TINJAUAN PUSTAKA
A. Budaya Hukum
a. Sistem Hukum
Untuk mengetahui budaya dengan baik, perlu diketahui tentang sistem hukum
yang menjadi dasar dari terbentuknya budaya hukum. Bicara hukum sebagai suatu
dapat digambarkan majelis hakim yang bersidang ditempat tertentu pada suatu
dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur.
3. Komponen Hukum yang bersifat kulutral yang terdiri dari ide-ide ,sikap-sikap,
harapan dan pendapat tentang hukum. Kultural hukum yang dimaksud adalah
1
Lawrence M. Friedman dalam bukunya On Legal Development yang diterjemahkan kembali oleh Rachmadi
Djoko Soemadio seperti dikutip oleh Esmi Warrassih.
11
Menurut Lawrence M Freidman komponen ketiga akan menentukan apakah
pengadilan akan didaya gunakan atau tidak? Karena nilai-nilai dalam masyarakat
itulah yang dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa orang menggunakan, atau
Semua komponen saling berkaitan satu sama lain yang disebut dengan sistem
hukum menjadi kenyataan, maka proses itu selalu melibatkan para pembuat dan
pelaksana hukum, serta juga masyarakatnya. Jadi jika hukum dipahami sebagai
suatu sistem , maka seluruh tata aturan yang berbeda didalamnya tidak boleh saling
bertentangan.
dasarnya terbentuk melalui pola perilaku dan sikap dari masyarakat. Misalnya
dalam masyarakat adat. Ketika nilai-nilai adat dianggap menjadi sesuatu yang
penting bagi kehidupan mereka maka segala sesuatu yang berhubungan dengan
kehidupan mereka pasti tidak terlepas dari nilai-nilai adat itu sendiri.
rasa aman dan sejahtera bagi mereka dalam kehidupannya. Hal ini tidak lepas dari
istiadat yang dipatuhi olehnya ada kekuasaan yang besar dan mampu memberikan
12
Sebagaimana pendapat Prof Mr. F.D. Holleman bahwa hukum adat Indonesia
memiliki empat sifat umum yang merupakan kesatuan harmonis, salah satunya
dalam wilayah adat isitadat yang ditunjukan dengan adanya aturan-aturan yang
Hal ini terjadi karena budaya mempunyai kedudukan dan peranan yang
“Para Individu sejak kecil telah diresapi oelh nilai-nilai budaya yang
saja tetapi juga hendaknya dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati dalam
masyarakat, melalui tingkah laku warga masyarakat, terutama faktor nilai dan
2
Kuntjaraningrat (1988:26).
13
Faktor-Faktor pembentuk budaya hukum sebagai pendorong adalah nilai-
lebih kepada apa yang adil dan tidak menurut masyarakat. Budaya hukum
berhasil tidaknya kebijaksanaan yang telah ditungakan dalam bentuk hukum itu,
sehingga ketika ada perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh undang-undang
dengan praktek yang dijalankan oleh masyarakat hak ini bisa disebabkan karena
fragmen-fragmen tingkah laku dan pemikiran yang saling terlepas. Budaya yang
diartikan sebagai kategori sisa, dan termasuk didalamnya keselurahan nilai sosial
yang berhubugan dengan hukum, sikap yang mempengaruhi hukum , tetapi yang
Termasuk rasa suka atau tidak suka kepada huku untuk menggunakan
informal untuk menyelesaikan sengketa dan juga sikap-sikap serta tuntutan pada
14
Budaya Hukum bertujuan membantu Pemerintah dan masyarakat dalam
hukumnya. Sedangkan dalam arti lebih kecil, aturan-aturan adat setiap daerah
dari daerah-daerah tersebut. Sehingga aturan didaerah lain tidak akan sama
dengan aturan didaerah lainya, sama halnya ketika aturan perkawinan dalam adat
warga Indonesia. Karena Halitu merupakan identitas diri dari pada atraun adat dan
aturan negara.
hukum harus dilihat sebagai sub-sistem dari suatu sistem yang besar yaitu
masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena hukum juga dipandang sebagai suatu
yang dikutip oleh Ernis Warassih bahwa hukum itu adalah gabungan komponen
15
1. Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem
teratur.
culture yakni kultur hukumnya lawyers dan judges dan eksternal legal
culture yakni kultur hukum masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat
perkawinan.
apa yang adil dan tidak menutur masyarakat. Budaya hukum merupakan unsur
berlaku sebenarnya berakar pada nilai-nilai sosial dan budaya dari masyarakat
hal penting yang dapat menentukan mengapa seseorang patuh atau tidak terhadap
16
peraturan yang ada. Hal ini berakibat dari perbedaaan anatara apa yang
hukum perlu untuk melihat apa dan bagaimana hukum itu bisa diterima dan
B. Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan
masyarakat kita, sebab perkawinan tidak hanya menyangkut wanita dan pria
bakal mempelai saja tapi juga kedua belah pihak orang tua, saudara bahkan
bukanlah perestiwa yang alami saja tetapi merupakan persetiwa yang suci atau
dengan kata lain perestiwa yang sakral. Dikatakan demikian karena deengan
kedua calon suami istri bahkan menyangkut pula keluarga yang merupakan suatu
perwujudan perestiwa pula keluarga yang merupakan salah satu sisi penting dari
3
W.J.S Poerdarminta (1976:453).
17
mempertanggungjawabkan kehadiran seseorang manusia sebaai ciptaan Tuhan
“Perkawinan suatu tata suci yang ditetapkan Tuhan yang didalamnya diatur
Dari pengertian yang dikemukakan diatas bila dikaji lebih lanjut maka perestiwa
perwakiwanan yang darikeyakinana adalah merupakan suatu tata tertib yang suci
yang diterapkan oleh Tuhan bagi manusia. Oleh karena itu dapatlah dikatakan
bahwa perkawinana itu pada hakekatnya adalah merupakan suatu perestiwa yang
sakral bagi pihak-pihak yang akan melangsungkanya lebih lanjut dalam pasal 1
“Perkawinanan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang
wanita dengan tujuan sebagai suami istri dengan tujuan mebentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.”
Dari ketentuan pasal 1 tersebut diatas, peristiwa yang dilangsungkan oleh kedua
calon suami istri . Untuk memwujudkan kesepakatan inilah maka terjadi suatu
perestiwa perkawinaan. Dalam hubungan dengan ikatan lahir bathin tersebut, oleh
4
Sugiarto (1984:54).
18
“ Dengan ikatan lahir bathin dimaksud bahwa perkawinan itu tidak hanya
cukup dengan adanya ikatan lahir batin saja tetapi harus kedua-duanya. Suatu
ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat, mengungkapkan adanya suatu
hubungan antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama
sebagai suami istri dengan kata lain dapat disebut dengan hubungan formal.
Hubungan formal itu ternyata suatu ikatan yang tidak dapat lihat atau tidak
nyata namun harus ada sehingga ikatan lahir tidak mudah rapuh”.5
Penegasan diatas apabila dikaji lebih jauh maka terjalinya ikatan lahir dan batin
dapatlah merupakan dasar dalam membentuk dan membina rumah tangga yang
bahagia dan kekal. Pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu haruslah
“Yang dimaksud dengan persetujuan disini adalah persetujuan itu antara calon
suami dan calon istri dan dasar harus adanya suatu persetujuan itu berarti telah
dipasang pondasi yang kokoh untuk membina suatu keluarga dan rumah
tercetus dari hati para calon tersebut dalam bentuk kemauan untuk hidup
undangan yaitu terdapat dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dalam pasal 2
5
K. Wantjik Saleh, (1976: 14).
19
Jadi keputusan diatas menunjukan bahwa sahnya suatu perkawinan
berkaitan erat dengan aspek hokum. Hukum tidak hanya diartikan dengan
kekuasaan yang diatur oleh Negara dan agama tetapi juga peraturan-peraturan
yang dibuat oleh adat yang dianggap berlaku dalam masyarakat di lingkungan
adat tersebut.
melangsungkan perkawinan, tetapi juga melibatkan orang tua dan keuarga kedua
belah pihak yang di dalamnya termasuk urusan suku, urusan kelas sosial, urusan
penting bagi mereka yang masih hidup saja tetapi perkawinan itu juga merupakan
peristiwa yang sangat berarti yang sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti
oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak beserta keluarganya yang
mengharapkan juga restu bagi kedua mempelai, hingga setelah menikah kedua
mempelai dapat hidup rukun bahagia sebagai suami dan istri sampai kaken–kaken
nien–nien (istilah jawa yang artinya sampai sang suami menjadi kaki-kaki dan
6
Soerojo Wignjodipuro. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta. Hal 122.
20
H. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa:
berarti sebagai perikatan perdata tetapi juga merupakan adat dan sekaligus
mempunyai arti yang luas sekali. Hal itu disebabkan karena perkawinan tidak
semata-mata ikatan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
yang harmonis, tetapi juga berhubungan dengan keluarga, masyarakat umum dan
menjadi tanggung jawab yang berat bagi pasangan suami istri, selain bertanggung
jawab terhadap orang banyak (keluarga dan masyarakat) juga bertanggung jawab
kepada Tuhan.
akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.”
Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu
antara orang tua keluarga dari para calon suami istri). Setelah terjadinya ikatan
perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua termasuk anggota
keluarga atau kerabat menurut hukum adat dan selanjutnya dalam peran serta
7
Hilman Hadikusuma, 1990. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Pandangan, Hukum Agama, Hukum Adat,
Mandar Maju, Bandung, hal. 8.
21
membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan
hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak suami dan
mas kawin kepada pihak perempuan. Mas kawin sebagai ikatan hukum dalam
kedudukannya dan memasuki atau mengikuti kerabat suami beserta anak dan
keturunannya.
perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria atau mempelai
saja tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan
hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja
mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah leluhur dari kedua belah
pihak”.9
tidak hanya mencakup antara orang yang masih hidup (kedua calon mempelai,
keluarga kedua belah pihak) tetapi juga orang yang sudah mati (leluhur).
8
Ibid, hal. 9.
9
Soerojo Winjopdipoero, Pengaturan dan Asas-Asas Hukum Adat, CV. Haji Masagung, 1989. Hal 122.
22
Cara seperti diatas masih tetap terpelihara walaupun nilai-nilai yang ada di
dan urusan persekutuan, tetap saja perkawinan itu sendiri merupakan urusan
Jadi soal suka atau benci, jalannya proses kawin pinang terlebih kawin lari atau
bawa lari mencerminkan ketegangan tersebut antara kelompok dan warga selaku
membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
berlangsung seumur hidup dan dalam bentuk keluarga yang bahagia dan kekal
b. Tujuan Perkawinan
perkawinan”
perkawinan itu dilandasi oleh perasaan saling memiliki, merasa senasib dan
23
sepenanggungan maka muncul komitmen bersama antara kedua calon mempelai
ata suami istri untuk memperoleh anak untuk menciptakan suasna kebahagian
untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal. Dapat diartikan bahwa perkawinan
haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.10
mengandung makna seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja, dan
pada aspek tujuan ini pula mengandung makna bahwa perkawinan dan tujuan
akhirnya adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
adalah untuk membina rumah tangga yang bahagia dan kekakl seumur hidup,
serta dilandasi oleh rasa cinta berdasrkan Tuhan Yang Maha Esa.
adalah untuk membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal
Tujuan perkawinan dalam hukum adat bagi masyarakat adat yang bersifat
atau kerabatan, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian dan
antara suku bangsa Indonesia yang satu dengan yang lain berbeda-beda termasuk
lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan dari
10
K. Wantjik Saleh, (1976:15)
11
Ibid, hal. 14.
24
perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda-beda diantara suku bangsa yang
satu dengan suku bangsa yang lain, daerah yang satu dan daerah yang lain
dimana setelah terjadi perkawinan istrei ikut (masuk) dalam kekerabatan suami
setelah terjadinya suami ikut (masuk) dalam kekerabatan istri dan melepaskan
c. Keabsahan Perkawinan
memenuhi persyaratan dan tata cara perkawinan baik secara formal maupun non
formal yang berlaku secara sah. Peraturan yang berlaku adalah peraturan
kepercayaan masing-masing.
25
Jadi suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan itu. Bila menyimpang dari hal itu maka
kepercayaa yaitu, sesaui dengan UUD 1945”. Yang dimaksud dengan hukum
ini.
Pertama, Para sarjana dan ahli hukum serta golongan ang selama ini
perkawinan kristen mengatakan bahwa saat mulai sahnya perkawinan itu bukan
12
H. Sainus Syakar, (1981:19).
26
Kedua, umumnya dianut oleh umat Islam saat mulai sahnya perkawinan itu
administratif belaka akan tetapi sahnya nikah itu mulai saat selesainya tata cara
keagamaan, misalnya saat selesainya akad nikah yang diucapkan kedua belah
kejelasan yang berbeda antara kedua agama (kristen dan islam). Hal terebut diatas
ditegaskan dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974
menegaskan bahwa:
kepercayaan itu.
keterangan, surat akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
bertujuan untuk menjadikan perestiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik yang
bersangkutan maupun baik bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat dibaca
dalam surat yang bersifat resmi dan termuat dalam suatu daftar khusus yang
sebagai alat bukti tertulis dan autentik. Dengan adanya surat bukti ini dapatlah
27
Dari uraian K. Wantijik Saleh, SH diatas menjelaskan adanya suatu
dan dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti perceraian
dan sebagainya.
Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang
menurut tata tertib hukum agamanya, maka perkawinan itu sudah sah menurut
hukum adat.
telah selesai, hal ini dipandang dari proses pelaksanaan tahap prosedur adatnya
(pembelisan)
“Terlaksananya acara nikah dan catatan sipil dan catatan sipil hanya
Dipandang dari segi hukum tertulis dan tidak tertulis dan telah diselesaikan
pelaksanaan kelangsungan perkawinan telah diaggap sah baik ditinjau dari segi
28
C. Perkawinan menurut Hukum Adat
saja berarti sebagai “perikatan perdata”, tetapi juga merupakan “perikatan adat”
hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama,
kedudukan anak, hak dan kewajiban orangtua, tetapi juga menyangkut hubungan-
yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam
masyarakat bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan
antara orang tua keluarga dari para calon suami istri). Setelah terjadinya ikatan
anggota keluarga atau kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu dalam
pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan
perkawinan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat sebab manusia itu
29
tidak saja mencakup pria dan wanita bakal mempelai saja tetapi juga orang tua
kemandirian seoarang laki-laki dan seoarang wanita yang tadinya hidup terpisah
setelah melalui upacara atau proses beralih dan hidup bersama dalam suatu
kehidupan bersama sebagai suami dan istri. Pendapat ini mensyaratkan bahwa
mempertemukan pria dan wanita sebagai suami istri juga mengikat keluarga
dengan bahasa yang indah dan berkias. Utusan yang meminang biasanya
seorang kerabat atau orang tuanya dengan persetujuan kelompok kerabat dan
orang tua.
13
Te. Her. Asas – Asas dan susunan Hukum Adat, terjemahan Soebakti poesponoto (Jakarta : Pradnya
Paramitha) Hal. 188 – 199.
14
Op. Cit, Hal. 193.
30
Perkawinan bawa lari adalah kedua mempelai (laki-laki dan perempuan) lari
bersama tanpa melalui peminangan. Maksud dari pada perkawinan bawa lari
atau sama-sama melarikan diri adalah untuk menghindarkan diri dari berbagai
keharusan sebagai akibat dari perkawinan pinang, pihak orang tua dan
Kawin lari adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi tidak
perbuatan yang melanggar hukum adat, melanggar kekuasaaan orang tua dan
belah pihak.
4. Perkawinan Mengabdi
pembayarannya ditunda, atau suatu perkawinan dimana suami dan istri sudah
mulai hidup bekumpul tetapi pembayaran mas kawinnya belum lunas maka si
terbayar lunas.
31
jika telah dilaksanakan menurut tata-tertib hukum agamanya, maka perkawinan
itu sudah sah menurut hukum adat, kecuali bagi mereka yang masih menganut
agama lama (kuno) seperti “Marapu” (memuja roh nenek moyang), maka
perkawinan yang dilakukan menurut tata-tertib adat atau agama mereka itu adalah
1. Adanya persetujuan
Menurut hukum adat setiap pribadi walaupun sudah dewasa tidak bebas
orang tua atau kerabatnya. Lebih-lebih pada masyarakat kekerabatan adat yang
sistim klennya masih kuat seperti di Nusa Tenggara Timur, dimana klen yang
mengetahui dan memilihkan calon istri bagi para anggota lelakinya.Bagi setiap
kawin diputuskan oleh mereka sendiri, lalu disampaikan kepada orang tua
untuk melakukan peminangan (pelamaran) dalam rasan tua. Dalam rasan tua
2. Batas Umur
Hukum adat pada umumnya tidak mengatur tentang batas umur untuk
15
Hilman Hadikusuma, Ibid, Hal. 27.
32
perkawinan semua umur. Kedewasaan seseorang didalam hokum adat diukur
dengan tanda-tanda bangun tubuh, apabila anak perempuan sudah haid (datang
bulan), buah dada sudah menonjol, berarti dia sudah dewasa. Bagi anak laki-
laki ukurannya dapat dilihat pada perubahan suara, sudah mengeluarkan air
mania tau sudah mempunyai nafsu sex. Jadi bukan diukur dengan umur karena
orang tua dimasa lampau kebanyakan tidak mencatat tanggal lahir anak-
Tata cara perkawinan adat pada suatu perkawinan berakar pada adat istiadat
serta kepercyaan yang sudah ada sejak dahulu kala, sebelum agama-agama
(Hindu, Budha, Islam dan Kristen) masuk di Indonesia telah di turuti dan
senantiasa dilakukan. Tata cara tersebut sudah mulai dilakukan pada hari-hari
Tata cara diberbagai daerah di Indonesia adalah tidak sama sebab dilangsungkan
diserahkan kepada para pihak yang bersangkutan menurut adat atau agamanya
masyarakat dapat saja dilakukan , asal saja dilakukan tata cara perkawinan yang
dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan adat setempat dalam kaitannya
33
bersangkutan. Bentuk perkawinan itu “istri ikut suami”(kawin jujur), suami ikut
istri (kawin semanda), atau suami istri bebas menentukan sendiri (kawin bebas)
atau juga dalam bentuk campuran dalam perkawinan antara adat/ suku bangsa
Latar belakang terjadinya berlarian bujang gadis (kawin lari) untuk maksud
c. Orang tua dan keluarga gadis menolak lamaran pihak bujang, lalu gadis
bertindak sendiri
d. Gadis telah bertunangan dengan seorang pemuda yang tidak disukai oleh si
gadis
e. Gadis dan bujang telah berbuat yang bertentangan dengan hukum adat dan
34
termasuk di desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan Kabupaten Sumba
Barat Daya sebagai bagian integral dari wilayah Kesatuan Republik Indonesia.
Ada 3 jenis bentuk perkawinan adat yang biasa dikenal oleh masyarakat
1. Kawin Paksa : Perjodohan sejak kecil sebagai salah satu bentuk perkawinan
paksa dilakukan atas kesepakatan kedua rumpun keluarga, terutama kedua
orang tua dari masing-masing pihak. Prosedur itu dilakukan ketika anak-anak
itu sudah cukup umur untuk melakukan perkawinan.
2. Kawin Bawa Lari : hal ini terjadi mana kala seorang pria mengajukan
lamaran ternyata ternyata ditolak/tidak diterima oleh pihak keluarga wanita
dengan berbagai alasan, salah satu alasan karena adanya perbedaan status
sosial di antara kedua keluarga, maka untuk mencapai keinginannya sang pria
membawa lari atau menculik wanita tersebut. Konsekuensi dari perkawinan
tersebut adalah pihak pria harus berani mempertanggungjawabkan
perbuatannya itu berdasarkan prosedur dan tata cara adat yang berlaku yakni
ditandai dengan pembayaran sejumlah belis atau mas kawin berupa kerbau,
kuda, sapi, kepingan emas (mamuli) dan lainnya, pembayarannya diatur
berdasarkan tahapan-tahapan tertentu. Seturut dengan itu, oleh Teer Haar
dikatakan bahwa Kawin paksa adalah suatu bentuk perkawinan, dimana si
wanita bertentangan dengan kehendaknya dipaksa kawin dan dibawa lari oleh
si pria yang memaksakan kehendaknya.
16
Wawancara dengan kepala desa Buru Kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013
35