Anda di halaman 1dari 15

Makalah

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN SAINS (IPA) BERBASIS ETNOSAINS


TERHADAP NILAI KARAKTER DAN PERILAKU PESERTA DIDIK

(Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Kajian Kurikulum Pembelajaran IPA yang diampu
oleh Ibu Dr. Tirtawaty Abdjul, M.Pd)

Oleh :

Kelompok 4

Ardita Noviana Djailani

Sartika R. Umar Wahyuni Nurnaningsih

Ingka M. Djafar Natasya Paputungan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan
judul “implementasi model pembelajaran sains (ipa) berbasis etnosains terhadap nilai karakter
dan perilaku peserta didik”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada Mata
Kuliah Etnosains dan Pembelajarannya.

Saya ucapkan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan saya berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya dan khususnya pada pembaca pada umumnya.
Dengan segala kerendahan hati, saran – saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan
dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain pada waktu
mendatang.

Gorontalo, 19 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................................i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................2
1.3 Tujuan ......................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN .....................................................................................................3

2.1 Implementasi Model Pembelajaran Sains Berbasis Etnosains..............................

2.2 Cara merumuskan instrumen pembelajaran yang berbasis hots.........................

2.2.1 Memahami Pendidikan Karakter.........................................................................

2.2.2 Konsep Pendidikan Karakter................................................................................

BAB III PENUTUP ...........................................................................................................11

3.1 Kesimpulan...............................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di abad 21 yang semakin maju
menyebabkan arus informasi menjadi cepat dan tanpa batas. Hal ini akan berpengaruh pada
peserta didik dalam proses pendidikan. Proses pendidikan pun diharapkan dapat
menyiapkan dan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas agar mampu
memproses informasi tersebut dengan baik dan benar (Depdiknas, 2006). Melalui
pendidikan diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia menjadi lebih
baik, sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi di lingkungannya.
Menjawab tantangan tersebut, Indonesia menerapkan kurikulum 2013. Pada kurikulum
2013 pola pembelajaran pasif berubah menjadi kritis. Selain itu, perubahan pola
pembelajaran dalam kurikulum 2013 yang menuntut peserta didik untuk kritis dalam
pembelajaran merupakan salah satu indikator pentingnya kemampuan berpikir kritis ini
dilatihkan dan dimiliki oleh peserta didik. Sudiarta (2009) menyatakan bahwa kemampuan
berpikir kritis telah terbukti mempersiapkan peserta didik dalam berpikir pada berbagai
disiplin ilmu karena kemampuan berpikir kritis merupakan kegiatan kognitif yang
dilakukan peserta didik dengan cara membagi-bagi cara berpikir dalam kegiatan nyata
dengan memfokuskan pada membuat keputusan mengenai apa yang diyakini atau
dilakukan.
Kemampuan berpikir kritis ini sangat penting untuk dimiliki oleh peserta didik
karena di dalamnya terdapat proses aktivitas mental dalam menerima, mengolah,
menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi informasi yang didapatkan untuk membuat
suatu keputusan atau tindakan dalam memecahkan masalah (Scriven & Paul dalam Fisher,
2009). Permasalahan yang akan dihadapi oleh peserta didik tidak hanya terdapat dalam
pelajaran saja namun dalam kehidupan sehari-hari pun banyak sekali permasalahan yang
akan dihadapi oleh peserta didik. Sehingga peserta didik dituntut untuk memiliki
kemampuan berpikir kritis agar dapat membuat suatu keputusan atau tindakan yang tepat
dalam memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi.

1
Penggunaan pembelajaran berbasis etnosains dalam proses pembelajaran telah
dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya, penelitian yang dilakukan oleh Arfianawati,
et al. (2016) menunjukkan bahwa pembelajaran kimia berbasis etnosains dapat
meningkatkan kemampuan kognitif dan berpikir kritis peserta didik. penggunaan subak
sebagai cara untuk menjelaskan konsep ekosistem (Sudiana dan Surata, 2010), atau
mengaitkan kebiasaan hidup suatu masyarakat misalnya bagaimana mereka
mempergunakan tumbuhan tradisional maupun mengelola lahan dalam mengajarkan
peserta didik tentang biodiversitas
1.2 Rumusan Masalah
1. Ketentuan instrumen pembelajaran yang berbasis hots
2. Cara merumuskan instrumen pembelajaran yang berbasis hots
1.3 Tujuan
1. Ketentuan instrumen pembelajaran yang berbasis hots
2. Cara merumuskan instrumen pembelajaran yang berbasis hots

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Implementasi Model Pembelajaran Sains Berbasis Etnosains
Kata ethnoscience (etnosains) bersasal dari kata ethnos (bahasa Yunani) yang
berarti bangsa, dan scientia (bahasa Latin) artinya pengetahuan.Oleh sebab itu, etnosains
merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu komunitas budaya.Kemudian ilmu ini
mempelajari atau mengkaji sistem pengetahuan dan tipe-tipe kognitif budaya
tertentu.Penekanan pada pengetahuan asli dan khas dari suatu komunitas budaya.
Menurut Henrietta L. (1998) etnosains adalah cabang pengkajian budaya yang
berusaha memahami bagaimana pribumi memahami alam mereka. Pribumi biasanya
memiliki ideologi dan falsafah hidup yang mempengaruhi mereka mempertahankan
hidup. Atas dasar ini, dapat dinyatakan bahwa etnosains merupakan salah satu bentuk
etnografi baru (the new ethnography).Melalui etnosains, sebenarnya peneliti budaya
justru akan mampu membangun teori yang grass root dan tidak harus mengadopsi teori
budaya barat yang belum tentu relevan. Penelitian etnosains terhadap fenomena budaya
selalu berbasis etno dan atau folk.Kehadiran etnosains, menurut Spradley(2001) memang
akan memberi angin segar pada penelitian budaya. Meskipun hal demikian bukan hal
yang baru, karena sebelumnya telah mengenal verstehen (pemahaman), namun tetap
memberi wajah baru bagi penelitian budaya. Oleh karena, memang banyak peneliti
budaya yang secara sistematis memanfaatkan kajian etnosains.Memang belum ada
kesamaan pendapat mengenai istilah etnosains dikalangan peneliti budaya.Istilah ini ada
yang menyebut cognitif anthropology, ethnographic semantics, dan descriptive semantics
(Spradley, 2001).
Berbagai istilah ini muncul karena masing-masing ahli memberikan penekanan
berbeda, namun hakikatnya adalah ingin mencari tingkat ilmiah kajian budaya. Setiap
masyarakat mengalami pertumbuhan dan perkembangan akibat kebutuhan yang berubah
dari zaman ke zaman.Dalam perkembangan itu terjadi berbagai proses pemecahan
masalah demi kehidupan yang lebih baik dan sejahtera melalui teknologi. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi tak lepas dari dampak positif dan negative. Di satu sisi
penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan berbagai inovasi untuk
meninkatkan kesejahteran hidup manusia, namun di sisi lainpenerapan ilmu pengetahuan

3
dan teknologi juga telah mengeksploitasi kekayaan alam untuk mengejar produksi tanpa
mempertimbangkan kelangsungan hidup jangka panjang seperti yang terjadi pada
dampak rusaknya lingkungan alam yang mengakibatkan berbagai bencana alam seperti
kekeringan berkepanjangan, banjir, kebakaran hutan, polusi udara yang kesemuanya
hanya menghasilkan kesengsaraan rakyat banyak. Lingkungan, baik fisik maupun sosial-
budaya dapat memberikan kontribusi tertentu pada pengalaman belajar siswa.Pengalaman
tersebut dapat berupa pola pikir (ranah kognitif), pola sikap (ranah afektif), maupun pola
perilaku (ranah psikomotorik).Solomon (dalam Baker, et al, 1995) menyatakan konsep-
konsep sains yang dikembangkan di sekoiah tidak berjalan mulus karena dipengaruhi
kuat oleh faktor-faktor sosial, khususnya pengetahuan intuitif tentang dunia
lingkungannya (life-word).
Pengetahuan tersebut dibangun selama siswa masih kanak-kanak yang
disosialisasikan dan dienkulturisasi oleh orang lain (seperti orang tua dan teman sebaya).
Ogawa (2002) menyatakan salah satu sains intuitif adalah sains sosial atau budaya
(culture or social science) atau disebut juga dengan sains asli (indigenous science).
Snively & Corsiglia (2001 :6) menyatakan bahwa sains asli berkaitan dengan
pengetahuan sains yang diperolehnya melalui budaya oral di tempat yang sudah lama
ditempatinya. Pengetahuan ini sudah merupakan bagian budaya mereka yang diperoleh
dari pandangannya tentang alam semesta yang relatif diyakini oleh komunitas masyarakat
tersebut.Namun, sampai saat ini sains asli yang merupakan subbudaya dari kelompok
masyarakat, kurang disadari dan kurang mendapat perhatian dari para pakar pendidikan
sains maupun guru-guru sains di Indonesia. Baker, et al (1995) menyatakan, bahwa jika
pembelajaran sains di sekolah tidak memperhatikan budaya anak, maka konsekuensinya
siswa akan menolak atau menerima hanya sebagian konsep-konsep sains yang
dikembangkan dalam pcmbelajaran. Stanley & Brickhouse (2001) menyarankan agar
pembelajaran sains di sekolah menyeimbangkan antara sains Barat (sa ins normal, sains
yang dipelajari dalam kelas) dengan sains asli (sains tradisional) dengan menggunakan
pendekatan lintas budaya (cross-culture). Pendapat senada juga dikemukakan oleh
Cobern dan Aikenhead (1996: 4), yang menyatakan jika subkultur sains modern yang
diajarkan di sekolah harmonis dengan subkultur kehidupan sehari-hari siswa, pengajaran

4
sains akan berkecenderungan memperkuat pandangan siswa tentang alam semesta, dan
hasilnya adalah enculturation.
Jika enculturation terjadi, maka berpikir ilmiah siswa tentang kehidupan sehari-
hari akan meningkat. Sebaliknya, jika subkultur sains yang diajarkan di sekolah berbeda
atau bahkan bertentangan dengan subkultur keseharian siswa tentang alam semesta,
seperti yang terjadi pada kebanyakan siswa (Costa, 1995; Ogawa, 2002), maka
pengajaran sains akan berkecenderungan menghancurkan atau memisahkan pandangan
siswa tentang alam semesta, sehingga mereka meninggalkan atau meminggirkan cara asli
mereka untuk mengetahui dan rekonstruksi terjadi menuju cara mengetahui menurut
ilmuwan (scientific). Hasilnya adalah asimilasi (Cobern & Aikenhead; 1996; MacIvor,
1995).Hal ini konotasinya sangat negatif dan dianggap sebagai “hegemoni pendidikan”
atau “imperialisme budaya”. Pada umumnya siswa meghambat asimilasi, misalnya
dengan cara kurang memperhatikan pelajaran. Jika hal ini terjadi, tentu hasil belajar sains
tidak akan sesuai dengan yang diharapkan. Lucas (1998) berpendapat bahwa salah satu
tujuan utama pendidikan sains di rnasyarakat timur (non-Western) seharusnya
membandingkan pandangan tradisional dan pandangan ilmiah tentang manusia dan
hakekatnya, serta bagaimana cara berpikirnya, dan juga mengklarifikasi kesesuaian dan
perbedaan antara kedua pandangan tersebut. Lebih lanjut, Jegede & Okebukola (1989)
menyatakan, bahwa memadukan sains asli siswa (sains sosial-budaya) dengan pelajaran
sains di sekolah ternyata dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Hal ini diakuinya, jika dalam proses belajar mengajar sains, keyakinan atau
pandangan tradisional tentang alam semesta tidak dimasukkan, maka konflik yang ada
pada diri siswa tentang perbedaan pandangan tradisional dan pandangan ilmiah akan
terus dibawa oleh siswa dan akan berakibat pada pemahaman siswa terhadap konsep
ilmiah menjadi kurang bermakna. Jegede & Aikenhead (2000: 1) menyarankan agar
pembelajaran sains modern menggunakan pedagogi sosial konstruktivis. Karakteristik
konstruktivis sosial tentang pengetahuan, meliputi :
a. Pengetahuan bukanlah komoditi pasif yang ditransfer dari guru ke siswa,
b. Siswa tidak dapat dan seharusnya tidak membuat penyerapan seperti
halnya “sepon”,
c. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari yang mengetahui (knower),

5
d. Belajar adalah proses sosial dimana terjadi interaksi antara siswa dengan
lingkungan, dan
e. Pengetahuan awal dan pengetahuan tradisional (indigenous) pelajar adalah
signifikan dalam membantu konstruksi makna dalam situasi yang baru.
Semua aktivitas belajar diperantarai oleh budaya dan terjadi dalam konteks
social.Peran konteks sosial adalah untuk tangga-tangga bagi pelajar, dan menyediakan
isyarat dan membantu dimana memelihara ko-konstruksi pengetahuan selama interaksi
dengan anggota masyarakat lainnya. Pembelajaran sains yang mampu menjembatani
perpaduan antara budaya siswa dengan budaya ilmiah di sekolah’ akan dapat
mengefektifkan proses belajar siswa. Siswa akan belajar secara formal untuk memahami
lingkungannya dengan berbagai permasalahan yang ada di sekitarnya. Dengan demikian,
akan terjadi fenomenologi didaktis (didactical phenomenology) yang mengandung arti
bahwa dalam mempelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan materi-materi lain dalam
sains (fisika), para siswa perlu bertolak dari masalah-masalah (fenomena-fenomena)
kontekstual, yaitu masalah-masalah dalam dunia nyata, atau setidak-tidaknya dari
masalah-masalah yang dapat dibayangkan sebagai masalah-masalah yang nyata (Johnson,
2002).
Prinsip belajar ini juga sesuai dengan prinsip utama belajar dalam Quantum
Teaching yang menyatakan, “Bawalah dunia mereka ke dunia kita.Antarkan dunia kita ke
dunia mereka” (DePorter & Nourie, 2000). Di samping itu, pengajaran sains yang
berbasis budaya akan sangat relevan dengan konsep pengajaran sains yang direncanakan
dalam kurikulum berbasis kompetensi dasar, juga menekankan pada pengembangan
nilaikebijaksanaan. Dengan demikian, pelajaran sains tidak lagi menjadi pelajaran yang
asing bagi siswa, berupa hafalan, rumit, tidak ada manfaatnya dan terkesan
membosankan, tetapi menjadi pelajaran sains yang bermakna, bem1anfaat, dan ramah
dengan siswa, karena apa yang mereka pelajari memang benar-benar ada di lingkungan
mereka.
2.2 Nilai Karakter dan Perilaku Peserta Didik
2.2.1 Memahami Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter sebagai paradigma trend pendidikan masa kini. Namun,
jika kita tilik dari pengalaman sejarah bangsa, pendidikan karakter sesungguhnya

6
bukan hal baru dalam tradisi pendidikan di Indonesia. Beberapa pendidik Indonesia
modern yang kita kenal, seperti RA. Kartini, Ki Hajar Dewantara, Soekarna, Hatta,
Tan Malaka, Moh.Natsir, dan lain-lain, telah mencoba menerapkan semangat
pendidikan karakater sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai
dengan konteks dan situasi yang mereka alami (Koesoema, D, 2007). Sedangkan
istilah karakter dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan baru muncul pada
akhir abad -18. Terminologi ini biasanya mengacu pada sebuah pendekatan
idealisspiritualis dalam pendidikan normatif.
Pada saat ini banyak sekali karakter dan sikap perilaku siswa yang kurang
mencerminkan sebagai siswa yang pernah belajar sains (IPA); misalnya membuang
sampah tidak pada tempatnya, kejujuran dalam mengerjakan tes atau tugas yang
diberikan guru, kejujuran dalam melaporkan kegiatan praktikum, kesantunan dalam
berbicara di depan guru atau orang tua, dan sikap-sikap yang tak terpuji lainnya.
Kurikulum 2013 mengedepankan akan pendidikan karakter dan revolusi mental yang
terdeskripsikan dalam kompetensi inti yaitu kompetensi inti pertama adalah religious
yaitu menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya. Kompetensi kedua
adalah kompetensi pribadi dan social yang berkaitan perilaku mulia seperti perilaku
menghargai dan menghayat, jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong
royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan
sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
Kompetensi inti yang ketiga adalah kompetensi memahami pengetahuan
[faktual, konseptual, dan procedural] berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata,
serta kompetensiyang keempat adalah kompetensi keterampilan dan unjuk kerja.
Dengan demikian jelaslah pada konteks kurikulum 2013 saat ini, pendidikan karakter
dan revolusi mental menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses
pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter inipun juga diharapkan
mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas pada tahun
2025.
Landasan pentingnya pendidikan karakter ini juga mengacu pada UU No 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3. Pada pasal 3 tersebut

7
menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pada
implementasinyya, pendidikan karakter dapat berlangsung melalui Jalur pendidikan
formal, nonformal, dan informal yang saling melengkapi dan memperkaya dalam
mengokohkan pendidikan karakter. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan
kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan karakter. Siswa
mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam (sekitar 30 %) per hari,
selebihnya (70%), siswa berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika
dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar
30% terhadap hasil pendidikan siswa.
Hakekat, fungsi dan tujuan pendidikan di Indonesia untuk setiap jenjang
pendidikan berkaitan dengan pembentukan karakter siswa, sehingga mampu bersaing,
beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat [Kemendikbud,
2013]. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penelitian Ali Ibrahim Akbar (2009) yang
menemukan bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan sematamata oleh
pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill), tetapi lebih oleh kemampuan
mengelola diri dan orang lain (soft skill). Kesuksesan hidup siswa ternyata hanya
ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill.
Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak
didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa
mutu pendidikan karakter siswa sangat penting untuk ditingkatkan. Pengertian
karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

8
Wamendiknas mengungkapkan bahwa pada dasarnya pembentukan karakter
itu dimulai dari fitrah yang diberikan Ilahi, yang kemudian membentuk jati diri dan
prilaku. Dalam prosesnya sendiri fitrah Ilahi ini sangat dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan, sehingga lingkungan memiliki peranan yang cukup besar dalam
membentuk jati diri dan prilaku. Wamendiknas menganjurkan agar setiap sekolah dan
seluruh lembaga pendidikan memiliki school culture, dimana setiap sekolah memilih
pendisiplinan dan kebiasaan mengenai karakter yang akan dibentuk, yaitu kompetensi
religious dan perilaku mulia.
2.2.2 Konsep Pendidikan karakter
Secara historis-geneologis, pencetus pendidikan karakter yang
menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah ahli
pedagog Jerman FW Foerster (Koesoema D, 2007). F.W Foerster menyatakan
bahwa terdapat empat ciri dasar dalam pendidikan karakter, yaitu:
1. keteraturan interior dengan setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai.
Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan;
2. koherensi akan memberikan nilai dasar untuk memberi keberanian,
membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing
pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang
membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi
meruntuhkan kredibilitas seseorang;
3. otonomi, berarti seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai
menjadi nilai-nilai bagi pribadi; nilai dasar otonomi ini dapat dilihat lewat
penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh oleh atau desakan dari
pihak lain;
4. keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang
guna memperoleh apa yang dipandang baik. Kesetiaan merupakan dasar
bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Konsep pendidikan karakter berarti juga suatu sistem penanaman nilai


karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran
atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai [norma, hukum,
aturan] yang diyakini kebenarannya. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai

9
“the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character
deve-lopment; artinya konsep pendidikan karakter sebagai usaha yang disengaja
dengan menggunakan semua dimensi kehidupan di sekolah untuk mendorong
terwujudnya karakter optimal.

Menurut David Elkind & Freddy Sweet (Sudrajad, 2010), pendidikan


karakter dimaknai sebagai upaya yang disengaja untuk membantu orang
memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilainilai/etika. Dalam konteks
pembelajaran, pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru,
yang mampu mempengaruhi karakter siswa. Guru membantu membentuk watak
siswa.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kata ethnoscience (etnosains) bersasal dari kata ethnos (bahasa Yunani) yang
berarti bangsa, dan scientia (bahasa Latin) artinya pengetahuan.Oleh sebab itu, etnosains
merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu komunitas budaya.Kemudian ilmu ini
mempelajari atau mengkaji sistem pengetahuan dan tipe-tipe kognitif budaya
tertentu.Penekanan pada pengetahuan asli dan khas dari suatu komunitas budaya.
Pada saat ini banyak sekali karakter dan sikap perilaku siswa yang kurang
mencerminkan sebagai siswa yang pernah belajar sains (IPA); misalnya membuang
sampah tidak pada tempatnya, kejujuran dalam mengerjakan tes atau tugas yang
diberikan guru, kejujuran dalam melaporkan kegiatan praktikum, kesantunan dalam
berbicara di depan guru atau orang tua, dan sikap-sikap yang tak terpuji lainnya.
Kurikulum 2013 mengedepankan akan pendidikan karakter dan revolusi mental yang
terdeskripsikan dalam kompetensi inti yaitu kompetensi inti pertama adalah religious
yaitu menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Baker, D. & Taylor (1995). The effect of culture on the learning of science in non-western
countries: the result of and integrated research review. Intenational Journal of Science
Education (16), 1- 16

Costa,V.B.(1995). When science is “Another World”: Relationships between Worlds of Family,


Friends, School,and Science. Science Education.79(3).313-333.

Lucas,B.K (1998). Some Coutionary Notes About Employing the Socio-Cultural Environmental
Scale in Different Cultural Contexts. Journal of Research and Mathematics Education in
SE Asia.21(2).

Spradley, L.P. 2001, The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart, and Wiston

Stanley,W.B& N.W. Brickhouse. (2001). The Multicultural Question Revisited. Science


Education.Vol 85 (I).Pp.35-48.

Snively,G& Corsiglia. (2001). Discovering Indigenous Science: Implications for Science


Education. Science Education.Vol 85 (1).Pp.7-34.

Shumba, O. (1999). Relationship between secondary science teachers orientation of traditional


culture on beliefs concerning science instructional of ideology.Journal Of Research in
Science Theaching, 26(3) 333-335.

12

Anda mungkin juga menyukai