Berikut ini saya ingin mengemukakan secara ringkas beberapa cuplikan penting berkaitan
dengan filsafat ilmu pengetahuan. Sebagian besar pengetahuan filsafat ini saya cuplik dari
Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan yang disusun oleh Drs. Burhanuddin Salam (1997).
Saya berharap, sinopsis ini dapat mengantarkan kita untuk memahami apakah kita adalah
seorang ilmuwan sejati atau, seperti yang dikatakan oleh Prof. W. Poespoprodjo, kita hanyalah
seorang pembonceng gengsi ilmu semata. Namun demikian, apa pun perasaan kita, saya
harapkan tulisan ini dapat, paling tidak, merangsang kita untuk mulai bergerak menjadi seorang
ilmuwan sejati.
Pengetahuan biasa atau lebih sering disebut sebagai pengetahuan saja atau common sense
dihasilkan oleh sense umum manusia terhadap sesuatu. Misalnya, makanan dapat
menghilangkan rasa lapar atau hujan dapat menyuburkan tanaman. Namun demikian,
pengetahuan biasa umumnya merupakan kebenaran atau kepercayaan yang tidak pernah diuji,
sehingga kebenarannya dapat saja diragukan.
Pengetahuan ilmu atau umumnya disebut ilmu sebenarnya merupakan akumulasi pengetahuan
biasa, namun telah disusun secara cermat dengan menggunakan apa yang disebut metode ilmiah.
Oleh karena itu, ilmu memiliki sifat yang sangat berbeda dengan jenis pengetahuan lainnya,
yaitu: rasional, empirik, umum, akumulatif, tidak mutlak, dan obyektif.
Pengetahuan filsafat atau umumnya disebut filsafat dan pengetahuan agama memiliki sifat yang
berbeda dengan pengetahuan biasa atau pun pengetahuan ilmu. Filsafat menunjuk pada
kebenaran yang mengakar pada prinsip yang mendasar dari suatu fenomena, sedangkan
pengetahuan agama adalah kebenaran yang bersumber dari agama, yang umumnya lebih bersifat
mutlak.
Yang pertama adalah melulu pengalaman manusia, yang dalam perkembangannya kemudian
melahirkan sebuah aliran yang menurut beberapa tulisan dipimpin oleh John Locke yang disebut
Empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan dapat diperoleh dengan pengalaman
langsung melalui penginderaan atau observasi.
Namun demikian, sebagian orang menganggap bahwa Empirisme tidak dapat memberikan
kepastian, paling jauh aliran ini hanya memberikan kesimpulan dengan peluang yang tinggi.
Selain itu, Empirisme biasanya memberikan pemahaman yang bersifat parsial terhadap sesuatu
yang universal.
Oleh karena itu kemudian muncul aliran yang kedua, yang disebut Rasionalisme, yang di
antaranya dipelopori oleh Rene Descartes, yang meyakini bahwa pengetahuan sebenarnya
bersumber dari akal manusia (rasio). Akal manusia dapat mengetahui suatu kebenaran yang
tidak mungkin dapat dijangkau melalui observasi. Dengan Rasionalisme dapat juga diuji
keberadaan hukum sebab-akibat dari banyak fenomena alam.
Sumber pengetahuan yang ketiga adalah aliran Intuisionisme, yang merupakan metode
pencarian kebenaran dengan tidak mendasarkan pada penalaran maupun penginderaan. Aliran
Intuisionisme berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan khusus untuk mengetahui
sesuatu yang tidak terikat kepada indera maupun penalaran. Pengetahuan dianggap tidak berasal
dari luar tetapi dari dalam diri manusia, sehingga diri manusia dapat menangkap aspek yang
lebih fundamental. Oleh karena itu, intuisi bersifat individual dan tidak dapat dikomunikasikan
atau bersifat tertutup.
Yang keempat adalah Wahyu Tuhan, yang tertulis di dalam berbagai kitab suci berbagai agama
samawi. Satu hal yang perlu diketahui berkaitan dengan sumber ini adalah bahwa pengetahuan
yang dilahirkannya dimulai dengan suatu kepercayaan terhadap kebenaran yang tertulis dalam
kitab suci. Ini tentunya berbeda dengan pengetahuan yang berasal dari sumber lain, yang
dimulai dengan ketidakpercayaan atau keraguan. Dengan keraguan ini manusia berangkat untuk
membuktikan kebenaran dan diakhiri dengan suatu kepercayaan terhadap kebenaran tersebut.
Dalam Periode Trial and Error, yang merupakan cikal bakal metode penelitian, manusia hanya
mencoba-coba melalui teknik trial and error sampai pada tahapan trial and success saat kemudian
pengetahuan atau kebenaran ditemukan.
Dalam Periode Authority and Tradition, manusia tunduk kepada doktrin atau kebenaran yang
diyakini atau diungkap oleh pemimpin masyarakat atau tradisi yang telah temurun. Dalam
periode ini umumnya tidak muncul pemberontakan atau kritik walaupun seringkali doktrin
menyandang bias yang besar sehingga berlaku pepatah The Master Always Says The Truth.
Periode ini kemudian berubah setelah manusia berani melakukan pemberontakan atau kritik
terhadap doktrin, sehingga metode penelitian memasuki Periode Speculation and
Argumentation.
Dalam periode Periode Speculation and Argumentation muncul budaya spekulasi dan
argumentasi dengan mendasarkan diri pada akal dan kemampuan berargumentasi, yang dianggap
sebagai sumber kebenaran. Salah satu contoh perdebatan monumental dalam periode ini adalah
teori Natural Selection dan The Survival of The Fittest.
Dalam Periode Hypothesis and Experimentation atau Metode Ilmiah, manusia tidak melakukan
spekulasi berdasarkan akal semata dalam mendekati kebenaran namun dengan didukung oleh
fakta yang relevan sebagai bahan argumentasi. Periode ini masih berlangsung sampai saat ini.
Namun demikian, perburuan kebenaran atau ilmu dalam periode ini menyaratkan peneliti dengan
beberapa kriteria penting, di antaranya adalah bahwa peneliti harus kompeten, dalam pengertian
telah terlatih menggunakan metode ilmiah; obyektif, dalam pengertian harus mampu mengelola
fakta apa adanya tanpa terpengaruh oleh hal yang bersifat subyektif; jujur, dalam pengertian bisa
mengemukakan fakta apa adanya tanpa memaksakan keinginannya sendiri ke dalam fakta;
faktual, bekerja hanya dengan fakta; dan terbuka, dalam pengertian bersedia memberikan bukti,
dan sebaliknya mau memberi kesempatan kepada peneliti lain untuk menunjukkan bukti lain
walaupun akhirnya ternyata menolak hipotesis atau tesisnya.
Apa Sih Metode Ilmiah Itu?
Metode Ilmiah pada dasarnya adalah sintesis antara metode berfikir rasional (Rasionalisme)
dengan bertumpu pada data empirik (Empirisme). Tahapan dalam metode ilmiah adalah sebagai
berikut:
a. Identifikasi dan Penentuan Masalah
b. Penyusunan Kerangka Masalah
c. Pengajuan Hipotesis
d. Deduksi Hipotesis
e. Pembuktian Hipotesis
f. Penerimaan Hipotesis Menjadi Teori Ilmiah
Metode Ilmiah diawali dengan Identifikasi dan Penentuan Masalah. Masalah sendiri sebenarnya
adalah kesenjangan antara das sollen (harapan atau yang seharusnya) dengan das sein
(kenyataan). Masalah yang tersusun harus jelas dan memiliki batas yang tegas untuk
memudahkan pelaksanaan langkah berikutnya. Pada tahapan Penyusunan Kerangka Masalah,
masalah sudah digambarkan dengan lebih jelas. Pada tahapan ini, berbagai faktor yang terlibat
dalam masalah tersebut telah diidentifikasi. Keseluruhan faktor ini membentuk suatu kerangka
yang mewujud dalam bentuk gejala yang sedang diteliti.
Berdasarkan pada kerangka masalah tersebut, dalam tahap Pengajuan Hipotesis diberikan
kesimpulan sementara berkaitan dengan hubungan sebab-akibat antara berbagai faktor yang
membentuk kerangka masalah. Hipotesis ini sebenarnya diperoleh melalui penalaran induktif-
deduktif berdasarkan pada pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.
Dalam tahapan Deduksi Hipotesis, kita kemudian menjabarkan konsekuensi hipotesis tersebut
secara empirik. Dalam tahapan ini kita mengidentifikasi berbagai fakta yang dapat dilihat atau
diamati dalam kenyataan yang erat hubungannya dengan hipotesis yang kita ajukan. Berbagai
fakta ini kemudian dikumpulkan dalam tahapan Pembuktian Hipotesis. Kalau fakta tersebut
ternyata dapat diamati maka hipotesis kita terbukti. Namun, sebaliknya, bila fakta tersebut tidak
ada maka hipotesis kita ditolak dan kita harus mengajukan hipotesis lain yang harus kembali
diuji sampai kita menemukan fakta yang mendukung hipotesis tersebut.
Hipotesis yang telah terbukti kebenarannya dengan didukung oleh fakta dianggap sebagai
pengetahuan baru dan diterima sebagai bagian dari ilmu atau merupakan suatu teori ilmiah.
Teori ilmiah baru ini selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan berbagai
gejala lainnya.
Penutup
Kita menyadari bahwa salah satu tugas perguruan tinggi adalah lagi-lagi mengembangkan
pengetahuan ilmu. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita memahami metode ilmiah sebagai
salah satu alat untuk mengakumulasi pengetahuan dalam bentuk ilmu. Namun demikian,
kebenaran ilmu yang benar sangat tergantung pada apakah ilmu tersebut dikembangkan dengan
metode ilmiah yang dilakukan secara benar atau tidak. Ini tentunya sangat tergantung kepada
bagaimana para ilmuwan dapat memahami dan mempraktikkan sikap ilmiah. Oleh karena itu,
saya mengajak rekan-rekan untuk senantiasa belajar bersikap ilmiah, agar kita tidak tergelincir
pada kecurigaan Prof. W. Poespoprodjo terhadap sebagian kita yang hanya berperan sebagai
petualang ilmu dengan hanya membonceng gengsi atau prestise ilmuwan. Semoga.
Rujukan
1. Hadi, S. 1982. Metodologi Research untuk Penulisan Paper, Skripsi, Thesis, dan Disertasi.
Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 85 hlm.
2. Nasoetion, A.H. 1997. Berkelana di antara tahu dan tidak tahu. Kumpulan Makalah
Penataran dan Lokakarya Metode Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Universitas
Bengkulu, Bengkulu.
3. Salam, B. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Penerbit Rika Cipta, Jakarta.
296 hlm.
4. Marzoeki, D. 2000. Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu. Penerbit PT Gramedia, Jakarta. 104
hlm.
5. Suryabrata, S. 1998. Metodologi Penelitian. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 115 hlm.
6. Badrie, M.G. 1997. Filsafat Umum Aspek Epistemologi. Gunung Pesagi, Bandar Lampung.
102 hlm.
Tentang Penulis: Penulis adalah Guru Besar Ilmu Kimia Tanah Fakultas Pertanian Universitas
Lampung Bandar Lampung; lulus S-1 dari IPB Bogor (1984), S-2 dan S-3 dari University of
Wisconsin-Madison, Amerika Serikat (masing-masing pada 1989 dan 1993); pernah mengikuti
postdoctoral program di Nagoya University, Jepang (1995-1996); dan memperoleh jabatan Guru
Besar pada tahun 2001. Penulis saat ini menjabat Direktur Program Pascasarjana Universitas
Lampung. Telefon 0721-704111 atau HP 08127918171 atau e-mail salam@maiser.unila.ac.id.