Anda di halaman 1dari 4

Meningkatkan Kemandirian Ekonomi Melalui Inovasi dan Kreasi

Oleh
Asrul Sidiq

Dalam UU Pemerintahan Aceh disebutkan bahwa Aceh mendapatkan dana otonomi khusus dari
tahun 2008 sampai tahun 2027. Dana otonomi khusus inilah yang saat ini menjadi sumber utama
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh. Aceh masih sangat bergantung dengan dana
otonomi khusus dalam pembiayaan pembagunan. Dana otonomi khusus mengambil peran lebih
dari 50 persen dalam APBA. Sementara peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) sendiri dalam
APBA masih sangat kecil yaitu kurang dari 10 persen total APBA. Hal ini tentunya harus
diantisipasi dikarenakan dana otonomi khusus yang besifat sementara. Diperlukan munculnya
sektor-sektor ekonomi yang potensial dan produktif di Aceh sebagai pendorong pertumbuhan
ekonomi.
Aceh menghadapi permasalahan masih tingginya angka kemiskinan. Dalam rilis BPS Aceh
menunjukkan peningkatan angka kemiskinan. Pada Maret 2013, jumlah penduduk miskin di
Aceh mencapai 17,6 persen. Pada September tahun yang sama naik menjadi 17,72 persen.
Terakhir, pada Maret 2014, angka kemiskinan itu mencapai 18,05 persen.
Permasalahan lain yang dihadapi Aceh saat ini adalah banyaknya uang Aceh yang bocor ke
Medan. Berdasarkan rilis Bank Indonesia di Harian Serambi Indonesia (8 Agustus 2014)
disebutkan bahwa sampai dengan triwulan II 2014, jumlah uang yang beredar di Aceh mencapai
Rp 2,8 Triliun. Tetapi dari jumlah tersebut hanya sebesar Rp 588 Miliar yang ditransaksikan di
Aceh. Sisanya Rp 2,1 Triliun atau sekitar 75 persennya ditransaksikan ke luar Aceh. Hal ini
diakibatkan oleh banyaknya uang yang keluar dari Aceh dimana banyak orang Aceh
membelanjakan uangnya di luar Aceh untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa perekonomian Aceh masih tidak sehat.

Chris Manning seorang ekonom senior dari Australian National University mengungkapkan
bahwa salah satu permasalahan utama yang dihadapi Aceh saat ini adalah pengangguran
dikalangan pemuda. Tingkat pengangguran usia muda di Aceh berada cukup jauh di atas rata-rata
tingkat pengangguran usia muda di Indonesia. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi
pemerintah Aceh dalam mengatasi persoalan yang jika dibiarkan akan dapat membawa
multiplier dampak negatif.
Pengangguran di kalangan pemuda ini terjadi karena kurangnya sektor-sektor ekonomi produktif
yang dapat menyerap lapangan kerja. Seperti kita ketahui bahwa sektor minyak bumi dan gas
alam yang menjadi andalan Aceh selama ini terus berkurang. Aceh harus segera dapat
menemukan sektor-sektor ekonomi produktif baru yang dapat mendorong perekonomian. Aceh
memiliki banyak potensi dari sektor pertanian, perikanan, pertambangan, dan potensi sumber
daya alam lainnya. Namun hal tersebut menjadi sia-sia jika tidak dapat dimanfaatkan secara
optimal. Hal ini juga yang mengakibatkan masih banyaknya orang Aceh membelanjakan
uangnya di luar Aceh untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
Kualitas pemuda Aceh yang inovatif dan kreatif menjadi pondasi utama dalam pembangunan
Aceh kedepan. Hal ini menjadi solusi utama mengatasi permasalahan pengangguran di kalangan
pemuda. Pemuda sudah seharusnya tidak terpaku hanya pada mencari pekerjaan. Sejauh ini
pemuda Aceh masih sangat terpaku pada pekerjaan PNS dan pekerjaan-pekerjaan yang dekat
dengan akses dana ke APBA. Seolah-olah kalau belum PNS maka belum bekerja. Kalau belum
menjadi kontraktor maka belum menjadi pengusaha. Hal-hal tersebut tentunya sangat tidak
positif terhadap pembangunan Aceh kedepannya.
Pola pikir untuk dapat menciptakan lapangan kerja dari berbagai potensi pasar yang ada harus
dibudayakan. Asian Economic Community 2015 akan segera tiba pada Desember 2015 nanti.
Kalau kita tidak siap akan komunitas masyarakat ekonomi Asia Tenggara ini, maka Indonesia
dan Aceh khususnya akan menjadi pihak yang dirugikan. Para pemuda harus mempersiapkan diri
untuk dapat bersaing dalam kancah nasional bahkan global. Pemuda-pemuda yang berjiwa
inovasi dan kreativitaslah yang dapat menjadi garda terdepan dalam persaingan secara nasional
dan global ini.

Persaingan global menyebabkan terjadinya pergeseran sistem ekonomi dari berbasis teknologi
menjadi berbasis inovasi dan kreativitas. Peranan inovasi dan kreativitas sebagai salah satu
mesin penggerak perekonomian menjadi semakin penting. Peradaban tersebut kita kenal dengan
nama ekonomi kreatif. Keunggulan bersaing dan penentu pertumbuhan bukan lagi semata-mata
hanya berbasiskan pada pengetahuan, tetapi kreativitas. Masukan utama ekonomi kreatif adalah
gagasan yang diolah menjadi produk atau jasa yang bernilai ekonomi. Nilai ekonomi dari suatu
produk atau jasa di era kreatif bukan lagi ditentukan oleh bahan bakunya atau sistem produksi
seperti pada era industri, tetapi pada pemanfaatan kreativitas dan inovasi.
Pada saat ini perkembangan ekonomi di Aceh masih menghadapi banyak masalah. Salah satu
masalah kita adalah ketidakhadiran infrastruktur dunia kreatif dan inovatif. Tidak ada visi
bersama untuk arah jangka panjang yang jelas. Hal ini diperparah dengan situasi pemerintah
yang belum melihat desain dan ekonomi kreatif sebagai prioritas. Aceh belum memiliki jejaring
(network) dan kewirausahaan yang inovatif (entrepreneurship). Penguatan jejaring adalah
pekerjaan rumah terbesar kita saat ini.
Solusi mengatasi persoalan pengangguran di kalangan pemuda ini juga erat kaitannya dengan
kondisi perpolitikan di Aceh. Perekonomian dan perpolitikan memiliki keterkaitan yang sangat
erat. Pengamat politik Fachry Ali dalam seminar nasional yang diadakan di UIN Ar-Raniriy pada
tanggal 20 Agustus 2014 mengatakan bahwa pasca perjanjian damai antara RI-GAM di Helsinki
pada 15 Agustus 2005, terjadi pertumbuhan lebih banyak kelas menengah atas serta super elite
Aceh daripada kelas menengah profesional Aceh dan kelas pedagang yang ada saat ini (Serambi
Indonesia, 21 Agustus 2014). Fachry juga mengungkapkan bahwa dengan proses seperti ni maka
akan sangat sulit muncul kelas masayarakat manufaktur dan industri di Aceh. Kelas manufaktur
dan industri di Aceh ini sangat penting dalam mendorong pembangunan perekonomian di Aceh.
Fachry Ali juga menyebutkan bahwa akibat dari pertumbuhan lebih banyak kelas super elite ini
juga melahirkan kelas masyarakat konsumtif dimana perputaran uang di Aceh tidak sehat, karena
sebagian pendapatan dikuasai oleh kelas masyarakat yang didominasi kaum romantisme yang
didapat dari sektor tidak produktif.

Melihat persoalan yang dihadapi Aceh saat ini, sudah seharusnya kemandirian ekonomi menjadi
salah satu poin utama dalam merancang pembangunan Aceh kedepan. Perlu dibangun budaya
kreatif melalui penanaman pikiran kritis, yaitu pikiran yang selalu kritis terhadap apa yang
telah ada, untuk menemukan sesuatu yang baru. Selain itu kita juga perlu membangun budaya
produktif, yaitu hasrat untuk meneliti, merancang, menciptakan, membuat, dan memproduksi
sesuatu, bukan sekedar menggunakan, menimpor, dan mengkonsumsi apa-apa yang telah
disediakan. Budaya konsumtif yang lahir dari kalangan yang saat ini telah sangat merasuk di
dalam masyarakat Aceh ini sebaiknya ditransformasikan ke dalam budaya produktif. Untuk itu
diperlukan perubahan fundamental pada sistem yang lebih mendorong kreativitas, perubahan
struktur ekonomi dan industri yang menghargai nilai inovasi, dan perubahan struktur
kepemerintahan yang mendorong ke arah cara berpikir yang kreatif.

Anda mungkin juga menyukai