Anda di halaman 1dari 9

Assalamualaikum wr.

wb
Pemikiran Hukum Islam Imam Ja’far Shodiq

Nama Kelompok :
1. Eva Nabilla (05040320079)
2. Marsilah Fardhila (05040320086)
A. Biografi kehidupan Imam Ja’far As-Shodiq

Abu Ja’far Ash_Shadiq terlahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat di kota
yang sama pada tahun 148 H dalam usia 68 tahun. Nama beliau adalah Ja’far Bin
Muhammad Bin Ali Zainal’ Abidin bin Husain Bin Ali Bin Abu Thalib, keponakan
Rasulullah dan istri putrid beliau Fathimah r.a. As-Shadiq merupakan gelar yang selalu
menetap tersemat padanya, kata As-Shidiq itu, tidaklah disebutkan, kecuali mengarah
kepadanya. Karena itu terkenal dengan kejujuran dalam hadis, ucapan-ucapan dan
tindakan-tindakannya. Kedustaan tidak di kenal padanya. Gelar ini pun masyhur di
kalangan kaum muslimin. Syaikhul islam ibnu taimiyyah acap kali menyematkan gelar
ini padanya. Laqab lainnya, ia mendapat gelar Al-imam dan Al-faqih. Gelar ini pun
pantas ia sandang. Meski demikian, ia bukan manusia yang ma’shum yang diyakini
sebagai ahli bid’ah, ini dibuktikan, ia sendiri menepiskan, al ‘ishmah (ma’shum) adalah
milik nabi
Imam Ja’far As-Shadiq dikenal memiliki sifat kedermewanan dan kemurahan hatinya
yang begitu besar. Seakan merupakan cerminan dari tradisi keluarganya, sebagai
kebiasaan yang berasal dari keturunan orang-orang dermawan. Sebagaiman Rasulullah
SAW adalah orang yang paling murah hati. Dalam hal kedermawanan ini, ia seakan
meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal Abidin, yaitu bersedekah dengan sembunyi-
sembunyi. Imam Ja’far wafat pada 25 Syawal 148 H. Ada  juga yang mengatakan pada
bulan Rajab.dalam usia 68 tahun di kota kelahirannya, Madinah. Sang Imam
meninggalkan tujuh putera yang belakangan juga dikenal sebagai permata-permata ilmu,
mereka adalah: Ismail (putra tertua, meninggal pada tahun 138 H, saat beliau sendiri
masih hidup), Abdullah (dengan namanya, kun-ya. ayahnya dikenal), Musa yang bergelar
al-Kazhim, Ishaq, Muhammad, Ali, dan Fathimah.  Mereka semua  adalah anak beliau.
B. PERJALANAN KEILMUAN IMAM JA’FAR AS-SHODIQ

• Imam Ja’far As-Shidiq, menempuh perjalanan ilmiahnya bersama dengan ulama’-ulama’ besar. Ia sempat
menjumpai sahabat-sahabat nabi yang berumur panjang, misalnya Sahl Bin Sa’id as Sa’idi dan Anas bin malik
r.a. ia juga berguru pada Sayyidu Tabi’in ‘Atha’ Bin Abi Rabbah, Muhamman Bin Syihab Az-Zuhri dan
Abdullah Bin Abi Rafi’ serta Iqrima Maula Ibnu Abbas. Ia pun meriwayatkan dari kakeknya, Al-Qasim Bin
Muhammad Bin Abu Bakar. Mayoritas Ulama’ yang diambil ilmunya berasal dari Madinah. Mereka adalah
ulama’-ulama’ tersohor, tsiqah, memiliki ketinggian dalam amanah dan kejujuran.
• Sedangkan murid-muridnya yang paling terkenal, yaitu Yahya Bin Sa’id Al-Anshari, Aban Bin Taqlib, Ayyub
As-sakhtayani, Ibnu Juraij dan Abu Amr bin Al ‘ala. Juga Imam darul hijrah, Malik Bin annas Ashbahi.
Sofyan Ats-tsauri, syu’ba bin al-hajaj, Sufyan bin ‘uyainah, Muhammad bin tsabit al-bunani, Abu Hanifah dan
masih banyak lagi.
• Para Imam Hadis kecuali Al-Bukhari meriwayatkan hadis-hadisnya pada kitab-kitab mereka. Sementara Imam
Bukhari meriwayatkan hadistnya di kitab lainnya, bukan As-shohih. Berkat keilmuan dan kefaqihannya,
sanjungan para ulama’ mengarah kepada Imam Ja’far As-Shadiq.
C. PEMIKIRAN HUKUM ISLAM IMAM JA’FAR AS-SHODIQ

Suatu ketika Abu Ja’far al-Manshur, Khalifah kedua Dinasti Abbasiyah memanggil Imam Abu Hanifah
lantaran kurang senang kepada Imam Ja’far dan kaum Syi’ah. Khalifah al-Manshur kemudian
menghasut Imam Abu Hanifah bahwa “Ja’far al-Shadiq telah membawa malapetaka bagi manusia.
Karena itu, persiapkanlah untuknya pertanyaan yang berat-berat”, kata al-Manshur kepada Imam Abu
Hanifah. Kemudian, al-Manshur mengundang Imam Ja’far dan mempertemukannya dengan Imam Abu
Hanifah yang dihadiri orang banyak. Dalam pertemuan ini, Imam Abu Hanifah mengajukan 40
pertanyaan untuk menyudutkan Imam Ja’far. Semua pertanyaan tersebut dijawab dengan pandangan
yang luas dan mendalam. Akhirnya, Imam Abu Hanifah berkata, “Sesungguhnya, Ja’far al-Shadiq
adalah orang yang paling pandai. Ia adalah orang yang paling tahu tentang perbedaan pendapat para
ahli hukum Islam”. Sejak itu, Imam Abu Hanifah bersahabat dengan Imam Ja’far dan menjadi
muridnya. Imam Ja’far Ash-Shodiq (80-148 H./699-765 M.) merupakan pendiri madzhab Ja’fari.
Madzhab Ja’fari dikembangkan oleh Imam Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir (57-113 H./677-
732 M.). Imam Ja’far mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dari kakeknya, yakni Ali Zainal Abidin
selama 15 tahun.
Selain ilmu-ilmu agama, Imam Ja’far juga pakar dalam ilmu-ilmu sains alam, seperti fisika,
kimia, botani, astronomi, farmasi, dan kedokteran. Wawasannya juga sangat luas, meliputi
kitab-kitab terdahulu, semacam Taurat, Injil, dan pengetahuan nabi-nabi terdahulu. Imam Ja’far
mengalami pemerintahan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Kedua dinasti ini tidak
menyukai kelompok Syi’ah. Sebagai orang yang dianggap salah satu Imam Syi’ah (Imam
keenam), Imam Ja’far kurang perhatian dengan kehidupan politik. Ia tenggelam dalam dunia
ilmu. Imam Ja’far memiliki pengaruh yang luas di masyarakat. Karena pengaruhnya, Imam
Ja’far berulangkali hendak dibunuh oleh para penguasa. Akhirnya, Imam Ja’far wafat lantaran
racun yang dimasukkan ke dalam makanannya atas perintah Khalifah al-Manshur (Armando,
2005). Ciri tradisionalisme dari aliran Syi’ah terlihat dalam pemikiran hukum Islam Imam
Ja’far. Dalam hal ini, sumber hukumnya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah, serta pemikiran Imam
Ja’far sendiri yang berpijak pada kebaikan umum (mashlahah). Imam Ja’far
menganggap Qiyas sebagai tradisi iblis. Ia berargumentasi bahwa Iblis membandingkan dirinya
dengan Nabi Adam, seperti yang tertuang dalam ayat 76 surat Shad yang artinya “Iblis berkata:
aku lebih baik daripadanya, Karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau
ciptakan dari tanah.”
KARAKTERISTIK MADZHAB JA’FARI
1. Sumber-sumber hukum Islam adalah al-Qur’an, al-Sunnah, dan akal. Termasuk ke dalam Sunnah
adalah sunnah ahl al-Bayt, yakni para Imam yang terjaga dari dosa. Mereka tidak mau menjadikan
dalil para hadis-hadis yang diriwayatkan para sahabat yang memusuhi ahl-al-Bayt.
2. Dalam memahami al-Qur’an, madzhab Ja’fari tidak selalu berpegang pada makna lahirnya,
namun juga makna batin al-Qur’an.
3. Ijma’ adalah konsensus ulama dari suatu madzhab di kalangan umat. Ijma’ hanya dipandang
sebagai penjelas suatu hadis, bukan argumen yang mandiri.
4. Istihsan tidak boleh dipergunakan. Qiyas hanya dipergunakan bila ‘illat-nya terdapat dalam
teks sumber hukum. Pada hal-hal yang tidak terdapat ketentuan teks sumber hukumnya, digunakan
akal berdasarkan kaidah-kaidah tertentu.
5. Al-Qur’an dipandang telah lengkap menjawab seluruh persoalan agama. Tugas mujtahid adalah
mengeluarkan jawaban-jawaban umum untuk masalah-masalah yang khusus dari al-Qur’an.
Sekian
Wassalamualaikum wr. wb

Anda mungkin juga menyukai