pemecahan masalah dan kegiatan sehari-hari.

24
Penyandang disabilitas mental yang menjalani rehabilitasi sosial di Balai
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental Dharma Guna Bengkulu
adalah penyandang disabilitas mental yang mengalami gangguan skizofrenia.
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang ditandai oleh adanya
halusinasi (persepsi yang salah pada rangsangan panca indera) dan delusi
(keyakinan yang salah) Agus (2010) dalam buku Fatmawati dkk (2019).
Marettih, dkk 2017 menjelaskan bahwa skizofrenia adalah sindrom klinis
yang paling kompleks dan dapat melumpuhkan fungsi-fungsi psikososial manusia,
sehingga mempengaruhi kognisi, persepsi, emosi, perilaku dan fungsi sosial.
Skizofrenia merupakan gangguan mental berat yang justru oleh sebagian besar
masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan dan membahayakan.
Nasir dan Abdul, 2011 skizofrenia merupakan kelainan jiwa yang
menunjukkan gangguan dalam fungsi kognitif (pikiran) berupa disorganisasi,
gangguannya ialah mengenai pembentukan arus serta isi pikiran yang juga
ditemukan gejala gangguan persepsi, wawasan diri, perasaan, dan keinginan.
Maslim, 2013 juga mengungkapkan bahwa skizofrenia pada umumnya ditandai
dengan penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan
persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar.
Dari penjelasan skizofrenia menurut para ahli diatas, dapat disimpulkan
bahwa skizofrenia merupakan gangguan psikotik atau gangguan kejiwaan yang
mempengaruhi pikiran, persepsi, perasaan dan perilaku yang ditandai dengan
halusinasi dan delusi.
Skizofrenia dibagi menjadi beberapa tipe, DSM IV-TR (2000) dalam buku
Marettih, dkk (2017) menjelaskan ada beberapa sub tipe skizofrenia yang masing-
masing memiliki kriteria diagnostik yang berbeda-beda. Adapun tipe-tipe
skizofrenia yaitu sebagai berikut:
1. Tipe Paranoid
Pada umumnya penderita skizofrenia tipe paranoid tidak mengalami
disorganisasi dalam hal pembicaraan dan tidak mengalami afek datar.
Sementara perilaku motorik dan emosionalnya relatif utuh. Delusi dan
halusinasi yang dialami, biasanya mengarah pada satu tema tertentu.

25
2. Tipe katatonik
Tipe ini merupakan tipe skizofrenia dengan paparan respon motorik yang
tidak lazim atau biasa. Penderita menunjukkan afek yang sangat datar, tidak
sesuai, tidak pas. Penderita akan menunjukkan perilaku monotorik yang aneh
dan ganjil, postur kaku, bahkan sampai tahan berjam-jam dalam satu posisi
tertentu tanpa motif jelas. Mereka kerap mengulang-ngulang atau meniru
kata-kata orang lain “ekolalia” dan gerakan-gerakan orang lain “ekopraksia”.
3. Tipe tidak terorganisir
Tipe ini dikenal dengan tipe hibefrenik, yaitu skizofrenia yang ditandai
dengan pola pembicaraan dan pola perilaku yang terdisrupsi dan afek datar.
Pada situasi tertentu, penderita skizofrenia dengan tipe ini memperlihatkan
perilaku yang tidak tepat (tertawa tanpa sebab), dan kerap menghabiskan
waktu untuk menatap diri sendiri melalui cermin.
4. Tipe Residual
Skizofrenia dengan tipe residual adalah individu-individu yang pernah
mengalami setidaknya satu episode skizofrenia tetapi tidak lagi menunjukkan
atau memperlihatkan gejala-gejala utamanya (delusi, halusinasi,
disorganisasi), namun masih memiliki beberapa gejala-gejala sisa (residual)
seperti pikiran-pikiran yang tidak lazim/aneh, menarik diri secara sosial dan
afek datar.
5. Tipe Tak Terbedakan
Penderita skizofrenia dengan tipe ini memperlihatkan gejala-gejala utama
namun tidak memenuhi kriteria tipe paranoid, terorganisir maupun katatonik.
2.4.4 Faktor- Penyebab Penyandang Disabilitas Mental
Terdapat beberapa faktor umum yang membuat seseorang mengalami
gangguan kejiwaan, yaitu:
a. Faktor ekonomi
faktor ekonomi yang biasanya terjadi karena adanya kesulitan dalam
perekonomian keluarga maupun dirinya sendiri.

26
b. Faktor budaya
Faktor budaya dengan adanya aturan-aturan dalam masyarakat yang tidak
sesuai dengan pola pikirnya.
c. Faktor keturunan
Faktor keturunan yang berawal dari adanya faktor genetik dari keluarganya
yang akan menjadi pemicu terbentuknya gangguan jiwa.
d. Faktor keluarga
Faktor keluarga berupa timbulnya konflik internal, dan diskriminasi yang
dialaminya ketika berada di dalam lingkungan keluarganya.
Dapat disimpulkan bahwa seseorang mengalami gangguan mental atau
gangguan kejiwaan dipengaruhi dari berbagai faktor yang meliputi faktor
ekonomi, budaya, keturunan dan keluarga, sehingga mengakibatkan seseorang
tersebut tidak berfungsi sosial dengan baik di masyarakat.

27
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian
kualitatif deskriptif. Sugiyono (2019) menjelaskan tentang metode penelitian
kualitatif sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat
postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah,
(sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah instrumen kunci,
teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data
bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna
daripada generalisasi. Menurut Bogdan dan Taylor (1992) dalam buku Sujarweni
(2014) penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang
yang diamati. Sesuai dengan yang akan diungkap pada penelitian ini adalah
tentang program terapi mental spiritual dalam rehabilitasi sosial penyandang
disabilitas mental di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental
Dharma Guna Bengkulu.
3.2 Batasan/Ruang Lingkup Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti memberikan batasan penelitian dengan tujuan
untuk memperjelas pokok-pokok penelitian yang dilakukan. Batasan penelitian
pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terapi mental spiritual
Terapi mental spiritual adalah terapi untuk menyelaraskan pikiran, tubuh dan
jiwa dalam upaya mengatasi kecemasan dan depresi, menggunakan nilai-nilai
moral, spiritual dan agama yang ditujukan untuk membangun mental dan
kehidupan spiritual lebih baik. Fokus penelitian yang akan dilakukan yaitu
terapi spiritual islami sesuai dengan program yang ada di Balai Rehabilitasi
Sosial Penyandang Disabilitas Mental Dharma Guna Bengkulu, yang meliputi
3 tahapan pensucian jiwa:

28
a. Takhalli (pensucian diri)
Tahap ini bertujuan untuk membersihkan diri dari sifat-sifat buruk, negatif
thinking, dan segala kebiasaan-kebiasaan buruk yang dilakukan manusia.
Fase takhalli adalah fase penyucian mental, jiwa, akal, pikiran, qalbu dan
moral (akhlak) dengan sifat-sifat yang mulia dan terpuji dengan usaha
mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela.
b. Tahalli (pengembangan diri)
Pada tahap ini manusia dilatih untuk mengembangkan potensi-potensi
positif yang ada dalam dirinya dengan membangun nilai-nilai kebaikan
dan kebermaknaan dalam hidupnya. Tahap ini yaitu mengisi diri dengan
sifat-sifat terpuji, agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan diatas
ketentuan agama, baik kewajiban luar maupun kewajiban dalam ketaatan
lahir maupun batin.
c. Tajalli (penemuan diri)
Pada tahap ini manusia telah mengenali dirinya. Ada 4 masalah pokok
yang dikenali pada tahap ini, yaitu: siapa diri manusia, dari mana manusia
berasal, untuk apa manusia ada dan kemana setelah manusia tiada.
2. Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk
memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar
dalam kehidupan masyarakat. Pada penelitian ini yaitu rehabilitasi sosial yang
dilakukan oleh Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental Dharma
Guna Bengkulu.
3. Penyandang Disabilitas Mental
Penyandang disabilitas mental adalah seseorang yang mempunyai kelainan
mental atau tingkah laku karena pernah mengalami sakit jiwa yang oleh karenanya
merupakan rintangan atau hambatan baginya untuk melakukan pencarian nafkah
atau kegiatan kemasyarakatan. Penyandang disabilitas mental pada penelitian ini
yaitu berfokus pada penyandang disabilitas mental yang mengalami gangguan
skizofrenia di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental Dharma
Guna Bengkulu.

29
3.3 Teknik Penentuan Informan
Pada penelitian ini penentuan informan menggunakan teknik purposive
sampling, dimana menurut Sugiyono (2019) purposive sampling adalah teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan atau kriteria tertentu, oleh karena itu yang
akan menjadi informan pada penelitian ini adalah orang-orang yang memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1. Mengetahui dan memahami program terapi mental spiritual
2. Terlibat dalam pelaksanaan terapi mental spiritual
3. Penyandang disabilitas mental yang sedang mengikuti program terapi mental
spiritual
4. Bersedia untuk memberikan keterangan yang berkaitan dengan program
terapi mental spiritual
5. Seseorang atau individu yang beragama Islam
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam
penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa
mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data
yang memenuhi standar data yang ditetapkan (Sugiyono,2019). Teknik
pengumpulan data yang dilakukan peneliti pada penelitian ini yaitu:
1. Observasi
Observasi merupakan suatu kegiatan mendapatkan informasi yang diperlukan
untuk menyajikan gambaran riil suatu peristiwa atau kejadian untuk
menjawab pertanyaan penelitian, untuk membantu mengerti perilaku manusia
dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu
melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut. (Sujarweni,2014).
Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi terus-terang
atau tersamar yaitu peneliti dalam melakukan pengumpulan data menyatakan
terus terang kepada sumber data, bahwa peneliti sedang melakukan
penelitian. Mereka yang diteliti mengetahui sejak awal sampai akhir tentang
aktivitas peneliti. Tetapi dalam suatu saat peneliti juga tidak terus terang atau
tersamar dalam melakukan observasi, hal ini untuk menghindari suatu data

30
yang dicari merupakan data yang masih dirahasiakan. Peneliti
memberitahukan kepada pihak Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas Mental Dharma Guna Bengkulu bahwa peneliti sedang melakukan
observasi, dengan mengamati keadaan di BRSPDM tersebut, mengamati
program terapi mental spiritual, mengamati aktivitas penyandang disabilitas
mental, namun apabila hal yang diamati masih bersifat dirahasiakan, maka
peneliti melakukan observasi secara tersamar.
2. Wawancara
Esterberg (2002) dalam buku Sugiyono (2019) wawancara merupakan
pertemuan dua orang atau lebih untuk bertukar informasi dan ide melalui
tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik
tertentu. Melalui wawancara, peneliti dapat mengetahui hal-hal yang lebih
mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan
fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi.
Wawancara yang digunakan peneliti pada penelitian ini yaitu wawancara
semi-struktur. Sugiyono (2019) wawancara ini termasuk ke dalam kategori
in-depth interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila
dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuannya untuk menemukan
permasalahan secara terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta
pendapat dan ide-idenya. Peneliti mendengarkan secara teliti dan mencatat
apa yang dikemukakan oleh informan. Peneliti melakukan wawancara dengan
informan penelitian mengenai program terapi mental spiritual yang dilakukan
oleh Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental Dharma Guna
Bengkulu menggunakan pedoman wawancara sebagai acuan dalam
melakukan wawancara, namun tidak terlalu terpaku dengan pedoman
wawancara yang ada, beberapa pertanyaan yang diberikan kepada informan
bisa berkembang sesuai dengan kebutuhan, hal ini juga untuk menghindari
agar informan tidak merasa jenuh saat peneliti melakukan wawancara.
3. Studi Dokumentasi
Sujarweni (2014) studi dokumen merupakan metode pengumpulan data
kualitatif sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang

31
berbentuk dokumentasi. Sugiyono (2019) menjelaskan dokumen bisa
berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari seseorang.
Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan,
biografi, peraturan kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya
foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya,
misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film, dan lain-lain.
Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan
wawancara. Dokumen yang digunakan sebagai data yaitu berupa publikasi
resmi dari Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental, berupa
peraturan, foto kegiatan dan laporan kegiatan yang terkait dengan program
terapi mental spiritual.
3.5 Teknik Analisis Data
Analisis data Mudjia Rahardjo dalam buku Sujarweni (2014) merupakan
sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode
atau tanda, dan mengkategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan
berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab. Teknik analisis data yang
digunakan pada penelitian ini adalah analisis data menggunakan model Miles dan
Huberman. Milles dan Huberman (1987) dalam buku Sugiyono (2019)
mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara
interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya
sudah jenuh. Analisis data dilakukan secara bersama-sama dengan proses
pengumpulan data dengan alur tahapan sebagai berikut:
1. Reduksi Data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan
demikian data yang yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang
lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutya dan mencarinya bila diperlukan. Peneliti melakukan reduksi data
untuk memberikan gambaran yang jelas sehingga mempermudah peneliti
untuk melakukan pengumpulan data berikutnya, yaitu dengan memfokuskan
pada terapi mental spiritual yaitu dalam bentuk terapi spiritual islami yang

32
meliputi 3 tahapan penyucian jiwa yang dilakukan oleh Balai Rehabilitasi
Sosial Penyandang Disabilitas Mental Dharma Guna Bengkulu.
2. Penyajian Data
Penyajian data yakni menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun dan
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam
bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan
sejenisnya. Namun yang paling digunakan untuk menyajikan data dalam
penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan
mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang
terjadi, perencanaan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami
tersebut. Peneliti mendeskripsikan hasil penelitian di lapangan yang
dilakukan di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental Dharma
Guna Bengkulu yang telah direduksi dengan menggunakan bahasa yang
mudah dipahami untuk mempermudah melakukan penarikan kesimpulan.
3. Verifikasi/penarikan kesimpulan
Kegiatan penyimpulan merupakan langkah lebih lanjut dari kegiatan reduksi
dan penyajian data. Data yang sudah direduksi dan disajikan secara sistematis
akan disimpulkan sementara. Kesempatan yang diperoleh pada tahap awal
biasanya kurang jelas, tetapi pada tahap-tahap selanjutnya akan semakin tegas
dan memiliki dasar yang kuat. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih
bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang
kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi
apabila kesimpulan yang ditemukan pada tahap awal didukung oleh bukti-
bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan
mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan
kesimpulan yang kredibel atau dapat dipercaya.

33
BAB IV
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4. 1 Profil Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma


Guna” Bengkulu
4.1.1 Lokasi dan Jangkauan Pelayanan
Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma Guna”
Bengkulu berada di Jl. Raden Fatah No.45 RT.20 RW.06 Kelurahan Sumur Dewa
Kecamatan Selebar Kota Bengkulu 38211. Jangkauan pelayanan Balai
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma Guna” Bengkulu
meliputi sembilan provinsi di Pulau Sumatera, yaitu: Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu.
4.1.2 Sejarah Singkat Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas
Mental “Dharma Guna” Bengkulu
1. Didirikan atas usulan Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi Bengkulu.
Sebagaimana tertuang dalam SK Mensos RI No. 41/HUK/Kep/XI/1979.
2. Ditetapkan penggunaan lokasi untuk pendirian melalui SK Gubernur Kepala
Daerah Provinsi Bengkulu No. 61 Tahun 1985.
3. Kep. Mensos RI No. 6/HUK /1989 dengan nama Panti Rehabilitasi Penderita
Cacat Mental Eks Psikotik (PRPCMP).
4. Keputusan Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI
No. 06/KEP/BRS/IV/1994 berganti nama menjadi Panitia Sosial Bina Laras
“Dharma Guna”.
5. Kep Mensos RI No. 22/HUK/1995 Panitia Sosial Bina Laras “Dharma
Guna” Bengkulu langsung dibawah Direktorat Jenderal dan Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI dengan jangkauan wilayah
pelayanan seluruh provinsi di Sumatera.
6. Keppres No. 152/1992 tentang BKSN sebagai perangkat Pemerintah Pusat
pengganti Departemen Sosial RI. Panti Sosial Bina Laras “Dharma Guna”

34
Bengkulu langsung dibawah BKSN yang tertuang dalam Keputusan
Sekretaris Jenderal Departemen Sosial RI No. K/553/SJ12/1992.
7. Penetapan status Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial pada
Kabinet Gotong Royong yang tertuang dalam keputusan Mensos RI
No.06/HUK/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Panti di Lingkungan
Departemen Sosial.
8. Perubahan struktur Organisasi menjadi tipe A dengan Eselon jabatan Kepala
Panti menjadi III a, yang tertuang dalam Kep. Mensos RI No. 59/HUK/2003
tentang Organisasi dan Tata Kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen
Sosial RI.
9. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 106/HUK/2009 tentang organisasi dan
tata kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial RI.
10. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 18 Tahun 2018 tentang Organisasi dan
Tata Kelola Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas di Lingkungan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial.
4.2 Kedudukan, Tugas dan Fungsi Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas Mental “Dharma Guna” Bengkulu
4.2.1 Kedudukan
Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma Guna” di
Bengkulu merupakan UPT yang berada di bawah Direktorat Jenderal Rehabilitasi
Sosial Kementerian Sosial RI.
4.2.2. Tugas
Melaksanakan rehabilitasi sosial kepada Penyandang Disabilitas Mental (PDM)
4.2.3 Fungsi
Karakteristik dan fungsi utama BRSPDM “Dharma Guna” di Bengkulu :
1. Koordinator Program Regional
2. Pusat Penjangkauan
3. Pusat Respon Kasus dan Intervensi Krisis
4. Lembaga Percontohan
5. Pusat Penguatan Lembaga dan SDM
6. Pusat Pengembagan Model Layanan

35
4.3 Struktur dan Tata Kerja Lembaga
STRUKTUR ORGANISASI
BALAI REHABILITASI SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS
MENTAL “DHARMA GUNA”KOTA BENGKULU

KEPALA BALAI
Dardi, S.Sos

KEPALA SEKSI KASUB BAGIAN TATA


KEPALA SEKSI USAHA
REHABILITASI SOSIAL
ASESMEN DAN Haris Sulianto, SH
Joko Juniarto, S.ST
ADVOKASI SOSIAL
NIP. 196412081987021001
NIP. 197006101991031007
Kartika Ari Pratama, S.Psi

NIP. 198501012009021003 STAFF :


STAFF :
1.Sri Martini
1. Edi Hariyadi, SE
STAFF: NIP. 197006081994032002
NIP. 196402111987021001
1. Imi Fitriah, MPS.Sp 2.Wahyu Ari Wibowo, SE
NIP.196601081993032001 2. Dwi Sukma Oktaviani, S.Psi
NIP. 198703312009121001
2.Darwanti, MPS.Sp NIP. 198410082009122001
3.Tri Artarina, S.I.Kom.
NIP. 196910131998032001 3. Leni Marlina, MPS.Sp
NIP. 198709022010122002
3.Triyoni Rakhmawati,S.ST NIP. 197803012008012017
4. Yosi Yomarta, SH
NIP. 197511222008012006 4. Robin Hood, S.Sos.I
NIP. 197703282008011007
4. Dilin NIP. 198411042010121001
5. Nova Rustanti
5. Elvis Srirahmi, S.Kep
NIP. 197811252009112001
NIP. 198305242005022001c
6.Eko Agusfian.
6. Marvikatin, S.ST
NIP. 197308112006041009
NIP. 197908302009122001
7.Sasdiarman
7. Mimi Wijayanti, S.Sos
NIP. 197402162008111001
NIP. 198709022010122002

8. Sunardi, S.Kep

36
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya BRSPDM “Dharma Guna”
Bengkulu memiliki kekuasaan personil sebanyak 54 orang yang terdiri dari :
1. Pegawai Negeri Sipil : 40 Orang. Yang dimana terdiri dari :
a. Berdasarkan pangkat golongan
1) Golongan IV : 1 orang
2) Golongan III : 24 orang
3) Golongan II : 14 orang
4) Golongan I : 1 orang
b. Berdasarkan jenis kelamin
1) Laki-laki : 21 orang
2) Perempuan : 19 orang
c. Berdasarkan komposisi jabatan
1. Jabatan Fungsional Umum : 23 orang
2. Jabatan Fungsional Khusus : 17 orang
a) Pekerja Sosial Muda : 2 orang
b) Pekerja Sosial Pertama : 3 orang
c) Pekerja Sosial Pelaksana Pemula : 2 orang
d) Penyuluhan Sosial Muda : 1 orang
e) Penyuluh Sosial Pertama : 2 orang
f) Perencana Pertama : 1 orang
g) Pranata Komputer Pelaksana : 1 orang
h) Perawat Ahli Pertama : 1 orang
i) Calon Perawat Pelaksana : 3 orang
j) Instruktur Terampil : 1 orang
2. Pekerja dari luar balai 16 orang yang terdiri dari instruktur terapi fisik,
instruktur terapi mental spiritual, instruktur terapi psikososial, dan instruktur
terapi penghidupan.

4.4 Visi, Misi, Motto Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas


Mental “Dharma Guna” Bengkulu
4.4.1 Visi
Mewujudkan BRSPDM “Dharma Guna” Bengkulu sebagai Lembaga
penyelenggara rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas mental secara
holistik ,sistematik, terstandar, terpercaya dan profesional.

37
4.4.2 Misi
1. Peningkatan penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi sosial sesuai Standar
Operasional Prosedur (SOP).
2. Penyelenggaraan fungsi promotif lembaga secara optimal dan pengembangan
jaringan kerja dalam penyelenggaraan rehabilitasi sosial.
3. Peningkatan profesionalitas sumber daya manusia dan optimalisasi
pemanfaatan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan rehabilitasi sosial.
4.4.3 Motto
Kami Melayani, Keluarga Mendukung, Masyarakat Menerima.
4.5 Fasilitas dan Prasarana
Lahan seluas 49.967m2, Luas bangunan 4.428 m2 yang terdiri dari :
● Kantor
● Bengkel Kerja
● Gedung Poliklinik
● Rumah Ibadah
● Gedung Pertemuan/Aula
● Gedung Pendidikan
● Gedung Pos Jaga
● Gedung Perpustakaan
● Gedung Observasi
● Gedung Konsultasi
● Tempat Makan/Dapur
● Gedung Komunikasi
● Rumah Dinas
● Guest House
● Asrama
● Gazebo
● MCK
● Lahan Mix Farming
● Lapangan Olahraga/Bola Voly
● Lapangan Bulu Tangkis

38
4.6 Prosedur Pelayanan
4.6.1 Syarat-syarat Penerimaan
A. Persyaratan Administrasi
1. Surat permohonan tertulis dari orang tua atau wali kepada Kepala Balai
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma Guna”
Bengkulu.
2. Surat Pernyataan dan surat perjanjian bermaterai yang diisi dan
ditandatangani oleh orang tua/wali (formulir disiapkan oleh BRSPDM
“Dharma Guna” Bengkulu).
3. Surat keterangan dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) atau Dokter Jiwa yang
menyatakan tenang secara medis disertai data diagnosa dokter dan terapi
terakhir.
4. Surat keterangan berbadan sehat dari dokter umum (tidak cacat ganda dan
tidak berpenyakit menular)
5. Surat pengantar dari dinas sosial kabupaten/kota setempat.
6. Surat rujukan dari LKS/Panti/Dinas Sosial yang menyatakan calon PM
telah menerima layanan Rehabilitasi Sosial tingkat Dasar.
7. Kartu BPJS asli yang bersangkutan.
8. Photo copy kartu keluarga.
9. Photo copy KTP calon penerima manfaat dan penanggung jawab PM.
10. Pas Photo berwarna 4x6 sebanyak 3 (tiga) buah.
11. Photo seluruh badan 2 (dua) buah.
12. Usia 15 s/d 60 tahun.
13. Meterai Rp. 6000,- sebanyak 2 buah.
B. Persyaratan Teknis
1. Tidak disabilitas intelektual (retardasi mental), tidak epilepsi dan tidak
disabilitas ganda.
2. Tidak menderita penyakit menular.
3. Masih mempunyai potensi yang memungkinkan untuk dikembangkan.
4. Calon PM diantar langsung oleh petugas dinas
sosial/keluarga/wali/penanggung jawab.

39
4.6.2 Lama pelayanan
1. Layanan diberikan selama 6 bulan.
2. Pelayanan bisa diputuskan jika penerima manfaat sering meninggalkan balai
tanpa sepengetahuan petugas dan tidak bisa atau tidak mau mengikuti
program pelayanan.
4.6.3 Sasaran Pelayanan
1. Penyandang Disabilitas Mental (PDM) yang berusia 15 s.d 60 tahun
2. Keluarga Dan Masyarakat (Lingkungan Sosial)
3. Dinas Sosial, Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS), Rumah Sakit Jiwa,
Organisasi Sosial dan Dunia Usaha
4.7 Model Intervensi
4.7.1 Jenis Kegiatan
1. Pelayanan Terapi Rehabilitasi Sosial secara menyeluruh dan terpadu :
● Registrasi
● Orientasi
● Pengasramaan
● Permakanan
● Terapi fisik, mental spiritual, psikososial, dan terapi penghidupan
● Pelayanan Kesehatan
● Konseling dan terapi kelompok
● Pendampingan
● Kegiatan outbond, widyawisata, perayaan hari besar keagamaan dan
nasional
● Day care
● Rumah perlindungan sementara ((RPS)
● Peer support
2. Terapi penghidupan
● Assessment vokasional
● Pelatihan keterampilan : pertanian/hidroponik, tata boga, pertukangan
kayu, pertukangan batu/sanitair, perikanan, menjahit, sapu keset, las listrik,
anyaman, kerajinan lokal.

40
● Bina kewirausahaan : ternak, perikanan, usaha telur asin, tanaman hias,
sirup kalamansi.
3. Bimbingan dan pelatihan orang tua Penerima Manfaat
● Pertemuan orang tua klien/penerima manfaat (POTK)
● Parenting skill/family support
4. Penyuluhan dan bimbingan sosial masyarakat
● Publikasi dan promosi
● Sosialisasi/desiminasi program
5. Penataan data rehabilitasi dan kajian evaluatif
6. Melakukan pembentukan jaringan
7. Pemberian bantuan stimulan dan usaha ekonomis produktif
8. Melakukan kegiatan penjangkauan melalui :
● Program Home Care
● Program respon kasus/TRC
● Rehabilitasi Sosial Berbasis Keluarga (RSBK)
9. Studi banding
10. Pelatihan teknis
11. Memberikan kesempatan kepada lembaga penelitian / perguruan tinggi untuk
melakukan riset
4.7.2 Tahapan Kegiatan
Adapun tahapan kegiatan yang ada di Balai Rehabilitasi sosial penyandang
disabilitas Mental “Dharma Guna” Bengkulu, sebagai berikut :
1. Pendekatan awal
2. Pengungkapan dan pemecahan masalah
3. Penyusunan rencana pemecahan masalah
4. Pemecahan masalah
5. Resosialisasi
6. Terminasi
7. Pembinaan lanjut

41
4.8 Sumber Pendukung Pelayanan
Sumber pendanaan Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental
“Dharma Guna” Bengkulu berasal langsung dari Kementerian Sosial RI yang
termasuk ke dalam anggaran APBD.

42
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian


Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Pada bab ini
peneliti akan memaparkan hasil penelitian dan pembahasan dari program terapi
mental spiritual dalam rehabilitasi sosial penyandang disabilitas mental. Penelitian
ini dilaksanakan pada bulan Juni dan Agustus. Peneliti melakukan pengumpulan
data di lapangan menggunakan teknik observasi, wawancara dan studi
dokumentasi. Hasil penelitian yang didapat kemudian dianalisis oleh peneliti
untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian, sebagaimana yang sudah
dirumuskan pada latar belakang penelitian.
5.1.1 Karakteristik Informan
Teknik yang digunakan dalam menentukan informan pada penelitian ini
yaitu menggunakan teknik purposive sampling (sampel bertujuan) dimana
informan yang dipilih adalah atas dasar tujuan tertentu yang benar-benar sesuai
dengan kriteria informan penelitian. Dari hasil penelitian didapatkan 11 (sebelas)
orang informan yang meliputi 1 orang pendamping program terapi mental
spiritual, 2 orang instruktur terapi mental spiritual, 2 orang pekerja sosial, 1 orang
kepala bidang rehabilitasi sosial, dan 5 orang penyandang disabilitas mental.
Karakteristik informan pada penelitian ini yaitu dapat dilihat berdasarkan umur,
jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan.
5.1.1.1 Karakteristik Informan Berdasarkan Umur
Karakteristik informan berdasarkan umur yang didapatkan berdasarkan
hasil wawancara yaitu sebagai berikut:
Tabel 5. 1 Karakteristik Informan Berdasarkan Umur

No Nama Informan Umur (Tahun)


1. JJ 51
2. RH 37
3. AH 36

43
4. MM 25
5. MW 34
6. EA 23
7. MG 30
8. SK 41
9. GG 27
10. PD 22
11. AD 43
Sumber: Hasil Penelitian Juni dan Agustus 2021
Dari tabel 5.1 dapat dilihat bahwa usia informan pada penelitian ini
bervariasi, mulai dari usia informan yang paling muda yaitu 22 tahun yang
merupakan penyandang disabilitas mental atau penerima manfaat sedangkan usia
yang yang paling tua yaitu 51 tahun yang merupakan kepala bidang rehabilitasi
sosial. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa usia informan pada penelitian ini
mulai dari usia 22-51 tahun.
5.1.1.2 Karakteristik Informan Berdasarkan Jenis Kelamin
Karakteristik informan berdasarkan jenis kelamin yang didapatkan dari
hasil wawancara dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5. 2 Karakteristik Informan Berdasarkan Jenis Kelamin

No Nama Informan Jenis Kelamin

1. JJ Laki-laki
2. RH Laki-laki
3. AH Laki-laki
4. MM Laki-laki
5. MW Perempuan
6. EA Perempuan
7. MG Perempuan
8. SK Perempuan
9. GG Laki-laki

44
10. PD Laki-laki
11. AD Laki-laki
Sumber: Hasil Penelitian Juni dan Agustus 2021
Dari tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa informan penelitian yang
berjumlah 11 orang, terdiri dari 7 orang informan laki-laki yang meliputi 1 orang
pendamping program terapi mental, 2 orang instruktur terapi mental spiritual, 1
orang kepala bidang rehabilitasi sosial, dan 3 orang penyandang disabilitas
mental/penerima manfaat, kemudian 4 orang informan perempuan yang meliputi 2
orang pekerja sosial dan 2 orang penyandang disabilitas mental/penerima manfaat.
5.1.1.3 Karakteristik Informan Berdasarkan Pendidikan
Karakteristik informan berdasarkan pendidikan yang didapatkan dari hasil
wawancara dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5. 3 Karakteristik Informan Berdasarkan Pendidikan

No Nama Informan Pendidikan


1. JJ Sarjana
2. RH Sarjana
3. AH Magister
4. MM Sarjana
5. MW Sarjana
6. EA SMK
7. MG SMP
8. SK SD
9. GG Sarjana
10. PD SMP
11. AD SD
Sumber: Hasil Penelitian Juni dan Agustus 2021
Dari tabel 5.3 dapat dilihat tingkat pendidikan masing-masing informan
berbeda beda atau bervariasi, diantaranya 2 orang informan yang pendidikan
terakhirnya SD yang merupakan penyandang disabilitas mental/penerima
manfaat, 2 orang informan pendidikan terakhirnya SMP yaitu penyandang

45
disabilitas mental/penerima manfaat, 1 orang pendidikan terakhirnya SMK
Pekerja Sosial yaitu pekerja sosial, 5 orang informan pendidikannya sarjana
diantaranya 1 orang kepala bidang rehabilitasi sosial, 1 orang pendamping
program terapi mental spiritual, 1 orang instruktur program terapi mental
spiritual, 1 orang pekerja sosial dan 1 orang penyandang disabilitas
mental/penerima manfaat, kemudian terdapat 1 orang informan yang pendidikan
terakhirnya magister yaitu instruktur terapi mental spiritual.
5.1.1.4 Karakteristik Informan Berdasarkan Pekerjaan
Karakteristik informan berdasarkan pekerjaan yang didapatkan dari hasil
wawancara dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5. 4 Karakteristik Informan Berdasarkan Pekerjaan

No Nama Informan Pekerjaan/Jabatan


1. JJ Kepala Bidang Rehabilitasi
Sosial
2. RH Pembina Mental (Pendamping
Program Terapi Mental Spiritual)
3. AH Instruktur Program Terapi
Mental Spiritual (Ruqyah)
4. MM Instruktur Program Terapi
Mental Spiritual (Mengaji)
5. MW Pekerja Sosial
6. EA Pekerja Sosial
7. MG Ibu Rumah Tangga
(PDM/Penerima Manfaat)
8. SK Pedagang (PDM/Penerima
Manfaat)
9. GG Petani (PDM/Penerima Manfaat)
10. PD Petani (PDM/Penerima Manfaat)
11. AD Petani (PDM/Penerima Manfaat)
Sumber: Hasil Penelitian Juni dan Agustus 2021

46
Dari tabel 5.4 menunjukkan bahwa informan pada penelitian ini meliputi
1 orang kepala bidang rehabilitasi sosial, 1 orang pendamping program terapi
mental spiritual, 2 orang instruktur program terapi mental spiritual, 2 orang
pekerja sosial dan 5 orang penyandang disabilitas mental/penerima manfaat.
5.1.2 Program Terapi Mental Spiritual dalam Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas Mental
Terapi mental spiritual berdasarkan kementerian sosial merupakan terapi
untuk menyelaraskan pikiran, tubuh dan jiwa dalam upaya mengatasi kecemasan
dan depresi, menggunakan nilai-nilai moral, spiritual dan agama yang ditujukan
untuk membangun mental dan kehidupan spiritual lebih baik. Terapi ini
dimaksudkan agar penerima manfaat mengalami perubahan yaitu pemulihan dan
pengembangan fungsi sosial sehingga penerima manfaat dapat kembali
berkontribusi atau berpartisipasi dalam lingkungannya. Hal ini sesuai dengan
rehabilitasi sosial yang dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembalikan
kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan
fungsi sosialnya secara wajar.
Terapi mental spiritual ini merupakan salah satu bentuk rehabilitasi sosial
yang diberikan kepada penyandang disabilitas mental di BRSPDM “Dharma
Guna” Bengkulu, sebagaimana bahwa rehabilitasi sosial ini merupakan proses
refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan hal demikian melalui rehabilitasi sosial ini merupakan suatu upaya
untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan penyandang disabilitas
mental untuk mengembalikan keberfungsian sosialnya yang mengalami disfungsi
sosial, dalam hal ini salah satu bentuk rehabilitasi sosial yang diberikan kepada
penyandang disabilitas mental sebagai penerima manfaat yaitu terapi mental
spiritual.
Selain itu juga bahwa untuk mengembalikan keberfungsian sosial, intervensi
pekerjaan sosial memiliki ke khasannya, yaitu pekerjaan sosial berfokus pada
aspek biopsikososial spiritual. Perlu diketahui bahwa spiritualitas juga dapat
menjadi peluang penyelesaian masalah, sebab spiritual adalah aspek kebutuhan

47
manusia. Hampir semua orang berhubungan dengan intense dengan isu-isu
spiritualitas dalam kehidupannnya. Meskipun dengan cara dan jalan yang berbeda.
Setiap manusia jelas membutuhkan sandaran spiritual untuk menjalani kehidupan
yang lebih baik, lebih tegar, bermakna dan memiliki tujuan (Syamsuddin dan
Azlinda Azman, 2012). Maka dari itu adanya terapi mental spiritual untuk
memenuhi kebutuhan spiritual penyandang disabilitas mental agar dapat berfungsi
sosial.
Adapun program terapi mental spiritual yang dilakukan dalam upaya
rehabilitasi sosial untuk mengembalikan keberfungsian sosial penyandang
disabilitas mental di BRSPDM “Dharma Guna” Bengkulu yaitu terapi mental
spiritual secara Islami yang merupakan suatu pengobatan atau penyembuhan
gangguan psikologis yang dilakukan secara sistematis dengan berdasarkan kepada
konsep al qur‟an dan as sunnah, yang meliputi 3 tahapan pensucian jiwa
diantaranya, takhalli (pensucian diri), tahalli (pengembangan diri), dan tajalli
(penemuan diri).
5.1.2.1 Tahkalli (Pensucian Diri)
Takhalli (pensucian diri) merupakan tahapan yang bertujuan untuk
membersihkan diri dari sifat-sifat buruk, negatif thinking, dan segala macam
kebiasaan-kebiasaan buruk yang dilakukan manusia. Takhalli (pensucian diri) ini
dimaksudkan untuk mensucikan diri penerima manfaat, membersihkan dari sifat-
sifat tercela, berbagai penyakit-penyakit mental. Seperti yang diungkapkan oleh
informan RH:
“Takhalli (pensucian diri) ini merupakan suatu tahapan untuk mensucikan
diri para penerima manfaat dari berbagai hal-hal yang tidak baik, baik dari
perbuatan-perbuatan yang syirik, sifat-sifat yang tidak baik. Pensucian diri
ini merupakan tahapan untuk mensucikan mental, jiwa, maupun pikiran
penerima manfaat. Tujuan dari pensucian diri ini sendiri yaitu untuk
mensucikan atau membersihkan diri penerima manfaat dari hal-hal yang
tidak baik, seperti jimat-jimat, santet, dan yang lain sebagainya,
membebaskan mereka dari perbuatan-perbuatan yang menduakan atau
mendustakan Allah, membebaskan mereka dari gangguan-gangguan
makhluk halus dan penyakit-penyakit yang ada dalam diri penerima
manfaat”.

48
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa takhalli (pensucian diri)
yang diberikan kepada penyandang disabilitas mental sebagai penerima manfaat
yang menjalani rehabilitasi sosial di BRSPDM ini yaitu dalam bentuk ruqyah,
ruqyah merupakan bentuk psikoterapi Islam yang penerapannya menggunakan
bacaan-bacaan ayat suci Al-Qur‟an dan berbagai sentuhan tangan serta tiupan
yang dapat dilakukan secara mandiri oleh diri sendiri dan dapat juga juga
diterapkan oleh psikoterapis kepada klien yang membutuhkan yang bertujuan
untuk mengatasi masalah kejiwaan yang dialami manusia (Reza,2016). Sebelum
memulai ruqyah penyandang disabilitas mental dipersilahkan berwudhu terlebih
dahulu. Kegiatan ruqyah ini dilakukan secara rutin satu minggu sekali setiap hari
selasa pukul 14.00-15.00 WIB yang lansung dipandu oleh instruktur ruqyah yaitu
ustadz yang memang ahli dalam bidang ruqyah. Adapun tujuan dari ruqyah
dijelaskan oleh informan RH:
“Penerima manfaat ini kita ruqyah agar mereka ini dirinya menjadi bersih,
agar tidak ada lagi gangguan-gangguan makhluk halus yang mengganggu
para penerima manfaat, kemudian untuk mengurangi gangguan mental
yang dialami oleh penerima manfaat dan memberikan kesadaran diri dan
ketenangan kepada penerima manfaat”.
Selain itu, hasil wawancara yang didapatkan dari informan AH sebagai
instruktur kegiatan ruqyah yaitu:
“Ruqyah ini merupakan suatu pengobatan dengan ayat-ayat AL-Qur‟an
yang tidak hanya diberikan untuk penyakit medis saja namun juga
penyakit non medis, tidak hanya penyakit biologis tetapi juga penyakit
batin. Seperti ruqyah yang diberikan kepada penerima manfaat ayat-ayat
yang diberikan yang dibacakan kepada penerima manfaat sesuai dengan
penyakit masing-masing penerima manfaat itu sendiri. Penerima manfaat
ini di ruqyah karena penerima manfaat di brspdm merupakan orang yang
dalam kondisi tidak normal terutama jiwanya, maka dari itu tujuannya
dengan dibacakan ayat-ayat Allah mudah-mudahan jiwanya mendapatkan
ketenangan, menjauhkan kegelisahan, karena sebagian besar penerima
manfaat sering mendengar bisikan, baik bisikan untuk ke arah positif
maupun negatif. Dengan demikian setelah diruqyah secara rutin penerima
manfaat menjadi lebih tenang, dirinya menjadi suci, terbebas dari
gangguan-gangguan makhluk halus, maupun perbuatan-perbuatan mereka
yang tidak baik, tidak terlalu sering mengalami kekambuhan, karena selain
diberikan obat medis dengan diberikan ruqyah mereka menjadi lebih
tenang”.

49
Dari hasil observasi yang dilakukan peneliti bahwa selama kegiatan
ruqyah berlangsung terdapat beberapa penyandang disabilitas mental yang main-
main, tidak memperhatikan, sibuk sendiri, berbicara dengan penyandang
disabilitas mental yang lainnya, bahkan keluar masuk mushola tempat ruqyah
dilaksanakan. Hal ini merupakan suatu hambatan sebagaimana yang diungkapkan
oleh informan RH:
“kalau untuk hambatan selama kegiatan yaa PM ini lah, kadang mereka
main-main, keluar masuk, alasannya mau wudhu lagi, mau manggil teman,
tapi tidak balik-balik lagi, pada saat mau kegiatan juga masih perlu terus
diingatkan, dipantau, karena kesadaran dari diri mereka sendiri untuk
mengikuti kegiatan itu masih kurang. Kemudian juga pelaksanaannya yang
cuma dilakukan satu kali satu minggu sebenarnya waktunya itu kurang,
tapi mau bagaimana untuk hari-hari lain juga sudah ada jadwal kegiatan
yang lain”.
Kemudian informan AH selaku instruktur ruqyah juga mengatakan:
“kalau hambatan selama kegiatan yaa seperti yang bisa dilihat, penerima
manfaat masih banyak yang main-main, tidak serius, ngomong sama
temannya. Tapi yaa mau bagaimana lagi saya juga tidak bisa marah,
karena kan mereka mengalami gangguan mental mungkin juga karena
faktor obat. Saya Cuma bisa mengingatkan dan menegur saja. Kemudian
juga waktunya kurang sebenarnya kalau untuk mereka yang gangguan
mental ini hanya satu kali dalam satu minggu”.
Adapun perkembangan atau perubahan pada penyandang disabilitas
mental setelah mengikuti kegiatan terapi mental spiritual yaitu di ruqyah setelah
beberapa bulan dapat dilihat berdasarkan yang dikatakan oleh informan AH dan
informan RH:
“kalau untuk perkembangannya baik, sedikit banyaknya penerima manfaat
sudah lebih baik dari awal dia direhab (informan AH)”.
“setelah beberapa kali di ruqyah, terdapat perubahan pada penerima
manfaat, penerima manfaat menjadi lebih tenang, sifat-sifat yang tidak
baik mulai hilang, sudah tidak sering lagi kambuh (informan RH)”.
Adapun hal yang dirasakan oleh penyandang disabilitas mental atau
penerima manfaat setelah diruqyah yaitu seperti yang dikatakan oleh informan
GG:
“setelah di ruqyah saya merasa badan lebih legah, lebih ringan, rasanya
enak aja gitu kalau selesai di ruqyah itu. Saya senang diruqyah karena bisa
mengusir setan-setan dan jin-jin jahat maupun penyakit-penyakit yang ada

50
di dalam diri saya dengan dibacakan do‟a do‟a sama ustadz ruqyah itu, jadi
pikiran saya menjadi lebih positif, tidak lagi mikir yang aneh-aneh. Jadi
saya merasa diri saya itu lebih bersih, pikiran saya juga menjadi lebih
bersih, makanya saya senang mengikuti kegiatan ruqyah”.
Informan PD juga mengungkapkan perasaannya setelah mengikuti
kegiatan ruqyah:
“kalau kegiatan dari terapi mental spiritual tu yang aku senangi ruqyah
yuk. Karno pas udah di ruqyah tu rasonyo enak ajo cak itu, terus jugo
dengan ruqyah ko bisa membantu aku menghilangkan sifat-sifat yang
tidak baik, terus jugo membersihkan diri dari gangguan-gangguan setan,
gangguan jin-jin yang berniat jahat ke kito. Karno kadang tu aku meraso
cak ado yang mengendalikan diri aku cak itu nah yuk. Nah kalau udem di
ruqyah tu jadi lebih tenang cak itu nah”.
Informan AD juga mengatakan hal yang sama:
“amau udim di ruqyah tu asau au lemak, bersih asau au diri kitau ni, ndik
diau agi apau peghasawan ndik lemak, trus kadang tu pikiran diau aneh-
aneh, amau adau gangguan jin atau setan tu pas ruqyah kitau tu temutah,
aku pernah luk itu, di ruqyah tu dibacau kah ayat-ayat suci dengan ustadz
tu, tapi lemak nian asau badan udim di ruqyah tu”.
Informan MG dan SK juga mengatakan :
“kalau di ruqyah tu dek kita dibacakan ayat-ayat Al-Qur‟an sama ustadz
yang meruqyah tu, trus kita ditanya keluhan apa, apa yang dirasakan, kita
disuruh muntah sama ustadz ruqyah tu. Enak dek di ruqyah tu, karena
ruqyah itu kan mengeluarkan setan-setan jahat diri kita supaya tidak
diganggu, trus juga membersihkan diri kita dari perbuatan yang nggak
baik, dari ucapan yang kotor, dari penyakit batin. Jadi kalau sudah di
ruqyah diri kita itu menjadi bersih dek (informan MG)”.
“kalau saya sendiri setelah di ruqyah itu biasa aja, katanya kan untuk
membersihkan diri kita dari setan-setan yang mengganggu, jadi diri kita
menjadi lebih nyaman, lebih enak (informan SK)”.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan beberapa informan diatas,


maka dapat disimpulkan bahwa pensucian diri yang diberikan kepada penyandang
disabilitas mental atau penerima manfaat yang menjalani rehabilitasi sosial di
BRSPDM yaitu dalam bentuk kegiatan ruqyah. Hasil penelitian melalui
wawancara yang dilakukan peneliti kepada informan, bahwa dengan ruqyah ini
merupakan untuk membersihkan diri penerima manfaat dari sifat-sifat dan
perbuatan-perbuatan yang tidak baik, dari gangguan-gangguan setan maupun jin,
serta dari gangguan mental yang mereka alami. Ruqyah ini cukup bermanfaat

51
untuk penyandang disbailitas mental, karena berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa beberapa penyandang disabilitas mental merasa lebih baik
lebih tenang. Namun tidak semua merasa demikian terdapat juga penyandang
disabilitas mental yang tidak merasakan apa-apa, bahkan belum memahami secara
benar tujuan mereka diruqyah tersebut untuk apa.
5.1.1.2 Tahalli (Pengembangan Diri)
Tahalli (pengembangan diri) merupakan suatu tahapan untuk
mengembangkan diri, mengembangkan potensi-potensi baik yang dimiliki oleh
penyandang disabilitas mental atau penerima manfaat, yang mungkin sebelumnya
potensinya sudah ada, kemudian melalui program terapi mental spiritual ini di asa
kembali ditingkatkan kembali supaya potensi yang dimiliki penyandang
disabilitas mental atau penerima manfaat ini mampu di jalankan lagi. Melalui
pengembangan diri ini penyandang disabilitas mental atau penerima manfaat
diajarkan untuk melakukan sifat-sifat terpuji sebagaimana ajaran agama. Seperti
yang diungkapkan oleh informan RH:
“Pengembangan diri ini merupakan tahapan untuk mengembangkan diri
penerima manfaat, mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri
penerima manfaat yang tujuannya untuk memaksimalkan lagi kemampuan
mereka dalam beragama misalnya dalam membaca Al-Qur‟an, Adzan,
Sholat dan yang lainnya. Mengasah kembali potensi-potensi yang ada pada
di penerima manfaat agar pada saat mereka sudah mau dipulangkan
mereka sudah mempunyai bekal ilmu agama”.
Begitupun seperti yang diungkapkan oleh informan MW:
“di brspdm ini potensi-potensi positif yang dimiliki penerima manfaat kita
kembangkan lagi, kita asah kembali, mungkin ada dari mereka yang
dulunya paham sekali akan agama, yang ngajinya bagus, nah di brspdm ini
kita matangkan lagi potensi-potensi penerima manfaat itu”.
Pengembangan diri penyandang disabilitas mental atau penerima manfaat
yang menjalani rehabilitasi sosial di BRSPDM Dharma Guna Bengkulu dilakukan
dalam bentuk kegiatan mengaji dan hafalan surat pendek, yang dilakukan rutin
setiap hari malam Senin-Kamis setelah Sholat Maghrib bersama, masing-masing
penerima manfaat mengaji dan hafalan surat pendek sesuai kemampuan mereka.
Hasil wawancara dengan informan RH:

52
“kalau untuk mengembangkan potensi penerima manfaat dalam hal ini
potensi yang berhubungan dengan agama yaitu kita berikan kegiatan
mengaji dan hafalan surat-surat pendek, yang kita lakukan setiap malam
senin sampai malam kamis setelah sholat maghrib langsung dengan
instruktur kegiatan mengajinya. Karena ada beberapa penerima manfaat
yang suka mengaji atau ada yang awalnya sudah lancar membaca AL-
Qur‟an namun sudah lupa-lupa, nah melalui kegiatan ini kita kembangkan
lagi potensi-potensi positif mereka”.
Hal ini senada juga dengan yang diungkapkan oleh informan MM yang
mengatakan:
“iya di BRSPDM ini kita ada kegiatan mengaji yang kita lakukan setiap
malam senin sampai malam kamis setelah Sholat Maghrib. Masing-masing
penerima manfaat ini mengajinya macam-macam ada yang Iqro ada juga
yang Al-Qur‟an. Selain itu juga ada hafalan surat pendek, jadi setelah
mereka mengaji kemudian setoran hafalan surat pendek yang mereka
hafal”.
Adapun manfaat terapi mental spiritual dalam bentuk kegiatan mengaji ini
untuk penyandang disabilitas mental atau penerima manfaat yaitu seperti yang
dikatakan oleh informan MM:
“mereka para penerima manfaat ini perlahan mengenal yang namanya
bersuci, kemudian dari segi ibadah mereka sudah mulai memahami, yang
awalnya tidak paham menjadi paham secara perlahan, yang awalnya tidak
bisa mengaji menjadi bisa walaupun belum terlalu lancar, yang
sebelumnya memang sudah bisa membaca Al-Qur‟an namun sudah lupa-
lupa karena sudah lama tidak diulang menjadi lancar lagi. selain itu juga
mereka menjadi mempunyai hafalan, yaitu surat-surat pendek walaupun
tidak semua penerima manfaat mempunyai hafalan yang banyak, yahh
paling tidak mereka sudah pada hafal beberapa surat-surat pendek”.
Kemudian informan RH juga mengatakan :
“dengan adanya kegiatan mengaji ini mereka perima manfaat ini bisa
belajar mengaji, melancarkan bacaan mereka baik yang Iqro maupun yang
Al-Qur‟an, selain itu juga mereka itu diberikan hafalan-hafalan oleh
ustadznya, dengan demikian mereka memiliki hafalan, hafalan yang
diberikan itu berupa surat-surat pendek”.
Selain kegiatan mengaji dan hafalan surat pendek yang dilakukan rutin
setiap malam Senin-Kamis, untuk mengembangkan diri penyandang disabilitas
mental, para penyandang disabilitas mental diajak dan diajarkan juga untuk
sholat berjama‟ah, kemudian untuk penyandang disabilitas mental atau penerima

53
manfaat yang bisa adzan juga diberikan kesempatan untuk adzan sebagai upaya
untuk mengembangkan diri, mengembangkan potensi positif yang ada dalam diri
penyandang disabilitas mental atau penerima manfaat. Hal ini diperkuat dengan
hasil wawancara peneliti dengan informan RH selaku pendamping program terapi
mental spiritual:
“untuk mengembangkan diri penyandang disabilitas mental atau penerima
manfaat yaitu mengembangkan potensi yang ada pada diri penerima
manfaat, kita juga memberikan kesempatan kepada para penerima manfaat
untuk adzan bagi yang bisa adzan, kemudian kita juga melakukan sholat
berjama‟ah, disamping kegiatan mengaji dan hafalan-hafalan surat-surat
pendeknya, yang dimana kegiatan-kegiatan ini tujuannya untuk
mengembangkan potensi positif yang ada pada diri penerima manfaat
kita”.
Dari hasil observasi yang dilakukan peneliti bahwa terdapat hambatan
dalam pelaksanaan terapi mental spiritual yaitu kegiatan mengaji dan hafalan surat
pendek yaitu respon penyandang disabilitas mental itu sendiri, karena pelaksanaan
kegiatan mengaji dan hafalan surat pendek ini dilakukan malam hari, jadi pada
saat kegiatan ada beberapa informan yang tidur. Selain itu juga mengenai
hambatan yang dialami dijelaskan oleh informan MM:
“kalau pada saat kegiatan ada beberapa penerima manfaat ini yang tidur,
jadi mereka tidak ikut mengaji maupun hafalan, ada juga yang tidak datang
ke mushola. Sebenarnya tidak bisa dipungkiri juga, karena mereka ini
masih rutin minum obat, setelah makan malam itu mereka minum obat,
jadi kebanyakan itu mereka tidur karena pengaruh obat yang bikin
ngantuk. Kemudian untuk waktu juga sebenarnya kurang, dengan waktu
yang hanya beberapa bulan belum terlalu maksimal, namun saya tetap
berusaha sebaik mungkin untuk penerima manfaat agar mereka lebih baik
lagi”.
Mengenai hambatan pada kegiatan terapi mental spiritual yaitu mengaji
dan hafalan juga dijelaskan oleh informan RH:
“kalau untuk hambatan yaa sebenarnya di PM itu lagi juga, ada beberapa
PM itu tidur pada saat kegiatan, kadang juga ada yang setelah Sholat
Maghrib itu langsung balik ke asrama dan tidak balik lagi ke mushola.
Kemudian juga di waktu sebenarnya. Waktunya ini kurang, itulah kenapa
kegiatan mengaji ini dilaksanakan malam, karena kalau untuk siang jadwal
PM ini sudah padat, ada terus kegiatan setiap hari”.

54
Adapun perkembangan atau perubahan pada penyandang disabilitas
mental atau penerima manfaat setelah mengikuti program terapi mental spiritual
yaitu mengaji dan hafalan surat pendek dijelaskan oleh informan MM dan
informan RH:
“perkembangannya baik, dari yang awalnya tidak bisa mengaji menjadi
bisa mengaji, atau yang sudah bisa mengaji namun sudah lupa-lupa dan
tidak lancar lagi menjadi lancar lagi, kemudian penerima manfaat yang
awalnya tidak ada hafalan menjadi punya hafalan, walaupun surat pendek
yang dihafal tidak banyak. Ada beberapa penerima manfaat yang pada saat
awal masuk brspdm masih Iqra dan sekarang sudah Al-Qur‟an, bacaannya
menjadi lebih fasih, kemudian ada juga penerima manfaat yang hafalan
surat pendeknya sudah banyak (informan MM)”.
“perkembangannya rata-rata baik, terutama penerima manfaat yang
memang sudah ada potensi, jadi tinggal diasah lagi aja, penerima manfaat
juga lebih banyak hafal surat-surat pendek, yang awalnya cuma hafal tiga
kul aja, setelah itu jadi hafal surat-surat pendek yang lain, mengajinya juga
semakin lancar (informan RH)”.
Selain itu berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan penyandang
disabilitas mental atau penerima manfaat mengenai perasaan mereka setelah
mengikuti kegiatan terapi mental spiritual mengaji dan hafalan ini sebagaimana
yang informan MG katakan:
“kalau aku senang ngaji dek, kami diajari ngaji jadi aku jadi lebih lancar
ngajinya, sekarang aku Al-Qur’an dek, udah itu selain ngaji juga kita ada
hafalan surat-surat pendek, setoran tiap hari sama ustadznya, enak dek
disuruh hafalan surat-surat pendek, aku jadi lebih banyak hafal beberapa
surat-surat pendek, dulu hafalnya cuma sedikit, sekarang jadi bertambah
hafalannya dek.
Kemudian informan SK juga mengatakan:
“kegiatan mengaji ini bisa membuat saya lebih lancar membaca Al-
Qur‟an, kemudian saya juga jadi punya hafalan, saya senang karena disini
bisa belajar mengaji lagi”.
Informan PD juga mengatakan apa yang ia rasakan setelah mengikuti
kegiatan :
“kalau ngaji senang aku mbak, kini aku lah Al-Qur’an mbak, hafalan
surat pendek aku jugo lah banyak, jadi dengan kegiatan mengaji samo
hafalan ko, aku jadi lebih lancar ngaji, lebih banyak hafalan mbak”.

55
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan baik melalui observasi
maupun wawancara dapat disimpulkan bahwa pengembangan diri yang
dimaksudkan disini yaitu mengembangkan potensi-potensi positif yang dimiliki
penyandang disabilitas mental atau penerima manfaat, dimana di BRSPSM
pengembangkan diri untuk penyandang disabilitas mental sebagai penerima
manfaat yaitu melalui kegiatan mengaji yang dilakukan rutin setiap malam senin
sampai dengan malam kamis, hafalan surat-surat pendek yang juga dilakukan
rutin seperti jadwal mengaji, selain itu juga adzan dan sholat berjama‟ah.
Kegiatan mengaji dan hafalan surat pendek ini bermanfaat untuk
penyandang disabilitas mental, hasil perkembangan penyandang disabilitas mental
baik, mereka menjadi lebih lancar dalam membaca Iqra maupun Al-Qur‟an,
kemudian juga hafalan surat-surat pendek mereka semakin bertambah. Sehingga
ketika mereka selesai menjalani rehabilitasi sosial di BRSPDM Dharma Guna
Bengkulu dan kembali ke keluarga maupun masyarakat penyandang disabilitas
mental ini sudah memiliki bekal ilmu agama dengan demikian mereka tidak awam
lagi.
5.1.2.3 Tajalli (Penemuan Diri)
Pada tahap ini bertujuan agar penyandang disabilitas mental atau penerima
manfaat mengenali dirinya yaitu siapa diri mereka, siapa yang menciptakan
mereka, siapa tuhan mereka, tujuan mereka hidup, dan kemana mereka setelah
tiada, sehingga penyandang disabilitas mental atau penerima manfaat
mengerjakan ibadah sebagaimana kewajiban sebagai umat beragama. Hal ini
seperti yang diungkapkan oleh informan RH:
“penemuan diri ini merupakan tahapan agar penerima manfaat percaya
bahwa Allah itu ada, siapa diri mereka dan siapa yang menciptakan
mereka yang tujuannya ketika mereka sudah mengenali siapa diri mereka,
siapa Tuhan mereka, penerima manfaat ini selalu mengerjakan ibadah,
menjalankan kewajiban-kewajiban beragama”.
Hal senada juga diungkapkan oleh informan EA yang mengatakan:
“tujuan dari terapi mental spiritual ini sendiri kan yaitu sebenarnya agar
mereka mengenali diri mereka yang sesungguhnya, kenal siapa Tuhan
mereka, dengan demikian para penerima manfaat ini nantinya mampu dan

56
bisa menjalankan ibadah, mengerjakan kewajiban-kewajiban mereka
sebagaimana umat beragama”.
Penemuan diri untuk penyandang disabilitas mental atau penerima manfaat
di BRSPDM “Dharma Guna” Bengkulu ini dilakukan melalui kegiatan ceramah
umum atau kegiatan bimbingan agama, dalam ceramah umum ini diberikan
materi-materi tentang agama, mengenal Allah, mengenal Nabi dan Rasul,
keutamaan sholat, dzikir, kewajiban-kewajiban umat muslim, dan lain sebagainya.
Ceramah umum ini dilakukan satu minggu satu kali setiap Hari Selasa setelah
kegiatan ruqyah yang dilakukan di Mushola BRSPDM “Dharma Guna” Bengkulu.
Ceramah umum ini diisi langsung oleh pembina mental atau pendamping program
terapi mental spiritual. Hasil penelitian yang didapatkan melalui wawancara
dengan informan RH sebagai pendamping program terapi mental spiritual
sekaligus instruktur ceramah umum yang mengatakan:
“terapi mental spiritual ini ada kegiatan ceramah umum atau bimbingan
agama Islam, yaitu pemberian materi-materi mengenai Mengenal Allah,
Nabi dan Rasul, rukun iman, rukun islam, sholat, dzikir, kewajiban
sebagai umat Islam, dan yang lainnya, materi yang diberikan ini
merupakan materi-materi dasar karena jika materinya terlalu berat nanti
PM ini tidak paham. Ceramah umum ini kegiatannya setiap hari Selasa
setelah ruqyah”.
Selain itu informan JJ selaku kepala bidang rehabilitasi sosial juga
menjelaskan mengenai kegiatan ceramah umum:
“di terapi mental spiritual kita ada kegiatan ceramah atau bimbingan
agama yang diisi oleh pendamping program terapi mental spiritual,
ceramah ini dilakukan setiap Hari Selasa setelah kegiatan ruqyah, ceramah
ini biasanya diisi oleh materi-materi agama, tujuannya sendiri agar
penerima manfaat ini lebih paham agama dan selalu mengingat Allah”.
Hasil observasi yang dilakukan peneliti pada saat kegiatan bimbingan
agama, respon penyandang disabilitas mental atau penerima manfaat selama
kegiatan yaitu tidak semua penyandang disabilitas mental memperhatikan dengan
baik, ada beberapa yang asik berbicara dengan penyandang disabilitas mental
yang lainnya, sama seperti yang dikatakan oleh informan RH:
“pada saat kegiatan yaa itu lah kadang PM ini enggak memperhatikan, ada
yang asik ngobrol sama temannya. Kalau ada yang kayak gitu kita tegur,
kita ingatkan supaya memperhatikan materi yang diberikan”.

57
Informan SK mengatakan yang ia rasakan pada saat kegiatan bimbingan
agama:
“saya kalau ceramah yang bimbingan agama itu ngantuk, karena cuma
duduk aja, udah itu dengarkan materi, kadang kalau saya ngantuk saya
ngobrol sama yang lain”
Adapun perkembangan atau perubahan pada penyandang disabilitas
mental atau penerima manfaat setelah mengikuti kegiatan ceramah umum atau
bimbingan agama seperti yang dijelaskan oleh informan RH selaku pendamping
program terapi mental spiritual yang sekaligus instruktur kegiatan ceramah
umum:
“setelah beberapa kali mengikuti kegiatan ada perubahan dari penerima
manfaat ini, walaupun perubahan atau perkembangannya tidak merata dan
tidak secara signifikan, karena kembali lagi ke kondisi kesehatan mental
dan kejiwaan PM itu sendiri, namun ada perkembangan, mereka
setidaknya sudah mengerti kalau mereka itu makhluk ciptaan Allah dan
Allah itu ada, kita sebagai umatnya harus mengerjakan perintah Allah,
melalui kegiatan bimbingan agama atau ceramah umum yang kita lakukan
secara rutin ini PM sudah lebih sering sholat yang dulunya tidak pernah
sholat, dengan demikian mereka sudah mengingat Allah”.
Adapun hal yang dirasakan oleh penyandang disabilitas mental atau
penerima manfaat dari kegiatan bimbingan agama yaitu diungkapkan oleh
informan GG:
“kalau kegiatan ceramah kito dikasih materi, materinyo banyak tentang-
tentang agama ko lah, belajar do’a-do’a, ado manfaatnyo lah untuk kito,
dengan ceramah iko kito jadi paham banyak hal mengenai kito sebagai
umat Islam, kalau kito wajib ngerjokan sholat limo waktu, jadi karno
sering dikasih materi tu, tentang keutamaan sholat, aku jadi lebih sering
sholat, dulu pas masuk siko masih malas nian sholat tu, tapi kini lah
sering walaupun kadang masih bolong-bolong. Karno aku sadar kalau
Allah tu ado dan kito sebagai umatnyo harus ngerjokan kewajiban kito
sebagai umatnyo, yo salah satunyo itu tadi sholat, trus tu dzikir kan”.
Kemudian penyandang disabilitas mental atau penerima manfaat yaitu
informan MG juga mengatakan hal yang senada yaitu:
“ceramah itu dek kita diberi materi, supaya kita tau kewajiban kita sebagai
umat Islam apa kan, apa yang boleh kita lakukan apa yang tidak boleh dek.
Kalau saya jadi lebih paham aja gitu dek kalau Allah itu ada, dan kita
harus menaati perintah Allah biar nanti masuk surga dek, saya sakit ini
juga kan ujian dari Allah kan dek, kelak pasti sembuh, saya berdo‟a terus
biar Allah bikin saya sembuh.”.

58
Pendapat lain juga diungkapkan oleh informan AD yang mengatakan:
“amau ceramah senang aku,kan diceramah tu kitau diingatkan untuk
sembayang, trus kitau di enjuk materi pulau basau sembayang tu wajib,
kitau sebagai umat Islam wajib ngerjaukah sembayang, gara maju ngikuti
ceramah ni aku jadi ngerti kalau Allah tu adau dan yang ciptakan kitau ni
Allah, nah kitau harus patuh perintah Allah, ngerjaukah kewajiban kitau,
itulah jadiau aku rajin sembayang mbak kini, amw dulu tu malas nanan
asau au”.
Berdasarkan penjelasan mengenai hasil penelitian diatas dapat disimpulkan
bahwa penemuan diri untuk penyandang disabilitas mental atau penerima manfaat
di BRSPDM “Dharma Guna” Bengkulu yaitu melalui kegiatan ceramah umum
atau bimbingan agama yang tujuan nya agar penyandang disabilitas mental atau
penerima manfaat mengenali dirinya, mengenal dan mengingat Allah agar mereka
mengerjakan ibadah sebagaimana kewajiban sebagai umat muslim. Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa ada perubahan dari penyandang
disabilitas mental atau menerima manfaat, mereka menjadi lebih sering beribadah,
mengerjakan sholat dan juga berdzikir kepada Allah, karena mereka sudah
menyadari kalau Allah itu ada dan yang menciptakan manusia itu Allah dan
nantinya kita juga akan kembali kepada Allah.
5.2 Pembahasan
Setelah melakukan pengumpulan data dari hasil penelitian di atas, maka
selanjutnya peneliti akan melakukan pembahasan terhadap hasil penelitian yang
telah dilakukan. Berikut ini adalah pembahasan hasil penelitian berdasarkan data-
data yang telah dikumpulkan selama melaksanakan penelitian tentang Program
Terapi Mental Spiritual Dalam Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental
di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma Guna”
Bengkulu.
5.2.1 Program Terapi Mental Spiritual dalam Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas Mental
Program terapi mental spiritual merupakan salah satu bentuk layanan
terapi dalam rehabilitasi sosial penyandang disabilitas mental di Balai Rehabilitasi
Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma Guna” Bengkulu, dimana
program ini merupakan suatu program yang memang sudah menjadi program

59
wajib dari kementerian sosial dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial penyandang
disabilitas. Terapi mental spiritual ini merupakan terapi untuk menyelaraskan
pikiran, tubuh dan jiwa dalam upaya mengatasi kecemasan dan depresi,
menggunakan nilai-nilai moral, spiritual dan agama. Terapi ini dimaksudkan agar
penerima manfaat mengalami perubahan yaitu pemulihan dan pengembangan
fungsi sosial sehingga penerima manfaat dapat kembali berkontribusi atau
berpartisipasi dalam lingkungannya. Selain itu juga, terapi mental spiritual ini
diberikan kepada penyandang disabilitas mental, karena kondisi mental
spiritualnya sangat lemah, pengetahuan tentang agama sangat kurang , kesadaran
untuk melaksanakan ibadah juga kurang, hal ini terjadi karena mengingat mereka
mengalami gangguan mental, maka dari itu spiritualnya juga terganggu.
Sedangkan spiritual itu sendiri merupakan salah satu aspek dari kesejahteraan
sosial seseorang agar dapat berfungsi sosial secara baik.
Spiritualitas dalam pekerjaan sosial adalah inti dari pertolongan. Ini adalah
jantung dari empati dan perhatian, denyut belas kasih, aliran penting dari
kebijaksanaan praktik, dan energi penggerak pelayanan. Menghadirkan
spiritualitas dapat membantu menempatkan tantangan dan tujuan klien dalam
konteks makna terdalam dan aspirasi tertinggi mereka, karena pekerja sosial
berkomitmen pada manusia seutuhnya dalam perspektif lingkungan, yaitu perlu
mengambil pandangan bio-psiko-sosial-spiritual. Pada tingkat pragmatis, dengan
mempertimbangkan aspek religius dan spiritual dari kehidupan klien, dapat
mengidentifikasi kekuatan dan sumber daya yang penting untuk mengatasi,
ketahanan, dan perkembangan yang optimal. Sebagian besar masyarakat termasuk
agama dengan pengaruh luas pada kesehatan pribadi, hubungan keluarga,
ekonomi, dan politik. Dapat diketahui bahwa standar Amerika dan internasional
untuk pekerjaan sosial profesional secara umum dan untuk praktik di banyak
bidang Amerika (misalnya, kesehatan, kesehatan mental) mengakui pentingnya
agama dan spiritualitas. Agama, spiritualitas, dan pekerjaan sosial saling terkait
dan dapat saling melengkapi. Penelitian empiris menunjukkan melalui ratusan
penelitian di beberapa disiplin ilmu bahwa arti positif makna spiritual dan
partisipasi keagamaan terkait dengan penurunan tingkat depresi, kecemasan,

60
penyalahgunaan zat, dan perilaku berisiko seiring dengan peningkatan rasa
sejahtera dan saling mendukung. Praktik berbasis spiritual tertentu, seperti
pengampunan, meditasi, dan terapi perilaku kognitif yang berorientasi spiritual
juga menunjukkan harapan (Canda dan Loela, 2010).
Rasa kesejahteraan spiritual orang dan partisipasi mereka dalam
komunitas dan praktik keagamaan memengaruhi kesehatan, kesehatan mental, dan
hubungan sosial mereka menjadi lebih baik atau lebih buruk (Koenig, 2007 dalam
Canda dan Leola, 2010). Maka dari itu dalam rehabilitasi sosial untuk menangani
klien diberikan bentuk terapi mental spiritual.
Sejarah penanganan gangguan jiwa dari zaman ke zaman berbeda beda,
pada zaman demonologi awal orang dengan gangguan jiwa ditangani dengan
melakukan suatu upacara untuk mengeluarkan pengaruh roh jahat pada tubuh
seseorang menggunakan nyanyian mantera, motede ini disebut exorcism. Pada
zaman fisiologis awal, orang dengan gangguan jiwa sudah diperlakukan dengan
manusiawi dan perawatan di rumah sakit bagi penderita gangguan mental. Setelah
itu, pada zaman kegelapan kembali lagi ke demonologi bahwa orang dengan
gangguan jiwa dianggap sebagai tukang sihir yang terkena gangguan setan,
sehingga ditangani dengan berdoa dan menyentuhkannya dengan menggunakan
benda-benda keramat serta memberikan ramuan khusus. Setelah itu pada zaman
pencerahan penderita gangguan mental dilakukan pemisahan dengan kehidupan
sosialnya, mereka diletakkan di tempat penampungan yang disebut asylums.
Kemudian setelah itu pada zaman gerakan reformasi orang dengan gangguan
mental dianggap sebagi orang sakit sehingga diperlakukan selayaknya orang sakit,
membebaskan dari ikatan rantai dan pemasungan. Hingga pada saat ini orang
dengan gangguan mental sudah diperlakukan dengan baik dan diberikan
pengobatan serta rehabilitasi dalam berbagai bentuk (Fatmawati, 2019).
Sebagaimana rehabilitasi sosial yang diberikan kepada penyandang disabilitas
mental sebagai penerima manfaat di BRSPDM „Dharma Guna” Bengkulu.
Program terapi mental spiritual yang dilaksanakan di Balai Rehabilitasi
Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma Guna” Bengkulu merupakan
terapi mental spiritual secara Islami, yaitu suatu pengobatan atau penyembuhan

61
gangguan psikologis yang dilakukan secara sistematis berdasarkan konsep Al-
Qur‟an dan As-Sunnah. Pada penelitian ini menggunakan konsep pensucian jiwa
Imam Al-Ghazali menurut Hawwa (2003) dalam Jurnal Razak, dkk (2014) yang
terdiri dari 3 aspek atau 3 tahap penyucian jiwa yaitu, Takhalli (pensucian diri),
Tahalli (pengembangan diri) dan Tajalli (penemuan diri).
5.2.1.1 Takhalli (Pensucian Diri)
Pensucian diri yang dilakukan dalam program terapi mental spiritual
dalam rehabilitasi sosial penyandang disabilitas mental di BRSPDM “Dharma
Guna” Bengkulu yaitu dilakukan dalam bentuk kegiatan ruqyah. Kegiatan ruqyah
dimaksudkan untuk mensucikan penyandang disabilitas mental sebagai penerima
manfaat dari gangguan jiwa yang mereka alami maupun gangguan-gangguan
makhluk halus, serta sifat dan perbuatan yang tidak baik sehingga penyandang
disabilitas mental mengalami ketenangan, tidak merasakan kegelisahan-
kegelisahan yang sebelumnya sering terjadi.
Untuk menunjang keberlangsungan kegiatan ruqyah, yaitu dengan
mendatangkan ustadz dari luar BRSPDM yang memang ahli dalam bidang ruqyah
sebagai instruktur terapi mental spiritual untuk kegiatan ruqyah yang diberikan
kepada penyandang disabilitas mental, selain itu juga terdapat sarana prasarana
sebagai fasilitas yang bisa digunakan untuk pelaksanaan kegiatan yaitu mushola,
kemudian juga disediakan air mineral untuk digunakan pada saat kegiatan.
Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan beberapa
informan bahwa ruqyah ini memberikan pengaruh terhadap penyandang
disabilitas mental sebagai penerima manfaat bahwa bisa mengurangi gangguan
mental pada penerima manfaat, penyandang disabilitas mental menjadi lebih
tenang, mengurangi gangguan depresi, kecemasan maupun gangguan lainnya
yang sering dialami oleh penyandang disabilitas mental atau penerima manfaat
yang menjalani rehabilitasi sosial di BRSPDM “Dharma Guna” Bengkulu,
walaupun berdasarkan observasi maupun wawancara terdapat hambatan
diantaranya respon dari penyandang disabilitas mental itu sendiri, ada beberapa
penyandang disabilitas mental yang tidak serius dan main-main pada saat
mengikuti kegiatan, kesadaran diri dari penyandang disabilitas mental atau

62
penerima manfaat masih kurang, selain itu juga keterbatasan waktu kegiatan yang
hanya kurang lebih satu jam, dan hanya dalam jangka waktu yang beberapa bulan
menjadi salah satu hambatan dalam pelaksanaan kegiatan. Namun, walaupun
demikian perkembangan penyandang disabilitas mental cukup baik.
Menurut Syamsuddin dan Azlinda, 2012 bahwa jika dikaji lebih mendalam
baik dari aspek teologi (doktrin) maupun aspek praktek keagamaan, terdapat
banyak dimensi spiritual/religiulitas yang terkait erat dengan praktek pekerjaan
sosial sebagai profesi pertolongan. Beberapa ritual keagamaan mengandung nilai-
nilai pertolongan atau dukungan sosial (social support) bahkan elemen
pemberdayaan (enpowerment). Karena pada kenyataannya, spiritualitas adalah
aspek penting dalam kehidupan manusia, karena itulah pekerja sosial dalam
memberikan layanan utamanya (core-service) semestinya tidak terlepas dari isu
dan konteks spiritualitas. Sama seperti metode ruqyah yang diberikan kepada
penyandang disabilitas mental merupakan sebuah ritual keagaamaan atau
psikoterapi Islam yang dapat digunakan sebagai metode penyembuhan.
5.2.1.2 Tahalli (Pengembangan Diri)
Pengembangan diri yang dilakukan dalam upaya untuk mengembangkan
diri dan mengembangkan potensi penyandang disabilitas mental atau penerima
manfaat yang menjalani rehabilitasi sosial di BRSPDM “Dharma Guna”
Bengkulu adalah melalui kegiatan mengaji dan hafalan surat-surat pendek yang
dilakukan secara rutin setiap malam Senin sampai dengan malam Kamis setelah
sholat Maghrib.
Untuk menunjang kegiatan mengaji dan hafalan surat-surat pendek,
disediakan instruktur sebagai guru mengaji dan hafalan surat pendek, kemudian
juga terdapat mushola, Iqro, Al-Qur‟an, dan meja untuk mengaji sebagai fasilitas
yang bisa digunakan untuk pelaksanaan kegiatan.
Adapun perkembangan penyandang disabilitas mental atau penerima manfaat
setelah mengikuti kegiatan mengaji secara rutin yaitu para penyandang disabilitas
mental ini menjadi bisa mengaji dan mempunyai hafalan surat pendek, yang
sebelumnya tidak bisa mengaji menjadi bisa mengaji, yang sebelumnya sudah
bisa membaca Al-Qur‟an namun sudah lupa-lupa dan terbata-bata menjadi lancar

63
kembali, yang sebelumnya tidak ada hafalan menjadi ada hafalan. Sehingga
potensi yang ada pada diri penyandang disabilitas mental atau penerima manfaat
menjadi tumbuh kembali. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
mengaji dan hafalan surat-surat pendek ini memberikan manfaat untuk
pengembangan diri yaitu mengembangkan potensi penyandang disabilitas mental.
Kegiatan mengaji dan hafalan surat pendek ini tentunya tidak terlepas dari
beberapa hambatan, diantaranya pada saat kegiatan ada beberapa penyandang
disabilitas mental yang tidur, ada juga yang tidak mengikuti kegiatan dan tetap di
asrama, selain itu juga berdasarkan wawancara dengan instruktur program bahwa
waktu yang diberikan yaitu kurang, sehingga target untuk pencapaian penyandang
disabilitas mental tidak terlalu maksimal.
4.2.1.3 Tajalli (Penemuan Diri)
Adapun penemuan diri pada program terapi mental spiritual dalam
rehabilitasi sosial penyandang disabilitas mental di BRSPDM “Dharma Guna”
Bengkulu yaitu dilakukan dalam bentuk ceramah umum atau bimbingan agama.
Kegiatan ceramah umum atau bimbingan agama ini berupa pemberian materi-
materi tentang mengenal Allah, mengenal Nabi dan Rasul, kewajiban sholat,
keutamaan dzikir, kewajiban sebagai umat beragama, dan lain sebagainya,
kegiatan ini dimaksudkan agar penyandang disabilitas mental atau penerima
manfaat menemukan dirinya, mengenali dirinya, mengenali siapa Tuhan mereka
yang menciptakan mereka. Sehingga penyandang disabilitas mental atau
penerima manfaat ini mengingat Allah dan mengerjakan kewajiban sebagai umat
beragama yaitu sholat, berdzikir dan hal-hal positif lainnya.
Sebagai upaya untuk untuk menunjang kegiatan ceramah umum atau
bimbingan agama terdapat mushola yang bisa digunakan dalam pelaksanaan
kegiatan, selain itu juga kegiatan ini diisi langsung oleh pendamping program
terapi mental spiritual yang mengisi materi pada saat kegiatan.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa
kegiatan ceramah umum atau bimbingan agama ini memberikan pengaruh yang
baik untuk penyandang disabilitas mental atau penerima manfaat. Perkembangan
penyandang disabilitas mental cukup baik, walaupun tidak semua penyandang

64
disabilitas mental mengalami perkembangan yang baik, hal ini tergantung juga
dari kondisi mental penyandang disabilitas mental itu sendiri. Namun walaupun
demikian, terdapat beberapa penyandang disabilitas mental yang memang benar-
benar menjadi rajin beribadah, mengerjakan sholat, berdzikir, dan lain sebagainya.
Pada saat pelaksanaan kegiatan, terdapat beberapa hambatan yang terjadi,
yaitu kesadaran diri penyandang disabilitas mental untuk mengikuti kegiatan
masih kurang, kurangnya motivasi penyandang disabilitas mental itu sendiri, pada
saat kegiatan terdapat beberapa penyandang disabilitas mental yang tidak
memperhatikan materi yang diberikan, asik berbicara dengan penyandang
disabilitas mental yang lainnya, serta keluar masuk mushola dengan alasan wudhu
padahal tidak.

65
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, hasil penelitian dan
analisis dalam pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan yaitu, program terapi
mental spiritual dalam rehabilitasi sosial penyandang disabilitas mental di Balai
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma Guna” Bengkulu
adalah terapi mental spiritual secara Islami yaitu suatu pengobatan atau
penyembuhan gangguan psikologis yang dilakukan secara sistematis dengan
berdasarkan kepada konsep al qur‟an dan as sunnah, dimana terdiri dari 3 konsep
pensucian jiwa yang meliputi, takhalli (pensucian diri), tahalli (pengembangan
diri) dan tajalli (penemuan diri).
Adapun pensucian diri yang diberikan kepada penyandang disabilitas
mental sebagai penerima manfaat di BRSPDM yaitu dalam bentuk ruqyah.
Pensucian diri ini dimaksudkan untuk mensucikan diri penyandang disabilitas
mental dari gangguan mental yang mereka alami, dari gangguan-gangguan
makhluk halus, maupun perilaku-perilaku yang tidak baik agar penyandang
disabilitas merasa lebih nyaman dan lebih tenang. Pada tahap pengembangan diri,
yang dimaksud yaitu adalah suatu upaya untuk mengembangkan diri atau
mengembangkan potensi positif yang ada dalam diri penyandang disabilitas
mental. Pengembangan diri ini diberikan dalam bentuk kegiatan mengaji dan
hafalan surat-surat pendek yang dilaksanakan rutin setiap malam senin sampai
dengan malam kamis. Melalui kegiatan mengaji dan hafalan surat pendek ini,
penyandang disabilitas mental bisa mengambangkan potensi yang ada dalam diri
mereka, diantaranya untuk memperlancar bacaan Al-qur‟an maupun Iqro, serta
menambah hafalan-hafalan surat pendek mereka. Penemuan diri merupakan suatu
tahap atau keadaan dimana penyandang disabilitas mental sudah mengenali
dirinya, mengenali sang pencipta, sehingga penyandang disabilitas mental ini bisa
mengerjakan kewajiban sebagai umat beragama sesuai dengan agama yang
dianutnya. Di BRSPDM “Dharma Guna” Bengkulu sendiri sebagai upaya dari

66
penemuan diri penyandang disabilitas mental yaitu melalui kegiatan ceramah
umum atau bimbingan agama, dimana penerima manfaat diberikan pemahaman
atau materi tentang mengenal Allah, Nabi dan Rasul, kewajiban sebagai umat
muslim, kewajiban dan keutamaan sholat, dan lain sebagainya sesuai dengan
silabus kegiatan yang ada. Sehingga dengan adanya kegiatan ini membuat
penyandang disabilitas mental mengenali dirinya, meyakini bahwa Allah itu ada,
sehingga mereka menjadi rajin beribadah, mengerjakan sholat, berdzikir dan
ibadah yang lainnya.
Program terapi mental spiritual ini bermanfaat untuk penyandang disabilitas
mental dalam menjalani rehabilitasi sosial di BRSPDM “Dharma Guna”
Bengkulu. Perkembangan penyandang disabilitas mental setelah mengikuti
kegiatan cukup baik. Penyandang disabilitas menjadi lebih tenang, kemudian
penyandang disabilitas mental mampu melaksanakan ibadah tanpa diperintah,
seperti sholat, serta memahami kewajiban sebagai umat beragama sebagaimana
agama yang dianut.
6.2 Saran
1. Pekerja sosial diharapkan terlibat langsung dalam pelaksanaan program
terapi mental spiritual untuk memberikan pendampingan dan pengawasan
agar dapat melihat dan menilai secara langsung perkembangan
penyandang disabilitas mental setiap kegiatan, supaya pada saat evaluasi
perkembangan penyandang disabilitas mental pekerja sosial benar-benar
tahu bagaimana perkembangan penyandang disabilitas mental sebagai
penerima manfaat.
2. Pendamping dan instruktur program terapi mental spiritual lebih tegas
dalam menegur penyandang disabilitas mental yang tidak serius dan hanya
main-main pada saat kegiatan.
3. Melakukan evaluasi diri terhadap penyandang disabilitas mental oleh
pendamping program terapi mental spiritual dan pekerja sosial, yaitu
memberikan motivasi pentingnya kegiatan terapi mental spiritual untuk
penyandang disabilitas mental sebagai penerima manfaat agar motivasi
penyandang disabilitas mental untuk mengikuti kegiatan lebih tinggi dan

67
mengikuti kegiatan berdasarkan inisiatif mereka sendiri tanpa harus
diperingatkan secara terus-menerus.
4. Menambah waktu pelaksanaan kegiatan terapi mental spiritual dari Balai
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma Guna”
Bengkulu agar hasilnya lebih maksimal.

68
DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, Fitri Respani dan Nita, Nasution. 2015. Buku Pintar Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Cakrawala Ilmu.
Arifin, Zainal. 2019. Evaluasi Program, Teori dan Praktek dalam Konteks
Pendidikan dan Nonpendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Burhanuddin, Yusak 1999. Kesehatan Mental. Bandung : CV Pustaka Setia.
Canda, Edward R dan Leola, Dyrud Furman. 2010. Spiritual Diversity In Social
Work Practice. New York: Oxford University Press.
Fatmawati, dkk. 2019. Bunga Rampai: Apa Itu Psikopatologi? “Rangkaian
Catatan Ringkas Tentang Gangguan Jiwa”. Sulawesi: Unimal Press.
Haryanto. 2009. Diktat Bahan Kuliah: Rehabilitasi dan Pekerjaan Sosial.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Hertanti, Siti, dkk. 2019. Pelaksanaan Program Karang Taruna Dalam Upaya
Meningkatkan Pembangunan Di Desa Cintaratu Kecamatan Parigi
Kabupaten Pangandaran. Jurnal Moderat. Vol, 5. No, 3. Hh 305-315.
Kementerian Sosial Republik Indonesia. 2019. Petunjuk Pelaksanaan Progres PD
Program Rehabilitasi Sosial Bagi Penyandang Disabilitas.
Lestaluhu, Said. 2015. Implementasi Kebijakan Program Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) Pada SMP Negeri 2 Ambon. Jurnal Populis. Vol, 9. No, 2.
Hh. 31-55.
Marettih, Anggia K.E, Diana Elfida dan Yuli Widiningsih. 2017. Konsep dan
Teori Psikologi Abnormal dan Psikopatologi (Jilid). Pekan Baru: Al-
Mujtahadah Press.
Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas
dari PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: PT Nuh Jaya.
Mulyadi. 2017. Islam dan Kesehatan Mental. Jakarta: Kalam Mulia.

Murni, Ruaida dan Mulia, Astuti. 2015. Rehabilitasi Sosial bagi Penyandang
Disabilitas Mental melalui Unit Informasi dan Layanan Sosial Rumah Kita.
Jurnal Sosio Informa. Vol, 1. No, 3. Hh. 278–292.
Nabila, Ulfaira. 2020. Pengaruh Terapi Mental Spiritual Terhadap Kesadaran
Beragama Penerima Manfaat di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas Sensorik Rungu Wicara Melati Bambu Apus Jakarta Timur.
Skripsi. Jakarta. Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi ,Jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan Islam, Universitas Islam Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Nasir, Abdul dan Abdul, Muhith. 2011. Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa:
Pengantar dan Teori. Jakarta: Salemba Medika.
Pedoman Operasional Asistensi Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas,
Kementerian Sosial Republik Indonesia. 2020.
Pengertian Pelaksanaan. (http://repository.uin-suska.ac.id/2831/3/BAB%20II.pdf)
diakses 26 Februari 2021.
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 Tentang
Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial.
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2014 Tentang
Standar Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan Profesi Pekerjaan Sosial.
Razak, Ahmad, Mustafa, KM & Wan, S. 2014. Terapi Spiritual Islami: Suatu
Model Penanggulangan Gangguan Depresi. Jurnal Ilmiah Psikologi. Vol, 6.
No, 2. Hh. 68–73.
Reza, Iredo. F. 2016. Psikoterapi Islam: Teori dan Praktik Mengatasi Gangguan
Kejiwaan. Palembang: Noer Fikri Offset. Di dalam: Tim Asosiasi Psikologi
Islam, editor. Rusdi, Ahmad dan Subandi. Psikologi Islam Kajian Teoritik
dan Penelitian Empirik. Yogyakarta: CV. Istana Agency.
Riadi, Muchlisin. 2018. Pengertian, Jenis dan Hak Penyandang Disabilitas.
(https://www.kajianpustaka.com/2018/07/pengertian-jenis-dan-hak-
penyandang-disabilitas.html), diakses 24 Februari 2021.
Rusdiana dan Nasihudin. 2019. Pengembangan Perencanaan Program
Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syamsuddin dan Azlinda Azman. 2012. Memahami Dimensi Spiritualitas dalam
Praktek Pekerjaan Sosial. Juenal Informasi. Vol, 17. No,02. Hh. 111-119.
Sejati, Sugeng. 2019. Perkembangan Spiritual Remaja dalam Perspektif Ahli.
Jurnal Hawa. Vol, 1. No, 1. Hh. 93-126.
Setyani, Windi. 2020. “Efektivitas Program Terapi Mental Spiritual Dalam Upaya
Pemulihan Klien Penyalahgunaan Napza di Balai Rehabilitasi Sosial
Korban Penyalahgunaan Napza (BRSKPN) “Galih Pakuan” Bogor”.
Skripsi. Jakarta. Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Program
Studi Kesejahteraan Sosial, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Jakarta.
Solihin, M. 2004. Terapi Sufistik: Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Perspektif
Tasawuf. Bandung: Cv Pustaka Setia.
Sugiyono. 2019. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suharsimi, Arikunto, dan Abdul, Jabar. 2014. Evaluasi Program Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Sujarweni, Wiratna. 2014. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press.
Sundari, Siti. 2018. Kesehatan Mental dalam Kehidupan. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Suripto, dkk. 2016. Seri Inovasi Administrasi Negara Pengembangan Model dan
Story Inovasi Tata Kelola Pemerintahan dan Pelayanan Publik. Jakarta:
Pusat-Intan-Dian-Lan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Tentang
Kesejahteraan Sosial.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Jiwa.
Usman, Husaini. 2011. Manajemen: Teori, Praktek, dan Riset Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Yazfinedi, 2018. Konsep, Permasalahan, dan Solusi Penyandang Disabilitas
Mental di Indonesia. Jurnal Ilmiah Kesejahteraan Sosial. Vol, 14. No, 26.
Hh. 101-110.
L

N
PEDOMAN OBSERVASI
PROGRAM TERAPI MENTAL SPIRITUAL DALAM REHABILITASI
SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS MENTAL
(Studi Kasus di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma
Guna” Bengkulu)

Hari/tanggal :
Waktu :
Pengamatan (observasi) yang dilakukan adalah mengenai Program Terapi
Mental Spiritual Dalam Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental:
A. Tujuan
Untuk memperoleh berbagai informasi dan data mengenai program terapi
mental spiritual dalam rehabilitasi sosial penyandang disabilitas mental.
B. Aspek yang diamati
1. Mengamati situasi dan kondisi yang ada di Balai Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas Mental “Dharma Guna” Bengkulu.
2. Mengamati program terapi mental spiritual dalam rehabilitasi sosial
penyandang disabilitas mental.
3. Mengamati situasi dan kondisi pada saat pelaksanaan terapi mental
spiritual (sarana prasarana yang digunakan).
4. Mengamati respon, tingkah laku dan kegiatan penyandang disabilitas
mental dalam menjalani dan menerima terapi mental spiritual.
PEDOMAN WAWANCARA
PROGRAM TERAPI MENTAL SPIRITUAL DALAM REHABILITASI
SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS MENTAL
(Studi Kasus di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma
Guna” Bengkulu)
Wawancara dengan Pembina Mental atau Pendamping Program Terapi Mental
Spiritual:
A. Identitas Informan
1. Nama :
2. Tempat tanggal lahir :
3. Umur :
4. Jenis kelamin :
5. Pendidikan :
6. Alamat :
7. Pekerjaan :
B. Pertanyaan
1. Mengapa penyandang disabilitas mental diberikan terapi mental
spiritual, apa tujuannya serta apa manfaat terapi mental spiritual untuk
penyandang disabilitas mental?
2. Apa saja kegiatan dari program terapi mental spiritual?
3. Kapan pelaksanaan program terapi mental spiritual?
4. Apa yang bapak/ibu pahami tentang takhalli (pensucian diri) ?
5. Apa tujuan dari takhalli (pensucian diri) yang diberikan kepada
penyandang disabilitas mental dan apa saja bentuk kegiatannya?
6. Apa yang bapak/ibu pahami tentang tahalli (pengembangan diri) ?
7. Apa tujuan dari tahalli (pengembangan diri) yang diberikan kepada
penyandang disabilitas mental dan apa saja bentuk kegiatannya ?
8. Apa yang bapak/ibu pahami tentang tajalli (penemuan diri) ?
9. Apa tujuan dari tajalli (penemuan diri) yang diberikan kepada
penyandang disabilitas mental dan apa saja bentuk kegiatannya?
10. Bagaimana strategi pelaksanaan program terapi mental spiritual ?
11. Bagaimana respon penyandang disabilitas mental pada saat mengikuti
program terapi mental spiritual?
12. Apa faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan program
terapi mental spiritual ?
13. Bagaimana perkembangan penyandang disabilitas mental setelah
mengikuti terapi mental spiritual?
14. Apa harapan bapak/ibu dari program terapi mental spiritual?
PEDOMAN WAWANCARA
PROGRAM TERAPI MENTAL SPIRITUAL DALAM REHABILITASI
SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS MENTAL
(Studi Kasus di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma
Guna” Bengkulu)
Wawancara dengan Instruktur Program Terapi Mental Spiritual:
A. Identitas Informan
1. Nama :
2. Tempat tanggal lahir :
3. Umur :
4. Jenis kelamin :
5. Pendidikan :
6. Alamat :
7. Pekerjaan :
B. Pertanyaan
1. Mengapa penyandang disabilitas mental diberikan terapi mental
spiritual, apa tujuannya serta apa manfaat terapi mental spiritual untuk
penyandang disabilitas mental?
2. Kapan program terapi mental spiritual dilaksanakan?
3. Bagaimana respon penyandang disabilitas mental pada saat mengikuti
terapi mental spiritual?
4. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan terapi
mental spiritual?
5. Bagaimana perkembangan penyandang disabilitas mental setelah
mengikuti program terapi mental spiritual?
6. Apa harapan bapak/ibu dari program terapi mental spiritual?
PEDOMAN WAWANCARA
PROGRAM TERAPI MENTAL SPIRITUAL DALAM REHABILITASI
SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS MENTAL
(Studi Kasus di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma
Guna” Bengkulu)
Wawancara dengan Penyandang Disabilitas Mental/Penerima Manfaat
A. Identitas Informan
1. Nama :
2. Tempat tanggal lahir :
3. Umur :
4. Jenis kelamin :
5. Pendidikan :
6. Alamat :
7. Pekerjaan :
B. Pertanyaan
1. Apa saja kegiatan yang saudara ikuti dari program terapi mental
spiritual ?
2. Bagaimana perasaan saudara dalam mengikuti kegiatan terapi mental
spiritual ?
3. Apa hambatan yang saudara rasakan pada saat mengikuti terapi mental
spiritual?
4. Seberapa penting kegiatan terapi mental spiritual bagi saudara ?
5. Apa yang saudara rasakan setelah mengikuti program terapi mental
spiritual ?
6. Apa yang saudara harapkan dari program terapi mental spiritual ?
PEDOMAN WAWANCARA
PROGRAM TERAPI MENTAL SPIRITUAL DALAM REHABILITASI
SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS MENTAL
(Studi Kasus di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental “Dharma
Guna” Bengkulu)
Wawancara dengan Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial dan Pekerja Sosial:
A. Identitas Informan
1. Nama :
2. Tempat tanggal lahir :
3. Umur :
4. Jenis kelamin :
5. Pendidikan :
6. Alamat :
7. Pekerjaan :
B. Pertanyaan
1. Mengapa penyandang disabilitas mental diberikan terapi mental
spiritual?
2. Apa tujuan dari program terapi mental spiritual ?
3. Apa saja kegiatan dari program terapi mental spiritual ?
4. Bagaimana strategi pelaksanaan program terapi mental spiritual ?
5. Apa faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan program
terapi mental spiritual ?
6. Bagaimana perkembangan penyandang disabilitas mental setelah
mengikuti terapi mental spiritual?
7. Apa yang diharapkan bapak/ibu dari pelaksanaan program terapi
mental spiritual ?
Dokumentasi Penelitian

(wawancara informan JJ) (wawancara informan RH)

(wawancara informan MM) (wawancara informan AH)

(wawancara informan MW) (wawancara informan EA)


(wawancara informan SK) (wawancara informan MG)

(wawancara informan GG) (wawancara informan PD)

(wawancara informan AD)


(kegiatan ruqyah)

(kegiatan ceramah umum atau bimbingan agama)


(kegiatan mengaji dan hafalan surat pendek)

Anda mungkin juga menyukai