Anda di halaman 1dari 126

PENERAPAN THERAPI AKTIVITAS KELOMPOK PADA

KLIEN ISOLASI SOSIAL DENGAN GANGGUAN


MENARIK DIRI

STUDI LITERATUR

JULIA DEWI LESTARI


(NIM : PO.71.20.2.19.014)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALEMBANG


PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
JURUSAN KEPERAWATAN BATURAJA
TAHUN 2020
PENERAPAN THERAPI AKTIVITAS KELOMPOK PADA
KLIEN ISOLASI SOSIAL DENGAN GANGGUAN
MENARIK DIRI

Diajukan Kepada Poltekkes Kemenkes Palembang Untuk


Memenuhi Salah Satu Persyaratan memperoleh gelar
Ahli Madya Keperawatan

JULIA DEWI LESTARI


(NIM : PO.71.20.2.19.014)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PRODI KEPERAWATAN BATURAJA
TAHUN 2020
HALAMAN BEBAS PLAGIASI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : JULIA DEWI LESTARI

Nim : PO.71.20.2.19.014

Program studi : DIII Keperawatan Baturaja

Institusi : Poltekkes Kemenkes Palembang

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa studi literture yang saya tulis ini
adalah benar benar merupakan hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan
pengambil alihan tulisan atau pemikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan
atau pemikiran saya sendiri.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan studi literature ini
hasil jiblakan maka saya akan menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS

Studi Literture Ini Adalah Hasil Karya Saya Sendiri

Dan sumber Yang Di Kutip Maupun Yang Di Rujuk

Telah saya nyatakan dengan benar

NAMA : Julia Dewi Lestari

NIM : PO.71.20.2.19.014

Tanda tangan :

Tanggal : Oktober 2021


LEMBAR PERSETUJUAN

Studi literture oleh Julia Dewi Lestari NIM.PO.71.20.2.19.014 dengan


judul “Penerapan Terapi Aktivitas Kelompok Pada Klien isolasi Sosial Dengan
Gangguan Menarik diri” telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan.

Baturaja, 2021.

Pembimbing I Pembimbing II

  Nelly Rustiati, SKM. M.Kes Hj Eni Folendra Rosa, SKM.M.PH


NIP. 19671027 198803 2 002 NIP: 19661104 199003 2 001
LEMBAR PENGESAHAN

Studi literture oleh Sisi Olandari NIM.PO.71.20.2.17.031 dengan judul


“Penerapan Terapi Aktivitas Kelompok Pada Klien isolasi Sosial Dengan
Gangguan Menarik diri” telah diperiksa, disetujui dan telah dipertahankan di
depan dewan penguji pada tanggal 25 Juni 2020.

Dewan Penguji

Penguji I Penguji II

H Asmawi, N.SKM.M.Kes Hj  Zanzibar, S.Pd.M.Kes


NIP. 19560309 197703 1 003 NIP. 19600205 198003 2 001

Mengetahui,
Ketua Program Studi Keperawatan Baturaja

H. Gunardi Pome, S.Ag, SKM, S.Kep, M.Kes


NIP.196905251989031002
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

“Lakukan yang terbaik, bersikaplah yang baik, maka kamu akan menjadi yang
terbaik”

PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati, aporan tugas akhir ini kupersembahkan kepada:
 Teruntuk Ayahku Edwar Rozali dan Ibuku Zauya, terima kasih selama ini
selalu memberiku semangat, doa, dorongan, nasehat dan kasih sayang
serta pengorbanan yang tak tergantikan hingga aku selalu kuat untuk
menjalani setiap rintangan yang ada didepanku. Jasamu takkan pernah
mampu kubalas, namun semoga Allah meridhoiku agar aku dapat menjadi
alasan kebahagiaan kalian dan semoga allah memberikan balasan
setimpal syurga firdaus kepada kalian berdua.
 Teruntuk kakakku tersayang Edo Wardo, terima kasih telah mendukungku
di setiap kondisi, mendukung setiap kegiatanku, tempat untuk berbagi dan
pendorong agar menjadi lebih dewasa..
 Teruntuk sahabatku cut indah nazillah, dian therezah Yadi, dhea mareta
sari, qorry gustiara, citra sari, risdianti, rara sucitra, widya febri mulyani
yulia putriana, , vini julianisa, riza riswanda dan teman-teman tingkat 3B
terimakasih selalu menemani sekaligus motivator di kala lelah dengan
kesulitan yang datang dalam pembuatan KTI ini
 Kepada seluruh angkatan XVI terimakasih telah menjadi teman, rekan
berbagi ilmu pengetahuan sekaligus saudara selama 3 tahun terakhir.
Semoga kebersamaan ini terus berlanjut hingga kita menuju kesuksesan
masing-masing. Teruslah berjuang dan semoga kita dapat berkumpul
kembali dikemudian hari.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS DIRI

Nama Lengkap : Julia Dewi Lestari

Tempat/Tanggal Lahir : Padang Bindu, 19 Januari 2001

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Ds. Padang Bindu Kec. Semidang Aji Kab. OKU

IDENTITAS ORANG TUA

Nama Ayah : KANDERI

Nama Ibu : WENI ASMINAH

RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun 2007-2013 : SD NEGERI 107 OKU

Tahun 2013-2016 : SMP NEGERI 22 OKU

Tahun 2016-2019 : SMA NEGERI 09 OKU

Tahun 2019-2022 : Politeknik Kesehatan Palembang

Program Studi Keperawatan Baturaja

Tahun 2019-2020 : Tingkat I

Tahun 2020-2021 : Tingkat II

Tahun 2021-2022 : Tingkat III

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan studi literture ini tepat waktu.
Penulisan studi literture ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
persyaratan untuk mencapai gelar Ahli Madya Keperawatan pada Program Studi
Keperawatan Baturaja Poltekkes Kemenkes Palembang. Pada kesempatan ini
izinkan saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada :
1. Bapak Muhamad Taswin, S.Si, Apt, MM, M.Kes selaku Direktur Politeknik
Kesehatan Kemenkes Palembang
2. Ibu Devi Mardianti, S.Pd, S.Kep, M.Kes selaku Ketua Jurusan Keperawatan
Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang
3. Bapak H. Gunardi Pome, S.Ag, S.Pd, SKM, M.Kes selaku Ketua Prodi
Keperawatan Baturaja beserta Staf Dosen dan Tata Usaha Program Studi
Keperawatan Baturaja.
4. Ibu Nelly Rustiati, SKM, M.Kes selaku pembimbing I dalam pembuatan studi
literture
5. Ibu Hj. Eni Folendra Rosa, SKM, MPH selaku pembimbing II dalam
pembuatan studi literture
6. Bapak H. Asmwi Nazori, SKM, M.Kes selaku ketua penguji I
7. Ibu Hj. Zanzibar, S.Pd, M.Kes selaku penguji II
8. Seluruh Bapak dan Ibu dosen beserta staf pengajar Program Studi
Keperawatan Baturaja.
9. Teman-teman seperjuangan angkatan XVI dan almamater tercinta
Saya menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini jauh dari kesempurnaan
maka kiranya mohon saran dan masukan demi perbaikan studi literture saya.
Semoga studi literture ini berguna bagi diri saya sendiri dan pengembangan ilmu
pengetahuan.
Baturaja, Okt 2021

Penulis
10

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALEMBANG
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN BATURAJA

Karya Tulis Ilmiah Studi Literatur,

Julia Dewi Lestari (2022)

Penerapan Terapi Aktivitas Kelompok Pada Klien isolasi Sosial Dengan


Gangguan Menarik Diri

Abstrak

Latar belakang: Undang undang kesehatan jiwa no.3 tahun 1996 menyebutkan
bahwa kesehatan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik,
intelektual, emosional secara optimal dari seseorang dan perkembangan ini
berjalan selaras dengan orang lain. Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik
positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangaan kejiwaan yang
mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. (Ade Herman Surya Direja, 2011).
Menurut World Health Organization (2017) pada umumnya gangguan mental
yang terjadi adalah gangguan kecemasan dan gangguan depresi. Diperkirakan
4,4% dari populasi global menderita gangguan depresi, dan 3,6% dari gangguan
kecemasan. Jumlah penderita depresi meningkat lebih dari 18% antara tahun 2005
dan 2015. Depresi merupakan penyebab terbesar kecacatan di seluruh dunia.
Lebih dari 80% penyakit ini dialami orang-orang yang tinggal di negara yang
berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2017). .
Tujuan: Untuk Menggambarkan Penerapan Terapi Aktivitas Kelompok Pada
Klien isolasi Sosial Dengan Gangguan Menarik Diri.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian naratif studi literature yang
menggambarkan Penerapan Terapi Aktivitas Kelompok Pada Klien isolasi Sosial
Dengan Gangguan Menarik Diri.
Hasil Berdasarkan analisa diatas, Terapi Aktivitas Kelompok Sosial Latihan
Keterampilan Sosial berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan
bersosialisasi pada pasien isolasi sosial.
Kesimpulan:. Penerapan Penerapan Terapi Aktivitas Kelompok Pada Klien
isolasi Sosial Dengan Gangguan Menarik diri dapat meningkatkan kemampuan
klien membina hubungan saling percaya, menyadari penyebab isolasi sosial
dan mampu berinteraksi dengan orang lain.
Saran : Diharapkan dapat mensosialisasikan pendidikan kesehatan dan latihan
penerapan terapi aktivitas kelompok pada klien isolasi sosial dengan gangguan
menarik diri.

Kata Kunci : Penerapan TAK , Klien isolasi sosial

Poltekkes Kemenkes Palembang


11

MINISTRY OF HEALTH, REPUBLIC OF INDONESIA


POLYTECHNIC OF HEALTH OF HEALTH, PALEMBANG
BATURAJA NURSING STUDY PROGRAM

Scientific Writing in Literature Study,

Julia Dewi Lestari (2022)

Application of group activity therapy in social isolation clients with withdrawal


disorders

Abstract

Background: Mental health law no.3 of 1996 states that mental health is a
condition that allows an optimal physical, intellectual, emotional development of
a person and this development goes in harmony with others. Mental health is a
variety of positive characteristics that describe the harmony and psychological
balance that reflects the maturity of his personality. (Ade Herman Surya Direja,
2011).
According to the World Health Organization (2017) in general, mental disorders
that occur are anxiety disorders and depressive disorders. An estimated 4.4% of
the global population suffer from depressive disorders, and 3.6% of anxiety
disorders. The number of people with depression increased by more than 18%
between 2005 and 2015. Depression is the biggest cause of disability worldwide.
More than 80% of the disease is experienced by people who live in low and
middle income countries (WHO, 2017). .
Objective: To describe the application of group activity therapy to social isolation
clients with withdrawal disorders.
Method: This research is a narrative study of literature studies that illustrates the
Application of Group Activity Therapy on Social Isolation Clients with Self-
Disorders.
Results Based on the above analysis, Social Group Activity Therapy Social Skills
Training has an effect on improving social skills in patients with social isolation.
Conclusion:. Application of Group Activity Therapy Application in Social
Isolation Clients With Disorders Pulling yourself can improve the client's ability
to foster relationships of mutual trust, be aware of the causes of social isolation
and be able to interact with others.
Suggestion: It is expected to be able to socialize health education and practice the
application of group activity therapy to clients of social isolation with withdrawal
disorders.

Keywords: Application of TAK, Client social isolation

Poltekkes Kemenkes Palembang


12

DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Sampul Depan.............................................................................i
Halaman Sampul Dalam............................................................................ii
Halaman Bebas Plagiasi ..........................................................................iii
Halaman Orisinalitas.................................................................................iv
Halaman Persetujuan..................................................................................v
Halaman Pengesahan................................................................................vi
Halaman Motto dan persembahan...........................................................vii
Halaman Daftar riwayat hidup................................................................viii
Halaman Kata Pengantar...........................................................................ix
Halaman Abstrak Indonesia.......................................................................x
Halaman Abstrak Inggris.........................................................................xi
Halaman Daftar Isi...................................................................................xii
Halaman Daftar tabel..............................................................................xiv
Halaman Daftar Lampiran ......................................................................xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah...................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................2
1.3 Tujuan Studi Kasus...........................................................2
1.4 Manfaat Studi Kasus.........................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Isolasi Sosial ......................................................4
2.1.1. Pengertian ............................................................4
2.1.2. Rentang Respon Sosial..........................................4
2.1.3. Tanda dan gejala....................................................8
2.1.4. Pohon masalah.......................................................9
2.1.5. Komplikasi.............................................................9
2.1.6. Mekanisme Koping................................................10
2.1.7. Penatalaksanaan.....................................................10
2.2. Konsep Asuhan Keperawatan Isolasi Sosial...................11
2.2.1. Pengkajian..............................................................12
2.2.2. Diagnosa Keperawatan..........................................13
2.2.3. Rencana Tindakan.................................................13
2.2.4. Tindakan Keperawatan..........................................13
2.2.5. Evaluasi .................................................................16
2.3. Konsep Terapi Aktivitas Kelompok................................16
2.3.1. Pengertian..............................................................16
2.3.2. Tujuan....................................................................17
2.3.3. Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok.....................17
2.3.4. Tahap-Tahap Dalam Terapi Aktivitas Kelompok. 18

Poltekkes Kemenkes Palembang


13

2.3.5. Peran Perawat Dalam Terapi Aktivitas Kelompok19


2.3.6. Macam-Macam Terapi Aktivitas Kelompok.........20
2.4. Prosedur Menurut Jurnal..................................................23

BAB IIIMETODE PENELITIAN


3.1 Desain Penelitian...............................................................25
3.2 Variabel..............................................................................25
3.3 Kriteria literatur yang digunakan.......................................25
3.4 Sumber Artikel .................................................................25
3.5 Langkah studi literatur.......................................................26
3.6. Analisis data dan penyajian hasil penelitian.....................26
3.7. Etika Studi Kasus..............................................................31
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian.................................................................
4.2. Pembahasan.......................................................................
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ......................................................................
5.2. Saran ................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Poltekkes Kemenkes Palembang


14

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Proses terjadinya masalah................................................ 6


Tabel 3.1. Tabel Review ................................................................. 27

Poltekkes Kemenkes Palembang


15

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Jadwal kegiatan

Lampiran 2 Artikel / hasil penelitian / full teks

Lampiran 3 Lembar konsultasi pembimbing I

Lampiran 4 Lembar konsultasi pembimbing II

Poltekkes Kemenkes Palembang


16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinterkasi dengan orang
lain disekitarnya. Isolasi sosial merupakan keadaan ketikan individu atau
kelompok memiliki kebutuhan atau hasrat unruk memiliki keterlibatan
dengan orang tetapi tidak mampu membuat kontak tersebut. Gangguan isolasi
sosial dapat terjadi karena individu merasa ditolak, tidak diterima,
kesepian,dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang
lain.(Sutejo,2019:hal 43).
Menurut World Health Organization (2017) pada umumnya
gangguan mental yang terjadi adalah gangguan kecemasan dan gangguan
depresi. Diperkirakan 4,4% dari populasi global menderita gangguan depresi,
dan 3,6% dari gangguan kecemasan. Jumlah penderita depresi meningkat
lebih dari 18% antara tahun 2005 dan 2015. Depresi merupakan penyebab
terbesar kecacatan di seluruh dunia. Lebih dari 80% penyakit ini dialami
orang-orang yang tinggal dinegara yang berpenghasilan rendah dan
menengah (WHO, 2017).
Data Riskesdas 2018 memunjukkan prevalensi ganggunan mental
emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk
usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 6.1% dari jumlah penduduk Indonesia.
Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai
sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Berdasarkan data
Riskesdas (2018) diketahui penderita gangguan jiwa berat yang cukup banyak
di Indonesia dan sebagian besar tersebar di masyarakat dibandingkan yang
menjalani perawatan dirumah sakit, sehingga diperlukan peran serta
masyarakat dalam penanggulangan gangguan jiwa. Peran masyarakat dalam
penanggulangan gangguan jiwa akan dapat terbangun jika masyarakat

Poltekkes Kemenkes Palembang


17

memahami tentang peran dan tanggung jawabnya dalam penanggulangan


gangguan jiwa di masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian Noprida Saswati dan Sutinah (2016)
pasien yang mengalami gangguan sosialisasi perlu diberikan suatu program
terapi. Program terapi yang diberikan dan disiapkan di rumah sakit jiwa adalah
terapi aktifitas kelompok. Terapi aktifitas kelompok adalah salah satu terapi
modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai
masalah keperawatan yang sama. Mereka menambahkan bahwa TAK dibagi
empat yaitu terapi aktifitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi
aktifitas kelompok stimulasi sensori, terapi aktifitas kelompok stimulasi realita,
terapi aktifitas kelompok sosialisasi. Terapi Aktivitas Kelompok: Sosialisasi
(TAKS) adalah upaya upaya memfasilitasi kemampuan bersosialisasi dengan
masalah hubungan sosial klien isolasi melalui tujuh sesi untuk melatih
kemampuan sosialisasi klien.
Berdasarkan data tersebut maka penulis akan melakukan penelitian
lebih lanjut tentang Penerapan Terapi Aktivitas Kelompok Pada Klien isolasi
Sosial Dengan Gangguan Menarik diri.

1.2. Rumusan masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana memperoleh
gambaran Penerapan Terapi Aktivitas Kelompok Pada Klien isolasi Sosial
Dengan Gangguan Menarik Diri.

1.3. Tujuan Studi Kasus


Adapun tujuan penulisan yang ingin dicapai dalam studi literatur
meliputi tujuan umum dan tujuan khusus :
1.3.1. Tujuan Umum
Diperoleh gambaran Penerapan Terapi Aktivitas Kelompok Pada
Klien isolasi Sosial Dengan Gangguan Menarik Diri
1.3.2.Tujuan Khusus
Dalam penyusunan karya tulis secara ilmiah ini, penulis diharapkan
dapat :

Poltekkes Kemenkes Palembang


18

1. Diperoleh gambaran masalah pada klien dengan gangguan menarik


diri : isolasi sosial.
2. Diperoleh gambaran Penerapan Terapi Aktivitas Kelompok Pada
Klien isolasi Sosial Dengan Gangguan Menarik diri.
3. Diperoleh gambaran hasil Penerapan Terapi Aktivitas Kelompok
Pada Klien isolasi Sosial Dengan Gangguan Menarik Diri

1.4. Manfaat Studi Kasus


Adapun manfaat dari penulisan studi literatur ini adalah :
1. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan, pengalaman, dan informasi bagi penulis
tentang penerapan terapi aktivitas kelompok (TAK) pada klien isolasi
sosial dengan gangguan menarik diri.
2. Bagi pengembangan dan teknologi keperawatan
Hasil penelitian ini diharapakan dapat menjadi masukan dan referensi
dalam rangka meningkatkan kegiatan home visite terhadap klien dengan
penerapan terapi aktivitas kelompok (TAK) pada klien isolasi sosial
dengan gangguan menarik diri.
3. Prodi Keperawatan Baturaja
Diharapkan dapat digunakan sebagai refrensi untuk dapat meningkatkan
wahana keilmuan mahasiswa di bidang keperawatan jiwa.

Poltekkes Kemenkes Palembang


19

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Isolasi Sosial


2.1.1. Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinterkasi dengan
orang lain di sekitarny. Isolasi sosial merupakan keadaan ketikan
individu atau kelompok memiliki kebutuhan atau hasrat unruk
memiliki keterlibatan dengan orang tetapi tidak mampu membuat
kontak tersebut.Gangguan isolasi sosial dapat terjadi karena individu
merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain.(Sutejo,2019:hal 43).
Menurut depkes RI kerusakan interkasi sosial merupakan
gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang
tidak fleksibel menimbulkan prilaku maladaptive dan menganggu
fungsi seseorang dalam hubungan sosial.
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interkasi
dengan orang lain usaha menghindari interaksi dengan orang lain
(Abdul muhit 2015 hal 286). Menarik diri merupakan suatu keadaan
dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan
secara terbuka dengan orang lain. Sedangkan menurut depkes RI
Penarikan diri atau withdrawal merupakan suatu tindakan melepaskan
diri baik perhatian ataupun minatnya terhadap lingkungan sosial
secara langsung yang dapat bersofst sementara atau menetap. Jadi
menarik diri adalah keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan
dalam membina hubungan dan menghindari interaksi dengan orang
lain secara langsung yang bersifat sementara atau menetap.
2.1.2. Rentang Respon Sosial
Menurut Stuard (2013,hal;44) rentan respon klien di tinjau dari
interaksinya dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontonium

Poltekkes Kemenkes Palembang


20

yang terbentang antara respon adaktif edengan maladaktif sebagai


berikut:

Respon adaktif Respon maladaktif

Menyendiri Kesepian Manipulasi

Otonomi Menarik diri Impulsif


Kebersamaan Ketergantungan narsisme
Saling ketergantungan

a. Respon adaktif :
Respon adaktif adalah respon individu menyelesaikan suatu hal dengan
cara yang dapat diterima oleh norma norma masyarakat, respon ini
meliputi;
1) Menyendiri ; respon yang dilakukan ndividu dalam merenungkanhal
yamg telah terjaid atau dilakukan dengan tujun mengevaluasi diri
dengan kemudian menentukan rencana rencana.
2) Otonom; kemampuan individu dalam menyampaikan ide, pikiran,
perasaan dalam hunungan sosial.
3) Kebersamaan; kemampuan atau kondisi individu dalam hubungan
interpersona
dimana individu mampu untuk saling member dan menerima ndalam
hubungan sosial.
4) Saling ketergantungan;suatu hubungan saling bergabtung antara
individu dengan individu lain dalam berhubugan sosial.

b. Respon maladaktif
Respon maladaktif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah dengan cara yang beretentangan dengan norsm agama dan
masyarakat.respon maladaktif tersebut antara lain;

Poltekkes Kemenkes Palembang


21

1) manipulasi: gangguan sosial yang menyebabkan individu


memperlakukan sebagai objek dimana hubungan terpusat pada
pengendalian masalah oranag lain dan individu cenderung berorientasi
pada diri sendiri.
2) Impuls:respon sosial yang di tandai dengan individu sebagai subjek
yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya tidak mampu
merencanakan, tidak mampu untuk belajar dari pengalaman, dan tidak
dapat melakukan penilaian secara objektif.
3) Narsisme: respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah
laku ogosentris, harga diri rapuh, berusaha mendapatkan penghargaan,
dan mudah marah jika tidak mendapat dukungan dari orang lain.

Tabel 2.1
Proses terjadinya masalah (Iyus Yosep 2011,hal 230)
Patter sof Ineffective coping Lack of Stressor Internal
parenting (pola (koping individu Development task and External
asuh keluarga) tidak efektif) (Gangguan tugas (Stres Internal dan
perkembangan Eksternal)
Misal : pada Misal : Saat Misal : Kegagalan Misal : Stress
anak yang individu menjalin terjadi akibat
kelaahirannya menghadapi hubungan intim ansietas yang
tidak kegagalan dengan sesama berkepanjangan
dikehendaki menyalahkan orang jenis atau lawan dan terjadi
(unwanted child) lain, jenis, tidak bersama dengan
akibat kegagalan ketidakberdayaan, mampu mandiri keterbatasan
KB, hamil luar menyangkal tidak dan kemampuan
nikah, bentuk mampu menghadapi menyelesaikan individu untuk
fisik kurang kenyataan dan tugas, bekerja, mengatasinya.
menawan menarik diri dari bergaul, sekolah Ansietas terjadi
menyebabkan lingkungan, terlalu menyebabkan akibatberpisah
keluarga tingginya self ideal ketergantungan dengan orang
komentar – dan tidak mampu pada orang tua, terdekat,
komentar menerima realitas rendahnya hilangnya
negatif, dengan rasa syukur. ketahanan pekerjaan atau
merendahkan, terhadap sebagai orang yang
menyalahkan kegagalan. dicintai.
anak

1. Penyebab Isolasi Sosial (Sutejo 2019, hal 45)


Faktor predisposisi terbagi 2 yaitu:

Poltekkes Kemenkes Palembang


22

1) Faktor Predisposisi
Faktor prediposisi penyebab isolasi sosial meliputi faktor
perkembangan, faktor biologis, dan faktor sosiokultural. Berikut
merupakan penjelasan dari faktor predisposisi:
a. Faktor perkembangan
Tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi
individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain adalah
keluarga.kurangnya stimulasi maupun kasih sayang dari orang tua
atau pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang
dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri.
b. Faktor biologis
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon
maladaktif. Genetik merupakan salah satu faktor pendukung
gangguan jiwa. Insiden tertinggi skizofrenia, misalnya, ditemukan
pada keluarga dengan riwayat anggota keluarga yang menderita
skizofrenia.
c. Faktor social budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan
faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan atau isolasi
sosial. Gangguan ini juga bisa disebabkan oleh norma norma salah
yang di anut keluarga, seperti anggota tidak produktif yang di
asingkan dari lingkungan sosial.

2) Faktor presipitasi
a) Stresor sosiokulturnal
Stressor sosial budaya, misalnya menurunkan stabilitas unit
keluarga, berpisah dengan orang yang berarti dalam kehidupanya.
b) Stresor psikologik
Intensitas ansietas (ansietas) yang ekstrim akibat beroisah dengan
orang lain. misalnya, dan memenajang disertai dengan terbatasnya
kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan menimbulakn
berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.

Poltekkes Kemenkes Palembang


23

c) Stresor intelektual
a) kurangnya pemahaman diri dalam ketidakmampuan untuk
berbagai pikiran dan perasaan yang menganggu perkembangan
hubungan dengan orang lain.
b) klien dengan kegagalan adalah orang yang kesepian dan
kesulitan dalam menghadapi hidup.
c) ketidakmampuan seseorang membangun kepercayaan dengan
orang lain memicu persepsi yang menyimpang dan berakibat
pada gangguan berhubungan dengan orang lain (isolasi sosial)
d) stresor fisik
Stressor fisik yang memicu isolasi sosial: menarik diri dapat
meliputi penyakit kronik dan keguguran).

2.1.3. Tanda dan gejala (Iyus yosep 2011 hal 232)


Gejala Subjektif
1. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
2. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
3. Respons verbal kurang dan sangat singkat.
4. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
5. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
6. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
7. Klien merasa tidak berguna.
8. Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup.
9. Klien merasa ditolak.
Gejala Objektif :
1. Klien banyak diam dan tidak mau bicara.
2. Tidak mengikuti kegiatan.
3. Banyak diam diri di kamar.
4. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengam orang
terdekat.
5. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal

Poltekkes Kemenkes Palembang


24

6. Kontak mata kurang.


7. Kurang spontan
8. Apatis (acuh terhadap lingkungan).
9. Ekspresi wajah kurang berseri.
10. Tidak merawat diri dan memperhatikan kebersihan diri.
11. Mengisolasi diri
12. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
13. Masukan makanan dan minuman terganggu.
14. Retensi urin dan feses.
15. Aktivitas menurun.
16. Kurang energi (tenaga)
17. Rendah diri Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus / janin
(khususnya pada posisi tidur)

2.1.4. Pohon Masalah

Resiko perubahan sensori persepsi:Halusinasi

Isolasi diri : Menarik diri

Gangguan konsep diri:harga diri


rendah kronis
(Sutejo,2019:hal 21)
2.1.5. Komplikasi
Klien dengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalan
dan tingkah laku masa lalu primitif antara lain pembicaraan yang
autistik dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga
berakibat lanjut menjadi resiko gangguan sensori persepsi :
halusinasi,mencedrai diri sendiri, orang lain serta lingkungan dan
penurunan aktifitas sehingga dapat menyebabkan defisit perawatan diri.

Poltekkes Kemenkes Palembang


25

2.1.6. Mekanisme Koping


Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi
ansietas yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam
dirinya. Mekanisme koping yang sering digunakan adalah proyeksi,
splitting (memisah) dan Isolasi. Proyeksi merupakan keinginan yang
tidak mampu di toleransi dan klien mencurahkan emosi kepada orang
lain karena kesalahan sendiri, splitting merupakan kegagalan individu
dalam menginterpretasikan dirinya dalam menilai baik buruk.
Sementara itu, isolasi merupakan prilaku mengasingkan diri dari orang
lain maupun lingkungan.(Sutejo,2019:hal50).

2.1.7. Penatalaksanaan
a. Therapy farmakologi
1. Haloperidol (HLP)                  5 mg                3x1
2. Trihexyphenidil (THP)            2 mg                3x1
3. Chlorpomazin  (CPZ)              100 mg            1x1

b. Electro convulsive therapy


Electro convulsive therapy (ECT) atau yang lebih dikenal
dengan elektroshock adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan
energi shock listrik dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT
ditunjukan untuk terapi paien gangguan jiwa yang tidak berespon
kepada obat psikiatri pada dosis terapinya. ECT pertama kali
diperkenalkan oleh 2 orang neurologist italia Ugo cerletti dan lucio
bini pada tahun 1930. Diperkirakan hampir 1 juta orang didunia
mendapat terapi ECT setiap tahunya dengan intensitas antara 2-3 kali
seminggu.
ECT bertujuan untuk mengindukasi suatu kejang klonik yang
dapat memberikan efek terapi (therapeutic clonic seizure)
setidaknyaa selama 15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu
kejang dimana seseorang kehilangan kesadarnya dan mengalami

Poltekkes Kemenkes Palembang


26

rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini
masih belum dapat dijelaskan dengan memuaskan. Namun beberapa
penelitian menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan kadar serum
brain-derived neurotrohic factor (BDNF) pada pasien depresi yang
tidak responsif terhadap farmokologis. Terapi ECT tidak bisa
diberikan kepada pasien yang berpendidikan diatas SMA.

c. Therapy kelompok
Therapi kelompok merupakan suatu psikotherpy yang
dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi
satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist
atau petugas kesehatan jiwa. Thrapy ini bertujuan memberi stimulus
bagi klien dengan gangguan interpersonal. (Saputra Lyndon, 2018)

d. Therapy lingkungan
Manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sehingga
aspek lingkungan harus mendaptkan perhatian khusus dalam
kaitanya untuk menjaga dan memelihara kesehatan manusia.
Lingkungan berkaitan erat dengan stimulus psikologi seseorang
yang akan berdampak pada kesembuhan, karena lingkungan
tersebut akan memberikan dampak baik pada kondisi fisik maupun
kondisi psikologis seseorang.

2.2. Konsep Asuhan Keperawatan Isolasi Sosial


Setiap individu memilili potensi untuk terlibat dalam hubungan
sosial pada berbagai tingkat hubungan, yaitu ubungan intim yang biasa
sehingga ketergantungan, dibutuhkan individu dalam menghadapi dan
mengatasi kebutuhan dalam masalah sehari hari, individu tidak mampu
memenuhi kebutuhannya tanpa adanya hubungan dengan lingkungan sosial.
Maka dari itu hubungan interpersonal perlu dibina oleh setiap individu namun
hal tersebut akan sulit dilakukan bagi individu yang memiliki gangguan jiwa.
(Sutejo,2019:hal 43)

Poltekkes Kemenkes Palembang


27

Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan


atau bahkan sama sekali tidak mampu berinterkasi dengan orang lain di
sekitarny. Isolasi sosial merupakan keadaan ketikan individu atau kelompok
memiliki kebutuhan atau hasrat unruk memiliki keterlibatan dengan orang
tetapi tidak mampu membuat kontak tersebut. Gangguan isolasi sosial dapat
terjadi karena individu merasa ditolak ,tidak diterima, kesepian, dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain.(Sutejo,2019:hal
43).
Tujuan menyeluruh dari asuhan keperawatan adalah meningkatan,
mempertahankandan memulihkan kesehatan klien. Perawat membantu klien
untuk mencapai tingkat kesahatan dan fungsi yang maksimum dengan cara
melakukan intervensi pada tingkat primer yang bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan pada tingkat sekunder yang bertujuan untuk
mempertahankan kesehatan, atau pada tingkat tersier yang bertujuan untuk
memulihkan kesehatan.
2.2.1. Pengkajian
Masalah yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan
menarik diri : isolasi sosial, dengan cara wawancara dan observasi
untuk mendapatkan data subjektif (Sutejo,2019)
a. Klien menceritakan perasaan kesepian.
b. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
c. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
d. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
e. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
f. Klien merasa tidak berguna.
g. Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidupnya.
Data yang perlu dikaji pada klien dengan gangguan menarik diri :
Isolasi sosial.
a. Gangguan pola makan : tidak nafsu makan atau makan
berlebihan.
b. Berat badan menurun atau meningkat secara drastis.
c. Kemunduran kesehatan secara fisik.

Poltekkes Kemenkes Palembang


28

d. Tidur berlebihan.
e. Tinggal di tempat tidur dalam waktu lama.
f. Banyak tidur siang.
g. Kurang bergairah.
h. Tidak memperdulikan lingkungan.
i. Aktivitas menurun.
j. Imobilitas.
k. Mondar mandir/sikap mematung. Melakuan gerakan secara
berulang ( jalan mondar – mandir).
l. Rocking menurunnya keinginan seksual.

2.2.2. Diangnosa Keperawatan (Iyus Yosep, 2011 : hal 232)


1. Isolasi Sosial
2. Harga Diri Rendah Kronis
3. Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi
4. Koping Keluarga tidak efektif
5. Intoleran aktivitas
6. Defisit perawatan diri

2.2.3. Rencana Tindakan


1. Pasien dapat menggunakan koping yang efektif.
2. Pasien dapat meningkatkan harga dirinya.
3. Pasien dapat mengadakan hubungan dengan lingkungan.
4. Pasien dapat melakukan kegiatan mandiri.
5. Pasien dapat meningkatkan kemampuan melakukan komunikasi.
6. Pasien merasa puas berhubungan dengan orang lain dan mampu
menggunakan alternatif lain untuk menggantikan perilaku menarik
diri.
2.2.4. Tindakan Keperawatan
a. Psiko terapeutik.
1) Bina Hubungan Saling Percaya.

Poltekkes Kemenkes Palembang


29

(a) Buat kontrak waktu dengan pasien : memperkenalkan nama


perawat, dan waktu interaksi,dan tujuan ,dengan pasien.
(b) Ajak pasien bercakap-cakap dengan memanggil nama
panggilan pasien, untuk menunjukan penghargaan yang
tulus.
(c) Jelaskan pada pasien bahwa informasi tentang pribadi
pasien tidak akan diberitahukan, kepada orang lain yang
tidak berkepentingan.
2) Berkomunikasi dengan pasien secara jelas dan terbuka.
(a) Bicara dengan pasien tentang sesuatu yang nyata dan pakai
istilah yang sederhana.
(b) Gunakan komunikasi verbal dan non verbal yang sesuai,
singkat, jelas dan teratur.
(c) Bersama pasien menilai manfaat dari pembicaraanya
dengan perawat.
(d) Tunjukan sikap empati dan beri kesempatan kepada pasien
untuk mengungkapkan perasaannya.
Kenal dan dukung kelebihan pasien
(a) Tanyakan cara penyelesaian masalah (koping) yang
digunakan oleh pasien.
(b) Bahas bersama pasien tentang koping yang konstruktif.
(c) Dukung pasien yang konstruktif.
(d) Anjurkan kepada pasien untuk menggunakan koping yang
kontruktif.
3) Bantu pasien mengurangi ansietasnya ketika berhubungan
dengan intrapersonal.
(a) Batas jumlah orang yang berhubungan dengan pasien pada
awal terapi.
(b) Lakukan interaksi dengan pasien sesering mungkin.
(c) Temenanin pasien beberapa saat dengan duduk
disampingnya.

Poltekkes Kemenkes Palembang


30

(d) Libatkan pasien dalam berinteraksi dengan orang lain secara


bertahap, dimulai dari pasien dengan satu perawat,
kemudian dengan dua perawat, kemudian ditambah dengan
satu pasien lainya.
(e) Libatkan pasien dengan aktifitas kelompok.

b. Pendidikan kesehatan
1) Jelaskan kepada pasien cara mengungkapakan perasaan selain
dengan kata kata seperti dengan menulis, menangis, menggambar,
berolahraga, bermain musik.
2) Bicarakan dengan pasien peristiwa yang menyebabakan menarik
diri.
3) Jelaskan dan anjurkan kepada keluarga untuk teteap mengadakan
hubungan dengan pasien.
4) Anjurkan pada keluarga agar mengikut sertakan pasien dalam
aktifitas dilingkungan masyarakat.
c. Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
1) Bantu pasien dalam melaksanakan kebersihan diri sampai dapat
melaksanakannya secara mandiri.
2) Bimbing pasien berpakaian rapi.
3) Batasi kesempatasi untuk tidur siang.
4) Sediakan saranan informasi dan hiburan seperti : majalah, surat
kabar, radio dan televisi.
d. Terapi sontatik
1) Berikan obat sesuai dengan prinsip 5 benar (benar orangnya,
obatnya, dosisnya, waktunya dan caranya)
2) Pantau reaksi obat
3) Catat pemberian obat yang telah dilaksanakan.
4) Pastikan apakah obat telah diminum, periksa tempat-tempat yang
memungkinkan pasien menyimpan obat.

Poltekkes Kemenkes Palembang


31

e. Lingkungan terapeutik
1) Pindahkan barang-barang yang dapat membahayakan pasien
maupun orang lain dan ruangan pasien.
2) Cegah pasien agar tidak berada didalam ruangannya sendiri dalam
jangka waktu lama.
3) Beri rangsangan sensori, seperti : suara musik, gambar hiasan di
ruangan pasien.
2.2.5. Evaluasi
a) Pasien dapat menggunakan koping yang efektif dalam
menyelesaikan masalahnya.
b) Harga diri pasien meningkat.
c) Pasien dapat melakukan hubungan interpersonal dengan orang
lain.
d) Pasien melakukan kegiatan secara mandiri.
e) Pasien berinisiatif untuk melakukan komunikasi secara verbal.

2.3. Konsep Terapi Aktivitas Kelompok


2.3.1. Pengertian
Therapi kelompok merupakan suatu psikotherpy yang dilakukan
sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama
lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas
kesehatan jiwa. Thrapy ini bertujuan memberi stimulus bagi klien
dengan gangguan interpersonal. (Saputra Lyndon, 2013)
Therapi aktivitas kelompok adalah therapy yang berusaha
meningkatkan psikotherapi terhadap sejumlah pasien pada waktu yang
sama yang mengalami masalah gangguan hubungan sosial hingga
memperluas hubungan dengan orang lain pada therapy ini, pasien di
bantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada di sekitas
pasien.
Sedangkan kelompok terapeutik memberi kesempatan untuk
saling bertukar (Sharing) tujuan, misalnya membantu individu yang
berperilaku destruktif dalam berhubungan dengan orang lain,

Poltekkes Kemenkes Palembang


32

mengidentifikasi dan memberikan alternatif untuk membantu merubah


perilaku destruktif menjadi konstruktif.
Setiap kelompok mempunyai struktur dan identitas tersendiri.
Kekuatan kelompok memberikan kontribusi pada anggota dan pimpinan
kelompok untuk saling bertukar pengalaman dan memberi penjelasan
untuk mengatasi masalah anggota kelompok. Dengan demikian
kelompok dapat dijadikan sebagai wadah untuk praktek dan arena untuk
uji coba kemampuan berhubungan dan berperilaku terhadap orang lain.
Terapi aktivitas kelompok adalah terapi modalitas yang dilakukan
perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah
keperawatan yang sama. Aktivitas yang digunakan sebagai terapi, dan
kelompok digunakan sebagai target asuhan. Di dalam kelompok terjadi
dinamika interaksi yang saling bergantung, saling membutuhkan dan
menjadi laboratorium tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif
untuk memperbaiki perilaku lama yang maladaptif.
2.3.2. Tujuan
1. Tujuan Umum
Pasien mampu meningkatkan hubungan interpersonal antar
anggota kelompok, berkomunikasi, saling memperhatikan,
memberi tanggapan terhadap orang lain. Mengekspresikan ide,
serta meneriman stimulus eksternal.
2. Tujuan Khusus
1. Pasien mampu menyebutkan identitas diri
2. Pasien mampu menyebutkan identitas pasien lainnya.
3. Pasien merespon pasien lain dengan mendengarkan pasien lain
yang sedang bicara.
4. Pasien mampu memberikan tanggapan pada pertanyaan yang di
ajukan
5. Pasien mampu mengikuti aturan permaianan yang di terapkan.
6. Pasien mampu menggemukana pendapat terhadap perasaannya.

Poltekkes Kemenkes Palembang


33

2.3.3. Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok


Secara umum manfaat terapi aktivitas kelompok adalah :
1. Meningkatkan kemampuan uji realitas (reality
testing) melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau dari
orang lain.
2. Melakukan sosialisasi.
3. Membangkitkan motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif
dan afektif.
Secara khusus manfaatnya adalah :
1.      Meningkatkan identitas diri
2.      Menyalurkan emosi secara konstruktif
3.      Meningkatkan ketrampilan hubungan interpersonal atau sosial.
Di samping itu manfaat rehabilitasinya adalah :
1.         Meningkatkan keterampilan ekspresi diri.
2.         Meningkatkan keterampilan sosial.
3.         Meningkatkan kemampuan empati.
4.         Meningkatkan kemampuan atau pengetahuan pemecahan
masalah.
2.3.4. Tahap-Tahap Dalam Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut (Lyndon Saputra,2013), fase – fase dalam terapi aktivitas
kelompok adalah sebagai berikut :
A. Pre kelompok
Dimulai dengan membuat tujuan, merencanakan, siapa yang
menjadi leader, anggota, dimana, kapan kegiatan kelompok
tersebut dilaksanakan, proses evaluasi pada anggota dan kelompok,
menjelaskan sumber – sumber yang diperlukan kelompok seperti
proyektor dan jika memungkian biaya dan keuangan.

B. Fase awal
Pada fase ini terdapat 3 kemungkinan tahapan yang terjadi yaitu
orientasi, konflik atau kebersamaan.

Poltekkes Kemenkes Palembang


34

1.      Orientasi.
Anggota mulai mengembangkan sistem sosial masing – masing,
dan leader mulai menunjukkan rencana terapi dan mengambil
kontrak dengan anggota.
2.      Konflik
Merupakan masa sulit dalam proses kelompok, anggota mulai
memikirkan siapa yang berkuasa dalam kelompok, bagaimana
peran anggota, tugasnya dan saling ketergantungan yang akan
terjadi.
3.      Kebersamaan
Anggota mulai bekerja sama untuk mengatasi masalah, anggota
mulai menemukan siapa dirinya.
C. Fase kerja
Pada tahap ini kelompok sudah menjadi tim. Perasaan positif dan
engatif dikoreksi dengan hubungan saling percaya yang telah
dibina, bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati,
kecemasan menurun, kelompok lebih stabil dan realistik,
mengeksplorasikan lebih jauh sesuai dengan tujuan dan tugas
kelompok, dan penyelesaian masalah yang kreatif.
D. Fase terminasi
Ada dua jenis terminasi (akhir dan sementara). Anggota kelompok
mungkin mengalami terminasi premature, tidak sukses atau sukses.

2.3.5. Peran Perawat Dalam Terapi Aktivitas Kelompok


Peran perawat jiwa professional dalam pelaksanaan terapi aktivitas
kelompok adalah :
1.      Mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok
Sebelum melaksanakan terapi aktivitas kelompok, perawat harus
terlebih dahulu, membuat proposal.
Proposal tersebut akan dijadikan panduan dalam pelaksanaan terapi
aktivitas kelompok, komponen yang dapat disusun meliputi :

Poltekkes Kemenkes Palembang


35

deskripsi, karakteristik klien, masalah keperawatan, tujuan dan


landasan teori, persiapan alat, jumlah perawat, waktu pelaksanaan,
kondisi ruangan serta uraian tugas terapis.
2.      Tugas sebagai leader dan coleader
Meliputi tugas menganalisa dan mengobservasi pola-pola
komunikasi yang terjadi dalam kelompok, membantu anggota
kelompok untuk menyadari dinamisnya kelompok, menjadi
motivator, membantu kelompok menetapkan tujuan dan membuat
peraturan serta mengarahkan dan memimpin jalannya terapi
aktivitas kelompok.
3.      Tugas sebagai fasilitator
Sebagai fasilitator, perawat ikut serta dalam kegiatan kelompok
sebagai anggota kelompok dengan tujuan memberi stimulus pada
anggota kelompok lain agar dapat mengikuti jalannya kegiatan.
4.      Tugas sebagai observer
Tugas seorang observer meliputi : mencatat serta mengamati
respon penderita, mengamati jalannya proses terapi aktivitas dan
menangani peserta/anggota kelompok yang drop out.
5.      Tugas dalam mengatasi masalah yang timbul saat pelaksanaan
terapi
Masalah yang mungkin timbul adalah kemungkinan timbulnya sub
kelompok, kurangnya keterbukaan, resistensi baik individu atau
kelompok dan adanya anggota kelompok yang drop out.
Cara mengatasi masalah tersebut tergantung pada jenis kelompok
terapis, kontrak dan kerangka teori yang mendasari terapi aktivitas
tersebut.

2.3.6. Macam-Macam Terapi Aktivitas Kelompok


1. Terapi aktifitas kelompok stimulasi kognitif atau persepsi
Terapi aktifitas kelompok stimulus kognitif/persepsi adalah terapi
yang bertujuan untuk membantu klien yang mengalami
kemunduran orientasi, menstimuli persepsi dalam upaya

Poltekkes Kemenkes Palembang


36

memotivasi proses berfikir dan afektif serta mengurangi perilaku


maladaptif.
Tujuan :
a. Meningkatkan kemampuan orientasi realita
b. Meningkatkan kemampuan memusatkan perhatian
c. Meningkatkan kemampuan intelektual
d. Mengemukakan pendapat dan menerima pendapat orang lain
e. Mengemukakan perasaanya
Karakteristik :
a. Penderita dengan gangguan persepsi yang berhubungan dengan
nilai-nilai
b. Menarik diri dari realitas
c. Inisiasi atau ide-ide negative
d. Kondisi fisik sehat, dapat berkomunikasi verbal, kooperatif dan
mau mengikuti kegiatan
2. Terapi aktifitas kelompok stimulasi sensori
Terapi aktifitas kelompok untuk menstimulasi sensori pada
penderita yang mengalami kemunduran fungsi sensoris. Teknik
yang digunakan meliputi fasilitasi penggunaan panca indera dan
kemampuan mengekpresikan stimulus baik dari internal maupun
eksternal.
Tujuan :
a. Meningkatkan kemampuan sensori
b. Meningkatkan upaya memusatkan perhatian
c. Meningkatkan kesegaran jasmani
d. Mengekspresikan perasaan

3. Terapi aktifitas kelompok orientasi realitas


Terapi aktifitas kelompok orientasi realitas adalah pendekatan
untuk mengorientasikan klien terhadap situasi nyata (realitas).
Umumnya dilaksanakan pada kelompok yang menghalami
gangguan orientasi terhadap orang, waktu dan tempat. Teknik yang

Poltekkes Kemenkes Palembang


37

digunakan meliputi inspirasi represif, interaksi bebas maupun


secara didaktik.
Tujuan :
a. Penderita mampu mengidentifikasi stimulus internal (fikiran,
perasaan, sensasi somatik) dan stimulus eksternal (iklim,
bunyi, situasi alam sekitar)
b. Penderita dapat membedakan antara lamunan dan kenyataan
c. Pembicaraan penderita sesuai realita
d. Penderita mampu mengenali diri sendiri
e. Penderita mampu mengenal orang lain, waktu dan tempat
Karakteristik :
a. Penderita dengan gangguan orientasi realita (GOR);
(halusinasi, ilusi, waham, dan depresonalisasi) yang sudah
dapat berinteraksi dengan orang lain
b. Penderita dengan GOR terhadap orang, waktu dan tempat yang
sudah dapat berinteraksi dengan orang lain
c. Penderita kooperatif
d. Dapat berkomunikasi verbal dengan baik
e. Kondisi fisik dalam keadaan sehat
4. Terapi aktifitas kelompok sosialisasi
Kegiatan sosialisasi adalah terapi untuk meningkatkan kemampuan
klien dalam melakukan interaksi sosial maupun berperan dalam
lingkungan sosial. Sosialisasi dimaksudkan memfasilitasi
psikoterapis untuk :
a. Memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal
b. Memberi tanggapan terhadap orang lain
c. Mengekspresikan ide dan tukar persepsi
d. Menerima stimulus eksternal yang berasal dari lingkungan
Tujuan umum :
Mampu meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota
kelompok, berkomunikasi, saling memperhatikan, memberi

Poltekkes Kemenkes Palembang


38

tanggapan terhadap orang lain, mengekpresikan ide serta menerima


stimulus eksternal.
Tujuan khusus :
a. Penderita mampu menyebutkan identitasnya
b. Menyebutkan identitas penderita lain
c. Berespon terhadap penderita lain
d. Mengikuti aturan main
e. Mengemukakan pendapat dan perasaannya
Karakteristik :
a. Penderita kurang berminat atau tidak ada inisiatif untuk
mengikuti kegiatan ruangan
b. Penderita sering berada ditempat tidur
c. Penderita menarik diri, kontak sosial kurang
d. Penderita dengan harga diri rendah
e. Penderita gelisah, curiga, takut dan cemas
f. Tidak ada inisiatif memulai pembicaraan, menjawab
seperlunya, jawaban sesuai pertanyaan
g. Sudah dapat menerima trust, mau berinteraksi, sehat fisik
http://ardhyashshiddieqi.blogspot.com/2013/05/makalah-terapi-
aktivitas-kelompok.html, diakses tanggal 29 januari 2020 pukul
13.00 WIB.

.4 Prosedur Menurut Jurnal


Berdasarkan penelitian Surya Efendi, dkk (2015) hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari hasil evaluasi masing- masing sesi pada saat
pelaksanaan TAKS, ditemukan responden yang mengalami penurunan
kemampuan dari sesi sebelumnya. Seperti yang dialami oleh responden 2 dan
responden 9. pada pelaksanaan TAKS sesi 4, responden 2 mampu
menyampaikan topik secara spontan, memilih topik secara spontan dan
memberi pendapat secara spontan. Namun pada pelaksanaan TAKS sesi 5
dan sesi 6, hal tersebut mengalami penurunan. Begitu juga dengan responden
9, pada saat pelaksanaan TAKS sesi 4 responden mampu menyampaikan

Poltekkes Kemenkes Palembang


39

topik dengan jelas, menyampaikan topik secara spontan dan menjawab dan
memberi secara spontan. Namun pada sesi 5, terjadi penurunan kemampuan
dalam menyampaikan topik dengan jelas dan menyampaikan topik secara
spontan. Sedangkan pada sesi 6 terjadi penurunan kemampuan dalam
menjawab dan memberi secara spontan. Oleh karena itu, perlu diadakan
penelitian lebih lanjut mengenai TAKS dengan menggunakan teknik
kualitatif agar masing-masing responden dapat lebih mengeksplorasikan
perasaan dan pikirannya sehingga dapat diketahui penyebab terjadinya
penurunan kemampuan responden pada masing-masing sesi pelaksanaan
TAKS.

Poltekkes Kemenkes Palembang


40

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian naratif studi literatur yang
menggambarkan implementasi terapi aktivitas kelompok pada klien : isolasi
sosial dengan gangguan menarik diri.

3.2. Variabel Penelitian


Penelitian ini akan mengeksplorasi variabel implementasi Penerapan Terapi
Aktivitas Kelompok (TAK), dan variabel Gangguan menarik diri pada klien :
isolasi sosial, serta hubungan atau pengaruh kedua variabel melalui eksplorasi
penelitian/ buku/ artikel penelitian sebelumnya. Jika digambarkan dalam
skema variabel tersebut seperti berikut:

Penerapan Terapi Gangguan menarik


Aktivitas Kelompok diri pada klien :
(TAK) isolasi sosial

3.3. Kriteria literatur yang digunakan


Kriteria artikel/ hasil penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari 5 artikel/ hasil penelitian yang dipublikasikan secara online antara tahun
2015-2019. Artikel atau hasil penelitian tersebut tersedia secara full Teks
untuk digunakan peneliti sebagai data untuk dianalis (sebagaimana terlampir
pada penelitian ini).

3.4. Sumber Artikel


Artikel/ hasil penelitian yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh
peneliti melalui eksplorasi pada sumber Google Scholar berjumlah 2 artikel,
Researchgate 1 artikel, Pubmed 1 artikel dan 1 artikel melalui NCBI.

Poltekkes Kemenkes Palembang


41

3.5. Langkah Studi Literatur

Penentuan lima (5) artikel yang digunakan peneliti dalam studi literatur ini
dilakukan peneliti melalui langkah sebagai berikut:

1. Peneliti menetapkan topik/masalah penelitian yaitu implementasi terapi


aktivitas kelompok pada klien : isolasi sosial dengan gangguan menarik
diri.
2. Menetapkan kata kunci yaitu Isolasi sosial (social isolation), gangguan
menarik diri (interference withdrawal)
3. Dengan kata kunci tersebut peneliti melakukan pencarian artikel
mengunakan data base dari Google Scholar, Researchgate, PUbMed,
NCBI, ProQuest dan diperoleh 20 artikel
4. Selanjutnya dari 20 artikel penelitian tersebut melakukan penelaahan dan
terpilih 10 artikel prioritas yang memiliki relevansi yang baik dengan
topik/masalah riset penelitian
5. Dari 10 artikel prioritas tersebut selanjutnya peneliti menetapkan 5 artikel
yang digunakan sebagai artikel yang dianalisis untuk menjawab tujuan
penelitian yang dikembangkan peneliti. 5 Artikel tersebut meliputi artikel
publikasi dari Zakiyah (2018), Asrina pitayanti dan priyoto (2020), Surya
efendia, atih rahayuningsihb, wan muharyati (2015), Retno Yuli Hastuti1.,
Nur Wulan Agustina1, Surya Hardyana (2019), Eyvin Berhimpong, dkk
(2016).

3.6. Analisis data dan penyajian hasil penelitian


Analisa data penelitian ini dilakukan peneliti dengan menyajikan 5 artikel
penelitian yang memiliki relevansi dengan topik atau masalah penelitian,
selanjutnya peneliti menuangkan rangkuman hasil penelitian dari 5 artikel
dalam table review seperti berikut:

Poltekkes Kemenkes Palembang


42

Tabel 3.1

Tabel Review
Sumber Penelitian dan judul Tujuan penelitian Design Sampling Hasil penelitian Simpulan dan
artikel penelitian saran
Google Zakiyah (2018) Untuk menggambarkan Deskriptif 35 pasien Ada penurunan tanda dan Berdasarkan hasil
scholar Penerapan terapi generalis, kuantitatif gejala isolasi sosial dari tiga penerapan
Penerapan terapi generalis, terapi aktivitas kelompok, (75,75%) dan peningkatan diatas, perlu
terapi aktivitas kelompok, sosial dan social skill kemampuan pasien dalam direkomendasikan
sosial dan social skill training pada pasien isolasi bersosialisasi TG: 68,57%, integrasi tindakan
training pada pasien isolasi sosial TAKS 83,90% dan SST keperawatan
sosial 70,29%). generalis individu
dan kelompok serta
terapi spesialis social
skill training pada
pasien isolasi sosial
agar perawatan
pasien dengan isolasi
sosial efektif

Google Asrina pitayanti dan Mengetahui dan Pra 24 klien Ada pengaruh yang Dengan terbentuknya
scholar priyoto (2020) mengidentifikasi pengaruh experimental signifikan dari social skill kelompok suportif
pemberian terapi pre-post test training terhadap sebagai tindak lanjut
kelompok social skill pada one group ketrampilan sosial dari kelompok
Pengaruh
lansia dengan isolasi sosial latihan ketrampilan
pemberia
di upt pelayanan sosial sosial dapat dijadikan
n terapi
tresna werdha (pstw) wadah bagi lansia
kelompo
magetan untuk dapat saling
k social
memberi support dan
skill pada
dukungan.
lansia
dengan

Poltekkes Kemenkes Palembang


43

isolasi
sosial di
upt
pelayana
n sosial
tresna
werdha
(pstw)
magetan
PUbMed Surya efendia, atih untuk mengetahui desain quasi 10 orang terdapat pengaruh yang Diharapkan kepada
rahayuningsihb, wan pengaruh pemberian terapi experiment bermakna pada pemberian perawat rumah sakit
muharyati (2015) aktivitas kelompok TAKS terhadap perubahan untuk dapat
sosialisasi terhadap perilaku klien isolasi sosial meningkatkan
Pengaruh pemberian terapi Perubahan Perilaku Klien pelaksanaan TAKS
aktivitas kelompok Isolasi Sosial di Ruang dengan
sosialisasi terhadap Gelatik RS Jiwa Prof HB memperhatikan
perubahan perilaku klien Sa’anin Padang indikasi klien yang
isolasi sosial bisa diikutsertakan
dalam kegiatan
TAKS. Kemudian
kepada peneliti
selanjutnya
diharapkan untuk
dapat melanjutkan
penelitian ini dengan
menggunakan teknik
kualitatif

PUbMed

Retno Yuli Hastuti1., Nur Wulan Agustina1, Surya Hardyana (2019)

Poltekkes Kemenkes Palembang


44

Pengaruh penerapan TAK : permainan kuartet sosialisasi pada pasien isolasi sosial

untuk mengetahui pengaruh penerapan TAK : permainan kuartet terhadap kemampuan sosialisasi pada pasien isolasi sosial di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi
Jawa Tengah

quasy eksperimen

13 responden

Ada pengaruh penerapan TAK : permainan kuartet terhadap kemampuan sosialisasi pada pasien isolasi sosial di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah.

Karakteristikrespondendalampenelitian ini adalah rerata berumur 28,54 tahun, dengan jenis kelamin terbanyak yaitu laki-laki 7 orang atau 53,8%. Tingkat pendidikan
responden paling banyak adalah SMP/Sederajat 6 orang atau 46,2%, sedangkan pekerjaan responden terbanyak yaitu tidak bekerja 8 orang atau 61,5%. Pasien isolasi
sosial di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah sebelum diberikan TAK permainan kuartet sebagian besar mempunyai kemampuan sosialisasi
kurang sebanyak 7 orang atau 52,8%. Pasien isolasi sosial di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah sesudah diberikan TAK permainan kuartet sebagian
besar mempunyai kemampuan sosialisasi baik sebanyak 10 orang atau 76,9%. Ada pengaruh penerapan TAK permainan kuartet terhadap kemampuan sosialisasi
pada pasien isolasi sosial di RSJD Dr. RM. SoedjarwadiProvinsiJawa Tengah

Poltekkes Kemenkes Palembang


45

secarastatistikdengansignifikan (p-value 0,003 atau α<0,05).

Researchgate Eyvin Berhimpong, dkk untuk mengetahui pra 30 Hasil penelitian dengan hasil penelitian ini
(2016) pengaruh latihan eksperimental responden menggunakan uji wilcoxon menunjukan adanya
keterampilan sosialisasi one group signed rank testdengan nilai pengaruh latihan
Pengaruh latihan terhadap kemampuan pre test post signifikan adalah 0,000 atau keterampilan
keterampilan sosialisasi berinteraksi klien isolasi test lebih kecil dari nilai sosialisasi terhadap
terhadap kemampuan sosial signfikan 0,05 (0,00 < 0,05) kemampuan
berinteraksi klien isolasi berinteraksi klien
sosial isolasi sosial di
Di rsj prof. Dr. V. L. Rumah Sakit Prof.
Ratumbuysang manado Dr. V. L.
Ratumbuysang
Manado. Saran
latihan keterampilan
sosialisasi dapat
dijadikan sebagai
salah satu tindakan
mandiri perawat
dalam meningkatkan
mutu pelayanan
kesehatan terhadap
kemampuan
berinteraksi klien
isolasi sosial

Poltekkes Kemenkes Palembang


46

Poltekkes Kemenkes Palembang


47

3.7. Etika Penelitian


Penelitian studi literature ini mengimplementasikan aspek etik berupa
penghargaan atas karya orang lain, atas hal ini peneliti melakukan
pencantuman sumber atas setiap kutipan baik langsung maupun tidak
langsung, yang dilakukan peneliti. Penghindaran atas oplagiarism peneliti
akan melakukan uji plagiarism setelah laporan penelitian dibuat dan sebelum
kegiatan ujian akhir penelitian dilaksanakan. Implementasi aspek kejujuran
dilakukan peneliti dengan menyampaikan hasil studi dari sejumlah artikel
secara objektif, jujur dan tanpa kebohongan serta peneliti akan melampirkan
artikel yang digunakan sebagai data hasil studi kasus.

Poltekkes Kemenkes Palembang


48

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Hasil penelitian studi literatur ini disajikan secara naratif untuk
menggambarkan hasil penelitian dari 5 artikel/ hasil penelitian yang relevan
dengan topik/masalah penerapan terapi aktivitas kelompok pada klien isolasi
sosial dengan gangguan menarik diri.

1. Artikel 1 penelitian Zakiyah, dkk, et al (2019) yang berjudul penerapan


Terapi Generalis (TG), Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS), dan
Social Skill Training (SST) pada pasien isolasi sosial. Metode penelitian
menggunakan deskriptif kuantitatif melalui studi kasus kepada 35 pasien di ruang
Bratasena Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Tanda dan Gejala isolasi
sosial diidentifikasi sebelum dan setelah penerapan GT, TAKS, dan SST
menggunakan instrument tanda dan gejala isolasi social yang dimodifikasi terdiri
dari aspek kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosial. Hasil penelitian
menunjukkan ada penurunan tanda dan gejala isolasi social (75,75%), dan
peningkatan kemampuan pasien dalam bersosialisasi (TG: 68,57%, TAKS:
83,90%, SST: 70,29%).

2. Artikel 2 Penelitian Asrina Pitayanti dan Priyoto (2020) berjudul Pengaruh


Pemberian Terapi Kelompok Social skill Pada Lansia Dengan Isolasi Sosial
Di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha (PSTW) Magetan. Desain
penelitian yang digunakan adalah ”Pra experimental pre-post test one group”.
Sampel diambil dari seluruh populasi yaitu sebanyak 24 lansia yang memenuhi
criteria inklusi. Tehnik sampling yang digunakan adalah pupposive sampling.
Instrumen penelitian ini memodifikasi kuesioner dari Minnesota Social Skills
Checklist.Kuesioner terdiri dari 40 pernyataan dengan rentang skor antara 40-
120. Analisa data menggunakan analisis statistik Uji Paired T Test. Hasil
perhitungan uji Paired t-test diperoleh bahwa rata-rata ketrampilan sosial
sebelum diberikan intervensi yaitu sebesar 56,26, sedangkan rata-rata
ketrampilan sosial setelah diberikan intervensi sebanyak 59,39. Analisa hasil
penelitian dengan uji Paired t-test diperoleh nilai p value 0,000 < α (0,05),
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari social skill

Poltekkes Kemenkes Palembang


49

training terhadap ketrampilan sosial.

3. Artikel 3 Surya Efendi, dkk (2015) berjudul pengaruh pemberian terapi


aktivitas kelompok sosialisasi terhadap Perubahan Perilaku Klien Isolasi
Sosial di Ruang Gelatik RS Jiwa Prof HB Sa’anin Padang, dilaksanakan di
Ruang Gelatik RS Jiwa Prof HB Sa’anin Padang selama 10 hari mulai dari
tanggal 4 sampai 13 Desember 2011 dengan jumlah responden 10, Penelitian ini
menggunakan desain quasi experiment tanpa kelompok kontrol dengan
pendekatan one group pretest and posttest design. Sampel dalam penelitian ini
adalah klien isolasi sosial yang diambil secara purposive sampling berjumlah 10
orang. Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi dan pedoman
wawancara.Nilai rata-rata pretest 31,5 dan posttest 40,1. Data diuji dengan Uji
Beda Dua Mean Dependen (Paired Sampel) dengan derajat kepercayaan 95 %.
Hasil uji statistik didapatkan p = 0,00 (p<0,05). Hal ini menunjukkan terdapat
pengaruh yang bermakna pada pemberian TAKS terhadap perubahan perilaku
klien isolasi sosial.

4. Artikel 4 Retno Yuli Hastuti, dkk (2019) berjudul pengaruh penerapan


TAK : permainan kuartet terhadap kemampuan sosialisasi pada pasien
isolasi sosial di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah dengan
Jenis penelitian ini adalah quasy eksperimen dengan desain penelitian pre and
post test without control. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 13
responden. Tehnik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Uji
statistik bivariat menggunakan uji Wilcoxon. Rata-rata umur responden dalam
penelitian ini adalah 28,54 tahun dengan jenis kelamin laki-laki 7 orang. Tingkat
pendidikan terbanyak SMP dengan jumlah 6 orang atau 46,2%. Pekerjaan
responden terbanyak yaitu tidak bekerja 8 orang atau 61,5%. Kemampuan
sosialisasi sebelum dilakukan intervensi TAK permainan kuartet tergolong
kurang sebanyak 7 atau 53,8%. Sedangkan kemampuan sosialisasi setelah
dilakukan intervensi TAK permainan kuartet terjadi peningkatan dimana
kemampuan sosialisasi yang baik menjadi 10 orang (76,9%), dan penurunan
pada kemampuan sosialisasi yang kurang menjadi 1 orang (7,7%). Hasil uji
statistik dengan uji Wilcoxon diperoleh nilai p-value 0,003 atau (α<0,05). Ada
pengaruh penerapan TAK : permainan kuartet terhadap kemampuan sosialisasi
pada pasien isolasi sosial di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah.

Poltekkes Kemenkes Palembang


50

5. Artikel 5 Eyvin Berhimpong (2016) berjudul pengaruh latihan


keterampilan sosialisasi terhadap kemampuan berinteraksi klien isolasi sosial.
Metode penelitian ini menggunakan rancangan/desain penelitian pra
eksperimental one group pre test post test, Sampel dengan teknik
pengambilan sampel total sampling 30 responden. Hasil penelitian dengan
menggunakan uji wilcoxon signed rank testdengan nilai signifikan adalah
0,000 atau lebih kecil dari nilai signfikan 0,05 (0,00 < 0,05). Kesimpulan
hasil penelitian ini menunjukan adanya pengaruh latihan keterampilan
sosialisasi terhadap kemampuan berinteraksi klien isolasi sosial di Rumah
Sakit Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado.
Selanjutnya review artikel atau hasil penelitian yang digunakan
sebagai data dalam studi literatur ini digambarkan dalam tabel review
literatur berikut.

Poltekkes Kemenkes Palembang


51

Tabel 4.1
Review Literatur Implementasi terapi aktivitas kelompok pada klien isolasi sosial dengan gangguan menarik diri

Sumber Peneliti dan Tujuan Design Sampling Hasil penelitian Simpulan dan saran
Artikel Judul penelitian penelitian
Researchgate Zakiyah, dkk, et al untuk Studi kasus 35 pasien ada penurunan tanda dan Berdasarkan hasil dari
(2019) menggambarkan gejala isolasi social penerapan ketiga terapi
penerapan Terapi (75,75%), dan peningkatan diatas, perlu
penerapan Terapi Generalis (TG), kemampuan pasien dalam direkomendasikan integrasi
Generalis (TG), Terapi Aktivitas bersosialisasi (TG: 68,57%, tindakan keperawatan
Terapi Aktivitas Kelompok TAKS: 83,90%, SST: generalis individu dan
Kelompok Sosialisasi (TAKS), 70,29%) kelompok serta terapi
Sosialisasi (TAKS), dan Social Skill spesialis social skill training
dan Social Skill Training (SST) pada pasien isolasi social
Training (SST) pada pada pasien isolasi agar perawatan pasien
pasien isolasi sosial sosial dengan isolasi sosial efektif.

Google Scholar Asrina Pitayanti mengetahui dan Pra 24 lansia ada pengaruh yang Dari hasil penelitian dapat
dan Priyoto (2020) mengidentifikasi experimental signifikan dari social skill disimpulkan dengan
Pengaruh pre-post test training terhadap terbentuknya kelompok
Pengaruh Pemberian Terapi one group ketrampilan sosial suportif sebagai tindak lanjut
Pemberian Terapi Kelompok Social dari kelompok latihan
Kelompok Social skill Pada Lansia ketrampilan sosial dapat
skill Pada Lansia Dengan Isolasi dijadikan wadah bagi lansia
Dengan Isolasi Sosial Di UPT untuk dapat saling memberi
Sosial Di UPT Pelayanan Sosial support dan dukungan
52

Pelayanan Sosial Tresna Werdha


Tresna Werdha (PSTW) Magetan
(PSTW) Magetan

Google Scholar Surya Efendi, dkk untuk mengetahui quasi 10 orang terdapat pengaruh yang Diharapkan kepada perawat
(2015) pengaruh experiment bermakna pada pemberian rumah sakit untuk dapat
pemberian terapi TAKS terhadap perubahan meningkatkan pelaksanaan
pengaruh aktivitas kelompok perilaku klien isolasi sosial TAKS dengan memperhatikan
pemberian terapi sosialisasi terhadap indikasi klien yang bisa
aktivitas kelompok Perubahan Perilaku diikutsertakan dalam kegiatan
sosialisasi terhadap Klien Isolasi Sosial TAKS. Kemudian kepada
Perubahan Perilaku di Ruang Gelatik peneliti selanjutnya
Klien Isolasi Sosial RS Jiwa Prof HB diharapkan untuk dapat
di Ruang Gelatik Sa’anin Padang melanjutkan penelitian ini
RS Jiwa Prof HB dengan menggunakan teknik
Sa’anin Padang kualitatif
Google Scholar Retno Yuli Hastuti, untuk mengetahui quasy 13 Ada pengaruh penerapan
Karakteristikrespondendala
dkk (2019) pengaruh penerapan eksperimen responden TAK : permainan kuartet
mpenelitian ini adalah
TAK : permainan terhadap kemampuan
pengaruh kuartet terhadap sosialisasi pada pasien rerata berumur 28,54 tahun,
penerapan TAK : kemampuan isolasi sosial di RSJD Dr. dengan jenis kelamin
permainan kuartet sosialisasi pada RM. Soedjarwadi Provinsi terbanyak yaitu laki-laki 7
terhadap pasien isolasi sosial Jawa Tengah orang atau 53,8%. Tingkat
kemampuan di RSJD Dr. RM. pendidikan responden paling
sosialisasi pada Soedjarwadi banyak adalah
pasien isolasi sosial Provinsi Jawa SMP/Sederajat 6 orang atau
di RSJD Dr. RM. Tengah 46,2%, sedangkan pekerjaan
Soedjarwadi responden terbanyak yaitu
Provinsi Jawa
tidak bekerja 8 orang atau
Tengah
61,5%. Pasien isolasi sosial
di RSJD Dr. RM.
Soedjarwadi Provinsi Jawa
Tengah sebelum diberikan
53

TAK permainan kuartet


sebagian besar mempunyai
kemampuansosialisasi
kurang sebanyak 7 orang
atau 52,8%. Pasien isolasi
sosial di RSJD Dr. RM.
Soedjarwadi Provinsi Jawa
Tengah sesudah diberikan
TAK permainan kuartet
sebagian besar mempunyai
kemampuan sosialisasi baik
sebanyak 10 orang atau
76,9%. Ada pengaruh
penerapan TAK permainan
kuartet terhadap
kemampuan sosialisasi pada
pasien isolasi sosial di RSJD
Dr. RM. Soedjarwa di
Provinsi Jawa Tengah
secara statistik dengan
signifikan (p-value 0,003
atau α<0,05).

Researchgate Eyvin Berhimpong untuk mengetahui pra 30 adanya pengaruh latihan Saran latihan keterampilan
(2016) pengaruh latihan eksperiment responden keterampilan sosialisasi sosialisasi dapat dijadikan
keterampilan al one terhadap kemampuan sebagai salah satu tindakan
pengaruh latihan sosialisasi terhadap group pre berinteraksi klien isolasi mandiri perawat dalam
keterampilan kemampuan test post test sosial di Rumah Sakit Prof. meningkatkan mutu
sosialisasi terhadap berinteraksi klien Dr. V. L. Ratumbuysang pelayanan kesehatan
kemampuan isolasi sosial Manado terhadap kemampuan
berinteraksi klien berinteraksi klien isolasi
54

isolasi sosial sosial


55

Hasil penelitian atau artikel diatas menemukan bahwa Terapi


Aktivitas Kelompok Sosial Latihan Keterampilan Sosial berpengaruh
dalam meningkatkan kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial.
Kemampuan dalam melakukan TAK yang menjadi topik bahasan dalam
penelitian ini memiliki relevansi dengan sejumlah penelitian yang disajikan
pada tabel. Kemampuan melakukann penerapan terapi aktivitas kelompok
pada klien isolasi sosial dengan gangguan menarik diri.

4.2 Pembahasan
Pembahasan penelitian ini difokuskan pada hasil analisis yang didapat
dari lima artikel yang penulis ambil dan didapatkan hasil kesimpulan secara
menyeluruh bahwa penerapan terapi aktivitas kelompok pada klien isolasi
sosial dengan gangguan menarik diri dapat meningkatkan kemampuan pasien
dalam bersosialisasi.
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinterkasi dengan orang lain di
sekitarnya. Isolasi sosial merupakan keadaan ketikan individu atau kelompok
memiliki kebutuhan atau hasrat untuk memiliki keterlibatan dengan orang
tetapi tidak mampu membuat kontak tersebut.Gangguan isolasi sosial dapat
terjadi karena individu merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain. Penyebab isolasi
sosial dilatar belakangi oleh faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor
prediposisi penyebab isolasi sosial meliputi faktor perkembangan, faktor
biologis, dan factor sosiokiltiral, sedangkan faktor presipitasi meliputi faktor
Stresor sosiokulturnal, Stresor psikologik, Stresor intelektual dan faktor
stresor fisik. (Sutejo,2019:hal 43)
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interkasi
dengan orang lain usaha menghindari interaksi dengan orang lain (Abdul
muhit 2015 hal 286). Menarik diri merupakan suatu keadaan dimana
seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka
dengan orang lain. Sedangkan menurut depkes RI Penarikan diri atau
withdrawal merupakan suatu tindakan melepaskan diri baik perhatian ataupun
minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung yang dapat bersofst

Poltekkes Kemenkes Palembang


56

sementara atau menetap. Jadi menarik diri adalah keadaan dimana seseorang
menemukan kesulitan dalam membina hubungan dan menghindari interaksi
dengan orang lain secara langsung yang bersifat sementara atau menetap.
Therapy kelompok merupakan suatu psikotherpy yang dilakukan
sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain
yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan
jiwa. Therapy ini bertujuan memberi stimulus bagi klien dengan gangguan
interpersonal (Lyndon Saputra,2013), Sedangkan kelompok terapeutik
memberi kesempatan untuk saling bertukar (Sharing)
tujuan, misalnya membantu individu yang berperilaku destruktif dalam
berhubungan dengan orang lain, mengidentifikasi dan memberikan alternatif
untuk membantu merubah perilaku destruktif menjadi konstruktif. Sedangkan
tujuan terapi kelompok diharapkan pasien mampu meningkatkan hubungan
interpersonal antar anggota kelompok, berkomunikasi, saling memperhatikan,
member tanggapan terhadap orang lain. Mengekspresikan ide, serta
meneriman stimulus eksternal.
Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang melakukan
tindakan asuhan keperawatan pada pasien. Tujuan menyeluruh dari asuhan
keperawatan adalah meningkatkan, mempertahankan dan memulihkan
kesehatan klien. Perawat membantu klien untuk mencapai tingkat kesahatan
dan fungsi yang maksimum dengan cara melakukan intervensi pada tingkat
primer yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan pada tingkat sekunder
yang bertujuan untuk mempertahankan kesehatan, atau pada tingkat tersier
yang bertujuan untuk memulihkan kesehatan.

Poltekkes Kemenkes Palembang


57

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

5.1.1 Penerapan penerapan terapi aktivitas kelompok pada klien isolasi sosial
dengan gangguan menarik diri dapat meningkatkan kemampuan klien
membina hubungan saling percaya, menyadari penyebab isolasi
sosial dan mampu berinteraksi dengan orang lain.
5.1.2 Implememtasi penerapan TAK yang diimplementasikan pada artikel
memiliki variasi dalam pelaksaanaan, sehingga dibutuhkan kajian
tentang penerapan TAK untuk meningkatkan kemampuan klien
membina hubungan saling percaya, menyadari penyebab isolasi
sosial dan mampu berinteraksi dengan orang lain.

5.2 Saran
5.2.1 Bagi Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Diharapkan dapat mensosialisasikan pendidikan kesehatan dan latihan
penerapan terapi aktivitas kelompok pada klien isolasi sosial dengan
gangguan menarik diri.
5.2.2 Bagi pengembangan keilmuan
Diharapkan penelitian ini dijadikan sumber informasi mengenai
manfaat TAK dilihat dari sudut ilmu pengetahuan atau berdasarkan
kajian ilmiah.
5.2.3 Bagi peneliti lanjutan
Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar dapat mengembangkan
berbagai macam metode penerapan terapi aktivitas kelompok pada klien
isolasi sosial dalam meningkatkan kemampuan klien membina
hubungan saling percaya, menyadari penyebab isolasi sosial dan
mampu berinteraksi dengan orang sehingga dapat memaksimalkan
hasil penelitian di masa yang akan datang.

Poltekkes Kemenkes Palembang


58

DAFTAR PUSTAKA

Ade Herman Surya Direja. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogjakarta: Nuha Medika.

Asrina pitayanti dan priyoto (2020). Pengaruh pemberian terapi kelompok social
skill pada lansia dengan isolasi sosial di upt pelayanan sosial tresna
werdha

Data Riskesdes 2018.

Eyvin Berhimpong, dkk (2016). Pengaruh latihan keterampilan sosialisasi


terhadap kemampuan berinteraksi klien isolasi sosial Di rsj prof. Dr. V.
L. Ratumbuysang manado

Keliat, B.A & Pasaribu. 2013. Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Stuart edisi Indonesia.

Retno Yuli Hastuti1., Nur Wulan Agustina1, Surya Hardyana (2019). Pengaruh
penerapan TAK : permainan kuartet sosialisasi pada pasien isolasi sosial

Saputra, Lindon. . Panduan Praktik Keperawatan Klinis.

Sutejo. 2019. Keperawatan Jiwa. Yogjakarata: Pustaka Baru Press.

Surya efendia, atih rahayuningsihb, wan muharyati (2015). Pengaruh pemberian


terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap perubahan perilaku klien
isolasi sosial

Yosep. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung. Refika Aditama

WHO. 2017.

Zakiyah (2018). Penerapan terapi generalis, terapi aktivitas kelompok, sosial dan
social skill training pada pasien isolasi sosial

Poltekkes Kemenkes Palembang


59

LAMPIRAN

Poltekkes Kemenkes Palembang


60

Lampiran 1 Jadwal kegiatan


JADWAL KEGIATAN
NAMA MAHASISWA : Sisi Olandari
NIM : PO.71.20.2.17.031

BULAN
NO KEGIATAN TANGGAL
Desember Januari Februari Maret April
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
19

Lampiran 2 Artikel / hasil penelitian / full teks

Penerapan Terapi Generalis, Terapi Aktivitas Kelompok


Sosialisasi, dan
Social Skill Training pada Pasien Isolasi Sosial

Zakiyah1, Achir Yani S. Hamid 2, Herni Susanti 3


1
Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Binawan, Jl. Kalibata Raya No. 25-30
2,3
Departemen Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia,
Jalan Prof. Dr. Bahder Djohan Depok 16424

Email: zakiyah.mista@gmail.com

Diterima: 27 Agustus 2018 Disetujui: 28 September 2018

Abstrak
Latar Belakang:Isolasi sosial merupakan salah satu gejala negatif skizofrenia.
Isolasi Isolasi sosial adalah kondisi menyendiri yang dialami seseorang dan
perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan
yang mengancam. Masalah sosial seringkali merupakan sumber utama
keprihatinan keluarga dan penyedia layanan kesehatan, karena efeknya lebih
menonjol daripada gejala kognitif dan persepsi.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan penerapan Terapi


Generalis (TG), Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS), dan Social Skill
Training (SST) pada pasien isolasi sosial.

Metode: Metodelogi Penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif melalui stusi


kasus kepada 35 pasien di ruang Bratasena Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi
Bogor. Tanda dan Gejala isolasi sosial diidentifikasi sebelum dan setelah
penerapan GT, TAKS, dan SST menggunakan instrument tanda dan gejala isolasi
social yang dimodifikasi terdiri dari aspek kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan
social.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan ada penurunan tanda dan gejala isolasi
social (75,75%), dan peningkatan kemampuan pasien dalam bersosialisasi (TG:
68,57%, TAKS: 83,90%, SST: 70,29%).

19
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/index
20

Simpulan: Berdasarkan hasil dari penerapan ketiga terapi diatas, perlu


direkomendasikan integrasi tindakan keperawatan generalis individu dan
kelompok serta terapi spesialis social skill training pada pasien isolasi social agar
perawatan pasien dengan isolasi sosial efektif.

Kata Kunci: skizofrenia; isolasi sosial; terapi generalis; terapi aktivitas kelompok;
social skill training

an:

., Susanti, H. (2018). Penerapan Terapi Generalis, Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi, dan Social Skill Training pada Pasien Isolasi Sosial. Jurnal Ilmiah Keperawatan

20
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/index
21

The Implementation of Generalist Therapy, Group Activity Therapy, and Social Skill
Training in Social Isolation Patients

Abstract

Background: Social isolation is one of negative symptoms of schizophrenia. Social


isolation as a solitary experience of a person and shyness toward others as
something negative or threatening circumstances. Social problems are often a
major source of concern families and health care providers, because the effect of
social isolation is more pronounced than cognitive and perception symptoms.

Aim: The purpose of this study was describe the implementation of General
Therapy (GT), Socialization Activity Group Therapy (SAGT) and Social Skill
Training (SST) toward social isolation clients.

Methods: The methodelogy of this study was quantitative descriptive using case
study to 35 selected clients at Bratasena’s ward dr. Marzoeki Mahdi Bogor
Hospital. Sign and symptoms of social isolation identified before and after
implementation of GT, SAGT, and SST using modified social isolation mark and
symptoms that consisted cognitive, affective, psysiological, behavior, and social
aspects.

Results: there were reductions in symptoms of social isolation (75,75%) and


increase in the client's ability to socialize (GT:68,57%), SAGT: 83,90%, SST:
70,29%).

Conclusion: Based on the result of the implementations, it is recommended to


integrate the general therapy, socialization activity group therapy and social skill
training in order to make an effective social isolation care.

Key Words: Schizophrenia; social isolation; general therapy; activity group


therapy; social skill training.

PENDAHULUAN
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) merupakan salah satu masalah kesehatan
jiwa berat di Indonesia. Riskesdas (2007) menyebutkan prevalensi gangguan jiwa berat di
Indonesia adalah 4,6 permil, dan Riskesdas 2013 menyebutkan prevalensi gangguan jiwa
22

berat Indonesia sebesar 1,7 permil. Pasien gangguan jiwa berat terbesar di Indonesia
adalah Skizofrenia yakni 70% (Balitbang Depkes RI, 2008). Kelompok skizofrenia juga
menempati 90% pasien di rumah sakit Jiwa di seluruh Indonesia (Jalil, 2006). Di Rumah
Sakit Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor semester I Tahun 2016, angka pasien skizofrenia
menempati urutan pertama di unit rawat jalan psikiatri, unit rawat inap psikiatri, dan
Instalasi Gawat Darurat psikiatri.
23

Stuart (2016) menyebutkan kebanyakan orang dengan gangguan jiwa berat


terisolasi dari sekitarnya dan kesulitan memiliki serta menjaga hubungannya dengan
orang lain. Videbeck (2011) menyebutkan bahwa isolasi sosial sering terlihat pada pasien
skizofrenia.
Skizofrenia adalah penyakit otak neurobiologis yang berat dan terus menerus
(Stuart, 2016), dimana gejala skizofrenia dibagi dalam dua kategori utama: gejala positif
atau gejala nyata, yang mencakup waham, halusinasi, dan disorganisasi pikiran, bicara,
dan perilaku yang tidak teratur, serta gejala negatif atau gejala samar, seperti afek datar,
tidak memiliki kemauan, dan menarik diri dari masyarakat atau rasa tidak nyaman
(Videbeck, 2011). Gejala negatif menarik diri dari masyarakat dan disfungsi sosial
merupakan konsekuensi hubungan respon neurobiologis maladaptif. Stuart (2016)
menyebutkan masalah sosial seringkali merupakan sumber utama keprihatian keluarga
dan penyedia layanan kesehatan. Perilaku langsung dari masalah sosial meliputi
ketidakmampuan untuk berkomunikasi koheren, hilangnya dorongan dan ketertarikan,
penurunan keterampilan sosial, kebersihan pribadi yang buruk, dan paranoid. Perilaku
lain yang terjadi adalah harga diri rendah berhubungan dengan prestasi akademik dan
sosial yang buruk, merasakan ketidaknyamanan, dan yang paling sering terjadi adalah
isolasi sosia.
Isolasi sosial adalah suatu pengalaman menyendiri dari seseorang dan perasaan
segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan yang mengancam
(NANDA, 2015-2017). Ancaman yang dirasakan dapat menimbulkan respons. Respon
kognitif pasien isolasi sosial dapat berupa merasa ditolak oleh orang lain, merasa tidak
dimengerti oleh orang lain, merasa tidak berguna, merasa putus asa dan tidak mampu
membuat tujuan hidup atau tidak memiliki tujuan hidup, tidak yakin dapat
melangsungkan hidup, kehilangan rasa tertarik kegiatan sosial, merasa tidak aman berada
diantara orang lain, serta tidak mampu konsentrasi dan membuat keputusan.
Respon afektif pasien dengan masalah keperawatan isolasi sosial berupa merasa
bosan, afek tumpul, dan kurang motivasi. Respon fisiologis yang terjadi pada pasien
isolasi sosial berupa wajah murung, sulit tidur, gelisah, lemah, kurang bergairah, dan
malas beraktivitas. Respon perilaku pasien isolasi sosial
24

ditunjukkan dengan pasien menarik diri, menjauh dari orang lain, tidak atau jarang
melakukan komunikasi tidak ada kontak mata, kehilangan minat, malas melakukan
kegiatan sehari-sehari atau aktivitas sosial, berdiam diri di kamar, menolak hubungan
dengan orang lain, dan tidak mau menjalin persahabatan. Respon Sosial yang dapat
ditemukan pada pasien isolasi sosial berupa ketidakmampuan berkomunikasi dengan
orang lain, acuh dengan lingkungan, kemampuan sosial menurun, dan sulit berinteraksi
(Stuart, 2013; Townsend, 2009).
Tindakan keperawatan yang dapat diberikan kepada pasien dengan masalah isolasi sosial
adalah tindakan keperawatan Generalis, Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS),
dan psikoterapi sebagai terapi spesialis dalam hal ini Social Skill Training (SST). Terapi
generalis sosialisasi individu pada pasien isolasi sosial berpengaruh terhadap perubahan
perilaku isolasi sosial pada pasien skizofenia (Nurfitiana, 2011). Terapi aktivitas
kelompok memiliki pengaruh terhadap peningkatan keterampilan sosial dasar pada pasien
skizofrenia dengan adanya kenaikan skor keterampilan dasar dan masing-masing subyek
merasakan manfaat dari terapi aktivias kelompok (Hartono, 2015). SST memiliki
pengaruh positif terhadap kesulitan interpersonal, gejala depresi, dan harga diri rendah
pada pasien skizofrenia. SST dapat meningkatkan kemampuan interpersonal, harga diri,
dan menurunkan gejala depresi pada pasien skizofrenia (El Malky, Attia, & Alam, 2016).
Penelitian lainnya dilakukan oleh Renidayati, Keliat, dan Helena (2008) menunjukkan
hasil bahwa SST memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemampuan bersosialisasi
pada pasien dengan isolasi sosial di rumah sakit jiwa. Pemberian tindakan generalis
pasien, TAKS, tindakan generalis keluarga, latihan keterampilan sosial dan psikoedukasi
pada keluarga lebih tinggi penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan
sosialisasi dibandingkan yang tidak diberikan tindakan keperawatan generalis pasien,
TAKS, generalis keluarga dan latihan keterampilan sosial (Martina, Keliat, & Putri,
2014). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak
pemberian tiga terapi (terapi generalis, terapi aktivitas kelompok sosialisasi, dan social
skill training) terhadap penurunan tanda dan gejala dan kemampuan pasien skizofrenia
yang mengalami isolasi social.
25

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif melalui studi
kasus dengan menerapkan terapi generalis, TAKS, dan SST kepada 35 pasien isolasi
sosial di ruang Bratasena RSMM Bogor, mulai tanggal 13 September-18 November
2016. Bahan yang digunakan untuk mengidentifikasi tanda dan gejala isolasi sosial
sebelum dan sesudah penerapan terapi generalis, TAKS, dan SST menggunakan
instrument tanda dan gejala isolasi sosial yang dimodifikasi dari berbagai sumber. Jumlah
item pertanyaan 33 item yang terdiri dari 7 item aspek kognitif, 8 item aspek afektif, 4
item aspek fisiologis, 7 item aspek perilaku, dan 7 item aspek sosial.
Penerapan terapi generalis dilakukan pada 35 pasien dengan melibatkan Perawat
Penanggung Jawab Pasien (PPJP) dan mahasiswa praktikan D3 keperawatan dan Ners
yang bertanggung jawab terhadap masing-masing pasien. Penerapan terapi generalis
menggunakan pedoman asuhan keperawatan diagnosa gangguan jiwa dengan pendekatan
Strategi Pelaksanan (SP) yang ditetapkan di RSMM. SP yang dilakukan pada pasien
masing-masing terdiri dari 4 (empat) SP. Pertama, melatih pasien mengenal masalah
isolasi sosial; kedua, melatih pasien berkenalan dengan perawat atau pasien lain; ketiga,
melatih pasien berkenalan dengan 2 orang atau lebih; keempat, berinteraksi dengan
kelompok. Jumlah pertemuan terapi generalis pada masing-masing pasien berbeda. Hal
ini dipengaruhi oleh kondisi dan kemampuan tiap pasien yang berbeda. Selama penerapan
terapi generalis, peran sebagai narasumber dan pendidik sering dilakukan, dimana
informasi yang pernah didapatkan pasien pada perawatan sebelumnya dan di ruang
perawatan sebelumnya tentang cara mengatasi isolasi sosial dieksploitasi, dilatih, dan
dikembangkan setiap kali interaksi untuk membantu pasien menyelesaikan masalahnya
secara mandiri.
Penerapan TAKS juga dilakukan pada 35 pasien isolasi sosial . 35 pasien yang
dilakukan TAKS sebelumnya telah diseleksi dan memenuhi persyaratan untuk mengikuti
TAKS, pasien setidaknya telah dilakukan SP 1 dan SP 2 terapi generalis. Hal ini
dilakukan agar terapi yang dilakukan terintegrasi, efektif dan waktu yang dibutuhkan
untuk mengatasi masalah pasien lebih cepat. Pelaksanaan TAKS dilakukan selama 5-6
hari setiap minggunya pada satu kelompok yang
26

terdiri dari 6-7 pasien isolasi sosial. TAKS yang dilakukan terdiri dari 7 sesi sesuai
dengan panduan TAKS yang dibuat oleh Keliat & Akemat (2010). Sesi 1 dan 2 dilakukan
pada satu kali pertemuan, dilanjutkan dengan sesi berikutnya sampai sesi 7. Selama
penerapan TAKS, peran sebagai pemimpin dan narasumber sering dilakukan untuk
memimpin, membantu dan memfasilitasi pasien untuk berpartisipasi secara aktif dan
demokratis dalam kegiatan kelompok dan memberikan informasi yang dibutuhkan setiap
anggota kelompok TAKS selama TAKS berlangsung.
Penerapan SST juga dilakukan pada 35 pasien isolasi social dengan mengacu
pada Modul Terapi Keperawatan Jiwa (2016). Jumlah pertemuan terapi pada tiap pasien
berbeda tergantung kemampuan pasien dalam memahami proses terapi. SST yang terdiri
dari 4 sesi latihan, maksimal dilakukan 6 kali pertemuan. Sesi pertama melatih pasien
berkenalan dengan sikap dan cara bicara yang baik dan jelas. Sesi kedua melatih pasien
menjalin persahabatan, sesi ini yang memerlukan jumlah pertemuan lebih banyak oleh
sebagian besar pasien, sesi ketiga melatih pasien untuk bekerjasama dalam kelompok.
sesi ini juga memerlukan latihan berulang-ulang sehingga pasien mampu melakukannya
secara alamiah. Pemberian terapi SST dilakukan dengan mengintegrasikan pelaksanaan
SP pada terapi generalis, minimal setelah pasien mampu mengenal masalah isolasi sosial
dan memperkenalkan diri dengan perawat atau pasien lain, baik individu maupun dalam
kelompok melalui TAKS.

HASIL DAN BAHASAN


Hasil dari tahap identifikasi didapatkan karakteristik pasien semuanya berjenis
kelamin laki-laki (100%), berusia dewasa (89%), berpendidikan SD (28,57%), tidak
bekerja (89%), belum/tidak kawin (69%), sakit > 5 tahun (51%), dan pertama kali dirawat
di RSMM (46%). Penyebab pasien dirawat dari faktor biologis adalah riwayat gangguan
jiwa sebelumnya (91,43%), penyebab psikologis adalah konsep diri yang negatif
(77,14%), dan penyebab sosio kultural karena penghasilan kurang (94,29%). Faktor
pencetus pasien dirawat dari aspek biologis adalah putus obat (88,57%) pencetus
psikologis terbanyak adalah
27

pengalaman yang tidak menyenangkan (100%),dan pencetus sosiokultural adalah


penghasilan kurang (97,14%).
Tanda dan gejala yang dilihat pada pasien terdiri dari aspek kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku, dan sosial. Hasil identifikasi didapatkan tanda dan gejala kognitif
pasien adalah tidak mampu menerima nilai dari orang lain, tidak mampu memenuhi
harapan dari orang lain, dan tidak mampu membuat tujuan hidup (91%), tanda dan gejala
afektif pasien memiliki afek datar (86%), tanda dan gejala fisiologis pasien memiliki
kurang bergairah (97%), tanda dan gejala perilaku pasien adalah negativism, banyak
melamun, dan dipenuhi dengan pikiran sendiri ( 94%), tanda dan gejala sosial yang
paling menonjol adalah acuh terhadap lingkungan (94%).
Setelah diberikan terapi generalis, TAKS, dan SST pada pasien terjadi perubahan
pada tanda dan gejala isolasi sosial dan peningkatan kemampuan pasien dalam
bersosialisasi. Perubahan tanda dan gejala isolasi sosial sebelum dan setelah diberikan
terapi dapat dilihat pada tabel 1. Perubahan kemampuan pasien dalam bersosialisasi
sebelum dan setelah diberikan terapi generalis dapat dilihat pada tabel 2, perubahan
kemampuan pasien sebelum dan setelah diberikan terapi aktivitas kelompok sosialisasi
dapat dilihat pada tabel 3, dan Perubahan kemampuan pasien dalam bersosialisasi
sebelum dan setelah diberikan social skill training dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 1
Perubahan Tanda dan Gejala isolasi Sosial

No Tanda & Gejala Pre % Post % Penurunan %


1 Kogitif 5,4 77,14 1,55 22,14 3,85 71,30
2 Afektif 4,23 52,88 0,99 12,38 3,29 77,78
3 Fisiologis 2,51 62,75 0,85 2,43 1,65 65,73
4 Perilaku 5,51 78,71 1,51 21,57 4 72,60
5 Sosial 5,31 75,86 0,45 6,43 4,85 91,33
Total 22,96 69,47 5,35 12,99 17.64 75,75
28

Tabel 2

Kemampua Pasien dalam Terapi Generalis

No Kemampuan Pre % Post % Peningkatan %

1 Mengidentifikasi penyebab isolasi 66 33 94 10 29


23
sosial
2 Menyebutkan Keuntungan 23 31 89 23 66
berinteraksi 8
3 Berkenalan 22 63 35 100 13 37
4 Berbicara dengan orang lain saat 3 34 97 33 94
melakukan aktifitas 1
5 Berbicara dengan lebih dari 2 0 34 97 34 97
orang dalam kegiatan kelompok 0
6 Berbicara sosial saat meminta 11 35 100 31 89
sesuatu dan menjawab pertanyaan 4
Rata-rata 9,7 27,71 33,7 96,29 24 68,57

Tabel 3
Kemampuan Pasien dalam Terapi Aktivitas Kelompok

No Kemampuan Pre % Post % Peningkatan %


1 Memperkenalkan Diri 13 31,14 35 100 22 62,85
2 Berkenalan 13 31,14 35 100 22 62,85
3 Bercakap-cakap 6 17,14 32 91,43 26 81,25
4 Bercakap-cakap topik tertentu 1 2,85 28 80 27 96,43
5 Bercakap-cakap masalah
0 0 26 74,29 26 74,29
pribadi
6 Bekerjasama 0 0 31 88,57 31 88,57
Rata-rata 5,5 13,72 31,17 89,04 25,67 83,90

Tabel 4

Kemampuan Pasien dalam Social Skill Training

No Kemampuan Pre % Post % Peningkatan %

1 Bersosialisasi 10,23 29,23 33,23 94,95 23 65,71


2 Menjalin Persahabatan 0,21 0,6 28,58 81,65 28,37 81,05
3 Bekerjasama dalam
0 0 25 71,43 25 71,43
kelompok
4 Menghadapi situasi sulit 0 0 22 62,85 22 62,85
29

Rata-rata 2,61 0,75 27,21 77,75 24,60 70,29


30

Dari keempat tabel di atas menunjukkan bahwa terapi generalis, TAKS, dan SST dapat
menurunkan tanda dan gejala isolasi sosial dan meningkatkan kemampuan pasien dalam
bersosialisasi.

Bahasan
Hasil pelaksanaan terapi generalis, TAKS, dan SST menunjukkan adanya
penurunan terhadap tanda dan gejala isolasi sosial dan meningkatkan kemampuan pasien.
Penerapan terapi generalis dilakukan pada 35 pasien dengan melibatkan PPJP dan
mahasiswa D3 dan Ners yang bertanggung jawab terhadap masing- masing pasien.
Penerapan terapi generalis menggunakan pedoman asuhan keperawatan diagnosa
gangguan jiwa dengan pendekatan Strategi Pelaksanan (SP) yang ditetapkan di RSMM.
SP yang dilakukan pada pasien masing-masing terdiri dari 4 (empat) SP. Pertama, melatih
pasien mengenal masalah isolasi sosial; kedua, melatih pasien berkenalan dengan perawat
atau pasien lain; ketiga, melatih pasien berkenalan dengan 2 orang atau lebih; keempat,
berinteraksi dengan kelompok. Jumlah pertemuan terapi generalis pada masing-masing
pasien berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi dan kemampuan tiap pasien yang
berbeda.
Penerapan TAKS juga dilakukan pada 35 pasien isolasi sosial. Stuart (2016)
menyebutkan kelompok menawarkan berbagai hubungan antara anggota karena setiap
anggota kelompok akan berinteraksi satu sama lain dengan pemimpin kelompok. anggota
kelompok berasal dari berbagai latar belakang dan masing-masing memiliki kesempatan
untuk belajar dari orang lain di luar lingkaran sosialnya. 35 pasien yang dilakukan TAKS
sebelumnya telah diseleksi dan memenuhi persyaratan untuk mengikuti TAKS, pasien
setidaknya telah dilakukan SP 1 dan SP 2 terapi generalis. Hal ini dilakukan agar terapi
yang dilakukan terintegrasi, efektif dan waktu yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah
pasien lebih cepat. Terapi generalis pada pasien isolasi sosial ditujukan untuk melatih
keterampilan sosial pasien sehingga merasa nyaman dalam situasi sosial dan dapat
melakukan interaksi sosial dengan orang lain serta lingkungannya. Keliat, dkk (2011)
menambahkan bahwa tujuan yang diharapkan setelah dilakukan tindakan generalis,
pasien mampu membina hubungan saling
31

percaya dengan orang lain, menyadari penyebab isolasi sosial dan mampu berinteraksi
dengan orang lain secara bertahap. Terapi generalis sosialisasi individu pada pasien
isolasi sosial berpengaruh terhadap perubahan perilaku isolasi sosial pada pasien
skizofrenia (Nurfitriana, 2011).
Pelaksanaan TAKS dilakukan selama 5-6 hari setiap minggunya pada satu
kelompok pasien isolasi sosial. TAKS yang dilakukan terdiri dari 7 sesi sesuai dengan
panduan TAKS yang dibuat oleh Keliat & Akemat (2010). Sesi 1 dan 2 dilakukan pada
satu kali pertemuan, dilanjutkan dengan sesi berikutnya sampai sesi 7. Selama penerapan
TAKS, penulis banyak berperan sebagai pemimpin dan narasumber, yang membantu dan
memfasilitasi pasien untuk berpartisipasi secara aktif dan demokratis dalam kegiatan
kelompok dan memberikan informasi yang dibutuhkan setiap anggota kelompok TAKS
selama TAKS berlangsung. Perawat yang merupakan pemimpin kelompok harus dapat
mempelajari kelompok dan berpartisipasi di dalamnya pada waktu yang bersamaan.
Pemimpin harus selalu memantau kelompok, dan bila diperlukan, membantu kelompok
mencapai tujuannya (Stuart, 2016). Terapi dalam bentuk kelompok cukup efektif bagi
pasien yang sudah mampu berinteraksi dengan lingkungannya meskipun minimal. Peran
kelompok adalah membantu dalam penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan
(Fontaine, 2009). Hartono (2015) dalam penilitiannya mendapatkan bahwa terapi
aktivitas kelompok memiliki pengaruh terhadap peningkatan keterampilan sosial dasar
pada pasien skizofrenia dengan adanya kenaikan skor keterampilan dasar dan masing-
masing subyek merasakan manfaat dari terapi aktivitas kelompok.
Penerapan SST juga dilakukan pada 35 pasien isolasi sosial. Jumlah pertemuan
terapi pada tiap pasien berbeda tergantung kemampuan pasien dalam memahami proses
pembelajaran. SST yang terdiri dari 4 sesi latihan, maksimal dilakukan 6 kali pertemuan.
Sesi yang memerlukan jumlah pertemuan lebih banyak oleh sebagian besar pasien adalah
sesi dua (menjalin persahabatan) dan sesi tiga (bekerjasama dalam kelompok). Kedua sesi
tersebut memerlukan latihan berulang-ulang sehingga pasien mampu melakukannya
secara alamiah. Pemberian terapi SST dilakukan dengan mengintegrasikan pelaksanaan
SP pada terapi generalis, minimal setelah pasien mampu mengenal masalah isolasi sosial
dan
32

memperkenalkan diri dengan perawat atau pasien lain, baik individu maupun dalam
kelompok melalui TAKS. Setelah itu, pasien masuk pada terapi SST. SST dilakukan
untuk meningkatkan dan membentuk komunikasi yang fleksibel sehingga pasien mampu
berespons dengan baik terhadap situasi yang beragam. Peran perawat disini adalah
memberikan penguatan positif, menjadi role model, tolok ukur, terapis, dan membentuk
pola perilaku sosialisasi pasien yang diharapkan (El Malky, Attia, & Alam, 2016).
Perawat juga berfungsi sebagai perencana/planner dan koordinator dari berbagai program
pengobatan yang diberikan pada pasien (Stuart, 2013). Selain itu SST ditujukan untuk
meningkatkan ekspresi, persepsi sosial dan emosional pasien dalam melakukan
ketrampilan berkomunikasi. Fokus latihan ini adalah pada latihan untuk mengenali,
mengekspresikan ketidaknyamanan, menimbulkan perasaan positif, meminta maaf dan
memaafkan dan berbagi ketakutan yang dirasakan. Stuart (2016) menyebutkan jenis-jenis
perilaku yang sering diajarkan dalam SST antara lain mengajukan pertanyaan,
memberikan pujian, membuat perubahan positif, mempertahankan kontak mata, meminta
orang lain untuk mengubah perilaku tertentu, berbicara dengan nada dan suara yang jelas,
dan menghindari sikap gelisah.
SST adalah terapi yang berorientasi pada tugas dan membentuk perilaku baru.
Hasilnya akan efektif jika perilaku tersebut dilakukan berulang-ulang. Pengulangan tiap
sesi dilakukan di ruangan masing-masing. Keberhasilan SST dalam merubah tanda gejala
dan kemampuan pasien tertuang dalam beberapa karya tulis ilmiah. Sukaesti, Hamid, &
Wardani (2015) dalam tulisan ilmiahnya menunjukkan bahwa SST yang dikombinasikan
dengan Family Psychoeducation (FPE) dapat menurunkan tanda dan gejala serta
meningkatkan kemampuan pasien dengan halusinasi dan isolasi sosial. Tulisan ilmiah
Imelisa, Hamid, & Mustikasari (2013) menunjukkan bahwa SST dapat meningkatkan
kemampuan dan menurunkan tanda dan gejala pasien isolasi sosial dengan melakukan
pendekatan teori social support. Sedangkan pada penelitian Putri (2012) menunjukkan
bahwa dengan SST yang dilakukan dengan pendekatan teori Peplau dan Henderson dapat
memudahkan perawat dalam berinteraksi dengan pasien isolasi sosial. Tulisan Ilmiah
Azizah, (2016) menunjukkan SST yang
33

dikombinasikan dengan CBSST dengan pendekatan Peplau dan Henderson dapat


menurunkan tanda dan gejala serta meningkatkan kemampuan pasien isolasi sosial.
Tulisan Ilmiah Kirana (2016) juga menunjukkan bahwa SST dapat menurunkan tanda dan
gejala serta meningkatkan kemampuan pasien isolasi sosial.

SIMPULAN DAN SARAN


Pemberian terapi Terapi Generalis, TAKS, dan SST pada pasien skizofrenia yang
mengalami isolasi social dapat menurunkan tanda dan gejala isolasi sosial dan
meningkatkan kemampuan pasien dalam bersosialisasi.
Dari hasil penelitian, direkomendasikan untuk memberikan perawatan pada
pasien isolasi sosial dengan pendekatan secara individu, maupun kelompok melalui terapi
generalis pasien, terapi aktivitas kelompok sosialisasi, dan social skill training.

RUJUKAN
Azizah, F.N., Hamid, A.Y.S., & Wardani, I.Y. (2016).Manajemen Kasus Spesialis
Keperawatan Jiwa Pada Klien Isolasi Sosial dengan Pendekatan Teori Hildegard E.
Peplau dan Virginia Henderson di Ruang Utari Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki
Mahdi Bogor. Karya IlmiahAkhir. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.Tidak dipublikasikan.

El Malky, A.I., Attia, M.M., & Alam, F.H. (2016).The Effectiveness of Social Skill
Training on Depressive Symptoms, Self-esteem and Interpersonal Difficulties
Among Schizophrenia Patients. International Journal of Advance Nursing Studies,
5 (1) (2016) 43-50. diunduh tanggal 1 Desember
2016.

Fontaine, K.L. (2009). Mental Health Nursing.6th edition.New Jersey: Pearson Education.

Hartono. (2015). Pengaruh Terapi Aktifitas Kelompok Terhadap Peningkatan


Keterampilan Sosial Dasar Pada Klien Skizofrenia di RSUD Dr. RM. Soedjarwadi
Propinsi Jawa Tengah Tahun 2105.EMPHATY Jurnal Fakultas Psikologi. Volume
3 Nomor 2 November 2015. Diunduh tanggal 4 Januari
2017.

Imelisa, R. Hamid, A.Y.S., & Daulima, N.H.C. (2013).Manajemen Asuhan Keperawatan


Spesialis Jiwa Pada Klien Isolasi Sosial yang Diberikan Social Skill Training
Menggunakan Pendekatan Social Support Theory di RSMM
34

dan Kelurahan Tanah Baru Bogor. Karya Ilmiah Akhir. Fakultas Ilmu Keperawatan
UniversitasIndonesia. Tidak dipublikasikan.

Jalil, A., Hamid, Ay.,& Mustikasari. (2014). Penerapan Acceptance and Commitment
Therapy, dan Cognitive Behavioral Social Skills Training Menggunakan
Pendekatan Model Adaptasi Roy dan Model Tidal Pada Klien Harga Diri Rendah
Kronis dan Isolasi Sosial. Karya Ilmiah Akhir. Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.Tidak dipublikasikan.

Keliat, BA., Pawirowiyono, A.(2010). Keperawatan Jiwa;Terapi Aktifitas Kelompok.


edisi 2. Jakarta: EGC.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; Badan Penelitian dan


Pengembangan.(2008). Riset kesehatan dasar tahun
2007.http://labdata.litbang.depkes.go.id/riset-badan-litbangkes/menu-
riskesnas/menu-riskesdas/147-rkd-2007.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; Badan Penelitian dan


Pengembangan.(2013). Riset kesehatan dasar tahun
2013.http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskes das
%202013.pdf.

Kirana, S.A.C., Mustikasari, & Putri, Y.S.E. (2016).Pemberian Asuhan Keperawatan


Spesialis Pada Klien dengan Isolasi SOsial dalam Menurunkan Gejala dan
Meningkatkan Kemampuan Melalui Pendekatan Model Konsep Hildegard E.
Peplau dan Konsep Stres Adaptasi Stuart di RSMM Bogor. Karya Ilmiah Akhir.
Fakultas Ilmu KeperawatanUniversitas Indonesia.Tidak dipublikasikan.

Laporan Semester I Rumah sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Tahun


2016.http://static.rsmmbogor.com/cdn/File/semester2016.pdf.

Martina, Keliat, BA.,& Putri, YSE. (2014). Penerapan Latihan Keterampilan Sosial dan
Psikoedukasi Keluarga Pada Klien Isolasi Sosial menggunakan Pendekatan
Modelling dan Role Modelling di Rumah Sakit Jiwa. Karya Ilmiah Akhir. Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.Tidak dipublikasikan.

NANDA International.(2014). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-


2017. Cetakan I. Jakarta: Penebit Buku Kedokteran EGC.

Nurfitriana.(2011). Pengaruh Terapi Individu Sosialisasi Terhadap Perubahan Perilaku


Isolasi Sosial Pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Grhasia Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Naskah Publikasi.
http://lib.unisayogya.ac.id. Diunduh pada tanggal 4 Januari 2017.
35

Putri, D.E. (2012). Penerapan Asuhan Keperawatan Pada Klien Isolasi SOsial dengan
Pendekatan Model Konseptual Hildegard E. Peplau dan Virginia Henderson. Ners
Jurnal Keperawatan. Volume 8.Nomor 1.

Renidayati, Keliat, B.A., Helena, N.C.D. (2008). Pengaruh Terapi Social Skill Training
Pada Klein Isolasi Sosial di RS Jiwa Prof HB Saanin, Padang Sumatera
Barat.Tesis.Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.Tidak dipublikasikan.

Renidayati, Nurjanah,S., Rosiana, A., Pinilih, S., & Tim FIK UI. (2016). Modul Terapi
Keperawatan Jiwa. Workshop Keperawatan Jiwa X. Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.Tidak dipublikasikan.

Stuart, Gail W. (2013). Principles & Practice of Psychiatric Nursing.8 th ed.


Philadelphia: Elsevier Mosby.

Stuart, Gail W. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan jiwa Stuart.Edisi
Indonesia.Buku 1 & 2. Singapura: Elsevier.

Sukaesti, D., Hamid, AYS,.& Wardani, IY. (2015). Manajemen Asuhan keperawatan
Spesialis Jiwa pada Klien Isolasi Sosial dan Risiko Perilaku Kekerasan menggunakan
Pendekatan Hubungan Interpersonal Peplau dan Stuart di Ruang Gatotkaca
RSMM.Karya Ilmiah Akhir. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Tidak
Dipublikasikan.

Townsend, M.C. (2009). Psychiatric Mental Health Nursing; Concepts of Care in Evidence-
Based Practice.6th Edition. Philadelphia: Davis Plus Company.

Townsend, M.C. (2011). Nursing Diagnoses in Psychiatric Nursing; care Plans and
Psychotropic Medication. 8th Edition. Philadelphia: F.A Davis Company.

Videback, S.L. (2011). Psychiatric mental health nursing.5th edition. Philadhelpia:


Lippincott William & Wilkins.

© 2020 Jurnal Keperawatan


This is an Open Access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution 4.0
International License which permits unrestricted non-commercial use, distribution, and
reproduction in any medium, provided the original work is properly cited

ORIGINAL ARTICLES
36

PENGARUH PEMBERIAN TERAPI KELOMPOK SOCIAL SKILL PADA


LANSIA DENGAN ISOLASI SOSIAL DI UPT PELAYANAN SOSIAL
TRESNA WERDHA (PSTW) MAGETAN
1. Asrina Pitayanti, Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKES Bhakti Husada Mulia
2. Priyoto, Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKES Bhakti Husada Mulia
Korespondensi : asrinapitayanti44@gmail.com

Abstrak
Kemampuan sosialisasi akan lebih dirasakan oleh lansia yang tinggal dalam suatu tempat
khusus seperti panti werdha. Ketidakmampuan bersosialisasi atau isolasi sosial dalam
lingkungan yang berbeda dari kehidupan sebelumnya merupakan suatu stressor yang cukup
berarti bagi lansia. Oleh karena itu pada lansia yang tinggal dalam suatu panti wredha sangat
penting untuk mendapatkan intervensi keperawatan khususnya yang berkaitan dengan masalah
psikososial. Penemuan masalah lansia dengan isolasi sosial di PSTW Magetan sebanyak 24
klien. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan mengidentifikasi Pengaruh Pemberian
Terapi Kelompok Social skill Pada Lansia Dengan Isolasi Sosial Di UPT Pelayanan Sosial
Tresna Werdha (PSTW) Magetan. Desain penelitian yang digunakan adalah ”Pra experimental
pre-post test one group”. Sampel diambil dari seluruh populasi yaitu sebanyak 24 lansia yang
memenuhi criteria inklusi. Tehnik sampling yang digunakan adalah pupposive sampling.
Instrumen penelitian ini memodifikasi kuesioner dari Minnesota Social Skills
Checklist.Kuesioner terdiri dari 40 pernyataan dengan rentang skor antara 40-120. Analisa data
menggunakan analisis statistik Uji Paired T Test. Hasil perhitungan uji Paired t-test diperoleh
bahwa rata-rata ketrampilan sosial sebelum diberikan intervensi yaitu sebesar 56,26, sedangkan
rata-rata ketrampilan sosial setelah diberikan intervensi sebanyak 59,39. Analisa hasil penelitian
dengan uji Paired t-test diperoleh nilai p value 0,000 < α (0,05), sehingga dapat disimpulkan
bahwa ada pengaruh yang signifikan dari social skill training terhadap ketrampilan sosial. Dari
hasil penelitian dapat disimpulkan dengan terbentuknya kelompok suportif sebagai tindak lanjut
dari kelompok latihan ketrampilan sosial dapat dijadikan wadah bagi lansia untuk dapat saling
memberi support dan dukungan.

Kata Kunci : Terapi kelompok Sosial Skill, Isolasi sosial


37

1. Pendahuluan
Perubahan sosial yang dapat dialami lansia adalah perubahan status dan perannya
dalam kelompok atau masyarakat, kehilangan pasangan hidup,serta kehilangan sistem
dukungan dari keluarga, teman dan tetangga (Priyoto, 2015). Pada masa lansia, individu
dituntut untuk dapat bersosialisasi kembali dengan kelompok, lingkungan dan generasi ke
generasi. Sosialisasi lansia meningkatkan kemampuan untuk berpartisipasi dalam
kelompok sosialnya. Kemampuan sosialisasi ini akan lebih dirasakan oleh lansia yang
tinggal dalam suatu tempat khusus seperti panti werdha. Ketidakmampuan bersosialisasi
dalam lingkungan yang berbeda dari kehidupan sebelumnya merupakan suatu stressor yang
cukup berarti bagi lansia. Oleh karena itu pada lansia yang tinggal dalam suatu panti
wredha sangat penting untuk mendapatkan intervensi keperawatan khususnya yang
berkaitan dengan masalah psikososial. (Priyoto, 2015) menyatakan bahwa lansia merasa
isolasi sosial karena cukup banyak waktu luang yang tidak dimanfaatkan untuk melakukan
kegiatan. Adanya masalah isolasi sosial pada lansia yang berada dipanti wredha ditambah
dengan adanya anggapan dalam masyarakat bahwa lansia merupakan warga kelas dua
menyebabkan lansia mengembangkan sikap sebagai golongan minoritas seperti sensitif,
mudah tersinggung, merasa tidak aman, cemas, ketergantungan secara berlebihan pada
orang lain dan pertahanan diri (Hurlock, 1999). Mengingat dampak yang terjadi dari isolasi
sosial yaitu, dapat menimbulkan perilaku yang mengarah pada Isolasi Sosial, cenderung
untuk mudah terserang penyakit, mengakibatkan pola makan dan tidur seseorang menjadi
kacau, menderita sakit kepala serta muntah-muntah ( Mubaroq, dkk. 2009 ). Dimana
setelah diberikan latihan ketrampilan sosial melalui 5 (lima) sesi dan setiap sesi diulang
sebanyak 3 (tiga) kali terjadi peningkatan kemampuan kognitif dan perilaku. Penelitian
yang dilakukan oleh Rahmi (2013) menyimpulkan bahwa terapi Social Skill Training
(SST) berpengaruh terhadap peningkatan ketrampilan sosial pada klien isolasi sosial di
Desa Paringan Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. Kegagalan perkembangan dapat
mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, ragu, takut salah,
pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari orang lain, tidak
mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan. Keadaan menimbulkan perilaku tidak
ingin berkomunikasi dengan orang lain, menghindar dari orang lain, lebih menyukai
berdiam diri sendiri, kegiatan sehari-hari hampir terabaikan.
Social skills training (SST), diberikan untuk meningkatkan kemampuan bersosialisi
bagi individu ang mengalami isolasi social, harga diri rendah, ansietas, dan gangguan-
gangguan interaksi social. Social skill straining bertujuan meningkatkan keterampilan
interporsonal pada klien dengan gangguan hubungan interpirsonal dengan melaih
keterampilan klien yang selalu di gunakan dalam hubungan dengan orang lain. Hal ini
dikemukakan ( Mubaroq, dkk. 2009 ), tujuan Social skill straining adalah meningkatkan
kemampuan sosial menurut (Rahmi, 2013) Social skill straining bertujuan meningkatkan
kemampuan seseorang utuk mengekspresikan apa yang di butuhkan dan diinginkan,
mampu menolak dan menyampaikan adanya suatu masalah, mampu memberikan respon
saat berinteraksi sosial, mampu memulai interaksi, dan mampu mempertahankan interaksi
yang telah terbina.
Data saat pengkajian didapatkan lansia dengan isolasi sosial di PSTW Magetan
sebanyak 24 klien. Salah satu solusi dalam memperbaiki kondisi yang terjadi di PSTW
magetan adalah melakukan Terapi Social Skill Training (SST) dalam
38

rangka Meningkatkan Keterampilan berinteraksi Pada lansia yang mengalami gangguan


isolasi sosial di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha (PSTW) Magetan”

2. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah Pra experimental pre-post test one group. Ciri dari tipe
penelitian ini adalah mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu
kelompok subjek, yaitu kelompok intervensi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
dan mengidentifikasi Pengaruh Pemberian Terapi Kelompok Social skill Pada Lansia
Dengan Isolasi Sosial Di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha (PSTW) Magetan dimana
sebelumnya kelompok di observasi terlebih dahulu, kemudian untuk kelompok intervensi
diberikan perlakuan dan di observasi ulang untuk mengetahui hasilnya. Sampel penelitian
ini adalah semua lansia yang memiliki perilaku isolasi sosial atau beresiko isolasi sosial
yaitu sebanyak 24 orang. Menggunakan tehnik sampling yaitu purposive sampling dengan
kriteria inklusi adalah lansia dengan Isolasi Sosial, Usia ≥50 tahun, Penderita yang
kooperatif, Bersedia ikut dalam penelitan
Kriteria eksklusi dalam penelitian adalah : Lansia yang dirawat di perawatan khusus.
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah ini instrument yang
digunakan yaitu social skill training dan skala ketrampilan sosial. Langkah Prosedur yang
digunakan untuk mendapatkan data responden meliputi : penggunaan instrumen untuk
mendapatkan gambaran karakteristik responden. Data karakteristik responden masuk dalam
Instrumen untuk mengukur tentang keterampilan sosialisasi meliputi tingkah laku
responden terkait dengan keterampilannya berhubungan dengan orang lain. Kuesioner ini
dikembangkan oleh peneliti sendiri dengan mengacu kepada teori dan konsep, dan (Yosep.
2008). memodifikasi kuesioner dari Minnesota Social Skills Checklist. Kuesioner terdiri
dari 40 pernyataan dengan rentang skor antara 40-120 dengan nilai cut of point 84,1 yang
artinya apabila lansia mendapat skor dibawah 84,1 dikatakan mempunyai keterampilan
sosialisasi kurang, sedangkan bila skor lebih dari 84,1 berarti Lansia mempunyai
keterampilan sosialisasi yang baik. Kuesioner terdiri dari 4 sub penilaian yaitu self
esteem/self identity, persahabatan, interaksi sosial, dan pragmatik. Pernyataan tersebut
jarang dilakukan responden, maka nilainya 1, jika kadang-kadang dilakukan nilainya 2, dan
apabila sering dilakukan nilainya 3. Uji validitas dan reliabilitas sudah dilakukan oleh
peneliti. Tahap pelaksanaan penelitian mulai dari pengarahan pada kolektor data,
penentuan responden, pretest, proses terapi SST, post test. Analisa data dan penyajian.
Metode analisis statistik yang digunakan adalah Uji Paired T Test bila data dalam hal ini
berlaku ketentuan bila nilai T hitung lebih kecil dari pada T tabel maka H1 diterima.
Sebaliknya jika T hitung lebih besar dari nilai T tabel maka H1 ditolak.

3. Hasil Penelitian
Penyajian data dibagi menjadi dua yaitu data umum dan data khusus. Data umum
terdiri dari karakteristik responden di daerah tersebut meliputi : umur, jenis kelamin. Data
khusus yang didasarkan pada variabel yang diukur, yaitu Social Skill Lansia.
39

a. Karakteristik lansia dengan Isolasi Sosial berdasarkan Umur


Dari hasil penelitian berdasarkan karakteristik berdasarkan umur pasien stroke
dijelaskan dalam tabel dibawah ini :
Tabel 1. Tendensi sentral responden berdasarkan umur di PSTW Magetan
Umur
Mean Median Modus Min-Max SD CI – 95%
(tahun)
73,73 74 75 68 – 85 3,8 72,07-75,39
Sumber : data primer penelitian
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa rata-rata umur responden 73,7 tahun,
median usia responden 74 tahun, umur responden paling banyak adalah 75 tahun, umur
responden terendah 68 tahun dan tertinggi 85 tahun dengan standart deviasi sebesar 3,8.
Pada tingkat kepercayaan 95% maka umur berkisar pada nilai 72 tahun sampai 75 tahun
di PSTW Magetan.
b. Karakteristik lansia dengan Isolasi Sosial berdasarkan Jenis Kelamin
Dari hasil penelitian berdasarkan karakteristik berdasarkan Jenis Kelamin
dijelaskan dalam tabel dibawah ini :
Tabel 2. Jenis Kelamin responden di PSTW Magetan
No Jenis Kelamin Frekuensi (f) Prosentase (%)
1 Laki-laki 16 69,6
2 Wanita 7 30,4
Total 23 100
Sumber : data primer penelitian
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa rata-rata umur responden 73,7 tahun,
median usia responden 74 tahun, umur responden paling banyak adalah 75 tahun, umur
responden terendah 68 tahun dan tertinggi 85 tahun dengan standart deviasi sebesar 3,8.
Pada tingkat kepercayaan 95% maka umur berkisar pada nilai 72 tahun sampai 75 tahun
di PSTW Magetan. Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa sebagian besar responden
berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 69,6% sedangkan untuk perempuan sebanyak
30,4%.
c. Karakteristik Lansia dengan isolasi berdasarkan wisma (tempat tinggal)
Dari hasil penelitian berdasarkan karakteristik berdasarkan tempat tinggal
dijelaskan dalam tabel dibawah ini :
Tabel 3. Wisma responden di PSTW Magetan
No Wisma Frekuensi (f) Prosentase (%)
1 Arimbi 12 52,2
2 Arjuna 2 8,7
3 Bima 2 8,7
4 Pandu 1 4,3
5 Shinta 3 13,0
6 Srikandi 3 13,0
7 Rama 0 0
Total 23 100
Sumber : data primer penelitian
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang
mengalami isolasi sosial berasal dari wisma arimbi yaitu sebanyak 52,2%. Sedangkan
untuk wisma pandu dan rama tidak ditemukan adanya isolasi sosial.
40

d. Ketrampilan sosial sebelum dilakukan intervensi (pretest)


Tabel 4 Tendensi sentral skor kuesioner sebelum diintervensi (pretest)
Mean St.Deviation Std. Error Mean
Skor kuesioner ketrampilan 56,26 11,4 2,38
social sebelum dilakukan
intervensi berupa social skill
training
Sumber : data primer penelitian
Berdasarkan tabel 4 diatas dapat diketahui Nilai rata-rata skor sebelum diberikan intervensi
berupa social skill training.
e. Ketrampilan sosial setelah diberikan intervensi (posttest)
Tabel 5. Tendensi sentral skor kuesioner setelah diberikan intervensi (posttest)
Mean St.Deviation Std. Error Mean
Skor kuesioner ketrampilan 59,39 12,17 2,53
social setelah dilakukan
intervensi berupa social skill
training
Sumber : data primer penelitian
Berdasarkan tabel 5diatas dapat diketahui Nilai rata-rata skor setelah diberikan intervensi
berupa social skill training yaitu 59,9%.
f. Pengaruh pemberian social skill training terhadap ketrampilan sosial
Sebelum dilakukan uji statistik adanya pengaruh social skill training pada lansia dengan isolasi
sosial dilakukan uji normalitas data terlebih dahulu.
Tabel 6. Uji Normalitas Data Pengaruh social skill training pada lansia dengan isolasi sosial di Panti
Sosial Tresna Werdha Magetan
Skala Ketrampilan sosial Mean p-Value
Sebelum 56,2 0,732
Setelah 59,3 0,634
Sumber : data primer penelitian
Berdasarkan tabel dengan uji Kolmogorov Smirnov, diperoleh data normal sehingga uji paired
T test dapat dilakukan.
Tabel 7 Analisa Pengaruh social skill training pada lansia dengan isolasi sosial di Panti Sosial
Tresna Werdha Magetan
Skala Ketrampilan sosial Mean SD p-Value
Sebelum 56,26 11,4
0,000
Setelah 59,39 12,17
Sumber : data primer penelitian
Berdasarkan tabel hasil uji Paired t-test diperoleh bahwa rata-rata ketrampilan sosial sebelum
diberikan intervensi yaitu sebesar 56,26, sedangkan rata-rata ketrampilan sosial setelah diberikan
intervensi sebanyak 59,39. Analisa hasil penelitian dengan uji Paired t-test diperoleh nilai p value
0,000 < α (0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari social skill
training terhadap ketrampilan sosial.

4. Pembahasan
Hasil uji Paired t-test diperoleh bahwa rata-rata ketrampilan sosial sebelum diberikan
intervensi yaitu sebesar 56,26, sedangkan rata-rata ketrampilan sosial setelah diberikan
intervensi sebanyak 59,39. Analisa hasil penelitian dengan uji Paired t-test diperoleh nilai p
value 0,000 < α (0,05), sehingga dapat disimpulkan
41

bahwa ada pengaruh yang signifikan dari social skill training terhadap ketrampilan sosial.
Rahmi (2013) menyatakan ada 4 kelompok keterampilan sosial yang perlu diajarkan
bagi individu yang mengalami hambatan dalam berinteraksi dengan orang lain ; 1)
Kemampuan berkomunikasi, yakni ; kemampuan menggunakan bahasa tubuh yang tepat,
mengucapkan salam, memperkenalkan diri, mendengar aktif, menjawab pertanyaan,
menginterupsi pertanyaan dengan baik, bertanya untuk klarifikasi ; 2) Kemampuan
menjalin persahabatan dan bekerja sama dalam kelompok, yaitu; menjalin pertemanan,
mengucapkan dan menerima ucapan terima kasih, memberikan dan menerima pujian,
terlibat dalam aktifitas bersama, berinisiatif melakukan kegiatan dengan orang lain dan
memberikan pertolongan : 3) Kemampuan dalam menghadapi situasi sulit, yakni;
memberikan dan menerima kritik, menerima penolakan, bertahan dalam tekanan kelompok
dan minta maaf. Dapat disimpulkan pelaksanaan Latihan Ketrampilan Sosial atau social
skills training dapat memperbaiki perilaku untuk meningkatkan interaksi positif dengan
orang lain.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian ini yang dapat dilihat dari analisis pengaruh
latihan ketrampilan sosial pada kemampuan sosialisasi pada lansia sebelum dan setelah
dilakukan intervensi. Kemampuan sosialisasi yang terbagi menjadi 4 (empat) subvariabel
yaitu kemampuan komunikasi, menjalin persahabatan, bekerja dalam kelompok,
kemampuan mengatasi kondisi sulit dimana pada penelitian . Hal tersebut bermakna bahwa
pemberian latihan ketrampilan sosial dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi pada
lansia yang mengalami isolasi sosial pada kelompok intrvensi. Dalam latihan ketrampilan
sosial dilatih kemampuan klien dengan belajar cara adaptif untuk terlibat dalam hubungan
interpersonal. Perlu mengidentifikasi keterampilan yang akan dilatih, klien mendapat
kesempatan berlatih perilaku baru dan menerima umpan balik atas keterampilan yang telah
dilakukan. Stuart dan Laraia (2008) mengatakan ketrampilan dalam latihan ketrampilan
sosial didapat melalui bimbingan, demonstrasi, praktek dan umpan balik. Prinsip-prinsip
tersebut diharapkan dapat dimasukkan dalam implementasi program latihan ketrampilan
sosial sehingga memang dapat mempengaruhi kemampuan sosialisasi pada lansia. Menurut
(Stanley, Mickey. 2006), pelaksanaan latihan ketrampilan sosial dapat dilakukan secara
individu atau kelompok. Ada beberapa keuntungan apabila dilakukan secara kelompok,
yaitu; penghematan tenaga, waktu dan biaya. Bagi klien yang mengalami ketidakmampuan
berinteraksi, latihan ketrampilan sosial merupakan miniatur masyarakat sesungguhnya,
masing-masing anggota mendapatkan kesempatan melakukan praktek dalam kelompok
sehingga mereka melakukan perilaku sesuai contoh dan merasakan emosi yang menyertai
perilaku. memberi umpan balik, pujian, dan dorongan Kelompok adalah kumpulan individu
yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma
yang sama (Stuart & Laraia, 2005). Menurut Keliat (2005) tujuan kelompok adalah
membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain serta mengubah perilaku yang
destruktif dan maladaptif. Anggota kelompok merasa dimiliki, diakui, dan dihargai
eksistensinya oleh anggota kelompok yang lain. Melalui aktivitas dalam kelompok lansia
dengan isolasi sosial dapat saling membantu, memberikan masukan kepada anggota yang
lain sehingga klien merasa dirinya berguna, merasa dihargai dan diakui keberadaannya.
Pelaksanaan latihan ketrampilan sosial dilaksanakan melalui 4 (empat) tahap, yaitu ;
42

a. Modelling, yaitu tahap penyajian model dalam melakukan suatu keterampilan


yang dilakukan oleh terapis
b. Role play, yaitu tahap bermain peran dimana klien mendapat kesempatan
untuk memerankan kemampuan yang telah dilakukan oleh terapis sebelumnya
c. Performance feedback, yaitu tahap pemberian umpan balik. Umpan balik harus
diberikan segera setelah klien mencoba memerankan seberapa baik
menjalankan latihan
d. Transfer training, yakni tahap pemindahan keterampilan yang diperoleh klien
kedalam praktek sehari-hari (Ramdhani, 2002).
Kemampuan sosialisasi yang diberikan dalam latihan ketrampilan sosial pada klien
isolasi sosial dalam penelitian ini mengikuti empat tahapan sebagaimana yang diungkapkan
oleh (Rahmi, 2013) yaitu;
a. Modelling, yaitu tahap penyajian model dalam melakukan suatu keterampilan
yang dilakukan oleh terapis. Pada tahap ini peneliti memberikan contoh cara
berkomunikasi sesuai situasi yang digambarkan
b. Role play, yaitu tahap bermain peran dimana klien mendapat kesempatan
untuk memerankan kemampuan yang telah dilakukan atau dicontohkan oleh
terapis sebelumnya
c. Performance feedback, yaitu tahap pemberian umpan balik yang diberikan
segera setelah klien mencoba memerankan perilaku baru. Pada tahap ini klien
menerima umpan balik dari anggota kelompok yang lain karena latihan ini juga
dilakukan dengan pendekatan kelompok dan dari terapis/peneliti;
d. Transfer training, yakni tahap pemindahan ketrampilan yang diperoleh klien
kedalam praktek sehari-hari. Pada tahap ini klien diberi tugas mandiri untuk
melakukan latihan ulang dengan perawat ruangan atau klien lain di ruangan
yang didokumentasikan pada buku kerja klien.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang menguatkan
dengan penelitian Rahmi, (2013), tentang pengaruh latihan ketrampilan sosial terhadap
klien isolasi sosial di RSJ HB Sa’anin Padang Sumatera Barat, dimana setelah diberikan
latihan ketrampilan sosial melalui 5 (lima) sesi dan setiap sesi diulang sebanyak 3 (tiga)
kali terjadi peningkatan kemampuan kognitif dan perilaku klien isolasi sosial. Responden
pada penelitian ini terdiri dari 30 orang kelompok intervensi dan 30 orang kelompok
kontrol dan menggunakan pendekatan individu.

5. Simpulan
Berdasarkan analisa data penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan hal
– hal sebagai berikut :
a. Kemampuan sosialisasi seperti komunikasi, menjalin persahabatan, bekerja
dalam kelompok dan mengatasi situasi sulit pada lansia yang mengalami isolasi
sosial pada resonden, sebelum dan sesudah mendapat latihan ketrampilan
sosial adalah ada kenaikan skor nilai yaitu dalam kemampuan sosialisasi, artinya
terdapat pengaruh latihan ketrampilan sosial terhadap kemampuan sosialisasi.
b. Kemampuan sosialisasi pada lansia pada responden sesudah diberikan latihan
ketrampilan sosial meningkat secara bermakna dengan p value 0,00. Peneliti
merekomendasikan latihan ketrampilan sosial sebagai untuk para lansia yang
mengalami isolasi sosial. Dengan terbentuknya kelompok suportif sebagai
tindak lanjut dari kelompok latihan ketrampilan sosial sebagai wadah bagi
lansia untuk dapat saling memberi support dan dukungan.
105

6. Saran
Bagi Peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian mengenai latihan
pengaruh terapi kelompok supportif sebagai kelanjutan dari terapi kelompok ketrampilan
sosial dengan rancangan penelitian longitudinal. Mengembangkan penelitian tentang
pengaruh latihan ketrampilan sosial dilihat dari karakteristik lama tinggal dipanti wredha
dan efektifitas dari terapi generalis.

7. Acknowledgement
Penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan terkait publikasi terkait makalah
penelitian ini

Daftar Pustaka
Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. Rineka Cipta.
Hurlock, E.B. 1999. Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan.
Alih bahasa: Istiwidayati & Sudjarwo. Edisi Kelima Jakarta: Erlangga
Keliat, Budi Anna. 2005. Keperawatan Jiwa (Terapi Aktivitas Kelompok). Jakarta: EGC
Maryam, R. Siti. Dkk. 2011. Mengenal Usia Lanjut Dan Perawatannya. Jakarta:
Salemba Medika
Mosby Company, USA Sugiyono. 2006. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
Mubarak, Wahit Iqbal, dkk: 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas, Konsep Dan Aplikasi.
Jakarta: EGC
Nursalam. 2008. Konsep Dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman
Skripsi, Tesis, Dan Instrumen Penelitian. Jakarta: Salemba Medika.
Priyoto . 2015. NIC Dalam Keperawatan Gerontik. Jakarta : Salemba Medika
Rahmi, Imelisa, 2013. Menejemen Asuhan Keperawatan Spesialis Jiwa yang diberikan Social
Skill Training. Jakarta : FK. UI
Soekidjo, Notoatmojo. 2008. Metodelogi Penelitian.Jakarta : Rhineka Cipta
Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC Stuart dan Laraia
(2005). Principles And Practice Of Psichiatric Nursing.
Stuart & Laraia. 2005. Buku Saku Keperawatan Jiwa (terjemahan). Jakarta: EGC Towensend,
Mery C, (1998). Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri, Edisi
2. Jakarta: EGC
Wahjudi Nugroho. 2008.Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC
Yosep. 2007. Keperawatan Jiwa. Retika Adhitama: Bandung
Yosep. 2008. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
SurabayaWahjudi Nugroho. 2008.Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC

Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi


Terhadap Perubahan Perilaku Klien Isolasi Sosial
Surya Efendia, Atih Rahayuningsihb, Wan Muharyatic
a
RSJ HB Sa’anin Padang
105
106

b
Keperawatan Universitas Andalas
c
Perawat RSJ HB Sa’anin Padang

Abstract: This study aims to determine the Effect of Activity Group Therapy: Socialization (AGTS)
to Client Behavior Change Social Isolation in Gelatik Room Prof. HB Sa'anin Mental Hospital
Padang. This study used quasi experiment design without a control group with the approach one
group pretest and posttest design. Objects in this study is the client's social isolation. Sampling
was purposive sampling with a sample of 10 people. Instruments used in the form of sheets of
observation and interview guides. Clients of social isolation pretest conducted before given
AGTS, then do posttest. The average value of 31.5 pretest and posttest mean value of

40.1. This shows a decline in social isolation behavior after being given the AGTS. Data were
analyzed using Two Different Tests Mean Dependent (Paired Samples) with 95% degree of
confidence. The results of statistical tests obtained p = 0.00 (p <0.05). This suggests there is a
significant influence on the administration AGTS to changes in client behavior of social isolation.
Expected to hospital nurses to be able to improve the implementation of AGTS with respect to
indications that the client can participate in the activities of the AGTS. Then the researchers next
to be examined by using qualitative techniques.

Key words: social isolation, behaviour changes, group activity therapy

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi aktivitas
kelompok sosialisasi terhadap Perubahan Perilaku Klien Isolasi Sosial di Ruang Gelatik RS Jiwa
Prof HB Sa’anin Padang. Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment tanpa kelompok
kontrol dengan pendekatan one group pretest and posttest design. Sampel dalam penelitian ini
adalah klien isolasi sosial yang diambil secara purposive sampling berjumlah 10 orang.
Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi dan pedoman wawancara.Nilai rata-rata
pretest 31,5 dan posttest 40,1. Data diuji dengan Uji Beda Dua Mean Dependen (Paired Sampel)
dengan derajat kepercayaan 95 %. Hasil uji statistik didapatkan p = 0,00 (p<0,05). Hal ini
menunjukkan terdapat pengaruh yang bermakna pada pemberian TAKS terhadap perubahan
perilaku klien isolasi sosial. Diharapkan kepada perawat rumah sakit untuk dapat meningkatkan
pelaksanaan TAKS dengan memperhatikan indikasi klien yang bisa diikutsertakan dalam kegiatan
TAKS. Kemudian kepada peneliti selanjutnya diharapkan untuk dapat melanjutkan penelitian ini
dengan menggunakan teknik kualitatif.

Kata kunci: isolasi sosial, perubahan perilaku, terapi aktifitas kelompok

Sehat menurut WHO adalah keadaan yang cacat (Notosoedirjo, 2002).


sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak
hanya terbebas dari penyakit, kelemahan atau
106
107

Dalam definisi tersebut jelas bahwa sehat bukan


sekedar terbebas dari penyakit atau cacat. Orang
yang tidak berpenyakit pun belum tentu
dikatakan sehat. Seseorang

107
108

NERS JURNAL KEPERAWATAN VOLUME 8, No 2, Desember 2015 : 105-114

semestinya dalam keadaan yang sempurna baik dan merasa tertekan. Keadaan ini dapat
fisik, mental maupun sosial. Dalam perkembangan menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi
dan pembangunan dunia akhir- akhir ini yang dengan orang lain, lebih menyukai berdiam diri,
ditandai dengan modernisasi, industrialisasi dan menghindar dari orang lain, dan kegiatan sehari-
globalisasi, akan membawa banyak perubahan hari terabaikan (Kusumawati dan Hartono, 2010).
dalam kehidupan yang bisa menjadi stressor bagi Menurut Stuart and Sundeen, (2006) Individu
seseorang. Dengan tingginya stressor itu dalam situasi seperti ini harus diarahkan pada
diperkirakan gangguan jiwa akan semakin respon perilaku dan interaksi sosial yang optimal
meningkat (Setiaji, 2002). melalui asuhan keperawatan yang komprehensif
Salah satu bentuk gangguan jiwa yang dan terus menerus disertai dengan terapi-terapi
paling banyak terdapat di seluruh dunia adalah modalitas seperti Terapi Aktivitas Kelompok
gangguan jiwa skizofrenia. Prevalensi skizofrenia (TAK), bahkan TAK Sosialisasi memberikan
di dunia adalah 0,1 per mil dengan tanpa modalitas terapeutik yang lebih besar daripada
memandang perbedaan status sosial atau budaya hubungan terapeutik antara dua orang yaitu
(Varcarolis and Halter 2010). Sedangkan hasil perawat dan klien.
riset dasar kesehatan nasional tahun 2007 TAK adalah terapi modalitas yang
menyebutkan bahwa sebanyak 0,46 per mil dilakukan perawat kepada sekelompok klien yang
masyarakat Indonesia mengalami gangguan jiwa mempunyai masalah keperawatan yang sama.
berat. Mereka adalah yang diketahui mengidap Aktivitas yang digunakan sebagai terapi, dan
skizofrenia dan mengalami gangguan psikotik kelompok digunakan sebagai target asuhan. Di
berat (Depkes RI, 2007). dalam kelompok terjadi dinamika interaksi yang
Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa saling bergantung, saling membutuhkan dan
berat yang ditandai dengan penurunan atau menjadi laboratorium tempat klien berlatih
ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki
realitas (halusinasi atau waham), afek yang tidak perilaku lama yang maladaptif. Stuart and
wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak Sundeen (2006) menambahkan bahwa TAK
mampu berpikir abstrak) serta mengalami dilakukan untuk meningkatkan kematangan
kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari. Salah emosional dan psikologis pada klien yang
satu gejala negatif skizofrenia adalah menarik diri mengidap gangguan jiwa pada waktu yang lama.
dari pergaulan sosial (isolasi sosial). Isolasi sosial TAK dapat menstimulus interaksi diantara
adalah keadaan dimana seorang individu anggota yang berfokus pada tujuan kelompok.
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali TAK Sosialisasi juga membantu klien
tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di berinteraksi/berorientasi dengan orang lain.
sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak Terapi Aktivitas Kelompok : Sosialisasi
diterima, kesepian dan tidak mampu membina (TAKS) merupakan suatu rangkaian kegiatan
hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat yang sangat penting dilakukan untuk membantu
et al, 2005). dan memfasilitasi klien isolasi sosial untuk
Terjadinya gangguan ini dipengaruhi oleh mampu bersosialisasi secara bertahap melalui
faktor predisposisi diantaranya perkembangan dan tujuh sesi untuk melatih kemampuan sosialisasi
sosial budaya. Kegagalan dapat mengakibatkan klien. Ketujuh sesi tersebut diarahkan pada tujuan
individu tidak percaya pada diri, tidak percaya khusus TAKS, yaitu : kemampuan
pada orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus memperkenalkan diri, kemampuan
asa terhadap orang lain, tidak mampu
merumuskan keinginan,
109

Efendi, dkk, Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas Kelompok

berkenalan, kemampuan bercakap-cakap, bahwa semua ruang rawat inap di RS. Jiwa Prof.
kemampuan menyampaikan dan HB. Sa’anin Padang khususnya ruang Gelatik
membicarakan topik tertentu, kemampuan telah melaksanakan TAK sebagai bagian dari
menyampaikan dan membicarakan masalah kegiatan perawatan pasien yang dilaksanakan
pribadi, kemampuan bekerja sama, kemampuan setiap hari yang salah satunya adalah TAKS.
menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAKS dilakukan berurutan dari sesi 1 sampai sesi
TAKS yang telah dilakukan. Langkah-langkah 7 yang dilaksanakan oleh perawat ruangan dan
kegiatan yang dilakukan dalam TAKS yaitu tahap mahasiswa yang sedang melaksanakan praktik
persiapan, orientasi, tahap kerja dan tahap klinik di RS. Jiwa Prof. HB. Sa’anin Padang.
terminasi dengan menggunakan metode dinamika Perawat melaksanakannya sesuai dengan prosedur
kelompok, diskusi atau tanya jawab serta bermain yang ada pada buku panduan, tapi belum
peran atau stimulasi. sepenuhnya memperhatikan indikasi untuk pasien
Penelitian yang dilakukan oleh Setya, T yang sudah bisa diikutsertakan dalam kegiatan ini,
(2009) didapatkan adanya pengaruh TAKS seperti masih ada klien yang belum bisa
terhadap kemampuan berinteraksi pada klien melakukan interaksi interpersonal dan berespon
isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Pusat Dr. sesuai dengan stimulus juga diikutsertakan. Selain
Soeharto Heerdjan Jakarta. Sedangkan penelitian itu, klien yang tidak ada kemajuan setelah dirawat
Joko (2009) di Rumah Sakit Jiwa Surakarta secara individu juga diikutsertakan dalam
menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan kegiatan TAKS, padahal klien seperti ini belum
pelaksanaan TAKS sesi satu dan sesi dua terhadap bisa diikutsertakan karena tidak akan memberi
perubahan perilaku menarik diri. dampak walaupun dilibatkan dalam kegiatan
Berdasarkan data laporan masing- masing TAKS.
ruang rawat inap RS. Jiwa Prof. HB. Sa’anin Hasil observasi pada tanggal 16 Oktober
Padang dalam enam bulan terakhir (dari bulan 2011 pada sepuluh orang klien dengan masalah
Maret 2011 sampai Agustus 2011), diketahui keperawatan isolasi sosial yang telah diberikan
bahwa klien dengan masalah isolasi sosial TAKS sesi 1 sampai sesi 7 di ruang Gelatik RS
terbanyak terdapat di ruang Gelatik yaitu Jiwa Prof. HB. Sa’anin Padang, ditemukan tujuh
sebanyak 64 orang dari 352 orang (18,1 %). orang klien masih suka menyendiri, jarang
Sedangkan di ruangan Merpati sebanyak 54 orang berbincang-bincang dengan pasien yang lain,
dari 382 orang (14,1 %), ruangan Melati sebanyak terlihat tidak semangat, afek tumpul, kontak mata
45 orang dari 331 orang (13,5 %), kurang dan lebih sering menunduk, sedangkan tiga
ruangan orang pasien yang sudah mulai mau berinteraksi
Cenderawasih 34 orang dari 462 orang (7,3 dengan pasien yang lain kadang- kadang masih
%), ruangan Flamboyan 19 orang dari 288 orang sering tampak melamun.
(6,6 %), dan ruangan Anggrek sebanyak 4 orang Data di atas menunjukkan bahwa pasien yang
dari 86 orang (4,7 %). telah mendapat TAKS sebagian besar masih
RS. Jiwa Prof. HB. Sa’anin Padang menunjukkan perilaku isolasi sosial, seperti masih
merupakan sebuah Rumah Sakit Jiwa tipe A yang suka menyendiri, jarang berbincang- bincang
telah menerapkan Terapi Aktivitas Kelompok dengan pasien yang lain, tampak tidak
yaitu dengan dibentuknya ruang MPKP, dimana bersemangat, afek tumpul, kontak mata kurang
salah satu programnya adalah pelaksanaan TAK. dan lebih sering menunduk. Padahal secara teoritis
Berdasarkan pengalaman peneliti secara langsung TAKS dapat membantu pasien untuk
selama bekerja di RS Jiwa Prof. HB. Sa’anin berinteraksi/bersosialisasi dengan orang lain.
Padang diketahui
110

NERS JURNAL KEPERAWATAN VOLUME 8, No 2, Desember 2015 : 105-114

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui anggota kelompok kecil menurut Stuart dan Laraia
bagaimana pengaruh pemberian terapi aktivitas (2006), yaitu 7-10 orang. Untuk menetapkan
kelompok sosialisasi terhadap perubahan perilaku sampel maka digunakan kriteria inkulusi dan
klien isolasi sosial di Ruang Gelatik RS Jiwa Prof kriteria eksklusi. Kriteria inklusi adalah
HB Sa’anin Padang Tahun 2011. karakteristik umum subjek penelitian dari suatu
populasi, suatu target dan terjangkau akan diteliti
(Nursalam, 2008).
Adapun kriteria inklusi penelitian ini adalah :
a. Klien isolasi sosial yang sudah mendapat
METODE asuhan keperawatan untuk masalah isolasi
Penelitian ini menggunakan desain quasi sosial.
eksperiment tanpa kelompok kontrol dengan b. Klien isolasi sosial yang telah mulai
pendekatan one group pretest and posttest design
melakukan interaksi interpersonal.
(Nursalam, 2008). Dalam rancangan ini kelompok
subjek dilakukan pretest terlebih dahulu. Populasi c. Klien isolasi sosial yang telah mulai
dalam penelitian ini adalah jumlah pasien isolasi berespon sesuai dengan stimulus.
sosial yang dirawat di ruang Gelatik RS. Jiwa d. Klien isolasi sosial yang bersedia dijadikan
Prof. HB. Sa’anin Padang dalam 6 bulan terakhir responden.
(dari bulan Maret 2011 sampai bulan Agustus Penelitian ini dilakukan di Ruang Gelatik RS Jiwa
2011), yaitu berjumlah : 64 orang dengan rata-rata Prof HB Sa’anin Padang dari bulan Agustus
perbulan 11 orang. teknik pengambilan sampel sampai Desember 2011.
yang digunakan peneliti adalah purposive
sampling, yaitu penelitian yang didasarkan pada
suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh
peneliti sendiri berdasarkan ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
ini adalah Hasil pengambilan data pada klien isolasi
10 orang yang didasarkan pada jumlah sosial di Ruang Gelatik RS. Jiwa Prof. HB.
Sa’anin Padang selama 10 hari mulai dari tanggal
4 sampai 13 Desember 2011 dengan jumlah
responden 10 orang didapatkan data sebagai
berikut :

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik


Umur, Jenis Kelamin, Pekerjaan dan Pendidikan di Ruang Gelatik RS Jiwa
Prof. HB. Sa’anin Padang Tahun 2011
No Karakteristik Kriteria Frekuensi Persentase
1. Umur 18 – 25 4 40
Cameron (1969) (Dewasa Muda Awal)
>25 – 40 6 60
(Dewasa Muda Akhir)
Total 10 100
2. Jenis Kelamin Laki-Laki 10 100
Perempuan 0 0
Total 10 100
3. Pekerjaan Bekerja 4 40
Tidak Bekerja 6 60
111

Total 10 100
112

Efendi, dkk, Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas Kelompok

4. Pendidikan SD 3 30
SMP/Sederajat 5 50
SMA/Sederajat 2 20
Perguruan Tinggi 0 0
Total 10 100

Tabel di atas memperlihatkan bahwa lebih dari separuh (60 %) responden berumur >25-40, semua
responden (100 %) berjenis kelamin laki-laki, lebih dari separuh (60 %) responden tidak bekerja, lebih
banyak (50 %) responden berpendidikan SMP.

Tabel 2. Rerata perbahan perilaku isolasi sosial sebelum dan sesudah


terapi aktivitas kelompok sosialisasi di Ruang Gelatik RS Jiwa Prof. HB.
No. Sebelum Perlakuan Setelah Perlakuan Kategori
Sa’anin Padang Tahun
Responden
2011
(Pretest) (Posttest)
1 30 41 11
2 27 37 10
3 30 39 9
4 33 43 10
5 33 41 8
6 30 37 7
7 34 42 8
8 35 41 6
9 31 39 8
10 32 41 9
31,5 40,1

Tabel 2. di atas memperlihatkan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Joko (2009) di
semua responden (100%) mengalami perubahan Rumah Sakit Jiwa Surakarta yang menyatakan
perilaku isolasi sosial, yang berarti bahwa terjadi bahwa ada pengaruh yang signifikan pelaksanaan
penurunan perilaku isolasi sosial dari sebelum dan TAKS sesi satu dan sesi dua terhadap perubahan
sesudah perlakuan dalam rentang 6 sampai 11 perilaku menarik diri dengan perbedaan nilai
dengan nilai rata- rata pretest 31,5 dan nilai rata- antara pretest dan posttest yaitu sebesar 0,34.
rata posttest 40,1. Rata-rata perilaku isolasi sosial Salah satu gejala negatif skizofrenia
responden pada saat pretest dan posttest adalah menarik diri dari pergaulan sosial (isolasi
didapatkan perbedaan nilai sebesar 8,6, artinya sosial). Isolasi sosial adalah keadaan dimana
perilaku isolasi sosial klien menurun sebesar 15,3 seorang individu mengalami penurunan atau
% setelah diberikan TAKS selama 7 sesi. Adapun bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
klien yang mengalami rentang perubahan nilai 6 dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin
sampai 8 adalah 5 orang (50%), sedangkan yang merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak
mengalami rentang perubahan nilai 9 sampai 11 mampu membina hubungan yang berarti dengan
adalah 5 orang (50%). Penelitian ini sesuai orang lain (Keliat et al, 2005).
dengan
113

NERS JURNAL KEPERAWATAN VOLUME 8, No 2, Desember 2015 : 105-114

Penelitian ini menunjukkan bahwa semua berkurang dan berat badannya mulai menurun.
responden berada dalam rentang usia dewasa Tidurnya hampir selalu terganggu dan keluhan
muda. Hal ini sesuai dengan pendapat Natsir dan yang paling sering adalah terbangun dini hari dan
Muhith (2010) yang menyatakan bahwa tidak dapat tidur sesudahnya. Dengan
skizofrenia ditemukan 7 per mil orang dewasa dan berkembangnya depresi seseorang menjadi lebih
terbanyak usia 15-35 tahun. Sedangkan dilihat lamban, merasa sedih dan mungkin terlalu
dari karakteristik responden berdasarkan dihantui rasa bersalah dan tidak berguna.
pekerjaan, didapatkan lebih dari separoh (60%) Terjadinya gangguan dalam berhubungan
responden tidak bekerja. Menurut Prayitno, E dengan orang lain (isolasi sosial) juga dapat
(2006), bekerja merupakan salah satu dimensi dipengaruhi oleh jenis kelamin. Dalam penelitian
kehidupan orang dewasa awal yang sangat ini didapatkan semua (100%) responden berjenis
penting. Mereka bekerja dengan berbagai alasan, kelamin laki-laki. Gillian (1982) dalam Abraham
seperti untuk mendapatkan kepuasan pribadi, dan Shanley (1997) menyatakan bahwa bagi
penghasilan, dan status sosial. Bagi kalangan perempuan adanya kepentingan dan hubungan
ekonomi lemah, bekerja untuk mendapatkan pengasuhan dapat membuat mereka
penghasilan. Bagi kalangan ekonomi tinggi, mengembangkan keterampilan yang bersifat
tujuan bekerja adalah untuk mendapatkan hirarki. Laki-laki di sisi lain tidak mengalami
kepuasan dan status. McGhie, Andrew (1996) kesulitan pada persaingan tetapi bermasalah dalam
menyatakan bahwa alasan yang paling lazim dari membuat hubungan dengan orang lain yang
simptom neurotik yang diberikan pasien dewasa berarti bertentangan dengan kemandiriannya.
yang menjalani rawat jalan di bagian psikiatri Selain itu, Maccoby dan Jackson (1974) dalam
adalah bekerja terlalu keras atau stress yang Abraham dan Shanley (1997) menyatakan bahwa
diberikan dengan pekerjaan. Bila kita tidak perempuan mempunyai kemampuan verbal dan
mampu mencapai kepuasan atau menemukan bahasa lebih baik dibandingkan dengan laki-laki.
makna dari pekerjaan kita, dalam batas tertentu Pernyataan di atas menjelaskan bahwa
kita gagal dalam mengekspresikan diri yang seorang laki-laki memiliki masalah dalam
mengakibatkan rasa tidak puas dan kecewa. membuat hubungan dengan orang lain, hal ini
McGhie, Andrew (1996) berarti laki-laki cenderung mengisolasikan dirinya
menambahkan bahwa seseorang yang tidak dari pergaulan sosial (isolasi sosial). Selain itu,
mampu merampungkan volume pekerjaan yang Laki-laki juga memiliki kemampuan verbal dan
sama, atau apabila ia tidak mampu menangani bahasa yang kurang dari perempuan, sehingga
atau tidak memiliki pekerjaan domestik rutin, laki-laki cenderung tertutup dan memendam
dalam suasana hati yang demikian seseorang sendiri setiap masalah dan stessor psikologis yang
merasa sedih, pesimis terhadap masa depan dan ia mereka hadapi. Kondisi ini jika berlangsung lama
mungkin terlalu merisaukan kesehatannya secara dengan tanpa ada mekanisme koping yang
tidak wajar. Minatnya semakin berkurang dan konstruktif, maka kecenderungan ia jatuh ke
perhatiannya tidak lagi dapat terpusat pada dalam gangguan jiwa akan lebih tinggi.
kegiatan-kegiatan yang semula digemarinya. Ia Dilihat dari hasil observasi pada saat
merasa dunia sebagai tempat yang menyedihkan pretest yang dapat dilihat pada master tabel, hal
dan tidak dapat membayangkan perbaikan- yang paling banyak dilakukan oleh klien adalah
perbaikan di kemudian hari atau mengingat saat- menyendiri dalam ruangan dengan total nilai nilai
saat dimana ia merasa gembira dan puas. Selera 17, tidak berkomunikasi
makannya
114

Efendi, dkk, Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas Kelompok

dengan total nilai 20, suka melamun dengan total Dalam penelitian ini masih terdapat
nilai 19 dan menghindar dari orang lain dengan separuh (50 %) responden yang mengalami
total nilai 19. Setelah diberikan TAKS, hal penurunan perilaku isolasi sosial dalam rentang 6
tersebut mengalami penurunan dengan nilai sampai 8. Walaupun tidak ada yang mengalami
perubahan sebagai berikut : menyendiri dalam penurunan nilai atau peningkatan perilaku isolasi
ruangan 10, tidak berkomunikasi 8, suka melamun sosial dalam penelitian ini, perubahan skor yang
9, dan menghindar dari orang lain 8. Sedangkan sedikit dalam penelitian ini dapat terjadi karena
dilihat dari pedoman wawancara, hal yang paling penurunan konsentrasi dan juga sikap responden
banyak dirasakan klien pada saat pretest adalah selama kegiatan TAKS. Hal ini dapat diihat dari
merasa kesepian dengan total nilai 19, tidak hasil evaluasi TAKS yang menunjukkan masih
percaya atau merasa tidak aman berada dengan adanya responden yang tidak ada/kurang kontak
orang lain dengan total nilai 20 dan merasa bosan mata, menggunakan bahasa tubuh yang tidak
dan lambat menghabiskan waktu dengan total sesuai dan minta izin ke kamar mandi, minum
nilai 19. Setelah diberikan TAKS, hal tersebut ataupun melakukan kegiatan lain di luar ruangan
mengalami perubahan dengan nilai perubahan TAK pada setiap sesi selama pelaksanaan TAKS.
sebagai berikut : merasa kesepian 9, tidak percaya Menurut Depkes, (2000) keadaan ini dipengaruhi
atau merasa tidak aman berada dengan orang lain oleh faktor internal yaitu faktor sosiopsikologis
7 dan merasa bosan dan lambat menghabiskan seperti sikap, kebiasaan dan kemauan dapat
waktu 4. mempengaruhi apa yang kita perhatikan dan
Perubahan ini sesuai dengan pernyataan faktor eksternal yang terdiri dari intensitas
Stuart and Sundeen (2006) yang menyatakan stimulus sehingga perhatian akan tertuju atau
bahwa TAKS dilakukan untuk meningkatkan terfokus pada stimulus yang menonjol serta dapat
kematangan emosional dan psikologis pada klien juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dimana
yang mengidap gangguan jiwa pada waktu yang lingkungan yang bising, warna yang mencolok
lama. TAKS dapat menstimulus interaksi diantara akan mempengaruhi konsentrasi anggota
anggota yang berfokus pada tujuan kelompok. kelompok dalam melakukan TAK.
TAKS juga membantu klien Selain itu, keadaan tersebut di atas juga
berinteraksi/berorientasi dengan orang lain. dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
Menurut Niven, (2000) Keberhasilan responden, dimana dalam penelitian ini
pasien dalam TAK dimungkinkan karena telah didapatkan lebih banyak (50%) responden dengan
terbentuknya rasa percaya antara anggota tingkat pendidikan SMP/Sederajat. Menurut
kelompok, dimana rasa saling percaya (trust) Purwanto, H (1999), inti dari kegiatan pendidikan
antara anggota akan memungkinkan pasien untuk adalah proses belajar mengajar. Hasil dari proses
dapat bekerja sama. Rasa saling percaya, saling belajar mengajar adalah seperangkat perubahan
menerima dalam norma kelompok akan perilaku. Dengan demikian, pendidikan sangat
meningkatkan rasa kebersamaan antar anggota. besar pengaruhnya terhadap perilaku seseorang.
Dimana kekuasaan dan pengaruh masing-masing Seseorang yang berpendidikan tinggi akan
anggota kelompok sangat menentukan dalam berbeda perilakunya dengan orang yang
pencapaian tujuan dari suatu TAK. Selain itu juga berpendidikan rendah.
dapat dipengaruhi oleh peran terapis dalam Seseorang yang memiliki tingkat
memberikan motivasi kepada responden agar pendidikan yang tinggi akan relatif mudah
terlibat dalam diskusi. memahami setiap terapi yang diberikan dalam
kegiatan TAKS. Sehingga akan menghasilkan
115

NERS JURNAL KEPERAWATAN VOLUME 8, No 2, Desember 2015 : 105-114

penurunan perilaku isolasi sosial yang cepat. terhambat sehingga penurunan perilaku
Sedangkan tingkat pendidikan yang rendah isolasi sosial klien juga akan ikut terhambat.
membuat proses terapi dalam TAKS menjadi

Tabel 3. Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas Kelompok : Sosialisasi


(TAKS) terhadap Perubahan Perilaku Klien Isolasi Sosial di Ruang Gelatik
RS Jiwa Prof. HB. Sa’anin Padang Tahun 2011
Variabel Mean SD CI 95 % t p

Lower Upper

Pretest 31,50 2,369


-9,677 -7,523 -18,064 0,00
Perilaku Isolasi Sosial 40,10 2,025
Posttest
Perilaku Isolasi Sosial

Hasil uji statistik dengan menggunakan Uji Beda Dilihat dari tujuan terapeutik, TAKS
Dua Mean Dependen (Paired Sampel) didapatkan mempunyai tujuan untuk memfasilitasi proses
rata-rata perilaku isolasi sosial sebelum pemberian interaksi, meningkatkan sosialisasi, meningkatkan
TAKS adalah 31,50 dengan standar deviasi 2,369. kemampuan klien memberi respon terhadap
Sedangkan rata- rata perilaku isolasi sosial setelah realita, mengenali cara baru dalam mengatasi
pemberian TAKS adalah 40,10 dengan standar masalah, meningkatkan identitas diri,
deviasi 2,025. Hasil uji statistik ini didapatkan menyalurkan emosi secara konstruktif dan
nilai p meningkatkan kemampuan ekspresi diri.
= 0,00 (p<0,05), maka dapat disimpulkan terdapat Sedangkan dilihat dari tujuan rehabilitasi, TAKS
pengaruh yang bermakna pada pemberian TAKS bertujuan untuk meningkatkan keterampilan
terhadap perubahan perilaku klien isolasi sosial. ekspresi diri, meningkatkan kemampuan
Dengan demikian Ho ditolak. berempati, meningkatkan kemampuan
berhubungan sosial, meningkatkan kemampuan
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Joko pemecahan masalah dan meningkatkan
(2009) di Rumah Sakit Jiwa Surakarta dengan kepercayaan diri (Depkes RI, 2000).
nilai p = 0,00 (p<0,05). Namun, pada penelitian Pemberian TAKS pada responden dalam
yang dilakukan oleh Joko (2009) hanya penelitian ini dilakukan secara bertahap dan
melaksanakan TAKS dalam 2 sesi saja, yaitu sesi dilaksanakan dalam tujuh sesi yang dilaksanakan
1 dan sesi 2. Padahal menurut Keliat dan Akemat sesuai dengan prosedur yang ada dalam buku
(2004), rangkaian kegiatan dalam TAKS terdiri panduan dan responden yang diikutsertakan dalam
dari tujuh sesi. Sedangkan dalam penelitian ini, kegiatan ini memenuhi indikasi pasien TAKS.
peneliti melaksanakan semua sesi dalam TAKS, Adapun indikasinya adalah klien isolasi sosial
yaitu dari 1 sampai sesi 7. yang telah mulai melakukan interaksi
Menurut Niven (2000) TAK sangat efektif interpersonal, dan telah mulai berespon sesuai
dilakukan pada pasien gangguan jiwa karena dengan stimulus.
memiliki beberapa keuntungan yang akan Pelaksanaan TAKS di RS Jiwa Prof. HB.
diperoleh pasien, meliputi dukungan moral, Sa’anin Padang telah sesuai dengan prosedur yang
pendidikan, meningkatkan kemampuan ada dalam buku panduan, tapi perawat belum
pemecahan masalah dan meningkatkan hubungan sepenuhnya memperhatikan indikasi untuk pasien
interpersonal. yang sudah bisa diikutsertakan dalam kegiatan ini,
seperti
116

Efendi, dkk, Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas Kelompok

masih ada klien yang belum bisa melakukan


interaksi interpersonal dan berespon sesuai dengan KESIMPULAN DAN SARAN
stimulus juga diikutsertakan. Selain itu, klien yang Penelitian ini menyimpulkan bahwa
tidak ada kemajuan setelah dirawat secara seluruh responden mengalami penurunan perilaku
individu juga diikutsertakan dalam kegiatan isolasi sosial setelah diberikan TAKS. Selain itu,
TAKS. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan terdapat pengaruh yang bermakna pada
dalam penelitian ini, dimana peneliti pemberian TAKS terhadap perubahan perilaku
melaksanakan TAKS sesuai dengan buku panduan klien isolasi sosial.
dan memperhatikan indikasi pasien yang bisa Disarankan kepada perawat di RS. Jiwa
diikutsertakan dalam TAKS. Sehingga terapi yang Prof. HB. Sa’anin Padang untuk dapat
diberikan dapat memberikan perubahan yang meningkatkan pelaksanaan TAKS dengan
bermakna terhadap perubahan perilaku klien memperhatikan indikasi klien yang sudah bisa
isolasi sosial. diikutsertakan dalam TAKS. Kepada peneiti
Dilihat dari hasil evaluasi masing- masing selanjutnya untuk dapat melakukan penelitian
sesi pada saat pelaksanaan TAKS, ditemukan lebih lanjut tentang TAKS dengan menggunakan
responden yang mengalami penurunan teknik kualitatif untuk klien yang masih
kemampuan dari sesi sebelumnya. Seperti yang ditemukan penurunan kemampuan dalam masing-
dialami oleh responden 2 dan responden 9. pada masing sesi pada kegiatan TAKS agar klien
pelaksanaan TAKS sesi 4, responden 2 mampu tersebut dapat mengeksplorasikan perasaan dan
menyampaikan topik secara spontan, memilih pikirannya sehingga dapat diketahui penyebab
topik secara spontan dan memberi pendapat secara penurunan kemampuan tersebut.
spontan. Namun pada pelaksanaan TAKS sesi 5
dan sesi 6, hal tersebut mengalami penurunan.
Begitu juga dengan responden 9, pada saat
pelaksanaan TAKS sesi 4 responden mampu
menyampaikan topik dengan jelas, menyampaikan DAFTAR PUSTAKA
topik secara spontan dan menjawab dan memberi
secara spontan. Namun pada sesi 5, terjadi
Abraham & Shanley. (1997). Psikologi sosial
penurunan kemampuan dalam menyampaikan untuk perawat. Jakarta: EGC.
topik dengan jelas dan menyampaikan topik
secara spontan. Sedangkan pada sesi 6 terjadi Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
penurunan kemampuan dalam menjawab dan (2000). Keperawatan jiwa, teori dan
memberi secara spontan. Oleh karena itu, perlu
diadakan penelitian lebih lanjut mengenai TAKS tindakan keperawatan. Jakarta.
dengan menggunakan teknik kualitatif agar
masing-masing responden dapat lebih Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
mengeksplorasikan perasaan dan pikirannya (2007). Laporan hasil riset kesehatan
sehingga dapat diketahui penyebab terjadinya dasar. Jakarta.
penurunan kemampuan responden pada masing-
masing sesi pelaksanaan TAKS.
Isaacs, A. (2004). Keperawatan Kesehatan
Jiwa dan Psikiatri. Jakarta: EGC.

Joko. (2009). Pengaruh pelaksanaan terapi


aktivitas kelompok sosialisasi sesi 1 dan
sesi 2 terhadap perubahan perilaku
menarik diri klien di Ruang Abimayu,
Ruang Maespati dan Ruang Pringgodani
117

di RSJ Daerah Surakarta. Diakses Tanggal


4 Juni 2011 dari
http://www.scribd/doc/32713247/propo
sal

-terapi-aktivitas-kelompok-sosialisasi Keliat,
B. A. (2005a). Keperawatan jiwa
TAK. Jakarta: EGC.
118

NERS JURNAL KEPERAWATAN VOLUME 8, No 2, Desember 2015 : 105-114


61

Keliat, B.A. (2005b). Modul basic course community mental health nursing. Jakarta

: FIK UI.
Kusumawati, F & Hartono, Y. (2010). Buku ajar keperawatan jiwa. Malang: Salemba Medika.

McGhie, A. (1996). Penerapan psikologi dalam perawatan. Yogyakarta: Yayasan Essentia


Medica.

Natsir & Muhith. (2010). Dasar-dasar keperawatan jiwa: Pengantar dan teori. Malang: Salemba
Medika

Niven, N. (2000). Psikologi kesehatan. (Edisi 3). Jakart: EGC

Notosoedirjo, M, L. (2002). Kesehatan mental konsep dan penerapan. Universitas


Muhammadiyah Malang

Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan (edisi 2).
Jakarta: Salemba Medika.

Prayitno, E. (2006). Psikologi orang dewasa.

Padang: Angkasa Raya


Setiaji, S. (2002). Upaya yang perlu dilakukan untuk menghilangkan stigma masyarakat
terhadap gangguan jiwa. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Jiwa
UGM.

Setya, T. (2009). Pengaruh terapi aktifitas kelompok : sosialisasi


terhadap kemampuan berinteraksi pada kien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa
Pusat Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta. Diakses tanggal 4
Juni 2011 dari http://darsananursejiwa.blogspot.com/201
0/05/strategi-pelaksanaan-tindakan.html

Stuart, G. & Laraia. (2005). Principles and practice of psychiatric nursing. Misouri: Mosby Year
Book.

Stuart, G.W. & Sundeen, S. J. (2006). Principles and practice of psychiatric nursing. Mosby Year
Book : Misouri

Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health nursing: Consepts of care in evidence-based
practice. Philadelphia: FA. Davis.

61
62

Varcarolis & Halter. (2010). Foundations of psychiatric mental health nursing: A clinical
spproach, (Edisi 6). Philadelphia: WB. Saunders Company.

Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 7 No 1, Hal 61 - 70, Mei 2019 e-ISSN 2655-8106
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah p-ISSN2338-2090

62
Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 7 No 1 Hal 61 - 70, Mei 2019

63

PENGARUH PENERAPAN TAK : PERMAINAN KUARTET


TERHADAP KEMAMPUAN SOSIALISASI PADA PASIEN ISOLASI
SOSIAL
Retno Yuli Hastuti1., Nur Wulan Agustina1, Surya Hardyana1
1
Program studi keperawatan, STIKES Muhammadiyah Klaten
hastuti.puteri@gmail.com

ABSTRAK
Salah satu tanda gejala negatif skizofrenia adalah isolasi sosial. Angka kejadian gangguan jiwa
mencapai 2,3 permil dari jumlah penduduk. Langkah yang dapat diberikan untuk memfasilitasi pasien
isolasi sosial social untuk melakukan sosialisasi secara bertahap melalui kegiatan permainan
sosialisasi kelompok yaitu berupa terapi aktivitas kelompok menggunakan kartu kuartet. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan TAK : permainan kuartet terhadap kemampuan
sosialisasi pada pasien isolasi sosial di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah. Jenis
penelitian ini adalah quasy eksperimen dengan desain penelitian pre and post test without control.
Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 13 responden. Tehnik pengambilan sampel
menggunakan purposive sampling. Uji statistik bivariat menggunakan uji Wilcoxon. Rata-rata
umur responden dalam penelitian ini adalah 28,54 tahun dengan jenis kelamin laki-laki 7 orang.
Tingkat pendidikan terbanyak SMP dengan jumlah 6 orang atau 46,2%. Pekerjaan responden
terbanyak yaitu tidak bekerja 8 orang atau 61,5%. Kemampuan sosialisasi sebelum dilakukan
intervensi TAK permainan kuartet tergolong kurang sebanyak 7 atau 53,8%. Sedangkan kemampuan
sosialisasi setelah dilakukan intervensi TAK permainan kuartet terjadi peningkatan dimana
kemampuan sosialisasi yang baik menjadi 10 orang (76,9%), dan penurunan pada kemampuan
sosialisasi yang kurang menjadi 1 orang (7,7%). Hasil uji statistik dengan uji Wilcoxon diperoleh nilai
p-value 0,003 atau (α<0,05). Ada pengaruh penerapan TAK : permainan kuartet terhadap
kemampuan sosialisasi pada pasien isolasi sosial di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa
Tengah.

Kata kunci : Kemampuan sosialisasi, TAK permainan kuartet, isolasi sosial.

THE EFFECT OF TAK IMPLEMENTATIONS : THE QUARTET GAMES


CONCERING WITH THE SOCIALIZATION SKILLS IN SOCIAL
ISOLATION PATIENTS

ABSTRACT
One of the negative skizofrenia indication is sosial isolation. The incidence of mental disorders
reached 2.3 per cent of the population. The steps which can be given for the patient's facilitate with
social relation problems for socializing gradually through group socialization activities in the form of
the group activity therapy using a quartet card. The aim of this study was to find out the effect of TAK
implementations : the quartet games concering with the socialization skills in social isolation patients
at RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Central Java. The types of this study is a quasy eksperimen with the
research design pre and post test without control. The sample with the sampling of technique
purposive sampling 13 respondence. The average age of respondents in this study is 28,54 years with
7 man. The highest of education is SMP (junior high school) with 6 person or 46,2%. The highest of
respondents work is a jobless 8 person or (61,5%). The socialization skills before the quartet quiz

63
64

game intervention were classified less than 7 or (53,8%). While for the socialization ability after the
quartet quiz game intervention was increased where the good socialization ability of 10 person
(76,9%), and the decrease in the socialisation ability was less than 1 person(7,7%). The result of
statistical test with wilcoxon obtained value p-value 0,003 or (α<0,05). There is the impactvof TAK :
quartet game on socialization skills in social isolation patients at RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Central
Java.

Keywords : Socialization skills, TAK quartet games, social isolation.

64
Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 7 No 1 Hal 61 - 70, Mei 2019

FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah

PENDAHULUAN Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr.


Kesehatan jiwa adalah kondisi jiwa seseorang RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah pada
yang terus tumbuh berkembang secara fisik, empat tahun terakhir ini terus mengalami
mental, spiritual, dan sosial serta peningkatan. Dalam satu tahun terakhir
mempertahankan keselarasan dalam terhitung pada bulan Januari 2017 sampai
pengendalian diri, serta terbebas dari stres dengan bulan Februari 2018 pasien yang
yang serius sehingga individu tersebut mengalami gangguan jiwa isolasi sosial di
menyadari kemampuan yang dimiliki dapat bangsal Dewandaru sebanyak 8 orang, bangsal
mengatasi tekanan dan mampu memberikan Flamboyan sebanyak 17 orang, bangsal
kontribusi untuk komunitasnya. Kesehatan Geranium sebanyak 12 orang, dan bangsal
jiwa bukan hanya tidak ada gangguan jiwa, Helikonia sebanyak 6 orang (Data Rekam
melainkan mengandung berbagai karakteristik Medis RSJD. Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi
yang positif yang menggambarkan keselarasan Jawa Tengah, 2018).
dan keseimbangan kejiwaan yang
mencerminkan kedewasaan pribadinya Pasien dengan isolasi sosial mengalami
(Menurut UU No. 18 Tahun 2014 Tentang gangguan dalam berinteraksi dan mengalami
Kesehatan Jiwa). perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan
orang lain, lebih menyukai berdiam diri, dan
Data World Health Organization (WHO) 2012, menghindar dari orang lain. Dalam mengatasi
terdapat sekitar 60 juta orang terkena bipolar, masalah gangguan interaksi pada pasien
47,5 juta orang terkena dimensia, 35 juta orang gangguan jiwa khususnya pasien isolasi sosial
terkena depresi, serta 21 juta orang terkena dapat dilakukan tindakan keperawatan dengan
skizofrenia. Dengan berbagai faktor penyebab tujuan untuk melatih pasien melakukan
seperti faktor biologis, faktor psikologis, dan interakasi sosial sehingga pasien merasa
faktor sosial. Hal tersebut menunjukkan bahwa nyaman ketika berhubungan dengan orang lain
masalah gangguan jiwa di dunia menjadi (Berhimpong, Sefty & Michael, 2016). Jika
masalah yang sangat serius dan menjadi isolasi sosial tidak teratasi maka akan
masalah kesehatan global. memberikan dampak seperti narcissisme atau
mudah marah, melakukan hal yang tak terduga
Menurut catatan hasil Riset Kesehatan Dasar atau impulsivity, memberlakukan orang lain
(Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan seperti objek, halusinasi, defisit perawatan diri
prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia dan yang paling fatal pasien melakukan bunuh
rata-rata sebesar 1,7 permil dari 1.027.763 diri (Purwanto, 2015).
penduduk atau sebanyak 1.728 jiwa.
Sedangkan angka kejadian gangguan jiwa di Langkah yang dapat dilakukan perawat dalam
daerah Jawa Tengah tergolong tinggi, dimana memberikan asuhan keperawatan kepada
totalnya adalah 2,3 permil dari jumlah pasien isolasi sosial secara komprehensif
penduduk. Apabila dilihat menurut provinsi, meliputi terapi individu, terapi kelompok, dan
prevalensi gangguan jiwa berat paling tinggi terapi keluarga maupun komunitas. Terapi
terjadi di Provinsi Daerah Istimewa aktivitas kelompok merupakan salah satu
Yogyakarta (DIY) dan Aceh yang tindakan keperawatan untuk pasien gangguan
menunjukkan 2,7 permil penduduk mengalami jiwa. Terapi ini adalah terapi yang
gangguan jiwa berat. pelaksanaannya merupakan tanggung jawab
penuh dari seorang perawat. Oleh karena itu
Berdasarkan data yang diambil dari hasil studi seorang perawat khususnya perawat jiwa harus
pendahuluan, di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi mampu melakukan terapi aktivitas kelompok
Provinsi Jawa Tengah pada bulan Maret 2018, secara tepat dan benar (Fauzan, 2011).
dari data Rekam Medik didapatkan bahwa data
pasien gangguan jiwa dengan Skizofrenia pada Terapi aktivitas kelompok menggunakan kartu
tahun 2015 sebanyak 751 jiwa, tahun 2016 kuartet merupakan salah satu terapi aktivitas
sebanyak 853 jiwa, tahun 2017 sebanyak 981 kelompok yang diberikan untuk memfasilitasi
jiwa, dan pada tahun 2018 sejak bulan Januari pasien dengan masalah hubungan sosial untuk
sampai Februari 365 jiwa. Jumlah pasien melakukan sosialisasi secara bertahap melalui

62
kegiatan permainan sosialisasi kelompok. pengaruh yang signifikan pada terapi aktivitas
Media kartu kuartet termasuk media dua kelompok sosialisasi terhadap kemampuan
dimensi dan media grafis. Kartu kuartet lebih komunikasi verbal pasien menarik diri.
dikenal sebagai suatu bentuk permainan kartu Sedangkan penelitian dari (Berhimpong, Sefty
yang dimainkan oleh dua sampai empat orang & Michael, 2016), yang meneliti tentang
pemain. Permainan kartu kuartet merupakan Pengaruh latihan keterampilan sosialisasi
salah satu permainan kartu yang dapat terhadap kemampuan berinteraksi pasien
digunakan untuk memotivasi dan isolasi sosial di RSJ Prof. Dr. V. L.
meningkatkan kemampuan berinteraksi. Ratumbuysang Manado, mendeskripsikan
Keberhasilan terapi aktivitas kelompok mengenai perbedaan tingkat kemampuan
permainan kuartet dapat dilihat dari sikap interaksi pada pasien isolasi sosial sebelum
pasien selama mengikuti kegiatan (Wiastuti & dan sesudah dilakukan latihan sosialisasi. Hasil
Mamnuah, 2011). ini menunjukkan bahwa H0 ditolak atau
terdapat pengaruh latihan sosialisasi terhadap
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh kemampuan berinteraksi pasien isolasi sosial.
peneliti kepada beberapa perawat jiwa yang
ada di RSJD Dr. RM Soedjarwadi Provinsi Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Jawa Tengah terapi yang diberikan kepada (Yusuf, Khoridatul & Yustina, 2009) yang
pasien isolasi sosial salah satunya yaitu terapi melakukan penelitian tentang Terapi Aktivitas
aktivitas kelompok, namun penerapan terapi Kelompok Sosialisasi (TAKS) sessi 6
aktivitas kelompok permainan kuartet masih meningkatkan kemampuan bekerjasama anak
jarang dilakukan walaupun media yang retardasi mental, dengan jumlah sampel 24
digunakan sudah tersedia. Alasan yang anak retardasi mental, menunjukkan hasil
diungkapkan oleh perawat diantaranya adalah penelitian pada kelompok perlakuan
keterbatasan waktu dan tenaga, karena pada mempunyai kemampuan sosialisasi cukup dan
shif pagi perawat sudah mempunyai peranan kurang masing-masing sebanyak 5 anak (50%)
tugas masing-masing. Terapi aktivitas dan kelompok kontrol menunjukan bahwa
kelompok yang sering diberikan kepada pasien sebagian besar memiliki kemampuan
meliputi latihan berkenalan, bercakap-cakap, sosialisasi kurang sebanyak 6 anak (60%) dan
bercerita, dan menulis pengalaman pribadi. cukup sebanyak 4 anak (40%). Dari semua
data yang didapat, maka peneliti tertarik untuk
Pemberian asuhan keperawatan dengan mengetahui lebih lanjut mengenai pengaruh
menerapkan terapi aktivitas kelompok penerapan TAK : permainan kuartet terhadap
sosialisasi juga perlu diterapkan pada pasien kemampuan sosialisasi pada pasien isolasi
isolasi sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi
pasien dalam melakukan interaksi sosial Jawa Tengah.
karena dengan pendekatan secara berkelompok
memungkinkan pasien untuk saling
mendukung, belajar menjalin hubungan
interpersonal, merasakan kebersamaan dan METODE
dapat memberikan masukan terhadap Jenis penelitian ini adalah quasy eksperimen
pengalaman masing-masing pasien, sehingga dengan desain penelitian pre and post test
dengan adanya latihan bersosialisasi secara without control, efektifitas perlakuan dimulai
kelompok terjadi peningkatan pada dengan cara membandingkan nilai post test
kemampuan pasien dalam bersosialisasi dengan pre test dan hanya melakukan
dengan orang lain (Syafrini, Budi & Yossie, intervensi pada satu kelompok tanpa
2015). pembanding (Dharma, 2011). Pada penelitian
ini populasinya adalah semua pasien
Hasil penelitian sebelumnya oleh Sunusi skizofrenia dengan isolasi sosial di ruang rawat
(2014), yang melakukan penelitian tentang inap Dewandaru, Flamboyan, Geranium, dan
Pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi Helikonia RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi
terhadap kemampuan komunikasi verbal Jawa Tengah pada bulan Januari tahun 2017
pasien menarik diri di rumah sakit daerah sampai bulan Februari tahun 2018 sebanyak 43
Madani Palu, didapatkan hasil bahwa ada pasien.Teknik sampel yang digunakan adalah
purposive sampling. Jumlah sampel pada
penelitian ini sebanyak 13 responden.
Pengambilan sampel sesuai dengan kriteria lembar observasi kemampuan sosialisasi
inklusi yaitu pasien yang mengalami isolasi sebanyak 15 item penyataan yang diisi
sosial yang sedang di rawat, batas umur 20-35 langsung oleh peneliti dan asisten peneliti
tahun, lama rawat 7-14 hari, sehat secara fisik, berdasarkan pengamatan pada responden.
dan mampu komunikasi dan sudah kooperatif, Penelitian ini menggunakan uji statistik
sedangkan kriteria eksklusi yaitu pasien Wilcoxon. Pada penelitian ini menggunakan
dengan isolasi sosial yang mengalami sakit taraf signifikansi sebesar 0,05.
fisik.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini


adalah lembar observasi TAK permainan HASIL
kuartet sebanyak 12 item pernyataan dan
Adapun karakteristik responden sebagai
berikut:

Tabel 1.
Rerata umur responden (n=13)
Umur Responden (Th)
Umur Min-Max Mean Modus SD
18-35 28,54 29 5,076
Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata umur
responden yaitu 28,54 ± 5,076.

Tabel 2.
Karakteristik responden (n=13)
Karakteristik Distribusi
f %
Jenis kelamin
Laki-laki 7 53,8
Perempuan 6 46,2
Pendidikan
SD/ Sederajat 2 15,4
SMP/ Sederajat 6 46,2
SMA/ Sederajat 4 30,8
Akademik/ Sederajat 1 7,7
Pekerjaan
Tidak Bekerja 8 61,5
Buruh 5 38,5

Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas jenis berpendidikan SMP/ atau sederajat, tidak
kelamin responden adalah laki-laki, bekerja

Tabel 3.
Kemampuan Sosialisasi Pasien Isolasi Sosial sebelum dan sesudah penerapan TAK Permainan
Kuartet (n=13)
Kemampuan Sosialisasi Sebelum Sesudah
f % f %
Kurang 7 53,8 1 7,7
Sedang 6 46,2 2 15,4
Baik 0 0 10 76,9
Tabel 3 menunjukkan mayoritas kemampuan intervensi TAK Permainan Kuartet mayoritas
sosialisasi sebelum dilakukan intervensi TAK responden mempunyai kemampuan sosialisasi
Permainan Kuartet mempunyai kemampuan baik.
sosialisasi kurang dan sesudah dilakukan
Tabel 4.
Hasil Analisis Bivariat Pengaruh Penerapan TAK Permainan Kuartet Terhadap Kemampuan
Sosialisasi Pada Pasien Isolasi Sosial (n=13)
Kemampuan Sosialisasi

TAK Sebelum Sesudah


Kuran Sedang Baik Total Kurang Sedang Baik Total
g
f % f % f % f % f % f % f % f % P
Belum 2 15,4 2 15,4 0 0 4 30,8 1 7,7 1 7,7 2 15,4 4 30,8 Value
Mampu 0,003
Mampu 5 38,4 4 30,8 0 0 9 69,2 0 0 1 7,7 8 61,5 9 69,2

Hasil analisa dengan uji Wilcoxon test diperoleh nilai p–value = 0,003 (α<0,05), sehingga terdapat
berbedaan kemampuan sosialisasi antara pre dan post Penerapan TAK Permainan Kuartet yang berarti
bahwa Ho ditolak dan Ha diterima sehingga ada Pengaruh Penerapan TAK Permainan Kuartet terhadap
kemampuan sosialisasi pada pasien Isolasi Sosial di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah.

PEMBAHASAN
Umur
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua responden berada dalam rentang umur dewasa muda,
diperoleh bahwa rata-rata umur responden pada tabel 1 adalah 28,54 tahun. Hasil ini didukung oleh
Efendi, Surya., Atih Rahayuningsih & Wan Muharyati (2012), mayoritas responden dengan riwayat isolasi
sosial berumur 25 – 40 tahun (dewasa akhir) sebanyak 6 orang (60%). Hampir 90% pasien yang
mengalami pengobatan skizofrenia berumur antara 15 – 55 tahun (Kaplan & Sadock, 2010). Umur
berhubungan dengan pengalaman seseorang dalam menghadapi berbagai macam stresor, kemampuan
memanfaatkan sumber dukungan dan keterampilan dalam mekanis mekoping.

Wakhid, Hamid dan Daulima (2013), Individu dalam kehidupannya memiliki tugas-tugas perkembangan
sesuai tingkat umurnya. Tugas perkembangan yang tidak dapat diselesaikan dengan baik dapat menjadi
stresor untuk perkembangan berikutnya dan jika stresor tersebut menumpuk sangat berisiko mengalami
gangguan jiwa. Kondisi tersebut akan menyebabkan individu merasa rendah diri dan
apabila berlangsung lama akan menjadi harga diri rendah kronis.
Hal ini disebabkan pada masa dewasa merupakan masa kematangan dari aspek kognitif, emosi, dan
perilaku. Kegagalan yang dialami seseorang untuk mencapai tingkat kematangan tersebut akan sulit
memenuhi tuntutan perkembangan pada umur tersebut dapat berdampak terjadinya gangguan jiwa
(Yusuf, 2010). Pendapat tersebut didukung oleh Stuart (2009) yang menyatakan bahwa umur
merupakan aspek social budaya terjadinya gangguan jiwa dengan risiko frekuensi tertinggi mengalami
gangguan jiwa yaitu pada umur dewasa.

Jenis kelamin
Tabel 2 menunjukkan bahwa jenis kelamin responden pada penelitian ini sebagian besar adalah laki-
laki sebanyak 7 orang (53,8%). Hasil ini didukung oleh penelitian Berhimpong, Eyvin., Sefty Rompas
& Michael Karundeng (2016) yang menyatakan bahwa laki-laki lebih mungkin memunculkan gejala
negatif dibandingkan perempuan dan perempuan tampaknya memiliki fungsi sosial yang lebih baik
daripada laki-laki. Dalam penelitian ini responden dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 17
orang (56,7%)
danjeniskelaminperempuansebanyak 13 orang
(43,3%).

Jenis kelamin merupakan bagian dari aspek sosial budaya faktor predisposisi dan presipitasi terjadinya
gangguan jiwa. Fausiah & Widury, (2005) dalam penelitiannya yang menunjukkan bahwa laki-laki
lebih mungkin memunculkan gejala negatif dibandingkan wanita dan wanita tampaknya memiliki
fungsi sosial yang lebih baik daripada laki-laki.
Didukung pula oleh pendapat Sinaga (2007), Hasil ini didukung oleh pernyataan
yang menyatakan prevalensi Skizofrenia Lesmanawati (2012) yang menyatakan bahwa
berdasarkan jenis kelamin, ras dan budaya pasien yang memiliki pekerjaan cenderung
adalah sama. Dimana wanita cenderung akan lebih memperhatikan kualitas
mengalami gejala yang lebih ringan, lebih kesehatannya dibandingkan pasien yang tidak
sedikit rawat inap dan fungsi sosial yang lebih memiliki pekerjaan. Townsend (2009)
baik di komunitas dibandingkan dengan laki- menyatakan bahwa salah satu faktor sosial
laki. Laki-laki lebih banyak mengalami isolasi yang menyebabkan tingginya angka gangguan
sosial karena disebabkan tuntutan terhadap jiwa termasuk skizofrenia adalah tingkat sosial
tanggung jawab atau peran yang harus ekonomi rendah. Yosep (2010), menjelaskan
dipenuhi seorang laki-laki didalam keluarga bahwa seseorang akan mengalami gangguan
lebih tinggi disbanding perempuan, sehingga jiwa atau penyimpangan perilaku apabila
stresor yang dialami juga lebih banyak. banyaknya faktor sosial di lingkungan yang
akan memicu munculnya stres pada seseorang.
Pendidikan
Tabel 2 menunjukkan bahwa pendidikan Kemampuan Sosialisasi Sebelum Perlakuan
responden pada penelitian ini sebagian besar Berdasarkan tabel 3 kemampuan sosialisasi
adalah SMP sebanyak 6 orang (46,2%). Hasil pada pasien isolasi sosial sebelum diberikan
ini didukung oleh penelitian Wakhid, Hamid, TAK Permainan Kuartet sebanyak 6 orang
dan Daulima (2013) menyatakan bahwa (46,2%) sedang dan 7 orang (53,8%)
tingkat pendidikan sangat mempengaruhi cara kemampuan sosialisasi kurang. Hasil ini
individu berperilaku, membuat keputusan dan didukung oleh penelitian Sunusi, Happy
memecahkan masalah, serta mempengaruhi Cahyani (2014), yang mengasumsikan bahwa
cara penilaian klien terhadap stresor. Dalam masih banyaknya komunikasi verbal yang
penelitian ini, tingkat pendidikan dibagi tidak baik karena belum terbina hubungan
kedalam empat kategori, yaitu SD/Sederajat saling percaya antara peneliti dan klien
(15,4%), SMP/ Sederajat (46,2%), SMA/ sehingga klien tidak mau berkomunikasi.
Sederajat (30,8%), dan Akademik/ Sederajat
(7,7%). Keliat (2010) juga menambahkan bahwa pada
awalnya mungkin klien hanya akrab dengan
Johannes (2008) menyatakan bahwa tingkat perawat, tetapi setelah itu perawat harus
pendidikan seseorang mempengaruhi daya membiasakan klien untuk dapat berinteraksi
tahannya dalam menghadapi stres. Seseorang secara bertahap dengan orang-orang
yang berpendidikan rendah lebih mudah disekitarnya. Intervensi yang konsisten akan
mengalami gangguan psikologis, karena selalu meningkatkan kemampuan klien dalam
mengalami kesulitan dalam menerima keadaan berkomunikasi. Hal ini juga dipengaruhi oleh
dirinya. Hal tersebut berdampak terhadap penguatan berupa pujian yang diberikan atas
terjadinya gangguan jiwa. Makin tinggi tingkat hasil yang telah dicapai klien yang juga
pendidikan seseorang makin tinggi semakin memotivasi klien untuk mau
keberhasilannya melawan stres. Orang yang bergabung dengan klien lainnya.
pendidikannya tinggi lebih mampu mengatasi
masalah daripada orang yang pendidikannya Kemampuan Sosialisasi Sesudah Perlakuan
rendah. Pendidikan bagi seseorang merupakan Setelah diberikan TAK Permainan Kuartet
pengaruh dinamis dalam perkembangan dapat dilihat pada tabel 4.6 kemampuan
jasmani, jiwa, perasaan sehingga tingkat sosialisasi pada pasien isolasi sosial terjadi
pendidikan yang berbeda akan member jenis peningkatan dimana kemampuan sosialisasi
pengalaman yang berbeda juga. yang baik 10 orang (76,9%), kemampuan
sosialisasi yang sedang 2 orang (15,4%), dan
Pekerjaan penurunan pada kemampuan sosialisasi yang
Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan kurang menjadi 1 orang (7,7%). Hal ini terjadi
pada tabel 2 menyebutkan bahwa sebagian karena sudah terbina hubungan yang baik dan
besar responden penelitian ini mayoritas akrab antara peneliti dan responden. Sesuai
dahulunya tidak bekerja atau bahkan dengan teori Budyatna & Ganiem (2011) yang
mengalami kehilangan pekerjaan (61,5%). mengatakan bahwa hubungan akrab ditandai
Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 7 No 1 Hal 61 - 70, Mei 2019

FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah


dengan keramatamahan dan kasih sayang, meningkatkan kemampuan bekerja sama.
kepercayaan, pengungkapan diri, dan tanggung Pelaksanaan TAK permainan kuartet bertujuan
jawab. untuk meningkatkan kemampuan interaksi,
Hubungan akrab yang terjalin antar peneliti bersosialisasi, dan berkerja sama khususnya
dan klien disebabkan karena peneliti dan klien bagi pasien isolasi sosial (Efendi, Atih & Wan
sudah menghabiskan waktu bersama-sama Muharyati (2012).
cukup lama yaitu ± 7 hari sehingga klien
merasa peneliti seperti teman sendiri dan Wiastuti & Mamnuah, (2011), menjelaskan
muncul rasa sayang, kepercayaan sehingga keberhasilan TAK permainan kuartet dapat
dapat menceritakan pengalaman pribadi dan dilihat dari sikap pasien selama mengikuti
juga rasa tanggung jawab untuk tetap menjaga kegiatan. Sikap pasien yang akan
hubungan bertemanan. Hal ini sesuai dengan mempengaruhi yaitu apakah pasien kooperatif,
teori Budyatna & Ganiem (2011) yang pasien mengikuti kegiatan dari awal sampai
mengatakan bahwa satu cara sahabat selesai, adanya komunikasi dan kontak sosial
menyatakan kesukaannya ialah melalui cara selama kegiatan, sebaliknya apabila pasien
menghabiskan waktu bersama-sama entah tidak kooperatif, menarik diri, menghindar dari
jalan-jalan atau ngobrol. kelompok, menyendiri, komunikasi kurang,
dan tidak ada kontak sosial maka keberhasilan
Sunusi, Happy Cahyani (2014), beranggapan TAK sangat minim.
bahwa peningkatan kemampuan komunikasi
verbal pada klien menarik diri setelah Pengaruh Penerapan TAK Permainan
dilakukan TAK juga bisa terjadi karena selama Kuartet Terhadap Kemampuan Sosialisasi
proses TAK melibatkan banyak orang dalam Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa uji
satu kelompok sehingga klien dapat Wilcoxon test diperoleh nilai p–value = 0,003
mengutarakan perasaan dan pikiran kepada (α<0,05), yang berarti Ha diterima dan Ho
teman-teman dalam satu kelompok kemudian ditolak sehingga ada pengaruh Penerapan TAK
teman-teman dalam satu kelompok bisa Permainan Kuartet Terhadap Kemampuan
memberikan respon yang positif setelah klien Sosialisasi Pada Pasien Isolasi Sosial di RSJD
mengutarakaanya. DR. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah.
Hasil ini didukung oleh penelitian
Hasil ini berarti bahwa kebanyakan pasien Berhimpong, Eyvin; Sefty Rompas & Michael
skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Karundeng (2016), dengan judul Pengaruh
RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah Latihan Keterampilan Sosialisasi Terhadap
sebelum diberikan TAK Permainan Kuartet Kemampuan Berinteraksi Klien Isolasi Sosial
mempunyai tingkat kemampuan sosialisasi di RSJ Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado
tergolong kurang. Penelitian ini dilakukan yang menyatakan ada pengaruh kemampuan
dengan memberikan TAK Permainan Kuartet. berinteraksi pasien isolasi sosial, dari jumlah
Hasil observasi pada saat pelaksanaan pasien yang mampu sebelum diberikan latihan
penelitian, terdapat 13 pasien yang mengikuti keterampilan sosialisasi sebesar 30,0%,
prosedur TAK secara lengkap mulai dari tahap menjadi 83,3% setelah diberikan latihan
persiapan sampai terminasi. TAK dalam keterampilan sosialisasi.
penelitian ini dilaksanakan tujuh hari berturut-
turut. Kemampuan sosialisasi pada pasien Penelitian Bachtiar (2010) dengan judul
isolasi sosial setelah diberikan TAK permainan Pengaruh TAK Sosialisasi Terhadap
kuartet mengalami peningkatan yaitu menjadi Kemampuan Pasien Berinteraksi Sosial Rumah
76,9% . Sakit Khusus Daerah di Provinsi Sulawesi
Selatan menunjukkan kemampuan berinteraksi
Hasil ini menunjukkan bahwa TAK sosialisasi sosial responden sebelum dilakukan intervensi
permainan kuartet merupakan suatu bentuk TAK memiliki nilai mean + Std. Deviasi yaitu
terapi yang digunakan untuk memfasilitasi 5,83 + 0,82 dan kemampuan setelah TAK yaitu
pasien dengan masalah hubungan sosial untuk 9,75 + 1,871. Hasil analisa menunjukkan
melakukan sosialisasi secara bertahap melalui adanya pengaruh yang signifikan dari TAK
kegiatan permainan sosialisasi kelompok Sosialisasi terhadap kemampuan berinteraksi
menggunakan media kartu kuartet untuk sosial dengan p=0,000.

67
Dr. RM. SoedjarwadiProvinsiJawa Tengah
Pemberian TAK memiliki dampak terhadap
interaksi sosial pada pasien isolasi sosial
seperti hasil yang tertera pada tabel 4.7.
dengan pemberian TAK permainan kuartet
secara rutin pasien dapat meningkatkan
interaksi dengan orang lain tanpa merasa takut.
Dukungan dari keluarga sangat diperlukan,
agar pasien merasa dirinya dihargai dan
dibutuhkan. Dukungan dari keluarga ini juga
dapat membantu pasien mau mengikuti TAK
permainan kuartet dan pasien dapat
bersosialisasi didalam kelompok maupun
lingkungannya saat pulang nanti.

Berdasarkan hasil observasi, saat diberikan


TAK permainan kuartet pasien lebih banyak
berkomunikasi dengan lingkungannya.
Dikarenakan saat prosedur melakukan TAK
permainan kuartet pasien harus
memperkenalkan diri, meminta kartu dengan
sopan, mengucapkan terimakasih saat diberi
kartu, dan membacakan isi dari kartu yang
dimiliki kepada kelompok. TAK permainan
kuartet juga dilakukan secara berkelompok
untuk memfasilitasi pasien dalam
bersosialisasi, sehingga TAK permainan
kuartet yang diberikan peneliti dapat
meningkatkan kemampuan sosialisasi pada
pasien isolasi sosial.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Karakteristikrespondendalampenelitian ini
adalah rerata berumur 28,54 tahun, dengan
jenis kelamin terbanyak yaitu laki-laki 7 orang
atau 53,8%. Tingkat pendidikan responden
paling banyak adalah SMP/Sederajat 6 orang
atau 46,2%, sedangkan pekerjaan responden
terbanyak yaitu tidak bekerja 8 orang atau
61,5%. Pasien isolasi sosial di RSJD Dr. RM.
Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah sebelum
diberikan TAK permainan kuartet sebagian
besar mempunyai kemampuan sosialisasi
kurang sebanyak 7 orang atau 52,8%. Pasien
isolasi sosial di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi
Provinsi Jawa Tengah sesudah diberikan TAK
permainan kuartet sebagian besar mempunyai
kemampuan sosialisasi baik sebanyak 10 orang
atau 76,9%. Ada pengaruh penerapan TAK
permainan kuartet terhadap kemampuan
sosialisasi pada pasien isolasi sosial di RSJD
secarastatistikdengansignifikan (p-value 0,003 Pemberian Terapi AKtivitas Kelompok
atau α<0,05). Sosialisasi Terhadap Perubahan Perilaku
Klien Isolasi Sosial. NERS JURNAL
KEPERAWATAN Vol. 8, No 2,
Desember 2012 : 105-114. Available
Saran
from :
Pemberian asuhan keperawatan dengan
https://scholar.google.co.id/scholar?hl=i
menerapkan terapi aktivitas kelompok
d&as_sdt=0%2C5&q=Pengaruh++Pemb
sosialisasi dengan permainan kuartet perlu
diterapkan pada pasien isolasi sosial untuk
meningkatkan kemampuan pasien dalam
melakukan interaksi sosial sehingga pasien
dapat saling mendukung, belajar menjalin
hubungan interpersonal,
merasakan kebersamaan
dan dapat memberikan masukan terhadap
pengalaman masing-masing pasien,
sehingga kemampuan pasien dalam
bersosialisasi dengan orang lain dapat
meningkat.

DAFTAR PUSTAKA
Berhimpong, Eyvin., Sefty Rompas &
Michael Karundeng. 2016.Pengaruh
Latihan Keterampilan Sosialisasi
Terhadap Kemampuan Berinteraksi
Klien Isolasi Sosial Di Rsj Prof. Dr.
V. L. Ratumbuysang Manado.E-
Journal Keperawatan (EKP) Vol. 4
No. 1 Februari 2016. Available from
:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.ph
p/jk p/article/view/11282. [Diakses :
23 Februari 2018].

Departemen Kesehatan Republik


Indonesia. 2015.
Available from :
http://www.depkes.go.id/resources/d
ow nload/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/profil-kesehatan-
Indonesia- 2015.pdf. [Diakses : 18
Maret 2018].

Dharma, Kelana Kusuma. 2011.


Metodelogi Penelitian Keperawatan
Panduan Pelaksanaan dan
Menerapkan Hasil Penelitian.
Jakarta : Trans Info Media.

Efendi, Surya., Atih Rahayuningsih &


Wan Muharyati. 2012. Pengaruh
erian+Terapi+Akti+v+itas+Kelompok+ pgsd/article/view/3020/1767. [Diakses :
Sosialis+asi+Terhadap++Perubahan+Per 20 Februari 2018].
ilaku++Klien+Isolasi+Sosial++Surya+E
fendi+a+%2C+&btnG=. [Diakses : 23 Sugiyono. 2014. Metode Penelitian
Maret 2018].
Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D.
Fauzan. 2011. Program Terapi Aktifitas Bandung : Alfabeta.

Kelompok. Available from : . 2016. Metode Penelitian Kombinasi

http//ilmukeperawatan.co.id. [Diakses : Tahunan Dan Bulanan. Tidak


12 Maret 2018]. Dipublikasikan

Keliat, Budi Anna & Akemat, P. 2011. Proses Setiyorini, Indah &M. Husni Abdullah. 2012.
Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC. Penggunaan Media Permainan Kartu Kuartet
Pada Mata Pelajaran Ips Untuk Peningkatan
Hasil Belajar Siswa Di Sekolah Dasar.
. 2014. Keperawatan JPGSD Vol. 01 No. 02 2013, 0-216.
Jiwa : Terapi Aktivitas Kelompok, Ed. 2. Available from :
http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index
Jakarta : EGC. .php/jurnal-penelitian-

Kementerian Kesehatan RI. 2016. Pedoman


Umum Program Indonesia Sehat dengan
Pendekatan Keluarga.
Jakarta:Kementerian Kesehatan
RI. Available
from :
http://www.depkes.go.id/resources/dow
nload/lain/Buku%20Program%20Indone
sia%20Sehat%20dengan%20Pendekatan
%20Keluarga.pdf. [Diakses : 28
Februari 2018].

Purwaningsih, Wahyu & Ina Karlina. 2010.


Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta

: Nuha Medika.

Riskesdas. 2013. Hasil Riskesdas 2013.


Jakarta: Badan Peneliti
dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian RI. Available
from :
http://www.depkes.go.id/resources/do
w nload/general/Hasil%20Riskesdas
%202 013.pdf. [Diakses : 28 Februari
2018].

RS Jiwa. (2018). Rekam Medik. Rumah Sakit


Jiwa Daerah Dr. RM. Soedjarwadi
Provinsi Jawa Tengah. Laporan
(Mixed Methods). Bandung : Alfabeta. Ghrasia Provinsi DIY. Available from :

Sunaryo. 2015. Sosiologi Untuk Keperawatan.

Jakarta : Bumi Medika.

Sunusi, Happy Cahyani. 2014. Pengaruh


Terapi Aktivitas Kelompok
Sosialisasi Terhadap Kemampuan
Komunikasi Verbal Klien Menarik
Diri Di Rumah Sakit Daerah Madani
Palu. Available from :
http://repository.uksw.edu/handle/1
2345 6789/12083. [Diaskes : 7
Maret 2018].

Syafrini, Retty Octi., Budi Anna Keliat &


Yossie Susanti Eka Putri. 2015.
Efektivitas Implementasi Asuhan
Keperawatan Isolasi Sosial Dalam
Mpkp Jiwa Terhadap Kemampuan
Klien. Jurnal Ners Vol. 10 No. 1
April 2015: 175–182.Available from
: https://e-
journal.unair.ac.id/JNERS/article/vie
w/2 112/1569. [Diakses : 1 Maret
2018].

Townsend, M. C. (2009). Psychiatric


Mental Health Nursing: Consepts Of
Care In Evidence-Based Practice.
Philadelphia: FA. Davis.

Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 18 Tahun 2014 Tentang
Kesehatan Jiwa. Available from
:
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/
arsi p/ln/2014/uu18-2014bt.pdf.
[Diakses : 25 Februari 2018]..

WHO. Mental Health System in Jamaica.


[online]; 2012 [cited 2014 July 10.
Availabe from:
http://www.who.int/bulletin/ :
diakses Maret 2018.

Wiastuti, Arni & Mamnuah. 2011.


Pengaruh Terapi Aktivitas
Kelompok Sosialisasi Terhadap
Kemampuan Sosialisasi Pada Pasien
Isolasi Sosial Di Rumah Sakit
http://digilib.unisayogya.ac.id/990/1/NA Yusuf, Ah; Khoridatul Bahiyah & Yustina
SKAH%20PUBLIKASI%20ARNI%20 Barek Ola. 2009. Terapi Aktivitas
WIASTUTI%20%28070201145%29.pd Kelompok Sosialisasi (TAKS) Sessi 6
f. [Diakses : 15 Februari 2018]. Meningkatkan Kemampuan
Bekerjasama Anak Retardasi Mental.
Wiyati, Ruti; Dyah Wahyuningsih & Esti Dwi Available from :
Widayanti. 2010. Pengaruh http://eprints.ners.unair.ac.id/id/eprint/6
Psikoedukasi Keluarga Terhadap 27. [Diakses : 6 Maret 2018].
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat
Klien Isolasi Sosial. Jurnal ; Rizky Fitryasari PK & Hanik Endang
E-Journal Keperawatan (EKP) Volome 4 Nomor 1, Februari
2016
Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing) Vol. 5 No. 2, Juli 2010. Available
from : http://www.jks.fikes.unsoed.ac.id/index. php/jks/article/view/275/150. [Diakses : 03
Maret 2018].

Yosep, Iyus & Titin Sutini. 2016. Buku Ajar Keperawatan Jiwa Dan Advance Mental Health Nursing.
Bandung : Refika Aditama.

1
E-Journal Keperawatan (EKP) Volome 4 Nomor 1, Februari
2016
Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika.

2
E-Journal Keperawatan (EKP) Volome 4 Nomor 1, Februari
2016

PENGARUH LATIHAN KETERAMPILAN SOSIALISASI TERHADAP


KEMAMPUAN BERINTERAKSI KLIEN ISOLASI SOSIAL
DI RSJ Prof. Dr. V. L. RATUMBUYSANG MANADO

Eyvin Berhimpong
Sefty Rompas
Michael Karundeng

Program Studi Ilmu


Keperawatan Fakultas
Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi
Email :
eyvinberhimpong@yahoo.com

Abstract : Socialization skilss training are given to patients with impaired social isolation to
practice their skills in relationships with others and the environment optimally that have aims to
teach the patients ability to interact with others. The aim of this research is is to know the effect
of socialization skills training to the interaction of social pateints’ ability. This research method is
using the design / pre-experimental study design one group pre test post test. The results is using
wilcoxon signed rank test with significant value is 0,000 or less than the significant value of 0,05
(0,00 < 0, 005). Conclusion from the results of this research showed that there is an influence of
socialization skills training to interaction capability of social isolation patient in Prof. Dr. V. L.
Ratumbuysang Manado. Suggestions socialization skills training can be used as one of the
independent actions of nurses in improving the quality of health services to the interaction
capability of social isolation patient.

Keywords : Socialization Skills Training, Ability Interact, Social Isolation

Abstrak : Latihan keterampilan sosialisasi diberikan pada pasien dengan gangguan isolasi sosial
untuk melatih keterampilan dalam menjalin hubungan dengan orang lain dan lingkungan secara
optimal bertujuan untuk mengajarkan kemampuan berinteraksi seseorang dengan orang lain.
Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh latihan keterampilan sosialisasi terhadap
kemampuan berinteraksi klien isolasi sosial. Metode penelitian ini menggunakan rancangan/desain
penelitian pra eksperimental one group pre test post test, Sampel dengan teknik pengambilan
sampel total sampling 30 responden. Hasil penelitian dengan menggunakan uji wilcoxon signed
rank testdengan nilai signifikan adalah 0,000 atau lebih kecil dari nilai signfikan 0,05 (0,00 <
0,05). Kesimpulan hasil penelitian ini menunjukan adanya pengaruh latihan keterampilan
sosialisasi terhadap kemampuan berinteraksi klien isolasi sosial di Rumah Sakit Prof. Dr. V. L.
Ratumbuysang Manado. Saran latihan keterampilan sosialisasi dapat dijadikan sebagai salah satu
tindakan mandiri perawat dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan terhadap kemampuan
berinteraksi klien isolasi sosial.

3
E-Journal Keperawatan (EKP) Volome 4 Nomor 1, Februari
2016
Kata kunci : Latihan keterampilan sosialisasi, kemampuan berinteraksi, isolasi sosial
PENDAHULUAN orang lain. Salah satu tidakan keperawatan
Dewasa ini kesehatan jiwa menjadi tersebut yang termasuk kelompok terapi
masalah kesehatan yang sangat serius dan psikososial adalah social skills training(SST).
memprihatinkan. Menurut World Health Latihan ketrampilan sosial atau yang sering
Organization WHO dikutip dalam disebut dengan SST(Social Skill
Iyus,Sutini, 2014 Kesehatan jiwa bukan Training)diberikan pada pasien dengan
hanya tidak ada gangguan jiwa, melainkan gangguan isolasi sosial untuk melatih
mengandung berbagai karakteristik yang keterampilan dalam menjalin hubungan
positif yang menggambarkan keselarasan dan dengan orang lain dan lingkungannya secara
keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan optimalbertujuan untuk mengajarkan
kedewasaan pribadinnya. WHO (2013) kemampuan berinteraksi seseorang dengan
menyatakan lebih dari 450 juta orang dewasa orang lain.
secara global diperkirakan mengalami
gangguan jiwa. Dari jumlah itu hanya kurang Dari data rekam medik di Rumah
dari separuh yang bisa mendapatkan Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang
pelayanan yang dibutuhkan. Menurut data Manado, jumlah pasien skizofrenia sebanyak
kementerian Kesehatan tahun 2013 jumlah 129 orang dan pasien isolasi sosial yang
penderita gangguan jiwa di Indonesia lebih dirawat sampai pada bulan September 2015
dari 28 juta orang dengan kategori gangguan sebanyak 34 Jiwa. Berdasarkan pemaparan
jiwa ringan 14,3% dan 17% atau 1000 orang diatas, penulis merasa tertarik untuk
menderita gangguan jiwa berat. Di banding mengetahui bagaimana Pengaruh Latihan
rasio dunia yang hanya satu permil, Keterampilan Sosialisasi Terhadap
masyarakat Indonesia yang telah mengalami Kemampuan Berinteraksi Klien Isolasi Sosial
gangguan jiwa ringan sampai berat telah di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L.
mencapai 18,5% (Depkes RI, 2009). Ratumbuysang Manado.

Kemunduran fungsi sosial dialami METODE PENELITIAN


seseorang di dalam diagnosa keperawatan Rancangan penelitian yang digunakan dalam
jiwa disebut isolasi sosial. Isolasi sosial penelitian ini adalah rancangan/desain
merupakan keadaan dimana seseorang penelitianpra eksperimental one group pre
individu mengalami penurunan atau bahkan test post test.Populasi dalam penelitian ini
sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan adalah seluruh pasien isolasi sosial yang
orang lain disekitarnya (Yosep,Sutini, 2014). dirawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L.
Pasien dengan isolasi sosial mengalami Ratumbuysang Manado yang berjumlah 30
gangguan dalam berinteraksi dan mengalami orang.Teknik pengambilan sampel adalah
perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan total populasi yaitu mengambil keseluruhan
orang lain, lebih menyukai berdiam diri, dan populasi untuk dijadikan sampel. Sampel
menghindar dari orang lain. pada penelitian ini adalah 30 sampel pasien
isolasi sosial.
Manusia merupakan makhluk sosial
yang tak lepas dari sebuah keadaan yang HASIL dan PEMBAHASAN
bernama interaksi dan senantiasa melakukan Tabel 1. Distribusi Berdasarkan Jenis
hubungan dan pengaruh timbal balik dengan Kelamin Responden
manusia yang lain dalam rangka memenuhi Jenis Kelamin n %
kebutuhan dan mempertahankan Laki-Laki 17 56,7
kehidupannya. Dalam mengatasi masalah Perempuan 13 43,3
gangguan interaksi pada pasien gangguan merasa nyaman ketika berhubungan dengan
jiwa khususnya pasien isolasi sosial dapat
dilakukan upaya – upaya tindakan
keperawatan bertujuan untuk melatih klien
melakukan interkasi sosial sehingga klien
4
E-Journal Keperawatan (EKP) Volome 4 Nomor 1, Februari
2016
Total 30 100 Sumber: Data Primer 2016

Tabel 2. Distribusi Berdasarkan Umur diketahui bahwa nilai signifikansi adalah


Responden 0,000 atau lebih kecil dari nilai signifikasi
Umur n % 0,05 (0,000 < 0,005). Dari nilai diatas maka
<40 Tahun 13 43,3 dapat diambil kesimpulan yaitu H0 ditolak
>41 Tahun 17 56,7 atau terdapat pengaruh latihan sosialisasi
Total 30 100 terhadap kemampuan berinteraksi klien
isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.
Sumber: Data Primer 2016
V. L. Ratumbuysang Manado.

A. Karakteristik Responden
Tabel 3. Distribusi Berdasarkan Lama Rawat Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
Responden responden terbanyak adalah responden
Lama Rawat n %
< 10 Tahun 25 83,3 dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebesar
>11 Tahun 5 16,7 17 orang (56,7%), sedangkan responden
Total 30 100 perempuan sebanyak 13 orang
Sumber: Data Primer 2016 (43,3%).Kaplan, Saddock, dan Grebb
(1999); Davidson dan Neale (2001); dalam
Wakhid, Hamid, dan Helena (2013) dalam
Tabel 4. Distribusi Berdasarkan Kemampuan penelitiannya menunjukkan bahwa laki-laki
Berinteraksi Sebelum Latihan Keterampilan lebih mungkin memunculkan gejala negatif
Sosialisasi dibandingkan wanita dan wanita tampaknya
memiliki fungsi sosial yang lebih baik
Kemampuan Berinteraksi n %
Tidak Mampu 27 90,0 daripada laki-laki.
Mampu 3 30,0 Berdasarkan kriteria umur, responden
Total 30 100 yang berumur 41 tahun ke atas adalah
Sumber: Data Primer 2016 sebanyak 17 orang sedangkan responden
yang berumur kurang dari 40 tahun
sebanyak 13 orang (43,3%).Menurut
Tabel 5. Distribusi Berdasarkan Kemampuan Wakhid, Hamid dan Helena (2013), masa
Berinteraksi Setelah Latihan Keterampilan dewasa merupakan masa kematangan dari
Sosialisasi aspek kognitif, emosi dan perilaku.
Kemampuan Berinteraksi N % Kegagalan yang dialami
Tidak Mampu 5 16,7 seseorang untuk mencapai tingkat
Mampu 25 83,3 kematangan tersebut akan sulit memenuhi
Total 30 100 Maksimum) Sebelum
Sumber: Data Primer 2016

Tabel 6. Pengaruh Latihan Sosialisasi


Terhadap Kemampuan Berinteraksi Sosial
Klien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa
Prof.
dr. V. L. Ratumbuysang Manado.

Median
n (Minimum – p-value

5
E-Journal Keperawatan (EKP) Volome 4 Nomor 1, Februari
2016
tuntutan perkembangan pada usia tersebut responden responden yang dirawat kurang
dapat berdampak terjadinya gangguan jiwa. dari 10 tahun adalah sebanyak 25 orang
Usia dewasa merupakan aspek sosial budaya (83,3%), sedangkan responden yang dirawat
dengan frekuensi tertinggi mengalami lebih dari 11 tahun sebanyak 5 orang
gangguan jiwa. (16,7%).Menurut Surtiningrum (2011),
Berdasarkan kriteria lama dirawat,
Latihan 30 1 (0-10) waktu atau lamanya seseorang terpapar
Sesudah 30 10 (0-10) 0,000 stressor akan memberikan dampak terhadap
Latihan keterlambatan dalam mencapai kemampuan
Sumber: Data Primer 2016 dan kemandirian.

Berdasarkan hasil analisis


dengan menggunakan
uji Wilcoxon Signed Rankdapat
B. Pengaruh Latihan Sosialisasi Terhadap meningkatkan kemampuan
Kemampuan Berinteraksi Klien Isolasi bersosialisasi pada pasien isolasi sosial di RS
Sosial Ghrasia Provinsi DIY.

Berdasarkan hasil analisis dengan Latihan keterampilan sosial berisi diskusi


menggunakan uji Wilcoxon Signed tentang penyebab isolasi sosial, diskusi
Rankmenyatakan bahwa nilai signifikansi tentang keuntungan bersosialisasi dan
adalah 0,000 atau lebih kecil dari nilai kerugian tidak bersosialisasi serta latihan-
signifikasi 0,05 (0,000 < 0,005). Dari nilai latihan berkenalan dengan satu orang atau
diatas maka dapat diambil kesimpulan yaitu lebih dari satu orang. Dari hasil diskusi
H0 ditolak atau terdapat pengaruh penerapan didapatkan rata-rata klien mengatakan
latihan sosialisasi terhadap kemampuan penyebab menarik diri yaitu karena malas
berinteraksi klien isolasi sosial di Rumah bersosialisasi dan mengatakan bahwa orang
Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang lain berbuat jahat pada dirinya. Klien juga bisa
Manado. menyebutkan keuntungan bersosialisasi dan
kerugian tidak bersosialisasi dengan orang
Penelitian ini sejalan dengan penelitian lain. Klien melakukan latihan
yang dilakukan oleh Dewi Rahmadani Lubis
(2011) di Ruang Kamboja RSJ Daerah
Provinsi Sumatera Utara Medan dengan
jumlah responden sebesar 7 orang. Dari hasil
uji statistik menggunakan Paired Sample T
Test diperoleh nilai p=0,000 (p < 0,05), maka
dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh
Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi
Latihan Keterampilan Sosial terhadap
kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial.
Penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Arni Wiastuti
(2011) di Rumah Sakit Ghrasia Provinsi DIY
dengan jumlah responden sebanyak 15 orang.
Hasil uji statistik menggunakan Wilcoxon
Sign Rank Test adalah nilai p=0,001 (p <
0,05) yang artinya Terapi Aktivitas
Kelompok Sosial Latihan Keterampilan
Sosial berpengaruh dalam
6
E-Journal Keperawatan (EKP) Volome 4 Nomor 1, Februari
2016
berkenalan dengan satu orang atau lebih dan mengubah kebiasaan klien dalam berinteraksi
memasukkan ke dalam jadwal sebagai bukti dengan orang lain karena kebiasaan tersebut
telah melakukan latihan berkenalan dengan telah terbentuk dalam jangka waktu yang
klien lain di dalam satu ruangan. Hal ini lama. Untuk itu perawat dapat melatih klien
sesuai dengan tujuan strategi pertemuan berinteraksi secara bertahap. Mungkin pada
yaitu klien mampu membina hubungan awalnya klien hanya akan akrab dengan
saling percaya, menyadari penyebab isolasi perawat, tetapi setelah itu perawat harus
sosial dan mampu berinteraksi dengan orang membiasakan klien untuk dapat berinteraksi
lain (Purba,dkk,2008 dalam Nasution, 2011). secara bertahap dengan orang- orang
disekitarnya.
Menurut Keliat (2009) untuk membina
hubungan saling percaya dengan klien Latihan keterampilan sosial secara luas
isolasi sosial kadang membutuhkan waktu memberikan keuntungan dengan
yang lama dan interaksi yang singkat serta meningkatkan interaksi, ikatan aktivitas
sering karena tidak mudah bagi klien untuk sosial, mengekspresikan perasaan kepada
percaya pada orang lain. Oleh karena itu orang lain dan perbaikan kualitas kerja.
perawat harus konsisten bersikap terapeutik Pasien mulai berpartisipasi dalam aktivitas
terhadap klien. Selalu menepati janji adalah sosial seperti interaksi dengan teman dan
salah satu upaya yang dapat dilakukan. perawat. Latihan keterampilan sosial sangat
Pendekatan yang konsisten akan berguna dalam meningkatkan fungsi sosial
membuahkan hasil. Jika pasien sudah pada pasien skizofrenia kronis karena pasien
percaya dengan perawat, program asuhan dapat belajar dan melaksanakan keterampilan
keperawatan lebih mungkin dilaksanakan. dasar yang dibutuhkan untuk hidup mandiri,
Perawat tidak mungkin secara drastis belajar dan bekerja dalam komunitas tertentu
(Kumar,2015).
SIMPULAN Keliat, Anna (2009). Model Praktik
1. Klien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:
Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado EGC.
sebelum dilakukan latihan keterampilan
Kumar B. (2015). Efficacy Of Social Skill
sosialisasi klien paling banyak tidak
Training For The Persons With
mampu berinteraksi
Chronic Schizophrenia. The
2. Klien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Qualitative Report 2015 Volume 20,
Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado Number 5, Article 7, 660-96.
setelah dilakukan latihan keterampilan
sosialisasi banyak klien dinyatakan Kusumawati.F dan Hartono. Y. (2010). Buku
mampu berinteraksi. Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta :
3. Terdapat pengaruh penerapan latihan Salemba Medika
keterampilan sosialisasi terhadap
Lubis DL. (2011). Pengaruh Terapi Aktivitas
kemampuan berinteraksi klien isolasi
Kelompok Sosialisasi Terhadap
sosial di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L. Kemampuan Sosialisasi Pasien Isolasi
Ratumbuysang Manado. Sosial Di Ruang Kamboja Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera
Utara Medan. Medan.
DAFTAR PUSTAKA
Masithoh AR. (2011). Pengaruh Keterampilan
Hernawan. K. (2008). Arti Sosial Terhadap Kemampuan
Komunitas. Gramedia Pustaka Sosialisasi Pada Lansia Dengan
Kesepian Di Panti Wredha Di
Keliat. B.A dan Akemat. (2007). Model Kabupaten Semarang. Depok.
Praktik Keperawatan Profesional
Jiwa. Jakarta : EGC

7
E-Journal Keperawatan (EKP) Volome 4 Nomor 1, Februari
2016
Nasution SR. (2011). Pengaruh Strategi
Pertemuan Isolasi Sosial Terhadap
Kemampuan Sosialisasi Klien Di
rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera
Utara Medan. Medan.

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan


Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika

Purba, dkk. (2008). Asuhan Keperawatan


pada Klien dengan Masalah
Psikososial dan Gangguan Jiwa.
Medart USU Press

Riyadi dan Purwanto. (2009). Asuhan


Keperawatan Jiwa. Yogyakarta :
Graha Ilmu

Setiadi, (2013). Konsep dan Penulisan Riset


Keperawatan. Yogyakarta : Graha
Ilmu

Sujarweni. W.V. (2014). Metodologi


Penelitian Keperawatan.
Yogyakarta : Gava Media

Setiawan A dan Sunyoto D. (2013). Buku


Ajar Statistik Kesehatan.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Soekanto. S. (2010). Sosiologi Suatu


Pengantar. Jakarta : PT Raja
Grafindo

Surtiningrum A. (2011). Pengaruh Terapi


Suportif Terhadap Kemampuan
Bersosialisasi Pada Klien Isolasi
Sosial Di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
Depok.

Townsend, Mary C. (2009). Psychiatric


Mental Health Nursing, By : F. A.
Aderis Company

Yosep. I dan Sutini. T. (2014). Buku Ajar


Keperawatan Jiwa. Bandung : PT.
Refika Aditama.

8
Wakhid A, Hamid AYS, dan Helena N.
(2013). Penerapan Terapi Latihan
Keterampilan Sosial Pada Klien
Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah
Dengan Pendekatan Model Hubungan
Interpersonal PEPLAU di RS DR
Marzoeki Mahdi Bogor. Jakarta
lampiran 3
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN BATURAJA
LEMBAR KONSULTASI

BIMBINGAN STUDI LITERATUR

Nama : Sisi Olandari


Nim : PO.71.20.2.17.031
NAMA PEMBIMBING : Nelly Rustiati, SKM. M.Kes
NIP : 19671027 198803 2 002
PEMBIMBING : Utama

HASIL
HAL/BAB YANG PARAF
NO TANGGAL KONSULTASI /
DIKONSULTASIKAN PEMBIMBING
SARAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

Mengetahui
Ketua Program Studi

H. Gunardi Pome, S.Ag, S.Kep.M.kes


NIP. 19690525 198903 1 002

Lampiran 4

10
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN BATURAJA
LEMBAR KONSULTASI

BIMBINGAN STUDI LITERATUR

Nama : Sisi Olandari


Nim : PO.71.20.2.17.031
NAMA PEMBIMBING : Hj Eni Folendra Rosa, SKM.M.PH
NIP : 19661104 199003 2 001
PEMBIMBING : Pendamping

HAL/BAB YANG HASIL


PARAF
NO TANGGAL DIKONSULTASIKA KONSULTASI /
PEMBIMBING
N SARAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Mengetahui
Ketua Program Studi Keperawatan
Baturaja

H. Gunardi Pome, S.Ag, S.Kep.M.kes


NIP. 19690525 198903 1 002

11

Anda mungkin juga menyukai