Anda di halaman 1dari 5

Kecenderungan budaya politik Indonesia

Menurut Afan Gaffar, budaya politik Indonesia mempunyai kecenderungan berikut.

1) Adanya hierarki yang tegas, seperti berikut.

 Masyarakat Jawa dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia pada dasarnya bersifat

hierarkis.

 Stratifikasi sosial yang hierarkis ini tampak dengan adanya pemilahan tegas antara

minoritas penguasa dan rakyat pada umumnya.

 Pihak yang membentuk semua agenda publik, termasuk merumuskan kebijakan adalah

penguasa/pemerintah, sedangkan rakyat cenderung disisihkan dari proses politik.

(Sumber: Affan Gaffar. 2004: 106–118)

2) Kecenderungan patronage (mencari perlindungan) tercermin dalam bentuk kegiatan berikut.

 Pola hubungan yang bersifat individual dan antardua individu, yaitu patron-client atau

”Bapakisme”.

 Dalam kehidupan politik, budaya politik semacam ini tampak pada perilaku politisi yang

lebih mencari dukungan dari atas daripada menggali dukungan dari basisnya (bawah).

3) Kecenderungan neopatrimonialistik yang mengandung pengertian sebagai berikut. Negara

sudah memiliki atribut atau kelengkapan yang sudah modern dan rasional, tetapi masih

memperlihatkan atribut yang patrimonial, yaitu negara masih dianggap milik pribadi atau

kelompok pribadi sehingga diperlakukan layaknya sebuah keluarga.

Keadaan budaya politik Indonesia pada era reformasi


Pada era reformasi budaya politik Indonesia sudah mengalami perubahan. Tingkat kesadaran

warga masyarakat terhadap partisipasi dalam perumusan kebijakan publik mulai tumbuh. Oleh

karena itu, budaya politik masyarakat Indonesia saat ini dapat dikatakan bertipe subjekpartisipan,

yaitu budaya politik yang merupakan peralihan atau perubahan dari budaya subjek

(pemerintahan yang sentralistik) menuju budaya partisipan (demokratis). Sebagai warga

masyarakat sekaligus warga negara yang baik, Anda mempunyai tanggung jawab untuk

mewujudkan budaya politik yang partisipan. Dengan demikian, akan tercipta pemerintahan yang

demokratis, jujur, dan adil, bebas dari segala bentuk kegiatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

A. Perkembangan Budaya Politik di Indonesia

Sebelum era kemerdekaan hingga reformasi sekarang ini, kecenderungan budaya politik yang

terdapat di Indonesia adalah patrimonialisme. Dalam budaya politik semacam ini, pola

kekuasaan berjalan di atas prinsip relasi kuasa antara penguasa sebagai pengayom, pelindung

atau penjamin kesejahteraan, serta keamanan dan rakyat sebagai obyek yang dilindungi, diayomi

dan dijamin kenyamanan, keamanan dan kesejahteraannya.

Oleh karena itu, bertolak dari budaya politik di Indonesia yang lebih mengarah pada nilai-nilai

patrimonial, maka jenis sistem politik dan demokrasi yang berkembang pun adalah sistem politik

dan demokrasi patrimonial. Sistem politik jenis ini mengandaikan kondisi di mana para

pemegang kebijakan mengeksploitasi posisi mereka hanya untuk tujuan-tujuan dan kepentingan

pribadi, bukan kepentingan universal.


Menurut Rusadi (1988: 37 - 39), budaya politik Indonesia hingga dewasa ini belum banyak

mengalami perubahan/pergeseran dan perpindahan yang berarti. Walaupun sistem politiknya

sudah beberapa kali mengalami perubahan ditinjau dari pelembagaan formal. Misalnya, sistem

politik demokrasi liberal ke sistem politik demokrasi terpimpin dan ke sistem politik demokrasi

Pancasila. Budaya politik yang berlaku dalam sistem perpolitikan Indonesia relatif konstan. Hal

ini dikarenakan upaya ke arah stabilitas politik tidak perlu tergesa-gesa agar diperoleh

keseimbangan dan mengurangi konflik seminimal mungkin.

B. Ciri-ciri Umum Budaya Politik di Indonesia

Bertolak dari pemaparan sejarah pola budaya politik masyarakat Indonesia di atas, Afan Gaffar

(2002: 106) merumuskan bahwa ada tiga ciri dominan yang terdapat pada budaya politik

Indonesia, yaitu sebagai berikut.

1. Hierarki yang tegas

Sebagian besar masyarakat Indonesia bersifat hierarkis yang menunjukkan adanya pembedaan

atau tingkatan atas dan bawah. Stratifikasi sosial yang hierarkis ini tampak dari adanya

pemilahan tegas antara penguasa dan rakyat kebanyakan. Masing-masing terpisah melalui

tatanan hierarkis yang sangat ketat.

Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercermin pada

cara penguasa memandang dirinya dan rakyatnya. Mereka cenderung merendahkan rakyatnya.

Karena penguasa sangat baik, pemurah, dan pelindung, sudah seharusnya rakyat patuh, tunduk,

setia, dan taat kepada penguasa negara. Bentuk negatif lainnya dapat dilihat dalam soal kebijakan
publik. Penguasa membentuk semua agenda publik, termasuk merumuskan kebijakan publik,

sedangkan rakyat cenderung disisihkan dari proses politik. Rakyat tidak diajak berdialog dan

kurang didengar aspirasinya.

2. Kecenderungan patronage

Kecenderungan patronage, adalah kecenderungan pembentukan pola hubungan patronage, baik

di kalangan penguasa dan masyarakat maupun pola hubungan patron-client. Pola hubungan ini

bersifat individual. Antara dua individu, yaitu patron dan client, terjadi interaksi timbal balik

dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki masing-masing. Patron memiliki sumber

daya berupa kekuasaan, kedudukan atau jabatan, perlindungan, perhatian dan kasih sayang,

bahkan materi. Kemudian, client memiliki sumber daya berupadukungan, tenaga, dan kesetiaan.

Menurut Yahya Muhaimin, dalam sistem bapakisme (hubungan bapak-anak), ”bapak” (patron)

dipandang sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan kebutuhan material dan bahkan spiritual

serta pelepasan kebutuhan emosional ”anak” (client). Sebaliknya, para anak buah dijadikan

tulang punggung bapak.

3. Kecenderungan Neo-patrimonialistik

Dikatakan neo-patrimonalistik karena negara memiliki atribut atau kelengkapan yang sudah

modern dan rasional, tetapi juga masih memperhatikan atribut yang patrimonial. Negara masih

dianggap milik pribadi atau kelompok pribadi sehingga diperlakukan layaknya sebuah keluarga.
Menurut Max Weber, dalam negara yang patrimonalistik penyelenggaraan pemerintah berada di

bawah kontrol langsung pimpinan negara. Adapun menurut Affan Gaffar, negara patrimonalistik

memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut.

 Penguasa politik seringkali mengaburkan antara kepentingan umum dan kepentingan

publik.

 Rule of law lebih bersifat sekunder apabila dibandingkan dengan kekuasaan penguasa.

 Kebijakan seringkali bersifat partikularistik daripada bersifat universalistik.

 Kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang penguasa

kepada teman-temannya lebih besar.

Anda mungkin juga menyukai