Anda di halaman 1dari 37

PEMBANGUNGAN BERKELANJUTAN: STATUS HUKUM DAN

PEMAKNAANNYA

Andri G.Wibisana l

Abstract
Since 1990s almost every country in the world has acknowledged and adopted
sustainable development as the objective of the country's environmental policy
and development agenda. According to the World Commission on Environment
and Development, sustainable development is development that meets the
needs of the present without compromising the ability offuture generations to
meet their own needs. However, the concept of sustainable development lacks
clarity, which leads to various and conflicting interpretations. In addition, the
legal status of sustainable development is also debatable. This paper attempts
to answer the question of how the concept ofsustainable development has been
developed, interpreted, implemented, and adopted in various international
talks addressing global environmental problems and in Indonesian
environmental law.

Keywords: sustainable development, principles of environmental law

Abstrak
Sejak tahun 1990-an hampir setiap negara di dunia telah mengakui dan
mengadopsi sustainable development sebagai tujuan agenda kebUakan dan
pembangunan lingkungan di negaranya. Menurut Komisi Dunia untuk
Lingkungan dan Pembangunan, pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Namun, konsep pembangunan berkelanjutan tidak memiliki kejelasan, yang
mengarah ke berbagai interpretasi dan saling bertentangan. Selain itu, status
hukum sustainable development juga diperdebatkan. Tulisan ini mencoba
untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana konsep sustainable
development n telah dikembangkan, ditafsirkan, diimplementasikan, dan
diadopsi dalam berbagai perundingan internasional yang membahas masalah
lingkungan global dan dalam hukum lingkungan Indonesia.

Kata kunci: pembangunan berkelanjutan, prinsip-prinsip hukum lingkungan

I Pengajar Hukum Lingkungan pada Fakultas Hukum VI. Alamat kontak:


mraQ\viuvahoo.com; amlri. Qunawan(a' ui.ac .id.
Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaknaannya, Wibisana 55

Even an entire society, a nation, or all simultaneously


existing societies taken together, are not the owners of the
earth, They are simply its possessors, its beneficiaries, and
have to bequeath it in an improved state to succeeding
generations, as boni patres familias - Karl Marx, Capital
Vo!' 3 (Penguin Books, 1981), hal. 91 L

I. Pendahuluan

Seiring semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan buruknya


kondisi 1ingkungan hidup dan pentingya perlindungan 1ingkungan, maka issu
lingkungan semakin memperoleh temp at yang penting dalam perumusan
kebijakan, baik itu di tingkat nasional maupun intemasional. Dalam konteks
ini, pertumbuhan ekonomi tidak lagi dipandang sebagai sebuah tujuan yang
tidak bisa diganggu gugat Seba1iknya, pertumbuhan ekonomi harus di1etakkan
di da1am kerangka perlindungan 1ingkungan. Pembangunan, karenanya, ada1ah
pembangunan yang berke1anjutan (sustainable development).
Undang-undang 1ingkungan hidup di Indonesia sendiri sejak awa1 telah
memuat gagasan-gagasan mengenai pembangunan berke1anjutan. Pada Pasa1 3
UU No.4 tahun 1982 tentang ketentuan pokok penge101aan 1ingkungan hidup
(UULH) dinyatakan bahwa penge101aan 1ingkungan hidup dilakukan untuk
"menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan
kesejahteraan manusia".2 Di samping itu, Pasa1 4 UU No. 4 tahun 1982
menyatakan pula bahwa salah satu tujuan dari pengelolaan lingkungan hidup
adalah "terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk
kepentingan generasi sekarang dan mendatang". Dari bunyi Pasa1 3 dan 4
tersebut terlihat bahwa meskipun UU No.4 tahun 1982 menggunakan isti1ah
pembangunan berwawasan lingkungan dan pembangunan berke1anjutan,
namun kedua isti1ah ini masih dapat dikatakan seja1an dengan pembangunan
berkelanjutan. Gagasan tentang keadi1an antar generasi pun bahkan sudah
terlihat dari Pasal 4 tersebut.
Sementara itu, UU No. 23 tahun 1997 tentang penge10laan 1ingkungan
hidup, yang merupakan pengganti UU No. 4 tahun 1982, secara je1as sudah
memasukan pembangunan berke1anjutan di dalam ketentuan-ketentuannya. Hal
ini misalnya dapat dilihat dari Pasa1 3 tentang asas yang menyatakan bahwa
salah satu as as dari pengelolaan lingkungan adalah "pembangunan
berkelanjutan berwawasan lingkungan". Dengan demikian, maka UU No. 23
tahun 1997 telah mulai menggunakan istilah "pembangunan berkelanjutan",
meskipun masih digabungkan dengan [rase "berwawasan lingkungan". Di
samping itu, pengakuan terhadap keadi1an antar generasi pun terlihat di da1am
Pasal 4 UU No. 23 tahun 1997 yang menyatakan bahwa salah satu sasaran dari

2 Oapat dimengerti bahwa UU ini tidak menggunakan istilah "pembangunan


berkelanjutan" (sustainable development) karena pada saat itu istilah ini memang belumlah
lazim digunakan.
56 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

pengelolaan lingkungan hidup adalah "terjaminnya kepentingan generasi masa


kini dan generasi masa depan." Pengakuan terhadap pentingnya issue keadilan
sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan dipertegas kembali di dalam
Penjelasan Pasal 3 yang menyatakan bahwa:

[a} sas keberlanjutan mengandung makna setiap orang memikul


kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang,
dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk
terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka
kemampuan lingkungan hidup harus dilestarikan. Terlestarikannya
kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuan terlanjutkannya
pembangunan.

Pembangunan berkelanjutan pun mendapat pengakuan di dalam UU No.


32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
sebagai pengganti dari UU No. 23 tahun 1997. Pasal 2 UU No. 32 tahun 2009
menyatakan bahwa asas dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
adalah asas kelestarian dan keberlanjutan dan asas keadilan. Penjelasan Pasal 2
ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan as as kelestarian dan
keberlanjutan adalah:
Bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab
terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu
generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung
ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup.

Sedangkan yang dimaksud dengan as as keadilan adalah:


Bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender.

Dari kutipan Pasal 2 dan penjelasannya tersebut dapat disimpulkan dua


hal. Pertama, UU No. 32 tahun 2009 mengakui pembangunan berkelanjutan
merupakan asas hukum lingkungan. Kedua, UU No. 32 tahun 2009
menambahkan keadilan dalam satu generasi, di samping juga keadilan antar
generasi, sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan.
Di samping itu, UU No. 32 tahun 2009 juga menyatakan bahwa tujuan
dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah untuk "menjamin
terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan", dan
"mewujudkan pembangunan berkelanjutan". Dengan demikian, maka
pembangunan berkelanjutan dan keadilan intra dan antar generasi dianggap
tidak hanya sebagai asas hukum lingkungan, tetapi juga merupakan tujuan dari
pengaturan hukum lingkungan di Indonesia.
Pada bagian ini, perlu pula disebutkan bahwa di samping di dalam UU
tentang pengelolaan lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan bahkan
dimasukkan ke dalam konstitusi. Dalam hal ini, Pasal 33 ayat (4) UUD 1945
Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaf..71aannya, Wibisana 57

(Amandemen Keempat) menyatakan bahwa perekonomian Indonesia


didasarkan beberapa asas, di antaranya asas berkelanjutan dan asas
berwawasan lingkungan. Dengan demikian, maka sesungguhnya Indonesia
tidak saja merupakan salah satu dari sedikit negara yang memasukkan
ketentuan mengenai perlindungan lingkunan di dalam konstitusinya, tetapi juga
negara yang secara jelas telah menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai
as as dari sistem ekonominya.
Meski demikian, konsep pembangunan berkelanjutan ini bukanlah
sebuah konsep yang sudah jadi dan "siap pakai", melainkan sebuah konsep
yang multi tafsir dan masih memerlukan pengembangan. Dalam hal ini,
muncul pertanyaan apakah pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah
konsep saja, ataukah merupakan sebuah prinsip hukum dan bersifat normatif.
Di sisi lain, muncul pula pertanyaan mengenai bagaimana pembangunan
berkelanjutan diakui dan diterapkan dalam hukum intemasional, serta apa
makna dari prinsip berkelanjutan itu sendiri.
Untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas, tulisan ini akan akan dibagi
ke dalam beberapa bagian. Setelah Pendahuluan ini, Bagian 2 akan secara
singkat menjelaskan tentang perkembangan pembangunan berkelanjutan dan
pembenaran etis atas pembangunan berkelanjutan. Bagian 3 akan menjelaskan
bagaiman pengakuan pembangunan berkelanjutan di dalam beberapa konvensi
dan putusan badan peradilan intemasional. Selanjutnya, perdebatan dan
pembahasan terkait makna hukum dari pembangunan berkelanjutan akan
dipaparkan pada Bagian 4. Sedangkan Bagian 5 akan memberikan kesimpulan
dari tulisan ini.

II. Konsep Pembangunan Berkelanjutan

1. Pengantar

Konsep Sustainable Development bukanlah merupakan sebuah


konsep yang muncul pada satu ketika, melainkan merupakan hasil dari
proses perdebatan panjang antara kebutuhan akan pembangunan dan
kesadaran akan pentingnya perlindungan lingkungan hidup. Pada tahun
1983, Majelis Umum PBB membuat sebuah lembaga yang bertugas
mengkaji ulang beberapa masalah penting yang terkait dengan
pembangunan dan lingkungan hidup, serta merumuskan langkah yang
inovatif, kongkret dan realistik yang untuk mengatasi permasalahan-
permasalahan tersebut. Lembaga ini bemama World Commission on
Environment and Development (WCED) atau sering disebut sebagai
Brundtland Commission.
Pada tahun 1987, WCED mengeluarkan sebuah laporan yang
berjudul Our Common Future. Komisi ini bukanlah komisi yang
menemukan istilah Sustainable Development, meski diakui bahwa komisi
inilah yang mempopulerkan istilah tersebut dan menempatkannya tepat di
pusat pembuatan kebijakan intemasional. Komisi ini mendefinisikan
pembangunan berkelanjutan sebagai "development that meets the needs
58 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

of the present without compromising the ability offuture generations to


meet their own needs".3 Menurut penjelasan Komisi, definisi di atas
mengandung dua unsur: unsur kebutuhan (needs) dan unsur keterbatasan
(limitations). Terkait dengan unsur kebutuhan, Komisi beranggapan
bahwa kebutuhan tersebut terutama adalah kebutuhan dari mereka yang
miskin, yang harus merupakan prioritas dari upaya pemenuhan
kebutuhan. Sedangkan terkait un sur keterbatasan, Komisi
mengartikannya sebagai keterbatasan kemampuan lingkungan, yang
diciptakan oleh kondisi teknologi dan organisasi sosial, untuk memenuhi
kebutuhan generasi sekarang dan akan datang. 4
Pada tanggal 3-14 Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, diadakan
sebuah konferensi tingkat tinggi yang dihadiri oleh para kepala negara
dari seluruh dunia, yang diberi nama United Nations Conference on
Environment and Development (UNCED) atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Konferensi Rio. Konferensi ini menghasilkan 5 dokumen serta I
institusi yang penting bagi pembangunan berkelanjutan yaitu: 5
I). Rio Declaration (Deklarasi Rio), 6
2). Agenda 21-sebuah blueprint bagi rencana kerja
pengimplementasian pembangunan berkelanjutan pada abad 21,
3). Forestry Principles (Prinsip-prinsip Kehutanan),
4). The UN Convention on Biodiversity (Konvensi tentang
Keanekaragaman Hayati)/
5). the UN Framework Convention on Climate Change (Konvensi
mengenai perubahan iklim),8 serta

3 Sharon Beder, "Environmental Principles and Policies: An Interdiciplinmy


Introduction ", (Oxford, UK: Earthscan, 2006), hal. 18.

Secara utuh, Komisi menyatakan:


4
[s]ustainable development is development that meets the needs of the present without
compromising the ability of future generations to meet their own needs. It contains
within it two key concepts:
- the concept of 'needs', in particular the essential needs of the world's poor, to which
overriding priority should be given; and
- the idea of limitations imposed by the state of technology and social organization on
the environment's ability to meet present and future needs."
Lihat: World Commission on Environment and Development, "Report of the World
Commission on Environment and Del'elopment: Our Common Future", UN. Doc. Al42/427
(Aug. 4, 1987), Ch.2, par.l. Tersedia di: <http://www.un-documents.net/wced-ocf.htm>.
diakses tanggal 12 September 2013.

5 David Hunter, James Salzman, dan Durwood Zaelke, "International Environmental Law
and Policy", (Thomson Reuters: Foundation Press, 1998), hal. 303.

6 UN Doc. AlCONF.15I126 (vol. I), 31 ILM 874 (l992)-selanjutnya disebut Deklarasi


Rio.

7 The 1992 Convention on Biological Diversity, 5 June 1992 (in force 29 December 1993),
1760 UNTS 79, 31 ILM 818 (1 992)-selanjutnya disebut CBD.
Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan PemaJ...7wannya, Wibisana 59

6). Commission on Sustainable Development-sebuah komisi yang


diciptakan untuk memantau pelaksanaan kesepakatan-kesepakan Rio
dan Agenda 21.
Konsep pembangunan berkelanjutan secara jelas tertuang di dalam
prinsip 1, 3 dan 4 Deklarasi Rio serta menjiwai keseluruhan prinsip dari
deklarasi ini. Deklarasi ini menyatakan bahwa bahwa umat manusia
merupakan pusat dari perhatian pada pembangunan berkelanjutan. 9
Dengan demikian, manusia berhak atas hidup yang sehat dan produktif,
serta harmonis dengan alamo Selanjutnya, Deklarasi Rio juga menyatakan
bahwa hak atas pembangunan harus dicapai untuk secara seimbang
memenuhi kebutuhan akan pembangunan dan lingkungan hidup dari
genarasi sekarang dan yang akan datang. 10 Di samping itu, Deklarasi Rio
juga menyatakan pentingnya pengintegrasian pertimbangan lingkungan
di dalam kebijakan negara. Dalam konteks ini, Deklarasi Rio menyatakan
bahwa dalam rangka mencapai pembangunan yang berkelanjutan,
perlindungan lingkungan hidup harus merupakan bagian yang integral
dari proses pembangunan dan tidak dapat dipandang sebagai sesuatu
yang terpisah darinya. II
Selanjutnya, komitmen untuk melaksanakan pembangunan
berkelanjutan dipertegas kembali di dalam the World Summit on
Sustainable Development, yang berlansung di Johannesburg, Afrika
Selatan, pada tahun 2002. Pertemuan puncak pemimpin dunia ini
mengadopsi Johannesburg Declaration on Sustainable Development,
yang antara lain menegaskan kembali janji para pemimpin dunia kepada
umat manusia untuk menJamm terwujudnya pembangunan
12
berkelanjutan.

2. Pembenaran atas Pembangunan Berkelanjutan: Perspektif


Utilitarian, Deontologis, dan Rawlsian

Pandangan kaum utilitarian seringkali digolongkan ke dalam


pandangan konsekuensialis. Menurut pandangan ini, nilai dari sebuah

8 The 1992 UN Framework Convention on Climate Change, 9 May 1992 (in force 21
March 1994), 1771 UNTS 107,31 ILM 849 (l992)-selanjutnya disebut UNFCCC.

9 Deklarasi Rio, UN Doc. AlCONF.151/26 (vol. 1),31 ILM 874 (1992), Prinsip I.

10 Deklarasi Rio, UN Doc. AlCONF.151126 (vol. I), 31 ILM 874 (1992), Prinsip 3.

II Deklarasi Rio, UN Doc. AlCONF.151/26 (vol. I), 31 ILM 874 (1992), Prinsip 4.

12 DekJarasi Johannesburg menyatakan "[fJrom the African continent, the cradle of


humankind, we solemnly pledge to the peoples of the world and the generations that will surely
inherit this Earth that we are determined to ensure that our collective hope for sustainable
development is realized." Johannesburg Declaration on Sustainable Development, par. 37.
T erdapat pada: <http://www. un.org/ esa/sustdev/documents/WS SD_ PO 1_PD/English!
POI]D.htm>, diakses pada tanggal23 September 2013.
60 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

tindakan ditentukan oleh hasil atau tujuan dari tindakan tersebut. Dalam
hal ini, Bentham, sebagaimana dikutip oleh Alder dan Wilkinson,
menyatakan bahwa:
[aJn action then may be said to be conformable to the principle
of utility, or, for shortness sake, to utility (meaning with respect
to the community at large) when the tendency it has to augment
the happiness of the community is greater than any it has to
diminish it. 13
Dari kutipan ini terlihat bahwa ukuran yang digunakan untuk
menentukan apakah sebuah tindakan itu benar atau tidak adalah hasil
akhir dari tindakan tersebut, yaitu apakah tindakan tersebut menghasilkan
kebahagiaan yang terbesar atau tidak.
Apabila kebahagiaan, sebagai ukuran baik tidaknya sebuah tindakan,
ditarik sehingga melampaui batas generasi, maka sepintas kita akan
melihat aspek keberlanjutan dari etika utilitarianisme. 14 Dalam konteks
ini, maka pemaksimalan kesejahteraan sebagai tujuan dari utilitarianisme
haruslah bersifat non-diskrimitatif terhadap waktu, dalam arti bahwa
setiap generasi harus dipandang memiliki kepentingan dan bobot yang
sarna, sehingga ukuran kesejahteraan haruslah kesejahteraan yang
bersifat lintas generasi. 15 Kebahagiaan atau kesejahteraan generasi
sekarang tidak boleh dianggap lebih tinggi atau lebih bemilai
dibandingkan dengan kebahagiaanlkesejahteraan dari generasi yang akan
datang. 16 Atas dasar inilah maka prinsip utilitarian ideal ini menjadi dekat
dengan aliran "enlightened anthropocentrism", yang melihat bahwa
perlindungan terhadap kepentingan manusia pada akhimya memerlukan
juga perlindungan dan pemeliharaan sistem lingkungan yang berfungsi
menyokong kehidupan manusia (environmentall~re supporting !;ystem).17
Sementara itu, pandangan deontologis menolak gagasan bahwa nilai
suatu tindakan ditentukan oleh hasil akhimya. Pandangan ini mengajukan
gagasan yang didasarkan pada hak (rights) dan kewajiban (duties), di
mana suatu tindakan yang bemilai baik pada dirinya (intrinsic value)
dilakukan karena tindakan itu sendiri sudah merupakan tujuan. 18
Pandangan deontologis dapat dilihat secara jelas pada filsafat Kant

13 John Alder dan David Wilkinson, "Environmental Law and Ethics ", (London:
Macmillan Press, 1999), hal. 38.

14 Dalam konteks ini, Bentham sendiri pun menyatakan bahwa prinsip utilitarianisme
dapat diterapkan pada generasi yang akan datang dan pada binatang. Ibid., hal. 39.

15 Ibid., hal. 55.

16 Ibid., hal. 132.

17 Ibid., hal. 53.

18 Ibid., hal. 40.


Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemalc71aannya, Wibisana 61

mengenai imperatif kategoris, dengan maxim-nya Kant yang terkenal:


[a]ct only on the maxim through which you can at the same time will it to
be a universal law,19 Berdasarkan maxim ini, maka tindakan
perlindungan lingkungan dianggap merupakan imperatif kategoris, Kita
bisa mengasumsikan bahwa perlindungan lingkungan ini diinginkan oleh
semua orang, baik yang hidup pada generasi sekarang maupun generasi
yang akan datang. Sebaliknya, karena perbuatan pencemaran saat ini
kemungkinan akan menimbulkan akibat pada masa yang akan datang,
maka kita pun dapat berasumsi bahwa pencemaran lingkungan tidak akan
diinginkan secara universal: meskipun misalnya pencemaran ini
diinginkan oleh generasi yang akan datang, sudah pasti generasi yang
akan datang tidak akan menghendaki pencemaran tersebut. 20 Dengan
demikian, maka pembangunan berkelanjutan dapat pula dianggap sebagai
upaya yang merupakan imperatif kategoris, yang diinginkan oleh segenap
manusia pada setiap generasi.
Terakhir, pembangunan berkelanjutan pun dapat kita telaah
berdasarkan pandangan Rawls tentang keadilan. Menurut Rawls, sebuah
sistem dikatakan adil jika memenuhi dua prinsip. Pertama, setiap orang
memiliki hak yang sarna atas kebebasan mendasar yang sarna (equal
basic liberties). Kedua, ketidaksamaan ekonomi at au sosial disusun
sedemikian rupa sehingga ketidaksamaan ini pada satu sisi akan
menguntungkan mereka yang paling tidak beruntung (the least
advantaged), dan pada sisi lain terkait dengan posisi yang terbuka
berdasarkan persamaan kesempatan. 21 Dalam kaitan dengan ini,
pembangunan berkelanjutan dapat dibenarkan berdasarkan teori Ralws,
jika pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang
tidak hanya memberikan persamaan at as hak-hak mendasar, tetapi juga
memberikan perlindungan pada mereka yang paling tidak beruntung,
baik yang hidup pada generasi sekarang maupun generasi yang akan
datang.
Rawls sendiri menyatakan bahwa prinsip keadilannya dapat
diterapkan pada hubungan antar generasi dalam kaitannya dengan apa
yang disebutnya sebagai "just saving principle".22 Dalam hal ini, Rawls
menyatakan bahwa:

19 Ibid., hal. 41.

20 Ibid., hal. 130-131.

21 John Rawls, "A TheO/y of Justice ", revised ed. (USA: Oxford University Press, 1999),
hal. 266.

22 "Just Saving Principle" adalah sebuah gagasan untuk menentukan seberapa ban yak
sumber daya yang hams disisihkan oleh setiap generasi agar dapat dikatakan adil. Dalam hal
ini, Rawls menyatakan bahwa "[0 ]bviollsly if all generations are to gain (except perhaps the
earlier ones), the parties must agree to savings principle that insures that each generation
receives its due form its predecessors dan does its fair sharefor those to come". Ibid., hal. 254.
62 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

Persons in different generations have duties and obligations to


one another just as contemporaries do. The present generation
cannot do as it pleases but is bound by the principles that
would be chosen in the original position to define justice
between persons at different moments of time. In addition, men
have a natural duty to uphold and to further just institutions
and for this the improvement of civilization up to a certain
l eve l lS· requlre
. d.23

Berdasarkan kutipan di atas, maka dalam perspektif Rawlsian


perlindungan lingkungan dalam rangka mewujudkan pembangunan
berkelanjutan dapat dibenarkan karena dua alasan. Pertama,
perlindungan lingkungan atau pembangunan berkelanjutan ini adalah
sebuah upaya yang akan diambil oleh para pihak yang berada dalam
posisi asali, yaitu dalam keadaan keserbataktahuan (the veil of
ignorance). Para pihak yang tidak tahu apakah mereka akan hidup
sekarang atau pada mas a yang akan datang, ketika dihadapkan pada
pilihan apakah akan memanfaatkan sumber daya secara berkelanjutan
atau menghabiskan sumber daya saat ini dan menyisakan kerusakaan
alam di masa datang, diasumsikan akan memilih pilihan yang pertama.
Hal ini terjadi karena dengan memilih pilihan yang pertama, maka para
pihak terhindar dari kemungkinan terburuk, yaitu ketika mereka temyata
hidup di masa yang akan datang (dan dalam keadaan lingkungan yang
telah rusak dan sumber daya yang telah habis). Kedua, pandangan Rawls
bahwa setiap generasi memiliki kewajiban alamiah untuk menyisihkan
(sumber daya) bagi generasi yang akan datang, menunjukkan bahwa
keberlanjutan pemanfaatan sumber daya merupakan sebuah tindakan
yang bersifat universal. Dalam konteks ini, maka penjelasan Rawlsian
at as pembangunan berke1anjutan menjadi sejalan dengan pandangan
kaum deontologis.

III. Status Hukum dari Pembangunan Berkelanjutan

Pada bagian sebelumnva telah diterangkan oengadoosian konseo


oembangunan berkelaniutan di dalam Deklarasi Rio tahun 1992 dan Deklarasi
Johannesburg tahun 2002. Secara hukum. oosisi oembangunan berkelaniutan
belumlah begitu kuat. sebab secara teoritis deklarasi hanvalah meruoakan
sumber hukum "soft law". vaitu komitmen oolitis yang tidak mengikat secara
hukum?4 Dalam bagian ini akan diterangkan bagaimana pembangunan

23 Ibid., hal. 258.

24 Menurut Kiss dan Shelton, deklarasi, resolusi, rekomendasi, atau rencana kerja
merupakan instrument soft law, yaitu instrumen yang memuat kesepakatan atau pemyataan
politis yang tidak mengikat secara hukum. Alexandre Kiss dan Dinah Shelton, "Guide to
International Environmental Law", (Springer, Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers,
2007), hal. 8-9. Menurut Kiss dan Shelton, instrumen soft law berkembang karena berbagai
alasan, di antaranya bahwa in strum en yang tidak mengikat secara hukum lebih fleksibel, lebih
Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaknaannya, Wibisana 63

berkelaniutan diadopsi dalam berbagai instrumen "hard law", seperti konvensi


dan Dutusan, untuk memperlihatkan bahwa dalam perkembangannva
pembangunan berkelanjutan temyata telah memperoleh posisi yang cukup kuat
secara hukum.

1. Pembangunan Berkelanjutan dalam Berbagai Konvensi

Seperti telah disebutkan sebelumnya, KTT Bumi di Rio de Janeiro


tahun 1992 telah menghasilkan dua buah konvensi, yaitu UNFCCC dan
CBD. Kedua konvensi ini secara jelas telah mengadopsi pembangunan
berkelanjutan.
Dalam konteks perubahan iklim, paragraf pembukaan dari UNFCCC
menyatakan bahwa Negara Peserta bertekad "to protect the climate
system for present and future generations".25 Selanjutnya, UNFCCC
menyatakan pula bahwa N egara Peserta memiliki hak atas dan harus
mendukung pembangunan berkelanjutan. Kebijakan dan langkah-Iangkah
perlindungan iklim haruslah sesuai dengan kondisi dari tiap Negara, serta
harus terintegrasi di dalam program pembangunan tiap Negara. Dalam
hal ini, UNFCCC mengakui bahwa pembangunan ekonomi merupakan
unsur yang esensial bagi penanganan perubahan iklim. 26 Selanjutnya,
UNFCCC juga menginginkan terwujudnya kerja sarna di antara Negara
Peserta untuk menciptakan sistem ekonomi dunia yang mengarah pada
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, terutama di negara
berkembang, sehingga memungkinkan Negara Peserta untuk mengatasi
perubahan iklim secara lebih baik.27

mudah dibuat dan disepakati, dan kadang kala menghasilkan tingkat ketaatan yang tinggi. Ibid.,
hal. 9-1l.
Di samping itu, Sands berpendapat bahwa meskipun belum memiliki kekuatan hukum
yang mengikat, in strum en soft law memegang peranan penting dalam perkembangan hukum
intemasional. Menurutnya, soft law berfungsi untuk memberikan petunjuk mengenai arah
perkembangan hukum lingkungan di mas a depan, serta untuk merefleksikan atau
mengkodifikasikan kebiasaan hukum intemasional (international custom my law). Philippe
Sands, "Principles of International Environmental Law: Vol. I, Frameworks, Standards, and
Implementation ", (Manchester: Manchester University Press, 1995), hal. 103.

25 UNFCCC, 1771 UNTS 107,31 ILM 849 (1992), preambularpar.

26 UNFCCC menyatakan,
The Parties have a right to, and should, promote sustainable development. Policies and
measures to protect the climate system against human-induced change should be
appropriate for the specific conditions of each Party and should be integrated with
national development programmes, taking into account that economic development is
essential for adopting measures to address climate change."
UNFCCC, 1771 UNTS 107,31 ILM 849 (1992), art. 3(4).

27 Dalam hal ini, UNFCCC menyatakan: "[t]he Parties should cooperate to promote a

supportive and open international economic system that would lead to sustainable economic
growth and development in all Parties,particularly developing countly Parties, thus enabling
them better to address the problems of climate change". UNFCCC, 1771 UNTS 107,31 ILM
849 (1992), art. 3 (5).
64 Jurnal Hul..:um dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

Masih di dalam konteks perubahan iklim, beberapa rujukan terhadap


perubahan iklim juga dimuat di dalam Protokol Kyoto 1997. 28 Dalam
Protokol ini dinyatakan bahwa secara umum penurunan emisi gas rumah
kaca (GRK) yang dilakukan oleh negara maju (negara Annex 1)
29
diarahkan untuk mendorong terwujudnya pembangunan berkelanjutan.
Untuk mencapai maksud tersebut, negara maju diharuskan melakukan
beberapa langkah penurunan emisi, antara lain dengan jalan menerapkan
praktek pertanian dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. 3o Dalam
rangka pelibatan negara non-Annex 1 dalam upaya penurunan emisi,
Protokol Kyoto telah melahirkan sebuah mekanisme yang disebut Clean
Development Mechanism (CDM-Mekanisme Pembangungan Bersih).31
Dalam hal ini, Protokol Kyoto menyatakan bahwa pada satu sisi CDM
bertujuan untuk membantu negara non-Annex 1 mewujudkan
pembangunan berkelanjutan dan terlibat dalam upaya penurunan emisi
GRK; sedangkan pada sisi lain, CDM bertujuan pula untuk membantu
negara Annex 1 melakukan upaya penaatan komitmen penurunan emisi
GRK mereka. 32
Terkait dengan keanekaragaman hayati (biodiversity), CBD memuat
rujukan pada pembangunan berkelanjutan, yang dalam hal ini diartikan
sebagai pemakaian sumber daya hayati secara berkelanjutan (sustainable
use). Di dalam CBD dinyatakan bahwa tujuan konvensi ini adalah
konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan sumber daya ini secara
berkelanjutan, dan pembagian keuntungan yang dari pemanfaatan ini
secara adil (fair and equitable sharing of benefits). 33 Dalam hal 1m,

28 The 1997 Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate
Change, 10 Dec. 1997, U.N. Doc FCCC/CPI1997I71Add.l, 37 ILM. 22 (1998)-selanjutnya
disebut Protokol Kyoto.

29 Protokol Kyoto 1997, U.N. Doc FCCC/CPI1997I71Add.l, 37 ILM. 22 (1998), art. 2(1).

30 Protokol Kyoto 1997, U.N. Doc FCCC/CPI1997I71Add.l, 37 ILM. 22 (1998), art. 2(1a)

(ii) dan (iii).

31 Melalui mekanisme ini, negara non-Annex 1 dapat melakukan upaya penurunan emisi
GRK dengan bantuan dari negara Annex 1. Hasil dari penurunan emisi ini disebut dengan
Certified Emission Reduction (CER), yang kemudian dianggap sebagai penurunan emisi yang
dilakukan oleh negara Annex 1. Dengan demikian, negara non-Annex 1 diharapkan dapat
memperoleh keuntungan dari proyek penurunan emisi tersebut; sedangkan bagi negara Annex
1, keuntungan yang diharapkan adalah bahwa dengan adanya CER, proyek penurunan emisi
tersebut dapat digunakan sebagai upaya penuruan emisi mereka. Secara lebih detail, Protokol
Kyoto merumuskan mekanisme CDM dalam: Protokol Kyoto 1997, U.N. Doc
FCCC/CPI1997I71Add.l, 37 ILM. 22 (1998), art. 12.

32 Protokol Kyoto 1997, U.N. Doc FCCC/CPI1997I71Add.l, 37 ILM. 22 (1998), art. 12(2).

33 Secara lengkap, tujuan dari CBD adalah sebagai berikut:


The objectives of this Convention, to be pursued in accordance with its relevant
provisions, are the conservation of biological diversity, the sustainable use of its
Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaknaannya, Wibisana 65

pemanfaatan secara berkelanjutan (sustainable use) dimaknai sebagai


pemanfaatan komponen keanekaragaman hayati dengan cara dan dalam
laju pemanfaatan yang dalam jangka panjang tidak akan mengarah pada
penurunan keanekaragaman hayati, sehingga mampu menjaga potensi
sumber daya keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhan
generasi sekarang dan yang akan datang. 34
Konvensi lainnya yang juga memuat berbagai rujukan pada
pembangunan berkelanjutan, antara lain, adalah UN Convention to
Combat Desertification (UNCCD), konvensi PBB terkait upaya
pencegahan penggurunan, tahun 1994. 35 Dalam bagian pembukaan,
UNCCD menyadari bahwa pembangunan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan, pembangunan sosial, dan pengentasan kemiskinan
merupakan prioritas dari negara berkembang, serta merupakan bagian
penting dalam pencapaian tujuan keberlanjutan. Pada bagian ini juga
dinyatakan bahwa upaya pencegahan dan penanggulangan penggurunan
haruslah diletakkan dalam kerangkan pencapaian tujuan pembangunan
berkelanjutan. 36 Atas dasar ini, maka UNCCD menyatakan bahwa
sebagai tujuan konvensi, upaya mengatasi penggurunan dan dampak-
dampaknya dilakukan dalam rangka berkontribusi bagi tercapainya
pembangunan berkelanjutan di negara-negara yang mengalami
penggurunan. 37 Di samping itu, seperti dicatat oleh Segger, UNCCD
memuat lebih dari 40 rujukan kepada kata "berkelanjutan" (sustainable),
baik dalam konteks pembangungan, pemanfaatan, pengelolaan,
ekspolitasi, produksi, maupun praktek yang berkelanjutan (atau tidak
berkelanjutan).38

2. Pembangunan Berkelanjutan dalam Berbagai Putusan

Di samping telah diadopsi di dalam berbagai deklarasi dan konvensi,


pembangunan berkelanjutan juga telah dimuat di dalam berbagai putusan.
Dalam level intemasional, beberapa kasus yang secara jelas merujuk

components and the fair and equitable sharing of the benefits arising out of the
utilization of genetic resources, including by appropriate access to genetic resources
and by appropriate transfer of relevant technologies, taking into account all rights over
those resources and to technologies, and by appropriate funding.
Lihat: CBD, 1760 UNTS 79, 31 ILM 818 (1992), art. 1.

34 CBD, 1760 UNTS 79, 31 ILM 818 (1992), art. 2.

35 The 1994 United Nations Convention to Combat Desertification, 12 September 1994,


UN Doc. AlAC.241/27, 33 ILM 1328 (1994)-selanjutnya disebut UNCCD.

36 1994 UNCCD, UN Doc. AlAC.241127, 33 ILM 1328 (1994), preambularpar.

37 1994 UNCCD, UN Doc. AlAC.241/27, 33 ILM 1328 (1994), art. 2(3).

38 Marie-Claire Cordonier Segger, The Role of International Forums in the Advancement


of Sustainable Development, "Sustainable Development Law & Policy", Vol. 10,2009, hal. 7.
66 Jurnal Hu/..-um dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

pada pembangunan berkelanjutan, antara lain, adalah putusan


International Court of Justice (Ie]) dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros
(Hungaria v. Slovakia)/9 keputusan badan arbitrase permanen antara
Belgia dan Belanda dalam kasus Iron Rhine ("1jzeren Rijn") Railway
pada tahun 2005,40 dan putusan Ie] dalam kasus Pulp Mills on the River
Uruguay (Argentina v. Uruguay),41 terutama pendapat dari Hakim
Trindade. 42

Gabcikovo-Nagymaros (Hungaria v. Slovakia)

Dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros,43 Ie] berpendapat bahwa dampak


lingkungan, yang mungkain akan dihasilkan dari pengerjaan proyek

39 Case Concerning the Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia), 1997 ICJ 7


(selanjutnya disebut Kasus Gabcikovo-Nagymaros).

40 The Iron Rhine ("Ijzeren Rijn") Railway case (Belgium v. Netherlands) Perm. Ct. Arb.
(2005). Tersedia pada <http://www.pca-cpa.org/upload/files/BE-NL %20A ward%20corrected
%20200905.pdf>, diakses tanggal23 September 2013.

41 Case Concerning Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay), Case No.
135, Judgment, 20 April 2010. tersedia pada: <http://www.icj-cij.org/docketlfiles/
135115877.pdf> (Selanjutnya disebut: Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay), diakses tanggal
12 Oktober 2013.

42 Case Concerning Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay), Separate
Opinion of Judge Can9ado Trindade, <http://www.icj-cij.org/docketlfiles/135115885.pdf>
(Selanjutnya disebut Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay: Pendapat Trindade), diakses
tanggal 12 Oktober 2013.

43 Pada tahun 1977, Hungaria dan Cekoslovakia menandatangani perjanjian pembangunan


dan pengoperasian sistem bendungan di Sungai Danube, di daerah Gabcikovo (wilayah
Cekoslovakia) dan Nagymaros (wilayah Hungaria). Perjanjian ini dimaksudkan sebagai upaya
untuk membangun pembangkit listrik tenaga air di Sungai Danube, perbaikan sistem navigasi
di sungai tersebut, perlindungan daerah aliran Sungai Danube dari banjir. Di samping itu,
Hungaria dan Cekoslovakia pun sepakat untuk menjamin bahwa proyek pembangunan yang
direncanakan tersebut tidak akan menurunkan kualitas air dari Sungai Danube dan bahwa
dalam pengerjaan dan pengoperasian proyek tersebut juga dilakukan dengan memperhatikan
perlindungan lingkungan. Berdasarkan perjanjian tersebut, Hungaria bertanggung jawab atas
pengerjaan proyek di wilayah Nagymaros, dan Cekoslovakia bertanggung jawab atas
pengerjaan proyek di Gabcikovo. Di samping itu, perjanjian juga menyatakan bahwa kedua
proyek di kedua wilayah ini harus dianggap sebagai satu kesatuan proyek yang tidak bisa
dipisahkan satu sarna lain. Kasus Gabcikovo-Nagymaros, 1997 ICJ 7, hal. 17-20.
Sebagai akibat dari tekanan dalam negeri, pada tanggal 13 Mei 1989 Hungaria secara
sepihak memutuskan untuk menunda pekerjaan di Nagymaros. Pada tanggal 27 Oktober 1989,
Hungaria kemudian memutuskan untuk menghentikan sarna sekali proyek di Nagymaros.
Sebagai reaksi atas keputusan sepihak ini, Cekoslovakia memutuskan untuk mengembangkan
altematif proyek pembangunan bendungan, yang disebut dengan "Variant C". Altematif ini
mengubah rencana pembangunan bendungan yang sebelumnya telah disepakati berdasarkan
perjanjian tahun 1977. Pada tanggal 23 Oktober 1992, Cekoslovakia memutuskan untuk
membendung Sungai Danube berdasarkan rencana barunya tersebut (" Variant C'). Ibid., hal.
25.
Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaf..:naannya, Wibisana 67

bendungan Sungai Danube di wilayah Gabcikovo-Nagyrnaros,


rnerupakan sebuah issue yang penting. Meski dernikian, Ie] juga
rnenyatakan bahwa kebutuhan akan pernbangunan juga rnerupakan aspek
yang sarna pentingnya. Ie] rnelihat bahwa dalam kasus ini terdapat dua
kepentingan yang saling bertentangan, yaitu kebutuhan akan
pernbangunan di satu sisi, dan kebutuhan akan perlindungan di sisi lain.
Dalarn hal ini, Ie] rnelihat pernbangungan berkelanjutan sebagai sebuah
prinsip untuk rnendarnaikan kedua kebutuhan yang saling bertentangan
ini. Lebih tegas lagi, Ie] rnenyatakan:
Throughout the ages, mankind has, for economic and other
reasons, constantly interfered with nature. In the past, this was
often done without consideration of the effects upon the
environment. Owing to new scientific insights and to a growing
awareness of the risks for mankind-for present and future
generations-of pursuit of such interventions at an
unconsidered and unabated pace, new norms and standards
have been developed, set forth in a great number of
instruments during the last two decades. Such new norms have
to be taken into consideration, and such new standards given
proper weight, not only when States contemplate new activities
but also when continuing with activities begun in the past. This
need to reconcile economic development with protection o{the
environment is aptly expressed in the concept of sustainable
development. "-[garis bawah tambahan dari penulisJ. 44
Dari uraian di atas, terlihat bahwa Ie] rnenggunakan pernbangunan
berkelanjutan sebagai sebuah konsep untuk rnendarnaikan dua kebutuhan
yang saling bertentangan. Pada satu sisi, Hungaria berpendapat bahwa
tindakan sepihaknya untuk rnenghentikan proyek di Nagyrnaros
didasarkan kepada kebutuhan akan perlindungan lingkungan. Dalarn hal
ini, Ie] rnenyatakan, "[t]o just(fy its conduct, it [Hungaria-penulis]
relied essentially on a "state of ecological necessity" .45 Sernentara itu,

IC] rnernutuskan, antara lain, bahwa Hungaria tidak rnerniliki hak untuk secara sepihak
rnenunda dan kernudian pada tahun 1989 rnenghentikan pernbangunan di Nagyrnaros. Di sisi
lain, IC] juga rnengatakan bahwa Cekoslovakia tidak rnerniliki hak untuk rnengoperasikan
altematif sementara mereka (yaitu "Variant C') sejak Oktober 1992. Selanjutnya, IC] juga
rnenyatakan bahwa Hungaria dan Slovakia (sebagai negara penerus Cekoslovakia dalarn kasus
ini) harus bekerja sarna dan rnengarnbillangkah-langkah yang diperlukan untuk rnewujudkan
tujuan Perjanjian tahun 1977. Dalarn hal ini, IC] juga rnernerintahkan kedua negara untuk
rnernbentuk joint operational regime, yaitu sebuah sistern kerja sarna dalarn pelaksanaan
proyek sesuai dengan perjanjian tahun 1977. IC] rnernerintahkan Hungaria untuk mernbayar
kornpensasi kepada Slovakia atas kerugian yang diderita Slovakia karena penghentian proyek
yang rnenjadi tanggung jawab Hungaria (proyek di Nagyrnaros); sedangkan Slovakia harus
rnernbayar kornpensasi kepada Hungaria atas kerugian yang diderita oleh Hungaria akibat dari
pengerjaan dan pengoperasian proyek "Variant C. Ibid., hal. 82-83.

44 Ibid., hal. 78.


68 Jurnai HUALJm dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

Slovakia beranggapan bahwa kebutuhan akan perlindungan lingkungan


tidak bisa dijadikan alasan oleh Hungaria untuk tidak melakukan
kewajibannya berdasarkan Perjanjian tahun 1977. Slovakia pun
beranggapan bahwa beberapa persoalan lingkungan yang dikhawatirkan
oleh Hungaria sebenamya bisa diatasi tanpa perlu melanggar Perjanjian
tahun 1977. 46 Di samping itu, Slovakia menyatakan bahwa dalam
menerapkan kewajiban lingkungan berdasarkan pembangunan
berkelanjutan, kebutuhan akan pembangunan merupakan sebuah aspek
yang tidak bisa diabaikan. Dalam hal ini, pihak Slovakia, seperti dikutip
oleh hakim Weeramantry, menyatakan bahwa: inherent in the concept of
sustainable development is the principle that developmental needs are to
be taken into account in interpreting and applying environmental
' . 47
o bl19atlOns.
Putusan Ie] dalam Gabcikovo-Nagymaros mendapat perhatian luas
dari kalangan ahli hukum, terutama karen a dissenting opinion yang
dikemukakan oleh Weeramantry, salah seorang hakim Ie] yang
mengadili kasus ini. Dalam dissenting opinion ini Weeramantry
menyatakan bahwa seandainya saja pertimbangan lingkungan adalah
satu-satunya pertimbangan yang digunakan dalam kasus Gabcikovo-
Nagymaros, maka langkah yang diambil oleh Hungaria (yaitu
menghentikan secara sepihak pelaksanaan pembangunan berdasarkan
Perjanjian tahun 1977) menjadi dapat dibenarkan. Namun, menurut
Weeramantry, Ie] haruslah memberikan pertimbangan yang seimbang
bagi kebutuhan akan pembangunan di satu sisi (da1am hal ini
kepentingan dari Slovakia) dan kebutuhan akan perlindungan lingkungan
di sisi lain (dalam hal ini kepentingan dari Hungaria). Da1am pandangan
Weeramantry, prinsip hukum yang dapat menjembatani dua kebutuhan
yang saling bertentangan 1m adalah prinsip pembangunan
berkelanjutan. 48 Lebih jauh 1agi, Weeramantry mengatakan bahwa
pembangunan berkelanjutan bukan hanya merupakan sebuah konsep,
tetapi sudah merupakan sebuah prinsip hukum yang bersifat normatif.
Tanpa prinsip hukum ini, maka kasus Gabcikovo-Nagymaros akan sangat
sulit untuk diputuskan. Menurutnya
.. .I consider it to be more than a mere concept, but as a
principle with normative value which is crucial to the

45 Ibid., hal. 35. Dalam hal ini, Hungaria beranggapan bahwa proyek Gabcikovo-
Nagymaros berpotensi untuk menghasilkan resiko lingkungan, di antaranya: terganggunya
persediaan air bawah tanah (groundwater), rusaknya kualitas air, dan ancaman kepunahan
beberapa spesies flora dan fauna. Lihat: Ibid.

46 Ibid., hal. 37.

47 Case Concerning the Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia): Separate


Opinion of Vice-President Weeramantry, 1997 Ie] 7 (selanjutnya disebut Kasus Gabcikovo-
Nagymaros: Pendapat WeeramantIY), hal. 90.

48 Ibid., hal. 88.


Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan PemaJ..71aannya, Wibisana 69

determination of this case. Without the benefits of its insights,


the issues involved in this case would have been d~fficult to
resolve. 49
Lebih lanjut, Weeramantry beranggapan bahwa baik Hungaria
maupun Slovakia sebenamya sarna-sarna mengakui keberadaan prinsip
pembangunan berkelanjutan. Perbedaan di antara mereka hanyalah pada
pertanyaan bagaimana menjalankan prinsip ini.50
Untuk mendukung pendapatnya 1m, Weeramantry kemudian
menunjukkan berbagai deklarasi, konvensi, praktek di beberapa negara,
dan praktek di beberapa lembaga intemasional yang mengadopsi dan
menerapkan pembangunan berkelanjutan. 51 Dari Ufmannya Illl,
Weeramantry kemudian menyimpulkan bahwa pembangunan
berkelanjutan menjadi sebuah prinsip hukum bukan hanya karena logika
yang dikandungnya, tetapi juga karena adanya penerimaan secara luas
oleh masyarakat intemasional. Menurutnya:
{t} he principle of sustainable development is thus a part of
modern international law by reason not only of its inescapable
logical necessity, but also by reason of its wide and general
acceptance by the global community. 52
Lebih lanjut lagi, Weeramantry menggambarkan berbagai
pengalaman pengalaman di beberapa negara dan dari berbagai masa yang
memperlihatkan bagaimana sejak zaman dahulu sebenamya manusia
telah terbiasa untuk mendamaikan dan menjembatani pertentangan antara
kebutuhan akan pembangunan dan kebutuhan akan perlindungan
lingkungan. 53 Atas dasar ini, Weeramantry kemudian menyimpulkan
bahwa pembangunan berkelanjutan bukan sekedar sebuah prinsip hukum
modem, tetapi juga merupakan salah satu ide manusia yang paling tua
dan telah berkembang selama ribuan tahun, serta memiliki peran yang
penting dalam hukum intemasional. Dalam hal ini, Weeramantry
menyatakan bahwa:
{s}ustainable development is thus not merely a principle of
modern international law. It is one of the most ancient of ideas
in the human heritage. Fort~fied by the rich insights that can be

49 Ibid. Bandingkan dengan pendapat Ie] yang menyatakan bahwa pembangunan ada1ah
sebuah konsep, dan bukannya prinsip hukum. Lihat Kasus Gabcikovo-Nagymaros, op.cit note
39, hal. 78.

50 Kasus Gabcikovo-Nagymaros: Pendapat Weeramantly, Op.Cit., note 47 hal. 90.

51 Ibid., hal. 92-94.

52 Ibid., hal. 95.

53 Ibid., hal. 97-110.


70 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

gained from millennia of human experience, it has an


important part to play in the service of international law. 54

Ijzeren Rijn (Belgia v. Belanda)

Sementara itu, kasus "Ijzeren Rijn" merupakan keputusan dari badan


arbitrase, yaitu the Permanent Court of Arbitration di Den Haag, yang
mengadili sengketa antara Belgia melawan Belanda, terkait dengan
reaktivasi reI kereta yang menghubungkan pelabuhan Antwerpen, Belgia,
dengan pinggiran sungai Rhine di lerman, dengan melalui Noord-Brabant
dan Limburg di Belanda. lalur kereta ini dibuka pad a tahun 1830-an, dan
beroperasi sampai tahun 1991. Kemudian, pada tahun 1998 muncul usulan
dari Pemerintah Belgia untuk mengaktitkan kembali, mengadaptasi, dan
memperbarui jalur kereta ini. 55 Salah satu pertanyaan yang perlu dijawab
oleh Badan Arbitrase adalah sejauh mana Belgia atau Belanda harus
menanggung biaya dan resiko keuangan terkait dengan pemakaian,
restorasi, adaptasi, dan modemisasi jalur Iron Rhine di wilayah Belanda.
Atas pertanyaan ini, Badan Arbitrase memberikan sebuah pemyataan
penting terkait hukum lingkungan, yaitu bahwa:
Applying the principles of international environmental law, the
Tribunal observes that it is faced, in the instant case, not with a
situation of a transboundary effect of the economic activity in
the territory of one state on the territory of another state, but
with theefJect of the exercise of a treaty-guaranteed right of
one state in the territory of another state and a possible impact
of such exercise on the territory of the latter state. The
Tribunal is of the view that, by analogy, where a state exercises
a right under international law within the territory of another
state, considerations of environmental protection also apply.
The exercise of Belgium's right of transit, as it has formulated
its request, thus may well necessitate measures by the
Netherlands to protect the environment to which Belgium will
have to contribute as an integral element of its request. The
reactivation of the Iron Rhine railway cannot be viewed in
isolation from the environmental protection measures
necessitated by the intended use of the railway line. These
measures are to be fully integrated into the project and its
costs.. ,56

54 Ibid., hal. 110-111.

55 The Iron Rhine ("Ijzeren Rijn") Railway case (Belgium v. Netherlands) Penn. Ct. Arb.
(2005), par. 16, 20-21.

56 Ibid., par. 223.


Pembangllnan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pema":naannya, Wibisana 71

Terkait dengan pembangungan berkelanjutan, Badan Arbitrase


menyadari bahwa di dalam bidang hukum lingkungan terdapat
perdebatan mengenai istilah aturan (rules), prinsip (principles), dan "soft
law", serta mengenai kontribusi perjanjian atau prinsip lingkungan bagi
perkembangan hukum kebiasaan internasional. Meski demikain, Badan
Arbitrase menyatakan bahwa prinsip hukum lingkungan, terlepas dari
status hukumnya, selalu merujuk, salah satunya, pada upaya pencegahan,
pembangunan berkelanjutan, dan perlindungan generasi yang akan
datang. Dalam hal ini, Arbitrase menyatakan:
[t] he emerging principles, whatever their current status, make
reference to conservation, management, notions of prevention
and of sustainable development, and protection for future
generations [garis bawah dari penulis]. 5 7

Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay)

Pada tanggal 4 Mei 2006, Argentina mengajukan gugatan kepada Ie]


terkait dengan dugaan pelanggaran Uruguay atas beberapa kewajiban
yang termuat di dalam Perjanjian mengenai Sungai Uruguay (Statute of
the River Uruguay) yang ditandatangani oleh Argentina dan Uruguay
pada tanggal 26 Februari 1975. Dalam hal ini, Argentina berpendapat
bahwa keputusan Pemerintah Uruguay untuk mengizinkan pembangunan
dua pabrik kertas (pulp mills) di pinggir Sungai Uruguay di dalam
wilayah Uruguay merupakan bentuk pelanggaran atas Perjanjian Sungai
Uruguay tahun 1975, terutama dalam kaitannya dengan dampak dari
kedua pabrik tersebut pada kualitas air Sungai Uruguay dan daerah
sekitarnya. 58 Dalam hal ini, Argentina berpendapat bahwa Uruguay telah

57 Jbid., par.

58 Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay, Op. Cit., note 41, par. 1.
Kasus ini melibatkan pembangunan dua pabrik kertas (pulp mil1) yang dibangun di
pinggiran Sungai Uruguay di wilayah Uruguay. Pabrik pertama adalah "Celulosas de
M'Bopicua S.A." ("CMS"), sebuah pabrik yang dibangun oleh sebuah perusahaan SpanyoJ,
"Empresa Nacional de Celulosas de Espana" ("ENCE"). Pada tanggal 22 Juli 2002,
pemrakarsa pembengunan proyek CMS-ENCE mengajukan dokumen Amdal kepada
Direktorat Lingkungan Uruguay, "Direccion Nacional de Medio Ambiente" (DINAMA). Pada
saat yang sarna, perwakilan dari CMS juga memberikan informasi tentang rene ana proyeknya
kepada KepaJa CARU ("Comision Administradora del Rio Uruguay"-Komisi Administratif
Sungai Uruguay). Kemudian, pada tanggalI7 Oktober 2002, dan diulang kembali pada tanggal
21 April 2003, Kepala CARU meminta Menteri Lingkungan Uruguay untuk memberikan
dokumen Amdal dari proyek CMS-ENCE. Permintaan ini kemudian dipenuhi oleh Uruguay
pada tanggal 14 Mei 2003. Selanjutnya, pada tanggal 15 Agustus 2003, dan diulang kembali
pada tanggal 12 September 2003, CARU meminta Uruguay untuk memberikan informasi
tambahan terkait beberapa hal dari proyek pabrik kertas CMS-ENCE. Pada tanggal 2 Oktober
2003, DINAMA memberikan laporannya kepada Kementerian Perumahan, Tata Ruang, dan
Lingkungan Hidup Uruguay (MVOTMA) yang berisi rekomendasi untuk memberikan izin
72 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

lingkungan bagi proyek CMB-ENCE. Kemudian pada tanggal 8 Oktober 2003, Pemerintah
Uruguay berjanji kepada CARU bahwa DINAMA akan segera memberikan laporannya
mengenai proyek CMB-ENCE. Pada tanggal 9 Oktober 2003, MVOTMA mengeluarkan izin
lingkungan bagi pembangunan pabrik CMB-ENCE.
Pada tanggal 9 Oktober 2003, Presiden Argentina dan Presiden Uruguay melakukan
pertemuan. Dalam pertemuan ini, berdasarkan klaim Argentina, Presiden Uruguay berjanji
tidak akan memberikan izin bagi pembangunan CMB-ENCE sebelum adanya pembahasan
mengenai kekhawatiran Argentina atas dampak lingkungan yang mungkin timbul dari
pembangunan terse but.
Pada tanggal 10 Oktober 2003, CARU menyatakan akan segera melanjutkan analisa teknis
atas proyek CMB-ENCE apabila Uruguay menyerahkan dokumen yang diperlukan. Pada
tanggal 17 Oktober 2003, atas permintaan Argentina, CARU mengadakan pertemuan khusus
untuk membahas proyek CMB-ENCE. Dalam pertemuan tersebut, Argentina mengajukan
keberatan atas dikeluarkan izin ling kung an pada tanggal 9 Oktober 2003.
Pada tanggal 27 Oktober 2003, Uruguay mengirimkan salinan Amdal dan penilaian
DINAMA atas reneana pengelolaan lingkungan proyek CMB-ENCE kepada Argentina. Atas
hal ini, Argentina mengatakan bahwa prosedur menurut Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975
telah diabaikan, dan bahwa salinan Amdal dan penilaian DINAMA tidak memberikan
informasi yang memadai mengenai dampak dari proyek CMB-ENCE. Pada tanggal 7
November 2003, Uruguay mengirimkan seluruh dokumen terkait proyek CMB-ENCE kepada
Kementerian Lingkungan Hidup Argentina, yang kemudian pada tanggal 23 Februari 2004
meneruskan dokumen-dokumen tersebut kepada CARU.
Pada tanggal 15 Mei 2004, Sub-komite Pengawasan Kualitas Air dan Peneemaran dari
CARU membuat rene ana pemantauan kualitas air di sekitar Sungai Uruguay. Reneana ini
disetujui oleh CARU pada tanggal12 November 2004.
Pada tanggal 28 November 2005, Pemerintah Uruguay memberikan izin bagi dimulainya
pembangunan pabrik CMB-ENCE. Meski demikian, pada tang gal 28 Maret 2006, CMB-ENCE
menghentikan proyek pembangunan pabrik, dan kemudian pada tanggal 21 September 2006,
perusahaan ini menyatakan bahwa mereka tidak lagi berniat untuk membangun pabrik kertas di
wilayah yang sebelumnya direneanakan. Lihat: Ibid., par. 28-36.
Proyek kedua yang terlibat dalam kasus ini adalah pembangunan pabrik kertas Orion oleh
perusahaan Oy Metsii-Botnia AB, sebuah perusahaan Finlandia, di daerah Fray Bentos,
beberapa kilometer dari lokasi proyek CMB-ENCE. Pada tanggal 31 Maret 2004, pemrakarsa
pembangunan pabrik Orion mengajukan permohonan izin lingkungan kepada Pemerintah
Uruguay. Kemudian pada tanggal 29 dan 30 April 2004, CARU mengadakan pertemuan
informal dengan pihak Botnia. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan itu, pada tanggal 18 Juni
2004 CARU meminta Botnia untuk memberikan informasi tambahan terkait proyek
pembangunan Orion. Dalam pertemuan lanjutan dengan Botnia, CARU kembali meminta
Botnia untuk memberikan informasi terkait dengan permohonan izin lingkungan yang telah
diajukannya kepada DINAMA. Pada tanggal 12 November 2004, CARU memutuskan untuk
meminta Uruguay agar memberikan informasi tentang permohonan izin lingkungan yang
diajukan oleh Botnia.
Pada tanggal 21 Desember 2004, DINAMA mengadakan dengar pendapat yang dihadiri
oleh perwakilan CARU, terkait proyek pembangunan Orion (Botnia) di Fray Bentos.
Kemudian pada tanggal 11 Februari 2005, DINAMA memberikan rekomendasi kepada
MVOTMA agar memberikan izin lingkungan bagi proyek Orion (Botnia). Pada tanggal 14
Februari 2005, MVOTMA mengeluarkan izin lingkungan bagi Botnia untuk membangun
pabrik Orion (Botnia) dan sebuah dermaga yang berdekatan dengan pabrik tersebut.
Kemudian dalam pertemuan CARU pada tang gal II Maret 2005, Pemerintah Argentina
mempertanyakan apakah pemberian izin lingkungan tersebut telah sesuai dengan kewajiban
prosedural berdasarkan Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975. Argentina mengulangi
keberatannya ini dalam pertemuan CARU pada tanggal 6 Mei 2005.
Sementara itu, pada tanggal 12 April 2005, Pemerintah Uruguay mengeluarkan
persetujuan atas dimulainya tahap awal pengerjaan proyek Orion (Botnia), dan pada tanggal 5
Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemalmaannya, Wibisana 73

melanggar Perjanjian Sungai Uruguay 1975 dan kewajiban lain


berdasarkan hukum internasional, berupa: kewajiban untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan bagi pemanfaatan Sungai Uruguay
secara optimal dan rasional; kewajiban untuk memberikan notifikasi
kepada Komisi Administratif Sungai Uruguay (CARU) dan kepada pihak
Argentina; kewajiban prosedural menurut Perjanjian Sungai Uruguay
1975; kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan
untuk menjaga lingkungan akuatik dan mencegah pencemaran, serta
kewajiban untuk melindungi keanekaragaman hayati dan sumber daya
perikanan, termasuk di dalamnya kewajiban untuk melakukan kajian
lingkungan secara menyeluruh dan objektif; serta kewajiban untuk
bekerja sarna dalam upaya pencegahan pencemaran dan perlindungan
keanekaragaman hayati. 59 Atas dasar hal tersebut, Argentina meminta
IC] untuk menyatakan bahwa dengan pemberian izin secara sepihak atas
pembangunan pabrik kertas CMB dan Orion, serta berbagai fasilitas yang
terkait dengan pabrik tersebut, Pemerintah Uruguay telah melanggar
Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975. Argentina selanjutnya meminta
agar ICJ memerintahkan Uruguay untuk: segera menghentikan perbuatan
melanggar hukumnya (internationally wrongful acts); melakukan
penaatan atas Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975; mengembalikan
keadaan seperti sebelum terjadi perbuatan melawan hukum tersebut;
membayar kompensasi kepada Argentina at as kerusakan yang terjadi
karena perbuatan melawan hukum tersebut dalam jumlah yang
diperlukan oleh Argentina untuk melakukan pemulihan kerusakan; dan
menjamin bahwa di kemudian hari Uruguay akan senantiasa mentaati
Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975, khususnya ketentuan tentang
kewajiban prosedural untuk melakukan konsultasi. 60
Pihak Uruguay menyatakan bahwa Argentina tidak mampu
menunjukkan bukti adanya bahaya atau resiko munculnya bahaya
terhadap Sungai Uruguay sebagai akibat dari pelanggaran Uruguay atas
kewajiban substantif berdasarkan Perjanjian Sungai Uruguay 1975. Di
samping itu, Uruguay menyatakan bahwa penutupan dan pembongkaran
pabrik Botnia akan mengakibatkan dampak ekonomi serius bagi
Uruguay, serta merupakan tindakan yang tidak proporsional. Uruguay

Juli 2005, mengizinkan pembangunan dermaga di dekat Orion (Botnia). Selanjutnya, dalam
bulan-bulan berikutnya, Pemerintah Uruguay memberikan persetujuan atas pembangunan
cerobong asap, fondasi, instalasi pengolahan air limbah dari pabrik Orion (Botnia). Pada
tanggal 24 Agustus 2006, Pemerintah Uruguay mengizinkan pengoperasian dermaga di dekat
lokasi Orion (Botnia), dan akhirnya pada tanggal 8 November 2007, Pemerintah Uruguay
memberikan izin bagi beroperasinya pabrik Orion (Botnia). Persetujuan-persetujuan ini,
meskipun telah dilaporkan oleh Pemerintah Uruguay kepada CARU, tetap diberikan di tengah
permintaan Argentina agar pembangunan Orion (Botnia) dihentikan. Lihat: Ibid., par. 37-43.

59 Ibid., par. 22.

60 Ibid., par. 23.


74 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

karenanya rnerninta kepada IC] agar rnengizinkan Uruguay untuk


rneneruskan pengoperasian pabrik Botnia. 61
IC] rnelihat bahwa Uruguay tidak rnernberikan inforrnasi kepada
CARU secara cepat dan kornprehensif. IC] rnenganggap bahwa
pernberian izin lingkungan oleh Pernerintah Uruguay telah dilakukan
tanpa keterlibatan CARU. 62 Atas dasar itu, IC] rnenyirnpulkan bahwa:
by not informing CARU of the planned works before the issuing
of the initial environmental authorizations for each of the mills
and for the port terminal adjacent to the Orion (Botnia) mill"
Uruguay telah gaga I memenuhi kewajiban prosedural
berdasarkan Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975. 63
Selanjutnya, pengadilan juga rnenyatakan bahwa apabila CARU
rnelihat bahwa sebuah proyek berpotensi rnenirnbulkan darnpak bagi
negara lain, rnaka berdasarkan Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975
negara yang rnernprakarsai proyek tersebut rnerniliki kewajiban untuk
rnernberikan notifikasi kepada negara lain tersebut. 64 IC] berpendapat
bahwa kewajiban rnernberikan notifikasi ini dirnaksudkan:
To create the conditions for successful co-operation between
the parties, enabling them to assess the plan's impact on the
river on the basis of the fullest possible information and, if
necessary, to negotiate the adjustments needed to avoid the
. I damage th
potentza at"zt mzght cause. 65
Lebih jauh lagi, IC] rnenyirnpulkan bahwa berdasarkan Perjanjian
Sungai Uruguay 1975, kewajiban rnernberikan notifikasi rnerupakan
bagian penting dari proses konsultasi, sehingga para pihak dapat
rnernberikan penilaian terhadap potensi darnpak dari sebuah rencana,
serta dapat rnelakukan negosiasi terkait perubahan rencana guna
rnengendalikan potensi darnpak tersebut. 66 IC] juga berpendapat bahwa
proses notifikasi:

61 Ibid.

62 Ibid., par. 105-110.

63 Ibid., par. Ill.

64 Ibid., par. 112.

65 Ibid., par. 113.

66 Ibid., par. 115.


Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaf..:naannya, Wibisana 75

Must take place before the State concerned decides on the


environmental viability of the plan, taking due account of the
environmental impact assessment submitted to it. 67
Dalam kasus ini, IC] melihat bahwa proses notifikasi kepada
Argentina dilakukan tanpa melalui CARU, dan bahwa Uruguay
memberikan notifikasi kepada Argentina setelah Uruguay memberika
izin lingkungan atas pembangunan pabrik kertas. Pengadilan berpendapat
bahwa sebelum notifikasi dilakukan, Uruguay tidak boleh memberikan
persetujuan lingkungan tersebut. 68 Atas dasar ini, IC] menyimpulkan
bahwa Uruguay telah gagal memenuhi kewajiban proseduralnya terkait
dengan kewajiban notifikasi kepada negara lain (Argentina) berdasarkan
Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975. 69
Setelah membahas kewajiban prosedural, IC] kemudian beralih pada
persoalan substantif. Dalam hal ini, IC] menguraikan beberapa kewajiban
yang diduga dilanggar oleh Uruguay, di antaranya: Pertama, kewajiban
untuk berkontribusi pada penggunaan Sungai Uruguay secara optimal
dan rasional. Dalam hal ini, IC] menyatakan bahwa penggunaan secara
optimal dan rasional:
Requires a balance between the Parties' rights and needs to
use the river for economic and commercial activities on the one
hand, and the obligation to protect it from any damage to the
environment that may be caused by such activities, on the
other. 70
Atas dasar ini, IC] merasa perlu untuk menilai pemberian izin oleh
Uruguay dengan mengaitkannya pada berbagai kewajiban menurut
Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975.
Kedua, kewajiban untuk menjamin bahwa pengelolaan tanah dan
hutan di sekitar Sungai Uruguay tidak mengganggu Sungai Uruguay dan
kualitas aimya. Dalam hal ini, berdasarkan bukti-bukti yang diajukan,
IC] berpendapat bahwa Argentina tidak memiliki cukup bukti untuk
membuktikan bahwa Uruguay telah melakukan pelanggaran atas
kewajiban kedua ini. Secara lebih spesifik lagi, IC] menyatakan bahwa
pengadilan tidak menemukan bukti langsung yang menunjukkan adanya
hubungan antara pengelolaan lahan oleh Uruguay dengan perubahan
kualitas air Sungai Uruguay. 71

67 Ibid., par. 120.

68 Ibid., par. 121.

69 Ibid., par. 122. Da1am putusannya, Ie] memutuskan (dengan tiga be1as hakim
menyetujui dan satu meno1ak) bahwa Uruguay te1ah me1anggar kewajiban prosedura1 dari
Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975. Lihat: Ibid., par. 282 (1).

70 Ibid., par. 175.


76 Jurnal Hukllm dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Janllari-Maret 2013

Ketiga, kewajiban untuk melakukan koordinasi terkait upaya-upaya


penghindaran gangguan pada keseimbangan ekologis. Dalam hal 1m,
Pasal 36 Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975 menyatakan bahwa:
[t} he parties shall co-ordinate, through the Commission, the
necessary measures to avoid any change in the ecological
balance and to control pests and other harmful factors in the
river and the areas affected by it. 72
Iel berpendapat bahwa berdasarkan pasal 36 Perjanjian tersebut
maka penaatan atas kewajiban untuk menghindari perubahan atas
keseimbangan ekosistem tidak dapat ditaati hanya oleh salah satu pihak
(negara) saja. Penaatan kewajiban ini, menurut Iel, membutuhkan
adanya skema bersama dan tindakan yang terkoordinasi di antara para
pihak, dalam rangka mewujudkan pengelolaan dan perlindungan Sungai
Uruguay secara berkelanjutan. 73 Dalam kesimpulannya, Iel menyatakan
bahwa Argentina tidak mampu menunjukkan bukti bahwa Uruguay telah
menolak untuk melakukan kerja sama dalam rangka pengelolaan Sungai
Uruguay secara bersama. 74
Atas dasar pertimbangan di atas, Iel memutuskan-dengan sebelas
hakim menyetujui, dan tiga menolak-bahwa Uruguay tidak melakukan
pelanggaran atas kewajiban substantifnya menurut Perjanjian Sungai
Uruguay tahun 1975. 75
Dalam pertimbangannya, Iel menyatakan bahwa Perjanjian Sungai
Uruguay tahun 1975, khususnya Pasal 27, tidak hanya merefleksikan
kebutuhan masing-masing negara (dalam hal ini riparian States) dalam
penggunaan sumber daya secara bersama, tetapi juga menggambarkan
kebutuhan untuk menyeimbangkan kebutuhan untuk memanfaatkan
sungai dan kebutuhan untuk melakukan perlindungan sungai yang sesuai
dengan pembangunan berkelanjutan. 76 Sayangnya, Iel kemudian hanya
sepintas saja melakukan pembahasan mengenai pembangunan
berkelanjutan tersebut. Dalam konteks ini, Iel menyatakan:
... utilization [of River Uruguay- tambahan penulis} could not
be considered to be equitable and reasonable if the interests of
the other riparian State in the shared resource and the
environmental protection of the latter were not taken into
account. Consequently, it is the opinion of the Court that

71 Ibid., par. 180.

72 Ibid., par. 183.

73 Ibid., par. 184.

74 Ibid., par. 189.

75 Ibid., par. 282(2)

76 Ibid., par. 177.


Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan PemaJ..:naannya, Wibisana 77

Article 27 embodies this interconnectedness between equitable


and reasonable utilization of a shared resource and the
balance between economic development and environmental
protection that is the essence ofsustainable development. 77
Dari kutipan ini, terlihat bahwa Ie] menafsirkan pembangunan
berkelanjutan sebagai sebuah jembatan yang menghubungkan antara
kebutuhan pembangunan dengan kebutuhan perlindungan lingkungan.
Bagaimana "jembatan" ini bekerja, temyata tidak dijelaskan lebih lanjut
oleh Ie].
Terbatasnya pembahasan oleh Ie] inilah yang kemudian mendorong
Hakim Trindade memiliki pendapat berbeda, dissenting opinion, dari
pertimbangan Ie]. Menurut Trindade, hasil dari kasus Pulp Mills on the
River Uruguay menyisakan tiga persoalan yang tidak secara mendalam
dibahas baik oleh para pihak maupun oleh Ie]. Pertama, kurangnya
argumen dari para pihak terkait dengan dampak so sial nyata dari pabrik
kertas. Kedua, kurangnya perhatian dari Ie] terhadap beberapa po in
khusus dari kasus Pulp Mills on the River Uruguay. Ketiga, tidak adanya
pemyataan Ie] mengenai pengakuan terhadap peran dari prinsip-prinsip
hukum lingkunan intemasional. 78
Dalam pandangan Trindade, lebih dari sekedar lembaga biasa, Ie]
memuat kata "justice" di dalamnya sehingga seharusnya Ie] tidak boleh
mengabaikan pentingnya prinsip umum hukum intemasional, termasuk
prinsip pembangunan berkelanjutan, dalam pemberian
pertimbangannya. 79 Prinsip hukum inilah yang memberikan jaminan
terintegrasinya sistem hukum intemasional di satu sisi, dan menjadi
sumber hukum material dari semua hukum. 80
Trindade pada dasamya menyetuJUl bahwa pembangunan
berkelanjutan berfungsi menjembatani kepentingan pembangunan di satu
sisi, dan kepentingan akan perlindungan lingkungan di sisi lain. Dalam
konteks ini, Trindade menyatakan:
[sJustainable development came to be perceived, furthermore,
as a link between the right to a healthy environment and the
right to development; environmental and developmental

77 Ibid.

78 Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay: Pendapat Trindade, Op. Cit., note 42, par. 140.

79 Ibid., par. 218 dan 220.

80 Da1am hal ini Trindade mengungkapkan:


[i]t is the principles of the international legal system that can best ensure the cohesion
and integrity of the international legal system as a whole. Those principles are
intertwined with the very foundations of International Law, pointing the way to the
universality of this latter, to the benefit of humankind. Those principles emanate fi"om
human conscience, the universal juridical conscience, the ultimate material "source" of
all Law." Ibid., par. 2217.
78 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

considerations came jointly to dwell upon the issues of


elimination ofpoverty and satisfaction of basic human needs. 81
Trindade, seperti juga Weerarnantry dalarn Kasus Gabcikovo-
Nagymaros, rnengakui pernbangunan berkelanjutan, bersarna-sarna
dengan prinsip pencegahan (principle of preventive action), keadilan
antar generasi (principle of intergenarional equity), dan kehati-hatian
(precautionary principle), sebagai sebuah prinsip hukurn lingkungan
intemasional. 82 Dalarn dissenting opinion-nya ini, Trindade juga
rnenunjukkan bahwa baik Argentina dan Uruguay sarna-sarna rnengakui
pernbangunan berkelanjutan sebagai prinsip hukurn. 83
Sayangnya, di luar pengakuan pernbangunan berkelanjutan sebagai
prinsip hukurn, temyata tidak begitu terlihat jelas bagairnana darnpak dari
pendapat Trindade ini terhadap kesirnpulan dari dissenting opinion-nya.
Faktanya, Trindade temyata termasuk salah satu hakirn yang rnenyetujui
kesirnpulan rnejelis hakirn bahwa tidak diternukan bukti pelanggaran
kewajiban substantif oleh Uruguay. 84

81 Ibid., par. 132.

82 Ibid., par. 210.

83 Ibid., par. 143-144.

84 Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay, op. cit. note 41, par. 282(1). Perlu diungkapkan
di sini bahwa dua orang hakim yang tidak sepakat dengan kesimpulan Ie} ini, yaitu AI-
Khasawneh dan Simma, telah menuliskan joint dissenting opinion mereka. Pada dasamya
kedua hakim ini menyayangkan Ie} yang sepenuhnya membebankan pembuktian pada pihak
Argentina dan mengabaikan kemungkinan untuk menggunakan ahli independen yang dibentuk
oleh Ie} sendiri. Lihat: Case Concerning Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v.
Uruguay): Joint Dissenting Opinion of Judges Al-Khasawneh and Simma, <www.icj-
cij.org/docket/files/135/15879.pdf>, par. 5 dan 8, diakses tanggal 22 September 2013. Di
samping itu, kedua hakim ini menolak pendapat mayoritas hakim yang tidak melihat adanya
hubungan antara pelanggaran kewajiban prosedural dengan pelanggaran atas kewajiban
substantif. Menurut AI-Khasawneh dan Simma, ketika pengadilan menghadapi sebuah kasus
yang di dalamnya memuat berbagai prinsip hukum yang saling bertentangan, misalnya prinsip
penggunaan sumber daya secara adil (equitable) dengan prinsip pembangunan berkelanjutan,
maka kewajiban prosedural menjadi indikator yang sang at penting untuk menentukan ada
tidaknya pelanggaran terhadap kewajiban substantif. Ibid., par. 26. Dalam konteks ini, kedua
hakim ini menolak sikap Ie} yang dianggap hanya memfungsikan pengadilan sebagai ex post
facto belaka, yaitu untuk melihat ada tidaknya pelanggaran dan kemudian menentukan
konsekuensi hukum (remedies) dari pelanggaran. Menurut mereka, ketika sebuah kasus
me lib atkan persoalan mengenai resiko (yang belum tentu terjadi), maka pengadilan tidak bisa
menggunakan logika kompensasi, tetapi harus dituntun oleh perspektif pencegahan. Dalam
konteks inilah, kedua hakim itu berpendapat bahwa pengadilan sudah bisa berfungsi untuk
membantu para pihak bahkan sejak awal perencanaan sebuah kegiatan. Lihat: Ibid. par. 21-23.
Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaknaannya, Wibisana 79

v. Makna Hukum dari Pembangunan Berkelanjutan


Bagian ini akan membahas beberapa pemaknaan secara hukum dari
pembangunan berkelanjutan, Bagian ini akan mengulas kembali pendapat
Weeramantry yang menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah
sebuah konsep, tetapi merupakan sebuah prinsip hukum. Dalam konteks ini,
apabila pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah prinsip hukum, maka
apa karakteristik dan elemen yang dianggap harus ada di dalam pembangunan
berkelanjutan ini.

1. Pembangunan Berkelanjutan: Sebuah Meta Prinsip?

Pada bagian terdahulu telah disebutkan bagaimana Weeramantry


menolak pendapat Ie] yang menganggap pembangunan hanyalah sebuah
konsep. Baginya pembangunan berkelanjutan, lebih dari sekedar konsep,
merupakan sebuah prinsip hukum lingkungan yang memiliki karakter
normatif. Pandangan Weeramantry ini telah memperoleh berbagai kritik
dan komentar. Salah satu kritik yang paling sering dibicarakan adalah
kritik yang diutarakan oleh Prof. Lowe.
Lowe, sebagaimana dijelaskan oleh Fitzmaurice, menolak pandangan
Weeramantry yang menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan
merupakan prinsip hukum yang telah bersifat normatif. Bagi Lowe,
pembangunan berkelanjutan bukanlah sebuah norma hukum, karena
pembangunan berkelanjutan tidak memiliki sifat normativity. Untuk
dapat dikatakan memiliki sifat normativity, sebuah konsep harus dapat
diekspresikan dalam bahasa normatif. Menurut Lowe, karena
pembangunan berkelanjutan tidak bisa dituangkan ke dalam bahasa
normatif, maka pembangunan berkelanjutan tidak memiliki "a
fundamentally norm-creating character".85 Bagi Lowe, pembangunan
berkelanjutan karenanya hanyalah merupakan sebuah meta-principle
yang berfungsi untuk mendamaikan beberapa prinsip yang saling
bertentangan. 86 Lebih jauh lagi, Lowe beranggapan bahwa di samping
tidak bersifat normatif karena tidak mampu menciptakan norma,
pembangunan berkelanjutan pun hanya berfungsi memodifikasi norma-
norma yang telah ada. Karena itu, pembangunan berkelanjutan hanya
merupakan "mod(fying norm", yang berfungsi mengubah pemahaman
terhadap sebuah norma yang telah ada. 87

85 Malgosia Fitzmaurice, "Contempormy Issues in International Environmental Law",


(London, UK: Edward Elgar, 2009), hal. 80.

86 Dalam bahasa Lowe, fungsi meta-principle ini adalah "interstitial activity, pushing and
pulling the boundaries of true prim my norms when they threaten to overlap or conflict with
each other". Ibid., hal. 80-81.

87 Ibid. hal. 81.


80 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

Pendapat Lowe di atas ditentang oleh Beyerlin sebagai berikut: Pada


satu sisi, Lowe menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak
memiliki sifat penciptaan norma (norm-creating character), namun di
sisi lain dia juga menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan
berfungsi untuk mengubah sebuah norma yang telah ada (fungsi
pembangunan berkelanjutan sebagai modifYing-norm). Hal 1m
menunjukkan bahwa pandangan Lowe memuat kontradiksi. 88 Artinya,
jika mampu mengubah sebuah norma, dan menciptakan norma baru
(hasil dari modifikasi), maka pembangunan berkelanjutan memiliki sifat
penciptaan norma. Di sisi lain, Beyerlin juga menyatakan bahwa
pandangan Lowe telah mengabaikan pengalaman yang menunjukkan
bahwa cita-cita politik atau moral, yang tidak memiliki norm-creating
character, dalam kenyataannya sering kali menjadi katalis bagi
perkembangan hukum. 89
Sementara itu, Marong berpandangan bahwa perbedaan pendapat
antara Weeramantry dan Lowe lebih merupakan perbedaan semantik
saja. Menurut Marong, pandangan Weeramantry yang menyatakan
bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah prinsip yang
menjadi jembatan (intervening principle) bagi prinsip-prinsip yang
bertentangan, merupakan pandangan yang didasarkan pada perspektif
hukum kebiasaan intemasional (customary international law). Sedang
pandangan Lowe yang mengangap pembangunan berkelanjutan sebagai
meta-principle dengan fungsi interstitial, merupakan pandangan yang
menganggap bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah
konsep dari luar sistem hukum intemasional, yang kemudian diterapkan
ke dalam norma hukum intemasional. 90
Lebih jauh lagi, dalam pandangan Marong, pendapat Weeramantry
maupun Lowe sarna-sarna mengimplikasikan bahwa pembangunan
berkelanjutan hanya memiliki peran dalam pertimbangan dan
pengambilan keputusan di pengadilan. Marong menolak pendapat ini. 91
Bagi Marong, pembangunan berkelanjutan dapat difungsikan sebagai
arahan untuk pengambilan keputusan, baik di lembaga legislatif,
peradilan, maupun administrasi. Menurut Marong, dalam fungsi inilah
pembangunan berkelanjutan dapat memiliki sifat normatif, sebagaimana
telah dikemukakan oleh Weeramantry dalam kasus Gabcikovo-
Nagymaros. 92 Menurut Marong, beberapa dokumen intemasional telah

88 Ibid.

89 Ibid.

90 Alhaji B.M. Marong, From Rio To Johannesburg: Reflections on the Role of


International Legal Norms in Sustainable Development, "Georgetown International
Environmental Law Review", Vol. 16,2003, hal. 45.
91 Ibid.

92 Ibid., hal. 44.


Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan PemaJ..:naannya, Wibisana 81

memberikan arahan mengenai perilaku yang layak (good conduct) dalam


proses pembuatan, penafsiran, serta penerapan hukum dan keputusan
terkait pengelolaan lingkungan hidup. Arahan inilah yang oleh Marong
disebut sebagai prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Menurutnya,
... the discursive processes entailed in the Founex and
Brundtland Reports, the work of the IUCN, other NGOs and
individuals, as well as the inter-state discourse that took place
in preparation for and during the Stockholm and Rio
conferences, have generated a set of shared understandings of
good conduct that ought to be taken into account in making
environmental and development decisions. It is these
understandings of good conduct that I refer to as sustainable
development principles. I argue that by invoking these
principles in processes of rule making, rule-interpretation, and
rule application as well as a variety of non-legal decision
contexts, legal regimes could contribute to the attainment of
sustainable development. 93
Lebih penting lagi, Marong memperlakukan pembangunan
berkelanjutan sebagai tujuan sosial yang bersifat menyeluruh (an
overarching societal objective). Tujuan ini terdiri dari beberapa prinsip
spesifik-beberapa di antaranya mungkin memiliki sifat normatif-yang
berfungsi untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. 94
Analisis lebih mendalam mengenai pengakuan dan status hukum
pembangunan berkelanjutan diberikan oleh Voigt. Sedikit berbeda
dengan Weeramantry, yang melihat pembangunan berkelanjutan dari
perspektif hukum kebiasaan internasional, dan Lowe, yang melihatnya
dari perspektif interstitial meta-principle, Voigt melihat pembangunan
berkelanjutan sebagai prinsip umum hukum lingkungan internasional
(general principle of international environmental law). Menurutnya,
prinsip umum ini memiliki peran untuk menjembatani konflik normatif.
Voigt berpendapat bahwa sebagai sebuah prinsip hukum umum,
pembangunan berkelanjutan memperoleh legitimasinya dari pengakuan
masyarakat internasional (opinio communis juris). Pengakuan ini dapat
berupa praktek dari negara-negara, atau pun pengakuan dari masyarakat
internasional, baik berupa pengakuan dari negara maupun non-state
actors. Dengan demiki, menurut Voigt, sebuah prinsip umum memiliki
karakter fundamental yang dapat ditemukan di dalam praktek di negara-
negara (foro domestico). Pada saat yang sarna, prinsip umum ini dapat
pula diturunkan dari logika hukum internasional. Dengan demikian
prinsip umum tidak hanya dapat dilihat dari ada tidaknya pengakuan oleh

93 Ibid., hal. 58-59.

94 Ibid., hal. 61
82 lurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 lanuari-Maret 2013

negara dan praktek di negara-negara, tap I Juga dapat berasal dari


pengakuan masyarakat internasiona1. 95 Menurut Voigt:
rr the principle of sustainable development is part of general
public international law, it would as such not be contingent
upon State consent or coherent practice in order to be relevant
to courts and tribunals. 96
Di samping itu, Voigt menyampaikan pula kritiknya terhadap
pendapat Lowe yang menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan
tidak memiliki sifat normatif, dan hanya berfungsing sebagai interstitial
meta-principle. Menurut Voigt, pandangan Lowe ini didasarkan pada
persepsi yang sempit terhadap hukum internasional. Pertama, Lowe
sepertinya melihat bahwa sumber hukum internasional terbatas pada
konvensi dan kebiasaan, dan karenanya gagal untuk melihat prinsip
umum dalam hukum internasional. Kedua, Lowe gagal untuk melihat
bahwa prinsip umum tidak hanya berasal dari pengakuan dan perilaku
negara, tetapi juga berasal dari opinio juris communis, kesadaran
masyarakat internasional secara luas. Ketiga, berbeda dari pendapat
Lowe yang melihat bahwa pembangunan berkelanjutan tidak mampu
menciptakan norma karena sifatnya yang kabur dan tidak jelas
(vagueness and indeterminacy), Voigt justru melihat adanya inti dari
pembangunan berkelanjutan yang mampu dituangkan ke dalam bahasa
normatif. Inti ini adalah tuntutan akan adanya integrasi yang diletakkan
dalam kerangka pemeliharaan fungsi mendasar dari ekosistem. 97
Selanjutnya, Voigt menyatakan bahwa kekuatan normatif dari sebuah
prinsip hukum dapat diterapkan melalui dua cara. Pada satu sisi, prinsip
hukum dapat berfungsi mengarahkan perilaku negara. Pada fungsi ini,
prinsip hukum dapat berperan sebagai tujuan dari pembentukan hukum
dan kebijakan pada tingkat nasional. Dalam konteks ini, pembangunan
berkelanjutan merupakan kehendak publik yang mempengaruhi perlaku
negara, "public legitimate expectation that inevitably influences state's
conduct. ,,98
Pada sisi lain, sifat normatif dari sebuah prinsip hukum dapat pula
dilihat dari perannya di dalam penyelesaian sengketa. Dalam hal ini,
penerapan prinsip hukum secara langsung maupun tidak langsung dapat
mempengaruhi hasil dari putusan hakim. Dalam konteks mI,
pembangunan berkelanjutan merupakan "intervening principle" dalam

95 Christina Voigt, "Sustainable Development as a Principle of International Law:


Resolving Conflicts Betlveen Climate Measures and WTO Law", (Springer: Netherlands:
Martinus NijhoffPublishers, 2009), hal. 159-160.

96 Ibid., hal. 161.

97 Ibid., hal. 167-168.

98 Ibid., hal. 168.


Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaknaannya, Wibisana 83

bahasa Weeramantry, atau "mod(fj;ing norm" atau "interstitial norm"


dalam bahasa Lowe, yang dapat secara langsung digunakan sebagai dasar
pertimbangan hakim, tanpa harus sebelumnya ada pengakuan mengenai
status hukumnya. Dengan diterapkannya pembangunan berkelanjutan
dalam pertimbangan hakim, maka sifat normatif dari pembangunan
berkelanjutan telah mendapat pengakuan langsung dari pengadilan. 99
Voigt berpendapat bahwa "intervening principle" atau pun "interstitial
norm" sarna-sarna menunjukkan adanya sifat normatif dari prinsip
pembangunan berkelanjutan, yaitu arahan bagi hakim untuk
menjembatani berbagai norma dan kepentingan yang berbeda. Fungsi
integrasi, rekonsiliasi, dan modifikasi norma inilah yang oleh Voigt
diartikan sebagai bukti adanya sifat normatif dari pembangunan
berkelanjutan. 100 Hal ini pula yang sebenarnya diakui oleh Lowe, seperti
tercantum dalam paragrafyang dikutip Voigt berikut ini:
A concept such as sustainable development can be used by a
tribunal to mod(fj; the application of other norms. It acquires a
kind of normativity within the process of judicial decision-
making. Here in the context 0.( judicial dispute settlement, the
concept can plainly affect the outcome 0.( cases. And where the
decisions of the tribunal are regarded as having persuasive
authority as statements 0.( law ... the application o( the concept
will inevitably influence the further development (?( the law ...
It is in these senses that the concept 0.( sustainable development
has real normative force. ]0]

2. Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan?

Pada bagian sebelumnya telah ditunjukkan adanya beberapa


pandangan yang melihat pembangunan berkelanjutan telah memiliki sifat
normatif pada dirinya sendiri, seperti diungkapkan oleh Weeramantry
dan Voigt. Sementara itu, terdapat pula pandangan yang melihat bahwa
pembangunan berkelanjutan adalah sebuah meta-principle, yang
mengandung beberapa prinsip untuk mewujudkannya. Pandangan
terakhir ini dianut oleh Lowe. Jika pandangan terakhir ini diterima, maka
pertanyaannya kemudian adalah prinsip-prinsip apa saja yang sekiranya
dapat dianggap sebagai prinsip yang dapat menunjang perwujudan
pembangunan berkelanjutan.
Menurut Marong, prinsip-prinsip hukum yang menjadi bagian dari
perwujudan pembangunan berkelanjutan adalah prinsip keadalian dalam
satu dan antar generasi (intra- and inter-generational equity), prinsip

99 Ibid., hal. 169.

100 Ibid., hal. 186.

101 Ibid., hal. 170.


84 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

kedaulatan dan tanggung jawab negara, prinsip tanggungjawab berbeda


atas persoalan bersama (common but differentiated responsibility),102
prinsip kehati-hatian (the precautionary principle), prinsip analisis
mengenai dampak lingkungan (the environmental impact assessment
principle), dan prinsip partisipasi publik dalam pengambilan keputusan
(public participation in decision-making). 103 Dalam hal ini, perlu
diungkapkan bahwa bagi Marong prinsip integrasi bukanlah merupakan
sebuah prinsip yang berdiri sendiri, melainkan sebuah metodologi untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan. 104
Sementara itu, Palassis mengungkapkan beberapa prinsip pembentuk
pembangunan berkelanjutan, yang terdiri dari: prinsip keadilan intra dan
antar generasi, prinsip pemanfaatan secara berkelanjutan (sustainable
use), dan prinsip integrasi (the principle of integration among the core
elements of sustainable developments). 105 N amun demikian, Palassis juga
menambahkan beberapa prinsip hukum lain yang terkait dengan
pembangunan berkelanjutan, yaitu prinsip pencegahan, kehati-hatian, dan
Amda1. 106
Di sisi lain, Silveira menyatakan bahwa berdasarkan Deklarasi Rio,
maka elemen dari pembangunan berkelanjutan terdiri dari: hak atas
kehidupan yang sehat dan produktif yang sejalan dengan alam (healthy
and productive l~re in harmony with nature); keadilan intra dan antar
generasi; penghapusan kemiskinan, yang merupakan "indispensable
requirement for sustainable development"; tanggung jawab bersama dan
sekaligus berbeda (common but d~[rerentiated responsibilities);
pengurangan atau penghapusan pola produksi dan konsumsi yang tidak
ramah lingkungan; hak atas informasi (access to information), hak atas
keadilan (access tojustice), dan hak untuk turut serta dalam pengambilan
keputusan; prinsip kehati-hatian (the precautionary princile); dan prinsip
pencemar membayar (the polluter-pays principle). 107

102 Alhaji B.M. Marong, Op Cit., note 90, hal. 61.

103 Ibid., hal. 64.

104 Ibid., hal. 61.

105 Stathis N. Palassis, Beyond the Global Summits: Reflecting on the Environmental
Principles of Sustainable Development, "Colorado Journal of International Environmental
Law and Policy", Vol. 22, 2011, hal. 60.

106 Ibid., hal. 70.

107 Mary Pat Williams Silveira, International Legal Instruments and Sustainable
Development: Principles, Requirements, and Restructuring, "Willamette Law Review", Vol.
31, 1995, hal. 243-244. Loibl juga mengemukakan beberapa prinsip pembangunan
berkelanjutan yang hampir sarna dengan yang dikemukakan oleh Silveira, yaitu the
precautionQ/Y approach, inter-generational equity, the right to promote sustainable
development, change of unsustainable patterns of production and consumption, common but
Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan PemaJ.:11aannya, Wibisana 85

Sementara itu, Wilkinson mengemukakan beberapa prinsip hukum


lingkungan yang cukup memperoleh konsensus, yaitu: prinsip
pencegahan (the preventative principle); prinsip kehati-hatian (the
precautionary principle); prinsip pencemar membayar (the polluter pays
principle); prinsip bahwa limbah dibuang dan diolah oleh penghasil
limbah atau di tempat yang dekat dengan tempat limbah dihasilkan (the
proximity principle); dan prinsip pembangunan berkelanjutan (the
principle oj sustainable development). Lebih penting lagi, Wilkinson
menyatakan bahwa di antara prinsip-prinsip tersebut, pembangunan
berkelanjutan berfungsi sebagai meta-principle, di mana prinsip-prinsip
lainnya diarahkan untuk berkontribusi pada terwujudnya prinsip
pembangunan berkelanjutan. Menurut Wilkinson "[o]f these, sustainable
development operates as a meta-principle, under which the others are
orgamse. d an d to w h'IC h they contn'b ute. .. 108
Akhirnya perlu pula diungkapkan di Slill pandangan dari
International Law Association (ILA), yang pada tanggal 2 April 2002
telah menyepakati ILA New Delhi Declaration oj Principles oj
International Law Relating to Sustainable Development. 109 Berdasarkan
Deklarasi New Delhi ini, pembangunan berkelanjutan terdiri dari
beberapa prinsip hukum, yaitu:
1). The duty oj States to ensure sustainable use oj natural resources.
Inilah yang dikenal dengan prinsip pemanfaatan secara berkelanjutan
(sustainable use)
2). The principle oj equity and the eradication oj poverty, termasuk di
dalamnya prinsip keadilan intra dan antar generasi.
3). The principle oj common but d~frerentiated responsibilities, yaitu
prinsip tanggungjawab bersama tetapi dengan beban yang berbeda.
4). The principle oj the precautionary approach to human health,
natural resources and ecosystems, yang juga dikenal dengan prinsip
kehati-hatian (the precautionary principle)
5). The principle oj public participation and access to inJormation and
justice, yaitu prinsip partisipasi publik serta akses atas informasi dan
keadilan
6). The principle oj good governance, yaitu prinsip tata pemerintahan
yang baik

differentiated responsibilities and capabilities, public participation and access to information,


dan environmental impact assessment. Lihat: Gerhard Loibl, The Evolving Regime on Climate
Change and Sustainable Development, dalam: Nico Schrijver dan Friedl Weisshal (eds.),
"International Law and Sustainable Development Principles and Practice ", (Springer,
Netherlands: Martinus NijhoffPublishers, 2004), hal. 109-115.

108 David Wilkinson, "Environment and Law", (New York: Routledge, 2002), hal. 104.

109 ILA, New Delhi Declaration of Principles of International Law Relating to


Sustainable Development, 2 April 2002, "International Environmental Agreements: Politics,
Law and Economics", Vol. 2, 2002, hal. 211-216.
86 Jurnal Hukllm dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Janllari-Maret 2013

7). The principle of integration and interrelationship, in particular in


relation to human rights and social, economic and environmental
objectives, yang sering juga disingkat sebagai prinsip integrasi (the
integration principle)
Dari uraian di atas terlihat bahwa persoalan hukum terpenting yang harus
dipecahkan ketika pembangunan berkelanjutan dipandang sebagai sebuah
meta-principle adalah penentuan prinsip-prinsip hukum apa saja yang dapat
dianggap sebagai prinsip hukum yang dapat melaksanakan pembangunan
berkelanjutan. Sayangnya, dari penelusuran literatur dapat terlihat adanya
perbedaan pendapat di antara para ahli hukum mengenai prinsip-prinsip hukum
yang dianggap dapat berkontribusi pada perwujudan pembangunan
berkelanjutan.
Namun demikian, pandangan yang melihat pembangunan berkelanjutan
sebagai meta-principle tidaklah sepenuhnya gagal. Pada akhimya, sifat
nonnatif dari pembangunan berkelanjutan akan menjadi lebih jelas apabila
pembangunan berkelanjutan dilihat dari beberapa elemen atau prinsip yang
terkandung di dalamnya. Artinya, penerapan prinsip-prinsip hukum ini pada
akhimya akan ikut menentukan apakah sebuah tindakan, hukum, atau
kebijakan sejalan dengan pembangunan berkelanjutan atau tidak.
Di sisi lain, kita pun dapat menerima pendapat Weeramantry dan Voigt
yang melihat pembangunan berkelanjutan sebagai sebuah prinsip hukum yang
sudah memiliki karakter nonnatif pada dirinya sendiri. Untuk menjelaskan sifat
nonnatif ini, maka penjelasan mengenai elemen-elemen inti dari pembangunan
berkelanjutan menjadi sangat krusial.
Dalam konteks 1m, Atapattu membagi elemen pembangungan
berkelanjutan ke dalam elemen yang bersifat substantif dan bersifat prosed ural.
Menurut Atapattu, elemen substantif dari pembangunan berkelanjutan terdiri
dari hak atas keadilan, tennasuk keadilan intra dan antar generai, dan prinsip
integrasi. Sedangkan elemen prosedural terdiri dari hak atas infonnasi, hak
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, Amdal, dan hak atas
pemulihan yang efektif. 110
Sesungguhnya, elemen-elemen pembangunan berkelanjutan sudah dapat
ditelusuri dan diturunkan dari definisi pembangunan berkelanjutan itu sendiri,
dalam hal ini definisi yang diberikan oleh Brundtland report. Menurut laporan
ini, pembangunan berkelanjutan adalah:

[sJustainable development is development that meets the needs of


the present without compromising the ability offuture generations
to meet their own needs. It contains within it two key concepts:

110 Sumudu Atapattu, Sustainable Development, Myth or Reality?: A Survey of


Sustainable Development Under International Law and Sri Lankan Law, "Georgetown
International Environmental Law Review", Vol. 14,2001, hal. 273.
Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan PemaJ..:naannya, Wibisana 87

- the concept of 'needs', in particular the essential needs of the


world's poor, to which overriding priority should be given; and
- the idea of limitations imposed by the state of technology and
social organization on the environment's ability to meet present
andfulure needs. "

Dari kutipan di atas, elemen-elemen inti dari pembangunan berkelanjutan


adalah elemen integrasi, pemanfaatan secara berkelanjutan, keadilan intra
generasi, dan keadilan antar generasi. III Elemen integrasi dapat disimpulkan
dari adanya pengakuan mengenai kebutuhan akan pembangunan pada satu sisi,
tetapi pada sisi lain diakui pula bahwa pemenuhan kebutuhan akan
pembangunan ini tidak boleh menganggu kemampuan generasi yang akan
datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Elemen pemanfaatan yang
berkelanjutan dapat dilihat dari adanya pengakuan terhadap dampak teknologi
dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan generasi sekarang dan akan datang, serta adanya pengakuan bahwa
pembangunan yang dilakukan tetap memperhatikan kepentingan generasi yang
akan datang. Elemen keadilan intra generasi dapat dilihat dari pendefinisian
kata kebutuhan (needs) yang memberikan prioritas pada pemenuhan kebutuhan
masyarakat yang miskin. Sedangkan elemen keadilan antar generasi dapat
disimpulkan dari adanya pengakuan mengenai keseimbangan antara
pemenuhan kebutuhan generasi sekarang dengan kebutuhan generasi yang akan
datang. Sayangnya, karena keterbatasan halaman keempat elemen ini tidak
dapat diterangkan secara mendetail dalam tulisan ini.

III Elemen-elemen ini juga dikemukakan oleh Sands, yang menyatakan bahwa elemen
hukum dari pembangunan berkelanjutan terdiri atas: a). keadilan an tar generasi
(intergenerational equity), yang dapat dilihat dari kebutuhan untuk melindungi SDA bagi
keuntungan generasi yang akan datang; b). pemanfaatan secara bekelanjutan (the principle of
sustainable use), yang direfleksikan dalam eksploitasi SDA secara berkelanjutan (sustainable),
hati-hati (prudent), rasional (rational), bijak (wise), dan layak (appropriate); c). keadilan intra
generasi, yang ditunjukkan melalui pemanfaatan SDA secara berkeadilan (equitable use of
natural resources), di mana pemanfaatan SDA oleh satu negara tetap hams memperhatikan
kebutuhan dari negara lain; dan d). prinsip integrasi (integration principle), yang meminta
adanya jaminan bahwa pertimbangan lingkungan akan diintegrasikan ke dalam rencana,
kebijakan, serta program terkait ekonomi dan pembangunan, serta bahwa pemenuhan
kebutuhan pembangunan hams memperhatikan tujuan perlindungan lingkungan. Philippe
Sands, Op. Cit., note 24, hal. 199.
Sementara itu, Magraw dan Hawke menyatakan bahwa elemen-elemen pembangunan
berkelanjutan terdiri dari: keadilan intra generasi, keadilan antar generasi, prinsip integrasi, dan
kebutuhan untuk melindungi ling kung an hidup secara signifikan (the environment needs to be
preserved at least to a significant degree). Lihat: Daniel Barstow Magraw dan Lisa D. Hawke,
"Sustainable Development", dalam: Daniel Bodansky, Jutta Brunnee, dan Ellen Hey, "The
Oxford Handbook of International Environmental Law". (USA: Oxford University Press,
2007), hal. 619.
88 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

v. Kesimpulan

Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara yang memasukkan


pengakuan mengenai perlindungan lingkungan hidup di dalam konstitusinya.
Lebih dari itu, UUD 1945 juga mengakui bahwa pembangunan berkelanjutan
merupakan salah satu asas yang menjadi dasar dari sistem ekonominya. Di
samping itu, pembangunan berkelanjutan pun telah dimuat di dalam undang-
undang lingkungan di Indonesia. Sayangnya, pengakuan-pengakuan ini tidak
kemudian menjadikan pembangunan berkelanjutan dapat dengan mudah
ditafsirkan, apalagi diimplementasikan.
Tulisan ini memperlihatkan bahwa pembangunan berkelanjutan telah
diadopsi di berbagai konvensi dan putusan badan peradilan intemasional terkait
dengan masalah lingkungan hidup. Di samping itu, tulisan ini juga telah
memperlihatkan sekelompok ahli hukum menafsirkan pembangunan
berkelanjutan hanya sekedar konsep yang tidak memiliki sifat normatif.
Sedangkan kelompok lainnya memandang bahwa pembangunan berkelanjutan
merupakan sebuah prinsip hukum yang bersifat normatif. Tulisan ini
berpandangan bahwa pembangunan berkelanjutan sendiri telah menjadi sebuah
prinsip hukum yang bersifat normatif. Sifat normatif ini dapat dilihat dari
elemen integrasi, pemanfaatan berkelanjutan, serta keadilan intra dan antar
generasl.
Untuk memperjelas makna dari pembangunan berkelanjutan, tulisan ini
masih harus dilengkapi lagi dengan pembahasan mengenai elemen-elemen
integrasi, pemanfaatan berkelanjutan, serta keadilan intra dan antar generasi.
Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pema"'71aannya, Wibisana 89

Daftar Pus taka

Atapattu, Sumudu. "Sustainable Development, Myth or Reality?: A Survey of


Sustainable Development Under International Law and Sri Lankan
Law", Georgetown International Environmental Law Review, Vol. 14,
2001: 265-300.
Alder, John dan David Wilkinson. Environmental Law and Ethics, London:
Macmillan Press, 1999.
Beder, Sharon. Environmental Principles and Policies: An Interdiciplinary
Introduction, Oxford, UK: Earthscan, 2006.
Fitzmaurice, Malgosia. Contemporary Issues in International Environmental
Law, London, UK: Edward Elgar: 2009.
Hunter, David; James Salzman, dan Durwood Zaelke, International
Environmental Law and Policy, Thomson Reuters: Foundation Press:
1998.
Kiss, Alexandre dan Dinah Shelton, Guide to International Environmental
Law, Springer, Neteherlands: Martinus NijhoffPublishers, 2007.
Loibl, Gerhard. "The Evolving Regime on Climate Change and Sustainable
Development", dalam: Schrijver, Nico dan Friedl Weisshal (eds.),
International Law and Sustainable Development Principles and Practice,
Springer, Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 2004.
Magraw, Daniel Barstow dan Lisa D. Hawke. "Sustainable Development ",
Dalam: Bodansky, Daniel; Jutta Brunnee, dan Ellen Hey, The Oxford
Handbook of International Environmental Law, USA: Oxford University
Press: 2007: 619.
Marong, Alhaji B.M. "From Rio To Johannesburg: Reflections on the Role of
International Legal Norms in Sustainable Development", Georgetown
International Environmental Law Review, Vol. 16,2003: 21-76. Rawls,
John. A Theory of Justice. Revised ed., USA: Oxford University Press:
1999.
Palassis, Stathis N. "Beyond the Global Summits: Reflecting on the
Environmental Principles of Sustainable Development", Colorado
Journal of International Environmental Law and Policy, Vol. 22, 2011:
41-77.
Sands, Philippe. Principles of International Environmental Law: Vol. 1,
Frameworks, Standards, and Implementation, Manchester: Manchester
University Press, 1995.
Segger, Marie-Claire Cordonier. "The Role of International Forums in the
Advancement of Sustainable Development ", Sustainable Development
Law & Policy, Vol. 10,2009: 5-18, 78-80.
90 lurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 lanuari-Maret 2013

Silveira, Mary Pat Williams. "International Legal Instruments and Sustainable


Development: Principles, Requirements, and Restructuring", Willamette
Law Review, Vol. 31,1995: 239-251.
Voigt, Christina. Sustainable Development as a Principle ofInternational Law:
Resolving Conflicts between Climate Measures and WTO Law, Springer,
Netherlands: Martinus NijhoffPublishers, 2009.
Wilkinson, David. Environment and Law. Routledge: 2002.

Kasus

Case Concerning the Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia),


1997 ICJ 7.
Case Concerning the Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia):
Separate Opinion of Vice-President Weeramantry, 1997 ICJ 7.
The Iron Rhine ("1jzeren Rijn ") Railway case (Belgium v. Netherlands), Perm.
Ct. Arb. (2005). Tersedia pada <http://www.pca-cpa.org/upload/
files/BE-NL%20Award%20corrected%20200905.pdf>, diakses pada
tanggal 23 September 2013.
Case Concerning Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay),
Case No. 135, Judgment, 20 April 2010. Tersedia pada: <http://www.icj-
cij.org/docket/files/135/15877.pdf>, diakses tanggal22 September 2013.
Case Concerning Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay),
Separate Opinion of Judge Canc;ado Trindade, <http://www.icj-
cij.org/docket/files/135/15885.pdf>, diakses tanggal 12 Oktober 2013.
Case Concerning Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay):
Joint Dissenting Opinion of Judges AI-Khasawneh and Simma. Tersedia
dalam: <www.icj-cij.org/docket/files/135/15879.pdf>, diakses tanggal 22
September 2013.

Anda mungkin juga menyukai