Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KETENTUAN AKIBAT BAI’

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”

Dosen Pengampuh:

Dr. Achmad Fageh, MHI

Disusun Oleh:

1. Nur Lailatul Nuzulul Maghfiroh (C93219099)

2. Rois Hidayat (C03219035)

3. Wardatul Nisa Aulia (C93219113)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

PRODI HUKUM PIDANA ISLAM

TAHUN 2021

0
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi kami kekuatan dan petunjuk
untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya kami sekelompok tidak
akan bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik.Shalawat serta salam semoga selalu
tercurah kepada Rasulullah Muhammad s.a.w., beserta keluarga dan para sahabatnya.

Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dengan judul “Akibat Bai’”. Disamping itu, kami
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama
pembuatan makalah ini berlangsung sehingga dapat tereselesaikanlah makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar
kedepannya dapat kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini masih
banyak terdapat kekurangannya.

Mojokerto, 27 April 2021

Penyusun

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jual beli merupakan aktifitas yang dihalalkan Allah. Setiap muslim diperkenankan
melakukan aktivitas jual beli. Hal ini merupakan Sunatullah yang telah berjalan turun-
temurun. Jual beli memiliki bentuk yang bermacammacam. Jual beli biasanya dilihat dari
cara pembayaran, akad, penyerahan barang dan barang yang diperjualbelikan. Islam
sangat memperhatikan unsurunsur ini dalam transaksi jual beli. Islam memiliki beberapa
kaidah dalam jual-beli1

perjanjian atau ketenteuan yang telah di benarkan Syara’ dan disepakati. Oleh
karena itu jual beli diperbolehkan dalam agama Islam ditegaskan dalam firman Allah
SWT dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 29:

‫اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬ ْ ٰ ٓ
ٍ ‫ٰياَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ا َمنُوْ ا اَل تَأ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َجا َرةً ع َْن ت ََر‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu

Ayat di atas secara eksplisit disebutkan bahwa jual beli merupakan sesuatu yang
hak dan Islam memperbolehkannya. Islam memperbolehkannya selama masih dalam
batas-batas tertentu dan selama masih berpegang teguh pada aturan-aturan dalam Syari’at
Islam. Masyarakat Islam juga tentunya menghadapi kemajuan teknologi informasi seperti
ini. Terutama dalam kemudahan internet untuk memenuhi kebutuhan jual-beli. Hukum
Islam menjelaskan secara terperinci tentang jual beli yang merupakan kebutuhan dhoruri
dalam kehidupan manusia, artinya manusia tidak dapat hidup tanpa kegiatan jual-beli,
maka Islam menetapkan kebolehannya.

1
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Jakarta: CV Pustaka Setia, 2001), hal. 15.

2
Allah mensyaratkan bahwa untuk sahnya jual beli harus sesuai dengan perjanjian
antara mereka kecuali ada syarat khiyar mereka berdua atau antara pihak-pihak2

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana akibat Bai’ salam dan istishna?

2. Bagaimana akibat Bai’ yang dilakukan oleh orang yang sedang sakit keras, bai’ wafa,
dan Bai’ murabaha?

3. Bagaimana akad konversi murabaha?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui akibat Bai’ salam dan istishna

2. Untuk mengetahui akibat Bai’ yang dilakukan oleh orang yang sedang sakit keras,
bai’ wafa, dan Bai’ murabaha

3. Untuk mengetahui akad konversi murabaha

2
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah: Hukum Ekonomi, Bisnis dan Sosial (Surabaya:
Putra Media Nusantara, 2010), hal. 144

3
BAB ii

PEMBAHASAN

A. Pengertian Bai’

Bai’ dalam bahasa Indonesia adalah jual beli. Dalam istilah fiqih al- bai’ berarti
menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.3 Bai’ mempunyai
makna bersebrangan seperti syira’. dalam makalah ini kita akan fokus membahas akibat
bai’. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Akibat Bai’ terdapat dalam buku II bab
V pasal 91-99.

Pasal 91

“Jual-beli yang sah dan mengikat berakibat berpindahnya kepemilikan objek jual beli.”

Pasal 92

(1) Jual-beli yang batal tidak berakibat berpindahnya kepemilikan

(2) Barang yang telah diterima pembeli dalam jual beli yang batal adalah barang titipan.

(3) Pembeli harus mengganti barang yang telah diterima sebagaimana tersebut pada ayat
(2) di atas, apabila barang itu rusak karena kelalaiannya.

(4) Apabila barang yang harus diganti itu tidak ada di pasar, maka pembeli harus
mengganti dengan uang seharga barang tersebut pada saat penyerahan.

Pasal 93

(1) Dalam jual-beli yang fasad, masing-masing pihak mempunyai hak untuk
membatalkan akad jual beli.

(2) Apabila pembeli telah mengubah barang yang telah diterimanya maka ia tidak punya
hak untuk membatalkan akad jual beli.

Pasal 94
3
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Cet 1, (Jakarta : Prenada
Media, 2005), hlm. 101

4
Dalam hal pembatalan jual-beli fasad, apabila harga telah dibayar dan diterima oleh
penjual, maka pembeli mempunyai hak untuk menahan barang yang dijual sampai
penjual mengembalikan uangnya.

Pasal 95

“Jual-beli yang memenuhi syarat dan rukunnya adalah sah.”

Pasal 96

“Jual-beli yang sah tidak dapat dibatalkan.”

Pasal 97

“Dalam jual-beli yang belum menimbulkan hak dan kewajiban (ghayr lazim ), penjual
dan pembeli memiliki hak pilihan (khiyar) untuk membatalkan jual-beli itu.”

Pasal 98

“Jual-beli yang dilakukan oleh pihak yang tidak cakap hukum adalah sah apabila
mendapat izin dari pem ilik barang atau wakilnya.”

Pasal 99

“Persyaratan yang berlaku pada jual-beli juga berlaku pada barter.”

B. Bay’ salam

Kata al-salam adalah isim masdar dari fi'il madi salima. Sedangkan masdar
hakikinya adalah al-salam yang mana artinya ialah menyegerakan dan mendahulukan
uang pembayaran. Salam bisa juga disebul salaf, tetapi salam adalah bahasa yang
digunakan masyarakat Hijaz sedangkan salaf bahasa yang digunakan ahli Iraq. Jadi bisa
dikatakan bahwa bay’ salam juga bisa disebut sebagai bay’ salaf. Secara umum para
fuqaha menjelaskan bay’ salam adalah jual beli barang yang disebutkan sifatnya dalam
tanggungan dengan imbalan pembayaran yang dilakukan saat itu juga. Bay' salam
dinamainya juga dengan almahawa'ij yaitu barang-barang yang mendesak karena ia
termasuk jual beli barang yang tidak ada di tempat sementara pembeli dan penjual sangat

5
memerlukan. Pembeli disebut almuslim dan penjual dinamai dengan al-muslamu ilaihi.
Selanjutnya barang yang dijual disebut almuslam flh, sedangkan harganya disebut dengan
ra'su mail al-salam.4 Jual beli ini dilakukan dengan cara memesan barang lebih dahulu
dengan memberikan uang muka. Pelunasannya dilakukan oleh pembeli setelah barang
pesanan diterima secara penuh sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.5

Adapun syarat-syarat Bay’ Salam yang tercantum dalam Kompilasi Hukum


EKonomi Syariah Akad bay’ salam terikat dengan adanya ijab dan kabul seperti dalam
penjualan biasa. Akad bay’ salam tersebut dilakukan sesuai dengan kebiasaan dan
kepatutan. Jual beli salam dapat dilakukan dengan syarat kuantitas dan kualitas barang
sudah jelas. Kuantitas barang dapat diukur dengan takaran atau timbangan dan atau
meteran. Spesifikasi barang yang dipesan harus diketahui secara sempurna oleh para
pihak. Bay’ salam harus memenuhi syarat bahwa barang yang dijual, waktu, dan tempat
penyerahan dinyatakan dengan jelas. Pembayaran barang dalam bay’ salam dapat
dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati (Pasal 100-103). 6

C. Bai’ istishna’

Istishna’ secara etimologis adalah masdar dari sitashna ‘asy-sya’i, artinya


meminta membuat sesuatu. Yakni meminta kepada seorang pembuat untuk mengerjakan
sesuatu. Adapun Istishna’ secara terminologis adalah transaksi terhadap barang dagangan
dalam tanggungan yang disyaratkan untuk mengerjakannya. Objek transaksinya adalah
barang yang harus dikerjakan dan pekerjaan pembuatan barang itu. Menurut Komplikasi
Hukum Ekonomi Syariah, Istishna’ adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk
pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan
dan pihak penjual.

4
Uswah HAsanah, “Bay’ AL-Salam dan Bay’ Al-istishna’”, INTIQAD: JURNAL
AGAMA DAN PENDIDIKAN ISLAM, (juni, 2018), 164.
5
Siti Mujiatun, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam : Salam Dan Istisna’”, JURNAL
RISET AKUNTANSI DAN BISNIS, Vol 13, No. 2, (Sebtember, 2013), hlm.202.
6
Bagus Ahmadi, “Akad Bay’, Ijarah Dan Wadi’ah Perspektif Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES)”, ( IAIN Tulungangung, 2012) , hlm.332.

6
Praktik ekonomi Bai’ al-Istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli
dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari
pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli
barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada si pembeli
akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta system pembayaran. Apakah
pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau di tangguhkan sampai suatu waktu
pada masa yang akan datang.7

Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah menjelaskan terkait Bay’ istishna’.


Bai’ istisna mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan.
Bai’ istisna dapat dilakukan pada barang yang dapat dipesan. Dalam bai’ istisna,
identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan pemesan.
Pembayaran dalam bai’ istisna dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati. Setelah
akad jual-beli pesanan mengikat, tidak satu pihak pun boleh tawar-menawar kembali
terhadap isi akad yang sudah disepakati. Apabila objek dari barang pesanan tidak sesuai
dengan spesifikasinya, maka pemesan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk
melanjutkan atau membatalkan pesanan. (Pasal 104-108)8

Adapun rukun-rukun istishna’ adalah sebagai berikut :9

a. Produsen / pembuat barang (shaani’) yang menyediakan bahan bakunya


b. Pemesan / pembeli barang (Mustashni)
c. Proyek / usaha barang / jasa yang dipesan (mashnu')
d. Harga (saman)
e. Serah terima / Ijab Qabul .

D. Bay’ yang dilakukan oleh orang yang sedang menderita sakit keras.
Dalam prakteknya, jual beli harus dikerjakan secara benar, konsisten dan dapat
memberi manfaat pada pihak-pihak yang bersangkutan. Di samping itu, prinsip Islam
dalam pengaturan usaha ekonomi dalam hal ini jual beli sangat tegas, seperti melarang
praktek penipuan, praktek eksploitasi dalam berbagai bentuk bidang usaha, termasuk
7
Astri Widyanti, M. Abdurrahman, et.al, “ Tinjauan Fikih Muamalah terhadap
Praktik Jual Beli Istishna’ pada Usaha PEmbuatan Perahu Nelayan Desa Pagirikin
Kabupaten Indramayu”, Prosiding Hukum Ekonomi Syariah, hlm. 777-778.
8
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, hlm. 38.
9
Siti Mujiatun, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam : Salam Dan Istisna’”, hlm. 204

7
usaha jual beli. Juga melarang sikap ketidak jujuran, pemerasan dan semua bentuk
perbuatan yang merugikan orang lain. Ketentuan ini dimaksudkan agar perilaku ekonomi
pada setiap aktifitasnya selalu dalam bingkai syariat, sehingga setiap pihak akan
merasakan kepuasan dalam berusaha dan terjalin kemaslahatan umum. Dengan demikian,
aturan Islam mengenai sistem ekonomi dalam hal jual beli sudah jelas dan diharapkan
umat Islam menggunakan dan mempraktekkannya sehingga kegiatan perekonomiannya
berjalan sesuai dengan ajaran Islam.10 Sejalan dengan perkembangan zaman, persoalan
jual beli yang terjadi dalam masyarakat semakin meluas, baik terkait bay’ yang
dilakukan oleh orang yang sedang menderita sakit keras, akibat bay’, istisna’, termasuk
juga adanya praktek bay’ al- wafa’.
Transaksi Jual beli yang dimaksud di atas adalah merupakan perwujudan dari
hubungan antar sesama manusia sebagai salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari baik berupa sandang, pangan, dan kebutuhan lainnya.dengan maksud
mu'āmalahnya adalah terciptanya hubungan yang harmonis (serasi) antara sesama
manusia. Kemudian sistematika mengenai bay’ dalam komplikasi hukum ekonomi
syariah sebagaimana terdapat dalam bab V sebagai berikut: pertama, memaparkan
tentang akibat bay’. Kedua, menuturkan tentang bay’ salam. Ketiga, membahas tentang
bay‘ istisna’. Keempat, menjelaskan tentang bay’ yang dilakukan oleh orang yang sedang
menderita sakit keras. Kelima, memaparkan tentang bay‘ al-wafa’. Keenam, membahas
tentang jual beli murabahah. Ketujuh, menyebutkan tentang konversi akad murabahah.
Kemudian dalam hal ini akan dijelaskan sedikit mengenai buku II KHES, bagian
kelima tentang bay’ yang dilakukan oleh orang yang sedang menderita sakit keras. Jika
orang yang sedang menderita sakit keras menjual suatu barang kepada salah seorang ahli
warisnya maka keabsahan jual beli itu bergantung pada izin dari ahli waris yang lain. Jika
ahli waris tersebut memberi izin setelah orang yang sakit keras itu meninggal maka
penjualan itu dapat dilaksanakan dan sah. Jika seseorang yang sedang menderita sakit
keras menjual suatu barang kepada pihak lain yang tidak termasuk ahli warisnya dengan
harga yang sesuai dengan nilai barang tersebut maka jual beli itu sah. Jika barang itu
dijual dengan harga yang lebih rendah dari nilai harga yang sebenarnya dan tidak
10
Roziq Ahmad. Buku cerdas investasi syari’ah dan transaksi panduan mudah meraupuntung dengan ekonomi syariah.
(Tasikmalaya. Dinar Media. 2012)hlm.10

8
melebihi sepertiga dari harta miliknya, kemudian orang itu meninggal maka penjualan itu
sah.3Jika barang yang dijual tersebut melebihi dari sepertiga hartanya maka ahli waris
dapat membatalkan penjualan tersebut. Jika jumlah kekayaan seseorang yang sakit
kurang dari jumlah utangnya, dan menjual seluruh kekayaannya dengan harga yang lebih
rendah, kemudian orang itu meninggal maka para pemberi pinjaman dapat meminta
untuk menyesuaikan harga jual barang tersebut sesuai harga yang sebenarnya. Jika
pembeli tidak mau melakukan penyesuaian harga barang maka para pemberi pinjaman
dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk membatalkan penjualan tersebut
(pasal 109-111).11
E. Bay‘ al-wafa’
Memaparkan tentang bay‘ al-wafa’.12 Di dalam hukum positif Indonesia bay’ al-
wafa’ telah diatur.’lebih tepatnya, dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 112
s/d115. Include dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah bab v bagian keenam,
dijelaskan bahwa bay’ al wafa’ merupakan jual beli yang bergantung pada hak
penebusan, penjual dapat mengembalikan uang seharga barang yang dijual dan menuntut
barangnya dikembalikan. Pembeli berkewajiban mengembalikan barang dan menuntut
uangnya kembali seharga barang itu. Barang dalam jual beli yang bergantung pada hak
penebusan, tidak boleh dijual kepada pihak lain, baik oleh penjual maupun oleh pembeli,
kecuali ada kesepakatan di antara para pihak. Kerusakan barang dalam jual beli dengan
hak penebusan adalah tanggung jawab pihak yang menguasainya. Penjual dalam jual beli
dengan hak penebusan berhak untuk membeli kembali atau tidak terhadap barang yang
telah rusak. Hak membeli kembali dalam bay’ al-wafa’ dapat diwariskan (pasal 112-
115).13
Bay’ al- wafa’ ini merupakan salah satu bentuk akad (transaksi) yang muncul di
Asia Tengah (Bukhara dan Balkh) pada pertengahan abad ke-5 Hijriyah yang kemudian
merambat ke Timur Tengah. Transaksi Jual beli ini muncul untuk menghindari terjadinya
riba dalam pinjam-meminjam, banyak di antara orang kaya ketika ia tidak mau
11
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)hal 38-39

12
Bay‘ al-wafa’/jual beli dengan hak membeli kembali adalah jual beli yang dilangsungkan dengan syarat bahwa barang yang
dijual tersebut dapat dibeli kem bali oleh penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah tiba. Lihat Pasal 20 angka 41
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), hal. 19.

13
Lihat Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)hal. 39.

9
meminjamkan uangnya tanpa ada imbalan yang mereka terima. Sementara banyak pula
peminjam uang yang tidak mampu melunasi utangnya akibat imbalan yang harus mereka
bayarkan bersamaan dengan sejumlah uang yang mereka pinjam.14
Nasrun Haroen mengatakan, bahwa bay’ al-wafa’ adalah jual beli yang
dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa yang dijual itu dapat dibeli
kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang telah ditentukan telah tiba. Artinya
dalam hal ini bahwa jual beli mempunyai tenggang waktu yang terbatas, misalnya satu
tahun, sehingga apabila waktu tahun telah habis, maka penjual membeli barang itu
kembali dari pembelinya.15
Dalam perjanjian jual beli para pihak dapat memperjanjikan bahwa si penjual
berhak membeli kembali barang yang telah dijualnya kepada pembeli asal
mengembalikan harga pembelian yang telah dibayar oleh pembeli serta mengganti segala
biaya yang telah di keluarkan untuk menyelenggarakan pembelian dan penyerahan
barang tersebut, begitu pula biaya yang perlu untuk pembetulan- pembetulan yang
menyebabkan barang yang dijual tersebut bertambah harganya.9Menurut Musthafa
Ahmad az-Zarqa, dan Abdurrahman Ashabuni, dalam sejarahnya, bay’ al-wafa’ baru
mendapat justifikasi para ulama fiqh setelah berjalan beberapa lama. Maksudnya, bentuk
jual beli ini telah berlangsung beberapa lama dan ba’y al-wafa’ telah menjadi urf (adat
kebiasaan) masyarakat Bukhara dan Balkh, baru kemudian para ulama Fiqh, dalam hal ini
ulama Hanafi, melegalisasi jual beli ini. Akantetapi, para ulama FiqIh lainnya, dalam hal
ini ulama Syafi’i tidak boleh melegalisasir jual beli ini.16

F. Pengertian Murabaha

Murabahah berasal dari kata Rabh, yang berarti perolehan, keuntungan, atau
tambahan. Muhammad Ayub mendefenisikan dalam murabahah penjualan harus

14
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 178-179

15
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillathu,terjemahan AbdulHayyie al-kattani, dkk, Fiqh Islam, Cet. Ke 10, Jilid 5, Gema
Insani, Jakarta,2011, hlm.128-129

16
Ibid.Mardani,hlm. 180.

10
mengungkapkan biaya dan kontrak (Akad ) terjadi dengan margin keuntungan yang di
setujui17. Muhammad Syafi’i Antonio menafsirkan bai’al murabahah adalah jual beli
barang pada harga asal dengan tambah keuntungan yang disepakati. Dalam bai’al
murabahah, penjual harus memberitahu harga pokok yang ia beli dan menentukan suatu
tingkat keuntungan sebagai tambahanya. Misalnya, pedagang eceran membeli komputer
dari grosir dengan harga Rp 10.000.000, kemudia ia menambahkan keuntungan sebesar
Rp 750.000. Dan ia menjual kepada kepada pembeli dengan harga Rp 10.750.000. pada
umumnya, sipedagang enceran tidak akan memesan dari grosir sebelum ada pesanan dari
calon pembeli dan mereka sudah menyepakati tentang lama pembiayaan, besar
keuntungan yang akan18.

Murabahah merupakan salah satu bentuk menghimpun dana yang dilakukan oleh
perbankan syariah, baik untuk kegiatan usaha yang bersifat produktif, maupun yang
bersifat konsumtif. Dengan akad murabahah ini pada hakikatnya seseorang ingin
mengubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam meminjam menjadi transaksi jual beli,
dengan sistem ini bank dapat menyediakan barang-barang yang diperlukan oleh para
pengusaha untuk dijual lagi dan bank meminta tambahan harga atas harga
pembeliannya19.

Dasar Hukum Murabaha

1. Al Qur'an

ُ ‫الَّ ِذينَ يَأْ ُكلُونَ ال ِّربَا اَل يَقُو ُمونَ إِاَّل َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي يَتَ َخبَّطُهُ ال َّش ْيطَانُ ِمنَ ْال َمسِّ ۚ ٰ َذلِكَ بِأَنَّهُ ْم قَالُوا إِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل ال ِّربَا ۗ َوأَ َح َّل هَّللا‬
ٰ ُ
َ‫ار ۖ هُ ْم فِيهَا خَ الِ ُدون‬ ِ َّ‫ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا ۚ فَ َم ْن َجا َءهُ َموْ ِعظَةٌ ِم ْن َربِّ ِه فَا ْنتَهَ ٰى فَلَهُ َما َسلَفَ َوأَ ْم ُرهُ إِلَى هَّللا ِ ۖ َو َم ْن عَا َد فَأولَئِكَ أَصْ َحابُ الن‬

artinya Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
17
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance A-Z Keuangan Syariah ,
(Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama , 2009 ) , h 337
18
Muhammad Syafi’i Antonio , Bank Syari’ah Dari Teori Kepraktek , (Jakarta:gema
Insani Press, 2001) cet,.I, h. 101-102.
19
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2002 ), h .
288

11
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.

2. Hadist

Sedangkan landasan hadits yang mendasari transaksi murabahah adalah :

‫عن صا لح بن صحیب عن ابیھ قال قال رسول هللا صلى هللا علیھ وسلم ثالث فیھن البركة البیع الى اجل والمقارضة‬
‫واخالط البر بالشعیر للبیت ال للبیع‬

Artinya ; “ dari suhaib Ar- Rumi r.a bahwa rasulullah saw bersabda, tiga hal yang
di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh , muqarabah (mudharabah ) ,
dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk di jual .
(H.R Ibnu maj )20

3. Ijma'

Ulama telah sepakat bahwa jual beli ( murabahah ) di perbolehkan dengan alasan
bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang
lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang yang dibutuhkannya itu, harus
diganti dengan barang lainnya yang sesuai21

Rukun dan Syarat Murabahah

1) Factor yang harus ada (rukun ) dalam akad murabahah adalah :


a. Pelaku ( pemilik modal maupun pelaksana usaha )

b. Objek murabahah ( modal dan kerja )

c. Persetujuan kedua belah pihak (ijab – qabul )


20
Ibnu majjah, Bab sirkah Al – mudharabah , no.2377
21
Rachmad Syafi’i, Fiqih Muamalah , ( bandung: pustaka setia , 2004 ), cet , ke -2,
h,75

12
d. Nisbah keuntungan

2) Syarat murabahah
a. Penjual memberiS tahu biaya modal kepada nasabah

b. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang di tetapkan

c. Kontrak harus bebas dari riba

d. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sudah
pembelian

e. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian


misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang22

Secara prinsip, jika syarat diatas tidak terpenuhi pembeli memiliki pilihan :
a. Melanjutkan pilihan seperti apa adanya
b. Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidak setujuan atas barang yang
dijual
c. Membatalkan kontrak23

G. Konverensi Akad Murabahah

Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan sebuah lembaga yang berada di


bawah naungan Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang dipimpin oleh Ketua Umum
MUI. Fungsi utama Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah mengawasi produk-produk
lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariat Islam24

Untuk keperluan pengawasan, Dewan Syariah Nasional (DSN) membuat garis


panduan pada produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis
panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Syariah Nasional (DSN) pada

22
Adiwarman A. Karim , Op. Cit , h. 127
23
Muhammad Syafi’i Antonio, Op Cit , h. 102

Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, (Jakarta:


24

Bank Indonesia, 1999), 22.

13
lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan produk-
produknya.

Ketentuan Konversi Akad LKS boleh melakukan konversi dengan membuat akad
baru bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaan murabahah-nya
sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, tetapi ia masih prospektif, dengan
ketentuan:
1. Akad murabahah dihentikan dengan cara:
a. Obyek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga pasar;

b. Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan;

c. apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka kelebihan itu dapat dijadikan
uang muka untuk akad ijarah atau bagian modal dari mudarabah dan musyarakah;
d. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap
menjadi hutang nasabah yang cara pelunasannya disepakati antara LKS dan nasabah.

2. LKS dan nasabah eks-murabahah tersebut dapat membuat akad baru dengan akad:

a) Ijarah muntahiyah bi at tamlik atas barang tersebut di atas engan merujuk kepada
fatwa DSN No. 27/DSN- MUI/III/2002 tentang al-ijarah al-muntahiyah bi at tamlik;

b) Mudarabah dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang


pembiayaan mudarabah(qirad)

c) Musyarakah dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang


pembiayaan musyarakah.

BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan

Jual beli-pesanan dalam fiqih Islam disebut as-salamatau as-salaf. Secara terminologis,
para ulama fiqih menafsirkannya dengan: Menjual suatu barang yang penyerahannya
ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih

14
awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari. Tujuan utama jual beli ini adalah
untuk saling membantu antara konsumen dengan produsen. Kadangkala barang yang dijual
oleh produsen tidak memenuhi selera konsumen. Untuk membuat barang sesuai dengan
selera konsumen, produsen memerlukan modal. Oleh sebab itu, dalam rangka saling
membantu produsen beredia membayar uang barang yang dipesan itu ketika akad sehingga
produsen boleh membeli bahan dan mengerjakan barang yang dipesan itu.

Secara etimologi, al-bay’ berarti jual beli, dan al-wafa’ berarti pelunasan/ penunaian
utang. Bay’al-wafa’ adalah salah satu bentuk transaksi (akad) yang muncul di Asia Tengah
(Bukhara dan Balkh) pada pertengahan abad ke-5 Hijriyah dan merambat ke Timur Tengah.
Jual beli ini, muncul pertama kali di Bukhara dan Balkh pada sekitar abad ke-5 Hijriyah,
dalam rangka menghindari terjadinya riba dalam pinjam meminjam. Banyak di antara orang
kaya ketia itu tidak mau meminjamkan uangnya tanpa ada imbalan yang mereka terima.
Sementara itu, banyak pula para peminjam uang tidak mampu melunasi uangnya akibat
imbalan yang harus mereka bayarkan bersamaan dengan sejumlah uang mereka pinjam. Di
sisi lain, imbalan yang diberikan atas dasar pinjam meminjam uang ini, menurut para ulama
fiqih termasuk riba. Dalam menghindarkan diri dari riba, masyarakat Bukhara dan Balkh
ketika itu merekayasa sebuah bentuk jual beli yang dikenal kemudian dengan bay’ al-wafa.

Akad bay’ dalam kompilasi hukum ekonomi syariah (KHES) diartikan dengan jual beli antara
benda dengan benda, atau pertukaran benda dengan uang. Pembahasan akad bay’ dalam KHES
mencakup: unsur bay’, kesepakatan penjual dan pembeli, tempat dan syarat pelaksanaan bay’, bay’
dengan syarat khusus, berakhirnya akad bay’, objek bay’, hak yang berkaitan dengan harga dan
barang setelah akad bay’, serah terima barang, akibat bay’, bay’ salam, bay’, istis}na>’bay’ yang
dilakukan oleh orang yang sedang menderita sakit keras, bay’ al-wafa, jual beli murabahah, dan
konversi akad murabahah.

15
Daftar Pustaka

Ahmad Roziq. Buku cerdas investasi syari’ah dan transaksi panduan mudah meraupuntung
dengan ekonomi syariah. Tasikmalaya. Dinar Media. 2012.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)

Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2012.

Az-Zuhaili Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillathu. terjemahan Abdul Hayyie al-kattani, dkk. Fiqh
Islam. Gema Insani. Jakarta. 2011.
16
Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah. Jakarta: Bank
Indonesia. 1999.

Muhammad Syafi’i Antonio. Op Cit.

Ibnu majjah. Bab sirkah Al – mudharabah.

Rachmad Syafi’i. Fiqih Muamalah. Bandung: pustaka setia. 2004. cet. ke -2.

Muhammad AyuB. Understanding Islamic Finance A-Z Keuangan Syariah. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama. 2009.

Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syari’ah Dari Teori Kepraktek. Jakarta:gema Insani Press.
2001. cet.1.

Hendi Suhendi. Fiqih Muamalah. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.


2002.

Astri Widyanti. Tinjauan Fikih Muamalah terhadap Praktik Jual Beli


Istishna’ pada Usaha PEmbuatan Perahu Nelayan Desa Pagirikin
Kabupaten Indramayu. Prosiding Hukum Ekonomi Syariah.

Siti Mujiatun. Jual Beli Dalam Perspektif Islam : Salam Dan Istisna.

Ismail Nawawi. Fiqh Muamalah: Hukum Ekonomi. Bisnis dan Sosial.


Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010.

Gemala Dewi. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Cet 1. Jakarta :


Prenada Media. 2005.

Rachmat Syafei. Fiqh Muamalah. Jakarta: CV Pustaka Setia, 2001.

17

Anda mungkin juga menyukai