Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TUNJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Peradilan dan Proses Penegakan Hukum

Makna sistem secara metodologik selain adanya keteraturan, ketertiban juga

mengandung makna adanya pendekatan yang rasional dan logik dalam mencapai

suatu tujuan. Konsep pengertian sistem sebagai suatu metode ini dikenal dengan

pengertian umum sebagai pendekatan sistem (system approach).

Sistem menurut Campbell adalah a system as any group of inter related

components or parts which function together to achieve a goal (sistem itu

merupakan himpunan komponen atau bagian yang saling berkaitan yang bersama-

sama berfungsi untuk mencapai sesuatu tujuan). 1

Menurut Rusadi Kantaprawira, sistem adalah sebagai kesatuan (unity), yang

terdiri dari bagian-bagian (part, components, elements, secondary-systems,

subsystem) yang secara fungsional terkait satu sama lain dalam ikatan

superordinatnya yang menunjukkan suatu gerak dalam rangka mencapai tujuan. 2

Dari difinisi di atas ternyata mengandung implikasi adanya unsur-unsur

sebagai berikut : 3

1
Tatang M. Arifin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali, Jakarta, 1989, hal. 10.
2
Rusadi Kantaprawira, Aplikasi Pendekatan Sistem Dalam Ilmu-Ilmu Sosial, Bunda Karya, Jakarta,
1987,hal. 5.
3
Ibid. hal. 12.
1) Keintegrasian (integration);
2) Keteraturan (regularity);
3) Keutuhan (wholeness);
4) Keterorganisasian (organization); Keterlekatan komponen satu sama lain
(coherencece);
5) Keterhubungan komponen satu sama lain (connectedness);
6) Ketergantungan komponen satu sama lain (interdependence).

Selanjutnya menurut William A Shrode serta Dan Voich, ciri-ciri pokok

sistem sebagai berikut : 4

1) Sistem itu mempunyai tujuan;


2) Sistem merupakan suatu keseluruhan yang utuh
3) Sistem itu memiliki sifat terbuka;
4) Suatu sistem mempunyai atau melakukan kegiatan transformasi, kegiatan
mengubah sesuatu menjadi yang lain;
5) Dalam sistem terdapat saling keterkaitan antar komponen, saling tergantung,
dan juga terjadi interaksi antara sistem dengan lingkungannya;
6) Sistem mempunyai mekanisme kontrol. Di dalam sistem ada kekuatan
pemersatu, sehingga sistem itu pada satu sama lain terikat jadi satu dan sistem
mampu mengatur dirinya sendiri.

Dari seluruh uraian di atas nampak bahwa pendekatan sistem (system

approach) dimaksudkan sebagai penerapan metode ilmiah atau merupakan

orientasi baru cara berpikir dalam melihat sesuatu di dalam usaha memecahkan

masalah.

Dengan demikian Sistem Peradilan Pidana sebagai metode atau

menggunakan pendekatan sistem (system approach) menuntut adanya

pemahaman bahwa setiap komponen yang berada atau merupakan bagian dari

4
Ibid. hal. 22.

21
sistem yang lebih besar atau lebih luas, untuk adanya keterpaduan dalam langkah

dan gerak untuk tercapainya suatu tujuan.

Penggunaan istilah Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system)

merupakan suatu istilah terkait dengan mekanisme kerja dalam penanggulangan

kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem. Istilah ini semakin popular

dengan munculnya wacana tentang peradilan terpadu yang dimuat dalam Tap

MPR-RI No. VIII/ MPR/ 2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-lembaga

Tinggi Negara pada sidang tahunan MPR-RI tahun 2000, yang menekankan

bahwa Mahkamah Agung perlu melaksanakan asas-asas sistem peradilan terpadu.

Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) sebenarnya merupakan

suatu keseluruhan yang terangkai yang terdiri dari unsur-unsur yang saling

berhubungan secara fungsional. Unsur-unsur yang terlibat di dalamnya sebagai

suatu kesatuan dan saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Sistem peradilan pidana tersebut terdiri dari unsur-unsur yang masing-masing

merupakan sub-sistem dari sistem peradilan tersebut, yang terdiri dari sub-sistem

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Batasan terhadap pengertian sistem peradilan pidana telah diutarakan oleh

beberapa pakar hukum pidana, berturut-turut antara lain sebagai berikut :

Menurut Muladi sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan

(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya,

22
baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan

pidana. 5

Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa sistem peradilan pidana pada

hakikatnya merupakan implementasi atau aplikasi dari kekuasaan kehakiman,

dengan perkataan lain, sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan

“Sistem Kekuasaan Kehakiman di bidang Peradilan Pidana “. 6

Mardjono Reksodiputro, mengatakan, bahwa sistem peradilan pidana secara

singkat sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk “menanggulangi kejahatan“,

salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan, agar

berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterimanya. 7


8
Remington dan Ohlin mengemukakan sebagai berikut : Crimal justice

system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme

administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem

merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik

administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri

mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional

dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala

keterbatasannya.9

5
Muladi, Kapita Selekta Sistem peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995, hal. 4.
6
Barda Nawawi Arief, Kepolisian Dalam perspektif Kebijakan Kriminal dan Sistem Peradilan pidana,
Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, tentang Polri Sipil Yang Mandiri, Berdaya dan
professional Untuk Menjamin Integritas Bangsa, Undip, tanggal 22-23 )ktober 1998, hal. 3
7
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan……op.cit, hal. 140.
8
Romli Atmasasmita, Sistem…..Op. Cit, hal. 14.
9
Ibid.

23
Sistem peradilan Pidana dengan perspektif sistem ini menurut Samuel

Walker merupakan paradigma yang dominan dalam sistem peradilan pidana di

Amerika serikat. Sebagai suatu pendekatan sistem administrasi peradilan terdiri

atas serangkaian keputusan mengenai suatu kasus kriminal dari petugas yang

berwenang dalam suatu kerangka interelasi antar aparatur penegak hukum.

Selanjutnya dikatakan pendekatan sistem ini telah memperoleh perhatian di

Amerika Serikat untuk dilakukan penelitian dalam rangka pembaharuan hukum.

Upaya ini antara lain :

a. Meningkatkan efektifitas sistem penanggulangan kejahatan;

b. Mengembangkan koordinasi diantara pelbagai komponen peradilan pidana;

c. Mengawasi atau mengendalikan penggunaan kekuasaan oleh aparatur penegak

hukum.

Menurut Romli Atmasasmita yang dalam hal ini sependapat dengan Kadish,

mengatakan bahwa :

Pengertian sistem peradilan pidana dapat dilihat dari sudut pendekatan

normatif, manajemen dan sosial. Ketiga bentuk pendekatan tersebut

sekalipun berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan

lebih jauh ketiga bentuk pendekatan tersebut saling mempengaruhi

dalam menentukan tolak ukur keberhasilan dalam menanggulangi

kejahatan.

Selanjutnya dikatakan bahwa sebagai berikut :

24
“ dalam pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak

hukum sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan

yang berlaku, sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata;

Pendekatan administratif memandang keempat aparatur

penegak hukum sebagai organisasi manajemen yang memiliki

mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun

yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku

dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem

administrasi.

Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial,

sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas

keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak

hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang

dipergunakan adalah sistem sosial.”10

Muladi juga mengatakan sebagai berikut :

“ bahwa sebagai suatu sistem, peradilan pidana dengan perangkat

struktur atau sub-sistem, seharusnya bekerja secara koheren,

koordinatif dan integratif agar dapat mencapai efisiensi dan

10
Romli Atmasasmita, Sistem…Ibid. hal 16-17

25
efektifitasnya yang maksimal. Kombinasi antara efisiensi dan

efektifitas dalam sistem sangat penting, sebab belum tentu efisien

masing-masing sub-sistem, dengan sendirinya menghasilkan

efektifitas. Fragmentasi fungsional pada sub-sistem akan mengurangi

efektifitas sistem tersebut, bahkan sistem tersebut secara keseluruhan

disfungsional.11

Dalam kesempatan lain dikatakan, bahwa sistem peradilan pidana mempunyai

karakter khusus, yaitu : 12

1) kerjasama secara terpadu antara pelbagai sub-sistem untuk mencapai tujuan

yang sama, secara internal dan eksternal sistem peradilan harus berorientasi

pada tujuan yang sama;

2) pendekatannya harus bersifat menyeluruh dan jauh dari sifat fragmentaris,

selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar;

3) operasionalisasi bagian-bagiannya akan menciptakan nilai tertentu (value

transformation), keterkaitan dan ketergantungan antara subsistem;

4) adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu;

11
Muladi, Kapita…. Op. Cit. hal. 21
12
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie
Center, Jakarta, hal 34-35.

26
5) Keterpaduan mengandung makna fixed control arrangements dan sekaligus

koordinasi yang seringkali diartikan sebagai suatu proses pencapaian tujuan

melalui kebersamaan norma dan nilai (shared norms and value);

6) Keberhasilan sistem peradilan pidana ditentukan oleh indeks sistem yang pada

hakekatnya merupakan indikator kinerja sistem peradilan pidana, baik dalam

tataran idiil, tataran asas maupun tataran operasional dan tatanan penunjang.

Pada tataran ideal paling tidak ada 3 (tiga) indeks, yaitu: keberhasilan

sistem peradilan pidana dapat menciptakan rehabilitasi dan resosialisasi bagi

terpidana; keberhasilan sistem peradilan pidana untuk mencegah terjadinya

kejahatan; keberhasilan sistem peradilan pidana dapat menciptakan

kesejahteraan sosial.

Pada tataran asas berkaitan dengan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman

yang merdeka, promosi dan perlindungan HAM, berorientasi tidak hanya

kepada model rehabilitatif, tetapi juga kepada model restoratif.

Pada level operasional antara lain adanya UU payung yang dapat

menciptakan sinergi positip antar subsistem dan berorientasi baik kepada

tindak pidana, pelaku dan korban tindak pidana.

Pada level penunjang indeks terpenting nampak pada kualitas sumber

daya manusia yang dimiliki, seperti SDM yang terlatih dan berorganisasi

dengan baik, kepemimpinan yang bertanggungjawab, partisipasi masyarakat

27
terhadap sistem peradilan pidana, dan sistem pelatihan terpadu antar penegak

hukum.

Hal ini berarti keberhasilan sistem untuk menjalankan fungsinya sangat

ditentukan oleh kemauan dan kemampuan komponen-komponen sistemnya,

baik secara otonom, maupun dalam kerangka sistem sebagai keseluruhan.

Lemahnya salah satu komponen sistem akan membawa pengaruh besar

terhadap gerak sistem itu, dan jika gerak sistem itu berlangsung dalam

keadaan tidak stabil dalam kurun waktu lama, maka gerak sistem itu akan

mempengaruhi pula pada kemampuan otonom dari komponen-komponen

sistem lainnya. Jika hal demikian terjadi, maka sistem peradilan pidana

sebagai suatu sistem akan sulit mengemban fungsi dan mewujudkan tujuan-

tujuannya.

Hiroshi Ishikawa, mengatakan bahwa : “criminal justice agencies

including the police, prosecution, judiciary, institutional and non institutional

correction should be compared with a chain of gears, and each of them

should be precise and tenacious in maintaining good combination with each

other.“ 13

Untuk itu dalam sistem peradilan pidana adanya satu tujuan dan

keterpaduan dari semua komponen sub-sistem yang ada merupakan prasyarat

utama lahirnya suatu sistem peradilan pidana yang baik. Dalam kebhinekaan

13
M. Faal, Penyaringan perkara Pidana Oleh Polisi, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, hal. 26.

28
fungsi dari masing komponen–komponen sub-sistem yang ada tidak boleh

menghalangi arah tujuan keberadaan sistem peradilan pidana itu sendiri.

Itulah tolak ukur ada tidaknya keterpaduan dari berbagai unsur-unsur tersebut

(integrated justice system).

Muladi mengatakan integrated justice system pada hakekatnya merupakan


sinkronisasi/ keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan sebagai
berikut :14
a). Sinkronisasi struktural (structural syncronization), yaitu keserampakan dan
keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum;
b). Sinkronisasi substansial (substantial syncronization), yaitu keserampakan dan
keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan
hukum positif;
c). Sinkronisasi kultural (cultural syncronization), yaitu keserampakan dan
keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan
falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

Selanjutnya menurut Muladi pemahaman terhadap tiga kerangka

sinkronisasi di atas sangat penting, mengingat apa yang dinamakan sistem

peradilan pidana pada hakekatnya merupakan open system, mengingat besarnya

pengaruh lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia terhadap

keberhasilan pencapaian tujuannya (jangka pendek resosialisasi, jangka

menengah pencegahan kejahatan dan jangka panjang kesejahteraan sosial). 15

Hal ini perlu diperhatikan dan ditekankan karena pada akhirnya sistem dan

unsur-unsurnya hanya dapat beroperasi melalui tindakan manusia. Perilaku

mereka (unsur-unsur sistem) yang mendukung tersebut perlu diusahakan untuk

14
Muladi, Demokratisasi…Ibid, hal. 1-2
15
Muladi, Ibid. hal. 2

29
berangkat dari nilai dan persepsi yang sama mengenai tujuan dan bekerjanya

sistem. 16

Bertitik tolak dari uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa sistem

peradilan pidana (crimal justice system) merupakan suatu keseluruhan yang

terangkai secara fungsional yang terdiri dari unsur-unsur kepolisian, kejaksaan,

pengadilan dan lembaga pemasyarakatan yang saling berhubungan dan saling

mempengaruhi satu sama lain dalam mewujudkan satu tujuan sejalan dengan

kebijakan kriminal atau politik kriminal (criminal policy) yang merupakan usaha

rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.

Selanjutnya mengenai sistem peradilan pidana (Criminel Justice System)

menurut remington dan ohlin seperti dikutip oleh romli atmasasmita,

mengemukakan sebagai berikut :

Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem


terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana
sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang –
undangan, praktek administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian
sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang
dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil
tertentu dengan segala keterbatasannya.17

Sedangkan menurut pendapat Hagan crimal justice syetem adalah

interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses

16
Satjipto Rahardjo, Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2002, hal.
220.
17
Remington dan Ohlin (Dalam Atmasasmita,Romli, Sistem Peradilan Pidana
Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta,Bandung,1996. Hal. 222

30
peradilan pidana.18 Ahli hukum Indonesia Mardjono Reksodiputro memberikan

sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari

lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan terpidana.19

Dari berbagai pengertian tentang criminal justice system atau sistem

peradilan pidana yang diberikan oleh para ahli di atas, penulis dapat menarik

beberapa unsur penting dalam lingkup pengertian criminal justice system (sistem

peradilan pidana) sebagai berikut :

1. Adanya pemakaian pendekatan melalui sistem.

2. Terhadap mekanisme administrasi peradilan dan peradilan pidana.

3. Merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang – undangan,

praktek administrasi peradilan, sikap batin dan tingkah laku sosial.

4. Sistem disini sebagai suatu proses interaksi untuk mencapai hasil

tertentu berupa pengendalian kejahatan.

5. Adanya tindakan interkorelasi dari setiap instansi yang terlibat dalam

proses peradilan pidana dalam hal ini pihak – pihak kepolisian,

kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.

Peradilan pidana berdasarkan KUHAP ini menyatakan identitasnya bahwa

menganut serta menerapkan sistem peradilan pidana secara terpadu. Pernyataan

demikian tampak dari beberapa ketentuan maupun pernyataan baik tersurat

18
Hagan (Dalam Romli Artasasmita), Ibid
19
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (Peran Penegak Hukum Melawan
Kejahatan ), dikutip dari, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan
Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga
Kriminologi, Universitas Indonesia, 1994, hal. 84-85,

31
maupun tersirat dalam suatu aturan landasan hukum maupun pendapat kalangan

ahli, yang terurai seperti berikut :

Pedoman pelaksana KUHAP bidang umum (BAB I) pendahuluan, pada

sub judul pengawasan pelaksana putusan angka 8 tersurat pernyataan pada alinea

kedua, ...... hal itu adalah sesuai dengan konsep peradilan pidana yang terpadu

(integrated criminal justice system).20

Konsepsi yang menyatakan dan mengakui bahwa peradilan pidana atas

dasar KUHAP menganut sistem peradilan pidana terpadu tersebut dinyatakan pula

oleh beberapa kalangan para ahli teoritis maupun para praktisi hukum seperti

Bambang Poernomo, menyatakan :

“Dalam keadaan demikian itu harapan untuk mencapai proses penyelesaian

perkara pidana sebagai suatu rangkaian kesatuan, sejak dari penyidikan,

penuntutan, putusan perkara hingga ke penyelesaian ditingkat lembaga

pemasyarakatan seperti konsepsi “Integrated Criminal Justice System” belum

berhasil”.21

Menurut seorang praktisi, M. Yahya Harahap mengatakan pula bahwa

peradilan pidana Indonesia sekarang ini disebutnya secara tegas dengan kalimat

20
Depertemen Kehakiman RI, 1982, Pedoman Pelaksana KUHAP, TP, hal 14
21
Bambang Poernomo, 1986, Hukum Acara Pidana Pokok – Pokok Tat Acara Peradilan
Pidana Indonesia, Dalam Undang – Undang RI No. 8 Tahun 1981, Edisi Pertama, Cetakan
Pertama, Liberty Yogjakarta, hal 10

32
“sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan “sistem peradilan

pidana terpadu” (integrated justice system).22

Pendapat diatas juga senada dengan pendapat Harun M. Husein yang

menyebutkan Sebagaimana kita ketahui bahwa KUHAP menganut sistem yang

disebut integrated justice system, dalam sistem tersebut setiap tahap dari proses

penyelesaian setiap perkara berkaitan erat dan saling mendukung satu sama lain.

Menurut, Jaksa Agung Republik Indonesia Sukarton Marmosudjono

menguraikan pengertian integrated justice system adalah sistem peradilan perkara

pidana terpadu yang unsur – unsurnya terdiri dari persamaan presepsi tentang

keadilan dan pola penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan

dan kesatuan (administration of criminal justice system). Pelaksanaan peradilan

terdiri dari beberapa komponen seperti penyidikan, penuntutan, pengadilan dan

lembaga pemasyarakatan. Integreted criminal justice system, sistem adalah suatu

usaha untuk mengintegrasikan semua komponen tersebut diatas, sehingga

peradilan dapat berjalan sesuai dengan cita – citanya.23

B. Komponen Dalam Sistem Peradilan Pidana

Di dalam peradilan pidana kalau berbicara proses atau mekanisme

hukumnya dengan penggunaan sistem atau apabila orientasi penegakan hukum

22
M. Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,
Penyidikan Dan Penuntutan, Edisi Kedua, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta, hal 90
23
Harun M. Husein, 1994, Surat Dakwaan Teknik Penyusunan Fungsi Dan
Permasalahannya, Cetakan Kedua, Rineka Cipta, Jakarta, hal 39

33
dilandaskan pada pendekatan sistem atau system approach, maka terdapat

komponen – komponen fungsi (lembaga) atau sub sistem.

Menurut Alan Coffey sub sistem dalam sistem peradilan pidana

disebutnya dengan segmen, dimana masing – masing fungsi itu harus saling

berhubungan dan berkerjasama, seperti dikatakannya bahwa :

Criminal justice can function systematically only the degres that each segment

of the system takes into account all other segments. In order words, the system

is no more systematic than the relation ships between police and prosecution,

police and court, prosecution and corrections, corrections and law, and so

forth. In the absence of functional relationships between segments, the

criminal justice system is vulnerable to fragmentation and in effectiveness.24

Berikut ini beberapa kalangan ahli hukum yang menyatakan bahwa dalam

sub sistem peradilan pidana yang menyatakan keterlibatan polisi, jaksa,

pengadilan dan lembaga pemasyarakatan sebagai komponen – komponen utama

dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana, bahkan ada beberapa pendapat

yang memperluas adanya keterlibatan peran dari sub unsur sistem peradilan

pidana diluar komponen inti sebagai perluasan akan fungsi mereka dalam tata

praktek sistem peradilan pidana. Adapun pandangan para ahli dimaksud seperti

diantaranya :

24
Alan Coffy, 1983, An Introduction Ti The Criminal Justice And Proses, Pusat
Dokumentasi Hukum U.I., Jakarta, Hal 82

34
1. Sue Titus Reid, yang menyatakan bahwa dalam sistem peradilan pidana

terdapat empat institusi pokok seperti polisi, lembaga penuntut, pengadilan,

dan lembaga pemasyarakatan, bahkan lebih jauh diakuinya diantara institusi

ini masing – masing tidak selalu berjalan searah bahkan sering terjadi

ketimpang tindihan.

Hal tersebut seperti dinyatakan :

“The system of criminal justice cousist of four basic intitutions : police,


prosecution and defence, court and correction. The functions of these institutions
are not always separable; they overlap considerably”.25

2. Romli Artasasmita, dalam pernyataannya menyatakan bahwa “komponen

sistem peradilan pidana yang lazim diakui bak dalam pengetahuan mengenai

kebijakan pidana (criminal policy) maupun dalam lingkungan praktek

penegakan hukum, terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan

lembaga pemasyarakatan.

Namun demikian apabila sistem peradilan pidana dilihat sebagai salah satu

pendukung atau instrumen dari salah satu kebijakan kriminal, maka unsur

yang terkandung didalamnya termasuk juga pembuat undang – undang ....

dst.26.

3. Sidik Sunaryo, menyatakan bahwa dalam sistem pradilan pidana yang lazim,

selalu melibatkan dan mencakup subsistem dengan ruang lingkup masing –

masing proses peradilan pidana sebagai berikut :

25
Sue Titus Reid, 1987, Criminal Justice Procedurs And Issues, West Publishing
Company, USA, Hal 3
26
Romli Artasasmita, Op.Cit, hal 24

35
a. Kepolisian dengan tugas utama menerima laporan dan pengaduan dari

publik manakala terjadi tindak pidana, melakukan penyelidikan dan

penyidikan tindak pidana, ..... dan seterusnya.

b. Kejaksaan dengan tugas pokok menyaring kasus – kasus yang layak

diajukan ke pengadilan, mempersiapkan berkas penuntutan, melakukan

penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.

c. Pengadilan, yang berkewajiban menegakan hukum dan keadilan,

melindungi hak – hak terdakwa, ..... dan seterusnya.

d. Lembaga pemasyarakatan, yang berfungsi untuk menjalankan putusan

pengadilan yang merupakan pemenjaraan ..... dan seterusnya.

e. Pengacara, dengan fungsi melakukan pembelaan bagi klien, dan

menjaga hak – hak klien dipenuhi dalam proses peradilan pidana.27

Dari beberapa pernyataan para ahli hukum tersebut diatas yang

menggolongkan instansi atau pejabat hukum sebagai sub – sub unsur selaku

komponen dalam sistem peradilan pidana adalah tampak seperti lembaga

kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan. Keempat lembaga

ini adalah yang merupakan komponen inti dalam lingkup praktek penegakan

hukum (law inforcement).

Dianutnya sistem peradilan pidana dalam teori dan pelaksanaan peradilan

pidana Indonesia tersebut oleh KUHAP, apabila ditelah secara seksama isi

27
Sidik Sunaryo, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Edisi Pertama, Cetakan
Pertama, Malang, Hal 220

36
ketentuan yang tersurat dan tersirat dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun

1981, maka dalam mekanismenya itu akan melibatkan beberapa komponen atau

subsistem dalam peradilan pidana, hal tersubut seperti dikemukakan oleh

beberapa pendapat para ahli seperti :

1. Romli Artasasmita mengatakan :

....criminal justice system di Indonesia terdiri atas komponen kepolisian,

kejaksaan, pengadilan negeri, dan lembaga pemasyarakatan sebagai aparat

penegak hukum. Keempat aparat tersebut memiliki hubungan yang sangat erat

satu sama lain. Bahkan dapat dikatakan saling menentukan. Pelaksanaan

penegakan hukum berdasarkan Undang – Undang No : 8 Tahun 1981

(seharusnya) merupakan satu usaha yang sistematis.28

2. Muladi menulis :

Sistem peradilan pidana terpadu .... berdimensi internal apabila perhatian

ditujukan kepada keterpaduan subsistem peradilan, seperti kepolisian,

kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan .... karakter sistem peradilan yang

bersifat khusus akan tetap mengikuti karakter sistem yang bersifat umum,

yaitu kerjasama secara terpadu antara berbagai subsistem untuk mencapai

tujuan yang sama.29

3. Menurut J. W. La Patra :

28
Romli Artasasmita, 1996, Op.Cit, hal 32
29
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 1995. hal. VII. 2002,

37
Sesungguhnya dari sistem peradilan pidana itu ada empat komponen fungsi

yang satu dengan yang lainnya selalu berhubungan dan berkordinasi. Fungsi –

fungsi itu memiliki satu kesatuan persepsi dan satu tujuan yang sama yaitu

usaha untuk menanggulangi kejahatan. Masing – masing fungsi ini adalah

fungsi penyidikan, penuntutan, peradilan dan fungsi pemasyarakatan, yang

masing – masing dilakukan oleh petugas penegak hukum; polisi, jaksa, hakim,

dan petugas pemasyarakatan

4. Menurut Marjono Reksodiputro :

Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana mempunyai komponen –

komponen penyelenggaraan antara lain kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan

lembaga pemasyarakatan yang kesemuannya akan saling terkait dan

diharapkan adanya suatu kerjasama yang terintegrasi. Jika terdapat kelemahan

pada satu sistem kerja komponennya, akan mempengaruhi komponen lainnya

dalam sistem yang terintegrasi itu. Empat komponen ini (kepolisian,

kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) dikenal dengan nama

suatu integrated criminal justice system.30

Namun ada juga pendapat yang bervariasi dengan mamasukan seperti

pembuat undang – undang (sebagai instrumen atau pendukung dalam kebijakan

kriminal) khususnya dalam pengembangan dan penegakan sistem peradilan

pidana.

30
Mardjono Reksodiputro, 1994, Op.Cit, hal 85

38
Perkembangan terakhir keberadaan dunia advokat dalam perannya untuk

proses peradilan pidana mulai diakui. Bagi di Indonesia sejak berlakunya Undang

– Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. Bahwa status advokat diakui

sebagai penegak hukum oleh ketentuan pasal 5 ayat 1 Undang – Undang Nomor

18 tahun 2003, istilah advokat dalam KUHAP belum dikenal, bagi pemberi jasa

bantuan hukum oleh KUHAP memakai sebutan penasihat hukum.

Dalam hubungan dengan komponen sistem peradilan pidana yang lazim

diakui dan dikenal baik dalam tataran teori maupun dalam kalangan praktek

penegakan hukum, maka dikenal ada 4 (empat) komponen sub unsur aparat

penegak hukum atau institusi yakni :

1. Kepolisian

pasal 1 butir 1 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, menggariskan bahwa yang dimaksud dengan

kepolisian adalah, segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga

polisi dengan peraturan perundang – undangan.

2. Kejaksaan

pasal 2 ayat 1 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia, menggariskan bahwa yang dimaksud dengan Kejaksaan

Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang – undang ini disebut

kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara

di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang – undang.

3. Pengadilan

39
Sebagai instisuai penyelenggaraan di bidang peradilan sesuai ketentuan pasal

2 Undang – Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,

digariskan bahwa : penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana

dimaksud pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup peradilan umum .... dan

seterusnya.

Pasal 1 digariskan : kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila, dan terselenggaranya negara hukum Republik

Indonesia.

4. Lembaga Pemasyarakatan

Dalam pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan menggariskan bahwa yang dimaksud dengan lembaga

pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk

melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

C. Sistem Peradilan Pidana Terpadu

Kata “Integrated“ atau “Terpadu“, sangat menarik perhatian bilamana

dikaitkan dengan istilah system dalam “the criminal justice system”. Hal ini

karena dalam istilah system, seharusnya sudah terkandung keterpaduan

(integration and coordination), di samping karateristik yang lain seperti, adanya

40
tujuan-tujuan yang jelas dari sistem, proses input-throughput–output and

feedback, sistem control yang efektif, negative-anthropy dan sebagainya.31

Menurut Kats and Kahn, sebagai common characteristics, coordination

diartikan sebagai fixed control arrangements. It is the addition of nations devices

for assuring the functional articulation of task ang roles- controlling the speed of

assembly ine, for example. Integration merupakan the achievement of anification

through hared norm and values.32

Muladi, menyetujui apabila penyebutan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

tersebut, lebih diarahkan untuk memberikan tekanan, agar integrasi dan

koordinasi lebih diperhatikan.33

Menurut Black‟s law Dictionary, rumusan dari Sistem peradilan Pidana

Terpadu atau Integrated Criminal Justice System adalah “… the collective

institutions through which an accused offender passes until the accusations have

been disposed of or the assessed punishment conculed…”.34

Pemahaman terhadap Sistem Peradilan Pidana Terpadu atau SPPT yang

sesungguhnya, adalah bukan saja pemahaman dalam konsep “integrasi“ itu

sendiri, tetapi sistem peradilan pidana yang terpadu juga mencakup makna

substansiil dari urgensitas simbolis prosedur yang terintegrasi tetapi juga

menyentuh aspek filosofis makna keadilan secara terintegrasi. Sehingga dengan

31
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Loc.Cit., hal. 1.
32
Kats, Daniel and Kahn Robert L, The Social Psycology of Organization. Ed. John
Wiley and Sons, New York, 1984, Page. 29-30.
33
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, op.cit., hal. 1.
34
Henry Campbel Black, Op,Cit., page 381.

41
demikian penegakan hukum pidana materiil yang dikawal dan dibingkai oleh

norma peraturan perundangan yang menjadi wilayah hukum pidana prosedural,

dapat lebih didekatkan pada prinsip dan substansi penegakan hukum yang

sekaligus menegakkan keadilan.

Pemahaman terhadap pandangan tersebut di atas, NV Pillai menyatakan

bahwa “ …….. the concept of an Integrated Criminal Justice System does not

envisage the entire system working as one unit or department or as different

sections on one unified service. Rather, it might be said to work on the principle

of „unity in diversity‟, somewhat like that under which the armed forces function.

Each of the three main armed services own its distinctive roles, its training

schemes, its own personnel and its own operational methods.”35

Pengertian “Sistem Peradilan Pidana Terpadu” menurut pendapat para ahli

hukum pidana, dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Menurut Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana adalah sistem

pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian,

kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.36

Mardjono mengemukakan bahwa empat komponen dalam sistem peradilan

pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan)

35
NV Pillai, The Administration Of Criminal Justice: Unity in Diversity, in Criminal
Justice in
Asia: The Quest for an Integrated Approach, Tokyo: UNAFEI, 1982, hal. 31.
36
Mardjono Reksodiputro, “Sistem Peradilan Pidana Indonesia ( Melihat Kepada
Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi”, Pidato Pengukuhan
Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1993, hal. 1.

42
diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu “ integrated

criminal justice system“. Apabila keterpaduan dalam bekerjanya sistem

tidak dilakukan, diperkirakan akanterdapat tiga kerugian sebagai berikut37:

- Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan dan kegagalan


masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama
- Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah- masalah pokok
masing- masing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan
pidana) dan
- Kesulitan dalam pembagian tanggung jawab untuk masing- masing
instansi sehingga masing-masing instansi tidak terlalu
memperhatikan efektivitas dari sistem peradilan pidana.

2) Menurut Muladi38, makna Integrated Criminal Justice System atau Sistem

Peradilan Pidana Terpadu adalah sinkronisasi atau keserempakan dan

keselarasan, yang dapat dibedakan dalam :

- sinkronisasi struktural (structural synchronization)


adalah keserampakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan
antar lembaga penegak hukum
- sinkronisasi substansial (substantial synchronization)
adalah keserampakan dan keselarasan dan keselarasn yang bersifat
vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif
- sinkronisasi kultural (cultural synchronization)
adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-
pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh
mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

Berbicara model sistem peradilan pidana terpadu tidak dapat dilepaskan

dari ukuran atau karateristik dari sistem peradilan piana terpadu itu sendiri.

Menurut pandangan Hiroshi Ishikawa, karateristik yang dapat dijadikan dasar

37
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (Peran Penegak Hukum
Melawan Kejahatan ), dikutip dari, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana:
Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
Lembaga Kriminologi, Universitas Indonesia, 1994, hal. 84-85.
38
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Op.Cit., hal. 1-2.

43
untuk memodifikasi model sistem peradilan pidana terpadu, menggunakan

indikator-indikator sebagai berikut:39

1. Karateristik yang pertama adalah clearance rate yang relatif tinggi. Dalam

hal ini terdapat dua variable yang sangat berpengaruh yakni (1) Police

efficiency (well trained, well disciplined and well organized police force);

dan (2) citizens cooperation with law enforcement.

2. Karateristik yang kedua adalah conviction rate yang relatif juga cukup

tinggi. Konsep yang mendasari hal ini adalah precise justice yang

bertumpu pada substantial thruth. Konsep ini hanya dapat terlaksana

dengan baik apabila didukung oleh uniformly as well as highly trained

professionals. Keadilan yang tepat ini mengandung unsur precise and

minuto fact finding and minuto fact finding justice, similar to precision

machine tools. Dalam hal ini yang penting tidak hanya the degree of proff

of substantial truth, tetapi juga the degree of repentance. Nampaknya

masalah pendidikan terpadu para penegak hukum dalam hal ini perlu

diperhatikan, sebab apabila berbicara dalam konteks sistem, maka tidak

hanya setiap individu harus bekerja dengan baik dan penuh inisiatif, tetapi

harus tercipta koordinasi satu sama lain secara efisien dan efektif, dalam

pendidikan terpadu secara bersama- sama inilah akan tercipta saling

pengertian satu sama lain, saling menghargai dan bersikap kooperatif,

sekalipun dengan bidang tugas yang berbeda.


39
Ibid, hal. 5-6.

44
3. Karateristik yang ketiga adalah speedy disposition atau yang sering

dinamakan national policy in favour of criminal justice administration.

Ishikawa menyatakan bahwa delay of justice us denied of justice.

4. Karateristik yang keempat adalah rehabilitation minded sentencing policy.

Dalam hal ini dapat dikemukakan beberapa prinsip yakni cukup tingginya

penerapan sanksi alternatif selain pidana kemerdekaan (pidana bersyarat,

denda), disparitas pidana yang tidak benar, perhatian yang memadai

terhadap korban kejahatan, adanya tujuan pemidanaan yang jelas dan

sebagainya.

5. Karateristik yang kelima adalah relatif kecilnya rate off recall to prison

(reconviction rate).

Sistem peradilan pidana terpadu yang ideal haruslah memiliki elemen-

elemen sebagai berikut

- Rulification to facilitate standard and equal treatment of similar situations


thus written rules are necessary as a legal basic of actions conducted by
those agencies functioning within the system.
- Functional differentiation to ensure a specific sphere of competence of
each agency within the system, so as to : prevent overlapping authority,
clarify the responsibility of each agency.
- Coordination among units to ensure that agency support the other in order
to achieve the objective of the system.
- Expertise derived from special training for each agency.
- Control mechanism to make sure that each agency and the whole system
function.40

Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, selalu mempunyai konsekuensi

dan implikasi sebagai berikut:


40
Kennet Peak, Op.Cit., hal. 23.

45
- semua subsistem akan saling tergantung (interdependent) karena produk
(output) suatu subsistem merupakan masukan (input) bagi subsistem lain.
- Pendekatan sistem akan mendorong adanya interagency consultation and
cooperation yang pada gilirannya akan meningkatkan upaya penyusunan
strategis dari keseluruhan sistem.
- Kebijakan yang diputuskan dan dijalankan oleh satu subsistem akan
berpengaruh pada subsistem lain.

Apabila di dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana terpadu tidak

diikuti dengan keterpaduan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan,

baik materiil maupun formal serta pendidikan secara integrated antara subsistem

dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana dalam penanggulangan kejahatan,

maka akan menimbulkan permasalahan sebagai berikut:41

- permasalahan dalam penerapan sistem peradilan pidana sulit dipecahkan

secara terpadu dalam penanggulangan kejahatan, masing–masing

subsistem saling melempar tanggung jawab kepada subsistem yang

lainnya dan selalu menunjukkan subsistemnya yang paling benar,

timbulnya sikap instansi sentris atau fragmentaris antar subsistem

maupun tumpang tindih kewenangan

- adanya kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan dan kegagalan

masing-masing subsistem, sehubungan dengan tugas subsistem dalam

peradilan pidana terpadu

- kesulitan dalam membuat data statistik kriminal yang bersumber dalam

satu pintu, karena dalam penanggulangan kejahatan melalui proses

41
H.R Abdussalam dan DPM Sitompul, Abdussalam,H.R, DPM Sitompul, Sistem
Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta, 2007, hal. 3.

46
hukum sudah tidak melalui satu pintu lagi sesuai dengan sistem

peradilan pidana terpadu

Masalah instansi sentris, tumpang tindih kewenangan dan kebijakan

masing-masing subsistem yang ditimbulkan dalam pelaksanaan sistem peradilan

pidana terpadu yang tidak konsekuen dapat juga disebabkan oleh faktor

lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum yang merupakan subsistem

dalam sistem peradilan pidana terpadu. Sistem penegak hukum yang tidak

terstruktur dalam sistem yang terkoordinasi merupakan salah satu kendala dalam

penanggulangan kejahatan dan keberhasilan sistem peradilan pidana terpadu.

Hambatan koordinasi menurut Tossi dan Carol42, sebagaimana dikutip

oleh Maroni dalam tesisnya, ada 2 hal:

1. Kondisi organisasi adalah masalah organisasi yang terjadi karena urut-

urutan yang berlainan, mempunyai kegiatan yang berlainan yang harus

diselesaikan tetapi kegiatan tersebut mempunyai jadwal waktu yang

berlainan.

2. Kondisi manusia adalah faktor yang berhubungan dengan masalah

kelompok-kelompok dan bagian-bagian yang berkembang.

42
Maroni, Koordinasi Penegak Hukum dalam Rangka Pelaksanaan dan Pengawasan
Penahanan pada Proses Penyidikan Perkara Pidana, Tesis Program Pasacasarjana Magister
Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1996, hal. 94.

47
Menurut Lawrence dan Lorsch43, sebagaimana dikutip oleh Maroni dalam

tesisnya, ada 4 jenis sikap dan gaya kerja yang berlainan yang cenderung timbul

diantara berbagai organisasi yang menyulitkan penciptaan koordinasi, yaitu :

1. Perbedaan dalam orientasi dan sasaran khusus.

2. Perbedaan dalam orientasi waktu.

3. Perbedaan dalam orientasi hubungan antar pribadi.

4. Perbedaan formalitas struktural.

Menurut Moekijat44, faktor manusialah yang menyebabkan timbulnya

masalah koordinasi:

1. Karena persaingan sumber daya.

2. Perbedaan status dan urutan pekerjaan.

3. Tujuan-tujuan yang bertentangan.

4. Penglihatan sikap dan penilaian yang berlainan.

5. Wewenang dan penunjukan pekerjaan yang merugikan.

6. Usaha menguasai dan mempengaruhi.

Berdasarkan uraian di atas, maka agar tujuan sistem peradilan pidana

dapat tercapai secara efektif dan efisien, perlu adanya koordinasi antar penegak

hukum, menurut Dann Sugandha45:

43
Ibid, hal. 95.
44
Moekijat, Koordinasi suatu Tinjauan Teoritis, Mandar Maju, Bandung, 1994. hal. 99-
100.

48
”Dalam koordinasi masing-masing akan memperhatikan rangkaian
kegiatan secara keseluruhan di samping melaksanakan tugas dan peranan
masing-masing. Fungsi koordinasi ini sedemikian pentingnya, apalagi bila
administrasi harus berjalan sebagai suatu sistem, sebagai kesatuan yang
bulat dari bagian-bagian (sub-sistem) yang saling berhubungan, saling
menunjang, dan saling bergantung agar administrasi berjalan mencapai
tujuannya”

Untuk mewujudkan koordinasi tersebut, diperlukan adanya hubungan

kerja yang baik, dalam arti terjalinnya komunikasi di antara penegak hukum.

Betapa pentingnya komunikasi dapat digambarkan dari kata-kata Pffinner, bahwa

”communication and coordination are inseparable parts of administration.”46

Menurut Dann Sugandha, bahwa tanpa komunikasi, koordinasi tidak akan

mungkin berjalan, dan tidak mungkin dicapai karena koordinasi merupakan hasil

akhir dari komunikasi yang efektif (coordination is the end product of effective

communication).47

Untuk mencapai koordinasi yang efektif menurut Tripathi dan Reddy,

harus memenuhi 9 (sembilan) syarat yakni, adanya hubungan langsung,

kesempatan awal, kontinuitas, dinamisme, adanya tujuan yang jelas, organisasi

yang sederhana, perumusan wewenang dan tanggung jawab yang jelas,

komunikasi yang efektif, kepemimpinan dan supervisi yang efektif.48

Oleh karena itu, konsultasi yang terus menerus antar unsur penegak

hukum baik langsung maupun tidak langsung, akan membawa penaruh yang

45
Dann Sugandha, Koordinasi Alat Pemersatu Gerak Administasi, Inter Media, Jakarta,
1991, hal. 12.
46
Ibid, hal. 30.
47
Maroni, Op.Cit., hal. 93.
48
Moekijat, Koordinasi Suatu Tinjauan Teoritis, Op.Cit., hal. 42.

49
sangat baik bagi pelaksanaan penerapan hukum, selain merupakan sarana untuk

saling mengingatkan akan tugas dan wewenang masing- masing. Namun

demikian tidak menghilangkan arti, peranan dan fungsinya masing-masing.

Koordinasi menghendaki suetu orientasi kepada tujuan akhir dengan mendapat

dukungan (support) dari kegiatan masing-masing pihak yang terkait dan relevan.49

Menurut pendapat Barda Nawawi Arief50 Sistem Peradilan Pidana

Terpadu diimplementasikan dalam 4 (empat) subsistem kekuasaan, yaitu

kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili/menjatuhkan

pidana, dan kekuasaan eksekusi/pelaksanaan pidana, pada hakekatnya identik

dengan Sistem Penegakan hukum Pidana (SPHP) dan Sistem ”penegakan hukum”

pada dasarnya merupakan ”sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum”.

Kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum ini dapat diidentikkan pula dengan

istilah ”kekuasaan kehakiman.” Oleh karena itu, Sistem Peradilan Pidana Terpadu

atau Sistem Penegakan Hukum Pidana pada hakikatnya juga identik dengan

”Sistem Kekuasaan Kehakiman di bidang Hukum Pidana” (SKK-HP).

Dengan demikian, ”kekuasaan kehakiman (di bidang hukum pidana)”

dilaksanakan oleh empat/badan seperti yang telah dikemukakan di atas. Keempat

badan itulah yang dapat disebut sebagai ”badan-badan kehakiman”, menurut

49
Rizani Puspawidjaya, Aspek Sobural Dalam Penegakan Hukum, Dalam Sunarto dan
Thomas Adyan, Peningkatan Wibawa Penegakan Hukum, FH UNILA, Bandar Lampung,
1987, hal. 244.
50
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan
Pidana
Terpadu, Loc.Cit., hal. 19.

50
istilah yang digunakan dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum

amandemen ke–3). Jadi ”badan-badan kehakiman yang disebut oleh Undang-

Undang Dasar 1945 tidak dapat diidentikan dengan ”badan badan peradilan” yang

disebut dalam Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-

Undang No 14/1974 yang mengalami perubahan berdasarkan Undang-Undang No

35/1999) maupun yang disebut dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945

Amandemen ke-3. Dengan kata lain, kekuasaan kehakiman di bidang hukum

pidana, bukan hanya diwujudkan dalam ”kekuasaan mengadili”, tetapi

diwujudkan/ diimplementasikan dalam 4 (empat) tahap kekuasaan di atas, hal

tersebut juga sesuai dengan ide dari jiwa/semangat (spirit) Undang-Undang Dasar

1945, yang mengandung makna bahwa ”kekuasaan kehakiman” tidak identik

dengan ”kekuasaan peradilan” dan ”badan-badan kehakiman” tidak identik

dengan ”badan-badan peradilan.”51

Bertolak dari pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti luas,maka

kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri harus pula terwujud dalam

keseluruhan proses penegakan hukum pidana. Artinya, keseluruhan kekuasaan

kehakiman di bidang penegakan hukum pidana yaitu ”kekuasaan penyidikan” ,

”kekuasaan penuntutan”, ”kekuasaan mengadili”, dan ”kekuasaan esekusi

pidana”, seharusnya merdeka dan mandiri, terlepas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah/esekutif. Jadi, pengertian ”kekuasaan yang merdeka dan mandiri”

juga harus diperluas, tidak hanya pada kekuasaan peradilan/ kekuasaan mengadili.
51
Ibid, hal. 20.

51
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri harus terwujud dalam

keseluruhan proses dalam atau sistem peradilan pidana. Sekiranya kekuasaan

kehakiman diartikan secara luas, maka Makhamah Agung seyogyanya menjadi

”pengawas dan pengendali puncak/tertinggi” (”the top leader” atau ”the top law

enforcement officer”) dari keseluruhan proses penegakan hukum pidana mulai

dari ”kekuasaan penyidikan”, ”kekuasaan penuntutan”, ”kekuasaan mengadili”,

dan ”kekuasaan esekusi pidana”. Hal tersebut dikarenakan menurut konstitusi,

Makhamah Agung adalah ”pemegang otorita dari penyelenggara kekuasaan

kehakiman yang merdeka dan mandiri.” Adanya pengendali puncak/tertinggi ini

juga merupakan konsekuensi logis dari manajemen sistem peradilan pidana

terpadu karena, tanpa adanya pengendali puncak, dikhawatirkan bekerjanya

sistem peradilan pidana akan bersifat ”fragmentaris”atau ”instansi sentris.” 52

52
Ibid,hal 7-8

52

Anda mungkin juga menyukai