Anda di halaman 1dari 5

UJIAN AKHIR SEMESTER

PANCASILA

INTOLERANSI UMAT BERAGAMA YANG DIALAMI

AGAMA MINORITAS DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :

JUISTA TRI TAKHSYANIA

225020307111192 / 48

DOSEN PENGAMPU :

Dr. Mohamad Anas, M. Phil

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

TAHUN PELAJARAN 2022


Intoleransi Umat Beragama yang Dialami Agama Minoritas di Indonesia

PENDAHULUAN

Negara Indonesia adalah negara yang multikultural dikarenakan memiliki begitu


banyak budaya, agama, suku, ras, bahasa, dan etnis keanekaragaman sehingga dapat disebut
sebagai “mega cuktural konflik”. Kamaludin mengatakan bahwa konflik ialah pertentangan
yang terjadi karena dua atau lebih pihak. Perbuatan konflik juga mencangkup dalam berbagai
bentuk seperti pelawanan yang terkontrol, halus, tak langsung, tersembunyi ataupun
perlawanan yang terbuka (SantosoMuharam, 2020).

Di Indonesia konflik yang paling banyak terjadi adalah konflik antara umat beragama.
Konflik ini bisa terjadi antara aliran ataupun antara agama. Merupakan usaha yang begitu
susah bagi Indonesia untuk mempertahankan semboyan yang selalu dielu-elukan yaitu
“Bhinneka Tunggal Ika” dikarenakan salah satu konflik yang sering terjadi di Indonesia
adalah toleransi beragama, dimana hal ini dimungkinkan terjadi karena Indonesia memiliki 6
agama yang diakui negara yaitu, Islam, Khatolik, Kristen, Hindu, Budha serta Konghucu.
Serta di Indonesia terdapat kepercayaan lokal serta keyakinan lokal (Rumagit, 2013).

Intoleransi beragama disebabkan juga oleh ajaran, perintah serta larangan yang
membuat para pengikut dari agama tertentu berdebat serta sibuk untuk membuktikan bahwa
ajaran agama mereka benar serta agama yang lainnya salah. Oleh karena itu, yang sering
menjadi korban dari sifat intoleransi agama ini adalah pemegang agama minoritas yang
sering mengalami diskriminasi karena memeluk agama mereka (Rumagit, 2013).

PEMBAHASAN

Seperti halnya kasus penutupkan kapel di Desa Ladungsari, dimana umat katolik di
Desa Landungsari ini ternyata sudah ada dari tahun 1969 dan masih beribadah dari rumah ke
rumah. Lalu pada tahun 1992, jumlah umat katolik sudah mulai berkembang sehingga
dibelilah sebuah rumah tinggal dengan alasan bahwa ibadah yang dilakukan sebelumnya dari
rumah kerumah sudah tidak mungkin untuk dilakukan. Tempat ibadah yang baru ini
dilakukan berbagai kegiatan juga selain ibadah dihari sabtu, seperti pertemuan ibu-ibu WK,
sekolah minggu, pertemuan pengurus lingkungan, latihan koor, dll.
Pada tahun 1994 mulai diajukan sebuah perizinan untuk dapat membangun tempat
ibadah yang layak bahkan sudah diurus sampai tahap kabupaten tetapi mendapatkan hasil
yang mengecewakan sebab pengajuan itu ditolak karena terdapat oknum-oknum yang tidak
menyetujui tempat ibadah tersebut dibangun. Pada awalnya kegiatan yang dilakukan tidak
ada keberatan dari warga sekitar, namun umat katolik di Kapel Ladungsari kunjung
bertambah dikarenakan terdapat mahasiswa dari WHN dan Unitri yang beribadah disana. Hal
ini membuat kapel sampai melebihi muatannya atau membludak atas umat yang beribadah.
Kemudian warga sekitar mulai merasakan keresahan atas terganggunya parkiran yang
menghalangi jalan. Selanjutnya pihak kapel ladungsari diundang untuk mendatangi
musyawarah yang diadakan di Kantor Desa Ladungsari. Ternyata Kapel Ladungsari dengan
terpaksa dan penuh tekanan harus ditutup begitu saja. Pihak kapel merasa tidak adil karena
yang katanya musyawarah itu merupakan opini mereka namun kenyataannya tidak dihiraukan
sedikitpun. Serta terdapat ancaman dari pak camat bahwa beliau akan diturunkan oleh bupati
apabila masalah ini tidak rampung selesai. Sampai sekarang, umat katolik dari Desa
Ladungsari yang muda harus menjalankan ibadah di Gereja Ijen Malang sedangkan yang tua
tidak beribadah karena dinilai jauh dari rumah.

Setelah penjabaran kasus diatas hal yang dialami oleh umat katolik di Desa
Ladungsari mengalami intoleransi beragama serta melanggar tiga sila yaitu “Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, dan Persatuan Indonesia”. Sifat melanggar
sila pertama ialah dikarenakan seharusnya umat beragama sudah diajar untuk menghormati
satu sama lain, saling toleransi serta bebas dalam memeluk agama. Serta sifat intoleransi
beragama sudah bertentangan dengan adanya nilai-nilai mengenai bebas memeluk agama
yang dikehendaki dan beribadah sesuai kepercayaan masing-masing. Sifat intoleransi
beragama ini juga bertentangan dengan sila kemanusiaan karena sifat ini memunculkan
tindakan yang menghalangi kelompok lain untuk mendapat kesamaan derajat, dimana
tentunya bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Kemudian sifat intoleransi beragama
bertentangan dengan sila persatuan Indonesia dikarenakan sifat ini menimbulkan perpecahan
yang disebabkan pemaksaan kehendak sehingga akan mengakibatkan rusaknya persatuan
bangsa (Tanamal & Siagian, 2020).
PENUTUP

Diperlukannya penanaman nilai pancasila yang dilakukan secara koodinatif dan


sinergi dengan melibatkan semua pihak, serta dilakukan berkelanjutan seperti melakukan
pendidikan Pancasila bagi semua jenjang pendidikan agar nilai-nilai Pancasila dapat dijiwai
dan diserap semua kalangan. Pasalnya dalam beragama sepatutnya kita bisa saling memahami
antar agama yang berbeda karena pada dasarnya kita manusia sebagai makluk sosial. Dengan
kuatnya nilai-nilai Pancasila di masyarakat dapat menjadi penangkal untuk munculnya
intoleransi. Selain itu, kita juga mampu menjaga kedamaian yang ada meskipun dalam
kehidupan sehari-hari selalu muncul perbedaan.
DAFTAR PUSTAKA

Rumagit, S. K. (2013). Kekerasan dan diskriminasi antar umat beragama di indonesia. Lex
Administratum, 56-64.

SantosoMuharam, R. (2020). Membantu tolenransi umat beragama di Indonesia berdasarkan


konsep deklarasi Kairo. Jurnal HAM, 269-283.

Subagyo, A. (2020). Impelemtasi pancasila dalam menagkal intoleransi, radikalisme dan


terorisme. jurnal rontal keilmuan pkn, 10-24.

Tanamal, N. A., & Siagian, S. B. (2020). Impelementasi Nilai Pancasila Dalam Menangani
Intoleransi di Indonesia. Jurnal kajian lembaga Ketahanan Nasional Republk
Indonesia, 408-425.

Anda mungkin juga menyukai