Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam pada masa kejayaannya dari abad VII sampai abad XIII pernah berada pada

posisi puncak sebagai sentral peradaban dunia. Umat Islam sangat yakin bahwa kejayaan

peradaban Islam dapat tercapai tidak terlepas dari berkat semangat tauhid yang

melandasinya. Masa kejayaan Islam ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran

rasional, ilmiah dan filosofis yang berkembang pesat dikalangan umat Islam. Pemikir

Islam dalam mengembangkan gagasan-gagasan rasional filosofinya selalu menunjuk

kepada wahyu. Kemajuan yang dialami oleh dunia Islam ternyata mempunyai daya tarik

bagi orang-orang Eropa yang masih mengalami kemunduran dan kegelapan, maka tidak

heran kalau orang-orang Eropa berguru ke negara-negara Islam untuk mempelajari Ilmu

pengetahuan dan filsafat.

Melalui kontak ini, pemikiran rasional, ilmiah, filosofis, dan bahkan sains Islam

mulai ditransfer kedataran Eropa. Abad modern yang dimulai sejak abad XVII,

merupakan kemenangan supremasi rasionalisme, empirisme, dan positivme dari dogmatis

agama. Dengan demikian abad modern dibarat adalah zaman ketika manusia menemukan

dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya.

Manusia dipandang sebagai mahluk yang bebas, yang independen dari tuhan dan alam.

Manusia modern dibarat sengaja membebaskan diri dari tatanan Ilmiah (theomorphisme),

untuk selanjutnya membangun tatanan antrhopomorpphisme suatu tatanan yang semata-


mata berpusat pada manusia. Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri, yang

mengakibatannya terputus dari spiritualnya. Tetapi Ironisnya, seperti yang dikatan Roger

Garaudy, justru manusia modern Barat pada akhirnya tida bisa menjawab persoalan-

persoalan hidupnya.[1] Mengikuti tasawuf adalah mematikan nafsu kediria secara

berangsur-angsur dan menjadi diri yang sebenarnya, supaya memperoleh kelahiran baru

da selalu menyadari bagaimana keadaan seseorang yang berasal dari eabadian (azal)

namun tak pernah melaksanakan hal itu sebelum terjadi perubahan pada dirinya.[2]

Dalam pembahasan kali ini saya berusaha untuk menyampaikan tentang bagaimana Ilmu

tasawuf dalam kaitannya dengan dunia modern atau dengan kata lain yang ditinjau bukan

hanya apa itu tasawuf ?, tetapi lebih mencoba menggali dari tatanan atau sub-sub manusia

di era modern dan bagaimana perkembangan tasawuf di era modern ini.

BAB II

PEMBAHASAN

a. Tasawuf di Era Modern

Meskipun secara etimologi “ulama” berbeda pendapat tentang asal-usul kata

tasawuf, namun yang paling tepat berasal dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari

kontes kebahasaan, sikap kesederhanaan para sufi maupun aspek kesejarahan. Melihat

dari banyaknya definisi tasawuf secara terminologis sesuai dengan subyektivitas masing-

masing sufi, maka, Ibrahim Basyuni mengklasifiasian definisi tasawuf kedalam tiga

varian yang menunjukkan elemen-elemen.


Pertama, al-bidayah yaitu sebagai unsur dasar dan pemula, mengandung arti

bahwa secara fitri manusia sadar dan mengakui bahwa semua yang ada ini tidak dapat

menguasai dirinya sendiri karena dibalik yang ada terdapat realitas yang mutlak. Elemen

ini dapat disebut sebagai tahap kesadaran tasawuf. Tasawuf adalah mencari hakekat, dan

memutuskan apa yang ada pada tangan mahluk.[3] Elemen kedua al-mujahadah yaitu

sebagai unsur perjuangan keras, karena jarak antara manusia dan realitas mutlak yang

mengatasi semua yang ada bukan jarak fisik dan penuh rintangan serta hambatan, maka

diperlukan kesungguhan dan perjuangan keras untuk dapat menempuh jalan dan jarak

tersebut dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat mendeatkan diri kepada

Realitas Mutlak. Elemen ini dapat disebut tahap perjuangan tasawuf. Tasawuf adalah

memutuskan hubungan dengan mahluk dan mempererat hubungan dengan Tuhan.[4]

Elemen ketiga yaitu al-mazaqat artinya manakala manusia telah lulus mengatasi

hambatan dan rintangan untuk mendekati ealitas mutlak, maka ia akan dapat

berkomunikasi dan berada sedekat mungkin di hadirat-Nya serta aan merasakan kelezatan

spiritual yang didambakan. Tahap ini dapat disebut tahap pengalama atau penemuan

mistik. Tasawuf adalah berada bersama (menemukan) Allah tanpa perantara.[5] Definisi

terakhir ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Harun Nasution bahwa tasawuf adalah

kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara manusia dengan tuhan. [6]

Kesadaran dan oomunikasi langsung dengan tuhan berakar pada ajaran Islam, yakni al-

Ihsan.

Dalam perkembangannya ternyata tasawuf mengalami kecenderungan yang

berbeda-beda sehingga melahirkan pola-pola tasawuf, sebagaimana dikemukakan

Muhammad Mustafa Abu al-‘Ala ketika mengomentari perkembangan jalan tasawuf al-
Munqis min al-Dalal. Menurutnya terdapat empat jenis macam tasawuf. Pertama, tasawuf

‘Isawi, yakni identifikasi diri epada ehidupan ‘Isa as., yaitu tasawuf yang lebih

menekankan psda latihan rohani melalui jalan mengurangi makan sedikit demi sedikit.

Kedua, tasawuf teoretis atau, menurut istilah Abu al-Wafa disebut tasawuf falsafi, yaitu

jenis tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional, dan

pengungkapannya menggunakan terminologi filosofis.[7] Corak tasawuf ini muncul

pertama kali pada masa Imam al-Syazili (656 H/ 1258 M). Ketiga tasawuf taqlidi, yaitu

corak tasawuf yang menyerupai salah satu diantara keduanya, tetapi tidak mampu

mencapai sasaran salah satunya. Keempat, tasawuf Muhammadi, yaitu tasawuf yang

berkiblat kepada tradisi Nabi Muhammad saw. dan dipandang sebagai metode tasawuf

yang paling valid. Untuk kondisi tasawuf ini yang paling cocok.[8]

Keempat corak tersebut masing-masing menempatkan zuhud sebagai maqaam,

akan tetapi tampilan dan intensitas zuhudnya berbeda-beda. Yang pertama cenderung

sampai memaksaan diri, tida memenuhi ha-ha jasmani sebagaimana dilaukan oleh

Ibrahim Ibn Adham. Sedang yang kedua kezuhudannya lebih menekankan kepada aspek

inteletual, bukan pengambilan jarak secara fisik dengan ehidupan dunia sebagaimana

dilauan oleh al-Farabi. Yang ketiga tidak memunyai corak yang jelas, tergantung pada

guru yang dianutnya. Sedang yang kkeemat mengambil corak moderat sebagaimana yang

dilakukan oleh Nabi Muhammad saw.

Selanjutnya, bagi Nasr, tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh. Dalam

Islam, tasawuf merupaan jantung (the heart) dari pewahyuan Islam. Tasawuf telah

meniupkan semangat ke dalam seluruh struktur Islam, baik dalam manifestasi social dan
intelektual. Nasr, akhirnya sampai pada kesimpulan, bahwa berbagai isu didalam Islam

tida akan bisa dipecahkan tanpa memperhitungkan eran yang dimainkan tasawuf.[9] Nasr

mengkritik orang-orang yang megnabaikan peranan positif tasawuf dalam bidang-bidang

pemerintahan sampai kepada seni sepanjang eprjalanan sejarah Islam. Ia juga

menyesalkan studi-studi barat tentang periode modern dalam sejarah Islam yang

membisu mengenai kenyataan tentang terjadinya pembaharuan-pembaharuan penting di

dalam tubuh tasawuf itu sendiri, khsusunya pada abad ke-19.

Selanjutnya Nasr merinciberbagai ibadah wajib dan sunat yang akan

menyelamatkan dan manusia ke pantai keesaan.Ibadah-ibadahpokok, seperti salat, zakat,

puasa, naik haji, dan jihad merupakan sarana untuk mensucikan kehidupan manusiadan

memungkinkan untuk hidup dan mati sebagai suatu makhluk sentral yang ditakkdiran

mampu memandang keindahan tuhan. Tetapi ibadah-ibadah ini dalam kacamata sufi,

tidak terbatas pada bentuk-bentuk lahiriyahnya belaka, mereka mempunyai dimensi-

dimensi batin dan tingkat-tingkat makna yang dapat dicapai manusia dengan

memfungsikan keimanannya dan meningkatkan intensitas dan kualitas kebajian (ihsan)-

nya.[10].

Nasr berpendapat bahwa tidak semua orang bisa mencapaitingkat t ertinggi dalam

srpiritual tasawuf. Ia membedakan antara golongan khawass (the spritual elites), dan

golongan ‘awamm (the common man). [11] Padas golongan pertama,Nasr mempercayai

adanya incividu-individu istimewa (afrad), yang sangat dipilih oleh Allah SWT sebagai

penunjuk jalan bagi yang lain. Mereka, karena dipilih, tidak mustahil bisa mencapai

maqam atau station tertinggi dalam trasawuf. Sementara ada golongan kedua,(muslimin
umumnya), dipandang cukup untuk menempuh kehidupansesuai dengan ajaran syariat

untuk dapat mencapai ke dalam surga kelak.

Sejalan dengan pemikiran diatas pentingnya rekonsiliasi antara tasawuf syari’at

diatas, adalah pemikiran Nasr tentang “neo-sufisme”. Pengertian dari istilah ini, adalah

suatu jenis kesufian yang merupakan kelanjutan dari ajaran Islam itu sendiri sebagaimana

termaktub dalam qur’an dan sunnah, dan tetap berada dalam pengawasan kedua sumber

utama ajaran Islam itu, kemudian ditambah dengan ketentuan untuk tetap menjaga

keterlibatan dalam masyarakat secara aktif.[12]

Menurut Fazlur Rahman Neo-Sufisme adalah sufisme yang telah diperbaharui.

Sebagian besar sifat ekstatik metafisis dan kandungan mistiko-filosofis yang sebelumnya

dominan dalam tasawuf awal digantikan dengan kandungan yang tidak lain daripada

postulat-postulat agama (Islam) ortodoks (salaf). Fazlur Rahman menjelaskan tasawuf

baru tersebut mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada motif moral dan penerapan

metode dzikir dan muraqabah atau konsentrasi keruhanian yang mendekati Tuhan, tetapi

sasaran dan konsentrasi itu disejajarkan dengan doktrin salafi dan bertujuan untuk

menjauhkan keimanan kepada aqidah yang benar dan kemurnian moral dari jiwa. [13]

Pemikiran neo-sufisme seperti tergambar diatas juga berkembang di Indonesia. Yaitu

yang dikembangkan oleh Hamka (m. 1981 M) dan Nurcholis Madjid (1. 1939 M). dalam

bukunya tasawuf modern, Hamka telah meletakkan dasar-dasar sufisme baru di tanah air

kita. Melalui buku tersebut, ia memberi uraian terhadap aspek penghayatan esoteris Islam

secara wajar, namun disertakan peringatan bahwa esoterisme itu harus tetap terkendali

oleh ajaran-ajaran standar syari’ah. Lebih lanjut Hamka menghendaki adanya suatu
penghayatan keagamaan esoteris yang mendalam tetapi tidak dengan melakukan

pengasingan diri atau ‘uzlah, melainkan tetap aktif melibatkan diri dalam masyarakat.

[14]Dulu di Indonesia, tasawuf lahir dan menjamur hanya terbatas di kalangan

masyarakat pedesaan, seperti di pesantren-pesantren tradisional. Thariqat, salah satu

bentuk pengamalan tasawuf, lebih banyak mewarnai masyarakat lapisanbawah, tapi kini

tasawuf telah mencuat ke atas sebagai kebutuhan hidup masyarakat modern.

Belakangan ini ada fenomena menarik mengenai geliat baru masyarakat perkotaan

terhadap kajian tasawuf. Tren spiritual baru tersebut tentu saja penting dikaji sebagai

upaya menepis formalisme keberagamaan masyarakat kita. Hanya saja, para penggiat

tasawuf diharapkan tidak terjebak pula pada tataran kesalihan simbolik. Amin Syukur

(2003) dalam buku Tasawuf Kontekstual; Solusi Problem Manusia Modern mengurai

bahwa dalam konteks kehidupan modern, khazanah pemikiran Islam sufistik atau tasawuf

selayaknya direkonstruksi dalam kerangka untuk menemukan kembali makna dan elan

vital ajaran tasawuf bagi kehidupan manusia modern saat ini. Dengan mengkaji dan

mempertanyakan kembali tentang apa dan bagaimana ajaran tasawuf diharapkan mampu

menjawab dan bisa memberikan kontribusi atas berbagai persoalan kehidupan masa kini

yang penuh tantangan dalam menghadapi arus modernisasi, globalisasi dan informasi.

Di satu pihak, arus modernisasi, globalisasi dan informasi memberi banyak

kemudahan bagi kehidupan manusia. Di lain pihak, bersamaan dengan munculnya

persaingan yang ketat, kerasnya kehidupan, ataupun tawaran yang menggiurkan

seringkali menimbulkan kegelisahan batin dan pergolakan jiwa terganggu. Menurut

Jalaluddin Rakhmat, seorang cendekiawan muslim yang sangat produktif dan ikut pula
mempopulerkan tasawuf. Semaraknya orang-orang modern belajar tasawuf karena

tasawuf merupakan salah satu ajaran Islam yang berusaha secara pasti memanusiakan

manusia.

Kondisi ini masih ditambah oleh adanya keinginan hidup secara instan bagi

sementara orang yang berakibat pada kenekatan yang tidak masuk akal (utopia). Sebagai

sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh, Islam tidak saja memberi tempat kepada

jenis penghayatan keagamaan eksoterik (lahiriah), tetapi dimensi esoterik (batiniah) juga.

Tekanan yang berlebihan kepada salah satu dari kedua aspek penghayatan itu

diperkirakan akan menghasilkan kepincangan yang menyalahi prinsip equilibrium

(tawazun) dalam Islam, namun kenyataannya banyak kaum muslimin yang penghayatan

keislamannya lebih mengarah ke bentuk lahiriah saja, atau bisa disebut ahl al-dzawahir,

atau kehidupan keagamaannya hanya mengarah ke aspek batiniah, sehingga disebut

sebagai ahl al-bawathin.[15]

Sementara bagi Nurcholis Madjid, sikap zuhud itu tetap diperlukan. Sesekali

menyingirkan diri (’uzlah) mungkin ada baiknya, jika itu di lakukan untuk menyegarkan

kembali wawasan dan meluruskan pandangan yang kemudian dijadian titik tolak untuk

penobatan diri dari aktivitas segar lebih lanjut. Akan halnya tentang stasiun-stasiun atau

maqam dalam tasawuf, Nasr berppendapat bahwa untuk mencapai pendakian spiritual

tasawuf orang harus melalui tahapan-tahapan atau stasiun tersebut. Stasiun-stasiun

tersebut mulai dari bawah taubat, zuhud, wara’, faqr, sabar, tawaal, ridha dan seterusnya.

[16]
Menurut Abu Al-’Abbas Ahmad Inb Muhammad A-lQassar, beliau adalah salah

seorang ahli tasawuf juga, dia terenal dengan kemuliaan spiritualnya, kebijaannya yang

sesungguhnya, banyaknya bukti, praktek kezuhudan dan keramat. Suatu riwayat

menjelaskan dia pernah berkata:”Semua manusia, baik mereka ingin atau tidak, harus

mendekatkan diri mereka kepada Alloh karena jika tidak, maka mereka aan menderita”.

[17]

BAB III

PENUTUP

B. Kesimpulan

Secara etimologi “ulama” berbeda pendapat tentang asal-usul kata tasawuf,

namun yang paling tepat berasal dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari kontes

kebahasaan, sikap kesederhanaan para sufi maupun aspek kesejarahan. Nasr dengan

gagasan Islam tradisionalnya, tampaknya mengajukan sebuah kebutuhan untuk

menghidupkan kembali sains-sains tradisional dan sains kosmologis ini akan memainkan

ditengah dunia modern. Tasawuf sabagai salah satu disiplin Ilmu keislaman tida bisa

keluar dari keranga itu. Rumusan tasawuf ajaran klasik, hususnya yang menyangkut

konsepp zuhud sebagai maqam (derajat) yang diartikan sebagai sikap menjauhi dunia dan

isolasi terhadap keramaian duniawi, arena semata-mata ingin bertemu dan makrifat

kepada Alloh SWT.

Demikianlah hal-hal yang dapat dijadian sebuah refrensi untuk mengetahui

tentang masalah tasawuf. Sejauh ini pengalaman yang didapat belumlah cukup untuk
dapat mendefinisian hal-hal yang telah dibahas diatas, kesimpulan umum diatas mengacu

pada satu kesimpulan yang lebih husus lagi sebagai jawaban dari masalah pokok ini.

Bahwasanya hal ini mengajak manusia modern yang dilanda krisis moral dan spiritual

itu, harus dikembalikan dan diikat pada ajaran tawhid dan moral yang bersumber pada

wahyu Ilahi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern, (Surabaya., Yogyakarta:

PUSTAKA PELAJAR, 2003

Ali Ibnu Usman Al-Julabi Al-Hujwiri, kasyf al-Mahjub”Menyelami Samudra Tasawuf,

(yogyakarta, Pustaka Sufi, 2003) .

Amin Syukur, Zuhud diAbad Modern, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 1997)

Http://www.surya.co.id/web Powered by Joomla., Tanggal 03 Maret 2008

Sayyid Husain Nasr, Tasauf Dulu dan Sekarang, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991)

Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern, (Surabaya.,


[1]
Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2003), Hlm. 3.

[2] Sayyid Husain Nasr, Tasauf Dulu dan Sekarang, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1991), Hlm. 9.

[3] Amin Syukur, Zuhud diAbad Modern, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR,


1997), Hlm.12.

[4] Ibid, Hlm.12,

[5] Ibid., Hlm. 12.


[6] Ibid., Hlm. 12.

[7]Amin Syukur, Zuhud diAbad Modern, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR,


1997), Hlm.14.

[8] Ibid., Hlm. 12.

[9] Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern, (Surabaya.,


Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2003), Hlm. 110.

[10] Ibid.,Hlm.111.

[11] Ibid.,Hlm.111.

[12] Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern, (Surabaya.,


Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2003), Hlm. 110.

[13] Ibid., Hlm.113.

[14] Ibid., Hlm.114.

[15] http://www.surya.co.id/web Powered by Joomla., Tanggal 03 Maret 2008.

Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern, (Surabaya.,


[16]
Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2003), Hlm.

[17] Ali Ibnu Usman Al-Julabi Al-Hujwiri, kasyf al-Mahjub”Menyelami Samudra


Tasawuf, (yogyakarta, Pustaka Sufi, 2003), Hlm.188.

Search

TASAWUF MODERN
KONTEKSTUALISASI NILAI SPIRITUAL MAQAMAT DAN AHWAL

Oleh kang Kolis

ABSTRAK

“Maqamat dan Ahwal” adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk dapat mengakses
lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan yang mesti
dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan tertinggi, berada sedekat-dekatnya dengan
Tuhan, dan yang kedua merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat.
Dua kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu
berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya.
Pengembaraan spiritual melalui konsep maqamat dan ahwal tentu tidak selalu dilakukan
dengan menjauhi materi keduniaan, tetapi–untuk zaman modern ini orientasi kesufian–
lebih diarahkan untuk dapat berkembang seiring dengan modernitas. Di sini, misalnya,
pengertian zuhud tidak diasosiasikan dengan mengasingkan diri dari keramaian agar jauh
dari keduniaan, tetapi penyucian diri bagi setiap orang yang terlibat dan turut mengalami
dinamika dunia modern. Dengan demikian, bertasawuf di zaman modern ialah upaya
penghadiran nilai-nilai Ilahiyah ke dalam dirinya yang memancar dalam bentuk perilaku
positif dan bermanfaat bagi sesama.

Kata-kata Kunci: Maqam, hal, dan sufi.


A. Pendahuluan

Sebagai “doktrin dan peradaban”, dalam sejarah formatifme Islam tidak hanya
melahirkan dan mengembangkan praktik ibadah saja. Akan tetapi lebih dari itu, dari
kandungan agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw. ini juga lahir pelbagai aspek
berupa peradaban–yang dicirikan oleh keunggulan pada zamannya–maupun cabang-
cabang keilmuan tradisional seperti filsafat, tasawuf, fikih dan sebagainya.[1] Cabang-
cabang keilmuan tradisional itu pada gilirannya berkembang sedemikian rupa sehingga
semuanya melembaga dalam tatanan masyarakat Islam sepanjang sejarah.
Tulisan ini, sebagaimana tertulis dalam judul, membicarakan tasawuf sebagai salah satu
aspek keilmuan tradisional Islam. Namun, alih-alih membahas asal-usul dan
perkembangan tasawuf, tulisan ini langsung membahas dua istilah kunci dalam tasawuf,
yaitu maqamat dan ahwal. Dua istilah ini memang sangat penting dalam tasawuf–karena
itu pula disebut key term–karena dalam perkembangan tasawuf terutama pada abad ke-3
dan ke-4 H, maqamat dan ahwal merupakan dua buah konsep yang harus dilalui oleh
setiap orang yang hendak menempuh jalan sufi.
Masalah yang akan dikaji dalam tulisan ini pertama-tama adalah pengertian dan makna
dua buah konsep itu, dilanjutkan dengan formulasi dan perkembangan dua konsep itu
dalam sejarah, juga sedikit latar belakang kemunculannya. Terakhir akan dilihat kaitan
antara nilai-nilai yang terkandung dalam konsep-konsep yang dikembangkan kaum sufi
pereode klasik dengan manusia modern.

B. Latar Belakang Formulasi

Formulasi konsep-konsep dalam dunia tasawuf mulai nampak sejak abad ke-3 dan ke-4
H. Ini diawali dengan semakin banyaknya orang yang mempraktikkan jalan sufi yang di
dalamnya mereka mendapat pengalaman keagamaan (religious experience) yang
beraneka ragam. Pengalaman keagamaan itu bahkan ada yang dinilai telah keluar dari
ortodoksi Islam oleh para ulama–biasanya terdiri dari kalangan ahli fiqih. Dari sinilah
kemudian muncul “perdebatan” bahkan “pertentangan” antara sufisme dan syariah yang
dalam sejarahnya Islam selain telah menhabiskan energi para ulama untuk
mendamaikannya, juga telah menelan korban di kalangan para sufi sebagai martir–dalam
literatur Barat, mereka dikenal dengan sebutan “sufi martir”. Di antara mereka yang
populer adalah al-Hallaj, Suhrawardi (w. 587/1191), dan Ain Qudhat.
Berkaitan dengan pengalaman keagamaan yang diperoleh kaum sufi dan upaya untuk
mendamaikan pertentangan antara sufisme dan syariah itulah kemudian dalam literatur
sufi muncul konsep-konsep maqamat dan ahwal–yang kita bahas sekarang. Sebab, dalam
konteks seperti itu tasawuf tidak bisa tinggal puas dengan kesalehan asketis dan seruan
cintanya[2] terus-menerus. Sekali pandangan umumnya telah memperoleh pengikut dan
di antara pengikutnya terdapat kalangan ortodoksi yang terpandang, segera ia
mengembangkan metodologi “jalan batin” atau “jalan spiritua” menuju Tuhan.
Namun, lebih dari sekedar mendamaikan antara sufirme dan syariah, kemunculan
konsep-konsep dan metode dalam tasawuf juga dipicu oleh tuduhan kalangan ulama atas
klaim-klaim kaum sufi. Para ulama berpendapat bahwa kalau klaim-klaim kaum sufi
seluruhnya diakui, maka akan timbul kekacauan spiritual karena tidak mungkinnya
mengatur, mengontrol, bahkan meramalkan jalannya “kehidupan spiritual” itu. Dzunnun
al-Misri (w. 245/859), misalnya, yang pada umumnya dianggap telah berjasa oleh kaum
sufi atas usahanya mengklasifikasikan tahap-tahap perkembangan spiritual, benar-benar
telah dituduh menyelewengkan ajaran agama di Bagdad pada 240 H./854 M. Selain itu–
yang lebih penting lagi–kaum sufi sendiri tampaknya memang merasa perlu untuk
mengembangkan suatu metode kontrol dan kritik untuk membakukan dan sejauh
mungkin mengobjektifkan pengalaman-pengalaman mereka.[3]
Dengan arah dan motivasi seperti itulah kemudian di kalangan kaum sufi dikenal
tahapan-tahapan atau “station-station” (maqamat) jalan sufi. Selain itu, dari kandungan
maqamat itu juga diperinci lagi sebuah teori tentang “keadaan-keadaan” (ahwal) yang–
meminjam istilah Rahman–bersifat psiko-gnostik.[4] Pada umumnya isi maqamat itu
dinyatakan dalam terminologi yang sepenuhnya dipinjam dari Alquran, seperti tobat,
sabar, syukur, dan sebagainya.
C. Konsep Maqamat dan Ahwal
Maqamat atau “tahapan-tahapan” merupakan tingkatan suasana kerohanian yang
ditunjukkan oleh seorang sufi. Bentuk maqamat adalah pengalaman-pengalaman yang
dirasakan dan diperoleh seorang sufi melalui usaha-usaha tertentu; jalan panjang berisi
tingkatan-tingkatan yang harus ditempuh oleh seorang sufi agar berada sedekat mungkin
dengan Allah.[5]
Tasawuf memang bertujuan agar manusia (sufi) memperoleh hubungan langsung dengan
Allah sehingga ia menyadari benar bahwa dirinya berada sedekat-dekatnya dengan Allah.
Namun, seorang sufi tidak dapat begitu saja dekat dengan Allah. Ia harus menempuh
jalan panjang yang berisi tingkatan-tingkatan (stages atau stations). Jumlah maqam yang
harus dilalui oleh seorang sufi ternyata bersifat relatif. Artinya, antara satu sufi dengan
yang lain mempunyai jumlah maqam yang berbeda. Ini merupakan sesuatu yang wajar
mengingat, seperti disebutkan di atas, maqamat itu terkait erat dengan pengalaman sufi
itu sendiri.
Dalam literatur yang menguraikan masalah tasawuf, perbedaan itu terlihat dengan jelas.
Al-Gazali (w. 505/1111) dalam karya monumentalnya Ihya Ulumuddin mengatakan ada
sembilan macam maqam, yaitu tobat, sabar, kefakiran, zuhud, takwa, tawakkal,
mahabbah, makrifat, dan rida (kerelaan). Sedangkan Abu Bakar al-Kalabadzi (w.
385/995) dalam Al-Ta’aruf li Madzahib al-Tasawwuf menyatakan sembilan macam
maqam, yaitu tobat, zuhud, sabar, kefakiran, kerendahan hati (tawadlu), tawakkal,
kerelaan, cinta, dan makrifat. Selanjutnya, Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi (w. 377/987) dalam
kitabnya al-Luma’ menyatakan ada tujuh macam maqam, yaitu tobat, wara’, zuhud,
kefakiran, sabar, tawakkal, dan kerelaan hati.
Para teoritikus sufi memang berbeda pendapat mengenai jenis-jenis maqam yang harus
dilalui oleh setiap orang yang hendak menempuh jalan sufi. Akan tetapi, pada dasarnya
mereka sepakat bahwa bagi kaum sufi maqam-maqam tersebut adalah suatu kepastian.
Tidak ada sufi tanpa melewati maqam-maqam tersebut. Selain itu, mereka juga
sependapat mengenai pengertian yang dikandung oleh konsep-konsep dalam maqam. Di
antara prinsip-prinsip maqam yang paling sering disebut dalam buku-buku adalah,
sebagaimana dicatat oleh Harun Nasution (1986: 79), adalah tobat, zuhud, sabar,
tawakkal, dan kerelaan (ridla). Hal senada juga terungkap dalam Ensiklopedi Islam.[6]
Bahkan menurut Ensiklopedi yang ditulis oleh para ahli Islam Indonesia ini kelima
maqam tersebut tergolong paling populer di kalangan kaum sufi dan masyarakat Islam
pada umumnya.
Di samping maqam-maqam tersebut juga masih terdapat jenis maqam-maqam lainnya.
Ensiklopedi Islam menyebutkan fana (tidak kekal) dan baqa (abadi) serta ittihad (bersatu
dengan Allah).[7] Sementara itu Nasution menambahkan dengan al-mahabbah dan al-
ma’rifah.[8]
Berikut ini diuraikan jenis-jenis maqam dan pengertiannya:[9]
Zuhud (al-zuhd) adalah keadaan meninggalkan dunia dan menjauhkan diri dari kehidupan
kebendaan. Zuhud, bagi kaum sufi adalah maqam terpenting yang harus dilalui.
Seseorang yang hendak menjadi sufi harus terlebih dahulu menjadi zahid (asketik) karena
menurut mereka, dunia dan segala kehidupan materinya ini merupakan sumber
kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan yang mendatangkan dosa.
Prinsip kaum sufi mengenai dunia antara lain diucapkan Hasan al-Basri (w. 110/728)
“perlakukanlah dunia ini sebagai jembatan untuk dilalui, jangan membangun apa-apa di
atasnya”. Lebih jauh ia mengatakan “jauhilah dunia ini karena ia bagaikan ular, lembut
dalam elusan tangan tetapi racunnya mematikan. Hati-hatilah terhadap dunia ini karena ia
penuh kebohongan dan kepalsuan”.
Tobat (al-taubah). Menurut para sufi dosa merupakan pemisah antara seorang hamba dan
Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai
orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin berada sedekat mungkin dengan Allah ia hrus
membersihkan diri dari segala macam dosa dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat
yang sebenarnya, yang tidak melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi
memahami tobat dengan lupa pada segala hal kecuali Allah. Tobat tidak dapat dilakukan
hanya sekali, tetapi harus berkali-kali sebagaimana hadis yang berbunyi: “demi Allah
saya mohon ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali”
(HR. Bukhari).
Warak (wara’), yaitu menjauhkan diri dari segala sesuatu yang di dalamnya mengandung
syubhat (keraguan) terhadap yang halal karena dengan mendekati syubhat seseorang akan
terjerumus kepada sesuatu yang haram. Omar Kailani mengatakan bahwa para sufi
membagi warak atas dua bagian. Pertama, warak lahiriah, yakni tidak menggunakan
anggota tubuhnya untuk hal-hal yang tidak diridhai Allah. Kedua, warak batiniyah, yaitu
tidak menempatkan atau mengisi hatinya kecuali dengan Allah.
Kefakiran (al-fakr). Dalam paham tasawuf berarti seseorang tidak meminta lebih dari apa
yang telah ada pada dirinya. Tidak meminta rizki kecuali hanya untuk dapat menjalankan
kewajiban-kewajibannya. Namun jika diberi ia terima. Seorang sufi tidak meminta dan
menolak pemberian Allah.
Sabar (al-sabr), yaitu konsekuen dan konsisten melaksanakan semua perintah Allah dan
menjauhi larangannya, tahan uji menghadapi kesulitan dan cobaan, tabah menunggu
datangnya pertolongan Allah dan tabah menerima segala konsekuensi atas kesabarannya.
Tawakkal (al-tawakkul), yaitu menyerahkan diri secara total kepada Allah. Tawakkal
berhubungan dengan nilai kesempurnaan batin seorang sufi karena menyadari bahwa
Allah bertindak sesuai dengan kehendaknya. Ia menyerahkan diri tanpa bertanya sebab-
sebabnya dan meninggalkan usaha di luar batas kemampuannya sebagai manusia.
Rida (al-ridha), yaitu menerima qada dan qadar Allah serta mengeluarkan rasa benci
sehingga yang tinggal adalah rasa senang, tidak meminta imbalan atas amal ibadahnya,
dan lebih dari itu merasa senang jika tertimpa musibah sebagaimana ia senang ketika
menerima nikmat. Dzunnun al-Misri menyebutkan ada tiga tanda dalam diri seseorang
jika ia telah sampai pada maqam rida. (1) meninggalkan usaha sebelum terjadi ketentuan;
(2) lenyap rasa resah gelisah sesudah terjadi ketentuan; (3) cinta yang bergelora pada saat
menerima musibah.
Cinta (al-mahabbah). Cinta kepada Allah dalam arti patuh kepada-Nya, membenci setiap
sikap yang melawan kepada-Nya, menyerahkan diri sepenuhnya dan mengosongkan diri
dari segalanya kecuali Allah yang dicintai. Makam mahabbah ini didasarkan pada surat
al-Maidah: 54 dan Ali Imran: 31. Menurut al-Sarraj al-Tusi, cinta itu ada tiga tingkat. (1)
cinta biasa terwujud dalam zikir dan tasbih, (2) cinta yang sidik, yaitu cinta yang dapat
menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah sehingga ia dapat
melihat rahasia-rahasia yang ada pada-Nya, (3) cinta yang arif, yakni cinta seseorang
yang betul-betul mengetahui Allah sehingga yang dirasakan bukan cinta melainkan diri
yang dicintai. Pada akhirnya yang dicintai masuk ke dalam diri yang menyintai.
Mahabbah ini terutama dialami oleh sufi Rabiah al-Adawiyah.
Makrifat (al-ma’rifah). Mengetahui Allah dari dekat sehingga hati sanubari dapat
melihatnya. Makrifat bukanlah hasil pemikiran manusia, melainkan kehendak dan rahmat
Allah yang diberikan-Nya kepada hambanya yang sanggup menerimanya.
Fana dan baqa. Seorang sufi yang telah sampai pada tingkat makrifah berarti telah dekat
dengan Allah: Bertambah diri tingkatannya dalam makrifat, bertambah pula
kedekatannya dengan Allah sehingga akhirnya bersatu dengan-Nya yang dalam istilah
tasawuf disebut al-ittihad. Akan tetapi sebelum ia bersatu dengan Allah, terlebih dahulu
ia harus menghancurkan diri, yang disebut fana. Penghancuran diri itu selalu diiringi
dengan baqa. Fana dan baqa dapat diibaratkan dua sisi dari satu mata uang yang sama.
[10] Seperti disebutkan, al-ittihad itu mengambil dua bentuk, yaitu hulul dan wahdatul
wujud. Konsep hulul atau Tuhan mengambil tempat dalam diri sufi ini dibawa oleh sufi
termashur, al-Hallaj, sedangkan konsep wahdatul wujud dibawa oleh Ibn Arabi.
Sedangkan hal (jamak: ahwal) merupakan istilah tasawuf yang berarti “suatu keadaan
mental”, seperti perasaan senang, sedih, takut, dan sebagainya. Hal yang biasa dikenal
adalah perasaan takut (al-khauf), rendah hati (tawadhu’), rasa berteman (al-uns), gembira
hati (al-wajd), dan syukur (al-syukr). Hal berlainan dengan maqam, yaitu jalan panjang
yang berisi stasion-stasion (maqamat) yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk
berada dekat dengan Tuhan. Hal diperoleh bukan karena usaha manusia tetapi didapat
sebagai snugerah dan rahmat dari Allah Swt. Sedangkan maqam diperoleh melalui upaya-
upaya yang sungguh-sungguh oleh seorang pelaku suluk (sufi). Hal bersifat sementara,
datang dan pergi, yaitu datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya
mendekati Allah.
Jalan yang harus dilalui oleh seorang sufi tidak mudah dan tidak mulus. Jalan itu
demikian panjang dan berat. Perpindahan dari suatu maqam ke maqam yang lain
menghendaki usaha yang berat dan memerlukan waktu yang tidak singkat. Ini berbeda
dengan hal yang terkadang diperoleh dengan mudah dan cepat, meskipun cepat hilang
pula. Hal merupakan situasi kejiwaan yang diperoleh seseorang sebagai karenia Allah
Swt. Dan bukan hasil usaha manusia. Datangnya kondisi mental begitu tidak menentu.
Jika datang dan perginya berlangsung cepat, maka keadaan itu disebut lawaih. Jika
kondisi mental itu datang dan pergi dalam tempo yang panjang dan lama, maka kondisi
mental itu disebut bawadih. Apabila kondisi mental itu berlangsung secara terus-menerus
dan menjadi kepribadian, maka hakekatnya itulah yang disebut hal. Oleh karena itu, hal
selalu bergerak naik setingkat demi setingkat sampai ke titik puncak kesempurnaan
rohani.
Isi atau kandungan hal sebenarnya merupakan manifestasi dari maqam yang mereka lalui.
Dengan kata lain, kondisi mental yang diperoleh seorang sufi merupakan hasil dari
amalan yang mereka lakukan. Hanya saja seorang sufi “segan” mengatakan bahwa
mereka selamanya bersikap hati-hati dan berserah diri kepada Allah Swt. Karena dalam
kesempatan yang lain mereka juga mengatakan bahwa sekalipun sikap mental atau
kondisi kejiwaan itu diperoleh sebagai karunia Allah, tetapi orang yang ingin
mendapatkannya harus berusaha meningkatkan kualitasnya dengan meningkatkan
amalnya. Ini berarti bahwa orang yang pantas menerima hal adalah orang yang
mengkondisikan dirinya ke arah hal itu.
Jika maqam merupakan tingkatan sikap hidup yang dapat dilihat dari perbuatan
seseorang, maka hal adalah kondisi mental yang sifatnya abstrak. Ia tak dapat dilihat
tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit
diungkapkan dengan kata-kata.
Sebagaimana halnya maqam, kaum sufi juga berbeda pendapat mengenai jumlah dan
formasi hal. Di antara sekian banyak nama dan sifat hal yang terkenal adalah
muqarabah, al-khauf, al-raja’, al-syauq, al-uns,al-tuma’ninah, dan al-yaqin.
Muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya
kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi oleh
penciptanya. Jadi sikap mental muqarabah ini merupakan suatu sikap yang selalu
memandang Allah dengan mata hatinya, sebaliknya ia pun sadar bahwa Allah selalu
memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Orang yang berada pada kondisi mental
seperti ini akan selalu berusaha menata dan membina kesucian dirinya.
Al-Khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tak senang
kepadanya. Dengan sikap itu yang bersangkutan melakukan pelbagai amal terpuji dan
menjauhi perbuatan yang keji.
Al-Raja’ adalah suatu sikap optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah yang
disediakan bagi hamba yang saleh. Ia menyadari bahwa Allah itu Maha Pemurah, Maha
Penyayang, dan Maha Pemaaf, sehingga dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar
untuk melakukan pelbagai amal terpuji guna mewujudkan harapan-harapannya itu.
Al-Syauq (rasa rindu) adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah (perasaan kasih
sayang). Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni.
Pengetahuan dan pengenalan yang lebih mendalam akan menimbulkan rasa senang dan
gairah yang besar untuk selalu bersama-sama dengan Tuhannya pada setiap denyut
jantungnya.
Al-Uns adalah rasa berteman yang akrab dengan Allah yang menimbulkan kegembiraan
karena tersingkapnya keindahan rahasia ilahi yang belum pernah ia lihat sehingga seluruh
ekspresi jiwanya terpusat penuh kepada suatu titik, yaitu Allah. Tidak ada yang dirasa,
yang diingat, dan yang diharap selain Allah. Segenap jiwa dan perhatiannya terpusat pada
Allah sehingga dirinya seolah-olah telah hilang. Menurut Dzunnun al-Misri, orang yang
seperti ini sungguh pun dilempar ke dalam api Neraka, ia takkan merasakan panasnya.
Menurut al-Junaid, tokoh tasawuf yang lebih modern, orang yang seperti itu sekalipun
dibelah dengan pedang ia tak lagi merasakannya.
Al-Tuma’ninah berarti tenang dan tenteram. Orang yang mencapai tahap ini tidak
memiliki rasa was-was dan khawatir. Tidak ada lagi yang dapat mengganggu perasaan
dan pikirannya karena sudah berhasil mencapai tingkat kesucian jiwa yang paling tinggi.
Orang ini dapat berkomunikasi dengan Allah. Karenanya ia merasa sangat senang dan
bahagia. Tentu saja semuanya dicapai setelah melalui pelbagai perjuangan.
Al-Musyahadah yaitu menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya itu; dalam
hal ini yang dicapai oleh seorang sufi, yaitu Allah. Orang seperti itu merasa seolah-olah
sudah tidak ada lagi tabir yang mengantarinya dengan Tuhannya sehingga tersingkaplah
segala rahasia melalui sir (mata hatinya) mengenai apa yang ada pada Allah.
Al-Yaqin yaitu perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta
serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah di dalam jiwanya perjumpaan
secara langsung dengan Tuhannya. Pada tingkat ini seseorang memiliki kepercayaan
yang kokoh dan tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimilikinya karena
ia sendiri menyaksikan dengan segenap jiwanya, dirasakan dengan seluruh ekspresinya,
dan diperaksikan dengan segenap keberadaannya.
Apabila seorang sufi suatu saat telah mencapai tingkat tertinggi, tidak berarti selesailah
mujahadah atau tamatlah latihannya. Mujahadah itu harus dilakukan terus-menerus
sampai ujung perjalanan suluknya.

E. Tasawuf dan Modernitas

Beberapa dampak negatif yang merupakan konsekwensi dari arus transformasi nilai-nilai
budaya modern dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Hilangnya rasa malu dalam berbuat kemaksiatan
2. Lemahnya kontrol masyarakat.
3. Lajunya arus budaya Barat
4. Media informasi yang tidak mendidik
Ketika istilah tasawuf dihadapkan dengan modernitas pada era modern ini, benturan yang
paling nyata adalah penilaian bahwa tasawuf dan masyarakat modern adalah dua sifat
yang berbeda atau bahkan bertolak belakang. Ajaran tasawuf sering dianggap
“berseberangan” dengan nilai-nilai hidup masyarakat modern. Kemasan tasawuf dalam
konsep maqamat dan ahwal sebagaimana disebutkan terdahulu, dianggap sebagai aspek
ajaran Islam yang mewariskan etika kehidupan yang sederhana, zuhud, menjauhi dunia,
pasrah dan kerendahan hati, cinta sejati tanpa pamrih, dan lain sebagainya hanya cocok
untuk diaplikasikan pada kehidupan tradisional. Ia tidak dapat diterapkan di dunia
modern sebab dunia modern lebih banyak dimuati dunia glamor, pemujaan materi,
persaingan keras disertai intrik dan tipu daya, keserakahan, cinta dunia, keangkuhan,
kekerasan, saling memakan, saling menjegal antara sesama, dan sebagainya.
Ironisnya, penilaian seperti ini bukan hanya berasal dari kalangan modernis saja, tetapi
juga dari–tidak sedikit–kalangan tradisional. Anggapan seperti ini setidaknya perlu dikaji
ulang, sebagai upaya untuk menjelaskan tasawuf atau sufisme yang sebenarnya.
Sebenarnya, tuduhan bahwa sufisme menolak atau mengabaikan kehidupan duniawi tidak
dapat dibenarkan kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang jumlahnya sangat kecil.
Sufisme yang benar adalah mementingkan keseimbangan antara jasmani dan rohani,
lahiriah dan batiniah, antara spirituil dan meteril, antara duniawi dan ukhrawi. Islam tidak
mengajak kepada pengingkaran duniawi, bahkan Islam mengajak kepada pemenuhan
kebutuhan hidup, baik materi maupun spirituil. Kemajuan dimensi spirituil hanya bisa
dicapai melalui hidup yang saleh di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, bukan
dengan mengingkari kehidupan duniawi. Inilah ajaran sufisme yang benar. Bahkan dalam
Alquran terdapat sebuah doa: “Wahai Tuhan kami! Berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat nanti” (Qs. 2:210). Dan sebaliknya celaan Allah terhadap orang-orang
yang menolak untuk menikmati karunia-Nya. Dalam Alquran Allah berfirman:
“Katakanlah: Siapakah yang mengahramkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-
Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rizki yang baik” (Qs. 7:32). Pada bagian lain garisan
yang diberikan Tuhan adalah: “makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs. 7:31).
Secara historis, menunjukkan bahwa pada umumnya para sufi tidak menjauhi kehidupan
duniawi. Mereka memberikan sumbangan yang besar bagi kehidupan sosial
kemasyarakatan. Dalam bidang pendidikan misalnya, peran sufi seperti Khawajah Nizam
al-Mulk, Wazir Dinasti Saljuk, berpartisipasi langsung memabngun universitas-
universitas atau madrasah. Hal yang sama juga terdapat di kalangan sufi di Indonesia,
misalnya pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Dalam bidang politik dan
militer, peran sufi tidak kalah pentingnya. Tarekat-tarekat sufi berperan menjadi kekuatan
politik di banyak negara Islam. Tarekat Safawi misalnya berubah dari gerakan spirituil
semata menjadi gerakan politik dan militer, yang akhirnya berhasil mendirikan kerajaan
Safawi di Persia. Hal yang sama misalnya peran para sufi dalam menumpas penjajah
kolonial di Indonesia, sehingga semangat sufisme mempunyai sumbangan besar bagi
pencapaian kemerdekaan negara Indonesia ini. Historical fact ini adalah bukti yang tidak
bisa dibantah bahwa untuk mengatakan ajaran tasawuf anti keduniaan, sama sekali tidak
beralasan. Jika pun ada dalam praktek sekelompok orang, itu adalah disebabkan
kurangnya pemahaman akan makna tasawuf itu sendiri dan ajaran Islam umumnya.
Dunia sekarang mendambakan kedamaian hidup. Bukan saja kedamaian rumah tangga,
antar tetangga dan kelompok masyarakat, dan stabilitas nasional, tetapi sampai pada
kedamaian internasional. Kedamaian seberapapun kecil dan besar skalanya akan dapat
diterima hanya jika sifat-sifat keserakahan dapat diredam oleh setiap orang pada dirinya.
Bagi umat Islam, sifat-sifat tersebut dapat dihilangkan hanya jika seseorang telah
menghayati dan menyadari sepenuhnya sifat-sifat sabar, tawakal dan ridha yang diajarkan
oleh Islam dan yang menjadi maqamat atau station di kalangan kaum sufi menuju Tuhan.
Munculnya tasawuf atau sufisme sebagai alternatif yang terpilih untuk meresponi
kemiskinan spiritual masyarakat modern, khususnya di Barat, sesungguhnya sangat
beralasan karena sufisme mengajarkan hal-hal yang cukup rasional dan sekaligus supra
rasional. Pemahaman ajaran agama secara rasional ditambah dengan pelaksanaannya
secara formal tidak cukup menjamin kesetiaan orang pada agama yang dianutnya.
Pemahaman dan formalitas agama tidak membawa orang merasakan nikmatnya
beragama, bahkan mungkin hanya membuat orang merasa terbebani dengan berbagai
ketentuan normatif dari agamanya sendiri.
Oleh sebab itu, tasawuf menjadi pilihan, karena bentuk kebajikan spiritual dalam tasawuf
telah dikemas dengan filsafat, pemikiran, ilmu pengetahuan dan disiplin kerohanian
tertentu berdasarkan ajaran Islam. Nilai-nilai spiritual yang digali dari sumber formal,
seperti Alquran dan hadis, dan dari pengalaman keagamaan atau mistik telah
dikembangkan para sufi-sufi sebelumnya.
Namun pengalaman sufi di zaman modern, hendaknya diletakkan secara proporsional.
Artinya, tidak tertutup kemungkinan akan adanya orang-orang tertentu yang mampu
mengaplikasikan sufistik melalui station-station mulai dari yang terendah sampai pada
tingkat yang tertinggi, sehingga ia hidup dengan menjauhi materi keduniaan, tetapi
sebenarnya untuk zaman modern ini orientasi kesufian sebaiknya diarahkan untuk dapat
berkembang seiring dengan modernitas.
Untuk itu, yang patut diperhatikan ialah bagaimana membumikan dalam arti
mengamalkan secara aplikatif nilai-nilai spiritual maqamat dan ahwal di tengah dinamika
modernitas kehidupan manusia. Di sini, misalnya, pengertian zuhud tidak terlalu
diasosiasikan dengan penyendirian dan pertapaan untuk menyatu dengan Tuhan, tetapi
penyucian diri bagi setiap orang yang terlibat dan turut mengalami dinamika dunia
modern. Sufi di zaman modern ialah orang yang mampu menghadirkan ke dalam dirinya
nilai-nilai Ilahiyah yang memancar dalam bentuk perilaku yang baik dan menyinari
kehidupan sesama manusia. Inilah makna hadis Rasulullah Saw., khairunnas anfauhum
linnas, bahwa sebaik-baik manusia ialah manusia yang bermanfaat bagi sesama manusia.
Kesan bahwa sufi harus menjauhkan diri dari masyarakat (uzlah) dan sibuk dengan
ibadahnya sendiri, seperti yang digambarkan oleh para pihak, bahwa untuk mengamalkan
praktik kesufian hanyalah dengan penyendirian dengan tujuan menyatu dengan Tuhan,
tampaknya merupakan hal yang kurang relevan dengan modernitas yang mengharuskan
adanya hubungan antar pribadi dan kelompok manusia dalam membangun peradaban
modern yang cirinya adalah pemanfaatan iptek dan pendayagunaan sumberdaya secara
maksimal serta kemakmuran kehidupan. Untuk itu, diperlukan orientasi baru berupa
penghadiran nilai-nilai Ilahi dalam perilaku keseharian manusia modern, sehingga peran
agama yang menghendaki kesucian moral tetap terasa sangat perlu. Hal ini berarti,
pengamalan ajaran agama tidak cukup jika hanya bersifat rasional dan formal tanpa
kesadaran batiniyah yang mendalam, sehingga setiap muslim dapat merasakan nikmatnya
beragama, yang di dalamnya terkandung kecintaan kepada Tuhan sekaligus kecintaan
kepada sesama manusia dan sesama makhluk.
Untuk itu, tasawuf di abad modern tidak lagi berorientasi murni kefanaan untuk menyatu
dengan Tuhan, tetapi juga pemenuhan tanggung jawab manusia sebagai khalifah Tuhan
yang harus memperbaiki dirinya dan sesama makhluk. Dengan kata lain, tasawuf tidak
hanya memuat dimensi kefanaan yang bersifat teofani, tetapi juga berdimensi profan
yang di dalamnya terdapat kepentingan sesama manusia yang mendunia.
E. Penutup

Tasawuf merupakan salah satu khazanah Islam yang cukup kaya, baik dari segi sejarah
perkembangan maupun dari segi doktrin yang dikembangkan oleh para sufi. Sebagai
suatu khazanah tasawuf sudah selayaknya mendapatkan apresiasi yang sama dengan
khazanah Islam lainnya dari kaum muslim. Apalagi perkembangan tasawuf sendiri pada
dasarnya tidak bisa dipisahkan dari perkembangan Islam sebagai “jalan hidup menuju
kebenaran”.
Teori-teori yang dikembangkan oleh kaum sufi, baik yang masuk kategori maqam
maupun hal, pada dasarnya berisi nilai-nilai etis–yang kini sangat dibutuhkan oleh
manusia modern. Oleh karena itu, dalam konteks modernitas, nilai-nilai yang terkandung
dalam maqam dan hal jelas sangat relevan. Apalagi manusia modern, kini sudah
kehilangan “spiritualitasnya”.
Re-interpretasi dan kontekstualisasi nilai spiritual maqamat dan ahwal akan semakin
bermakna bilamana ia diangkat pada tataran yang aplikatif dalam kehidupan masyarakat.
Konsep ikhlas dan mahabbah misalnya, akan menjadi sarat makna apabila nilai sufistik
ini diamalkan dalam seluruh aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, baik dalam dunia
politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Korupsi, kolusi, nepotisme, kerusuhan, dan
konflik horizontal dan perselisihan antar sesama anak bangsa dan berbagai penyakit
sosial dengan sendirinya secara berangsur-angsur menjadi berkurang andaikata sejak dini
konsep ini dimasyarakatkan. Alangkah indahnya sesama umat memulai suatu konsep
pekerjaan dengan keikhlasan, menjalin hubungan antara sesama dengan rasa cinta,
Alquran dan hadis sendiri menganjurkan untuk saling mencintai sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Chittick, C. William, “Sufism” dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia
of The Modern World, (Oxford: Oxford University Press, Vol. 4, 1995)
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van Hoeve, Jilid II h. 72–73 dan Jilid III h.
124–126, 1994).
Iqbal, Muhammad, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, Terj, oleh Ali
Audah dkk. Dari The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Jakarta: Tintamas,
1982).
Kalabadzi, al-, Ajaran Kum Sufi, Terj. Oleh Rahmani Astuti dari AJ. Arberry, The
Doctrine of The Sufis (suntingan dari al-Ta’aruf li Mazahib Ahl al-Tasawuf), (Bandung:
Mizan, 1990).
Madjid, Nurcholis, Islam: Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1992).
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: Penerbit UI
Press, 1986).
Rahman, Fazlur, Islam, Terjemahan oleh Ahsin Muhammad dari Islam, (Bandung:
Pustaka, 1984).
Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghinami al-, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Oleh Ahmad
Rofi’ Utsmani dari Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam, (Bandung: Pustaka, 1983).

[1]Nurcholis Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1992), h. 8
lihat juga Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: Penerbit UI Press,
1986), h. 18.
[2]Konsep cinta (mahabbah) ini dikembangkan oleh seorang sufi wanita terkenal Rabi’ah al-
Adawiyah (w. 185/801). Menurut Rahman (1984: 187) konsep ini tidak jauh beranjak dari ciri umum
tasawuf abad ke-1 dan ke-2 H. bahkan boleh dikatakan merupakan kelanjutan dari konsep ‘takut kepada
Tuhan’. Sedangkan al-Taftazani berpendapat bahwa konsep cinta ini muncul pada penghujung abad ke-2
yang menandai adanya perubahan orientasi di kalangan kaum sufi dari “rasa takun kepada Tuhan” menuju
“cinta” (al-Taftazani, 1985: 90). Tonggak perubahan itu adalah Rabi’ah a;-Adawiyah yang mempopulerkan
konsep cinta di kalangan para sufi. Lebih jauh, konsep cinta ini bahkan diidentikkan dengan nama Rabi’ah
al-Adawiyah itu sendiri.
[3]Rahman, Op.cit., h. 194.
[4]Ibid., h. 195.
[5]Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van Hoeve, 1994), Jilid III, h. 124.
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8]Harun Nasution, Op.cit., h. 79.
[9]Pengertian konsep maqam ini hampir seluruhnya diambil dari Ensiklopedi Islam, 1992, dan
Nasution, 1986. Oleh karena itu, kedua sumber tersebut tidak disebutkan dalam ‘catatan kaki’.
[10]Menurut Nasution, (1986: 84) sufi pertama yang membawa konsep fana dan baqa adalah Abu
Yazid al-Bustami.
Posted by Kang Kolis in 02:17:32
TASAWUF DI ABAD MODERN
KONTEKSTUALISASI TASAWWUF DI ABAD MODERN
A. Pendahuluan
Secara prinsip tiada seorang pun yang dapat menafikan adanya konsep tasawwuf dalam
tradisi Islam. Tasawwuf terbukti sangat berkesan dalam mendidik jiwa manusia,
memberikan ketenangan hati dan mengisi kekosongan jiwa. Sehingga setelah memahami
kepentingan tasawuf, banyak sarjana Muslim mengatakan bahawa ia adalah salah satu
aspek penting ajaran Islam. Seyyed Hossien Nasr (1991: 56) mengatakan bahwa
tasawwuf “serupa dengan nafas yang memberikan hidup. Tasawwuf telah memberikan
semangatnya pada seluruh struktur Islam, baik dalam perwujudan sosial mahupun
intelektual.”
Sebagai aspek terdalam (esoteris) ajaran Islam (al-janib al-‘Atifi min al-Islam), tasawwuf
kerap kali dikatakan sebagai hakikat sedangkan aspek luaran (eksoteris) dikatakan
sebagai Syari‘ah. Keduanya yaitu hakikat dan syariah ini mempunyai peranan masing-
masing yang tidak dapat dipisahkan daripada ajaran Islam yang komprehensif (kaffah).
Oleh karena itu kedua-duanya ini tidak boleh dilihat secara dikotomis, terpisah dan
dipertentangkan.
Namun pada kenyataannya tasawwuf merupakan salah satu subjek yang sering
disalahfahami oleh banyak orang, baik di kalangan Muslim sendiri maupun orang bukan
Islam. Hal ini berlaku di antaranya adalah karena tasawwuf telah melalui evolusi dan
perkembangan yang jauh setelah ia diperkenalkan kepada generasi awal Islam.
Istilah Tasawwuf (Sufisme), berasal dari kata shuf (wol, bulu domba) yang berarti
memakai pakaian dari wol yang kasar, sebagai simbol kehidupan yang keras
(zuhud/ascetics) yang menjauh dari kenikmatan duniawi. Jadi istilah tasawuf hanyalah
simbol metaforis untuk sebuah konsep asketisme (kepertapaan atau kerahiban) dan gnosis
(irfan) (Nasr, 1991: 32).
Dunia tasawwuf adalah dunia kerohanian (spirituality). Merupakan suatu hal yang
mustahil memahami dunia ini jika seseorang itu hanyut dalam alam material dan
keduniaan. Di Abad modern ini, di mana kehidupan masyarakat didominasi oleh
worldview sekuler, tasawwuf menjadi sesuatu yang asing dan terpinggir. Malahan, ada
kalangan yang beranggapan bahwa orang-orang yang mengamalkan tasawwuf adalah
orang-orang yang kolot, berfikir ke belakang dan konservatif.
Menurut penulis, ketika dunia modern semakin hanyut dengan materialisme dan
hedonisme, peranan tasawwuf dirasakan amat signifikan dalam usaha mengatasi
permasalahan dan dilema yang dihadapi oleh masyarakat hari ini. Semakin dominan
falsafah sekularisme dan materialisme dalam kehidupan masyarakat semakin banyak
orang yang mencari akan ‘makna’ dan hakikat kehidupan.
B. Kerangka Teoritis
Dalam wacana keilmuan ajaran Islam dapat digolongkan ke dalam tiga bagian besar.
Bagian pertama, ajaran fiqh; ajaran yang menekankan hal–hal yang bersifat lahiriah dan
formalistik. Pada dimensi ini kebenaran diukur dengan penuh kepatuhan atau kesesuaian
terhadap aturan-aturan formal dan bersifat lahiriah. Bagian kedua, ajaran kalam; ajaran
yang menitikberatkan pada persoalan kekuasaan Tuhan dalam kaitannya dengan
perbuatan manusia. Dalam wacana ini, biasanya rasio demikian dianggap penting.
Sehingga tidak jarang kebenaran harus ditundukkan pada kekuatan logika. Bagian ketiga,
ajaran tasawwuf, ajaran yang menitikberatkan hal-hal yang bersifat spiritual. Ukuran
kebenaran pada dimensi ini adalah dzauq (rasa) atau pengalaman batin.
Klasifikasi di atas, mirip dengan teori yang menyatakan bahwa ada tiga pendekatan
dalam memahami ajaran Islam, yaitu pendekatan bayani (tekstual), pendekatan burhani
(logika), pendekatan irfani (rasa). Dan dalam konteks pembahasan ini tasawwuf masuk
dalam kategori irfani.
Secara wacana kesejarahan menurut Jalaluddin Rahmat (2000: 25) kelahiran tasawwuf
muncul lebih awal dibanding Fiqh. Pandangan ini, didasarkan pada kenyataan bahwa
tokoh-tokoh tasawwuf seperti Hasan al-Bisri, Jafar Ash-shiddiq, serta tokoh-tokoh sufi
awal lainnya, mereka lebih dikenal sebagai tokoh tasawwuf ketimbang sebagai tokoh
fiqh. Imam Hanafi, Imam syafi’I dan Imam Malik, mereka adalah tokoh-tokoh fiqh yang
muncul setelah tokoh-tokoh tasawwuf. Fakta ini merupakan bukti setelah lama tasawwuf
eksis dan berkembang. Hanya saja menurut jalal tasawwuf tidak dinamakan “tasawwuf”
melainkan zuhud.
Dalam perjalanannya tasawwuf menurut Jaluddin Rahmat (2000: 25) terbagi menjadi tiga
bagian yaitu Tasawwuf sebagai madzhab akhlaq, tasawwuf sebagai madzhab ma’rifat,
tasawwuf sebagai madzhab hakikat. Dikatakan tasawwuf sebagai madzhab akhlak karena
tasawwuf mengajarjab sejumlah akhlak. Akhlak yang diajarkan dalam tasawwuf adalah
akhlak batiniyah. Akhlak diletakkan sebagai proses panjang dalam tazkiyatunnafs.
Dikatakan Tasawwuf sebagai madzhab makrifat, maknanya adalah tasawwuf
mengajarkan suatu pengetahuan dengan tanpa proses belajar atau proses berfikir.
Pengetahuan ini merupakan pemberian langsung dari Allah Swt. Jenis pengetahuan ini
dinamakan sebagai ilmu ladunni atau ilmu hudhurri.dengan pengetahuan ini seseorang
dapat mengetahui sesuatu tanpa diberitahu oleh orang lain.
Dikatakan Tasawwuf hakikat, adalah seorang sufi yang mengarahkan hidupnya hanya
kepada Allah Swt. Bagi sufi Tuhan adalah sang kekasih sejati. Sufi selalu merindukan
perjumpaan dengan kekasihnya. Ia melepaskan sifat-sifat basyariahnya dan menyerap
sifat-sifat Allah Swt. Ia ingin menyatu dengan Allah, hakikat dari semua yang ada.
C. Kontekstualisasi Sikap Zuhud di Abad Modern
Secara prinsip jalan sufi adalah jalan yang ditempuh oleh seorang Muslim yang serius
dan yang bersungguh-sungguh meraih keredhaan Allah Swt. Hakikatnya jalan ke surga
dipenuhi dengan onak duri dan jalan ke neraka pula dipenuhi dengan perhiasan. Seorang
Sufi betul-betul menghayati hadith yang menyebut bahawa dunia adalah penjara bagi
orang Mukmin dan Syurga bagi orang kafir. Maka seorang sufi adalah seorang yang
sanggup melepaskan kenikmatan dan perhiasan dunia kemudian sanggup menempuh
kepahitan, kekurangan dan kehinaan demi mencapai keridhaan Tuhannya dan bertemu
dengan Sang Kekasih.
Dibalik keseriusan, kepahitan dan kesabaran yang dihadapi seorang sufi, ia dapat
merasakan kenikmatan, ketenangan dan kebahagiaan hati yang tidak dapat dirasakan oleh
orang yang terlingkupi oleh materialistik. Oleh karena itu tasawwuf menawarkan
kebahagiaan hati di tengah gersangnya arus modernitas.
Seorang yang tawadu‘ (merendah diri), zuhd (tidak materialistik), qana‘ah (merasa
cukup), seringkali mendapati dirinya bebas, tenang, dan damai. Kehidupan dunia ini
sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an seperti fatamorgana. Dalam Surah al-Nur: 39
dikatakan:
ُ ‫ساَبُه َوا‬
‫ل‬ َ‫ح‬ِ ُ‫عنَدهُ َفَوّفاه‬
ِ ‫ل‬
َ ‫جَد ا‬
َ ‫شْيًئا َوَو‬
َ ‫جْدُه‬
ِ ‫جآَءُه َلْم َي‬
َ ‫حّتى ِإَذا‬
َ ‫ن َمآًء‬
ُ ‫ظْمَئا‬
ّ ‫سُبُه ال‬
َ‫ح‬ْ ‫ب ِبِقيَعٍة َي‬
ٍ ‫سَرا‬
َ ‫عَماُلُهْم َك‬
ْ ‫ن َكَفُروا َأ‬
َ ‫َواّلِذي‬
ِ ‫سا‬
‫ب‬ َ‫ح‬
ِ ‫سِريُع اْل‬
َ
“Dan orang-orang Yang kafir pula, amal-amal mereka adalah umpama riak sinaran panas
di tanah rata yang disangkanya air oleh orang Yang dahaga, (lalu ia menuju ke arahnya)
sehingga apabila ia datang ke tempat itu, tidak didapati sesuatu pun Yang disangkanya
itu; (Demikianlah keadaan orang kafir, tidak mendapat faedah dari amalnya sebagaimana
Yang disangkanya) dan ia tetap mendapati hukum Allah di sisi amalnya, lalu Allah
meyempurnakan hitungan amalnya (serta membalasnya); dan (ingatlah) Allah amat
segera hitungan hisabNya.
Oleh karenanya, Allah Swt. telah mengingatkan bahwa kadangkala apa yang manusia
sangka baik sebenarnya tidak baik, dan kadangkala yang manusia sangka buruk pada
hakikatnya adalah baik.
Allah telah memperingatkan beberapa kali bahwa akhirat itu lebih baik daripada dunia:
ً ‫ن َفِتي‬
‫ل‬ َ ‫ظَلُمو‬
ْ ‫ل ُت‬
َ ‫ن اّتَقى َو‬
ِ ‫خْيُر ّلَم‬
َ ‫خَرُة‬
ِ‫ل‬َ ‫ل َوْا‬
ُ ‫ع الّدْنَيا َقِلي‬
ُ ‫ل َمَتا‬
ْ ‫ُق‬
“Katakanlah (Wahai Muhammad): “Harta benda yang menjadi kesenangan di dunia ini
adalah sedikit sahaja, (dan akhirnya akan lenyap), dan (balasan) hari akhirat itu lebih baik
lagi bagi orang-orang yang bertaqwa (kerana ia lebih mewah dan kekal selama-lamanya),
dan kamu pula tidak akan dianiaya sedikit pun.” (al-Nisa’: 77)
Walaupun dunia ini dikatakan perhiasan yang menipu dan fitnah (cubaan) yang dapat
menguji keimanan seseorang tetapi dunia tidak dikatakan hina, patut ditinggalkan dan
dijauhi. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Iqbal (1966: 21) bahwa manusia
tidak boleh lari dari dunia yang telah Allah percayakan kepada manusia. Manusia
bertanggungjawab atas dunianya.
Bagi Iqbal (1966: 22) sikap asketisme dianggap sebagai pelarian dari realitas kehidupan
yang kongkret, dan itu berarti lari dari dunia fisiknya sendiri. Mencintai Tuhan berarti
sepenuhnya terlibat dengan dunia yang Tuhan ciptakan bukan lari darinya.
Pada hakikatnya dunia dijadikan oleh Allah sebagai tempat untuk manusia mengabdi, ia
adalah tempat ujian untuk menguji keimanan hamba-hamba-Nya, sebagai tempat dan alat
ia sepatutnya dilihat sebagai sesuatu yang netral. Di bawah ini akan dijelaskan konsep
zuhud yang menunjukkan bahwa zuhud tidak berarti meninggalkan dunia.
Kebanyakan masyarakat hari ini memahami zuhud sebagai cara hidup yang
meninggalkan dunia, berpakaian lusuh, makan dan minum ala kadarnya -tidak berkhasiat,
tidak memiliki harta benda dan rumah yang kurang baik, menggunakan kendaraan yang
buruk atau tidak berkendaraan langsung. Dengan konsepsi zuhud seperti ini maka konsep
zuhud disinonimkan dengan kemunduran dan sikap konservatif. Jadi secara tidak
langsung, orang yang menerima konsepsi zuhud seperti ini telah menyifatkan Islam
dengan kemunduran dan anti dunia.
Benarkah zuhud itu sinonim dengan kemunduran dan anti dunia? Selain dari itu,
persoalan yang lebih luas lagi adalah benarkah konsepsi tersebut bersandarkan kepada
karya-karya ulama besar dalam ilmu tasawwuf dan akhlak seperti Ibn Arabi, al-Ghazzali
dan Miskawayh.
Dalam usahanya menerangkan apa yang dimaksudkan dengan zuhud, Imam al-Ghazzali
(tt: 207) mendefinisikan zuhud dengan: “tindakan seseorang yang menolak sesuatu yang
diinginkan untuk mendapatkan sesuatu yang lain yang lebih berharga.” Walaupun dari
definisi yang dinyatakan oleh al-Ghazzali ini mengisyaratkan perlunya dunia itu
ditinggalkan untuk mendapatkan akhirat, namun penulis berpendapat apa yang
dimaksudkan oleh al-Ghazzali adalah meninggalkan kecintaan terhadap dunia untuk
memastikan seseorang itu mendapatkan ampunan akhirat. Ini karena al-Ghazzali sendiri
sering menekankan perlunya dunia dan segala apa yang terkandung digunakan
sewajarnya, tidak berlebihan agar ia tidak jadi penghalang kepada penghambaan diri
kepada Allah Swt.
Sebenarnya zuhud dekat dengan penolakan terhadap dunia, tetapi penolakan tersebut
tidak sama sekali bermaksud meninggalkan dunia. Yang ditolak adalah kecintaan
terhadap dunia (hubb al-dunya). Dunia dengan segala kesenangan dan perhiasannya
bersifat menggiurkan, manusia yang kurang imannya akan terpedaya dan menjadikannya
lengah lalu meninggalkan perintah Tuhannya. Kecintaan terhadap dunia ini perlu dikawal
dan ditundukkan karena jika tidak ia akan menyesatkan seseorang. Rasulullah Saw.
beberapa kali mengingatkan bahwa hubb al-dunya merupakan faktor yang signifikan
pada kelemahan umat Islam.
Bagi Sufyan al-Thawri, seorang tokoh sufi yang ulung, zuhud adalah perbuatan hati yang
menyerahkan segala sesuatu demi mencapai keridhaan Allah Swt. dan menutup hati dari
segala ambisi keduniaan. Kaum sufi juga telah menjelaskan ciri-ciri orang yang benar-
benar memiliki sifat zuhud: orang yang tidak bergembira dengan mendapatkan
keduniaan, tidak juga sedih dengan kehilangannya, tidak merasa seronok dengan pujian
dan terancam dengan kritikan dan cacian, dan yang selalu mengutamakan pengabdian
kepada Allah atas segala sesuatu yang lain.
Oleh karena zuhud adalah lawan kepada hubb al-dunya, maka pada istilah yang sesuai
untuk memperkenalkan kembali zuhud dengan wajah yang segar adalah bahawa ia adalah
lawan kepada sifat materialistik. Seseorang yang zuhud sebenarnya adalah seseorang
yang tidak ada dalam dirinya sifat materialistik, kecintaan terhadap dunia atau pun
mementingkan keduniaan.
Zuhud dalam arti kata hilangnya hubb al-dunya dalam diri seorang Muslim bukan satu
pilihan melainkan satu kemestian. Zuhud yang selama ini dilihat sebagai suatu cara hidup
yang khas dimiliki oleh para sufi atau ‘golongan agama’ sebenarnya suatu cara hidup
yang diinginkan oleh Islam untuk diamalkan oleh setiap penganutnya. Islam mengajarkan
umatnya agar melihat dunia sebagai alat yang digunakan untuk meraih keridhaan Allah
Swt. di akhirat. Dunia dipandang sebagai alat dan bukan tujuan.
D. Tasawwuf: Penyeimbang dunia Materil dan Spritual
Tasawwuf tidak boleh dilihat hanya berfungsi sebagai pemenuhan kerohanian manusia.
Tasawwuf sebenarnya berfungsi sebagai penyeimbang kepada keharmonian hidup
manusia. Kemajuan dan pembangunan yang tertumpu pada aspek fisikal dan material
akan melahirkan manusia yang berat sebelah (pincang).
Kehidupan modern yang didominasi oleh falsafah materialisme adalah kehidupan yang
kasar, kering, penuh dengan konflik, kepentingan, permusuhan dan kebencian. Lebih
daripada itu seorang yang materialistik pada kemuncaknya sanggup melakukan perkara
yang tidak etis demi memenuhi tujuannya. Ini menunjukkan bahwa sifat materialistik
(nafsu) telah memenjarakan dan memperhambakan dirinya. Oleh itu, pada hakikatnya
materialisme telah merendahkan martabat manusia menjadi makhluk yang rendah.
Islam, sebagai panduan hidup manusia, telah memberikan jalan keluar bagi kepincangan
dan ketidakharmonian kehidupan manusia. Solusi yang diberikan oleh Islam adalah
keseimbangan (i‘tidal) antara pembangunan jasmani dan pembangunan rohani, antara
keperluan material dan keperluan spiritual.
Walaupun orientalis tidak membedakan tasawwuf dengan mistisisme, namun jelas bahwa
terdapat perbedaan yang jelas antara tasawwuf dengan mistisisme. Mistisisme, khususnya
yang berkaitan dengan kuasa luar biasa (paranormal) atau ilmu ghaib (occult), muncul
setelah tasawwuf awal diselewengkan oleh beberapa aliran tasawuf. Ibn Taymiyyah
adalah di antara ulama’ yang terang-terangan menentang penyelewengan kaum sufi di
zamannya.
Penilaian kritis terhadap perkembangan tasawwuf juga dilakukan oleh Ibn Khaldun
dalam karyanya, Muqaddimah. Setelah mengkaji dengan mendalam, Ibn Khaldun
membincangkan perkembangan tasawwuf dengan cukup rinci dan ilmiah termasuk
beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh kaum sufi. Beliau menolak pandangan
tokoh-tokoh sufi yang menyebabkan seseorang lari dari dunia. Ibn Khaldun (tt: 2005)
juga mengatakan bahwa konsep qutb ataupun ra’s al-‘Arifin (maqam yang tertinggi
dalam tatanan sufi) adalah konsep yang tidak berasas sama sekali.
Umat Islam sewajarnya adalah umat pertengahan (ummatan wasatan) di antara umat
Yahudi yang rigid, literal, menumpukan pada aspek perundangan semata (the ten
commandents) dan umat Nasrani yang telah memperkenalkan kerahiban (rahbaniyyah),
meninggalkan dunia demi menyucikan diri.
Sejak awal Rasulullah s.a.w. telah memperingatkan bahwa dalam Islam tiada kerahiban:
la rahbaniyyata fi al-Islam. Dengan demikian umat Islam terlepas dari satu keburukan
yang terdapat dalam agama lain iaitu bid‘ah kerahiban. Rasulullah s.a.w. tidak
menyetujui orang yang terus menerus beribadah dengan meninggalkan makan minum,
seks dan tidur malam, sebaliknya menyuruh mereka mengikuti sunnah baginda yang
menjalani kehidupan seperti manusia biasa.
Di samping itu kekuatan rohani merupakan bekal yang penting dalam mengarungi
kehidupan yang penuh dengan tantangan. Seseorang yang hanya dibekalkan dengan
kekuatan akal akan rentan kekecewaan dan putus asa, karena tidak semua perkara dapat
diselesaikan dengan kemampuan akal manusia. Hakikatnya, para saintis telah mengakui
bahwa kejayaan seseorang dalam kehidupan bukan saja ditentukan oleh ketinggian IQ
tetapi juga ketinggian EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient) atau pun oleh
sarjana Muslim disebut sebagai kecerdasan rohaniah (transcendental intelligence).
(Tasmara: 2004:61)
Kecerdasan rohaniah mampu membekalkan semangat, kekentalan, kesabaran, keikhlasan,
kejujuran, integriti, dsb. Seseorang yang merasakan dirinya dekat dengan Tuhan akan
sentiasa berbuat baik, berbakti kepada masyarakat demi mencapai keridhaan Sang
Kekasih dan mengharapkan ganjaran-Nya di akhirat kelak. Kecerdasan rohaniah
menghasilkan taqwa (self-restrain) yang dapat menghalang seseorang Muslim daripada
melakukan perbuatan maksiat, jahat dan tercela walaupun tiada pengawasan dan kawalan
luaran.
Tasawwuf tidak memundurkan seseorang. Seseorang yang dekat dengan Allah Swt.
adalah orang yang banyak berbuat dan bukan hanya berharap. Ungkapan yang
menggambarkan keperibadian para sahabat di zaman Rasulullah s.a.w. adalah mereka itu
seperti para rahib di waktu malam dan pasukan berkuda pada waktu siang “ruhbanun fi
al-layl wa fursanun bi al-nahar.” Inilah gambaran sebenar seorang Muslim yang benar-
benar mengikuti ajaran Islam. Seorang yang dekat dengan Tuhan tetapi juga seorang
yang beraksi dan bukan hanya penonton. Seorang Muslim sejati adalah yang memainkan
peranan sebagai aktivis, reformis, pengurus, pentadbir, pemikir, pendidik dsb. Mereka
adalah golongan yang dirasakan akan kehadiran mereka oleh umat ini dan merasa
kehilangan dengan ketiadaan mereka.
Revitalisasi Tasawwuf di Abad Modern
Tasawwuf perlu diperkenalkan semula kepada masyarakat dengan pendekatan yang baru.
Pendekatan yang menumpukan pada substansi dan bukannya bentuk (form). Pendedahan
yang apresiatif sekaligus kritis perlu diperkenalkan kepada para pendidik. Tidak seperti
ilmu Syari‘ah lainnya, tasawwuf adalah ilmu yang mengalami perkembangan yang luas
dan terkadang tidak terkawal. Dalam menggambarkan hal ini, al-Attas (2006:96)
mengatakan bahwa seseorang itu mesti dapat membedakan antara aspek positif tasawwuf
daripada aspek negatifnya. Menurutnya aspek negatif tasawwuf sebenarnya tidak
merujuk kepada tasawwuf yang sebenar. Al-Attas (2001: 96) mendefinisikan tasawwuf
sebagai pengamalan Syariah dalam maqam ihsan. Baginya tasawwuf membentuk dimensi
ruhani Islam di mana organ yang digunakan juga adalah organ spiritual (fu’ad, qalb).
Dimensi dalaman ini menuntut seseorang pergi lebih jauh daripada sekedar pengamalan
luaran.
Muhammad al-Ghazzali (tt: 103) juga telah mencoba melakukan tajdid terhadap tasawuf.
Persoalan utama yang ingin diatasi olehnya adalah bagaimana mengeluarkan tasawwuf
dari ‘gua pertapaan’ sehingga ia dapat menjadi kekuatan yang menggerakkan.
Muhammad al-Ghazali (tt:104) menjelaskan bahawa konsep ihsan yang ditekankan
dalam hadist tidak seharusnya dibatasi pada ibadah khusus saja. Hadist lain menuntut
bahwa Allah Swt. mewajibkan hambanya berlaku ihsan pada setiap perkara yang
dilakukan.
Berangkat daripada hadist ini Muhammad al-Ghazali (tt: 105) mengatakan adalah
tanggungjawab setiap Muslim untuk memastikan segala tindakannya, pekerjaan yang
dipilihnya, bidang yang digelutinya dilakukan dengan sebaik mungkin untuk menjamin
kualitas dan tahap kecemerlangan yang tertinggi. Bahkan menurutnya, pelaksanaan fardu
kifayah tersebut akan menentukan setiap Muslim dapat melaksanakan fardu ‘ain. Dengan
demikian tidak ada alasan umat Islam ketinggalan dalam bidang sains, teknologi, militer,
ekonomi dsb. Kerena apabila wujud sikap untuk berbuat yang terbaik (ihsan) dalam
melakukan setiap perkara maka umat Islam tidak akan ketinggalan dan mundur seperti
sekarang ini (Muhammad al-Ghazali, tt:106)
Di Nusantara, telah muncul seorang ilmuwan besar yang telah mencuba untuk
memurnikan ajaran tasawwuf. Hamka (2005:21) menyadari bahawa perkembangan Islam
di Indonesia dan di dunia Islam umumnya telah dipengaruhi oleh ajaran tasawwuf yang
menyeleweng. Dalam menanggapi hal ini antara lain Hamka mengatakan:
“Di dalam zaman kekacauan pikiran, lantaran kurang baiknya ekonomi, sosial dan
politik; kerapkali timbul kerinduan ummat hendak melepaskan fikiran dari pengaruh
kenyataan, lalu masuk ke dalam daerah khayalan Tasauf”.
Menurut Hamka (2005:153), orang pertama yang menyerukan tajdid tasawwuf di
Nusantara adalah Ahmad Khatib bin ‘Abdul-Latif al-Minangkabawi yang mengajar di
Mekah. Beliau telah menentang keras amalan-amalan ahli tariqat terutamanya tariqat al-
Naqshbandiyyah yang menghadirkan guru-guru tariqat ketika permulaan suluk. Menurut
ulama’ ini perbuatan seperti itu adalah syirik. Sebagai kesimpulan Hamka menyarankan
agar tasawwuf dikembalikan kepada pokok pangkalnya yaitu Tauhid.
Perlu dijelaskan bahwa dalam seseorang itu mempelajari tasawuf di abad modern ini
tidak semestinya bertariqat. Karena tasawwuf tidak hanya tertumpu pada zikir, suluk,
mujahadah, salasilah dan kuantiti ibadah khusus yang banyak tetapi yang lebih penting
adalah pemahaman dan penghayatan terhadap hakikat ajaran tasawwuf. Hakikat
tasawwuf ialah hidupnya hati nurani dan jiwa manusia yang senatiasa sadar akan hakikat
dirinya, dan hakikat ketuhanan dalam setiap amal perbuatannya (Hamka, 2005: 17).
Seorang sufi melihat segalanya berasal daripada Allah Swt, dengan kuasa Allah Swt. dan
akan kembali kepada Allah Swt. Seorang sufi tidak terpikir untuk melepaskan dirinya
dari tunduk kepada Syariah, justru dia akan sentiasa memelihara diri daripada perkara-
perkara yang ditegah oleh Syari‘ah.
Hasan Al-Banna (dalam Hawwa: tt: 116), pengasas al-Ikhwan al-Muslimin,
memperkenalkan sistem usrah untuk menjadikan tarbiyyah ruhiyyah sebagai asas
pembangunan pejuang dakwah. Jelas sekali bahwa Ia melakukan penggabungan antara
tasawwuf dan fiqh al-harakah. Tasawwuf tidak menjadi tujuan tetapi alat untuk
membentengi diri dan memperkuat barisan. Tasawwuf yang ingin diketengahkan di sini
bertujuan untuk meningkatkan kerohanian dan mendidik jiwa para da‘i sebelum mereka
berperanan sebagai pembimbing masyarakat. Sebagai seorang da‘i tasawwuf dapat
menjadi sumber kekuatan, semangat dan daya juang yang sangat diperlukan dalam
penyebaran dakwah.
Kesimpulan
Tasawwuf di abad modern semestinya dikembalikan kepada fungsinya yang asal yaitu
sebagai satu kaedah untuk membina manusia rabbani, manusia yang unggul. Suatu jalan
yang membina hubungan manusia dengan Tuhannya dan masyarakat sekelilingnya. Ia
juga berperan untuk menyeimbangkan kehidupan manusia karena keseimbangan jasmani
dan rohani yang dapat menjamin kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Sufi-sufi
modern tidak anti dunia melainkan terlibat dalam dunia.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya’ ‘Ulum al-Diin. ‘Ammin: Maktabah Fayyai, t.t.
(Terjemahan)
Hamka, Tasawwuf: Perkembangan dan Pemurniannya, cetakan ke-20, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 2005.
Ibn Khaldun, Muqaddimah al-lamah Ibn Khaldun. Beirut: Dar al-Fikr, 2004.
Nasr, Seyyed Hussain, Tasawuf Dulu dan Sekarang, penterjemah Abdul Hadi. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991.
Nursi, Said, Menikmati Takdir Langit, diterjemahkan oleh Fauzy Bahreisy dan Joko
Prayitno. Jakarta: Murai Kencana, 2003.
Al-Qaradawi, Yusuf, Thaqifat al-Din’iyah. Kaherah: Maktabah Wahbah, 1996.
Rahman, Fazlur, Islam. Chicago: University of Chicago Press, 1979 (Terjemahan)
Siddiq Fadzil, Perspektif Qur’ani: Siri Wacana Tematik. Kajang: Biro Dakwah dan
Tarbiyah ABIM Pusat, 2003.
Toto Tasmara, Kecerdasan Rohaniah (transcendental Intelligence). Jakarta: Gema Insani
Press, 2001.
Jalaluddin Rahmat, Tasawwuf dalam al-Qur’an dan Sunnah, dalam Sukardi (Ed.),
Kuliah-kuliah Tasawwuf, (Bandung: Pustaka Hidayah:2000).

Anda mungkin juga menyukai