Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PEMIKIRAN TOKOH ISLAM ABU HANIFAH TENTANG IMPLEMENTASI PADA


AKAD SALAM
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Dosen Pengampu: Dr. Hj. Lina Marlina., S.Ag., M.Ag

Disusun oleh :
Kelas C

Ai Siti Aisyah 221002145

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SILIWANGI
2024
PENDAHULUAN

Latar belakang Abu Hanifah dalam konteks implementasi akad salam adalah bagian
yang penting dalam memahami kontribusi dan pemikirannya terhadap prinsip-prinsip
keuangan Islam. Abu Hanifah, yang dikenal sebagai salah satu pendiri Mazhab Hanafi,
adalah seorang ulama besar dalam sejarah Islam yang hidup pada abad ke-8 Masehi.
Kontribusinya terhadap pemikiran hukum Islam, terutama dalam bidang muamalah (transaksi
keuangan), menjadi landasan bagi praktik keuangan Islam hingga saat ini.

Pemikiran Abu Hanifah tentang implementasi akad salam tercermin dalam kerangka
pemahaman hukum Islam yang komprehensif dan kontekstual. Akad salam adalah salah satu
instrumen keuangan dalam Islam yang digunakan untuk transaksi pertanian, di mana pembeli
membayar harga sebelum menerima barang yang dibeli. Konsep ini berdasarkan prinsip-
prinsip keadilan dan kepastian dalam transaksi, serta memberikan perlindungan terhadap
risiko bagi kedua belah pihak.

Abu Hanifah menekankan pentingnya akad salam sebagai instrumen yang memfasilitasi
kegiatan ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Beliau melihat akad salam sebagai sarana
untuk memastikan kesejahteraan bersama antara pembeli dan penjual, serta untuk
menghindari spekulasi dan riba. Dalam pandangan Abu Hanifah, akad salam memungkinkan
pertanian yang berkelanjutan dengan memungkinkan para petani untuk menerima
pembayaran di muka, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk mendukung produksi lebih
lanjut.

Selain itu, pemikiran Abu Hanifah tentang implementasi akad salam juga mencakup
aspek-aspek etika dan moral dalam transaksi keuangan. Beliau menekankan pentingnya
integritas dan kejujuran dalam setiap transaksi, serta tanggung jawab sosial terhadap
kesejahteraan umum. Dalam pandangan Abu Hanifah, implementasi akad salam tidak hanya
tentang mematuhi aturan hukum, tetapi juga tentang menjunjung tinggi nilai-nilai etika Islam
dalam praktik ekonomi sehari-hari.

Dengan demikian, latar belakang Abu Hanifah dalam konteks implementasi akad salam
menyoroti kontribusinya terhadap pengembangan prinsip-prinsip keuangan Islam yang
inklusif, adil, dan berkelanjutan. Pemikirannya tidak hanya relevan dalam konteks sejarah,
tetapi juga memiliki implikasi yang penting dalam memahami bagaimana prinsip-prinsip
Islam dapat diterapkan dalam praktik ekonomi kontemporer.
PEMBAHASAN
A. Biografi Abu Hanifah
Abu Hanifah memiliki nama lengkap an-Nu’man bin Tsabit bin Zauth bin Mah.
Lahir di Kufah pada tahun 80 H pada zaman Dinasti Umayyah, ketika raja Abdul
Malik bin Marwan memerintah. Ia diberi gelar “an-Nu’man” yang berarti darah atau
roh, agar menjadi generasi penerus kebaikan. Ayahnya merupakan tokoh ahli fikih
dan tokoh masyarakat. Ia mendapat gelar “hanifah” (mu’annats dari asal kata hanif)
yang berarti ahli ibadah, karena ia senang dan condong terhadap agama kebenaran.
Dalam riwayat lain gelar tersebut dikarenakan ia terus menerus membawa tinta
(tinta dalam bahasa Iraq adalah hanifah). Saat kelahirannya, banyak sahabat yang
masih hidup, di antara mereka adalah Anas bin Abu Hanifah (pembantu Rasul),
Abdullah bin Abi Auf, Sahl bin Said as-Sa’idi, dan Abu Tufail bin Amir bin Watsilah.
Sejak kecil, kecenderungannya terhadap ilmu pengetahuan telah tampak, terutama
berkaitan dengan agama Islam. Ia banyak belajar kepada para tabi’in, seperti Ata bin
Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar. Ia juga banyak mengkaji hadis dan fikih dari
ulama-ulama di negerti terkemuka. Adapun guru yang paling berpengaruh ialah Imam
Hammad bin Abi Sulaiman (w. 120 H).
Di antara guru Abu Hanifah adalah Ahmad al-Baqir, Abu Zabir, Ady bin Sabit,
Abdur Rahman bin Harmaz, dan Qatadah. Abu Hanifah tidak memulai pembelajaran
dari fikih, tetapi memulai dengan ilmu kalam sehingga hal ini yang menyokong dalam
pembentukkan metode berfikirnya yang rasional dan realistis. Pada
perkembangannya, ia dikenal dengan sebutan ahl ra’yi dalam fikih dengan metodenya
yang terkenal, yaitu istihsa>n. Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tulis mengenai
pandangan-pandangan hukum. Hanya saja terdapat risalah-risalah kecil yang
dinisbatkan kepadanya, seperti al-fiqh al-akbar, al-alim wa al-muta’alim dan juga
risalah yang menolak pandangan qadariyyah. Karya-karya tersebut kemduian
dibukukan oleh para muridnya.
Terdapat empat orang murid Abu Hanifah yang paling terkenal, yakni Ya’kub ibn
Ibrahim ibn Habib al-Ansari, terkenal dengan nama Abu Yusuf, Zuffar ibn Hudail,
Muhammad ibn al-Hassan ibn Farqad asy-Sayibani, dan al-Hasan ibn Ziyad al-Lu’lui.
Melalui keempat muridnya inilah pemikiran Abu Hanifah tersebar luas, terutama
melalui dua muridnya, Abu Yusuf dan asy-Syaibani. Kuffah, kota kelahiran Abu
Hanifah pada masa itu adalah suatu kota besar, tempat tumbuh berbagai ilmu dan
budaya. Di sana diajarkan falsafah Yunani, hikmah Persia dan di sana juga (sebelum
Islam datang) beberapa mazhab dalam agama Nasrani tumbuh kembang dan
memperdebatkan masalah-masalah politik, dasar-dasar aqidah dan lain sebagainya.
Selain itu, Kuffah merupakan kota di mana lahir sejumlah mujtahid dan juga
hidup beberapa aliran pemikiran dalam ilmu kalam, seperti Syiah, Khawarij, dan
Mu’tazilah. Kuffah menjadi tempat pertemuan antar budaya Arab dan non-Arab,
sehingga tampak lebih majemuk. Secara geografis, Kuffah yang berada jauh dari
pusat tradisi Nabi telah ikut menentukan aktivitas warna ijtihad, yakni lebih rasional,
kritis, dan realistis. Profensi Abu Hanifah sebagai seorang saudagar menjadikan pola
pemikirannya tidak terikat dengan hal yang besifat tekstualis.
Kosmopolitan dan kompleksitas kota Baghdad dan Kuffah nyata-nyata
berpengaruh terhadap pola pemikiran hukum Abu Hanifah. Abu Hanifah sering
disebut sebagai pemuka ahl ra’yi. Pemilihannya menggunakan akal-rasional dalam
menetapkan hukum ketika tidak menemukan landasan hadis yang populer merupakan
langkah kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadis, karena takut adanya dusta dalam
periwayatan hadits. Kerangka berfikir inilah yang kemudian diadopsi oleh para
muridnya. Di antara muridnya yang terkenal adalahAbu Yusuf dan Al-Syaibani. Abu
Yusuf merupakan pemuka fikih di Basrah dan Kuffah. Ia sangat ahli dalam
meriwayatkan hadis sehingga ia menjadi seorang hafidz. Dia memiliki andil besar
dalam perkembangan mazhab Hanafi. Kealimannya di bidang hukum Islam
menjadikan Abu Yusuf diangkat menjadi hakim di Baghdad dan kemudian menjadi
hakim tinggi pada masa khalifah Harun al-Rasyid. Melalui kedudukan tersebut, ia
berwewenang untuk mengangkat dan memberhentikan hakim-hakim di seluruh ilayah
kekuasaan Abbasiyyah. Dengan kedudukan ini pula, ia mempunyai kesempatan untuk
menyebarluaskan mazhab Hanafi dalam praktek hukum.
Tokoh lain yang berperan dalam pengembangan mazhab Hanafi adalah
Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani. Ia merupakan tokoh yang dikagumi oleh Imam
Syafi’i. Ia juga berperan besar dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran Abu Hanifah
sehingga mazhab Hanafi pun menjadi semakin besar. Ia membukukan semua
pemikiran Abu Hanifah tentang hukum Islam. Pada perkembangan berikutnya,
mazhab Hanafi terus berkembang dengan peran aktif para generasi selanjutnya.
Dalam hal ini, al-Karchi memegang kendali mazhab Hanafi di Iraq, sementara
perkembangan mazhab Hanafi di Mesir dilakukan oleh Ismail bin Yasa’ al-Kufi
ketika menjadi hakim di negeri itu (sekitar tahun 164 H.). Ia merupakan hakim
pertama di Mesir yang bermazhab Hanafi. Mazhab Hanafi sempat berkembang di
Mesir selama dua periode Dinasti Abbasiyyah, namun setelah itu yang menjadi hakim
tidak hanya dibatasi dari mazhab Hanafi saja, tetapi dapat dipimpin oleh ulama yang
bermazhab Maliki ataupun Syafi’i. Dinamika madzhab Hanafi mengalami
“penurunan” ketika Mesir dikuasai oleh Dinasti Fatimiyyah. Pada saat itu, Mesir
didominasi oleh mazhab Maliki. Akan tetapi, setelah Dinasti Ayyubiyyah berdiri di
Mesir dan para rajanya menganut mazhab Syafi’i, maka perkembangan mazhab
Syaf’i-lah yang kemudian berkembang pesat. Pada saat itu, hakim yang bermadzhab
Hanafi adalah Nuruddin al-Syahid dan dialah yang mengembangkan mazhab Hanafi
ke negara Syam.
Akan tetapi, setelah Dinasti Umayyah memerintah Mesir, jabatan hakim dikuasai
kembali oleh penganut mazhab Hanafi. Mazhab ini menjadi mazhab para pejabat
negara dan elit penguasa. Mazhab Hanafi tersebar di kota-kota, tetapi tidak tersebar di
perkampungan dan pegunungan1.
B. Definisi Akad Salam
Akad salam merupakan bagian dari akad jual beli yang memiliki perngertian
yaitu jual beli barang yang dilakukan antara penjual dan konsumen yang
mengharuskan pemesanan barang terlebih dahulu, sedangkan pembayarannya
dilakukan dimuka secara penuh. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menjelaskan, salam
adalah akad atas barang pesanan dengan spesifikasi tertentu yang ditangguhkan
penyerahannya pada waktu tertentu, dimana pembayaran dilakukan secara tunai di
majlis akad. Ulama malikiyyah menyatakan, salam adalah akad jual beli dimana
modal (pembayaran) dilakukan secara tunai (di muka) dan objek pesanan diserahkan
kemudian dengan jangka waktu tertentu. Sedangkan menurut Rozalinda, salam adalah
bentuk dari jual beli2.
Dalam Al-Qur’an akad salam sudah dijelaskan dalam Q.S Al-Baqarah ayat 282
yang menyatakan bahwa Allah SWT memperbolehkan bermuamalah (jual beli) secara
tidak tunai (akad salam) dan diharuskan untuk mencatatnya dan dipersaksikan kepada
dua orang saksi, untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang tidak
diinginkan di kemudian hari. Selain itu juga Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an

1
M. Iqbal Juliansyahzen, “PEMIKIRAN HUKUM ISLAM ABU HANIFAH: Sebuah Kajian Sosio-
Hostoris Seputar Hukum Keluarga,” Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum 3, no. 1 (2015): 71–
85.
2
Saprida Saprida, “Akad Salam Dalam Transaksi Jual Beli,” Mizan: Journal of Islamic Law 4, no. 1
(2018): 121–130.
surat An-Nisa ayat 29 bahwa dalam jual beli harus bebas memilih jika ada unsur
pemaksaan tanpa hak jual beli tidak sah3.
C. Pemikiran Ekonomi Abu Hanifah
Beberapa konsep ekonomi yang disumbangkan oleh Abu Hanifah, salah satu
diantaranya adalah salam, salam merupakan suatu tatanan transaksi antara pihak
penjual dan pembeli yang sepaham jika barang yang dibeli dikirimkan sesudah
dibayar dengan cara tunai pada saat transaksi disepakati. Abu Hanifah juga
mengkritisi metode kontrak tersebut yang cenderung mengakibatkan terjadinya
perselisihan antara pembeli barang dengan cara membayar lebih dahulu dengan orang
yang menjual barang 4.
Beliau juga berusaha meredam sengketa ini dengan cara menjelaskan lebih
mendetil apa yang wajib diketahui dan diungkapkan dengan jelas di dalam suatu
kontrak seperti waktu, tempat pengiriman, jenis komoditas, kualitas dan kuantitas.
Beliau menyampaikan persyaratan bahwa komoditas yang dibeli harus tersedia di
pasar selama waktu kontrak dan juga waktu pengiriman5.
Dengan tujuan melindungi pelaku ekonomi dari kerugian akad salam, maka Abu
Hanifah mewajibkan syarat-syarat tersebut. Empat syarat salam yang dianggap perlu
oleh Imam Abu Hanifah adalah jangka waktu, wujud barang saat akad, tempat akad,
harga empirik. Pertama, Abu Hanifah mewajibkan adanya jangka waktu penyerahan
barang kepada pembeli setelah ia membayar kepada penjualnya. Hal ini dimaksudkan
untuk meringankan pedagang guna menyiapkan barang dagangannya terlebih dahulu.
Kedua, Abu Hanifah mensyaratkan wujud barang saat terjadinya akad. Hal ini
berlandasakan pada hadis Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW
bersabda: jangalah melakukan akad salam dalam kurma sebelum ia matang. Abu
Hanifah melihat ini sebagai pencegahan dari bai’ gharar serta menurutnya jika wujud

3
Zulhamdi, “JUAL BELI SALAM” (2022): 1–19,
https://journal.iainlhokseumawe.ac.id/index.php/syarah/article/download/294/222/1824.
4
Rachmad Maulida, Shabrina dan Risqy Kurniawan, “Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Daulah
Umayyah,” Jurnal Ekonomi Syariah Mulawarman 1 (2022),
https://journal.feb.unmul.ac.id/index.php/JESM/article/view/14331.
5
M. Zikwan, “Kontribusi Pemikiran Ekonomi Syari’ah Di Abad Ke 5-11 M Dalam Aktifitas
Perekonomian Di Indonesia,” PROCEEDINGS 3rd Annual Conference for Muslim Scholars
(AnCoMS) Kopertais Wilayah IV Surabaya. 3, no. 1 (2019): 886–893,
http://proceedings.kopertais4.or.id/index.php/ancoms/article/view/303.
barang tidak disyaratkan, maka akad salam akan menjadi mirip dengan bai’ ma lam
yukhlaq atau jual beli sesuatu yang belum dibuat6.
Ketiga, ia mensyaratkan adanya tempat terjadinya akad, maka baik muslim atau
muslim ilaihi harus datang ke satu tempat untuk melakukan akad. Abu Hanifah
mensyaratkan hal ini karena menurutnya tempat penyerahan barang sama pentingnya
dengan jangka waktu. Keempat, harga empirik. Harga emipirik adalah harga barang
yang dapat ditentukan berdasarkan berat, panjang, jumlah dan sifat. Maka, dari hal-
hal di atas dapat disimpulkan, bahwa Abu Hanifah sangat amat berhati-hati dalam
akad salam yang berbeda dari akad bai’ biasa7.
Diantara kebijakan Abu Hanifah ialah dengan menghilangkan banyaknya
penafsiran dan perselisihan pada masalah transaksi, hal ini dikarenakan bagian dari
satu tujuan syariat dalam hubungannya dengan aturan jual beli. Dia juga menyebutkan
contoh, murabahah. Dalam murabahah kadar kenaikan harga suatu barang didasarkan
pada kesepakatan antara pihak penjual dan pihak pembeli terhadap suatu harga
pembelian yang pembayarannya dengan cara diangsur. Keahlian Abu Hanifah dalam
bidang perdagangan membuatnya dapat memutuskan suatu mekanisme yang lebih
adil dalam transaksi murabahah dan transaksi yang sejenisnya 8.
Persoalan lain dalam masalah jual beli pesanan adalah masalah penyerahan
barang ketika tenggang waktu yang disepakati jatuh tempo. Dalam hal ini, para ulama
fiqh sepakat menyatakan bahwa pihak produsen wajib menyerahkan barang itu jika
waktu yang disepakati telah jatuh tempo dan di tempat yang disepakati pula. Akan
tetapi, jika barang sudah diterima pemesan dan ternyata ada cacat atau tidak sesuai
dengan ciri-ciri yang dipesan, maka dalam kasus seperti ini pihak konsumen boleh
menyatakan apakah ia menerima atau tidak, sekalipun dalam jual beli seperti ini hak
khiyar tidak ada. Pihak konsumen boleh meminta ganti rugi atau menuntut produsen
untuk memperbaiki barang itu sesuai dengan pesanan.

6
Nabila Zatadini and Mohammad Ghozali, “Analisis Pemikiran Ekonomi Islam Imam Abu Hanifah,”
AL-FALAH : Journal of Islamic Economics 3, no. 1 (2018): 29.
7
Hera Khoirotun Nisa, Nunung Nurhayati, and Nandang Ihwanudin, “Analysis Of Abu Hanifah
Thought About Salam Contract And Its Practices In Sharia Financial Institute,” International Journal
of Economics, Commerce and Management VIII, no. 5 (2020): 434–441.
8
Maulida, Shabrina dan Risqy Kurniawan, “PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM PADA MASA
DAULAH UMAYYAH.”
D. Pemahaman Abu Hanifah Tentang Akad Salam Dalam Konteks Keuangan
Islam
Dalan perspektif Hanafiah, akad jual- beli Salam merupakan akad jual beli yang
dilarang dikarenakan secara analogi atau qiyasi bertentangan dengan semangat jual
beli dan juga termasuk jual beli jual beli yang masih belum ada/jual beli ma‟dum.13
Dalam akad jua beli barang yang diperjual belikan harus sudah ada di tempat akad,
dan barang yang diperjual belikan merupakan barang milik si penjual. Sementara
dalam jual beli salam barang yang diperjual belikan tidak ada ditempat akad.
Walaupun demikian, mazhab Hanafiah membolehkan akad salam dikarenakan
menganggapnya baik (Istihsan) dengan berbagai alasan sebagaimana uraian di bawah
ini:
1. Masyarakat sudah melakuan jual beli salam secara lumrah tanpa ada pihak
yang dirugikan. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan pendapat kalangan
ulama dalam berijtihad terkait hukum jual beli salam.
2. Menurut consensus ulama (sudah ijma’), di dalam syariah memungkinkan
terjadinya penyimpangan terhadap qiyas dan hal ini telah terjadi.
3. Akad jual beli salam dilandaskan kepada pentingnya untuk keperluan
masyarakat. Mayoritas orang yang membutuhkan barang yang tidak tersedia
dipasar, akibatnya mereka cenderung melakukan pesanan supaya orang lain
menyediakan barang yang dibutuhkan tersebut.
4. Akad jual salam boleh sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan
pesanan selama tidak bersebranfan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah9.
E. Implementasi Pemikiran Ekonomi Abu Hanifah Pada Akad Salam Di Masa
Sekarang
Jual beli salam dalam konteks hukum Islam hukumnya mubah (boleh), selama
dalam jual beli tersebut tidak mengandung unsur penipuan, dan kemudharatan.
Praktek jual beli salam adalah jual beli pesanan yang sekarang sudah banyak
dilakukan oleh masyarakat luas. Salam pada masa modern ini semakin marak
dikalangan masyarakat karena sistem yang digunakan sangat mudah, cepat, murah,
dan juga lebih praktis. Model jual beli salam pada saat ini, lebih terlihat dalam
pembelian alat-alat furniture, seperti: kursi tamu, tempat tidur, lemari pakaian, dan
lemari dapur. Barang-barang seperti ini, biasanya dipesan sesuai dengan selera

9
Zulhamdi, “JUAL BELI SALAM.”
konsumen dan kondisi rumah konsumen. Oleh sebab itu, dalam jual beli pesanan hal
ini boleh dilakukan, dengan syarat harga barang-barang tersebut dibayar terlebih
dahulu.
Berbisnis melalui media internet (online shop) memang telah terbukti sangat
mudah. Oleh sebab itu, jual beli salam melalui internet (online shop) ini lebih banyak
digunakan para pengusaha terutama produsen yang bertujuan untuk mempromosikan
berbagai macam produk atau model-model barang terbaru di perusahaannya yang
sesuai dengan kebutuhan si pembeli. Dalam jual beli online, konsumen dapat melihat
langsung contoh barangnya dalam bentuk gambar yang ditampilkan dilayar
handphone, televise atau komputer, barang yang dijual sesuai dengan keinginan
masing-masing konsumen, baik dari bentuk barang, ciri-ciri serta harganya yang
sudah dijelaskan secara mendetail oleh setiap produsen perusahaan.
Akad salam atau pesanan di era sekarang banyak dipraktikkan oleh masyarakat,
salah satu penerapan akad salam ialah melakukan transaksi online di platform Shopee
atau Tokopedia. Dalam kegiatan transaksi belanja online di E-Commerce Shopee dan
Tokopedia, mekanismenya adalah sebagai berikut:23
1. Pembeli (al-muslim) mampu melaksanakan akad atau transaksi pembeli dan
harus menepati kesepakatan atas transaksi yang telah disetujui. Dari
Praktiknya, indikator kerelaan pembeli dapat dilihat dari pembeli yang
memilih sendiri produk yang disediakan di layanan Shopee/tokopedia.
2. Penjual (al-muslam ilaih) menyediakan barang. Jika pembeli telah
membayar, penjual berkewajiban untuk mengemas dan mengirim barang
sesuai dengan kesepakatan.
3. Barang yang diserahkan (muslam fihi) sesuai dengan kriteria yang telah
ditentukan dalam akad. Pembeli diberi kebebasan untuk memilih
bahan/produk sesuai dengan kebutuhannya.
4. Harga disepakati pada kontrak pertama antara pembeli dan penjual. Proses
pembayaran juga dilakukan saat akad pertama kali. Di sana sudah tertera
dengan jelas harga produknya. Begitu juga metode pembayarannya, seperti
melalui Alfamart/Indomaret, Shopee Pay/GoPay atau transfer bank.

Keabsahan akad salam berarti bahwa penjual memiliki hak untuk mendapatkan
modal dan berkewajiban untuk menyerahkan barang kepada pembeli. Pembeli juga
berhak memiliki barang yang dibeli sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati
antara penjual dan pembeli, dan berkewajiban untuk membayar kepada penjual. Pada
aplikasi Shopee/tokopedia, fasilitas yang didapatkan adalah adanya layanan untuk
transaksi penjualan berbagai produk, jaminan belanja aman dengan garansi, pembelian
berbagai produk, kemampuan untuk berbisnis, kemampuan untuk mencari rekomendasi
produk dan berbagi kebahagiaan. Adanya perjanjian antara penjual dan pembeli
diharapkan tidak menghadirkan penipuan. Berbelanja di layanan Shopee/tokopedia
dengan penerapan akad salam, menjamin barang yang dibeli akan aman. Selain itu,
jaminan barang sampai ke tangan pembeli asli. Kelebihan lain dari layanan ini adalah
dapat melacak sejauh mana barang Anda telah dikirim. Dengan demikian, transaksi jual
beli telah memenuhi rukun jual beli. Kedua belah pihak saling rela. Maka hukumnya
menjadi sah10.

10
Jurusan Ilmu Ekonomi and Universitas Mulawarman, “Jesm: Jurnal Ekonomi Syariah
Mulawarman” 1, no. 1 (2022): 115–121.
KESIMPULAN

Dari makalah tersebut, dapat disimpulkan beberapa poin penting terkait dengan Abu
Hanifah dan pemahamannya tentang akad salam dalam konteks keuangan Islam:

1. Latar Belakang Abu Hanifah: Abu Hanifah adalah seorang ulama yang lahir pada
zaman Dinasti Umayyah dan tumbuh di kota Kufah, tempat berkembangnya
berbagai ilmu dan budaya. Ayahnya merupakan tokoh ahli fikih dan tokoh
masyarakat. Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang mendalami ilmu
pengetahuan sejak kecil, terutama dalam bidang agama Islam.
2. Pendidikan dan Pengaruh: Abu Hanifah belajar dari berbagai ulama terkemuka
pada zamannya, dan di antara gurunya yang paling berpengaruh adalah Imam
Hammad bin Abi Sulaiman. Dia memulai pembelajarannya dari ilmu kalam
sebelum memasuki bidang fikih, yang membentuk metode berfikirnya yang
rasional dan realistis.
3. Pemikiran dan Metode Hukum: Abu Hanifah dikenal sebagai pemuka ahl ra’yi
dalam fikih, dengan metode istihsan yang terkenal. Dia menggunakan pendekatan
akal-rasional dalam menetapkan hukum Islam ketika tidak menemukan landasan
yang jelas dalam hadis, sebagai langkah hati-hati untuk menghindari
kemungkinan kesalahan dalam periwayatan hadis.
4. Kontribusi terhadap Fikih: Meskipun Abu Hanifah tidak meninggalkan karya
tulis tentang pandangan hukumnya, pemikirannya dan metodologi fikihnya
tersebar melalui murid-muridnya, terutama Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-
Hassan ibn Farqad asy-Sayibani.
5. Pandangan tentang Akad Salam: Dalam konteks ekonomi Islam, Abu Hanifah
memperkenalkan akad salam sebagai salah satu bentuk transaksi yang
memungkinkan pembeli untuk memperoleh barang tertentu dengan pembayaran
di muka, dengan tujuan melindungi pelaku ekonomi dari risiko kerugian. Abu
Hanifah mengatur beberapa syarat untuk akad salam, termasuk keberadaan
barang yang dibeli di tempat akad, jangka waktu penyerahan barang, tempat akad,
dan penetapan harga berdasarkan kriteria empirik.
6. Implementasi di Masa Sekarang: Konsep akad salam yang diperkenalkan oleh
Abu Hanifah dapat diterapkan dalam konteks modern, terutama dalam
perdagangan online. Melalui platform seperti Shopee atau Tokopedia, prinsip-
prinsip akad salam dapat diterapkan dengan mengatur transaksi antara penjual
dan pembeli, sehingga keadilan dan keamanan dalam perdagangan tetap terjaga.

Dengan demikian, pemahaman Abu Hanifah tentang akad salam dan kontribusinya
terhadap pemikiran ekonomi Islam memiliki relevansi yang penting dalam konteks keuangan
Islam, baik dalam masa lampau maupun di era modern saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ekonomi, Jurusan Ilmu, and Universitas Mulawarman. “Jesm: Jurnal Ekonomi Syariah
Mulawarman” 1, no. 1 (2022): 115–121.

Juliansyahzen, M. Iqbal. “PEMIKIRAN HUKUM ISLAM ABU HANIFAH: Sebuah Kajian


Sosio-Hostoris Seputar Hukum Keluarga.” Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum
3, no. 1 (2015): 71–85.

Maulida, Shabrina dan Risqy Kurniawan, Rachmad. “PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM


PADA MASA DAULAH UMAYYAH.” Jurnal Ekonomi Syariah Mulawarman 1
(2022). https://journal.feb.unmul.ac.id/index.php/JESM/article/view/14331.

Nisa, Hera Khoirotun, Nunung Nurhayati, and Nandang Ihwanudin. “Analysis Of Abu
Hanifah Thought About Salam Contract And Its Practices In Sharia Financial Institute.”
International Journal of Economics, Commerce and Management VIII, no. 5 (2020):
434–441.

Saprida, Saprida. “Akad Salam Dalam Transaksi Jual Beli.” Mizan: Journal of Islamic Law
4, no. 1 (2018): 121–130.

Zatadini, Nabila, and Mohammad Ghozali. “Analisis Pemikiran Ekonomi Islam Imam Abu
Hanifah.” AL-FALAH : Journal of Islamic Economics 3, no. 1 (2018): 29.

Zikwan, M. “Kontribusi Pemikiran Ekonomi Syari’ah Di Abad Ke 5-11 M Dalam Aktifitas


Perekonomian Di Indonesia.” PROCEEDINGS 3rd Annual Conference for Muslim
Scholars (AnCoMS) Kopertais Wilayah IV Surabaya. 3, no. 1 (2019): 886–893.
http://proceedings.kopertais4.or.id/index.php/ancoms/article/view/303.

Zulhamdi. “JUAL BELI SALAM” (2022): 1–19.


https://journal.iainlhokseumawe.ac.id/index.php/syarah/article/download/294/222/1824.

Anda mungkin juga menyukai