Anda di halaman 1dari 5

TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK

Berdasarkan sikap, nilai, informasi dan kecakapan politik yang dimiliki, orientasi warga Negara
terhadap kehidupan politik dan pemerintahan.
Segaranya (budaya politiknya) dapat digolongkan ke dalam 3 tipe, yaitu:
Tipe budaya politik parokial (parochial political culture)
Tipe budaya politik subjek (subject political "ulture)
Tipe politik partisipan (participant political culture)
Tipe budaya politik parokial (parochial political culture)
Antara lain:
Budaya politik ini terbatas pada satu wilayah atau lingkup yang kecil atau sempit,
Pada

umumnya

budaya

politik

ini

terdapat

dalam

masyarakat

yang

tradisional

dan

sederhana, dalam masyarakat seperti ini spesialisasi kecil dan belum banyak berkembang.
Anggota masyarakat cenderung tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik yang
luas, kecuali dalam batas tertentu di tempat mereka tinggal, itupun terbatas dalam bentuk
kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kekuasaan politik

dalam

masyarakatnya.
Menurut Mochtar Masoed dan Colin Mac. Andrews
Menyatakan bahwa: politik parokial menunjuk pada orang-orang yang sama sekali tidak
Menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dalam politik. Seperti: mereka yang
buta

huruf, tinggal di desa yang terpencil, orang yang lanjut usia yang tidak tanggap

terhadap hak pilih dan mengungkung diri dalam kesibukan keluarga, mereka kebanyakan
zemiata pencaharian sebagai petani dan buruh tani yang hidup dan bekerja di perkebunanperkebunan di mana kontak dengan sistem politik kecil sekali.

Tipe budaya politik subjek (subject political culture)


Menurut Mochtar Masoed dan Colin Mac. Andrews Budaya politik subjek menunjuk pada "Orang
orang yang secara pasif patuh pada pejabat-pejabat pemerintahan dan UU, tidak melibatkan diri
dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan"
Menurut Rusadi Kantaprawira
Dalam budaya politik ini anggota masyarakat telah mempunyai minat, perhatian, mungkin
kesadaran

terhadap

sistem

sebagai

keseluruhan,

terutama

terhadap

aspek

output

alias

keputusan-keputusan politik yang diambil, akan tetapi perhatiannya terhadap sistem politik
sangat rendah terutama pada aspek in put, sementara kesadarannya sebagai aktor politikboleh
dikatakan belum tumbuh. Disisi lain mereka menganggap diri tidak berdaya mempengaruhi atau
merubah sistem. Suatu keputusan/kebijakan yang diambil oleh pemeran politik dianggap sebagai
sesuatu yang tidak dapat diubah, dikoreksi apalagi untuk

ditantang. Mereka menerima suatu sistem .sebagaimana adanya, patuh, setia (loyal) dan
mengikuti segala instruksi dan anjuran pada pemimpin politiknya.
3) Tipe budaya politik partisipan (participant political culture)
Menurut Almond dan Verba Budaya politik partisipan adalah suatu bentuk budaya dimana
anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit (Tegas, jelas) terhadap sistem
sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif. Ciri-cirinya
antara lain:
a) Adanya kesadaran bahwa dirinya ataupun orang lain sebagai anggota aktif dalam
kehidupan politik
b) Menunjuk pada orang-orang yang melibatkan diri dalam kegiatan politik. Paling tidak
dalam kegiatan pemberian suara (voting) dan memperoleh informasi yang cukup banyak
tentang kehidupan politik.
c) Seseorang dengan sendirinya menyadari setiap hak dan kewajibannya, dan dapat pula
merealisasikan dan menggunakan hak serta menanggung kewajibannya.
d)

Seseorang tidak begitu saja menerima keadaan serta tunduk pada keadaan.
e) Seseorang dapat menilai dengan penuh kesadaran baik sistem sebagai totalitas, input, 1
dan output maupun posisi dirinya sendiri.
Menurut Rusadi Kantaprawira
Pada budaya politik ini, anggota masyarakat telah menyadari betul hak dan tanggung
jawabnya sebagai warga Negara, dimana dia berperan aktif dalam suatu proses politik.
Dari ke 3 budaya politik yang ada di Indonesia, biasanya budaya politik parokial dan budaya
politik kaula disatukan sehingga ada 2 tipe budaya politik secara umum.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB BERKEMBANGNYA BUDAYA POLITIK DI INDONESIA


a.

Adanya keragaman yang tumbuh pada masyarakat Indonesia

b.

Masyarakat yang menganut budaya parokial-kauia disebabkan oleh isolasi (terpisah, terasing)
dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, patermalistik (kebapakan) dan ikatan
primordial. Adapun yang menganut partisipan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.

c.

Sifat ikatan primordial memiliki ciri sentimen kedaerahan, kesukuan dan keagamaan.

d.

Kecenderungan budaya politik Indonesia yang masih mengukuhi sikap paternalisme dan sifat
patrimonial (warisan bapak).

e.

Dilema interaksi mengenai modernisasi dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai
tradisi dalam masyarakat.

BUDAYA POLITIK DI INDONESIA


Ada beragam pandangan mengenai budaya politik Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh
beberapa orang tokoh, seperti:
a.

Menurut Herbert Feith


Seorang Indonesianis asal Australia mengemukakan bahwa Indonesia memiliki dua budaya
politik yang dominan, yaitu:

Aristokrasi Jawa

Wiraswasta Islam
Menurut Feith, selain kedua budaya . politik itu kita juga mempunyai sejumlah budaya politik
lainnya, namun kurang penting dibandingkan dengan budaya politik aristokrasi Jawa dan
wiraswasta Islam.

.Menurut Cliff ord Geertz


Seorang Indonesianis asal Amerika Serikat mempunyai pendapat yang berbeda dengan Feith. la
membedakan masyarakat Jawa ke dalam 3 sub budaya, yaitu:

Santri

Abangan

Priyayi

Santri adalah pemeluk agama Islam yang taat, yang pada umumnya terdiri dari pedagang di Kota dan
petani yang berkecukupan. Abangan adalah menunjuk pada golongan petani kecil Sedangkan Priyayi
adalah golongan yang masih memiliki pandangan Hindu-Budha, yang kebanyakan terdiri dari golongan
terpelajar, dan golongan atas penduduk Kota, terutama golongan pegawai.
Menurut Nazarudin Sjamsuddin
Bahwa bentuk budaya politik yang dikemukakan oleh para ahli barat tersebut bukanlah "Budaya Politik
Indonesia", melainkan "Sub Budaya Politik atau Budaya Politik Sub Nasional" karena semuanya adalah
bagian dari budaya politik Indonesia. Jadi ini berarti, budaya politik Indonesia masih berupa kombinasi
dari semua sub budaya politik baik dari hasil pengelompokkan sosial kultural seperti dikemukakan oleh
Fieth dan Geertz, maupun budaya politik daerah yang diangkat ke tingkat nasional, oleh para pelaku
politik.
Jadi kesimpulan menurut Nazarudin Sjamsuddin menyatakan bahwa: Dalam sebuah budaya politik ciri
utama yang menjadi identitas adalah sesuatu nilai atau orientasi yang menonjol dan diakui oleh
masyarakat atau bangsa secara keseluruhan. Karena bersifat menonjol dan kehadirannya diakui oleh
masyarakat sebagai identitasnya, maka ciri utama itu menjadi simbol masyarakat. Seperti: Bhineka
Tunggal Ika", itulah budaya politik Indonesia.
Menurut Man Gaff ar
Sangat sulit mengidentifi kasi wujud budaya politik Indonesia, tetapi yang dapat dilakukan adalah
menggambarkan pola budaya politik dominan, yang berasal dari kelompok etnis dominan yaitu:
kelompok etnis Jawa, karena sangat mewarnai sikap, perilaku dan orientasi politik kalangan elit politik
Indonesia.
Menurut Fachry Ali
Pada masa pengaruh konsepsi kekuasaan masyarakat Jawa terhadap sistem politik sangat kuat, konsepsi
tersebut pada intinya ada 2, yaitu:
1)

Kekuatan bersifat memusat (terpusat), tidak memancar, tidak berkurang ataupun bertambah.
Terkonsentrasi pada satu pihak dan berkecendrungan menghisap kekuasaan yang lain.

2)

Kekuasaan berasal dari alam adikodrati, bukan dari rakyat sebagaimana teori kedaulatan rakyat maka
kekuasaan tidak memerlukan legitimasi (keabsahan) dan justifi kasi (pembenaran) dari rakyat.

CIRI DOMINAN BUDAYA POLITIK INDONESIA


Menurut Afan Gaff ar
Bahwa budaya politik Indonesia memiliki 3 ciri dominan, yaitu:
*

Hirarki yang tegar (ketat)


Kecendrungan patronage <ecendrungan neopatrimonialistik

1) Hirarki yang tegar (ketat)


Masyarakat Jawa dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat hirarkis.
Stratifi kasi sosial yang hirarkis ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa (wong gedhe)
dengan rakyat kebanyakan (wong cilik) masing-masing terpisah melalui tatanan hirarkis yang sangat
ketat. Alam pikiran dan tata cara sopan santun diekspresikan sedemikian rupa sesuai dengan asal-usul

kelas masing-masing. Penguasa dapat menggunakan bahasa "Kasar" kepada rakyat kebanyakan.
Sebaliknya, rakyat harus mengekspresikan diri kepada penguasa dalam bahasa "Halus".
Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifi kasi sosial semacam itu antara lain tercermin pada cara
penguasa

memandang

diri

dan

rakyatnya.

Mereka

cenderung

melihat

dirinya

sebagai

pamong/guru/pendidik bagi rakyat serta mencitrakan diri sebagai kelompok yang pemurah, baik hati,
dan pelindung. Namun sebaliknya mereka cenderung merendahkan rakyatnya, dimana rakyat harus
patuh, tunduk, setia dan tact kepada penguasa Negara.
2) Kecendrungan patronage
Pola hubungan patronage merupakan salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia. Menurut
James Scott hubungan macam itu disebut sebagai pola hubungan Patron Client, pola hubungan ini
bersifat individual. Antara dua individu yaitu patron dan 'client, terjadi interaksi timbal batik dengan
mempertukarkan sumber daya yang dimiliki masing-masing, si patron memiliki sumber daya berupa
kekuasaan, kedudukan atau jabatan, perlindungan, perhatian dan kasih sayang bahkan materi (harta
kekayaan tanah garapan dan uang), sedangkan si client memiliki sumber daya berupa tenaga,
dukungan dan kesetiaan. Dalam kehidupan politik tumbuhnya budaya politik semacam itu tampak
misalnya di kalangan pelaku politik. Mereka memilih mencari dukungan dari atas daripada menggali
dukungan dari basisnya.
Menurut Yahya

Muhaimin

dalam

sistem

"Bapakisme"

(hubungan

Bapak-Anak). "Bapak"

(Patron)

dipandang sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan kebutuhan material dan bahkan spritual serta
pelepasan kebutuhan emosional. Sedangkan "Anak" (Clien) sebaliknya, para anak buah dijadikan
tulang punggung bapak, mereka cukup setiap bahkan bersedia mempertaruhkan jiwa dan raga demi
sang bapak.
Dalam masyarakat yang menganut budaya politik: "Bapakisme" karir politik seseorang bergantung pada
kecerdikannya memelihara dan memanfaatkan hubungan pribadi dan hubungan politik dengan pemegang jabatan
di tingkat atas. Begitupun dalam mendapatkan pekerjaan dan jabatan-jabatan birokrasi. Dengan demikian,
keabsahan' kekuasaan politik dan wewenang jabatan birokrasi amat ditentukan oleh sistem hubungan Bapak-Anak
buah. Dan ini berarti, konsep "Bapakisme" merupakan salah Satu sumber legitimasi yang kuat dalam kehidupan
politik bangsa Indonesia.
3) Kecendrungan neo-patrimonialistik
Salah satu kecenderungan dalam kehidupan politik di Indonesia adalah adanya kecenderungan
munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonialist. Artinya, meskipun memiliki atribut yang
bersifat modern dan rasionalistik seperti birokrasi, perilaku Negara masih memperlihatkan tradisi dan
budaya politik yang berkarakter patrimonial.

Ciri-ciri organisasi atau birokrasi modem yang dimaksud, yaitu:


a.

Adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah
dalam organisasi.

b.

Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing mempunyai tugas dan

c.

Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi dan standar-standar formal yang mengatur

d.

Adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar karir,

tanggung jawab yang tegas.


bekerjanya-organisasi dan tingkah laku keanggotaannya.
dengan promosi yang didasarkan pada kualifi kasi dan penampilan.

Dalam kehidupan politik di Indonesia, budaya politik patrimonialistik telah menyebabkan tekuasaan tidak
terkontrol, akibatnya Negara menjadi sangat kuat dan peluang munculnya civil society terhambat.
pada masa Orde Baru, beberapa contoh budaya politik Neo-Patrimonialistik, yaitu :
Seorang gubernur membangun rumah dinas yang sangat besar dan mewah dengan biaya sekitar 7,5
milyar. Kemudian juga melaksanakan proyek kuningisasi untuk semua instansi pemerintah bahkan sampai
Pohon-pohon

di

sepanjang

jalan

meskipun

mendapat

kritik

dan

tantangan

dari

berbagai

lapisan

masyarakat namun sama sekali tak peduli.


:

Pola promosi jabatan yang tidak mengikuti prosedur


Anak-anak pejabat menjadi pengusaha besar karena memanfaatkan jabatan orang tua mereka dan
memperoleh perlakuan istimewa.

Munculnya anak-anak pejabat yang menempati posisi strategis.

Anda mungkin juga menyukai