Anda di halaman 1dari 2

Budaya politik di Sumatra selatan

Sumatera Selatan sudah di diami manusia sejak zaman purbakala. Bukti-bukti sejarah masa lampau itu antara lain berupa situs-situs megalit dalam berbagai bentuk dan ukuran yang dapat disaksikan baik di museum maupun di alam terbuka. Peninggalan kebudayaan megalit itu merupakan hasil kreasi seni pahat para nenek moyang terdiri dari arca-arca batu berbentuk manusia, binatang, menhir, dolmen, punden berundak, kubur batu, lumpang batu, dan sebagainya yang berukuran kecil sampai raksasa. Bukti-bukti peradaban pada masa 2.500 1.000 tahun Sebelum Masehi tidak hanya mengesankan bagi wisatawan asing maupun domestic, tetapi juga para ahli yang acap kali dating melakukan penelitian ilmiah. Di alam terbuka, situs-situs megalit itu sebagian besar terdapat di Kabupaten Lahat, Ogan Komering Ulu dan Muara Enim. Keberadaan benda-benda itu telah melahirkan berbagai legenda dan mitos dikalangan masyarakat Sumatera Selatan. Di antaranya Legenda Si Pahit Lidah yang karena kesaktiannya mampu membuat apapun yang tidak disukainya menjadi batu. Dalam abad ke-7 -13 Masehi, Sumatera Selatan merupakan pusat kekuatan kerajaan Sriwijaya dan Palembang sebagai Ibukota Kerajaan. Di masa jayanya, Sriwijaya di kenal sebagai pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan mengenai agama Buddha di Asia Tenggara. Pada saat itu kerajaan Sriwijaya dengan kekuatan armadanya yang tangguh, selain menguasai jalur perdagangan dan pelayaran atara Laut Cina Selatan dan Samudera Hindia, yang telah menjadikan daerah ini sentra pertemuan antar bangsa. Hal ini telah menimbulkan transformasi budaya yang lambat laun berkembang dan membentuk identitas baru lagi di daerah ini. Tranformasi budaya ini terjadi pula dengan masuknya pengaruh Islam, terutama pada saat Sumatera Selatan dibawah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam sejak awal abad ke-15. Sebagian besar penduduk Sumatera Selatan sendiri sudah menganut agama Islam sebelum Kesultanan Palembang Darussalam berdiri. Beragam faktor yang mempengaruhi sejarah perkembangan masyarakat di Sumatera Selatan itu telah menimbulkan asimilasi di daerah ini, baik dalam tradisi, seni maupun aspek-aspek lain dalam kehidupam.

Budaya politik di sulawesi


Cerdik pandai mengatakan "Demokrasi bukanlah sistem yang ideal, tetapi terbaik diantara yang buruk". Demokrasi memiliki nilai nilai universal. Namun, nilai nilai tersebut tidak serta merta dapat diterapkan di semua negara. Banyak faktor berpengaruh dalam pengembangan demokrasi. Tiga diantaranya adalah nilai budaya politik lokal, peran aktor, dan fungsi kelembagaan. Buku yang berjudul Demokrasi Lokal:Jawa Timur, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, Bali ini berusaha menjelaskan karakter lokal melalui tiga faktor tersebut. Melalui proses penelitian yang cukup panjang, sekitar tiga tahun, buku ini menjadi penanda empat model demokrasi lokal yang masing - masing mencerminkan karakter demokrasi atau demokratisasi di keempat daerah tersebut. Di Sumatra Barat berkembang constraining disfunctional institution model, di Bali berlangsung non - democratic functional model. Sementara demokrasi di Sulawesi Selatan mendekati elitist non democratic model, sedangkan di Jawa Timur menggambarkan constructive disfunctional institution model. Terlepas dari persetujuan kita terhadap pemodelan demokrasi lokal itu, buku ini berhasil menelisik secara teliti dan menyeluruh. Tidak hanya kompatibilitas budaya politik, kapasitas aktor , serta kapabilitas institusi lokal berhadapan dengan prinsip prinsip universal demokrasi, melainkan juga saling berpengaruh di antara ketiga faktor dalam memanfaatkan ruang politik yang terbuka untuk manifestasi kepentingan masing masing. Di Sumatra Barat teridentifikasi dua corak budaya utama yang bertolak belakang. Bodi Chaniago yang egaliter dan Koko Pilliang yang aristokrat. Keduanya tetap eksis di tengah proses demokrasi karena kuatnya kepemimpinan tradisional. Selain itu kedua budaya ini menerapkan prinsip saiyo sakato yang sesubstansi dengan prinsip konsensus dalam demokrasi universal. Sedangkan dari sisi kelembagaan, lembaga lembaga lokal mulai rapuh dan cenderung mengalami delegitimasi fungsi. Dan aktor aktor memanfaat situasi ini untuk kepentingan masing. Meski memegang prinsip keharmonisan dan keseimbangan yang berakar pada nilai agama Hindu, secara historis Bali tidak pernah sepi dari kekerasan politik dan sosial yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan antara raja raja dan konflik yang berbasis kasta, poilitik, penguasaan wilayah serta ekonomi. Pengaruhnya terhadap masyarakat Bali trauma dan fobia terhadap politik sehingga menjadi apolitik. Karena itu hegemoni elite umumnya tokoh berkasta tinggi, adat sekaligus pemilik modal dan masyarakat tetap kuat. Proses demokrasi dapat berjalan secara prosedural tetapi secara substansial diwarnai berbagai nilai dan perilaku yang kurang kompatibel dengan nilai nilai demokrasi universal.

Anda mungkin juga menyukai