Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya dengan faktual,
yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak pernah
boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh
istimewa dalam bidang pengetahuan. Oleh karena itu, filsafat pun harus meneladani contoh
tersebut. Maka dari itu, positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan “hakikat”
benda-benda, atau “penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki
fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta (Praja, 2005).
Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-
satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan
metafisik. Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data
empiris. Karena aliran ini lahir sebagai penyeimbang pertentangan yang terjadi antara aliran
empirisme dan aliran rasionalisme. Aliran positivisme ini lahir berusaha menyempurnakan
aliran empirisme dan rasionalisme, dengan cara memasukkan perlunya eksperimen dan
ukuran-ukuran. Susanto, 2011, Filsafat Ilmu (Jakarta: Bumi Aksara).
Comte sering disebut “Bapak Positivisme“ karena aliran filsafat yang didirikannya tersebut.
Positivisme adalah nyata, bukan khayalan. Ia menolak metafisika dan teologik. Jadi menurutnya ilmu
pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan.
PEMBAHASAN
Biografi Auguste Comte
Auguste Comte memiliki nama panjang Isidore Marie Auguste François Xavier Comte, lahir di Montpelier,
Prancis pada tanggal 19 Januari 1798, dan meninggal di Paris, Perancis, 5 September 1857 pada umur 59 tahun.
Comte kecil tinggal di sebuah kota kecil bagian barat daya dari negara Perancis. Setelah bersekolah disana, ia
melanjutkan pendidikannya di École Polytechnique di Paris (1814), yang kemudian menghantarkannya menjadi
seorang matematikawan yang brilian.[2]
Comte memulai karir profesionalnya dengan memberi les dalam bidang matematika. Meskipun ia telah
memperoleh pendidikan dalam bidang matematika, namun perhatian yang sebenarnya ialah masalah-masalah
kemanusiaan dan sosial. Perhatiannya tersebut kemudian berkembang setelah ia bertemu dengan Henri de Saint-
Simon, seorang ahli teori sosial yang tertarik pada reformasi utopis dan pendiri awal sosialisme Eropa, yang
kemudian mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya.[3]
Dengan Simon, Comte menjalin kerjasama yang erat dalam pengembangan karya awalnya. Namun, setelah tujuh
tahun pasangan ini akhirnya pecah karena perdebatan mengenai kepengarangan karya bersama, dan Comte pun
meninggalkan pembimbingnya tersebut.[4] Namun, walaupun Comte tidak lagi bekerjasama dengan Simon,
pengaruhnya tetap saja melekat sepanjang hidup comte.
Pasca meninggalkan Simon, comte selanjutnya meneliti tentang filosofi positivisme. Rencananya ini
kemudian dipublikasikan dengan nama Plan de travaux scientifiques nécessaires pour réorganiser la
société (1822) (Rencana studi ilmiah untuk pengaturan kembali masyarakat). Tetapi ia gagal mendapatkan posisi
akademis sehingga menghambat penelitiannya.
Sementara Comte sedang mengembangkan filsafat positifnya yang komprehensif, ia menikah dengan seorang
bekas pelacur bernama Caroline Massin. Comte dikenal arogan, kejam dan mudah marah sehingga pada
tahun 1826 dia dibawa ke sebuah rumah sakit jiwa, tetapi ia kabur sebelum sembuh. Kemudian setelah kondisinya
distabilkan oleh Massin, ia mengerjakan kembali apa yang dulu direncanakannya. Namun sayangnya, pada tahun
1842 ia bercerai dengan Massin. Saat-saat di antara pengerjaan kembali rencananya sampai pada perceraiannya,
ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Course of Positive Philosophy.
Pada tahun 1844, Comte menjalin kasih dengan Clothilde de Vaux, seorang wanita yang sedang di tinggal
suaminya. Perasaan Comte terhadap Clothilde cukup besar, namun sayangnya hal itu tak berlangsung lama karena
Clothilde mengidap TBC dan akhirnya meninggal. Hal ini mengakibatkan Comte cukup terguncang, sampai
bersumpah bahwa ia akan membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadari” nya tersebut.
Sifat tulisan Comte umumnya berubah secara mencolok pasca menjalin hubungan dengan Clothilde. Dalam
karya keduanya System of Positive Politics, ia menggagas bahwa kekuatan yang sebenarnya mendorong orang
dalam dalam kehidupannya adalah perasaan, bukan pertumbuhan intelegensi manusia yang mantap. Dia
mengusulkan suatu reorganisasi masyarakat, dengan sejumlah tata cara yang dirancang untuk membangkitkan
cinta murni tanpa egois demi kebesaran manusia. Tujuannya ialah mengembangkan suatu agama yang baru yaitu
agama Humanitas.[5]Dan pada gilirannya ia menyatakan diri sebagai pendiri agama universal, Imam Agung
Humanitas.[6]
Meskipun egois dan egosentris, Auguste Comte mengabdikan dirinya untuk kemajuan masyarakat sampai
akhir hayatnya. Ia meninggal karena kanker perut di Paris pada tanggal 5 September 1857.
a. Positivisme
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar
adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui
penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.
Positivisme, dalam pengertian diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dan juga digunakan
oleh ibn al-Haytham dalam karyanya kitab al-Manazhir. Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme sebagai
sebuah filsafat pertama kali dilakukan Comte.[8]
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang dalam karya utamanya Cours de
Philosophic Positive (1830-1842) yang diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, karya lainnya yakni Discours
L’esprit Positive (1844). Dalam karya inilah Comte menguraikan pendapat-pendapat positivis, hukum tiga tahap,
klasifikasi ilmu-ilmu pengetahuan dan bagan mengenai mengenai tatanan kemajuan.[9]
Dalam kaitannya (positivisme) tentang masyarakat, Comte meyakini bahwa masyarakat merupakan bagian
dari alam, maka untuk memperoleh pengetahuan tentang masyarakat menuntut pengetahuan metode-metode
penelitian empiris dari ilmu-ilmu alam lainnya.[10] Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang
bersifat alamiah sebagai puncak suatu proses kemajuan intlektual yang logis yang telah dilewati oleh ilmu-ilmu
lainnya. Kemajuan ini mencakup perkembangan dari bentuk-bentuk pemikiran teologi purba, penjelasan
metafisik, dan akhirnya sampai terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif.
Melihat kepada perkembangan ilmu alam (natural science) yang dengan penyelidikannya atas prilaku alam,
lalu dapat menemukan hukum-hukum tetap yang dapat berlaku pada alam (hukum alam), Comte kemudian
melakukan copy-paste metodologi ilmu alam tersebut untuk digunakan menyelidiki prilaku sosial, dengan begitu,
menurut keyakinannya akan ditemukan hukum-hukum tetap yang berlaku general pada masyarakat (hukum
sosial).[11]
Comte memulai pekerjaannya tersebut denga melakukan refleksi mendalam terkait sejarah perkembangan
alam pikir manusia. Ia kemudian mendapati bahwa sejarah perkembangan alam pikir manusia terdiri dari tiga
tahap, yaitu teologik, metafisik dan positif, yang akan di jelaskan pada bahagian berikutnya. Dari ketiga tahapan
tersebut, tahap positif merupakan babak terakhir dimana pada tahapan itu manusia telah memasuki peradaban
yang positif. Selanjutnya, Comte membuat norma-norma ilmiah yang disebut metodologi ilmiah.
Metodologi positivisme berkaitan erat dengan pandangannya tentang objek positif. Objek positif sebagaimana
dimaksud dapat dipahami dengan membuat beberapa distingsi, yaitu; antara yang nyata dan yang khayal, yang
pasti dan yang meragukan, yang tepat dan yang kabur, yang berguna dan yang sia-sia, yang mengklaim memiliki
kesahihan relative dan yang mengklaim memiliki kesahihan mutlak.[12] Distingsi-distingsi tersebut, oleh Comte
diterjemahkan kedalam norma-norma metodologis sebagai berikut:
Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa-kepastian (sense of certainty) pengamatan sistematis yang terjamin
secara intersubjektif.
Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa-kepastian. Kesahihan pengetahuna ilmiah dijamin oleh kesatuan
metode.
Ketepatan pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori-teori yang secara formal kokoh yang mengikuti
deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hukum.
Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara tekhnis. Ilmu pengetahuan memungkinkan control tekhnis
atas proses-proses alam maupun sosial.
Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relative, sesuai dengan sifat relative dan semangat
positif.[13]
Atas dasar pandangan diatas, menurut Comte metode penelitian yang harus digunakan dalam proses keilmuan
adalah observasi, eksperimentasi, dan komparasi. Yang terakhir ini digunakan untuk melihat hal-hal yang lebih
komplek, seperti biologi dan sosiologi. Berkaitan dengan sosial, asumsi comte berkonsentrasi pada tiga hal, yakni;
pertama, prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Kedua,
hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial
itu harus bersifat tekhnis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni.
Dengan uraian diatas, dapat dijelaskan bahwa dalam perspektif positivisme, ilmu-ilmu menganut tiga prinsip;
bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai. Ketiganya tidak hanya berlaku pada ilmu
alam, namun juga berlaku bagi ilmu sosial, dan inilah kontribusi terbesar daru Auguste Comte, yang
menghantarkannya sebagai bapak sosiologi modern.
d. Agama Humanitas
Wawasan Comte tentang konsekuensi-konsekuensi agama yang menguntungkan dan ramalannya terhadap
tahap positif postreligius dalam evolusi manusia menghadapkan dia pada masalah rumit. Melirik fakta sejarah, ia
tidak bisa menafikan peran penting agama terhadap keteraturan sosial yang paling utama. Akan tetapi, kalau
dilihat dalam perspektif ilmiah (positif), agama didasarkan pada kekeliruan intlektual asasi yang mula-mula sudah
berkembang pada saat-saat awal perkembangan intlektual manusia. Lalu, pertanyaan rumit yang dihadapi Comte
adalah bagaimana keteraturan sosial itu dapat dipertahankan dalam masyarakat positif pada masa-masa yang akan
datang, Dengan satu dasar tradisi pokok mengenai keteraturan sosial yang digali oleh positivisme.
Mengatasi masalah tersebut, Comte kemudian mengemukakan gagasan untuk mendirikan satu agama baru
yakni agama Humanitas, dan mengangkat dirinya sebagai imam agung agama tersebut. Ini aspek kedua dari
perhatian Comte mengenai keteraturan sosial. Aspek pertama meliputi suatu analisis objektif mengenai sumber
sumber stabilitas dalam masyarakat, sedangkan aspek kedua ini meliputi usaha meningkatkan keteraturan sosial
dengan agama Humanitas sebagai cita-cita normatifnya.
Gagasan Comte mengenai satu masyarakat positive di bawah bimbingan moral agama Humanitas makin lama
makin terperinci. Misalnya, dia menyusun satu kelender baru dengan hari-hari tertentu untuk menghormati
ilmuan-ilmuan besar dan lainnya, yang sudah bekerja demi kemanusiaan dan kemajuan manusia. Akan ada
beberapa ritus doa yang disusun untuk menyalurkan hasrat-hasrat individu dan memasukkannya ke dalam the
great being of humanity. Selain itu, ada juga ritual dimana Comte sebagai imam agung berlutut didepan altarnya
sambil memegang seikat rambut kepala Cothilde de Vaux. Ia juga bahkan mengusulkan agar kuburan de Vaux
dijadikan sebagai tempat ziarah.[17] Dalam agama baru ini, moralitas tertinggi adalah cinta dan pengabdian
kepada kemanusiaan. Allah pada abad pertengahan digantikan dengan “Le Grand Etre” (Ada Agung), yakni
Kemanusiaan.[18]
e. Altruisme
Altruisme merupakan ajaran Comte sebagai kelanjutan dari ajarannya tentang tiga zaman. Altruisme diartikan
sebagai penyerahan diri kepada keseluruhan masyarakat. Bahkan bukan hanya salah satu masyarakat, melainkan
suku bangsa manusia pada umumnya. Dengan demikia, altruism bukanlah sekedar lawan dari egoisme.
Keteraturan masyarakat yang diidamkan oleh positivisme haya dapat dicapai kalau semua orang dapat
menerima altruism sebagi prinsip dalam setiap tindakan mereka. Sehubungan dengan ini, Comte sampai
beranggapan bahwa bangsa manusia menjadi semacam pengganti Tuhan. Keilahian baru dari positivisme ini
disebut le Grand Eire (Maha Makhluk).[19]
Bila paham altruism ini dibandingkan dengan filsafat islam, maka akan tampak dalam pemikiran yang
dikembangkan oleh filusuf islam yang membagi dua macam hak. Pertama haqqullah dan hak adamyy. Haqqullah
ini digunakan untuk menjelaskan kepantingan bersama, baik masyarakat maupun Negara yang merupakan symbol
dari kehendak Allah. Sementara hak adamyy yang berarti hak manusia, melambangkan kebebasan individu untuk
menggunakan hak pribadinya.
Ujung dari pencarian kebenaran yang dilakukan oleh Auguste Comte adalah falsafahnya tentang hidup
manusia yang membutuhkan hubungan dengan zat yang sempurna, yang diwujudkan dalam bingkai teori
sosiologinya.
KESIMPULAN
Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif, sesuatu yang diluar fakta atau
kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. positivisme bukanlah suatu aliran
yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerjasama. Dengan kata
lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perluanya eksperimen dan
ukuran-ukuran. Dengan demikian positivisme sama dengan emperisme plus rasionalisme
Dalam kaitannya tentang sosial, positivisme merupakan doktrin Comte yang menjadi pondasi strategi
rekonstruksi masyarakat. Bagi Comte, sosiologi merupakan puncak perkembangan positivisme dan
menjadikannya ratu dari ilmu-ilmu sosial. Sehingga, sosiologi positif diharapkan Comte mampu menjadi kunci
kemajuan sosial dimasa depan
Ujung dari pencarian kebenaran yang dilakukan oleh Auguste Comte adalah falsafahnya tentang hidup
manusia yang membutuhkan hubungan dengan zat yang sempurna, yang diwujudkan dalam bingkai teori
sosiologinya.
[1] Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum, (Bandung; Pustaka Setia- 2008), hlm. 296.
[2] Wikipedia; Ensiklopedia Bebas, Biografi Auguste Comte, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/August_Comte
[3] Bio, True Story, Auguste Comte. Biografi, dalam http://www.biography.com/people/auguste-comte-9254680
[4] Hakim, Filsafat, hlm. 290.
[5] Hakim, Filsafa, hlm. 291-292.
[6] Ibid, hlm. 293
[7] Little Science, Sejarah Sosiologi, dalam http://mohammadhasbi.blogspot.com/
[8] Rabbani. Auguste Comte dan Positivisme, dalam http://robbani.wordpress.com/2009/02/07/auguste-comte-
dan-positivisme/
[9] Hakim, Filsafat, hlm. 296.
[10] Ibid, hlm.297.
[11] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta; Belukar, 2008-Cet. V), hlm. 108.
[12] Ibid, hlm. 109
[13] Ibid, hlm. 111.
[14] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama-2007), hlm. 206.
[15] Hakim, Filsafat, hlm. 301.
[16] Ibid, hlm. 307.
[17] Ibid, hlm.311
[18] Hardiman, Filsafat, hlm. 212.
[19] Hakim, Filsafat, hlm. 317.
[20] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, (Bogor; Kencana, 2003), hlm. 136.