Anda di halaman 1dari 8

Penerapan Syariat Islam di era generasi milenial Aceh

Rizqina putri

Ilmu perpustakaan s1 Uin ar – raniry

Email: rizqina1711@gamail.com

pemberlakuan syariat Islam di Aceh memiliki sisi yang berbeda, berupa sisi ke–Indonesiaan, yaitu pemberlakuan
syariat Islam di Aceh ditujukan untuk mencegah agar Aceh tidak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dari sisi ini kita bisa melihat bahwa proses-proses pemberlakuan syariat Islam di Aceh bukanlah suatu
proses yang genuine dan alamiah, tapi lebih merupakan suatu move dan kebijakan politik dalam rangka mencegah
Aceh dari upaya pemisahannya dari NKRI. Penerapan syariat Islam pada tahap ini, yakni untuk meminimalisir
ketidakpuasan Aceh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah pusat, dan lebih merupakan langkah politik darurat
untuk menyelamatkan Aceh dalam pangkuan republik, yang bertujuan untuk mendatangkan kenyamanan psikologis
bagi masyarakat Aceh. Nanggroe Aceh Darussalam di kenal dengan sebutan seramoe mekkah (serambi mekkah).
Nafas Islam begitu menyatu dalam adat budaya Aceh sehingga aktifitas budaya kerap berazaskan Islam. Syariat
Islam secara kaffah dideklarasikan pada tahun 2001, pro dan kontra terus bermunculan sampai sekarang.
Keterlibatan pemerintah dituding ada unsur politik untuk memblokir bantuan Negara non muslim terhadap kekuatan
gerakan Aceh merdeka. Ciri khas budaya dan sikap kontra yang diperagaka melahirkan pertanyaan sejak kapan
syariat islam sudah berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam? Lazimnya bicara sejarah maka kita akan mengkaji tiga
dimensi waktu keberadaan hukum Islam di bumi serambi mekkah yaitu pada masa orde lama dan orde baru.
Sekarang ketika pemerintah melibatkan diri apa yang melatarbelakangi penerapan syariat Islam secara kaffah?
Hukum apa saja yang di atur dalam syariat islam? Seperti apa pola penerapannya agar menjadi awal masyarakat
bertingkah laku? Bagaimana Penerapan Syariat Islam Aceh dalam Lintas Sejarah perkembangannya sejak
diterapkan tahun 2001-sekarang, baik dari segi perubahan yang terjadi dalam masyarakat setelah syariat islam
diterapkan maupun konstitensi lembaga yang berwenang untuk menjalankan peraturan syariah yang sudah
dicanangkan.
Kata Kunci: Aceh, syariat Islam, qanun, budaya

Dari sudut sosio–budaya, masyarakat Aceh pada dasarnya menampilkan adat dan Islam sebagai unsur yang dominan
dalam mengendalikan gerak masyarakat. Agama Islam telah membentuk identitas masyarakat Aceh sejak masa awal
penyebarannya keluar jazirah Arab.1Nilai-nilai hukum dan norma adat yang telah menyatu dengan Islam merupakan
pandagan hidup (way of life) bagi masyarakat Aceh.
Oleh M. Anzaikhan, S.Fil.I., M.Ag, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Era milenial seperti sekarang ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi dengan berkembangnya media internet
mempercepat akses informasi dan teknologi bagi kemajuan bangsa, namun di sisi yang lain, masuknya budaya luar
yang bertitik balik pada merosotnya moral dan ahklak manusia.
Pada masa kelasik, anak-anak ketika keluar dari rumah hanya akan melihat hutan dan alam, sekarang di dalam
rumah sekalipun seorang anak dapat melihat dunia melaui medsos, youtube, atau game online. Efek baliknya,
budaya luar akan mempengaruhi pola fikir anak baik cara berbicara, gaya hidup, bahkan ideologinya. Ini merupakan
tantangan orantua dan lembaga sosio-keagamaan dalam mendidik dan membina anak zaman milenial.
Banda Aceh sebagai sebuah kota syariat Islam seharusnya memiliki masyarakat dan lingkungan yang penuh akan
kesadaran terhadap identitas nilai-nilai syariat, tapi realitas hari ini tidak sedikit warga Kota banda Aceh baik
lingkungan mahasiswa atau masyarakat umum yang melanggar batas-batas ajaran Islam. Padahal, visi Kota Banda
Aceh adalah menjadi basis terciptanya kota gemilang dalam bingkai syariat.
Jika dianalisa dan diobservasi lebih lanjut, fenomena ini terjadi karena belum pahamnya masyarakat terhadap nilai
syariat Islam secara kaffah. Masyarakat memiliki pemahaman keislaman yang terkotak-kotak sehingga butuh sebuah
mediasi untuk saling mensinergikannya.
Pada lingkungan pelajar yang duduk di bangku SMA bahkan SMP, dampak pergaulan bebas sangat
memprihatinkan. Berlakunya sistem pendidikan uni-sex (menggabungkan siswa lelaki dan perempuan dalam satu

1
1 Yusni Saby, Apa Pentingnya Studi Aceh, dalam M. Jakfar Puteh, Sistem Sosial Budaya dan Adat
Masyarakat Aceh (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2012), h. xxxi.
kelas) menjadikan siswa lebih fokus menghabiskan waktu untuk menarik perhatian lawan jenisnya daripada serius
pada belajar-mengajar. Fenomena ini dapat terlihat dari karakter siswa yang ingin selalu tampil beda, gaul, dan
populer di kalangannya. Padahal, ada beberapa sekolah di Aceh yang menganut sistem terpisah, yaitu Fatih
Bilingual School, dan beberapa dayah pada umumnya.
Bila melihat pada lingkungan kampus, gaya hidup mahasiswa diwarnai dari intensitas mereka yang hobi nongkrong
di warung kopi (warkop). Warkop di Aceh memang sudah menjadi trend dan kebiasaan pusat ngumpul masyarakat,
sehingga layak Aceh dijuluki; negeri sejuta warung kopi.
Identitas ini sejatinya tidak terlalu buruk, masalah selanjutnya adalah hampir 80% waktu mahasiswa dihabiskan di
warkop dari pagi hingga petang bahkan malam. Corak ini tentu bertentangan dengan hakikat bangsa Aceh tempo
dulu yang menjadikan masjid atau menasah sebagai pusat pertemuan dan mufakat.
Problema warung kopi tidak hanya berhenti di ranah itu, mahasiswa dengan layanan wifi gratis hanya fokus
menghabiskan waktunya untuk memainkan game online. Padahal, MPU Aceh telah menfatwakan; salah satu game
online haram dimainkan di Aceh karena dapat merusak moral dan psikologi remaja.
Gejolak ini tentu sangat meresahkan, apalagi mahasiswa pada umumnya adalah pelajar perantauan yang jauh dari
kontrol dan pengawasan orangtua masing-masing. Biaya yang dikirim untuk kuliah disalahgunakan dengan budaya
yang tidak sepatutnya, sehingga tidak jarang, bagi mahasiswa demikian akan telat selesai kuliah bahkan berhenti di
tengah jalan.

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Aceh Butuh Percepatan Syariat
Islam, https://aceh.tribunnews.com/2019/08/30/aceh-butuh-percepatan-syariat-islam.

Editor: bakri
Berbicara syariat, masih banyak ditemukan para pelanggan warung kopi yang tidak mengindahkannya. Hal itu
terbukti dari bebasnya kedekatan antara lelaki dan peria non-muhrim di dalamnya, ada juga oknum wanita yang
masih stay hingga pukul 10:00 malam ke atas, serta tak jarang muda-mudi berkhalwat (dempetan) bahu dengan
modus belajar kelompok atau membuat tugas. Mengherankan lagi, para pemilik atau pengelola warkop terlihat cuek
seolah itu adalah sebuah kewajaran.
Ketidakpedulian warkop terhadap syariat Islam semakin menjadi-jadi, pada waktu-waktu ibadah tidak ada upaya
agar pelanggannya melaksanakan shalat. Pada shalat maghrib misalnya, waktu ibadah ini berlalu begitu saja, pintu
warkop ditutup namun orang-orang di dalamnya asyik ngobrol atau bermain game online.
Pada masyarakat, pergaulan bebas anak muda tidak direspon dengan baik. Remaja desa atau mahasiswa yang
menginap di rumah kos tidak memiliki ketegasan khusus tentang siapa saja oknum yang boleh dibawa ke dalamnya.
Kendatipun tak separah di kota metropolitan Indonesia, tapi fenomena muda-mudi mesum di rumah kos Aceh masih
rentan dan meresahkan.
Kenyataan ini merusak moral mahasiswa sehingga ketika pihak wanita kedapatan hamil, mereka terpaksa
dinikahkan dan putus kuliah. Realita ini tidak banyak terpublis, namun seharusnya tidak terjadi di Banda Aceh
sebagai model kota berbasis syariat Islam.
Buruknya mentalitas anak kos tak jauh dari managemen kos yang tidak peduli dengan praktek para perental di
dalamnya. Rata-rata, rumah kos yang kedapatan bekhalwat adalah mereka yang tidak memperoleh pengawasan dari
pemiliknya. Oknum pemilik kos hanya peduli dengan uang masuk semata, sisanya adalah urusan belakangan.
Maksiat rumah kos harus mendapat respon dari segala pihak dan dicegah sedini mungkin terkhusus oleh warga,
geuchik, atau tokoh adat dan tokoh agama.
Jika tidak, ini akan menjadi duri dalam daging perusak generasi bangsa. Pepatah mengatakan, mencegah lebih baik
dari pada mengobati. Menjaga agar putra-putri Aceh tidak terseret arus pergaulan bebas lebih solutif dibanding
menghukum mereka ketika kedapatan bermaksiat, berkhalwat, bahkan mesum.
Tindakan menghukum, apakah secara kekeluargaan atau dera cambuk hanya akan menimbulkan dendam dan luka,
noda yang sudah hitam tidak bisa putih kembali. Namun dengan mencegah, dapat berefek pada target (mahasiswa)
itu sendiri sehingga mereka bisa fokus menyelesaikan pendidikan, dan membanggakan orangtua dan negaranya.
Masalah yang tak kalah pentingnya dengan fenomena di atas adalah penyalahgunaan narkoba dan obat-obatan
terlarang. Aceh merupakan salah satu titik strategis penyuplai sumber narkoba (khususnya ganja) ke dalam dan luar
Aceh. Menurut hasil penelitian, ganja Aceh memiliki kualitas terbaik di dunia akibat dukungan iklim dan geografis
alamnya. Tak heran, hampir seluruh kasus penyelundupan ganja di Indonesia berasal dari Aceh yang statusnya
dikenal sebagai negeri syariat Islam.
Tidak hanya itu, kasus kriminal di Aceh juga didominasi oleh praktek dan penyalahgunaan narkoba. Remaja
Indonesia atau Aceh akan rusak masa depannya ketika sudah bersentuhan dengan barang haram tersebut. Ini tentu
menjadi PR besar bersama, sebab oknum kepolisian saja tidak cukup untuk mencegah dan memberantas narkoba.
Berangkat dari beberapa masalah di atas, Aceh perlu melaksanakan `percepatan pemahaman syariat Islam' ke pada
masyarakat luas. Hal itu bisa direalisasikan dengan upaya pencegahan, dan pembinaan melalui sosialisasi intensif
bebabasis syariat.

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Aceh Butuh Percepatan Syariat
Islam, https://aceh.tribunnews.com/2019/08/30/aceh-butuh-percepatan-syariat-islam?page=2.

Editor: bakri
Praktek maksiat yang kian merajalela tidak bisa direduksi jika masyarakat tidak paham dan mengerti tentang ajaran
Islam secara totalitas. Sekali lagi, penanaman nilai syariat Islam pada masyarakat harus memperoleh percepatan
(akselerasi) melihat dinamika merosotnya moral dan ahklak yang begitu cepat.
Urgensi MPU dan Dinas Syariat Islam Aceh dalam mensosialisasikan dakwahnya tidak cukup hanya sebatas teori
semata, lebih dari itu harus ada pembinaan dan pengawasan berkala sehingga terbentuknya Aceh yang gemilang
dalam bingkai syariat bukan mimpi semata.

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Aceh Butuh Percepatan Syariat
Islam, https://aceh.tribunnews.com/2019/08/30/aceh-butuh-percepatan-syariat-islam?page=3.

Editor: bakri
Kata "milenial" tak asing di indra dengar kita. Istilah millenials, generasi millenials, anak muda millenials, oleh para
ahli dan peneliti disebutkan sebagai satu kelompok generasi manusia yang lahir pada 1980-1990, atau pada awal
2000, dan seterusnya.
Disebut milenial, karena generasi ini lahir pada era teknologi transportasi, komunikasi, dan teknologi informasi.
Transportasi ditandai munculnya alat-alat transpor yang memudahkan manusia menjangkau tempat yang jauh
menjadi dekat. Teknologi komunikasi, setelah penemuan telepon, dan handphone, saat ini akses internet sudah
sangat mudah sehingga manusia bisa menjalin komunikasi tanpa batas tempat dan waktu. Teknologi informasi,
yaitu jangkauan informasi yang secara instan diperoleh dari smartphone, android, atau internet.
Era milenial seperti sekarang ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi dengan berkembangnya media internet
mempercepat akses informasi dan teknologi bagi kemajuan bangsa, namun di sisi yang lain, masuknya budaya luar
yang bertitik balik pada merosotnya moral dan ahklak manusia.
Pada masa kelasik, anak-anak ketika keluar dari rumah hanya akan melihat hutan dan alam, sekarang di dalam
rumah sekalipun seorang anak dapat melihat dunia melaui medsos, youtube, atau game online. Efek baliknya,
budaya luar akan mempengaruhi pola fikir anak baik cara berbicara, gaya hidup, bahkan ideologinya. Ini merupakan
tantangan orang tua dan lembaga sosio-keagamaan dalam mendidik dan membina anak zaman milenial.
Banda Aceh sebagai sebuah kota syariat Islam seharusnya memiliki masyarakat dan lingkungan yang penuh akan
kesadaran terhadap identitas nilai-nilai syariat, tapi realitas hari ini tidak sedikit warga Kota banda Aceh baik
lingkungan mahasiswa atau masyarakat umum yang melanggar batas-batas ajaran Islam. Padahal, visi Kota Banda
Aceh adalah menjadi basis terciptanya kota gemilang dalam bingkai syariat. Jika dianalisa dan diobservasi lebih
lanjut, fenomena ini terjadi karena belum pahamnya masyarakat terhadap nilai syariat Islam secara kaffah.
Masyarakat memiliki pemahaman keislaman yang terkotak-kotak sehingga butuh sebuah mediasi untuk saling
mensinergikannya.
Pada lingkungan pelajar yang duduk di bangku SMA bahkan SMP, dampak pergaulan bebas sangat
memprihatinkan. Berlakunya sistem pendidikan (menggabungkan siswa lelaki dan perempuan dalam satu kelas)
menjadikan siswa lebih fokus menghabiskan waktu untuk menarik perhatian lawan jenisnya dari pada serius pada
belajar-mengajar. Fenomena ini dapat terlihat dari karakter siswa yang ingin selalu tampil beda, gaul, dan populer di
kalangannya. Padahal, ada beberapa sekolah di Aceh yang menganut sistem terpisah, yaitu Fatih Bilingual School,
dan beberapa dayah pada umumnya.
Bila melihat pada lingkungan kampus, gaya hidup mahasiswa diwarnai dari intensitas mereka yang hobi nongkrong
di warung kopi (warkop). Warkop di Aceh memang sudah menjadi trend dan kebiasaan pusat ngumpul masyarakat,
sehingga layak Aceh dijuluki; negeri sejuta warung kopi.
Identitas ini sejatinya tidak terlalu buruk, masalah selanjutnya adalah hampir 80% waktu mahasiswa dihabiskan di
warkop dari pagi hingga petang bahkan malam. Corak ini tentu bertentangan dengan hakikat bangsa Aceh tempo
dulu yang menjadikan masjid atau menasah sebagai pusat pertemuan dan mufakat.
Problema warung kopi tidak hanya berhenti di ranah itu, mahasiswa dengan layanan wifi gratis hanya fokus
menghabiskan waktunya untuk memainkan game online. Padahal, MPU Aceh telah menfatwakan; salah satu game
online haram dimainkan di Aceh karena dapat merusak moral dan psikologi remaja.
Gejolak ini tentu sangat meresahkan, apalagi mahasiswa pada umumnya adalah pelajar perantauan yang jauh dari
kontrol dan pengawasan orang tua masing-masing. Biaya yang dikirim untuk kuliah disalahgunakan dengan budaya
yang tidak sepatutnya, sehingga tidak jarang, bagi mahasiswa demikian akan telat selesai kuliah bahkan berhenti di
tengah jalan.
Berbicara syariat, masih banyak ditemukan para pelanggan warung kopi yang tidak mengindahkannya. Hal itu
terbukti dari bebasnya kedekatan antara lelaki dan wanita dalamnya, ada juga banyak wanita yang masih stay
hingga pukul 10:00 malam ke atas, serta tak jarang muda-mudi berkhalwat (dempetan) bahu dengan modus belajar
kelompok atau membuat tugas. Mengherankan lagi, para pemilik atau pengelola warkop terlihat cuek seolah itu
adalah sebuah kewajaran.
Ketidak pedulian warkop terhadap syariat Islam semakin menjadi-jadi, pada waktu-waktu ibadah tidak ada upaya
agar pelanggannya melaksanakan shalat. Pada shalat maghrib misalnya, waktu ibadah ini berlalu begitu saja, pintu
warkop ditutup namun orang-orang di dalamnya asyik ngobrol atau bermain game online.
Pada masyarakat, pergaulan bebas anak muda tidak direspon dengan baik. Remaja desa atau mahasiswa yang
menginap di rumah kos tidak memiliki ketegasan khusus tentang siapa saja orang yang boleh dibawa ke dalamnya.,
tapi fenomena muda-mudi mesum di rumah kos Aceh masih rentan dan meresahkan.
Kenyataan ini merusak moral mahasiswa sehingga ketika pihak wanita kedapatan hamil, mereka terpaksa
dinikahkan dan putus kuliah. Realita ini tidak banyak terpublis, namun seharusnya tidak terjadi di Banda Aceh
sebagai model kota berbasis syariat Islam.

Buruknya mentalitas anak kos tak jauh dari managemen kos yang tidak peduli dengan praktek para perental di
dalamnya. Rata-rata, rumah kos yang kedapatan bekhalwat adalah mereka yang tidak memperoleh pengawasan dari
pemiliknya.orang pemilik kos hanya peduli dengan uang masuk semata, sisanya adalah urusan belakangan. Maksiat
rumah kos harus mendapat respon dari segala pihak dan dicegah sedini mungkin terkhusus oleh warga, geuchik, atau
tokoh adat dan tokoh agama.
Jika tidak, ini akan menjadi duri dalam daging perusak generasi bangsa. Pepatah mengatakan, mencegah lebih baik
dari pada mengobati. Menjaga agar putra-putri Aceh tidak terseret arus pergaulan bebas lebih solutif dibanding
menghukum mereka ketika kedapatan bermaksiat, berkhalwat, bahkan mesum.
Tindakan menghukum, apakah secara kekeluargaan atau dera cambuk hanya akan menimbulkan dendam dan luka,
noda yang sudah hitam tidak bisa putih kembali. Namun dengan mencegah, dapat berefek pada target (mahasiswa)
itu sendiri sehingga mereka bisa fokus menyelesaikan pendidikan, dan membanggakan orangtua dan negaranya.
Masalah yang tak kalah pentingnya dengan fenomena di atas adalah penyalahgunaan narkoba dan obat-obatan
terlarang. Aceh merupakan salah satu titik strategis penyuplai sumber narkoba (khususnya ganja) ke dalam dan luar
Aceh. Menurut hasil penelitian, ganja Aceh memiliki kualitas terbaik di dunia akibat dukungan iklim dan geografis
alamnya. Tak heran, hampir seluruh kasus penyelundupan ganja di Indonesia berasal dari Aceh yang statusnya
dikenal sebagai negeri syariat Islam.
Tidak hanya itu, kasus kriminal di Aceh juga didominasi oleh praktek dan penyalahgunaan narkoba. Remaja
Indonesia atau Aceh akan rusak masa depannya ketika sudah bersentuhan dengan barang haram tersebut. Ini tentu
menjadi PR besar bersama, sebab oknum kepolisian saja tidak cukup untuk mencegah dan memberantas narkoba.
Berangkat dari beberapa masalah di atas, Aceh perlu melaksanakan `percepatan pemahaman syariat Islam ke pada
masyarakat luas. Hal itu bisa direalisasikan dengan upaya pencegahan, dan pembinaan melalui sosialisasi intensif
bebabasis syariat.

Berbicara syariat, masih banyak ditemukan para pelanggan warung kopi yang tidak mengindahkannya. Hal itu
terbukti dari bebasnya kedekatan antara lelaki dan peria non-muhrim di dalamnya, ada juga oknum wanita yang
masih stay hingga pukul 10:00 malam ke atas, serta tak jarang muda-mudi berkhalwat (dempetan) bahu dengan
modus belajar kelompok atau membuat tugas. Mengherankan lagi, para pemilik atau pengelola warkop terlihat cuek
seolah itu adalah sebuah kewajaran.
Ketidakpedulian warkop terhadap syariat Islam semakin menjadi-jadi, pada waktu-waktu ibadah tidak ada upaya
agar pelanggannya melaksanakan shalat. Pada shalat maghrib misalnya, waktu ibadah ini berlalu begitu saja, pintu
warkop ditutup namun orang-orang di dalamnya asyik ngobrol atau bermain game online.
Pada masyarakat, pergaulan bebas anak muda tidak direspon dengan baik. Remaja desa atau mahasiswa yang
menginap di rumah kos tidak memiliki ketegasan khusus tentang siapa saja oknum yang boleh dibawa ke dalamnya.
Kendatipun tak separah di kota metropolitan Indonesia, tapi fenomena muda-mudi mesum di rumah kos Aceh masih
rentan dan meresahkan.
Kenyataan ini merusak moral mahasiswa sehingga ketika pihak wanita kedapatan hamil, mereka terpaksa
dinikahkan dan putus kuliah. Realita ini tidak banyak terpublis, namun seharusnya tidak terjadi di Banda Aceh
sebagai model kota berbasis syariat Islam.

Buruknya mentalitas anak kos tak jauh dari managemen kos yang tidak peduli dengan praktek para perental di
dalamnya. Rata-rata, rumah kos yang kedapatan bekhalwat adalah mereka yang tidak memperoleh pengawasan dari
pemiliknya. Oknum pemilik kos hanya peduli dengan uang masuk semata, sisanya adalah urusan belakangan.
Maksiat rumah kos harus mendapat respon dari segala pihak dan dicegah sedini mungkin terkhusus oleh warga,
geuchik, atau tokoh adat dan tokoh agama.
Jika tidak, ini akan menjadi duri dalam daging perusak generasi bangsa. Pepatah mengatakan, mencegah lebih baik
dari pada mengobati. Menjaga agar putra-putri Aceh tidak terseret arus pergaulan bebas lebih solutif dibanding
menghukum mereka ketika kedapatan bermaksiat, berkhalwat, bahkan mesum.
Tindakan menghukum, apakah secara kekeluargaan atau dera cambuk hanya akan menimbulkan dendam dan luka,
noda yang sudah hitam tidak bisa putih kembali. Namun dengan mencegah, dapat berefek pada target (mahasiswa)
itu sendiri sehingga mereka bisa fokus menyelesaikan pendidikan, dan membanggakan orangtua dan negaranya.
Masalah yang tak kalah pentingnya dengan fenomena di atas adalah penyalahgunaan narkoba dan obat-obatan
terlarang. Aceh merupakan salah satu titik strategis penyuplai sumber narkoba (khususnya ganja) ke dalam dan luar
Aceh. Menurut hasil penelitian, ganja Aceh memiliki kualitas terbaik di dunia akibat dukungan iklim dan geografis
alamnya. Tak heran, hampir seluruh kasus penyelundupan ganja di Indonesia berasal dari Aceh yang statusnya
dikenal sebagai negeri syariat Islam.
Tidak hanya itu, kasus kriminal di Aceh juga didominasi oleh praktek dan penyalahgunaan narkoba. Remaja
Indonesia atau Aceh akan rusak masa depannya ketika sudah bersentuhan dengan barang haram tersebut. Ini tentu
menjadi PR besar bersama, sebab oknum kepolisian saja tidak cukup untuk mencegah dan memberantas narkoba.
Berangkat dari beberapa masalah di atas, Aceh perlu melaksanakan `percepatan pemahaman syariat Islam' ke pada
masyarakat luas. Hal itu bisa direalisasikan dengan upaya pencegahan, dan pembinaan melalui sosialisasi intensif
bebabasis syariat.

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Aceh Butuh Percepatan Syariat
Islam, https://aceh.tribunnews.com/2019/08/30/aceh-butuh-percepatan-syariat-islam?page=2.

Praktek maksiat yang kian merajalela tidak bisa direduksi jika masyarakat tidak paham dan mengerti tentang ajaran
Islam secara totalitas. Sekali lagi, penanaman nilai syariat Islam pada masyarakat harus memperoleh percepatan
(akselerasi) melihat dinamika merosotnya moral dan ahklak yang begitu cepat.
Urgensi MPU dan Dinas Syariat Islam Aceh dalam mensosialisasikan dakwahnya tidak cukup hanya sebatas teori
semata, lebih dari itu harus ada pembinaan dan pengawasan berkala sehingga terbentuknya Aceh yang gemilang
dalam bingkai syariat bukan mimpi semata.

Dasar berlakunya Qanun adalah undang-undang tentang otonomi khusus Aceh,Dalam undang-undang nomor 18
disebutkan bahwa mahkamah syar‟iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam Qanun terlebih
dahulu. Qanun merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam
bagi pemeluknya di Aceh. Sepanjang tahun 2002 hingga akhir 2003 DPRD Aceh berhasil menetapkan sejumlah
qanun yang kemudian diundangkan dalam tahun-tahun tersebut. Berikut adalah tinjauan qanun syariat Islam di
Aceh. 2 Qanun No. 10/2002 tentang Peradilan Syariat Islam. Qanun ini merupakan uapnya mengebawahkan salah
satu kekhususan Aceh yang diatur secara umum dalam pasal 1 ayat 7, pasal 25-26 UU No.18/2001. Ketentuan-
ketentuan dalam pasal tersebut, kewenangan mahkamah syariat Islam didasarkan atas syariat Islam dalam Sistem
hukum internasional. Qanun yang disahkan pada 14 Oktober 2002 dan diundang 6 Januari 2003 memuat 7 bab. Bab
pertama, tentang ketentuan umum. bab kedua tentang susunan Dinas Syariat Islam. Himpunan Undang – Undang

2
Dinas Syariat Islam. Himpunan Undang – Undang keputusan Presiden Peraturan Daerah / Qanun
Intruksi Gubernur Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam. (Aceh, 2004), h. 40
keputusan Presiden Peraturan Daerah / Qanun Intruksi Gubernur Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syariat
Islam. (Aceh, 2004), h. 40 106 mahkamah. Bab tentang kekuasaan dan wewenang mahkamah, bab keempat tentang
hukum material dan formal. bab kelima ketentuan-ketentuan lainya. bab keenam tentang ketentuan peralihan dan
bab ketujuh tentang ketentuan penutup. 2. Qanun No.11/2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah,
Ibadah Dan Syariat Islam. Qanun bidang ini disahkan pada 14 Oktober 2002 dan diundangkan pada 6 Januari
2003.kandungan utamanya berupaya memilah dan mengelaborasi lebih jauh peraturan daerah No.5/2000 tentang
pelaksanaan syariat Islam. dalam qanun No.11/2002, pelaksanaan syariat Islam dibatasi pada bidang akidah, ibadah
dan syiar Islam. sebagaimana perda No.5/2000, qanun ini mendefinisikan syariat Islam dalam pengertian luas:
“Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan” (pasal 1 ayat 6). Akidah didefinisikan
sebagai akidah menurut paham “Ahlussunnah wal jamaah” (pasal 1 ayat 7), dan ibadah dibatasi pada shalat dan
Puasa di bulan Ramadhan (pasal 1 ayat 8).242 Pengaturan ketiga bidang ini dimaksud untuk: 1. Membina dan
memelihara keimanan dan ketakwaan Individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat. 2. Meningkatkan
pemahaman dan pengenalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya. 3. Menghidupkan dan menyemarkan kegiatan-
kegiatan guna menciptakan suasana lingkungan Islami. Sementara dalam pasal 3, fungsinya ditetapkan sebagai
“pedoman pelaksanaan Syariat Islam bidang Akidah,ibadah dan Syiar Islam”. Pasal 4-5 menetapkan kewajiban
memelihara akidah Islam, melarang menyebarkan paham atau aliran sesat serta larangan keluar dari akidah Islam
(murtad) dan/atau menghina atau melecehkan agama Islam. Implementasi hukumnya diatur dalam pasal 20 yakni
ketentuan ta‟zir berupa penjara 2 tahun atau cambuk 12 kali untuk upaya penyebaran paham dan aliran sesat.
Sementara bagi yang murtad atau menghina atau melecehkan Islam dinyatakan akan diatur dalam qanun tersendiri.
242 Dinas Syariat Islam. Himpunan Undang – Undang keputusan Presiden Peraturan Daerah.., h. 41
ERA Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memang sudah jauh berlalu sebelum generasi milenial ada saat ini
yang disebut juga Generasi Y, yaitu mereka yang lahir di atas tahun 1980-an hingga 1997. Namun keteladanan
Rasulullah masih bisa dijadikan panutan hingga saat ini. Segala ucapan dan perilaku Nabi masih relevan dengan
yang terjadi di era yang jauh lebih modern seperti sekarang ini. Karena risalah Islam diturunkan untuk hingga akhir
zaman. Generasi milenial ini juga disebut sebagai generasi emas yang sangat potensial menjadi generasi bagi
kebangkitan Islam, meskipun dalam mengelola masa muda agar memiliki karakter kuat dalam keagamaan,
merupakan suatu perjuangan yang tidak mudah dan sederhana. Sebab pertentangan yang paling berat dan sulit serta
menantang dalam fase kehidupan kita adalah menundukkan masa muda untuk tumbuh dalam beribadah dan
menyembah kepada Allah (syaabun nasya-a fi ‘ibadatillah) sesuai tujuan penciptaan manusia itu sendiri. Demikian
disampaikan Ustaz Dr. Nurkhalis Mukhtar Lc MA, Ketua STAI Al-Washliyah Banda Aceh, saat mengisi pengajian
rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (2/1/2019)
malam. Itulah sebabnya Rasulullah menyebutkan di antara tujuh golongan yang memperoleh naungan pada saat
tiada naungan kecuali naungan dari Allah pada hari kiamat adalah pemuda yang tumbuh dalam rangka beribadah
kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. "Pemuda sukses yang pandai memanfaatkan peluang masa mudanya untuk
selalu ingat apa tujuan ia diciptakan Allah. Ia menyadari peluang itu tidak akan berulang. Ia memanfaatkan masa
muda sebelum datang masa lemahnya (tua), masa sehat sebelum sakitnya, masa lapang sebelum sempitnya, dan
masa hidup sebelum datang kematiaannya," ungkap Ustaz Nurkhalis Mukhtar yang juga Pembina Lajnah Dakwah
Dayah Raudhatul Quran Darussalam. Dikatakannya, para pemuda juga harus menyadari dan mengetahui banyak
program dari luar Islam yang diarahkan kepada pemuda dengan lima program Ghazwul Fikri. Karena orang di luar
Islam tahu persis, kalau ingin hancurkan suatu masyarakat dan peradaban Islam, maka hancurkan dulu para
pemudanya. "Para pemuda muslim harus kuat mempersiapkan diri dan berpacu dengan guna waktu menghadapi
serangan Ghazwul Fikri dengan perang pemikiran sekuler, pluralis dan liberalisme agama. Waktumu sangat penting
jangan dibuang sia-sia, banyak-banyaklah menghadiri majelis ilmu, perkuat agama dan tauhid," jelasnya. Ia
menyebutkan, pada diri Rasulullah memiliki nilai keteladanan yang agung dan mulia yang bisa dicontoh generasi
milenial. Karena perjalanan kehidupan Rasulullah sampai kepada kita sekarang dengan riwayat yang sahih dan bisa
dipertanggungjawabkan nilai keilmiahannya. Setiap sisi kehidupan Rasulullah bisa dipelajari mulai dari sejak beliau
dilahirkan sampai Rasulullah wafat bisa diketahui dengan mendetail, bahkan ada para ulama yang menulis segala
hal yang berkenaan dengan Rasulullah. Kehidupan beliau merupakan cermin bagi umatnya. Rasulullah adalah
seorang pemimpin yang adil, jenderal yang pemberani, guru yang menjadi teladan, pedagang yang jujur,
pengembala yang bertanggung jawab, ayah yang penyayang, suami yang setia, teman yang baik bagi pemuda. Pada
suatu kesempatan seorang sahabat meminta wasiat kepada Rasulullah, lalu Rasul berpesan: “Bertakwalah kepada
Allah di manapun berada, dan ikutkanlah kesalahan dengan kebaikan niscaya dosa akan terhapus, dan berakhlaklah
kepada manusia dengan akhlak yang baik”. Makna “dan ikutkanlah keburukan dengan kebaikan, niscaya dosa akan
terhapus”, tentu sebagai manusia yang memiliki kesalahan dan kekhilafan, maka hal yang semestinya dilakukan
adalah kembali ke jalan Allah dengan memperbanyak istighfar, serta melakukan berbagai kegiatan yang posistif
yang bisa dirasakan manfaatnya baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Tentu tidak dinamakan manusia
melainkan merupakan tempat lupa dan khilaf, Namun, sebaik-baik orang yang keliru adalah orang yang bertaubat.
"Ketika seseorang mampu membangun hablum minallah dalam bentuk yang istimewa yaitu mewujudkan ketakwaan
baik dalam level pribadi, individu masing-masing, maupun keshalihan sosial masyarakat, akan hadir keberkahan
dari langit dan bumi. Demikian juga kemampuan manusia membangun pola interaksi dengan manusia lain yang
dikenal dengan hablum minannas," ungkap Ustaz Nurkhalis, doktor lulusan University of Bakht Al-Ruda, Sudan ini.
Kemampuan membangun hablum minallah dan hablum minannas akan berefek positif kepada al-bi’ah yaitu
lingkungan sekitar yang terdiri dari hewan dan tumbuh-tumbuhan. Wujudnya interaksi hamblum minallah, hablum
minannas dan hablum ma’al bi’ah, akan terbentuk sebuah masyarakat percontohan atau yang disebut dengan
masyarakat ideal di era milenial. "Masyarakat ideal yang beberapa abad lalu pernah dibentuk oleh Rasulullah
merupakan masyarakat yang telah mampu mewujudkan tiga hal tersebut. Dan secara tegas kita nyatakan, kita belum
menemukan masyarakat yang sama dengan mereka dan mampu mentransfer nilai kebaikan seperti yang mereka
lakukan untuk kita yaitu cahaya Islam yang sampai ke negeri kita," sebutnya. Kehadiran umat Islam dalam wujud
masyarakat ideal di era milenial yang berakhlaqul karimah diharapkan membawa perubahan bagi umat manusia.
Umat Islam harus siap menjadi pelopor dari setiap kebaikan. Sebagaimana Islam adalah agama yang memberi
solusi, dan Rasulullah adalah figur pembawa solusi, maka sepatutnya umat Islam adalah pembawa pencerahan,
menjadi pembawa rahmat bagi semesta alam, sumber inspiratif, berkontribusi positif bagi kemanusiaan, dan
membimbing manusia mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pimpin Upacara Hari Santri, Nova Berharap Dayah/Pesantren Perkuat Pelaksanaan Syariat Islam
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengingatkan tantangan berat
terkait upaya pelaksanaan syariat Islam di Aceh di tengah perkembangan zaman yang bergerak sangat progresif dan
melahirkan banyak permasalahan.
Karena ini, dayah atau pesantren diharapkan mampu menjaga khazanah kearifan lokal sekaligus memperkuat
pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
“Paham liberalisme, materalisme, dan hedonisme tak terasa telah memasuki ruang dan rumah kita. Di tengah zaman
yang semakin pragmatis ini, maka dayah/pesantren menjadi ruang yang sangat kondusif untuk menjaga khazanah
kearifan lokal sekaligus memperkuat pelaksanaan Syariat Islam di Aceh,” kata Nova.
Pernyataan itu disampaikan dalam amanatnya saat menjadi inspektur upacara peringatan Hari Santri ke-5 Tahun
2019 di Lapangan Blangpadang, Banda Aceh, Kamis (24/10/2019).
Selain itu, Nova menyebutkan bahwa Santri adalah bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan-gerakan kebangsaan
dan terlibat aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
“Sesuai Ikrar santri yang dibacakan tadi, kita tentu mengakui bahwa santri adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
gerakan-gerakan kebangsaan. Santri terlibat aktif dalam memperjuangkan berdirinya republik ini. Banyak santri
pejuang kita yang gugur sebagai syuhada. Oleh karenanya mari kita apresiasi dan syukuri UU Pesantren dan
penetapan Hari Santri ini,” ujar Nova.

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Pimpin Upacara Hari Santri, Nova Berharap
Dayah/Pesantren Perkuat Pelaksanaan Syariat Islam, https://aceh.tribunnews.com/2019/10/24/pimpin-upacara-hari-
santri-nova-berharap-dayahpesantren-perkuat-pelaksanaan-syariat-islam.

Editor: Safriadi Syahbuddin

Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/news/generasi-milenial-jadikan-rasulullah-sebagai-


teladan/index.html.

3
Yusni Saby, Apa Pentingnya Studi Aceh, dalam M. Jakfar Puteh, Sistem Sosial Budaya dan Adat Masyarakat Aceh
(Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2012), h. xxxi. 2
4
Abdul Gani, Isa, “Paradigma Syariat Islam Dalam Rangka Otonomi Khusus: Studi Kajian di Provinsi Aceh”, Media
Syariah, Vol XIV Januari – Juni 2012.

3
Yusni Saby, Apa Pentingnya Studi Aceh, dalam M. Jakfar Puteh, Sistem Sosial Budaya dan Adat
Masyarakat Aceh (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2012), h. xxxi. 2

Anda mungkin juga menyukai