PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an menggunakan konsep produksi barang dalam artian luas. Al-Qur’an menekankan
manfaat dari barang yang diproduksi. Memproduksi suatu barang harus mempunyai
hubungan dengan kebutuhan manusia. Berarti barang itu harus diproduksi untuk memenuhi
kebutuhan manusia, bukan untuk memproduksi barang mewah secara berlebihan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk
memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif.
Produksi adalah sebuah proses yang telah terlahir di muka bumi ini semenjak manusia
menghuni planet ini. Produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan juga peradaban
manusia dan bumi. Sesungguhnya produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia
dengan alam.[1]Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi.
Kegiatan produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para
konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula sebaliknya.
Untuk menghasilkan barang dan jasa kegiatan produksi melibatkan banyak faktor produksi.
Fungsi produksi menggambarkan hubungan antar jumlah input dengan output yang dapat
dihasilkan dalam satu waktu periode tertentu. Dalam teori produksi memberikan penjelasan
tentang perilaku produsen tentang perilaku produsen dalam memaksimalkan keuntungannya
maupun mengoptimalkan efisiensi produksinya. Dimana Islam mengakui pemilikian pribadi
dalam batas-batas tertentu termasuk pemilikan alat produksi, akan tetapi hak tersebut tidak
mutlak.[2]
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa rumusan masalah di antaranya, yaitu:
1. Apakah pengertian Produksi?
2. Apakah Tujuan dalam Produksi?
3. Apakah Faktor dalam Produksi?
4. Apakah Prinsip-prinsip Produksi dalam Islam?
5. Bagaimanakah Produksi dalam Islam?
6. Apakah Nilai-nilai islam dalam berproduksi?
7. Bagaimanakah Perilaku Produsen Muslim Vs Non-Muslim?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Produksi
Produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang kemudian
dimanfaatkan oleh konsumen. Secara teknis produksi adalah proses mentransformasi input
menjadi output, tetapi definisi produksi dalam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih luas.
Pendefinisian produksi mencakup tujuan kegiatan menghasilkan output serta karakter-
karakter yang melekat padanya. Beberapa ahli ekonomi islam memberikan definisi yang
berbeda mengenai pengertian produksi, meskipun substansinya sama. Berikut pengertian
produksi menurut para ekonomi muslim kontemporer.
1. Karf (1992) mendefinisikan kegiatan produksi dalam perspektif islam sebagai usaha
manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas,
sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam,
yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
2. Rahman (1995) menekankan pentingnya keadilan dan kemerataan produksi (distribusi
produksi secaraa merata)
3. Al Haq (1996) menyatakan bahwa tujuan dari produksi adalah memenuhi kebutuhan
barang dan jasa yang merupakan fardlu kifayah, yaitu kebutuhan yang bagi banyak orang
pemenuhannya bersifat wajib.
Dalam definisi-definisi tersebut diatas terlihat sekali bahwa kegiatan produksi dalam
perspektif ekonomi islam padaa akhirnya mengerucut pada manusia dan eksistensinya,
meskipun definisi-definisi tersebut berusaha mengelaborasi dari perspektif yang berbeda.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kepentingan manusia yang sejalan dengan moral
islam, harus menjadi fokus atau target dari kegiataan produksi. Produksi adalah proses
mencari, mengalokasikan dan mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka
meningkatkan mashlahah bagi manusia. Produksi juga mencakup aspek tujuan kegiatan
menghasilkan output serta karakter-karakter yang melekat pada proses dan hasilnya.[3]
B. Tujuan Produksi
Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh
laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam islam yang bertujuan untuk
memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen. Walaupun dalam ekonomi islam
tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang
selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Secara lebih spesifik, tujuan kegiatan
produksi adalah meningkatkan kemashlahatan yang bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk
diantaranya:
1. Pemenuhan kebutuhan manusai pada tingkat moderat.
2. Menemukan kebutuhan masyarakat da pemenuhannya.
3. Menyiapkan persediaan barang/jasa dimasa depan.
4. Pemenuhan sarana bagi kegaitan social dan ibadah kepada Allah.
Tujuan produksi yang pertama sangat jelas, yaitu pemenuhn sarana kebutuhan manusia pada
takaran moderat. Hal ini akan menimbulkan setidaknya dua implikasi. Pertama, produsen
hanya menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan meskipun belum tentu
merupakan keinginan konsumen. Barang dan jasa yang dihasilkan harus memiliki manfaat riil
bagi kehidupan yang islami. Kedua, kuantitas produksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya
sebatas kebutuhan yang wajar. Produksi barng dan jasa secara berlebihan tidak saja
menimbulkan mis-alokasi sumber daya ekonomi dan kemubaziran, tetapi juga menyebabkan
terkurasnya sumber daya ekonomi ini secara cepat.
Meskipun poduksi hanya menyediakan sarana kebutuhan manusia tidak berarti bahwa
produsen sekadar bersikap reaktif terhadap kebutuhan konsumen. Produsen harus proaktif,
kreatif dan inovatif menemukan berbagai barang dan jasa yang memang dibutuhkan oleh
manusia. Sikap proaktif ini juga harus berorientasi kedepan, dalam arti: pertama,
menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan masaa mendatang; kedua,
menyadari bahwa sumber daya ekonomi, baik natural resources atau non natural resources,
tidak hanya diperuntukkan bagi manusia yang hidup sekarang, tetapi juga untuk generasi
mendatang.
Orientasi kedepan ini akan mendorong produsen untuk terus menerus melakukan riset dan
pengembangan guna menemukan berbagai jenis kebutuhan, teknologi yang diterapkan, serta
berbagai standar lain yang sesuai dengan tuntutan masa depan. Efisiensi dengan sendirinya
juga akan senantiasa dikembangkan, sebab dengan cara inilah kelangsungan dan
kesinambungan pembangunan akan terjaga. Ajaran islam juga memberikan peringatan yang
keras terhadap prilaku manusia yang gemar membuat kerusakan dan kebinasaan, termasuk
kerusakan lingkungan hidup, demi mengejar kepuasaan.
Tujuan yang terakhir yaitu pemenuhan sarana bagi kegiatan social dan ibadah kepada Allah.
Sebenarnya ini merupakan tujuan produksi yang paling orisinal dari ajaran islam. Dengn kata
lain, tujuan produksi adalah mendapatkan berkah, yang secara fisik belum tentu dirasakan
oleh pengusaha itu sendiri.[4]
C. Faktor Produksi
Dalam pandangan Baqir Sadr (1979), ilmu ekonomi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
Perbedaan ekonomi islam dengan ekonomi konvesional terletak pada filosofi ekonomi, bukan
pada ilmu ekonominya. Filosofi ekonomi memberikan pemikiran dengan nilai-nilai islam dan
batasan-batasan syariah, sedangkan ilmu ekonomi berisi alat-alat analisis ekonomi yang dapat
digunakan. Dengan kata lain, faktor produksi ekonomi islam dengan ekonomi konvesional
tidak berbeda, yang secara umum dapat dinyatakan dalam :
a. Faktor produksi tenaga kerja
b. Faktor produksi bahan baku dan bahan penolong
c. Faktor produksi modal
Di antara ketiga factor produksi, faktor produksi modal yang memerlukan perhatian khusus
karena dalam ekonomi konvesional diberlakukan system bunga. Pengenaan bunga terhadap
modal ternyata membawa dampak yang luas bagi tingkat efisiansi produksi. ‘Abdul-Mannan
mengeluarkan modal dari faktor produksi perbedaan ini timbul karena salah satu da antara
dua persoalan berikut ini: ketidakjelasan antara faktor-faktor yang terakhir dan faktor-faktor
antara, atau apakah kita menganggap modal sebagai buruh yang diakumulasikan, perbedaan
ini semakin tajam karena kegagalan dalam memadukan larangan bunga(riba) dalam islam
dengan peran besar yang dimainkan oleh modal dalam produksi.
Kegagalan ini disebabkan oleh adanya prakonseps kapitalis yang menyatakan bahwa bunga
adalah harga modal yang ada dibalik pikiran sejumlah penulis. Negara merupakan faktor
penting dalam produksi, yakni melalui pembelanjaannya yang akan mampu meningkatkan
produksi dan melalui pajaknya akan dapat melemahkan produksi.
Pemerintah akan membangun pasar terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber
utama bagi semua pembangunan. Penurunan belanja negara tidak hanya menyebabkan
kegiatan usaha menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkan
penurunan dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, semakin baik
perekonomian karena belanja yang tinggi memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-
hal yang dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan, dan politik.
Oleh karena itu, untuk mempercepat pembangunan kota, pemerintah harus berada dekat
dengan masyarakat dan mensubsidi modal bagi mereka seperti layaknya air sungai yang
membuat hijau dan mengaliri tanah di sekitarnya, sementara di kejauhan segalanya tetap
kering.
Faktor terpenting untuk prospek usaha adalah meringankan seringan mungkin beban pajak
bagi pengusaha untuk menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang
lebih besar (setelah pajak). Pajak dan bea cukai yang ringan akan membuat rakyat memiliki
dorongan untuk lebih aktif berusaha sehingga bisnis akan mengalami kemajuan. Pajak yang
rendah akan membawa kepuasan yang lebih besar bagi rakyat dan berdampak kepada
penerimaan pajak yang meningkat secara total dari keseluruhan penghitungan pajak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah
yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa
produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula sebaliknya. Untuk
mengahasilkan barang dan jasa kegiatan produksi melibatkan banyak faktor produksi.
Beberapa implikasi mendasar bagi kegiatan produksi dan perekonomian secara keseluruhan,
antara lain : Seluruh kegiatan produksi terikat pada tataran nilai moral dan teknikal yang
Islami, kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan, permasalahan
ekonomi muncul bukan saja karena kelangkaan tetapi lebih kompleks.
[1] Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2007),
hal.102
[2] Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. Bangkit Daya Insana, 1995),
hal. 4
[3] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), hal. 230
[4] Ibid, hal. 233
[5] Mustafa Edwin Nasution,dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana,
2007), hal. 108
[6] Ibid, hal. 104
[7] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi….,hal. 252