Anda di halaman 1dari 2

Agama Ontologis dan Agama

Epistemologis
ABIP O S T E D O N 1 5 A U G U S T , 2 0 1 5

Akibat terbelit oleh tema dan frasa yang dibuat sendiri, banyak orang akhirnya sibuk dengan
klarifikasi. Berangkat dari kerumitan terminologi atau istilah, sampai muncul filsafat yang
menertibkan lalu-lintas kata, ismelogi atau filsafat analitik.

Hal itu dikatakan Filosof dari Sadra Institute, Dr. Muhsin Labib pada seminar “Melacak Jejak
Sejarah Islam dan Islam Nusantara: Mencari Hubungan Organik Antara Islam dan Kebudayaan”
yang digelar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis (13/8).

“Persoalan menjadi rumit bukan karena konsepnya, persoalan ada bukan pada realitasnya tapi pada
persepsi terhadap realitas tersebut,” kata Muhsin Labib.

Dalam mempersepsi agama juga begitu, lanjut Muhsin Labib. Berbiacara tentang agama, terlebih
dahulu mesti diperjelas posisi agama; agama secara ontologis atau secara epistemologis.

“Agama secara ontologis adalah realitas, dalam hal ini realitas yang tidak dibatasi ruang dan waktu,”
jelasnya.

Agama ontologis menurut para filosof adalah wahyu. Wahyu bukanlah informasi. Wahyu itu adalah
realitas. Wahyu itu transenden yang sakral, yang abadi, yang suci. Dia itu ilmu Tuhan, bisa juga
dipahami sebagai dzat Tuhan itu sendiri.

Agama epistemologi adalah persepsi manusia atas wahyu. Dalam hal ini agama dipersepsi sebagai
info atau kabar-kabar yang sampai kepada kita. Ketika agama dipersepsi sebagai info, maka agama
bisa dimaknai sebagai produk budaya.

“Apa yang kita pahami berbeda dengan realitas itu sendiri. Karena itu perlu adanya kenabian untuk
mensterilkan posisi wahyu. Karena yang kita terima hanyalah persepsi atau penafsiran atas wahyu,”
terangnya.

Agama yang sampai kepada kita, lanjut Muhsin Labib bukanlah realitas, melainkan konfirmasi atas
realitas. Karena segala sesuatu berpasangan, maka ketika ada agama yang mutlak pasti memiliki
pasangannya, yaitu agama yang relatif.

“Pasangan itu dalam segala dimensi, baik dimensi ontologis maupun dimensi epistemologis. Baik
dimensi realitas maupun dimensi pemahaman atas realitas,” paparnya.

Agama yang epistemologis, menurutnya merupakan wilayah relatif yang membuka ruang dialog.
Sebab itulah logika berlaku, karena logika merupakan parameter untuk mengukur. Di sanalah terjadi
titik temu.

“Kalau tidak pakai logika, maka bisa runtuh peradaban ini. Ketika tidak menggunakan logika sama
artinya tak ada parameter yang digunakan, sehingga setiap orang hanya berpijak pada persepsinya,”
katanya.

Oleh karena itu setiap orang harus tunduk pada kesepakatan, yang manakah mayor, yang mana minor
dan yang mana konklusi. Jika tidak, lebih jauh lagi, bisa tidak ada hukum, tidak ada konstitusi dan
tidak ada undang-undang.

Persoalannya adalah agama yang ontologis ini diaduk menjadi satu dengan agama
yang epistemologis. Dalam memaknai pencampuran agama yang wahyu dengan agama
yang pemahaman atas wahyu ituilah yang terkadang justru menimbulkan konflik berdarah-darah di
tengah umat Islam.

Lebih jauh seseorang bisa menganggap pemahaman atas Alquran dan Sunnah sebagai Alquran dan
Sunnah itu sendiri. Sehingga muncullah tudingan sesat dan kafir kepada kelompok yang berbeda
dalam memahami Alquran dan Sunnah.

Kenapa hal semacam itu terjadi?

“Sebenarnya karena tidak ada mekanisme yang jelas atau semacam panitia yang mampu
menyelesaikan persoalan dalam memahami posisi agama,” ujar Muhsin Labib berseloroh.

Padahal yang ditangkap oleh kebanyakan orang bukanlah wahyu itu sendiri, melainkan pemahaman
atas wahyu. Padahal yang dimaksud adalah mengikuti Alquran dan Sunnah sesuai persepsinya
masing-masing.

“Persepsi ini yang dihilangkan. Diam-diam (tanpa sadar) orang seperti ini ibarat mengklaim sebagai
Nabi,” sindirnya. (Lam Yaim/Yudhi)

Anda mungkin juga menyukai