Anda di halaman 1dari 102

GAMBARAN ANSIETAS SOSIAL ANAK TUNARUNGU USIA REMAJA

DI SLB KOTA BOGOR

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Dalam Menyelesaikan Program


Pendidikan Diploma III Program Studi Keperawatan Bogor Politeknik Kesehatan
Kemenkes Bandung

Disusun Oleh :
FARA DEWI UTAMI PUNGKI LESTARI
NIM. P17320313006

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN BOGOR
2016
i

LEMBAR PERSETUJUAN

GAMBARAN ANSIETAS SOSIAL ANAK TUNARUNGU USIA REMAJA


DI SLB KOTA BOGOR

Disusun oleh:
FARA DEWI UTAMI PUNGKI LESTARI
P17320313006

Karya Tulis Ilmiah ini telah disetujui untuk diujikan pada tanggal 01 Juli 2016

Pembimbing,

Ningning Sri Ningsih, S.Kp, M.Kep


NIP. 196504201990022001
ii

LEMBAR PENGESAHAN

GAMBARAN ANSIETAS SOSIAL ANAK TUNARUNGU USIA REMAJA


DI SLB KOTA BOGOR

Disusun oleh:
FARA DEWI UTAMI PUNGKI LESTARI
P17320313006

Karya Tulis Ilmiah ini telah diujikan dan disahkan pada tanggal 01 Juli 2016

Tim penguji

Ketua (Pembimbing) : Ningning Sri Ningsih, S.Kp, M.Kep (...........................)


NIP. 196504201990022001
Anggota : Dwi Susilowati APPd, M.Kes (...........................)
NIP. 197007131993032001
Anggota : Yuliastati, M.Kep (...........................)
NIP. 197307131997032001

Mengetahui,
Ketua Program Studi Keperawatan Bogor

Susmadi, S. Kp, M.Kep


NIP.196503131989011001
iii

Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung


Prodi Keperawatan Bogor

Fara Dewi Utami Pungki Lestari


P17320313006

Gambaran Ansietas Sosial Anak Tunarungu Usia Remaja Di SLB Kota Bogor
i-xiii + 75 halaman, VI BAB, 4 tabel, 2 diagram, 4 skema, 9 lampiran

ABSTRAK

Remaja tunarungu yaitu remaja yang mengalami kekurangan atau kehilangan


kemampuan mendengar sebagian atau seluruhnya, diakibatkan tidak berfungsinya
sebagian atau seluruh indera pendengaran. Kemampuan yang kurang dalam hal
sosialisasi, interaksi sosial dan perasaan terasing dari pergaulan sehari-hari terjadi
pada remaja tunarungu karena kurang bisa menguasai keadaan sehingga
menimbulkan ansietas sosial. Ansietas sosial adalah perasaan malu dinilai atau
diperhatikan oleh orang lain karena adanya prasangka bahwa orang lain menilai
negatif terhadap dirinya. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran
ansietas sosial anak tunarungu usia remaja. Manfaat penelitian bagi Institusi
Keperawatan Bogor yaitu untuk untuk mengembangkan penelitian dan menyusun
program penanggulangan ansietas sosial atau memberikan asuhan keperawatan
mengenai masalah ansietas sosial yang di alami remaja tunarungu. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif, dengan teknik proportional random sampling,
sampel penelitian ini sebanyak 32 remaja tunarungu. Pengumpulan data diperoleh
menggunakan instrument penelitian kuisioner dari skala SASA (Social Anxiety
Scale for Adolescent). Hasil penelitian menunjukan lebih dari setengahnya
responden memiliki ansietas sosial sedang yaitu 26 responden (81%), sebagian
kecil memiliki ansietas sosial berat yaitu 6 responden (19%), dan tidak satupun
responden yang memiliki ansietas sosial ringan. Rekomendasi untuk menurunkan
ansietas sosial pada remaja tunarungu dilakukan konseling melalui guru, pada
institusi keperawatan diharapkan mampu menyusun program penanggulangan
atau memberikan asuhan keperawatan mengenai masalah ansietas sosial yang di
alami remaja tunarungu dengan memberikan intevensi berupa promosi kesehatan
kepada guru/orang tua remaja tunarungu mengenai ansietas sosial atau
memberikan terapi keperawatan Social Skills Training (SST).
Kata Kunci : Remaja Tunarungu, Ansietas Sosial
Daftar Pustaka: 49 (2004-2015)
iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul “Gambaran Ansietas Sosial anak

Tunarngu usia Remaja di SLB Kota Bogor”. Karya Tulis Ilmiah ini disusun

untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Pendidikan

Diploma III Keperawatan pada Program Studi Keperawatan Bogor Politeknik

Kesehatan Kemenkes Bandung.

Dalam penyusunan Karya Tuis Ilmiah ini peneliti tidak lepas dari berbagai

hambatan serta kesulitan. Namun atas bimbingan, arahan serta bantuan dari

berbagai pihak akhirnya peneliti dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan

terimakasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Allah S.W.T, Rabb-ku yang senantiasa memberikan rahmat dan

kasihnya yang tak pernah berhenti kepada setiap mahluk-Nya, juga

senantiasa memberikan kesehatan dalam proses penyelesaian Karya

Tulis Ilmiah ini.

2. Bapak Susmadi, S.Kp, M.Kep selaku Ketua Program Studi

Keperawatan Bogor Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung.

3. Ibu Ningning Sri Ningsih, S.Kp, M.Kep selaku pembimbin Karya

Tulis Ilmiah yang tiada henti memberikan bimbingan, arahan dan

motivasi dalam penyusunan KaryaTulis Ilmiah ini.


v

4. Kepala Sekolah, guru-guru dan siswa siswi SLB-B Tunas Kasih 2 dan

Sejahtera Kota Bogor.

5. Ayah dan ibuku tercinta (ibuku Sri Sulastri dan ayahku Adar

Suhendar) yang senantiasa memberikan kasih dan sayang yang tulus

dan doa yang terbaik untuk saya yang tiada hentinya dan seluruh

keluargaku tercinta (adikku tercinta Akbar Ramadhan Suhendar dan

Farhan Suhendar) yang selalu memberi semangat dan doa yang terbaik

untuk saya.

6. Rekan-rekan seperjuangan Program Studi Keperawatan Bogor

Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung angkatan 19 yang saling

mendukung dan membantu, selalu bersama saat suka maupun duka.

7. Sahabatku (Aris, Meilani, Nida, Levana, dan Sakinah) yang

mendukung, mendoakan dan membatu.

Semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan Ilmu

Keperawatan, pembaca pada umumnya dan khususnya kepada rekan-rekan

perawat.

Bogor, 28 Juni 2016

Penulis
vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN.........................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................ii

ABSTRAKSI..............................................................................................iii

KATA PENGANTAR................................................................................iv

DAFTAR ISI...............................................................................................vi

DAFTAR TABEL.......................................................................................ix

DAFTAR DIAGRAM..................................................................................x

DAFTAR SKEMA......................................................................................xi

DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................xii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................1

B. Rumusan Masalah..........................................................................6

C. Tujuan Penelitian............................................................................7

1. Tujuan Umum.............................................................................7

2. Tujuan Khusus............................................................................7

D. Manfaat Penelitian..........................................................................7

1. Peneliti........................................................................................7

2. Institusi Program Studi Keperawatan Bogor..............................7

3. Institusi Peniltian (SLB).............................................................8

BAB II TINJAUAN TEORITIS..................................................................9


vii

A. Landasan Teori...............................................................................9

1. Konsep Dasar Keperawatan Remaja...........................................9

2. Konsep Dasar Tunarungu.........................................................16

3. Konsep Dasar Ansietas Sosial..................................................25

B. Kerangka Teori.............................................................................46

BAB III KERANGKA KONSEP...............................................................47

A. Kerangka Konsep.........................................................................47

B. Variabel dan Definisi Oprasional.................................................49

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN..................................................50

A. Desain Penelitian..............................................................................50

B. Waktu dan Tempat Penelitian......................................................50

1. Waktu........................................................................................50

2. Tempat......................................................................................51

C. Populasi dan Sampel.....................................................................52

1. Populasi.....................................................................................52

2. Sampel......................................................................................52

D. Cara pengambilan Sample............................................................55

E. Pengumpulan Data........................................................................57

1. Instrumen Penelitian.................................................................57

2. Teknik Pengumpulan Data........................................................59

F. Prosedur Penelitian.......................................................................59
viii

G. Pengolahan Data...........................................................................60

H Analisa Data.................................................................................63

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................64

A. Gambaran Umum Lahan Praktik......................................................64

B. Hasil Penelitian................................................................................64

1. Karakteristik Responden...........................................................65

2. Ansietas sosial...........................................................................67

C. Pembahasan.....................................................................................67

1. Karakteristik responden..............................................................68

2. Ansietas sosial pada anak tunarungu usia remaja.......................71

D. Keterbatasan Penelitian................................................................72

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI....................................74

A. Kesimpulan....................................................................................74

B. Rekomendasi.................................................................................74

1. Peneliti selanjutnya....................................................................74

2. Institusi program studi Keperawatan Bogor..............................75

3. Institusi SLB Kota Bogor.........................................................75

DAFTAR PUSTAKA
ix

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional..............................................................................49

Tabel 4.1 Kegiatan Penelitian................................................................................51

Tabel 4.2. Populasi siswa dan siswi usia Remaja di SLB Kota Bogor..................52

Tabel 5.1 Frekuensi Responden Berdasarkan Usia................................................65

Tabel 5.2 Frekuensi Tingkat Ansietas Sosial Berdasarkan Usia...........................68

Tabel 5.3 Frekuensi Tingkat Ansietas Sosial Berdasarkan Jenis Kelamin............69


x

DAFTAR DIAGRAM

5.2 Karakteristik Jenis Kelamin ............................................................................66

5.1 Variabel Ansietas Sosial .................................................................................67


xi

DAFTAR SKEMA

Skema 2.1 Kerangka Teori.....................................................................................46

Skema 3.1 Kerangka Konsep.................................................................................47

Skema 4.1 Formula Perhitungan Sampel...............................................................53

Skema 4.2 Antisipasi Drop out..............................................................................54


xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Penjelasan Penelitian

Lampiran 2 : Persetujuan Responden

Lampiran 3 : Kuesioner

Lampiran 4 : Master Data

Lampiran 5 : Surat Permintaan Info Data

Lampiran 6 : Surat Izin Peneitian

Lampiran 7 : Lembar Konsul

Lampiran 8 : Riwayat Hidup

Lampiran 9 : Lembar Persembahan


BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan

perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa remaja merupakan

suatu periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Menurut

Wong (2009), masa remaja sendiri terdiri atas tiga subfase yang jelas, yaitu

masa remaja awal (usia 11 sampai 14 tahun), masa remaja pertengahan (usia

15 sampai 17 tahun) dan masa remaja akhir (usia 18 sampai 20 tahun).

Pada usia remaja merupakan masa transisi perkembangan yang paling

menentukan dari seorang anak menjadi dewasa karena terjadi perubahan fisik,

psikologis dan sosial (Erikson dalam Wong, 2009). Menurut Hasibuan (2014),

masa remaja ditandai dengan adanya tuntutan dari lingkungan sosial, adanya

tekanan dari teman sebaya, dan ketertarikan dengan lawan jenis yang

mengarah kepada suatu dimensi baru dari fungsi sosial. Kondisi semacam itu

tidak hanya dialami remaja normal, namun juga dialami oleh remaja dengan

kebutuhan khusus.

Beberapa anak dengan kebutuhan khusus (disability) adalah remaja

penyandang tunarungu. Tunarungu adalah istilah yang digunakan untuk

menyebut anak yang mempunyai kecacatan pada indra pendengaran. Delphie

(2009), menyatakan bahwa remaja tunarungu yaitu remaja yang mengalami

kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar sebagian atau

1
2

seluruhnya, diakibatkan tidak berfungsinya sebagian atau seluruh indera

pendengaran. Hal tersebut menyebabkan kemampuan pendengaran orang itu

tidak berfungsi dan pada dasarnya secara intelegensia tidak berbeda dengan

anak remaja yang mampu mendengar.

Menurut data WHO tahun 2007, prevalensi gangguan pendengaran pada

populasi Indonesia diperkirakan sebesar 4,2%. Berdasarkan data Sensus

Penduduk (2010), di Indonesia jumlah penyandang tunarungu umur ≥10

tahun diperkirakan sebesar 1,58%, sedangkan untuk daerah Jawa Barat jumlah

penduduk yang mengalami kesulitan pendengaran/tunarungu pada usia 10-19

tahun sekitar 26.378 ribu penduduk.

Remaja tunarungu mengalami gangguan dalam hal pendengaran sehingga

memiliki hambatan dalam komunikasi dan hubungan sosial, sebagai akibat

tersebut mereka mengalami kesulitan untuk bersosialisasi, sulit mengartikan

kata-kata abstrak, dan sulit mengartikan kata-kata yang mengandung arti

kiasan. Kecacatan sering mengakibatkan masalah-masalah sosial, seperti

penolakan oleh lingkungan sosialnya, kesulitan membina hubungan sosialnya

dan sikap belas kasihan dan overprotektif dari orang-orang lain (Ben & Debi

dalam Pinilih, 2012). Menurut Delphie (2009), ketunarunguan dapat

mengakibatkan perasaan terasing dari pergaulan sehari-hari, yang berarti

remaja tunarungu terasing dari pergaulan atau aturan sosial yang berlaku di

masyarakat dimana dia hidup, remaja penyandang tunarugu juga cenderung

merasa kurang bisa menguasai keadaan yang diakibatkan oleh


3

pendengarannya yang terganggu, sehingga menimbulkan ansietas saat berada

di lingkungan sosial.

Salah satu ansietas yang muncul pada remaja tunarungu saat berada di

lingkungan sosial adalah ansietas sosial karena remaja tunarungu merasa

rendah diri, cenderung hidup dalam lingkungannya sendiri dengan sikap-sikap

yang negatif, penuh prasangka dan mempunyai kemampuan yang kurang

dalam hal sosialisasi dan interaksi sosial dengan lingkungan sekitar atau dalam

pergaulan sehari-hari (Bronson & Dave dalam Pinilih, 2012).

Ansietas sosial sendiri adalah perasaan malu dinilai atau diperhatikan oleh

orang lain karena adanya prasangka bahwa orang lain menilai negatif terhadap

dirinya (Rakhmat, 2007). Remaja tunarungu takut bahwa orang lain mengira

ia bodoh, lemah dan paparan terhadap situasi yang ditakuti dapat segera

menimbulkan serangan ansietas. Menurut Bruch, dkk., dalam Pinilih (2012),

remaja tunarungu takut berlebihan (misalnya: muka merah, berkeringat,

gemetaran dan kebingungan) ketika berinteraksi dengan orang asing, takut

situasi dimana seseorang dapat dinilai, khawatir akan memalukan atau

memalukan diri sendiri, ketakutan bahwa orang lain akan melihat bahwa

dirinya terlihat cemas, kecemasan yang mengganggu rutinitas harian seperti

sekolah atau kegiatan lainnya, menghindari melakukan sesuatu atau berbicara

dengan orang karena takut malu, menghindari situasi dimana dirinya mungkin

menjadi pusat perhatian.


4

Wenar & Kerig dalam Fidhzalidar (2015), menemukan di Amerika ada

sekitar 10,7%-17,3% remaja yang mengalami gangguan ansietas

umum(ansietas riwayat gangguan panik, ansietas spesifik dan ansietas sosial).

Prevalensi untuk ansietas sosial pada anak di Columbia menurut Gosch dkk.,

dalam Fidhzalidar (2015), berkisar 12%-20% anak. Dimulai pada usia remaja

dan dengan perbandingan 2:1(perempuan:laki-laki) (Tomb, 2004).

Hasil penelitian yang dilakukan Pinilih (2012), pada 76 remaja tunarungu

didapatkan hasil 38 (43,82%) remaja tunarungu di Kabupaten Wonosobo yang

mengalami ansietas sosial sedang. Sedangkan di Jerman menurut penelitian

Heur (2007), pada 244 remaja awal didapatkan hasil 56 (22.9%) remaja awal

mengalami ansietas sosial tinggi, 138 (56.5%) remaja awal mengalami

ansietas sosial sedang dan 50 (20.5%) remaja akhir mengalami ansietas sosial

rendah. Sedangkan pada 239 remaja tengah didapatkan hasil 73 (30.54%)

remaja tengah mengalami ansietas sosial tinggi, 115 (48.12%) remaja tengah

mengalami ansietas sosial sedang dan 61 (25.52%) remaja tengah mengalami

ansietas sosial rendah dan pada 253 remaja akhir didapatkan hasil 79 (31.2%)

remaja akhir mengalami ansietas sosial tinggi, 121 (47.8%) remaja akhir

mengalami ansietas sosial sedang dan 53 (20.9%) remaja akhir mengalami

ansietas sosial rendah.

Penderita gangguan ansietas sosial selama masa remaja akan

meningkatkan kemungkinan untuk berkembanganya gangguan depresi di

kemudian hari (Nevid, S. Jeffrey, dkk., 2005). Ansietas sosial yang dialami

remaja tunarungu dapat berpengaruh pada peran anak di rumah, sekolah


5

ataupun teman sebaya. Masyarakat pun cenderung mengasihi penderitaan

tunarungu dan beranggapan bahwa mereka tidak dapat melakukan apa yang

dilakukan orang-orang normal pada umumnya, bahkan tidak jarang

masyarakat mengejek dan mendiskriminasikanya. Jiwo (2012), mengatakan

ansietas sosial dapat menyebabkan rendah diri, kesulitan bersikap tegas, suka

mengejek-ngejek diri sendiri, hipersensitif terhadap kritik, miskin

keterampilan sosial, prestasi akademik rendah, isolasi dan hubungan sosial

sulit, penyalahguanaan zat dan yang lebih parah lagi ialah bunuh diri.

Berdasarkan permasalahan ansietas sosial yang dialami remaja tunarungu

tersebut, perlu mendapatkan penatalaksanaan atau intervensi sedini mungkin

dari orang-orang terdekat dan lingkungan untuk mengurangi ansietas sosial,

tidak hanya orangtua atau guru, perawat juga memiliki peran sebagai pendidik

baik secara langsung dengan memberi penyuluhan/pendidikan kesehatan pada

orang tua dan remaja tunarungu, maupun secara tidak langsung dengan

menolong orang tua/anak memahami pengobatan dan perawatan anaknya.

Wong (2009), menyatakan tujuan asuhan keperawatan pada remaja tunarungu

dan keluarga adalah agar remaja tunarungu mencapai perkembangan potensi

secara optimal melalui peningkatan proses komunikasi dan sosialisasi serta

remaja dan keluarga mendapat dukungan. Salah satu upaya atau intervensi

perawat adalah dengan mendukung program pemerintah melalui Upaya

Kesehatan Sekolah (UKS). Agar pendidikan/pelayanan kesehatan terhadap

remaja tunarungu dapat diberikan sesuai haknya.


6

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di SLB

Sejahtera Kota Bogor, peneliti melakukan wawancara dengan bantuan guru

serta observasi pada responden 10 remaja tunarungu di dapatkan hasil 6 dari

10 remaja tunarungu berusia 11 sampai 20 tahun mereka mengungkapkan

bahwa mereka merasa takut (muka merah, berkeringat, gemetaran dan

kebingungan) dan malu tampil di depan umum, takut bertemu orang baru

(orang baru yang normal), dan takut orang lain berprasangka negatif

terhadapnya. Selain itu peneliti juga mengobservasi remaja tunarungu, tampak

menghindar, tampak malu (menunduk dan tidak memberikan kontak mata

penuh) dan takut (menggenggam tangan dan kebingungan) saat di ajak untuk

berkomunikasi.

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik melakukan penelitian dengan

judul “Gambaran Ansietas Sosial pada anak Tunarungu usia Remaja di SLB

Kota Bogor” dan diharapkan mampu mengurangi prevalensi ansietas sosial

pada remaja tunarungu.

b. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan fenomena yang ada maka rumusan

masalah dalam kajian penelitian ini adalah “Bagaimana Gambaran Ansietas

Sosial Anak Tunarungu usia Remaja di SLB Kota Bogor?”.


7

c. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran ansietas sosial

anak tunarungu usia remaja di SLB Kota Bogor tahun 2016.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya karakteristik anak tunarungu usia remaja (umur dan

jenis kelamin) di SLB Kota Bogor.

b. Diketahuinya gambaran ansietas sosial pada anak tunarungu usia

remaja di SLB Kota Bogor.

d. Manfaat Penelitian

1. Peneliti

a. Menambah wawasan, pengalaman dan meningkatkan

pengetahuan tentang proses dan cara-cara penelitian deskriptif.

b. Mendapatkan informasi gambaran ansietas sosial pada anak

tunarungu.

c. Sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya

mengenai ansietas sosial.

2. Institusi Program Studi Keperawatan Bogor

a. Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa kesehatan, khususnya

mahasiswa keperawatan tentang keperawatan anak, terutama

ansietas sosial pada anak tunarungu.


8

b. Sebagai data dasar penelitian selanjutnya untuk lebih

meningkatkan mutu asuhan keperawatan terhadap anak

tunarungu.

c. Sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun program

penanggulangan atau memberikan asuhan keperawatan mengenai

masalah ansietas sosial yang di alami remaja tunarungu.

3. Institusi Peniltian (SLB)

Sebagai data acuan bagi staf pengajar/pihak SLB-B untuk

dapat memberikan Konseling kepada siswa dan siswi tunarungu usia

remaja mengenai cara menurunkan ansietas sosial.


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Landasan Teori

4. Konsep Dasar Keperawatan Remaja

a. Definisi Remaja

Remaja berasal dari kata latin “ adolesence” yang artinya tumbuh

atau tumbuh menjadi dewasa. Terjadinya kematangan secara

keseluruhan dalam emosional, mental, sosial dan fisik (Hurlock,

2010).

Menurut Wong (2009), masa remaja merupakan suatu periode


transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa, merupakan suatu
kematangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional yang cepat pada
anak laki-laki untuk mempersiapkan diri menjadi laki-laki dewasa dan
pada anak perempuan untuk mempersiapkan diri manjadi wanita
dewasa. Terdiri atas tiga subfase yang jelas, yaitu masa remaja awal
(usia 11 sampai 14 tahun), masa remaja pertengahan (usia 15 sampai
17 tahun) dan masa remaja akhir (usia 18 sampai 20 tahun).

Menurut Desmita (2012), remaja adalah suatu tahap perkembangan

antara masa kanak-kanak ke dewasa, yang ditandai oleh perubahan-

perubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan sosial.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa

remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa

antara usia 11 sampai dengan 20 tahun, yang ditandai dengan

terjadinya kematangan fisik, mental, kognitif, sosial, dan emosional.

9
10

b. Karekteristik Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja

Menurut Gunarsa (2008), ciri-ciri yang menonjol dari remaja

adalah: Memiliki keadaan emosi yang labil, timbulnya sikap

menantang dan menentang orang lain, hal itu dilakukan sebagai wujud

remaja ingin merenggangkan hubungan maupun ikatan dengan

orangtuanya, memiliki sifat untuk mengeksplorasi atau keinginan

untuk menjelajahi lingkungan alam sekitar, memiliki banyak fantasi

khayalan dan buaian, remaja cenderung untuk membentuk suatu

kelompok.

Dalam Wong (2009), karakteristik pertumbuhan dan

perkembangan remaja terbagi dalam enam bagian yaitu:

1) Fisik

Menurut Wong (2009), perubahan fisik pada pubertas

merupakan hasil aktivitas hormonal di bawah pengaruh sistem

saraf pusat. Seorang remaja akan mengalami pertumbuhan fisik

yang sangat cepat pada usia remaja, baik tinggi badan maupun

berat badan. Dalam psikologi pertumbuhan fisik yang cepat ini

dikenal dengan istilah growth spurt. Growth spurt adalah fase

pertama dari beberapa perubahan yang akan membawa seorang

remaja pada kematangan secara fisik maupun seksual. Adapun

perubahan fisik pada remaja sebagai berikut :


11

a) Perubahan fisik pada Wanita

(1) Pertumbuhan yang cepat (10-11 tahun)

Remaja putri mulai tumbuh menjadi lebih tinggi dan berat

badan bertambah. Pada usia 17 tahun, lemak tubuh remaja

putri bertambah disekitar pinggul dan dibagian atas paha.

(2) Perkembangan payudara (10-11 tahun)

Puting susu membesar sesuai dengan membesarnya

payudara. Hal ini merupakan tanda-tanda dini dari pubertas.

(3) Munculnya rambut didaerah pubis (10-11 tahun) dan

rambut dibawah ketiak serta bagian tubuh yang lain (12-

13 tahun)

Pada waktu rambut dibawah ketiak dan didaerah pubis

tumbuh, maka kelenjar keringat di bawah ketiak dan lipatan

paha menjadi aktif.

(4) Cairan vagina (10-13 tahun) dan menstruasi (11-14 tahun)

Cairan yang keluar dari vagina berkurang seiring dengan

mulainya menstruasi, pada permulaan biasanya menstruasi

tidak teratur, pada usia 17 tahun, menstruasi mulai teratur.

b) Perubahan fisik pada Pria

(1) Pertumbuhan yang cepat (12-13 tahun )

Pertumbuhan yang sangat cepat dapat terjadi setiap saat

mulai dari usia 13-15 tahun. Remaja putra menjadi lebih tinggi

dan berat badan bertambah, dengan dada dan pundak melebar.


12

(2) Perkembangan alat genitalia (11-14 tahun)

Sekitar usia 11-12 tahun, testis tumbuh lebih besar dan

kulit disekitar skrotum menjadi lebih gelap. Penis mulai

bertambah panjang dan menebal, pada usia 13-14 tahun mulai

mengalami ejakulasi.

(3) Pertumbuhan rambut dibeberapa tempat

Rambut tumbuh didaerah pubus (11-12 tahun). Rambut

dibawah ketiak dan bagian badan yang lain (13-15 tahun),

rambut disekitar wajah (13-15 tahun).

(4) Suara lebih dalam (14-15 tahun)

Sekitar usia 14 tahun, gendang suara melebar dan adam

apple (jakun) mulai tumbuh. Segera setelah itu suara menjadi

lebih dalam dan pecah.

2) Kognitif

Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental

seperti belajar, memori, menalar, berpikir, & bahasa. Pada masa

remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur

otak yg telah sempurna & lingkungan sosial yg semakin luas untuk

eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak.

Remaja tidak lagi dibatasi dengan kenyataan dan aktual yang

merupakan ciri periode berfikir konkret, remaja juga

memperhatikan terhadap kemungkinan yang akan terjadi.


13

3) Moral

Anak yang lebih muda hanya dapat menerima keputusan atau

sudut pandang orang dewasa, sedangkan remaja, untuk

memperoleh autonomi dari orang dewasa, mereka harus mengganti

seperangkat moral dan nilai mereka sendiri.

4) Sosial

Untuk memperoleh kematangan penuh, remaja harus

membebaskan diri mereka dari dominasi keluarga dan menetapkan

sebuah identitas yang mandiri dari wewenang orang tua. Masa

remaja adalah masa dengan kemampuan bersosialisasi yang kuat

terhadap teman sebaya dan teman dekat.

5) Emosional

Remaja seringkali mudah marah, mudah dirangsang dan

emosinya cenderung meledak tidak berusaha mengendalikan

perasaannya. Remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya

dengan cara gerakan amarah yang meledak-ledak, melainkan

dengan menggerutu, tidak mau berbicara atau dengan suara keras

mengkritik orang-orang yang menyebabkan amarah.

6) Psikososial

Krummel dalam Kurnianingsih (2010), bahwa berdasarkan

perkembangan psikososial remaja dibagi menjadi tiga periode

yaitu:
14

a) Remaja awal (11-14 tahun)

Karakteristik remaja awal yaitu mengalami percepatan

pertumbuhan fisik dan seksual, mereka kerap kali membandingkan

sesuatu dengan teman sebaya dan sangat mementingkan

penerimaan oleh teman sebaya, hal ini mengakibatkan timbulnya

kemandirian dan cenderung mulai mengabaikan pengaruh yang

berasal dari lingkungan rumah.

b) Remaja menengah (15-17 tahun)

Remaja menengah (15-17 tahun) perkembangan emosinalnya

mulai memisahkan diri dengan orangtua dan secara sosial yaitu

meningkatnya perilaku yang beresiko terhadap kesehatan dan mulai

tertarik dengan hubungan heteroseksual dan mulai memikirkan

rencana bekerja.

c) Remaja akhir (18-20 tahun)

Remaja akhir ditandai dengan kematangan kesiapan menuju

tahap kedewasaan dan lebih fokus pada masa depan baik dalam

bidang pendidikan, pekerjaan, seksual, dan individu. Karakteritik

remaja akhir umumnya sudah merasa nyaman dengan nilai dirinya

dan pengaruh teman sebaya sudah berkurang.

c. Permasalahan pada Remaja

Dalam Maliha (2015), permasalahan yang mungkin timbul pada

masa remaja diantaranya:


15

1) Fisik

Keadaan fisik pada masa remaja dipandang sebagai suatu hal

yang penting, namun ketika keadaan fisik tidak sesuai dengan

harapannya (ketidak sesuaian antara body image dengan self

picture) dapat menimbulkan rasa tidak puas dan kurang percaya

diri. Begitu juga, perkembangan fisik yang tidak proporsional.

Kematangan organ reproduksi pada masa remaja membutuhkan

upaya pemuasan dan jika tidak terbimbing oleh norma-norma dapat

menjurus pada penyimpangan perilaku seksual.

2) Sosial

Masa remaja disebut pula sebagai masa social hunger

(kehausan sosial), yang ditandai dengan adanya keinginan untuk

bergaul dan diterima di lingkungan kelompok sebayanya (peer

group). Penolakan dari peer group dapat menimbulkan frustrasi

dan menjadikan dia sebagai isolated dan merasa rendah diri. Pada

masa remaja, khususnya remaja awal akan ditandai adanya

keinginan yang ambivalen, di satu sisi adanya keinginan untuk

melepaskan ketergantungan dan dapat menentukan pilihannya

sendiri, namun di sisi lain dia masih membutuhkan orang tua,

terutama secara ekonomis.

Sejalan dengan pertumbuhan organ reproduksi, hubungan

sosial yang dikembangkan pada masa remaja ditandai pula dengan

adanya keinginan untuk menjalin hubungan khusus dengan lain


16

jenis dan jika tidak terbimbing dapat menjurus tindakan

penyimpangan perilaku sosial dan perilaku seksual.

3) Psikologis

Masa remaja disebut juga masa untuk menemukan identitas

diri (self identity). Usaha pencarian identitas pun, banyak dilakukan

dengan menunjukkan perilaku coba-coba, perilaku imitasi atau

identifikasi. Ketika remaja gagal menemukan identitas dirinya, dia

akan mengalami krisis identitas atau identity confusion. Reaksi-

reaksi dan ekspresi emosional yang masih labil dan belum

terkendali pada masa remaja dapat berdampak pada kehidupan

pribadi maupun sosialnya.

5. Konsep Dasar Tunarungu

a. Pengertian

Tunarungu diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan

pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap

berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya

(Sutjihati soemantri, 2012).

Kosasih (2012), mengemukakan bahwa tunarungu adalah

hilangnya kemampuan pendengaran seseorang, baik itu sebagian

(hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf). Hal tersebut

menyebabkan kemampuan pendengaran orang itu tidak berfungsi.

Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau

kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya


17

yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat

pendengaran (Nurhasanah, 2010).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa

tunarungu adalah mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian

(hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf) yang menyebabkan nilai

fungsional di dalam kehidupan sehari-harinya terganggu.

b. Klasifikasi Tunarungu

Menurut Wong (2009), tunarungu dapat diklasifikasikan

berdasarkan etiologi dan patologi.

1) Berdasarkan etiologinya, menurut Wong (2009), kehilangan

pendengaran disebabkan oleh sejumlah kondisi prenatal dan

pascanatal. Ini termasuk riwayat gangguan pendengaran pada

masa kanak-kanak pada keluarga, malformasi anatomis kepala

atau leher, berat badan lahir rendah, asfiksia perinatal berat,

infeksi perinatal (sitomegalovirus, rubella, herpes, sifilis,

toksoplasmosis, meningitis bakteri) syndrom down, atau

pemberian obat-obat ototoksik.

2) Berdasarkan patologi, menurut Wong (2009), membagi

tunarungu menurut lokasi dan defek sebagai berikut:

(1) Kehilangan pendengaran telinga bagian tengah atau konduktif, disebabkan

karena terganggunya transmisi suara ke telinga bagian tengah. Gangguan ini

adalah yang paling umum dari semua jenis kehilangan pendengaran dan yang

paling sering disebabkan oleh otitis media serosa dan kekerasan suara.
18

(2) Kehilangan pendengaran sensorineural, disebut juga tuli syaraf atau

perseptif, melibatkan kerusakan pada struktur telinga bagian dalam dan/atau

saraf auditorius (pendengaran). Menurut Rahardja (2006), penyebab

kehilangan pendengaran sensorineural adanya masalah dibagian dalam telinga

atau pada saluran saraf ke otak. Akibatnya suara yangmenuju kebagian dalam

telinga dan otak tidak dapat diteruskan, atau suara menjadi hilang.

(3) Gangguan persepsi pendengaran pusat/sentral, meliputi semua kehilangan

pendengaran yang tidak menunjukkan defek pada struktur sensorineural atau

konduktif. Gangguan persepsi pendengaran sentral dibagi menjadi kehilangan

organik atau kehilangan fungsi. Pada tipe organik dalam gangguan persepsi

pendengaran sentral, defek yang terjadi meliputi penerimaan stimulus

pendengaran sepanjang jalur sentral dan pengungkapan pesan ke dalam

komunikasi yang bermakna. Sedangkan pada tipe kehilangan pendengaran

fungsional, tidak ada lesi organik yang menyebabkan kehilangan pendengaran

sentral.

Sedangkan berdasarkan gangguan pendengarannya menurut RNID

(The Royal National Institute for Deaf People, 2009 dalam Thompson,

2014) tunarungu dibagi menjadi:

1) Gangguan pendengaran ringan. Gangguan pendengaran yang

sifatnya ringan dapat menyebabkan seseorang kesulitan mengikuti

pembicaraan, terutama jika keadaan di sekitar gaduh. Intensitas

suara paling rendah yang bisa didengar berkisar antara 25-39 dB.
19

2) Gangguan pendengaran sedang. Orang-orang yang mengalami

gangguan pendengaran dalam level sedang mungkin memiliki

kesulitan mengikuti pembicaraan tanpa alat bantu dengar.

Intensitas suara paling rendah yang bisa didengar berkisar antara

40-69 dB.

3) Gangguan pendengaran parah. Orang-orang dengan gangguan

pendengaran parah sangat bergantung pada kemampuan membaca

gerak bibir, bahkan bila orang tersebut memakai alat bantu dengar

sekalipun. Intensitas suara paling rendah yang bisa didengar

berkisar antara 70-94 dB. Bahasa isyarat merupakan bahasa

pertama atau bahasa yang lebih dipilih untuk digunakan.

4) Gangguan pendengaran sangat parah. Intensitas suara paling

rendah yang bisa didengar berkisar anatara 95 dB atau lebih.

Bahasa isyarat merupakan bahasa pertama atau bahasa yang lebih

dipilih untuk digunakan, tetapi beberapa orang lebih memilih

membaca gerak bibir.

Sedangkan berdasarkan tingkat pendengarannya menurut Kosasih,

(2012) dibedakan menjadi 2 yaitu :

1) Deaf (tuli) merupakan individu yang tidak bisa belajar dalam

memahami bahasa melalui pendengarannya walaupun dengan

mengikuti pelatihan pendengaran.


20

2) Hard of hearing (sulit mendengar) merupakan individu yang

memiliki sisa pendengaran dan dapat dimanfaatkan sisa

pendengarannya.

c. Karakteristik Tunarungu

Tunarungu secara karakteristik biasanya berhubungan dengan isu-

isu intelegensi, bicara dan bahasa, perkembangan sosial, serta prestasi

akademik (Rahardja, 2006).

1) Intelegensi, menunjukkan karakteristik intelektual tunarungu

sama dengan teman-teman yang dapat mendengar lainnya.

2) Bicara dan bahasa, merupakan bidang yang paling banyak

dipengaruhi oleh status tunarungunya, khususnya jika remaja

tersebut sudah kehilangan pendengarannya sejak lahir.

3) Perkembangan sosial dan emosional, akan sangat bergantung

pada keterampilan berkomunikasi. Akibatnya muncul perbedaan

dari cara bermain antar tunarungu dengan remaja sebaya lainnya

yang bisa mendengar.

4) Prestasi akademik, agak terlambat dibandingkan dengan teman

sebaya yang dapat mendengar. Tunarungu menghadapi kesulitan

untuk berhasil dengan baik ketika mengikuti sitem pendidikan

yang utamanya lebih menekankan kepada bahasa lisan dan tulisan

dalam transfer pengetahuan.

Sedangkan Nurhasanah (2010), mengungkapkan karakteristik

individu yang mengalami tunarungu adalah sebagai berikut:


21

1) Egosentrisme yang melebihi anak normal.

2) Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas.

3) Ketergantungan terhadap orang lain.

4) Perhatian mereka lebih sukar dialihkan.

5) Mereka umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana, dan

tanpa banyak masalah.

6) Mereka lebih mudah marah dan cepat tersinggung.

Sedangkan menurut Smart (2014), mengungkapkan karekteristik

tunarungu adalah :

1) Kemampuan bahasanya terlambat.

2) Tidak bisa mandengar.

3) Lebih sering enggunakan isyarat dalam berkomunikasi.

4) Ucapan kata yang di ucapkan tidak begitu jelas.

5) Kurang/tidak menanggapi komunikasi yang dilakukan oleh

orang lain terhadapnya.

6) Terdapat kelainan organis telinga.

7) Sering memiringkan kala bila disuruh mendengarkan.

d. Perkembangan Tunarungu

Menurut Pratiwi (2013) mengungkapkan perkembangan tunarungu

yaitu:

1) Perkembangan Emosi Tunarungu

Kekurangan akan pemahaman bahasa lisan atau tulisan

seringkali menyebabkan tunarungu menafsirkan sesuatu secara


22

negative atau salah dan ini sering menjadi tekanan bagi emosinya.

Tekanan pada emosinya itu dapat menghambat perkembangan

pribadinya dengan menampilkan sikap menutup diri, bertindak

agresif, atau sebaliknya menampakkan kebimbangan dan keragu-

raguan.

Emosi tunarungu selalu bergolak di satu pihak karena

kemiskinan bahasanya. Tunarungu bila ditegur oleh orang yang

tidak dikenalnya akan tampak resah dan gelisah. Perkembangan

emosi tunarungu bila dikaitkan dengan pubertas dapat

mempengaruhi tunarungu dalam mengendalikan dorongan yang

ada dalam dirinya.

2) Perkembangan Sosial Tunarungu

Manusia sebagai makhluk sosial selalu memerlukan

kebersamaan dengan orang lain. Demikian pula tunarungu, ia tidak

terlepas dari kebutuhan tersebut. Akan tetapi karena mereka

memiliki kelainan dalam segi fisik, biasanya akan menyebabkan

suatu kelainan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan. Pada

umumnya lingkungan melihat mereka sebagai individu yang

memiliki kekurangan dan menilainya sebagai seseorang yang

kurang berkarya.

Dengan penilaian dari lingkungan yang demikian memberikan

pengaruh yang benar-benar besar terhadap perkembangan fungsi

sosialnya. Dengan adanya hambatan dalam perkembangan sosial


23

ini mengakibatkan pula pertambahan minimnya penguasaan bahasa

dan kecenderungan menyendiri serta memiliki sifat egosentris.

Faktor sosial dan budaya meliputi pengertian yang sangat luas,

yaitu lingkungan hidup di mana berinteraksi yaitu interaksi antara

individu dengan individu, dengan kelompok, keluarga, masyarakat.

Sudah menjadi kejelasan bagi kita bahwa kemiskinan bahasa

membuat tunarungu tidak mampu terlibat secara baik dalam situasi

sosialnya.

3) Perkembangan Perilaku Tunarungu

Kepribadian pada dasarnya merupakan keseluruhan sifat dan

sikap pada seseorang menentukan cara-cara yang unik dalam

penyesuainnya dengan lingkungan. Oleh karena itu banyak ahli

berpendapat perlu diperhatikanya masalah penyesuaian seseorang

agar kita mengetahui bagaimana kepribadiannya. Demikian pula

tunarungu untuk mengetahui keadaan kepribadiannya, perlu kita

perhatikan bagaimana penyesuaian diri mereka.

Perkembangan kepribadian terjadi dalam pergaulan atau

perluasan pengalaman pada umumnya dan diarahkan pada faktor

remaja sendiri. Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri anak

tunarungu, yaitu ketidak mampuannya menerima rangsang

pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidak tetapan emosi, dan

keterbatasan inteligensi dihubungkan dengan sikap lingkungan

terhadapnya menghambat perkembangan kepribadiannya.


24

e. Masalah pada Tunarungu

Permasalahan yang dihadapi tunarungu menurut Kosasih (2012),

adalah sebagai berikut:

1) Miskin kosakata, penguasaan perbendaharaan bahasanya yang

terbatas.

2) Sulit mengartikan ungkapan bahasa yang mengandung arti

kiasan atau sindiran.

3) Kesulitan dalam mengartikan kata-kata abstrak seperti kata

Tuhan, pandai, mustahil.

4) Kesulitan menguasai artikulasi, jeda, dan intonasi.

Masalah komunikasi yang terjadi pada tunarungu menurut

Nurhasanah (2010), adalah sebagai berikut:

1) Mengalami kesulitan dalam menerima dan memberikan

informasi dalam interaksinya.

2) Mudah marah dan cepat tersinggung (apabila salah dalam

mendengar)

3) Kurangnya kesadaran akan aspek-aspek diri sendiri yang akan

sangat memengaruhi interaksi dengan orang lain.

6. Konsep Dasar Ansietas Sosial

a. Pengertian Ansietas Sosial

Social ansietas disorder (SAD)/ansietas sosial juga dikenal

sebagai fobia sosial adalah gangguan ansietas yang ditandai oleh rasa

takut yang muncul karena perasaan malu, dan evaluasi negative oleh
25

orang lain dalam situasi sosial sehingga cinderung untuk menghindari

situasi sosial yang ditakutinya (Varcarolis, 2010).

Menurut davies & craig dalam Pinilih (2012), fobia sosial atau

ansietas sosial merupakan ketakutan yang menetap untuk tampilan

pada situasi sosial, terutama jika terdapat orang yang asing atau jika

anak tunarungu takut malu. Khususnya dimulai pada usia remaja dan

ditemukan pada 3-4 % populasi (perempuan;laki-laki = 2:1) (Tomb,

2004).

Ansietas sosial adalah perasaan tidak nyaman, takut atau khawatir

yang berpusat pada saat interaksi kita dengan orang lain dan

melibatkan perhatian dengan perasaan dinilai negative, doevaluasi

atau dipandang rendah oleh orang lain (Antony dan Swinson dalam

Pinilih, 2012).

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ansietas sosial

adalah ansietas yang mempunyai ciri-ciri khusus yang timbul karena

perasaan malu, takut dan evaluasi negative dari orang lain pada saat

individu menghadapi situasi sosial atau berinteraksi dengan orang lain

yang dirasakan sangat kuat dan bertahan pada diri seseorang saat

menghadai siuasi sosial.

b. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ansietas Sosial

Menurut Kaplan (2006) ; Stuart (2009) dalam Pinilih (2012)

mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi ansietas sosial antara

lain:
26

1) Faktor Pedisposisi

a) Biologi

Individu yang mengalami ansietas mempunyai masalah

dengan proses neurotransmiter. Salah satunya neurotransmiter

gamma-aminobutyric acid (GABA) yang mengontrol aktivitas

neuron dibagian otak yang bertanggung jawab menghasilkan

ansietas. Stimulus yang bersal dari sensori visual, auditory,

olfactory, nociceptive dan sensor visceral diteruskan melalu

thalamus anterior menuju nucleus lateral amigdala (LNA) yang

mengirimkan signal stimulasi menuju ke central nekleus

amigdala (CAN). CNA didalamnya terjadi itegrasi informasi

yang dimanifestasikan secara autonomik dan perilaku yang

menyebabkan rasa takut atau ansietas (Cannistraro dan Rauch

dalam Pinilih, 2012).

Ansietas sosial yang muncul pada tunarungu dikarnakan dari

lahir remaja tunarungu kurang stimulus yang berasal dari

auditory, sehingga pesan yang dikirimkan signal stimulus menuju

ke CAN menjadi terganggu. Sehingga integritas informasi yang

terjadi di CAN mengalami masalah yang dimanifestasikan secara

autonomik dan prilaku yang menyebabkan rasa takut atau ansietas

sosial pada remaja tunarungu.

b) Psikologis
27

Stuart (2009), mengatakan bahwa ansietas sosial terkait

dengan tingkat self esteem yang dimiliki oleh seseorang.

Seseorang yang mempunyai self esteem yang rendah maka ia

akan rentan mengalami ansietas sosial tinggi karena meraka

merasa ragu akan kemampuan untuk berhasil.

Ansietas ini disebabkan hanya oleh persepsi mereka tentang

kemampuan mereka, yang mencerminkan konsep dirinya.

Ditambah dengan adanya penilaian yang buruk lingkungan yang

diberikan pada mereka maka akan memperkuat presepsi buruk

mereka pada diri mereka sendiri.

Keterbatasan kemampuan mendengar yang menyebabkan

timbulnya masalah dalam bahasa dan bicara pada tunaungu baru

nampak jika mereka harus melakukan interaksi atau komunlasi

dengan orang di sekitarnya. Ansietas sosial akan muncul pada

anak tunarungu dikarenakan self esteem yang rendah karena akan

merasa ragu-ragu untuk melakukan interaksi sosial. Hal ini

mungkin tidak terkait dengan kamampuan yang meraka miliki,

namun mungkin hanya karena persepsi buruk mereka terhadap

diri mereka sendiri. Sehingga memunculkan ansietas sosial pada

diri mereka karena meragukan penialian orang laian terhadap

meraka.

c) Sosial Budaya
28

Tarwono dan Wartonah dalam Pinilih (2012), memaparkan

jika sosial budaya, potensi stres pada lingkungan merupakan

faktor yang mempengaruhi terjadinya ansietas umum maupun

ansietas sosial. Cara hidup orang di masyarakat berdampak pada

timbulnya stres, orang yang berada di tempat atau lingkungan

asing ternyata lebih mudah mengalami stres.

Demikian juga yang terjadi pada tunarungu, apabila pada

anak sejak lahir mengalami ketulian. Maka ia akan tebiasa dengan

dunianya yang “sepi”, yang hanya berfokus pada dirinya sendiri,

sehingga saat mengahdapi situasi sosial, tunarungu cenderung

mengalami ansietas karena berinteraksi sosial seseorang erat

kaitanya dengan kempuan berbahasa, yang perkembangannya

dipengaruhi juga oleh seberapa sering dan luasnya dalam

berinteraksi atau menerima stimulus dari lingkungan sosialnya.

Anak tunarungu hanya mempunnyai unsur pengamatan untuk

proses belajar mereka. Padahal daerah penamatan pengelihatan

jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan daerah pengamatan

pendengaran. Sehingga memunculkan ansetas sosial pada anak

tunarungu dikarenakan ketidak sesuaiannya antara keinginannya

yang besar untuk belajar dengan kurangan kemapuan

pendengaran yang diutuhkan untuk belajar dengan cepat dan

tuntutan dari lingkungan untuk beradaptasi menjadi terlambat.

Hal inilah yang memunculkan ansietas sosial pada tunarungu.


29

d) Usia dan Jenis Kelamin

Stuart (2009), menyatakan bahwa usia, jenis kelamin

merupakan faktor predisposisi dalam terjadinya ansietas sosial.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Kassler, dkk., dalam

Varcarolis (2010), untuk angka kejadian kasus ansietas sosial

bisanya dialami pada awal usia 13 tahun, namun kasus gangguan

ansietas pada umumnya meningkat pada usia 18 tahun dan

gejalanya masih nampak pada usia 23 tahun. Menurut Struart dan

Laraia dalam Pinilih (2012), menyatakan bahwa usia

berhubungan dengan pengalaman seseorang dalam menghadapi

berbagai macam stressor, kemapuan memanfaatkan seseorang

dalam menghadapi berbagai macam stressor kemampuan

memanfaatkan sumber dukungan dan keterampilan dalam

mekasnisme koping.

Kessler, Berglud et, al. dalam Varcarolis (2010), yang

menyatakan gangguan ansietas banyak dialami oleh wanita dari

pada laki-laki, akan tetapi untuk kasus ansietas sosial angka

kejadiannya hampir seimbang antara laki-laki dan perempuan.

Howritz dalam Townsend (2009), menjelaskan bahwa jenis

kelamin mepengaruhi munculnya ansietas sosial seseorang,

dimana angka ansietas sosial lebih tinggi terjadi pada wanita dari

pada pria. Perempuan lebih ansietas akan ketidak mampuannya

dibanding dengan laki-laki karena perempuan lebih mudah


30

dipengaruhi oleh tekanan-tekanan lingkungan eksternal, selain itu

wanita memiliki fungsi sosial yang lebih besar dari pada laki-laki

sehingga memungkinkan untuk mengalami ansietas sosial lebih

besar dibandingkan pada laki-laki.

Berbeda pendapat dengan Davidson dan Neale dalam Fausiah

dan Widurty (2005), mengemukakan bahwa laki-laki lebih

mungkin memunculkan gejala negatif seperti ansietas sosial

diandingkan peremuan karena laki-laki tunarungu lebih ingin

menunjukan jati dirinya kepada teman-teman satu jenisnya

ataupun kepada teman lawan jenisnya.

2) Stresor Presipitasi

a) Biologi

Menurut Struart (2009), gangguan fisik dapat mengancam,

intergritas seseorang baik berupa ancaman secara eksternal

maupun internal. Ancaman eksternal yaitu masuknya, kuman,

virus, polusi lingkungan, rumah yang tidak memadai, pakain,

makan atau trauma injury. Sedangkan ancaman internal yaitu

kegagalan mekanisme fisiologis tubuh seperti jantung, sistem

kekebalan, pengaturan suhu dan kehamilan. Hal ini menimbulkan

ansietas dimana seringkali memotivasi seseorang meminta

pertolongan perawatan. Gangguan pendengaran pada penyandang

tuanarungu menjadi faktor internal pada terjadinya ansietas.


31

Sebab gangguan pendengarannya itu dapat menyebabkan

kegagalan mekanisme fisiologis yang terjadi pada tubuhnya.

b) Psikologi

Ancaman eksternal yang terkait dengan kondisi psikologis

dapat pencetuskan terjadinya ansietas sosial adalah gangguan

hubungan intrapersonal (Stuart, 2009). Keterbatasan kemampuan

dalam berbahasa, yang pada akhirnya akan mempengaruhi dalam

komunikasi. Gangguan ansietas sosial akan muncul pada

penyandang tunarungu dikarenakan sebagai makhluk sosial,

mereka harus melakukan interaksi dengan orang lain guna

memenuhi kebutuhan id dan super egonya. Namun karena

keterbatasan bahasa yang dimilikinya, menimbulkan ansietas

sosial pada tunarungu, yang ditunjukan dengan kecerdasan

memiliki egosentris yang meningkat, dikarenakan ansietas yang

dialaminya.

c) Sosial Budaya

Menurut Blanco dan Scheiner dalam Hapsari (2010),

gangguan ansietas sosial dapat timbul pada individu yang sejak

kecil telah mendapatkan penolakan dari lingkunganya. La Greca

dan Lopez dalam Pinilih (2012), menyampaikan bahwa hubungan

yang terjalin antara remaja dengan lingkungan sebayanya

memainkan peranan yang semangat penting bagi perkembangan


32

keterampilan sosial, perembangan berbagai potensi kehidupan,

serta berbagai fungsi di masa remaja.

Hal ini didukung oleh Hapsari (2010), dalam penelitiannya

menyampaikan bahwa beberapa fungsi positif yang diperoleh

remaja tunarungu melalui hubungan dengan teman sebayanya

adalah keterampilan-keterampilan sosial remaja tunarungu.

Remaja tunarungu akan lebih mampu untuk mengepresikan

perasaan-perasaan dengan cara yang lebih matang.

Interaksi remaja tunarungu dengan teman sebaya yang

terjalin optimal merupakan suatu instrument yang sangat penting

bagi terbentuknya identitas diri yang matang dan meningkatnya

kemandirian bagi remaja. Kemampuan bahasa yang terganggu,

ditambah kurangnya pemahaman masyarakat dalam behubungan

dengan penyandang tunarungu, akan menimbulkan ansietas sosial

pada tunarungu. Hal ini biasa timbul dikarenakan penerimaan

lingkungan yang kurang, serta self esteem remaja yang terganggu.

c. Tanda dan Gejala Ansietas Sosial

May, dkk. dalam Pinilih (2012) membagi tingkat ansietas sosial

menjadi tiga tingkatan beserta tanda dan gejalanya yakni :

1) Ansietas Sosial Ringan

Berhubungan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari.

Individu masih waspada serta lapang persepsinya meluas,


33

menajamkan indra. Dapat memotivasi individu untuk belajar dan

mampu memecahkan masalah secara efektif dan menghasilkan

pertumbuhan dan kreatifitas (Viedebeck, 2008).

a) Lapang persepsi

Menurut Peplau Varcarolis (2010), ansietas ringan adalah

ansietas yang terjadi dalam pengalaman hidup normal sehari-hari,

memungkinkan seorang individu untuk memandang realitas.

Peningkatan persepsi (misalnya: suara terdengar lebih keras,

barang-barang didalam lingkungan terlihat lebih bersih),

peningkatan kesadaran, dan peningkatan kesiagaan (Townsend,

2009).

b) Kognitif/kemampuan belajar

Pada ansietas ringan kemampuan pembelajar meningkat.

c) Karakteristik fisik

Pada tahap ini gejala fisik yang timbul adalah kegelisahan,

mudah marah, atau perilaku untuk menghilangkan ketegangan

ringan, seperti menggigit kuku jari tangan, gelisah, meremas-

remas tangan.

d) Karakteristik emosi/prilaku
34

Dapat tetap bersikap superfisial terhadap orang lain, jarang

dialami sebagai sesuatu yang penuh stress, dan peningkatan

motivasi.

2) Ansietas Sosial Sedang

Memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang

penting dan mengesampingkan yang lain. Ansietas ini

mempersempit lapang persepsi individu. Dengan demikian,

individu mengalami tidak perhatian yang selektif namun berfokus

pada hal-hal tertentu yang nampak dihadapannya saja, kecuali ada

orang lain yang menunjukkannya.

(1) Lapang persepsi

Penurunan lapang persepsi, kesadaran berkurang terhadap

peristiwa di lingkungan (misalnya: seseorang yang berbicara

mungkin tidak terdengar, sebagian ruangan mungkin tidak di

perhatikan).

(2) Kognitif/kemampuan belajar

Kemamampuan untuk berpikir jernih terhambat, tapi

kemampuan belajar dan pemecahan masalah masih cukup baik,

meskipun tidak optimal.

(3) Karakteristik fisik

Gejala fisik yang muncul termasuk ketegangan, jantung

berdebar, denyut nadi dan laju pernapasan meningkat,

berkeringat, dan gejala somatic ringan (ketidaknyamanan


35

lambung, sakit kepala, sering berkemih), suara tremor dan

gemetar.

(4) Karakteristik emosi/prilaku

Sebuah perasaan kosong, dapat menyebabkan tingkat

kerusakan dalam hubungan interpersonal saat individu mulai

berfokus pada diri sendiri dan kebutuhan untuk meredakan

ketidaknyamanan pribadi.

3) Ansietas Sosial Berat

Lapang persepsi individu sangat sempit. Individu cenderung

berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir

tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi

ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak arahan untuk

berfokus pada area lain (Videbeck, 2008).

a) Lapang persepsi

Pendapat tersebut diperkuat dengan Varcarolis (2010), bahwa

bidang persepsi orang yang mengalami ansietas berat sangat

berkurang. Seseorang dengan ansietas yang hanya berfokus pada

satu detail tertentu atau mengalami kesulitan melihat apa yang

terjadi di lingkungan.

b) Kognitif/kemampuan belajar
36

Kemampuan belajar dan pemecahan masalah tidak mungkin

pada tingkatan ini, dan orang mungkin menunjukkan kebingungan

yang tinggi.

c) Karakteristik fisik

Gejala yang umum seperti sakit kepala, mual, pusing,

insomnia, sering meningkat, gemetar dan jantung berdebar-debar,

dan orang tersebut dapat mengalami hiperventilasi dan rasa

malapetaka yang akan datang atau ketakutan.

d) Karakteristik emosi/prilaku

Perasaan takut, benci dan horror, secara total berfokus pada

diri sendiri dan keinginan intens untuk meredakan ansietas.

4) Panik

Panik adalah tingkatan yang paling ekstrim dari ansietas

sosial dan di tunjukan hasil nyata dalam perilaku yang terganggu.

a) Lapang persepsi

Panik mencangkup disorganisasi kepribadian dan

menimbulkan peningkatan aktivitas motorik, menurunkan

kemampun untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang

menimpampang, dan kehilangan pikiran yang rasional.

b) Kognitif/kemampuan belajar
37

Menurut Vacarolis (2010), sesorang berada dalam keadaan

panik tidak dapat memproses apa yang terjadi di lingkungan dan

mungkin kehilangan kontak dengan realitas.

c) Karakteristik fisik

Perilaku yang ditunjukan dapar berupa mondar-mandir, lari,

berterik, menjerit, atau menarik diri.

d) Karakteristik emosi/prilaku

Individu yang panik tidak mampu melakukan sesuatu

walaupun dengan arahan karena mengalami kehilangan kendali.

d. Klasifikasi Ansietas Sosial Berdasarkan Subfase Remaja

Klasifikasi ansietas sosial berdasarkan subfase remaja terdiri dari:

1) Usia remaja awal (11-14 tahun)

Menurut Aprianty (2014), Remaja awal merupakan tahap

perkembangan transisi dari masa kanak-kanan ke masa dewasa

yang menyebabkan perubahan fisik, kognitif dan psikososisal

yang signifikan dan saling terkait. Pada masa remaja awal terjadi

banyak perubahan yang berkaitan dengan pubertas dan

perkembangan sosial emosional. Remaja awal memiliki kekhasan

dalam tugas perkembangannya terutama dalam pencarian

identitas di lingkungan sosial. Lingkungan sosial memiliki

peranan penting terhadap perkembangan remaja awal. Pada tahap

ini remaja dituntut untuk belajar dan mampu berelasi sosial


38

sehingga membuat ansietas sosial menjadi lebih dominan pada

remaja awal.

2) Usia remaja tengah (15-17 tahun)

Menurut Suryati (2015), Remaja tengah merupaka masa

dimana remaja mulai membentuk kelompok kecil teman yang

mempunyai kesamaan nilai, minat, dan aktivitas. Remaja mulai

mengembangkan kesadaran bahwa tingkah laku, penampilan dan

perpormance mereka dinilai oleh orang lain baik secara positif

maupun negatif. Remaja tengah akan merasa senang apabila

mereka di terima di dalam kelompok. Begitu pula sebaliknya,

remaja akan terlihat stress dan cemas jika mereka tidak diterima

atau dikucilkan dalam kelompok (Santrock, 2007).

La Greca & Lopez dalam Suryati (2015), menyatakan bahwa

pengalaman keengganan kelompok atas kemandirian remaja,

termasuk adanya penolakan dari kelompok atau dikeluarkan dari

kelompok bisa menyebabkan terjadinya ansietas sosial.

Sedangkan menurut Detweiler dkk., dalam Suryati (2015), rasa

takut akan evaluasi negatif, terlihat bodoh atau mempermalukan

diri sendiri, akan selalu dirasakan ketika mereka memulai

kegiatan masing-masing, rasa takut kan evaluasi sosial ini akan

menimbulkan ansietas sosial.


39

3) Usia remaja akhir (18-20 tahun)

Menurut Hasibuan (2014), periode perekembangan masa

remaja akhir ditandai dengan adanya tuntutan dari lingkungan

sosial, adanya tekanan dari teman sebaya, ketertarikan dengan

lawan jenis, serta kainginan yang besar untuk mandiri.

Penerimaan dari teman sebaya dan keterarikan akan hal-hal

romantis menjadi hal yang penting bagi remaja pada tahap ini.

Hal ini sesuai dengan tugas perkembangan utama remaja akhir

dimana mereka dituntut untuk mencapai kemandirian seperti yang

dicapai pada remaja tengah, namun berfokus pada persiapan diri

untuk benar-benar terlepas dari orang tua dan membentuk pribadi

yang bertanggung jawab.

Selain itu, selama masa remaja akhir, ketertarikan terhadap

hal-hal romantis dan hubungan dengan lawan jenis mengarah

kepada suatu dimensi baru dari fungsi sosial, yaitu keinginan

untuk diterima sebagai pasangan oleh lawan jenis (La Greca dan

Lopez dalam Hasibuan, 2014). Remaja akhir yang mengalami

ansietas sosial memiliki interaksi yang terbatas dengan teman

sebaya dan kurang dapat menjalin hubungan romantis dengan

lawan jenis sehingga menyebabkan fungsi sosial mereka

terganggu

.
40

e. Tindakan Untuk Mengatasi Ansietas Sosial

Tindakan untuk mengatasi ansietas sosial meliputi mekanisme

koping yang biasa dipergunakan saat menghadapi stres atau ansietas

sosial, tindakan pengobatan untuk ansietas sosial dan tindakan

keperawatan yang diberikan pada ansietas sosial.

1) Mekanisme Koping

Mekanisme koping adalah distorsi kognitif yang digunkan

oleh seseorang untuk mempertahankan rasa kendali terhadap

situasi, mengurangi rasa tidak nyaman, dan menghadapi situasi

yang menimbulkan stress (Videbeck, 2008). Stuart (2009),

memaparkan bahwa ketika mengalami ansietas sosial, individu

menggunakan berbagai mekanisme koping untuk mencoba

mengatasinya.

Mekanisme koping yang biasa ditujukan oleh remaja

tunarungu berupa menarik diri, mudah tersinggunng, mudah

marah, mempunyai egosentris yang cenderung melebihi dari anak

normal, dan perasaan takut akan kehilangan yang lebih besar

disbanding anak yang normal. Remaja tunarungu lebih banyak

menggunakan penglihatannya untuk kebutuhan belajar, maka

remaja tunarungu dianggap cenderung lebih agresif karena ia

berusaha menarik benda agar lebih dekat untuk dapat diamatinya

sehingga bisa dipelajarinya lebih jelas.


41

2) Intervensi Keperawatan Pada Ansietas Sosial

Berikut ini akan disampaikan penanganan ansietas sosial

terkait dengan ansietas sosial sesuai dengan topik penelitian.

Perawat dapat membantu individu yang mengalami ansietas

dalam upaya pemecahan masalah dengan menggunakan berbagai

strategi kognitif dan perilaku. Secara khusus, Cognitive Behavior

Therapy (CBT) telah terbukti paling efektif dalam menguasai

ganggun ansietas sosial (Stuart, 2009). Penanganan ini termasuk

didalamnya sejumlah strategi terapi, yang dapat dibagi menjadi

tiga kelompok :

a) Anxiety Reduction

Tindakan untuk menurunkan respon ansietas meliputi: latihan

teknik relaksasi, desensitisasi sistemik, flooding, dan pencegahan

respon ansietas.

(1) Teknik resaksasi

Latihan relaksasi dilakukan melalui teknik pernapasan

atau peregangan otot. Menurut Stuart (2009), seseorang yang

mengalami perasaan tidak tentram, ansietas dan stress

psikologis, jika diberikan suatu latihan relaksasi yang

terprogram secara baik maka akan menurunkan denyut nadi,

tekanan darah tinggi, mengurangi keringat dan frekuensi

pernafasan sehingga sangat efektif sebagai anti ansietas.


42

(2) Desensitisasi sistematik

Konfrontasi bertahap dari suatu stimulus yang

menimbulkan ansietas tinggi, terutama digunakan jika klien

menderita fobia tertentu. Terapis mula-mula mengajarkan

kepada klien bagaimana cara rileks dan kemudian mulai

dengan stimulus yang menyebabkan ansietas ringan. Klien

belajar menerapkan proses relaksasi ketika berhadapan

dengan stimulus tersebut. Proses ini berlanjut sampai

stimulus yang menimbulkan ansietas tinggi tidak lagi

meyebabkan klien merasa ansietas (Isaacs, 2005).

(3) Flooding

Berbeda dengan desentisisasi, teknik ini berangsur-

angsur menyingkapkan klien kepada sejumlah besar stimulus

yang tidak diinginkan di dalam suatu upaya untuk

menghilangknya. Klien belajar melalui penggalian yang

panjang untuk mengurangi ansietas (Varcarolis,2010).

(4) Pencegahan respon

Teknik ini dilakukan pada perilaku kompulsif, dimana

terpis melarang kepada klien untuk melakukan perilaku

kompulsif (seperti mencuci tangan berulang-ulang). Selain itu

klien juga belajar mengurangi ansietas ketika kebiasaannya

mulai hilang. Setelah belajar dengan terapis, klien dirumah


43

menetapkan batas waktu secara berangsur-angsur sampai

kebiasaannya mulai menghilang (Varcarolis, 2010).

Teknik terapi untuk penurunan ansietas dapat diberikan

kepada remaja tunarungu, sebagai terapi awal atau permulaan

sebelum diberikannya terapi-terapi lain, karena dapat

menurunkan ketegangan sehingga proses memperlajari

perilaku baru yang di ajarkan aan lebih mudah untuk

diterima.

b) Cognitive Restructuring

Varcarolis (2010), menjelaskan bahwa terapi kognitif

merupakan terapi yang didasarkan pada keyakinan klien dalam

kesalahan berfikir, mendorong pada penilaian negative terhadap

diri sendiri maupun orang lain. Selama prosess restrukturisasi

pikiran, terapis membantu klien untuk mengidentifikasi pikiran

otomatis negatif yang menyebabkan ansietas, menggali pikiran

tersebut, mengevaluasi kembali situasi yang realistis dan

mengganti hal negative yang telah diungkapkan dengan ide-ide

membangun.

Penerapan jenis terapi ini, mungkin akan menemui kendala

bila diberikan pada tunarungu, karena anak tunarungu sukar

diajak untuk berfikir tentang hal-hal yang belum terjdi, sehingga

mereka lebih miskin akan fantasi. Hal ini didukung dengan

pendapat Purwanto dalam Pinilih (2012), dimana pada tunarungu


44

terjadi kesempitan bahasa yang menyebabkan kesempitan

berfikir. Sehingga alam berfikir tunarungu selamanya terpaku

pada hal-hal yang konkrit. Jadi jalan fikiran anak tunarungu tidak

mudah dialihkan ke hal yang tidak atau belum nyata.

c) Terapi perilaku (Behavior therapy)

Berbagai jenis teknik perilaku digunakan sebagai

pembelajaran dan praktik secara langsung dalam upaya

menurunkan ansietas atau menghindari ansietas. Videbeck (2008),

menegaskan bahwa terapi perilaku dipandang efektif dalam

mengatasi gangguan asientas, terutama jika dikombinasikan

dengan farmakoterapi. Terapi perilaku meliputi: modeling,

shaping, token ekonomi, role playing, terapi aversi, contingency

contracting, dan social skills training.

Namun berikut ini, hanya dapat diuraikan terapi social skills

training sebagai terapi yang akan diberikan pada remaja

tunarungu yang mengalami ansietas sosial. Terapi keperawatan

yang dapat diberikan pada kasus ansietas sosial adalah social

skills training (SST).

f. Cara Mengukur Ansietas sosial

Pengukuran menggunakan skala SASA (Social Anxiety Scale for

Adolescent) milik La Greca (2005), di modifikasi oleh Pinilih (2012)

dan di modifikasi oleh peneliti agar lebih spesifik dan mudah di

pahami oleh remaja tunarungu. Nilai validitas atau kolerasi item total
45

yang sudah di modifikasi Pinilih (2012) adalah 0,361. Estimasi

reabilitas dengan teknik cronbach alpha sebesar 0,910 (> 0,60). SASA

adalah kuesioner untuk mengukur ansietas sosial dengan 20 item

dengan menggunakan skala likert (1-5) dengan rentang nilai 20-100,

rentan skor kuesioner ini dengan pengkategorian ansietas sosial ringan

20-34, sedang 35-50 dan berat diatas 50.


46

e. Kerangka Teori

Berdasarkan tinjauan teori dan tujuan penelitian yang ingin dilihat, maka

kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :

Skema 2.1 Kerangka Teori


Faktor-faktor yang
mempengaruhi Ansietas Sosial:

1) Faktor Predisposisi
a) Biologi (sejak lahir)
b) Psikolosis (self estreem)
c) Sosial Budaya (lingkungan
mengharuskan remaja
tunarungu untuk beradaptasi
dengan keterbatasan
komunikasi dan terbiasa dengan
dunia yang sepi)
d) Usia dan Jenis Kelamin

Ansietas Sosial
Faktor-faktor yang mempengaruhi
Ansietas Sosial:

2) Faktor Presipitasi
a) Biologi (faktor internal atau
kegagalan mekanisme
fisiologi)
b) Psikologi (hubungan
interapersonal)
c) Sosial Budaya (dukungan
sosial lingkungan sebaya)

Menurut Kaplan (2006) ; Stuart (2009)


BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Skema 3.1 Kerangka Konsep

Gambaran Ansietas Sosial Anak Tunarungu usia Remaja di

SLB Kota Bogor

Kosasih (2012), mengemukakan bahwa tunarungu adalah hilangnya

kemampuan pendengaran seseorang, baik itu sebagian (hard of hearing)

maupun seluruhnya (deaf). Hal tersebut menyebabkan kemampuan

pendengaran orang itu tidak berfungsi. Berdasarkan data Sensus Penduduk

(2010), untuk daerah Jawa Barat jumlah penduduk yang mengalami kesulitan

pendengaran/tunarungu pada usia 10-19 tahun sekitar lebih dari 26.378 ribu

penduduk.

Menurut Delphie (2009), menyampaikan bahwa ketunarunguan dapat

mengakibatkan perasaan terasing dari pergaulan sehari-hari, yang berarti

remaja tunarungu terasing dari pergaulan atau aturan sosial yang berlaku di

masyarakat dimana dia hidup, remaja penyandang tunarugu juga cenderung

merasa kurang bisa menguasai keadaan yang diakibatkan oleh

47
48

pendengarannya yang terganggu, sehingga menimbulkan ansietas saat berada

di lingkungan sosial.

Ansietas sosial adalah salah satu permasalahan remaja tunarungu yang

mempengaruhi kemampuan dalam hal sosialisasi dan interaksi dengan

lingkungan sekitar atau dalam pergaulan sehari-hari, karena remaja tunarungu

cenderung hidup dalam lingkungannya sendiri, dengan sikap-sikap yang

negatif, penuh prasangka dan rendah diri (Bronson & Dave dalam Pinilih,

2012). Ansietas sosial sendiri adalah persaan malu dinilai atau diperhatikan

oleh orang lain karena adanya prasangka bahwa orang lain menilai negatif

terhadap dirinya (Rakhmat, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan Pinilih

(2012), pada 76 remaja tunarungu didapatkan hasil 38 (43,82%) remaja

tunarungu mengalami ansietas sosial sedang.

Penderita gangguan ansietas sosial selama masa remaja akan

meningkatkan kemungkinan untuk berkembanganya gangguan depresi di

kemudian hari (Nevid, S. Jeffrey, dkk., 2005). Ansietas sosial yang dialami

remaja tunarungu dapat berpengaruh pada peran anak di rumah, sekolah

ataupun teman sebaya. Menurut La Greca & Lopez (dalam Festa, 2011),

menjelaskan bahwa remaja dengan tingkat kecemasan sosial tinggi akan

mempunyai teman yang lebih sedikit. Sedangkan Jiwo (2012), mengatakan

ansietas sosial dapat menyebabkan rendah diri, kesulitan bersikap tegas, suka

mengejek-ngejek diri sendiri, hipersensitif terhadap kritik, miskin

keterampilan sosial, prestasi akademik rendah, isolasi dan hubungan sosial

sulit, penyalahguanaan zat dan yang lebih parah lagi ialah bunuh diri.
49

f. Variabel dan Definisi Oprasional

N Definisi
Variabel Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur S
No Operasional
1 Karakteristik Lama waktu hidup Kuesioner A Mengisi Usia Remaja Or
1. responden sejak dilahirkan (Data kuesioner 1. Remaja
a. Usia sampai dengan ulang Demografi) awal (11-14
tahun terakhir. tahun)
2. Remaja
tengah (15-
17 tahun)
3. Remaja
akhir (18-20
tahun)
b. Jenis Kelamin Identitas responden Kuesioner B Mengisi 1.Perempuan No
sesuai kondisi (Data kuesioner 2.Laki-laki
biologis dan fisiknya. Demografi)

2 a. Ansietas Sosial Ketakutan untuk Kuesioner Mengisi 1.Berat jika Or


2. tampil pada situasi Ansietas Sosial Kuesioner yang skor diatas
sosial terutama jika terdiri dari 20 50.
terdapat orang yang pertanyaan 2.Sedang jika
asing, ketakutan dengn pilihan skor 35-50
yang muncul karena jawaban: 3.Ringan jika
perasaan malu dalam 1. Tidak pernah skor 20-34
situasi sosial dan 2.Kadang-
ketakutan dari kadang
evaluasi negative 3.Sering
orang lain. 4.Sangat Sering
5. Setiap saat
Definisi operasional adalah suatu proses menjadikan variabel penelitian

dapat diukur sehingga terjadi transformasi dari unsur konseptual ke dunia

nyata (Siagian, 2011).


50

Tabel 3.1 Definisi Operasional


BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah model atau metode yang digunakan penelitian

untuk melakukan suatu penelitian yang memberikan arah terhadap jalannya

penelitian (Dharma, 2011). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan

metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian

deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahuai nilai variabel

mandiri, baik satu varianel atau lebih (independent) tanpa membuat

perbandingan atau penghubungan dengan variabel yang lain (Siregar, 2013).

Pendekatan penelitian dengan kuantitatif lebih memberikan makna dalam

hubungannya dengan penafsiran angka statistik, bukan makna secara

kebahasan dan kulturnya (Siregar, 2013).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu

Penelitian ini dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kalender

akademik dalam waktu bulan Februari sampai selesai. Penelitian dibagi

menjadi beberapa tahapan, yaitu:

a. Tahap persiapan

Dalam persiapan penelitian meliputi pengajuan judul penelitian,

pembuatan proposal, permohonan izin penelitian, konsultasi

instrument dengan dosen pembimbing, dan sidang proposal.

51
52

b. Tahap pelaksanaan

Tahap ini meliputi semua kegiatan yang berlangsung di lapangan

yaitu seperti pengumpulan data berdasarkan kuesioner yang telah

dibuat. Kegiatan ini merupakan kegiatan lanjutan dari tahap persiapan

yang akan dilaksanakan sesuai dengan jadwal akademik.

c. Tahap penyelesaian

Tahap terakhir ini meliputi analisis data dan penyusunan laporan.

Penelitian dibagi menjadi beberapa tahapan yang dirangkum dalam

tabel sebagai berikut:

Tabel 4.1 Kegiatan Penelitian


No Kegiatan Waktu
.
1. Penentuan judul proposal Januari 2016-Februari 2016
2. Pembuatan proposal Februari- Maret 2016
3. Ujian proposal 1 April 2016
4. Pengumpulan data 2-3 mei 2016
5. Pengolahan data 9 Mei-25 Juni 2016
6. Laporan akhir penelitian 01 Juli 2016

2. Tempat

Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor, tempatnya di SLB-B Tunas

Kasih 2 dan SLB Sejahtera Kota Bogor. Alasan pemilihan lokasi

berdasarkan pertimbangan, kedua tempat tersebut belum pernah menjadi

tempat penelitian mengenai masalah ansietas sosial pada anak tunarungu

usia remaja dan untuk mencukupi jumlah responden anak tunarungu usia

remaja yang di harapkan.


53

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Sujarweni (2014), populasi adalah keseluruhan jumlah yang

terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai karakteristik dan kualitas

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti dan kemudian ditarik

kesimpulannya. Populasi yang diambil pada penelitian ini adalah siswa

dan siswi tunarungu usia remaja di SLB-B Tunas Kasih 2 dan SLB

Sejahtera Kota Bogor, dengan jumlah sebagai berikut:

Tabel 4.2. Populasi siswa dan siswi usia Remaja di SLB Kota
Bogor
Tempat Jumlah Siswa
SLB-B Tunas Kasih 2 20 orang
SLB Sejahtera 25 orang
Jumlah Populasi 45 orang

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari sejumlah karakteristik yang dimiliki oleh

populasi yang digunakan untuk penelitian (Sujarweni, 2014). Sampel yang

diambil pada penelitian ini adalah sebagian siswa dan siswi tunarungu usia

remaja berusia 11 sampai 20 tahun di SLB-B Tunas Kasih 2 dan SLB

Sejahtera Kota Bogor .

a) Jumlah Sampel

Menatapkan besarnya atau jumlah sampel suatu penelitian

tergantung pada dua hal, yaitu: pertama, adanya sumber-sumber yang

dapat digunakan untuk menentukan batas maksimal dari besarnya

sampel. Kedua, kebutuhan dari rencana analisis yang menentukan


54

batas minimal dari besarnya sampel (Notoatmodjo, 2010). Dalam

menentukan jumlah sample, peneliti menggunakan rumus yang

dikembangkan oleh Dahlan (2009), yang sebagai berikut:

Skema 4.1 Formula Perhitungan Sampel

Zα2 x P x Q
n =
d2

Keterangan:

n = Jumlah sampel

Zα = deviat baku alfa/derajat kepercayaan

1-a 90% 95% 99%


2
Z1−a 1,64 1,96 2,58
P = proporsi variabel yang diteliti

Q=1–P

d = presisi (10%; 5%; 1%)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gosch dkk., dalam

Fidhzalidar (2015), prevalansi ansietas sosial pada anak di Columbia

sebesar berkisar 12%. Peneliti menggunakan deviat baku alfa atau

derajat kepercayaan 90% (1,64) dan presisi 10%. Perhitungan besar

sampel untuk penelitian ini sebagai berikut:

Zα2 x P x Q
n=
d2
55

(1,64)2 x 0,12 x 0,88


n=
0,12

n = 28.40

Koreksi besar sampel untuk antisipasi drop out. Menurut

Sastroasmoro (2010), dalam banyak keadaan peneliti telah

mengantisipasi kemungkinan subyek terpilih yang drop out, loss

follow-up, atau subyek yang tidak taat. Bila dari awal telah ditetapkan

bahwa subyek tersebut tidak akan dianalisis, maka perlu dilakukan

koreksi terhadap besar sampel yang dihitung, dengan menambahkan

sejumlah subyek agar besar sampel tetap terpenuhi. Untuk itu tersedia

formula sederhana untuk penambahan subyek menurut Sastroasmoro

(2010), sebagai berikut:

Skema 4.2 Antisipasi Drop out

n’=n/(1-f)
keterangan:

n: besar sampel yang dihitung

f: perkiraan proporsi drop out (Sastroasmoro, 2010).

n= 28,40/(1-0,1)

n= 28,40/0,9

n=31,55 dan dibulatkan menjadi 32 orang.

Berdasarkan perhitungan di atas, jumlah sampel yang didapatkan

adalah 31,55 dibulatkan menjadi 32 sampel.


56

b) Kriteria Sampel

1) Kriteria Inklusi

Kriteria Inklusi menurut Sujarweni (2014), adalah

karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target

dan terjangkau yang akan di teliti.

Kriteria Inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a) Siswa dan siswi SLB Tunas Kasih 2 dan SLB Sejahtera

Kota Bogor dengan siswa dan siswi berusia 11-20 tahun.

b) Siswa dan siswi yang mempunyai IQ normal (91-110)

c) Siswa dan siswi yang hadir pada saat pengumpulan data.

d) Siswa dan siswi yang bersedia djadikan responden.

2) Kriteria Eksklusi

Sedangkan menurut Setiadi (2013), kriteria eksklusi (kriteria

yang tidak layak diteliti) adalah menghilangkan/ mengeluarkan

subyek yang memenuhi kriteria inklusi.

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a) Siswa dan siswi yang mempunyai tunaganda atau

disbility tribel.

D. Cara pengambilan Sample

Metode pengambian sample yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Probability Sampling dengan teknik Proportionate Random Sampling, yaitu

dengan cara pengambilan sampel yang dikombinasikan dengan teknik lain

yang berhubungan denga populasi yang tidak homogen. Maka dalam


57

menentukan anggota sample, peneliti akan mengambil wakil-wakil dari tiap-

tiap kelompok yang ada dalam populasi yang jumlahnya disesuaikan dengan

jumlah anggota subjek yang ada dalam masing-masing anggota kelompok

tersebut (Arikunto, 2010).

Peneliti menggunakan teknik pengambilan sample Proportionate Random

Sampling karena dilihat dari responden yang dimiliki tingkat kelas dan

sekolah yang berbeda sehigga dengan menggunakan teknik pengambilan

sample ini akan didapatkan proporsi dari masing-masing sekolah. Jumlah

sample yang diambil untuk masing-masing sekolah ditentukan kembali

dengan rumus dari Noor (2011) sebagai berikut:

n = (populasi kelas/jumlah populasi keseluruhan) x jumlah sample yang di tentukan

Langkah-langkah Proportionate Random Sampling yang peneliti lakukan

yaitu:

a. Menentukan jumlah sample di masing-masing sekolah :

1) SLB-B Tunas Kasih 2 Kota Bogor:

n= 20/45 x 32 sample = 14.22 = 14 sample

2) SLB Sejahtera Kota Bogor:

n= 25/45 x 32 sample = 17.77 = 18 sample

b. Melakukan randomisasi (pemilihan secara acak) dari jumlah sample

yang telah didapat dari masing-masing sekolah. Penelitian melakukan

randomisasi atau acak sederhana dengan mengocok nama masing-


58

masing siswa dan siswi, agar memiliki kesempatan yang sama. Nama

undian yang keluar akan menjadi subjek yang terpilih (sample

penelitian).

E. Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan jenis data primer. Data primer adalah sumber

informasi yang langsung berasal dari yang mempunyai wewenang dan

bertanggung jawab terhadap data tersebut. Data yang didapat dikumpulkan

melalui kuesioner dan responden mengisi kuesioner tersebut sesuai dengan

ketentuan yang telah ditetapkan.

1. Instrumen Penelitian

Menurut Arikunto (2010), instrumen penelitian adalah alat bantu yang

dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan

data agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya.

a) Instrumen A

Instrumen A berisikan tentang data demografi responden yaitu

umur, dan jenis kelamin. Pengisian dilakukan dengan cara mengisi

jawaban dan memberi tanda checklis (√) pada tempat yang telah

disediakan.

b) Instrumen B

Pengukuran menggunakan skala SASA (Social Anxiety Scale

for Adolescent) milik La Greca (2005), di modifikasi oleh Pinilih

(2012) dan di modifikasi oleh peneliti agar lebih spesifik dan mudah

di pahami oleh remaja tunarungu. Nilai validitas atau kolerasi item


59

total yang sudah di modifikasi Pinilih (2012) adalah 0,361. Estimasi

reabilitas dengan teknik cronbach alpha sebesar 0,910 (> 0,60).

Instrumen ini berisi 20 pertanyaan dengan menggunakan skala likert

(1-5) dengan rentan nilai 20-100, rentan skor insrumen ini dengan

pengkategoran ansietas sosial ringan 20-34, sedang 35-50 dan berat

diatas 50.

Responden memberikan checklis (√) pada salah satu dari 5

alternatif jawaban yang paling sesuai dengan pengalaman responden,

pernyataan unfavourable jika responden memilih penyataan tidak

pernah sama sekali diberi nilai 1; kadang-kadang diberi nilai 2, sering

diberi nilai 3 (melakukan 3-4 kali dalam seminggu); sangat sering

diberi nilai 4 (melakukan 5 kali dalam seminggu); dan setiap saat

diberi nilai 5 (setiap hari melakukannya). Unfavourable terdapat pada

item pernyataan 1,2,3,4,6,7,8,10,12,13,14,15,16,17,18,19, dan 20.

Sedangkan pernyataan favourable terdapat pada item pernyataan 5, 9,

dan 11, jika responden memilih pernyataan: tidak pernah sama sekali

diberi nilai 5, kadang-kadang diberi nilai 4, sering diberi nilai 3,

sangat sering diberi nilai 2, setiap saat diberi nilai 1.

c) Alat tulis

Alat tulis yang digunakan adalah pulpen untuk mencatat hasil

pengumpulan data.
60

d) Komputer

Komputer yang digunakan untuk mengolah data setelah data

dari responden terkumpul.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang

dibutuhkan untuk menjawab sebuah rumusan masalah penelitian (Noor,

2011).Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis

kepada responden untuk dijawabnya

Kuesioner peneliti digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai

masalah ansietas sosial pada anak tunarungu usia remaja. Kuesioner berisi

20 pertanyaan, responden hanya perlu memberi tanda checklis (√) pada

kolom yang tersedia untuk data demografi dan masalah ansietas sosial.

F. Prosedur Penelitian

Dalam pengumpulan data, peneliti mengacu pada tahapan yang ditetapkan

dalam prosedur di bawah ini :

1) Setelah proposal penelitian disetujui pembimbing dan koordinator

mata ajar maka peneliti mengajukan permohonan izin kepada pihak

SLB-B Tunas Kasih 2 dan SLB Sejahtera Kota Bogor .

2) Menyerahkan surat izin penelitian kepada pihak Kepala Sekolah

SLB-B Tunas Kasih 2 dan SLB Sejahtera Kota Bogor .

3) Setelah mendapatkan izin dari Kepala Sekolah SLB-B Tunas Kasih 2

dan SLB Sejahtera Kota Bogor, peneliti mulai menjelaskan di bantu


61

oleh guru kelas kepada siswa tunarungu usia remaja mengenai

prosedur mengisi kuesioner, dan pernyataan yang ada pada kuesioner.

4) Setelah responden memahami prosedur penelitian yang diajukan,

maka peneliti melakukan pendekatan pada remaja tunarungu untuk

memberikan penjelasan dan informed consent yang dibantu oleh guru

kelas kepada siswa dan siswi tunarungu usia remaja.

5) Setelah calon responden yang setuju untuk menjadi responden maka

dilakukan proses pengambilan data.

6) Setelah semua data terkumpul dimulai proses pengolahan data dan

dilanjutkan dengan pembuatan laporan penelitian.

G. Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan proses untuk memperoleh data atau data

ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan menggunakan

rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi yang diperlukan (Setiadi,

2013). Data yang sudah terkumpul melalui kuesioner selanjutnya akan diolah.

Menurut Notoatmodjo (2010), rancangan analisis data hasil penelitian

dikerjakan secara sistematik dengan menempuh langkah-langkah sebagai

berikut :

a) Data Editing

Hidayat (2013), editing adalah upaya untuk memeriksa kembali

kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan.

Dalam hal ini, peneliti melakukan pengecekan mengenai kelengkapan

jawaban, apakah jawaban atau tulisan masing-masing pertanyaan cukup


62

jelas atau terbaca serta relevansi jawaban dengan pertanyaan. Apabila ada

pertanyaan yang belum terisi, jika memungkinakan peneliti minta

responden untuk mengisi kembali pertanyaan yang belum terisi tersebut.

Tetapi bila tidak memungkinkan, peneliti berusaha mencari responden lain

sesuai dengan kriteria.

b) Data Coding

Coding menurut Hidayat (2013), merupakan kegiatan pemberian

kode numberik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori.

Kode adalah isyarat yang dibuat dalam bentuk angka atau huruf yang

memberikan petunjuk atau identitas pada suatu informasi atau data yang

akan dianalisis (Hasan, 2006).

Pada tahap ini, peneliti memberi kode untuk data demografi seperti

usia dan jenis kelamin dan untuk ansieta sosial ringan, sedang, dan berat.

Kode untuk usia 11-14 tahun diberi kode 1, usia 15-17 tahun di beri kode

2, usia 18-20 tahun diberi kode 3, untuk jenis kelamin perempuan diberi

kode 1, dan untuk jenis kelamin laki laki diberi kode 2. Kode untuk

ansietas sosial berat yaitu 1, untuk ansietas sosial sedang yaitu 2 dan untuk

ansietas sosial ringan yaitu 3.

c) Data Entry

Menurut Hidayat (2013), data entry adalah kegiatan memasukan data

yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel atau database komputer,

kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau bisa juga dengan

membuat tabel kontigensi. Data yang di entry yakni jawaban-jawaban


63

dari masing-masing responden yang dalam bentuk “kode” (angka atau

huruf), dimasukan ke dalam program atau “softwere” komputer.

Softwere yang peneliti guanakan adalah Microsoft Excel. Setiap

jawaban responden yang sudah diberi kode, di-enrty sesuai dengan kode

yang telah dibuat. Pengelompokan data ini selanjutnya diolah untuk

pembuatan tabel atau diagram distribusi frekuensi.

d) Data Cleaning

Menurut Notoatmodjo (2010), apabila semua data dari setiap sumber

data atau responden selesai dimasukkan, peneliti perlu memeriksa kembali

untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan

kode, ketidak lengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan

atau koreksi. Pada tahap ini, peneliti mengecek kembali untuk melihat

kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidak lengkapan dan

sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi. Misalnya dalam

melakukan pengkodean pada usia ada data yang bernilai 4, seharusnya

berdasarkan coding yang ada kode usia hanya 1, 2 dan 3.

e) Data File

File atau penyimpanan data. Data yang telah diedit kemudian

dikelompokan sesuai kriteria yang telah diteliti oleh peneliti dan data

disimpan dalam bentuk dokumen yang disajikan dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi (Arikunto,2006). Misalnya, peneliti mengelompokan

tabel distribusi frekuensi data demografi dalam satu dokumen.


64

H. Analisa Data

Teknik analisis data menurut Noor (2011), adalah cara menganalisis data

penelitian, termasuk alat-alat statistik yang relevan untuk digunakan dalam

penelitian. Analisa data yang digunakan yaitu univarat yang dilakukan

terhadap tiap variabel dari hasil penelitian dalam analisis ini didapatkan hasil

data dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel

(Notoatmodjo, 2010).

Analisis yang digunakan peneliti adalah analisi univariat yaitu dengan

menganalisa satu variabel untuk mengetahui ansietas sosial pada remaja

tunarungu usia 11 sampai 20 tahun. Dalam menganalisa variabel ansietas

sosial, peneliti menganalisa hasil yang diperoleh masing-masing responden

dengan katagori yaitu ringan, sedang dan berat.

Hasil penelitian ini kemuadian diinterpretasikan menggunakan skala

Arikunto (2006), sebagai berikut:

100% : seluruhnya

76%-99% : sebagian besar

51%-75% : lebih dari setengahnya

50% : setengahnya

26%-49% : hampir setengahnya

1%-25% : sebagian kecil

0% : tidak satupun
BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lahan Praktik

SLB-B Tunas Kasih 2 terletak di jalan Abdullah bin Nuh No. 16 Yasmin

Semplak Kelurahan Semplak Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor. Didirikan pada

tanggal 18 Juli 1988, dibawah yayasan Tunas Kasih. Kegiatan belajar mengajar di

laksanakan mulai pukul 07.00-13.00 WIB. SLB-B Tunas Kasih 2 Kota Bogor di

pimpin oleh Kepala Sekolah Yaitu Dede Supratman, S.Pd. Responden yang

diambil di SLB-B Tunas Kasih 2 sebanyak 14 orang dari 20 remaja tunarungu.

SLB Sejahtera Kota Bogor terletak di di Jalan Gunung Batu No. 101 Loji Kota

Bogor. Dirintis oleh Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten

Bogor. Secara formal berdiri pada tanggal 07 Februari 1977. Kegiatan belajar

mengajar dilaksanakan mulai pukul 07.00 – 13.00 WIB. SLB Sejahtera Kota

Bogor dipimpin oleh Kepala Sekolah yaitu Dra. Leni Kursniati. Responden yang

diambil di SLB Sejahtera sebanyak 18 orang dari 25 remaja tunarungu.

Pada Bab V ini akan disajikan hasil penelitian yang dilakukan selama tiga hari

yaitu pada tanggal 02 - 03 Mei 2016.

B. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini dibuat dengan menggunakan analisa univariat yang

bertujuan untuk mengetahui gambaran ansietas sosial pada anak tunarungu usia

remaja di SLB Kota Bogor. Hasil penelitian ini diinterpretasikan dengan

menggunakan skala menurut Arikunto tahun 2006.

65
66

1. Karakteristik Responden

Beberapa karakteristik responden yang diteliti adalah usia responden

saat ini dan jenis kelamin responden. Karakteristik tersebut dapat dilihat

dalam tabel dibawah ini.

a) Usia

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Di SLB-B
Kota Bogor Tahun 2016
(n=32)
No. Usia Jumlah (f) Persentase
1. Remaja Awal (11-14
tahun) 15 47%
2. Remaja Tengah (15-17
tahun) 11 34%
3. Remaja Akhir (18-20
tahun) 6 19%
Total 32 100%
Sumber: Data Primer 2016

Berdasarkan data tabel 5.1, dapat diketahui bahwa hampir

setengahnya responden berusia remaja awal (11-14 tahun) yaitu 15

responden (47%) dan sebagian kecil berusia remaja akhir (18-20

tahun) yaitu 6 responden (19%).


67

b. Jenis kelamin

Diagram 5.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Di
SLB-B Kota Bogor Tahun 2016
(n=32)

44% perempuan
56% Laki-laki

Sumber: Data Primer 2016

Berdasarkan data pada diagram 5.1, dapat diketahui bahwa lebih

dari setengahnya responden berjenis kelamin laki-laki yaitu 18

responden (56%).
68

2. Ansietas sosial

a. Ansitas sosial berdasarkan tingkat ansietas sosial

Diagram 5.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan tingkat ansietas
sosial Di SLB-B Kota Bogor Tahun 2016
(n=32)
81%
80%
60%
40% 19%
20% 0%
0% Tingkat Ansietas Sosial
t
ng
an

ra
ng

da

Be
Se
Ri

ial
ial

ial

os
os

os

sS
sS

sS

ta
ta

sie
ta
sie

sie

An
An

An

Sumber: Data Primer 2016

Berdasarkan data pada Diagram 5.1, dapat diketahui lebih dari

setengahnya responden memiliki ansietas sosial sedang yaitu 26

responden (81%), sebagian kecil memiliki ansietas sosial berat yaitu 6

responden (19%), dan tidak satupun responden yang memiliki ansietas

sosial ringan yaitu 0 responden (0%).

C. Pembahasan

Pada bagian ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yang disesuaikan

dengan tujuan penelitian serta tinjauan teoritis. Pembahasan hasil penelitian

yang dijelaskan yaitu ansietas sosial pada anak tunarungu usia remaja di SLB

kota Bogor.
69

1. Karakteristik responden

a. Usia responden

Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Tingkat Ansietas Sosial Berdasarkan Usia
di SLB Kota Bogor Tahun 2016
Ringan Sedang Berat Total
Kategori Pilihan Jumla
Jumlah F Jumlah F h F Jumlah F
Ansietas Remaja Awal 0 0% 11 42% 4 67% 15 47%
Sosial Remaja Tengah 0 0% 10 38% 1 17% 11 34%
berdasarkan Remaja Akhir 0 0% 5 19% 1 17% 6 19%
usia Jumlah 0 0% 26 100% 6 100%    
  Total 32 100%

Menurut tabel 5.2 di dapatkan bahwa seluruh remaja tunarungu

mengalami ansietas sosial yaitu 32 responden (100%), responden yang

mengalami ansietas sosial tersebut didominasi oleh responden yang

berusia remaja awal (11-14 tahun) yaitu 15 orang (47%), dengan 11

responden (42%) remaja awal mengalami ansietas sosial sedang dan 4

responden (67%) remaja awal mengalami ansietas sosial berat. Pada

remaja awal memiliki kekhasan dalam tugas perkembangannya yaitu

dalam pencarian identitas di lingkungan sosial, remaja awal dituntut

untuk belajar dan mampu berelasi sosial sehingga membuat ansietas

sosial menjadi lebih dominan pada remaja awal (Aprianty, 2014).

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kassler, dkk., dalam

Varcarolis (2010), untuk angka kejadian kasus ansietas sosial biasanya

dialami pada awal usia 13 tahun. Menurut Struart dan Laraia dalam

Pinilih (2012), menyatakan bahwa usia berhubungan dengan


70

pengalaman seseorang dalam menghadapi berbagai macam stressor,

kemampuan memanfaatkan seseorang dalam menghadapi berbagai

macam stressor, kemampuan memanfaatkan sumber dukungan dan

keterampilan dalam mekasnisme koping.

Usia remaja berada pada kondisi yang paling berpeluang

mengalami masalah ansietas sosial terutama pada remaja awal, dimana

remaja awal tunarungu akan merasa terasingkan dari pergaulan sehari-

hari karena remaja tunarungu cenderung merasa kurang bisa

menguasai keadaan yang diakibatkan oleh pendengaran yang

terganggu dan tuntutan lingkungan sosial untuk mencari identitas diri

pada remaja awal, sehingga menimbulkan ansietas sosial di lingkungan

sosial.

b. Jenis kelamin responden

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Tingkat Ansietas Sosial Berdasarkan Jenis
Kelamin di SLB Kota Bogor Tahun 2016
Ringan Sedang Berat Total
Kategori Pilihan
Jumlah F Jumlah F Jumlah F Jumlah F
Peremua
Ansietas Sosial n 0 0% 11 42% 3 50% 14 44%
berdasarkan Laki-laki 0 0% 15 58% 3 50% 18 56%
jenis kelamin 100
Jumlah 0 0% 26 % 6 100%    
  Total 32 100%

Menurut tabel 5.3 di dapatkan bahwa seluruh remaja tunarungu

mengalami ansietas sosial yaitu 32 responden (100%), responden yang

mengalami ansietas sosial tersebut didominasi oleh responden yang


71

berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 18 orang (56%), dengan 15

responden (58%) remaja laki-laki mengalami ansietas sedang dan 3

responden (50%) remaja laki-laki mengalami ansietas berat. Davidson

dan Neale dalam Fausiah dan Widurty (2005), mengemukakan bahwa

laki-laki lebih mungkin memunculkan gejala negatif seperti ansietas

sosial diandingkan peremuan karena laki-laki tunarungu lebih ingin

menunjukan jati dirinya kepada teman-teman satu jenisnya ataupun

kepada teman lawan jenisnya. Berbeda dengan Kessler, Berglud et, al.

dalam Varcarolis (2010), yang menyatakan gangguan ansietas banyak

dialami oleh wanita dari pada laki-laki, akan tetapi untuk kasus

ansietas sosial angka kejadiannya hampir seimbang antara laki-laki dan

perempuan.

Pada penelitian ini responden lebih banyak remaja laki-laki

tunarungu dari pada remaja perempuan tunarungu sehingga

menghasilkan data bahwa remaja laki-laki tunarungu lebih banyak

mengalami ansietas sosial sedang. Pada masa remaja awal laki-laki

dengan tunarungu adalah ingin menunjukan jati dirinya pada satu jenis

atau lawan jenis, walaupun mereka mempunyai keterbatasan dalam

bersosialisasi karena hambatan pendengaran, namun remaja awal laki-

laki dengan tunarungu adalah makhluk sosial sama dengan remaja

awal normal yang selalu memerlukan kebersamaan dengan orang lain.

Hal tersebut bertolak belakang dengan pendapat Howritz dalam

Townsend (2009), menjelaskan bahwa jenis kelamin mepengaruhi


72

munculnya ansietas sosial seseorang, dimana angka ansietas sosial

lebih tinggi terjadi pada perempuan dari pada laki-laki karena

perempuan lebih ansietas akan ketidak mampuannya dibanding dengan

laki-laki, perempuan lebih mudah dipengaruhi oleh tekanan-tekanan

lingkungan eksternal, selain itu wanita memiliki fungsi sosial yang

lebih besar dari pada laki-laki sehingga memungkinkan untuk

mengalami ansietas sosial lebih besar dibandingkan pada laki-laki.

2. Ansietas sosial pada anak tunarungu usia remaja

Dari hasil penelitian tingkat ansietas sosial, lebih dari setengahnya

responden memiliki ansietas sosial sedang yaitu 26 responden (81%). Hal

tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Pinilih (2012), remaja

tunarungu didapatkan hasil 38 (43,82%) remaja tunarungu di Kabupaten

Wonosobo yang mengalami ansietas sosial sedang. Hal ini perlu mendapat

perhatian juga dimana hasil ini terdapat 6 responden (19%) remaja

tunarungu yang mengalami ansietas sosial berat, karena dampaknya akan

menurunkan kemampuan belajar dan kemampuan sosialisasi dengan

lingkungan, sehingga menimbulkan pengaruh negatif.

Pengaruh negatif anak penyandang tunarungu yang mempunyai

keterbatasan adalah dalam berhubungan interpesonal dikarenakan

kesulitan dalam mendengar, yang akan mempengaruhi kemampuan

mereka dalam berbahasa dan bersosialisasi. Bahasa merupakan unsur

terpenting dalam hubungan interpersonal ini, menurut Purwanto dalam

Pinilih (2012), bahasa merupakan alat untuk berfikir dan sarana utama
73

seseorang untuk berkomunikasi dan bersosial, untuk saling menyampaikan

ide, konsep, dan perasaan. Hal ini diperkuat dengan pendapat

Mangunsong dalam Pinilih (2012) bahwa kemampuan seseorang dalam

berkomunikasi akan sangat mempengaruhi keterampilan seseorang dalam

bersosialisasi.

Menurut Mungunsong dalam Pinilih (2012), anak yang mempunyai

keterbatasan fisik (disability), seperti penyandang tunarungu pada

dasarnya secara intelegensia tidak berbeda dengan anak yang mampu

mendengar, namun yang membedakannya adalah karakter emosionalnya

dan keterampilan sosialnya, mereka cenderung merasa cemas saat berada

di lingkungan sosial. Gangguan pendengaran pada tunarungu menjadi

faktor internal pada kejadian ansietas, karena pada tunarungu tidak mampu

menangkap pesan yang disampaikan lingkunganya dengan baik. Hal ini

apabila menyangkut identitas diri sesuai dengan tugas pekembangan yang

harus dicapai pada usia remaja dan harga diri, maka akan mengakibatkan

ancaman self exteem, sehingga mencetuskan terjadinya ansietas dalam

hubungan interpersonal. Ansietas sosial yang muncul pada penyandang

tunarungu dikarenakan sebagai makhluk sosial, mereka harus melakukan

interaksi dengan orang lain guna memenuhi kebutuhan id dan super

egonya (Stuart, 2009).

D. Keterbatasan Penelitian

Selama proses penelitian tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang

direncanakan oleh peneliti. Agar diperoleh hasil optimal, berbagai upaya telah
74

dilakukan dalam pelaksanaan penelitian ini, namun demikian masih ada faktor

yang sulit di kendalikan sehigga membuat penelitian ini mempunyai

keterbatasan yaitu

3. Waktu pengumpulan data setelah Ujian Nasional yang menyebabkan

sebagian responden tidak aktif lagi ke sekolah sehingga peneliti harus

mengatur ulang jadwal pengumpulan data.

1. Waktu pengumpulan data yang sangat singkat yaitu tiga hari karena

terpotong dengan tanggal merah dan sulitnya mencari responden yang

sesuai dengan kriteria inklusi.


BAB VI

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian mengenai ansietas sosial pada anak tunarungu usia

remaja di SLB Kota Bogor dengan jumlah responden 32 orang, didapatkan:

1. Hampir setengahnya responden berusia remaja awal (11-14

tahun) yaitu 15 responden (47%) dan sebagian kecil berusia remaja akhir

(18-20 tahun) yaitu 6 responden (19%).

2. Jenis kelamin di dapatkan bahwa lebih dari setengahnya

responden berjenis kelamin laki-laki yaitu 18 responden (56%), dan

hampir setengahnya berjenis kelamin perempuan yaitu 14 responden

(44%).

3. Ansietas sosial di dapatkan hasil bahwa lebih dari setengahnya

responden memiliki ansietas sosial sedang yaitu 26 responden (81%),

sebagian kecil memiiki ansietas sosial berat yaitu 6 responden (19%), dan

tidak satupun responden yang memiliki ansietas sosial ringan yaitu 0

responden (0%).

B. Rekomendasi

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti dan

pembaca. Dari hasil penelitian ini, maka peneliti mengajukan berbagai

rekomendasi untuk pihak-pihak terkait, yaitu sebagai berikut:

1. Peneliti selanjutnya

75
76

Diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan managemen

waktu yang baik dalam pengumpulan data, memanfaatkan hasil penelitian

ini sebagai data dasar penelitian, menambahkan komponen dalam

karekteristik responden, dan peneliti mengharapkan adanya penelitian

mengenai gambaran pengaruh ansietas sosial ini terhadap prestasi belajar

remaja tunarungu di SLB.

2. Institusi program studi Keperawatan Bogor

Diharapkan untuk institusi Program Studi Keperawatan Bogor

menyusun program penanggulangan atau memberikan asuhan keperawatan

mengenai masalah ansietas sosial yang di alami remaja tunarungu, dengan

memberikan intevensi seperti, promosi kesehatan kepada guru/orang tua

remaja tunarungu mengenai ansietas sosial atau memberikan terapi

keperawatan Social Skills Training (SST) . Mempertimbangkan waktu

pengumpulan data dengan jadwal pembelajaran di SLB.

3. Institusi SLB Kota Bogor

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan data dan motivasi

bagi guru SLB-B yang memberikan konseling tentang social guidance

(bimbingan sosial) pada remaja tunarungu yang bertujuan untuk

membantu remaja tunarungu dalam menurunkan masalah ansietas sosial,

sehingga remaja tunarungu mampu menyesuaikan diri secara baik dan

wajar dalam lingkungan sosial.


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi


Revisi VI. Jakarta : PT Rineka Cipta.

________. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:


PT.Rineka Cipta.

Dahlan, M. Sopiyudin. (2009). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel


dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika.

Delphie, B. (2009). Psikologi perkembangan(Anak Berkebutuhan Khusus).


Klaten: Insan Sejati.

Desmita. (2012). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Dharma, Kelana Kusama. (2011). Metode Penelitian Keperawatan. CV. Trans


Info Media.

Fausiah, F & Widury, J. (2005). Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: UI-
Press

Gunarsa, SD & Gunarsa, YSD. (2008). Psikologi Praktis Anak, Remaja, dan
Keluarga. Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Hasan, Iqbal. (2006). Analisis Data Penelitian dengan Statistik. Jakarta: Bumi
Aksara.

Hidayat. (2013). Metode Penelitian Keperawatan dan Tehnik Analisa Data.


Jakarta : Salemba Medika.

Hurlock. (2010). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Isaacs, Ann. (2005). Keperawatan Kesehatan Jiwa & Psikiatrik Edisi 3. Jakarta:
EGC.
Kaplan. (2006). Synopsis of Psychiatric Science Clinical Psychiatric. Baltimore:
Wiliam & Wilkins.

Kokasih, E. (2012). Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung:


Yrama Widya.

Kurnianingsih, Yulianti. (2010). Hubungan Faktor Individu dan Lingkungan


Terhadap Diet Penurunan Berat badan Pada Remaja Putri Di 4 SMA
Terpilih Di Depok Tahun 2009. Depok: Universitas Indonesia.

Nevid, S. Jeffrey, dkk. (2005). Psikologi Abnormal Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Noor, Juliansyah. (2011). Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, Dan


Karya Ilmiah. Jakarta: Prenada Media Group.

Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:


Rineka Cipta.

Nurhasanah, Nunung. (2010). Ilmu Komunikasi dalam Konteks Keperawatan.


Jakarta: Trans Info Media.

Rahardja, Djadja. (2006). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Indonesia University


of Education.

Rakhmat, Jalaludin. (2007). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya.

Santrock, J. W. (2007). Adolescence. New York: McGraw Hill.

Sastroasmoro, S. (2010). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis Ed.3 Cet.2.


Jakarta: SagungSeto.

Setiadi (2013). Konsep dan Praktek Penulisan Riset Keperawatan, Edisi 2.


Yogyakarta, Graha Ilmu.

Siagian, Matias. (2011). Metode Penelitian Sosial (Pedoman Praktis Penelitian


Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan Kesehatan). Medan: PT. Grasindo Monoratama.
Siregar, Sofyan. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif Dilengkapi Perbandingan
Perhitungan Manual dan SPSS. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Smart, Aqila. (2014). Anak Cacat Bukan Kiamat; Metode Pembelajaran & Terapi
untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Katahati.

Stuart, G.W. (2009). Principles and practice of pshychiatric nursing (9th ed).
Lousi Missouri: Mosby Elsevier.

Sujarweni, V Wiratna. (2014). SPSS Untuk Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Baru


Press.

Sutjihati soemantri. (2012) Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Rafika


Aditama.

Thompson, Jenny. (2014). Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta:


Erlangga.

Tomb. A. David. (2004). Buku Saku Psikiatri edisi 6. Jakarta: EGC.

Townsend, M.C. (2009). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts of Care in


Evidence-Based Practice 6th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company.

Varcarolis, EM. & Halter, M. J. (2010). Foundations of Psychiatri Mental Healty


Nursing: a Clinical Approach. Sixth Edition. St. Louis. Missouri.

Videbeck.S.L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Wong.L. Donna, dkk. (2009). Buku Ajaran Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.

Format referensi elektronik direkomendasi oleh :

Aprianty, Rizky Amalia. (2014). Gambaran Kecemasan Sosial Berdasarkan


Liebowitz Social Anxiety Scale (LSAS) pada Remaja Awal di Jatinangor.
Tersedia: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/Gambaran-
Kecemasan-Sosial-Berdasarkan-Liebowitz-Social-Anxiety-Scale.pdf. Diakses
pada tanggal 13 Maret 2016 pukul 14.07 WIB.
Festa, C.C. & Ginsburg, G.S. (2011). Parental and Peer Predictors of Social
anxiety in Youth. Tersedia: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21274620.
Diakses pada tanggal 12 Januari 2016 pukul 19.33 WIB.
Fidhzalidar, M. Gengki. (2015). Tingkat Kecemasan Sosial pada Anak yang
Mengalami Cacat Fisik di YPAC. Tersedia:
http://mpsi.umm.ac.id/files/file/519-523%20M%20Gengki.pdf. Diakses pada
tanggal 15 Februari 2016 pukul 20.13 WIB.

Gosch, E.A, dkk. (2006). Principles of cognitive-behavioral therapy for anxiety


disorder in children. Tersedia: https://scholars.duke.edu/display/pub766107.
Diakses pada tanggal 13 Januari 2016 pukul 14.44 WIB.

Hasibuan, E., P., Nanda. (2014). Gambaran Kecemasan Sosial Berdasarkan


Liebowitz Social Anxiety Scale (LSAS) pada Remaja Akhir di Bandung.
Tersedia: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/06/Gambaran-
Kecemasan-Sosial-Berdasarkan-Liebowitz-Social-Anxiety-Scale.pdf. Diakses
pada tanggal 13 Maret 2016 pukul 19.10 WIB.

Haspari, M.I & Hasanat, N.U. (2010). Efektifitas Keterampilan Sosial pada
Remaja Dengan Gangguan Kecemasan. Tersedia:
www.Jurnal.ump.ac.id/index.php./psikologi/article/view. Diakses pada
tanggal 14 Desember 2015 pukul 16.43 WIB.

Heuer, dkk. (2007). Aveidance of Emotionel Facial Expression in Social Anxiety:


The Approach-Avoidance Task. Tersedia:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17889827. Diakses pada tanggal 07
Maret 2016 pukul 20.02 WIB.

Jiwo, Tirto. (2012). Social Anxiety Disorder (Social Fobia). Tersedia:


www.tirtojiwo.org/wp.contene/uploads/2012/06/kuliah.socialfobia.pdf.
Diakses pada tanggal 05 Januari 2016 pukul 10.14 WIB.

Maliha, Siti. (2015). Kemerosotan Moral Remaja, Salah Siapa?. Tersedia:


http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI_PEND_DAN_BIMBIN
GAN/197102191998021-
NANDANG_BUDIMAN/BAHAN_AJAR_PERKEMBANGAN_INDIVID
U_2.pdf. Diakses pada tanggal 12 Januari 2016 pukul 21.35 WIB.

Pinilih.S.S. (2012). Pengaruh Social Skills Traning (SST) Terhadap Keterampilan


Sosialisasi dan Social Anxiety Remaja Tunatungu di SLB Kabupaten
Wonosoo Tahun 2010. Teredia: https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUK
Ewj3pdzu6s_LAhXXBY4KHVXGAo0QFggeMAA&url=http%3A%2F
%2Flib.ui.ac.id%2Ffile%3Ffile%3Ddigital%2F20314840-T31915-Pengaruh
%2520social.pdf&usg=AFQjCNHLw7bOhdlDSUMenog40HtVAHYq_g&si
g2=UiR5PMfoWVX5ZaV_rWbjmA. Diakses pada tanggal 15 November
2015 pukul 10.11 WIB.

Pratiwi, Ratna Anindya. (2013). Komunikasi Antarpribadi Guru Dalam


Membangun Kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus (Studi Kasus Pada
Siswa Tunarungu di SLB Negeri Semarang). Tersedia : ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php/interaksi.../3638. Diakses 10 Januari 2016 pukul
12.55 WIB.

Pusat Data Dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. (2014). InfoDATIN


Penyandang Disabilitas Pada Anak. Tersedia:
www.depkes.go.id/download.PhP?file=download/pusdatin/buletin/buletin-
disabilitas.pdf. Diperoleh 15 November 2015 pukul 17.30 WIB.

Suryanti, Risa. (2015). Gambaran Kecemasan Sosial Berdasarkan Liebowitz


Social Anxiety Scale (LSAS) pada Remaja Tengah di Surakarta. Tersedia:
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/07/GAMBARAN-
KECEMASAN-SOSIAL-BERDASARKAN-LIEBOWITZ.pdf. Diakses pada
tanggal 13 Maret 2016 PUKUL 13.17 WIB.
Lampiran 1

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG


PRODI KEPERAWATAN BOGOR

PENJELASAN PENELITIAN
Judul Penelitian : Gambaran Ansietas Sosial Anak Tunarungu Usia Remaja
di Sekolah Luar Biasa Kota Bogor
Peneliti : Fara Dewi Utami Pungki Lestari
NIM : P17320312006

Saya mahasiswa Program Diploma III Politeknik Kesehatan Kemenkes


Bandung Program Studi Keperawatan Bogor, bermaksud mengadakan penelitian
untuk mengetahui Gambaran Ansietas Sosial Anak Tunarungu Usia Remaja di
Sekolah Luar Biasa Kota Bogor. Saya menjamin bahwa penelitian ini tidak akan
berdampak negatif bagi siapapun, justru dengan adanya penelitian ini akan
memberikan dampak positif untuk orangtua maupun guru dalam mengetahui
Ansietas Sosial atau bisa disebut juga Fobia Sosial yang dimiliki anak.

Peneliti berjanji akan menjunjung tinggi hak-hak responden dengan cara


menjaga kerahasiaan data yang diperoleh baik dalam proses pengumpulan,
pengolahan, maupun penyajian. Peneliti juga menghargai keinginan responden
untuk tidak berpartisipasi dalam penelitian ini.

Untuk petunjuk pengisian silahkan adik-adik menjawab pernyataan yang


berhubungan dengan peristiwa yang adik-adik alami. Adik-adik diminta untuk
mengisi biodata dan memberikan jawaban yang sesuai dengan keadaan dan
pengalaman sendiri. Saya sangat mengharapkan kesungguhan dan kejujuran adik
-adik.
Melalui penelitian ini, peneliti sangat mengharapkan adik-adik berpartisipasi.
Peneliti mengucapkan terima kasih atas kesediaan dan kesungguhan adik-adik
berpartisipasi dalam penelitian ini.

Bogor, Mei 2016

Peneliti
Lampiran 2

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG


PRODI KEPERAWATAN BOGOR

LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN

Setelah diberi penjelasan tentang penelitian ini secara lisan dan tertulis, saya mengerti
tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui Ansietas Sosial atau yang di sebut juga Fobia
Sosial pada anak Tunarungu usia Remaja.

Dengan ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Kelas :

Guru kelas :

Bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian Gambaran Ansietas Sosial pada
Anak Tunarungu Usia Remaja di Sekolah Luar Biasa Kota Bogor.

Bogor, Mei 2016

Peneliti Responden

(Fara Dewi Utami Pungki Lestari) (………………………)


Lampiran 3

KUESIONER A

GAMBARAN ANSIETAS SOSIAL PADA ANAK TUNARUNGU USIA


REMAJA(11-20 TAHUN DI SEKOLAH LUAR BIASA KOTA BOGOR

Kode Responden : …………………………(diisi oleh peneliti)


Tanggal : …………………………
Nama Anak (inisial) : …………………………

A. Data Demografis
Berilah tanda checklis (√) pada kolom yang telah disediakan sesuai jawaban
1. Berapakah usia adik sekarang?
11 tahun
12 tahun
13 tahun
14 tahun
15 tahun
16 tahun
17 tahun
18 tahun
19 tahun
20 tahun

2. Apakah jenis kelamin adik ?


Laki-laki
Perempuan
KUESIONER B

GAMBARAN ANSIETAS SOSIAL PADA ANAK TUNARUNGU USIA


REMAJA(11-20 TAHUN DI SEKOLAH LUAR BIASA KOTA BOGOR)
B. Kuisioner Ansietas Sosial
Petunjuk pengisian :
1. Jawablah semua pertanyaan sesuai dengan kejujuran dan kebiasaan yang
dilakukan adik-adik.
2. Beri tanda checklis (√) pada kotak yang sudah disediakan ya, dan Isi sesuai
dengan pengalaman atau sesuai seperti yang adik-adik rasakan.

No. Pertanyaan Tidak Kadang- Sering Sanga Setiap


pernah kadang t saat
sering
1. Aku takut berbicara
dengan orang yang baru
aku kenal.
2. Aku tidak mau melihat
mata atau gerakan mulut
orang yang sedang
berbicara denganku.
3. Aku malu bicara tentang
diriku sendiri atau
perasaanku.
4. Aku tidak suka melakukan
kegiatan bersama dengan
orang lain.
5. Aku mudah bergaul
dengan teman yang
umurnya sama dengan
aku.
No. Pertanyaan Tidak Kadang- Sering Sanga Setiap
pernah kadang t saat
sering
6. Aku takut bertemu dengan
orang-orang di jalan.
7. Aku tidak suka berada
dilingkungan
sosial/masyarakat.
8. Aku takut sendirian di
antara orang lain yang
tidak kukenal.
9. Aku senang datang ke
pesta.
10. Aku sulit bicara dengan
orang lain.
11. Aku tidak sulit
mengungkapkan isi
pikiranku.
12. Aku malu bicara didepan
orang-orang.
13. Aku sulit mengatakan
pendapatku, saat tidak
setuju dengan pendapat
orang lain.
14. Aku malu bicara dengan
lawan jenis.
15. Aku sulit mulai bicara
dengan orang lain yang
baru kukenal.

No. Pertanyaan Tidak Kadang- Sering Sanga Setiap


pernah kadang t saat
sering
16. Aku malu berteman dengan
orang yang tidak akrab
denganku .
17. Aku merasa aku akan
mengatakan sesuatu yang
membuat aku malu ketika
berbicara.
18. Saat bergaul dalam
kelompok, Aku sering
merasa takut bila aku akan
diabaikan/tidak ditanggapi
(dicuekin).
19. Aku merasa malu bergaul
dalam kelompok.
20. Aku merasa takut saat
menyapa seseorang untuk
mengajaknya berbincang-
bincang (ngobrol).

Anda mungkin juga menyukai