The Aceh
Institute
•Program Studi
Sosiologi Agama �
CCIS
DAFTAR ISI
Darurat Narkoba:
Sisi Gelap Negeri Syari’ah
20
Perempuan Aceh:
Antara Kenangan dan Kenyataan
22
S
elama tahun 2018, setelah berkeliling Aceh Di bagian lain Aceh, kita menemukan masyarakat
untuk melakukan penelitian dan bertemu mengeluh bagaimana sumber daya alam mereka
dengan beberapa orang, saya berkesimpulan dirusak oleh tambang-tambang illegal yang dibekingi
Aceh semakin menuju 'masyarakat tertutup'. Di tahun oleh elit pejabat. “Mata air yang dulu putih, sekarang
2018 kemarin, kita kembali bertengkar soal jumlah lebih hitam dari kopi” keluh mereka. Mereka berdemo,
rakaat tarawih, fondasi sebuah masjid dibakar tapi tak pernah didengar. Konflik horizontal karena
karena beda aliran, toko harus ditutup kalau sedang masalah akses dan manajemen sumber daya alam
azan, dan perempuan dihimbau tak duduk semeja hanya tinggal menunggu waktu. Hal lain yang mengiris
dengan yang bukan muhrim. hati, Aceh merupakan provinsi dengan tingkat
cakupan imunisasi terendah se-Indonesia. Masa
Kita pun menemukan politik identitas semakin depan kita terancam oleh generasi yang rentan
mengental dimana agama muncul sebagai pembeda diserang penyakit. Sebagiannya penyakit
utama. “Orang Aceh asli adalah Islam, kalau bukan melumpuhkan bahkan mematikan.
Islam dipastikan bukan asli Aceh” demikian kata
kepala Dinas Syariat sebuah kota. Di kabupaten lain, Pertanyaannya sekarang adalah: bagaimana kita
seorang anggota Kesbangpol bidang ideologi ketika memahami semua fenomena ini?
ditanya tentang ayat konstitusi yang menyatakan
'setiap warga negara berhak beribadah sesuai dengan Untuk memahami persoalan diatas, refleksi akhir
keyakinan dan agamanya', dengan santai menjawab tahun ini memakai pendekatan ekonomi-politik. Yakni
“Itu kan Indonesia!”, seolah-olah Aceh dan Indonesia melihat bagaimana basis struktur ekonomi suatu
adalah dua negara yang berbeda dengan konstitusi masyarakat mempengaruhi apa yang dalam tradisi
yang tak sama. Yang mengejutkan adalah pernyataan Marxian disebut sebagai superstructure, yakni politik,
itu datang dari anggota Kesbangpol bidang ideologi. budaya, penafsiran agama, pendidikan, dan
Di tempat lain, seorang anggota FKUB Kota dipecat sebagainya.
karena dianggap memiliki cara pandang yang toleran.
Padahal secara keilmuan, dia adalah orang yang paling Hingga di ujung tahun 2018 ini, Aceh masih belum
punya otoritas keilmuan soal hubungan antar agama mengalami industrialisasi. Struktur ekonomi
(disertasi S3 nya tentang toleransi beragama di masyarakat Aceh masih didominasi oleh sektor
Indonesia). Mungkin itu harga untuk “Harmony Award” pertanian, perikanan, perkebunan dan peternakan
yang diterima FKUB Aceh dari Kemenag dua hari yang yang dikelola secara tradisional. Hasil produksinya pun
lalu. masih mentah, belum diolah. Jumlah peternakan yang
D
iskusi mengenai Islam di Aceh saat ini adalah sekelompok orang yang menjadikan zikir
cenderung mengarah kepada formalisasi sebagai sarana riyadhah (latihan) spiritual (rohani)
syariat Islam yang diresmikan pemerintah untuk melembutkan hati dan mendekatkan diri
pusat melalui UU No. 18 Tahun 2001. Formalisasi ini kepada Allah. Zikir dalam kacamata normatif agama
berbentuk qanunisasi beberapa hukum dalam fiqih ditempatkan sebagai jalan bagi manusia untuk
yang disesuaikan dengan formulasi hukum dalam memerdekakan diri dari pengaruh keinginan
KUHP yang berlaku di Indonesia serta secara materi berlebihan kepada kehidupan dunia yang dipandang
hukum disesuaikan dengan perkembangan kotor dan penuh dosa. Dalam teori para sufi, zikir
masyarakat di Aceh. Suka tidak suka dalam formalisasi adalah media untuk mensucikan dimensi nasut
ini telah membentuk sebuah citra buruk Aceh dalam (dimensi manusia) dalam ruh dan mengisinya dengan
kacamata masyarakat luar. Beberapa media telah dimensi lahut (dimensi tuhan).
menggambarkan Aceh seolah Afganistan dan Arab
Saudi. Tentu kita, sebagai orang Aceh, tidak Kemunculan majelis zikir di Aceh sebenarnya juga
sepenuhnya setuju dengan gambaran ini, namun tidak bukan hal yang baru. Pada tahun 2001 Abuya
juga kuasa sepenuhnya menolak tudingan tersebut. Jamaluddin Waly mendirikan Majelis Zikir al-Waliyah.
Apalagi dalam kehidupan sosial di Aceh menunjukkan Pertama kali ia memimpin zikir berjamaah di komplek
gambaran media di atas ada benarnya, atau perkantoran Kodam Iskandar Muda tahun 2001 dan di
setidaknya Aceh sedang menuju ke sana. Mesjid Raya Baiturrahman pada awal tahun 2004.
Majelis ini juga memimpin zikir bersama Presiden
Susilo Bambang Yudoyono di Mesjid Raya
Baiturrahman pada tahun 2005 pada hari
penandatanganan MoU Helsinki. Setelah MoU muncul
beberapa majelis zikir lain, seperti Majeliz Zikir dan
Salawat Nurun Nabi yang dipimpin oleh Ustaz
Zamhuri bin Ramli, Majelis Zikir Raudhatul Qur'an
yang dipimpin Tgk. Sulfanwandi, Majelis Zikrullah Aceh
yang dimpin oleh Tgk. Samunzir bin Husen, dan
Majelis Zikir Sirul Mubtadin yang dipimpin oleh Tgk.
Yusuf A. Wahab (Tu Sop) di Bireueun. Belakangan
muncul lagi Majelis Zikir Rateb Siribe yang dipimpin
Padahal kalau kita lihat dalam sejarahnya, Islam di
oleh Abuya Muda Wali al-Khalidi dari Aceh Selatan dan
Aceh tidak sepenuhnya “Islam Fiqih” yang cenderung
Majelis Zikir Gemilang yang didirikan dan dipimpin
melihat kehidupan masyarakat dalam kacamata salah
oleh Wali Kota Banda Aceh, H. Aminullah Usman.
benar, hitam putih, atau halal haram. Para sejarawan
mengatakan bahwa Islam awal yang muncul di Aceh Kehadiran beberapa majelis zikir yang disebutkan di
adalah Islam sufistik atau tasawuf. Islam tasawuf atas seolah menunjukkan adanya kebutuhan yang
merupakan Islam yang jauh lebih dapat diterima oleh besar bagi masyarakat kota di Aceh untuk merawat
masyarakat dunia. Di negara-negara Barat, tasawuf spiritualitas mereka melalui majelis zikir. Hal ini bisa
atau sufism bahkan tidak mengenal agama. Ia kita saksikan dengan sempat berjibunnya warga yang
diyakini menjadi jawaban bagi berbagai gerakan datang ke majelis zikir terutama yang diadakan di
radikalisme agama karena penekanannya pada aspek lapangan terbuka. Kita juga bisa menghadiri majelis
spiritualitas dan dimensi batin manusia di atas zikir hampir setiap malam di tempat yang berbeda
dimensi zahir dan hukum. dengan organisasi zikir berbeda pula. Di Mesjid Raya
Baiturrahman sendiri ada tiga malam dalam seminggu
Munculnya Gerakan Spiritual melaksanakan zikir berjamaah setelah shalat Isya.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, gerakan tasawuf Belum lagi di mesjid-mesjid kecil di Kota Banda Aceh
juga berkembang dengan baik di Aceh. Wujudnya dan di lapangan terbuka. Mereka yang hadir juga
dalam bentuk majelis zikir. Secara literal Majelis Zikir sangat beragam, baik dari sisi usia, latar belakang
S
warga Aceh lebih berbahagia dibanding rata-
rata penduduk Indonesia (Badan Pusat
Statistik,
2017). Aceh menduduki posisi ke 13 dengan skor
indeks kebahagiaan 71,96, lebih tinggi dari skor rata-
rata nasional 70,69. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas)
2018 menunjukkan bahwa tingkat gangguan mental
emosional dan depresi pada warga Aceh juga lebih
baik dari rerata nasional (Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2018). Akan tetapi, Aceh
menduduki peringkat tertinggi keempat se-Indonesia
dalam gangguan jiwa berat (skizofrenia/psikosis).
Aceh menduduki ranking tertinggi kedua dalam
Riskesdas
2007 dan 2013 sehingga ranking kita membaik di
2018.
stres berlebihan atau malnutrisi. Penyalahgunaan
ganja dan narkotika yang merebak hingga pelosok
Riskesdas 2018 menunjukkan 0,9% atau sekitar satu
gampong di Aceh perlu ditangani dengan serius oleh
dari 100 keluarga di Aceh memiliki anggota keluarga
pemerintah dan masyarakat. Jika tidak ditangani,
dengan gangguan skizofrenia/psikosis. Ini berarti,
penyalahgunaan narkoba dapat menjadi pendorong
jika ada 100 keluarga di gampong kita, kemungkinan
“tsunami gangguan jiwa” di Aceh. Pencegahan juga
ada penderita skizofrenia/psikosis di keluarga
dapat dilakukan dengan melakukan kampanye
saudara atau tetangga kita. Skizofrenia/psikosis
mengenai upaya masyarakat dalam mengelola
adalah gangguan jiwa yang membuat seseorang
tekanan psikologis yang dialami dan saling
mengalami kesulitan untuk membedakan hal nyata
mendukung satu sama lain. Kita sering bersepakat
dan tidak. Gejalanya termasuk kepercayaan yang
bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati, tapi
salah (delusi) seperti menganggap bahwa dirinya
tetap saja upaya pencegahan tidak mendapatkan
adalah presiden atau merasa bahwa orang lain ingin
perhatian dan sumber daya memadai. Saat melantik
mencelakainya, padahal kenyataannya tidak. Gejala
Walikota Banda Aceh tahun lalu, Gubernur Irwandi
lainnya adalah melihat atau mendengar sesuatu yang
menyampaikan visinya agar masyarakat Aceh hana
tidak dilihat atau didengar oleh orang lain
jadeh pungo. Upaya pencegahan adalah langkah
(halusinasi) atau berperilaku dan berbicara yang tidak
pertama dan utama untuk mewujudkan hal tersebut.
sesuai dengan konteks dimana seseorang berada.
Skizofrenia/psikosis disebabkan oleh faktor genetik
Deteksi dan penanganan dini (segera) adalah salah
dan lingkungan. Di antara faktor lingkungan yang
satu praktik baik (best practice) dalam penanganan
berkontribusi adalah stres/kekurangan nutrisi yang
gangguan jiwa. Semakin cepat gangguan jiwa
dialami ibu saat hamil, mengalami kekerasan akibat
diketahui dan mendapatkan penanganan memadai
konflik serta penyalahgunaan ganja dan narkotika.
maka kemungkinan perbaikan semakin tinggi.
Tantangan yang sering dihadapi di masyarakat adalah
Penanganan gangguan jiwa adalah kebutuhan
terbatasnya pengetahuan dan penyangkalan
mendesak di Aceh dan ada tiga upaya penting yang
masyarakat terkait gangguan jiwa. Masyarakat sering
perlu ditingkatkan: pencegahan, deteksi dan
kali menganggap gangguan jiwa yang dialami oleh
penanganan dini serta penanganan berkelanjutan.
anggota keluarga mereka akibat teluh (penyaket donya)
Pencegahan dilaksanakan dengan mengurangi faktor
sehingga anggota keluarga dengan gangguan jiwa
risiko seperti mencegah kekerasan terjadi lagi di Aceh
dibawa dulu ke “orang pintar.” Setelah dibawa ke
dan mendampingi ibu hamil agar tidak mengalami
berbagai orang pintar dan tak kunjung membaik,
12 | CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM”
anggota keluarga dengan gangguan jiwa baru dibawa masa rehabilitasi pasca konflik dan tsunami (2005-
ke tenaga medis. Pentingnya deteksi dan 2009), Dinas Kesehatan bersama berbagai lembaga
penanganan ditekankan. Puskesmas berperan besar nasional dan internasional menginisiasi program Desa
dalam upaya deteksi dan penanganan dini. Siaga Sehat Jiwa (DSSJ). Program ini membentuk dan
Tersedianya perawatan kesehatan jiwa dan obat melatih para kader kesehatan jiwa di gampong-
antipsikotik yang semakin baik di puskesmas perlu gampong untuk mengenali keluarga dan tetangga
terus dipromosikan ke masyarakat. Di sisi lain, mereka yang memiliki risiko kesehatan jiwa, mengajak
pemerintah juga perlu memastikan bahwa setiap mereka dan meyakinkan keluarga mereka untuk
puskesmas di Aceh memiliki jumlah personil terlatih mengakses layanan kesehatan jiwa di puskesmas,
dalam pelayanan kesehatan jiwa yang memadai. memberi tahu petugas puskesmas jika ada orang
dengan gangguan jiwa yang kambuh serta
Selain pencegahan serta deteksi dan penanganan mendampingi orang dengan ganggunan jiwa untuk
dini, penanganan berkelanjutan perlu mendapat patuh dalam mengkonsumsi obat. Program DSSJ
perhatian khusus. Pemerintah Aceh telah merupakan upaya untuk membumikan konsep
mencanangkan program Aceh Bebas Pasung pada pencegahan, deteksi dan penanganan dini serta
tahun 2006 dan direvitalisasi kembali pada periode penanganan berkelanjutan. Sayangnya, kader
kepemimpinan Irwandi kedua (2017-2022). kesehatan jiwa masyarakat di ratusan gampong tidak
Membebaskan orang dengan gangguan jiwa dari lagi mendapat pelatihan penyegaran dan dukungan
pasung dan memberikan mereka akses layanan memadai. Sebagian kader baru bahkan belum pernah
kesehatan jiwa yang memadai adalah langkah awal. mendapatkan pelatihan. Sebagian pemerintah
Setelah mendapatkan penanganan medis, sebagian gampong juga tidak mendukung kegiatan kader
orang dengan gangguan jiwa akan masuk dalam kesehatan jiwa meski kegiatan kampanye dan promosi
kategori pasien mandiri yang relatif dapat mengurus hidup sehat untuk mencegah gangguan jiwa termasuk
diri mereka sendiri. Agar tidak kambuh, perlu upaya dalam prioritas penggunaan dana desa 2018
berkelanjutan untuk (Peraturan Mentri Desa, PDT dan Transmigrasi No
memastikan bahwa pasien mengkonsumsi obat 19/2017).
secara rutin, mendapatkan dukungan keluarga,
memperoleh penerimaan masyarakat serta memiliki Akhirnya, kisah tentang gangguan jiwa di Aceh bukan
kegiatan ekonomi yang memadai. Survey yang hanya kisah sedih tapi juga kisah tentang inovasi dan
dilaksanakan oleh Forum Bangun Aceh (FBA) pada kerja keras. Kita bisa belajar dari Puskesmas Nisam,
pertengahan Aceh Utara yang membentuk kelompok Nisam Sehat
2018 terhadap 205 pasien gangguan jiwa mandiri di Jiwa (NISWA) yang memfasilitasi orang dengan
delapan kecamatan di Aceh menunjukkan hanya gangguan jiwa untuk berkumpul, saling mendukung,
sekitar sepertiga pasien mandiri (37,1%) memiliki dan belajar ketrampilan produktif. Kita perlu
pendapatan dari pekerjaan yang memadai untuk mengapresiasi perawat di Puskesmas Kuta Baro, Aceh
kebutuhan mereka dan keluarga. Sebagian pasien Besar dan puskesmas-puskesmas lain yang terus
mandiri yang telah berkeluarga menyatakan bahwa memfasilitasi kelompok dukungan bagi keluarga
sumber stres terbesar mereka adalah penderita gangguan jiwa. Kita perlu mengunjungi
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan keluarga; dan Gampong Beureuleung di Grong-Grong, Pidie dan
stres yang tinggi sering menjadi pencetus melihat kader dan aparat gampong yang sejak 2005
kekambuhan. Di sisi lain, mendapatkan pekerjaan hingga hari ini terus menjalankan Desa Siaga Sehat
adalah salah satu hak pasien mandiri dijamin oleh Jiwa. Kita bisa belajar dari seorang teungku di Aceh
negara dalam Undang Undang nomor 8/2016 tentang Utara yang menyampaikan pada masyarakat bahwa
Penyandang Disabilitas. “Gangguan jiwa adalah cobaan dari Allah. Penderita
tidak ada yang meminta untuk mendapatkan cobaan ini.
Penanganan masalah kejiwaan bukan hanya tanggung Karenanya, penderita perlu bersabar. Masyarakat pun
jawab dinas kesehatan, puskesmas, dan rumah sakit harus sabar dalam mendampingi penderita.” Setelah
jiwa, tapi merupakan tanggung jawab bersama. Untuk belajar, tantangan kita adalah bagaimana menjadikan
memfasilitasi kerjasama lintas sektoral, Tim Pelaksana dan menyebarkan inovasi-inovasi tersebut sebagai
Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM) perlu dibentuk praktik standar di berbagai tempat, bukan hanya
dan mendapatkan sumber daya memadai di tingkat perkecualian.
provinsi dan kabupaten. Selain itu, inovasi yang telah
dilaksanakan dalam peningkatan peran masyarakat
penting untuk dilanjutkan dan ditingkatkan. Pada
CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS
DARUSSALAM” | 13
KOTA BANDA ACEH 2018:
“PANGGUNG” ISLAM ATAU POLITIK?
Cut Dewi
P
eralihan jabatan walikota Banda Aceh dari Illiza keinginan untuk menerapkan Syariat Islam telah lama
Saaduddin yang mengusung citra Banda Aceh diupayakan oleh pemerintah pusat, ulama, dan elit
sebagai “Kota Madani” kepada Aminullah birokrasi lokal. Seperti yang dikemukakan Wertsch
Usman yang membawa citra baru Banda Aceh sebagai (2002), keinginan negara (elit) untuk mengendalikan
“Kota Gemilang” telah juga mengubah visi dan misi ingatan kolektif melalui sejarah tertulis sebagai cara
Kota Banda menjadi “Terwujudnya Kota Banda Aceh untuk mengendalikan masyarakatnya, yang dalam hal
Yang Gemilang Dalam Bingkai Syariah”. Seakan ini dapat diartikan sebagai cara untuk mengendalikan
Aminullah Usman menunjukkan keinginannya untuk identitas Aceh untuk tujuan politik. Menurut Aspinall
melanjutkan visi lama dengan polesan baru. (2007) Islam, khususnya Syariah Islam untuk para elit
Sebenarnya visi menjadikan Banda Aceh sebagai kota ini, diamanatkan oleh sejarah dan identitas Aceh. Dia
yang “Islami” dengan penerapan Syariah Islam mencatat bahwa, sejak 1978, doktrin resmi nostalgia
bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum Aminullah untuk zaman keemasan Islam di Aceh dan pentingnya
Usman memimpin, visi ini sudah terlebih dahulu di Islam untuk identitas Aceh telah dipromosikan dan
cetuskan oleh Almarhum Mawardy Nurdin yang giat disyiarkan. Ini kemudian diikuti oleh media lokal
menjabat walikota periode 2007-2012 dengan visi “ yang secara teratur menerbitkan artikel-artikel yang
Menuju Bandar Wisata Islami Indonesia “ , yang mengagungkan dan mengangkat kejayaan masa lalu
bertujuan menjadikan Kota Banda Aceh ini menjadi Islam di Aceh. Menurutnya, hal ini juga dilakukan
kota tujuan wisata islami. Kemudian visi ini dilanjutkan pemerintah dengan pemberian nama jalan, bangunan
menjadi “Banda Aceh sebagai Model Kota Madani” publik, dan institusi dengan nama-nama pahlawan
pada periode 2012-2017 kepemimpinannya yang Islam masa lalu. Melalui penceritaan kembali yang
dilanjutkan oleh Illiza. terus-menerus ini, masa lalu Islam Aceh, dilihat
menjadi lebih “gemilang” dan telah mempengaruhi
Bahkan, sebutan “Serambi Mekkah” telah lama persepsi orang tentang Aceh. Ditambah lagi dengan
melekat untuk Kota Banda Aceh (Arif, 2008; Reid, disahkannya Undang-undang No.18 of 2001 tentang
2006), perannya di masa lalu sebagai pusat studi Islam pembentukan makamah Syariah dan No.11 of 2006
(Feener, 2011), dan kehidupan sosial kota tercermin tentang Pemerintahan Aceh yang berdasarkan Syariah
melalui aturan sosial informal, antara lain: untuk Islam, menjadikan Aceh maskin kuat citra islamnya.
menutup segala kegiatan, terutama layanan publik,
dan perdagangan selama shalat Jumat, dan untuk Bagaimana Syariah Islam yang telah dijadikan undang-
menutup restoran selama hari-hari suci Ramadhan undag dan menjelma dalam visi dan misi Kota Banda
(puasa), dan aturan sosial lainnya berkaitan dengan Aceh diatas diterapkan dalam perencanaan kota saat
nilai-nilai Islam yang telah diterapkan di Banda Aceh ini, terutama sepanjang tahun 2018? Perencanaan tata
selama bertahun-tahun. Menurut Aspinall (2007), ruang Banda Aceh juga telah mengadopsi visi dan misi
Saiful Mahdi
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018
Perempuan dan Anak (P2TP2A) bersama jaringan menempatkan Aceh sebagai salah satu propinsi yang
kerja di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, paling buruk status kesehatan dasarnya, baik
sepanjang Januari s.d Juli 2018 telah menangani menyangkut kesehatan bayi, anak, ibu hamil, dan
825 kasus kekerasan terhadap perempuan dan kesehatan lingkungan. Proporsi bayi di bawah dua
anak. Data ini berdasarkan rekapitulasi dari tahun (BADUTA) di Aceh yang pendek dan sangat
lembaga pemberi layanan P2TP2A yang tersebar pendek (stunted, kerdil) adalah yang tertinggi di
di 23 kabupaten/kota di Aceh, LBH Apik, dan Indonesia, yaitu sebesar 37,9%. BALITA yang
Polda Aceh. Dalam rentang enam bulan tersebuti, mengalami stunting tertinggi ketiga setelah NTT dan
ada 400 kasus kekerasan terhadap perempuan Sulawesi Barat. Cakupan imunisasi dasar lengkap
dan 425 kasus kekerasan terhadap anak. pada anak umur 12 sd 23 bulan di Aceh adalah yang
terendah di Indonesia. Jika pada Riskesdas 2013
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan cakupannya 40%, terburuk ketiga di Indonesia, pada
Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Nevi Ariyani 2018 cakupannya justru makin rendah, hanya 20%,
yang didampingin oleh Ketua P2TP2A Aceh, terburuk di Indonesia.
Amrina Habibi, mengatakan data yang tercatat
sepanjang semester pertama ini semakin Buruknya nasib perempuan dan anak di Aceh
mengelisahkan saja. “Hal yang kini semakin mengingatkan saya pada masa jahiliyah, masa
mengkhawatirkan kita adalah bagaimana sebelum Islam. Masa dimana anak perempuan tidak
trend kekerasan tersebut meningkta tajam di diinginkan, bahkan ada yang dibunuh hidup-hidup
Aceh. Diprediksikan, angka kekerasan tahun setelah kelahirannya. Tapi mengapa ini justru terjadi di
ini akan semakin tinggi dibandingkan tahun tengah-tengah berlakunya Syariat Islam secara formal
sebelumnya dengan modus bentuk-bentuk di Aceh?
kekerasan yang semakin memiriskan”, kata
Nevi. Saya memilih masalah kekerasan terhadap
perempuan dan anak sebagai basis argumen untuk
— Website P2TP2A 2 melihat masalah di Aceh. Pertama, karena sejak kecil
sebagai Muslim saya selalu diajarkan tentang sejarah
Informasi dari website P2TP2A di atas menunjukkan kedatangan Islam yang “memerdekakan (anak)
jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak di perempuan” dari peradaban jahiliyah sebelum Islam.
Aceh tahun 2018 masih sangat tinggi. Di semester Jadi, bagi saya kemerdekaan perempuan adalah
pertama 2018 ( Januari s.d Juli) saja tercatat 825 bagian dari iman Islam saya. Kedua, karena saya
kasus, sudah hampir setengah dari 1.791 kasus yang percaya, peradaban sebuah bangsa bisa dilihat dari
tercatat pada 2017. Pihak P2TP2A mempredikasi perlakuannya pada “kaum marginal” untuk tidak
“angka kekerasan tahun ini [tahun 2018] akan menyebut “kaum lemah”. Tepatnya, kaum yang tidak
semakin tinggi dibandingkan tahun sebelumnya berdaya, terpinggirkan, atau dengan mudah tidak
dengan modus bentuk-bentuk kekerasan yang diberdayakan. Bayi dan anak-anak tak bisa melawan
semakin memiriskan”. ketidakadilan. Konstruk sosial seringkali melemahkan
perempuan. Hanya bangsa beradab dan maju yang
bisa memberi keadilan kepada setiap warganya,
termasuk mereka yang minoritas, difabel, dan yang
berkebutuhan khusus lainnya. Ujian pelayanan publik
1 Ditulissebagai bagian “Catatan Akhir Tahun 2018”, Poros paling tinggi adalah seperti ujian kasih sayang paling
Darussalam. Sebagian dari tulisan ini adalah pemutakhiran dari berat: menyanyangi dan memperlakukan mereka yang
backgrounder untuk Proses Revisit Pemantauan Pemenuhan Hak
berkebutuhan khusus sama dengan warga negara
Perempuan, Komnas Perempuan Indonesia, Aceh, 30 September s.d. 6
Oktober 2018 lainnya.
2 https://p2tp2a.acehprov.go.id/index.php/news/read/2018/09/20/51/se
mester-pertama-tahun-2018-825-kasus-kekerasan-terjadi-di-aceh.html
16 |CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM”
Singkatnya, siapa bangsa paling hina? Yang tak penduduk stabil, kembali mengalami pelebaran pada
beradab? Yang jahiliyah? Mereka yang menganiaya dasar piramida pada 2010. Piramida penduduk tahun
anak dan perempuan! 2010 menunjukkan peningkatan jumlah penduduk
usia balita, anak, dan remaja yang signifikan.
Demografi dan Kekerasan
Model-model sosial-ekonomi baru menunjukkan Pada tahun 2018, struktur penduduk Aceh yang
eratnya hubungan antara demografi dan kekerasan. berjumlah 5.189.466 juta jiwa masih menunjukkan
Struktur umur penduduk adalah salah satu dasar piramida yang masih lebar dengan kelompok
determinan penting pada banyak masalah sosial dan usia terbesar adalah penduduk usia 0-4 tahun (balita),
ekonomi. Pengangguran pada kelompok usia kelompok umur 5-9 dan 10-14 tahun. Besarnya
poroduktif, misalnya, secara empiris punya kaitan kelompok penduduk usia muda ini selain karena
dengan prilaku kekerasan—dalam perang, pasca- telah berakhirnya konflik, juga karena ada faktor
konflik, konflik sumber daya alam (SDA), termasuk penggantian (replacement) dengan terjadinya
konflik dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). fenomena “baby boom” pasca tsunami. Fenomena ini
Kaitan ini, walaupun tidak sederhana dan otomatis, terutama jelas terlihat di wilayah yang paling parah
semakin penting penting untuk dikaji. Karena itu terkena dampak tsunami, yaitu Banda Aceh, Aceh
makin banyak perhatian terhadap struktur umur Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat (Mahdi, 2017).
demografis dalam kaitannya dengan kekerasan,
terutama di negara sedang berkembang (Cramer, Kelompok balita, anak-anak dan remaja (5-14 tahun),
2010). dan kelompok usia lanjut bisa menjadi “triple burden”
(beban berganda) yang membutuhkan pelayanan
Secara gradual, kajian-kajian empiris menunjukkan khusus untuk pendidikan, kesehatan, dan
pentingnya pendekatan sosial-ekonomi pada kesejahteraan ekonominya. Dengan angkatan kerja
pemahaman kita tentang konflik. Sejak kajian Chiricos yang cukup besar, lebih dari 50% penduduk Aceh
(1987), Collier & Hoeffler (1998) dan Collier (2000), termasuk dalam usia produktif, beban tersebut bisa
hingga Collier dan Hoeffler (2004) telah menegakkan teratasi jika semua yang termasuk dalam angkatan
teori “Greed and Grievance” (kerakusan dan kerja memang bekerja dan dalam pekerjaan yang
kekecewaan) sebagai motivasi utama penyebab produktif dan berkualitas.
konflik. Cincotta dkk (2003) mempertegas masalah-
masalah sosial ekonomi yang dapat berasal dari isu- Namun dengan angka kemiskinan yang cukup tinggi,
isu demografis sebagai pemicu masalah sosial- 15,97% dibadingkan dengan rata-rata Indonesia pada
keamanan hingga konflik dengan kekerasan terjadi. 9,82% di tahun 2018, pekerjaan yang tersedia bisa
dipastikan tidak semua produktif apalagi berkualitas.
Aceh, dan Indonesia secara umum, sedang Pekerjaan produktif artinya pekerjaan yang bisa
mengalami “bonus demografi” dimana rasio mereka mencukupi kebutuhan di atas garis kemiskinan.
yang dalam usia produktif (14 s.d. 64 tahun) Pekerjaan berkualitas tentu saja lebih baik lagi.
dibandingkan dengan yang dalam usia non-produktif
3
sedang berada pada titik terendah. Dengan kata lain, Bila faktor kemiskinan dimasukkan dalam perhitungan
rasio ketergantungan sedang rendah-rendahnya. ketersediaan lapangan kerja, defisit lapangan kerja
Namun berada dalam usia produktif belum tentu produktif di Aceh ada pada angka 501.657, sekitar
dalam keadaan produktif. Keterbatasan lapangan kerja 21,31% dari angkatan kerja pada tahun 2018 (Gambar
dan rendahnya kapasitas untuk bisa produktif 1). Ini artinya, 1 dalam setiap 5 orang angkatan kerja
menyebabkan bukan hanya masalah pengangguran di Aceh adalah pengangguran atau “pekerja miskin”,
tapi juga masalah sosial- ekonomi lainnya. yaitu pekerja yang tidak mampu mencukupi
kebutuhannya.
Untuk Aceh yang merupakan wilayah pascakonflik,
keadaan lebih genting lagi. Tiga puluh tahun konflik,
disusul deraan mega-bencana Tsunami 2004, telah 3 Sebagian wilayah di Indonesia sudah mengalami “bonus demografi”
banyak merusak sistim sosial-ekonomi wilayah ini. sejak 2010, namun secara nasional diperkirakan akan terjadi dalam
periode 2025-2030. Di Aceh, Banda Aceh dan Aceh Barat sudah dalam
Struktur umur penduduk Aceh yang sampai Sensus periode Bonus Demografi ini sejak angka ketergantungan nya sudah
2000 menunjukkan arah menuju pertumbuhan berada di bawah 50 (Tabel 1 dalam Lampiran).
S
epanjang tahun 2018, Polda Aceh telah kantor dan aparat perwakilan di setiap daerah. Sudah
menangani 1.600 kasus narkoba dengan banyak kegiatan yang dilakukan BNN Pusat maupun
tersangka mencapai 2.213 orang yaitu 2.143 BNNP Aceh untuk mengurangi masalah yang
tersangka laki-laki dan 56 tersangka perempuan. berkaitan dengan narkoba. Namun sejauhmana
Menurut BNNP di Aceh terdapat 73 ribu orang yang efektifitas pengurangannya belum diketahui.
menjadi pecandu narkoba yang harus direhabilitasi Lingkaran setan seputar binis haram ini terus
namun saaat ini hanya mampu direhabilitasi 321 berlanjut. Narkoba adalah wujud “simbiosis
orang. mutualisme” antara bandar dan pengguna. Bandar
butuh pasar yaitu pengguna baik masyarakat miskin
Angka-angka itu bukan angka yang sedikit. Data atau kaya. Masyarakat juga secara tidak langsung
tersebut cukup untuk menyatakan “Aceh Darurat membiarkan bandar bebas bergerak karena sejumlah
Nakoba”. Seringakali masalah sosial seperti ini bandar narkoba di Aceh justru sangat banyak terlibat
mengandung fenomena “gunung es”. Yang dilaporkan dalam kegiatan sosial kemsyarakatan. Selain
atau dicatat secara resmi relatif kecil dibandingkan “menyediakan lapangan kerja” yang memang terbatas
kenyataan yang tak terlihat. Peredaran dan di Aceh, para bandar ini bahkan ditengarai telah
penyalahgunaan narkoba sudah menjadi isu nasional masuk ke dalam dunia bisnis “legal” dan dunia politik
dan internasional. Namun “darurat narkoba” adalah sebagai bagian dari usaha pencucian uang haram hasil
sebuah ironi besar di negeri bersyariat ini. Masalah binis illegal dari narkoba.
ini menjadi salah satu ancaman besar untuk
masyarakat Aceh dan karena itu harus mendapat Karena itu beberapa usaha perlu segera dilakukan di
perhatian dari semua elemen. Penegakan syariat Islam Aceh. Pertama, pemerintah Aceh perlu membangun
pun akan jadi pepesan kosong jika masalah ini tidak tempat rehabilitasi. Karena untuk saat ini tidak ada
segera ditangani. Penyalahgunaan narkoba akan tempat rehabilitasi sehingga sangat tidak berbanding
menggagalkan maqashid syariah (tujuan syariah), dengan jumlah pecandu yang menjadi waiting list
mulai dari rusaknya aqal, hilangnya harta, buruknya untuk direkomendasikan oleh BNNP Aceh ke pusat
keturunan, hingga terancamnya jiwa. Padahal semua rehabilitasi milik Pemerintah di Serdang, Medan dan di
ini harusnya dilindungi oleh sistem hidup bernama Lido, Bogor. Sedangkan rehab yang dilakukan oleh
“agama”. pihak swasta berbiaya mahal. Hal ini sangat
menyulitkan masyarakat Aceh karena dibutuhkan
Rumitnya pemberantasan narkoba bukan saja karena biaya yang besar untuk proses rehab yaitu
banyaknya mafia narkoba namun pengguna dan penyembuhan dan konseling. Pada dasarnya
pengedar yang terus meningkat serta terlibatnya pengguna narkoba bukan penjahat tapi korban maka
aparat penegak hukum seperti oknum-oknum polisi, negara harus hadir untuk merehabilitasi. Kedua,
tentara, bea-cukai, imigrasi, hingga kejaksaan, dan sosialisasi bahaya penggunaan narkoba di setiap desa
kehakiman. Mereka yang seharusnya menjadi di Aceh secara rutin. Kenapa hal ini perlu dilakukan
pengayom masyarakat untuk tak terlibat kasus karena menurut BNNP Aceh 2018 tidak ada satu desa
narkoba, justru sering menjadi beking bisnis illegal pun yang tidak terlibat masalah narkoba di Aceh.
lewat jaringan peredaran barang haram tersebut. Ketiga, yaitu adanya fatwa haram dari tengku-tengku
Menurut catatan Polda Aceh tahun 2018, misalnya, dan pemuka masyarakat di Aceh supaya
sebanyak 69 anggota Kepolisian Daerah Aceh memberantas narkoba harus layaknya seperti
diberhentikan secara tidak hormat. Sebanyak 52 memberantas aliran-aliran sesat. Jangan seperti yang
diantaranya terlibat kasus narkoba. terjadi selama ini, melarang narkoba tapi menerima
dan membanggakan uang hasil bisnis narkoba.
Menghadapi permasalahan narkoba yang semakin Termasuk menerima sumbangan untuk kegiatan
meningkat dan berkesinambungan pemerintah telah sosial, keagamaan, dan kegiatan politik dari jaringan
membentuk Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai narkoba.
badan penanggulangan masalah narkoba dengan
P
dan selalu ada khususan? Di tingkat nasional, mari mencermati data Semester I 2018
ada kementrian khusus untuk perempuan. rekapitulasi kasus kekerasan terhadap perempuan
Tak dari P2TP2A di 23 kabupaten/kota, bekerja sama
hanya itu, ada juga dinas khusus di tingkat propinsi dengan LBH Apik dan Polda Aceh. Dari 825 kasus yang
dan kabupaten/kota, ada lembaga khusus seperti dilaporkan, 400 diantaranya adalah kasus kekerasan
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan terhadap perempuan, sementara 425 kasus lainnya
dan Anak (P2TP2A), ada Komnas Perempuan, ada adalah kekerasan terhadap anak. Kepala Dinas
undang-undang khusus, ada kuota khusus “30 %” Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
untuk memastikan keikutsertaan, dan banyak lagi (DPPPA) Aceh menyatakan bahwa tak hanya terjadi
keistimewaan yang diberikan bagi warga negara kecenderungan peningkatan angka kekerasan, “modus
perempuan. bentuk kekerasan juga semakin memiriskan” (P2TP2A
Aceh, 2018). Jadi kita tak hanya berhadapan dengan
Secara legal formal, hal ini juga berlaku untuk bertambahnya jumlah kasus kekerasan secara
perempuan Aceh, bahkan dengan beberapa signifikan, tapi juga bentuk-bentuk tindak kekerasan
tambahan. Untuk pelayanan publik misalnya. Dalam terhadap perempuan yang semakin memilukan.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Pasal 1
tentang Asas-Asas Pelayanan Publik, salah satu Kedua, hasil penelitian Flower Aceh bersama
asasnya hanya menyebut “Persamaan Permampu menunjukkan bahwa “perempuan menjadi
Perlakuan/Tidak Diskriminatif”. Klausa ini pernyataan kelompok dominan yang mengalami masalah
yang umum sekali maknanya. Sementara dalam kesehatan dan gizi” (Flower Aceh, 2018). Perhatikan
Qanun Nomor 8 Tahun 2008 Pasal 1 ada penambahan salah satu indikator kondisi kesehatan kaum Ibu.
khusus, yaitu asas “Kesetaraan” dan “Sensitifitas Angka Kematian Ibu (AKI) Propinsi Aceh saat ini masih
Gender”. Secara perundang-undangan, perempuan cukup tinggi, yaitu 143 per 100.000 kelahiran hidup.
Aceh memang istimewa. Menurut berita, hal ini sudah menjadi perhatian
Pemerintah Aceh, sebagaimana yang disampaikan
Siapa Perempuan Aceh? Nova Iriansyah, saat membuka Rapat Kerja Kesehatan
Lantas siapa yang disebut sebagai “perempuan Aceh”? Daerah (Raker Kesda) se-Aceh. Untuk mewujudkan
Apakah mereka yang bergelar bangsawan, keturunan program Aceh Seujahtera dan JKA plus, akan
para sultan serta kaum ulebalang? Atau semua dialokasikan dana sebesar 890 milyar rupiah (Serambi
perempuan yang lahir dan/atau dibesarkan di bumi Indonesia, 18 April 2018). Adakah kucuran dana yang
syuhada ini, “atau memiliki garis keturunan Aceh, baik tidak sedikit ini berdampak bagi perbaikan berbagai
yang ada di Aceh maupun di luar Aceh dan mengakui indikator kesehatan di Aceh, khususnya kaum
dirinya sebagai orang Aceh” (UUPA, 2006), tak peduli perempuan?
ulebalang atau kawula bahkan lamiet? Karena
demikian, UUPA No.11/2006 Pasal 211 mendefinisikan, Ketiga, angka kemiskinan Aceh lebih tingi dari rerata
siapa yang berhak disebut sebagai “orang Aceh”, angka kemiskinan di Indonesia. Data BPS 2018
termasuk kaum perempuannya. menunjukkan bahwa angka kemiskinan nasional
berada di bawah kisaran 10 persen, tepatnya 9,82 %.
Bagi Pemerintah Aceh, tentu UUPA yang menjadi Sementara angka kemiskinan di Propinsi Aceh berada
rujukan. Merekalah yang pemenuhan haknya atas di angka 15,97 %. Dibandingkan sebelumnya di tahun
perlindungan hukum, pendidikan, pekerjaan, jaminan 2010, angka kemiskinan Aceh adalah 20,98 %. Sekilas
sosial kesehatan, akses pada bantuan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan Aceh terlihat cukup
hak-hak lain---sesuai Qanun No.6/2008, perlu menghibur. Namun sebandingkah capaian ini dengan
dijamin, dilindungi dan dipastikan tak didiskriminasi. alokasi Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) yang
Namun mirisnya, beberapa kenyataan berikut jumlahnya demikian besar?
menunjukkan bahwa pemerintah dan rakyat Aceh
perlu ikhtiar lebih keras untuk memuliakan kaum
perempuannya.
22 | CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM”
Lebih jauh lagi, mari mengkaji angka kemiskinan Aceh Sher Banu A.L Khan (2017), seorang profesor dari
itu berdasarkan jenis kelamin. “Kemiskinan di Aceh National University of Singapore, menulis hasil
didominasi perempuan” (Nurnisa, 2018). Walaupun penelitiannya dalam sebuah buku berjudul
selintas tak terlihat perbedaan mencolok, antara “Sovereign Women in a Muslim Kingdom:The Sulthanahs
jumlah penduduk miskin laki-laki dengan penduduk of Aceh,
miskin perempuan. Namun saat kita telisik, barulah 1641-1699”, bahwa keempat sulthanah Aceh ini “bukan
kita paham bahwa dari sekian penduduk miskin yang sekedar penguasa boneka”. Mereka “the real king”, “the
ada di Aceh, jumlah kaum perempuan yang rulers”. Bukan “the queen” yang duduk manis, tapi
mengalami kemiskinan parah ternyata lebih banyak. sulthanah yang bernegosiasi dengan elit bangsawan,
Adanya diskriminasi akses terhadap faktor-faktor bermusyawarah dengan ulama, dan berdiplomasi
produksi yang membuat perempuan sulit keluar dari dengan bangsa-bangsa Eropa.
keterpurukan kemiskinan (Marcoes, 2015).
“Perempuan belum mendapatkan kesempatan dan Kepemimpinan perempuan pada masa itu “dithee le
hak yang sama seperti halnya laki-laki (Riswati dalam kaphe”(masyur dan dikenal dunia), namun hari ini
Nurnisa, 2018). Padahal Qanun Nomor 6 Tahun 2009 semua itu hanya ilusi. Qanun boleh menyatakan,
Pasal 15 menegaskan bahwa Pemerintah Aceh wajib bahwa tidak ada diskriminasi bagi perempuan untuk
“…memfasilitasi akses perempuan terhadap sumber- menduduki berbagai jabatan. Lantas kenapa
sumber perekonomian…” kemudian pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Kota Banda Aceh tahun 2017 lalu, isu “perempuan
Mengapa ketika bicara tentang perempuan Aceh, tidak boleh menjadi pemimpin” kembali dimunculkan?
realitas ini menjadi penting? Agar kita semua dapat Kalau dimunculkan para lamiet, mungkin kita anggap
melihat dengan jernih, kondisi perempuan Aceh hari hoax. Namun jika yang menyatakan mengaku pewaris
ini berdasarkan kenyataan/fakta. Bukan berdasarkan Nabi Saw? Tidakkah itu memartir “nanti durhaka,
kenangan. masuk neraka…” dalam pikiran kita?
Perempuan Aceh dan Ilusi Kesetaraan Menyoal Perempuan dan Masa Depan Aceh
“kesetaraan” di Aceh kerap didiskusikan dengan Perempuan. Bicara tentang perempuan Aceh adalah
mengandalkan romantisme sejarah masa silam. bicara tentang ibu, adik-kakak, istri dan anak-anak
Kenangan bahwa nun, ada hadih maja di negeri ini perempuan Bangsa Aceh. Pada mereka, baik-buruk
yang berbunyi: “Adat bak Poteumerheuhom, Hukom kualitas satu generasi dari bangsa ini akan kita
bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak dititipkan. Namun bila anak-anak perempuan kita
Laksamana”. Konon, salah satu qanun masa Putroe dibesarkan dengan “kenangan manis”, untuk tumbuh
Phang ini melahirkan adat pewarisan rumah pada dewasa dibenturkan dengan “kenyataan pahit”,
anak perempuan, sehingga para istri dalam bahasa akankah mereka menjadi madrasah yang mampu
Aceh disebut “po rumoh” (pemilik rumah) dalam mencerdaskan?
makna sebenarnya. Kepemilikan rumah sebagai
tempat berlindung tentu menjadi salah faktor Tiga kondisi kekinian perempuan yang penulis
penentu bagi perlindungan dan kesejahteraan kaum sebutkan hanya sekelumit dari banyak persoalan yang
perempuan. Namun, dapatkah kenangan ini dirujuk perlu kita selesaikan. Selalu, dibutuhkan kejernihan
untuk menunjukkan bahwa kaum perempuan sudah hati, “prasangka yang bening” (A.Fillah, 2013) dan
diikut-sertakan dalam setiap proses kebijakan? Sesuai keikhlasan, untuk segenap ikhtiar memuliakan kaum
Qanun No.6/2008 Bab VII Pasal 22 dan 23? perempuan. Karena bicara tentang “kesetaraan”
bukanlah upaya untuk menjadikan perempuan dan
Kemudian kita juga kerap menceritakan kisah laki-laki “serba-sama”. Justru sebaliknya, bagaimana
kejayaan empat Sulthanah, untuk menunjukkan perbedaan ini bisa saling melengkapi, tanpa
bahwa masalah kesetaraan di nanggroe kita sudah mendhalimi. Begitu seharusnya wujud penerapan
selesai berabad silam. Jauh, misalnya, sebelum syariat Islam, untuk mencapai maslahah bagi semua,
pejuang Women's Suffrage (gerakan perjuangan di dunia…dan InsyaAllah di akhirat. Demikianlah, Islam.
hak Agama yang rahmatan lil álamin, untuk seluruh alam.
kaum perempuan), seperti Lucretia Mott dan Termasuk alam lingkungan, tumbuhan dan hewan.
Elizabeth Stanton di Amerika Serikat, membacakan Apatah lagi untuk manusia yang kebetulan ditakdirkan
deklarasi akan hak-hak kaum perempuan di Seneca Tuhan berjenis kelamin perempuan?
Falls tahun
1848. Tapi benarkah demikian? Karena sebagian masih
saja membantah, para sulthanah ini sebenarnya
hanyalah “pemimpin boneka”?
CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS
DARUSSALAM” | 23
Orang Aceh dan Korupsi
Reza Idria
G
uncangan itu datang pada Selasa malam 3 Juli penting saya catat waktu itu mungkin bisa diwakili
2018. Penangkapan Irwandi Yusuf oleh KPK oleh ungkapan seorang teman yang juga dekat
terjadi seperti gempa, tanpa aba-aba, dengan Irwandi:
namun memberi efek kejut yang mengguncang saraf “geutanyoe lagee aneuk ban lahe, watee meujak piep
nyaris semua orang Aceh, tidak terkecuali lawan- mom ma ka mate” (kita seperti bayi yang hendak
lawan politiknya. Keesokan pagi ketika Irwandi menyusu tapi tiba-tiba sudah ditinggal mati ibu).
1
Arfiansyah. S.Fil.I.,MA sehari-hari berkerja sebagai tenaga pengajar tetap di Prodi Sosiologi
Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Ar-Araniry. Saat ini dia dipercaya sebagai Program Manager di
International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS). Arfiansyah menyelesaikan studi
magisternya di McGill University, Kanada, dengan program studi Islamic Studies. Saat ini dia sedang
menyelesaikan studi doktoralnya dalam bidang Antropologi Hukum di Leiden University, Belanda.
Cut Dewi, ST., MT, M.Sc, Ph.D bekerja di bidang arsitektur dan konsevasi kota. Menyelesaikan
sarjana di Jurusan Arsitektur Unsyiah tahun 2002. Kemudian menyelesaikan double master degree
di bidang Environmental and Infrastructure Planning, University of Groningen, Belanda dan
SAPPK, Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2007. Pada tahun 2015, dia menyelesaikan PhD-nya
di Australian National University. Dia adalah anggota dari Association for Critical Heritage Studies
(ACHS) dan merupakan editor dan reviewer beberapa jurnal lokal, nasional, dan internasional. Dia
telah mengajar arsitektur di Universitas Syiah Kuala sejak tahun 2002 hingga sekarang dan
merupakan salah satu dosen berprestasi Fakultas Teknik tahun 2010. Selain mengajar dan meneliti
di Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Wilayah, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Dr. Cut
Dewi adalah peneliti senior dan Direktur Eksekutif International Centre for Aceh and Indian Ocean
Studies (ICAIOS), sejak Agustus 2018. Dr. Dewi dapat dihubungi lewat email:
cut.dewi@acehresearch.org
Dian Rubianty, SE.Ak., MPA adalah dosen Ilmu Administrasi Negara dan Kepala Laboratorium
FISIP UIN Ar-Raniry. Setelah menamatkan pendidikan sarjana bidang Akutansi di Fakultas Ekonomi
Unsyiah dengan pujian, Dian fokus sebagai fulltime mom dan menjadi penulis tentang isu
perempuan dan anak. Dengan beasiswa Fulbright Tsunami Initiative, Dian melanjutkan pendidikan
pascasarjananya dalam bidang Public Administration di University of Arkansas at Fayetteville
sehingga memperoleh gelar MPA juga dengan pujian. Selain mengajar dan meneliti, Dian aktif
menulis dan menjadi narasumber dalam berbagai seminar dan pelatihan. Email:
dian.rubianty@gmail.com
Ibnu Mundzir, M.A adalah peneliti pada International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies
(ICAIOS). Ibnu Mundzir juga bekerja sebagai konsultan freelance di bidang monitoring dan evaluasi
dan peningkatan kapasitas untuk berbagai lembaga seperti Star Consulting, C4Change.id, Forum
Bangun Aceh, Canadian Red Cross, William & Lily Foundation, KOMPAK-LANDASAN di Tanah Papua,
dan CDM-Smith untuk program Millenium Challenge Account Indonesia. Di bidang dukungan
psikososial pasca bencana, Ibnu Mundzir pernah bekerja untuk Pusat Krisis Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia dan American Red Cross. Ibnu Mundzir menamatkan Pendidikan sarjana
psikologi di Universitas Indonesia dan master di bidang Community Psychology and Social Change
dari Pennsylvania State University (2011) dengan beasiswa dari Fulbright Tsunami Initiative
Program. Ibnu Mundzir dapat dihubungi di ibnu.mundzir@acehresearch.org
Muazzinah, B.Sc, MPA adalah staf pengajar pada FISIP UIN Ar-Raniry. Ina memperoleh gelar
B,Sc. dalam Social Science dari Universitas Sains Malaysia, Pulau Pinang, Malaysia, 2008. Gelar
pascasarjana diperolehnya dalam bidang Administrasi Publik dari Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 2014. Selain mengajar dan meneliti di kampus, Ina juga seorang peneliti di The Aceh
Institute, sebuah lembaga kajian independen di Banda Aceh. Ina mendalami administrasi publik,
kebijakan publik, pelayanan publik, dan ilmu politik. Dengan pengalaman akademik dan
aktivismenya, Ina sering diminta menjadi narasumber oleh media massa cetak, televisi, maupun
media online.
Muhammad Mirza Ardi, S.Pd., MPPM mengajar Sosiologi Politik dan HAM di UIN Ar-Raniry dan
Sosiologi Hukum di Unsyiah. Saat ini dia menjadi peneliti di Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan
Budaya (PPISB), Unsyiah dengan fokus pada Critical Public Policy. Selain menjadi peneliti, dia juga
terlibat aktif di Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah ( JMSPS). Papernya yang berjudul "The
Politics of Sharia in Aceh" pernah dipresentasikan di Annual CILIS Islamic Studies Postgraduate
Conference, Melbourne Law School. Mirza menyelesaikan studi magisternya di The University of
Melbourne, Australia, dengan bidang Public Policy and Management. Dia mendalami kebijakan
publik dengan perspektif sosiologi (ekonomi politik) dan menjadi murid langsung Vedi R Hadiz
(Guru Besar Asia Studies di Universitas Melbourne). Tulisan opininya sering dimuat di The Jakarta
Post, Tirto.id, dan Serambi Indonesia.
Reza Idria, MA adalah staf pengajar dan Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP UIN
Ar-Raniry. Memperoleh gelar MA dari Leiden University, Belanda, Reza saat ini tercatat sebagai
kandidat Ph.D di bidang Antropologi di Harvard University. Selain sebagai dosen dan peneliti, Reza
dikenal sebagai aktivis gerakan kebudayaan dan ikut mendirikan Komunitas Tikar Pandan dan
sejumlah komunitas kebudyaan lainnya. Tulisan-tulisannya mendalam dan tajam membedah
berbagai fenomena hidup manusia dan kemanusiaan. Aktif sejak masa mahasiswa, aktivisme Reza
menjangkau jaringan di tingkat nasional dan internasional. Pendidikannya di Harvard, universitas
terbaik dunia, makin meneguhkan jalannya sebagai intelektual muda kritis.
Saiful Mahdi, S.Si, M.Sc., Ph.D. adalah dosen dan ketua pendiri Jurusan Statistika, FMIPA Unsyiah.
Saiful memperoleh gelar doktornya dari Cornell University setelah mendapatkan master bidang
Statistika dari University of Vermont (UVM) di Vermont, Amerika Serikat dengan beasiswa Fulbright.
Dia mendalami Statistika sejak program sarjana di ITS Surabaya. Saat ini, Dr Saiful juga seorang
peneliti pada Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) Unsyiah dengan fokus pada
quantitative social science. Bidang minatnya termasuk demografi, statistik sosial, statistik resmi
(official statistics), dan metode survey. Selain mendalami ekonometrika terapan, sejak bergabung
dengan PPISB Unsyiah, Saiful juga berminat pada “sociology of disaster”. Saiful dapat dihubungi
lewat email: saiful.mahdi@unsyiah.ac.id
Sehat Ihsan Shadiqin, M.Ag. Dr. menekuni kajian tasawuf dan spiritualitas Islam. Namun
penelitiannya mencakup sejarah dan realiatas sosial tasawuf dan tarekat, syariat Islam, budaya,
etnisitas, dan masalah-masalah sosial ekonmomi di Aceh. Diantara bukunya adalah Tasawuf Aceh
(2008), Kosmosufism (2012), Abu Habib Muda Seunagan (2015). Beberapa tulisan lain dipublikasi
melalui buku kumpulan tulisan dan artikel dalam berkala ilmiah. Dr. Sehat juga menjadi editor
beberapa ensiklopedia, seperti Ensiklopedia Pemikiran Ulama Aceh, Jilid I (2004), Jilid III (2007),
Ensiklopedi Kebudayaan Aceh (2018), dan beberapa buku. Saat ini menjabat sebagai Ketua
Program Studi Sosiologi Agama, Fakkultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry. Dapat dihubungi
melalui email: sehat.ihsan@acehresearch.org
Tentang
Poros Darussalam
Poros Darussalam adalah kumpulan pusat studi, pusat penelitian, dan
organisasi non-pemerintah yang ada di kawasan Kota Pelajar dan
Mahasiswa (Kopelma) Darussalam, Banda Aceh. Poros ini lahir didorong
oleh kesadaran untuk menjembatani dunia akademik/penelitian dengan
dunia kebijakan dan aktivisme. Poros Darussalam memperjuangkan ide
secara bersama-sama agar lebih diketahui publik dan memiliki daya
tekan pada pengambil kebijakan lewat kerjasama dengan berbagai pihak,
terutama media dan para jurnalis dan pewarta. Sejauh ini Poros
Darussalam menjalankan peran koordinatif antar lembaga yang ada di
Kopelma. Catatan Akir Tahun 2018 ini lahir dari komunikasi, koordinasi,
dan kerja sama antar lembaga yang ada. Poros Darussalam memiliki
anggota yang tidak formal dan tidak mengikat. Relasi antar anggota
dibangun atas visi yang sama dalam merekontruksi dan membangun
peradaban Aceh yang lebih baik, masyarakat yang lebih terbuka, dan
pembangunan berbasis data dan fakta untuk kebaikan dan kesejahteraan
semua. Anggota Poros Darussalam terdiri dari: ICAIOS, PPISB Unsyiah,
The Aceh Institute, ACCI Unsyiah, Padee Books, Program Studi Sosiologi
Agama UIN Ar-Raniry, Pusat Studi Telematika Unsyiah, Jurnal Ilmiah Islam
Futura, Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry,
ARC Unsyiah, CCIS Unsyiah, CTCS, dan CENTRIEF UIN Ar-Raniry.