Anda di halaman 1dari 10

A.

Definisi dan Waktu Nuzul Al-Qur’an


Nuzul Al-Qur’an atau yang di Indonesia sering di tulis Nuzulul Qur’an terdiri
dari dua kata, yakni Nuzul dan Al-Qur’an. Kata nazala di dalam bahasa Arab
berarti ‫ اله‍ُبُوْ طُ ِم ْن ُعلُ""وْ اِلَى َس" ْف ٍل‬yakni, “meluncur dari tempat yang tinggi ke tempat
yang rendah”. Dalam konteks ini, misalnya bisa ditemui kalimat di dalam salah
satu ayat Al-Qur’an yang berbunyi :

َ‫َوقُلْ َربِّ أَ ْن ِز ْلنِي ُم ْن َزاًل ُمبَا َر ًكا َوأَ ْنتَ َخ ْي ُر ْال ُم ْن ِزلِين‬

Dan berdoalah : Ya tuhanku, turukanlah padaku suatu berkah, karena Engkau


adalah Zat pemberi berkah yang paling baik. (QS. Al-Mu’minun [23] : 29)

Nuzul juga berarti singgah atau tiba di tempat tertentu. Makna nuzul dalam
pengertian yang disebut terakhir ini bisa disimak di salam Al-Qamus Al-Muhith,
jilid IV, hlm 56,57. Bahkan Al-Zamakhsyari lebih lanjut, sering mengucapkan
kalimat :‫ نَزَ َل فُالَنُ بِ َم ِد ْينَ ِة َک َذا‬yang bila diartikan menjadi “Polan singgah/tiba dikota
anu.”

Rupanya nujul tak hanya punya dua makna. Dr. Ahmad Al-Sayyid Al-Kumiy
dan Dr. Muhammad Ahmad Yusuf Al-Qasim dalam buku yang mereka tulis
bersama, menginventarisasi lima buah makna nuzul, dua daintaranya yang telah
disebut diatas, sedangkan dua makna lainnya adalah : ُ‫( التَّرْ تِيْب‬tertib, teratur) dan
ُ ‫( ا ِالجْ تَ ِم"""ا‬pertemuan). Makna yang terakhir (kelima), menurut kedua guru
‫ع‬
besr’Ulum Al-Quran dari Al-Azhar Kairo ini, nuzul berarti turun secara berangsur
dan terkadang sekaligus.

Di dalam hubungannya dengan pembahasan Nuzul Al-Qur’an, kata Syekh


abd Al-Wahhab Abd Al-Majid Ghazlan di dalam Al-Bayan fi Mabahitsi ‘Ulum
Al-Quran-nya, yang dimaksud dengan nuzul adalah turunnya sesuatu dari tempat
yang tinggi ke tempat yang lebih rendah dan sesuatu ini tidak lain adalah Al-
Quran. Kemudian Syekh Gazlan berkomentar, “Oleh karena yang turun itu
berbentuk fisik, maka pengertian nuzul di sini bisa mengandung pengertian kiasan
(majazi), dan apabila yang dimaksud turun adalah lafaz, maka nuzul berarti Al-
Ishal (penyampaian) dan Al-‘Ilam (penginformasian).”
Akan tetapi, Ibnu Taimiyah agaknya tak ingin bertele-tele dengan pengertian
yang bermacam-macam itu. Menurut Ulama yang diberi gelar Syaikh Al-Islam
ini, “Di dalam Al-Quran, juga didalam sunah, tidak ada kata nuzul kecuali dalam
pengertiannya yang lazim”. Alasannya, karena Al-Quran diturunkan dengan
bahasa Arab, sedangkan bahasa Arab tidak mengenal kata nuzul kecuali dengan
makna ini.

Sesungguhnya, bukan hanya Ibnu Taimiyah yang tak ingin memperpanjang


kalam dalam membahas arti lughawi dari kata nuzul ini. Mereka lebih tertarik
untuk langsung mendefinisikan nuzul Al-Quran itu, misalnya Al-zarkasyi. Namun
begitu masuk kedalam pendefinisian, mereka lantar terbentur dengan penuntasan
kata nuzul lagi. Simaklah misalnya kalimat yang diturunkan Al-Zarkasyi berikut
ini : “Ahlu Sunah sepakat bahwa kalam Allah itu diturunkan. Mereka bersilang
pendapat tentang pengertian nuzul. Ada yang mengatakan, Nuzul Al-Quran berarti
menampakkan Al-Quran. Sementara ada pula yang mengatakannya, bahwa Allah
SWT. memberikan pemahaman mengenai kalam-Nya kepada jibril di langit. (Al-
Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, jilid 1, hlm, 228). Dan tentu, setelah menerima kalam
Allah SWT, yang disebut Al-Quran itu, Jibril lalu meneruskannya untuk
disampaikan kepada Nabi Muhammad saw.

Di dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang mengatakan bahwa Al-Quran


turun :

1. Pada bulan Ramadhan :

ُ‫ضانَ الَّ ِذي أُ ْن ِز َل فِي ِه ْالقُرْ آن‬


َ ‫َش ْه ُر َر َم‬

Bulan Ramadhan dimana diturunkan Al-Quran.. (QS. Al-Baqarah [2]:185)

2. Pada malam yang diberi berkah

‫ۚ إِنَّا أَ ْن َز ْلنَاهُ فِي لَ ْيلَ ٍة ُمبَا َر َك ٍة‬

Sesungguhnya kami menurunkannya (Al-Quran) di malam yang diberi


berkah.. (QS. Al-Dukhan [44] :3)
3. Pada malam Al-Qadar :

‫إِنَّا أَ ْن َز ْلنَاهُ فِي لَ ْيلَ ِة ْالقَ ْد ِر‬

Sesungguhnya kami menurunkannya (Al-Quran) di malam Al-Qadar

(QS. Al-Qadar [97] : 1)

Menurut tiga ayat diatas, Al-Quran turun sekaligus pada bulan Ramadhan
yang didalamnya terdapat malam Al-Qadar, suatu malam yang penuh berkah.
Dengan demikian, bila umat islam di Indonesia misalnya memperingati Malam
Nuzul Al-Quran kepada Nabi Muhammad saw. karena kenyataan sejarah
membuktikan bahwa Nabi Muhammad saw. menerima ayat-ayat Al-Quran bukan
sekaligus, tetapi beliau menerimanya berangsur-angsur lebih dari 20 tahun.

Andaikan, ketiga ayat yang disebut diatas itu ditakwil dengan mengatakan
yang dimaksud ketiga ayat diatas adalah permulaan turunnya wahyu Al-Quran,
maka takwil semacam itu pun mengandung kelemahan karena yang dimaksud
ketiga ayat diatas menyangkut turunnya Al-Quran secara keseluruhan. Ayat-ayat
itu bukan berbicara tentang permulaan turunnya Al-Quran. Oleh karena itu, jumhr
ulama sepakat untuk mengambil zhahir makna ayat, tanpa menakwilkannya.
Jumhur ulama sepakat bahwa pengertian yang dimaksud ketiga ayat di atas
menyangkut turunnya Al-Quran . Jumhur ulama sepakat bahwa pengertian yang
dimaksud ketiga ayat di atas menyangkut turunnya Al-Quran sekaligus dari Lauh
Al-Mahfuzh, ke suatu tempat yang disebut Sama’ Al-Dunya. Dari Sama’ Al-
Dunya, atau tepatnya dari Baith Al-‘Izahsekaligus dari Lauh Al-Mahfuzh, ke
suatu tempat yang disebut Sama’ Al-Dunya. Dari Sama’ Al-Dunya, atau tepatnya
dari Baith Al-‘Izah yang terdapat di Sama’ Al-Dunya itulah kemudian Al-Quran
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. secara berangsur-angsur. Dalam hal ini
sedikitnya ada tiga hadis yang dijadikan pegangan (Manahil, Al-Irfan, jilid 1, hlm,
44), yaitu sebagai berikut :

1. Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanad-nya sendiri dari


Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas yang mengatakan :
‫ت ْال ِع َّز ِة ِمنَ ال َّس َمٓا ِءال ُّد ْنيَافَ َج َع َل ِجب ِْر ْي ُل يَ ْن ِز ُل بِ ِه َعلَى النَّبِ ٍّي‬ ِ ‫ص َل ْالقُرْ ٓانُ ِمنَ ال ِّذ ْک ِرفَ ُو‬
ِ ‫ض َع فِي بَ ْي‬ ِ ُ‫ف‬

Al-Quran dipisah dan Al-Dzikir lain diletakkan di Baith Al-‘Izzah di


Sama’ Al-Dunya dan dibawa Jibril turun kepada Nabi Muhammad saw.

2. Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Nasa’i dan Al-Hakim serta Al-Baihaqiy


melalui jalur Daud bin Abi Hind, dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas yang
mengatakan :

َ ِ‫أُ ْن ِز َل ْالقُرْ ٓانُ جُ ْملَةَ َوا ِح َدةًإِلَى ال َّس َمٓا ِءال ُّد ْنيَا لَ ْيلَةَ ْالقَ ْد ِرثُ َّم أُ ْن ِز َل بَ ْعد َٰذل‬
ً‫ك فِي ِع ْش ِر ْينَ َسنَة‬

Al-Quran diturunkan sekaligus ke Sama’Al-Dunya pada Lailatu Al-Qadr.


Kemudian diturunkan sepanjang (sekitar) dua puluh tahun.

3. Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqiy sarta lainnya


dari jalur Manshur, dari Said bin Juhair dari Ibnu ‘Abbas, berkata :

ِ ‫أُ ْن ِز َل ْالقُرْ ٓانُ جُ ْملَةُ َوا ِح َدةًإِلَى ال َّس َمٓا ِءال ُّد ْنيَا بِ َم َواقِ ِع النُّج‬
ٍ ‫ُوم يُنَ ِّز ُل َعلَى َرسُوْ لِ ٖه بِضْ َعةًفِي إِ ْث ِربَع‬
‫ْض‬

Al-Quran diturunkan sekaligus ke Sama’Al-Dunya. Sebelumnya, (Al-


Quran ditempatkan) di tempat bintang-bintang , Lalu Allah
menurunkannya kepada Rasulullah secara berangsur.

Ketiga hadis diatas, menurut Al-Suyuthiy seperti dikutip Al-Zarkaniy


di dalam Manahil Al-‘Ifran, adalah sahih, Hadis-hadis diatas, sekalipun
mauquf bagi Ibnu Abbas, tetapi menurut Al-Zarqaniy lebih lanjut,
mempunyai bobot marfu kepada Nabi Muhammad saw. Alasannya,
turunnya Al-Quran ke Bait Al-‘Izzah termasuk berita gaib yang hanya
bersumber dari orang-orang ma’shum (nabi). Dan, Ibnu ‘Abbas sendiri
diketahui tidak pernah mengambil riwayat israilliyat.

Dari Sama’ Al-Dunya, atau persisnya di Baith Al-‘Izzah kemudian


jibril membawa lafaz Al-Quran kepada Nabi Muhammad saw. secara
berangsur-angsur, dan lafaz yang dibawa malaikat jibril untuk
disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. adalah kalam Allah yang
disebut Al-Quran.

Baik jibril yang menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw.


maupun Nabi Muhammad sendiri yang menerima kalam Allah itu, sama
sekali tidak mempunyai otoritas menyusun apalagi mengubahnya. Segala
sesuatunya baik dalam susunan kalimat maupun maknanya, merupakan
wewenang Allah SWT. susunan kalimat, berikut isi kandungan Al-Quran
adalah mu’jiz, artinya, susunan dan tata letak huruf-huruf Al-Quran adalah
mukjizat yang tak tertandingi oleh susunan kata dan huruf makhluk mana
pun.

Selain hadis Rasulullah saw., ada beberapa ayat Al-Quran yang


dengan tegas menyebut bahwa Al-Quran diturunkan berangsur-angsur.
Misalnya firman Allah swt. yang berbunyi :

‫ث َونَ َّز ْلنَاهُ تَ ْن ِزياًل‬ ِ َّ‫َوقُرْ آنًا فَ َر ْقنَاهُ لِتَ ْق َرأَهُ َعلَى الن‬
ٍ ‫اس َعلَ ٰى ُم ْك‬

Dan Al-Quran, kami angsur dia, agar kamu (Muhammad) membacakannya


dengan pelan-pelan. (QS. Al-Isra’ [17]:106)

1. Pengertian Asbab An-Nujul

Dipandang dari segi peristiwa nuzululnya, ayat Al-Quran ada dua macam,
pertama, ayat yang diturunkan tanpa ada keterkaitannya dengan sebab tertentu,
semata-mata sebagai hidayah bagi manusia. Kedua, ayat-ayat Al-Quran yang
diturunkan lantaran adanya sebab atau kasus tertentu. Misalnya, pernyataan yang
diajukan oleh umat Islam atau bukan Muslim kepada Rasulullah saw. atau adanya
kasus tertentu yang memerlukan jawaban sebagai sikap syariat islam terhadap
kasus tersebut. Ayat-ayat macam inilah yang dibahas dalam kaitannya dengan
pembicaraan Asbab Nuzul.

Para pakar ilmu-ilmu Al-Quran, misalnya Syekh Abd Al-‘Azhim Al-


Zarqaniy dalam Manahil Al-‘Irfan-nya mendefinisikan Asbab Nuzul atau sebab
nuzul sebagai kasus atau sesuatu yang terjadi yang ada hubungannya dengan
turunnya ayat, atau ayat-ayat Al-Quran sebagai penjelasan huum pada saat
terjadinya kasus.

Ungkapan asbab an-nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata“asbab”


dan “nuzul”, Secara etimologi, asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang melatar
belakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi
terjadinya sesuatu dapat disebut asbab an-nuzul, dalam pemakaiannya, ungkapan
asbab an-nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatar
belakangi turunnya Al-Quran, seperti halnya asbab al wurud secara khusus
digunakan bagi sebab terjadinya hadist. Banyak pengertiannya terminologi yang
di rumuskan oleh para ulama, di antaranya:
a. Menurut Az-zarqoni: Asbab an-nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang
terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat al-qur’an yang berfungsi
sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
b. Ash-shabuni: asbab an-nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang
menyebabkan turunnya satu ayat atau beberapa ayat mulai yang
berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa
pertanyaan yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan
dengan urusan agama”.
c. Subhi shalih: asbab an-nuzul adalah suatu yang menjadi sebab turunnya
satu atau beberapa ayat al-qur’an yang terkadang menyiratkan suatu
peristiwa, sebagai respon atasnya atau penjelas terhadap hukum-hukum
ketika peristiwa itu terjadi”.
d. Mana’ Al-Qaththan: asbab an-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang
menyebabkan turunnya al-qur’an, berkenaan dengannya waktu peristiwa
itu terjadi, baik berupa kejadian atau pertanyaan yang diajukan kepada
nabi”.
Dalam definisi yang lebih khusus lagi, Shubhi Shalih memberikan definisi
asbabun nuzul sebagai berikut :
‫مانزلت األيةأواأليات بسببةمتضمنةله أومجيبةعنه أومبينةلحکمه زمن وقوعه‬
Artinya : Semua yang disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat atau beberapa
ayat yang mengadung sebabnya, atau memberi jawaban terhadap pertanyaan
atau menerangkan hukumnya pada saat terjadinya peristiwa itu.
Berdasarkan definisi di atas dapat diketahui bahwa sebab-sebab turunnya
suatu ayat itu adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk
pertanyaan. Artinya, suatu ayat atau beberapa ayat turun untuk menerangkan hal
yang berhubunngan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap
perntanyaan tertentu. Dalam hal ini asbabun nuzul sifatnya situasional, yakni
situasi yang adakalanya didahului pertanyaan yang diajukan oleh sahabat kepada
Nabi SAW untuk mengetahui hukum syara’, atau juga untuk menafsirkan sesuatu
yang berkaitan dengan agama. Adakalanya juga situasi yang berupa gambaran
peristiwa yang terkandung dalam ayat itu sendiri. Dengan adanya situasi-situasi
tertentu ketika diturunkan ayat Al-Quran membuktikan betapa bijaksananya
Tuhan memilih saat-saat yang tepat untuk menurunkan suatu ayat sebagai
pedoman bagi umat manusia.
2. Urgensi dan kegunaan Asbab An-Nujul
Mengetahui asbabun nuzul bagi ayat-ayat Al-Quran merupakan hal yang
sangat penting, terutama dalam rangka memahami ayat-ayat yang menyangkut
masalah hukum. Secara rinci Al-Zarqani menyebutkan beberapa kegunaan
mengetahui asbabun nuzul, diantaranya :
a. Wawasan tentang asbabun nuzul dapat memberikan penngetahuan
tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus dalam mensyari’atkan
hukum-hukum agama di dalam Al-Quran.
b. Wawasan tentang asbabun nuzul dapat membantu dalam memahami
ayat-ayat Al-Quran dan menghindakan kesulitannya.
c. Wawasan tentang asbabun nuzul dapat mengkhususkan hukum pada
sebab menurut ulama yang memandang bahwa yang mesti
diperhatikan adalah kekhususan sebab bukan keumuman lafaz.
d. Wawasan tentang asbabun nuzul dapat memberikan pengetahuan pula
bahwa sebab turunnya suatu ayat tidak pernah keluar dari hukum yang
terkandung dalam ayat tersebut sekalipun ada yang mentakhsisnya.
e. Wawasan tentang asbabun nuzul dapat mengarahkan terhadap
terjadinya kesamaran dan kesalahan memandang obyek ayat tersebut
diturunkan.
f. Wawasan tentang asbabun nuzul dapat mempermudah orang
menghafal ayat-ayat Al-Quran dan memperkuat keberadaan wahyu
dalam ingatan orang yang mendengarnya, jika ia mengetahui sebab
turunya.
Komentar mengenai urgensi pengetahuan terhadap asbabun nuzul ini
banyak ditegaskan oleh para tokoh islam terkemuka. Ibn Taimiyah menegaskan
bahwa mengetahui asbabun nuzul dapat memberikan kontribusi dalam memahami
ayat-ayat Al-Quran. Alasannya adalah bahwa pengetahuan tentang asbabun nuzul
akan mengarahkan kepada hal-hal yang menjadi tujuan. Selain Ibn Taimiyah,
Imam al-Wahidi dalam karya monumentalnya yang berjudul “asbabun nuzul”
mengatakan bahwa tidak mungkin mengetahui interpretasi ayat-ayat Al-Quran
tanpa mengetahu kisah-kisahnya dan sebab-sebab turunnya.
Contoh faedah mengetahui asbabun nuzul antara lain adalah sebagai berikut :
a. Marwan Ibn Hakam pernah kesulitan memahami ayat 188 surah Ali
‘Imran yang berbunyi :

َ‫اَل تَحْ َسبَ َّن الَّ ِذينَ يَ ْف َرحُونَ بِ َما أَتَوْ ا َويُ ِحبُّونَ أَ ْن يُحْ َمدُوا بِ َما لَ ْم يَ ْف َعلُوا فَاَل تَحْ َسبَنَّهُ ْم بِ َمفَا َز ٍة ِمن‬
‫ب ۖ َولَهُ ْم َع َذابٌ أَلِيم‬ ِ ‫ْال َع َذا‬

Artinya : “Janganlah kamu kira mereka yang bersuka ria atas


perbuatannya dan suka dipuji orang dengan sesuatu yang tidak mereka
perbuat, janganlah kamu kira mereka akan lepas dari siksaan, dan
untuk mereka itu azab yang pedih”.

Kemudian Marwan memerintahkan kepada pembantunya : Pergilah


kepada Ibn ‘Abbas dan katakan kepadanya, ‘kalau saja setiap orang yang suka
atas sesuatu yang telah diperbuatnya serta suka dipuji atas sesuatu yang tidak
diperbuatnya itu disiksa, maka kita semua akan disiksa? Ibn ‘Abbas lalu
menjelaskan maksud ayat tersebut, tetapi orang suruhan Marwan ini tetap saja
belum paham. Kemudian Ibn ‘Abbas berkata : Sesungguhnya ayat ini turun
kepada ahli kitab Yahudi, yakni ketika mereka ditanya oleh Nabi SAW tentang
sesuatu, mereka menyembunyikannya, bahkan mereka mengatakan yang lain,
Mereka merasa seolah-olah telah mengatakan sesuatu kepada Nabi SAW. dan
mereka mengharapkan pujian atas jawaban mereka itu. Maka turunlah ayat
tersebut diatas (HR. Bukhari – Muslim).

b. ‘Urwah Ibn Zubair juga pernah kebingungan mengenai maksud firman


Allah surah Al-Baqarah ayat 158 sebagai berikut :
ۚ ‫صفَا َو ْال َمرْ َوةَ ِم ْن َش َعائِ ِر هَّللا ِ ۖ فَ َم ْن َح َّج ْالبَيْتَ أَ ِو ا ْعتَ َم َر فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه أَ ْن يَطَّ َّوفَبِ ِه َما‬
َّ ‫إِ َّن ال‬
‫َو َم ْن تَطَ َّو َع خَ ْيرًا فَإ ِ َّن هَّللا َ َشا ِك ٌر َعلِي ٌم‬

Artinya : Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari


syi'ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah
atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i
antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu
kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha
Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.

Ayat diatas secara zahir tampaknya mengisyaratkan bahwa sa’i (lari-lari


kecil antara shafa dan marwah) itu tidak wajib, sehingga ‘Urwah Ibn Zubair
berkata kepada bibinya ‘Aisyah : “Wahai bibi, sesungguhnya Allah berfirman,
maka tiada mengapa ia berlari-lari antara keduanya. Menurut pendapatku tidak
mengapa orang meninggalkan sa’i antara keduanya. ‘Aisyah menjawab :
Alangkah buruknya perkataanmu wahai putra saudaraku. Kalau saja yang
dikendaki Allah itu seperti katamu, tentu Dia akan mengatakan, ‘Maka tiada
mengapalah bahwa ia tidak berlari-lari antara keduanya. Kemudian ‘Aisyah
bercerita kepadanya : Pada zaman jahiliyah manusia sa’i antara shafa dan marwah
menyengaja dua berhala, satu di shafa namanya isafa dan yang satunya di marwah
namanya Na’ilah. Ketika orang-orang telah masuk islam, maka sebagian sahabat
ada yang tidak mau lagi bersa’i, karena takut ibadahnya itu serupa dengan ibadat
orang-orang jahiliyah. Kemudian turun ayat diatas untuk menolak anggapan
berdosa itu dan sekaligus mewajibkan mereka bersa’i karena Allah, bukan karena
berhala. Demikianlah ‘Aisyah menolak pemahaman ‘Urwah Ibn Zubair. Itu bisa
dilakukannya karena ia mengetahui asbabun nuzul ayat tersebut.
Sampai disini kiranya perlu dipertegas lagi bahwa asbabun nuzul sebagai
salah satu perangkat pengetahuan memiliki peranan yang sangat penting dan
strategis bagi pemahaman hukum islam, khususnya pemahaman ajaran islam yang
terkandung dalam Al-Quran. Untuk memperoleh hasil pemahaman yang
maksimal, dalam kaitannya dengan pengetahuan tentang asbabun nuzul., maka
asbabun nuzul hendaknya dipandang sebagai sebuah konsep yang menyeluruh.
Konsep asbabun nuzul dapat diperluas ruang lingkupnya, sehingga ia tidak hanya
menyangkut tentang sebuah ayat tertentu saja., akan tetapi meliputi seluruh ayat-
ayat Al-Quran. Selain itu, ia tidak hanya mengangkut kasus spesifik dalam
kehidupan Nabi SAW dan masyarakat beliau pada saat itu saja, tetapi meliputi
seluruh kondisi kultur dunia pada saat itu, khususnya Timur Tengah, dan lebih
khusus lagi jazirah Arab sebagai situs turunnya wahyu Allah.

Anda mungkin juga menyukai