Tidak dari permulaan adanya manusia itu sudah banyak tahu. Untuk memiliki
pengetahuan segera ia dapat memaparkan isi hatinya dengan bahasa, bagaimana pun
sederhananya, segera pula ia bertanya mengenai sesuatu yang menjadi ganjalan dalam
fikirannya. Berbagai pertanyaan yang ada dalam dirinya bisa saja disampaikan kepada orang lain
atau dicobanya untuk dijawab sendiri dengan mengadakan perenungan dan penyelidikan
sendiri. Makin lanjut, kemungkinan untuk menyelidiki sendiri ini lebih banyak. Hasilnya tentu
lebih banyak pula, bahkan lebih mendalam. Makin banyak dan makin mendalam yang
diketahuinya, biasanya makin besar pula usahanya untuk tahu dan ingin tahu bagi manusia
hanya berakhir pada akhir kesadarannya.
Walaupun demikian harus juga diakui bahwa indra manusia dirangsang oleh alam
sekitarnya untuk tahu dan indralah yang pertama-tama bersentuhan dengan alam. Persentuhan
dengan alam inilah yang disebut pengalaman. Jangan kita kira bahwa hanya penciuman saja
yang tersentuh oleh bau, atau pendengaran saja yang tersentuh oleh bunyi. Biasanya segenap
indra, hanya ada salah satu yang terutama terkena oleh objeknya sehingga yang mencium,
mendengar atau merasa ialah manusianya. Dalam pada itu manusia tidak pasif, ia mengadakan
reaksi sehingga tahu yang tercetus lewat putusan.
Salah satu perdebatan besar adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber dan
asal-usul pengetahuan dengan meneliti, mempelajari dan mencoba mengungkapkan prinsip-
prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang dianugerahkan kepada manusia. Dengan itu, ia
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: bagaimana pengetahuan itu muncul dalam
diri manusia? Bagaimana kehidupan intelektualnya tercipta, termasuk setiap pemikiran dan
konsep-konsep yang muncul sejak dini? Dan apakah sumber yang memberikan kepada manusia
arus pemikiran dan pengetahuan ini?
Setiap manusia tentu mengetahui berbagai hal dalam kehidupan, dan dalam dirinya
terdapat bermacam-macam pemikiran dan pengetahuan. Dan tidak diragukan lagi bahwa
banyak pengetahuan manusia itu muncul dari pengetahuan lainnya. Karena itu, ia akan
meminta bantuan pengetahuan terdahulu (yang sudah dimiliki) untuk menciptakan
pengetahuan baru. permasalahannya adalah bagaimana kita “meletakkan tangan kita” di atas
“garis-garis primer” pemikiran dan atas sumber umum pengetahuan pada umumnya.
Ilmu Pengetahuan berawal pada kekaguman manusia akan alam yang dihadapinya, baik
alam besar (macro cosmos), maupun alam kecil (micro cosmos). Manusia sebagai animal
relational dibekali hasrat ingin tahu, yang dapat disaksikan sejak manusia masih kanak-kanak.
Pertanyaan-pertanyaan seperti “apa ini?”, “apa itu?’ telah keluar dari mulut anak-anak.
Kemudian timbul pertanyaan “mengapa begini?”, “mengapa begitu?”, dan selanjutnya
berkembang pertanyaan-pertanyaan semacam “bagaimana hal itu terjadi?”, “bagaimana
pemecahannya?”, dan sebagainya. Bentuk pertanyaan tersebut telah ditemukan sepanjang
sejarah manusia. Manusia berusaha mencari jawab atas pertanyaan tersebut. Dari dorongan
ingin tahu manusia berusaha mendapatkan pengetahuan mengenai hal yang dipertanyakannya.
Di dalam sejarah perkembangan fikir manusia ternyata yang dikejar itu esensinya adalah
pengetahuan yang benar, atau secara singkat disebut kebenaran.
Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dengan objeknya. Kebenaran ini
ada pula yang menyebutnya objektivitas, jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan objektif.
Yang amat penting, setidak-tidaknya pengetahuan itu harus sesuai dengan aspek objek yang
diketahui.
b. Prasangka
Dengan akal sehat orang cenderung mempersempit pengamatannya dan cenderung
mengkambing hitamkan orang lain atau menyokong sesuatu pendapat. Orang sering tidak
mengendalikan keadaan yang juga dapat terjadi pada keadaan lain. Orang sering cenderung
melihat hubungan antara dua hal sebagai hubungan sebab akibat yang langsung dan sederhana,
padahal sesungguhnya gejala yang diamati itu merupakan akibat dari berbagai hal. Dengan akal
sehat orang cenderung pada pembuatan generalisasi yang terlalu luas yang lalu merupakan
prasangka.
c. Intuitif
Orang menentukan “pendapat” mengenai sesuatu berdasar atas “pengetahuan”yang
langsung atau didapat dengan cepat melalui proses yang tak disadari atau yang tidak difikirkan
lebih dahulu. Dengan intuisi orang memberikan penilaian tanpa didahului suatu renungan.
Pencapaian pengetahuan yang demikian itu sukar dipercaya. Di sini tidak terdapat langkah-
langkah yang sistematik dan terkendali. Ini biasa disebut metode a priori. Dalil-dalil seseorang
.yang a priori cocok dengan penalaran belum tentu cocok dengan pengalaman atau data empiris
3. Filsafat
Secara definitif filsafat ialah ilmu yang mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi
segala sesuatu yang ada dan mungkin ada (Poedjawijatna: 1991, 46). Ilmu membatasi diri
dalam pembuktiannya dengan pengalaman. Pengetahuan yang tidak membatasi diri pada
pengalaman ini tidak termasuk ilmu, pengetahuan ini tidak menolak sifat ilmiah, ia pun bercita-
cita mencapai kebanaran, bermetodos, hendak bersistem dan universal. Jadi pengetahuan ini
hendak merupakan ilmu juga dan sebagai ilmu ia pun mencari sebab, tapi tidak kenal akan
batas, sehingga sebab yang dicari boleh disebut sebab yang sedalam-dalamnya. dalam filsafat
yang dibahas adalah mengenai etika, estetika dan logika.
Karakteristik berfikir filsafat:
a. Sifat menyeluruh
b. Sifat mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar
c. Bersiafat spekulatif. Semua pengetahuan yang sekarang ada dimulai dari spekulasi
4. Agama (teologi)
Agama sering dijadikan sandaran kebenaran yang bersifat absolut, apalagi ketika
manusia menghadapi kebuntuan berfikir untuk mencari sebab yang sedalam-dalamnya dari
filsafat. Akan tetapi hendaknya jangan dipertentangkan antara kebenaran agama dengan
kebenaran filsafat atau ilmiah sebab semuanya memiliki wilayah kewenangannnya masing-
masing. Dengan kata lain ada hal-hal yang mungkin itu sudah berada di luar batas kewenangan
akal (nalar manusia). Atau biasa disebut sebagai sesuatu yang bersifat supra natural, immaterial,
khususnya berkenaan dengan masalah ketuhanan.
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Kedua, tim penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Dep. P & K, Balai Pustaka, Jakarta, 1999, h. 370—371.
2
Ibid, h. hal 371