Masyarakat Jawa dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia pada dasarnya bersifat
hierarkis.
Stratifikasi sosial yang hierarkis ini tampak dengan adanya pemilahan tegas antara
Pihak yang membentuk semua agenda publik, termasuk merumuskan kebijakan adalah
Pola hubungan yang bersifat individual dan antardua individu, yaitu patron-client atau
”Bapakisme”.
Dalam kehidupan politik, budaya politik semacam ini tampak pada perilaku politisi yang
lebih mencari dukungan dari atas daripada menggali dukungan dari basisnya (bawah).
sudah memiliki atribut atau kelengkapan yang sudah modern dan rasional, tetapi masih
memperlihatkan atribut yang patrimonial, yaitu negara masih dianggap milik pribadi atau
warga masyarakat terhadap partisipasi dalam perumusan kebijakan publik mulai tumbuh. Oleh
karena itu, budaya politik masyarakat Indonesia saat ini dapat dikatakan bertipe subjekpartisipan,
yaitu budaya politik yang merupakan peralihan atau perubahan dari budaya subjek
masyarakat sekaligus warga negara yang baik, Anda mempunyai tanggung jawab untuk
mewujudkan budaya politik yang partisipan. Dengan demikian, akan tercipta pemerintahan yang
demokratis, jujur, dan adil, bebas dari segala bentuk kegiatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sebelum era kemerdekaan hingga reformasi sekarang ini, kecenderungan budaya politik yang
terdapat di Indonesia adalah patrimonialisme. Dalam budaya politik semacam ini, pola
kekuasaan berjalan di atas prinsip relasi kuasa antara penguasa sebagai pengayom, pelindung
atau penjamin kesejahteraan, serta keamanan dan rakyat sebagai obyek yang dilindungi, diayomi
Oleh karena itu, bertolak dari budaya politik di Indonesia yang lebih mengarah pada nilai-nilai
patrimonial, maka jenis sistem politik dan demokrasi yang berkembang pun adalah sistem politik
dan demokrasi patrimonial. Sistem politik jenis ini mengandaikan kondisi di mana para
pemegang kebijakan mengeksploitasi posisi mereka hanya untuk tujuan-tujuan dan kepentingan
sudah beberapa kali mengalami perubahan ditinjau dari pelembagaan formal. Misalnya, sistem
politik demokrasi liberal ke sistem politik demokrasi terpimpin dan ke sistem politik demokrasi
Pancasila. Budaya politik yang berlaku dalam sistem perpolitikan Indonesia relatif konstan. Hal
ini dikarenakan upaya ke arah stabilitas politik tidak perlu tergesa-gesa agar diperoleh
Bertolak dari pemaparan sejarah pola budaya politik masyarakat Indonesia di atas, Afan Gaffar
(2002: 106) merumuskan bahwa ada tiga ciri dominan yang terdapat pada budaya politik
Sebagian besar masyarakat Indonesia bersifat hierarkis yang menunjukkan adanya pembedaan
atau tingkatan atas dan bawah. Stratifikasi sosial yang hierarkis ini tampak dari adanya
pemilahan tegas antara penguasa dan rakyat kebanyakan. Masing-masing terpisah melalui
Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercermin pada
cara penguasa memandang dirinya dan rakyatnya. Mereka cenderung merendahkan rakyatnya.
Karena penguasa sangat baik, pemurah, dan pelindung, sudah seharusnya rakyat patuh, tunduk,
setia, dan taat kepada penguasa negara. Bentuk negatif lainnya dapat dilihat dalam soal kebijakan
publik. Penguasa membentuk semua agenda publik, termasuk merumuskan kebijakan publik,
sedangkan rakyat cenderung disisihkan dari proses politik. Rakyat tidak diajak berdialog dan
2. Kecenderungan patronage
di kalangan penguasa dan masyarakat maupun pola hubungan patron-client. Pola hubungan ini
bersifat individual. Antara dua individu, yaitu patron dan client, terjadi interaksi timbal balik
dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki masing-masing. Patron memiliki sumber
daya berupa kekuasaan, kedudukan atau jabatan, perlindungan, perhatian dan kasih sayang,
bahkan materi. Kemudian, client memiliki sumber daya berupadukungan, tenaga, dan kesetiaan.
Menurut Yahya Muhaimin, dalam sistem bapakisme (hubungan bapak-anak), ”bapak” (patron)
dipandang sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan kebutuhan material dan bahkan spiritual
serta pelepasan kebutuhan emosional ”anak” (client). Sebaliknya, para anak buah dijadikan
3. Kecenderungan Neo-patrimonialistik
Dikatakan neo-patrimonalistik karena negara memiliki atribut atau kelengkapan yang sudah
modern dan rasional, tetapi juga masih memperhatikan atribut yang patrimonial. Negara masih
dianggap milik pribadi atau kelompok pribadi sehingga diperlakukan layaknya sebuah keluarga.
Menurut Max Weber, dalam negara yang patrimonalistik penyelenggaraan pemerintah berada di
bawah kontrol langsung pimpinan negara. Adapun menurut Affan Gaffar, negara patrimonalistik
publik.
Rule of law lebih bersifat sekunder apabila dibandingkan dengan kekuasaan penguasa.