Anda di halaman 1dari 8

KESETARAAN GENDER DI KOTA SERAMBI MEKKAH

Kelompok : 2
Nama Anggota :
1. Arrumah Riya 180154603514
2. Faizzudin Rabbani 180154603590
3. Fajriana Muslim 180154603535
4. Muhammad Arif S 180154603561
5. Novita Ratna D 180154603558
6. Riska Diah M 180154603518
7. ‘Ulya’ Ulumiyah 180154603530

Dosen Pembimbing : Ediyanto, S.Pd., M.Pd., Ph.D

Jurusan Pendidikan Luar Biasa


Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Malang
Februari, 2021
Kesetaraan Gender di Kota Serambi Mekkah

Arrumah Riya, Faizzudin Rabbani, Fajriana Muslim, Muhammad Arif , Novita


Ratna, Riska Diah,‘Ulya’ Ulumiyah, Ediyantoa

Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang

a)
corresponding author: ediyanto.fip@um.ac.id (email)

Abstrak. Indonesia turut andil dalam terwujudnya kesetaraan gender secara global. Namun, usaha ini tidak dapat
serta merta diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Aceh menjadi wilayah yang menolak adanya perwujudan
kesetaraan gender dengan kondisi masyarakatnya yang sosio-religius dengan budaya patriarki. Tulisan ini bertujuan
untuk melihat praktik kesetaraan gender dan perspektif masyarakat Aceh mengenai kesetaraan gender. Pengumpulan
data dilakukan melalui beberapa tahap seperti tinjauan pustaka dari berbagai artikel jurnal dalam media online. Data
yang telah dihimpun kemudian dianalisa dan didiskusikan sehingga menghasilkan hasil penelitian yang disajikan ke
dalam bentuk deskriptif. Usaha perwujudan kesetaraan gender di Aceh sudah dilakukan oleh pihak pemerintahan,
namun banyak masyarakat yang masih belum menerima hal demikian karena beberapa hal. Diantaranya adalah
terbatasnya pengetahuan akan kesetaraan gender, dan juga pola pikir yang bersifat kedaerahan serta terlalu berpatok
pada ajaran religiusitas. Masyarakat Aceh yang masih terpaku pada budaya patriarki demikian semestinya mulai
diberikan pemahaman dan konsep mengenai kesetaraan gender. Karena pada dasarnya kesetaraan gender dapat
berperan dalam membantu laju kestabilan peradaban masyarakat setempat.

Kata Kunci : kesetaraan gender, patriarki, Aceh.

PENDAHULUAN

Sejak diadakannya agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang diselenggarakan oleh PBB, kesetaraan
gender dideklarasikan sebagai salah satu isu krusial dalam lingkup Global [2015]. Meskipun begitu, pada
kenyataannya kesetaraan gender belum dapat diterima masyarakat global maupun domestik. Di Indonesia,
tindak lanjut mewujudkan kesetaraan gender ini dibuktikan dengan dibentuknya Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak [Lampiran Perpres No.59 tahun 2017]. Dengan naungan tersebut diharapkan
perempuan tidak lagi mendapatkan perlakuan deskriminasi dan terlindungi hak-haknya dalam praktik sosial
kemasyarakatan. Namun, usaha ini tidak berjalan mulus pula di Indonesia. Seperti halnya Aceh yang menolak
isu kesetaraan gender, karena dianggap sebagai budaya barat yang tabu dan bertentangan dengan nilai-nilai
Islam [5].
Saat ini masih terdapat kesenjangan akses dan partisipasi antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat
Aceh. Baik dalam akses terhadap pendidikan, lapangan kerja, maupun politik [5]. Sebenarnya masyarakat Aceh
bukan tergolong sebagai masyarakat yang terbelakang. Tingkat pendidikan dan perekonomiannya juga jarang
mendapat sorotan buruk media. Akan tetapi nilai religiustian keislaman mereka yang sangat kuat dari sisi
peraturan hingga bermasyarakat bisa saja memungkinkan masyarakat Aceh sedikit menutup diri terhadap
perubahan atau hal-hal baru, terutama yang berasal dari ide-ide barat dan diluar dari nilai keislaman.
Pada dasarnya gender lebih banyak berkontribusikepada aspek sosial, budaya, dan aspek-aspek non-biologi
lainnya [Inpres No. 9 Tahun 2000]. Peran penting apabila terlaksananya kesetaraan gender akan membuat
keharmonisan dalam kerjasama antar-masyarakat, yang tidak lain adalah untuk tujuan kemajuan wilayah terkait
dalam pembangunan. Hal ini mengindikasikan bahwa kesetaraan gender dapat memberikan perubahan baik
yang cukup besar pada masyarakat.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini memfokuskan kepada permasalahan mengenai
kesetaraan gender di wilayah sosio-religius, Aceh. Adapun penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat
bagaimana praktik kesetaraan gender di Aceh, serta mendeskripsikan perspektif masyarakat Aceh mengenai
kesetaraan gender. Manfaat dilakukannya penelitian ini diantaranya adalah untuk menperkaya wawasan kita
sebagai mahasiswa, sebagai upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam ranah domestik.

METODE

Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah review literatur sistematik dari artikel yang telah
dipublikasikan. Untuk memberikan gambaran umum tentang penelitian yang disajikan, tinjauan pustaka
dilakukan dengan memilih artikel dari jurnal yang telah diterbitkan. Langkah-langkah yang dilakukan pada
penelitian ini adalah pemilihan bidang, analisis, dan kategorisasi. 10 artikel yang relevan telah dipilih pada
penelitian ini dan difokuskan pada tema kesetaraan gender pada masyarakat di Aceh.

Pemilihan Artikel

Pemilihan artikel dilakukan dengan menuliskan kata kunci yang digunakan dalam pencarian yaitu
“kesetaraan gender pada masyarakat di Aceh”. Dari pencarian tersebut ditemukan beberapa artikel. Dilanjutkan
melakukan skrining, dan dipilih artikel yang cocok dengan tema penelitian. Hasilnya sepuluh artikel
diidentifikasi untuk dianalisis secara menyeluruh sesuai pertanyaan penelitian.

Analisis Studi

Kajian pustaka dilakukan dengan pendekatan bukti terbaik, berdasarkan analisis terhadap sepuluh artikel
jurnal yang dipilih sesuai dengan pertanyaan penelitian. Empat orang dan satu verifikasi menganalisis setiap
artikel. Dalam proses ini peneliti menggunakan kriteria yang sama yaitu sesuai dengan pertanyaan penelitian.

Kategorisasi Artikel

Setiap artikel ditinjau sesuai kumpulan pertanyaan penelitian dan terus berlanjut hingga seluruh artikel
tertangani. Peneliti juga memastikan bahwa setiap artikel memiliki potensi untuk dimasukkan ke dalam lebih
dari satu temuan. Oleh karena itu, hasil studi tersebut didasarkan pada tema penelitian yaitu kesetaraan gender
pada masyarakat di Aceh.

HASIL TEMUAN

Sebutan Aceh sebagai Kota Serambi Mekkah menggambarkan betapa eratnya sistem tatanan sosial
kemasyarakatan Aceh dengan ajaran-ajaran Islam. Dalam Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman ajaran Islam,
keduanya tidak sedikitpun menjelaskan tentang dominasi jenis kelamin [3]. Pada dasarnya Islam menganut
prinsip kesetaraan dan keadilan gender. Dalam Islam setiap manusia memiliki kedudukan yang sama di mata
Allah [9]. Namun dalam sejarahnya masih sering ditemui kegagalan, yang mana kedudukan perempuan tidak
sejajar dalam kehidupan sosial dan teologis, psikologis, pedagogis, dan biologis perempuan yang cenderung
berada dan diperlakukan dibawah laki-laki dalam kehidupan. Meskipun begitu, Islam tidak mengenal
feminisme. Paham feminisme di mata wanita Islam Aceh disebabkan oleh kurangnya pemahaman Islam dan
ilmu agama dalam masyarakat. Padahal kedatangan Islam dan feminisme juga sama, yakni memberikan
berbagai hak bagi perempuan seperti hak beribadah, berbuat kebaikan, hingga pendidikan [7].

Sebenarnya laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum Indonesia, beberapa
ulama juga menjelaskan bahwa dalam Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja dan berkiprah dalam
lingkungan masyarakat. Bahkan perempuan juga diperbolehkan menjadi pemimpin. Namun banyak juga ulama
yang menolak terhadap kesetaraan gender, yang memandang bahwa lelaki dan perempuan tidaklah sama.
Perempuan akan lebih baik jika bekerja di dalam rumah dan mendidik dengan baik anak-anaknya. Penolakan
dari ulama ini dianggap diakibatkan oleh isu gender yang belum sampai pada pemuka agama dan masyarakat
yang masih acuh dengan isu ini [5].

Dominasi gender umumnya tumbuh dalam masyarakat patriarkhi. Budaya patriarki menganggap perempuan
lemah, emosional, kurang cerdas dan kurang berakal. Peran perempuan dalam masyarakat tradisional berbeda
jauh dengan masyarakat maju. Pada masyarakat maju peran gender hampir tidak ada lagi, laki-laki dan
perempuan dianggap sama [4], sedangkan pada masyarakat tradisional jauh berbeda [1]. Hal ini juga sedikit
banyak berlaku dalam masyarakat Aceh.

Usaha Aceh dalam mewujudkan kesetaraan gender secara regional dapat dilihat dari adanya Perda Syariah
yang diatur dalam qanun-qanunnya yang penyusunannya didasarkan pada Pancasila, HAM, gender, demokrasi
[6]. Perda Syariah merupakan upaya untuk mendorong isu kesetaraan gender yang berupa keadilan hukum,
peran dan posisi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Perubahan dan pergeseran peraturan mengarah pada
terciptanya kesetaraan gender dalam berbagai aspek pada masyarakat Aceh [8]. Namun, dalam pelaksanaannya
sebagian besar masyarakat Aceh (di luar Aceh kota) menolak isu kesetaraan gender karena dianggap sebagai
budaya barat dan menganggapnya menyalahi kodrati perempuan dalam Islam, sehingga menjadi hal yang tabu
untuk diperbincangkan [5]. Pemahaman agama secara patriarkial menjadi salah satu yang mendasari masyarakat
Aceh masih ada yang membedakan peran gender. Keputusan perempuan masih didasari pertimbangan urusan
mengurus rumah.

Terlepas dari ketidaksingkronan antara usaha pemerintah setempat dengan respon masyarakat Aceh terhadap
kesetaraan gender, dalam sejarahnya perempuan Aceh mempunyai peran yang cukup penting sejak zaman
kerajaan. Kedududukan kaun wanita di kerajaan Perlak, Pasai, Lingga, Daya dan Darussalam pada masa lampau
sama dengan kaum pria [2]. Salah satunya adalah keterlibatan mereka pada masa kerajaan yang kebanyakan
dipimpin oleh para ratu, muncul juga pahlawan kemerdekaan perempuan seperti Cut Nyak Dien. Kesetaraan
gender juga muncul di Kabupaten Aceh Besar melalui kesenian Tari Seudati Inong yang menggantikan peran
lelaki didalamnya [7]. Pernyataan ini diperkuat dengan partisipasi mereka dalam medan perang melawan agresi
penjajah. Namun kiprah perempuan Aceh mulai meredup sejak memasuki abad 19 [9]. Kultur budaya mulai
merasuki ulama sehingga laki-laki dalam islam hanya dibedakan oleh jenis kelamin bukan kemampuan
intelektualnya. Kultur budaya yang salah kaprah dan memandang rendah perempuan perlu dikaji ulang dan
membutuhkan analisis gender sehingga menghilangkan bentuk deskriminasi. Hingga akhirnya kini ruang gerak
perempuan Aceh terbatas akan norma-norma sosial-religiusitas masyarakat [9].

Table 1. Temuan para ahli dan peneliti


Penulis N Metode Temuan
[1] Muhammad Zawil Metode kualitatif berbentuk Masyarakat pedesaan cenderung tidak
Kiram deskriptif dengan dua teknik mendapatkan pendidikan gender karena
pengumpulan data yaitu studi kurangnya pemahaman orang tua dan
kepustakaan (library research) dianggap hal yang tabu.
dan wawancara.

[2] Dicky Wirianto Pendekatan kualitatif dengan Peran perempuan cukup penting sejak zaman
teknik pengumpulan data kerajaan. Perempuan Aceh memiliki peluang,
berupa wawancara harapan, dan tantangan agar muncul srikandi
baru di era milenial yang dapat memajukan
pendidikan
[3] Widia Munira, Pendekatan kualitatif Peran wanita di dalam kesultanan Aceh
Muhammad Akhyar, Djono berbentuk deskriptif dengan Darussalam didasarkan dari hukum Al-Quran
Djono teknik pengumpulan data dan Sunnah, yang menyataan bahwa wanita
berupa wawancara memiliki kedudukan yang setara untuk
menjadi pemimpin selama mereka sanggup
dan mempunyai kemampuan untuk memimpin
masyarakat atau organisasi.
[4] Chahayu Astina Penelitian kualitatif studi kasus Patriarkial masih mendasari masyarakat Aceh
aspek-aspek isu kesetaraan dalam membedakan peran gender. Namun
gender dengan pemberlakuan pada masa sekarang laki-laki Aceh sudah
perda syariah banyak memberi keleluasaan pada perempuan.

[5] Desi Purnamasari Metode kualitatif pengkajian Perbedaan pendapat ulama tentang kesetaraan
perspektif gender dalam Islam gender, beberapa ulama setuju dan lainnya
dan ulama di Aceh dengan menolak karena menganggap lelaki dan
teknik pengumpulan data perempuan berbeda.
wawancara

[6] T. Saiful Metode kualitatif pengkajian Penyusunan hukum syariat Islam di Aceh
literatur dengan pengumpulan Islam tidak melanggar dan menentang HAM,
data melalui studi kepustakaan gender, dan demokrasi

[7] Cut Tasri Mirnalisa metode kualitatif, tinjauan Feminisme tidak ada dalam Islam karena
literatur sistematik sudut kedudukan setiap manusia sama di mata
pandang feminisme oleh Allah, feminisme pada mata wanita Aceh
wanita Islan Aceh terjadi karena kurangnya ilmu agama

[8] Mustika Sairani, Siti metode kualitatif dengan Perubahan peraturan menuju perda syariah
Kholifah pendekatan studi kasus dan adalah upaya untuk mendorong kesetaraan
tinjauan pustaka gender berupa keadilan hukum, peran, dan
posisi.
[9] Syarifah Rahmah Kesetaraan gender diatur dalam Islam tetapi
kultur budaya merasuki ulama sehingga
melakukan deskriminasi.
[10] Nadira Akbar Manalu, Metode kualitatf dengan teknik Tari Seudati Inong merupakan wujud
Fifie Febryanti Julman pengumpulan data bersifat representasi kesetaraan gender di Aceh Besar.
induktif

HASIL DISKUSI

Budaya patriaki adalah sebuah sistem sosial yg menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama
dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas, moral, hak sosial, dan penguasaan properti. Pada
salah satu artikel menjelaskan dalam keluarga masyarakat Aceh pendidikan gender jarang ditemukan karena 2
faktor. Pertama kurangnya pemahaman orang tua terhadap gender dan kedua isu gender dianggap sebagai
budaya barat dan masih tabu untuk dibahas. Dalam hal kesetaraan gender, orang-orang tersebut belum
memahami definisi atau arti dari kesetaraan gender.

Pemahaman agama dan budaya patriarki adalah salah satu yang mengakibatkan kesenjangan dalam
kesetaraan gender. Hal ini perlu diluruskan dengan mengubah cara pandang masyarakat setempat. Cara
mengubah cara pandang masyarakat ini agar dapat mendorong isu kesetaraan gender adalah melalui edukasi dini
terhadap kesetaraan gender, yang saat ini hanya ada di lingkup universitas untuk wilayah Aceh.

Aceh tidak memiliki budaya mengajarkan tentang gender. Orangtua hanya mengajari anak-anak tentang
Islam dan pendidikan lainnya secara umum (di sekolah), tetapi bukan kesetaraan gender [1]. Mereka tidak
mengenalkan istilah gender kepada anak-anaknya di usia muda, tetapi membiarkan anak-anak belajar sendiri
selama perkembangannya. Kebanyakan kesenjangan kesetaraan gender di Aceh berada di pedesaan sehingga
edukasi dini terhadap kesetaraan gender mungkin dapat diberikan juga. Karena masih belum ada, mungkin dapat
dikembangkan oleh para mahasiswa. Mahasiswa dapat bersatu dalam suatu komunitas untuk menghilangkan
kesenjangan tersebut.

Kesetaraan gender di Aceh sebenarnya sudah berjalan. Banyak wanita berpendidikan yang dapat bekerja dan
sukses dalam karirnya misalnya menjadi dokter, dosen, dan lainnya. Namun, masih ada beberapa daerah
maupun kelompok masyarakat yang masih salah kaprah dan menganggap itu hal yang tabu. Dikelompok
masyarakat pedesaan maupun beberapa ulama juga masih ada yang berpandangan jika perempuan dan laki-laki
tidak setara.

Jika ditinjau dari artikel "Pendidikan Berbasis Gender dalam Masyarakat Keluarga Aceh" kesetaraan gender
di Aceh belum berjalan maksimal. Memang agama jadi faktor utama identitas pribadi masyarakat Aceh, namun
masih banyak masyarakat yang hidup dengan budaya patriarki. Kemudian, dalam artikel lain juga disebutkan
bahwa alasan ulama menerima istilah gender karena islam secara mutlak tidak melarang wanita untuk bekerja.
Akan tetapi islam memberikan ketentuan jenis pekerjaan yg sesuai dengan tabiat Allah SWT. Namun, dijelaskan
pula bahwa beberapa ulama lain menolak kesetaraan gender karena dalam surat An-Nisa ayat 34 dengan
kandungan tidak memperbolehkan wanita menjadi hakim dan pemimpun termasuk bekerja di luar rumah.
Dengan budaya patriarki ini mereka menganggap bahwa perempuan itu tidak perlu pendidikan yang tinggi,
cukup jadi ibu rumah tangga dan mengurus keluarga. Contohnya di Kabupaten Aceh Selatan yang para ulama
nya masih mengganggap wanita tidak boleh menjadi pemimpin terutama dalam bidang politik. Karena ulama
menganggap itu dunia laki-laki dan tidak pantas bagi wanita. Di Aceh juga terdapat Perda Syariah yang terdapat
dalam qanun-qanunnya. Dengan adanya perda syariah ini adalah salah satu upaya mendorong isu kesetaraan
gender. Yang tujuannya sudah sangat jelas untuk memperjuangkan kesetaraan gender di provinsi Aceh hanya
saja dalam pengimplementasiannya yang masih kurang karena pola pikir masyarakatnya yang masih bersifat
kedaerahan.
KESIMPULAN

Kesetaraan gender di Aceh, belum berjalan dengan maksimal. Agama jadi faktor utama dalam identitas
masyarakat Aceh, namun karena masih banyak masyarakat yang hidup dengan budaya patriaki. Mereka
mengganggap bahwa perempuan itu tidak perlu berpendidikan yang tinggi, tidak bekerja di luar rumah dan
cukup menjadi ibu rumah tangga. Pemahaman agama dan budaya patriaki yang mengakibatkan kesenjangan
dalam kesetaraan gender. Kebanyakan kesenjangan kesetaraan gender berada di pedesaan sehingga edukasi dini
terhadap kesetaraan gender perlu diberikan, yang saat ini hanya ada di lingkup universitas untuk wilayah Aceh.
karena masih belum memadai, mungkin dapat dikembangkan oleh mahasiswa. Mahasiswa dapat bersatu dalam
suatu komunitas untuk menghilangkan kesenjangan tersebut.
REFERENSI

[1] Kiram, M. Z. (2020). PENDIDIKAN BERBASIS GENDER DALAM KELUARGA MASYARAKAT


ACEH. Community: Pengawas Dinamika Sosial, 6 (2), 180-191.
[2] Wirianto, D. (2020). Potensi Perempuan Aceh dalam Pendidikan, 13(1), 24-37.
[3] Munira, W., Akhyar, M., & Djono, D. (2018). Womens Leadership and Gender Equality in Aceh: A Socio-
historical Perspective. International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding, 5(4),
79-88.
[4] Astina, C. (2019). PERSPEKTIF GENDER PADA MASYARAKAT KOTA BANDA ACEH. Lentera:
Indonesian Journal of Multidisciplinary Islamic Studies, 1(2), 155-164.
[5] Purnamasari, D., & Pem, M. (2018). GENDER DALAM PERSPEKTIF ULAMA DI ACEH (Studi
Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan). Al-Mursalah, 2(1).
[6] Saiful, T. S. (2016). Gender Perspektif dalam Formalisasi Syariat Islam di Aceh. Kanun Jurnal Ilmu
Hukum, 18(2), 235-263.
[7] Mirnalisa, C. T. (2019, September). KONSEP FEMINISME DARI SUDUT PANDANG WANITA ISLAM
ACEH. In PROSIDING SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN (Vol. 2, No. 2, pp. 912-918).
[8] Saraini, M., & Kholifah, S. (2019). Implementasi perda syariah sebagai upaya memperjuangkan kesetaraan
gender. Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis, 3(2), 73-87.
[9] Rahmah, S. (2019). PENDIDIKAN DAN KESETARAAN GENDER DALAM ISLAM DI ACEH. Gender
Equality: International Journal of Child and Gender Studies, 5(1), 25-42.
[10] Manalu, N. A., & Sukman, F. F. TARI SEUDATI INONG SEBAGAI WUJUD REPRESENTASI
KESETARAAN GENDER DIKABUPATEN ACEH BESAR. Gorga: Jurnal Seni Rupa, 9(2), 367-
376.

Anda mungkin juga menyukai