Anda di halaman 1dari 35

Aceh 2018:

Makin Gelap dan Sempit?


CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS
DARUSSALAM”

The Aceh
Institute
•Program Studi
Sosiologi Agama �
CCIS
DAFTAR ISI

Ekonomi Politik Aceh 2018:


Aceh (Belum) Hebat
3

Bangsa yang Hilang? Bahasa dan Identitas


Aceh dalam Sejarah dan Budaya
6

Sponsoring Spiritual: Mutualisme Politik


Pemerintah dengan Majelis Zikir di Aceh
10

Kesehatan Jiwa Aceh 2018: Lebih Baik dari Rerata


Nasional, tapi Tidak untuk Gangguan Jiwa Berat
12

Kota Banda Aceh 2018:


“Panggung” Islam atau Politik?
14

Muda, Menganggur, Miskin: Aspek Demografi


16
dan Sosial-Ekonomi Kekerasan Pasca-Konflik Aceh

Darurat Narkoba:
Sisi Gelap Negeri Syari’ah
20

Perempuan Aceh:
Antara Kenangan dan Kenyataan
22

Orang Aceh dan Korupsi 24


Ekonomi Politik Aceh 2018:
Aceh (Belum) Hebat
Mirza Ardi

S
elama tahun 2018, setelah berkeliling Aceh Di bagian lain Aceh, kita menemukan masyarakat
untuk melakukan penelitian dan bertemu mengeluh bagaimana sumber daya alam mereka
dengan beberapa orang, saya berkesimpulan dirusak oleh tambang-tambang illegal yang dibekingi
Aceh semakin menuju 'masyarakat tertutup'. Di tahun oleh elit pejabat. “Mata air yang dulu putih, sekarang
2018 kemarin, kita kembali bertengkar soal jumlah lebih hitam dari kopi” keluh mereka. Mereka berdemo,
rakaat tarawih, fondasi sebuah masjid dibakar tapi tak pernah didengar. Konflik horizontal karena
karena beda aliran, toko harus ditutup kalau sedang masalah akses dan manajemen sumber daya alam
azan, dan perempuan dihimbau tak duduk semeja hanya tinggal menunggu waktu. Hal lain yang mengiris
dengan yang bukan muhrim. hati, Aceh merupakan provinsi dengan tingkat
cakupan imunisasi terendah se-Indonesia. Masa
Kita pun menemukan politik identitas semakin depan kita terancam oleh generasi yang rentan
mengental dimana agama muncul sebagai pembeda diserang penyakit. Sebagiannya penyakit
utama. “Orang Aceh asli adalah Islam, kalau bukan melumpuhkan bahkan mematikan.
Islam dipastikan bukan asli Aceh” demikian kata
kepala Dinas Syariat sebuah kota. Di kabupaten lain, Pertanyaannya sekarang adalah: bagaimana kita
seorang anggota Kesbangpol bidang ideologi ketika memahami semua fenomena ini?
ditanya tentang ayat konstitusi yang menyatakan
'setiap warga negara berhak beribadah sesuai dengan Untuk memahami persoalan diatas, refleksi akhir
keyakinan dan agamanya', dengan santai menjawab tahun ini memakai pendekatan ekonomi-politik. Yakni
“Itu kan Indonesia!”, seolah-olah Aceh dan Indonesia melihat bagaimana basis struktur ekonomi suatu
adalah dua negara yang berbeda dengan konstitusi masyarakat mempengaruhi apa yang dalam tradisi
yang tak sama. Yang mengejutkan adalah pernyataan Marxian disebut sebagai superstructure, yakni politik,
itu datang dari anggota Kesbangpol bidang ideologi. budaya, penafsiran agama, pendidikan, dan
Di tempat lain, seorang anggota FKUB Kota dipecat sebagainya.
karena dianggap memiliki cara pandang yang toleran.
Padahal secara keilmuan, dia adalah orang yang paling Hingga di ujung tahun 2018 ini, Aceh masih belum
punya otoritas keilmuan soal hubungan antar agama mengalami industrialisasi. Struktur ekonomi
(disertasi S3 nya tentang toleransi beragama di masyarakat Aceh masih didominasi oleh sektor
Indonesia). Mungkin itu harga untuk “Harmony Award” pertanian, perikanan, perkebunan dan peternakan
yang diterima FKUB Aceh dari Kemenag dua hari yang yang dikelola secara tradisional. Hasil produksinya pun
lalu. masih mentah, belum diolah. Jumlah peternakan yang

3 | CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS


dikelola secara tradisional. Hasil produksinya pun didistribusikan, sementara rakyat seperti petani dan
masih mentah, belum diolah. Jumlah angkatan nelayan hanya jadi penonton dan bengong. Salah satu
kerjanya besar dengan kualitas ekonomi yang dana yang dikelola elit politisi-birokrat adalah dana
melempem. Hampir semua dalam kelompok ini hidup otsus. Di setiap tahun, program pemerintah Aceh
miskin. Hasil keringat mereka hanya cukup untuk adalah membangun infrastruktur. Program seperti ini
menyambung hidup sehari-hari, tidak mampu untuk tentu saja memiliki legitimasi: infrastruktur baik untuk
merasakan hidup mewah, apalagi membangun menunjang pertumbuhan ekonomi. Karena Aceh
usaha. Di sektor perdagangan dan modal, kapitalis miskin, maka Aceh butuh infrastruktur. Namun yang
lokal tergolong lemah. Selain hanya menjadi terjadi pembangunan infrastruktur menjadi
distributor produk kapitalis dari luar, mereka juga momentum untuk korupsi secara membabi-buta dan
menciptakan produk sendiri, tapi skalanya tergolong berjamaah. Pelakunya saya sebut sebagai unholy
kecil. Akumulasi kapital mereka hanya mampu untuk trinity (trinitas laknat), yakni oknum politisi, birokrat,
menghidupi gaya hidup yang lebih mewah (untuk dan kontraktor. Banyak politisi yang menjadi
ukuran Aceh), atau membuka cabang usaha di tempat kontraktor, dan banyak kontraktor yang menjadi
lain, tapi tak mampu menciptakan sebuah industri politisi. Maka, dana otsus dipakai untuk memperkaya
baru. diri mereka sendiri dengan program pembangunan
infrastruktur. Di tahun 2018 ini, ada 685 proyek fisik
Meskipun demikian, bukan berarti di Aceh tak ada APBA yang berstatus merah karena realisasinya masih
industri sama sekali. Di beberapa daerah terdapat dibawah 75 persen dan 1,5 trilyun dana otsus
industri, tapi skalanya tergolong rendah. Selain itu, terbengkalai.
industri yang dominan di Aceh bukan manufaktur, tapi
ekstraktif, yakni menghisap kekayaan alam dan Pembangunan yang menggunakan dana otsus pun
akumulasi kapitalnya digunakan untuk menguras banyak sekali dilakukan karena keinginan elit, bukan
sumber daya alam di tempat lain. Banyak tambang karena keinginan masyarakat. Program-program
emas ilegal di beberapa kabupaten, pekerjanya dari seperti pembangunan dan beasiswa ada yang sengaja
luar dan dalam Aceh, dan tambang illegal ini diketahui dibuat untuk dikorupsi. Bahkan tersangka korupsi
dan dibiarkan oleh kepala daerah. Untuk bisa bekerja dana beasiswa adalah ketua fraksi salah satu partai
penuh menggali emas, para pekerja tambang ilegal yang kembali mencalonkan diri. Jika ada rakyat yang
diberi asupan sabu-sabu, bahkan mereka diberikan kecipratan faedah dari pembangunan atau beasiswa
fasilitasi pelacur dari luar Aceh agar tetap bekerja di pemerintah, itu adalah bonus. Sebuah perkecualian
atas gunung. Akibat dari tambang dan industri ilegal ketimbang prestasi yang merata. Dengan kata lain,
ini adalah perusakan lingkungan, selain perusakan korupsi justru menjadi roda pembangunan di Aceh. Jika
norma dan budaya di lingkungan sekitar tambang. tak ada kesempatan korupsi, tak ada pembangunan.
Pengalaman masa konflik Aceh dulu menunjukkan Dari uang korupsi ini, muncullah orang-orang kaya
bahwa bisnis illegal hanya mungkin terjadi dengan baru di Aceh yang pendapatan bulanan mereka tak
keterlibatan mereka yang berseragam dan bersenjata. sebanding dengan gaya hidup mewah mereka. Kita
Bedanya, dulu yang berseragam dan bersenjata saling bisa melihat banyak oknum elit politisi-birokrat yang
berlawanan, tapi kini mereka ada yang justru memiliki rumah mentereng, mobil mewah, dan istri
bekerjasama. Jadinya, laju pengurasan sumber daya muda, semua itu mereka raih dalam tempo sesingkat-
alam ditengarai justru meningkat tajam setelah singkatnya.
perdamaian.
Demikianlah, dana otsus dikorupsi dan pemerintah
Melalui penjelasan diatas, bisa diambil kesimpulan gagal menggunakannya untuk mempercepat proses
secara sosiologis Aceh adalah masyarakat agraria industrialisasi, dana otsus akhirnya menjadi sumber
dengan urban yang non-industri. Dalam masyarakat mata pencarian uang. Sumber kesejahteraan di Aceh
non-industri, menurut Thorstein Veblen di buku bukan di sektor swasta, tapi di pemerintah. Hal ini
The Theory of the Leisure Class, yang menjadi elit mengakibatkan strategi untuk hidup layak di Aceh ada
adalah empat, yakni: 1) menjadi pegawai negeri
pejabat pemerintahan dan tokoh agama, dan memang sipil/polisi/militer; 2) menjadi politisi 5 tahun sekali
inilah yang terjadi Aceh. Panggung utama provinsi ini atau dekat dengan partai politik; 3) menjadi kontraktor
adalah untuk politisi dan penceramah agama, bukan bangunan dan 4) menjadi pemimpin dayah. Poin
untuk intelektual dan pekerja budaya, apalagi terakhir ada karena ada subsidi pemerintah untuk
seniman. Politisi-birokrat adalah elit yang menentukan dayah. Karena begitu enaknya menjadi politisi di Aceh,
kebijakan apa yang diambil dan kemana dana

CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM” 4


maka orang berlomba-lomba untuk bisa menang atau Hal yang tak boleh luput dari perhatian kita adalah
bertahan di pemilu dan pilkada. Bahkan untuk pemilu kelas lumpen-intelligentsia yang ada di Aceh. Yakni
2019 ini beberapa teungku dayah ikut mencalonkan kelas intelektual pengangguran atau pekerja tetapi
diri sebagai anggota legislatif. dibayar dengan upah di bawah keterampilan mereka.
Di tahun 2015 saja, tercatat 2.270 anak Aceh yang
Dalam tradisi Weberian, sumber kekuasaan di belajar di luar negeri dari “Beasiswa Aceh”, belum lagi
masyarakat agraris diperoleh dengan cara dari beasiswa lain. Kalau di Timur Tengah, mereka lah
membangun karisma melalui simbol-simbol. Di Aceh, penggerak revolusi Semi Arab (Arab Spring). Di Aceh
simbol-simbol yang dipakai adalah simbol agama dan tidak terjadi semacam revolusi sosial karena selain
etno-nasioanalisme. Simbol agama Anda makin mereka tak terorganisir, juga karena faktor Aceh
tampak jika melakukan penegasian pada simbol lain, sebagai provinsi (bukan negara). Dengan gelar dari
memilah mana yang murni dan mana yang tercemar. luar negerinya, para intelektual ini bisa pindah ke
Disinilah sektarinisme golongan muncul. Untuk provinsi lain untuk mendapat hidup yang layak.
memiliki kekuatan mobilisasi massa di Aceh, Anda tak Meskipun belum ada penelitian yang utuh, saya
punya pilihan lain selain harus tampak saleh dan menemukan cukup banyak alumni luar negeri Aceh
mendukung syariat Islam. Jika pun tak saleh, maka yang memilih menetap di luar Aceh dengan alasan
jangan melawan ulama. Maka muncullah qanun- ekonomi. Secara tidak sadar, Aceh sedang mengalami
qanun yang bernuansa syariat yang mengatur cara drain brain, keluarnya tenaga-tenaga bependidikan
hidup masyarakat lemah, seperti tak boleh duduk dan berketerampilan tinggi dari Aceh secara perlahan-
semeja dengan perempuan, tak boleh berjualan kalau lahan.
sedang azan, larangan aliran agama tertentu
termasuk aliran dalam Islam, dan seterusnya. Qanun- Kelas terakhir yang perlu dibahas adalah kelas petani,
qanun seperti ini akan terus bermunculan di masa nelayan, dan lumpen-proletariat (pengangguran dan
mendatang. Yang tak akan pernah muncul adalah pekerja serabutan). Mereka adalah bagian makin
qanun potong tangan untuk koruptor, karena yang besar dalam masyarakat Aceh. Pertanyaan utamanya
akan menjadi korban adalah elit pembuat qanun adalah, ketika kebijakan tidak memihak mereka dan
sendiri. korupsi terjadi secara telanjang di depan mata,
mengapa tak ada perlawanan dari kelas ini?
Berbeda dengan di Jawa dimana ide-ide pembaruan
Jawabannya adalah karena mereka tak terorganisir.
Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid, misalnya,
Mereka tak terorganisir karena tak mengalami
yang relatif telah diterima secara luas, tradisi mereka
kesadaran kelas. Mereka tak mengalami kesadaran
di Aceh bisa dikatakan tidak eksis dan tertolak dengan
kelas karena dua faktor: pertama, tak ada intelektual
demonisasi sebagai sesat, sekuler, dan liberal. Karena
organik yang membangunkan mereka dari tidurnya;
itu, tradisi agama yang hidup di Aceh adalah
kedua, mereka mengalami kesadaran yang salah
penafsiran agama yang ada di kitab kuning dan
(false consciousness) akibat kecanduan etno-
ajaran yang ada dari Timur Tengah. Sementara tradisi
nasionalisme dan sektarianisme agama. Pesan yang
Islam liberal tak ada di Aceh, maka yang berkonflik di
disampaikan kepada mereka adalah: “Hidup kamu
wilayah penafsiran agama di Aceh adalah antara
miskin, dan
lulusan universitas luar Aceh dan dayah tradisional.
kamu miskin karena si salafi-wahabi, si
Inilah yang menjelaskan konflik 'tongkat khutbah' dan
muhammadyah, si Jawa dan si Cina”.
gesekan antara 'ulama kampus' dan 'ulama dayah'.
Meskipun demikian, siapapun pemenangnya,
Dengan melihat struktur dan karakter tiap kelas di
penafsiran liberal dalam syariat Islam di Aceh tak akan
masyarakat Aceh, maka tak berlebihan jika saya
muncul.
merasa Aceh akan menuju ke masyarakat yang
tertutup. Yakni masyarakat yang menutup diri dari ide-
Sementara itu, kita melihat aktifis yang tergabung
ide luar yang berbeda dan mendobrak tatanan lama.
dalam masyarakat sipil tak terorganisir dengan baik,
Yang terjadi adalah tatanan lama semakin diperkuat
bahkan ada yang memiliki konflik internal, sehingga
dan semakin mono-identitas. Dimana satu identitas
begitu lemah untuk menjadi kekuatan penyeimbang.
harus lebih superior dari identitas yang lain. Aceh
Dari semua isu sosial, isu yang sudah menjadi tabu
makin “sempit dan gelap”. Walaupun demikian,
(karena di'tabu'kan) adalah soal kebebasan sipil.
sebagai seorang Aceh tulen dan seorang muslim, saya
Sehingga isu yang dimainkan aktivis setelah
selalu berdoa agar kesimpulan saya ini salah. Semoga.
perdamaian adalah isu yang relatif aman seperti
anti- korupsi dan lingkungan.

5 | CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS


Bangsa yang Hilang?
Bahasa dan Identitas Aceh dalam Sejarah dan Budaya
Aransyah

Bangsa Aceh Cina, Myanmar, Vietnam, Eropa ( Jerman, Inggris,


Selama tiga tahun terakhir, International Centre for Portugis, dan Belanda), India, Turki usmani, Arab,
Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) telah Persia, Jepang, dan masih banyak lainnnya. Jejak-
melakukan penelitian tentang sejarah Tsunami di jejak itu bisa dilihat dalam bentuk biologis, yaitu
Aceh dan dampaknya terhadap migrasi manusia, Bangsa Aceh sendiri, dan nisan, hingga puing-puing
budaya dan lingkungan. Penelitian ini menghasilkan pecahan keramik dan gerabah.
data yang cukup kaya dan mendalam tentang
keempat varibel tersebut. Sebagian dari data-data Sumber-sumber sejarah lisan masyarakat pesisir Aceh
penelitian itu masih dalam proses pengkajian dan Besar dan Banda Aceh, dimana penelitian dan
publikasi. pencarian keramik dan nisan yang indah dilakukan,
juga mengatakan tentang masa lalu Gampong mereka
Salah satu temuan penting dari penelitian itu adalah yang "besar" dan "luas". Masyarakat gampong yang
pecahan keramik dan gerabah yang unik dan indah tinggal di kawasan Sungai Gigieng, Aceh Besar,
yang tersebar di 44 desa di pesisir Aceh Besar dan misalnya, berkeyakinan bahwa kawasan sungai itu
Banda Aceh. Sampel temuan arkeologis ini bisa dilihat adalah jalur perdagangan internasional pada masa
di sejumlah lokasi seputaran Kampus Darussalam dan lalu. Misalnya, warga Gampong Lampineung, Krueng
di 44 kantor desa di mana penelitian ini dilakukan, Raya, berkeyakinan bahwa gampong mereka dulunya
sepanjang garis pantai pesisir utara Aceh, dari Ujung adalah pelabuhan bongkar muat kapal-kapal yang
Pancu hingga Lamreh. Yang terlengkap diantaranya hendak berlayar ke dan dari kesultanan Aceh. Bangsa
disimpan dan ditampilkan di Museum UIN Ar-Raniry. Cina, Eropa, dan Klieng (India) berlabuh untuk hanya
Display keramik dan gerabah di Museum Kampus itu sekedar singgah, menetap lama, atau menikah dan
menunjukkan bahwa Aceh telah disinggahi berbagai kemudian meninggal di sana. Disayangkan, kawasan
bangsa semenjak sebelum Masehi. Keramik dan sungai itu tidak mampu lagi menghidupi warga seperti
gerabah yang tertinggal dari era itu dibawa oleh dahulu. Bukti sejarahnya telah dimusnahkan alam,
penjelajah dari wilayah India. yang seharusnya bisa diselamatkan oleh manusia
untuk terus ada dan menghidupi warga sekitarnya.
Sejarah pergerakan manusia ke Aceh meningkat
semenjak abad pertama masehi hingga akhir abad Temuan dari projek penelitian "geohazard" (ancaman
18. Berbagai bangsa dari seluruh penjuru dunia telah bumi) yang didanai oleh Earth Observatory of
singgah dan meninggalkan jejak di Aceh. Penanggalan Singapore (EOS) ini tentu saja memperkaya dan
dan kajian terhadap keramik dan gerabah menguatkan kajian-kajian yang sudah terlebih dahulu
menunjukan bahwa Aceh telah disinggahi oleh Bangsa

6 | CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS


dilakukan. Mulai dari Denish Lombard, yang menulis telah digunakan oleh nenek moyang bangsa melayu
tentang Iskandar Muda, Takashi Otto, penulis Adat semejak jaman prasejarah. Awalnya bahasa Proto
Aceh hingga yang terbaru seperti karya Sher Banu Melayu itu diperkirakan hanya memiliki 157 kata
Khan, yang menulis tentang sejarah Aceh dibawah untuk mengambarkan binatang-binatang dan
kepemimpinan ratu-ratu, terutama Ratu Saifiatuddin, tumbuhan. Kemudian berkembang menjadi lebih
putri Iskandar Muda. Penelitian yang mereka dan banyak dan kompleks di tangan umat Hindu-Budha
ICAIOS lakukan memiliki kesepakatan yang tak yang berpusat di Kerajaan Sriwijaya. Dari tradisi
tergoyahkan bahwa Kesultanan Aceh hingga dia Hindu-Budha, kita mengenal kata-kata seperti
bergabung dengan Indonesia adalah tempat “sembahyang,” “agama,” “angkasa,” “surga,” “neraka,”
berkumpulnya bangsa-bangsa dunia. Islam dan “pahala,” “dosa,” dan “irama” saat ini. Kedatangan
muslim mendominasi, tetapi membuka diri terhadap pengaruh Islam dari wilayah Arab, Persia dan Turki
hindu-budha dan agama-agama orang yang datang meningkatkan kompleksitas Bahasa Melayu. Pengaruh
dan pergi, baik dia Yahudi, Nasrani, Hindu-Budha dan kuatnya terlihat dari penemuan huruf arab Jawi yang
lainnya. menggantikan huruf Palawi dan Sangskrit
(Sangsikirta). Dari pengaruh Islam, kosa kata kita
Melihat pecahan keramik dan gerabah dan melihat bertambah kaya untuk menjelaskan kompleksitas
kembali catatan-catatan tentang sejarah Aceh, kita ajaran agama, perdagangan, kelautan, diplomasi, dan
akan percaya diri untuk mengatakan bahwa Bangsa birokrasi. Kita mulai mengucapkan kata-kata yang
Aceh tidak hanya menguasai ekonomi dan berakar dari bahasa Arab dan Persia seperti “sujud,”
keamanaan kawasan lautan hindia. Pengaruh Aceh “hibah,” “abjad,” “ahad,” “bandar,” “dewan,” dan lain
menyelimuti Asia Tenggara. Selain dikenal sebagai sebagainya.
sebuah kesultanan Islam yang terkuat di kawasan,
Aceh Bahasa Melayu semakin kaya dan berkembang ketika
adalah pusat dan sumber pengetahuan. Ajaran penuturnya bersentuhan langsung dengan bangsa-
ulama- ulama Aceh menyebar hingga ke Filipina yang bangsa dari seluruh penjuru dunia. Bangsa Portugis
berada di bibir lautan Pasifik hingga ke Maldives menambahkan kosa kata seperti “almari,” “garpu,”
(Maladewa) “bola,” dan “bendera.” Bangsa Cina menambahkan
di tengah-tengah lautan Hindia. kata seperti “topan,” “becak,” “kue,” “mi (mie),” dan
“teh.” Bangsa Belanda memperkenalkan kita kata
“buku,” “rokok” dan “gratis.” Bangsa Inggris
memperkenalkan kata seperti “kelas,” "lirik,” dan
"kartun.” Dan, dari Bangsa Tamil, kita mengenal kata
“kedai” dan “apam.”

Kuatnya pengaruh Bahasa Melayu memaksa semua


bangsa untuk mempelajarinya bila ingin singgah ke
Aceh untuk berbagai kepentingan seperti berdagang,
berdiplomasi, atau penyebaran agama. Berbagai
kamus bahasa Melayu – bahasa asing telah
Pecahan keramik dan gerabah hasil temuan
dibukukan dan menjadi popular seperti layaknya
Kamus Bahasa Indonesia-Inggris John Echol yang kita
Bahasa kenal semenjak beberapa dekade terakhir. Kamus-
kamus tersebut
Satu pertanyaan dasar yang menarik untuk diajukan seperti Ma La Jia Yi Yu (Daftar kata-kata Kerajaan
tentang keberagaman bangsa yang datang ke Aceh Malaka) yang disusun oleh Bangsa Cina pada masa
adalah tentang bahasa yang digunakan. Ketika Dinasti Ming. Selain itu, ditemukan juga kamus Latin-
bangsa-bangsa yang datang dari Asia Timur (Cina, Melayu dan Perancis-Melayu yang disusun
Jepang, dan Korea), Eropa, Arab, Persia, dan India berdasarkan catatan dari Antonio Pigafetta, seorang
memiliki bahasa yang unik dan berbeda satu dengan penjelajah dari Italia.Pentingnya Bahasa Melayu di
lainnya baik huruf, ejaan, bunyi, dan makna, lalu kawasan Lautan Hindia dan Asia Tenggara bahkan
dengan bahasa apa mereka disatukan di pasar, dimanfaatkan oleh para misionaris untuk
pelabuhan dan di dalam istana kesultanan Aceh? menyebarkan ajaran agama Kristen. Pada abad ke 17,
Jawabnya tentu saja Bahasa Melayu. Bahasa Melayu beberapa injil sudah diterjemahkan ke dalam bahasa

CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM” |7


melayu seperti Injil Mateus, Markus, Lukas, dan dunia sufi. Surahwardi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Marwardi,
Jonnaes, Injil dan Perbuatan, dan Mazmur. Al-Ghazali, dan M. Iqbal adalah di antara para ulama
besar muslim yang mengakhiri perjalanan intelektual
Lingua Franca Bangsa Aceh dan pencarian hakikat mereka di dunia “penuh rasa.”
Di tangan Bangsa Aceh, Bahasa Melayu naik Tentu saja kita berani mensejajarkan Syamsuddin
derajatnya dari bazaar language atau bahasa pasar Assumatrani dan Hamzah Fansuri bersama mereka.
dan pelabuhan ke bahasa agama, diplomasi dan Mereka telah melalui proses belajar yang panjang
intelektual. Bahasa Melayu ditemukan dalam banyak mulai dari niat hingga merantau ke seberang Samudra
inskripsi nisan-nisan para ulama dan keluarga luas dan berpindah-pindah kota mencari guru
kesultanan yang bertebaran di penjuru Aceh dan sembari mengabiskan berjilid-jilid buku adalah proses
Nusantara, Afrika Selatan dan Madagaskar hingga ke perjalanan intelektual dan kesalehan sarjana muslim
Filipina dan Kepulauan Pasifik, yang ditulis sebelum dahulu. Mereka pergi keluar Aceh dengan kepala dan
abad ke 14. Sultan Iskandar Muda menuliskan surat hati yang kosong. Setelah duduk, mendengar,
emas kepada Raja James I Kerajaan Inggris pada tahun membaca, belajar berlogika dan merasa selama
1615. Surat tersebut dituliskan dengan huruf arab bertahun-tahun dan berpindah-pindah, mereka
jawi berbahasa Melayu. Bahasa Melayu banyak kembali ke Aceh dengan perasaan dan pikiran bahwa
ditemukan dalam kitab-kitab astronomi, permusiman “ketidaktahuan mereka semakin dalam dan hina dina
dan penanggalan, geografi, botanika, sejarah, hikayat, dihadapan Tuhan.” Gambaran ketidaktahuan dan hina
mantra dan lainnya. Kitab-kitab berbahasa melayu ini dapat kita lihat pada salah satu syair Hamzah
dan beraksara arab jawi itu tersebar jauh mulai dari Fansuri sebagai berikut:
pedalaman rimba kesultanan Aceh dimana orang
Dunia nin jangan kau taruh-taruh
Gayo menetap hingga menyeberangi lautan ke
Supaya dekat mahbub yang jauh
Asia daratan dan Eropa.
Indah sekali akan galuh-galuh
Ke dalam api pergi berlabuh
Peningkatan derajat Bahasa Melayu dari bahasa kelas
bawah menjadi bahasa tinggi berpunca pada sastra-
Hamzah miskin hina dan karam
sastra sufi ulama terkemuka Aceh, Syeikh Hamzah
Bermain mata dengan Rabb al-'Alam
Fansuri. Kelembutan hati, keluasan ilmu, dan
Selamnya sangat terlalu dalam
kebijaksanaan seorang ulama sufi ini terangkup dalam
Seperti mayat sudah tertanam
syair-syairnya yang sangat dalam dan bertahan hingga
kini. Puncak rasa dan capaian intelektualnya, hasil dari
Menghilangnya sebuah Bangsa
pengalaman dan perjalanan intuisi dan intelek,
Diawali dari sekitar 157 kosa kata asli, Bahasa Melayu
diekspresikan dengan bahasa Melayu. Pemilihan,
berkembang menjadi bahasa dunia. Dia diperkaya
pengunaan dan penyusunan simbol-simbol kata yang
oleh banyak bangsa dan bahasa seperti India,
tepat mengambarkan derajat keluhuran budi (budi
Sangskrit, Tamil, Persia, Arab, Portugis, dan bahasa
intelek), budi pekerti, budi (hati) seseorang.
Eropa lainnya. Bangsa-bangsa inilah yang membentuk
Singkatnya, bahasa adalah cerminan jiwa. Membaca
Bangsa Aceh kini, seperti yang ditunjukan oleh koleksi
syair-syairnya, Syeikh Hamzah Fansuri telah mencapai
keramik yang kini tersimpan di Museum UIN Ar-Raniry,
puncak keluhuran budi itu. Itulah titik awal dimana
Perpustakaan Induk Unsyiah, Perpustakaan PPISB-
sastra melayu diformulasikan dan dipopulerkan.
ICAIOS, Gedung Magister Ilmu Kebencanaan, dan
Syeikh Hamzah Fansuri, ulama berbangsa Aceh,
sejumlah lokasi lainnya. Dengan kekayaan sejarah
pertama sekali memperkenalkan Bahasa Melayu
yang dibentuk oleh bangsa yang beragam, Bangsa
dengan memasukan nilai-nilai intelektual, kesalehan
Aceh bangga mengatakan bahwa, meskipun
dan kerendahan hati seorang sufi. Dia mengajarkan
anekdotal, ACEH adalah kepanjangan dari Arab, Cina,
kita untuk berbahasa yang luhur yang penuh makna
Eropa, dan Hindia. Meskipun itu adalah makna kata
intelektual dan rasa serta rendah hati. Bahasa itu
yang tidak memiliki landasan apapun, karena Aceh
adalah Bahasa Melayu.
disebutkan dengan beragam nama seperti Achin dan
Sufisme dalam tradisi keilmuan Islam adalah puncak Atjeh, tapi tidak ada yang dapat membantah bahwa
pengetahuan dan pencarian seorang pembelajar. Bangsa Aceh dan bahasa Melayu yang mereka
Diawali dari pengetahuan praktis dan pragmatis, perkenalkan menjadi bahasa teks dibentuk oleh
meningkat menuju theologis-filosofis dan berakhir di bangsa-bangsa yang beragam warna dan agama.

8 | CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM”


Hari ini, keturunan masyarakat kosmopolitan yang Penutup
dulu berjaya dan diagungkan oleh lawannya menjadi Bangsa Aceh telah hilang, yang bersisa adalah
begitu rapuh dan sempit. Bangsa yang dulu besar pecahan-pecahan berupa etnis Aceh, Gayo, Alas,
kini bersimpuh, diam, dan murung sendiri di ruang Singkil dan lainnya. Bila tak diatasi, pecahan ini tidak
yang gelap, sangat gelap. Keturunan Bangsa yang akan jauh berbeda dengan pecahan-pecahan keramik
dulu mengatur alur ekonomi, politik, dan pertahanan yang disimpan di Museum UIN Ar-Raniry dan lokasi
Kawasan itu terlihat begitu rapuh dan tak percaya diri lainnya. Bangsa Aceh pernah ada, tapi ditemukan
saat ini. Gambaran saat ini, kita seperti berada di dalam bentuk pecahan-pecahan yang tak utuh,
eropa zaman kegelapan, sementara Islam menerangi beberapa bagiannya telah hilang dan tak bisa
belahan dunia lainnya di waktu bersamaan. Bangsa ditemukan lagi.
Aceh telah hilang. Mereka sekarang digiring menuju
"etnis Aceh" dengan hymne resmi Berbahasa Aceh
oleh mereka yang memiliki pikiran dan kesadaran
bangsa yang sangat sempit.

Mereka yang mengatasnamakan Bangsa Aceh


mengurung bangsa sendiri dari dunia luar. Mereka
memutuskan pertalian darah mereka dengan
bangsa Arab, Cina, Eropa dan Hindia. Mereka
menutup diri rapat-rapat dan mengatakan Cina dan
Eropa bukan bagian dari dirinya, bukan bagian dari
darah yang mengalir di tubuhnya. Mereka malu
untuk mengakui kemelayuan mereka dan memilih
untuk mengurung diri di kamar sunyi. Panggilan-
panggilan saudara dekatnya dari daerah rimba Gayo,
Singkil, Alas dan Aceh sendiri tidak dihiraukan.
Orang-orang itu meruntuhkan dan menghilangkan
Bangsa Aceh yang penuh martabat. Bangsa yang
dulu jaya di lautan hindia dan Asia Tenggara dan
mengatur kerajaan- kerajaan lain, kini tak bisa lagi
mengurusi rumah tangganya sendiri.

Bangsa yang dulu besar kini dipaksa untuk diam di


bilik kamar yang sangat kecil. Perjalanan intuitif dan
intelektual keturunan Bangsa terpelajar di kawasan itu
pun hanya berada di satu garis pantai, sebatas pantai
barat selatan dan pantai timur-utara di atas tanah
yang sama. Kini, keturunan Bangsa Aceh yang
terpelajar diajarkan bagaimana cara berislam dan
berilmu oleh orang-orang yang dulunya diajarkan
oleh
nenek moyang mereka.
CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM” |9
Sponsoring Spiritual:
Mutualisme Politik Pemerintah dengan Majelis Zikir di Aceh
Sehat Ihsan Shadiqin

D
iskusi mengenai Islam di Aceh saat ini adalah sekelompok orang yang menjadikan zikir
cenderung mengarah kepada formalisasi sebagai sarana riyadhah (latihan) spiritual (rohani)
syariat Islam yang diresmikan pemerintah untuk melembutkan hati dan mendekatkan diri
pusat melalui UU No. 18 Tahun 2001. Formalisasi ini kepada Allah. Zikir dalam kacamata normatif agama
berbentuk qanunisasi beberapa hukum dalam fiqih ditempatkan sebagai jalan bagi manusia untuk
yang disesuaikan dengan formulasi hukum dalam memerdekakan diri dari pengaruh keinginan
KUHP yang berlaku di Indonesia serta secara materi berlebihan kepada kehidupan dunia yang dipandang
hukum disesuaikan dengan perkembangan kotor dan penuh dosa. Dalam teori para sufi, zikir
masyarakat di Aceh. Suka tidak suka dalam formalisasi adalah media untuk mensucikan dimensi nasut
ini telah membentuk sebuah citra buruk Aceh dalam (dimensi manusia) dalam ruh dan mengisinya dengan
kacamata masyarakat luar. Beberapa media telah dimensi lahut (dimensi tuhan).
menggambarkan Aceh seolah Afganistan dan Arab
Saudi. Tentu kita, sebagai orang Aceh, tidak Kemunculan majelis zikir di Aceh sebenarnya juga
sepenuhnya setuju dengan gambaran ini, namun tidak bukan hal yang baru. Pada tahun 2001 Abuya
juga kuasa sepenuhnya menolak tudingan tersebut. Jamaluddin Waly mendirikan Majelis Zikir al-Waliyah.
Apalagi dalam kehidupan sosial di Aceh menunjukkan Pertama kali ia memimpin zikir berjamaah di komplek
gambaran media di atas ada benarnya, atau perkantoran Kodam Iskandar Muda tahun 2001 dan di
setidaknya Aceh sedang menuju ke sana. Mesjid Raya Baiturrahman pada awal tahun 2004.
Majelis ini juga memimpin zikir bersama Presiden
Susilo Bambang Yudoyono di Mesjid Raya
Baiturrahman pada tahun 2005 pada hari
penandatanganan MoU Helsinki. Setelah MoU muncul
beberapa majelis zikir lain, seperti Majeliz Zikir dan
Salawat Nurun Nabi yang dipimpin oleh Ustaz
Zamhuri bin Ramli, Majelis Zikir Raudhatul Qur'an
yang dipimpin Tgk. Sulfanwandi, Majelis Zikrullah Aceh
yang dimpin oleh Tgk. Samunzir bin Husen, dan
Majelis Zikir Sirul Mubtadin yang dipimpin oleh Tgk.
Yusuf A. Wahab (Tu Sop) di Bireueun. Belakangan
muncul lagi Majelis Zikir Rateb Siribe yang dipimpin
Padahal kalau kita lihat dalam sejarahnya, Islam di
oleh Abuya Muda Wali al-Khalidi dari Aceh Selatan dan
Aceh tidak sepenuhnya “Islam Fiqih” yang cenderung
Majelis Zikir Gemilang yang didirikan dan dipimpin
melihat kehidupan masyarakat dalam kacamata salah
oleh Wali Kota Banda Aceh, H. Aminullah Usman.
benar, hitam putih, atau halal haram. Para sejarawan
mengatakan bahwa Islam awal yang muncul di Aceh Kehadiran beberapa majelis zikir yang disebutkan di
adalah Islam sufistik atau tasawuf. Islam tasawuf atas seolah menunjukkan adanya kebutuhan yang
merupakan Islam yang jauh lebih dapat diterima oleh besar bagi masyarakat kota di Aceh untuk merawat
masyarakat dunia. Di negara-negara Barat, tasawuf spiritualitas mereka melalui majelis zikir. Hal ini bisa
atau sufism bahkan tidak mengenal agama. Ia kita saksikan dengan sempat berjibunnya warga yang
diyakini menjadi jawaban bagi berbagai gerakan datang ke majelis zikir terutama yang diadakan di
radikalisme agama karena penekanannya pada aspek lapangan terbuka. Kita juga bisa menghadiri majelis
spiritualitas dan dimensi batin manusia di atas zikir hampir setiap malam di tempat yang berbeda
dimensi zahir dan hukum. dengan organisasi zikir berbeda pula. Di Mesjid Raya
Baiturrahman sendiri ada tiga malam dalam seminggu
Munculnya Gerakan Spiritual melaksanakan zikir berjamaah setelah shalat Isya.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, gerakan tasawuf Belum lagi di mesjid-mesjid kecil di Kota Banda Aceh
juga berkembang dengan baik di Aceh. Wujudnya dan di lapangan terbuka. Mereka yang hadir juga
dalam bentuk majelis zikir. Secara literal Majelis Zikir sangat beragam, baik dari sisi usia, latar belakang

10 | CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM”


pekerjaan dan pendidikan, serta stratifikasi ekonomi. Demikian juga Pemerintah Kota Banda Aceh, akan
Dalam majelis zikir perbedaan itu tidak kentara karena membangun lapangan zikir yang dapat menampung
mereka duduk bersama dan melafalkan kalimah zikir lebih 20 ribu jamaah di sekitar Ulee Lheu, dan
yang sama. memasukkanya dalam rencana pengembangan
pariwisata kota Banda Aceh. Sponsoring yang
Sponsoring Spiritual dilakukan pemerintahan kepada majelis zikir tentu
Dalam praktiknya majelis zikir sama sekali tidak saja sangat jauh dari tujuan utama zikir, yakni
berjalan sendiri sebagai sebuah organisasi mendekatkan diri kepada Allah, melembutkan hati,
independen. Dalam beragam aktifitas mereka dan membersihkan jiwa dari ketergantungan pada
melibatkan pemerintah atau pihak sponsor lainnya keinginan berlebihan pada dunia materi. Pemerintah
dan sebaliknya. Di sini muncul hubungan timbali dan politisi hanya ingin membangun citra
balik yang saling memberikan manfaat antara majelis keberpihakan pada pengembangan agama. Menurut
zikir dan pemerintah/sponsor dalam mencapai hemat penulis, ada dua target yang diinginkan dari
tujuan mereka masing-masing. Majelis zikir memiliki siasat ini: mengamankan dan memastikan dukungan
tujuan religius yakni mensucikan jiwa dan menjadikan konstituen dalam pemilihan kepala daerah, dan
hati lebih tenang dalam hidup. Sementara menutupi kebrobrokan pemerintahan dalam aspek
pemerintah (baca: politisi) menginginkan pencitraan lain yang sebenarnya sangat substansial, seperti
positif tentang pemerintahannya. Mengingat perbaikan pelayanan publik, peningkatan
pertumbuhan majelis zikir yang masif, maka mereka kesejahteraan rakyat, penyediaan lapangan kerja, dan
memberikan dukungan penuh kepada majelis ini pembangunan infrastruktur.
untuk menuai
kekaguman akan keberpihakan pada agama dari Pseudo-Spiritual
umat dan warga di wilayahnya. Karena itu, penulis memandang di satu sisi
kebangkitan majelis zikir adalah sebuah bentuk dari
Dua kepentingan itu bertemu pada even zikir yang aktualisasi dimensi spiritual beragama yang tidak
bersponsor (sponsored zikr) yang dilaksanakan di terpenuhi dalam ruang formalisasi Syariat Islam yang
lapangan, halaman perkantoran, gedung sangat “qanunistik.” Hal ini juga terjadi di berbagai
pemerintahan, dan lain sebagainya. Di sana daerah lain di Indonesia dan bahkan dunia dengan
pemerintah/sponsor mengumumkan kepada beragam modelnya. Ini merupakan alternatif bagi
masyarakat untuk menghadiri majelis dimaksud dan kalangan yang mendambakan kehidupan agama yang
mewajibkan aparaturnya untuk hadir dan mengikuti seiring dengan modernitas, perubahan zaman, dan
zikir tersebut. Bukan hanya pimpinan politik saja, kedamaian dalam kehidupan yang heterogen dan
kantor kepolisian, kantor dinas, perguruan tinggi, plural dalam berbagai hal. Sayangnya, di sisi lain,
perusahaan, partai politik juga kerap mensponsori dukungan dana, fasilitas, akomodasi yang berlebihan
pelaksanaan zikir. Bahkan beberapa satuan yang diberikan pemerintah/sponsor menjadikan
pemerintah di Aceh menganggarkan dana khusus kebangkitan ini menjadi sangat politis dan kehilangan
ruh utamanya. Gerakan zikir lebih banyak dipandang
untuk pelaksanaan zikir. Pemerintah Aceh Barat Daya
sebagai even politisi menggalang dukungan atau
dan Aceh Barat misalnya menabalkan diri sebagai
pemerintah menggalang simpati dibandingkan zikir itu
Kota Tauhid Tasawuf, merujuk pada Majelis
sendiri. Hal ini menjadikan dukungan pada even-even
Pengkajian Tauhid Tasawuf pimpinan Abuya Amran
itu semakin lama semakin berkurang. Kalau model ini
Wali yang mempopulerkan Majelis Zikir Rateb Siribe.
terus berlanjut, maka di masa depan majelis zikir di
Aceh akan menjadi sekedar ruang pamer pseudo-
spiritual dan menjadi bagian dari fenomena islamisme
yang marak belakangan ini. Sementara mereka yang
berharap menemukan “Tuhan” dalam majelis zikir,
harus mencari jalan lain, atau menunggu kebangkitan
majelis zikir gelombang kedua yang datang entah
kapan. Wallahu'a'lam.

CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM” | 11


Kesehatan Jiwa Aceh 2018:
Lebih Baik dari Rerata Nasional,
tapi Tidak untuk Gangguan Jiwa Berat
Ibnu Mundzir
urvey Indeks Kebahagiaan menunjukkan bahwa

S
warga Aceh lebih berbahagia dibanding rata-
rata penduduk Indonesia (Badan Pusat
Statistik,
2017). Aceh menduduki posisi ke 13 dengan skor
indeks kebahagiaan 71,96, lebih tinggi dari skor rata-
rata nasional 70,69. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas)
2018 menunjukkan bahwa tingkat gangguan mental
emosional dan depresi pada warga Aceh juga lebih
baik dari rerata nasional (Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2018). Akan tetapi, Aceh
menduduki peringkat tertinggi keempat se-Indonesia
dalam gangguan jiwa berat (skizofrenia/psikosis).
Aceh menduduki ranking tertinggi kedua dalam
Riskesdas
2007 dan 2013 sehingga ranking kita membaik di
2018.
stres berlebihan atau malnutrisi. Penyalahgunaan
ganja dan narkotika yang merebak hingga pelosok
Riskesdas 2018 menunjukkan 0,9% atau sekitar satu
gampong di Aceh perlu ditangani dengan serius oleh
dari 100 keluarga di Aceh memiliki anggota keluarga
pemerintah dan masyarakat. Jika tidak ditangani,
dengan gangguan skizofrenia/psikosis. Ini berarti,
penyalahgunaan narkoba dapat menjadi pendorong
jika ada 100 keluarga di gampong kita, kemungkinan
“tsunami gangguan jiwa” di Aceh. Pencegahan juga
ada penderita skizofrenia/psikosis di keluarga
dapat dilakukan dengan melakukan kampanye
saudara atau tetangga kita. Skizofrenia/psikosis
mengenai upaya masyarakat dalam mengelola
adalah gangguan jiwa yang membuat seseorang
tekanan psikologis yang dialami dan saling
mengalami kesulitan untuk membedakan hal nyata
mendukung satu sama lain. Kita sering bersepakat
dan tidak. Gejalanya termasuk kepercayaan yang
bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati, tapi
salah (delusi) seperti menganggap bahwa dirinya
tetap saja upaya pencegahan tidak mendapatkan
adalah presiden atau merasa bahwa orang lain ingin
perhatian dan sumber daya memadai. Saat melantik
mencelakainya, padahal kenyataannya tidak. Gejala
Walikota Banda Aceh tahun lalu, Gubernur Irwandi
lainnya adalah melihat atau mendengar sesuatu yang
menyampaikan visinya agar masyarakat Aceh hana
tidak dilihat atau didengar oleh orang lain
jadeh pungo. Upaya pencegahan adalah langkah
(halusinasi) atau berperilaku dan berbicara yang tidak
pertama dan utama untuk mewujudkan hal tersebut.
sesuai dengan konteks dimana seseorang berada.
Skizofrenia/psikosis disebabkan oleh faktor genetik
Deteksi dan penanganan dini (segera) adalah salah
dan lingkungan. Di antara faktor lingkungan yang
satu praktik baik (best practice) dalam penanganan
berkontribusi adalah stres/kekurangan nutrisi yang
gangguan jiwa. Semakin cepat gangguan jiwa
dialami ibu saat hamil, mengalami kekerasan akibat
diketahui dan mendapatkan penanganan memadai
konflik serta penyalahgunaan ganja dan narkotika.
maka kemungkinan perbaikan semakin tinggi.
Tantangan yang sering dihadapi di masyarakat adalah
Penanganan gangguan jiwa adalah kebutuhan
terbatasnya pengetahuan dan penyangkalan
mendesak di Aceh dan ada tiga upaya penting yang
masyarakat terkait gangguan jiwa. Masyarakat sering
perlu ditingkatkan: pencegahan, deteksi dan
kali menganggap gangguan jiwa yang dialami oleh
penanganan dini serta penanganan berkelanjutan.
anggota keluarga mereka akibat teluh (penyaket donya)
Pencegahan dilaksanakan dengan mengurangi faktor
sehingga anggota keluarga dengan gangguan jiwa
risiko seperti mencegah kekerasan terjadi lagi di Aceh
dibawa dulu ke “orang pintar.” Setelah dibawa ke
dan mendampingi ibu hamil agar tidak mengalami
berbagai orang pintar dan tak kunjung membaik,
12 | CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM”
anggota keluarga dengan gangguan jiwa baru dibawa masa rehabilitasi pasca konflik dan tsunami (2005-
ke tenaga medis. Pentingnya deteksi dan 2009), Dinas Kesehatan bersama berbagai lembaga
penanganan ditekankan. Puskesmas berperan besar nasional dan internasional menginisiasi program Desa
dalam upaya deteksi dan penanganan dini. Siaga Sehat Jiwa (DSSJ). Program ini membentuk dan
Tersedianya perawatan kesehatan jiwa dan obat melatih para kader kesehatan jiwa di gampong-
antipsikotik yang semakin baik di puskesmas perlu gampong untuk mengenali keluarga dan tetangga
terus dipromosikan ke masyarakat. Di sisi lain, mereka yang memiliki risiko kesehatan jiwa, mengajak
pemerintah juga perlu memastikan bahwa setiap mereka dan meyakinkan keluarga mereka untuk
puskesmas di Aceh memiliki jumlah personil terlatih mengakses layanan kesehatan jiwa di puskesmas,
dalam pelayanan kesehatan jiwa yang memadai. memberi tahu petugas puskesmas jika ada orang
dengan gangguan jiwa yang kambuh serta
Selain pencegahan serta deteksi dan penanganan mendampingi orang dengan ganggunan jiwa untuk
dini, penanganan berkelanjutan perlu mendapat patuh dalam mengkonsumsi obat. Program DSSJ
perhatian khusus. Pemerintah Aceh telah merupakan upaya untuk membumikan konsep
mencanangkan program Aceh Bebas Pasung pada pencegahan, deteksi dan penanganan dini serta
tahun 2006 dan direvitalisasi kembali pada periode penanganan berkelanjutan. Sayangnya, kader
kepemimpinan Irwandi kedua (2017-2022). kesehatan jiwa masyarakat di ratusan gampong tidak
Membebaskan orang dengan gangguan jiwa dari lagi mendapat pelatihan penyegaran dan dukungan
pasung dan memberikan mereka akses layanan memadai. Sebagian kader baru bahkan belum pernah
kesehatan jiwa yang memadai adalah langkah awal. mendapatkan pelatihan. Sebagian pemerintah
Setelah mendapatkan penanganan medis, sebagian gampong juga tidak mendukung kegiatan kader
orang dengan gangguan jiwa akan masuk dalam kesehatan jiwa meski kegiatan kampanye dan promosi
kategori pasien mandiri yang relatif dapat mengurus hidup sehat untuk mencegah gangguan jiwa termasuk
diri mereka sendiri. Agar tidak kambuh, perlu upaya dalam prioritas penggunaan dana desa 2018
berkelanjutan untuk (Peraturan Mentri Desa, PDT dan Transmigrasi No
memastikan bahwa pasien mengkonsumsi obat 19/2017).
secara rutin, mendapatkan dukungan keluarga,
memperoleh penerimaan masyarakat serta memiliki Akhirnya, kisah tentang gangguan jiwa di Aceh bukan
kegiatan ekonomi yang memadai. Survey yang hanya kisah sedih tapi juga kisah tentang inovasi dan
dilaksanakan oleh Forum Bangun Aceh (FBA) pada kerja keras. Kita bisa belajar dari Puskesmas Nisam,
pertengahan Aceh Utara yang membentuk kelompok Nisam Sehat
2018 terhadap 205 pasien gangguan jiwa mandiri di Jiwa (NISWA) yang memfasilitasi orang dengan
delapan kecamatan di Aceh menunjukkan hanya gangguan jiwa untuk berkumpul, saling mendukung,
sekitar sepertiga pasien mandiri (37,1%) memiliki dan belajar ketrampilan produktif. Kita perlu
pendapatan dari pekerjaan yang memadai untuk mengapresiasi perawat di Puskesmas Kuta Baro, Aceh
kebutuhan mereka dan keluarga. Sebagian pasien Besar dan puskesmas-puskesmas lain yang terus
mandiri yang telah berkeluarga menyatakan bahwa memfasilitasi kelompok dukungan bagi keluarga
sumber stres terbesar mereka adalah penderita gangguan jiwa. Kita perlu mengunjungi
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan keluarga; dan Gampong Beureuleung di Grong-Grong, Pidie dan
stres yang tinggi sering menjadi pencetus melihat kader dan aparat gampong yang sejak 2005
kekambuhan. Di sisi lain, mendapatkan pekerjaan hingga hari ini terus menjalankan Desa Siaga Sehat
adalah salah satu hak pasien mandiri dijamin oleh Jiwa. Kita bisa belajar dari seorang teungku di Aceh
negara dalam Undang Undang nomor 8/2016 tentang Utara yang menyampaikan pada masyarakat bahwa
Penyandang Disabilitas. “Gangguan jiwa adalah cobaan dari Allah. Penderita
tidak ada yang meminta untuk mendapatkan cobaan ini.
Penanganan masalah kejiwaan bukan hanya tanggung Karenanya, penderita perlu bersabar. Masyarakat pun
jawab dinas kesehatan, puskesmas, dan rumah sakit harus sabar dalam mendampingi penderita.” Setelah
jiwa, tapi merupakan tanggung jawab bersama. Untuk belajar, tantangan kita adalah bagaimana menjadikan
memfasilitasi kerjasama lintas sektoral, Tim Pelaksana dan menyebarkan inovasi-inovasi tersebut sebagai
Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM) perlu dibentuk praktik standar di berbagai tempat, bukan hanya
dan mendapatkan sumber daya memadai di tingkat perkecualian.
provinsi dan kabupaten. Selain itu, inovasi yang telah
dilaksanakan dalam peningkatan peran masyarakat
penting untuk dilanjutkan dan ditingkatkan. Pada
CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS
DARUSSALAM” | 13
KOTA BANDA ACEH 2018:
“PANGGUNG” ISLAM ATAU POLITIK?
Cut Dewi

P
eralihan jabatan walikota Banda Aceh dari Illiza keinginan untuk menerapkan Syariat Islam telah lama
Saaduddin yang mengusung citra Banda Aceh diupayakan oleh pemerintah pusat, ulama, dan elit
sebagai “Kota Madani” kepada Aminullah birokrasi lokal. Seperti yang dikemukakan Wertsch
Usman yang membawa citra baru Banda Aceh sebagai (2002), keinginan negara (elit) untuk mengendalikan
“Kota Gemilang” telah juga mengubah visi dan misi ingatan kolektif melalui sejarah tertulis sebagai cara
Kota Banda menjadi “Terwujudnya Kota Banda Aceh untuk mengendalikan masyarakatnya, yang dalam hal
Yang Gemilang Dalam Bingkai Syariah”. Seakan ini dapat diartikan sebagai cara untuk mengendalikan
Aminullah Usman menunjukkan keinginannya untuk identitas Aceh untuk tujuan politik. Menurut Aspinall
melanjutkan visi lama dengan polesan baru. (2007) Islam, khususnya Syariah Islam untuk para elit
Sebenarnya visi menjadikan Banda Aceh sebagai kota ini, diamanatkan oleh sejarah dan identitas Aceh. Dia
yang “Islami” dengan penerapan Syariah Islam mencatat bahwa, sejak 1978, doktrin resmi nostalgia
bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum Aminullah untuk zaman keemasan Islam di Aceh dan pentingnya
Usman memimpin, visi ini sudah terlebih dahulu di Islam untuk identitas Aceh telah dipromosikan dan
cetuskan oleh Almarhum Mawardy Nurdin yang giat disyiarkan. Ini kemudian diikuti oleh media lokal
menjabat walikota periode 2007-2012 dengan visi “ yang secara teratur menerbitkan artikel-artikel yang
Menuju Bandar Wisata Islami Indonesia “ , yang mengagungkan dan mengangkat kejayaan masa lalu
bertujuan menjadikan Kota Banda Aceh ini menjadi Islam di Aceh. Menurutnya, hal ini juga dilakukan
kota tujuan wisata islami. Kemudian visi ini dilanjutkan pemerintah dengan pemberian nama jalan, bangunan
menjadi “Banda Aceh sebagai Model Kota Madani” publik, dan institusi dengan nama-nama pahlawan
pada periode 2012-2017 kepemimpinannya yang Islam masa lalu. Melalui penceritaan kembali yang
dilanjutkan oleh Illiza. terus-menerus ini, masa lalu Islam Aceh, dilihat
menjadi lebih “gemilang” dan telah mempengaruhi
Bahkan, sebutan “Serambi Mekkah” telah lama persepsi orang tentang Aceh. Ditambah lagi dengan
melekat untuk Kota Banda Aceh (Arif, 2008; Reid, disahkannya Undang-undang No.18 of 2001 tentang
2006), perannya di masa lalu sebagai pusat studi Islam pembentukan makamah Syariah dan No.11 of 2006
(Feener, 2011), dan kehidupan sosial kota tercermin tentang Pemerintahan Aceh yang berdasarkan Syariah
melalui aturan sosial informal, antara lain: untuk Islam, menjadikan Aceh maskin kuat citra islamnya.
menutup segala kegiatan, terutama layanan publik,
dan perdagangan selama shalat Jumat, dan untuk Bagaimana Syariah Islam yang telah dijadikan undang-
menutup restoran selama hari-hari suci Ramadhan undag dan menjelma dalam visi dan misi Kota Banda
(puasa), dan aturan sosial lainnya berkaitan dengan Aceh diatas diterapkan dalam perencanaan kota saat
nilai-nilai Islam yang telah diterapkan di Banda Aceh ini, terutama sepanjang tahun 2018? Perencanaan tata
selama bertahun-tahun. Menurut Aspinall (2007), ruang Banda Aceh juga telah mengadopsi visi dan misi

14 | CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM”


Kota Banda Aceh yang berbasis Islam. Hal ini terlihat menggalakkan shalat berjamaah, Banda Aceh lebih
dari tujuan penataan ruang Kota Banda Aceh (Qanun sering terdengar menggalakkan zikir berjamaah.
No.4 Tahun 2009 tentang Tata Ruang yang kemudian Bahkan untuk fasilitas zikir ini Banda Aceh
dikeluarkan perubahannya dalam Qanun No. 2 Tahun menyiapkan dana Rp. 200 Milyar. Apakah masih
2018) Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kota Banda kurang masjid-masjid di Banda Aceh untuk
Aceh : “Mewujudkan Ruang Kota Banda Aceh sebagai menampung kegiatan zikir ini? Bukankah penyiapan
Kota Jasa Yang Islami, Tamaddun, Modern dan tempat zikir khusus akan memisahkan zikir dari
Berbasis Mitigasi Bencana”. Yang paling mudah ibadah wajib seperti shalat? Bukankah shalat dan
dilihat dari perwujudan perencanaan kota adalah zikir merupakan suatu kesatuan sebagaimana yang
bangunan, landskap, dan taman-taman kota. Tahun dicontohkan Rasulullah SAW yang berzikir sesudah
2018 mencatat setidaknya ada dua kontroversi shalat dan lisan beliau terus dibasahi oleh zikir dalam
pembangunan “panggung”. Arena (“panggung”) zikir hidupnya sehari-hari?
dan panggung Taman Sari yang menuai kontroversi.
Kesibukan membuat panggung seolah-olah Taman kota yang dikenal oleh warga Kota Banda
menunjukkan pemerintah sangat perduli dengan Aceh sebagai Taman Sari juga menjadi sasaran
“showing up” atau “pencitaraan”? Padahal jika berbicara pemberian symbol-simbol. Tak cukup menggantikan
ciri kota Islam, seharusnya menghindari “showing up”. namanya menjadi “Taman Bustanus Salatin”, taman
Kota-kota Islam adalah kota yang lebih menekankan kota yang cukup asri itu kini kehilangan sebagian
pada sense of place yang dapat dirasakan, bukan hanya keasriannya karena hadirnya panggung raksasa yang
pada simbol-simbol yang dapat dilihat dan diraba. permanen di tengah-tengahnya. Selain merusak
Janet Abu Lughod dalam tulisan-tulisan awalnya keindahannya, panggung itu telah menyempitkan
mencoba mendeskripsikan ciri kota Islam secara fisik, bahkan merusak makna “Bustanus Salatin” itu sendiri.
namun dalam karya-karya akhirnya -- setelah
mempelajari kota-kota Islam tidak hanya di Timur Kesibukan membangun simbol-simbol agama lewat
Tengah dan Afrika, tapi juga di Asia -- menggambarkan pembangunan fasilitas-fasiltas simbolis seperti ini
ciri kota Islam yang lebih dapat dirasa dan dinikmati berpotensi melupakan kewajiban utama pemerintah
dengan perasaan dan sulit digambarkan secara ciri Islam untuk membangun manusia, menyiapkan
fisik. infrastruktur umum, kebersihan kota, pelayanan
publik, penyediaan air bersih, peningkatan ekonomi
Politisasi agama tidak hanya terjadi di panggung- masyarakat, dan hal-hal pokok lainnya yang menadi
panggung kampanye baik presiden maupun tugas utama. Penulis menilai perwujudan kota
pemimpin daerah. Politisasi agama juga merambah Islami yang gemilang tentunya harus juga
ke pembangunan kota dengan mengusung kota yang mempelajari bagaimana kota-kota Islam di masa
Islami. Sebagaimana telah banyak dikemukan dalam kegemilangan Islam. Tidak hanya bagaimana ciri
teori-teori arsitektur dan perencanaan, bahwa fisiknya tapi juga bagaimana kota dikelola dan
arsitektur dan perencanaan tidak dapat terlepas dari pelayanan publik diberikan. Sehingga kita tidak
pengaruh politik dan dapat menjadi kendaraan terjebak dalam pengejaran citra fisik seperti meniru
politik. Membangun bangunan dengan gaya-gaya gaya bangunan dengan kubah yang dianggap islami
yang dianggap Islami seperti penggunaan kubah, tidak hanya di Kota Banda Aceh, tapi juga hampir
kaligrafi, bentuk-bentuk geometri; dan membangun diseluruh Aceh.
fasilitas- fasilitas keagaamaan dianggap sebagai salah Padahal kubah sendiri bukan berasal dari tradisi Islam,
satu cara penegakkan syariat Islam dan menunjukkan kubah merupakan adopsi dari perkembangan
tingkat keislaman seorang pemimpin. Sehingga, tidak teknologi bangunan yang dilakukan Bangsa Yunani
hanya fasilitas shalat (masjid, mushalla, meunasah, kemudian Romawi. Bagunan-bagunan megah yang
dll) dan fasilitas belajar islam (madrasah, pesantren, syarat simbolisme akan menghilangkan ruh suatu
dll) yang lazim dibangun di kota-kota di dunia Islam, bangunan. Dimana dimasa Rasulullah masjid-masjid
Banda Aceh, demi menunjukkan keislamannya ingin yang sederhana namun penuh sesak, namun sekarang
membangun fasilitas zikir juga. masjid-masjid mewah dan megah namun kosong dan
bahkan terkadang terkunci. Kegemilangan akan diraih
Pertanyaannya apakah zikir merupakan ibadah jika tingkat keislamanan (keimanan) memenuhi dada
khusus yang waktu dan tempatnya memiliki kaum Muslimin, bukan lewat penuhnya fasilitas islami
kekhususan? Bukankah zikir harusnya mengalir dari
yang simbolis di sebuah kota namun ruhnya hilang.
lisan-lisan kaum muslimin sepanjang hayatnya tanpa
Apalagi kalau sekedar jadi panggung?
bagi laki-laki? Jika Ridwan Kamil di Bandung

CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS


DARUSSALAM” | 15
Muda, Menganggur,
Miskin: Aspek Demografi dan
Sosial-Ekonomi Kekerasan Pasca-
Konflik Aceh
1

Saiful Mahdi
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018
Perempuan dan Anak (P2TP2A) bersama jaringan menempatkan Aceh sebagai salah satu propinsi yang
kerja di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, paling buruk status kesehatan dasarnya, baik
sepanjang Januari s.d Juli 2018 telah menangani menyangkut kesehatan bayi, anak, ibu hamil, dan
825 kasus kekerasan terhadap perempuan dan kesehatan lingkungan. Proporsi bayi di bawah dua
anak. Data ini berdasarkan rekapitulasi dari tahun (BADUTA) di Aceh yang pendek dan sangat
lembaga pemberi layanan P2TP2A yang tersebar pendek (stunted, kerdil) adalah yang tertinggi di
di 23 kabupaten/kota di Aceh, LBH Apik, dan Indonesia, yaitu sebesar 37,9%. BALITA yang
Polda Aceh. Dalam rentang enam bulan tersebuti, mengalami stunting tertinggi ketiga setelah NTT dan
ada 400 kasus kekerasan terhadap perempuan Sulawesi Barat. Cakupan imunisasi dasar lengkap
dan 425 kasus kekerasan terhadap anak. pada anak umur 12 sd 23 bulan di Aceh adalah yang
terendah di Indonesia. Jika pada Riskesdas 2013
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan cakupannya 40%, terburuk ketiga di Indonesia, pada
Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Nevi Ariyani 2018 cakupannya justru makin rendah, hanya 20%,
yang didampingin oleh Ketua P2TP2A Aceh, terburuk di Indonesia.
Amrina Habibi, mengatakan data yang tercatat
sepanjang semester pertama ini semakin Buruknya nasib perempuan dan anak di Aceh
mengelisahkan saja. “Hal yang kini semakin mengingatkan saya pada masa jahiliyah, masa
mengkhawatirkan kita adalah bagaimana sebelum Islam. Masa dimana anak perempuan tidak
trend kekerasan tersebut meningkta tajam di diinginkan, bahkan ada yang dibunuh hidup-hidup
Aceh. Diprediksikan, angka kekerasan tahun setelah kelahirannya. Tapi mengapa ini justru terjadi di
ini akan semakin tinggi dibandingkan tahun tengah-tengah berlakunya Syariat Islam secara formal
sebelumnya dengan modus bentuk-bentuk di Aceh?
kekerasan yang semakin memiriskan”, kata
Nevi. Saya memilih masalah kekerasan terhadap
perempuan dan anak sebagai basis argumen untuk
— Website P2TP2A 2 melihat masalah di Aceh. Pertama, karena sejak kecil
sebagai Muslim saya selalu diajarkan tentang sejarah
Informasi dari website P2TP2A di atas menunjukkan kedatangan Islam yang “memerdekakan (anak)
jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak di perempuan” dari peradaban jahiliyah sebelum Islam.
Aceh tahun 2018 masih sangat tinggi. Di semester Jadi, bagi saya kemerdekaan perempuan adalah
pertama 2018 ( Januari s.d Juli) saja tercatat 825 bagian dari iman Islam saya. Kedua, karena saya
kasus, sudah hampir setengah dari 1.791 kasus yang percaya, peradaban sebuah bangsa bisa dilihat dari
tercatat pada 2017. Pihak P2TP2A mempredikasi perlakuannya pada “kaum marginal” untuk tidak
“angka kekerasan tahun ini [tahun 2018] akan menyebut “kaum lemah”. Tepatnya, kaum yang tidak
semakin tinggi dibandingkan tahun sebelumnya berdaya, terpinggirkan, atau dengan mudah tidak
dengan modus bentuk-bentuk kekerasan yang diberdayakan. Bayi dan anak-anak tak bisa melawan
semakin memiriskan”. ketidakadilan. Konstruk sosial seringkali melemahkan
perempuan. Hanya bangsa beradab dan maju yang
bisa memberi keadilan kepada setiap warganya,
termasuk mereka yang minoritas, difabel, dan yang
berkebutuhan khusus lainnya. Ujian pelayanan publik
1 Ditulissebagai bagian “Catatan Akhir Tahun 2018”, Poros paling tinggi adalah seperti ujian kasih sayang paling
Darussalam. Sebagian dari tulisan ini adalah pemutakhiran dari berat: menyanyangi dan memperlakukan mereka yang
backgrounder untuk Proses Revisit Pemantauan Pemenuhan Hak
berkebutuhan khusus sama dengan warga negara
Perempuan, Komnas Perempuan Indonesia, Aceh, 30 September s.d. 6
Oktober 2018 lainnya.
2 https://p2tp2a.acehprov.go.id/index.php/news/read/2018/09/20/51/se

mester-pertama-tahun-2018-825-kasus-kekerasan-terjadi-di-aceh.html
16 |CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM”
Singkatnya, siapa bangsa paling hina? Yang tak penduduk stabil, kembali mengalami pelebaran pada
beradab? Yang jahiliyah? Mereka yang menganiaya dasar piramida pada 2010. Piramida penduduk tahun
anak dan perempuan! 2010 menunjukkan peningkatan jumlah penduduk
usia balita, anak, dan remaja yang signifikan.
Demografi dan Kekerasan
Model-model sosial-ekonomi baru menunjukkan Pada tahun 2018, struktur penduduk Aceh yang
eratnya hubungan antara demografi dan kekerasan. berjumlah 5.189.466 juta jiwa masih menunjukkan
Struktur umur penduduk adalah salah satu dasar piramida yang masih lebar dengan kelompok
determinan penting pada banyak masalah sosial dan usia terbesar adalah penduduk usia 0-4 tahun (balita),
ekonomi. Pengangguran pada kelompok usia kelompok umur 5-9 dan 10-14 tahun. Besarnya
poroduktif, misalnya, secara empiris punya kaitan kelompok penduduk usia muda ini selain karena
dengan prilaku kekerasan—dalam perang, pasca- telah berakhirnya konflik, juga karena ada faktor
konflik, konflik sumber daya alam (SDA), termasuk penggantian (replacement) dengan terjadinya
konflik dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). fenomena “baby boom” pasca tsunami. Fenomena ini
Kaitan ini, walaupun tidak sederhana dan otomatis, terutama jelas terlihat di wilayah yang paling parah
semakin penting penting untuk dikaji. Karena itu terkena dampak tsunami, yaitu Banda Aceh, Aceh
makin banyak perhatian terhadap struktur umur Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat (Mahdi, 2017).
demografis dalam kaitannya dengan kekerasan,
terutama di negara sedang berkembang (Cramer, Kelompok balita, anak-anak dan remaja (5-14 tahun),
2010). dan kelompok usia lanjut bisa menjadi “triple burden”
(beban berganda) yang membutuhkan pelayanan
Secara gradual, kajian-kajian empiris menunjukkan khusus untuk pendidikan, kesehatan, dan
pentingnya pendekatan sosial-ekonomi pada kesejahteraan ekonominya. Dengan angkatan kerja
pemahaman kita tentang konflik. Sejak kajian Chiricos yang cukup besar, lebih dari 50% penduduk Aceh
(1987), Collier & Hoeffler (1998) dan Collier (2000), termasuk dalam usia produktif, beban tersebut bisa
hingga Collier dan Hoeffler (2004) telah menegakkan teratasi jika semua yang termasuk dalam angkatan
teori “Greed and Grievance” (kerakusan dan kerja memang bekerja dan dalam pekerjaan yang
kekecewaan) sebagai motivasi utama penyebab produktif dan berkualitas.
konflik. Cincotta dkk (2003) mempertegas masalah-
masalah sosial ekonomi yang dapat berasal dari isu- Namun dengan angka kemiskinan yang cukup tinggi,
isu demografis sebagai pemicu masalah sosial- 15,97% dibadingkan dengan rata-rata Indonesia pada
keamanan hingga konflik dengan kekerasan terjadi. 9,82% di tahun 2018, pekerjaan yang tersedia bisa
dipastikan tidak semua produktif apalagi berkualitas.
Aceh, dan Indonesia secara umum, sedang Pekerjaan produktif artinya pekerjaan yang bisa
mengalami “bonus demografi” dimana rasio mereka mencukupi kebutuhan di atas garis kemiskinan.
yang dalam usia produktif (14 s.d. 64 tahun) Pekerjaan berkualitas tentu saja lebih baik lagi.
dibandingkan dengan yang dalam usia non-produktif
3
sedang berada pada titik terendah. Dengan kata lain, Bila faktor kemiskinan dimasukkan dalam perhitungan
rasio ketergantungan sedang rendah-rendahnya. ketersediaan lapangan kerja, defisit lapangan kerja
Namun berada dalam usia produktif belum tentu produktif di Aceh ada pada angka 501.657, sekitar
dalam keadaan produktif. Keterbatasan lapangan kerja 21,31% dari angkatan kerja pada tahun 2018 (Gambar
dan rendahnya kapasitas untuk bisa produktif 1). Ini artinya, 1 dalam setiap 5 orang angkatan kerja
menyebabkan bukan hanya masalah pengangguran di Aceh adalah pengangguran atau “pekerja miskin”,
tapi juga masalah sosial- ekonomi lainnya. yaitu pekerja yang tidak mampu mencukupi
kebutuhannya.
Untuk Aceh yang merupakan wilayah pascakonflik,
keadaan lebih genting lagi. Tiga puluh tahun konflik,
disusul deraan mega-bencana Tsunami 2004, telah 3 Sebagian wilayah di Indonesia sudah mengalami “bonus demografi”

banyak merusak sistim sosial-ekonomi wilayah ini. sejak 2010, namun secara nasional diperkirakan akan terjadi dalam
periode 2025-2030. Di Aceh, Banda Aceh dan Aceh Barat sudah dalam
Struktur umur penduduk Aceh yang sampai Sensus periode Bonus Demografi ini sejak angka ketergantungan nya sudah
2000 menunjukkan arah menuju pertumbuhan berada di bawah 50 (Tabel 1 dalam Lampiran).

CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM” | 17


Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Memahami
ĞĖ Ħİ Ė ĦĜİ ĜÍ Ė ĠĖ ĦĜĪ ĤĖ Ė Í Populasi
ACEH Tahun 2018 5 189 466 kekerasan terhadap perempuan dan anak pasca-konflik di
Ĭ ÞÖ NÑǾÈBPS ; Indikator Aceh, karena itu, perlu diletakkan
Tenaga
Kerja Provinsi Aceh
Agustus 2018 Penduduk Usia
Kerja (15+)
Non PUK (<15)
1 526 216
dalam konteks sosial-ekonomi Aceh paling
3 663 250
mutakhir,termasuk dengan melihat “setan dalam
demografi” (the devil in the demographics). Dalam
Angkatan Kerja Tidak Aktif
2 353 440 1 309 810 insiden kemiskinan, sebagai contoh, perempuan
paling banyak mengalami kekerasan. Bukan hanya
Bekerja Pengangguran sebagai “korban” atau “penyintas” yang harus
2 203 717 149 723
PERKIRAAN DEFISIT
(93,64%) (6,36%)
LAPANGAN KERJA bertahan dalam deraan kemiskinan, tapi karena
Pekerja Produktif
± 1.798.061
Pengangguran PRODUKTIF kemiskinan itu sendiri adalah seringkali wujud
tidak miskin 501 657
(21.31%) kekerasan terstruktur negara dan atau struktur
Pekerja Miskin Pengangguran
± 351 934 Miskin masyarakat pada perempuan.
Note : Jumlah populasi yang tertera adalah data tahun 2017, data tahun 2018 belum tersedia

Sumber: Penulis, diolah dari data BPS


Di Pidie, misalnya, jumlah perempuan paling banyak
Gambar 1. Fakta Ketenagakerjaan di Aceh, 2018 dalam struktur penduduknya dibandingkan dengan
kabupaten/kota yang lain, ditandai dengan rasio-jenis
Karena itu, walaupun angka pengangguran terus kelamin 93,73. Artinya, setiap terdapat 100 penduduk
menurun, pemerintah Aceh perlu terus memperkuat laki-laki, ada hanya 93-94 orang perempuan. Ini bisa
usaha penyediaan lapangan kerja. Pertumbuhan jadi karena kebiasaan merantau bagi laki-laki dalam
ekonomi, walaupun tetap positif, stagnan pada sekitar tradisi masyarakat Pidie. Bisa juga karenya banyaknya
4% dalam delapan tahun terakhir. Pertumbuhan mortalitas penduduk laki-laki selama konflik yang
berada pada 4,14% pada tahun 2017, menurun dari berarti banyak janda korban konflik di Pidie.
4,27% di tahun sebelumnya. Sementara itu,
pertambahan penduduk usia produktif terus terjadi. Perempuan kepala rumah tangga adalah korban nyata
Mereka, khususnya para pemuda dan rumah tangga kekerasan sosial-ekonomi yang kita sebut
muda, perlu lapangan kerja produktif. “kemiskinan”. Insiden kemiskinan memang secara
empiris makin tinggi di kalangan rumah tangga yang
Menurut Urdal (2004), jumlah orang muda yang kepala rumah tangganya perempuan. Karena dalam
banyak di tengah keadaan ekonomi yang buruk, dapat masyarakat kita, kepala rumah tangga perempuan
meningkatkan resiko terjadinya konflik dengan seringkali berarti kepala rumah tangga tunggal
kekerasan. Aceh sedang dan menuju pada keadaan berjenis kelamin perempuan. Ini bisa terjadi karena
yang mengkhawatirkan dengan bertambahnya ditinggal mati atau ditelantarkan oleh suaminya.
kelompok usia muda dalam struktur penduduknya,
lapangan kerja yang masih terbatas, kemiskinan yang Kaitan antara dampak konflik, kemiskinan, dan karena
masih tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang itu, kekerasan terhadap perempuan berlanjut di
stagnan. wilayah-wilayah yang pernah menjadi hot-spot selama
tiga puluh tahun konflik Aceh. Banyak kecamatan di
Potensi kekerasan karena alasan sosial-ekonomi Bireuen seperti Jeunieb, Peudada, Juli, Jeumpa, dan
tersebut makin besar dalam konteks Aceh pasca- Peusangan adalah kecamatan dimana paling banyak
konflik. Harapan terhadap “peace dividend” atau rumah tangga paling miskin yang kepala rumah
“manfaat/keuntungan damai” terlalu besar tangganya perempuan. Kecamatan di Pidie, Aceh
dibandingkan dengan kenyataan yang tidak begitu Utara, dan Aceh Timur juga banyak yang
menjanjikan. Bukan hanya mereka yang terlibat memperlihatkan fenomena yang sama.
konflik yang berharap pada keadaan yang lebih baik,
tetapi juga mereka yang tidak terlibat konflik secara
langsung.

18 | CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM”


Jumlah perempuan yang lebih banyak juga terlihat di
Kabupaten Bireuen dan Kota Langsa. Kedua wilayah
ini punya penduduk perempuan lebih besar dari
penduduk laki-laki. Bedanya, jumlah perempuan
justru lebih banyak dalam kelompok usia produktif.
Menarik untuk dilihat apakah pengaturan terhadap
perilaku perempuan berbasis syariat Islam dipicu
karena “perempuan terlihat lebih banyak di ruang
publik”, misalnya. Tentu saja perempuan akan terlihat
dimana-mana lebih sering di ketiga wilayah ini karena
jumlah perempuan memang lebih besar!
Sumber: Penulis, diolah dari data Mahkamah Syar'iyah (perceraian) dan
SNPK (KDRT)
Sebaliknya, angka rasio jenis kelamin di Bener Meriah
adalah 102,45. Ini menandakan jumlah penduduk laki- Gambar 2. Tren angka perceraian dan KDRT
laki lebih besar dari penduduk perempuan dengan (domestic violence) yang dilaporkan media
perbandingan 102,45 : 100. Apakah ini punya implikasi
pada tingginya angka kekerasan seksual terhadap Ini adalah indikasi domestifikasi kekerasan, yaitu
perempuan di wilayah ini perlu dikaji lebih mendalam. “kekerasan yang dibawa pulang ke rumah”. Oleh
Data empiris di Aceh juga menunjukkan eratnya kaitan siapa? Kemungkinan besar oleh para lelaki yang sudah
antara kemiskinan dan masalah sosial dan kejahatan. terbiasa dengan perilaku kekerasan di masa konflik
Wilayah dengan insiden kemiskinan tinggi juga dan para lelaki yang “gagal” secara sosial-ekonomi.
mempunyai catatan kriminalitas tinggi seperti masalah Patut diduga mereka “muda, miskin, dan
narkoba. menganggur”. Laki-laki muda, miskin, menganggur,
dan berpendidikan rendah sangat rentan untuk
berlaku kasar. Sebaliknya, para perempuan yang
Domestifikasi kekerasan?
muda, miskin, menganggur, dan berpendidikan
MoU Helsinki telah membawa “perdamaian negatif” di
rendah sangat rentan menjadi korban kekerasan.
Aceh, yaitu perdamaian tanpa kasus kekerasan
Namun jika perempuannya berpendidikan, mereka
bersenjata yang terjadi di ruang publik. Namun
bisa melindungi diri bahkan melawan. Jika cukup
kekerasan belum sirna dari bumi Aceh. Data di awal
merdeka secara sosial-ekonomi, para perempuan
catatan ini menunjukkan tingginnya angka kekerasan
bahkan bisa meminta fasak. Mahkamah Syar'iyah
terhadap perempuan dan anak di Aceh.
Aceh melaporkan angka perceraian yang makin tinggi
Memburuknya keselematan dan kesejahteraan
itu semakin besar proporsinya adalah cerai karena
perempuan dan anak saat ini, 14 tahun setelah
permintaan pihak perempuan.
Tsunami 2004 dan 13 tahun setelah MoU Helsinki,
bukanlah fenomena yang tiba-tiba. Gambar 2.4
menunjukkan kecendrungan memburuknya status
keselamatan perempuan di Aceh dengan
meningkatnya kasus KDRT yang dilaporkan media.
Peningkatan drastic KDRT justru terjadi sejak 2005.
Data pada awal tulisan ini menunjukkan bahwa
laporan KDRT dalam media jelas hanya fenomena
gunung es. Yang tak dilaporkan media jauh lebih
besar.

CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM” | 19


DARURAT NARKOBA:
SISI GELAP NEGERI SYARI'AH
Muazzinah

S
epanjang tahun 2018, Polda Aceh telah kantor dan aparat perwakilan di setiap daerah. Sudah
menangani 1.600 kasus narkoba dengan banyak kegiatan yang dilakukan BNN Pusat maupun
tersangka mencapai 2.213 orang yaitu 2.143 BNNP Aceh untuk mengurangi masalah yang
tersangka laki-laki dan 56 tersangka perempuan. berkaitan dengan narkoba. Namun sejauhmana
Menurut BNNP di Aceh terdapat 73 ribu orang yang efektifitas pengurangannya belum diketahui.
menjadi pecandu narkoba yang harus direhabilitasi Lingkaran setan seputar binis haram ini terus
namun saaat ini hanya mampu direhabilitasi 321 berlanjut. Narkoba adalah wujud “simbiosis
orang. mutualisme” antara bandar dan pengguna. Bandar
butuh pasar yaitu pengguna baik masyarakat miskin
Angka-angka itu bukan angka yang sedikit. Data atau kaya. Masyarakat juga secara tidak langsung
tersebut cukup untuk menyatakan “Aceh Darurat membiarkan bandar bebas bergerak karena sejumlah
Nakoba”. Seringakali masalah sosial seperti ini bandar narkoba di Aceh justru sangat banyak terlibat
mengandung fenomena “gunung es”. Yang dilaporkan dalam kegiatan sosial kemsyarakatan. Selain
atau dicatat secara resmi relatif kecil dibandingkan “menyediakan lapangan kerja” yang memang terbatas
kenyataan yang tak terlihat. Peredaran dan di Aceh, para bandar ini bahkan ditengarai telah
penyalahgunaan narkoba sudah menjadi isu nasional masuk ke dalam dunia bisnis “legal” dan dunia politik
dan internasional. Namun “darurat narkoba” adalah sebagai bagian dari usaha pencucian uang haram hasil
sebuah ironi besar di negeri bersyariat ini. Masalah binis illegal dari narkoba.
ini menjadi salah satu ancaman besar untuk
masyarakat Aceh dan karena itu harus mendapat Karena itu beberapa usaha perlu segera dilakukan di
perhatian dari semua elemen. Penegakan syariat Islam Aceh. Pertama, pemerintah Aceh perlu membangun
pun akan jadi pepesan kosong jika masalah ini tidak tempat rehabilitasi. Karena untuk saat ini tidak ada
segera ditangani. Penyalahgunaan narkoba akan tempat rehabilitasi sehingga sangat tidak berbanding
menggagalkan maqashid syariah (tujuan syariah), dengan jumlah pecandu yang menjadi waiting list
mulai dari rusaknya aqal, hilangnya harta, buruknya untuk direkomendasikan oleh BNNP Aceh ke pusat
keturunan, hingga terancamnya jiwa. Padahal semua rehabilitasi milik Pemerintah di Serdang, Medan dan di
ini harusnya dilindungi oleh sistem hidup bernama Lido, Bogor. Sedangkan rehab yang dilakukan oleh
“agama”. pihak swasta berbiaya mahal. Hal ini sangat
menyulitkan masyarakat Aceh karena dibutuhkan
Rumitnya pemberantasan narkoba bukan saja karena biaya yang besar untuk proses rehab yaitu
banyaknya mafia narkoba namun pengguna dan penyembuhan dan konseling. Pada dasarnya
pengedar yang terus meningkat serta terlibatnya pengguna narkoba bukan penjahat tapi korban maka
aparat penegak hukum seperti oknum-oknum polisi, negara harus hadir untuk merehabilitasi. Kedua,
tentara, bea-cukai, imigrasi, hingga kejaksaan, dan sosialisasi bahaya penggunaan narkoba di setiap desa
kehakiman. Mereka yang seharusnya menjadi di Aceh secara rutin. Kenapa hal ini perlu dilakukan
pengayom masyarakat untuk tak terlibat kasus karena menurut BNNP Aceh 2018 tidak ada satu desa
narkoba, justru sering menjadi beking bisnis illegal pun yang tidak terlibat masalah narkoba di Aceh.
lewat jaringan peredaran barang haram tersebut. Ketiga, yaitu adanya fatwa haram dari tengku-tengku
Menurut catatan Polda Aceh tahun 2018, misalnya, dan pemuka masyarakat di Aceh supaya
sebanyak 69 anggota Kepolisian Daerah Aceh memberantas narkoba harus layaknya seperti
diberhentikan secara tidak hormat. Sebanyak 52 memberantas aliran-aliran sesat. Jangan seperti yang
diantaranya terlibat kasus narkoba. terjadi selama ini, melarang narkoba tapi menerima
dan membanggakan uang hasil bisnis narkoba.
Menghadapi permasalahan narkoba yang semakin Termasuk menerima sumbangan untuk kegiatan
meningkat dan berkesinambungan pemerintah telah sosial, keagamaan, dan kegiatan politik dari jaringan
membentuk Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai narkoba.
badan penanggulangan masalah narkoba dengan

20 | CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM”


“Tengku” Harus Hadir Maka berdasarkan ayat Alquran tersebut secara tegas
Wadah penyelamatan generasi bangsa harus tengku-tengku di Aceh dapat mengeluarkan fatwa
dilakukan semua elemen, termasuk tengku/imuem, haram hukumnya mengedarkan dan memakai
pemuka agama dan masyarakat. Tengku adalah narkoba.
sebutan kepada orang Aceh yang memiliki
pengetahuan agama atau tokoh agama atau orang Semua elemen harus mengetahui dan meyakini bahwa
yang alim. Tengku tersebut pasti memiliki murid narkoba adalah perihal yang dilarang oleh agama
atau jamaah atau pengikutnya yang bisa juga bukan saja oleh negara. Isu narkoba harus menjadi
menjadi penyambung lidah untuk mensyiarkan apa “seksi” layaknya isu agama atau isu Syariat Islam yang
yang disampaikan. menjaga perilaku warga. Kalau “darurat narkoba” ini
tidak ditangani dengan serius, maka pelaksanaan
Tengku dapat berperan penting dalam segala isu Syariat Islam di Aceh justru sudah gagal sejak awal.
termasuk bahaya narkoba. Pada saat ini di Aceh Dan kita semua terpaksa hidup dalam kemunafikan.
tengku lebih berfokus pada kajian-kajian atau Menjadi polisi moral untuk sebagian dan membiarkan
ceramah-ceramah di dayah atau mesjid dan lain- kebejatan moral bahkan kebinasaan sebagian yang
lain lain.
sebatas perihal yang berfokus pada isu yang berkaitan
dengan ritual agama Islam. Para pemuka agama sibuk
menjadi polisi moral terhadap sebagian masyarakat
terutama perempuan dan kaum minoritas, tapi abai
menjadi polisi moral untuk para penjahat dan
sampah masyarakat yang punya banyak uang dan
kekuasaan besar. Misalnya, himbauan tidak duduk
laki-laki dan perempuan di warung kopi, razia dan
memotonng celana ketat perempuan, razia warung
kopi untuk shalat Magrib dan sebagainya. Padahal
perihal
narkoba juga tak kalah pentingnya mengingat
peredaran narkoba di Aceh semakin meningkat
merambah segala lini yaitu laki-laki dan perempuan,
orang tua dan anak-anak serta pengambil kebijakan
publik yaitu pemerintah.

Andil Tengku-Tengku dalam pemberantas narkoba


adalah dengan cara mengeluarkan “fatwa haram”
untuk semua yang terlibat masalah narkoba yang
disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh
sehingga dalam khutbah atau ceramah tentang isu
narkoba wajib disampaikan yang menurut Islam
bahwa narkoba itu haram. Narkoba memang tidak
disebutkan hukumnya secara khusus di dalam Al-
Qur'an maupun hadist Nabi. Pada dasarnya efek dari
yang sesuatu yang memabukkan, merusak fungsi akal
manusia, dan membinasakan diri adalah sesuatu
yang dilarang dalam Islam. Karena narkoba termasuk
dalam pembahasan mufattirat yaitu pembuat lemah
atau mukhaddirat yaitu pembuat mati rasa sehingga
jika dikonsumsi akan membinasakan diri. Hal
demikian sesuai dengan Alquran Surat Al Baqarah ayat
195 yang berbunyi “dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”.
CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS
DARUSSALAM” | 21
Perempuan Aceh:
Antara Kenangan dan Kenyataan
Dian Rubianty
erempuan. Kapan tak menjadi trending topic Perempuan Aceh dan Kondisi Kekinian Pertama,

P
dan selalu ada khususan? Di tingkat nasional, mari mencermati data Semester I 2018
ada kementrian khusus untuk perempuan. rekapitulasi kasus kekerasan terhadap perempuan
Tak dari P2TP2A di 23 kabupaten/kota, bekerja sama
hanya itu, ada juga dinas khusus di tingkat propinsi dengan LBH Apik dan Polda Aceh. Dari 825 kasus yang
dan kabupaten/kota, ada lembaga khusus seperti dilaporkan, 400 diantaranya adalah kasus kekerasan
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan terhadap perempuan, sementara 425 kasus lainnya
dan Anak (P2TP2A), ada Komnas Perempuan, ada adalah kekerasan terhadap anak. Kepala Dinas
undang-undang khusus, ada kuota khusus “30 %” Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
untuk memastikan keikutsertaan, dan banyak lagi (DPPPA) Aceh menyatakan bahwa tak hanya terjadi
keistimewaan yang diberikan bagi warga negara kecenderungan peningkatan angka kekerasan, “modus
perempuan. bentuk kekerasan juga semakin memiriskan” (P2TP2A
Aceh, 2018). Jadi kita tak hanya berhadapan dengan
Secara legal formal, hal ini juga berlaku untuk bertambahnya jumlah kasus kekerasan secara
perempuan Aceh, bahkan dengan beberapa signifikan, tapi juga bentuk-bentuk tindak kekerasan
tambahan. Untuk pelayanan publik misalnya. Dalam terhadap perempuan yang semakin memilukan.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Pasal 1
tentang Asas-Asas Pelayanan Publik, salah satu Kedua, hasil penelitian Flower Aceh bersama
asasnya hanya menyebut “Persamaan Permampu menunjukkan bahwa “perempuan menjadi
Perlakuan/Tidak Diskriminatif”. Klausa ini pernyataan kelompok dominan yang mengalami masalah
yang umum sekali maknanya. Sementara dalam kesehatan dan gizi” (Flower Aceh, 2018). Perhatikan
Qanun Nomor 8 Tahun 2008 Pasal 1 ada penambahan salah satu indikator kondisi kesehatan kaum Ibu.
khusus, yaitu asas “Kesetaraan” dan “Sensitifitas Angka Kematian Ibu (AKI) Propinsi Aceh saat ini masih
Gender”. Secara perundang-undangan, perempuan cukup tinggi, yaitu 143 per 100.000 kelahiran hidup.
Aceh memang istimewa. Menurut berita, hal ini sudah menjadi perhatian
Pemerintah Aceh, sebagaimana yang disampaikan
Siapa Perempuan Aceh? Nova Iriansyah, saat membuka Rapat Kerja Kesehatan
Lantas siapa yang disebut sebagai “perempuan Aceh”? Daerah (Raker Kesda) se-Aceh. Untuk mewujudkan
Apakah mereka yang bergelar bangsawan, keturunan program Aceh Seujahtera dan JKA plus, akan
para sultan serta kaum ulebalang? Atau semua dialokasikan dana sebesar 890 milyar rupiah (Serambi
perempuan yang lahir dan/atau dibesarkan di bumi Indonesia, 18 April 2018). Adakah kucuran dana yang
syuhada ini, “atau memiliki garis keturunan Aceh, baik tidak sedikit ini berdampak bagi perbaikan berbagai
yang ada di Aceh maupun di luar Aceh dan mengakui indikator kesehatan di Aceh, khususnya kaum
dirinya sebagai orang Aceh” (UUPA, 2006), tak peduli perempuan?
ulebalang atau kawula bahkan lamiet? Karena
demikian, UUPA No.11/2006 Pasal 211 mendefinisikan, Ketiga, angka kemiskinan Aceh lebih tingi dari rerata
siapa yang berhak disebut sebagai “orang Aceh”, angka kemiskinan di Indonesia. Data BPS 2018
termasuk kaum perempuannya. menunjukkan bahwa angka kemiskinan nasional
berada di bawah kisaran 10 persen, tepatnya 9,82 %.
Bagi Pemerintah Aceh, tentu UUPA yang menjadi Sementara angka kemiskinan di Propinsi Aceh berada
rujukan. Merekalah yang pemenuhan haknya atas di angka 15,97 %. Dibandingkan sebelumnya di tahun
perlindungan hukum, pendidikan, pekerjaan, jaminan 2010, angka kemiskinan Aceh adalah 20,98 %. Sekilas
sosial kesehatan, akses pada bantuan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan Aceh terlihat cukup
hak-hak lain---sesuai Qanun No.6/2008, perlu menghibur. Namun sebandingkah capaian ini dengan
dijamin, dilindungi dan dipastikan tak didiskriminasi. alokasi Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) yang
Namun mirisnya, beberapa kenyataan berikut jumlahnya demikian besar?
menunjukkan bahwa pemerintah dan rakyat Aceh
perlu ikhtiar lebih keras untuk memuliakan kaum
perempuannya.
22 | CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM”
Lebih jauh lagi, mari mengkaji angka kemiskinan Aceh Sher Banu A.L Khan (2017), seorang profesor dari
itu berdasarkan jenis kelamin. “Kemiskinan di Aceh National University of Singapore, menulis hasil
didominasi perempuan” (Nurnisa, 2018). Walaupun penelitiannya dalam sebuah buku berjudul
selintas tak terlihat perbedaan mencolok, antara “Sovereign Women in a Muslim Kingdom:The Sulthanahs
jumlah penduduk miskin laki-laki dengan penduduk of Aceh,
miskin perempuan. Namun saat kita telisik, barulah 1641-1699”, bahwa keempat sulthanah Aceh ini “bukan
kita paham bahwa dari sekian penduduk miskin yang sekedar penguasa boneka”. Mereka “the real king”, “the
ada di Aceh, jumlah kaum perempuan yang rulers”. Bukan “the queen” yang duduk manis, tapi
mengalami kemiskinan parah ternyata lebih banyak. sulthanah yang bernegosiasi dengan elit bangsawan,
Adanya diskriminasi akses terhadap faktor-faktor bermusyawarah dengan ulama, dan berdiplomasi
produksi yang membuat perempuan sulit keluar dari dengan bangsa-bangsa Eropa.
keterpurukan kemiskinan (Marcoes, 2015).
“Perempuan belum mendapatkan kesempatan dan Kepemimpinan perempuan pada masa itu “dithee le
hak yang sama seperti halnya laki-laki (Riswati dalam kaphe”(masyur dan dikenal dunia), namun hari ini
Nurnisa, 2018). Padahal Qanun Nomor 6 Tahun 2009 semua itu hanya ilusi. Qanun boleh menyatakan,
Pasal 15 menegaskan bahwa Pemerintah Aceh wajib bahwa tidak ada diskriminasi bagi perempuan untuk
“…memfasilitasi akses perempuan terhadap sumber- menduduki berbagai jabatan. Lantas kenapa
sumber perekonomian…” kemudian pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Kota Banda Aceh tahun 2017 lalu, isu “perempuan
Mengapa ketika bicara tentang perempuan Aceh, tidak boleh menjadi pemimpin” kembali dimunculkan?
realitas ini menjadi penting? Agar kita semua dapat Kalau dimunculkan para lamiet, mungkin kita anggap
melihat dengan jernih, kondisi perempuan Aceh hari hoax. Namun jika yang menyatakan mengaku pewaris
ini berdasarkan kenyataan/fakta. Bukan berdasarkan Nabi Saw? Tidakkah itu memartir “nanti durhaka,
kenangan. masuk neraka…” dalam pikiran kita?

Perempuan Aceh dan Ilusi Kesetaraan Menyoal Perempuan dan Masa Depan Aceh
“kesetaraan” di Aceh kerap didiskusikan dengan Perempuan. Bicara tentang perempuan Aceh adalah
mengandalkan romantisme sejarah masa silam. bicara tentang ibu, adik-kakak, istri dan anak-anak
Kenangan bahwa nun, ada hadih maja di negeri ini perempuan Bangsa Aceh. Pada mereka, baik-buruk
yang berbunyi: “Adat bak Poteumerheuhom, Hukom kualitas satu generasi dari bangsa ini akan kita
bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak dititipkan. Namun bila anak-anak perempuan kita
Laksamana”. Konon, salah satu qanun masa Putroe dibesarkan dengan “kenangan manis”, untuk tumbuh
Phang ini melahirkan adat pewarisan rumah pada dewasa dibenturkan dengan “kenyataan pahit”,
anak perempuan, sehingga para istri dalam bahasa akankah mereka menjadi madrasah yang mampu
Aceh disebut “po rumoh” (pemilik rumah) dalam mencerdaskan?
makna sebenarnya. Kepemilikan rumah sebagai
tempat berlindung tentu menjadi salah faktor Tiga kondisi kekinian perempuan yang penulis
penentu bagi perlindungan dan kesejahteraan kaum sebutkan hanya sekelumit dari banyak persoalan yang
perempuan. Namun, dapatkah kenangan ini dirujuk perlu kita selesaikan. Selalu, dibutuhkan kejernihan
untuk menunjukkan bahwa kaum perempuan sudah hati, “prasangka yang bening” (A.Fillah, 2013) dan
diikut-sertakan dalam setiap proses kebijakan? Sesuai keikhlasan, untuk segenap ikhtiar memuliakan kaum
Qanun No.6/2008 Bab VII Pasal 22 dan 23? perempuan. Karena bicara tentang “kesetaraan”
bukanlah upaya untuk menjadikan perempuan dan
Kemudian kita juga kerap menceritakan kisah laki-laki “serba-sama”. Justru sebaliknya, bagaimana
kejayaan empat Sulthanah, untuk menunjukkan perbedaan ini bisa saling melengkapi, tanpa
bahwa masalah kesetaraan di nanggroe kita sudah mendhalimi. Begitu seharusnya wujud penerapan
selesai berabad silam. Jauh, misalnya, sebelum syariat Islam, untuk mencapai maslahah bagi semua,
pejuang Women's Suffrage (gerakan perjuangan di dunia…dan InsyaAllah di akhirat. Demikianlah, Islam.
hak Agama yang rahmatan lil álamin, untuk seluruh alam.
kaum perempuan), seperti Lucretia Mott dan Termasuk alam lingkungan, tumbuhan dan hewan.
Elizabeth Stanton di Amerika Serikat, membacakan Apatah lagi untuk manusia yang kebetulan ditakdirkan
deklarasi akan hak-hak kaum perempuan di Seneca Tuhan berjenis kelamin perempuan?
Falls tahun
1848. Tapi benarkah demikian? Karena sebagian masih
saja membantah, para sulthanah ini sebenarnya
hanyalah “pemimpin boneka”?
CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS
DARUSSALAM” | 23
Orang Aceh dan Korupsi
Reza Idria

G
uncangan itu datang pada Selasa malam 3 Juli penting saya catat waktu itu mungkin bisa diwakili
2018. Penangkapan Irwandi Yusuf oleh KPK oleh ungkapan seorang teman yang juga dekat
terjadi seperti gempa, tanpa aba-aba, dengan Irwandi:
namun memberi efek kejut yang mengguncang saraf “geutanyoe lagee aneuk ban lahe, watee meujak piep
nyaris semua orang Aceh, tidak terkecuali lawan- mom ma ka mate” (kita seperti bayi yang hendak
lawan politiknya. Keesokan pagi ketika Irwandi menyusu tapi tiba-tiba sudah ditinggal mati ibu).
1

dipastikan terbang ke Jakarta bersama penyidik KPK,


semua orang sudah bisa merasa bahwa Irwandi tidak Selanjutnya, bukan tidak banyak orang Aceh yang
akan kembali ke Aceh dalam waktu dekat. mendukung KPK. Tetapi lagi-lagi penting bagi saya
mencatat apa reaksi atau ungkapan dari kelompok
Sebenarnya bukan pertama kali masyarakat Aceh yang konon bisa diidentifikasikan sebagai pendukung
menyaksikan pemimpin mereka ditangkap dan tindakan KPK tersebut. Rata-rata mereka mengatakan
diterbangkan ke Jakarta. Juga untuk kasus korupsi, bahwa Irwandi pantas ditangkap karena dia
gubernur Aceh Abdullah Puteh menjadi gubernur “sombong", “lupa daratan", yang ditunjukkan juga
Indonesia pertama yang berurusan dengan KPK bagaimana Irwandi sering berkata kasar di media
(Puteh ditangkap KPK hanya beberapa hari sebelum sosialnya. Intinya Irwandi adalah orang yang “arogan”
tsunami menghumbalang Aceh pada Desember (semua yang diberi tanda petik adalah ungkapan
2004). Pun begitu tidak sedikit yang menggigil verbal dari masyarakat). Sehingga setelah beberapa
menerima kenyataan bahwa Irwandi yang mengusung minggu, kemudian ke hitungan bulan, saya
slogan pemerintahan “hana-fee” akhirnya ditetapkan mengamati proses hukum terhadap Irwandi Yusuf dari
oleh sudut pandang masyarakat Aceh, bagi saya tetap ada
KPK sebagai tersangka. yang absen dalam reaksi-reaksi di atas, yakni
pembicaraan tentang korupsi sebagai inti masalah.
Penangkapan sudah pasti Irwandi memberikan Kata korupsi
implikasi besar terhadap peta politik Aceh. Menjelang atau padanannya tidak pernah menjadi topik penting
pemilu legislatif 2019, Partai Aceh yang sebelumnya yang dijadikan bahan analisis maupun digunakan
diprediksi akan kehilangan dukungan dari masyarakat sebagai tema untuk melancarkan aksi, baik pro
Aceh setelah Irwandi dan PNA berkuasa mungkin akan maupun kontra, atas penangkapan Irwandi. Tidak ada
menemukan kembali momentumnya. Namun dalam orang yang tidak percaya bahwa Irwandi tidak korupsi.
skala yang lebih besar, kegagalan Irwandi Yusuf dalam Tapi bukan korupsi masalahnya. Orang-orang punya
menjaga posisi dan peluang PNA bisa menjadi perbendaharaan kata, peristiwa, nama tanpa sadar
senjakala partai lokal Aceh menantang dominasi partai mengenyampingkan bahwa tindakan KPK adalah
politik nasional. Kita simpan nujum itu, untuk melihat karena korupsi.
apa yang bisa kita pelajari dari kejadian di tahun yang
sudah lewat itu. Refleksi sederhana ini bisa dibaca sebagai usaha saya
memahami kenapa Aceh menjadi salah satu provinsi
Yang menarik bagi saya dari kejadian di awal Juli 2108 terkorup di Indonesia. Saya tidak bermaksud
tersebut adalah menelaah cara berbagai orang menyampingkan, tetapi bagi saya ada yang lebih
menyampaikan reaksi atas penangkapan Irwandi. penting dari sekedar grafik kasus atau berapa banyak
Sebagai gubernur dan pimpinan partai politik, tentu uang negara yang sudah dicuri, yakni penting juga
saja Irwandi punya loyalis dan basis massa yang bisa untuk tahu sejauh mana logika koruptif telah
diprediksi bagaimana mereka akan bersikap terhadap terbentuk dalam kepala, bagaimana ia menjadi banal
tindakan OTT KPK tersebut. Serangkaian demo serta
dalam praktik dan bicara.
pernyataan elit partai yang digawangi Irwandi
menuduh ada motif politik di balik aksi KPK di Aceh.
Elite di Jakarta hingga Wakil Gubernur menjadi
tertuduh sebagai yang ikut bermain dalam
penangkapan Irwandi. Reaksi keras dari para loyalis 1
Ungkapan dengan sirat ketergantungan terhadap satu patron semacam
Irwandi juga punya banyak faktor, tapi yang paling itu tentu butuh telaah panjang, kita akan mendiskusikannya di
kesempatan lain.

24 | CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS DARUSSALAM”


Untuk menghentikan itu mungkin kita pernah
berharap pada hikmah setelah bencana. Sebagian
pernah berharap pada euforia pemberlakuan hukum
agama, namun hingga tahun 2018 kemarin kita tidak
melihat hasilnya. Sampai KPK tiba. Di minggu-minggu
awal setelah penangkapan Irwandi Yusuf masyarakat
Aceh sempat melihat sinyal dari kesungguhan upaya
pemberantasan dengan usaha masif KPK menyelidiki
ke dinas-dinas yang disinyalir menyediakan aliran
dana ilegal. Menurut rumor yang berkembang dari
kedai-kedai kopi waktu itu, aksi KPK telah membuat
banyak pihak terkait dengan praktek-praktek korupsi
di pemerintahan Aceh terkencing-kencing di celana.
Tetapi setelah KPK pergi narasi yang berkembang
kembali menyatakan bahwa yang terkena hanya yang
sial saja.

Kita berharap KPK tidak hanya berhenti hanya pada


kasus Irwandi. Harapan kita di 2019 KPK kembali
datang menuntaskan pekerjaannya untuk menyucikan
Aceh dari najis kencing kotor para koruptor.

CATATAN AKHIR TAHUN 2018 “POROS


DARUSSALAM” | 25
Biodata Singkat
Penulis Catatan Akhir Tahun 2018
Poros Darussalam

Arfiansyah. S.Fil.I.,MA sehari-hari berkerja sebagai tenaga pengajar tetap di Prodi Sosiologi
Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Ar-Araniry. Saat ini dia dipercaya sebagai Program Manager di
International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS). Arfiansyah menyelesaikan studi
magisternya di McGill University, Kanada, dengan program studi Islamic Studies. Saat ini dia sedang
menyelesaikan studi doktoralnya dalam bidang Antropologi Hukum di Leiden University, Belanda.

Cut Dewi, ST., MT, M.Sc, Ph.D bekerja di bidang arsitektur dan konsevasi kota. Menyelesaikan
sarjana di Jurusan Arsitektur Unsyiah tahun 2002. Kemudian menyelesaikan double master degree
di bidang Environmental and Infrastructure Planning, University of Groningen, Belanda dan
SAPPK, Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2007. Pada tahun 2015, dia menyelesaikan PhD-nya
di Australian National University. Dia adalah anggota dari Association for Critical Heritage Studies
(ACHS) dan merupakan editor dan reviewer beberapa jurnal lokal, nasional, dan internasional. Dia
telah mengajar arsitektur di Universitas Syiah Kuala sejak tahun 2002 hingga sekarang dan
merupakan salah satu dosen berprestasi Fakultas Teknik tahun 2010. Selain mengajar dan meneliti
di Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Wilayah, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Dr. Cut
Dewi adalah peneliti senior dan Direktur Eksekutif International Centre for Aceh and Indian Ocean
Studies (ICAIOS), sejak Agustus 2018. Dr. Dewi dapat dihubungi lewat email:
cut.dewi@acehresearch.org

Dian Rubianty, SE.Ak., MPA adalah dosen Ilmu Administrasi Negara dan Kepala Laboratorium
FISIP UIN Ar-Raniry. Setelah menamatkan pendidikan sarjana bidang Akutansi di Fakultas Ekonomi
Unsyiah dengan pujian, Dian fokus sebagai fulltime mom dan menjadi penulis tentang isu
perempuan dan anak. Dengan beasiswa Fulbright Tsunami Initiative, Dian melanjutkan pendidikan
pascasarjananya dalam bidang Public Administration di University of Arkansas at Fayetteville
sehingga memperoleh gelar MPA juga dengan pujian. Selain mengajar dan meneliti, Dian aktif
menulis dan menjadi narasumber dalam berbagai seminar dan pelatihan. Email:
dian.rubianty@gmail.com

Ibnu Mundzir, M.A adalah peneliti pada International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies
(ICAIOS). Ibnu Mundzir juga bekerja sebagai konsultan freelance di bidang monitoring dan evaluasi
dan peningkatan kapasitas untuk berbagai lembaga seperti Star Consulting, C4Change.id, Forum
Bangun Aceh, Canadian Red Cross, William & Lily Foundation, KOMPAK-LANDASAN di Tanah Papua,
dan CDM-Smith untuk program Millenium Challenge Account Indonesia. Di bidang dukungan
psikososial pasca bencana, Ibnu Mundzir pernah bekerja untuk Pusat Krisis Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia dan American Red Cross. Ibnu Mundzir menamatkan Pendidikan sarjana
psikologi di Universitas Indonesia dan master di bidang Community Psychology and Social Change
dari Pennsylvania State University (2011) dengan beasiswa dari Fulbright Tsunami Initiative
Program. Ibnu Mundzir dapat dihubungi di ibnu.mundzir@acehresearch.org
Muazzinah, B.Sc, MPA adalah staf pengajar pada FISIP UIN Ar-Raniry. Ina memperoleh gelar
B,Sc. dalam Social Science dari Universitas Sains Malaysia, Pulau Pinang, Malaysia, 2008. Gelar
pascasarjana diperolehnya dalam bidang Administrasi Publik dari Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 2014. Selain mengajar dan meneliti di kampus, Ina juga seorang peneliti di The Aceh
Institute, sebuah lembaga kajian independen di Banda Aceh. Ina mendalami administrasi publik,
kebijakan publik, pelayanan publik, dan ilmu politik. Dengan pengalaman akademik dan
aktivismenya, Ina sering diminta menjadi narasumber oleh media massa cetak, televisi, maupun
media online.

Muhammad Mirza Ardi, S.Pd., MPPM mengajar Sosiologi Politik dan HAM di UIN Ar-Raniry dan
Sosiologi Hukum di Unsyiah. Saat ini dia menjadi peneliti di Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan
Budaya (PPISB), Unsyiah dengan fokus pada Critical Public Policy. Selain menjadi peneliti, dia juga
terlibat aktif di Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah ( JMSPS). Papernya yang berjudul "The
Politics of Sharia in Aceh" pernah dipresentasikan di Annual CILIS Islamic Studies Postgraduate
Conference, Melbourne Law School. Mirza menyelesaikan studi magisternya di The University of
Melbourne, Australia, dengan bidang Public Policy and Management. Dia mendalami kebijakan
publik dengan perspektif sosiologi (ekonomi politik) dan menjadi murid langsung Vedi R Hadiz
(Guru Besar Asia Studies di Universitas Melbourne). Tulisan opininya sering dimuat di The Jakarta
Post, Tirto.id, dan Serambi Indonesia.

Reza Idria, MA adalah staf pengajar dan Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP UIN
Ar-Raniry. Memperoleh gelar MA dari Leiden University, Belanda, Reza saat ini tercatat sebagai
kandidat Ph.D di bidang Antropologi di Harvard University. Selain sebagai dosen dan peneliti, Reza
dikenal sebagai aktivis gerakan kebudayaan dan ikut mendirikan Komunitas Tikar Pandan dan
sejumlah komunitas kebudyaan lainnya. Tulisan-tulisannya mendalam dan tajam membedah
berbagai fenomena hidup manusia dan kemanusiaan. Aktif sejak masa mahasiswa, aktivisme Reza
menjangkau jaringan di tingkat nasional dan internasional. Pendidikannya di Harvard, universitas
terbaik dunia, makin meneguhkan jalannya sebagai intelektual muda kritis.

Saiful Mahdi, S.Si, M.Sc., Ph.D. adalah dosen dan ketua pendiri Jurusan Statistika, FMIPA Unsyiah.
Saiful memperoleh gelar doktornya dari Cornell University setelah mendapatkan master bidang
Statistika dari University of Vermont (UVM) di Vermont, Amerika Serikat dengan beasiswa Fulbright.
Dia mendalami Statistika sejak program sarjana di ITS Surabaya. Saat ini, Dr Saiful juga seorang
peneliti pada Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) Unsyiah dengan fokus pada
quantitative social science. Bidang minatnya termasuk demografi, statistik sosial, statistik resmi
(official statistics), dan metode survey. Selain mendalami ekonometrika terapan, sejak bergabung
dengan PPISB Unsyiah, Saiful juga berminat pada “sociology of disaster”. Saiful dapat dihubungi
lewat email: saiful.mahdi@unsyiah.ac.id

Sehat Ihsan Shadiqin, M.Ag. Dr. menekuni kajian tasawuf dan spiritualitas Islam. Namun
penelitiannya mencakup sejarah dan realiatas sosial tasawuf dan tarekat, syariat Islam, budaya,
etnisitas, dan masalah-masalah sosial ekonmomi di Aceh. Diantara bukunya adalah Tasawuf Aceh
(2008), Kosmosufism (2012), Abu Habib Muda Seunagan (2015). Beberapa tulisan lain dipublikasi
melalui buku kumpulan tulisan dan artikel dalam berkala ilmiah. Dr. Sehat juga menjadi editor
beberapa ensiklopedia, seperti Ensiklopedia Pemikiran Ulama Aceh, Jilid I (2004), Jilid III (2007),
Ensiklopedi Kebudayaan Aceh (2018), dan beberapa buku. Saat ini menjabat sebagai Ketua
Program Studi Sosiologi Agama, Fakkultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry. Dapat dihubungi
melalui email: sehat.ihsan@acehresearch.org
Tentang
Poros Darussalam
Poros Darussalam adalah kumpulan pusat studi, pusat penelitian, dan
organisasi non-pemerintah yang ada di kawasan Kota Pelajar dan
Mahasiswa (Kopelma) Darussalam, Banda Aceh. Poros ini lahir didorong
oleh kesadaran untuk menjembatani dunia akademik/penelitian dengan
dunia kebijakan dan aktivisme. Poros Darussalam memperjuangkan ide
secara bersama-sama agar lebih diketahui publik dan memiliki daya
tekan pada pengambil kebijakan lewat kerjasama dengan berbagai pihak,
terutama media dan para jurnalis dan pewarta. Sejauh ini Poros
Darussalam menjalankan peran koordinatif antar lembaga yang ada di
Kopelma. Catatan Akir Tahun 2018 ini lahir dari komunikasi, koordinasi,
dan kerja sama antar lembaga yang ada. Poros Darussalam memiliki
anggota yang tidak formal dan tidak mengikat. Relasi antar anggota
dibangun atas visi yang sama dalam merekontruksi dan membangun
peradaban Aceh yang lebih baik, masyarakat yang lebih terbuka, dan
pembangunan berbasis data dan fakta untuk kebaikan dan kesejahteraan
semua. Anggota Poros Darussalam terdiri dari: ICAIOS, PPISB Unsyiah,
The Aceh Institute, ACCI Unsyiah, Padee Books, Program Studi Sosiologi
Agama UIN Ar-Raniry, Pusat Studi Telematika Unsyiah, Jurnal Ilmiah Islam
Futura, Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry,
ARC Unsyiah, CCIS Unsyiah, CTCS, dan CENTRIEF UIN Ar-Raniry.

Anda mungkin juga menyukai