A. Pendahuluan
Kalangan sarjana pemerhati dunia tasawuf lazim mengakui bahwa masa
keemasan tasawuf mencapai puncaknya pada abad 3-4 H/9-10 M. Mereka lupa,
bahwa keemasan Islam, yang sudah tentu merupakan puncak kehidupan sufistik, pada
masa hidup Nabi Muhammad Saw, terutama pada periode Madinah. Rasulullah Saw
bersabda: “Sebaik-baik masa adalah masaku” (HR. Muttafaq ‘Alaih).1
Memang betul, bahwa tasawuf sebagai ilmu telah mengalami kesempurnaan
pada abad 3-4 Hijriyah. Tasawuf yang bukan ilmu, bukan teori, bukan pula wacana.
Tetapi tasawuf yang berarti “hidup dalam hubungan yang intim dan mesra dengan
Allah Swt”.
Tasawuf sendiri bukanlah hal baru dalam peradaban Islam. Ia sudah ada dan
menjadi dasar ajaran Islam sejak zaman Nabi. Dalam pandangan Ibn Khaldun (w. 808
H/1406 M), sejarawan dan sosiolog terkemuka pada masanya, fenomena sufisme
merepresentasikan apa yang ditegaskan oleh Abu Abd al-Rahman al-Sulami dalam
Thabaqah al-Shufiyah. Menurut Ibn Khaldun, fenomena sufisme merupakan
kesinambungan tradisi Rasulullah Saw yang terpelihara turun temurun. Fenomena
sufisme merupakan mainstream Islam semenjak masa awal, hingga orang-orang
kemudian terpengaruh gemerlapnya dunia. Al-Thusi dalam al-Luma’ juga
menceritakan hal yang sama; bahwa sufisme menjadi kaum minoritas tatkala
mainstream umat Islam hanyut bergelimang keduniaan.2
Bertasawuf adalah berislam itu sendiri. Keduanya menyatu dan manunggal,
tidak bisa dipisahkan. Tak bisa lagi dibedakan mana akar dan mana cabang.
Bertasawuf dan berislam adalah pengalaman hidup itu sendiri—yang telah
mengalami ‘kelahiran kembali’.
Pengalaman hidup dengan kelahiran kembali mengantarkan manusia pada
rekonstruksi total terhadap tradisi keagamaan yang diwarisi. Menemukan kemurnian
ajaran Nabi Muhammad Saw dalam kesejatiannya—sebagaimana ditampilkan oleh
Al-Quran—terbebas dari formulasi madzhab dan aliran pemikiran yang saling
bertentangan dan menyalahkan. Tasawuf, bagi Muhammad Nursamad Kamba, bukan
sekedar aspek esoteris dalam agama. Bukan pengertian yang hanya bisa dipahami
oleh kelompok tertentu, atau bahkan tidak bisa sama sekali. Tasawuf ialah esensi
agama itu sendiri.3
Agama Islam adalah agama tauhid. Yang paling utama dan paling awal harus
ditauhidkan bukanlah keyakinan dan kepercayaan akan keesaan Allah secara teologis,
1
Berbagai peristiwa dalam keseharian Rasulullah bersama para sahabatnya merupakan
fenomena spiritual yang dapat dinilai sebagai peristiwa supranatural, yang hanya bisa dialami oleh
mereka yang berjalan tiada henti menuju kesempurnaan di sisi Allah.
2
Lihat Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, ed. Abdullah Muhammad Darwisy (Damaskus: Dar el
Balakhi, 2004), 225: dan juga al-Thusi, Al-Luma’, ed. Abd el Halim Mahmoud dan Thaha Abd el Baqi
Surur (Cairo: Dar el Kutub el Hadietsah, 1960).
3
Muhammad Nursamad Kamba, Kids Zaman Now Menemukan Kembali Islam (Tangerang:
Pustaka Iman, 2018), viii.
melainkan ketiga dimensi agama; Islam, Iman, dan Ihsan. Ketiganya harus bersatu
padu untuk merealisasikan tauhid. Menurut Syaikh Abdul Halim Mahmud,
mengesakan atau menauhidkan Allah tidak bisa direalisasikan dengan hanya sekedar
mengatur dalil argumentasi rasional, atau bahkan dengan melakukan ritual-ritual
tertentu sekalipun. Tauhid ialah merealisasikan agama dalam tiga dimensi secara
bersamaan dan simultan (Al-Tauhid al-Khalish, 1985).4
Ilmu yang mengajarkan bagaimana memadukan antara pikiran dan hati,
memadukan dimensi-dimensi Islam, Iman, dan Ihsan, bagaimana merealisasikan
ketulusan dalam beragama hanya kepada Allah, ialah tasawuf. Ini yang dicatat oleh
Maulana Rumi, setelah bertahun-tahun melakukan telaah dalam pengajaran teologis
di mana ia menjadi sangat mengenal Al-Quran, yurisprudensi, hadis Nabi, dan
kesusastraan Islam. Rumi menemukan bahwa pengetahuan skolastiknya tidak
memenuhi kepuasan spiritualnya. Ia menyadari bahwa ada jalan lain menuju
penyingkapan yang tidak kasatmata bagi kebanyakan pemikir skolastik. Itulah jalan
tasawuf.
Tasawuf ialah berakhlak ketuhanan sebagaimana hadis Nabi: “Takhalqu bi
akhlaqillah”. Orang yang berakhlak ketuhanan mempersonifikasikan asmaul husna:
tulus ikhlas seperti Allah mencipta dan memberi tanpa pamrih, atau seperti Allah
Yang Mahakuasa, Mahakuat, Maha Perkasa, tetapi peduli terhadap anak-anak yatim
dan kaum duafa.
Sufisme memahami bahwa fungsi agama dan esensinya adalah
“membangkitkan kesadaran manusia untuk kembali kepada Tuhan”. Agama
diturunkan untuk menjemput manusia menuju Tuhan. Tujuannya menjadikan
manusia sebagai khalifah, sebagai refleksi sifat-sifat Tuhan yang menjadi sumber
kebaikan. Agama bukan tujuan, melainkan alat atau jalan menuju Tuhan.
“Ketahuilah, bahwa agama hanya untuk Allah semata” (QS. al-Zumar: 3).
Tujuannya adalah Tuhan semata, yang karena refleksi sifat-sifat keagungan-Nya pada
diri manusia, maka tersebarlah kebaikan di muka bumi. Ini berarti merealisasikan
janji Allah kepada para malaikat bahwa manusia akan melakukan tugas
kekhalifahannya dengan baik. Bagi seorang pejalan (salik), syariat dan hakikat
menyatu padu; syariat adalah hakikat adanya, dan hakikat adalah syariat adanya.
Tanpa kebersatuan dan kepaduan ini, kualitas dan nilai pengabdian akan berkurang.
Tumbuhnya akal sehat dan bangkitnya nurani untuk mewujudkan intuisi
keagamaan yang tajam akan mengantarkan manusia pada dunia tasawuf—yang
seluruhnya adalah totalitas intimasi dan kemesraan dengan Tuhan. Para guru dan
master tarekat mengajarkan, bahwa prasyarat utama tasawuf adalah merealisasikan
dasar-dasar agama secara berkualitas dan berkesinambungan, melalui apa yang dalam
agama disebut pengabdian-pengabdian yang difardukan maupun disunnahkan.5
Meski --bagi para pengamal-- tasawuf hanya satu yakni pengalaman spiritual
dan penghayatan keagamaan serta tidak menerima kategorisasi karena ia merupakan
pengalaman yang utuh melibatkan seluruh potensi diri, jiwa, dan ruh; melibatkan pula
seluruh potensi intelektual, psikis, dan spiritual. Namun untuk tujuan kajian
4
Kamba, Kids Zaman Now, 54.
5
Kamba, Kids Zaman Now, 102.
akademik, kategorisasi justru sangat penting sesuai dengan kepentingan-kepentingan
analisis. Maka muncul berbagai perspektif dalam kajian tasawuf. Ada perspektif
psikologi misalnya, ada perspektif filsafat, dan ada pula perspektif etika. Dalam
perspektif filsafat lebih lanjut dikenal ada kategorisasi ‘tasawuf falsafi’ dan ‘tasawuf
sunni’ atau ‘tasawuf amali’.
Termasuk dalam kaitan ini tasawuf klasik dan tasawuf kontemporer atau yang
dimodernisasikan. Gagasan modernisasi tasawuf sudah muncul sejak lama seiring
dengan gelombang dan arus pembaruan pemikiran agama dan modernisasi di dunia
Islam. Sesuai dengan karakteristik gerakan pembaharuan pemikiran yang mengadopsi
pendekatan dekonstruksi dan rekonstruksi pemikiran, maka dunia tasawuf terutama
yang berhubungan dengan praktik-praktik ritual tradisional mendapat kritik tajam,
bahkan ada yang menuduh tasawuf sebagai biang keladi kemunduran umat Islam.
Sebutlah misalnya, sebagai contoh praktik ‘pengkultusan’ guru/syaikh/mursyid dari
sejak masa hidup hingga sesudah wafatnya, dinilai sebagai ajaran menyimpang dan
irasional yang mengebiri potensi intelektual umat, dan menghalangi untuk dapat
berpikir positif dan mengatasi permasalahan-permasalahan hidup dan kehidupan
secara realistis.6
8
Kamba, Kids Zaman Now, 132.
9
Kamba, Kids Zaman Now, 134-36.
10
Kamba, Kids Zaman Now, 125.
1. Tasawuf Transformatif
Salah satu karya terbesar dan terpenting untuk tasawuf kontemporer adalah
karya Robert Frager berjudul: Heart, Self & Soul, The Sufi Psychology of Growth,
Balance, and Harmony (Quest Book, 1999). Buku ini diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia dengan judul Psikologi Sufi untuk Transformasi Hati, Diri & Jiwa
(Serambi, 2002). Signifikansi uraian-uraian Frager tidak saja pada menjelaskan relasi
ilmu tasawuf dengan psikologi terutama transpersonal psychology tetapi juga
pendekatan transformatif sufisme dalam perkembangan, keseimbangan dan
keselarasan jiwa.
Berdasarkan karakter transformatifnya, maka sufisme menjadi jawaban utama
atau mungkin menjadi solusi bagi banyak problematika manusia modern. Sebutlah
misalnya pengalaman hidup berupa kehampaan dan rasa kesia-siaan yang mendera
manusia modern akibat penghargaan yang berlebihan pada materialisme, konflik
batin yang menjadi laten pada diri mereka akibat kesombongan intelektual untuk
menundukkan alam, sementara alam sendiri enggan ditundukkan. Semakin maju
teknologi penanggulangan bencana semakin intensif pula bencana alam yang
menimpa. Ironisnya, jalan keluar yang ditawarkan oleh peradaban modern melalui
dunia hiburan malah menambah problema baru. Sedangkan problema lama tidak
teratasi. Akhirnya problemanya semakin terakumulasi.
Dalam Al-Quran disebutkan bahwa Allah mengeluarkan manusia dari
berbagai kegelapan menuju cahaya (minazhzhulumat ilannur). Dalam Al-Quran Nabi
pun dijuluki sebagai sosok yang mengajak kepada Allah, dan sebagai obor dan pelita
yang menerangi jalan. Lebih spesifik peristiwa hijrahnya Nabi menggambarkan
risalah transformatif Islam yang benar-benar melahirkan struktur sosial masyarakat
baru di Madinah. Artinya, bukan hanya konsep transformatif melainkan ajaran yang
melahirkan gerakan menuju peradaban manusia yang sesungguhnya.
Sufisme menjabarkan ajaran transformatif Islam melalui konsep takhalli,
tahalli, dan tajalli. Takhalli ialah meninggalkan sifat-sifat tercela yang melekat pada
diri seperi iri, dengki, dendam, kikir, dan semacamnya. Ajaran transformatif Islam
sebagaimana yang dijabarkan dalam ketiga konsep tersebut dikemas para sufi dalam
proses tazkiyatunnafs. Yaitu ajaran yang paling awal dilakukan oleh Rasulullah Saw
sebagaimana yang dipahami dari kisah syarhusshadr (operasi belah dada), yang tiada
lain tujuannya adalah melepaskan diri dari hasad, dengki, iri dan curang selanjutnya
mengisi jiwa dengan sifat-sifat lemah lembut, lapang dada, dan akomodatif. Tujuan
utama pembersihan jiwa dalam kaitan ini adalah agar mampu menerapkan sikap
amanah dalam mengembangkan profesi.
Sebelum menjadi Islam bersihkan diri dulu dari hasad, dengki, iri, dan curang.
Sebelum menjadi Islam miliki dulu sifat-sifat lemah lembut, lapang dada, akomodatif,
dan respek. Intinya, untuk menjadi muslim yang baik dan paripurna haruslah
memiliki sifat amanah (jujur dan bertanggung jawab). Tanpa melakukan
tazkiyatunnafs ini, Islam kita akan menjadi hanya sekedar nama dan tidak dapat
memperoleh keunggulan-keunggulan yang dijanjikan dalam Kitab Suci Al-Quran
baik di dunia maupun di akhirat.
Inilah ajaran paling esensial dalam Islam, ajaran transformatif yang
dikembangkan sufisme melalui konsep takhalli, tahalli, dan tajalli. Ajaran yang
mengefektifkan iman menjadi sistem kehidupan yang dinamis, harmonis dan
berkeseimbangan. Iman yang menyentuh hati sebagai akibat ‘tersetrumnya’ hati oleh
Allah Swt, yang menjadikan hati mengalami tranformasi intelektual, psikis, dan
spiritual sebagaimana ditegaskan dalam Hadis Qudsi “...Dan jika Aku mencintai
hamba-Ku maka akulah pendengaran yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah
penglihatan yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangan yang dia pergunakan
untuk menyergap, dan Akulah kaki yang dia gunakan untuk berjalan...”. Al-Junaid
menggambarkan proses ‘setrum’ Allah sebagai kematian dan kelahiran kembali.
Ibarat hujan menyentuh bumi, menciptakan getaran-getaran agar tanah menjadi subur
dan menumbuhkan tanaman. Setrum Allah pun menciptakan getaran-getaran di
seluruh relung jiwa manusia, bahkan gejalanya bisa terlihat pada reaksi fisik.
“Demikianlah Allah menghidupkan hati yang mati”; kata al-Junaid.
Mengapa Nabi Muhammad Saw harus mengalami proses begitu panjang dari
pra kondisi hingga masa fatrah? Tidak seperti Isa as atau Musa as ataupun nabi-nabi
sebelumnya yang tidak perlu mengalami proses sepanjang itu. Latar belakang
Muhammad yang pedagang dan pengusaha sukses menjadikan proses-proses ini
semakin tidak relevan tetapi nyatanya justru terjadi pada diri Muhammad Saw. Inilah
pelajaran penting dalam proses transformasi spiritual. Ibarat transplantasi diperlukan
waktu bagi seluruh potensi diri untuk menyesuaikan diri, karena transformasi spiritual
seharusnya terjadi secara alami.11
Dan kekuatan potensi-potensi inilah yang kemudian membentuk perilaku
bahkan karakter unggul yang tak tertandingi sekaligus daya tahan yang tak pernah
luntur. Keunggulan-keunggulan tersebut telah diperlihatkan oleh Nabi sepanjang
hidupnya. Keunggulan-keunggulan itu pula yang dipraktekkan oleh para sufi
sepanjang zaman. Adakah kepribadian yang dapat menandingi keunggulan seorang
Muhammad, yang selama bertahun-tahun di Mekkah dicemooh, dihina, dinista,
diolok-olok, dan bahkan disiksa secara fisik tapi tak pernah sekalipun kehilangan
daya kontrol. Tak pernah kasar walau dalam tutur kata sekalipun. Tak pernah putus
asa sedikitpun. Beliau contoh teratas tentang kegigihan dalam perjuangan.
Al-Junaid menyatakan: “Berkat kekuatan spiritual itu maka manusia mampu
menerjang rintangan apapun”. Masih menurut al-Junaid, bahwa “fungsi kekuatan
spiritual adalah mempertajam pandangan terhadap hakekat kebenaran sejati dan
memperkuat kehendak untuk menerapkan kebenaran itu”. Dengan kata lain, kekuatan
spiritual merupakan motor penggerak dari segala aktifitas yang memberi keunggulan
dan ketangguhan manusia.
Ini mempertegas sekali lagi bahwa pendekatan transformatif sufisme
sesungguhnya adalah penjabaran rinci tentang misi transformatif Islam untuk
memperlihatkan keunggulan manusia yang memang selayaknya diapresiasi oleh para
11
Dalam kaitan ini, menarik sekali penfsiran al-Qusyairi dalam lathaiful isyarat terhadap QS.
Ibrahim: 48, “(yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula)
langit, dan meraka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha
Esa lagi Maha Perkasa”, mengenai transformasi seluruh potensi diri dengan mengisyaratakan sebuah
syair:
“Tak lagi orang-orang yang kukenal selama ini
Tidak juga negeri dengan wajah yang tampak sebelumnya”.
malaikat sesuai perintah Allah dalam kisah penciptaan sang khalifah. Inilah sunnah
Nabi yang sesungguhnya, yang jika dipedomani maka orang menjadi umat
Muhammad Saw. Transformasi spiritual yang melahirkan keunggulan-keunggulan
manusiawi demi kebaikan hidup dan terpeliharanya bumi dari kerusakan-kerusakan
dan pertumpahan darah. Keunggulan-keunggulan itulah yang dibanggakan oleh Allah
dalam Al-Quran sebagai umat terbaik, bukan karena sekedar tergabung dalam
‘Paguyuban’ Islam melainkan setelah mengalami transformasi spiritual.
2. Tasawuf Sebagai Pemaknaan Hidup
Selain pendekatan transformatif, sufisme juga mengajarkan pemaknaan. Yaitu
ajaran yang sudah barang tentu terkait dengan fungsi kekhalifahan manusia.
Keberadaan manusia menurut Al-Quran bukanlah hal yang sia-sia melainkan untuk
suatu tujuan yang agung dan mulia; yakni hidup dalam suasana ihsan, selalu tampil
terbaik karena merefleksikan sifat-sifat Ilahiah dan menjadi sumber kebaikan bagi
kehidupan.
Para sufi mengajarkan cara pemaknaan dengan memahami fungsi
kekhalifahan manusia. Kisah penciptaan manusia beserta dialog yang menemaninya
oleh para Malaikat dan Iblis menegaskan satu hal bahwa pada akhirnya manusia
diharapkan menjadi kebanggaan Allah dengan menjadi sumber kebaikan, bukan
sumber kerusakan dan pertumpahan darah.
Allah menguraikan proses penciptaannya sebagai makhluk yang unik, hingga
para malaikat dan jin memandang aneh. Mereka bertanya kepada Allah mengapa
Engkau menciptakan manusia yang suka pertumpahan darah dan membuat kerusakan
di bumi? "Aku tahu yang kalian tidak tahu", jawab Allah. Mengapa malaikat
langsung dapat mengetahui perilaku manusia yang suka pertumpahan darah dan
menciptakan kerusakan di bumi, karena mereka melihat bentuk fisik sang makhluk
yang akan diciptakan itu. Lalu, mengapa pula Allah mengisahkan 'protes' mereka
dalam konteks ini, karena Allah ingin mengisyaratkan bahwa sepanjang manusia
berkutat pada fisik dan materi maka mereka akan melakukan pertumpahan darah dan
menciptakan kerusakan di bumi.
Pengetahuan malaikat dan jin tentang manusia hanya sebatas yang tampak
saja. Hanya sebatas jasad, fisik dan tidak mengetahui rahasia dan potensi yang paling
dahsyat yang ada pada Ruhnya. Bukankah Allah yang meniupkan "dari Ruh-Nya
kedalam diri manusia". Allah menginginkan sang manusia menjadi khalifah untuk
memakmurkan bumi. Karena itu Allah memamerkan atau semacam mempromosikan
sang makhluk baru dan unik ini dengan cara mengajarkannya nama segala sesuatu.
Dan tatkala Adam, bapak awal sang manusia dapat menyebutkan segala nama di
hadapan para malaikat dan jin, kemudian Allah memberi isyarat kepada mereka untuk
sujud hormat, kecuali sang Iblis yang enggan bersujud karena pemahaman tauhidnya
tidak dapat mentolerir ada sesuatu selain Allah yang ia harus sujud kepadanya. Ia
lupa bahwa sujud tidak serta merta berarti menyembah tetapi bisa berarti hormat
sekedar apresiasi, bukan kepada Adam sendiri melainkan kepada Allah yang sangat
kreatif menciptakan makhluk unik, yang diberi nama insan atau basyar, yakni
manusia tersebut. Unik karena dari sisi fisiknya sangatlah lemah, tidak memiliki nilai
apa-apa bahkan selalu terancam kepunahan, apakah karena ancaman tidak mampu
bertahan melawan bencana alam juga terancam karena ulahnya sendiri.
Dari sinilah kemudian lahir semacam kompetisi yang diciptakan Allah pada
diri sang Iblis seolah menantang Allah dan Allah menerima tantangannya. Allah akan
membuktikan bahwa manusia layak memperoleh apresiasi dan penghormatan atas
keberadaannya yang unik, sedangkan Iblis ingin membuktikan bahwa manusia tidak
ada nilainya, bahkan hanya akan membawa kerusakan dan kepunahan wujud ini.
Allah memberi bekal kepada manusia dengan tiupan Ruh dari-Nya yang akan
memberikan potensi besar baginya untuk melakasanakan tugas kekhalifahan. Tapi
Allah juga mengabulkan permintaan Iblis untuk menggoda manusia agar tidak
mampu menggunakan potensi yang menjadi bekalnya dari Allah tersebut.
Apa yang akan terjadi? Apakah manusia dapat membanggakan Allah,
maksudnya membuat Allah bangga dan tidak mengecewakan-Nya, ataukah Iblis akan
berdansa merayakan kemenangannya?
Menurut al-Junaid, ada dua cara Allah memberikan dukungan kepada
manusia, di samping adanya program kesadaran yang disinggung tadi:
1) Pewahyuan melalui Nabi/Rasul;
2) Membisikkan kebaikan dalam jiwa.
Setiap manusia membawa potensi kebaikan yang tertanam jauh dalam lubuk
hatinya. Potensi tersebut tidak muncul gara-gara tertutupi oleh berbagai
kecenderungan hawa nafsu yang didukung oleh setan. Dari sini dapat dipahami
bahwa Allah menurunkan agama dengan tujuan membangkitkan potensi kebaikan
dalam diri manusia tersebut. Ini yang ditegaskan dalam QS. al-Anfal: 24. 12 Menurut
al-Junaid, respon manusia terhadap ajakan Allah dan Rasul-Nya adalah dengan
merasakan indahnya ajakan itu. Dapat merasakan sentuhan yang membuat 'jatuh
cinta' kepada Allah sehingga rela meninggalkan apapun demi menggapai-Nya. Apa
saja indikatornya seseorang telah merasakan sentuhan batin yang membuat jatuh cinta
kepada Allah? Imam al-Junaid menjelaskan tiga indikatornya:
1) Memeriksa apakah dirinya berada pada posisi yang membuat Allah restu
padanya?
2) Melakukan koreksi total terhadap hal-hal yang tidak layak bagi seseorang
yang direstui Allah;
3) Melihat dan menyaksikan betapa segala sesuatu terjadi atas 'aktifitas'
Allah jua.
Indikator pertama dikenal secara populer dengan istilah muraqabah dan yang
kedua disebut muhasabah, sedangkan yang ketiga disebut musyahadah. Ketiga
indikator tersebut mengantarkan manusia kepada pemaknaan hidup yang tidak hanya
sekedar pelarian dari kehampaan spiritual tetapi --yang lebih penting adalah--
menghargai posisi dan peran apapun yang dijalani seseorang dalam kehidupan.
Keberadaan manusia sebagai khalifah Allah dalam mengelola bumi mewajibkan
manusia merawat batin dan kekuatan spiritualnya. Jika tidak, maka ia telah
12
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa Sesungguhnya
Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan
dikumpulkan”.
mengabaikan tugasnya dan dengan begitu keberadaannya menjadi sia-sia. Tugas
kekhalifahan ialah menjadi asisten Allah di bumi untuk tersebarnya kebaikan.
Seseorang yang dianugerahi iman yang menyentuh hati akan memaknai
keberadaannya pada setiap situasi dan kondisi dengan pemaknaan bahwa Allah jua
yang menempatkannya pada posisi itu. Maka ia melakukan pekerjaannya dengan
sebaik-baiknya dan memberi pelayanan semaksimal mungkin karena ia sadar sedang
mewakili Allah dalam posisi pekerjaannya tersebut atau jabatannya. Al-Junaid
menafsirkan ayat 29 QS. al-Rahman13 dengan gagasan ini: bahwa seseorang yang
memberikan pelayanan kepada sesamanya berarti sedang mewakili Allah dalam
urusan hamba-hamba-Nya.
3. Kembali Kepada Kesejatian Diri
Pemaknaan hidup seperti yang diutarakan di atas membutuhkan sikap kembali
kepada kesejatian manusia. Tasawuf mengajarkan kesejatian tersebut. Karena itu
tasawuf, sejatinya, bukan sekedar ilmu, bukan aliran pemikiran, bukan pula wacana
atau teori-teori apalagi golongan-golongan. Melainkan, tasawuf adalah “perjalanan
menuju Allah”. Mempelajari tasawuf tidak serta-merta menjadikan seseorang
bertasawuf. Bahkan, bergabung dalam paguyuban tarekat tidak serta-merta membuat
seseorang menjadi Sufi.
Tasawuf bagi al-Junaid adalah “perjalanan (sayr) menuju Allah”. Seseorang
bertarekat secara formal belum tentu disebut sedang “berjalan menuju Allah”, karena
sebuah perjalanan baru dapat dimulai saat ia menjalaninya. Sebaliknya, seseorang
bisa disebut melakukan “perjalanan menuju Allah” meski tidak tergabung secara
formal kedalam suatu paguyuban tarekat. Ini berarti, bukan formalistik perjalanannya
melainkan esensinya.
Esensinya justru muncul ketika manusia menjalin kontak dengan Allah Yang
Maha Absolut. Lagi-lagi kontak dan komunikasi ini tidak dalam bentuknya yang
formalistik seperti mekakukan ritual tertentu atau membaca zikir maupun wirid tetapi
dalam esensinya. Esensi hubungan manusia dengan Tuhan terpatri dalam realisasi dua
kesadaran azali, yakni (1) Ketergantungan pada Tuhan; dan (2) Kerinduan yang
memaksakan diri kepada Yang Maha Sempurna.
Dalam pandangan Imam Junaid, “perjalanan menuju Allah” tiada lain adalah
menempuh maqamat. Ia menjelaskan bahwa hakekat maqam adalah posisi yang
didapatkan hamba ketika berhadapan dengan Tuhan. Maqamat bukan tahapan-
tahapan pendidikan yang dapat dipahami secara linier atau teknik berjenjang.
Maqamat harus dipahami sebagai “siklus dalam proses pendakian spiritual” atau
taqarrub. Posisi maqamat melibatkan kesadaran tentang dua hal di atas
(ketergantungan dan kerinduan kepada Allah).
Al-Junaid menegaskan dalam konsepsi tentang maqamat dan ahwal bahwa al-
taubah lil khawwash sudah mencakup keseluruhan maqam lainnya. Taubat
merupakan aktivitas yang dilakukan dalam seluruh perjalanan pendakian spiritual.
Dalam tasawuf memang terdapat beberapa latihan pendakian spiritual melalui praktek
zuhud, tawakkal, sabar, rida dan sebagainya, tetapi semuanya ini terkait dengan
13
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadanya. Setiap waktu Dia dalam
kesibukan”.
taubat. Seseorang dapat melakukan praktek zuhud, tawakkal, sabar, rida ketika ia
mencapai puncak kesadaran taubatnya; kemudian ketika ia merealisasikan praktek
zuhud ia pun melakukan taubah secara berkesinambungan.
Setiap salik yang berhasil merealisasikan esensi taubah maka secara otomatis
memiliki sifat-sifat zuhud, tawakkal, sabar, rida dan berbagai maqamat di Sisi Allah.
Maka hakekat tasawuf adalah maqamat dan hakekat maqamat adalah taubah dan
taubah adalah hakekat inabah (kembali kepada Allah). Dalam hal ini al-Junaid
menegaskan "seseorang tidak akan sampai kepada makrifat sebelum melampaui
maqamat dan ahwal".
Jadi, taubat menjadi “awal” dari seluruh proses sekaligus “menyertai” seluruh
perjalanan. Jika perjalanan itu dari tahap satu ke tahap dua, maka awal tahap satu
adalah taubat dan akhir dari tahap satu adalah taubat juga seraya taubat (akhir tahap
satu ini) menjadi awal bagi tahap kedua. Begitu seterusnya, sehingga dapat dikatakan
bahwa maqamat al-ahwal merupakan perjalanan dari taubat ke taubat atau “siklus
taubat”. Siklus ini dapat dihubungkan dengan kategorisasi atau anatomi jiwa mulai
dari qalb, fuad, sirr, sirr al-asrar, nur, nurul anwar hingga tiada akhir.
Pada umumnya, kita memahami taubat sebagai kegiatan penyesalan dan
permohonan maaf atau permohonan ampun kepada Allah. Menurut Imam Junaid,
pengertian taubat seperti itu masih bersifat awam, belum yang dimaksudkan sebagai
esensi atau hakikatnya. Taubat bukan sekedar istigfar. Membaca istigfar ribuan kali
kalau hanya sekedar membaca tetap tidak menyentuh esensi taubat, apalagi kalau
hanya dikaitkan dengan permohonan ampunan atas dosa-dosa.
Al-Junaid menjelaskan bahwa taubat yang dilakukan oleh ahl al-khawwash
adalah saat mengalami syahadah al-tauhid, yakni pengalaman “menyaksikan keesaan
Allah”namun sekaligus “tidak menyaksikan”. Pada saat seseorang seolah sudah
sampai pada puncak pencapaian spiritual, ia seolah menyaksikan keesaan Allah lalu
secara besamaan Allah memperlihatkan kepadanya bahwa seluruh kenyataan,
pengalaman, atau kesaksiannya tentang Allah bukanlah “yang telah tercapai” bukan
pula “yang tidak tercapai”. Ibn ‘Arabi menyebutkan maqam ini sebagai antara huwa
dan la huwa. Jadi penyaksian keesaan Allah berada dalam situasi mengalami “Dia”
sekaligus juga “Bukan Dia”. Al-Junaid menyebutnya maqam al-hirah (kebimbangan
spiritual), seperti “telah sampai” namun secara bersamaan ada kesadaran bahwa
situasi itu bukanlah “akhir” dan karenanya “belumlah sampai”.
Situasi ini ada kaitannya dengan maqam--yang disinggung dalam hadis Nabi
—“ka annaka tarahu”. Apa itu maqam ka annaka tarahu? Mari kita simak uraian al-
Junaid mengenai Syahadah al-Tauhid.
Al-Quran menegaskan yang paripurna adalah “kesaksian Allah akan keesaan
Diri-Nya”. Inilah yang disebut tauhid yang murni. Kesaksian tauhid murni tersebut
diperjalankan (yatawalla) oleh Allah kepada para malaikat dan kepada diri orang
yang 'dikaruniai' ilmu (ladunni). Menurut al-Junaid, pada saat kesaksian tauhid
tersebut berlangsung, hamba mengalami keadaan tiada (fana) dan karenanya tidak
menyadari apapun. Saat itu, seluruh sistem pengetahuannya diambil-alih (yatawalla)
oleh Allah. Segera setelah sistem pengetahuannya kembali berfungsi, sang hamba
memperoleh pengalaman "kannaka tarahu", ia “menyaksikan Allah dalam sinar
tawalli”, tapi kesaksiannya itu tidak dominan --hanya semacam kedip cahaya yang
muncul lalu segera menghilang.
Itulah sebabnya al-Junaid menamai situasi ini sebagai al-hirah
(kebimbangan). Pada momen seperti inilah sang sufi beristigfar karena beranggapan
telah “mencapai Allah” padahal Allah tiada berbatas dan karunia-Nya tak terhitung.
Situasi al-hirah ini menerbitkan “ketergantungan” dan “kerinduan” kepada Allah.
Kemudian al-Junaid menegaskan --dalam Adab al-Muftaqir ila Allah-- bahwa setiap
kali hamba mengalami al-hirah, “hamba menanjak kepada maqam berikutnya, dan
demikian seterusnya”.
Dari sini kita dapat memahami perbedaan gambaran mengenai perilaku
istighfar Nabi saw dalam Surat al-Fath dan hadis Nasa’i. Pada surat Al-Fath ayat 2
ditegaskan bahwa Allah “mengampuni dosa-dosa Muhammad baik yang sudah lewat
maupun yang akan datang”. Artinya Nabi Muhammad menjadi orang yang tanpa
dosa. Tetapi dalam salah satu hadis sahih riwayat al-Nasa’i dinyatakan bahwa Nabi
Muhammad melakukan istigfar dan taubat sebanyak 100 kali atau lebih dalam setiap
hari? Kenapa seperti bertentangan, satu sisi tanpa dosa karena sudah diampuni (QS.
Al-Fath;2) sisi lain Nabi Saw terus beristighfar sepanjang harinya?
Jadi, maqam al-taubah adalah kesadaran diri akan ketergantungan kepada
Allah dimana jika tanpa Allah manusia tiada. Inilah esensi la haula wa la quwwata
illa billah (di sini ada dua makna: [a] hanya dengan Allah suatu upaya terlaksana;
dan [2] manakala suatu upaya terlaksana itu berarti atas Kuasa Allah).
Ini hanya bisa dijelaskan dengan mekanisme mi'raj ruhi atau pendakian
spiritual. Beristighfar merupakan pengalaman “mendapat” dan “terlepas” dalam
waktu sekejap. Bila demikian, hadis al-Nasa’i sebenarnya sedang menceritakan
bahwa seolah-olah Nabi ingin mengatakan dirinya terus-menerus mengalami
pendakian spiritual sebanyak 100 atau lebih setiap harinya. Dapat dibayangkan betapa
dalam dan tingginya kesadaran jiwa Rasulullah Saw tentang ketergantungannya pada
Allah dan kerinduannya kepada Sang Maha Sempurna.
Rasa ketergantungan kepada Allah dalam segala hal mengharuskan seseorang
untuk menyesuaikan diri dengan kehendak Allah. Logika ketergantungan kepada
Allah berasal dari Sifat Allah Yang Maha Mencipta. Setiap makhluk ciptaan Allah
tidak memiliki eksistensi (wujud) yang independen dan terpisah dari Pemeliharaan
Allah. Ini berarti bahwa tanpa Pemeliharaan Allah pada hakekatnya makhluk menjadi
sirna dan tiada. Hal ini mengharuskan makhluk selalu menjalin hubungan tiada henti
dan tanpa batas dengan Allah, Sang Maha Pencipta. Barangkali, inilah salah satu
makna esensial dari kegiatan bertasbihnya seluruh makhluk. Dalam Al-Quran Allah
menjelaskan bahwa “Segala sesuatu bertasbih, namun kalian tidak mengerti tasbih
mereka” (QS. al-Isra: 44). Tujuh langit dan bumi beserta segala isinya bertasbih
kepada Allah. Artinya, menjalin hubungan tiada henti. Tasbih adalah kepatuhan dan
ketundukan kepada aturan Allah. Maka, langit, bumi, gunung-gunung, pepohonan,
tumbuh-tumbuhan, hewan dan segenap makhluk berjalan sesuai dengan aturan Allah.
Mereka bertasbih kepadaNya. Al-Quran menjelaskan “Barangsiapa yang berpaling
dari mengingat Sang Maha Rahman maka Kami membukakan jalan baginya untuk
ditemani oleh syetan” (QS. al-Zukhruf: 36).
Hakekat hidup manusia adalah kembali kepada Allah dengan perjuangan dan
pengorbanan seperti yang digambarkan oleh Maulana Rumi dalam kisah seruling
yang merindukan kembali menjadi bambu. Sebuah kemustahilan tentunya, tapi
cukuplah bagi sang seruling, bagi sang Sufi dan bagi Allah sendiri bahwa segala
pengorbanan dan perjuangan itu menjadi nyanyian rindu seperti yang diprkatekan
dalam kehidupan para hamba sejati. Kehidupan yang terkadang bermakna sebuah
aransmen musik atau kisah cinta sejati atau keindahan sebuah lukisan ataupun sikap
kepahlawanan. Jalan hidup sufistik memahkotai hidup manusia, yang memberi
prestasi bagi kehidupan yang sarat makna dan pembebasan diri dari dunia yang serba
sementara menuju kehidupan bebas, abadi, dan penuh kreatifitas.
Karena rindu maka para sufi mencintai Allah, dan karena cinta Allah
(mahabbah) maka sang sufi merefleksikan sifat-sifat Allah (al-Takhalluq bi
akhlaqillah). Merefleksikan sifat Allah Yang Maha Mencipta dan Maha Memberi
namun tanpa pamrih. Maha Bijaksana dan Maha Perkasa namun tulus setulus-
tulusnya. Pendeknya sang sufi, dengan cinta Allah berusaha merefleksikan bahkan
mempersonifikasikan 'asmaul husna). Barangkali makna inilah yang termuat dalam
pesan QS. Ali 'Imran: 31; bahwa syarat utama untuk mengikuti Nabi Muhammad
Saw adalah mencintai Allah, dan sebaliknya, untuk mencintai Allah haruslah dengan
cara mengikuti Nabi.
Kesimpulan ini sejalan pula dengan persyaratan bagi komitmen niat dalam
melakukan pengabdian apapun bahwa ia harus dilakukan dengan sukarela dan tulus.
Pengabdian apapun yang dilakukan tanpa suka-rela tidak akan pernah tulus.
Pengabdian dengan tanpa ketulusan hanya akan menjerumuskan pelakunya kedalam
sikap riya dan munafik.
Dalam Al-Quran Allah mencela sifat-sifat riya dan munafik karena keduanya
menjadi sumber penyakit-penyakit psikis atau penyakit jiwa yang pada akhirnya akan
menjadi sumber kejahatan dan kerusakan di bumi. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa fungsi agama dan esensinya adalah membangkitkan kesadaran manusia untuk
kembali kepada Tuhan.