Anda di halaman 1dari 35

BEDAH BUKU

ACEH BERSIMBAH DARAH


“Dari Daerah Darul Islam, Ke Daerah Istimewa Hingga Daerah Operasi Militer (DOM)”
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah sistem sosial budaya Indonesia
Dosen pengampu : Dian Rinanta Sari, S.Sos

Disusun oleh :
Kelompok 2
Adnan Rifaad 1405618049
Alfitra Fariz Miftahul A. 1405618078
Henny Kurnia Asharie 1405618056
Jamillah 1405618004
Maryam Nibrosurrahman 1405618009
Renata Handayani 1405618076

PENDIDIKAN SOSIOLOGI A 2018

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................................... i

A. Sejarah Keistimewaan Aceh .................................................................................................... 1

B. Kronologis Gangguan Kamtibmas di Aceh Utara, Timur dan Pidie ..................................... 10

C. Mengapa Aceh Dicurigai sebagai Kaum Separatis ?............................................................. 19

D. Sumbangan- Sumbangan Aceh terhadap Republik Indonesia ............................................... 24

E. Lust of Power Soeharto untuk Mengeruk Kekayaan Alam dan Memiskinkan Aceh ............ 29

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 33

i
Dari Daerah Darul Islam, Ke Daerah Istimewa Hingga Daerah Operasi
Militer (DOM)

A. Sejarah Keistimewaan Aceh

Rentetan kejadian politik dan pembantaian yang berlangsung selama Indonesia merdeka
(Orde Lama dan Orde Baru) di Aceh, hampir selalu punya makna tersendiri, yang mungkin jauh
lebih dalam artinya bagi masyarakat tersebut di bandingkan dengan masyarakat di daerah lain.
Sebagai contoh perbandingan misalnya Aceh dan Timor-Timur. Jika mengambil masyarakat
Timor-Timur sebagai perbandingan, arti penting dan mendalamnya maka pembantaian bagi
masyarakat Aceh, sedikit bisa ditonjolkan. Sama seperti masyarakat Aceh, masyarakat Timor-
Timur telah mengalami “depotilisasi berlebih”. Istilah ini memang sangat debatable sifatnya.

Pertama, bila melihat keduanya adalah masyarakat partai (coastal communities). Ciri
structural ini bukan saja membuat corak keagamannya menjadi relative puritan. Di atas itu, “agama
partai” pada kedua masyarakat itu teah berfungsi sebagai counter culture terhadap kemanpanan
budaya politik. Di Timor-Timur, sifat perlawanan budaya itu terutama tertuju kepada budaya
menjilat beberapa pemimpin Pro-Integrasi gaya Jawa. Di Aceh, perlawanan yang tertuju kepada
dominasi kaum uleebalang. Kedua, pancang-pancang budaya lokal di Aceh dan Timor Timur
diperkokoh dengan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan agama ( dayah untuk masyarakat
Aceh, dan gereja untuk masyarakat Timor Timur).

Dengan fungsinya yang terakhir ini, posisi dayah atau gereja menjadi sangat strategis di
tengah-tengah masyarakat. Karena sistem nilai yang ditelorkan dan dipeliharan itu telah digunakan
oleh masyarakatnya sebagai smbol identifikasinya. Secara teoritis, melihat fungsi obyektif dayah
atau gereja macam ini, dapatlah dikatakan bahwa lembaga pendidikan itu telah memberikan dasar-
dasar structural suatu masyarakat tentang bagaimana realitas obyektif harus diperlakukan dan
bagaimana hal yang ideal harus diciptakan. Jika dayah di Aceh banyak memberikan ide-ide bagi
terbentuknya masyarakat sejahtera gaya Islam, maka gereja di Timtim memberikan ide-ide bagi
terbentuknya masyarakat Kristen ekslusif.

Ketiga, corak kepemimpinan sosial dan politik kedua masyarakat itupun mempunyai
persamaan. Dengan sedikit mengabaikan variasi yang pasti ada pada masing-masing daerah, corak
kepemimpinan sosial-politik kedua masyarakat itu lahir dari sumber yang sama. Para pemimpin

1
keduanya, setidak-tidaknya pada tahap awalnya, pada umumnya berasal dari kalangan agamawan,
yang oleh proses perubahaan sosial-politik dan ekonomi terdorong ke depan untuk memainkan
peranan “non-agama”-nya.

Namun respon kedua masyarakat itu terhadap pembantaian umat manusia oleh negara
sebagai bentuk kejahatan kekuasaan, tidaklah sama. Pada masyarakat Timor Timur, telah terjadi
perubahan khusus dalam persepsi keagamaan yang kemuadian menstrukturkan cara pandang
masyarakatnya terhadap dunia politik, yaitu apa yang bisa disebut sebagai “de-sakralisasi politik”.
Proses ini terutama berlangsung di masa pemberontakan GPK Fretilin sejak tahun 1976. Untuk
kasus Aceh, respon masyarakatnya terhadap pembantaian rakyat dalam peristiwa DOM kali ini
akan sangat berbeda, dan karenanya diperkirakan akan melahirkan implikasi yang berbeda pula.
Perkiraan ini terutama karena Aceh mempunyai peristiwa-peristiwa sosial-politik dan struktur
sosial yang khusus pula. Berlainan dengan Timor Timur, “dunia politik sekular” Aceh (status
kepropinsian, “daerah istimewa” untuk wilayah itu, misalnya) sangatlah berhutang pada “dunia
islam”. Jika “dunia politik sekuler” Timor Timur lahir dari warisan Portugis (propinsi Timtim
didirikan dengan semangat pemaksaan integrase Soeharto yang lust of power pada 1976). Menurut
teori seorang sejarawan, Fachry Ali, hutang “dunia politik sekuler” terhadap “Islam” di Aceh ini
bagaimanapun masih membekas di kalangan masyarakatnya. Dan karena itu pula proses-proses
politik di Aceh sangatlah sukar dipisahkan dengan nilai-nilai Islam.

Sikap dan tingkah laku politik yang semacam ini akan punya pengaruh terhadap kohesi
sosial-politik, terutama jika menyimak struktur sosialnya. Struktur sosial masyarakat Aceh dewasa
ini, masih merupakan kelanjutan dari sisa-sisa apa yang pernah disebut James Siegel sebagai
encapsulated people. Suatu struktur masyarakat abad ke-19 yang pengelompokan-pengelompokan
sosial-politiknya terbangun secara horizontal: Sultan, para kerabat dan punggawanya di satu pihak,
kaum uleebalang, kaum ulama dan masyarakat biasa di pihak lain. Semua kelompok masyarakat
ini berada di dalam “kapsul”-nya masing-masing dan secara fungsional relative tak berkaitan.

Sultan dan kerabat serta punggawanya lebih menaruh perhatian ke pelabuhan di mana ia
bisa mengeruk pajak. Uleebalang mengkonsentrasikan perhatiannya ke pasar dan perbatasan
wilayah kekuasaannya, juga untuk memungut pajak atau berdagang. Sementara ulama hanya
concern terhadap reformasi sosial dan kultural. Rakyat biasa, dengan demikian terbiarkan dengan
begitu saja. Sebagai akibatnya, integritas vertical – yang mempertautkan secara fungsional

2
penguasa dan rakyat – relative tak tercipta. Kenyataannya semacam ini menimbulkan konsekuensi
lebih lanjut, yaitu tipisnya tradisi berpemerintahan di kalangan masayarakat Aceh.

Dalam konteks inilah, kehadiran DOM di Aceh – sebagai sebuah peristiwa kejahatan
politik nasional yang terpenting – mempunyai arti yang begitu mendalam bagi masyarakat Aceh.
Kohesi fungsional dalam bidang sosial-politik yang sedikit mulai menampak di masa Gubernur
Ibrahim Hasan – seorang “birokrat-intelektual” yang tentunya sangat mengenal sejarah sosial di
Aceh – akan sedikit terganggu. Nilai keislaman yang masih menjadi acuan dasar dalam
menafsirkan realitas yang kini diproyeksikan ke dalam peristiwa DOM itu hanya akan melahirkan
perebutan tentang siapakah yang paling "berhak" di antara birokrat, ulama dan aktivis LSM di
Aceh. Permunculan tokoh-tokoh intelektual sekuler, birokrat dan ulama dalam perdebatan DOM
itu – sebagai representasi sistem nilai yang mengakar – akan semakin menggoyahkan kohesi sosial
yang memang belum benar-benar terbentuk. Maka, berlainan dengan Timor Timur, pembantaian
manusia karena diberlakukannya DOM di Aceh dapat menimbulkan keretakan sosial-politik.

Pada dasarnya, Aceh adalah wilayah komunitas relijius di mana peran penafsiran realitas
sosial yang paling sah berada dalam genggaman kaum ulama. Dengan melalui proses politik yang
panjang, kemudian Aceh menjadi "Daerah Istimewa". Perkembangan lanjutan dari wilayah
istimewa ini mengalami proses depolitisasi di masa Orde Baru, di mana kaum ulama dipersempit
perannya dan bahkan dalam banyak hal mereka telah dilumpuhkan tanpa pernah berperan secara
pasti. Sehingga apa yang kemudian terlihat adalah sebuah realitas di mana ulama dijadikan "alat"
oleh kekuasaan Orde Baru.

Ulama merupakan kekuatan sosial masyarakat sipil yang telah membawa serangkaian
perubahan-perubahan besar di Aceh. Pergulatan masyarakat Aceh dalam berbagai aspek
kehidupannya selalu identik dengan pergulatan-pergulatan yang dilakukan kaum cendekia islam
ini. Selalu saja mendapat kesulitan untuk mengetahui secara genuine pengaruh sebuah agama
terhadap tingkah laku sebuah masyarakat. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial, dalam
beberapa hal berfungsi sebagai "kebudayaan" yang di dalam prakteknya adalah sebuah sistem nilai
yang menyumbangkan landscape pengertian bagi manusia untuk memahami dan menafsirkan
dunia sekitar. Di samping itu, bagaimanapun juga harus pula diakui bahwa kedatangan agama-
agama itu telah memperkenalkan konsep-konsep tertentu yang sebelumnya tidak atau belum
berkembang di dalam masyarakat. Demikianlah, agama Hindu misalnya, telah sangat membantu

3
memperkenalkan konsep organisasi kekuasaan yang memusat (sentralistis) kepada masyarakat
pribumi – yang sebelumnya terpecah-pecah itu. Sementara Islam, menyumbangkan aspek
rasionalisme kekuasaan politik ke dalam masyarakat Nusantara khususnya masyarakat Aceh.

Untuk itu, perlu menengok kembali sejarah sosial-budaya Aceh di masa lalu. Dari sini bisa
dilihat pertemuan fisik pertama Islam Aceh dan dunia modern Belanda, yang bisa terjadi di
lapangan politik dan militer, bukan di lapangan budaya dan kemanusiaan. Pertemuan ini sangat
krusial dalam memberi bentuk bagi Islam Aceh untuk periode-periode selanjutnya. Ketika benteng
Kesultanan Aceh jatuh ke tangan Belanada pada 1873, dan pada akhir 1890-an, Belanda
melancarkan serangan besar-besaran ke seluruh Aceh, masyarakat politik Aceh yang baru pun
segera terbentuk: jatuhnya kepemimpinan kesultanan dan uleebalang dan naiknya kaum ulama
sebagai lapisan baru.

Untuk memberikan semangat keagamaan penopang perlawanan terhadap kaum kafir,


menurut temuan dari penelitian Fachry Ali, kaum ulama menawarkam Islam sebagai basis
gerakan. Berkembang dalam masa perang, Islam di tangan kaum ulama ditransformasikan ke
dalam ideologi perlawanan. Selama masa inilah Islam Aceh terbentuk secara tipikal. Agar Islam
dapat secara lebih kompregensif menjadi ideologi perang, kaum ulama pun menerjemahkan
ajaran-ajaran agama ke dalam bait-bait Hikayat Prang Sabi (Kisah Perang Suci). Hikayat ini pada
intinya menjanjikan surga bagi para martir (syahid), dengan demikian membangkitkan semangat
perang masyarakat Aceh sejak dari buaian hingga kakek-nenek, setelah kalah – dengan korban
sekitar 250.000 jiwa pada 1879, dan 20.000 pada 1890.

Yang penting ditekankan di sini adalah Islam, sebagai agama universal, telah secara khusus
tetransformasikan ke dalam ideologi perang. Transformasi ini telah menjadikan Islam di Aceh
lebih sebagai alat politik untuk mengadakan perlawanan terhadap musuh-musuhnya, membentuk
identifikasi diri dan Aceh karenanya menarik garis perbedaan yang mendasar antara orang-orang
Aceh dengan musuh-musuhnya serta para pengkhianat lokal. Pada tahap perkembangan inilah,
Islam – hampir dalam pengertian sebenarnya – berubah menjadi "agama rakyat" yang secara
mendalam telah mempengaruhi hubungan sosial dan tingkah laku budaya masyarakat Aceh.
Dalam posisi ini, Islam sesungguhnya telah membentuk masyarakat Aceh sebagai kelompok etnik
tersendiri ketika ajaran itu mengalami Acehnisasi.

4
"Islam" yang ter-Aceh-kan – mengutip istilah Fachry Ali – ini berlanjut sebagai pemberi
identitas rasa percaya diri Aceh ketika, semenjak 1920-an, Belanda memordenisasikan Aceh
dengan, seperti di Jawa sebelumnya, mengembangkan sistem pendidilan khusus kepada anak-anak
uleebalang. Proses ini menghasilkan orang-orang pertama ter-Barat-an, yang umumnya berasal
dari unsur uleebalang. Bagaimanapun juga, jalan masuk menjadi "orang Eropa" sangatlah sempit,
sehingga mereka yang ter-Barat-kan itu hanya terdiri dari segelintir orang. Sebagai akibatnya,
perkembangam budaya sekuler yang bersifat kekotaan itu berlangsung di pinggir budaya Islam
Aceh. Sebaliknya, dengan dasar modernisme Islam, kaum ulama mendirikan beragama madrasah
di tahun 1930-an yang secara progresif mengadopsi metode pengajaran modern – tentunya setelah
mengalami proses Islamisasi.

Bagi masyarakat Aceh, masih menurut Fachry Ali, terdapat beberapa konsekuensi dari
hasil perkembangan terakhir ini. Pertama, berkenaan dengan gagasan keberadaan Aceh.
Kebangkitan sekolah-sekolah Islam modern di tahun 1930-an telah dianggap sebagai kebangkitan
Islam. Karena Islam telah menjadi "agama rakyat" dan merupakan bagian integral dari identitas
Aceh, kebangkitan Islam melalui penyebaran sekolah-sekolah itu dihayati juga sebagai
kebangkitan Aceh. Dengan kata lain, kebangkitan Islam dimanfaatkan sebagai alat kebangkitan
sebuat etnis. Maka, menyertai kemunculan sekolah-sekolah modern, kesadaran historis dan politik
masyarakat diteguhkan kembali.

Kedua, perkembangan madrasah-madrasah itu memberikan sturktur sosiologis baru bagi


ulama. Tidak seperti dayah, sistem pendidikan nasional Aceh, sistem madrasah lebih bertelekan
pada struktur baru dimana kaum ulama dapat muncul menjadi tokoh publik. Terdorong kebutuhan
menyebarkan pemikiran reformis, kaum ulama bergerak ke luar, melewati batas-batas madrasah
dan membuat tabligh di dalam berbagai pertemuan, mengajak masyarakat bergerak satu nafas
dengan gerakan madrasah. Hasilnya, berbagai madrasah bermunculan disana-sini, terutama di
Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Ini berarti memperlebar jaringan konstituen pemikiran kaum
reformis. Dan dalam struktur madrasah semacam inilah para ulama tertransformasikan menjadi
pemimpin publik dengan dukungan massa yang luas.

Terakhir, pertumbuhan madrasah tersebut erat kaitannya dengan proses perkembangan


pemimpin muda islam reformis di masa mendatang. madrasah pun menjadi wahana memperdalam
kesadaran sejarah dan politik kaum muda Aceh. Tidaklah mengejutkan jika gagasan-gagasan

5
“nasionalisme islam” mereka tumbuh melalui madrasah dan bukan dari sekolah-sekolah elite
modern yang didirikan Belanda. Melalui islam dan madrasah, masyarakat Aceh menemukan alat
utama mengartikulasikan kesadaran politik mereka.

Tapi, jika pendidikan keagamaan serta orang-orang yang terdidik di dalam masalah itu
dianggap sebagai bagian yang menyatu dengan jaringan serat-serat budaya tersebut, bagaimanakah
harus menjelaskan mengapa posisi para pendidik itu justru lebih tinggi di dalam masyarakat,
bahkan melebihi posisi seorang raja sekalipun? Dalam konteks pembicaraan sekarang ini, jawaban
terhadapnya akan menemukan pemahamamn tentang perubahan-perubahan yang telah terjadi dan
telah menyumbangkan pandangan untuk menandai perkembangan massa depan masyarakat Aceh
yang tengah mengalami transpormasi yang pongah ke masyarakat industri. Untuk sebagian
fenomena tersebut di atas, haruslah dilihat pada sifat dari masyarakat agraris di masa sebelum
lahirnya masyarakat industry, sebagaimana dengan telanjang didemonstrasikan oleh masyarakat
Aceh pada masa itu. keadaan yang segera menyergap Aceh ketika datang nya industri-industri dan
jasa yang ikut menyertainya adalah cultural shock dan ketidak siapan tenaga-tenaga ahli yang siap
pakai untuk memutar industri-industri tersebut. Dengan segera, setelah perkembangan ini
menyeruak ke Aceh, peran dan posisi ulama menjadi absurd. Ulama, terutama menghadapi
perkembangan- perkembangan sosial, ekonomi dan politik lokal didaerah segera terperangkap
kedalam permainan yang dilakukan oleh aktor-aktor politik lokal. Dengan membahana dunia
material, maka politik menawarkan keuntungan-keuntungan material yang dapat diraih ulama jika
bergabung dalam kegiatan-kegiatan politik. Ulama, melalui proses ini, telah mengalami
penempitan peran: (1) dari Concern terhadap persoalan-persoalan rakyat kepersoalan politik
praktis; (2) dari wawasan ke indonesian, keacehan dan dunia ke orientasi lembaga-lembaga politik
tingkat daerah yang kecil maknanya; (3) dari pengetahuan yang berpersepsi jauh ke masa depan
kepada orientasi sesaat menjelang pemilu (sebagai vote-geter); (4) dari peran high pollitics yang
diperankan dengan seruan-seruan moral kepada permainan politik tingkat rendah dalam dinamika
politik praktis; dan yang lebih disedihkan lagi adalah (5) dari wawasan ulama yang dulunya
memiliki aqidah politik kepada “politik yang tak ber aqidah” alias menjual segala hukum agama
demi kepentingan-kepentingan penguasa ditingkat lokal. Memang benar, penguasa ditingkat local
terasa lebih garang dari pada yang di pusat, namun kemanapun untuk bertindak dan menjalin
komunikasi secara nasional merupakan minimal yang dituntut dari seorang ulama. Sehingga,
dalam tradisi politik aceh yang sudah demikian lama bersedimentasikan, ulama juga disalahkan

6
oleh rakyat (selain dari sanjungan-sanjungan dan penghormatan yang hampir adikordati sifatnya).
maka kaum ulama mestilah bertindak berhati-hati dalam merespon perkembangan yang terjadi.
Ulama, ketika menjadi media politik ia hanya sebatas “alat” dalam pandangan rakyat, kehilangan
nilai kemanusiannya. Ulama sebagai tokoh politik akan terserap ke dalam suatu sistem birokasi
yang memiliki jalinan yang rumit sehingga fungsinya sebagai pemberi petunjuk, juru penerang
bagi masyarakat juga akan mengalami pengrumitan, sehingga agama hadir di tengah masyarakat
disebut Gertzz. Geertz secara implisit mengatakan bahwa kiyai mempunyai peran sebagai
“makelar kebudayaan” (culture broker). Hanya kiyai yang ingin mengembangkan dasar kekuasaan
mereka yang cenderung bekerja sama dengan pejabat pemerintah.

Dalam konteks inilah bisa dipahami dominannya dunia non-material didalam masyarakat
agraris pra-industri. Dunia non-material, yang untuk konteks pembicaraan di sini bisa disebut
sebagai “sistem budaya”, dengan sendirinya mengambil peran yang dominan, yaitu mengatur dan
menstruktukan sistem tindakan kolektif anggota-anggota masyarakat. Dengan kata lain, dalam
sebuah masyarakat agraris dimana dunia material dan teknologi belum berkembang pesat, terdapat
kecenderungan besar untuk mengantikan kelemahan-kelemahan material tersebut dengan
menciptakan pesona-pesona terhadap kedigdayaan nilai-nilai non-mate-rial. pada mana jaringan
masyarakat agraris, untuk sebagian besar, merupakan representasinya yang mencolok. Nilai-nilai
non-material tersebut sebagian besar diisi oleh ajaran-ajaran Islam yang terbesar berkat peran gigih
kaum ulama. Maka, karenanya pula, kontrol atau penguasaan terhadap ajaran-ajaran agama di
dalam masyarakat agraris adalah sama nilainya dengan menguasai sumber mata air dari
kebudayaan yang berkembang dan dianut masyarakat tersebut. Karenanya, penguasaan atasnya
hanya bisa dilakukan oleh segelintir kalangan tertentu. Untuk kasus daerah Aceh, segelintir orang
itu adalah kaum ulama.

Dalam konteks inilah bisa dipahami mengapa ulama secara otomatis terposisikan pada
lapisan teratas dalam susunan masyarakat agraris. Ini terjadi bukan saja menguasai secara teknikal
ajaran-ajaran agama, melainkan juga merekalah yang bertindak sebagai interpreters (juru tafsir)
yang paling sah atas sumber-sumber mata air yang mendasari kebudayaan (agraris) itu. Ini berarti
para agamawan itulah yang memegang kakuasaan riil dalam bidang sosial dan politik. Hal inilah
yang menyulitkan kekuatan luar (semacam pemerintahan nasional) untuk mengetahui ekskalasi
politik di Aceh. Meski Aceh dapat tertaklukkan, itu hanyalah penguasaan tulang dan daging rakyat

7
Aceh, namun jiwa dan hatinya tidak. Dengan melihat persoalan yang dibicarakan dalam atau
menurut perspektif ini, maka dengan segera bisa menemukan sebuah kenyataan bahwa betapa
pendidikan islam di dalam masyarakat (Aceh) agraris pra-industri menempati tempat yang
strategis baik di dalam susunan budaya maupun di dalam masyarakat itu sendiri. Sistem serta nilai
pendidikan Islam dan tokoh-tokoh pelakunya bukan saja merupakan bagian yang integral dari
budaya dan masyaraktnya, melainkan juga bertindak sebagai pusat-pusat budaya yang berwibawa
yang reproduksi dari pemikiran serta nilai-nilai nya menyumbangkan konsep-konsep pegetahuan
dan menstrukturkan sistem perilaku kolektif angota- anggota. Dalam konteks ini, sebuah dayah
seorang Teungku (Kiyai) tetap saja dipandang sebagai “produsen” nilai-nilai yang derajatnya lebih
tinggi dari kekuasaan sekuler pada tinggkat lokal. Seorang pendiri dayah di desa Kluet Utara, Aceh
Selatan, misalnya, tetap menjadi pusat orientasi dalam menentukan dinamika politik local ketika
disadari bahwa setiap calon lurah desa-desanya sekitarnya harus mendapatkan “restu” sang ulama,
jika ia inggin menang dalam proses “pemilihan umum” tingkat desa. Dalam perspektip yang telah
dikenakan di atas untuk melihat struktur sosial-budaya masyarakat agraris. ekspansi dunia material
dan teknologi yang dimotori oleh revolusi industri (terutama yang terjadi setelah abad ke-19) yang
melahirkan kekuatan-kekuatan dunia yang terpencar-pencar dan saling terisolasi sebelumnya itu
telah terpaksa menjadi satu, dengan seluruh konsekuensi positif dan negatifnya. Secara teknikal,
proses ini melahirkan perubahan radikal,ketika kecenderungan-kecenderungan yang bersifat local
oriented didalam masyarakat agraris tidak lagi bisa dipertahankan yang memaksa mereka harus
berhubungan secara lebih intensif dengan kekuatan- kekuatan luar. Secara konseptual, ekspansi
dunia material dan teknologi itu telah mengubah etos dan pandangan hidup dimensi evaluatif atau
dimensi model tentang gambaran dunia yang ideal masyarakat tersebut, yang sekaligus berarti
merombak jaringan kogmitif yang selama ini berlaku. Pada saat sekarang, dimana modernisasi
berjalan demikian derasnya peran-peran kaum ulama pun mengalami pergeseran. Sebagaimana
terlihat secara mencolok mata di Aceh, struktur masyarakat Aceh telah demikian juah mengalami
perubahan. Kalu dulu struktur masyarakat Aceh terdiri dari Sultan, uleebalang, ulama dan petani.
bekas uleebalang serta kalangan mahasiswa yang merupakan kaum idealis yang berdiri di dua
dunia, nyata dan teoritis. Kaum marjinal ini bisa terdiri dari para pengangguran, pedangan kecil,
pengemis, para penderita penyakit fisik dan orang-orang di desa yang karena pengaruh tertentu
dari modernisasi tertempat di tengah-tengah antara kota dan desa. Menyimak persoalan-persoalan
yang muncul akhir-akhir ini di Aceh, secara sosial kita menghadapi kenyataan banyaknya orang-

8
orang yang terpinggirkan untuk mendapatkan pekerjaan. Sebagian besar di antra mereka
meninggalkan Aceh menuju Malaysia dan Singapura untuk menjajakan tenagannya. Artinya, Aceh
yang kaya dengan sumber daya masih belum mampu memberi makan yang cukup dan
penghidupan yang layak bagi masyarakatnya. Apalagi dengan persoalan-persoalan sosial yang
tidak cukup program-program pembagunan dari pemerintah saja untuk mengatasinya. Ulama
sebagaimana dulu berperan pada kondisi-kondisi yang kritis yang dihadapi masyarakat Aceh
sekarang pun masih penting untuk berperan. Masuknya teknologi dan perangkat-perangkat nilai
baru yang menyertai telah menyulitkan ulama untuk meng-compatible-kan ajaran-ajaran agama
kedalam kehidupan dan kemajuan teknologi yang membalut masyarakat.

Semua itu terutama terjadi karena ekspansi dunia material dan teknologi itu telah
menstrukturkan setting baru bagi kebutuhan-kebutuhan dan pola kehidupan dan menciptakan
bidang-bidang atau lapangan pekerjaan (occupation) yang amat berbeda dengan apa yang pernah
berkembang didalam masyarakat agraris pra industri. perubahan-perubahan dalam lapangan
pekerjaan itu berkaitan langsung dengan perkembangan ekonomi yang pada gilirannya
membutuhkan investasi barang-barang modal dan peningkatan standar kemakmuran. rakyat Aceh
kembali mengharapkan peran ulama untuk berperan (bukannya “berperang”) dalam mengatasi
berbagai krisis, yang melanda Aceh. Namun, tangan-tanagan ulama tidak akan menjulur dengan
sendirinya jika situasi tidak memaksa. Untuk memahamkan situasi tersebut sudah berada pada
derajat “terpaksa” maka para pembuka masyarakat seperti pejabat pemerintah perlu menarik
tangan-tangan tersebut untuk mengentaskan persoalan-persoalan sosial yang ada. Secara
subyektif, sebagaimana terlihat dalam massa 1989-1998 ketika Aceh di pasung dalam periode
Daerah Operasi Militer yang serba mencekam, dayah atau pesantren dilibatkan dalam proses-
proses pembangunan sehingga pendekatan ke masyarakat menjadi lancer dan masyarakat pun
menerima pembangunan setelah mendapat penjelasan dari kalangan ulama. Santri-santri pun
dalam beberapa bagian teknis terlibat serius dalam pelaksanaan program-program tersebut.
Masyarakat yang sebagian besar term of reference-nya mengacu pada pola kehidupan keagamaan,
maka posisi ulama menempati tempat teratas dalam perspektif mereka. Pejabat apalagi kalau hanya
setinggkat Bupati tidaklah masuk dalam pertimbangan sikap kultural orang Aceh.

9
B. Kronologis Gangguan Kamtibmas di Aceh Utara, Timur dan Pidie

Berikut ini, sebagai sebuah data tentang proses terbentuknya sebuah rekayasa politik
dan kebohongan oleh para “oknum” ABRI, maka kronologi peristiwa hingga memunculkan
DOM di Aceh ini perlu sekali diikuti disini. Bagaimana pun data-data ini akan sangat
berguna bagi generasi Aceh mendatang dan mereka-mereka yang concern dengan
kemanusian atau mereka-mereka yang mempunyai keprihatinan terhadap nasib umat Islam
dimana pun di dunia ini. Data-data ini akan lebih berbicara tentang bagaimana sebuah
komunitas muslim dicabik-cabik dengan kesewenangan-wenangan. Sebagian besar data-data
kronologis ini dikompilasi dari pihak-pihak resmi, media masa dan juga perorangan.

26 September 1989. Pratu Ismail Ali, anggota Batalyon III Kompi B, penduduk
Kampung Rawa Sigli, tewas ditembak di Krueng Tuan, Kecamatan Nisam, Aceh Utara.
Sedangkan temannya Pratu Zakaria mengalami luka berat.

Awal 1990. beberapa hari berikutnya dua anggota GAM tewas setelah baku tembak
dengan pihak militer di Kecamatan Jeunieb, Aceh Utara.

9 Maret 1990. Serma Ar Ali (purn) (55), tewas dibacok di warung kopi, desa Alue
Leuhob, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara. Menurut beberapa saksi mata, pelakunya
mengunakan mobil, tapi tidak dikenali.

10 Maret `1990. Serda Pol. Samad Kurniawan, anggota PolsekMilla Pidie, tewas di
tembak di Kampus Universitas Jabal Sigli. Pelakunya mengenakan pakaian hijau, tapi belum
ditemukan. Sedangkan temannya, Sertu Muridno, hanya mengalami luka tembak di bagian
dada, dan sempat mendapat perawatan intensif di RSUZA Banda Aceh.

3 April 1990. Koptu A. Djalil, anggota Polsek Syambalira Aren, Aceh Utara, tewas
diberondok senjata yang diduga milik komplotan separatis. Ia ditemabak tengah malam di
Polsek setempat. Sebelumnya para penembak menggedor pintu, kemudian segera
memberondong peluru kea rah korban, sedangkan temannya sempat mengelak. Para
penembak mengunakan kendaraan mini bus. Korban adalah penduduk Meunasah Tutong,
Blang Asan Simapang Mulieng, Aceh Timur.

10
15 April 1990. Sepasang remaja (salah seorang bernama Sri) mati ditembak oleh
petugas di Pos Pemeriksaan KTP Simapang Ulim. Kedua korban dari Lhokseumawe menuju
Langsa berboncengan dengan sepeda motor, mereka tidak berhenti ketika disetop petugas.
Dari jarak dekat keduanya ditembak hingga terpuruk di tengah jalan. Bahkan korban Sri
payudaranya copot. Keduanya penduduk Banda Aceh. Jenazahnya dimandikan warga
Simpang Mulieng, lalu diantar ke Banda Aceh. Selain itu pada hari yang sama Agus, putra
Asisten I Setwilda Aceh, Abdul Djalil, tewas kena peluru senjata petugas pemeriksa KTP
diatas jembatan Cunda, Lhokseumawe. Korban saat tertembak baru saja membeli makanan
untuk sahur di bulan Ramadhan. Ia tewas di dalam mobilnya.

20 April 1990. Kopda Faisal dan M.Butar Butar tewas tertembak di Desa Alue Nireh,
Kecamatan Peureulak, Aceh Timur.

29 April 1990. Ditemukan dua mayat di Bayu, Aceh Utara. Salah seorang korban
bernama M. Jakfar Ahmad, warga Meunasah Blang. Keduanya di duga informan tentara.
Salah seorang, dinihari itu baru saja pulang dari rumah Danramil Setempat. Setelah tewas
ditembak, kedua mata korban dicungkil, lalu diletakkan di tepi jalan raya. Senter masih
menyala di atas dada korban, pembunuh juga menggorok leher korban hingga hampir putus.
Kedua jenazah korban sempat beberapa hari menginap di RSU Lhokseumawe, hingga Dinas
Sosial setempat mengebumikannya.

1 Mei 1990. Di dekat lapangan golf PT. Arun LNG ditemukan mayat Razali Achmad
(35), penduduk Meunasah Teumpeuen Syamtalira Aron, Aceh Utara. Di bagian luar
tubuhnya terdapat bekas luka tembak.

2 Mei 1990. Koptu A. Gani dan Sertu Ilyas, dua orang anggota polsek Mutiara, Pidie,
tewas ditembak orang tak dikenal. Keduanya sedang mengendarai sepeda motor di Desa
Reubei, Pidie.

4 Mei 1990. Husin (37), penduduk Lancok Kecamatan Syamtalira Bayu, tewas di
Desa Blang Nibong Samudera Aceh Utara. Lehernya digorok nyaris putus. Namun
pelakunya belum diketahui.

11
6 Mei 1990. Serma Zainuddin (45), anggota Reserse Aceh Utara, di bacok orang tak
dikenal ketika ia sedang mengendarai sepeda motor. Korban mengalami luka berat. Peristiwa
ini terjadi di Bintang Hu Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara.

13 Mei 1990. Pukul 10.00 WIB, Jono (22), penduduk Desa Seuneubok Rambung,
Aceh Utara, didatangi oleh delapan orang GAM yang membawa dua pucuk senjata api.
Mereka mengancam agar semua transmigran keluar dari Aceh. Patuh karena takut besoknya
Jono meninggalkan lokasi.

15 Mei 1990. Pukul 16.00 WIB, kejadian serupa menimpa seorang warga
transmigran bernama Slamet, penduduk Teupin Raya. Pulang dari ladang, ia dicegat GAM
yang membawa senjata api yang memerintahkan agar semua transmigran meninggalkan
tempat. Bila tak patuh akan dibunuh.

21 Mei 1990. Pukul 11.30 WIB, M. Zaini (35), nelayan Desa Eurebe Timur
Kecamatan Seunedon, di tembak oleh GAM, tembus sampai punggung. Para GAM
mengendari sepeda motor RX King.

24 Mei 1990. Radis (20), penjual jamu, tewas di Pondok Kates, Desa Keutapang
Kecamatan Lhoksokon Aceh Utara. Lehernya digorok hingga putus.

27 Mei 1990. Pukul 20.00 WIB, Muhammad M. (45), anggota DPRD Aceh Utara,
tangannya mengalami luka berat akibat tembakan orang tak dikenal di kawasan Kota
Lhoksukon, Aceh Utara. Pelaku penembak mengunakan sepeda motor.

28 Mei 1990. pukul 08.45 WIB, serombongan orang tak dikenal menggunakan
kendaraan Mobil Oil Indonesia (MOI) menyerang base camp Bhakti ABRI di Kecamatan
Sukamakmur Aceh Utara. Dalam serangan tak tertuga itu, dua anggota ABRI tewas dan satu
luka berat.seorang pelajar SMTP setempat juga ikut terkena peluru nyasar. Penyerang
berhasil mengambil 17 pucuk senjata M16, 3pucuk senapan mini (brand) dan seribu butir
peluru. Belakangan mobil yang digunakan untuk operasi tersebut ditemukan tertanam.

31 Mei 1990. Terjadi pengusiran terhadap 60 KK warga kampung Rambonglub,


Kecamatan Idi Rayek, Aceh Timur oleh GAM yang berkekuatan 25 orang. GPK mengancam

12
agar warga asal Jawa itu kembali ke daerahnya. Warga kampung bertahan yang membuat
para GAM beringas dan mengamcam akan membakar kampung itu

. 4 Juni 1990. Menjelang subuh, pasukan ABRI melakukan operasi penyergapan


GAM di sebuah rumah di Langsa. Dalam operasi tersebut tiga anggota GAM luka-luka dan
satu orang GAM tewas tertembak. Pasukan ABRI menyita sepucuk pistol dan sepucuk
senapan “jungle fifle”. Masih pada hari yang sama, sebuah mobil petugas jadi sasaran tembak
di Langsa. Dalam penghadangan itu tiga anggota ABRI tewas. Padahal, pasukan ABRI
sedang dalam pejalanan pulang ke pangkalan seusai mengubur jenazah seorang GAM yang
tewas dalam penupasan di Langsa pada hari yang sama.

6 Juni 1990. Pukul 05.45 WIB, satuan IPP Polres Aceh Timur dan anggota kodim
0104 menggerebek rumah Bachtiar bin Ismail alias Yahya (35) di kompleks BTN Alur
Beurawe Langsa, aceh Timur. Tempat tersebut diduga digunakan sebagai posko GAM.
Dalam penyerbuan itu, Yunus (32)petani asal Desa Sungai Lueng Langsa, Jamuluddin (45)
petani penduduk Sungai Pauh, Basri bin Ramli (38) penduduk Sigli Pidie (ber-KTP
Malaysia), Azman bin Daud (27) penduduk Sungai Pauh, Bachtiar tewas dalam
penggerebekan itu. ABRI menyita 1 pistol, 1 senjata api, 4 granat,16 butir peluru colt, 1 butir
peluru FN 49, 1 kapak, 1 pisau, sepasang sepatu, dan 1 buah mantel ABRI. Hari yang sama
pada pukul 17.00 WIB, terjadi penyerangan terhadap ambulan dan patroli yang baru pulang
mengantar jenazah Yunus (oknum polri) di Desa Bintah, Simpang Ulim Aceh Utara. Akibat
serangan itu, Koptu Sumaningan, kopda Yatim, Pratu Zulkipli dan Jalil (sopir) tewas.
Sedangkan Letda Cin Nurdin Hasan dan Sertu Imran Fauzi mangalami luka berat. Serangan
itu dilakukan oleh GAM yang bersembunyi disemak-semak menggunakan senjata M-16.

7 Juni 1990. Ramli Saleh (38), penduduk kampung Cumbok Kabupaten Pidie, tewas
ditembak GAM. Menyusul Daud Puteh (40) sekretaris/Tata Usaha SMP Buereneun kena
tembak di bagian paha, oleh GAM.

11 Juni 1990. Pukul 10.00 WIB, mayat Ali Gayo (45) mantan guru MIM penduduk
Desa Arongan Baktia Aceh Utara ditemukan di jalan Desa Cot Manyang, kecamatan
setempat. Korban meninggal akibat luka tembak.

13
14 Juni 1990. Pukul 12.30 WIB terjadi pembunuhan dan pembakaran rumah
penduduk desa Alue Papuen, Aceh Utara. Dalam kejadian, tewas Jamarun (45), penduduk
setempat dan Suparjono (30), penduduk Darussalam. Pada hari yang sama, pukul 20.00 WIB,
M. Nur bin Abu Bakar (45), penduduk desa Lueng Kecamatan Jeunib Aceh Utara tewas
ditembak GAM. Penembaknya diketahui berjumlah 3 orang, mengendarai sepeda motor
Honda Astrea berwarna hitam. Kemudian pada waktu yang bersamaan, Zainal (35), juga
seorang petani menjadi sasaran kebrutalan GAM. Korban menderita luka parah akibat
ditembak.

15 Juni 1990. Pukul 19.30 WIB, sebuah truk kayu BK 2423 BC milik PT Nalang
Raya dihadang di Alu Nireh Langsa oleh GAM yang berkekuatan delapan orang dengan tiga
pucuk senjata api. Pengemudi dan kernet disiksa, KTP dirampas dan truk dibakar. Lalu kedua
jenazah dihanyutkan ke sungai. Pada saat yang bersamaan, Jeep Toyota BK 740 AW yang
sedang melintas dihentikan. KTP pemiliknya dirampas, dan mobil di berondong dengan
peluru. Untung pengemudinya selamat.

19 Juni 1990. Pukul 06.00 WIB, ditemuksn mayat Syamaun (52) penduduk Cot
Mamplam Kandang, Aceh Utara. Tubuh korban penuh luka bacok. Mayat tersebut ditemukan
Ismail (46) tukang pangkas di desa itu. Korban ditemukan di lorong Alue Krueng Desa
Meunasah Manyang Kandang.

21 Juni 1990. Pukul 09.00 WIB, di desa Kedai Baru Kecamatan Simpang Ulim Aceh
Timur ditemukan selebaran yang dipajang di beberapa sudut desa. Abidin Rani, Kades
setempat melaporkan hal ini ke Polsek.

Bunyi selebaran :

 Agar masyarakat Aceh jangan memihak kepada pemerintah dan orang-orang Jawa.
 Perjuangan tinggal dua bulan lagi, lalu kemerdekaan akan diproklamirkan.

Susunan pemerintah :

 Presiden : Hasan Tiro


 Panglima Perang : Ali Paseh
 Panglima Operasi : Robert

14
25 Juni 1990. Pukul 07.00 WIB, ditemukan mayat laki-laki tak dikenal di Desa Alue
Sudep Kecamatan Rantau Selamat Aceh Timur, dalam keadaan terapung di sungai.
27 Juni 1990. Pukul 06.05 WIB, ditemukan mayat tak dikenal dijalan kampung Bukit
Selamat Kecamatan Rantau Selamat Aceh Timur. Kepala korban pecah, otaknya berhambur
keluar. Pada baju korban tertuliskan “Awas orang gila bunga mawar Bogor halus”.
28 Juni 1990. Pukul 16.00 WIB, terjadi pengusiran besar-besaran terhadap warga trans
di Kecamatan Simpang Ulim. Pengusiran ini dilakukan oleh ratusan warga Kecamatan
Simpang Ulim Aceh Timur yang tersulut emosinya.
9 Juli 1990. Pukul 21.00 WIB, ditemukan mayat laki-laki tak dikenal di Desa Bukit Rata,
areal perkebunan PT Mapoli Raya, Kecamatan Kejuruan Muda Aceh Timur. Korban
penganiayaan ini, saat diketemukan kedua tangannya terikat seutas tali dan penuh luka
bacok.
13 Juli 1990. Pukul 21.00 WIB, di d4sa Bangkeh Geumpang Pidie, terjadi penembakan
terhadap Abubakar bin Abdullah (40), anggota ABRI, oleh kelompok GAM. Keadaan korban
kritis. Ia diberondong ketika berada dalam rumahnya.
14 Juli 1990. Pukul 11.45 WIB, di Desa Mane Kecamatan Geumpang, Pidie Daud bin
Mahmud (45), penduduk Blang Pandeh Tangse ditembak oleh GAM. Korban tewas di TKP.
17 Juli 1990. Pukul 17.00 WIB, di Desa Alue Nibong Peurelak Aceh Timur terjadi
kontak senjata antara satgas Siwa Kuning dengan GAM. Kelompok GAM baru saja
mengadakan rapat gelap. Ketika petugas dating ke tempat itu mereka memberikan
perlawanan dengan senjata pistol dan M-16. Azhar bin Asyek anggota GAM yang mantan
ABRI, tewas di TKP. Senjatanya M-16 disita petugas Enam teman Azhar lolos.
18 Juli 1990. Pukul 14.00 WIB, Pratuyono yang sedang berpergian bersama istri dan
seorang anaknya diculik kelompok GAM di Kawasan Tangse, Pidie. Kemudian, petugas
Koramil Geumpang menyergap kelompok GAM dan terjadilah kontak senjata yang
mengakibatkan seorang anggota GAM tewas, dua lainnya luka berat. Dua hari kemidian
mayat Yono ditemukan di Desa Maneh, Geumpang. Sebelumnya empat anggota ABRI yang
sedang melakukan Patroli dengan sepeda motor ditembak oleh anggota GAM. Akibatnya,
Sertu Mahyiddin, Sertu Yosef Sembiring, Kopda Wagimin dan Kopda Sunardi mengalami
luka parah dan dilarikan ke rumah sakit. Keempatnya adalah anggota Batalyon 113 Bireuen.

15
19 Juli 1990. Pukul 20.00 WIB, mantan Kades Blang Krung Pidie, Ibrahim bin Ahmad
(60), meninggal akibat berondongan peluru jetika sedang mengajar ngaji di rumahnya. Ia
tewas secar tragis di depan murid-muridnya. Sebanyak 22 penduduk Geumpang Dan Tangse
Pidien diciduk petugas (ABRI) karena diduga terlibat dalam aksi GAM.
24 Juli 1990. Pukul 17.45 WIB, satuan ABRI mengadakan operasi penyergapan dan
penyisiran GAM di Desa Ulee Rubek Barat, Seuneudon, Aceh Utara. Dalam operasi itu
diamankan empat lelaki yang diduga terlibat. Masing-masing bernama Ali Basyah (55),
Sukri (34), Nurdun (30) dan Mahdi Amin (30). Dua orang lainnya, Isminar (25) dan Ibrahim
bin Ismail (28) tewas ditembak dalam penyergapan itu. Turut disita 415 butir amunisi dari
berbagai jenis dan ukuran, 7 detonator,`1 teropong, 2 mesin tik, 1 bendera, 2 tustel merk
Ricoh, 1 dokumen dan berbagai foto gerakan separatis Aceh Merdeka.
25 Juli 1990. Pukul 10.00 WIB, Abdullah Ismail bin Ibrahim, tokoh yang disebut-sebut
sebagai “panglima Sago” pimpinan GAM tingkat kecamatan menyerahkan diri kepada
korem 011/Lilawangsa di Lhokseumawe. Lelaki warga Desa Manyang Kandang, kecamatan
Muara Dua Aceh Utara, ia menyerah setelah ruang geraknya diblokir penduduk setempat,
bahkan ia ditinggalkan pendukungnya.
27 Juni 1990. Pukul 23.45 WIB, SMA Negeri Idi Rayek Aceh Timur terbakar. Empat
dari 14 ruangan kelas musnah, berikut 220 NEM siswa baru serta 50 lembar lapor. Buku
induk siswa serta anak kunci kelas yang masih tersisa, 7 ruangan, turut musnah dalam
peristiwa yang menelan kerugian sekitar Rp 200 Juta itu. Sebelum peristiwa terjadi, kepala
sekolahnya, Zainal Arifin BA dikirim sepucuk surat yang mengatas namakan GAM. Isinya
singkat saja: Jika dilanggar, resiko tanggung sendiri.
28 Juli 1990. M. Saleh penduduk Samalanga tertangkap dikawasan Meulaboh. Ketika
ditangkap telah mengendarai sepeda motor curian. Dalam interogasi ia mengaku membunuh
seorang warga Jeunib, Aceh Utara, lalu melarikan diri ke Meulaboh dan akhirnya tertangkap.
29 Juli 1990. pukul 23.00 WIB, seorang pemuda penduduk peurelak, Aceh Timur, ditangkap
pihak militer. Dari tangannya didapat sejumlah selebaran yang isinya menghasut (agitasi). Ia
akhirnya diproses di kodim setempat.
31 Juni 1990. pukul 14.00 WIB, Zulkifli, warga Desa Damar Tutong, Aceh Timur, tewas
tertembak didesa itu oleh petugas berseragam. Ia diduga terlibat GPK dan menunjukan sikap
melawan saat diciduk.

16
3 Agustus 1990. Terejadi perampokan beruntun yang dilakukan sekelompok GAM, di
Matangkuli, Aceh Utara. Pertama, pukul 15.00 WIB di desa Bukit pidie terhadap seorang
penduduk. Tiga orang bersenjata laras panjang berhasil menjarah perhiasan dan sejumlah
uang kontan. Pukul 23.00 WIB, di Desa Pantai Bahagia. Korbannya seorang guru, istri Idris.
Empat anggota GAM melakukan aksi itu. Mereka menggunakan pakaian loreng, ikat kepala
merah dan lainnya berpakaian preman. Dalam aksi itu berhasil dirampas 4,5 gram emas,
senapan angin, jam tangan dan STNK sepeda motor. Kerugian ditaksir mencapai Rp 900.000.
Peristiwa itu merupakan indikasi dari menipisnya logistik kelompok GPK, disamping makin
sempitnya ruang gerak mereka. Pelaku perampokan itu, akhirnya diciduk oleh tim satuan
ABRI. Dari bosnya Teuku jakfar disita 14 gram emas dan uang sebanyak Rp 205.000.
Seluruh anggota komplotan digiring ke Makorem Lilawangsa tanpa perlawanan. Pemda
Aceh Utara membagi-bagikan bendera merah putih kepada penduduk untuk dipasang di
setiap rumah. Bendera yang terbuat dari kertas berukuran 15+35 sentimeter itu wajib
ditempelkan di bagian depan rumah. Suatu hal yang belum pernah dilakukan di Aceh
sebelumnya.
5 Agustus 1990. pukul 13.30 WIB sekitar 655 warga Seuneudon, Aceh utara menyatakan
ikral setia kepada pemerintah RI. Pernyataan itu dibacakan oleh beberapa wakil penduduk
dalam suatu upacara di Stadion Rawasakti, lhoksemawe, di depan unsur Muspida Aceh
Utara. Hadir Bupati H Ramli Ridwan SH, Kasrem 011/Lilawangsa dan sejumlah pejabat
penting. Selain ikral mereka berjanji tak akan mendukung sedikitpun kegiatan yang
bertentangan dengan tujuan Negara RI. Usai upacara, masyarakat Seuneudon berpawai
bendera merah putih keliling kota Lhokseumawe.
6 Agustus 1990. Di setiap rumah penduduk dan perkantoran di Banda Aceh ditempel dwi
warna, terbuat dari kertas ukuran 15+25 sentimeter. Pemda Kodya Banda Aceh membagikan
50,000 bendera secara geratis. Di kecamatan Syiah kuala, dijatahkan 6000 lembar. Yang tak
kebagian bisa langsung memintanya kepada lurah/kades. Yang hilang, rusak karena angina
atau hujan juga dapat diminta gantinya. Walikota, Drs Baharuddin yahya bilang, pengibaran
merah putih disetiap rumah, dimulai tgl 11 hingga 18 Agustus 1990.
7 Agustus 1990. Menko Polkam Sudomo kepada wartawan seusai Rakor bidang Polkam
mengatakan, soal “GPK Aceh”. Pembahasannya sudah sampai pada finishing talk
(pembicaraan terakhir). Menurut sudomo, situasi keamanan di Aceh mulai pulih dan

17
masyarakat yang selama ini diteror oleh kawasan GAM telah diperkenalkan kembali
ketempat asalnya. Pukul 21.00 WIB, Peltu (purn) A.Jalil Meurah tewas ditembak orang tak
dikenal di Desa Tuha Paloh Raya, Tripa, Pidie, ketika sedang menulis nama-nama petugas
jaga (peronda malam) di pos jaga desa itu. Keterangan dari cucunya Drs Bustami, tembakan
berasal dari tempat gelap. Suara tembakan terdengar beruntun. Dan setelah diperiksa,
ternyata lima butir peluru besarang di dada kiri korban. Ini yang membuat ia ambruk
seketika.
9 Agustus 1990. Pukul 18.00 WIB, Panglima Sago GAM untuk wilayah Kuta Aentang
Pase (membawahi 10 Desa). M. Yusuf Fadilah (37) asal Glumpang Bungkok, Baktiya, Aceh
Utara menyerahkan diri kepada Korem II/Lilawangsa. Tapi menurut Pangdam. Yusuf
menyerah karena merasa tertekan setelah identitasnya diketahui oleh warga setempat.
10 Agustus 1990. Pangdam I/ Bukit Barisan Mayjen HR Pramono mengimbau agar
pengacau keamanan di Aceh menyerahkan diri dan menyadari bahwa jalan yang mereka
tempuh tidak diridhai Tuhan. Kepada mereka yang menyerah dengan keinsyafan dan
kesadaran sendiri, menurut Pangdam akan diperlakukan dengan semestinya dan diterima
dengan tangan terbuka. Pukul 24.00 WIB, sebuah bus ADT merek Daihatsu BL 1545 D
ditemukan terbakar disisi jalan paya rumpeut, Ratno selamat (25 kilometer ke sebelah barat
kota Langsa). Menjadi rangka. Anehnya,sopir dan kernetnya entah kemana (tak ditemukan
jenazahnya). Pemilik Bus itu pun, tak dating untuk melapor.
11 Aguatus 1990. Pukul 14.00 WIB, ditemukan mayat lelaki muda ganteng tak dikenal,
korban tembakan di depan Bank BNI Lampaseh Banda Aceh. Tulang punggung hingga
perutnya bocor kena peluru, jenazahnya sempat sehari semalam disemayamkan di ruang
mayat RSUZA tanpa ada anggota keluarga yang menjenguk. Akhirnya, korban dikebumikan
keesokannya di perkuburan Ie Masen.
12 Aguatus 1990. Pukul 08.00 WIB, sejumlah tiang bendera di depan kantor Camat
Peureulak Ranto Panjang, Aceh Timur ditemukan patah. Kain benderanya dirobek-robek lalu
dicecerkan dijalanan oleh orang tak dikenal. Kejadian yang sama juga menimpa bendera di
SD I Kuala Langsa.
16 Agustus 1990. Pukul 08.00 WIB, ditemukan tiga bendera milik GAM dalam keadaan
terpasang di puncak tiang, persis di depan kantor Camat Blang Pidie Aceh Selatan. Bendera
serupa juga didapati terpasang di depan SD dan kantor Kuakec. Sehari sebelumnya, seorang

18
ditembak mati oleh anggotaABRI di kawasan itu karena menurut ABRI hendak
menyelundupkan ganja berupaya melarikan diri saat di ringkus petugas.
17 Agustus 1990. Pukul 14.00 WIB, sebanyak 36 anggota GAM di Kecamatan
Peusangan, Aceh Utara membuat peryataan setia dan taat kepada Republik, Pancasila, dan
UUD 45, serta mendukung Orba. Mereka, terdiri dari penduduk Cut Rabo Baroh dan Desa
Matang Mamplam. Di bacakan di depan Masjid Jami’ desa itu usai shalat Jumat. Disaksikan
Danramil 0103/20 Peusangan Lettu M. Yusuf Ahmad, Kapolsek Lettu Pol. M. Yusuf Bratan
serta camat setempat Drs Bachtiar Abdullah.
18 Agustus 1990. Pukul 09.00 WIB, 346 warga desa Tanjung Beridi, Peusangan, Aceh
Utara membuat pernyataan kembali kepangkuan RI, serta tunduk kepada Pancasila, UUD
1945 dan pemerintahan Orba. Pernyataan itu dibacakan jubir mereka, Teungku A. Madjid
Idham di depan Dan Satgassus (Kopasus) Mayor Inf (TNI-AD) Heros. Acara di depan kantor
camat itu juga dihadiri Pembantu Bupati wilayah Bireun Drs Adnan Ibrahim, camat Bakhtiar
Abdullah dan Kapolsek. Dalam arahannya, Komandan Kopasus menekankan : Jangan lagi
terpengaruh bujukan para pengacau. Mereka yang masih melawan akan terus dicari dan
ditembak mati. Dinyatakan bahwa ABRI besar, RI juga besar. Jadi, GAM itu tak seberapa.
Bagi orang Aceh sendiri GAM ini hanyalah rekayasa militer untuk menjadikan Aceh daerah
latihan bagi tentara dan orang-orang Muslim Aceh sebagai moving target yang akan
mempertrampil kemahiran menembak serdadu.

C. Mengapa Aceh Dicurigai sebagai Kaum Separatis ?

Lewat buku aceh bersimpah darah khususnya pada bagian "mengapa aceh dicurigai
kaum separatis" , kita bisa menarik beberapa point, diantaranya ; gerakan separatis yang
terjadi di Aceh merupakan realitas dari sikap protes rakyat yang merasa martabat dan
kedaulatannya diusik dan dirusak oleh pemerintah pusat. Aceh juga merasa dianaktirikan
oleh pemerintah pusat. Padahal dalam aspek apapun, peran Aceh dalam proses kemerdekaan
dan pembangunan Indonesia memiliki andil yang cukup besar, terutama bila dibandingkan
dengan beberapa daerah lainnya di Tanah Air. Peleburan Propinsi Aceh yang disertai dengan
tidak memadainya pembagian kekayaan daerah, termasuk tidak diperbolehkannya Aceh
melaksanakan syariat Islam, merupakan penyebab utama munculnya gejolak di Aceh.

19
Ditambah lagi sikap aparat keamanan didaerah ini, yang dianggap tidak manusiawi oleh
sebagian masyarakat Aceh dalam menangani kasus-kasus yang ada.

Lewat historisnya, pergerakan separatis di Aceh dimulai sejak masa orde lama yang
di tandai dengan munculnya gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara islam indonesia) tahun
1953, gerakan ini merupakan bukti dari sikap ketidakpuasan Aceh kepada pemerintah pusat
dibawah masa pemerintahan Soekarno. Walaupun begitu, satu hal harus dicatat, para
generasi muda Aceh serta pemimpin DI/TII tetap ingin berada dalam satu kesatuan negara
Republik Indonesia. Karena itulah angkatan bersenjatanya pun dinamakan dengan Tentara
Islam Indonesia yang keseluruhannya disingkat dengan DI/TII. pergolakan DI/TII pimpinan
Daud Beureuh, murni pergolakan melawan pemerintah pusat RI yang “di pengaruhi
komunis”. alasan pertama yang menjadi latar dari gerakan DI/TII Aceh adalah kekecewaan
para tokoh pimpinan masyarakat di Aceh atas dileburnya provinsi Aceh ke dalam provinsi
Sumatra Utara yang beribukota di Medan. Peleburan provinsi itu seakan mengabaikan jasa
baik masyarakat Aceh ketika perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Republik
Indonesia dimasa revolusi fisik kemerdekaan Indonesia (1945-1950). Alasan lain yang
melopori gerakan inipun, karena aceh ingin menegakan hukum syariat islam didaerahnya.

Setelah Gerakan DI/TII ada pula Gerakan Aceh Merdeka (GAM),Gerakan Pengacau
Keamanan (GPK) atau Gerakan Pengacau Liar (GPL), yang lebih disebabkan karena
kebijakan pemerintah pusat yang dianggap tidak tidak mengguntungkan daerah dan rakyat
Aceh. GAM ini adalah ciptaan Soeharto bersama Jendral Moerdani dan "Jendral-jendral
kacil" lainnya. Ada kesan Aceh merupakan sapi perahan pemerintah pusat. Ini dibuktikan
dengan kurangnya perhatian dalam pengembangan ekonomi rakyat Aceh dan daerah muslim
lainnya secara lebih proposional. GAM yang dibentuk dan dipimpin oleh Hasan Tiro pada 4
Desember 1977 ini, menginginkan kemerdekaan Aceh-Sumatera, sebagai Negara dan bangsa
yang berdaulat di atas tanah Sumatera mulai dari Sabang, Riau Kepulauan, timur Sumatera,
Bangka-Belitung, hingga Bengkulu. Dasarnya diambil dari situasi ketika berkuasanya Sultan
Iskandar Muda, 1603-1637.

Dengan dukungan beberapa surat kabar di pusat dan daerah yang loyal kepada
pemerintah yang zalim ini, maka terbodohilah beberapa intelektual dan politisi serta rakyat
awam secara sukses sehingga seakan- akan Gerakan Aceh Merdeka Itu Ada. Padahal gerakan

20
itu bagi orang-orang Aceh seperti hantu di balik layar; sudah hantu, di balik layar lagi! Mana
mungkin pernah terlihat. Dengan sedikit energi intelektual dan secuil emosi keagamaan yang
masih tersisa, kita akan menyimpulkan bahwa Gerakan Aceh Merdeka itu hanya ada dalam
pikiran-pikiran sesat elit polit Orde Baru Jahiliyah. Kepala-kepala merekalah yang harusnya
diberondong dengan peluruh, bukan rakyat sipil Muslim Aceh yang tidak berdosa itu.

Sejak proklamasi GAM-nya Hasan Tiro tahun 1976, gerombolan pengacau ini kian
ramai didesas-desuskan, apalagi setelah ditinggal kabur Tiro yang katanya berkantor di
Swedia. Katanya diantaranya ada yang dilatih di luar negeri. Isu GPK dilatih di Libya sudah
dibantah, tetapi sebelumnya di Aceh juga berserak desas-desus tentang anggota GPK yang
lari kini bermukim di Perak (Malaysia), selain ada yang berlatih di Pattani. Aceh baru dikata
aman, setelah aksi pergolakan, Daud Beureuh mereda. Namun kemudian berlanjut lagi
dengan pemberontakan lokal yang terpengaruh ide separatisme ala Tiro yang hidup di luar
negeri. ABRI sebagai aparat keamanan, tentunya tak tinggal diam. Sebab aksi ini bukanlah
sekadar angkat suara dan rebut di meja rapat, namun berupa kontak senjata dan aksi maut
lainnya.

Hasan Tiro dengan keberaniannya untuk terus menipu rakyat Aceh, berkeliling ke
seluruh Aceh, terutama Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur yang diperkirakan
lebih rawan, untuk menyampaikan kepada bekas anak buah DI/TII bahwa gerakan yang
sedang di rencanakan Hasan Tiro itu sangat tidak masuk akal, sangat berbahaya bagi rakyat.
Teror Hasan Tiro yang diberinya nama muluk “Gerakan Aceh Merdeka” telah pecah. Para
pendukungnya telah melakukan terror di beberapa tempat. Mereka yang sangat fanatik
keadaan di Aceh memang tidak dapat diubah lagi. Masih banyak tokoh yang bersimpati
kepada Hasan Tiro, karena kurang memperoleh informasi yang benar.

Pemerintah Orde Baru dengan kekuatanya, segera mengantisipasi gerakan pengikut


Tiro ini. Berbagai aksi militer dilancarkan, sebagai reaksi atas gangguan keamanan di Aceh.
Gerakan pengacau liar (GPL) ini, mulanya bergerilya di hutan sekitar Kabupaten Aceh Besar,
pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. lama- kelamaan GPL ini menyebar dan bergerilya”
berdasarkan konsep, bersenjata api, dan memiliki massa”. Nama gembong GPL seperti
Yusuf Ali, pawang Rasyid dan Robert alias Dharma Bhakti (anggota desersi Batalion 111 di
Aceh Timur) dan semua pengikutnya, menjadi sasaran operasi militer di sana.

21
Peran pemerintah dalam menumpas gerakan separatis dengan mengadakan DOM
(daerah operasi militer) ini ternyata juga memiliki imbas yang negatif bagi masyarakat Aceh.
Dari berbagai operasi militer, serta penentuan beberapa daerah tertentu sebagai Daerah
Operasi Militer (DOM), masyarakat Aceh di sekitarnya tidak jarang menjadi korban
kesewenangan, atau pun korban kesalahan penganan anggota ABRI, maupun oknum aparat
keamanan operasi.

Banyak janda di Aceh yang suaminya hilang atau tewas akibat kekerasan aparat.
Hilangnya para suami meliputi berbagai cara, antara lain ditembak, ditangkap, dibunuh, dan
dibuang di suatu tempat seperti pinggir jalan. Dengan perlakuan tersebut, para janda dan juga
masyarakat Aceh trauma dan tidak berani mengungapkannya. Sementara itu, kaum laki-laki
yang masih berada di lokasi rawan tindak kekerasan aparat, terpaksa melarikan diri ke luar
negri, terutama Malaysia.

Pelarian itu bukan semata-mata untuk mencari nafkah, melainkan untuk menghindari
rasa takut dan tuduhan sebagai anggota gerakan pengacau keamanan (GPK) dan
menyelamatkan nyawa. Bukti kesewenang-wenangan aparat keamanan terhadap rakyat Aceh
bisa di lihat dari salah satu penuturan warga dalam buku ini, " Salah satunya, M Daud aliyas
Daud Paneuk, diakui secara jujur oleh keluarganya, ia telah lama bergabung dengan GPK
(1977) dan tak pernah kembali. “Itu urusan bapak saya. Kami tidak tahu menahu. Tapi,
kenapa rumah kami sampai dibakar,” lapor Maryani Umar (45), sang anak. Ia minta
“pemerintah” menganti rumahnya. Lima rumah lainnya yang dibakar masing-masing rumah
Khatijah/Abdurrahman (di Dayah Teumanah, Tripa), rumah Abd. Yunus/Rasyidah dan
rumah Syahbuddin/Nurmala (kedua nya di Pasi Lhok, Kembang Tanjong), rumah Saidi
Ahmad/ Ummi Kalsum dan rumah Ilyas Ahmad/Maimunah (di Lancang Kembang Tanjung).
Para istri dan anak yatim yang ditinggal itu punya harapan senada: minta diganti rumahnya
dan disantuni. Sementara, enam sepeda-motor yang ikut “diculik” (tak jelas dosanya)
bermerek sama: Honda Astrea. Masing-masing milik Jamaluddin (Astrea Grand), M.Husen
Yakob (Astrea Star BL 6100 P), Aiyub Ali (Grand Jumbo BL 3151 P), Usman Ahmad
(Astrea Star BL 4903 KF), dan Syaripuddin Asih (Astrea 800). Sedangkan Astrea 800 yang
diambil dari Abdul Wahab Ali ternyata punya temannya yang kini ditagih-tagih oleh sang
teman kepada istrinya."

22
Lewat penuturan diatas tergambar jelas bahwa aparat keamanan pasca operasi militer
bertindak sewenang-wenang dengan membakar rumah keluarga GPK, walau hanya ada satu
orang anggota keluarganya yang tergabung menjadi GPK, tapi satu keluarga menerima imbas
dengan dibakarnya tempat tinggal mereka. Dari sini terlihat jelas bahwa aparat kurang
memanusiakan manusia, dan lebih memilih memukul rata sama semuanya. Entahlah apakah
ini bisa dikatakan akibat dari kekuasaan yang sentralisasi, sehingga aparat memiliki kuasa
yang tanpa batas. Terlepas dari gerakan operasi militer dan sebagainya, akhirnya operasi
militer sempat diberhentikan. Lewat pimpinan ABRI, Miranto memutuskan bahwa
keamanan Aceh sepenuhnya diserahkan kepada rakyat Aceh sendiri, yaitu kepada para
ulama, para tokoh masyarakat, para guru, para pejabat pemerintah dan seluruh lapisan
masyarakat, termasuk satuan-satuan ABRI milik polda dan Koren- Koren Aceh sendiri.
Keputusan mengakhiri era operasi militer di Aceh tidak hanya berdasarkan analisis situasi
keamanan semata-mata tapi diputuskan secara hati nurani untuk menghentikan penderitaan
rakyat dan kesulitan aktivitas sipil di daerah ini. Bahkan Jenderal Wiranto telah
mengharamkan penggunakan kata “GPK” yang dikaitkan dengan nama daerah Aceh tetapi
cukup menyebut GPL (Gerakan Pengacau Liar) dengan nama kelompok pengacau
keamanannya.

Rakyat Aceh tidak pernah, dan tidak akan pernah menonjolkan pemikiran ego sektoral
dan ego kedaerahan. Justru rakyat Aceh lah yang acapkali berdiri paling depan dalam
menampilkan komitmen berbangsa.

Masalah pelanggaran HAM ABRI jangan menutup mata atas realitas yang terjadi.
Meskipun saat pelanggaran itu terjadi, mereka dalam suasana penugasan penumpas GPK
bersenjata, namun buat ABRI itu bukan alasan untuk boleh melakukan hal-hal yang tidak
terpuji. Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada setiap manusia, dan itu adalah
pemberian Allah SWT. Menyalahgunakan kekuasaan untuk menindas manusia lain, adalah
perbuatan zalim yang dibenci Tuhan. Banyak prajurit yang harus dijatuhi hukuman akibat
perbuatannya pada saat operasi yang lalu.

Kondisi Indonesia dalam hal Aceh inipun tak luput dari labelling dari dunia
internasional, apriori orang Australia terhadap warga Aceh yang mereka nilai "fundamentalis
dan separatis." Namun, setelah mendapatkan pemaparan yang jelas dari orang-orang AS

23
yang datang ke Aceh secara diam-diam yang mendapatkan kenyataan bahwa orang Aceh
adalah rakyat kecil yang tidak tau apa-apa, kaum tertindas dan bukan kaum separatis yang
hak azasinya telah terinjak-injak; barulah pandangan negatif kaum pengamat dan politisi
Australia berubah total.

Rakyat tidak hanya menuntut pencabutan DOM, tetapi juga menuntut dampak yang
ditimbulkan oleh DOM. Kehadiran DOM di Aceh telah menginjak-injak harkat dan martabat
manusia. Sekarang rakyat Aceh dengan dukungan masyarakat intelektual tidak pernah
berhenti menuntut ditegakkanya hak-hak asasi manusia di Aceh ini.

Pemerintah harus menuntut tuntas kasus pemerkosaan yang menimpa wanita Aceh
selama di wilayah itu di berlakukan status Daerah Operasi Militer (DOM). Kasus
pemerkosaan di Aceh yang dilakukan aparat keamanan diusut dan ditangani dengan
sungguh-sungguh, seperti kasus serupa pada Mei 1998. Perempuan Aceh adalah perempuan
Indonesia juga, karena itu pemerintah harus menegakan hak-hak perempuan Aceh sama
dengan perempuan lain dimanapun di Indonesia. Adalah hal yang tragis dan ironis, jika
aparat keamanan, yang notabene harus melindungi rakyat dan menegakan hukum, justru
melakukan pemerkosaan. Lalu kepada siapa rakyat harus meminta perlindungan, dan kepada
siapa rakyat menyandarkan rasa cemasnya. Jangan biarkan Srikandi- Srikandi Bangsa ini
menjadi layu, karena kehormatan wanita bukan milik Negara yang bisa dipakai oleh siapa
saja. Beberapa mantan pejabat sipil dan militer bertanggungjawab atas terjadinya kasus yang
merupakan pelanggaran HAM tersebut, antara lain Feisal Tanjung, Try Sutrisno, LB
Moerdani, HR Pramono, Syarwan Hamid, Sofyan Effendi, dan Ibrahim Hasan.

D. Sumbangan- Sumbangan Aceh terhadap Republik Indonesia

Jauh sebelum RI diproklamirkan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,


Aceh telah menjadi sebuah negeri yang berdaulat. Aceh tercatat sebagai kerajaan Islam pertama
di Asia Tenggara. Seperti yang pernah ditulis Prof. Dr. Denys Lombard dalam buku yang berjudul
“Le Sultant d’ Atjeh Au Temps d’Iskandar Muda” yang diterbitkan di Paris pada tahun 1967, bahwa
sejarah Aceh telah gemilang dan mencapai puncaknya pada zaman Sultan Iskandar Muda. Seorang
sarjana Barat lainnya, Dr. Wilfred Canwell Smith (1959) memperkuat lagi dalam “Islam in Modern
Hystory”. Smith menyebutkan bahwa pada abad XVI di dunia telah lahir empat kerajaan besar
Islam. Keempat tersebut adalah Kerajaan Maroko di Afrika Utara, Kerajaan Turki Usmaniyah di

24
Asia Kecil, Kerajaan Agra di India, dan Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara. Ini semua
membuktikan pengakuan dunia internasional. Negara kepulauan yang maju ini bahkan mempunyai
hubungan diplomatik dengan negara-negara asing. Ini terbukti hingga pemerintah Sultan berakhir
pada tahun 1903, yakni pemerintah Sultan Daud Syah ditawan Belanda, ia menulis surat kepada
Kaisar Jepang melalui Konsul Jenderal Jepang di Singapura. Isinya, antara lain ia minta bantuan
untuk melawan Belanda. Dalam perjuangan melawan penjajah, Aceh juga mempunyai catatan
sejarah yang panjang. Tercatat nama-nama tokoh pejuang Aceh seperti Teungku Chik Di Tiro,
Teuku Panglima Polem, Tjut Nyak Dien, dan pahlawan lainnya.

Pada perkembangan politik pasca kemerdekaan RI, Aceh mengalami pasang surut yang
panjang, yang ditandai pergolakan sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap kebijakan
pemerintah pusat (Jakarta). Ada beberapa momentum yang menarik dalam perkembangan
hubungan Aceh-Jakarta. Ketika proklamasi dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di
Jakarta, masyarakat Aceh sibuk dengan penyelesaian masalah perlawanan terhadap Jepang. Sisa
masalah hubungan dengan pihak Belanda masih terasa cukup kental, yang telah membelah
masyarakat Aceh ke dalam dua kubu: kubu pendukung kelompok establish yang diwakili golongan
uleebalang ditambah beberapa ulama istana yang tradisionalis, dan kubu ulama yang reformis
kritis, yang bersama rakyat membangun kekuatan oposisi. Ketika Belanda kembali menguasai
Yogyakarta, godaan Teungku Mansyur dari Sumatera Timur untuk mendirikan negara sendiri
ditampik dengan tegas oleh para ulama dan tokoh masyarakat. Tokoh ulama Aceh terkemuka,
Teungku Muhammad Daud Beureueh berhasil memberi argumentasi dihadapan ulama lainnya.
Bagi Aceh, katanya, hanya ada satu negara: Negara RI. Hanya ada satu perang: Perang Sabil,
membela Negara Kesatuan RI. Kegagalan Daud Beureueh bernegosiasi dengan Bung karno untuk
meminta status khusus bagi daerah Aceh yang memberlakukan syari’at Islam, menghasilkan benih
kekecewaan awal dari masyarakat Aceh, yang kemudian membuahkan malapetaka. Kondisi ini
kurang dipahami para pemimpin Jakarta. Kebijakan membubarkan Propinsi Aceh yang kemudian
dilebur ke dalam Propinsi Sumatera Utara oleh Kabinet Natsir, merupakan tindakan yang sangat
melukai harga diri masyarakat Aceh. Akhirnya semua maklum bahwa apa yang terjadi setelah
puncak kekecewaan ini tak dapat ditawarkan lagi. Lalu meletuslah peristiwa September 1953, yang
kemudian dikenal dengan peristiwa Darul Islam (DI) di Aceh. Ini merupakan titik balik dan
menjadi anti-klimaks dari sebuah kemesraan yang terbangun di masa awal kemerdekaan dulu.
Pada awal 1960-an, kebekuan mulai cair dengan Ikrar Lam Teh dan Musyawarah Kerukunan

25
Rakyat Aceh. Teungku Muhammad Daud Beureueh beserta pengikutnya bersembunyi di hutan
kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Gubernur Aceh Ali Hasjmy, dengan sangat cerdik
memanfaatkan momentum ini untuk merehabilitasi pembangunan, yang terfokus pada perintisan
perguruan tinggi di Darussalam, Banda Aceh. Pada saat itulah cikal akal IAIN Ar Rainry dan
Universitas Syiah Kuala diletakkan, dan Presiden Soekarno menandatangani piagam pertama. Ini
merupakan awal dari munculnya kepercayaan Aceh terhadap itikad pemerintah pusat untuk
mengembalikan Aceh pada posisi yang sewajarnya.

Keadaan berlangsung pulih dan membaik, hingga pemerintah Orde Baru muncul pada
1966. Pada masa ini perkembangan politik Aceh masih diwarnai oleh kemenangan partai-partai
Islam. Kehadiran Golkar pada tahun 1972 merupakan faktor yang di kemudian hari memberikan
arah signifikan karena Golkar telah dijadikan suatu indikasi dalam mengukur loyalitas daerah
terhadap kekuasaan pusat di Jakarta. Kemesraan Aceh-Jakarta mulai terganggu lagi ketika rakyat
Aceh mulai merasakan perlakuan yang tidak adil oleh pemerintah pusat, terutama ketika proyek-
proyek besar di Aceh Utara mulai dirintis. Tingkat penyerapan tenaga kerja lokal yang rendah,
marjinalisasi petani karena lahan produktif yang terampas untuk industri, dan berbagai tindakan
yang tidak populer telah menjadi lahan subur bagi suatu gagasan perlawanan Hasan Tiro, yang
kemudian dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976. Gerakan ini dapat
diredam dengan kekerasan militer, dan hingga tahun 1980-an praktis tak terdengar lagi
aktivitasnya. Realitas ini dimanfaatkan Ibrahim Hasan, gubernur Aceh pertama yang mampu
memenangkan Golkar dalam Pemilu di Aceh. Negosiasi dengan pemerintah pusat pun dilakukan
dengan memanfaatkan momentum ini, untuk sebuah rehabilitasi sosial dan memacu pembangunan.
Jumlah dan APBN pun meningkat tajam. Kekecewaan baru muncu kembali di kalangan
masyarakat luas, manakala penyusunan daftar calon legislatif untuk DPR pusat yang tak terwakili
aspirasi daerah. Dominasi DPP Golkar menonjol karena sebagian wakil rakyat Aceh untuk DPR
pusat tidak mengakar dan memahami aspirasi Aceh. Keadaan menjadi lebih buruk, ketika Daud
Beureueh meninggal dunia. Sejak itulah kekecewaan di kalangan pemuda dan mahasiswa mulai
bersemi dan mulai mengemuka.

Dalam konseptual semacam ini, bagaimana masyarakat menyatukan dirinya ke dalam


“negara”?. Situasi yang terpecah belah, seruan menyatukan diri ke dalam wadah sebuah negara,
bisa jadi sangat asing di telinga mereka. Maka mungkin dalam perspektif inilah pengalaman

26
masyarakat Aceh bersua-wajah dengan “negara”, bisa menyumbangkan sesuatu yang perlu
direnungkan. “Negara” itu memang benar-benar lahir sebagai “pendatang baru”, terutama di mata
masyarakat hadir tanpa power, kecuali daya imbau. Maka, seperti terjadi di mana-mana, kelahiran
dan daya hidup “negara” di Aceh disambut dan dipertahankan dengan mengorbankan darah dan
harta”. Pada tanggal 4 Oktober 1945 misalnya, sebuah telegram dilayangkan dari Aceh dari
kalangan yang menyatakan diri “Pahlawan Toea” kepada Presiden RI: “Kami pahlawan-pahlawan
toea di Atjeh, jang pernah bertempoer dengan Belanda poeloehan tahoen, siap oentoek
bertempoer kembali oentoek kemerdekaan Indonesia”. Telegram itu ditutup dengan pernyataan
yang khas: “Oeroesan diplomasi terserah kepada toean-toean, dan boeat menjandang sendjata
serahkan kepada kami. Anak-anak kami, pahlawan-pahlawan moeda siap bersama kami.”
Kesiapan membela negara tidak hanya disambut dengan kesiapan menumpahkan darah, tapi juga
dengan harta. Dalam situasi semacam itu, terutama di pihak masyarakat, “negara” hadir dalam
sosoknya yang dikenal. Dan karenanya, mereka rela mengorbankan segala sesuatu untuk hal yang
dikenalnya. Proses persuaan awal masyarakat dan negara merupakan bagian yang terpenting untuk
memahami hubungan antara keduanya di masa kini. Bukan saja untuk konteks Aceh, tetapi juga
untuk seluruh masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Tapi, dalam konteks masyarakat Aceh,
persuaan itu selama dekade 1970-an dan 1980-an menjadi lebih khusus. Dalam periode itu, peran
kognitif masyarakat Aceh telah menangkap beragam cara kehadiran “negara” ke hadapan mereka,
terutama setelah huru-hara Aceh 1950-an mereda.

Dalam periode itu, kehadiran negara lebih bersifat dramatis. Wajahnya kini terwakili oleh
industrialisasi besar-besaran di Aceh Utara. Rakyat Aceh yang sebagian besar berasal dari dunia
perladangan, terpengaruh melihat kenyataan baru itu. Mereka melihat gedung-gedung mentereng,
jalan-jalan besar dan licin, bandara udara, pesawat-pesawat dan para penumpangnya yang turun
dan hilir mudik Lhokseumawe-Medan atau Jakarta. Ada ketakjuban luar biasa terhadap
penampilan “negara” yang megah itu. Maka, jika kita rekonstruksikan secara imajinatif, wilayah
“negara” di Aceh dalam perspektif masyarakat, adalah enklaf-enklaf tersendiri yang serba modern
dan didukung oleh kalangan masyarakat tersendiri karena lebih banyak dianggotai oleh golongan
non-Aceh dan bahkan asing. Kehadiran dramatis itu kemudian dilengkapi dengan kejadian lain.
Serentak dengan proses industrialisasi itu, Aceh megalami kejutan baru, timbulnya sesuatu yang
menyebut dirinya Gerakan Aceh Merdeka. Gerakan ini telah menimbulkan kegoncangan yang
mengancam keamanan. Namun, kejadian yang juga dramatis ini telah mendorong kehadiran

27
“negara” dalam bentuknya yang lain, yang kali ini diwakili oleh pasukan keamanan. Kemampuan
tempur dan kecanggihan teknologi persenjataannya juga telah membuat masyarakat Aceh
terperangah. Pengalaman politik kontemporer masyarakat Aceh ini memperlihatkan betapa
“negara” kini telah tumbuh kuat. Dan justru pada puncak kekuatannya, ia menjadi asing dan berada
di luar jangkauan perspektif subyektif masyarakat.

Melihat persoalan ini sedikit lebih mendalam, kita akan bertumbuk dengan sistem
kekuasaan tipikal Aceh pra kolonial pada tiga aktor utama kekuasaan: sultan, uleebalang, dan
ulama. Seperti dikatakan Nazaruddin Sjamsuddin, melalui aktivitas ketiga aktor tersebut,
keseimbangan politik, sosial, dan budaya Aceh dapat terkontrol. Ini terutama terjadi karena
ketiganya tumbuh secara alami dalam masyarakat Aceh itu sendiri. Keseimbangan itu runtuh
ketika Belanda mendominasi Aceh. Belanda secara otomatis menggantikan posisi Sultan. Kaum
uleebalang, seperti yang terjadi pada kaum priyayi di Jawa, secara perlahan-lahan
terdomestifikasikan. Tetapi, kaum ulama memilih melanjutkan perjuangan melawan Belanda.
Inilah titik crucial sejarah sosial-politik Aceh. Kosongya kepemimpinan Sultan dan uleebalang
memberikan kesempatan luas bagi ulama untuk mengembangkan kepemimpinannya yang
distingtif. Perlahan-lahan mereka tumbuh sebagai penafsir yang paling sah atas realitas ke-Aceh-
an. Maka tidak mengherankan jika perubahan struktur dan aktor kekuasaan, di atas itu, muncul
kaum ulama sebagai pemimpin pribumi yang paling riil ini telah mempercepat transformasi Islam,
dari sekedar “agama” ke arah ideologisasi Islam. Regiditas ulama melawan Belanda, munculnya
POESA (Persatuan Oelama Seloeroeh Atjeh) pada 1930-an dan kemenangan beruntunnya dalam
“revolusi sosial” memberikan kesempatan kepada mereka untuk menformulasikan gagasan-
gagasan politik dan kebudayaan yang sesuai dengan tujuan-tujuannya. Formulasi gagasan itu dapat
diringkas sebagai pandangan dasar masyarakat dan politik Islam apa yang disebut sebagai
discourse ulama. Dengan demikian, di akhir masa kolonial dan awal kehadiran “negara”,
kesadaran sosial-politik masyarakat Aceh telah terlingkupi oleh discourse tersebut.

Bagi yang mengamati masyarakat Aceh kontemporer dan mengikuti dari dekat proses
pemilihan umum 1992, akan merasakan kehadiran “negara” ke dalam masyarakat Aceh, melalui
kemenangan Golkar. Golkar dijadikan standar karena ia merupakan perwujudan politik “negara”
yang paling konkret di hadapan masyarakat. Lembaga yang memberikan wadah bagi kehadiran itu
adalah panggung kampanye dan penampilan wakil-wakil “negara” secara lebih spesifik. Sejauh

28
yang bisa dilihat, panggung dan aksi kampanye di Aceh telah menjadi focused interaction
memakai konsep Erving Goffman secara serampangan, karena gerak umum partisipannya
mempunyai fokus tertentu. Dalam ritual politik yang sesungguhnya asing itu, “negara”
mendapatkan warna lokalnya. Di atas panggung, massa tak lagi banyak melihat tokoh-tokoh
nasional atau orang-orang yang secara simbolik tak dikenal masyarakat, melainkan pentas itu telah
dibalut oleh pertunjukan-pertunjukan lokal. Melalui media bahasa daerah di atas panggung, yang
merupakan artikulasi kehadiran “negara” mendapatkan proses vernacularization, membuat
“negara” hadir lebih konkret dalam sistem kognitif masyarakat dan lebih familiar. Tapi, jalan
terpenting masuknya “negara” adalah melalui penelusuran discourse ulama. Dalam konteks ini,
Golkar dan wakil-wakil “negara” di Aceh telah membalut dirinya dengan simbol yang dikenal oleh
masyarakat. Maka ritual pemilu menjadi sarana penting. Panggung-panggung kampanye secara
kasat mata tampak riuh-rendah dengan teriakan dan sikap kekanak-kanakan, yang diatasnya
masyarakat berkesempatan memproyeksikan makna subyektif mereka atas “negara”. Tapi, di atas
itu, para wakilnya juga berkesempatan menghadirkan “negara” menurut wajah yang
teridentifikasikan oleh “discourse” setempat. Proses kehadiran “negara” itu berlangsung secara
rumit, berliku, dan menuntut pengenalan lapangan serta kegigihan elite Aceh. Dengan menelusuri
liku-liku discourse ulama yang telah mapan, “negara” bisa terterimakan di Aceh karena ia telah
dibungkus dengan simbol yang dikenal oleh masyarakatnya.

E. Lust of Power Soeharto untuk Mengeruk Kekayaan Alam dan Memiskinkan Aceh

Dalam sebuah proposalnya, ilmuwan politik Profesor Nazaruddin Sjamsuddin mengajukan


beberapa artikel yang membahas sebab dan akibat serta proses pemiskinan rakyat di Aceh.
Tanggapan masyarakat terhadap data baru desa miskin yang dikeluarkan BPS belum lama ini,
kurang seru dibandingkan reaksi terhadap data sebelumnya. Apabila kita perhatikan tabel desa
miskin BPS, ada beberapa hal yang sangat menarik perhatian, diantaranya :

1. Dari 8 Provinsi di Sumatera, ternyata Aceh menduduki ranking teratas dalam pemilikan
desa miskin, yaitu 40,32% dari keseluruhan desanya. Bahkan dengan 2.275 desa miskin,
Aceh merupkan provinsi yang kedua terbesar jumlah desa miskinnya. Aceh hanya kalah
dari Jawa Tengah yang memiliki 2.439 desa atau 28,71% dari keseluruhan desanya.

29
2. Provinsi yang paling sedikit memiliki desa miskin di Sumatera, adalah Jambi sebanyak
24,38%. Tetapi, angka ini cukup jauh di bawah presentase terendah di Jawa di luar DKI
Jakarta, yaitu 21,98% yang dimiliki Jawa Barat.
3. Kalau yang kita perbandingkan disini hanya Jawa dan Sumatera saja, dapat dikatakan
bahwa selama ini telah terjadi pergeseran wilayah kemiskinan dari Jawa ke Sumatera.
Keadaan ini jelas telah mengubah asumsi yang dianggap benar sejak masa kolonial hingga
awal orde baru. Atau dengan kata lain selama ini telah terjadi proses pemiskinan di
Sumatera.

Ketika ditelaah lebih lanjut, ternyata apa yang terjadi bukan hanya terbatas pada perubahan
peta kemiskinan saja. Lebih dari itu, diluar dugaan ilmiah, ternyata selama ini pembangunan
pedesaan di daerah-daerah penghasil devisa utama kurang diperhatikan. Bahkan cenderung lebih
sering dilakukan eksperimentasi politik di desa-desa yang sebenarnya adalah lumbung padi
nasional, seperti Tangse dan Geumpang di Pidie. Kesimpulan yang demikian tidak bisa
dihindarkan, sebab ternyata konsentrasi desa miskin dalam jumlah yang sangat besar pada
umumnya terletak di daerah-daerah penghasil bahan mineral untuk ekspor. Kecenderungan
semacam ini bukan hanya ditunjukkan oleh data tentang Aceh. Riau yang juga merupakan
penghasil devisa utama kita, ternyata mempunyai desa miskin sebanyak 36,33% dari jumlah
seluruh desanya. Menduduki ranking kedua di Sumatera, kondisi Riau juhga lebih buruk daripada
keadaan pedesaan Jawa Tengah. Kecenderungan yang sama dialami pula oleh 2 daerah sumber
utama mineral kita yang lain, yaitu Kalimantan Timur dan Irian Jaya. Dalam hubungan ini, data
BPS mencatat presentase desa miskin di Kalimantan Timur dengan 45,70% dan Irian Jaya 77,52%.

Perekonomian Desa di 4 provinsi tadi memang lebih buruk daripada desa-desa di


kebanyakan provinsi di luar Jawa. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi pembangunan yang terlalu
ditekankan pada pengembngan sektor mineral dan sarana-sarana pendukungnya. Selain terlalu
tergantung pada pesawahan. Padahal beras merupakan komoditi pertanian yang harganya
tergolong paling murah di negeri kita. Secara umum dapat dikatakan bahwa telah terjadi proses
pemiskinan di sebagian pedesaan kita. Tampaknya, inilah yang dapat menjadi salah satu faktor
penyebab masih adanya sekitar 31,47% desa miskin di seluruh Indonesia.

Oleh karena itu, menurut Profesor Nazarudin Sjamsuddin (Professor Ilmu Politi,
Universitas Indonesia), usaha mengentaskan kemiskinan di pedesaaan haruslah ditujukkan secara

30
langsung kepada faktor yang secara umum sangat menimbulkan pemiskinan tersebut. Faktor
penyebab timbulnya proses pemiskinan itu bervariasi tiap daerahnya. Walaupun demikian, tidak
berarti bahwa sesuatu faktor yang berlaku di provinsi sama sekali absen di daerah-daerah lain.
Sejauh menyangkut pedesaan di Aceh, dalam tinjauan professor Nazaruddin, memperlihatkan
bahwa faktor yang secara umum sangat menentukan adalah tiadanya sinkronisasi pembangunan
sarana pertanian dengan perbaikan kehidupan petani. Pembanguna irigasi secara besar-besran
justru berlangsung pada saat kehidupan para petani sedang mengalami kemerosotan secara
berkelanjutan. Dan, pada saat yang sama, tidak ada usaha untuk mengendalikan kemerosotan itu.

Di satu pihak terlihat bahwa program pemerintah terlalu terpusat pada usaha menjadikan
Aceh sebagai lumbung beras utama di Sumatera. Usaha ini memang berhasil, tetapi ia tidak secara
otomatis dapat meningkatkan kehidupan para petani. Di lain pihak, dari kacamata politik
Nazaruddin, tampak pula ada keinginan di sementara kalangan untuk “membuktikan” bahwa Aceh
benar-benar sedang membangun. Hal ini dengan sendirinya mengalihkan tujuan pembangunan
dari menyejahterakan rakyat kepada tujuan-tujuan politik.

Salah satu wujud kemerosotan kehidupan petani itu tampil dalam gejala tersingkirnya
sebagian mereka dari lahan pertanian. Tekanan ekonomi yang antara lain disebabkan oleh tidak
seimbangnya harga beras dengan harga komoditi lain, telah menyebabkan banyak petani menjual
sawah mereka. Di lain pihak, karena harga beras kurang menarik, maka harga jual lahan pun
menjadi rendah. Peluang ini benar-benar dimanfaatkan oleh kaum yang lebih mampu, baik yang
berada di desa itu sendiri maupun di kota-kota. Akibatnya terjadi peralihan peranan, dari petani
yang memiliki tanag menjadi petani penggarap. Tetapi, situasi ini pun sama sekali tidak ramah.
Pada saat mereka menjadi petani penggarap, prodesi ini juga digrogoti oleh mereka-mereka yang
berduit. Akibatnya, berkuranglah jumlah dan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh petani-
petani penggarap itu.

Selanjutnya, menurut penelitian akurat Professir Nazaruddin memperlihatkan bahwa


jumlah dan jenis pekerjaan yang semakin berkurang itu mengakibatkan para penggarap semakin
tergantung dari pemilik sawah. Hal ini, dengan sendirinya pula mempengaruhi tingkat upah di
pedesaan. Dampak yang diterima oleh para penggarap luar biasa besarnya, yaitu mereka harus
membiasakan diri hidup dalam situasi baru. Mereka menjadikan pemilik tanah sebagai sumber
utan, sehingga mereka terus terikat kepada pemilik sawah. Dengan demikian, pilihan yang mereka

31
punya adalah menerima upah yang rendah dengan kesempatan memperoleh utang atau
menganggur dan tidak bisa lagi berutang.

Uraian diatas tampak seakan-akan bernada mengecam modernisasi pertanian. Tetapi apa
yang sesungguhnya dipersoalkan adalah bagamana cara me-modernisasikan pertanian, tapa
mengakibatkan para petani digilas oleh kemajuan itu. Modernisasi tidak seharusnya
mengakibatkan alat-alat produksi terlepas dari tangan mereka. Kalau itu yang justru terjadi, maka
mereka tidak akan pernah dapat memanfaatkan sarana-sarana fisik yang telah dibangun oleh
pemerintah selama lima pelita. Tentu saja hal ini sama juga halnya dengan mengatakan, bahwa
mereka tidak menikmati hasil- hasil pembangunan.

Oleh karena situasinya memang sudah terlanjur demikian, dengan geram professor
Nazaruddin yang sangat mengerti setiap jengkal tanah Aceh ini mengajukan solusi radikal, bahwa
kini pengentasan kemiskinan haruslah secara langsung bertujuan memperbaiki kehidupan para
petani dan penggarap yang selama ini telah dirugikan oleh dampak negatif pembangunan oleh
negara. Untuk itu, bantuan Inpres Desa Tertinggal tidak ditujukan pada pembangunan secara fisik
desa, melainkan pada usaha-usaha yang secara langsung dapat meningkatkan pendapatan petani.
Barangkali, ada 3 hal yang perlu kita ingat :

1. Komitmen pemerintah pada pengentasan kemiskinan janganlah bersifat sektoral saja.


Sebab, faktor-faktor yang menimbulkan kemiskinan di pedesaan tidak melulu berkaitan
dengan sektor pertanian saja, melainkan lebih luas dari itu.
2. Perlu dijaga agar dana Inpres Desa Tertinggal benar-benar dapat dinikmati oleh mereka
yang berhak.
3. Perlu segera dibuat “dompet kasus DOM Aceh” di berbagai media massa dalam kurun
waktu setidaknya tiga bulan mulai dari sekarang ini agar uang yang terkumpul dapat
disalurkan untuk generasi tertinggal di Aceh.

32
DAFTAR PUSTAKA

Chaidar, Al , Sayed Mudhahar Ahmad & Yarmen Dinamika. 1999. Aceh Bersimbah Darah
(Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh 1989- 1998. Buku
Islam Utama : Jakarta

33

Anda mungkin juga menyukai