Orang sering menganggap ngelmu titen adalah sebuah pembelajaran atau metode belajar yang tidak masuk akal.
Bahkan tidak sedikit yang menyalah-artikan ilmu ini dengan ilmu sihir atau ilmu setan. Namun, pendapat kita perlu dikaji
ulang sekarang ini disaat perkembangan ilmu sudah semakin maju: Apakah memang pada tempatnya kita bersikap
sinis terhadap ilmu titen?Apakah layak ngelmu titen ini diberi label musyrik / syirikpadahal fondasi asli dari ilmu ini
tidak seperti yang selama ini di-propaganda-kan oleh mereka yang sebenarnya takut sekali pada ketepatan ilmutiten?
Niteni dalam bahasa Jawa berarti mengamati, jadi ngelmu titen adalah belajar mengamati. Ilmu titen sendiri adalah hasil
pengamatan yang sudah diteliti dan dianalisa. Dalam metode penelitian, observasi atau pengamatan adalah mutlak.
Tanpa observasi dan pengamatan maka opini kita hanya menjadi sekadar berandai-andai, hasil khayalan belaka. Saat
kita melakukan pengamatan, semua panca indera kita bersatu dengan hukum alam, dan dengan niteni kita mempelajari
mekanisme di sekeliling kita. Jadi, ngelmu titen tidak lain adalah belajar untuk mengamati dan menganalisa.
Apa yang diamati dan apa yang dianalisa dalam Ilmu Titen?
Yang diamati dan dianalisa tentunya segala sesuatu yang terjadi. Bagi manusia Jawa, tidak ada yang kebetulan didalam
hidup ini semua kejadian sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, Maha Skenario. Karena tidak ada yang kebetulan
maka pola-pola kejadian didalam kehidupan kita tentunya bisa diobservasi dan diteliti untuk kemudian diambil
hikmahnya dan dilakoni nasihatnya. Nah, bagaimana mungkin ilmu yang diambil dari nitenihasil penelitian pribadi ini
menjadi ilmiah?
Dalam metode penelitian kualitatif dan kuantitatif, sebetulnya metode niteniadalah metode yang sah untuk mencari atau
menggali ilmu secara ilmiah. Bahkan, ilmu-ilmu sosial sangat bergantung pada metode penelitian seperti inisehingga
metode ini menjadi jantung penelitian. MisalnyaJean Piaget, bapak teori perkembangan, mengembangkan ilmu psikologi
kognitif dengan mengamati dan memantau anak-anak berbagai usia. Beliau mencatat setiap hasil
pengamatannyasecara terperinci sehingga ia bisa meneliti ada atau tidaknya hukum sebab-akibat yang konstan pada
anak-anak untuk kemudian bisa ia dijadikan sebuah teori. Lalu, hasil analisa beliau yang didasarkan pada utak atik
gathuk dicatat, dipelajari, dibantah dan diuji hinggapola sebab akibat dari semua variabel yang diteliti tersusun rapi dan
jelas. Manusia Jawa juga melakukan pengamatan dan analisa serupa dalam kehidupannya sehari hari, dantanpa
disadari, manusia Jawa sebenarnya sudah menjadi ilmuwa otodidak. Tanda-tanda alam dan kejadian-kejadian
diperhatikan dan dicatat dalam ingatan pribadi lalu dianalisa dan hasil analisa itulah yang menuntunnya membuat
keputusan.
Ilmuwan jaman dulu selalu melakukan eksperimen berdasarkan ilmu titen. Benjamin Franklin menciptakanpenangkal
petir setelah dia memperhatikan akibat dari sambaran petir dan meneliti bagaimana cara kerja petir itu. Isaac Newton,
sang jenius yang secara kebetulanniteni apel jatuh dan itu menuntunnya pada penemuan sebuah teori gravitasi.
Semua ilmuwan besar belajar dari alam sehingga mereka tidak hanya mampu menghargai alam raya dan seisinyatapi
juga mampu menggunakannya untuk kemajuan kemanusiaan dan peradaban seluruh makhluk. Manusia Jawa sangat
percaya akan hal ini.
Apa bedanya ilmuwan sejati dengan manusia Jawa yang niteni secara informal ini? Perbedaan yang utama terletak
padakemampuan memilih dan memisahkan variable yang sah dari yang tidak sah, kemampuan analisa dan kedalaman
analisa. Semakin tinggi ketiga kemampuan ini maka hasil niteni akan semakin ilmiah dan semakin mantap nafas
empiriknya.
Lantas,apakah dengan begitu kita bisa menghakimi bahwa manusia Jawa yang niteni itu primitif,bahwa utak atik
gathuk itu tidak ilmiah?Tapi apa bedanya dengan sistim uji korelasi dalam metode penelitian kuantitatif? Jadi, dimana
letak kemusyrikannya metode ini? Bukankah yang diteliti juga ciptaan Tuhan?
Memang, banyak pakem yang harus diikuti untukbisa niteni dengan benar supaya tidak terjebak pada penyesatan dan
penyelewengan ilmu titen, dan itulah yang harus kita waspadai.
Jika ditelaah lebih jauh, ngelmu titen tidaklah sederhana. Secara prinsip memang sangat sederhana ilmu ini
berjangkar pada ilmu alam dan keahlian utak atik gathuk tapi tidak demikian jika dilakoni, karena tidak
hanya sekedar mengerti sistim dan mekanismenya. Tentu ada pakem atau aturan yang memagari supaya ilmu ini
sah dan tidak diselewengkan. Jika kita ingin melakoni ilmu ini tapi tidak terbawa oleh ilusi yang belum tentu bisa
dipertanggungjawabkan,
ada
beberapa
hal
yang
harus
disadari:
1.
Ada beberapa tataran didalam ngelmu titen sesuai dengan tingkat kemampuan kita. Yang paling mudah
adalah niteni yang terlihat indera kasar (kasat mata), dan yang sulit adalah niteni yang tidak terlihat oleh
indera kasar (tak kasat mata). Kemudahan melakoni ngelmu titen yang terlihat karena yang terlihat itu
mudah diuji sehingga kebenaran analisa kita atau kemantapan utak atik gathuk bisa dilihat langsung, baik
oleh kita sendiri atau orang lain. Dengan uji analisa seperti ini ilmu titen mudah dilihat kesahihan atau
validitasnya. Maklum, ngelmu titen ini sangat bergantung pada pribadi sang analis sendiri, dan
kemungkinan bias (penilaian subjektif dari sisi sang analis sendiri) sangat tinggi bahkan cenderung hampir
pasti. Seringkali, kita mengamati dengan benar, mencatat dengan benar, tapi mengambil kesimpulan yang
salah karena kita sudah punya persepsi sempit mengenai hal itu. Sehingga, hasil akhirnya juga akan
menjadi sempit, sesempit persepsi kita. Ilmu titen sangat lentur/fleksibel dan bisa dilakukan siapa saja;
semakin tinggi ilmunya, semakin canggih analisasnya, tentu saja semakin benar dan semakin mantap
efektifitasnya
khasiatnya).
Seorang anak kecil saja bisa niteni, misalnya:
ketika anak itu melihat bahwa jika dia menangis, ibunya panik mendengar tangisannya dan langsung
memberi perhatian. Anak ini akan mulai utak atik gathuk Aku nangis ibu langsung kasih perhatian. Jika
setiap kali anak menangis dan ibunya langsung memberi perhatian, berarti ada sebuah hukum anak
menangis ibu bereaksi. Jika semua anak menangis dan hampir semua ibu mereka bereaksi, berarti itu
terjadi pada hampir semua anak di seluruh muka bumi ini, maka hukum alam berdasarkan niteni ini menjadi
sah.
2.
Dalam
permasalahan
kehidupan
yang
tentunya
semakin
lama
semakin
kompleks,
ngelmu
titen
memerlukan daya analisa yang lebih matang dan lebih tajam. Kita tidak lagi bisa menganggap bahwa utak
atik gathuk kita itu yang paling afdol. Kompleksitas yang besar dan luas mengharuskan kita menerima
bahwa tidak ada lagi persepsi tunggal yang absolut, kecuali kematian (bahwa apapun yang lahir kelak akan
mati, ada awal pasti ada akhir). Jika kita bersikeras, ngotot mempertahankan bahwa utak atik gathuk
kitalah yang paling afdol atau menyangkal bahwa hal yang dititeni dan ilmu titen itu sendiri berkembang,
maka kita terjebak pada sebuah faham atau dogma. Pada saat kita merasa sepertinya ilmu titen kita kok
rasanya tidak afdol lagi, banyak hal yang tidak sesuai lagi dengan analisa kita berarti kita harus menerima
bahwa tataran kita sudah sempit dan kita harus membuka cakrawala baru dan bergerak ke tataran yang
lebih tinggi (naik kelas). Kita harus mau ngelmu lagi supaya cakrawala kita diperluas, supaya kita dibawa
ke tataran berikutnya. Disinilah tinarbuko dibutuhkan. Tinarbuko adalah sebuah sikap keterbukaan akan
ilmu dan tuntunan yang baru. Tanpa tinarbuko dan tanpa ngelmu ke arah yang lebih tinggi akan membuat
ilmu kita jadi sempit, bahkan membawa kita pada kesombongan, penyalahgunaan ilmu, mandeg dan tidak
bisa lagi memberi manfaat bagi diri sendiri maupun sesama. Kita menganggap bahwa langit kitalah yang
tertinggi dan terbaik, lupa bahwa diatas langit masih ada langit yang lebih tinggi. Disitulah kita malah
menTuhankan apapun yang kita pegang dan ilmu itu malah akan menjadi racun bagi kita.
3.
Ngelmu titen yang tidak terlihat itu lebih sulit karena tak kasat mata (tidak terlihat oleh mata biasa).
Nah, disinilah mulai keluar berbagai kreatifitas manusia yang akhirnya menghasilkan mistik dan ketidakilmiahan. Ada 2 cara yang dalam jangka panjang akan membantu kita dalam niteni hal yang tidak terlihat,
yaitu:
Membuka indera ke-6 kita yaitu mata batin atau mata hati. Cara ini memampukan kita melihat
yang tidak terlihat. Ada yang percaya mata batin adalah mata hati atau nurani, yang lain percaya mata
batin adalah mata jiwa atau mata bawah sadar. Tapi sebagian besar orang percaya bahwa indera ke-6
adalah indera intuisi yang berfungsi sebagai mata ke-3. Mata batin atau mata ke-3, istilah kerennya,
bisa melihat sosok-sosok multi dimensi. Bagi yang mata batinnya terbuka, mereka tidak mengalami
kesulitan untuk melihat aura, melihat makhluk-makluk yang tak kasat mata.
Banyak yang ingin memiliki mata ke-3 ini sehingga banyak juga cara atau
metode yang ditawarkan untuk bisa membukanya. Tapi, begitu banyaknya metode dan begitu
populernya, banyak juga penyesat yang mengaku mampu membukakan mata ke-3 ini dengan berbagai
syarat. Maklum, hukum permintaanpenawaran juga berlaku dalam hal ini, jadi apapun yang diminati
orang banyak pasti ada saja yang ingin memalsukan atau memanfaatkannya. Sebab itu, kita harus
sangat hati-hati berurusan dengan hal ini; jangan sampai niat untuk mengasah ilmu ternyata malah
mendapat
angin
surga
belaka.
Orang yang mampu melakoni ilmu titen baik yang kasat mata atau tak kasat mata memang masih jarang.
Kalaupun ada, mereka belum atau tidak mau berkiprah di tengah publik yang lebih sering mencerca ketimbang
menghargai. Orang orang yang mampu melakoni kedua metode ini lebih suka mengamalkan ilmu mereka dalam
bentuk hasil atau produk akhir ilmu titen. Mereka jarang bercuap-cuap menjual ilmu yang bukan hasil ciptaan
mereka, karena umumnya mereka sudah melewati dan lulus ujian pengakuan. Mereka tidak jualan CV
(curriculum vitae atau resume), tidak meminjam prestasi orang lain untuk dijual dan diakui sebagai miliknya,
tidak menuntut hasil karya mereka harus diberi brand tertentu agar layak mendapatkan royalti. Mereka adalah
orang orang besar yang hasil karyanya ada di sekitar kita, hasil-hasil karya yang keluar dari rasa, cipta, karsa
yang tulus untuk kemanusiaan dan peradaban. Pahlawan-pahlawan tanpa nama (the unsung heroes) umumnya
justru titisan atau momongan para mahaguru kita.