Anda di halaman 1dari 6

Nama : Andrian Melmam Besy

NIM : 048926834
Progdi : Bahasa dan Sastra Indonesia
Mata Kuliah : Pendidikan Agama Katolik
Tugas : Tugas Tuton 3

Keterlibatan Umat Katolik dalam Hidup Berpolitik

Andrian Melmam Besy


048926834

Gereja Katolik dan Politik


Gereja Katolik selalu berusaha memberi perhatian kepada permasalahan-
permasalahan yang dihadapi umatnya dari hari ke hari. Gereja memberikan seruan-
seruan tentang banyak permasalahan di tengah dunia. Seruan terhadap masalah
sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan bahkan juga politik.
Memang dalam politik, seringkali diserukan bahwa para pemimpin Gereja
tidak boleh terlibat langsung dalam politik praktis. Namun bukan berarti Gereja
tidak peduli. Gereja mendorong umatnya untuk terlibat dalam masalah politik
sesuai dengan iman dan nilai-nilai kristiani.
Pada Gaudium et Spes artikel 73 disebutkan bahwa kekuasaan harus
digunakan untuk kepentingan umum bukan demi kepentingan pribadi dan partai. Ini
berarti Gereja sungguh ingin mewujudkan politik yang baik dan benar,
mewujudkan politik sebagai wujud kesejahteraan rakyat, bukan sebagai birokrasi
dan pembagian kekuasaan. Pada Octogesima Advensiens nomor 44, Gereja
menegaskan bahwa tugas politik adalah berusaha memecahkan soal-soal hubungan
antara manusia dan umat kristiani diundang untuk terlibat di dalamnya dan
menentukan pilihan mereka sesuai dengan nilai-nilai Injili dan kristiani. Dari sana
terlihat bahwa Gereja Katolik memandang bahwa politik itu persoalan untuk
mengurus hidup sehari-hari sehingga umat Katolik pun diundang untuk aktif
terlibat dalam memecahkan permasalahan-permasalah politik itu.

1
Gereja Katolik dalam Kancah Politik Indonesia
Pada tahun 2019 silam, pembicaraan masyarakat pada umumnya adalah
seputar Pemilu Presiden dan Legislatif. Isu ini menjangkau pada di lapisan
masyarakat akar rumput, dan menjadi menu setiap hari. Media cetak, elektronik,
dan digital setiap hari selalu punya berita baru yang disajikan kepada setiap orang.
Berita baik, berita buruk, berita benar, dan hoax juga menjadi sajian setiap hari.
Keberadaan media sosial semakin memberikan amunisi berkembangnya
pemberitaan sesuai yang diinginkan oleh orang-orang yang berkepentingan
memberitakannya.
Menjelang Pilpres dan Pileg, ramai sekali agenda pengumpulan massa. Hal ini
semakin dipicu dengan capres yang juga hanya dua pasang sehingga membuat
negara ini seperti terbelah menjadi dua massa besar pendukung salah satu paslon
presiden dan wakil presiden. Demikian juga terjadi dalam Pileg, massa pendukung
partai tertentu terlihat sangat bersemangat untuk mendukung partai yang
didukungnya.
Para caleg pusat dan daerah bekerja demikian ekstra. Mereka berusaha
memenangkan simpati dan dukungan para pemilih dengan berbagai cara, dengan
berbagai ide dan cara. Tentu selalu saja ada yang memilih jalan memberi iming-
iming materi kepada para pemilihnya. Pilihan politik uang memang selalu ada di
perpolitikan negara manapun. Selalu ada bayangan bahwa uang dapat membeli
semua suara yang diinginkan. Memang, tidak ada orang yang tidak butuh uang.
Melihat situasi politik yang rawan ini, Gereja Katolik Indonesia tidak tinggal
diam. Gereja Indonesia peka melihat isu ini. Gereja ingin tetap tampil sebagai
pengayom umatnya sekaligus tetap menjadi sosok yang netral dalam perpolitikan.
Gereja ingin tetap mendorong umat untuk mempunyai kebebasan memilih dan
berdemokrasi, untuk berperan aktif dalam pesta demokrasi itu.
Melalui Komisi Kerasulan Awam, Konferensi Waligereja Indonesia, Gereja
Indonesia menyerukan seruan moral dalam kerangka Pemilu 2019 itu. Pertama,
sebagai pemilih, umat Katolik harus mempunyai informasi yang cukup terkait
kandidat yang akan dipilih dan partai politiknya. Kedua, hal-hal teknis seputar
pemilu, meluangkan waktu ke TPS untuk memberikan suara, mencoblos kartu suara
secara benar, dan turut serta mengawasi penghitungan suara, seperti yang
disampaikan saat siaran pers. Ketiga, umat diharapkan menolak politik uang
dengan tidak menerima uang atau barang apa pun yang diberikan dengan maksud
2
supaya mereka memilih kandidat tersebut. Keempat, diharapkan umat memilih
kandidat yang beriman dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka
Tunggal Ika. Kelima, memilih kandidat yang berani menolak segala bentuk
radikalisme dan intoleransi. Keenam, memilih kandidat yang dapat
memperjuangkan kepentingan umum dan tidak mempolitisasi agama dan suku.
Ketujuh, memilih berdasarkan suara hati dan bukan karena adanya tekanan dan
pesanan tertentu.
Gereja tidak mengijinkan dijadikan sebagai sarana dan tempat untuk
berkampanye, agar umat tidak terkotak-kotak dan supaya tidak terjebak pada
tarikan kepentingan politik tertentu. Gereja berperan menjadi agen perdamaian di
tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.
Gereja dan umat dapat berpartisipasi dalam rangka menjaga netralitas Gereja
Katolik dalam pilpres dan pileg: Pertama, tidak boleh penggunaan tempat ibadah
sebagai tempat kampanye politik, tidak menggunakan gereja dan segala
fasilitasnya. Umat harus berpartisipasi secara aktif untuk menolak kampanye
politik yang memanfaatkan mimbar acara Katolik, seperti doa dan pertemuan
lingkungan/wilayah. Acara doa-doa dan pertemuan lingkungan merupakan Gereja,
tempat bersatunya umat dengan Allah, sehingga tidak seharusnya menjadi sarana
mencapai keuntungan yang sama sekali tidak bermotif pada cinta kasih Allah,
melainkan untuk diri sendiri dan kelompok.
Kedua, Gereja dan umat Katolik harus bersikap tegas dengan menolak bantuan
yang berasal dari para kandidat politik pada masa kampanye, menolak bentuk
pemberian bantuan untuk menarik simpati umat Katolik. Menerima bantuan dari
para kandidat politik pada masa kampanye sama halnya menjadikan Gereja sebagai
sarana kampanye. Ketiga, Gereja dan umat Katolik tidak diperkenankan memihak
salah satu kandidat politik. Gereja harus turut menciptakan politik yang sehat dan
berkualitas dengan cara mendidik umat untuk memilih wakil/pemimpin yang
berintegritas dan mengedepankan kepentingan umum, bukan memihak pada salah
satu kandidat apalagi dengan alasan keagamaan.

Gereja Katolik berpolitik dengan elegan dan benar


ORANG Indonesia sudah sedemikian latahnya menyebut bahwa politik itu
kotor. Di situ ada kekuasaan yang harus diperebutkan antara para kontestan. Lalu,
ketika berebut kekuasaan melalui mekanisme pemilu atau pilkada, maka uang lalu
3
bicara hingga kemudian muncullah money politics: menggunakan uang untuk
mendulang suara demi kemenangan memperoleh suara terbanyak. Dan akhirnya
kontestan itu bisa berhasil menjadi bupati, walikota, gubernur, dan anggota dewan.
Kenyatan itu tak dibantah oleh pengamat politik senior J. Kristiadi dari CSIS.
Apalagi kalau harus melihat karut-marut jagad perpolitikan di Indonesia sekarang
ini, ketika “money talks” terjadi di segala lini kiprah politik praktis. Mau menjadi
anggota jadi, harus setor duit; mau jadi calon bupati atau walikota, ya harus setor
duit ke partai, mau menggolkan sebuah RUU duit juga bicara. Bahkan, seorang
anggota DPR malah terus-terang mengatakan, “Untuk meloloskan sebuah RUU pun,
partai pendukung RUU harus setor duit kepada mitra partai lain guna memperoleh
dukungan agar RUU bisa menjadi UU.”
Menurut J. Kristiadi, politik itu pada dasarnya bermain siasat dan strategi
untuk memenangkan sebuah ‘pertempuran’ yakni perebutan kekuasaan.
Mekanismenya terjadi melalui pemilu atau pilkada. Karenanya, kata dia, para
politisi yang ingin berkiprah membangun bangsa dan negara ya harus pintar-pintar
bermain siasat dan memainkan strateginya untuk memenangkan ‘pertarungan’
tersebut: memperoleh kekuasaan dan akhirnya bisa menjadi bupati, walikota,
gubernur, anggota dewan, dan bahkan presiden.
Masalahnya adalah bagaimana bisa bermain ‘cantik’ mengatur strategi dan
siasat tersebut agar kemenangannya menjadi valid, tidak cacat hukum, dan secara
moral politik benar dan layak. Menurut J. Kristiadi, mau tidak mau dari sono-nya
para kader politik itu harus punya dulu yang namanya etika berpolitik yang benar.
Etika politik ini antara lain menolak penggunaan uang untuk merebut kekuasaan –
pendek kata money politics.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa untuk menjadi politisi andal, investasi
waktu, tenaga dan kucuran dana finansial tidak bisa diabaikan. Pertanyaannya,
maukah dan mampukah Gereja Katolik Indonesia dan KWI berkeputusan
berinvestasi jangka panjang untuk meretas kader-kader calon politisi katolik yang
andal, punya etika politik yang baik dan benar?

Ini bukan hanya soal waktu dan investasi, melainkan juga sebuah kemauan
politik Gereja.

4
Seperti diungkapkan oleh Ibnu, seorang calon walikota yang gagal di tengah
jalan, dirinya merasa kurang mendapat dukungan Gereja Katolik saat maju
mencalonkan diri sebagai pejabat tingkat lokal hanya lantaran pakai peci kopiah.
“Padahal, Bung Karno sendiri yang mempopulerkan peci kopiah ini sebagai
identitas kultural orang Indonesia, sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama,”
ungkapnya haru di forum Komisi Kerawam KWI, Jumat (21/2/2016) malam pekan
lalu.
Seorang petugas partai lain bersaksi bahwa menjadi politisi katolik yang baik
tidak harus berdiri di garis depan sebagai anggota dewan. Ia mengaku posisinya
sebagai anggota DPP di bidang ideologi menjadi sangat strategis, karena ikut
merumuskan gagasan-gagasan penting yang mengedepankan nasionalisme dan
pluralisme.
Seorang anggota dewan lainnya mengatakan ketidaksetujuannya kalau di
kalangan umat katolik tidak ada banyak kader-kader potensial untuk bisa duduk
sebagai anggota dewan atau pejabat publik. Menurut pengalamannya bergabung
dalam sebuah forum masyarakat madani, pihak berhasil ‘menjadikan’ orang-orang
potensial itu sebagai anggota dewan lokal. Kembali lagi pertanyaannya, maukah
Gereja Katolik dalam hal ini KWI dan gereja-gereja lokal seperti Keuskupan,
Kevikepan, dan paroki-paroki memberikan dukungan positif kepada kader-kader
potensial ini?
Menurut Michael Utama, salah satu pendiri PUKAT, apa yang dilakukan
Komisi Kerawam KWI dengan menggelar forum seperti ini merupakan satu langkah
maju. Setidaknya mensinergikan kekuatan bersama di antara para politisi katolik
untuk membangun tatanan sosial masyarakat yang adil, demokratis, dan transparan
untuk terciptanya bonum commune.
Seorang politisi dari Senayan malah berani mengatakan dirinya mengorbankan
banyak hal dengan keputusannya menjadi anggota dewan. Gajinya sebagai direktur
BUMN jauh lebih banyak dari apa yang dia terima sebagai anggota DPR. Itu
semua, kata dia, karena sebuah motivasi dan kepentingan luas yang lebih besar:
membangun tatanan kemasyarakatan demi terciptanya bonum commune.

Gereja harus tetap netral dan di atas semua golongan


Mungkinkah Gereja, KWI, Keuskupan, Kevikepan, dan Paroki memberikan
dukungan riil kepada para politisi katolik yang ada di wilayahnya. Secara umum
5
dijawab ‘ya’, namun tidak boleh diberikan kepada individu-individu tertentu karena
–kata Romo Guido Suprapto selaku Sekretaris Komisi Kerawam KWI — “Gereja
Katolik harus berdiri di atas semua kepentingan dan tidak boleh membela satu-dua
orang dan kemudian meninggalkan politisi lainnya dari kubu partai yang berbeda.”

Pada kenyatannya, memang KWI tidak pernah memberikan dukungan pada


politisi-politisi tertentu melainkan “berdiri di atas segala kepentingan”. Rasanya,
ini sebuah langkah taktis, karena bagaimana pun para politisi katolik itu ada di
mana-mana; tidak hanya ndekem berada di satu partai politik semata.

Referensi
https://sathora.or.id/2320/keterwakilan-katolik-dalam-politik/
https://www.kompasiana.com/benediktujonas/5c034d31bde57577d412baa4/ajaran-
gereja-katolik-tentang-politik

Anda mungkin juga menyukai