Anda di halaman 1dari 1

Konsep budaya politik berpusat pada imajinasi (pikiran dan perasaan) yang membentuk

aspirasi, harapan, preferensi dan priorita tertentu dalam menghadapi tantangan yang
ditimbulkan oleh perubahan sosial politik. Masyarakat Indonesia secara sosio-kultural
mempunyai pola budaya politik dengan elemen yang pada prinsipnya bersifat dualistis,
yang berkaitan dengan tiga hal.
1. Dualisme kebudayaan yang mengutamakan keharmonisan dengan kebudayaan yang
mengutamakan kedinamisan (konfliktual). Dualisme ini bisa dilihat dalam interaksi
kebudayaan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Jawa dengan kebudayaan yang dipengaruhi
oleh kebudayaan luar Jawa, terutama Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi.
Yakni kebudayaan yang bersifat cross-cutting, secara garis besar penjabaran kultural itu
dilihat sebagai nilai-nilai esensial kejawaan dan non Jawa.
2. Dualisme antara budaya dan tradisi yang mengutamakan keleluasaan dengan yang
mengutamakan keterbatasan. Hal ini merupakan tendensi kemanunggalan militer-sipil
dalam proses sosial politik semenjak proklamasi sampai dengan Orde Baru.
3. Dualisme implikasi masuknya nilai-nilai Barat kedalam masyarakat Indonesia.
Diantara beberapa suku bangsa yang berpengaruh, cara berfikir Suku Jawa kelihatan
paling dominan. Dimana jumlah masyarakat Jawa mendominasi kehidupan politik dan
pusat pemerintahan berada di Jawa. Pola umum perilaku masyarakat Jawa bahwa meeka
cenderung menghindarkan diri pada situasi konflik mereka karena selalu mudah
tersinggung. Konsep dalam masyarakat Jawa membentuk pola tindak-tanduk yang
wajar yang berupa pengekangan emosi dan pembatasan antusiasme serta ambisi.
Menyakiti dan menyinggung orang lain dipandang sebagai tindakan yang kasar.
Elemen yang tampak dualistis, berakar pada tradisi kehidupan militer dan masyarakat
sipil. Pada prinsipnya titik berat antara kedua tradisi bersifat kontradiktif. Tradisi militer
mengutamakan hirarki dan komando yang ketat, segala gerak dan tindakan dibatasi.
Militer juga menitikberatkan suasana penciptaan keamanan fisik. Dilain pihak, kelompok
sipil dilandasi oleh tradisi penuh keleluasaan dan persamaan. Hirarkinya bersifat jauh
lebih longgar dan insidental.
Pada kebanyakan masyarakat non Barat(non-Anglo Saxon), terutama masyarakat Asia,
persepsi yang dimiliki tentang kekuasaan berbeda dengan masyarakat Barat. Perbedaan
ini berakar pada perbedaan falsafah yang fundamental mengenai hakekat kedudukan
individu dalam masyarakat. Pada masyarakat Asia semangat kerjasama antara anggota
masyarakat sangat sentral sehingga kepentingan pribadi individu ditempatkan pada posisi
periferal, dimana kepentingan individu mudah dikorbankan untuk kepentingan kolektif.
Sedangkan masyarakat non-Asia tidak demikian.
Dalam hubungan sosial diatas, kekuasaan politik timbul dari hubungan antara individu
yang menempatkan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi. Kebersamaan
timbul dari proses saling adaptasi antara berbagai kepentingan pribadi. Oleh karena itu,
dalam kehidupan masyarakat seperti ini, hubungan antara warga masyarakat dengan
pemegang kekuasaan secara alamiah berada dalam kondisi yang lebih harmonis bila
dibandingkan dengan hubungan yang terdapat di masyarakat Barat.

Anda mungkin juga menyukai