Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkimpoian, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundangundangan atau yurisprudensi,yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara. Salah satu hukum yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Administrasi Negara. Hukum tata usaha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya . Dalam HAN, Yang menjadi salah satu unsur pentingya adalah adanya Asas asas Umum Pemerintahan Yang Baik (General Principle of Good Government). Pergeseran konsepsi nachwachtersstaat (negara peronda) ke konsepsi welfare state membawa pergeseran pada peranan dan aktivitas pemerintah. Pada konsepsi nachwachtersstaat berlaku prinsip staatsonthouding, yaitu pembatasan negara dan pemerintah dari kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Pemerintah bersifat pasif, hanya sebagai penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Sementara itu, pada konsepsi welfare state, pemerintah diberi kewajiban untuk mewujudkan bestuurszorg (kesejahteraan umum), yang untuk campur tangan (staatsbemoeienis) dalam segala lapangan kehidupan masyarakat, Artinya pemerintah dituntut untuk bertindak aktif di tengah dinamika kehidupan masyarakat. Pada dasarnya setiap bentuk campur tangan pemerintah ini harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai perwujudan dari asas legalitas, yang

menjadi sendi utama negara hukum. Akan tetapi, karena ada keterbatasan dari asas ini atau karena adanya kelemahan dan kekurangan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan sebagaimana telah dijelaskan di atas, kepada pemerintah diberi kebebasan Freies Ermessen, yaitu kemerdekaan pemerintah untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Freies Ermessen (diskresionare) merupakan salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. Dalam praktik, Freies Ermessen ini membuka peluang terjadinya benturan kepentingan antara pemerintah dengan warga negara. Menurut Sjachran Basah, pemerintah dalam menjalankan aktivitasnya terutama dalam mewujudkan tujuan-tujuan negara (atau

mengupayakan bestuurszorg) melalui pembangunan, tidak berarti pemerintah dapat bertindak semena-mena, melainkan sikap tindak itu haruslah dipertanggungjawabkan. Artinya meskipun intervensi pemerintah dalam kehidupan warga negara merupakan kemestian dalam konsepsi welfare state, tetapi pertanggungjawaban setiap tindakan pemerintah juga merupakan kemestian dalam negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Konsepsi negara hukum mengindikasikan ekuilibirium antara hak dan kewajiban. Salah satu sarana untuk menjaga ekuilibirium adalah melalui peradilan administrasi, sebagai peradilan khusus yang berwenang dan menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negara. Salah satu tolak ukur untuk menilai apakah tindakan pemerintah itu sejalan dengan negara hukum atau tidak adalah dengan menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang layak.

BAB II PEMBAHASAN .

A. Sejarah Timbulnya Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

Sejak dianutnya konsepsi welfare state, yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan umum warga negara dan untuk mewujudkan kesejahteraan ini pemerintah diberi wewenang untuk campur tangan dalam segala lapangan kehidupan masyarakat, yang campur tangan ini tidak saja berdasarkan pada peraturan perundangundangan, tetapi dalam keadaan tertentu dapat bertindak tanpa bersandar pada peraturan perundang-undangan dan berdasarkan pada inisiatif sendiri melalui Freies Ermessen, ternyata menimbulkan kekhawatiran di kalangan warga negara karena dengan Freies Ermessen muncul peluang terjadinya benturan kepentingan antara pemerintah dengan rakyat, baik dalam bentuk onrechtmatig overheidsdaad, detournement de pouvoir, maupun dalam bentuk willekeur, yang merupakan bentuk-bentuk penyimpangan tindakan pemerintahan terampasnya hak-hak asasi warga negara. Guna menghindari atau meminimalisasi terjadinya benturan tersebut, pada tahun 1946 Pemerintah Belanda membentuk komisi yang dipimpin oleh de Monchy yang bertugas memikirkan dan meneliti beberapa alternatif tentang Verhoogde Rechtsbescherming atau peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan administrasi negara yang menyimpang. Pada tahun 1950 komisi de Monchy kemudian melaporkan hasil penelitiannya tentang verhoogde rechtbescherming dalam bentuk algemene beginselen van behoorlijk bestuur atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hasil penelitian komisi ini tidak seluruhnya disetujui pemerintah atau ada beberapa hal yang menyebabkan perbedaan pendapat antara komisi de Monchy dengan pemerintah, yang menyebabkan komisi ini dibubarkan pemerintah. Kemudian, muncul komisi van de greenten, yang juga bentukan pemerintah dengan tugas yang sama dengan de Monchy. Namun, komisi kedua ini juga mengalami nasib yang sama, yaitu karena ada beberapa pendapat yang diperoleh dari hasil penelitiannya tidak disetujui oleh pemerintah, dan komisi ini pun dibubarkan tanpa membuahkan hasil. Agaknya pemerintah Belanda pada waktu itu tidak sepenuh hati dalam upaya mewujudkan peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan administrasi Negara. Terbukti dengan dibubarkannya dua panitia tersebut, ditambah pula dengan munculnya keberatan dan kekhawatiran di kalangan pejabat dan para pegawai pemerintahan di Nederland yang mengakibatkan

terhadap AAUPB karena dikhawatirkan asas-asas ini akan digunakan sebagai ukuran atau dasar pengujian dalam menilai kebijakan-kebijakan pemerintah. Seiring dengan perjalanan waktu, keberatan dan kekhawatiran para pejabat dan pegawai pemerintahan tersebut akhirnya hilang, bahkan sekarang telah diterima dan dimuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Belanda.

B. Peristilahan, Pengertian, kedudukan, serta fungsi dan arti penting AAUPB

a. Peristilahan AAUPB Di kalangan penulis HAN di Indonesia terdpat perbedaan penerjemahan algemene beginselen van behoorlijk bestuur terutama menyangkut kata beginselen dan behoorlijk. Kata beginselen ada yang menerjemahkan dengan prinsip-prinsip, dasar-dasar, dan asas-asas. Sedangkan kata behoorlijk diterjemahkan dengan yang sebaiknya, yang baik, yang layak, dan yang patut. Dengan penerjemahan ini, algemen beginselen van behoorlijk bestuur menjadi prinsip-prinsip atau dasar-dasar atau asas-asas umum pemerintahan yang baik atau yang sebaiknya. Soehardjo menerjemahkan beginselen dengan dasar-dasar, lalu ia menggunakan istilah dasar-dasar pemerintahan yang baik. menurutnya, sengaja dipilih kata dasar karena mempunyai arti dekat atau terkait dengan peraturan atau ketentuan, sehingga secara langsung dapat dihubungkan baik dalam penafsiran, pelaksanaan dan pengujian (toetsing) peraturan hukumnya. Istilah dasar-dasar atau prinsip-prinsip juga digunakan oleh Djenal Hoesen Koesoemahatmadja. Istilah yang paling banyak digunakan sebagai penerjemahan dari beginselen adalah asas-asas. Adapun untuk kata behoorlijk, yang menerjemahkan dengan yang baik adalah Indroharto, Amrah Muslimin, Paulus E. Lotulung, Muchsan, dan lain-lain. Sedangkan dengan yang menerjemahkan dengan yang layak adalah Ateng Syafrudin, Sjachran Basah, Philipus M. Hadjon, Laica Marzuki, Bagir Manan, dan lain-lain. SF. Marbun dalam buku sebelumnya menggunakan istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik, kemudian menggunakan istilah yang patut dengan alasan bahwa pada kata patut di dalamnya terkandung pengertian baik dan layak. Dalam bahasa Belanda istilah "behoorlijk berarti betamelijk dan passend, yaitu baik, pantas, patut, cocok, sesuai, dan layak. Di samping itu, juga berarti fatsoenlijk, betamelijk wijze, yakni sopan dan terhormat, tata cara yang pantas dan sopan. Dengan mengacu kepada kata asal

behoorlijk ini, yang semuanya menunjukkan kata sifat dan berarti ada yang disifati, yaitu bestuur, maka penerjemahan algemene beginselen van behoorlijk bestuur menjadi asas-asas umum pemerintahan yang baik kiranya lebih sesuai dari segi kebahasaan.

b. Pengertian AAUPB Pemahaman mengenai AAUPB ini tidak hanya dapat dilihat dari segi kebahasaan saja tetapi juga dari sejarahnya hal ini disebabkan kerana azas ini timbul dari sejarah juga. Dengan bersandar pada kedua konteks ini, AAUPB dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenangwenang. Selain itu Jazim Hamidi juga memberikan definisi AAUPB dari hasil penelitiannya yaitu: a) AAUPB merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan hukum administrasi Negara; b) AAUPB berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara s(yang berwujud penetapan/beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat; c) sebagian besar dari AAUPB masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan di masyarakat; d) sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif.

c.

Kedudukan AAUPB dalam sistem hukum Ketika mengawali pembahasan tentang AAUPB, H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt menulis yang terjemahannya sebagai berikut: organ-organ pemerintahan yang menerima wewenang untuk melakukan tindakan tertentu, menjalankan tindakannya tidak hanya terikat pada peraturan perundang-undangan, hukum tertulis, di samping itu organ pemerintah harus memperhatikan hukum tidak tertulis, yaitu asas-asas umum pemerintahan yang baik.

J.B.J.M Ten Berge, sesudah menyebutkan bahwa asas-asas umum pemerintah yang patut ini berkembang setelah perang dunia kedua, ia mengatakan sebagai berikut: istilah asas-asas umum pemerintahan yang patut dapat menimbulkan salah pengertian. Kata asas sebenarnya memiliki beberapa arti. Kata ini mengandung arti titik pangkal, dasar-dasar, atau aturan fundamental. Pada kombinasi kalimat asas penerintahan yang patut, berarti kata asas mengandung arti asas hukum, tidak lain. Asas-asas pemerintahan yang patut sebenarnya dikembangkan oleh peradilan sebagai peraturan hukum mengikat yang diterapkan pada tindakan pemerintah. Suatu keputusan pemerintah yang bertentangan dengan asas pemerintahan yang baik, berarti bertentangan dengan peraturan hukum. Meskipun asas itu berupa pernyataan samar, tetapi kekuatan mengikatnya tidaklah samar: asas ini memiliki daya kerja yang mengikat umum. Istilah pemerintahan yang patut juga dapat menimbulkan salah pengertian. Yang berkenaan dengan hakim bukanlah pemerintahan yang patut, tetapi pemerintahan yang sesuai dengan hukum. Jadi, dapat dikatakan bahwa istilah asas-asas pemerintahan yang patut sebenarnya dimaksudkan sebagai peraturan hukum tidak tertulis pada pemerintahan yang berdasarkan hukum. Berdasarkan pendapat Van Wijk/Willem Konijnenbelt dan Ten Berge tampak bahwa kedudukan AAUPB dalam sistem hukum adalah sebagai hukum tidak tertulis. Menurut Philipus M. Hadjon, AAUPB harus dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati oleh Pemerintah, meskipun arti yang tepat dari AAUPB bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Dapat pula dikatakan bahwa AAUPB adalah asas-asas hukum tidak tertulis darimana untuk keadaan-keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan. d. Fungsi dan arti penting AAUPB Pada awal kemunculannya AAUPB hanya dimaksudkan sebagai sarana perlindungan hukum dan bahkan dijadikan sebagai instrumen untuk peningkatan perlindungan hukum bagi warga Negara dari tindakan Pemerintah. AAUPB selanjutnya dijadikan sebagai dasar penilaian dalam peradilan dan upaya administrasi, di samping sebagai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan pemerintahan. Dalam perkembangannya AAUPB memiliki arti penting dan fungsi sebagai berikut: a) Bagi administrasi negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bersifat sumir, samar, dan

tidak jelas. Kecuali itu sekaligus membatasi dan menghindari kemungkinan administrasi Negara mempergunakan atau melakukan kebijakan yang jauh menyimpang dari ketentuan perundangundangan. b) Bagi warga masyarakat, sebagai pencari keadilan, AAUPB dapat dipergunakan sebagai dasar gugatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986. c) Bagi hakim TUN dapat dipergunakan sebagai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat TUN. d) Kecuali itu AAUPB tersebut dapat juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang suatu Undang-Undang.

C. Asas- Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Di Indonesia Pada mulanya keberadaan AAUPB ini di Indonesia belum diakui secara yuridis formal sehingga belum memiliki kekuatan hukum formal. Ketika pembahasan RUU No. 5 Tahun 1986 di DPR, fraksi ABRI mengusulkan agar asas-asas tersebut dimasukkan sebagai salah satu alasan gugatan terhadap keputusan badan atau pejabat TUN tetapi usulan itu tidak diterima oleh Pemerintah dengan alasan yang dikemukakan oleh Ismail Saleh , selaku menteri kehakiman waktu itu yang mewakili Pemerintah. Tidak dicantumkannya AAUPB dalam UU PTUN buka berarti eksistensinya tidak diakui sama sekali, karena ternyata seperti yang terjadi di Belanda AAUPB ini diterapkan dalam praktik peradilan terutama pada PTUN, sebagaimana akan terlihat nanti pada sebagian contoh-contoh putusan PTUN. Kalaupun AAUPB tidak akomodir dalam UU PTUN, tetapi sebenarnya asas-asas ini dapat digunakan dalam praktik peradilan di Indonesia karena memiliki sandaran dalam pasal 14 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman, pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dalam pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 ditegaskan, hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hukum dalam masyarakat. Dengan ketentuan pasal ini, maka asas-asas ini memiliki peluang untuk digunakan dalam proses peradilan administrasi di Indonesia. Seiring dengan perjalan waktu dan perubahan politik di Indonesia, asas-asas ini kemudian muncul dan dimuat dalam suatu UU, yaitu UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara negara yang bersih dan bebas

dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dengan format yang berbeda dengan AAUPB dari negeri Belanda, dalam pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 disebutkan bebrapa asas umum penyelenggaraan Negara yaitu sebagai berikut: a. Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara Negara. b. Asas tertib penyelenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengadilan penyelenggara Negara. c. Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. d. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Negara dengan tetap memerhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia Negara. e. Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan hak dan kewajiban penyelenggara Negara. f. Asas profesionalitas, asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. g. Asas akuntabillitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. Pembagian Dan Macam-Macam AAUPB a. Pembagian AAUPB Berkenan dengan keputusan, AAUPB terbagi dalam dua bagian yaitu asas yang bersifat formal atau prosedural dan asas yang bersifat material atau substansial. Asas yang bersifat formal berkenaan dengan prosedur yang harus dipenuhi dalam setiap pembuatan keputusan, atau asasasas yang berkaitan dengan cara-cara pengambilan keputusan seperti asas kecermatan yang menuntut Pemerintah untuk mengambil keputusan dengan persiapan yang cermat dan asas permainan yang layak. Menurut Indoharto, asas-asas yang bersifat formal yaitu asas-asas yang bersifat penting, artinya dala rangka mempersiapkan susuna dan motivasi dari suatu beschikking (keputusan). Jadi, menyangkut segi lahiriah dari beschikking itu yang meliputi asas-asas yang

berkaitan dengan proses persiapan dan proses pembentukan keputusan, dan asas-asas yang berkaitan dengan pertimbangan serta susunan keputusan. Asas-asas yang bersifat material tampak pada isi dari keputusan Pemerintah. Termasuk kelompok asas yang bersifat material atau substansial ini adalah asas kepastian hukum, asas persamaan, asas larangan sewenang-wenang, larangan penyalahgunaan kewenangan.

b. Macam-macam AAUPB Telah disebutkan bahwa AAUPB merupakan konsep terbuka dan lahir dari proses sejarah sehingga terdapat rumusan beragam mengenai asas-asas tersebut. Macam-macam AAUPB tersebut adalah sebagai berikut : a) Asas Kepastian Hukum (principle of legal security) Asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses pengadilan. b) Asas Keseimbangan (principle of proportionality) Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan seorang pegawai. Asas ini menghendaki pula adanya kriteria yang jelas mengenai jenisjenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan oleh seseorang sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada dan seiring dengan persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian hukum. c) Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan (principle of equality) Asas ini menghendaki badan pemerintahan mengambil tindakan yang sama (dalam arti tidak bertentangan) atas kasus-kasus yang faktanya sama. Meskipun demikian, agaknya dalam kenyataan sehari-hari sukar ditemukan adanya kesamaan mutlak dalam dua atau lebih kasus. Oleh karena itu, menurut Philipus M. Hadjon, asas ini memaksa pemerintah untuk menjalankan kebijaksanaan. d) Asas Bertindak Cermat atau Asas Kecermatan (principle of carefulness) Asas ini menghendaki agar pemerintah atau administrasi bertindak cermat dalam melakukan berbagai aktivitas penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara. Apabila berkaitan dengan tindakan pemerintah untuk

mengeluarkan keputusan, pemerintah harus mempertimbangkan secara cermat dan teliti semua faktor dan keadaan yang berkaitan dengan materi keputusan, mendengar dan mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, juga harus

mempertimbangkan akibat-akibat hukum yang muncul dari keputusan tata usaha negara tersebut.

e) Asas Motivasi untuk Setiap Keputusan (principle of motivation) Asas ini menghendaki setiap keputusan badan-badan pemerintah harus mempunyai motivasi atau alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan dan sedapat mungkin alasan atau motivasi itu tecantum dalam keputusan. Motivasi atau alasan ini harus benar dan jelas sehingga pihak administrabele memperoleh pengertian yang cukup jelas atas keputusan yang ditujukan kepadanya. Asas pemberiaan alasan ini dapat dibedakan dalam tiga sub varian berikut ini : 1) Syarat bahwa suatu ketetapan harus diberi alasan 2) Ketetapan harus memiliki dasar fakta tang teguh 3) Pemberian alasan harus cukup dapat mendukung f) Asas tidak Mencampuradukkan Kewenangan (principle of nonmisuse of competence) Kewenangan pemerintah secara umum mencakup tiga hal, yaitu kewenangan dari segi material (bevoegheid ratione materiale), kewenangan dari segi wilayah (bevoegheid ratione loci), dan kewenangan dari segi waktu (bevoegheid ratione temporis). Asas tidak mencampuradukkan kewenangan ini menghendaki agar pejabat tata usaha negara tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang yang melampaui batas. g) Asas Permainan yang Layak (principle of fair play) Asas ini menghendaki agar warga negara diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan serta diberi kesempatan untuk membela diri dengan memberikan argumentasi-argumentasi sebelum dijatuhkannya putusan administrasi. Asas ini juga menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara. Asas keterbukaan ini mempunyai fungsi-fungsi penting, yaitu sebagai berikut: 1) Fungsi partisipasi. 2) Fungsi pertanggungjawaban umum dan pengawasan keterbukaan. 3) Fungsi kepastian hukum.

4) Fungsi hak dasar. h) Asas keadilan dan Kewajaran (principle of reasonable or prohibition of arbitrariness) Asas ini menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi negara selalu memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran. Asas keadilan menuntut tindakan secara proporsional, sesuai, seimbang, dan selaras dengan hak setiap orang. i) Asas Kepercayaan dan Menanggapi Pengharapan yang Wajar (principle of meeting raised expectation) Asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan bagi warga negara. Oleh karena itu, aparat pemerintah harus memperhatikan asas ini sehingga jika suatu harapan sudah terlanjur diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik kembali meskipun tidak menguntungkan bagi pemerintah. j) Asas Meniadakan Akibat suatu Keputusan yang Batal (principle of undoing the concequences of an annulled decision) Asas ini berkaitan dengan pegawai, yang dipecat dari pekerjaannya dengan suatu surat ketetapan (beschikking). Proses menempatkan kembali pada pekerjaan semula, pemberian ganti rugi atau kompensasi, dan pemulihan nama baik merupakan cara-cara untuk meniadakan akibat keputusan yang batal atau tidak sah. k) Asas Perlindungan Atas Pandangan atau Cara Hidup Pribadi (principle of protecting the personal may of life) Asas ini menghendaki pemerintah melindungi hak atas kehidupan pribadi setiap pegawai negeri dan juga tentunya hak kehidupan pribadi setiap warga negara, sebagai konsekuensi negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi setiap warga negara. Dengan kata lain, asas ini merupakan pengembangan dari salah satu prinsip negara hukum, yakni perlindungan hak asasi. l) Asas Kebijaksanaan (sapientia) Asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan formal karena peraturan perundang-undangan formal atau hukum tertulis itu selalu membawa cacat bawaan yang berupa tidak fleksibel dan tidak dapat menampung semua persoalan serta cepat ketingggalan zaman, sementara perkembangan masyarakat itu bergerak dengan cepat dan dinamis. Oleh karena itu, pemerintah bukan saja dituntut untuk

bertindak cepat, tetapi juga dituntut untuk berpandangan luas dan jauh serta mampu memperhitungkan akibat-akibat yang muncul dari tindakannya tersebut. m) Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (principle of public service) Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum, yakni kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banyak. Penyelenggaraan kepentingan umum dapat berwujud hal-hal di antaranya:

1)

Memelihara kepentingan umum yang khusus mengenai kepentingan negara, misalnya tugas pertahanan dan

keamanan. 2) Memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan bersama dari warga negara yang tidak dapat dipelihara oleh warga negara sendiri, misalnya adalah persediaan sandang pangan, perumahan, kesejahteraan, dan lain-lain. 3) Memelihara kepentingan bersama tidak seluruhnya dapat dilakukan oleh para warga negara sendiri, dalam bentuk bantuan Negara, misalnya pendidikan dan pengajaran, kesehatan, dan lainlain. 4) Memelihara kepentingan dari warga negara perseorangan yang tidak seluruhnya dapat diselenggarakan oleh warga negara sendiri, dalam bentuk bantuan negara karena adakalanya negara memelihara seluruh kepentingan perseorangan tersebut, misalnya adalah memelihara fakir miskin, anak yatim piatu, anak cacat, dan lain-lain. 5) Memelihara ketertiban, keamanan, dan kemakmuran setempat, misalnya adalah peraturan lalu lintas, pembangunan, perumahan, dan lain-lain

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Penyimpangan tindakan pemerintahan yang mengakibatkan terampasnya hak-hak asasi warga Negara, guna menghindari atau meminimalisasi terjadinya benturan tersebut, pada tahun 1946 Pemerintah Belanda membentuk komisi yang dipimpin oleh de Monchy yang bertugas memikirkan dan meneliti beberapa alternatif tentang Verhoogde Rechtsbescherming atau peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan administrasi negara yang menyimpang. Soehardjo menerjemahkan beginselen dengan dasar-dasar, lalu ia menggunakan istilah dasar-dasar pemerintahan yang baik. Istilah dasar-dasar atau prinsip-prinsip juga digunakan oleh Djenal Hoesen Koesoemahatmadja. Istilah yang paling banyak digunakan sebagai penerjemahan dari beginselen adalah asas-asas. AAUPB dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang. Dapat pula dikatakan bahwa AAUPB adalah asas-asas hukum tidak tertulis darimana untuk keadaankeadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan. Dalam perkembangannya AAUPB memiliki arti penting dan fungsi sebagai berikut: a) Bagi administrasi negara, b) Bagi warga masyarakat, c) Bagi hakim TUN d) Kecuali itu AAUPB tersebut dapat juga berguna bagi badan legislativedalam merancang suatu Undang-Undang. Dalam pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 disebutkan bebrapa asas umum penyelenggaraan Negara yaitu sebagai berikut:

a) Asas kepastian hukum b) Asas tertib penyelenggaraan Negara c) Asas kepentingan umum d) Asas keterbukaan e) Asas proporsionalitas f) Asas profesionalitas

g) Asas akuntabillitas AAUPB terbagi dalam dua bagian yaitu asas yang bersifat formal atau prosedural dan asas yang bersifat material atau substansial. Telah disebutkan bahwa AAUPB merupakan konsep terbuka dan lahir dari proses sejarah sehingga terdapat rumusan beragam mengenai asas-asas tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_I...rasi.29_negara http://po-box2000.blogspot.com/2010/...yang-baik.htmlhttp://pobox2000.blogspot.com/2010/...#ixzz1cX2zJpiY http://sobatbaru.blogspot.com/2008/0...si-negara.html http://putracenter.net/2009/05/30/de...rut-para-ahli/ http://itjen-depdagri.go.id/article-23-pelayanan-publik-good-governance-amp-aaupb-dalamdiskresi.html http://mypacemyworld.blogspot.com/2011/05/sejarah-aaupl.html http://agussalimandigadjong.blogspot.com/2011/01/tulisan-artikel_4736.html http://fakultashukum-universitaspanjisakti.com/informasi-akademis/bahan-kuliah/33-bahankuliah-han.html http://studiadministrasinegaradanlingkungan.blogspot.com/2011/01/makalah-aaupb.html

Anda mungkin juga menyukai